Sari Pustaka Epikantus.pdf
August 16, 2017 | Author: Ary Pramita | Category: N/A
Short Description
Download Sari Pustaka Epikantus.pdf...
Description
SARI PUSTAKA I
Kepada Yth:
EPIKANTUS
I.A. Ary Pramita A.A.A. Diah Citradewi ( Peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis Tahap I )
PEMBIMBING: dr. A.A.A. Sukartini Djelantik, Sp.M (K) dr. Putu Yuliawati, Sp.M (K) dr. Ariesanti T. Handayani, Sp.M (K) Dr. dr. Ni Nyoman Sri Budayanti, Sp.MK (K)
Departemen Ilmu Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran Universitas Udayana RSUP Sanglah Denpasar 2014
1
Pendahuluan Epikantus adalah lipatan semilunar kelopak mata atas yang menutupi sudut mata bagian dalam, kadang ditemukan sebagai variasi normal pada anak ras Asia. Insiden pada anak laki-laki sekitar 4,4% dan perempuan 3,2% yang akan menghilang kira-kira pada umur 11 tahun. Insiden epikantus lebih dari 50% terjadi pada populasi di Asia dan sekitar 50-90% pada populasi Korea dan Jepang (Lai et al., 2012). Kondisi ini terjadi pada kedua mata sehingga mata anak akan tampak seperti juling ke dalam (pseudo-esotropia) dan mengakibatkan fisura palpebra terlihat lebih pendek. Mekanisme terjadinya epikantus masih belum diketahui secara pasti. Epikantus terbentuk dari kombinasi hipertropi otot dan kelebihan lipatan kelopak mata. Epikantus merupakan bagian dari Blepharophimosis Ptosis Epicanthus Syndrome (BPES) yang merupakan penyakit autosomal dominan (Jack, 2007). Duke-Elder mengklasifikasikan pembagian tipe epikantus berdasarkan awal lipatan yang muncul yaitu supraciliar, palpebra, tarsal dan inversus. Pasien dengan epikantus menunjukkan jarak antara kedua kantus medial yang lebih panjang dibandingkan normal sehingga seringkali sulit dibedakan dengan telekantus dan hipertelorisme (Riordan-Eva & Whitcher, 2007). Epikantus juga sharus dibedakan dengan epiblefaron yang sering dijumpai pada kedua mata dan sering menyebabkan trikiasis dan kerusakan kornea. Sebagian besar bentuk epikantus akan mengalami perbaikan seiring dengan bertambahnya umur dan pertumbuhan normal tulang wajah (American Academy of Ophthalmology, 2011-2012; Garg & Rosen, 2009; Stewart, 1995). Tindakan rekonstruksi epicanthoplasty seperti double Z plasty maupun Y-V plasty dapat dilakukan atas indikasi fungsional maupun kosmetik (Chen et al.,2008). Tujuan penulisan makalah ini untuk mengetahui anatomi, etiopatogenesis, gejala klinis secara subyektif dan obyektif yang dapat membedakan epikantus dengan diagnosis lainnya seperti telekantus, epiblefaron maupun hipertelorisme. Penulisan ini juga bertujuan untuk membantu menentukan terapi yang tepat pada penderita epikantus dimana apabila dilakukan terapi terlalu awal yang agresif pada kebanyakan kasus epikantus secara estetik akan dapat meninggalkan bekas luka yang mencolok (Chen et al.,2008).
2
Embriologi Manusia merupakan makhluk yang bersegmen. Segmentasi dimulai secara simultan dengan menutupnya neural groove (hari ke-24). Segmentasi berlanjut ke posterior dan anterior menuju daerah kepala, dimana segmentasi menghilang dan terbentuk lima branchial atau pharyngeal arch. Pada minggu ke-5 gestasi, lapisan mesoderm imatur bermula dari branchial arch pertama (mandibular arch). Branchial arch pertama terdiri dari bagian kecil dorsal yang disebut dengan maxillary process, yang memanjang ke depan di bawah mata untuk membentuk kelopak mata bawah. Kearah kepala dari branchial arch pertama, proliferasi mesenkim membentuk beberapa fold lain yang membentuk facial processa antara lain : frontonasal, medial nasal, lateral nasal, dan mandibular process (Bedrossian, 2006). Maxillary process terletak aposisi terhadap paraxial mesoderm mata dan nasal process. Diantaranya terdapat ectoderm groove yang terpendam seiring dengan berkembangnya maxillary process melampaui nasal process. Tahap ini terjadi pada minggu ke-5 gestasi dan merupakan awal dari nasolacrimal duct. Maxillary process memanjang ke superior untuk membentuk kelopak mata bawah pada minggu ke-6 gestasi. Sebelum kelopak mata bawah terbentuk, kelopak mata atas terbentuk dari perpanjangan orbital atau paraxial mesoderm yang disebut dengan frontonasal process. Jadi, kelopak mata atas terbentuk dari frontonasal process lebih dahulu dibandingkan kelopak mata bawah yang terbentuk dari maxillary process (Bedrossian, 2006). Kantus lateral terbentuk pada saat usia 1.5 bulan gestasi, dari penyatuan antara lipatan kelopak mata atas dan bawah. Kelua kelopak mata bertemu dan menyatu untuk sementara hingga 8 minggu gestasi. Penutupan selesai pada usia kehamilan 10 minggu. Desmosomal adhesion antara margin kelopak mata melindungi mata dari cairan amnion. Seluruh struktur kelopak mata terbentuk selama periode adhesi ini. Otot Riolan dapat diidentifikasi pada akhir bulan ketiga. Hair bulb bulu mata muncul pertama kali pada kelopak mata atas, kemudian di kelopak mata bawah dengan arah anteroposterior. Perkembangan lebih cepat pada kelopak mata atas dibandingkan kelopak mata bawah. Pada awal bulan keempat, mulai terbentuk kelenjar Meibom. Setengah bagian posterior
3
kelopak mata merupakan kondensasi dari basal lamina dan serat kolagen, yang dikenal sebagai tarsal plate. Kelenjar Meibom tumbuh di dalam tarsal plate, kelopak mata atas terlebih dahulu kemudian pada kelopak mata bawah. Kelenjar apokrin Moll muncul di sekitar folikel silia selama bulan keempat, diikuti oleh kelenjar sebasea Zeiss. Leveator palpebrae superior terbentuk saat usia 2.5 bulan gestasi, dipisahkan dari otot superior rectus pada bulan keempat. Secara klinis, gagal terpisahnya kedua otot ini menyebabkan kelainan kongenital yakni ptosis (American Academy of Ophthalmology, 2011-2012; Riordan-Eva & Whitcher, 2007; Bedrossian, 2006).
Gambar 1. Perkembangan kelopak mata. (American Academy of Ophthalmology, 2010-2011) Akhir bulan kelima (usia 21-26 minggu gestasi), adhesi epitel antara kedua kelopak mata mulai terpisah. Proses ini berakhir pada bulan tujuh namun mungkin untuk menetap hingga sesaat sebelum lahir. Produksi lipid dari kelenjar Meibom, terbentuknya keratin pada margo palpebra, berkembangnya retractor palpebral merupakan tanda dari berpisahnya kelopak mata atas dan bawah (American Academy of Ophthalmology, 2011-2012; Bedrossian, 2006). Anatomi Kelopak Mata Kelopak mata mempunyai fungsi untuk melindungi mata, dan juga membantu lubrikasi kornea dengan air mata. Batas kelopak medial dan lateral bertemu di
4
kantus memanjang secara horizontal 30 mm. Kulit pada kelopak mata sangat tipis dengan ketebalan kurang dari 1 mm yang memfasilitasi ruang gerak kelopak mata untuk mengedip, menutup mata, dan menatap keatas maupun kebawah. Kulit pada kelopak mata atas lebih tipis dibandingkan dengan kelopak mata bawah dan jarang dilapisi oleh lemak subkutan sehingga merupakan salah satu faktor predisposisi terjadinya kerutan yang muncul sepanjang usia dan juga bersifat sangat elastis bila terjadi distensi yang dapat diisi oleh cairan atau darah.
Gambar 2. Anatomi Mata (Abhique.blogspot.com) Lipatan kelopak mata atas dibentuk oleh serat otot levator palpebra superior dan 2 mm menutupi kornea. Celah antara kelopak mata atas dan bawah secara horizontal sekitar 28-30 mm dan 10-12 mm secara vertikal. Fisura palpebral adalah ruang elips diantara kedua mata yang dibuka. Fisura ini berakhir di kantus medialis dan kantus lateralis. Kantus lateralis kira-kira 0,5 cm dari tepian lateral orbita dan membentuk sudut tajam. Kantus medialis lebih elips dari kantus lateralis. Kantus medialis meliputi penggabungan pretarsal dan praseptal orbicularis oculi dimana kantus lateralis letaknya lebih tinggi dibandingkan kantus medialis.
5
Gambar 3. Anatomi kelopak mata (www.psychologymania.com) Tepi kelopak lebarnya sekitar 2 mm dengan margin posterior tajam dan margin anterior berbentuk bulat dan merupakan tempat bulu mata. Pada orang Asia, perlekatan kulit kelopak mata atas lebih sulit berkembang. Berikut adalah pembagian anatomi dari kelopak mata dibagi atas 7 lapisan: 1. kulit dan jaringan subkutan, 2. otot protraktor, 3. septum orbita, 4. lemak orbita, 5. otot retraktor, 6. tarsus, 7. konjungtiva. Kulit palpebra terdiri dari lapisan tipis dermis dan tidak mempunyai lapisan lemak subkutaneus. Kulit palpebra sangat elastis dan merupakan kulit tertipis di badan. Kulit palpebra melekat secara longgar di atas muskulus orbikularis okuli. Kulit dari palpebra superior lebih tipis dari palpera inferior. Jaringan pretarsal biasanya melekat erat pada jaringan di bawahnya dari palpebra superior dan inferior, sedangkan jaringan preseptal yang melekat secara longgar membentuk ruang potensial untuk akumulasi cairan (American Academy of Ophthalmology, 2010-2011b). Sulkus palpebra superior (upper eyelid crease) dibentuk oleh insersi serabut kutaneus dari aponeurosis levator ke dalam pretarsal orbikularis okuli, yang merupakan tempat lipatan palpebra. Daerah ini terletak dekat dengan batas
6
superior dari tarsus, yakni 10 mm diatas margo palpebra pada wanita dan 7 sampai 8 mm diatas margo palpebra pada pria. Sulkus palpebra inferior (lower eyelid crease) merupakan tanda batas inferior dari tarsus palpebra inferior, yakni 5 mm dibawah margo palpebra inferior pada bagian medial dan 7 mm pada bagian lateral. Lipatan palpebra superior (upper eyelid fold) terjadi akibat terlipatnya kulit di atas sulkus palpebra dan merupakan kulit preseptal yang longgar dan jaringan
subkutaneus
(Bedrossian
Jr,
2007;
American
Academy
of
Ophthalmology, 2010).
Gambar 4. Muskulus orbikularis okuli. a. Muskulus Frontalis; b. Muskulus Corrugator Supercilii; c. Muskulus Procerus; d. Muskulus Orbikularis Okuli (pars orbitalis); e. Muskulus Orbikularis Okuli (pars preseptal; f. Muskulus Orbikularis Okuli (pars pretarsal) (American Academy of Ophthalmology, 2010-2011) Muskulus orbikularis okuli merupakan lapisan otot yang tipis dari serabut otot yang tersusun secara konsentris yang menutupi palpebra dan daerah periorbital. Muskulus ini merupakan muskulus protraktor yang utama dengan fungsi utama untuk membatasi fissura palpebra dan penutupan palpebra. Muskulus orbikularis okuli dipersarafi oleh nervus fasialis. Muskulus orbikularis okuli dibagi menjadi tiga bagian anatomi, pretarsal, preseptal dan orbital. Pretarsal dan preseptal merupakan bagian palpebra yang bergerak secara refleks, seperti berkedip. Kaput profunda bagian pretarsal bersatu membentuk sekumpulan
7
serabut yang dikenal sebagai m. Horner (torsi Horner’s tensor) yang mengelilingi kanalikuli dan berfungsi sebagai pompa lakrimal. Bagian orbital dari muskulus orbikularis okuli merupakan bagian terluar dan terbesar. Bagian ini berfungsi untuk menutup mata dengan keras dan berkedip secara sadar (Bedrossian Jr, 2007; American Academy of Ophthalmology, 2010-2011) Septum orbita merupakan lembaran-lembaran fibrous yang tipis secara anatomi di mulai pada arkus marginalis sampai superior dan inferior rima orbita yang berasal dari periosteum. Pada palpebra superior, distal fibrous septum orbita bersatu dengan permukaan anterior aponeurosis levator. Septum orbita biasanya berinsersi 3 – 5 mm di atas tepi tarsal superior dan sekitar 10 mm di atas bulu mata. Pada palpebra inferior, septum berjalan ke depan sampai bertemu M. Retraktor 4 – 5 mm di bawah tarsus inferior dan bersatu dengan kapsulopalpebral (Bedrossian Jr, 2007; American Academy of Ophthalmology, 2010-2011b). Septum berjalan ke arah medial bersama M. Orbikularis pretarsal dan melekat pada krista lakrimalis postrior bersama beberapa jaringan fibrous meluas sampai krista lakrimalis anterior. Pada bagian lateral, septum melekat pada tendo kantus lateral dan berinsersi pada bagian atas tuberkel orbita lateral. Tepat dibelakang septum terdapat kantung kuning lemak tepat di depan aponeurosis levator palpebra superior dan fascia kapsulopalpebral pada palpebra inferior (Bedrossian Jr, 2007; American Academy of Ophthalmology, 2010-2011). Lemak orbita memberikan perlindungan yang lunak pada bola mata dan mempermudah pergerakan bola mata. Terdapat tiga kantung lemak di bawah mata dan dua di atas; terletak di posterior septum orbita dan di anterior aponeurosis levator (palpebra superior atau di anterior fascia kapsulopalpebral (palpebra inferior). Palpebra superior memiliki dua kantung lemak, daerah nasal dan sentral (preaponeurotik). Palpebra inferior memiliki tiga kantung lemak; nasal, sentral dan temporal. Kantung-kantung lemak ini dibungkus oleh lapisan tipis fibrous (Bedrossian Jr, 2007; American Academy of Ophthalmology, 2010-2011b). Retraktor pada palpebra superior adalah muskulus levator palpebra dan aponeurosisnya dan muskulus tarsal superior (M. Muller). Retraktor pada palpebra inferior adalah fascia kapsulopalpebral dan muskulus tarsal inferior (American Academy of Ophthalmology, 2010-2011b).
8
Muskulus levator palpebra berorigo pada apeks orbita yaitu pada periorbita tulang spenoidal tepat di atas Annulus Zinni. Komponen otot berukuran 40 mm, sedangkan aponeurosisnya 14 – 20 mm. Ligamentum tarsal superior (ligamentum Whitnall) adalah kondensasi serabut elastis selubung M. Levator bagian anterior yang berlokasi pada area transisi muskulus levator dengan aponeurosis Levator. Muskulus ini dipersarafi oleh serabut saraf oculomotor (N. III) (Bedrossian Jr, 2007; American Academy of Ophthalmology, 2010-2011b). Muskulus Muller disebut juga M. Tarsalis Superior. Muskulus Muller berorigo pada permukaan bawah aponeurosis levator pada level ligamentum Whitnall kira-kira 12 – 14 mm di atas tepi tarsal superior, dipersarafi oleh saraf simpatis dan berinsersi pada tepi tarsus superior. Muskulus ini melekat erat pada batas posterior konjungtiva (American Academy of Ophthalmology, 2010-2011b). Fascia kapsulopalpebral inferior analog dengan aponeurosis levator palpebra superior, berasal dari ujung serat-serat M. Rektus Inferior. Fascia kapsulopalpebral selanjutnya menyatu dengan pembungkus M. Obliqus Inferior. Di antara M. Obliqus inferior, dua fascia ini membentuk ligamentum suspensori Lockwood’s. Ligamentum ini berinsersi pada tepi tarsus inferior dan tepat berada di bawah tarsus selanjutnya bergabung dengan fascia septum orbita (Bedrossian Jr, 2007; American Academy of Ophthalmology, 2010-2011b). Muskulus tarsalis inferior pada palpebra inferior analog dengan M. Muller’s, terletak di posterior dari fascia kapsulopalpebral dan dipersarafi oleh saraf simpatis.
Muskulus tarsalis inferior melekat di atas permukaan fascia
kapsulopalpebral dan melekat di bawah konjungtiva. Pembungkus fascia kapsulopalpebral dan M. tarsalis inferior terbagi dan mengelilingi M. obliquus inferior dan bertemu kembali sebelum berinsersi di anterior tarsus inferior. Serabut dari fascia kapsulopalpebral dan M. tarsalis inferior bersatu dengan septum orbita 4 – 5 mm di bawah tarsus inferior dan berinsersi di tepi bawah tarsus inferior (Bedrossian Jr, 2007; American Academy of Ophthalmology, 2010-2011b). Tarsus merupakan lamella posterior dan merupakan struktur penyokong utama dari palpebra yang terdiri dari jaringan fibrous yang padat dan tidak mengandung kartilago. Tarsus melebar sepanjang palpebra superior dan inferior
9
berukuran kira-kira 25 mm dan tebalnya 1 mm. Tarsus palpebra superior lebarnya kira-kira 9 – 10 mm dan tarsus palpebra inferior 4 – 5 mm. Lempengan tarsus melekat kaku pada bagian medial dan lateral periosteum. Glandula meibom terdapat dalam tarsus. Palpebra superior tarsus memiliki 30 glandula sementara pada palpebra inferior terdapat sekitar 20 glandula (Bedrossian Jr, 2007; American Academy of Ophthalmology, 2010-2011b). Konjungtiva adalah suatu membran mukosa tipis yang transparan ditutupi oleh berlapis-lapis epitel squamous non keratin membentuk lapisan posterior palpebra mulai dari margo palpebra sampai limbus kornea. Konjungtiva terbagi atas 2 bagian yakni konjungtiva bulbi yang melekat secara longgar pada bola mata dan konjungtiva palpebra yang melekat erat dengan palpebral. Beberapa kelenjar ditemukan pada palpebra inferior yaitu pada forniks inferior. Sel-sel goblet menghasilkan musin yang disebarkan keseluruh konjungtiva dan ada yang terkumpul di kripte Henle tepat di atas tepi tarsus. Musin merupakan komponen utama dari lapisan air mata. Pada bagian medial, konjungtiva membentuk lipatan semilunaris (Bedrossian Jr, 2007; American Academy of Ophthalmology, 2010).
Epidemiologi Insiden epikantus terjadi 32% dari seluruh kelahiran dan sekarang hampir semua lipatan epikantus menghilang setelah beberapa tahun. Insiden pada anak laki-laki sekitar 4,4% dan perempuan 3,2% yang akan menghilang kira-kira pada umur 11 tahun. Insiden epikantus lebih dari 50% terjadi pada populasi di Asia dan sekitar 50-90% pada populasi Korea dan Jepang (Lai et al., 2012) Epikantus secara normal ditemukan pada wajah ras Mongoloid dan dibagi oleh Duke-Elder menjadi beberapa tipe yaitu, supraciliar, palpebra, tarsal dan inversus tergantung dari anatomi dimana awal munculnya lipatan (Riordan-Eva & Whitcher, 2007). Tidak mudah untuk menentukan dimana lipatan kelopak dimulai dan berakhir tetapi tidak berpengaruh banyak terhadap terapi yang akan dilakukan. Kebanyakan bayi dan anak tidak menunjukkan gejala meskipun beberapa ada yang mengeluh berair dan rasa mengganjal saat berkedip. Epikantus tidak memerlukan terapi, apabila epikantus menetap akan dilakukan pembedahan
10
pada saat anak usia sekolah dan biasanya pembedahan hanya dilakukan pada anak yang terganggu pengelihatan maupun dengan masalah kosmetik (Lee et al., 2006).
Etiopatogenesis Mekanisme terjadinya epikantus masih belum diketahui secara pasti, epikantus yang terjadi sejak masa infant dapat berangsur menghilang seiring perkembangan wajah. Epikantus merupakan kombinasi hipertropi otot dan kelebihan lipatan kelopak mata. Beberapa penulis meyakini pertumbuhan tulang yang lambat terutama tulang hidung. Epikantus merupakan variasi normal bagi ras mongoloid maupun orang Asia dan tidak jarang epikantus sering disertai dengan penyakit mata lainnya seperti ptosis (Lai et al., 2012). Epikantus tipe inversus merupakan salah satu gejala khas pada Blepharophimosis Ptosis Epicanthus Inversus Syndrome (BPES). Pasien dengan BPES kadang memiliki susunan cytogenetik yang berubah, seperti interstitial deletions dan translokasi unbalance yang melibatkan 3q23. FOXL2 merupakan satu-satunya gen yang diketahui berkaitan dengan BPES (Baere, 2009). BPES biasanya diturunkan secara autosomal dominant. Proporsi kasus yang disebabkan oleh mutasi de novo diperkirakan lebih dari 50%. Setiap anak dari seseorang dengan BPES memiliki kesempatan sebanyak 50% untuk menurunkan mutasinya (Baere, 2009). Down’s Syndrome merupakan kelainan genetik dimana epikantus menjadi salah satu tanda karakteristik pada wajah selain fisura palpebral yang oblique, flat nasal bridge, lidah yang menonjol. Kelainan genetik penyebab Down’s Syndrome adalah free trisomy 21, translokasi yang unbalance antara kromosom 21 dan kromosom acrocentric lain, paling sering kromosom 14 atau 21 dan mosaicism dengan 2 garis sel, satu normal dan satunya trisomi 21. Detail analisis DNA pada sindrom ini sedang dilakukan, namun area kurang lebih 5 Mb antara loci D21S58 dan D21S42 telah ditemukan berkaitan dengan retardasi mental dan sebagian besar gambaran kelainan wajah pada pasien Down’s Syndrome. Khususnya, subregion D21S55 dan MX1 (interferon-induced protein), yang berlokasi pada band 21q22.3 berkaitan dengan retardasi mental dan gambaran morfologi berat termasuk fisura palpebral oblique dan epikantus (Bianca, 2002).
11
Manifestasi Klinis Kondisi epikantus biasanya terjadi bilateral. Hal ini menjadi kekhawatiran oleh orang tua yang akan mengeluh mata anaknya terlihat juling ke dalam oleh karena tertutupnya sklera bagian nasal (pseudostrabismus) (American Academy of Ophthalmology,
2011-2012).
Pasien
epikantus
dewasa,
sebagian
besar
memeriksakan diri ke dokter dengan tujuan kosmetik tanpa adanya keluhan fungsional yang spesifik. Anak dengan sindrom Blepharophimosis Ptosis Epicanthus inversus memiliki keluhan pada mata yang lebih kompleks, dimana orang tua mengeluh mata anaknya terlihat kecil, kelopak mata terlihat turun menutupi bola mata, dan terlihat seperti juling ke dalam.
Gambar 5. Tipe Epikantus. (A)Epikantus suprasiliaris; (B)Epikantus palpebralis; (C)Epikantus tarsalis; (D)Epikantus inversus (Stewart, 1995) Pemeriksaan fisik pasien dengan epikantus menunjukkan jarak antara kedua kantus medial yang lebih panjang dibandingkan normal, namun jarak Interpupillary Distance (IPD) yang normal (Riordan-Eva & Whitcher, 2007). Pembagian tipe epikantus didasari oleh awal lipatan muncul. Menurut Duke-Elder, epikantus suprasiliar lipatan kelopak muncul di alis mata dan berakhir di kelenjar lakrimal. Lipatan epikantus palpebralis muncul dari tarsus kelopak mata atas hingga batas bawah dari mata. Epikantus tarsalis muncul di tarsus kelopak mata atas hingga lipatan di medial kantus yang merupakan variasi normal dari orang Asia. Epikantus inversus adalah lipatan kelopak yang dapat
12
terjadi sindrom kelainan kongenital kelopak mata yang selalu disertai dengan ptosis (Nesi et al., 1988). Klasifikasi oleh Duke-Elder di modifikasi berdasarkan berat atau ringannya caruncle yang terlihat sehingga lebih mudah untuk menilai epikantus (Lai et al.,2011).
Diagnosis Banding Pasien dengan epikantus menunjukkan jarak antara kedua kantus medial yang lebih panjang dibandingkan normal sehingga seringkali sulit dibedakan dengan telekantus dan hipertelorisme. Jarak normal antara kantus medial kedua mata (intercanthal distance) adalah sama dengan panjang tiap fisura palpebra (kira-kira 30 mm pada orang dewasa) (Riordan-Eva & Whitcher, 2007).
Gambar 6. Telekantus (Jack, 2007)
Gambar 7. Hipertelorisme (Biswas, 2009) Telekantus menunjukkan intercanthal distance (ICD) yang memanjang dengan interpupillary distance (IPD) normal (Biswas, 2009). Hal ini terjadi
13
karena bertambahpanjangnya tendon kantus medial sehingga menyebabkan meningkatnya jarak antara kedua kantus medial (Garg & Rosen, 2009). Berbeda halnya dengan hipertelorisme, dimana jarak antara dinding medial orbita kedua mata memanjang, sehingga tampak meningkatnya jarak antara kedua bola mata. Pasien dengan hipertelorisme menunjukkan ICD dan IPD lebih panjang dari normal. Epikantus dapat merupakan suatu variasi normal pada kelopak mata orang Asia khususnya epikantus tipe tarsalis, sedangkan epikantus inversus seringkali berkaitan dengan Blepharophimosis syndrome atau Blepharophimosis Ptosis Epikantus inversus Syndrome (BPES) (American Academy of Ophthalmology, 2011-2012; Riordan-Eva & Whitcher, 2007). Sindrom ini diturunkan secara autosomal dominan dengan gejala klinis berupa blefarofimosis, telekantus, epikatus inversus dan ptosis berat. Blefarofimosis ditandai dengan pendeknya fisura palpebral horizontal 18-22 mm, dimana rata-rata normal 28-30 mm. Gejala lain yang mungkin ditemukan pada BPES yakni ektropion pada kelopak mata bawah bagian lateral, perkembangan tidak sempurna dari nasal bridge, hypoplasia rima orbita superior, lop ear, dan hipertelorisme (Garg & Rosen, 2009).
Gambar 8. Blepharophimosis, Ptosis, and Epicanthus inversus Syndrome (Jack, 2007) Epikantus juga harus dibedakan dari epiblefaron dikarenakan keduanya menunjukkan lipatan kelopak mata. Epiblefaron merupakan jaringan kelopak mata bawah yang berlebihan sehingga menyebabkan kelopak mata bawah terlipat ke dalam. Epiblefaron sering terjadi pada orang Oriental dan biasanya sembuh
14
atau kembali normal secara spontan. Pemeriksaan kelopak mata ditemukan lipatan kulit horizontal yang melewati margin kelopak mata, arah bulu mata yang vertikal terutama bagian medial (American Academy of Ophthalmology, 2011-2012; Jack J, 2007).
Gambar 9. Epiblefaron (kiri) dan epikantus (kanan) (American Academy of Ophthalmology, 2011-2012) Diagnosis Diagnosis epikantus ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik mata secara lengkap meliputi tajam penglihatan, pergerakan bola mata, pemeriksaan segmen anterior, segmen posterior, dan pemeriksaan penunjang bila diperlukan. Anamnesis harus dilakukan dengan cermat termasuk riwayat penyakit saat ini, riwayat keluarga atau orang tua dengan keluhan yang sama, riwayat kelahiran, dan alergi. Berdasarkan anamnesis, orang tua mengeluhkan mata anaknya terlihat juling ke dalam, bahkan tidak jarang bagi anak dengan ras non Asia terlihat lebih sipit. Segmen anterior mata diperiksa dengan menggunakan slit lamp untuk mencari kemungkinan inflamasi pada konjungtiva, pembengkakan atau massa yang dapat merubah struktur kelopak mata menjadi lebih tebal. Ketebalan kelopak mata atas dapat diperiksa menggunakan A-Scan Ultrasonography dengan probe 10.0 MHz yang pertama dimulai dari 3 mm sekitar garis siliari ditengah dari garis horizontal kelopak mata; kedua, 3 mm dari batas superior dari tarsus; ketiga, diantara orbital rim di tengah garis horizontal kelopak mata; keempat, sekitar garis siliari di tepi kantus medial dan yang; kelima, di tepi siliaris kantus lateral.
15
Gambar 10. Lima lokasi pengukuran dengan A-Scan ultrasonografi (Lee et al.,2006) Penatalaksanaan Sebagian besar bentuk epikantus akan mengalami perbaikan seiring dengan bertambahnya umur dan pertumbuhan normal tulang wajah (American Academy of Ophthalmology, 2011-2012; Garg & Rosen, 2009; Stewart, 1995). Tiga tipe epikantus yakni suprasiliaris, palpebralis, dan tarsalis sangat jarang memerlukan tindakan operasi atau ditunda hingga umur anak matur atau mencapai pubertas. Apabila tidak ada anomali kelopak mata lain, penatalaksanaan yang disarankan adalah melakukan observasi sampai wajah mencapai maturitas. Epikantus inversus jarang mengalami perbaikan seiring dengan pertumbuhan wajah karena tipe ini seringkali disertai dengan ptosis dan blefaropimosis atau bentuk anomaly lain.
Gambar 11. Original (kiri) dan modifikasi (kanan) Z-epicanthoplasty (Park, 2000)
16
Sebagian besar kasus epikantus yang terdiagnosis memerlukan tindakan seperti Z-plasty atau Y-V-plasty. Mustarde’s double “Z” plasty merupakan pilihan prosedur pada epikantus inversus (Garg & Rosen, 2009). Epikantus tarsalis pada pasien Asia dapat ditangani dengan Y-V-plasty dengan atau tanpa membentuk crease kelopak mata atas (American Academy of Ophthalmology, 2011-2012).
Gambar 12. Desain vertikal V flap inverse (Liu et al, 2012) Namun berbagai teknik epicanthoplasty ini masih memiliki potensi kesulitan yakni sulit dalam hal design, mudah terbentuk scar karena tegangan kekakuan yang berlebihan (Lai et al., 2012). Beberapa modifikasi teknik operasi telah
diteliti
sebagai
upaya
mengurangi
kejadian
scar
pasca
operasi
epicanthoplasty, seperti metode skin redrapping pada pasien BPES, insisi margin palpebra, insisi discrepant Z skin, miotomi dan plication dari medial canthal ligament (MCL) (Sa et al, 2012; Lai et al, 2012; Chen et al,2008).
Komplikasi Lipatan epikantus dapat berkurang seiring dengan berkembangnya wajah, namun mungkin menetap sehingga menyebabkan masalah kosmetik yang signifikan. Lipatan epikantus yang berat dapat menyebabkan gangguan fungsional pada penglihatan medial akibat dari menyempitnya lapangan pandang. (American Academy of Ophthalmology, 2011-2012; Stewart, 1995). Komplikasi yang saat ini masih sering terjadi pasca operasi adalah terbentuknya scar. Derajat cutaneous scar pada epikantus medial yaitu : grade 0, tidak tampak scar; grade 1, scar terlihat hanya saat inspeksi jarak dekat, grade 2,
17
scar yang mudah dilihat; grade 3, severe scarring yang memerlukan pembedahan revisional (Sa et al, 2012).
Gambar 13. Foto berseri menunjukkan perbaikan skin incision scar setelah operasi epicanthoplasty pada wanita Asia usia 19 tahun (Chen et al, 2008) Prognosis Epikantus merupakan suatu gambaran unik pada kelopak mata orang Asia khususnya epikantus tipe tarsalis. (American Academy of Ophthalmology, 20112012; Garg & Rosen, 2009; Stewart, 1995). Epikantus tipe ini dan 2 tipe lainnya yakni tipe suprasiliaris dan palpebralis seringkali berkurang seiring dengan bertambahnya umur dan berkembangnya tulang wajah sehingga menunjukkan prognosis yang baik. Epikantus inversus sering menjadi salah satu gejala pada Blepharophimosis Syndrome atau pada Down’s Syndrome. Tipe epikantus ini tidak seperti tipe lainnya yang membaik secara spontan seiring perkembangan wajah, sehingga memerlukan tindakan operasi meskipun kadang terdapat scar setelah operasi (Sa et al, 2012) Epikantus khususnya yang menyertai Blepharophimosis Syndrome diturunkan secara sporadik atau autosomal dominan, sehingga sebaiknya pasien disarankan untuk menjalani konseling sebelum atau saat usia produktif (Nerad et al., 2008).
18
Ringkasan Epikantus merupakan suatu lipatan vertikal dari kelopak mata atas atau bawah menuju bagian kantus medial. Terdapat empat jenis epikantus yakni epikantus palpebralis, tarsalis, inversus, dan supersiliaris. Epikantus tipe tarsalis merupakan suatu variasi normal pada orang Asia, sama halnya dengan epikantus palpebralis dan supersiliaris, biasanya akan menghilang seiring dengan bertambahnya usia dan perkembangan wajah. Epikantus tipe inversus merupakan tipe yang menjadi salah satu gejala pada kelainan kongenital seperti pada Blepharophimosis Syndrome dan Down’s Syndrome. Blepharophimosis Syndrome diturunkan secara sporadik atau autosomal dominan. Epikantus pada ras Asia, hanya diperlukan observasi sampai pasien mencapai usia pubertas atau perkembangan wajah telah cukup. Beberapa teknik operasi epicanthoplasty untuk memperbaiki epikantus telah banyak dilakukan dengan tujuan fungsional terkait lapangan pandang dan kosmetik seperti Z-plasty, Y-V-plasty, Mustarde’s double “Z” plasty.
19
Daftar Pustaka
American Academy of Ophthalmology Staff. 2011-2012.. Classification and Management of Eyelid Disorders. In: Orbit, Eyelids, and Lacrimal System. Basic and clinical science course. Section 2. San Fransisco: AAO, p.145-51, 181-86 American Academy of Ophthalmology Staff. 2011-2012.. Facial and Eyelid Anatomy. In: Orbit, Eyelids, and Lacrimal System. Basic and clinical science course. Section 2. San Fransisco: AAO, p.131-41 American Academy of Ophthalmology Staff. 2011-2012. Ocular development. In: Fundamental and principles of ophthalmology. Basic and clinical science course. Section 2. San Fransisco: AAO, p.117-40 American Academy Of Ophthalmology 2010-2011b. Orbit, Eyelids, and Lacrimal System. United State of America: American Academy of Ophthalmology. p.139-147, 154-6 Baere ED. 2009. Blepharophimosis, Ptosis, and Epicanthus Inversus. Seattle: University of Washington, p.1-18 Bedrossian EH. 2006. Embryology and Anatomy of the Eyelid. In: Duane’s Ophthalmology. Lippincott Williams & Wilkins, Vol: 1, Chapter: 5 Bianca S. 2002. Non Congenital Heart Disease Aspects of Down’s Syndrome. Genetik Medica Dipartemento di Pediatria. Itali: Universita di Catania; 4(4), p. 3-11 Biswas A. 2009. Congenital Anomalies. Colour Atlas of Oculoplastic & Orbital Disorders. New Delhi: Jaypee Brothers Medical Publishers (P) LTD, p.4253 Chen W, Li S, Li Y, Wang Y. 2008. Medial Epicanthoplasty using the Palpebral Margin Incision Method. Journal of Plastic, Reconstructive & Aesthetic Surgery;62, p.1621-26 Fagien S. 2008. Eyelid Anatomy. In: Putterman’s Cosmetic Oculoplastic Surgery, p.24 Garg & Rosen A, Rosen E. 2009. Instant Clinical Diagnosis in Ophthalmology Oculoplasty & Reconstructive Surgery. USA: McGraw-Hill Companies, p. 1-44 Gonzalez AM, Elahi M, Barakat K, Yavuzer R, Brinkmann B, Jackson IT. 2005. Hypertelorism : The Importance of Three Dimensional Imaging and Trends
20
in the Surgical Correction by Facial Bipartition. Rochester: American Society of Plastic Surgeon, p.1537-46 Harijo Wahjudi, M. Ferdian, Imama Qosida. 2007. Jurnal Oftalmologi Indonesia Vol 5 No 2. Hal 156-159 Jack J. 2007. Developmental Malformation and Anomalies. Kanski Clinical Ophthalmology. 6th ed, p.60 Lai CS, Lai CH, Wu YC, Chang KP, Lee SS, Lin SD. 2012. Medial Epicanthoplasty based on Anatomic Variations. Journal of Plastic, Reconstructive and Aesthetic Surgery;65, p. 1182-87 Lee HS, Lew H, Yun YS. 2006. Ultrasonographic Measurement of Upper Eyelid Thickness in Korean Children with Epicanthus. Korea:Korean Journal Ophthalmology, Vol:20, No:2, p. 79-81 Liu L, Li S, Fan J, Gan C, Tian J, Jiao H, Feng S. 2012. Inverted ‘V-Y’ Advancement Medial Epicanthoplasty. Beijing: Journal of Plastic, Reconstructive & Aesthetic Surgery:65, p. 43-47 Nerad JA, Carter KD, Alford MA. 2008. Disorders of the Eyelid: Congenital. In: Rapid Diagnosis in Ophthalmology, Oculoplastic and Reconstructive Surgery. Philadelphia: Mosby Elsevier, p.68-128 Nesi FA, Lisman RD, Levine MR. 1988. Congenital Soft Tissue Deformities. Opthalmic Plastic and Reconstructive Surgery. 2nd ed, p. 987 Park JI. 2000. Modified Z-Epicanthoplasty in the Asian Eyelid. American Medical Association: Arch Facial Plastic Surgery, Vol:2, p. 43-47 Riordan-Eva P, Whitcher JP. 2011. Anatomy & Embryology of The Eye. In: Vaughan and Asbury’s General Ophthalmology. 18th ed. Boston: McGrawHill, p. 1-26 Riordan-Eva P, Whitcher JP. 2011. Lids & Lacrimal Apparatus. In: Vaughan and Asbury’s General Ophthalmology. 18th ed. Boston: McGraw-Hill, p.67-82 Sa HS, Lee JH, Woo KI, Kim YD. 2012. A New Method of Medial Epicanthoplasty for Patients with Blepharophimosis-Ptosis-Epicanthus Inversus Syndrome. American Academy of Ophthalmology, Vol: 119, No: 11, p. 2402-7 Stewart WB. 1995. Surgery of The Eyelid, Orbit, and Lacrimal System. American Academy of Ophthalmology, Vol: 3, p.112 Sullivan JH, Beard C. 2007. Surgery of The Eyelid, Orbit and Lacrimal System. American Academy of Opthalmology, Vol: 3, Chapter: 6, p. 84-91
View more...
Comments