saddu Dzari'ah

March 6, 2021 | Author: Anonymous | Category: N/A
Share Embed Donate


Short Description

Download saddu Dzari'ah...

Description

1

BAB I Pendahuluan A. Latar Belakang Seperti yang kita ketahui, sumber hukum Islam adalah Al-Quran dan Sunnah Rasulullah. Keduanya juga disebut dalil—dalil pokok hukum Islam karena merupakan petunjuk (dalil) utama hukum Allah. Ada pula dalil yang lain seperti qiyas, istihsan, istishab, dll, namun dalil tersebut hanya sebagai dalil pendukung yang merupakan alat bantu untuk sampai pada hukum-hukum yang dikandung Al-Quran dan sunnah, sehingga disebut pula sebagai metode ijtihad. Salah satu metode ijtihad yaitu Saddu Adz-Dzariah. Saddu adz-Dzariah merupakan pembahasan seputar zari‟ah (perantara) untuk mencapai pada suatu tujuan yang mendatangkan mudharat, karena setiap perbuatan yang secara sadar dilakukan manusia pasti mempunyai tujuan yang jelas. Sebelum sampai pada pelaksanaan perbuatan yang dituju ada serentetan perbuatan yang mendahuluinya. Makalah

ini

akan

membahas

tentang

Saddu

adz-dzariah,

pengelompokannya, beberapa pandangan ulama, serta aplikasinya dalam ekonomi Islam. B. Rumusan Masalah 1. Apakah yang dimaksud dengan sadd Adz-Dzari‟ah? 2. Bagaimana pengelompokkan dzari‟ah? 3. Bagaimana pandangan ulama tentang sadd adz-dzariah? 4. Bagaimana aplikasi sadd adz-dzariah dalam ekonomi Islam? C. Tujuan 1. Mengetahui definisi sadd adz-dzari‟ah 2. Mengetahui pengelompokkan dzari‟ah 3. Mengetahui pandangan ulama tentang saad adz-dzariah 4. Mengetahui aplikasi sadd adz-dzariah dalam ekonomi Islam

2

BAB II Pembahasan A. Definisi Dzari’ah dan Sadd adz-Dzariah 1. Dzari‟ah Secara etimologi (lughawi) al-dzari‟ah berarti:

‫الوسيلة اليت يتوصل هبا إىل الشيء سواء كان حسيا أو معنويا‬ “Jalan yang membawa kepada sesuatu, secara hissi atau ma‟nawi, baik atau buruk”. Ada juga yang mengkhususkan pengertian dzari‟ah dengan “ sesuatu yang membawa kepada yang dilarang dan mengandung kemudharatan.” Akan tetapi Ibn Qayyim al-Jauziyah mengatakan bahwa pembatasan pengertian dzari‟ah kepada sesuatu yang dilarang saja tidak tepat, karena ada juga dzariah yang bertujuan kepada yang dianjurkan. 1 Badran dan Zuhaili membedakan antara muqaddimah wajib dengan dzari‟ah. Perbedaannya terletak pada ketergantungan perbuatan pokok yang dituju kepada wasilah atau perantara. Pada dzari‟ah, hukum perbuatan pokok tidak tergantung pada perantara. Misalnya zina adalah perbuatan pokok dan khalwat adalah perantara. Maka terjadinya zina tidak tergantung pada terjadinya khlawat. Sedangkan pada muqaddimah hukum perbuatan pokok tergantung pada perantara, misalnya wudhu yang menjadi perantara shalat. Perbedaan kedua, dilihat dari segi bentuk perbuatan pokok yang ada di balik perantara itu. Bila perbuatan pokok yang dituju adalah perbuatan yang diperintahkan, maka wasilahnya disebut muqaddimah, sedangkan bila perbuatan pokok yang dituju adalah perbuatan yang dilarang, maka wasilahnya disebut dzari‟ah.2

1

Nasroen Haroen, Ushul Fiqh 1, Logos Wacana Ilmu, Jakarta: 1997, hal. 160

2

Amir Sayrifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, Logos Wacana Ilmu, Jakarta: 2001, hal. 400

3

2. Saddu adz—Dzari‟ah Kata sadd menurut bahasa berarti “menutup”, dan kata adz-zari’ah berarti wasilah atau “jalan ke suatu tujuan”. Dengan demikian, sadd adzdzari’ah secara bahasa berarti “menutup jalan kepada suatu tujuan”.3 Sedangkan menurut istilah, Imam al-Syathibi mendefinisikan dzari‟ah dengan:

‫التوسل مبا هو مصلحة إىل مفسدة‬ “melakukan suatu pekerjaan yang semula mengandung kemashlahatan untuk menuju kepada suatu kemafsadatan”4 Sedangkan al-Syaukani memberi definisi dzari‟ah dengan :

‫املسألة اليت ظاهرها اإلباحة ويتوصل هبا إىل فعل احملظور‬ “masalah (sesuatu) yang dilihat secara lahir adalah mubah (boleh), tetapi membawa kepada perbuatan yang terlarang”. Maksudnya, seseorang yang melakukan suatu pekerjaan yang pada dasarnya dibolehkan karena mengandung suatu kemaslahatan, tetapi tujuan yang akan ia capai berakhir pada suatu kemafsadatan.5 B. Pengelompokan Dzari’ah Ada dua pembagian dzari‟ah yang dikemukakakn para ulama Ushul Fiqh. Dzari‟ah dilihat dari dampak (akibat) yang ditimbulkannya dan dari segi tingkat kerusakan yang ditimbulkan.

3

Satria Effendi, M. Zain, Ushul Fiqh, Prenada Media, Jakarta: 2005, hal.172

4

Nasroen Haroen, Ushul......Op.Cit, hal. 161

5

Nasrun Rusli, Konsep Ijtihad Al-syaukani: Relevansinya bagi Pembaruan Hukum Islam di Indonesia, PT Logos Wacana Ilmu, Jakarta: 1999, hal. 142

4

1. Dengan melihat dari dampak yang ditimbulkannya, Ibn Qoyyim membagi dzari‟ah menjadi empat, yaitu: a. Perbuatan itu membawa kepada suatu kemafsadatan, seperti meminum minuman keras yang mengakibatkan mabuk, dan mabuk merupakan suatu kemafsadatan. b. Perbuatan yang pada dasarnya perbuatan yang dibolehkan atau dianjurkan, tetapi dijadikan jalan untuk melakukan suatu perbuatan yang haram, baik dengan tujuan yang disengaja atau tidak. Perbuatan yang mengandung tujuan yang disengaja misalnya seseorang yang menikahi seorang wanita yang ditalak tiga suaminya dengan tujuan agar suami pertamanya itu bisa menikahinya kembali (nikah at-tahlil). Perbuatan yang dilakukan tanpa tujuan semula adalah mencaci sesembahan orang musyrik yang diduga keras akan menyebabkan munculnya cacian yang sama terhadap Allah Swt.6 Dzari‟ah macam ini dibagi lagi menjadi dua: 1. Perbuatan yang dibolehkan, tidak ditujukan untuk kerusakan namun biasanya sampai juga pada kerusakan, dan kerusakan tersebut lebih besar daripada maslahahnya. Contohnya adalah berhiasnya seorang wanita yang baru kematian suaminya dalam masa iddah. 2. Perbuatan yang dibolehkan namun terkadang membawa pada kerusakan,

sedangkan

kerusakannya

lebih

kecil

dari

maslahahnya. Contohnya melihat wajah perempuan yang akan dipinang.7 2. Dari segi tingkat kerusakan yang ditimbulkan, Abu Ishak al-Syathibi membagi dzari‟ah kepada empat macam: a. Dzari‟ah yang membawa kepada kemafsadatan secara pasti (qath‟i). Artinya, bila perbuatan itu tidak dihindarkan pasti akan 6

Nasroen Haroen, Ushul......Op.Cit, hal. 166

7

Amir Syarifuddin, Ushul.....Op. Cit, hal.402

5

terjadi kerusakan. Misalnya menggali lubang didepan pintu rumah orang lain di malam hari, sehingga orang yang keluar dari rumah tersebut

pasti

diperbolehkan,

akan

jatuh.

namun

Walaupun

penggalian

penggalian

semacam

ini

lubang akan

mendatangkan kerusakan8 b. Dzariah yang membawa kepada kerusakan menurut biasanya, dengan arti kalau dzari‟ah itu dilakukan, maka kemungkinan besar akan timbul kerusakan atau akan dilakukannya perbuatan yang dilarang. Contohnya menjual senjata api kepada penjahat dan menjual anggur kepada produsen minuman keras.9. c. Dzari‟ah yang boleh dilakukan, karena jarang membawa kepada kemafsadatan misalnya menggali lubang di kebun sendiri yang jarang dilalui orang. Perbuatan seperti ini tetap pada hukum asalnya, yaitu mubah, karena yang dilarang itu apabila diduga keras perbuatan tersebut membawa kerusakan. d. Dzari‟ah yang pada dasarnya dibolehkan karena mengandung kemaslahatan, tetapi memungkinkan juga perbuatan itu membawa kepada kemafsadatan. Misalnya bay‟u al- „ajal (jual beli kredit). Jual beli seperti itu cenderung berimplikasi pada riba.10 C. Pandangan Ulama tentang Sadd adz-Dzariah Tidak semua ulama sepakat dengan sadd adz-dzariah sebagai metode dalam menetapkan hukum. Secara umum berbagai pandangan ulama tersebut bisa diklasifikasikan dalam tiga kelompok, yaitu 1) yang menerima sepenuhnya; 2) yang tidak menerima sepenuhnya; 3) yang menolak sepenuhnya. 1. Kelompok pertama, yang menerima sepenuhnya sebagai metode dalam menetapkan hukum. Jumhur ulama yang pada dasarnya 8

_______, Ensiklopedi Hukum Islam, Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta:1996, Hal. 2006

9

Amir Syarifuddin, Ushul.....Op. Cit, hal. 403

10

Nasroen Haroen, Ushul.....Op.Cit, hal.163

6

menempatkan

faktor

manfaat

dan

mudarat

sebagai

bahan

pertimbangan dalam menetapkan hukum, juga menerima metode sadd adz-dzari‟ah, meskipun berbeda dalam kadar penerimaannya. 11 Ulama yang menyatakan bahwa sadd adz-dzariah dapat menjadi dalil dalam menetapkan hukum syara‟ diantaranya adalah para ulama Malikiyah dan Hanabilah. Para ulama di kalangan Mazhab Maliki

bahkan

mengembangkan

metode

ini

dalam

berbagai

pembahasan fikih dan ushul fikih mereka sehingga bisa diterapkan lebih luas. Hal itu disebabkan banyaknya ayat-ayat Al-Quran yang mengisyaratkan hal tersebut. Contohnya dalam surat AL-An‟am: 08              “dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan.”12 Sebenarnya mencaci dan menghina penyembah selain Allah dibolehkan, bahkan jika perlu memeranginya. Namun karena perbuatan mencaci dan menghina akan menyebabkan orang tersebut mencaci Allah maka perbuatan tersebut dilarang. Contoh lain adalah surat an-Nur: 31     







  “dan janganlah mereka memukulkan kakinyua agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan.”13 Menghentakkan kaki bagi perempuan adalah hal yang dibolehkan, namun karena menyebabkan perhiasan yang tersembunyi 11

Amir Syarifuddin, Ushul.....Op. Cit, hal. 404

12

Q.S. Al-An‟am: 8

13

Q.S. An-Nuur: 31

7

dapat diketahui orang sehingga akan menimbulkan rangsangan bagi yang mendengar, maka menghentakkan kaki menjadi dilarang. Sedangkan menurut sunnah, dalam sebuah kasus Rasulullah saw melarang pembagian harta warisan kepada anak yang membunuh ayahnya (H.R Bukhari dan Muslim), untuk menghambat terjadinya pembunuhan orang tua oleh anak-anak yang ingin mendapatkan harta warisan. 14 Contoh lain adalah haramnya berkhlawat bagi seorang wanita dan pria yang buakn mahramnya serta larangan bagi wanita untuk melakukan

perjalanan tanpa didampingi mahramnya (HR

Bukhari dan Muslaim), larangan menikahi wanita sekaligus dengan bibinya karena hal ini akan membuat putusnya hubungan kekerabatan antara wanita-wanita tersebit (HR. Ahmad bin Hanbal, Muslim, dan Abu dawud)15 Dari beberapa contoh di atas terlihat adanya larangan bagi perbuatan yang dapat menyebabkan sesuatu yang terlarang, meskipun semula pada dasarnya perbuatan itu boleh hukumnya. Ditempatkannya adz-dzari‟ah sebagai dalil dalam menetapkan hukum meskipun diperselisihkan penggunaannya, mengandung arti bahwa meskipun syara‟ tidak menetapkan secara jelas mengenai hukum suatu perbuatan, namun karena perbuatan itu ditetapkan sebagai wasilah bagi suatu perbuatan yang dilarang secara jelas, maka hal ini menjadi petunjuk atau dalil bahwa hukum wasilah itu adalah sebagaimana hukum yang ditetapkan syara‟ terhadap perbuatan pokok.16 2. Kelompok kedua, yang tidak menerima sepenuhnya sebagai metode dalam menetapkan hukum, adalah mazhab Hanafi dan mazhab Syafi‟i. Dengan kata lain, kelompok ini menolak sadd adz-dzari’ah sebagai metode istinbath pada kasus tertentu. Akan tetapi Wahbah Zuhaili menyebutkan bahwa Abu Hanifah dan al-Syafi‟i dalam kondisi— 14

Nasroen Haroen, Ushul.....Op.cit, hal. 167-168

15

_______, Ensiklopedi.....Op.Cit, pg. 2006

16

Amir Syarifuddin, Ushul....Op.Cit, hal. 400

8

kondisi tertentu juga menggunakan sadd adz-dzariah. 17 Contoh kasus Imam Syafii menggunakan sadd adz-dzariah, adalah ketika beliau melarang seseorang mencegah mengalirnya air ke perkebunan atau sawah. Hal ini menurut beliau akan menjadi sarana (dzari’ah) kepada tindakan mencegah memperoleh sesuatu yang dihalalkan oleh Allah dan juga dzariah kepada tindakan mengharamkan sesuatu yang dihalalkan oleh Allah. Padahal air adalah rahmat dari Allah yang boleh diakses oleh siapapun. Contoh kasus penggunaan sadd adz-dzari’ah oleh mazhab Hanafi adalah tentang wanita yang masih dalam iddah karena ditinggal mati suami. Si wanita dilarang untuk berhias, menggunakan wewangian, celak mata, pacar, dan pakaian yang mencolok. Dengan berhias, wanita itu akan menarik lelaki. Padahal ia dalam keadaan tidak boleh dinikahi. Karena itulah, pelarangan itu merupakan sadd adz-dzari’ah agar tidak terjadi perbuatan yang diharamkan, yaitu pernikahan perempuan dalam keadaan iddah.18 Sedangkan

kasus

paling

menonjol

yang

menunjukkan

penolakan kelompok ini terhadap metode sadd adz-dzari’ah adalah transaksi-transaksi jual beli berjangka atau kredit (buyu’ al-ajal). 3. Kelompok ketiga, yang menolak sepenuhnya sebagai metode dalam menetapkan hukum, adalah mazhab Zahiri. Hal ini sesuai dengan prinsip mereka yang hanya menetapkan hukum berdasarkan makna tekstual (zahir al-lafzh). Oleh sebab itu mereka menolak sadd adzdzari‟ah dengan berbagai alasan berikut: a. Dasar pemikiran sadd adz-dzari‟ah itu adalah ijtihad dengan berpatokan kepada pertimbangan kemaslahatan, sedangkan ulama

17

Wahbah Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami, Jilid 2, Daar al-Fikr, Beirut: 1986, hal. 888-

889 18

Abd al-Ghani al-Ghanimi ad-Dimasyqi al-Hanafi, Al-Lubab Fi Syarh Al-Kitab, , juz 1, Dar al-Ma‟rifah, Beirut: 1997, hal. 465.

9

zhahiriyah menolak secara mutlak ijtihad dengan ra’yu (nalar) seperti ini. b. Hukum syara‟ hanya menyangkut apa-apa yang ditetapkan Allah dalam Al-Quran atau sunnah dan Ijma‟ ulama. Adapun yang ditetapkan di luar ketiga sumber tersebut bukanlah hukum syara‟. Dalam hubungannya dengan sadd adz-dzari‟ah dalam bentuk kehati-hatian yang ditetapkan hukumnya dengan nash atau ijma‟ hanyalah hukum pokok atau mawashid, sedangkan hukum pada wasilah atau dzari‟ah tidak pernah ditetapkan oleh nash atau ijma‟.19 D. Beberapa Aplikasi Sadd adz-Dzari’ah dalam Ekonomi Islam 1. Bay’u al-‘inah a. Definisi Bay‟u al-„Inah ‘Inah secara bahasa artinya adalah pinjaman. Menurut terminologi ilmu fiqih artinya: jual beli manipulatif untuk digunakan alasan peminjaman uang yang dibayar lebih adri jumlahnya. Yakni dengan cara menjual barang dengan pembayaran tertunda, lalu membelinya kembali secara kontan dengan harga lebih murah.20 Jual beli „inah adalah pinjaman ribawi yang direkayasa denga n praktik jual beli. Perlu diketahui bahwa ternyata jual beli inah ini, menurut selain madzhab Malikiyah disebut-sebut dengan jual beli „ajal, yaitu yang mengandung siasat menjurus kepada riba, yaitu seseorang menjual barang dengan pembayaran bertempo. Kemudian membelinya lagi pada saat itu juga, Jual beli ini disebut„inah karena si pemilik barang bukan menginginkan menjual barang, tetapi yang diinginkannya adalah „ain (uang). Atau karena si penjual kembali memiliki „ain (benda) yang dia jual

pg.125

19

Amir Syarifuddin, Ushul....Op.Cit, hal. 406

20

Abdullah al-Mushlih, dkk, Fikih Ekonomi Keuangan Islam, Darul Haq, Jakarta: 2004,

10

pada waktu itu juga. Sedangkan menurut Malikiyah jual beli ajal adalah jual beli yang diadakan oleh pembeli dari apa yang telah dia beli kepada penjual atau wakilnya dengan pembayaran bertempo.21 Gambarannya adalah sebagai berikut: misalnya, Salwa menjual mobilnya seharga 125.000.000 kepada Najwa secara tempo dengan jangka waktu pembayaran 3 bulan mendatang. Sebelum waktu pembayaran tiba, Salwa membelinya kembali dari Najwa dengan harga 100.000.000 secara kontan. Najwa menerima uang cash tersebut, tapi ia tetap harus membayar 125.000.000 kepada Salwa untuk jangka waktu 3 bulan mendatang. Selisih 25.000.000 dengan adanya perbedaan waktu merupakan tembahan ribawi yang diharamkan.22 b. Hukum jual beli „Inah Para ulama sepakat bahwa jual beli „inah ini diharamkan bila terjadi melalui kesepakatan dan persetujuan bersama dalam perjanjian pertama untuk memasukkan perjanjian kedua kedalamnya. Namun para ulama berbeda pendapat bila tidak terjadi kesepakatan sebelumnya.23 Menurut Malikiyah, akad jual beli ini batil jika ditemukan indikasi niatan yang tidak baik (dosa). Dengan alasan, untuk mencegah terjerumus dalam kerusakan. Syafi‟iyah dan zahhiriyah menyatakan keabsahan bai‟ ajal karena rukunnya telah lengkap, adapun niatan yang kurang baik, hal itu dikembalikan kepada Allah Swt. Menurut Abu Hanifah, secara dzahir akad jual beli ini sah, dengan catatan terdapat seorang muhalil (pihak

21

http://sevensweet.wordpress.com/2011/12/01/jual-beli-shahih-dan-bathil/

22

Wahbah Zuhaili, Ushul......Op.Cit, hal. 467-480

23

Abdullah al-Mushlih, dkk, Fikih Ekonomi .....Op.Cit, hal. 125

11

ketiga yang melakukan pembelian hp dari pembeli pertama, kemudian ia menjualnya kepada penjual pertama).24 Ulama malikiyah dan hanabilah dalam menilai perbuatan seseorang berpegang kepada tujuan dan akibat hukum dari perbuatan itu, sedangkan Hanafiyyah dan Syafi‟iyah berpegang kepada bentuk akad dan perbuatan yang dilakukan. Perbedaan pendapat ini disebabkan perbedaan pandangan tentang niat dan lafal dalam masalah transaksi (akad). Ulama Hanafiyyah dan Syafi‟iyah mengetakan bahwa dalam suatu urusan transaksi yang dilihat dan diukur adalah akadnya, bukan niat dari orang yang melakukan akad. Apabila akad yang disepakati dua orang telah memenuhi rukun dan syarat, maka akad itu sah. Adapun masalah niat yang tersembunyi dalam akad, diserahkan sepenuhnya kepada Allah swt. 25 Kesimpulan : jumhur ulama selain Syafi‟iyah menghukumi jual beli inah fasid, karena menjurus pada riba, dan seakan-akan membolehkan apa yang Allah ta‟ala larang, maka tidak dishahihkan, dengan kata lain suaatu alasan yang mendorong kepada kejelekan itulah yang merusak akad.26 2. Kartu Kredit Bagi Orang Yang Belum Layak Credit card/ kartu kredit adalah jenis kartu yang dapat digunakan sebagai alat transaksi jual beli barang atau jasa, dimana pelunasan atau pembayarannya kembali dapat dilaukan sekaligus atau dengan cara mencicil sejumlah minimum tertentu. Jumlah cicilan tersebut dihitung dari nilai saldo tagihan ditambah bunga bulanan. Tagihan pada bulan laluu termasuk bunga (retail interest) merupakan pokok pinjaman pada bulan

24

Dimyauddin Djuwaini, Pengantar Fiqh Mualamah, Pustaka Pelajar, Yogyakarta: 2008,

hal. 92-93 25

Nasroen Haroen, Ushul....Op.Cit, hal. 170

26

http://sevensweet.wordpress.com/2011/12/01/jual-beli-shahih-dan-bathil/

12

berikutnya. 27 Sedangkan akad yang digunakan pada kartu kredit syariah adalah akad kafalah dan ijarah.28 Dewasa ini penggunaan kartu kredit telah umum di hampir semua kalangan masyarakat karena kemudahan dan keefisienannya dalam melakukan transaksi. Namun, kartu kredit juga memiliki beberapa kerugian bagi pemegangnya. Biasanya nasabah agak boros dalam berbelanja, hal ini karena nasabah merasa tidak mengeluarkan uang tunai untuk belanja sehingga hal-hal yang tidak perlu dibeli juga. 29 hal ini tentu saja bertentangan dengan syariat Islam yang melarang untuk berfoya-foya (mubadzir). Dalam prosesnya, pihak yang mengeluarkan kartu kredit ini menetapkan beberapa bentuk denda finansial karena keterlambatannya penutupan

hutang,

karena

penundaan,

atau

karena

tersendatnya

pembayaran dana yang ditarik dari melalui kartu. Jika ia adalah orang miskin yang kesulitan mengembalikan hutangnya, maka pihak yang mengeluarkan kartu tersebut akan membatalkan keanggotaannya, menarik kartu kreditnya, kemudian mengadukan persoalannya ke pengadilan, lalu melimpahkan kepadanya semua biaya kemelut tersebut. Atau bisa juga dengan mem-black list orang tersebut.30 Selain itu jika nasabah ternyata belum layak dan belum mampu membayar tagihan kartu kredit. Maka pihak bank sebaiknya melakukan penelitian langsung untuk melihat kredibilitas dan kapabilitas nasabah tersebut.

27

Dimyauddin Djuwaini, Pengantar Fiqh .....Op.Cit, hal. 280

28

Lihat At-Takyif asy-Syar‟i li Bithaqah al-I‟timan, Nawaf Batubara, hal. 143-146

29

Kasmir, Bank dan lembaga Keuangan Lainnya, PT Rajagrafindo Persada, Jakarta: 2008, hal. 346 30

Abdullah Al-Mushlih, Fikih Keuangan....Op.Cit, hal. 315

13

BAB III Penutup A. Kesimpulan Di antara metode penetapan hukum yang dikembangkan para ulama adalah sadd adz-dzari’ah. Metode sadd adz-dzari’ah merupakan upaya preventif agar tidak terjadi sesuatu yang menimbulkan dampak negatif. Dzari‟ah adalah washilah (jalan) yang menyampaikan kepada tujuan, baik yang halal ataupun yang haram. Maka jalan/ cara yang menyampaikan kepada yang haram hukumnya pun haram, Para ulama telah sepakat tentang adanya hukum pendahuluan, walaupun sebagian tidak sepakat dalam menerimanya sebagai Dzari‟ah. Ulama hanafiyah dan hanabilah dapat menerima sebagai fath Az-Dzari‟ah, sedangkan ulama Syafi‟iyah,

Hanafiyyah

dan

sebagian

Malikiyyah

menyebutnya

sebagai

Muqaddimah, tidak termasuk sebagai kaidah dzari‟ah. Namun mereka sepakat bahwa hal itu bisa dijadikan sebagai hujjah. Walaupun Golongan Zhahiriyyah tidak mengakui kehujjahan sadduz dzari‟ah sebagai salah satu dalil dalam menetapkan hukum syara‟. B. Penutup Sadd adz-dzari’ah adalah suatu perangkat hukum dalam Islam yang sangat bagus jika diterapkan dengan baik, sesuai dengan rambu-rambu syara’, Metode ini bisa menjadi perangkat yang betul-betul bisa digunakan untuk menciptakan kemaslahatan umat dan menghindarkan kerusakan umat. Karena memang salah satu tujuan hukum Islam adalah untuk mewujudkan kemaslahatan dan menghindari kerusakan (mafsadah). Jika suatu perbuatan yang belum dilakukan diduga keras akan menimbulkan kerusakan (mafsadah), maka dilaranglah hal-hal yang mengarahkan kepada perbuatan tersebut. Metode hukum inilah yang kemudian dikenal dengan sadd adz-dzari’ah.

14

DAFTAR PUSTAKA Abd al-Ghani al-Ghanimi ad-Dimasyqi al-Hanafi, Al-Lubab Fi Syarh Al-Kitab, , juz 1, Dar al-Ma‟rifah, Beirut: 1997 Abdullah al-Mushlih, dkk, Fikih Ekonomi Keuangan Islam, Darul Haq, Jakarta: 2004 Amir Sayrifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, Logos Wacana Ilmu, Jakarta: 2001 Dimyauddin Djuwaini, Pengantar Fiqh Mualamah, Pustaka Pelajar, Yogyakarta: 2008 Kasmir, Bank dan lembaga Keuangan Lainnya, PT Rajagrafindo Persada, Jakarta: 2008 Nasroen Haroen, Ushul Fiqh 1, Logos Wacana Ilmu, Jakarta: 1997 Nasrun Rusli, Konsep Ijtihad Al-syaukani: Relevansinya bagi Pembaruan Hukum Islam di Indonesia, PT Logos Wacana Ilmu, Jakarta: 1999 Satria Effendi, M. Zain, Ushul Fiqh, Prenada Media, Jakarta: 2005 Wahbah Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami, Jilid 2, Daar al-Fikr, Beirut: 1986 _______, Ensiklopedi Hukum Islam, Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta:1996 http://sevensweet.wordpress.com/2011/12/01/jual-beli-shahih-dan-bathil/

View more...

Comments

Copyright ©2017 KUPDF Inc.
SUPPORT KUPDF