Ringkasan Ilmu Penyakit Dalam

March 18, 2017 | Author: RinaMulyaSari | Category: N/A
Share Embed Donate


Short Description

Ringkasan materi Ilmu Penyakit Dalam sesuai dengan kompetensi dokter umum. Referensi ringkasan diperoleh dari Buku Ajar ...

Description

INTERNA

DAFTAR ISI 1.

DIABETES MELLITUS TIPE 1.............................................................

1

2.

HIPOGLIKEMIA RINGAN.....................................................................

8

3.

DEFISIENSI VITAMIN...........................................................................

9

4.

DISLIPIDEMIA.......................................................................................

14

5.

OBESITAS.............................................................................................

20

6.

LIMFADENITIS TUBERKULOSIS........................................................

24

7.

MALARIA..............................................................................................

27

8.

REAKSI ANAFILAKSIS........................................................................

31

9.

TUBERKULOSIS PARU.......................................................................

35

10. GASTROENTERITIS.............................................................................

45

11. DEMAM TIFOID.....................................................................................

48

12. ALERGI MAKANAN..............................................................................

56

13. PENYAKIT CACING TAMBANG..........................................................

60

14. ASKARIASIS.........................................................................................

62

15. TAENIASIS............................................................................................

64

16. DISENTRI BASILER.............................................................................

67

17. PIELONEFRITIS....................................................................................

68

18. BRONKHITIS AKUT.............................................................................

69

19. DIABETES MELLITUS (DM) TIPE 2....................................................

73

20. HIPERTENSI.........................................................................................

81

21. HIPERURISEMIA DAN GOUT ARTHRITIS.........................................

92

22. ANEMIA DEFISIENSI BESI..................................................................

96

23. PENYAKIT REFLUKS GASTRO-ESOFAGEAL (GERD)....................

98

24. GASTRITIS............................................................................................

99

25. LEPTOSPIROSIS.................................................................................. 101 26. KERACUNAN MAKANAN.................................................................... 104 27. HEPATITIS VIRUS AKUT..................................................................... 105 28. INFEKSI SALURAN KEMIH (ISK)........................................................ 112 29. ASMA BRONKIAL................................................................................ 115

i

30. PNEUMONIA......................................................................................... 124 31. DEMAM BERDARAH DENGUE........................................................... 137 32. PERTUSSIS........................................................................................... 140

ii

Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

1. DIABETES MELLITUS TIPE 1 GEJALA KLINIS Awal: -

Polifagi

-

Polidipsi

-

Poliuri

-

Berat badan naik (Fase Kompensasi)  turun

-

Mual-muntah  Ketoasidosis Diabetik.

Kronis: -

Lemah badan

-

Semutan

-

Kaku otot

-

Penurunan kemampuan seksual

-

Gangguan penglihatan, dan lain-lain.

LANGKAH DIAGNOSTIK Keluhan Klinis Diabetes

Keluhan Klasik Diabetes (+) GDP

≥ 126 ≥ 200

ata u GDS

Keluhan Klasik Diabetes (-) GDP

< 126 < 200

ata u GDS

≥ 126 ≥ 200

110-125

< 100

140-199

< 140

Ulang GDS atau GDP GDP ata u GDS

≥ 126 ≥ 200

TTGO GD 2 Jam

< 126 < 200 >200

DIABETES MELLITUS

Evaluasi Status Gizi Evaluasi Penyulit Dini Evaluasi dan Perencanaan Makan Sesuai Kebutuhan

140199 TGT

< 140 GDP T

Normal

Nasihat Umum Perencanaan Makan 3 Latihan Jasmani Berat idaman Belum Perlu Obat Penurun Glukosa

Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

Pemeriksaan penyaring perlu dilakukan pada kelompok tersebut di bawah ini (Comitee Report ADA-2006): 1. Kelompok usia dewasa tua (> 45 tahun) 2. Obesitas BB (kg) > 110% BB ideal atau IMT > 25 (kg/m 2) 3. Tekanan darah tinggi (> 140/90 mmHg) 4. Riwayat DM dalam garis keturunan 5. Riwayat kehamilan dengan: BB lahir bayi > 4000 gram atau abortus berulang 6. Riwayat DM pada kehamilan 7. Dislipidemia (HDL < 35 mg/dl dan atau Trigliserida > 250 mg/dl) 8. Pernah TGT (Toleransi Glukosa Terganggu) atau Glukosa Darah Puasa Terganggu (GDPT). Pelaksanaan tes toleransi glukosa oral (TTGO) untuk diagnosis DM adalah sebagai berikut: 1. Tiga hari sebelumnya makan karbohidrat cukup 2. Kegiatan jasmani seperti yang biasa dilakukan 3. Puasa semalam, selama 10-12 jam 4. Periksa glukosa darah puasa 5. Diberikan glukosa 75 gram, dilarutkan dalam air 250 ml, dan diminum dalam waktu 5 menit 6. Diperiksa glukosa darah 2 (dua) jam sesudah beban glukosa 7. Selama pemeriksaan, pasien yang diperiksa tetap boleh minum air putih, namun harus istirahat dan tidak merokok 8. Untuk tujuan penelitian atau diagnosis DMG (Diabetes Mellitus Gestasional), dilakukan pemeriksaan glukosa darah pada 0, 1, 2, & 3 jam sebelum dan sesudah minum beban glukosa 75 gram tersebut. Uji Laboratorium Darah Orang normal: Glukosa Darah Puasa (GDP) < 100 mg/dl, 2j pp < 140 mg/dl. GDP antara 100 dan 126 mg/dl disebut Gglukosa Darah Puasa Terganggu (GDPT) atau Impaired Fasting Glucose (IFG). Untuk penderita DM: disebut

4

Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

“normal” atau regulasi baik (ADA 2005) bila glukosa darah sebelum makan: 90130 mg/dl dan puncak glukosa darah sesudah makan < 180 mg/dl. Urine Pada orang normal, reduksi urine: negatif. Pemantauan reduksi urine biasanya 3x sehari dan dilakukan kurang lebih 30 menit sebelum makan. Atau 4x sehari, yaitu 1x sebelum makan pagi, dan yang 3x dilakukan setiap 2 jam sesudah makan. Pemeriksaan reduksi 3x sebelum makan lebih lazim dan lebih hemat. Kriteria Diagnosis DM (Konsensus PERKENI 2002) Dinyatakan DM apabila terdapat: 1. Kadar glukosa darah sewaktu (plasma vena) ≥ 200 mg/dl, plus gejala klasik: poliuria, polidipsia dan penurunan berat badan yang tidak jelas sebabnya atau 2. Kadar glukosa darah puasa (plasma vena) ≥ 126 mg/dl, atau 3. Kadar glukosa plasma ≥ 200 mg/dl pada 2 jam sesudah makan atau beban glukosa 75 gram pada TTGO. Cara diagnosis dengan kriteria ini tidak dipakai rutin di klinik. Untuk penelitian epidemiologi pada penduduk dianjurkan memakai kriteria diagnosis kadar glukosa darah puasa. Untuk DM Gestasional juga dianjurkan kriteria diagnosis yang sama. TATALAKSANA I.

INSULIN

Macam-macam insulin: 1. Insulin Konvensional, mengandung komponen a, b, dan c, misalnya: IR = Insulin Reguler (Novo dan Organon), NPH (Novo), PZI (Novo dan Organon) dan ada juga campuran IR:PZI = 30:70. Bentuk ini lebih imunogenik dan alergik, sebetulnya yang mempunyai efek biologis adalah komponen c saja. 2. Insulin Monokomponen = Insulin MC (Insulin Mono-Component = Highly Purified Insulin) = hanya mengandung komponen c (insulin murni),

5

Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

misalnya Actrapid (short action, identik dengan insulin reguler), semuanya dari Novo Industries. Ada juga Insulated (identik dengan NPH) dan Mixtard (campuran short dan long acting insulin dengan perbandingan 30:70), keduanya dari Novo Industries. Sediaan dari ketiganya beredar dalam bentuk Novolet @ 300 unit. Tetapi juga ada dari Eli Lilly dengan preparat yang sejenis seperti tersebut di bawah ini. Produksi dari Eli Lilly, ada 3 macam: a. Humulin-R, identik dengan Actrapid/Insulin Reguler b. Humulin-N, identik dengan Insulatard/NPH Humulin 30/70 identik dengan Mixtard. IR = Insulin Reguler = short action NPH = Neutral Protein Hagedorn = intermediate action PZI = Protamine Zinc Insulin = long action Insulin MC mempunyai efek alergik dan imunologis yang minimal bila dibandingkan dengan insulin konvensional. 3. Insulin manusia = Human Insulin (HM = Human Monocomponent). Insulin ini kebanyakan dibuat dari E. coli (recombinant DNA). Insulin ini disebut juga BHI (biosynthetis human insulin) dan mempunyai susunan kimiawi sama dengan insulin manusia. Dikatakan, insulin HM ini mempunyai efek alergik dan imunologis yang minimal dibandingkan dengan kedua insulin tersebut di atas. 4. Insulin Analogues: ada 2 macam:: a. Rapid-Acting Insulin Analogues: Lis Pro (R/Humalog), Glulisin (R/Apidra), Aspar (R/Aspart). b. Long-Acting Peakless Insulin Analogues: Insulin Glargine (R/Lantus), Insulin Detemir. Preparat insulin: Insulin dipasaran mengandung komponen a, komponen b, dan komponen c. Komponen a dan b mengandung proinsulin dan bermacam impurities = “kotoran” (tidak mempunyai efek biologis), sedangkan komponen c mengandung insulin murni = Sanger Insulin, yang mempunyai efek biologis.

6

Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

Komponen c inilah yang memiliki efek biologis pada metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein. Half-life (waktu paruh) insulin hanya berkisar 7-10 menit. Half life insulin intravena: 7 menit, subkutan 2 jam, dan intramuskular 4 jam. “nasib Insulin”: 50% bekerja di hepar, 50% ke sirkulasi umum (10-20% bekerja pada ginjal; 3040% pada sel darah, otot, dan jaringan adiposa). Apabila terdapat kelainan pada target organ tersebut, akan tibul gangguan efisiensi insulin dan dangguan metabolisme karbohidrat. Degradasi insulin: 60-80% di hepar, 10-20% di ginjal, dan 10-20% di otot dan jaringan adiposa. Karena itu, kadar insulin akan meningkat pada sirosis hepatis dan gagal ginjal. Semuanya ini insulin dalam vial. Sekarang ada Insulin Penfill HM U-100: yaitu insulin untuk suntikan dengan Novo-Pen (seperti Ball-point). Misalnya produksi Novo dan Lily: Actrapid Penfill HM-100 (short acting), Insulated Penfill HM 100 (intremediate), Mixtard Penfill HM 100 (campuran short:long = 30:70). Perhatikan: 1. Cara pemberian insulin i.v., i.m., s.c. harus diketahui indikasi, manfaat, dan efek sampingnya. 2. Insulin harus disimpan di tempat dingin antara 2-8 oC, atau setaranya. Bila di atas 30oC akan rusak, dan di atas 50oC akan bergumpal. Insulin harus dihindarkan dari cahaya karena dapat menurunkan efek biologisnya. Indikasi Terapi Insulin: Indikasi mutlak penggunaan insulin adalah DMT1; namun demikian pda keadaan tertentu meskipun bukan DMT1 sering pula terapi insulin diberikan dengan tujuan agar tubuh memiliki jumlah insulin efektif pada saat yang tepat. Beberapa Cara Pemberian Insulin Regulasi cepat intravena (RCI) 1. Jangan memberikan cairan yang mengandung karbohidrat apabila kadar glukosa masih di atas 250 mg/dl. Pasanglah infus Ringer Laktat atau NaCl 0,9% dengan kecepatan 15-20tetes/menit (bila bukan ketoasidosis = KAD); apabila KAD, maka tetesan harus cepat.

7

Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

2. Berikan Insulin Reguler Intravena 4 (empat) unit tiap jam sampai kadar glukosa darah sekitar 200 mg/dl atau reduksi urin positif lemah. 3. Cara RCI: dengan dosis insulin reguler 4 unit/jam intravena, dapat menurunkan glukosa darah sekitar 50-75 mg/dl setiap jamnya. Contoh: Pada glukosa darah 450 mg/dl, berikan insulin reguler intravena 4 unit/jam sampai 3 kali (Rumus Minus-Satu), maka akan memperoleh glukosa darah sekitar 200 mg/dl. Angka 3 kali diperoleh dari: 4 dikurangi satu (Rumus Minus-Satu). Angka 4 berasal dari 450 mg/dl. 4. Apabila kadar glukosa tersebut sudah tercapai, maka insulin reguler dapat diteruskan secara subkutan dengan interval 8 jam dengan dosis 3x8 U (Rumus Kali-Dua). Angka 8 berasal dari 4x2 (Rumus Kali-Dua). Sedangkan angka 4 berasal dari 450 mg/dl. 5. Glukosa 450 mg/dl juga dapat mengikuti rumus 1, 2, 3, 4, 5 untuk Regulasinya, dan dapat menggunakan Rumus 4, 6, 8, 10, 12 untuk maintenance subkutannya. Regulasi Cepat Subkutan (RCS) Apakah cara RCI atau RCS yang dipilih, sesuaikanlah dengan kondisi, situasi, dan fasilitas setempat. Tergantung kadar glukosa acak awal yang diperoleh, maka berikan insulin subkutan dengan dosis awal ekstra, kemudian maintenance insulin 3x sehari dengan pedoman dosis. Indikasi RCI dan RCS pada umumnya adalah untuk kasus-kasus yang memerlukan kadar glukosa darah harus segera diturunkan, bahkan pada DM kasus biasa (non darurat) yang dirawat inap, misalnya penderita dengan DMsepsis pro operasai (gangren, kolesistitis, batu ginjal, dan lain-lain), DM dengan GPDO (Stroke-CVA), DM pro amputasi, DM dan Infark Miokard Akut, semua DM rawat inap dengan glukosa darah > 250 mg/dl (agar NPE dapat dimulai), dan lain-lain.

8

Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

2. HIPOGLIKEMIA RINGAN KRITERIA DIAGNOSIS Klinik: riwayat DM sebelumnya, timbul gangguan saraf berupa gelisah sampai berat berupa koma dengan kejang. Laboratorium: kadar gula darah < 50 mg/dl Trias Whipple, yaitu adanya kadar gula darah yang rendah, timbul gejala-gejala, hilangnya gejala dengan peningkatan kadar glukosa ke level normal. GEJALA •

Parasimpatis

: lapar, mual



Simpatis

: keringat dingin, berdebar-debar



Gangguan otak ringan

: lemah, sulit menghitung



Gangguan otak berat

: koma, dengan/tanpa kejang

TERAPI •

Gula murni 30 g (2 sendok makan), sirup, atau makanan yang mengandung karbohidrat



Koma  Glukosa 40% IV sebanyak 20-50 cc, setiap 10-20 menit sampai pasien sadar, disertai infus dextrose 10% 6 jam/kolf



Bila belum teratasi, dapat diberikan antagonis insulin (adrenalin, kortison, atau glukagon)

9

Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

3. DEFISIENSI VITAMIN DEFISIENSI VITAMIN A Satuan Yang Digunakan 1,0 g Retinol Ekivalen (RE)

= 1,0 µg retinol = 6,0 µg beta-karoten = 12,0 µg karotenoid lain = 3,3 SI(Satuan Internasional) retinol = 9,9 SI beta-karoten

KEBUTUHAN VITAMIN A Pemenuhan kebutuhan vitamin A sangat penting untuk pemeliharaan kelangsungan hidup secara normal. Kebutuhan tubuh akan vitamin A untuk orang Indonesia telah dibahas dan ditetapkan dalam Widyakarya Nasional pangan dan Gizi (2007) dengan mempertimbangkan faktor-faktor khas dari kesehatan tubuh orang Indonesia. Daftar Kecukupan Vitamin A Golongan Umur Bayi

0 – 6 bulan 7 – 12 bulan

Kebutuhan Vitamin A (RE) 350 350

Balita

1 – 3 tahun 4 – 6 tahun 7 – 9 tahun

350 460 400

Pria

10 – 12 tahun 13 – 15 tahun 16 – 19 tahun 20 – 45 tahun 46 – 59 tahun >60 tahun

500 600 700 700 700 600

Wanita

10 – 12 tahun 13 – 15 tahun 16 – 19 tahun

500 500 500

10

Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

20 – 45 tahun 46 – 59 tahun >60 tahun Hamil

500 500 500 + 200

Menyusui

0 – 6 bulan 7 – 12 bulan

+ 350 + 300

PENCEGAHAN DAN PENGOBATAN Pencegahan dan pengobatan di kutip berdasarkan keterangan dari brosur suplementasi vitamin A kapsul yang terdiri dari : a. Kapsul vitamin A berwarna biru (100.000 IU) Tiap kapsul mengandung vitamin A palmitat 1,7 juta IU 64.7059 mg (setara dengan vitamin A 100.000 IU) dengan dosis: 1) Pencegahan bayi umur 6 bulan – 11 bulan : 1 kapsul 2) Bayi dengan tanda klinis xerofthalmia : - Saat ditemukan segera beri 1 kapsul - Hari berikutnya 1 kapsul - 4 minggu berikutnya 1 kapsul 3) Bayi dengan campak, pneumonia, diare, gizi buruk dan infeksi lainnya diberi 1 kapsul. b. Kapsul vitamin A berwarna merah (200.000 IU) tiap kapsul vitamin A mengandung palmitat 1,7 juta IU 129.5298 mg (setara dengan vitamin A 200.000 IU) dengan dosis : 1) Pencegahan bayi umur 1 tahun – 3 tahun : 1 kapsul 2) Bayi dengan tanda klinis xerofthalmia : - Saat ditemukan segera beri 1 kapsul - Hari berikutnya 1 kapsul - 4 minggu berikutnya 1 kapsul 3) Bayi dengan campak, pneumonia, diare, gizi buruk dan infeksi dan infeksi lainnya diberi 1 kapsul.

11

Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

JADWAL PEMBERIAN DOSIS VITAMIN Anak-anak yang mengalami gizi kurang mempunyai resiko yang tinggi untuk mengalami kebutaan sehubungan dengan defisiensi vitamin A, karena alasan ini vitamin A dosis tinggi harus diberikan secara rutin untuk semua anak yang mengalami gizi kurang pada hari pertama, kecuali bila dosis yang sama telah diberikan pada bulan yang lalu. Dosis tersebut adalah sebagai berikut: 50.000 IU untuk bayi berusia < 6 bulan, 100.000 IU untuk bayi berumur 6 - 12 bulan , dan 200.000 IU untuk anak berusia > 12 bulan. Jika terdapat tanda klinis dari defisiensi vitamin A (seperti rabun senja, xerosis konjungtiva dengan bitot’s spot, xerosis kornea atau ulceration, atau ketomalasia), maka dosis yang tinggi harus diberikan untuk dua hari pertama, diikuti dosis ketiga sekurangkurangnya 2 minggu kemudian. DEFISIENSI VITAMIN K Tabel dibawah mengambarkan perdarahan defisiensi vitamin K pada anak. Tabel : Perdarahan akibat defisiensi vitamin K pada anak VKDB dini

VKDB klasik

VKDB lambat

Secondary PC

(APCD) Umur

< 24 jam

1-7 hari (terbanyak 3- 2 minggu-6 bulan 5 hari)

Penyebab & Obat yang

deficien cy Segala usia

(terutama 2-8

minggu) - Pemberian makanan - Intake Vit K

- obstruksi bilier

Faktor

diminum selama terlambat

inadekuat

-penyakit hati

resiko

kehamilan

- Intake Vit K

- Kadar vit K rendah -malabsorbsi

inadekuat

pada ASI

-intake kurang

- Kadar vit K rendah

- Tidak dapat

(nutrisi

pada ASI

profilaksis vit K

parenteral)

- Tidak dapat

12

Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

Frekuensi

< 5% pada

profilaksis vit K 0,01-1%

4-10 per 100.000

kelompok resiko (tergantung pola

kelahiran (terutama di

Lokasi

tinggi Sefalhematom,

makan bayi) GIT, umbilikus,

Asia Tenggara) Intrakranial (30-60%),

perdarahan

umbilikus,

hidung, tempat

kulit, hidung, GIT,

intrakranial,

suntikan, bekas

tempat suntikan,

intraabdominal, sirkumsisi, intrakranial umbilikus, UGT, GIT, intratorakal intratorakal Pencegahan -penghentian / -Vit K profilaksis (oral /Vit K profilaksis (im) penggantian obat im)

- asupan vit K yang

penyebab

adekuat

- asupan vit K yang adekuat

Sebagai Penatalaksanaan, pencegahan yang disarankan berupa pemberian vitamin K Profilaksis: • Vitamin K1 pada bayi baru lahir 1 mg im (dosis tunggal) atau per oral 3

kali atau 2 mg pada waktu bayi baru lahir, umur 3-7 hari dan umur 1-2 tahun • Ibu hamil yang mendapat pengobatan antikonvulsan mendapat profilaksis

vitamin K1 5 mg/hari selama trimester ketiga atau 10 mg im pada 24 jam sebelum melahirkan. Selanjutnya bayinya diberi vitamin K1 1 mg im dan diulang 24 jam kemudian PENGOBATAN • Vitamin K1 dosis 1-2 mg/hari selama 1-3 hari • Fresh frozen plasma (FFP) dosis 10-15 ml/kg

13

Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

4. DISLIPIDEMIA Klasifikasi kadar lipid plasma menurut National Cholesterol Education Program (NCEP) Adult Treatment Panel (ATP) III Kolesterol Total  < 200

Yang diinginkan

 200-239

Batas tinggi

 ≥ 240 Kolesterol LDL

Tinggi

 < 100

Optimal

 100-129

Di atas optimal

 130-159

Batas tinggi

 160-189

Tinggi Sangat tinggi

 ≥ 190 Kolesterol HDL  < 40

Rendah

 > 60 Trigliserida

Tinggi

 < 150

Normal

 150-199

Batas tinggi

 200-499

Tinggi Sangat tinggi

 ≥ 500 PEMERIKSAAN LABORATORIUM Pemeriksaan

laboratorium

berperan

penting

untuk

menegakkan

diagnosis dislipidemia. Untuk itu diperlukan prosedur cara pemeriksaan dan cara pelaporan yang baku di semua pusat penelitian, agar data yang diperoleh dapat dibandingkan dan dianalisis. Parameter yang diperiksa adalah: kadar koltotal, kol-LDL, kol-HDL, dan TG. 1. Persiapan Beberapa hal yang perlu diperhatikan:

14

Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

 Pengukuran kadar lipid paling baik dilakukan pada waktu subyek dalam keadaan sehat dan metabolik stabil. Tidak ada perubahan berat badan, pola makan, kebiasaan merokok, olahraga, minum kopi/alkohol dalam 2 minggu terakhir sebelum diperiksa, dan tidak sakit berat atau operasi besar dalam 2 bulan terakhir.  Penderita dengan demam, sebaiknya pemeriksaan lipid dilakukan 2 minggu setelah bebas demam.  Penderita infark miokard akut, kadar kolesterol akan menurun 24 jam – 3 blan pascainfark, oleh karena itu contoh darah dalam 24 jam pertama masih memberikan gambaran kolesterol yang sebenarnya.  Beberapa kepustakaan menganjurkan 2 kali pemeriksaan (antara 1-8 minggu) untuk mendapatkan gambaran kadar yang sebenarnya sebelum dimulai dengan pengobatan.  Tidak mendapat obat yang mempengaruhi kadar lipid dalam 2 minggu terakhir. Bila hal tersebut memungkinkan, pemeriksaan tetap dilakukan tetapi dengan disertai catatan. 2. Pengambilan Bahan Pemeriksaan  Untuk pemeriksaan TG dibutuhkan puasa 12 jam (semalam)  Pemeriksaan kol-LDL pada saat ini dapat diperiksa secara direk, sehingga untuk pemeriksaan kol-LDL, kol-total, dan kol-HDL tidak perlu

puasa.

Mengingat

sebagian

besar

laboratorium

masih

menggunakan rumus Friedewald untuk menghitung kadar kol-LDL dengan sendirinya pemeriksaan lipid tetap harus berpuasa.  Sebelum sampel diambil, subyek duduk selama 5 menit.  Sampel diambil dengan melakukan bendungan vena seminimal mungkin.  Bahan yang diambil adalah serum. a. Analisis

15

Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

 Analisis dilakukan di laboratorium yang telah mengikuti program pemantapan mutu.  Analisis kol-total dan TG dilakukan dengan metode enzimatik.  Kol-HDL dan kol-LDL diperiksa dengan metode presipitasi dan enzimatik.  Kadar kol-LDL sebaiknya diukur secara langsung atau dapat juga dihitung menggunakan rumus Friedewald kalau kadar TG < 400 mg/dl, sebagai berikut: Kadar kol. LDL = kol. total – kol. HDL – 1/5 TG

PENGELOLAAN DISLIPIDEMIA Upaya Non-Farmakologis Perubahan gaya hidup a. Merokok sigaret: harus segera dihentikan b. Menurunkan berat-badan: dengan latihan jasmani dan pengaturan makan c. Pembatasan

asupan

alkohol:

terutama

pada

penderita

hipertrigliseridemia. Pengaturan makan a. Kurangi asupan lemak total, lemak jenuh, dan kolesterol b. Tingkatkan proporsi lemak MUFA dan PUFA (Mono dan Poly Unsaturated Fatty Acid) Untuk menurunkan kadar trigliserid perlu ditambahkan pengurangan total kalori, asupan karbohidrat dan alkohol. Evaluasi hasil perubahan gaya hidup dilakukan setiap 3 bulan untuk mengevaluasi hasil yang telah dicapai. Derajat penurunan kadar kol-LDL yang dicapai dengan diet bergantung pada pola makan sebelum dimulainya diet, tingkat kepatuhan, dan respons biologis secara umum, pasien dengan kadar kolesterol yang tinggi mengalami penurunan kadar kol-LDL yang besar dibanding yang kadar awalnya rendah.

16

Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

Perlu diingatkan bahwa tempe adalah sumber protein nabati yang baik dan murah serta dapat menurunkan kadar kol-total, TG, dan juga menaikkan kadar kol-HDL. Latihan jasmani 1. Pemanasan dengan peregangan selama 5-10 menit 2. Aerobik sampai denyut jantung sasaran, yaitu 70-85% dari denyut jantung maksimal (220-umur), selama 20-30 menit 3. Pendinginan dengan menurunkan intensitas secara perlahan-lahan, selama 5-10 menit. Frekuensi latihan direkomendasikan 3-4 kali seminggu selama 30-40 menit setiap kalinya. Jenis latihan yang dipilih sebaiknya berkesinambungan (continuous),

berirama

(rhytmical),

interval,

progresif,

dan

bersifat

meningkatkan daya tahan (endurance). Pada pasein dengan faktor risiko ringan, kurang olahraga, dan usia lanjut, latihan jasmani berbentuk jalan kaki cepat cukup efektif untuk memperbaiki dislipidemia. Upaya Farmakologis Obat Statin Resin Fibrat Asam nikotinat

Kol-LDL ↓ 18-55% ↓ 15-30% ↓ 5-25% ↓ 5-25%

Kol-HDL ↑ 5-15% ↑ 3-5% ↑ 10-20% ↑ 15-35%

TG ↓ 7-30% -/↑ ↓ 20-50% ↓ 20-50%

Pilihan obat penurun lipid sesuai dengan jenis dislipidemia Dislipidemia Hiperkolesterolemia Dislipidemia campuran Hipertrigliseridemia Isolated low-HDL-cholesterol

Obat terpilih Statin atau Resin atau kombinasi Statin atau kombinasi dengan fibrat Fibrat Fibrat

Obat hipolipidemik, Dosis, dan Efek Sampingnya Obat Resin

Dosis

Efek Samping

Kolestiramin

4-16 gram/hari

Konstipasi,

gangguan

17

Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

Kolestipol

5-20 gram/hari

absorpsi obat lain

Gol. Asam Nikotinat Asam nikotinat

Immediate release 1,5-3 Flushing, g/hari Extended

hiperurikemia, release

1-2 hepatotoksik, gangguan

g/hari Sustained

hiperglikemia,

saluran cerna release

1-2

g/hari Golongan Statin Fluvastatin

20-80 mg malam hari

Miopati,

peningkatan

Lovastatin

5-40 mg malam hari

SGOT/SGPT

Pravastatin

5-40 mg malam hari

Simvastatin

5-40 mg malam hari

Atorvastatin

10-80 mg 1 x/hari

Rosuvastatin

10-40 mg 1 x/hari

Golongan Asam Fibrat Bezafibrat

200 mg, 3x/hari atau

Dispepsia, batu empedu,

400 mg, 1x/hari ((retard)

miopati

Fenofibrat

160 mg supra 1x/hari

Kontraindikasi:

Gemfibrozil

600 mg, 2x/hari

gangguan

900 mg, 1x/hari

hati/ginjal yang berat

10 mg, 1x/hari

Dispepsia,

Cholesterol

fungsi

Absorption

Inhibitor Ezotimibe

sakit

kepala/punggung

18

Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

5. OBESITAS Wilayah Asia Pasifik pada saat ini telah mengusulkan kriteria dan klasifikasi obesitas sendiri.

Klasifikasi

IMT (kg/m2)

Risiko Ko-Morbiditas Lingkar Perut < 90 cm (Laki-laki) ≥ 90 cm (Laki-laki) <

Berat

Badan < 18,5

Kurang

80

cm ≥

80

(Perempuan) (Perempuan) Rendah (risiko Sedang meningkat

pada

masalah klinis lain) Sedang

Meningkat

23,0-24,9

Meningkat

Moderat

Berisiko

25,0-29,9

Moderat

Berat

Obes I

≥ 30,0

Berat

Sangat berat

Kisaran Normal 18,5-22,9 Berat Badan ≥ 23,0 Lebih

cm

Obes II TATALAKSANA Terapi penurunan berat badan yang sukses meliputi empat pilar, yaitu diet randah kalori, aktivitas fisik, perubahan perilaku dan obat-obatan/bedah. Tujuan Penurunan Berat Badan Penurunan berat badan harus SMART: Spesific, Measurable, Achieable, Realistic, and Time limited. Tujuan awal dari terapi penurunan berat badan adalah untuk mengurangi berat badan sebesar sekitar 10% dari berat awal. Batas waktu yang masuk akal untuk penurunan berat badan sebesar 10% adalah 6 bulan terapi. Untuk pasien overweight dengan rentang BMI sebesar 27 sampai 35, penurunan kalori sebesar 300 hingga 500 kkal/hari akan menyebabkan penurunan berat badan sebesar ½ sampai 1 kg/minggu dan penurunan sebesar 10 persen dalam 6 bulan.

19

Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

Setelah 6 bulan, kecepatan penurunan berat badan lazimnya akan melambat dan berat badan menetap karena seiring dengan berat badan yang berkurang terjadi penurunan energi ekspenditure. Oleh karena itu, setelah tercapai penurunan berat badan selama 6 bulan, suatu program penurunan berat badan harus dilakukan. Jika dibutuhkan penurunan berat badan lebih banyak, dapat dilakukan penyesuaian lebih lanjut terhadap anjuran diet dan aktivitas fisik. Untuk pasien yang tidak mampu untuk mencapai penurunan berat badan yang signifikan, pencegahan kenaikan berat badan lebih lanjut merupakan tujuan yang paling penting. Pasien seperti ini tetap diikutsertakan dalam program manajemen berat badan. Strategi Penurunan dan Pemeliharaan Berat Badan Terapi Diet Sebelum menganjurkan defisit kalori sebesar 500 hingga 1000 kkal/hari sebaiknya diukur kebutuhan energi basal pasien terlebih dahulu. Pengukuran kebutuhan energi basal dapat menggunakan rumus dari Harris-Benedict: Laki-laki: B.E.E = 66,5 + (13,75 x kg) + (5,003 x cm) – (6,775 x age) Wanita: B.E.E = 655,1 + (9,563 x kg) + (1,850 x cm) – (4,676 x age) Kebutuhan kalori total sama dengan BEE dikali dengan jumlah faktor stres dan aktivitas. Faktor stres ditambah aktivitas berkisar dari 1,2 sampai lebih dari 2. Di samping pengurangan lemak jenuh, total lemak seharusnya kurang dan sama dengan 30 persen dari total kalori. Pengurangan persentase lemak dalam menu sehari-hari saja tidak dapat menyebabkan penurunan berat badan, kecuali total kalori juga berkurang. Ketika asupan lemak dikurangi, prioritas harus diberikan untuk mengurangi lemak jenuh. Hal tersebut bermaksud untuk menurunkan kadar kolesterol-LDL. Aktivitas Fisik

20

Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

Untuk pasien obese, terapi harus dimulai secara perlahan, dan intensitasnya sebaiknya ditingkatkan secara bertahap. Latihan dapat dilakukan seluruhnya pada satu saat atau secara bertahap sepanjang hari. Pasien dapat memulai aktivitas fisik dengan berjalan selama 30 menit dengan jangka waktu 3 kali seminggu dan dapat ditingkatkan intensitasnya selama 45 menit dengan jangka waktu 5 kali seminggu. Dengan regimen ini, pengeluaran energi tambahan sebanyak 100 sampai 200 kalori per hari dapat dicapai. Terapi Perilaku Strategi yang spesifik meliputi pengawasan mandiri terhadap kebiasaan makan dan aktivitas fisik, manajemen stres, stimulus control, pemecahan masalah, contigency management, cognitive restructuring dan dukungan sosial. Farmakoterapi Pada pasien dengan indikasi obesitas, sibutramine dan orlistat sangat berguna. Sibutramine ditambah diet rendah kalori dan aktivitas fisik terbukti efektif menurunkan berat badan dan mempertahankannya. Dengan pemberian sibutramine dapat muncul peningkatan tekanan darah dan denyut jantung. Sibutramine sebaiknya tidak diberikan pada pasien dengan riwayat hipertensi, penyakit jantung koroner, gagal jantung kongestif, aritmia, atau riwayat stroke. Orlistat menghambat absorpsi lemak sebanyak 30 persen. Dengan pemberian orlistat, dibutuhkan penggantian vitamin larut lemak karena terjadi malabsorpsi parsial. Semua pasien harus dipantau untuk efek samping yang timbul. Pengawasan secara berkelanjutan oleh dokter dibutuhkan untuk mengawasi tingkat efikasi dan keamanan. Terapi Bedah Terapi bedah merupakan salah satu pilihan untuk menurunkan berat badan. Terapi ini hanya diberikan kepada pasien obesitas berat secara klinis dengan BMI ≥ 40 atau ≥ 35 dengan kondisi komorbid. Terapi bedah ini harus dilakukan sebagai alternatif terakhir untuk pasein yang gagal dengan farmakoterapi dan menderita komplikasi obesitas yang ekstrem.

21

Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

Bedah gastrointestinal (restriksi gastrik [banding vertical gastric] atau bypass gastric (Roux-en Y) adalah suatu intervensi penurunan berat badan pada subyek yang bermotivasi dengan risiko operasi yang rendak. Suatu program yang terintegrasi harus dilakukan baik sebelum maupun sesudah untuk memberikan panduan diet, aktivitas fisik, dan perubahan perilaku serta dukungan sosial.

22

Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

6. LIMFADENITIS TUBERKULOSIS GAMBARAN KLINIS Pembesaran kelenjar getah bening yang lambat -

Unilateral atau bilateral

-

Tunggal maupun multipel

-

Tidak nyeri

-

Paling sering berlokasi di regio servikalis posterior dan yang lebih

jarang di regio supraklavikular -

Demam

-

Penurunan berat badan

-

Fatigue

-

Keringat malam

Limfadenopati tuberkulosis perifer dapat diklasifikasikan ke dalam lima stadium yaitu: a. Stadium 1, pembesaran kelenjar yang berbatas tegas, mobile dan diskret. b. Stadium 2, pembesaran kelenjar yang kenyal serta terfiksasi ke jaringan sekitar oleh karena adanya periadenitis. c. Stadium 3, perlunakan di bagian tengah kelenjar (central softening) akibat pembentukan abses. d. Stadium 4, pembentukan collar-stud abscess. e. Stadium 5, pembentukan traktus sinus.

23

Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

Gambaran klinis limfadenitis TB bergantung pada stadium penyakit. Kelenjar limfe yang terkena biasanya tidak nyeri kecuali: a. terjadi infeksi sekunder bakteri b. pembesaran kelenjar yang cepat atau c. koinsidensi dengan infeksi HIV. DIAGNOSIS Beberapa pemeriksaan yang dilakukan untuk menegakkan diagnosa limfadenitis TB : a. Pemeriksaan mikrobiologi -

Pemeriksaan mikroskopis  minimal 10.000 basil TB agar perwarnaan dapat positif.

-

Kultur  10-100 basil/mm3 cukup untuk membuat hasil kultur positif.

b. Tes Tuberkulin Positif apabila terbentuk indurasi lebih dari 10 mm, intermediat apabila indurasi 5-9 mm, negatif apabila indurasi kurang dari 4 mm. c. Pemeriksaan Sitologi Pada pemeriksaan sitologi akan terlihat Langhans giant cell, granuloma epiteloid, nekrosis kaseosa. d. Pemeriksaan Radiologis Foto toraks dapat menunjukkan kelainan yang konsisten dengan TB paru pada 14-20% kasus. Lesi TB pada foto toraks lebih sering terjadi pada anak-anak dibandingkan dewasa, yaitu sekitar 15% kasus. USG kelenjar dapat menunjukkan adanya lesi kistik multilokular singular atau multipel hipoekhoik yang dikelilingi oleh kapsul tebal. Pada pembesaran kelenjar yang disebabkan oleh infeksi TB biasanya ditandai dengan fusion tendency, peripheral halo, dan internal echoes. Pada CT scan, adanya massa nodus konglumerasi dengan lusensi sentral, adanya cincin irregular pada contrast enhancement serta nodularitas di dalamnya, derajat homogenitas yang bervariasi, adanya manifestasi inflamasi pada lapisan dermal dan subkutan mengarahkan

24

Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

pada limfadenitis TB. Pada MRI didapatkan adanya massa yang diskret, konglumerasi,

dan konfluens. Fokus nekrotik, jika ada, lebih sering

terjadi pada daerah perifer dibandingkan sentral, dan hal ini bersamasama dengan edema jaringan lunak membedakannya dengan kelenjar metastatik (Bayazit & Namiduru, 2004). PENATALAKSANAAN Pengobatan gejala harus dimulai segera seperti pemberian: a. Analgesik (penghilang rasa sakit) untuk mengontrol nyeri b. Antipiretik dapat diberikan untuk menurunkan demam c. Antibiotik untuk mengobati setiap infeksi sedang sampai berat d. Obat anti inflamasi untuk mengurangi peradangan e. Kompres dingin untuk mengurangi peradangan dan nyeri f. Operasi mungkin diperlukan untuk mengeringkan abses. Hindari pemberian aspirin pada anak karena dapat meningkatkan risiko sindrom Reye pada anak. Kegagalan untuk mengecil setelah 4-6 minggu dapat menjadi indikasi untuk dilaksanakan biopsy kelenjar getah bening. Biopsy dilakukan bila terdapat tanda dan gejala yang mengarahkan kepada keganasan, kelenjar getah bening yang menetap atau bertambah besar dengan pengobatan yang tepat, atau diagnosis belum dapat ditegakkan. Secara umum pengobatan Limfadenitis yaitu : a. Pengobatan dilakukan dengan tuberkulositik bila terjadi abses, perlu dilakukan aspirasi dan bila tidak berhasil, sebaiknya dilakukan insisi serta pengangkatan

dinding

abses

dan

kelenjar

getah

bening

yang

bersangkutan. b. Virus  sembuh sendiri. c. Bakteri  flucloxacillin dosis : 25 mg/kgBB 4 kali sehari. Bila ada reaksi alergi terhadap antibiotik golongan penicillin dapat diberikan cephalexin dengan dosis : 25 mg/kgBB (dosis maksimal 500

25

Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

mg) 3 kali sehari atau erythromycin 15 mg/kgBB (dosis maksimal : 500 mg) 3 kali sehari. d.

Mycobacterium tuberculosis maka diberikan obat anti

tuberculosis selama 9-12 bulan  2RHZE/10RH. 7. MALARIA GEJALA KLINIS Masa tunas P. Vivax dan falciparum antara 10-14 hari, P. Malariae antara 18 hari sampai 6 minggu. Pada masa prodromal gejala tidak khas: menggigil, demam, nyeri kepala, nyeri otot (terutama punggung), nafsu makan menurun, dan cepat lelah. Gejala khas: serangan berulang paroksismal dari rangkaian gejala menggigil – demam – berkeringat disusul dengan periode rekonvalesensi. Pada P. Vivax serangan demam terjadi tiap hari ketiga (malaria tertiana). P. Falciparum kurang dari 48 jam (malaria tropika/subtertiana) dan P. Malariae tiap 72 jam (malaria kuartana). Gejala-gejala lain: ikterus, anemia, hepatomegali, hipotensi postural, urobilinuria, dan kadang-kadang diare. DIAGNOSIS 1. Diagnosis per eksklusionum -

Anamnesis: o Penderita baru bepergian ke daerah endemis malaria. o Di Jawa Timur pun yang beberapa masa lalu dinyatakan bebas malaria muncul kembali sebagai reemerging disease. o Adanya rangkaian gejala: menggigil, demam tinggi, berkeringat banyak, disusul stasium sembuh, gejala tersebut bersifat serangan berulang (paroksismal). Air seni berwarna merah seperti teh, nyeri kepala dan otot (terutama otot punggung), nafsu makan menurun.

26

Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

- Fisik:

pucat,

anemia,

ikterus,

hipotensi

postural,

hepatomegali,

splenomegali. - Dengan pengobatan anti malaria penderita sembuh (pengobatan eksjuvan-tibus). 2. Diagnosis laboratorik -

Air seni berwarna merah seperti air teh karena mengandung urobilin; anemia hemolitik; pada sediaan darah tipis dan tebal nampak adanya parasit malaria dalam eritrosit (pengecatan Giemsa atau Wright).

-

P. vivax: pada hapusan darah tipis maupun tebal dapat dilihat eritrosit yang mengandung parasit membesar, terdapat titik Schoeffner dan sitoplasmanya berbentuk ameboid.

-

P. ovale: mirip P. vivax, hanya eritrosit yang mengandung parasit berbentuk oval.

-

P. malariae: pada sediaan tipis, nampak parasit berbentuk pita (band), skizon berbentuk bunga mawar dan trofozoid bulat kecil-kecil nampak kompak dengan tumpukan pigmen yang kadang-kadang menutupi sitoplasma/inti atau keduanya.

-

P. falciparum: pada sediaan darah tipis, nampak gametosit berbentuk pisang; terdapat bentuk maurer.

-

Pada sediaan tetes tebal, nampak banyak sekali bentuk cincin kecilkecil tanpa bentuk dewasa yang lain (stars in the sky); terdapat bentukan balon merah di sisi luar gametosit.

-

Pemeriksaan QBC (Semi Quantitative Buffy Coat)

-

Pemeriksaan imunoserologi, dengan metode RIA atau ELISA.

DIAGNOSIS BANDING Influenza, gastroenteritis, salmonellosis, dan leptospirosis. PENATALAKSANAAN Pengobatan serangan malaria akut (pengobatan radikal).

27

Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

I. Chloroquine: hari ke-1 dan ke-2 masing-masing dosis tunggal 600 mg (basa), hari ke-3 300 mg, ditambah primaquine dosis tunggal 15 mg/hari pada hari ke-1 s/d 3. II.

Malaria falsiparum yang kebal Chloroquine. a. Sulphadoxin-primethamine

dosis

tunggal

3

tablet,

ditambah

primaquine dosis tunggal 45 mg pada hari ke-1. b. Kina sulfat: 3 x 400 mg/hari selama 7 hari, dosis tunggal 45 mg pada hri ke-1. Kemudian dapat diikuti: Doxycycline 2 x 100 mg/hari selama 7 hari atau clindamycine 900 mg/hari selama 5 hari. III.

Malaria vivaks, ovale, dan malariae Chloroquine: hari ke-1 dan ke-2 masing-masing dosis tunggal 600 mg (basa) hari ke-3 300 mg, ditambah primaquine dosis tunggal 15 mg/hari pada hari ke-1 s/d ke-5

IV. Malaria

dengan

penyulit

(malaria

pernisiosa),

misalnya

malaria

serebralis: a. Kina dihidroklorida 600 mg dalam 500 ml dextrose 5% diberikan secara infus intravena selama 4 jam, dapat diulang tiap 8 jam. Atau kina hidroklorida 20 mg/kgBB dalam 500 ml dextrose 5% diberikan selama 4 jam diikuti 10 mg/kgBB diberikan dalam 2-4 jam dan dapat diulang setiap 8 jam (dosis maksimum 1800 mg/hari). b. Chloroquine sulfat 300 mg dalam 200 ml garam faali diberikan secara infus intravena selama 30 menit, dapat diulang tiap 8 jam. Bila penderita sudah sadar, secepatnya sisa obat diberikan peroral sesuai dengan pengobatan radikal. Pengelolaan malaria falsiparum berat: 1. Chloroquine atau kina, parenteral dengan dosis adekuat, seperti tersebut di atas. 2. Turunkan suhu badan apabila terjadi hiperpireksia dengan antipiretik dan kompres. 3. Rehidrasi (hati-hati terjadi over-hydration yang merupakan risiko edema paru)

28

Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

4. Antikonvulsan apabila terjadi kejang-kejang 5. Pertimbangkan dexamethasone pada malaria serebralis. 6. Obati gagal ginjal yang terjadi dengan dialisis peritoneal 7. Transfusi darah untuk penderita anemia berat 8. Cairan dan plasma expander apabila terjadi renjatan (algid malaria) 9. Pertimbangakan exchange transfusion pada penderita koma dengan parasitemia berat 10. Awasi kemungkinan terjadinya hipoglikemia, bila ada obati dengan infus dextrosa. Pengobatan supresif atau presumtif Diterapkan pada penderita semi-imun di daerah endemis malaria 1. Untuk malaria falsiparum kebal Chloroquine: Chloroquine dosis tunggal 600 mg satu kali. 2. Malaria falsiparum kebal Chloroquine: Chloroquine dosis tunggal 600 mg satu kali, ditambah primaquine dosis tunggal 45 mg satu kali. Pengelolaan alternatif lain untuk malaria falsiparum kebal Chloroquine 1. Amodiaquine: hari ke-1 600 mg, disambung 6 jam kemudian dengan 400 mg, hari ke-2 400 mg dan hari ke-3 400 mg. Dapat digabung dengan erythromycine 3 x 500 mg/hari selama 5 hari. 2. Kombinasi kina dengan tetracycline. Kina 3 x 400 mg selama 7 hari dikombinasi dengan tetracycline 3 x 500 mg selama 5 hari.

29

Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

8. REAKSI ANAFILAKSIS PENATALAKSANAAN Pengobatan terhadap anafilaksis seyogyanya mengikuti prinsip-prinsip resusitasi gawat darurat seperti tabel di bawah ini. •

Segera berikan suntikan Epinefrin 1:1000 0,3 ml intramuskular di daerah deltois paha lateral (vastus lateralis)



Hentikan obat-obat atau senyawa yang diduga sebagai pencetus anafilaksis (obat-obat intravena,antibiotik, media kontras radiografi, produk yang berasal dari darah, sengat serangga, dll)



Ukur tekanan darah dan nadi, pertimbangkan tindakan resusitasi kardiopulmoner



Bergantung pada derajat keparahan reaksi, respons terhadap pengobatan dan kondisi masing-masing penderita, berikan: Terapi oksigen melalui masker atau kanula hidung Infus cairan garam fisiologis intravena Diphenhydramine

50

mg

intramuskuler

atau

intravena

(secara

perlahan) Ranitidin 50 mg atau Cimetidine 300 mg intravena (bila diperlukan) Methylprednisolone 125 mg intravena atau Hydrocortisone 100-200 mg intravena •

Ulangi pemberian epinefrin tiap 15-20 menit bila diperlukan



Waspadai kemungkinan hipotensi dan kondisi yang memerlukan intubasi



Bila tekanan darah darah sistolik < 90 mmHg, lakukan: Pasang 2 jalur infus dengan diameter besar (18 G) Berikan cairan garam fisiologis tetasan cepat (diguyur) Dopamin 400 mg (2 ampul) dalam 500 ml Dextrose 5% tetesan cepat hingga tekanan darah sistolik > 90 mmHg lalu dititrasi secara perlahan Bila

tindakan

tersebut tidak efektif pertimbangkan

Norepinefrin

30

Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

(Levophed) 2 mg (1 ampul) dalam 250 ml Dextrose 5% titrasi secara perlahan setelah tekanan darah sistolik mencapai > 90 mmHg •

Bila terjadi bronkospasme, wheezing atau sesak nafas, berikan: Epinefrin seperti petunjuk di atas, bila tidak efektif pertimbangkan Salbutamol/Terbutalin secara nebulisasi atau inhalasi (2 semprotan) Oksigen hingga 100% menggunakan masker



Bila dijumpai stridor Epinefrin seperti petunjuk di atas Oksigen hingga 100% menggunakan masker Intubasi atau trakeostomi untuk mengatasi obstruksi saluran nafas atas Langkah yang cepat dan tepat sangat menentukan hasil akhir

pengobatan. Semakin lama pengobatan awal tertunfa, semakin besar angka kematian. Bebaskan jalan nafas dan pertahankan sirkulasi darah yang adekuat. Langkah pertama yang harus segera dilakukan adalah pemberian Epinefrin (adrenalin) dalam larutan 1:1000 secara intramuskular di daerah lengan sebelah luar (otot deltoid)atau paha sebalah luar (otot vastus lateralis) dengan dosis 0,3 ml (0,01 ml/kgBB). Dosis tersebut dapat diulang tiap 15-20 menit bila diperlukan. Penderita yang mendapat terapi penyekat β seringkali resisten terhadap epinefrin sehingga diperlukan dosis yang lebih tinggi. Bila anafilaksis disebabkan oleh sengatan binatang atau suntikan obat di daerah ekstremitas perlu diapsang torniket di sebelah proksimal sengatan atau suntikan. Torniket ini perlu dilepaskan selama 1-2 menit setiap 10 menit. Selanjutnya dilakukan pemeriksaan fisik secara tepat dan menyeluruh untuk menentukan organ sasaran yang terkena agar pengobatan yang sesuai dapat segera diberikan. Kortikosteroid tidak banyak membantu pada tatalaksana akut anafilaksis dan hanya digunakan pada reaksi yang sedang hingga berat untuk memperpendek episode anafilaksis atau mencegah anafilaksis berulang. Methylprednisolone 125 mg intravena dapat diberikan tiap 4-6 jam. •

Syok Tujuan penatalaksanaan syokadalah untuk mempertahankan sirkulasi darah dan pertukaran udara yang adekuat penderita dibaringkan dalam

31

Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

posisi Trendelenberg dengan tungkai yang dielevasi. Setelah pemberian Epinefrin 1:1000 intramuskular dengan dosis 0,3-0,5 ml (0,01 ml/kgBB) pada lengan atas (deltoid) atau paha lateral (vastus lateralis), selanjutnya segera dipasang 2 jalur infus dengan cairan larutan garam fisiologis tetesan cepat (guyur). Berikan sebanyak 1 L tiap 15-30 menit sementara tanda vital dn produksi urin dipantau. Kadang-kadang perlukan cairan sebanyak 5-7 L atau lebih dalam wkatu 12 jam. Bila perlu dapat dipasang kateter vena sentral untuk memantau kecukupan cairan. Obat vasopresor seperti dopamin dapat dipertimbangkan bila pemberian cairan tidak mengatasi syoknya. Penderita penyakit jantung memerlukan dosis Epinefrin yang lebih rendah (0,1-0,2 ml) yang dapat diulang tiap 10 menit. Efek pemberian Epinefrin ini meliputi relaksasi otot polos bronkus, peningkatan tonus otot polos vaskuler, dan mengurangi pelepasan mediator oleh sel mast. •

Obstruksi bronkus Epinefrin sangat efektif dan bekerja cepat untuk mengatasi bronkospasme. Bila gejala tidak teratasi dapat diberikan nebulisasi bronkodilator β adrenergik (Salbutamol atau Terbutalin sulfat). Methylprednisolone 125 mg dapat diberikan tiap 4-6 jam pada penderita dengan gejala yang berat atau yang tidak responsif terhadap Epinefrin. Oksigen dapat diberikan melalui kanula hidung atau masker bila PaCO2 < 55 mmHg. Bila PaCO2 > 65 mmHg penderita mengalami gagal nafas dan memerlukan intubasi serta bantuan nafas mekanis.



Edema laring Penderita dengan obstruksi laring menunjukkan gejala stridor. Pemasangan pipa endotrakeal mungkin mengalami kesulitan akibat edema laring. Pada kondisi demikian perlu segera dilakukan pungsi membrana krikotirois menggunakan jarum pendek no. 14G atau 16G. Bila prosedur trakeostomi dilakukan di luar rumah sakit, maka metode krikotirotomi lebih disukai. Bila dilakukan di rumah sakit maka metode bedah trakeostomi lebih disukai.



Urtikaria, Angioedema, dan Gejala Gastrointestinal

32

Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

Gejala-gejala init idak mengancam jiwa dan biasanya memberikan respons terhadap antihistamin. Jika gejala ringan cukup diberikan antihistamin oral. Bila gejala cukup berat dapat diberikan Diphenhydramine intramuskuler atau intravena dengan dosis 50 mg (1-2 mg/kgBB). Dapat pula diberikan Ranitidin 50 mg atau Cimetidin 300 mg intravena. Dosis antihistamin diulang tiap 6 jam selama 48 jam untuk mengurangi risiko kambuhnya gejala.

33

Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

9. TUBERKULOSIS PARU DEFINISI KASUS Kasus baru (new case): Penderita yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah menelan OAT atau sudah pernah menelan OAT kurang dari 1 bulan. Kambuh (relaps): Penderita TB yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan TB dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap. Kemudian kembali lagi berobat dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif (hapusan atau kultur). Gagal pengobatan (treatment after failure): Penderita yang memulai pengobatan kategori 2 setelah gagal dengan pengobatan yang sebelumnya. Yaitu penderita BTA positif yang masih tetap positif atau kembali menjadi positif pada akhir bulan ke-5 atau lebih. Atau penderita dengan BTA megatif menjadi positif pada akhir bulan ke-2. Pengobatan setelah default (treatment after default/drop out): Penderita yang kembali berobat, dengan hasil bakteriologi positif, setelah berhenti minum obat 2 bulan atau lebih. Pindahan (transfer in): Penderita yang sedang mendapat pengobatan di suatu kabupaten kemudian pindah ke kabupaten lain. Penderita ini harus membawa surat rujukan/pindah (form TB 09). Kasus kronik: Penderita dengan hasil BTA tetap positif setelah selesai pengobatan ulang dengan kategori 2. DIAGNOSIS Diagnosis

tuberkulosis

ditegakkan

berdasarkan

gejala

klinis,

pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium, radiologis dan penunjang yang lain.

34

Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

Gejala Respiratorik : batuk > 3 minggu, berdahak, batuk darah, nyeri dada, sesak napas. Sistemik

: demam, keringat malam, malaise, nafsu makan menurun, berat

badan turun. Penderita dengan gejala tersebut dianggap sebagai curiga TB dan harus diperiksakan dahaknya. Pemeriksaan dahak dilakukan 3 kali (sewaktu-pagisewaktu/SPS) dengan cara pengecatan. Pemeriksaan fisik Tanda fisik penderita TB tidak khas, tidak dapat membantu untuk membedakan TB dengan penyakit paru lain. Tanda fisik tergantung pada lokasi kelainan serta luasnya kelainan struktur paru. Dapat ditemukan tanda-tanda antara lain penarikan struktur sekitar, suara napas bronkial, amforik, ronki basah, pada efusi pleura didapatkan gerak napas tertinggal, keredupan dan suara mapas menurun sampai tidak terdengar. Bila terdapat limfadenitis tuberkulosa didapatkan pembesaran kelenjar linfe, sering di daerah leher, kadang disertai adanya skrofuloderma. Pemeriksaan laboratorium Pemeriksaan

bakteriologis

sangat

berperan

untuk

menegakkan

diagnosis. Spesimen dapat berupa dahak, cairan pleura, cairan serebrospinalis, bilasan

lambung,

bronchoalveolar

lavage,

urin,

dan

jaringan

biopsi.

Pemeriksaan dapat dilakukan secara mikroskopis dan biakan. Pemeriksaan dahak untuk menemukan basil tahan asam merupakan pemeriksaan yang harus dilakukan pada seseorang yang dicurigai menderita tuberkulosis atau suspek. Pemeriksaan dahak dilakukan 3 kali (sewaktu-pagisewaktu/SPS), dengan pewarnaan Ziehl-Nielsen atau Kinyoun Gabbet. Interpretasi pembacaan didasarkan skala IUATLD atau bronkhorst. Diagnosis TB paru ditegakkan dengan ditemukannya basil tahan asam pada pemeriksaan hapusan sputum secara mikroskopis. Hasil pemeriksaan dinyatakan positif bila sedikitnya 2 dari 3 spesimen dahak ditemikan BTA (+).

35

Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

Bila hanya 1 spesimen yang positif, perlu pemerikaan foto thoraks atau SPS ulang. Bila foto thoraks mendukung TB maka didiagnosis sebagai TB paru BTA (+). Bila foto thoraks tidak mendukung TB maka perlu dilakukan pemeriksaan SPS ulang. Bila SPS ulang hasilnya negatif berarti bukan penderita TB. Bila SPS-positif, berarti penderita TB BTA (+). Bila foto toraks mendukung TB tetapi pemeriksaan SPS negatif, maka diagnosis adalah TB paru BTA negatif rontgen positif. Foto toraks Pada kasus di mana pemeriksaan sputum SPS positif, foto toraks tidak diperlukan lagi. Pada beberapa kasus dengan hapusan positif perlu dilakukan foto toraks bila: •

Curiga adanya komplikasi (misal: efusi pleura, pneumotoraks)



Hemoptisis berulang atau berat



Didapatkan hanya 1 spesimen BTA (+)

Gambaran radiologis yang dicurigai lesi TB aktif: 1. Bayangan berawan/nodualr di segmen apical dan posterior lobus atas dan segmen superior lobus bawah paru. 2. Kaviti, terutama lebih dari satu, dikelilingi bayangan opak berawan atau nodular. 3. Bayangan bercak milier. 4. Efusi pleura. Gambaran radiologis yang dicurigai TB inaktif: 1. Fibrotik, terutama pada segmen apical dan atau posterior lobus atas dan atau segmen superior lobus bawah. 2. Kalsifikasi 3. Penebalan pleura Destroyed lung Gambaran radiologis yang menunjukkan kerusakan jaringan paru yang berat, biasanya secara klinis disebut luluh paru. Sulit untuk menilai aktiviti penyakit

berdasarkan

gambaran

radiologis

tersebut.

Perlu

dilakukan

pemeriksaan bakteriologis untuk mengetahui aktivitas penyakit.

36

Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

Luas proses yang ampak pada foto toraks untuk kepentingan pengobatan dinyatakan sbb: 1. Lesi minimal, bila proses mengenai sebagian dari datu atau dua paru dengan luas lesi tidak lebih dari volume paru yang terletak di atas chondrosternal junction dari iga kedua dan prosesus spinosus vertebra torakalis IV, atau korpus vertebra torakalis V (sela iga ke-2) dan tidak dijumpai kaviti. 2. Lesi luas, bila proses lebih dari lesi minimal. Pemeriksaan penunjang Pemeriksaan darah rutin kurang spesifik. LED penting sebagai indikator kestabilan penyakit sehingga dapat digunakan untuk evaluasi penyembuhan. Pemeriksaan serologi dilakukan denagn metode Elisa, Mycodot, PAP (Peroksidase Anti Peroksidase). Teknik lain untuk mengidentifikasi M. tuberculosis dengan PCR (polymerase chain reaction), RALF (Restrictive Fragment Length Polumorphisms), LPM (Light Producing Maycobacterophage). Pemeriksaan histopatologi jaringan, diperoleh melalui transbronchial lung biopsy, transthoracal biopsy, biopsi paru terbuka, biopsi pleura, biopsi kelenjar dan organ lain di luar paru. Diagnosis TB ditegakkan bila jaringan menunjukkan adanya granuona dengan perkejuan. PENATALAKSANAAN Tujuan pengobatan tuberkulosis adalah untuk menyembuhkan penderita, mencegah kematian, mencegah relaps, menurunkan penularan ke orang lain dan mencegah terjadinya resistensi terhadap OAT. Untuk itu diperlukan OAT yang efektif dengan pengobatan jangka pendek. Standarisasi regimen untuk pengobatan TB didasarkan pada rekomendasi WHO. Terdapat 4 populasi kuman TB yaitu: 1. “Metabolically active”, yaitu kuman yang terus tumbuh dalam kaviti 2. “Basili inside cell”, misal dalam makrofag 3. “Semi dorman bacili” (persisten) 4. “Dorman bacili”

37

Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

Pengobatan tuberkulosis memerlukan waktu lama karena sulit untuk membunuh kuman semi dorman. Terdapat 3 aktivitas anti tuberkulosis yaitu: 1. Obat bakterisidal: INH, rifampisin, pirazinamid 2. OAT dengan kemampuan sterilisasi: Rifampisin, PZA 3. OAT dengan kemampuan mencegah resistensi: rifampisin dan INH, sedangkan streptomisin dan etambutol kurang efektif. OBAT ANTI TB OAT

Sifat

Potensi

Isoniazidn(H) Rifampicin (R) Pirazinamid (Z) Streptomycin (S) Etambutol (E)

Bakterisidal Bakterisidal Bakterisidal Bakterisidal Bakteriostatik

Tinggi Tinggi Rendah Rendah Rendah

Dosis mg/kg Intermiten Harian 3x/wk 2x/wk 5 10 15 10 10 10 25 35 50 15 15 15 15 30 45

KODE REGIMEN PENGOBATAN TB Pengobatan TB terdiri dari 2 fase, yaitu: Fase inisial/fase intensif (2 bulan): Pada fase ini membunuh kuman dengan cepat. Dalam waktu 2 minggu penderita yang infeksius menjadi tidak infeksius, dan gejala klinis membaik. Kebanyakan penderita BTA positif akan menjadi negatif dalam waktu 2 bulan. Pada fase ini sangat penting adanya pengawasan minum obat pleh PMO (Pengawas Minum Obat). Fase lanjutan (4-6 bulan): Bertujuan membunuh kuman persisten (dorman) dan mencegah relaps. Fase ini juga perlu adanya PMO. Contoh kode pada regimen pengobatan TB: 2 (HRZE)/4 HR Fase inisial adalah 2 (HRZE), lama pengobatan 2 bulan, dengan obat INH, rifampisin, pirazinamid dan etambutol diminum tiap hari.

38

Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

Fase lanjutan adalah 4 (HR)3, lama pengobatan 4 bulan, dengan INH dan rifampisin, diminum 3 kali seminggu.

39

Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

Recomended treatment regiment for each diagnostic category TB TREATMENT REGIMENS INITIAL CONTINUATIO PHASE N PHASE TB PATIENTS DAILY OR 3 (DAILY OR 3 TIMES TIMES WEEKLY) WEEKLY) b New smear positive patients; 2 HRZE 4 HR New smear-negative PTB or with extensive parenchymal 6 HE daily envolvement; Severe concomitant HIV disease or severe forms of EPTB Previously treated sputum 2 HRZES/ 5 HRE smear-positive PTB: 1 HRZE - Relaps - Treatment after interruption - Treatment failure New-smear negative PTB 2 HRZEc 4 HR (other than in category I); or Less severe forms of EPTB 6 HE dailyc Chronic and MDR-TB case Specially designed standarized (still sputum-positive after or individualized regimens are supervised re-treatment) suggested for this category “Direct observation” of drug intake is required during the initial phase of

TB DIAGNOSTI C CATEGORY I

II

III IV a

treatment in smear-positive cases, and always in treatment that includes rifampicin b

Streptomisin dapat digunakan sebagai pengganti etambutol. Pada kasus meningitis TB etambutol harus diganti dengan streptomisin.

c

Regimen HE berhubungan dengan angka gagal pengobatan dan kambuh yang tinggi dibandingkan dengan pengobatan regimen yang menggunakan rifampisin selama fase lanjutan.

d

Bila mungkin, direkomendasikan untuk dilakukan tes sensitivitas terhadap OAT sebelum pemberian obat kategori II pada kasus gagal pengobatan.

Penderita

yang

terbukti

MDR-TB

direkomendasikan

menggunakan OAT kategori OAT plus. e

Etambutol dapat tidak digunakan selama pengobatan fase inisial pada penderita tanpa adanya kavitas pada paru; hapusan dahak negatif pada

40

Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

penderita HIV-negatif; telah diketahui terinfeksi dengan kuman yang sensitif terhadap OAT; dan penderita muda TB primer. f

Kontak dengan penderita yang terbukti MDR-TB dipertimbangkan untuk dilakukan kultur dan tes sensitivitas.

TB ekstra pulmoner meliputi: Berat • Meningitis

Ringan • Kelenjar limfe



Milier



Efusi pleura unilateral



Perikarditis



Tulang (kecuali spinal)



Peritonitis



Sendi kecil



Efusi pleura bilateral/massif



Kelenjar adrenal



Spinal



Intestinal



Genitourinaria

INDIKASI STEROID PADA TB Steroid pada kasus TB diindikasikan pada meningitis, perikarditis, efusi pleura masif, TB kelenjar adrenal, laringitis, TB pada ginjal/saluran kencing, TB kelenjar limfe yang luas dan pada reaksi hipersensitivitas akibat OAT. PENGOBATAN TB PADA KEADAAN KHUSUS Kehamilan dan menyusui Hampir semua obat anti tuberkulosis aman untuk kehamilan, kecuali streptomisin. Streptomisin tidak boleh digunakan pada kehamilan karena sifat ototoksik pada janin. Pada penderita TB yang menyusul, semua OAT dapat diberikan. Bila bayinya juga mendapat OAT, dianjurkan untuk tidak menyusui agar bayi tidak mendapat dosis berlebihan. Kontrasepsi oral

41

Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

Rifampisin berinteraksi dengan obat kontrasepsi hormonal dengan risiko penurunan efektifitas kontrasepsi, sehingga diperlukan dosis kontrasepsi yang lebih tinggi (estrogen 50µg). Atau disarankan untuk menggunakan jenis kontrasepsi lain. Gagal ginjal Rifampisin, INH dan pirazinamid aman digunakan untuk penderita gagal ginjal. Jangan menggunakan streptomisin, kanamisin dan capreomisin. Hindari penggunaan etambutol. Digunakan hanya bila tidak ada alternatif obat lain, dengan menyesuaikan dosis sesuai dengan fungsi ginjal. Penyakit hati kronik Pirazinamid tidak boleh diberikan. INH dan rifampisin plus satu atau dua obat non-hepatotoksik seperti streptomisin dan etambutol dapat diberikan dengan total pengobatan 8 bulan. HE pada fase lanjutan dengan total pengobatan 12 bulan. Regimen yang direkomendasikan adalah 2 SHRE/6 HR; 9 RE atau 2 SHE/10 HE. Hepatitis akut Sebaiknya OAT ditunda dulu sampai hepatitis sembuh. Bila sangat diperlukan OAT dapat diberikan dengan kombinasi SE selama 3 bulan. Selanjutnya setelah hepatitis sembuh daoat diberikan fase lanjutan selama 6 bulan dengan INH dan Rifampisin. Bila hepatitis tidak menyembuh, SE diteruskan sampai 12 bulan. Regimen yang diberikan 3 SE/ 6 HR atau 12 SE. MULTI DRUGS RESISTANCE TB Yaitu penderita TB aktif dengan kuman yang resisten terhadap sedikitnya rifampisin dan INH, dengan atau tanpa disertai resistensi terhadap obat lain. MDR TB terjadi akibat pengobatan yang tidak rasional, seperti pemberian resep yang tidak benar oleh dokter, regimen yang tidak benar, penggunaan obat tidak lengkap dan berkesinambungan atau oleh karena tidak adanya supervisi dalam pengobatan.

42

Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

DOTS (Directly Observe Treatment Shortcourse) Sejak tahun 1995 program pemberantasan penyakit TB dilaksanakan dengan strategi DOTS yang direkomendasikan oleh WHO. Di Indonesia dituangkan dalam bentuk GERDUNAS-TB (Gerakan Terpadu nasional TB). Yang dimaksud dalam strategi DOTS adalah: 1. Adanya komitmen pemerintah untuk menanggulangi TB 2. Penemuan kasus secara langsung dengan pemeriksaan dahak secara mikroskopis 3. Pemberian obat yang diawasi secara langsung (DOT = Directly Observe Treatment) 4. Penyediaan obat secara teratur, menyeluruh dan tepat waktu 5. Monitoring serta pencatatan dan pelaporan

43

Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

10. GASTROENTERITIS TATALAKSANA •

Nonfarmakologis: istirahat atau tirah baring, makanan lunak, minum cairan oralit ad libitum



Rehidrasi dapat per oral pada dehidrasi ringan dan parenteral pada dehidrasi sedang serta berat



Untuk diare tipe sekretori dapat diberikan racecadotril 3x1 tablet selama 3 hari



Farmakologis: pada dehidrasi ringan tindakan rehidrasi dapat diberikan per oral sedangkan untuk dehidrasi sedang berat, rehidrasi dilakukan secara parenteral dengan memakai cairan ringer laktat. Pada prinsipnya jumlah cairan yang diberikan sesuai dengan jumlah cairan yang keluar dari badan. Kehilangan airan dapat dihitung dengan cara metode Daldiyono atau berat jenis plasma atau metode Pierce. Terapi definitif: Kolera eltor : Tetrasiklin 4x500 mg/hari selama 3 hari Salmonellosis

: Ampisilin 4x1 g/hari selama 10-14 hari

Shigellosis

: Ampisilin 4x1 g/hari selama 5 hari

Amebiasis

: Metronidazol 4x500 mg/hari selama 3 hari

KOMPLIKASI •

Dehidrasi dan syok hipovolemik



Gangguan elektrolit, kalium, natrium, klorida, yang dapat menyebabkan ileus paralitik dan gangguan konduksi jantung



Gagal ginjal akut



Asidosis metabolik KOLERA

Pengobatan

44

Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

Pengobatan kausal dan simtomatis dilakukan secara simultan; namun yang terpenting adalah pemberian air dan elektrolit sebagaipengganti yang hilang. 1. Rehidrasi dalam 2 tahap: rehidrasi awal dilanjutkan maintenance 2. Terapi infus pada: dehidrasi berat, renjatan hipovolemik, muntah-muntah tak terkontrol, adanya penyulit berat Kasus ringan dan sedang: oral dengan bahan rehidrasi oral. Cairan rehidrasi oral WHO mengandung: NaCl 2,5 g; NaHCO3 3,5 g; KCl 1,5 g; Glukosa 20,0 g dialrutkan dalam air 1 liter. Cairan infus yang dapat dipakai: Ringer laktat (mengandung 130 mmol Na, 4 mmol K, 109 mmol Cl, 28 mmol base). Karena cairan tinja mengandung 135 mmol Na, 15 mmol K, 100 mmol Cl, dan 45 mmol basa; maka cairan RL sebenarnya perlu tambahan Kalium (10 mg/liter) Kriteria dehidrasi: memakai metode klinis 1. Metode Pierce didasarkan atas tanda klinis dehidrasi: a. Dehidrasi ringan: kebutuhan cairan 5% BB b. Dehidrasi sedang: kebutuhan cairan 8% BB c. Dehidrasi berat: kebutuhan cairan 10% BB 2. Pemeriksaan Berat Jenis Plasma: dengan larutan Cupri sulfat atau Refraksimeter Defisit cairan dihitung dengan rumus berikut:

Antibiotik dapat memperpendek masa diare dan mengurangi jumlah cairan untuk replasemen, serta mengurangi pengeluaran kuman dalam tinja. Dapat dipakai: 1. Tetrasiklin 50 mg/kgBB terbagi 4 dosis (untuk dewasa) 2. Kotrimoksazol (untuk anak-anak) Pengobatan diberikan selama 3-5 hari Pencegahan

45

Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

Perbaikan higiene sanitasi, penyediaan air minum yang sehat. Perbaikan fasilitas makan-minuman. Bagi mereka dalam perjalanan disarankan hanya minum air kemasan (botol/kaleng). Imunisasi dapat memakai parenteral (inactivated vibrio) atau oral.

46

Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

11. DEMAM TIFOID DIAGNOSIS Diagnosis semam tifoid ditegakkan berdasarkan gejala klinis, ditunjang denagn pemeriksaan laboratorium. Gambaran Klinis Demam tifoid pada umumnya menyerang penderita kelompok umur 5-30 tahun, laki-laki sama dengan wanita, jarang pada umur di bawah 2 tahun maupun di atas 60 tahun. Anamnesis 1. Masa inkubasi: umumnya 3-60 hari 2. Biasanya pada anamnesis, saat masuk rumah sakit didapatkan keluhan utamanya adalah demam, yang diderita ± 5-7 hari, yang tidak berhasil diobati dengan antipiretika. Demam bersifat bertahap makin naik setiap hari (step ladder), disertai dengan lemah badan (lesu), malas, nyeri kepala, nyeri otot, punggung dan sendi, perut kembung, kadang-kadang nyeri, obstipasi (kadang-kadang diare), mual, muntah, batuk. 3. Perlu diselidiki apakah penderita berasal dari atau bepergian ke daerah endemis demam tifoid (wisatawan). Kebiasaan mkan-minum (kerang, ice cream, air mentah). Perlu ditanya apakah pernah menjalani vaksinasi demam tifoid. Manifestasi Klinis Penderita nampak lesu, letih, wajah “kosong”. Kadang-kadang penderita nampak gelisah, “delirium” atau koma. Gejala lain yang dapat dijumpai: Demam, bradikardi relatif, pendengaran menurun, tifoid tongue, rose spots, bronchitic chest, tidak enak di perut (abdominal terderness), kembung, hepatomegali, splenomegali. Laboratorium Urine Abiminuria Tes Diazo positif

47

Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

1. Urine + reagen Diazo + beberapa tetes amonia 30% (dalam tabung reaksi) → dikocok → buih berwarna merah atau merah muda. 2. Biakan kuman (paling tinggi pada minggu II/III diagnosis pasti atau sakit carrier) Tinja 1. Ditemukan banyak eritrosit dalam tinja (Pra-Soup Stool, kadang-kadang darah (bloody stool) 2. Biakan kuman (diagnosis pasti atau carrier post tyfi pada minggu II/III sakit) Darah Leukopenia atau leukopeni relatif, kadang-kadang leukositosis Netropeni Limfositosis Aneosinofilia Anemia Laju Endap Darah (LED) SGOT/SGPT meningkat Biakan kuman (paling tinggi pada minggu I sakit, diagnosis pasti Demam tifoid) Minggu I: 80-90%, minggu II: 20-25%, minggu III: 10-15% Serologi Deteksi Antibodi 1. Tes Aglutinin Tes Widal ada 2 metode: a. Metode “tube” (standard) •

Titer O tinggi dan/atau terjadi kenaikan titer 4 kali lipat dengan jarak waktu 7 hari pemeriksaan pertama dan kedua (O lebih spesifik dari H)



Hasil diperoleh setelah 2-3 hari

b. Metode “slide” •

Lebih cepat dari metode “tube”

48

Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023



Hasil selesai dalam waktu 1 hari



Widal/kurang spesifik (Ag bukan lokal)



Lokal Ag → hasil lebih spesifik

2. Tes “Enzyme Linked Immune Sorbent Assay” (ELISA), ada 2 macam: a. Deteksi antibodi, menggunakan antigen O, H, dan Vi •

Dapat mendeteksi antibodi IgA, IgM, dan IgG S. typhi.

b. Dengan menggunakan protein Ag khusus dibuat tes “Dot enzyme immuno Assay” (Dot-EIA) dengan menggunakan kertas nitroselulose (tes Dipstick) •

Diagnosis cepat (3-4 jam)



IgM (+) → Demam tifoid akut



IgG (+) → relaps

Deteksi antigen 1. Tes koagulasi (koag) a. Digunakan antisera Vi → Vi-koag b. Lebih cepat dari biakan kuman 2. Tes ELISA a. Digunakan ELISA indirek dari bahan air seni dan darah penderita b. Digunakan antibodi monoklonal yang ditempelkan pada kertas nitroselulose Deteksi DNA Dapat dilakukan dengan 2 cara: 1. Hibridisasi dengan pelacak DNA (DNA probe) Kurang sensitif apabila jumlah S. typhi dalam darah penderita rendah 2. Polymerase Chain Reaction (PCR) a. Dapat mendeteksi strain S. typhi dan untuk pembuatan vaksin b. Waktu pemeriksaan cepat (± 6 jam) tapi akurat Sumsum tulang a. Biakan sumsum tulang b. Sangat sensitif (95%)

49

Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

c. Tidak dipengaruhi oleh pemberian antibiotika dan fase penyakit d. Invasif (perlu tenaga ahli biopsi sumsum tulang) DIAGNOSIS BANDING 1. Richettsiosiz 2. Brucellosis 3. Tularemia 4. Leptospirosis 5. Milliary Tuberculosis 6. Viral hepatitis 7. Infections Mononucleosis 8. Cytomegalovirus 9. Malaria 10. Lymphoma TATALAKSANA 1. Penderita dirawat di bangsal umum (tidak perlu di bangsal khusus “isolasi”) 2. Pada fase akut, diharuskan tirah baring “absolut” dan diet khusus “tifoid diit” 3. Diberlakukan pembera makanan “Padat Dini” (nasi + lauk pauk sayuran rendah serat). Pada penderita Demam Tifoid tidak berkomplikasi, yang terbukti bermanfaat mempercepat penyembuhan (rata-rata dalam waktu 7-10 hari, sedangkan sebelumnya rata-rata 14 hari). Pemberian suplemen protein oral (“Protein”-bubuk susu kedelai) pada penderita demam tifoid juga menunjukkan penderita lebih cepat sembuh. Terapi Medikamentosa Obat anti tifoid yang dapat digunakn sampai saat ini adalah Chloramphenicol,

tiamphenicol,

Cotrimoxazol,

Ampicilin,

Amoxicyllin,

Cephalosporin generasi-III (misalnya: Ceftriaxon), dan Quinolone golongan 4Fluoroquinolone (misalnya: Ciprofloxacin, Norfloxacin, Ofloxacin, Pefloxacin), dan Azithromycine.

50

Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

“Carrier” kronis “Carrier” kronis adalah indivisu yang mengeluarkan S. typhi baik dari tinja (faecal carrier) atau air seninya (urinary carrier) selama 1 tahun atau lebih. Pada demam tifoid sumber infeksi dari “carrier” kronis adalah kandung empedu dan ginjal (infeksi kronis, batu, atau kelainan anatomi). Oleh akrena itu apabila terapi medika-mentosa dengan obat antitifoid gagal harus dilakukan operasi untuk menghilangkan batu atau memperbaiki kelainan anatominya. Obat pilihan saat ini: 1. Amoxicillin 3x1000-2000 mg/hari selama 6 minggu 2. Golongan quinolone yaitu Ciprofloxacin 2x500 mg/hari atau Norfloxacin 2x400 mg/hari selama 4 minggu 3. Cotrimoxazole 2x2 tablet (160/800) selama 6 minggu 4. Apabila “urinary carrier” disebabkan karena infeksi dengan cacing schistosoma, maka perlu ditambah terapi dengan praziquantel 5. Kadang-kadang setelah cholesystectomy, penderita masih tetap menjadi “carrier”. Untuk ini perlu diberikan pengobatan jangka lama sampai terbukti tidak mengeluarkan Salmonella typhi lagi. Demam Tifoid pada Penderita AIDS 1. Terapi demam tifoid pada penderita AIDS sulit, karena sering terjadi relaps 2. Quinolone merupakan obat pilihan karena mempunyai efek sinergik dengan antiretroviral Zidovudine. Pemberian Ciprofloxacin 2x500 mg oral selama 6 minggu, umumnya dapat mengatasi demam tifoid pada penderita AIDS. Kadang-kadang diberikan sampai 1-8 bulan. 3. Cotrimoxazole merupakan obat pilihan kedua karena obat ini juga dapat mengobati pneumocystic-carinii pneumonia yang terjadi pada penderita AIDS. Sampai saat ini obat pilihan utama untuk demam tifoid di Indonesia adalah Chloramphenicol. Hal ini disebabkan karena sensitifitasnya masih tinggi, cukup aman (jarang terjadi efek samping obat) dan murah harganya. Dosis

51

Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

1. Dewasa, 50-60 mg/kgBB/hari (4x500 mg/hari) oral/i.v. selama 14 hari, biasanya sampai 7 hari bebas demam. 2. Anak-anak 25 mg/kgBB/hari. 3. Kontraindikasi a. Ibu hamil dan menyusui b. Alergi terhadap Chloramphenicol 4. Obat pilihan lain: a. Quinolone

4-Fluoroquinolone,

misalnya

Ciprofloxacin

dan

Norfloxacin, Ofloxacin, dan Perfloxacin. b. Merupakan obat pilihan saat ini, terutama untuk di luar Indonesia (karena sudah banyak laporan resistensi terhadap Chloramphenicol) c. Dosis: •

Ciprofloxacin 2x500 mg/hari oral atau 2x400 mg/hari i.v. selama 10 hari



Norfloxacin dan Ofloxacin 2x400 mg/hari oral selama 10 hari



Pefloxacin 1x400 mg, oral selama 10 hari



Levofloxacin 1x500 mg, oral 5-7 hari

d. Obat ini tidak dianjurkan untuk anak-anak dan usia remaja, ibu hamil atau menyusui, alergi terhadap Fluoroquinolone e. Efek samping: •

Gangguan pencernaan



Gangguan Susunan Saraf Pusat (SSP)

Obat Alternatif 1. Cotrimoxazole (160/800 mg), 2x2 tablet atau 2x1 tablet (forte) per hari selama 14 hari 2. Tiamphenicol 4x500 mg/hari selama 14 hari 3. Ampicilin 4x500 mg/hari selama 14 hari 4. Ceftriaxone 1x1000 mg/hari i.v. selama 14 hari 5. Azithromycine 1x1000 mg/hari i.v. selama 14 hari

52

Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

6. Kortikosteroid hanya diberikan pada keadaan gawat (sepsis atau syok septik) 7. Dexamethasone 3 mg/kgBB i.v. disusul 1 mg.kgBB tiap 6 jam selama 2 hari Pemberian terlalu lama meningkatkan kemungkinan terjadi relaps. PENCEGAHAN Orang sehat 1. Pengawasan higiene dan sanitasi lingkungan hidup a. Perlu adanya WC umum b. Persediaan air bersih c. Tempat buangan sampah rumah tangga 2. Pengawasan higiene makanan dan minuman a. Memasak makanan b. Merebus air minum c. Hati-hati minum es (es krim) d. Cara penyajian makanan 3. Higiene perorangan a. Cuci tangan b. Buang air besar dan kecil di tempat khusus (WC) Vaksinasi Syarat vaksin: efektif, mudah penggunaannya, aman, dan murah. Dianjurkan untuk wisatawan ke daerah endemis dan pekerja laboratorium. 1. Acetone inactivated vaccine a. Kuman mati b. Ada 2 vaksin: K-acetone inactivated vaccine dan L-heatphenol inactivated vaccine. •

Efektivitas 51-88%



Efek samping 32-54% berupa demam, sakit kepala, dan reaksi lokal tempat suntikan

53

Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023



Cara pemberian 0,5 cc vaksin subkutan disusul 7-10 hari lagi 1 cc subkutan



Efektif minimal 1 tahun

2. Oral live Attenuated vaccine (TY21Ia): a. Kuman hidup, dilemahkan b. Imunitas 3-6 tahun c. Berhasil diuji coba di Chili dan Mesir tetapi gagal di Indonesia d. Booster 5 tahun kemudian 3. Vi parental vaksin a. Polysacharide high-purified antigenicfraction vi-antigen b. Booster setelah 3 bulan c. Dapat diberikan pada anak > 6 bulan d. Dapat diberikan bersamaan dengan vaksin lain dalam satu alat suntik KOMPLIKASI Perdarahan intestinal, perforasi intestinal, ileus paralitik, renjatan septik, pyelonefritis, pneumonia, miokarditis.

54

Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

12. ALERGI MAKANAN DIAGNOSIS Diagnosis alergi makanan membutuhkan anamnesis yang menyeluruh untuk membedakan antara reaksi alergi dengan intoleransi makanan. Beberapa uji in vivo maupun in vitri dapat diekrjakan untuk membuktikan alergi makanan. Alur diagnostik yang biasa digunakan adalah seperti tampak pada gambar berikut ini. Anamnesi s

Gejala membaik

Gejala alergi makanan dan/atau Uji tusuk kulit (+)

Tidak ada makanan yang dicurigai dan/atau Uji tusuk kulit (-)

Diet eliminasi

Selesai Gejala menetap

Makanan bukan penyebabnya Berikan diet semula

Gejala muncul kembali

Gejala muncul kembali

Ulangi diet eliminasi

Masalah selesai

Gejala membaik

Buat daftar makanan yang dapat diterima

Berikan makanan secara terbuka dimulai dengan makanan yang paling kecil kemungkinannya menyebabkan alergi Daftar makanan yang menimbulkan reaksi Uji paparan tersamar ganda (+) Hindari

(-) Hindari

Anamnesis

55

Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

Beberapa data penting yang perlu ditanyakan tercantum pada tabel di bawah ini. Untuk keluhan yang bersifat kronis mungkin diperlukan catatan harian tentang makanan yang dikonsumsi (diet diaries). Makanan yang dicurigai Banyaknya bahan makanan yang diperlukan untuk memicu reaksi Ada riwayat timbul reaksi pada setiap kali paparan Waktu antara paparan hingga timbul reaksi Manifestasi klinis yang sesuai dengan alergi makanan Gejala hilang setelah bahan makanan yang dicurigai dihindari/dieliminasi Lama berlangsung gejala Pengobatan (bila ada) yang diperlukan untuk mengatasi reaksi Pemeriksaan Penunjang •

Tes tusuk kulit Hanya dilakukan pada penderita yang dicurigai mengalami reaksi yang dimediasi oleh IgE. Digunakan ekstrak alergen makanan dalam gliserin (dengan pengenceran 1:20 hingga 1:10) dengan histamin sebagai kontrol positif dan larutan garam faali sebagai kontrol negatif. Dianjurkan menggunakan ekstrak buah-buahan yang masih segar. Makanan yang dicurigai dapat pula dioleskan pada kulit lalu dilakukan tes tusuk.



Tes Radioallergosorbent (RAST) Kurang spesifik dibandingkan tes tusuk kulit, lebih mahal, namun dapat digunakan untuk memprediksi reaksi alergi yang dimediasi oleh IgE. CAP System Fluorescent Enzyme Immunoassay (FEIA) menghasilkan prediksi positif yang lebih akurat. Tes-tes ini hanya dianjurkan bila terdapat dermatitis atopik parah atau dermatografisme karena uji tusuk kulit tidak mungkin dilakukan.



Diet eliminasi Diet eliminasi adalah pemberian diet selama 7 hingga 14 hari, yaitu bahan makanan yang dicurigai sebagai penyebab reaksi alergi dihindari. Bila ada lebih dari satu jenis makanan yang dicurigai perlu dilakukan diet eliminasi berulang dengan mengeliminasi berturut-turut satu jenis makanan. Bila

56

Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

gejala tetap tidak membaik dengan eliminasi suatu bahan makanan, maka bahan makanan tersebut bukanlah penyebabnya. •

Double-blind placebo-controlled food challenge Uji paparan makanan tersamar ganda merupakan baku emas diagnosis alergi makanan. Bahan makanan yang dipilih ditentukan berdasarkan anamnesis, tes tusuk kulit, IgE RAST, dan hasil diet eliminasi. Sebagai kontrol digunakan bahan makanan yang sangat jarang menimbulkan alergi atau yang hasil uji tusuk kulitnya negatif. Makanan yang akan diujikan harus dihindari selama 10-14 hari. Semua jenis pengobatan yang dapat mengganggu interpretasi (misalnya antihistamin dan kortikosteroid) harus dihentikan setidaknya sejak 7-14 hari sebelum uji dilaksanakan. Uji paparan dilakukan dalam keadaan puasa. Makanan yang diujikan diberikan berupa serbuk yang disamarkan dalam bentuk cairan minuman atau kapsul. Uji dilaksanakan secara acak menggunakan paparan alergen makanan dan plasebo yang sama jumlahnya. Jumlah awal yang diberikan umumnya 125500 mg, dan selanjutnya sitingkatkan dua kali lipat setiap 15 hingga 60 menit. Gejala yang timbul dicatat dengan sistem skor baku. Hasil uji dianggap negatif bila penderita dapat menerima 10 gram makanan tanpa timbul reaksi. Hasil yang diperoleh harus dikonfirmasi lagi dengan paparan makanan secara terbuka untuk menyingkirkan hasil negatif palsu.

PENATALAKSANAAN Upaya menghindari alergen makanan Menghindari

alergen

merupakan

satu-satunya

pengobatan

alergi

makanan yang telah terbukti hasilnya. Penderita dan keluarganya perlu mendapatkan penyuluhan untuk menghindari alergen makanan secara ketat, termasuk sumber-sumber alergen yang tersembunyi (misalnya kacang tanah yang tersembunyi dalam bumbu sate atau bumbu pecel). Waspadai bahwa eliminasi makanan secara terus menerus dapat menyebabkan malnutrisi, karena itu harus selalu disarankan pula bahan makanan alternatif yang dapat dikonsumsi oleh penderita.

57

Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

Terapi simtomatik Beberapa jenis obat telah dicoba untuk mengatasi gejala alergi makanan, antara lain antihistamin H1 dan H2, kromolin oral, ketotifen, dan antiprostaglandin. Pada umumnya efektivitas obat tersebut rendak atau memiliki efek samping yang dapat ditolerir. Tidak satupun yang terbukti dapat mencegah anafilaksis. Imunoterapi pernah dicoba, namun efek sampingya cukup berat dan kini tidak lagi dianjurkan. Pencegahan Mengingat manfiestasi reaksi alergi makanan dapat bervaiasi mulai dari gejala ringan hingga anafilaksis sistemik yang dapat mengancam jiwa, sebaiknya diberikan bekal suntikan Epinefrin pada penderita atopik. Penderita dilatih untuk dapat menyuntikkan sendiri Epinefrin intramuskular di daerah paha lateral bila sewaktu-waktu timbul gejala alergi akibat paparan yang tidak disengaja

terhadap

alergen

makanan

tertentu.

Selanjutnya

penderita

disarankan untuk sesegera mungkin menuju ke Unit Gawat Darurat rumah sakit untuk evaluasi lebih lanjut. Penelitian terbaru membuktikan bahwa upaya menghindari alergen makanan oleh ibu dan bayi atopik ternyata dapat menurunkan prevalensi dermatitis atopik, urtikaria, penyakit gastrointestinal. Ibu atopik sebaiknya menghindari kacang tanah selama kehamilan trimester terakhir. Bayi atopik sebaiknya menghindari susu sapi, telur, dan kacang tanah pada usia 1 tahun pertama. Khusus pada kelompok penderita atopik yang memiliki risiko tinggi untuk mengalami reaksi alergi, konsensus yang berlaku saat ini adalah anjuran untuk menghindari susu sapi selama 12 bulan, dan menghindari kacang tanah selama 3 tahun.

58

Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

13. PENYAKIT CACING TAMBANG TATALAKSANA Terapi Umum 1. Perbaikan gizi dengan pemberian nutrisi tinggi kalori dan protein diperkaya dengan multivitamin dan mineral. 2. Karena anemia defisiensi besi merupakan ancaman utama pada infeksi ankilostomiasis, maka preparat besi dapat diberikan untuk mengatasi anemianya. Secara oral, sulfat ferosus 3x200 mg/hari dapat diberikan sampai tanda anemianya hilang. Penderita yang mengalami anemia berat dengan kadar Hb < 5 g/dl, maka sebelum memulai pemberian antihelmintik dapat dikoreksi dengan transfusi darah. Terapi Spesifik 1. Antihistamin untuk mengurangi keluhan gatal-gatal 2. Obat cacing (antihelmintik) a. Tetrachlorethylene, dosis tunggal 0,1 mg/kgBB diberikan pada waktu perut b. Bephenium hydoxynaphthoate (alcopat), dosis tunggal 5 g dan perlu puasa minimal 2 jam c. Thiabendazol (Mintezol) diberikan dengan dosis 25 mg/kgBB, 2 kali/hari d. Mebendazol (vermox) dosis 2x100 mg/hari selama 3 hari berturutturut. Mebendazol merupakan obat terpilih untuk pengobatan infeksi cacing tambang. e. Pirantel pamoat (combantrin) dosis tunggal 10 mg/kgBB f. Tretranizole (ascaridil) dosis tunggal 2,5 mg/kgBB Oleh karena sering dijumpai infeksi campuran dengan cacing lain maka dianjurkan pemberian kombinasi pirantel pamoat dosis tunggal 10 mg/kgBB dengan mebendazol 100 mg dua kali sehari selama 3 hari berturut-turut. PENCEGAHAN

59

Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

Untuk mencegah terjadinya infeksi cacing tambang maka berbagai upaya dapat dilakukan, antara lain dengan memakai sandal atau sepatu untuk menghindari kontak dengan tanah, perbaikan sanitasi lingkungan, serta menjaga kebersihan individu.

60

Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

14. ASKARIASIS PENGOBATAN Beberapa obat antihelmintik sekarang ini lebih efektif dengan efek toksik yang relatif rendah daripada obat-obat dulu yang sudah populer misalnya santonin, oleum shenopodium serta hexylresorcinol. Antihelmintik untuk pengobatan ascariasis dapat dipilih beberapa obat di bawah ini: 1. Pirantel pamoat, diberikan sebagai dosis tunggal 10 mg/kgBB dengan maksimum pemberian 1 g. 2. Levamisole hydrochloride diberikan sebagai dosis tunggal 2,5-5 mg/kgBB. 3. Garam piperazine, 75 mg/kgBB, maskimum 3,5 g, diberikan 2 hari sebagai dosis harian tunggal. Merupakan obat pilihan pada obstruksi intestinal oleh Ascaris lumbricoides, karena obat ini mengakibatkan paralisis yang flasid pada cacing. 4. Albendazole, untuk orang dewasa dan anak-anak di atas 2 tahun yang diebrikan dengan dosis tunggal 400 mg. 5. Mebendazole, diberikan dengan dosis 100 mg dua kali per hari selama 3 hari berturut-turut. 6. Cyclobendazole

adalah

derivat

benzimidazole

baru

yang

dapat

membunuh A. lumbricoides. Obat-obat di atas tidak dieprlukan pencahar ataupun puasa sebelum atau sesudah pengobatan. Di samping pengobatan perorangan, perlu dipikirkan pengobatan masal, karena banyaknya penderita askariasis atau bahkan soil transmitted helminths yang masih merupakan problem kesehatan masyarakat Indonesia. Pada pengobatan masal ini harus diperhatikan beberapa hal, antara lain frekuensi pengobatan, waktu pelaksanaannya, serta lamanya periode pengobatan. Di Indonesia frekuensi pengobatan masal pada soil transmitted helminths terutama askariasis berpatokan kepada prevalensi infeksi oleh cacing ini pada

61

Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

suatu daerah, yaitu jika prevalensi lebih dari 30%, pengobatan 3 kali per tahun; jika prevalensi 20-30%, pengobatan 2 kali per tahun; jika prevalensi 10-20%, pengobatan 1 kali per tahun, sedangkan jika prevalensi kurang dari 10%, pengobatan hanya untuk kasus positif (individual). PENCEGAHAN Pencegahan askariasis ditujukan untuk memutuskan salah satu mata rantai dari siklus hidup Ascaris lumbricoides, antara lain dengan melakukan pengobatan penderita askariasis, dimaksudkan untuk menghilangkan sumber infeksi; pendidikan kesehatan terutama mengenai kebersihan makanan dan pembuangan tinja manusia; dianjurkan agar buang air besar tidak di sembarangan tempat serta mencuci tangan sebelum makan, memasak makanan, sayuran, dan air dengan baik. Air minum jarang merupakan sumber infeksi ascariasis.

62

Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

15. TAENIASIS TAENIASIS SAGINATA TATALAKSANA Niklosamid (Yomesan) sangat efektif untuk membunuh skoleks dan segmen imatur T. saginata. Empat tablet 0,5 gram ditelan dengan bantuan sedikit air. Pemeriksaan feses perlu dilakukan 3-6 bulan kemudian untuk evaluasi. Obat terpilih adalah prazikuantel 10 mg/kgBB. PENCEGAHAN 1. Bila mengonsumsi daging sapi sebaiknya dimasak secara sempurna dengan

pemanasan

pada

suhu

56oC

selama

5

menit

dapat

memusnahkan sistiserki. Pendinginan pada suhu minus 10oC selama 9 hari dan pengawetan dengan pemberian garam pada daging juga dapat memusnahkan sistiserki. 2. Perlunya penentuan adanya sistiserkosis pada sapi yang diduga sakit, biasanya dilakukan dengan pemeriksaan serologis ELISA. 3. Bila diagnosis sudah dibuat, pasien perlu segera diobati guna mencegah berlangsungnya rangkaian penularan lebih lanjut. 4. Pengelolaan

feses

pasien

perlu

diperhatikan

karena

potensial

mengandung telur Taenia yang infeksius. 5. Jangan membiarkan sapi memakan rumput yang timbuh di tanah dan terkontaminasi dengan kotoran limbah. Viabilits telur sekitar 16 hari paa kotoran limbah dan 159 hari pada rumput. TAENIASIS SOLIUM TATALAKSANA Cacing Dewasa Perlu pemberian nutrisi tinggi protein, multivitamin, dan mineral. Obat-obatan yang dapat diberikan adalah:

63

Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

1. Niclosamide (Vomesan) dosis 4 tablet @ 500 mg sekaligus. Tablet dikunyah sebelumnya lalu diminum dengan sedikit air. 2. Mebendazole (vermox) dosis 2x300 mg/hari (2x3 tablet/hari) selama 3 hari. Dapat juga memakai albendazole, merupakan obat cacing berspektrum luas. 3. Quinacrine hidrochloride (atebrine) dosis 800 mg (dosis terbagi) habis dalam 30 menit. Perlu obat antimuntah 1 jam sebelumnya ditambah obat pencahar 2 jam sesudahnya. 4. Paramomisin (gabroral) dosis 4x1 gram, satu hari 5. Prazikuantel (cesol) merupakan obat terpilih untuk cestodiasis. Diberikan dosis tunggal 10 mg/kgBB dan 2 jam kemudian diberikan laksansia. Sistiserkosis Karena kemungkinan sistiserkosis dapat terjadi melalui autoinfeksi maka pasien harus segera diobati setelah diagnosis ditegakkan. Pengobatan neurosistiserkosis

sangat

kompleks

dan

penuh

kontroversi.

Apabila

memungkinkan dianjurkan tindakan bedah. Untuk kasus sistiserkosis mata danjurkan pengambilan kista daripada melakukan enukleasi. Untuk mencegah hilangnya bola mata dianjurkan untuk mengambil sistiserkusnya ketika masih hidup. Meskipun tidak menjamin keberhasilannya beberapa obat-obatan dapat diberikan

untuk

memberantas

sistiserki

misalnya

dengan

pemberian

prazikuantel 10 mg/kgBB/hari selama 14 hari. Obat pilihan lain adalah albendazol, serta pemberian metrifonat untuk sistiserkosis subkutan. Perlu diperhatikan bahwa kista yang mati akan memicu reaksi inflamasi, edem, dan eksaserbasi yang akut. Untuk itu ada yang menganjurkan pemakaian kortikosteroid untuk merendam akibat dari reaksi radang. PENCEGAHAN Mengingat pentingnya kewaspadaan terhadap infeksi maka perlu diperhatikan

usaha

untuk

higiene

dan

sanitasi

pribadi,

menghindari

mengonsumsi sayur-sayuran yang menggunakan pupuk terutama dari pupuk limbah, pembuangan limbah manusia juga harus terjamin dan memadai, upaya

64

Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

penting yang perlu dilakukan adalah memasak daging babi dan produknya secara sempurna. Sistiserki dapat terbunuh melalui pemanasan pada suhu 65oC, minimal selama 5 menit. Pengawetan daging dengan garam atau cuka sering tidak efektif. Perlunya pengawasan daging untuk konsumsi masyarakat.

PROGNOSIS Prognosis umumnya baik bila sistiserki dapat diambil dengan tindakan bedak, prognosis kurang baik bila parasit dalam bentuk rasemosa terutama dalam otak.

65

Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

16. DISENTRI BASILER PENGOBATAN Pasien perlu istirahat, mencegah-memperbaiki sehidrasi. Penyebab kematian terutama akibat dehidrasi. Untuk rehidrasi dapat dipakai cairan intravena/oral, sesuai derajat dehidrasi. Perbaikan gizi untuk menghilangkan malnutrisi. Untuk pengobatan antibakterial: 1. Pilihan trimethoprim sulfametoxazole 2x2 tablet selama 5 hari 2. Siprofloxacin 2x500-750 mg 3. Ampisilin 4x500 mg 4. Asam nalidiksik Pengobatan

simtomatis

untuk

demam

(antipiretik),

nyeri

perut

(antispasmodik), pemakaian obat antimotilitas (misalnya: loperamide) bersifat kontroversi, dapat mengurangi diare, namun dapat menyebabkan penyakit lebih berat karena mengurangi pengeluaran bakteri, mempermudah invasi mukosa serta timbulnya toxic megacolon. Pada bentuk berat bila tak diobati dini angka kematian shigellosis tinggi. Infeksi oleh Sh. disentria biasanya berat, penyembuhanlama. Infeksi Sh. flexnerii angka kematian rendah. PENCEGAHAN Pencegahan shigellosis, meliputi penjagaan higienis dan sanitasi lingkungan, perlu mencuci tangan sebelum makan, persediaan air minum tak boleh terkontaminasi, pemakaian jamban yang baik, menjaga pembuatan makanan dan penyimpanannya, belum ada vaksin yang efektif.

66

Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

17. PIELONEFRITIS TATALAKSANA Terapi ditujukan untuk mencegah terjadinya kerusakan ginjal yang lebih parah dan memperbaiki kondisi pasien, yaitu berupa terapi suportif dan pemberian antibiotika. Antibiotika yang dipergunakan pada keadaan ini adalah yang bersifat bakterisidal, dan berspektrum luas, yang secara farmakologis mampu mengadakan penetrasi ke jaringan ginjal dan kadarnya di dalam urin cukup

tinggi.

Golongan

dikombinasikan

dengan

aminopenisilin

dikombinasi

obat-obatan

itu

aminopenisilin dengan

adalah;

aminoglikosida

(ampisilin

asam

atau

klavulanat

atau

yang

amoksisilin), sulbaktam,

karboksipenisilin, sefalosporin, atau fluoroquinolone. Jika dengan pemberian antibiotika itu keadaan klinis membaik, pemberian parenteral diteruskan sampai 1 minggu dan kemudian dilanjutkan dengan pemberian per oral selama 2 minggu berikutnya. Akan tetapi jika dalam waktu

48-72

jam

setelah

pemberian

antibiotika

keadaan

klinis tidak

menunjukkan perbaikan, mungkin kuman tidak sensitif terhadap antibiotika yang diberikan.

67

Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

18. BRONKHITIS AKUT DIAGNOSIS Anamnesis Gejala yang mungkin ditemukan pada penderita bronkhitis akut adalah batuk secara tiba-tiba dengan atau tanpa dahak, tidak ada tanda-tanda pneumonia, demam, asma akut atau rasa pahit akut yang disebabkan oleh bronkhitis kronis (Metlay & Schulz, 1997). Selain itu tanda penting terjadinya bronkhitis adalah dahaknya akan seperti nanah jika penyebabnya bakteri serta ronki kering. Pemeriksaan Fisik Diagnosis biasanya ditegakkan berdasarkan gejala, terutama dari adanya lendir, riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik. Pada pemeriksaan menggunakan stetoskop, akan terdengar bunyi pernafasan yang abnormal. Pemeriksaan dahak maupun rontgen dilakukan untuk membantu menegakkan diagnose dan untuk menyingkirkan diagnose penyakit lain. DIAGNOSIS BANDING •

Defisiensi Alpha1-Antitrypsin



Asma



Bronkiektasis



Bronkiolitis



Brinkhitis kronis



PPOK



GERD



Influenza



Faringitis bakterial



Faringitis virus



Sinusitis akut

68

Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023



Sinusitis kronis



Infeksi Streptococcus Grup A

PENATALAKSANAAN Terapi Umum Perawatan Tindakan perawatan yang paling penting adalah mengontrol batuk dan mengeluarkan lendir. Berjemur di pagi hari, sering mengubah posisi, banyak minum, inhalasi, nebulizer serta diberikan minum susu untuk mempertahankan daya tubuh anak jika muntah. Terapi Medis •

Antitusif (penekan batuk): DMP (dekstromethorphan) 15 mg, diminum 2-3 kali sehari. Codein 10 mg, diminum 3 kali sehari. Pada penderita bronkitis akut yang disertai sesak napas, penggunaan antitusif hendaknya dipertimbangkan dan diperlukan feed back dari penderita. Jika penderita merasa tambah sesak, maka antitusif dihentikan.



Ekspektorant: GG (glyceryl guaiacolate), bromhexine, ambroxol, dan lainlain.



Antipiretik (pereda panas): parasetamol (asetaminofen), dan sejenisnya, digunakan jika penderita demam.



Bronkodilator (melongarkan napas), diantaranya: salbutamol, terbutalin sulfat, teofilin, aminofilin, dan lain-lain. Obat-obat ini digunakan pada penderita yang disertai sesak napas atau rasa berat bernapas.



Antibiotika. Hanya digunakan jika dijumpai tanda-tanda infeksi oleh kuman (dahak berwarna kuning atau hijau, demam tetap tinggi setelah minum antipiretik dan penderita yang sebelumnya memiliki penyakit paru-paru. Kepada penderita dewasa diberikan Kotrimoksazol. Tetrasiklin 250 – 500 mg 4 x sehari. Eritromisin 250 – 500 mg 4 x sehari diberikan selama 7 – 10 hari.

69

Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

PENCEGAHAN Lokasi yang dingin, lembab - khususnya dikombinasikan dengan polusi udara atau asap rokok - dapat membuat seseorang lebih rentan terhadap bronkitis akut. Beberapa langkah yang dapat dilakukan untuk menurunkan risiko terjadinya bronkhitis adalah sebagai berikut: -

Hindari merokok dan menjadi perokok pasif. Asap tembakau meningkatkan risiko bronkitis kronis dan emphysema.

-

Menghindari orang-orang yang telah pilek atau flu. Semakin sedikit Anda terkena virus yang menyebabkan bronkhitis, semakin rendah risiko Anda mendapatkannya. Hindari kerumunan orang selama musim flu.

-

Hindari keluar malam karena saat malam kondisi udara dingin dan sangat lembab

sehingga

membuat

bronkus

mengalami

vasokontriksi

dan

peningkatan produksi secret. -

Makan makanan yang bergizi untuk meningkatkan daya tahan tubuh. Misalnya telur, susu, daging dan sebagainya.

-

Dapatkan vaksin flu tahunan. Banyak kasus bronkitis akut hasil dari influenza, virus. Mendapatkan vaksin flu tahunan dapat membantu melindungi seseorang dari flu, yang pada gilirannya, dapat mengurangi risiko bronkitis.

-

Cuci tangan atau menggunakan sanitizer tangan secara teratur. Untuk mengurangi risiko terkena infeksi virus, sering mencuci tangan dan membiasakan menggunakan sanitizer tangan. Dan jangan menggosok hidung atau mata Anda.

-

Ketika praktek, memakai masker.

PROGNOSIS Bronkhitis akut dianggap sebagai penyakit ringan akan tetapi hanya ada sedikit data tentang prognosis dan tingkat komplikasi seperti batuk kronis atau progresi terhadap bronkhitis kronis atau pneumonia. Berdasarkan sejumlah penelitian yang telah dilakukan, terjadi ketidakjelasan apakah bronkhitis akut

70

Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

memainkan peran penting dalam perkembangan bronkhitis kronis atau hanya sebagai penanda kecenderungan untuk penyakit paru-paru kronis. Meskipun merokok telah diidentifikasi sebagai faktor risiko tertinggi untuk bronkhitis kronis, hal ini masih belum bisa menjelaskan apakah efek inflamasi dari asap rokok dan infeksi yang menyebabkan bronkhitis akut memiliki efek adiktif dalam menyebabkan perubahan saluran napas peradangan kronis. (Whittemore, Perlin, & DiCiccio, 1995)

71

Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

19. DIABETES MELLITUS (DM) TIPE 2 DIAGNOSIS Langkah-langkah diagnosis DM dan TGT (cari bagan langkah-langkah diagnostic DM dan gangguan toleransi glukosa) Pemeriksaan penyaring perlu dilakukan pada kelompok tersebut di bawah ini (Committee Report ADA-2006): 1. Kelompok usia dewasa tua (>45 tahun) 2. Obesitas BB (kg) > 100% BB ideal atau IMT > 25 (kg/m 2). 3. Tekanan darah tinggi (>140/90 mmHg) 4. Riwayat DM dalam garis keturunan 5. Riwayat kehamilan dengan BB lahir bayi >4000 gram atau abortus berulang 6. Riwayat DM pada kehamilan 7. Dislipidemia (HDL < 35 mg/dL dan / atau Trigliserida > 250 mg/dL) 8. Pernah TGT (toleransi glukosa terganggu) atau glukosa darah puasa terganggu (GDPT) Pelaksanaan tes toleransi glukosa oral (TTGO) untuk diagnosis DM adalah sebagai berikut: 1. Tiga hari sebelumnya makan karbohidrat cukup 2. Kegiatan jasmani seperti yang biasa dilakukan 3. Puasa semalam, selama 10-12 jam 4. Periksa glukosa darah puasa 5. Diberikan glukosa 75 gram, dilarutkan dalam air 250 ml, dan diminum dalam waktu 5 menit. 6. Diperiksa glukosa darah 2 (dua) jam sesudah beban glukosa. 7. Selama pemeriksaan, pasien yang diperiksa tetap boleh minum air putih, namun harus istirahat dan tidak merokok.

72

Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

8. Untuk tujuan penelitian atau diagnosis DMG (Diabetes Mellitus Gestasional), dilakukan pemeriksaan glukosa darah pada 0,1,2,&3 jam sebelum dan sesudah minum beban glukosa 75 gram tersebut. Uji Laboratorium Darah Orang normal: Glukosa Darah Puasa (GDP) < 100 mg/dL, 2 jam PP < 140mg/dL, GDP antara 100 dan 126 mg/dL disebut: Glukosa Darah Puasa Terganggu (GDPT) atau Impaired Fasting Glucose (IFG). Untuk penderita DM: disebut “normal” atau regulasi baik (ADA, 2005) bila glukosa darah sebelum makan 90-130 mg/dL dan puncak glukosa darah sesudah makan < 180 mg/dL. Macam-macam metode pemeriksaan glukosa darah: Hagedorn-Jensen, Somogyi-Nelson, Autoanalyser, Enzimatis. Glukosa Darah Rerata (GDR) = GDP + 2 jam PP 2 GDP

: Glukosa Darah Puasa. Lama puasa persiapan periksa

labiratorium: 10-12 jam. 2 jam PP

: Glukosa darah 2 jam post prandial (sesudah beban glukosa 75 gram waktu

diagnosis); beban makanan pagi dikerjakan

sewaktu follow-up/kontrol). GDA

: Glukosa Darah Acak atau Random- Bila tidak mungkin cara enzimatik, maka dapat digunakan metode 0-Toluidine, SomogyiNelson, Autoanalyser, atau dengan fericyanide dan neocuproine.

Satuan kadar glukosa darah yang digunakan secara internasional adalah mg/dL. Urine Pada orang normal, reduksi urine: negative. Pemantauan reduksi urine biasanya 3x sehari dan dilakukan kurang lebih 30 menit sebelum makan, atau 4x sehari, yaitu 1x sebelum makan pagi, dan yang 3x dilakukan setiap 2 jam

73

Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

sesudah makan. Pemeriksaan reduksi 3x sebelum makan lebih lazim dan lebih hemat. Kriteria Diagnosis DM (Konsensus PERKENI, 2002) Dinyatakan DM apabila terdapat: 1. Kadar glukosa darah sewaktu (plasma vena) ≥ 200 mg/dL, plus gejala klasik: poliuria, polidipsia, dan penurunan berat badan yang tidak jelas sebabnya atau 2. Kadar glukosa darah puasa (plasma vena) ≥ 126 mg/dL, atau 3. Kadar Glukosa Plasma ≥ 200 mg/dL pada 2 jam sesudah makan atau beban glukosa 75 gram pada TTGO. Cara diagnosis dengan kriteria ini tidak dipakai rutin di klinik. Ketiga kriteria diagnosis tersebut harus dikonfirmasi ulang pada hari yang lain, atau esok harinya, kecuali untuk keadaan khas hiperglikemia yang jelas tinggi dengan dekompensasi metabolic akut, seperti ketoasidosis, berat badan yang menurun cepat. Kriteria glukosa darah dan puasa sebagai patokan penyaring dan diagnosis DM (mg/dL) Kondisi Kadar Glukosa

Bukan DM

Belum Pasti DM

DM

Plasma Vena

< 100

100-199

≥ 200

Darah Kapiler

< 50

90-199

≥ 200

Plasma vena

< 100

100-125

≥ 126

Darah kapiler

< 90

90-109

≥ 110

Darah Sewaktu

Kadar Glukosa Darah Puasa

Kriteria Diagnosis dan Klasifikasi Nefropati Diabetik Diagnosis Nefropati Diabetik (ND) dapat dibuat apabila dipenuhi ketiga persyaratan seperti di bawah ini:

74

Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

1. DM 2. Retinopati Diabetik 3. Proteinuria yang positif tanpa penyebab lain, atau selama 2 kali pemeriksaan dengan interval 2 minggu apabila penyebab lain (misalnya infeksi) sudah diatasi. Diagnosis Banding 1. Untuk kasus-kasus dengan hiperglikemia sesudah makan ( 2 jam PP); a. Penyakit Hepar (sirosis, hepatitis kronis) b. Gagal ginjal kronis (GGK) c. Hipertiroid 2. Untuk kasus-kasus dengan reduksi urine positif: a. Glukosuria renal (karena nilai ambang ginjal rendah) b. Galaktosuria pada kehamilan c. Obat-obatan: vitamin C dosis tinggi, dan lain-lain. PENATALAKSANAAN Penatalaksanaan dasar terapi DM meliputi pentalogi terapi DM: Terapi Primer: 1. Penyuluhan kesehatan masyarakat (PKM) tentang DM 2. Latihan fisik (LF): primer dan sekunder 3. Diet Terapi Sekunder: 1. Obat hipoglikemia (OHO dan insulin) 2. Cangkok pancreas

I.

PENYULUHAN KESEHATAN MASYARAKAT = PKM TENTANG DM PKM dapat dilaksanakan melalui:

1. Perorangan (antara dokter dengan penderita); bila tidak ada waktu, ber “PKM” lah waktu memeriksa atau menulis resep;

75

Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

2. Penyuluhan melalui TV; 3. Kaset video; penjelasan tentang DM, komplikasinya, terapi DM termasuk peragaan macam-macam diet dengan berbagai jenis kandungan kalorinya. 4. Diskusi kelompok 5. Poster 6. Leaflet 7. Dan lain-lain II.

LATIHAN FISIK (LF) UNTUK DM: LF PRIMER DAN SEKUNDER

Semua penderita DM dianjurkan latihan ringan teratur setiap hari pada saat 1 atau 1,5 jam sesudah makan, termasuk penderita yang dirawat di rumah sakit (Bed Exercise). Misalnya, makan pagi jam 07.3, makan siang jam 12.30, makan malam jam 18.30, maka latihan fisik harus dilakukan berturut-turut jam 08.00, 13.30, dan 19.30. Latihan Fisik (LF) ini disebut LF Primer. LF Sekunder untuk penderita DM, terutama dengan obesitas. Selain LF primer sesudah makan, juga dianjurkan LF sekunder agak berat setiap hari, pagi, dan sore (dengan tujuan menurunkan berat badan) sebelum mandi pagi dan sore agar penderita tidak lupa. III.

DIET DM

Dalam perkembangannya sampai saat ini terdapat 21 macam diet DM yang dikenal di Surabaya, yaitu: Diet-B, Diet-B Puasa, Dier B1, dan B1 puasa, B2, B3, Be, Diet-M, Diet-M puasa, Diet-G, Diet-KV, Diet-GL, Diet H, Diet KV-T1, Diet KV-T2, Diet KV-T3, Diet KV-I, Diet B1-T1, Diet B1-T2, Diet B1-T3, Diet B1L.

Petunjuk umum untuk pelaksanaan nutrisi pada pasien DM: 1. Meskipun susunan nutrisi oral dari 21 macam diet DM di Rumah Sakit Umum Dr. Soetomo berbeda-beda, tetapi setiap macam diet tetap diusahakan supaya dapat:  Memperbaiki kesehatan umum pasien

76

Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

 Dapat menyesuaikan berat badan pasien ke berat badan normal  Menormalkan pertumbuhan anak yang terkena DM atau pertumbuhan dewasa muda yang terkena DM  Mempertahankan glukosa darah mendekati normal  Menekan atau timbulnya angiopati diabetic  Memberikan modifikasi diet sesuai dengan keadaan penderita misalnya diabetisi yang hamil, diabetisi dengan penyakit hati, TBC, dan menarik serta mudah diterima penderita. 2. Pada dasarnya diet diabetes di Surabaya diberikan dengan cara 3 kali makanan utama dan 3 kali makanan antara (kudapan=snacks) dengan jarak antara (interval) tiga jam. Hal yang sama digunakan pada kondisi dimana pasien harus menggunakan nutrisi enteral (d/h SONDE) dengan menggunakan rumus E1, E2, E3, E4, E5, E6. 3. Untuk keberhasilan kepatuhan terhadap diet, perlu diingat “3K” dari pasien, yaitu kemauan, kemampuan, dan kesempatan. Dan dalam pelaksanaan diet, hendaknya mengikuti 3J (Jumlah, Jadwal, Jenis) yaitu meliputi: J1 = Jumlah-kalori yang diberikan harus dihabiskan J2 = Jadwal makan harus diikuti (interval 3 jam) J3 = Jenis gula dan yang manis harus dipantang. 4. Untuk kasus-kasus yang kadar glukosa darahnya sulit mendekati nilai normal (resistensi), olah raga ringan 3x sehari pada saat 1-1 ½ jam sesudah makan utama adalah mutlak harus dilaksanakan. Misalnya makan pagi pukul 06.30, latihan diadakan pukul 08.00 dan seterusnya. Gerak badan tiga kali ini juga dianjurkan pada penderita rawat inap yang porsinya disesuaikan dengan kekuatan fisik penderita tersebut. Disamping itu ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam pelaksanaan diet, yaitu sebagai berikut: 1. Harus kumur sesudah makan (tidak boleh ada sisa makanan dalam mulut, oleh karena akan menjadi sumber infeksi).

77

Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

2. Penderita harus pandai menggunakan daftar makanan pengganti agar tidak bosan, dengan dietnya. 3. Penderita harus melapor ke dokter apabila merasa lapar ataupun kelebihan dengan dietnya (jangan melebihi atau mengurangi makanan, berkonsultasilah

terus terang

kepada

dokter

yang

merawat). 4. Kalori yang diberikan kepada penderita harus “cukup” untuk bekerja sehari-hari sesuai dengan jenis pekerjaan dan sesuai untuk menuju ke berat badan “normal”. Penentuan Gizi Penderita dan Jumlah Kalori Per Hari: IMT = Indeks Mada Tubuh = BB

x 100%

(TB)2 Keterangan BBdalam kg, TB dalam m Normal : Pria 20-24,9 BBR = Berat Badan Relatif =

wanita: 18,5-23,9 BB

x 100%

TB – 100 Keterangan: BB dalam kg, TB dalam cm Gizi Buruk Normal

: < 90% : 90-100%

Gizi Lebih

: 100-120%

Gemuk (Obesitas) : > 120%

Kebutuhan kalori untuk menuju Berat Badan Normal: 1. Berat Badan Kurang (BBR 120 mmHg) dimana dengan pemeriksaan funduskopi menunjukkan adanya retinopati hipertensif Keith-Wagener (K-W) derajat 3. Dulu dikenal istilah Malignant Hypertension untuk hipertensi diastolic berat disertai retinopati hipertensif derajat 4, tetapi karena hipertensi berat dengan retinopati K-W derajat 3 maupun 4 mempunyai prognosis yang sama buruknya, maka 2 istilah tersebut kadang tidak dibedakan. AMH merupakan bagian dari Hypertension urgency, yaitu membutuhkan terapi dan penurunan TD dalam “jam”, sedangkan hypertension emergency adalah kondisi klinik dimana hipertensi berat harus segera diturunkan dalam “menit” oleh karena adanyan beberapa keadaan darurat seperti Acute dissection of the aorta, gagal ventrikel kiri akut, perdarahan intraserebral, serta krisis oleh karena

pheochromocytoma,

penyalahgunaan obat, eklampsia. KLASIFIKASI PENYEBAB Berdasarkan penyebab, hipertensi dibagi menjadi 2, yaitu: 1. Hipertensi primer (esensial), penyebab hipertensi tidak diketahui (9095% pasien) 2. Hipertensi sekunder, disebabkan oleh: a. Gangguan ginjal (2-6% dari seluruh pasien hipertensi):

80

Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

 Renal parenchymal disease: penyakit glomeruler, penyakit tubule-interstitial kronik, penyakit polikistik, uropati obstruktif.  Renovascular disease: renal artery stenosis (RAS) karena atherosclerosis dan dysplasia fibromuskuler, arthritis, kompresi a.renalis oleh factor ekstrinsik  Lain-lain : tumor yang menghasilkan rennin, retensi Na ginjal (Liddle’s syndrome). b. Gangguan endokrin:  Kelainan adreno-kortikal: aldosteronisme primer, hyperplasia adrenal congenital, sindroma Cushing.  Adrenal-medullary tumors: pheochromocytoma  Thyroid disease: hipertiroid, hipotiroid  Hyperparathyroidism: hipercalcemia  Akromegali  Carcinoid tumors c. Eksogen medication and drugs Kontrasepsi oral, simpatomimetik, glukokortikoid, mineralokortikoid, OAINS, siklosporin, eritropoietin, MAO inhibitor, dll. d. Kehamilan preeclampsia dan eklampsia e. Co-arctation of the aorta f. Gangguan neurologi: sleep apneu, peningkatan tekanan intracranial (tumor otak), gangguan afektif, spinal cord injury (GBS), disregulasi baroreflex. g. Faktor psikososial h. Intravascular volume overload i. Hipertensi sistolik:  Hilangnya elastisitas aorta dan pembuluh darah besar  Hyperdynamic cardiac output: hipertiroid, insufisiensi aorta, anemia, fistula arteriovenous, beri-beri, penyakit Paget tulang.

81

Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

EVALUASI PENDERITA Tujuan evaluasi penderita hipertensi adalah: 1. Untuk mengetahui kebiasaan hidup (lifestyle) serta menemukan factorfaktor

risiko

kardiovasculer

lainnya

atau

kelainan-kelainan

yang

menyertai, yang bisa mempengaruhi prognosis dan memandu terapi. 2. Untuk menemukan penyebab hipertensi yang bisa diidentifikasi 3. Untuk mengetahui ada atau tidak adanya kerusakan organ target (target organ damage) dan penyakit kardiovascular. Faktor risiko Kardiovasculer: Faktor risiko mayor: 1. Hipertensi 2. Merokok 3. Obesitas (IMT ≥ 30 kg/m2) 4. Inaktivitas fisik 5. dislipidemia 6. diabetes mellitus 7. Mikroalbuminuria atau perkiraan GFR < 60 ml/menit 8. Umur (lebih dari 55 tahun untuk laki-laki, 65 tahun untuk wanita) 9. Riwayat

keluarga

dengan

penyakit

jantung

kardiovascular

yang

premature (laki-laki kurang dari 55 tahun atau wanita kurang dari 65 tahun). Penyebab hipertensi yang dapat diidentifikasi: 1. Sleep apneu 2. Drug induced or related causes 3. Penyakit ginjal kronis 4. Aldosteronisme primer 5. Penyakit renovasculer 6. Pemberian steroid kronik dan sindrom Cushing 7. Pheocromocytoma 8. Coarctation of aorta

82

Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

9. Penyakit tiroid dan paratiroid Target Organ Damage: 1. Jantung a. Hipertrofi ventrikel kiri b. Angina atau infark miokard sebelumnya c. Revaskularisasi koroner sebelumnya 2. Otak a. Stroke atau TIA 3. Penyakit ginjal kronis 4. Penyakit arteri perifer 5. Retinopati Evaluasi

penderita

hipertensi

meliputi

anamnesis,

pemeriksaan

fisik,

pemeriksaan laboratorium, dan prosedur diagnostic lain. TANDA DAN GEJALA Pada dasarnya hipertensi tidak memberi gejala yang spesifik. Umumnya gejala yang dikeluhkan berkaitan dengan: 1. Peningkatan TD: sakit kepala (pada hipertensi berat), paling sering di daerah occipital dan dikeluhkan pada saat bangun pagi, selanjutnya berkurang secara spontan setelah beberapa jam, dizziness, palpitasi, mudah lelah. 2. Gangguan vascular: epistaksis, hematuria, penglihatan kabur karena perubahan di retina, episode kelemahan atau dizziness oleh karena transient cerebral ischemia, angina pektoris, sesak karena gagal jantung. 3. Penyakit yang mendasari: pada hiperaldosteronisme primer didapatkan poliuria, polidipsia, kelemahan otot karena hipokalemia, pada sindrom Cushing didapatkan peningkatan berat badan dan emosi labil, pada pheocromocytoma bisa didapatkan sakit kepala episodic, palpitasi, diaphoresis, postural dizziness.

83

Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

Anamnesis lain yang menunjang: 1. Riwayat hipertensi pada keluarga disertai riwayat peningkatan TD secara intermitten menunjang adanya hipertensi esensial 2. Hipertensi sekunder sering terjadi pada umur < 35 tahun atau > 55 tahun. 3. Riwayat

infeksi

saluran

kemih

berulang

bisa

dikaitkan

dengan

pielonefritis kronis. 4. Nokturia dan polidipsi mengesankan gangguan ginjal atau endokrin 5. Adanya beberapa gejala, seperti angina pektoris, gejala insufisiensi serebral, gagal jantung kongestif, menggambarkan adanya kelainan vaskuler yang progresif kea rah kondisi yang membahayakan. 6. Adanya factor risiko seperti merokok, diabetes mellitus, dislipidemia, riwayat keluarga yang meninggal dalam usia relative muda karena penyakit kardiovasculer. 7. Gaya hidup seperti diet, aktivitas fisik, pekerjaan, tingkat pendidikan, dan lain-lain. Pemeriksaan Fisik -

Kesan umum: misalnya wajah bulat dan obesitas trunkal mengesankan

sindroma Cushing. -

Pemeriksaan TD dan nadi: 1. Bandingkan kanan-kiri, posisi tidur/duduk dan berdiri: 2. Bila pada saat berdiri TDD meningkat mengesankan hipertensi esensial, bila TDD turun (tanpa terapi antihipertensi) kemungkinan hipertensi sekunder.

-

Catat berat badan dan tinggi badan untuk perhitungan BMI

-

Pemeriksaan

mata

yang

teliti

:

terutama

funduskopi

untuk

memperkirakan lamanya hipertensi dan prognosis -

Palpasi dan auskultasi a.carotid: mencari kemungkinan oklusi/stenosis

yang mungkin merupakan manifestasi penyakit hipertensi vascular, dan mungkin juga merupakan bagian dari lesi a.renalis.

84

Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

-

Pemeriksaan kelenjar tiroid

-

Pemeriksaan dada: 1) jantung : LVH, gagal jantung 2) Paru : rales 3) Bising ekstrakardiak dan kolateral (Coarctation aorta)

-

Pemeriksaan Abdomen: 1. Bising pada sisi kanan/kiri garis tengah, di atas umbilicus kemungkinan penyempitan a.renalis (Renal artery stenosis) 2. Pembesaran ginjal karena polikistik ginjal, massa pada ginjal 3. Palpasi

denyut

a.femoralis:

bila

menurun

dan

atau

terlambat

dibandingkan a.radialis maka TD pada kaki harus diukur. Walaupun denyut a. femoralis normal, bila didapatkan hipertensi pada umur < 30 tahun, tekanan arteri ekstremitas bawah harus diukur. - Pemeriksaan ekstremitas: edema, tanda adanya cerebrovascular accident (CVA) seebelumya. Pemeriksaan Laboratorium/penunjang Masih terdapat silang pendapat mengenai seberapa jauh/luas pemeriksaan laboratorium yang harus dilakukan pada pasien hipertensi, khususnya hipertensi sekunder atau subset dari hipertensi esensial. Tetapi secara umum sebelum memulai terapi perlu dilakukan pemeriksaan dasar yang meliputi: 1. Urine lengkap (UL) 2. Elektrolit serum (K, Na, Ca, P) 3. Darah lengkap (DL) 4. Profil lipid 5. Gula darah 6. Elektrokardiogram (EKG) 7. BUN dan kreatinin serum 8. Foto dada Bisa dipandang perlu bisa dilengkapi pemeriksaan: 1. Eksresi albumin urine 2. Rasio albumin/kreatinin

85

Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

Tidak direkomendasikan bermacam-macam pemeriksaan lain untuk mencari penyebab hipertensi, kecuali TD tidak dapat dikontrol. PENGOBATAN Pengobatan hipertensi tidak hanya berdasarkan pada derajat tekanan darah, tetapi juga mempertimbangkan terdapatnya factor risiko kardiovaskuler. Target tekanan darah Menurut JNC 7, tujuan utama kesehatan masyarakat memberikan terapi antihipertensi

adalah

menurunkan

morbiditas

dan

mortalitas

penyakit

kardiovaskular dan ginjal. Target TD secara umum adalah < 140/90 mmHg oleh karena dihubungkan dengan penurunan komplikasi penyakit kardiovascular, dan < 130/80 mmHg jika didapatkan diabetes dan penyakit ginjal. Tujuan Terapi JNC 7:  Menurunkan morbiditas dan mortalitas penyakit jantung kardiovaskular dan ginjal  Terapi tekanan darah hingga < 140/90 mmHg atau tekanan darah 2000 mm3, dengan PMN >75%. Diagnosis pasti didapatkan kristal monosodium urat pada pemeriksaan dengan mikroskop polarisasi. Radiologis: pada fase awal hanya didapatkan pembengkakan jaringan lunak sedangkan pada fase kronis didapatkan erosi sendi, gambaran khas sering disebut erosi “Punched-out”.

91

Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

Gambar 4. Kristal monosodium urat berbentuk seperti jarum Diferensial diagnosis Artritis septic, pseudogout, demam rheuma akut, rheumatoid arthritis. TERAPI GOUT ARTRITIS AKUT 1. Colchicin dosis 0,5 x 1-2 kali/hari dan diberikan sampai tanda inflamasi berkurang. Peran colchicin dalam terapi gout adalah menghambat fagositosis kristal monosodium asam urat oleh neutrofil. Efek samping: nyeri perut, diare, mual, muntah. Dosis harus dikurangi pada pasien yang tua dengan gangguan fungsi ginjal/hati. 2. NSAID : natrium diklofenak, ketoprofen, ibuprofen, endometasin, steroid. 3. Steroid : bila NSAID atau colchicin ada kontraindikasi, misalnya pada penderita insufisiensi renal, penderita tua atau kongestif. Diberikan local atau sistemik dengan aturan yang ketat karena efek samping kortikosteroid yang besar. Dosis oral prednisone 0,5 mg/kgBB/hari dan ditapering off 10 mg/minggu. 4. Jangan memberikan alluporinol/probenesid pada serangan akut kecuali penderita telah mengkonsumsi sebelumnya. 5. Pengobatan hiperurisemia. -

Diet rendah purin

-

Penghambat xantin oksidase: allopurinol dimulai dengan dosis 100 mg per oral sampai mencapai dosis antara 200-300 mg/hari, dosis maksimum 800 mg (dosis disesuaikan dengan fungsi ginjal). Peningkatan dosis sebaiknya pelan-pelan untuk menghindari penurunan asam urat yang mendadak, yang mana hal ini dapat mencetuskan serangan gout arthritis akut. Kadar serum asam urat dipertahankan < 6,4 mg/dL yaitu kadar di bawah titik saturasi asam urat di dalam darah. Indikasi batu ginjal, tofus, ekskresi asam urat dalam urine > 800-1000/hari. alergi urikosurik. Efek

92

Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

samping demam, Steven Johnson Syndrome, depresi sumsum tulang, vaskulitis, dan hepatitis. -

Urikosurik: Probenesid dosis 1-2 g/hari sulfinpirazone dosis: 2x50400 mg/hari.

Tabel 1. Bahan-bahan rendah purin dan tinggi protein Rendah Purin Tinggi Purin • Sereal, beras, roti putih, sagu, • Daging, jeroan, bebek, daging tapioca



Susu,

telur,

margarine,

awetan,

ikan/hewan

sarden,

kepiting,

laut, kerang,



udang. Ragi, bir, minuman alkohol



Kedelai,

mentega, buah, kacang (dalam •

jumlah sedikit) Kubis, sayur hijau

bayam,

asparagus,

bunga kol, jamur, emping •

Minuman beralkohol

PENCEGAHAN Diet rendah purin, turunkan berat badan, hindari alcohol, olah raga ringan dan teratur, hindari stress, colchisin dosis rendah efektif untuk menghindari eksaserbasi akut. Colchisin dapat diberikan sampai 6 bulan-1 tahun setelah serangan gout akut. Jika kadar serum asam urat bisa dipertahankan 5 mg/dL dan tidak ada serangan akut maka pemberian colchicin untuk maintenance dapat dihentikan. Obat ini cukup toksik, terutama terhadap ginjal dan hepar, sehingga perlu hati-hati dalam penggunaannya.

93

Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

94

Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

22. ANEMIA DEFISIENSI BESI GAMBARAN KLINIS ANEMIA DEFISIENSI BESI Gejala klinis dari anemia defisiensi besi adalah: 1. Anemia 2. Koilonikia 3. Stomatitis angularis 4. Sindrom Plummer Vinson 5. Gastritis 6. Ozaena

KELAINAN LABORATORIUM ANEMIA DEFISIENSI BESI 1. Pada pemeriksaan darah tepi didapatkan anemia yang hipokrom, mikrositer, anisositosis, poikilositosis, dan retikulosit rendah. 2. Pada pemeriksaan sumsum tulang terdapat hyperplasia normoblastik dan pengecatan besi negative. 3. Pemeriksaan kimia darah didapatkan Serum Iron rendah (< 15-60 mcgr/100 cc), TIBC meningkat (> 500 mcgr/100 cc). TIBC meningkat (>500 mcgr/100 cc). Ferritin rendah ( 20 mg/dl) yang menetap lebih dari 1 minggu pada hepatitis virus akut bisa merupakan tanda gagal hati berat dan berkaitan dengan prognosis yang buruk. Kadar albumin serum umumnya tidak menurun, kecuali pada kasus sub akut yang lebih berat setelah minggu pertama penyakit. Prothrombin Time dapat terganggu, dan pemanjangan ini berkaitan dengan derajat kegagalan fungsional hati. Indikator prognosis yang lebih dapat dipercaya pada hepatitis virus akut yang berat adalah pemeriksaan secara serial dari factor koagulasi (khususnya factor V) dan inhibitor koagulasi (antithrombin III). Penurunan di bawah 30 sampai 50% dari harga normal umumnya menunjukkan penurunan yang berat dari massa hati fungsional. Bila juga terjadi trombositopenia ( 80% dari nilai prediksi, variabilitas < 20%.

Obat yang dipakai agonis beta 2 hirup, obat lain tergantung intensitas serangan, bila berat dapat ditambahkan kortikosteroid oral. 2. Asma persisten ringan Gambaran klinis sebelum pengobatan: -

Gejala lebih dari 1x seminggu, tetapi kurang dari 1x perhari

-

Serangan mengganggu aktivitas dan tidur

-

Serangan asma malam lebih dari 2x/sebulan

-

Nilai APE atau VEP1 >80% dari nilai prediksi, variabilitas 20-30%.

Obat yang digunakan: setiap hari obat pencegah, agonis beta 2 bila perlu 3. Asma persisten sedang Gambaran klinis sebelum pengobatan: -

Gejala setiap hari

-

Serangan mengganggu aktivitas dan tidur

-

Serangan asma malam lebih dari 1 kali seminggu

-

Setiap hari menggunakan agonis beta 2 hirup

-

Nilai APE dan VEP

1

antara 60-80% nilai prediksi, variabilitas >

30%.

118

Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

Obat yang dipakai: setiap hari obat pencegah (kortikosteroid hirup) dan bronkodilator kerja panjang. 4. Asma persisten berat Gambaran klinis sebelum pengobatan: -

Gejala terus menerus, sering mendapat serangan

-

Gejala asma malam sering

-

Aktivitas fisis terbatas karena gejala asma

-

Nilai APE atau VEP1 kurang dari 60% nilai prediksi, variabilitas > 30%.

Obat yang dipakai: setiap hari obat-obat pencegah, dosis tinggi, kortikosteroid hirup, bronkodilator kerja panjang, kortikosteroid oral jangka panjang. Pengobatan dimulai sesuai dengan tahap atau tingkat beratnya asma. Bila gejala asma tidak terkendali, lanjutkan pengobatan ke tingkat berikutnya. Tetapi sebelumnya perhatikan lebih dahulu apakah teknik pengobatan, ketaatan berobat serta pengendalian lingkungan (penghindaran allergen atau factor pencetus) telah dilaksanakan dengan baik. Setelah asma terkendali paling tidak untuk jangka waktu 3 bulan, dapat dicoba menurunkan obat-obat anti asma secara bertahap, sampai mencapai dosis minimum yang dapat mengendalikan gejala. 5. Merencanakan Pengobatan Asma Akut (Serangan Asma) Serangan asma ditandai dengan gejala sesak napas, batuk, mengi, atau kombinasi dari gejala-gejala tersebut. Derajat serangan asma bervariasi dari yang ringan sampai berat yang dapat mengancam jiwa. Serangan bisa mendadak atau bisa juga perlahan-lahan dalam jangka waktu berhari-hari. Satu hal yang perlu diingat bahwa serangan asma akut menunjukkan rencana pengobatan jangka panjang telah gagal atau pasien sedang terpajan factor pencetus. Tujuan pengobatan serangan asma yaitu: a) Menghilangkan obstruksi saluran napas dengan segera;

119

Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

b) Mengatasi hipoksemia; c) Mengembalikan fungsi paru kea rah normal secepat mungkin; d) Mencegah terjadinya serangan berikutnya; e) Memberikan penyuluhan kepada pasien dan keluarganya mengenai cara-cara mengatasi dan mencegah serangan asma. Dalam penatalaksanaan serangan asma perlu diketahui lebih dahulu derajat beratnya serangan asma baik berdasarkan cara bicara, aktivitas, tanda-tanda fisis, nilai APE. Hal lain yang juga perlu diketahui apakah pasien termasuk pasien asma yang berisiko tinggi untuk kematian karena asma, yaitu pasien yang: -

Sedang memakai atau baru saja lepas dari kortikosteroid sistemik

-

Riwayat rawat inap atau kunjungan ke unit gawat darurat karena asma dalam setahun terakhir

-

Gangguan kejiwaan atau psikososial

-

Pasien yang tidak taat mengikuti rencana pengobatan

Pengobatan asma akut Prinsip pengobatan asma akut aalah memelihara saturasi oksigen yang cukup (SaO2 ≥ 92%) dengan memberikan oksigen, melebarkan saluran napas dengan pemberian bronkodilator aerosol (agonis beta 2 dan Ipratropium Bromida) dan mengurangi inflamasi serta mencegah kekambuhan dengan memberikan kortikosteroid sistemik. Pemberian oksigen 1-3 liter/menit, diusahakan mencapai

SaO2 ≥ 92% sehingga bila pasien telah mempunyai

SaO2 ≥ 92% sebenarnya tidak lagi membutuhkan inhalasi oksigen. Bronkodilator khususnya agonis beta 2 hirup (kerja pendek) merupakan obat anti-asma pada serangan asma, baik dengan MDI atau nebulizer. Pada serangan asma ringan atau sedang pemberian aerosol 2-4 kali setiap 20 menit cukup memadai untuk mengatasi serangan. Obat-obat anti-asma yang lain seperti antikolinergik hirup, teofilin, dan agonis beta 2 oral merupakan obat-obat alternative karena mulai kerjanya yang lama serta efek sampingnya yang lebih besar. Pada serangan asma yang lebih berat, dosis agonis beta 2 hirup dapat ditingkatkan. Sebagian peneliti menganjurkan pemberian kombinasi Ipratropium

120

Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

bromide dengan salbutamol, karena dapat mengurangi perawatan rumah sakit dan mengurangi biaya pengobatan. Kortikosteroid sistemik diberikan bila respon terhadap agonis beta 2 hirup tidak memuaskan. Dosis prednisolon antara 0,5-1 mg/kgBB atau ekivalennya. Perbaikan biasanya terjadi secara bertahap, oleh karena itu pengobatan diteruskan untuk beberapa hari. Tetapi bila tidak ada perbaikan atau minimal, segera pasien dirujuk ke fasilitas pengobatan yang lebih baik. Pasien harus segera dirujuk bila: 1) Pasien dengan risiko tinggi untuk kematian karena asma 2) Serangan asma berat APE < 60% nilai prediksi 3) Respon bronkodilator tidak segera, dan bila ada respon hanya bertahan kurang dari 3 jam 4) Tidak ada perbaikan dalam waktu 2-6 jam setelah mendapat pengobatan kortikosteroid 5) Gejala asma makin memburuk 6. Berobat Secara Teratur Untuk memperoleh tujuan pengobatan yang diinginkan, pasien asma pada umumnya memerlukan pengawasan yang teratur dari tenaga kesehatan. Kunjungan yang teratur ini diperlukan untuk menilai hasil pengobatan, cara pemakaian obat, cara menghindari factor pencetus serta penggunaan alat peak flow meter. Makin baik hasil pengobatan, kunjungan ini akan semakin berkurang.

121

Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

30. PNEUMONIA PENGOBATAN Pengobatan terdiri atas antibiotic dan pengobatan suportif. Pemberian antibiotic

pada

penderita

pneumonia

sebaiknya

berdasarkan

data

mikroorganisme dan hasil uji kepekaan, akan tetapi karena beberapa alasan: 1. Pneumonia yang berat dapat mengancam jiwa 2. Kuman pathogen yang berhasil diisolasi belum tentu sebagai penyebab pneumonia 3. Hasil pembiakan kuman memerlukan waktu maka pada penderita pneumonia dapat diberikan terapi secara empiris Secara umum pemilihan antibiotic berdasarkan bakteri penyebab pneumonia dapat dilihat sebagai berikut: Penisilin sensitive Streptococcus pneumonia (PSSP) -

Golongan Penisilin

-

TMT-SMZ

-

Makrolid

Penisilin resisten Streptococcus pneumonia (PRSP) -

Betalaktam oral dosis tinggi (untuk rawat jalan)

-

Sefotaksim, seftriakson dosis tinggi

-

Makrolid baru dosis tinggi

-

Fluorokuinolon respirasi

Pseudomonas aeruginosa -

Aminoglikosida

-

Seftazidim, sefoperason, sefepim

-

Tiraksilin, Piperasilin

-

Karbapenem: meropenem, imipenem

-

Siprofloksasin, levofloksasin

Methicillin resistant Staphylococcus aureus (MRSA) -

Vancomisin

-

Teikoplanin

122

Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

-

Linezolid

Haemophilus influenza -

TMT-SMZ

-

Azitromisin

-

Sefalosporin generasi 2 atau 3

-

Fluorokuinolon respirasi

Legionella -

Makrolid

-

Fluorokuinolon

-

Rifampisin

Mycoplasma pneumonia -

Doksisilin

-

Makrolid

-

Fluorokuinolon

Chlamydia pneumonia -

Doksisiklin

-

Makrolid

-

Fluorokuinolon

KOMPLIKASI Komplikasi yang dapat terjadi: -

Efusi pleura

-

Empiema

-

Abses paru

-

Pneumotoraks

-

Gagal napas

-

Sepsis

PNEUMONIA KOMUNITI

123

Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

Pneumonia komuniti adalah pneumonia yang didapat di masyarakat. Di dunia, pneumonia komuniti ini merupakan masalah kesehatan karena angka kematiannya yang tinggi. 1. Etiologi Menurut kepustakaan penyebab pneumonia komuniti banyak disebabkan kuman gram positif dan dapat pula kuman atipik. Akan tetapi di Indonesia, laporan akhir-akhir ini dari beberapa kota menunjukkan bahwa kebanyakan kuman yang ditemukan dari pemeriksaan dahak penderita pneumonia komuniti adalah bakteri gram negative. Berdasarkan laporan 5 tahun terakhir dari beberapa pusat paru di Indonesia (Medan, Jakarta, Surabaya, Malang, Makassar) dengan cara pengambilan bahan dan metode pemeriksaan mikrobiologi yang berbeda didapatkan hasil pemeriksaan sputum sebagai berikut: -

K. pneumonia 45,18%

-

S.pneumoniae 14,04%

-

S.viridans 9,21%

-

S.aureus 9%

-

Pseudomonas aeruginosa 8,56%

-

Β hemolitik 7,89%

-

Enterobacter 5,26%

-

Pseudomonas spp 0,9%

2. Diagnosis Diagnosis pneumonia komuniti didapatkan dari anamnesis, gejala klinis, pemeriksaan

fisik,foto

toraks

dan

laboratorium.

Diagnosis

pasti

pneumonia komuniti ditegakkan jika pada foto toraks terdapat infiltrate baru atau infiltrate progresif ditambah dengan 2 atau lebih gejala di bawah ini: -

Batuk-batuk bertambah berat

-

Perubahan karakteristik dahak/purulen

-

Suhu tubuh ≥ 37,5o C (oral)/riwayat demam

-

Pemeriksaan fisik: ditemukan tanda-tanda konsolidasi dan rhonki

124

Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

-

Leukosit ≥ 10.000 atau < 4500

Penilaian derajat keparahan penyakit Penilaian derajat keparahan penyakit pneumonia komuniti dapat dilakukan dengan menggunakan system skor menurut hasil penelitian Pneumonia Patient Outcome Research Team (PORT) seperti tabel 1. Dibawah ini: Karakteristik penderita Faktor demografi -

Usia: laki-laki Perempuan

- Perawatan di rumah -

Jumlah poin Umur (tahun) Umur (tahun)-10 +10

Penyakit penyerta Keganasan

+30

Penyakit Hati

+20

Gagal jantung kongestif

+10

Penyakit

+10

Cerebrovascular

+10

Penyakit Ginjal Pemeriksaan Fisik -

Perubahan status mental

+20

-

Pernapasan ≥ 30 kali/menit

+20

-

Tekanan darah sistolik ≤ 90

+20

mmHg -

Suhu tubuh < 35oC atau ≥40oC

+15

-

Nadi ≥125 kali/menit

+10

125

Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

Hasil laboratorium/Radiologik -

Analisis gas darah arteri:

+30

pH 7,35 -

BUN > 30 mg/dL

+20

-

Natrium < 130 mEq/liter

+20

-

Glukosa > 250 mg/dL

+10

-

Hematokrit 30/menit

-

PaO2/FiO2 kurang dari 250 mmHg

-

Gambaran rontgen paru menunjukkan kelainan bilateral

-

Gambaran rontgen paru melibatkan > 2 lobus

-

Tekanan sistolik < 90 mmHg

-

Tekanan diastolic < 60mmHg

Kriteria Mayor: -

Membutuhkan ventilasi mekanik

-

Infiltrat bertambah > 50%

-

Membutuhkan vasopresor > 4 jam (syok septic)

-

Serum kreatinin ≥ 2 mg/dl atau peningkatan ≥ 2 mg/dl, pada penderita

riwayat

penyakit

ginjal

atau

gagal

ginjal

yang

membutuhkan dialysis. Berdasarkan kesepakatan perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) 2003, kriteria yang dipakai untuk indikasi rawat inap pneumonia komuniti adalah: 1. Skor PORT lebih dari 70 2. Bila skor PORT kurang dari 70 maka penderita tetap perlu dirawat inap bila dijumpai salah satu dari kriteria di bawah ini:

126

Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

-

Frekuensi napas > 30/menit

-

PaO2/FiO2 kurang dari 250 mmHg

-

Gambaran rontgen paru menunjukkan kelainan bilateral

-

Gambaran rontgen paru melibatkan > 2 lobus

-

Tekanan sistolik < 90 mmHg

-

Tekanan diastolic < 60 mmHg

3. Pneumonia pada pengguna NAPZA Kriteria Perawatan Intensif Penderita yang memerlukan perawatan di Ruang Rawat Intensif adalah penderita yang mempunyai paling sedikit 1 dari 2 gejala mayor tertentu (membutuhkan ventilasi mekanik dan membutuhkan vasopresor > 4 jam [syok septic] atau 2 dari 3 gejala minor tertentu (PaO 2/FiO2 kurang dari 250mmHg, gambaran rontgen paru menunjukkan kelainan bilateral, dan tekanan sistolik < 90 mmHg). Kriteria minor dan mayor yang lain bukan merupakan indikasi untuk perawatan Ruang Rawat Intensif. PNEUMONIA NOSOKOMIAL Pneumonia nosokomial adalah pneumonia yang terjadi pada waktu penderita dirawat di rumah sakit, yang infeksinya tidak timbul atau tidak sedang dalam masa inkubasi pada waktu masuk rumah sakit, dan biasanya terjadi setelah 72 jam pertama masuk rumah sakit. Pneumonia nosokomial merupakan 15% dari seluruh kasus infeksi nosokomial. Diperkirakan dari 1000 penderita yang dirawat inap di rumah sakit, 5-10 diantaranya mengalami pneumonia nosokomial dan akan meningkat 6-20 kali pada penderita yang menggunakan ventilasi mekanik. “Ventilator Associated pneumonia” adalah subgroup dari pneumonia nosokomial sebagai bentuk penyulit pemasangan ventilator. Selain meningkatkan 2-3 kali lama perawatan di rumah sakit yang berakibat menambah biaya perawatan, pneumonia nosokomial juga menjadi penyebab kematian utama yakni 20-50%. Angka kematian tersebut akan

127

Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

meningkat lagi apabila terjadi bakterimia dan atau ditemukan kuman P.aeruginosa atau Acinebacter sebagai pathogen penyebab. 1. Etiologi Mikroorganis me penyebab pneumonia nosokomial berbeda dengan pneumonia komuniti. Dari kumpulan berbagai penelitian di luar negeri, pathogen umumnya adalah bakteri

gram negative (tersering E.coli,

Klebsiella spp, Enterobacter spp, Serratia spp, Proteus spp) dan pathogen-patogen yang potensial multiresisten seperti Pseudomonas aeruginosa, Acinebacter spp dan Stenotrophomonas spp. Strain ini merupakan 55-85% sebagai kuman penyebab. Kuman Gram positif Staphylococcus aureus akhir-akhir ini juga meningkat ditemukan sebagai pathogen penyebab sebesar 20-30%. Sedang polimikrobial sebagai pathogen-patogen penyebab berkisar antara 13-60%. Patogen penyebab yang

lebih jarang ialah

Legionella spp,

anaerob, jamur, virus

pernapasan. 2. Diagnsosis Menganut kriteria dari the CDC

(the Centers for Disease Control),

diagnosi pneumonia nosokomial adalah sebagai berikut: 1. Onset pneumonia timbul kebih dari 72 jam setelah masuk rumah sakit, yang infeksinya tidak timbul atau tidak sedang dalam masa inkubasi pada waktu masuk rumah sakit. 2. Pemeriksaan fisik menunjukkan rhonki, kepekaan atau adanya infiltrate pada foto toraks ditambah adanya satu atau lebih dari gejala berikut ini: b)

Sputum yang purulen

c)

Didapatkan isolasi pathogen dari darah, aspirasi trakea, specimen yang berasal dari biopsy atau sikatan bronkus

d)

Titer antibody terhadap suatu pathogen

e)

Pemeriksaan histopatologi membuktikan adanya pneumonia

Faktor Predisposisi atau Faktor Risiko Pneumonia Nosokomial

128

Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

Penderita yang mempunyai predisposisi timbulnya aspirasi mempunyai risiko mengalami pneumonia nosokomial. Apabila sejumlah bakteri dalam jumlah besar berhasil masuk ke dalam saluran napas bagian bawah yang steril, maka pertahanan inang yang gagal membersihkan inokulum berakibat terjadi proliferasi dan inflamasi sehingga timbul pneumonia. Interaksi antara factor (endogen) inang dan factor-faktor eksogen akan menyebabkan kolonisasi bakteri pathogen di saluran napas bagian atas atau pencernaan makanan. Kolonisasi kuman-kuman sebagaimana disebut sebagai etiologi tersebut dia tas di saluran napas bagian atas merupakan titik awal yang penting akan terjadinya pneumonia. Sebagai factor (endogen) inang adalah: 1. Debiliti 2. Dasar penyakit: diabetes, penyakit jantung, PPOK,dll (misal: PPOK akan meningkatkan risiko 3,7 kali timbulnya pneumonia nosokomial) 3. Usia Sedang sebagai factor eksogen adalah: 1. Pembedahan Besar risiko terjadinya pneumonia nosokomial tergantung pada jenis pembedahan yaitu torakotomi (40%), operasi abdomen atas (17%) dan operasi abdomen bawah (5%) 2. Penggunaan Antibiotik Antibiotik dapat mempermudah terjadinya kolonisasi, terutama antibiotic yang aktif terhadap streptococcus di orofaring dan kuman anaerob di saluran pencernaan makanan. Sebagai contoh: pemberian antibiotic golongan penisilin mempengaruhi flora normal di orofaring melepaskan bakteriosin yang menghambat pertumbuhan bakteri gram negative. Pemberian penisilin dosis besar akan menurunkan sejumlah bakteri gram positif dan meningkatkan kolonisasi bakteri gram negative di orofaring. 3. Peralatan terapi pernapasan

129

Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

Kontaminasi pada peralatan ini, terutama oleh kuman Pseudomonas aeruginosa dan kuman Gram negative lainnya sering berperan disini. 4. Pemasangan pipa nasogastrik, antasida, dan alimenasi enteral. Pada individu sehat, jarang dijumpai bakteri gram negative di lambung, karena dengan pH < 3 mampu dengan cepar membersihkan bakteri yang tertelan. Pemberian antasida/H2 bloker yang mempertahankan pH > 4 menyebabkan kolonisasi di lambung oleh bakteri gram negative aerob. Sedang larutan makanan enteral sendiri mempunyai pH netral 6,4-7,0. Klasifikasi Pneumonia Nosokomial Berdasarkan American Thoracic Society (ATS) dengan melihat 3 faktor sebagaimana di bawah ini: 1. Beratnya penyakit pneumonia: -

Ringan-sedang

-

Berat

2. Faktor risiko 3. Onset dari penyakit pneumonia: -

Onset dini (< 5 hari)

-

Onset lanjut (> 5 hari)

Maka pneumonia nosokomial dibagi menjadi 3 kelompok, yaitu: Kelompok I

:Pneumonia ringan-sedang, onset setiap saat dan tidak ada factor risiko atau pneumonia berat dengan onset dini dan tidak ada factor risiko.

Kelompok II

: pneumonia ringan-sedang, factor risiko spesifik dan onset setiap waktu

Kelompok III : Pneumonia berat onset setiap waktu dengan factor risiko spesifik dan atau pneumonia berat dengan onset lambat dan tidak ada factor risiko. Kriteria Pneumonia Berat: 1. Dirawat di ruang rawat intensif karena pneumonia atau gagal napas.

130

Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

2. Gagal napas yang memerlukan alat bantu napas mekanik atau membutuhkan O2 > 35% untuk mempertahankan saturasi O2 > 90%. 3. Perubahan radiologis secara progresif, pneumonia multilobar atau kaviti dari infiltrasi paru. 4. Terdapat sepsis dengan hipotensi dan atau disfungsi organ termasuk: -

Syok (tekanan sistolik < 90 mmHg atau diastolic < 60 mmHg)

-

Memerlukan vasopressor > 4 jam

-

Jumlah urine < 20 mm/jam atau jumlah urin 80 ml/4 jam

-

Gagal ginjal akut yang membutuhkan dialysis

Pengobatan: Pengobatan didasarkan atas klasifikasi pneumonia nosokomial menurut ATS sebagaimana tersebut di atas: Kelompok I: -

Kuman penyebab : Enterobacter spp, E.coli, Klebsiella spp. Proteus spp, S. marcescens, H. influenza, S.pneumoniae, S.aureus (hati-hati kemungkinan ada MRSA)

-

Obat pilihan : sefalosporin generasi 2 atau 3 non pseudomonas, betalaktam+ inhibitor betalaktamase

-

Jika

alergi

penisilin

dapat

diberikan

fluorokuinolon

atau

klindamisin+aztreonam. Kelompok II: -

Kuman penyebab utama: Enterobacter spp, E.coli, Klebsiella spp, Proteus spp, S. marcescens, H. influenza, S.pneumoniae, S.aureus (hati-hati kemungkinan ada MRSA)

-

Kuman penyebab tambahan: anaerob, MRSA, Legionella spp, P. aeruginosa.

-

Obat pilihan : sefalosporin generasi 2 dan 3 atau non pseudomonas, betalaktam+inhibitor betalaktamase

-

Jika

alergi

penisilin

dapat

diberikan

fluorokuinolon

atau

klindamisin+aztreonam

131

Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

-

Jika dicurigai anaerob diberikan klindamisin atai metronidazol atau betalaktam+inhibitor betalaktamase

-

Jika dicurigai Legionella spp : makrolid atau fluorokuinolon

-

Jika dicurigai MRSA diberikan : vankomisin

-

Jika dicurigai P.aeruginosa diberikan sesuai dengan kelompok II.

Kelompok III: -

Kuman penyebab utama:

Enterobacter spp, E.coli, Klebsiella

spp, Proteus spp, S. marcescens, H. influenza, S.pneumoniae, S.aureus (hati-hati kemungkinan ada MRSA). -

Kuman penyebab tambahan : P. aeruginosa, Acinetobacter spp, S. maltophilia, MRSA.

-

Obat pilihan : aminoglikosida dikombinasi dengan salah satu di bawah ini: o Penisilin anti pseudomonas o Piperasilin + tasobaktam o Seftazidim atau sefoperason o Imipenem o Meropenem o Sefepim

Harus dipikirkan kemungkinan terdapat infeksi P.aeruginosa atau Acinetobacter atau MRSA. Pada keadaan-keadaan ini diperlukan pengobatan antibiotic kombinasi. Jika terdapat S.matophilia dapat diberikan kotrimoksazol atau sefalosporin generasi 4. Lama Pengobatan Dalam penelitian prospektif tidak ada catatan mengenai lamanya pemberian antibiotic pada penderita pneumonia nosokomial. Lama pemberian antibiotic sangat individual yaitu tergantung beratnya penyakit, cepat atau lambatnya respon pengobatan dan adanya kuman penyebab yang pathogen. Jika disebabkan P.aeruginosa atau Acinetobacter spp kemungkinan terjadinya gagal pengobatan, relaps dan kematian akan tinggi. Adanya gambaran foto

132

Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

toraks yang multilobar, kaviti, penyakit berat, dan adanya nekroting kuman gram negative pneumonia, maka respons pengobatan akan lambat dan penyembuhan tidak sempurna. Pada suatu penelitian dilaporkan bahwa angka kesembuhan pneumonia nosokomial 95% bila disebabkan metisilin resisten Staphylococcus aureus (MRSA) atau H.influenza, untuk kuman-kuman tersebut dibutuhkan pengobatan antibiotic 7-10 hari. Prognosis Angka kematian pada pneumonia nosokomial lebih tinggi disbanding dengan pneumonia komuniti yaitu sebesar 20-50%. Angka kematian ini akan meningkat apabila pathogen penyebabnya P.aeruginosa atau Acinetobacter species. Pada penderita pneumonia yang dirawat di Ruang rawat intensif angka kematian

meningkat

3-10

kali

dibandingkan

dengan

penderita

tanpa

pneumonia. Pencegahan Prinsip pencegahan terutama ditujukan pada pengendalian factor-faktor risiko, yaitu: -

Vaksinasi

-

Pencegahan proses transmisi pathogen

-

Mencegah factor-faktor yang dapat menimbulkan aspirasi

-

Mengurangi penggunaan antibiotic yang tidak perlu

-

Mempertahankan keasaman lambung

-

Sterilisasi yang optimal terutama pada perawatan pra dan post operasi.

133

Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

31. DEMAM BERDARAH DENGUE DIAGNOSIS Patokan diagnosis DBD (WHO 1975) berdasarkan gejala klinis dan laboratorium. Untuk mendiagnosis DBD ditetap menurut WHO terdiri dari : Gejala Klinis : 1. Demam tinggi mendadak 2 – 7 hari. 2. Manifestasi perdarahan, termasuk setidak – tidak uji torniqut positif dan salah satu bentuk lain yakni perdarahan spontan (purpura, petechiae, epistaksis, perdarahan gusi hematemesis dan melena ). 3. Pembesaran hati. 4. Renjatan yang ditandai olrh nadi lemah, sepat disertai tekanan nadi menurun (menjadi 20 mmhg atau kurang) tekanan nadi menurun tekanan sistole menurun sampai 80 mmhg atau kurang disertai kulit yang teraba dingin dan lembab terutama pada ujung hidung, jari dan kaki, pemderita menjadi gelisah, timbul sianosis disekitar mulut. LABORATORIUM 1. Trombositoponia (100.000mm3 atau kurang) 2. Nilai hematokrit meningkat 20 % atau dibandingkan dengan nilai hematokrit pada masa konvalesen. Dua kriteria ditambah serta kriteria laboratorium sudah cukup untuk mendiagnosis DBD. DERAJAT DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD) Derajat penyakit DBD menurut WHO Derajat I :

Demam disertai gejala tidak klinis dan satu-satunya

manifestasi perdarahan adalah uji torniquit positif. Derajat II

: Derajat I disertai perdarahan spontan dikulit atau perdarahan lain.

134

Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

Derajat III

: Ditemukan kegagalan sirkulasi yaitu nadi cepat dan lembab dan dingin serta penderita menjadi gelisah.

Derajat IV

: Renjatan berat dengan nadi yang tidak dapat diraba dan tekanan darah yang tidak dapat diukur.

DIAGNOSA BANDING 1. Chikungunya haemoragic Fever (CHF) 2. Idiopatic Trombositopenia KOMPLIKASI 1. Perdarahan gastrointestinal 2. Encephalopati 3. DIC 4. Efusi pleura PENATALAKSANAAN Pada dasarnya bersifat suportif yaitu mengatasi kehilangan cairan plasma sebagai akibat peningkatan permeabilitas kapiler dan sebagai akibat perdarahan. Penatalaksaan DBD terdiri dari 1. Penggantian cairan 2. Pemberian obat-obatan : - obat – obat simptomatik (antipriratik) -

Antibiotik (untuk profilaksis)

3. Perawatan

TATALAKSANA KASUS DBD GRADE II CAIRAN AWAL

135

Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

RL/NaCl 0,9% RLD5/nAcL + 6 – 7 ML / KG bb / jam

Monitor tanda vital / nilai Ht, trombosit tiap 6 jam

Perbaikan

Tidak ada Perbaikan

-

-

Tidak gelisah Nadi kuat TD stabil Diuresi cukup Ht turun (2 x periksa)

gelisah Distres pernapasan Frekwensi nadi rendah Ht tetap tinggi / naik TD menurun / tidak teratur Diuresis kurang

Tetes dan diturunkan

tetesan dinaikkan perburukan

menjadi 5 ml / kg BB / jam

menjadi 10 ml / kg BB / jam

Perbaikan

Tidak adaPerbaikan

Tetesan diturunkan

Tetesan dinaikkan menjadi

Menjadi 3 ml/kg BB/jam Distres pernafasan Ht naik

15 ml / kg BB / jam Ht turun Tranfusi darah

Koloid 20 – 30 cc / kg BB

segar 10 ml / kg BB

32. PERTUSSIS PENATALAKSANAAN Penderita akan dirawat di rumah sakit jika termasuk dalam kategori penyakit berat. Penderita sebaiknya ditempatkan di kamar yang tenang karena keributan dapat merangsang serangan batuk. Dapat dilakukan pula pengisapan lendir dari tenggorokan dan pada kasus yang berat, oksigen dapat diberikan

136

Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

langsung ke paru-paru melalui selang yang dimasukkan ke dalam trakea. Antibiotik

semacam

Azithromycin,

Erythromycin

atau

Trimethroprim-

Sulfamethoxazole akan sangat efektif dalam melawan pertussis. Beri pasien Erythromycin oral sebanyak 50 mg/kgBB/hari yang dibagi dalam 4 dosis selama 10

hari.

Erythromycin

akan

menurunkan

periode

infeksi

dan

juga

menyembuhkan pertussis bila diberikan dalam stadium kataralis. Oksigen bisa dijadikan opsi pada penderita distress pernapasan akut/kronis. Kodein juga dapat diberikan bila terdapat batuk-batuk yang sangat keras dan hebat sedangkan luminal dapat digunakan sebagai sedatif. PENCEGAHAN Penyakit ini dapat dicegah dengan vaksinasi secara rutin. Biasanya, vaksinasi pertussis dikombinasikan dengan vaksin lainnya dengan tingkat kekuatan yang berbeda beda seperti difteri, tetanus, dan acellular pertussis (DTaP). Di AS vaksin booster yang mengandung dosis yang lebih rendah dari vaksin difteri dan acellular pertussis yang dikombinasikan dengan tetanus (Tdap) banyak digunakan untuk penderita remaja dan dewasa. Vaksin ini juga direkomendasikan untuk diberikan setiap 10 tahun sekali pada remaja dan orang dewasa termasuk orang yang teah berusia lebih dari 65 tahun (CDCP's, 2012). PROGNOSIS Untuk remaja dan orang dewasa, prognosis secara umum bersifat baik. Hal ini membutuhkan waktu beberapa bulan untuk sembuh dari batuk sepenuhnya. Bagaimanapun, mereka yang memiliki komorbiditas memiliki risiko yang lebih tinggi terhadap morbiditas dan mortalitas (Kretsinger, Broder, & Cortese, 2006)

137

View more...

Comments

Copyright ©2017 KUPDF Inc.
SUPPORT KUPDF