Rhinitis Alergi
November 1, 2017 | Author: rozanfikri | Category: N/A
Short Description
Rhinitis Alergi...
Description
BAB I PENDAHULUAN Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi kronis yang disebabkan oleh suatu reaksi alergi dengan dilepaskannya suatu mediator kima ketika terjadi paparan ulangan dengan alergen spesifik pada pasien atopik yang sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama sebelumnya. 1 Dengan kata lain, alergi adalah suatu reaksi hipersensitivitas. Penyakit alergi merupakan kerusakan jaringan tipe 1, sehingga memerlukan adanya antibody (immunoglobulin) E untuk terjadinya reaksi. Untuk menimbulkan reaksi alergi harus dipenuhi 2 faktor, yaitu adanya sensitivitas terhadap suatu alergen (atopi), yang biasanya bersifat herediter dan adanya kontak ulang dari alergen tersebut.1 Seperti yang telah diketahui sebelumnya dikenal bahwa reaksi tipe I menurut klasifikasi Gell dan Coomb pada than 1963 mula-mula dianggap sebagai reaksi cepat (terjadi beberapa saat setelah paparan) dan langsung menimbulkan gejala. Tetapi setelah dipelajari lebih dalam, ternyata rinitis alergi merupakan suatu penyakitinflamasi yang terdiri dari reaksi fase cepat, fase lambat dan fase hiperresponsif.1 Usia rata-rata onset rinitis alergi adalah 8-11 tahun, dan 80% kasus rinitis alergi berkembang dengan usia 20 tahun.2 Biasanya rinitis alergi timbul di usia muda. Riwayat atopi memegang peranan penting dalam timbulnya rinits alergi. Jika kedua orang tua memiliki riwayat atopi maka risiko anaknya untuk menderita atopi menjadi 4 kali lebih besar.2 Prinsip penatalaksanaan rinitis alergi terutama adalah menghindari faktor pencetus utama, yaitu agen penyebab alergi yang bersifat spesifik pada masingmasing individu. Kemudian untuk mempercepat resolusi dari gejala dapat didukung dengan terapi farmakologi, baik dengan obat-obatan, pembedahan, maupun imunoterapi.1
1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama serta dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan alergen spesifik tersebut.1 Menurut WHO ARIA (Allergic Rinitis and its Impact on Asthma) tahun 2010, rinitis alergi adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen yang diperantarai oleh IgE.2 Berdasarkan penyebabnya, ada 2 golongan rinitis :2 1. Rinitis alergi à disebabkan oleh adanya alergen yang terhirup oleh hidung. 2. Rinitis non alergi à disebabkan oleh faktor-faktor pemicu tertentu : rinitis vasomotor, rinitis medikamentosa, rinitis struktural Menurut WHO Iniative ARIA (Allergic Rinitis and its Impact on Asthma) tahun 2000, yaitu berdasarkan sifat berlangsungnya dibagi menjadi :2 1. Intermiten (kadang-kadang): bila gejala kurang dari 4 hari/minggu atau kurang dari 4 minggu. 2. Persisten/menetap bila gejala lebih dari 4 hari/minggu dan atau lebih dari 4 minggu. Sedangkan untuk tingkat berat ringannya penyakit, rinitis alergi dibagi menjadi: 1.
Ringan, bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan aktifitas harian, bersantai, berolahraga, belajar, bekerja dan hal-hal lain yang mengganggu.
2.
Sedang atau berat bila terdapat satu atau lebih dari gangguan tersebut diatas.2,3
Etiologi Rinitis alergi melibatkan interaksi antara lingkungan dengan predisposisi genetik dalam perkembangan penyakitnya.1,2 Faktor genetik dan herediter sangat 2
berperan pada ekspresi rinitis alergi.1,2 Penyebab rinitis alergi tersering adalah alergen inhalan pada dewasa dan ingestan pada anak-anak. Pada anak-anak sering disertai gejala alergi lain, seperti urtikaria dan gangguan pencernaan. 3 Penyebab rinitis alergi dapat berbeda tergantung dari klasifikasi. Beberapa pasien sensitif terhadap beberapa alergen. Alergen yang menyebabkan rinitis alergi musiman biasanya berupa serbuk sari atau jamur.2,4 Rinitis alergi perenial (sepanjang tahun) diantaranya debu tungau, terdapat dua
spesies
utama
tungau
yaitu
Dermatophagoides
farinae
dan
Dermatophagoides pteronyssinus, jamur, binatang peliharaan seperti kecoa dan binatang pengerat. Faktor resiko untuk terpaparnya debu tungau biasanya karpet serta sprai tempat tidur, suhu yang tinggi, dan faktor kelembaban udara.1 Kelembaban yang tinggi merupakan faktor resiko untuk untuk tumbuhnya jamur. Berbagai pemicu yang bisa berperan dan memperberat adalah beberapa faktor nonspesifik diantaranya asap rokok, polusi udara, bau aroma yang kuat atau merangsang dan perubahan cuaca.2 Berdasarkan cara masuknya allergen dibagi atas: 1.
Alergen Inhalan, yang masuk bersama dengan udara pernafasan, misalnya debu rumah, tungau, serpihan epitel dari bulu binatang serta jamur.
2.
Alergen Ingestan, yang masuk ke saluran cerna, berupa makanan, misalnya susu, telur, coklat, ikan, udang, dan kacang-kacangan.
3.
Alergen Injektan, yang masuk melalui suntikan atau tusukan, misalnya penisilin atau sengatan lebah.
4.
Alergen Kontaktan, yang masuk melalui kontak dengan kulit atau jaringan mukosa, misalnya bahan kosmetik atau perhiasan.4
2.3 Patofisiologi Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan tahap sensitisasi dan diikuti dengan reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri dari 2 fase yaitu : 1. Immediate Phase Allergic Reaction atau Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC) yang berlangsung sejak kontak dengan alergen sampai 1 jam setelahnya. Munculnya segera dalam 5-30 menit, setelah terpapar dengan alergen spesifik dan gejalanya terdiri dari bersin-bersin, rinore karena hambatan hidung dan 3
atau bronkospasme. Hal ini berhubungan dengan pelepasan amin vasoaktif seperti histamin. 2. Late Phase Allergic Reaction atau Reaksi Alergi Fase Lambat (RAFL) yang berlangsung 2-4 jam dengan puncak 6-8 jam (fase hiperreaktifitas) setelah pemaparan dan dapat berlangsung sampai 24-48 jam. Muncul dalam 2-8 jam setelah terpapar alergen tanpa pemaparan tambahan. Hal ini berhubungan dengan infiltrasi sel-sel peradangan, eosinofil, neutrofil, basofil, monosit dan CD4 + sel T pada tempat deposisi antigen yang menyebabkan pembengkakan, kongesti dan sekret kental.
Gambar 1. Patofisiologi alergi (rinitis, dermatitis, asthma) paparan allergen pertama dan selanjutnya
Patofisiologi rinitis alergi dapat dibedakan ka dalam fase sensitisasi dan elisitasi. Fase elisitasi dibedakan atas tahap aktivasi dan tahap efektor. Fase sensitisasi diawali dengan paparan alergen yang menempel dimukosa hidung bersama udara pernapasan. Alergen tersebut ditangkap kemudian dipecah oleh sel penyaji antigen (APC) seperti sel Langerhans, sel dendritik dan makrofag menjadi peptida rantai pendek.3,4,5 Hasil pemecahan alergen ini akan dipresentasikan di permukaan APC melalui molekul kompleks histokompatibilitas mayor kelas II (MHC kelas II).5 Ikatan antara sel penyaji antigen dan sel Th 0 (sel T helper) melalui MHC-II dan reseptornya (TcR-CD4) memicu deferensiasi Sel Th0 4
menjadi sel Th2.5 Beberapa sitokin yaitu IL3, IL4, IL5, IL9,IL10, IL13 dan granulocyte-macrophage
colony-stimulating
factor
(GMCSF)
akan
dilepaskan.5 IL-4 dan IL-13 selanjutnya berikatan dengan reseptornya di permukaan sel limfosit B, sehingga sel limfosit B menjadi aktif dan akan memproduksi imunoglobulin E (IgE) yang akan dilepaskan di sirkulasi darah dan jaringan sekitarnya.5 IgE di sirkulasi darah akan masuk ke jaringan dan berikatan dengan reseptor IgE di permukaan sel mastosit atau basofil (sel mediator membentuk ikatan IgE-sel mast. Individu yang mengandung komplek tersebut disebut individu yang sudah tersensitisasi, yang menghasilkan sel mediator yang tersensitisasi.5 Fase aktivasi bila mukosa yang sudah tersensitisasi terpapar alergen yang sama, maka kedua rantai IgE akan mengikat alergen spesifik dan menyebabkan terjadinya degranulasi (pecahnya dinding sel) mastosit dan basofil dengan akibat terlepasnya mediator kimia yang sudah terbentuk (Performed Mediators) terutama histamin. Selain histamin juga dikeluarkan Newly Formed Mediators antara lain prostaglandin D2 (PGD2), Leukotrien D4 (LT D4), Leukotrien C4 (LT C4), bradikinin, Platelet Activating Factor (PAF), berbagai sitokin (IL-3, IL-4, IL-5, IL-6, GM-CSF (Granulocyte Macrophage Colony Stimulating Factor) dan lainlain. Inilah yang disebut sebagai Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC). Histamin akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus sehingga menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. Histamin juga akan menyebabkan kelenjar mukosa dan sel goblet mengalami hipersekresi dan permeabilitas kapiler meningkat sehingga terjadi rinore. Gejala lain adalah hidung tersumbat akibat vasodilatasi sinusoid. Selain histamin merangsang ujung saraf Vidianus, juga menyebabkan rangsangan pada mukosa hidung sehingga terjadi pengeluaran Inter Cellular Adhesion Molecule 1 (ICAM1). Pada RAFL, sel mastosit juga akan melepaskan molekul kemotaktik yang menyebabkan akumulasi sel eosinofil dan netrofil di jaringan target. Respons ini tidak berhenti sampai disini saja, tetapi gejala akan berlanjut dan mencapai puncak 6-8 jam setelah pemaparan.3,4 Pada RAFL ini ditandai dengan penambahan jenis dan jumlah sel inflamasi seperti eosinofil, limfosit, netrofil, basofil dan 5
mastosit di mukosa hidung serta peningkatan sitokin seperti IL-3, IL-4, IL-5 dan Granulocyte Macrophag Colony Stimulating Factor (GM-CSF) dan ICAM1 pada sekret hidung. Timbulnya gejala hiperaktif atau hiperresponsif hidung adalah akibat peranan eosinofil dengan mediator inflamasi dari granulnya seperti Eosinophilic Cationic Protein (ECP), Eosiniphilic Derived Protein (EDP), Major Basic Protein (MBP), dan Eosinophilic Peroxidase (EPO). Pada fase ini, selain faktor spesifik (alergen), iritasi oleh faktor non spesifik dapat memperberat gejala seperti asap rokok, bau yang merangsang, perubahan cuaca dan kelembaban udara yang tinggi.5 Secara mikroskopik tampak adanya dilatasi pembuluh (vascular bad) dengan pembesaran sel goblet dan sel pembentuk mukus. Terdapat juga pembesaran ruang interseluler dan penebalan membran basal, serta ditemukan infiltrasi sel-sel eosinofil pada jaringan mukosa dan submukosa hidung.5 2.4 Manifestasi Klinis Gejala rinitis alergi yang khas ialah terdapatnya serangan bersin berulang. Sebetulnya bersin merupakan gejala yang normal, terutama pada pagi hari atau bila terdapat kontak dengan sejumlah besar debu. Hal ini merupakan mekanisme fisiologik, yaitu proses membersihkan sendiri (self cleaning process). Bersin dianggap patologik, bila terjadinya lebih dari 5 kali setiap serangan, sebagai akibat dilepaskannya histamin.6 Gejala lain ialah keluar ingus (rinore) yang encer dan banyak, hidung tersumbat, hidung dan mata gatal, yang kadang-kadang disertai dengan banyak air mata keluar (lakrimasi). Tanda-tanda alergi juga terlihat di hidung, mata, telinga, faring atau laring. Tanda hidung termasuk lipatan hidung melintang – garis hitam melintang pada tengah punggung hidung akibat sering menggosok hidung ke atas menirukan pemberian hormat (allergic salute), pucat dan edema mukosa hidung yang dapat muncul kebiruan. Lubang hidung bengkak. Disertai dengan sekret mukoid atau cair. Tanda di mata termasuk edema kelopak mata, kongesti konjungtiva, lingkar hitam dibawah mata (allergic shiner).6 Tanda pada telinga termasuk retraksi membran timpani atau otitis media serosa sebagai hasil dari hambatan tuba eustachius. Tanda faringeal termasuk faringitis granuler akibat 6
hiperplasia submukosa jaringan limfoid. Tanda laringeal termasuk suara serak dan edema pita suara.6 Gejala lain yang tidak khas dapat berupa: batuk, sakit kepala, masalah penciuman, mengi, penekanan pada sinus dan nyeri wajah, post nasal drip. Beberapa orang juga mengalami lemah dan lesu, mudah marah, kehilangan nafsu makan dan sulit tidur.6 2.5 Diagnosis Diagnosis rinitis alergi ditegakkan berdasarkan: 1. Anamnesis Anamnesis sangat penting, karena sering kali serangan tidak terjadi dihadapan pemeriksa. Hampir 50% diagnosis dapat ditegakkan dari anamnesis saja. Gejala rinitis alergi yang khas ialah terdapatnya serangan bersin berulang. Gejala lain ialah keluar hingus (rinore) yang encer dan banyak, hidung tersumbat, hidung dan mata gatal, yang kadang-kadang disertai dengan banyak air mata keluar (lakrimasi). Kadang-kadang keluhan hidung tersumbat merupakan keluhan utama atau satu-satunya gejala yang diutarakan oleh pasien (Irawati, Kasakayan, Rusmono, 2008). Perlu ditanyakan pola gejala (hilang timbul, menetap) beserta onset dan keparahannya, identifikasi faktor predisposisi karena faktor genetik dan herediter sangat berperan pada ekspresi rinitis alergi, respon terhadap pengobatan, kondisi lingkungan dan pekerjaan. Rinitis alergi dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis, bila terdapat 2 atau lebih gejala seperti bersin-bersin lebih 5 kali setiap serangan, hidung dan mata gatal, ingus encer lebih dari satu jam, hidung tersumbat, dan mata merah serta berair maka dinyatakan positif.6 2. Pemeriksaan Fisik Pada muka biasanya didapatkan garis Dennie-Morgan dan allergic shinner, yaitu bayangan gelap di daerah bawah mata karena stasis vena sekunder akibat obstruksi hidung.6 Selain itu, dapat ditemukan juga allergic crease yaitu berupa garis melintang pada dorsum nasi bagian sepertiga bawah. Garis ini timbul akibat hidung yang sering digosok-gosok oleh punggung tangan (allergic salute).6
7
Pada pemeriksaan rinoskopi ditemukan mukosa hidung basah, berwarna pucat atau livid dengan konka edema dan sekret yang encer dan banyak. Perlu juga dilihat adanya kelainan septum atau polip hidung yang dapat memperberat gejala hidung tersumbat. Selain itu, dapat pula ditemukan konjungtivis bilateral atau penyakit yang berhubungan lainnya seperti sinusitis dan otitis media.6 3. Pemeriksaan Penunjang a. Laboratorium Hitung eosinofil dalam darah tepi dapat normal atau meningkat. Demikian pula pemeriksaan IgE total (prist-paper radio imunosorbent test) sering kali menunjukkan nilai normal, kecuali bila tanda alergi pada pasien lebih dari satu macam penyakit, misalnya selain rinitis alergi juga menderita asma bronkial atau urtikaria. Lebih bermakna adalah dengan RAST (Radio Immuno Sorbent Test) atau ELISA (Enzyme Linked Immuno Sorbent Assay Test). Pemeriksaan sitologi hidung, walaupun tidak dapat memastikan diagnosis, tetap berguna sebagai pemeriksaan
pelengkap.
Ditemukannya
eosinofil
dalam
jumlah
banyak
menunjukkan kemungkinan alergi inhalan. Jika basofil (5 sel/lap) mungkin disebabkan alergi makanan, sedangkan jika ditemukan sel PMN menunjukkan adanya infeksi bakteri.6 b. Skin Prick Test Alergen penyebab dapat dicari dengan cara pemeriksaan tes cukit kulit (skin Prick test). Pemeriksaan ini dilakukan untuk alergen inhalan dengan menyuntikkan alergen dalam berbagai konsentrasi yang bertingkat kepekatannya. 6 2.6 Penatalaksanaan 1. Terapi nonfarmakologi Terapi non-farmakologi yang paling ideal adalah dengan menghindari alergen penyebabnya (avoidance) dan eliminasi. 2. Terapi farmakologi a. Medikamentosa Terapi medikamentosa yaitu antihistamin, obat-obatan simpatomimetik, kortikosteroid dan antikolinergik topikal. 8
Antihistamin yang dipakai adalah antagonis H-1. Antagonis reseptor histamin H1 berikatan dengan reseptor H1 tanpa mengaktivasi reseptor, yang mencegah ikatan dan kerja histamin. Merupakan preparat farmakologik yang paling sering dipakai sebagai lini pertama pengobatan rinitis alergi. Pemberian dapat dalam kombinasi atau tanpa kombinasi dengan dekongestan secara peroral. Antihistamin dibagi dalam 2 golongan yaitu golongan antihistamin generasi-1 (klasik) dan generasi -2 (non sedatif). Antihistamin generasi-1 bersifat lipofilik, sehingga dapat menembus sawar darah otak (mempunyai efek pada SSP) dan plasenta serta mempunyai efek kolinergik.5 Generasi kedua lebih bersifat lipofobik dan memiliki ukuran molekul lebih besar sehingga lebih banyak dan lebih kuat terikat dengan protein plasma dan berkurang kemampuannya melintasi otak. Generasi kedua AH1 mempunyai rasio efektivitas, keamanan dan farmakokinetik yang baik, dapat diminum sekali sehari, serta bekerja cepat (kurang dari 1 jam) dalam mengurangi gejala hidung dan mata, namun obat generasi terbaru ini kurang efektif dalam mengatasi kongesti hidung.6 Preparat simpatomimetik golongan agonis adrenergik alfa dipakai dekongestan hidung oral dengan atau tanpa kombinasi dengan antihistamin atau topikal. Namun pemakaian secara topikal hanya boleh untuk beberapa hari saja untuk menghindari terjadinya rinitis medikamentosa. Beraksi pada reseptor adrenergik
pada
mukosa
hidung
untuk
menyebabkan
vasokonstriksi,
menciutkan mukosa yang membengkak, dan memperbaiki pernapasan.6 Dekongestan oral seperti efedrin, fenilefrin, dan pseudoefedrin, merupakan obat simpatomimetik yang dapat mengurangi gejala kongesti hidung. Penggunaan obat ini pada pasien dengan penyakit jantung harus berhati-hati. Efek samping obat ini antara lain hipertensi, berdebar-debar, gelisah, agitasi, tremor, insomnia, sakit kepala, kekeringan membran mukosa, retensi urin, dan eksaserbasi glaukoma atau tirotoksikosis. Dekongestan oral dapat diberikan dengan perhatian terhadap efek sentral. Pada kombinasi dengan antihistaminH1 oral efektifitasnya dapat meningkat, namun efek samping juga bertambah.4,6 Dekongestan intranasal (misalnya epinefrin, naftazolin, oksimetazolin, dan xilometazolin) juga merupakan obat simpatomimetik yang dapat mengurangi 9
gejala kongesti hidung. Obat ini bekerja lebih cepat dan efektif daripada dekongestan oral. Penggunaannya harus dibatasi kurang dari 10 hari untuk mencegah terjadinya rinitis medikamentosa. Efek sampingnya sama seperti sediaan oral tetapi lebih ringan. Pemberian vasokonstriktor topikal tidak dianjurkan untuk rinitis alergik pada anak di bawah usia l tahun karena batas antara dosis terapi dengan dosis toksis yang sempit. Pada dosis toksik akan terjadi gangguan kardiovaskular dan sistem saraf pusat.1,3 Kortikosteroid digunakan sangat luas dalam pengobatan berbagai penyakit alergi oleh karena sifat anti inflamasinya yang kuat. Beragam kerja anti inflamasi kortikosteroid diperantarai oleh pengaturan ekspresi dari bermacam gen target spesifik. Telah diketahui bahwa kortikosteroid menghambat sintesis sejumlah sitokin seperti interleukin IL-1 sampai IL-6, tumor nekrosis factor-α (TNF-α), dan granulocyte-macrophage colony stimulating factor (GM-CSF). Kortikosteroid juga menghambat sintesis khemokin IL-8,
regulated on
activation normal T cell expressed and secreted (RANTES), eotaxin, macrophage inflammatory protein- 1α (MIP-1α), dan monocyt chemoattractant protein-1.5,6 Selain itu, terdapat pula beberapa obat yang dapat dipertimbangkan antara lain : 3
Sodium Kromolin Sebagai suatu penstabil sel mast sehingga mencegah degranulasi sel mast dan pelepasan mediator termasuk histamin dengan cara memblokade pengangkutan kalsium yang dirangsang antigen melewati membran sel mast.
Preparat antikolinergik topikal adalah ipratropium bromida, bermanfaat untuk mengatasi rinore, karena aktifitas inhibisi reseptor kolinergik permukaan sel efektor.
Anti-leukotrien seperti montelukast, pranlukast, dan zafirlukast, akan memblok reseptor CystLT, dan merupakan obat yang menjanjikan baik dipakai sendiri ataupun dalam kombinasi dengan antihistamin-H1 oral, namun masih diperlukan banyak data mengenai obat-obat ini. Efek sampingnya dapat ditoleransi tubuh dengan baik. 10
b. Operatif Konkotomi (pemotongan konka inferior) perlu dipikirkan bila konka inferior hipertrofi berat dan tidak berhasil dikecilkan dengan cara kauterisasi memakai AgNO3 25 % atau troklor asetat.4 c. Imunoterapi Imunoterapi atau hiposensitisasi digunakan ketika pengobatan medikamentosa gagal mengontrol gejala atau menghasilkan efek samping yang tidak dapat dikompromi. Imunoterapi menekan pembentukan IgE. Imunoterapi juga meningkatkan titer antibodi IgG spesifik. Jenisnya ada desensitisasi, hiposensitisasi & netralisasi. Desensitisasi dan hiposensitisasi membentuk blocking antibody. Keduanya untuk alergi inhalan yang gejalanya berat, berlangsung lama dan hasil pengobatan lain belum memuaskan. Netralisasi tidak membentuk blocking antibody dan untuk alergi inhalan.2 2.7 Komplikasi1 1. Polip hidung. Rinitis alergi dapat menyebabkan atau menimbulkan kekambuhan polip hidung. 2. Otitis media yang sering residif, terutama pada anak-anak. 3. Sinusitis paranasal. 4. Masalah ortodonti dan efek penyakit lain dari pernafasan mulut yang lama khususnya pada anak-anak. 5. Asma bronkial. Pasien alergi hidung memiliki resiko 4 kali lebih besar mendapat asma bronkial.
BAB III LAPORAN KASUS 11
3.1 Identitas Pasien Nama
: Made Sulasmi Atlin Dawati
Jenis Kelamin
: Perempuan
Usia
: 19 tahun
Alamat
: Jalan Gadung no 57 Denpasar
Suku
: Bali
Agama
: Hindu
Pendidikan
: Mahasiswa
Tgl pemeriksaan
: 24/2/2014
3.2 Anamnesis Keluhan utama : hidung tersumbat Riwayat penyakit sekarang Pasien datang sadar mengeluh kedua hidungnya tersumbat. Keluhan ini dirasakan sejak kurang lebih satu minggu sebelum pemeriksaan. Keluhan ini dirasakan menetap dan pasien tidak merasakan adanya perbaikan gejala. Tidak ada hal yang diketahui dapat memperingan keluhan pada pasien. Keluhan ini semakin lama semakin berat, sehingga sangat mengganggu aktivitas keseharian pasien Pasien juga mengeluh bersin-bersin yang terjadi lebih dulu dibandingkan keluhan utama. Keluhan ini biasanya muncul ketika pasien terpapar oleh debu pada saat keluar rumah. Pasien mengaku sering bersin-bersin bahkan sampai lebih dari lima kali setiap serangan. Bersin-bersin dikatakan lebih berat terutama pada saat bangun tidur di pagi hari, dan apabila pasien keluar rumah. Pasien mengatakan keluhan bersin-bersin ini disertai gatal pada hidung dan keluarnya cairan bening yang encer dan banyak dari kedua lubang hidung. Selain itu, pasien juga mengatakan kadang-kadang matanya berair ketika habis serangan. Keluhan lain seperti nyeri tenggorokan disangkal. Keluhan telinga seperti rasa penuh, nyeri, atau mendenging juga disangkal. Tidak terdapat riwayat demam sebelumnya. Pasien tidak memiliki riwayat penyakit asthma sebelumnya. Tidak ada riwayat penyakit sistemik. Status alergi terutama obat tidak diketahui.
12
Riwayat penyakit terdahulu Pasien pernah mengalami keluhan seperti ini sebelumnya. Diakui keluhan bersinbersin ini memang sering hilang timbul sejak pasien duduk di kelas 5 SD, saat itu pasien berusia 10 tahun. Pasien sudah sering berobat ke dokter akibat keluhan yang dirasakan. Dikatakan keluhan tersebut membaik setelah menjalani pengobatan selama beberapa hari. Namun, keluhan tersebut muncul kembali beberapa waktu kemudian. Riwayat penyakit keluarga Di keluarga pasien yang mengalami keluhan yang sama dengan pasien adalah ibu pasien. Menurut keterangan pasien ibunya juga sering bersin-bersin di pagi hari dan memiliki alergi makanan laut. Selain itu pasien memiliki seorang adik lakilaki yang juga memiliki riwayat alergi makanan laut. Riwayat Lingkungan dan Sosial Pasien tinggal di wilayah perkotaan yang rumahnya tepat di pinggir jalan. Diakui disekitar rumahnya memang banyak debu, ditambah lagi tetangga sebelah rumahnya sedang mengadakan renovasi. Pasien saat ini kuliah di sebuah universitas di Denpasar yang letaknya juga di daerah padat penduduk. Riwayat Pengobatan Saat ini pasien tidak sedang mengonsumsi obat-obatan 3.3 Pemeriksaan Fisik Status general -Kesadaran
: GCS E4V5M6 (compos mentis)
-Tekanan darah : 110/70 mmHg -Nadi
: 84 x/menit
-Respirasi
: 16 x/menit
-Suhu
: 37,2 oC
13
Status lokalis (THT) Telinga Daun telinga Liang telinga
Discharge Membran timpani
Tumor Mastoid Tes pendengaran
Kanan Normal Normal
Kiri Normal Normal
(serumen minimal)
(serumen minimal)
Tidak ada
Tidak ada
Normal (reflek cahaya pada
Normal (reflek cahaya
arah jam 5) Tidak ada Normal Tidak dievaluasi
pada arah jam 7) Tidak ada Normal Tidak dievaluasi
Kanan Normal Lapang
Kiri Normal lapang
Hidung
Hidung luar Kavum nasi Septum Discharge Mukosa Tumor Konka Sinus
Deviasi (-) Jernih, encer Pucat Tidak ada Kongesti Normal (palpasi)
Jernih, encer Pucat Tidak ada Kongesti Normal (palpasi)
Tenggorokan Mukosa : merah muda Tonsil
: T1/T1 normal, cripte (-), decritus (-)
Serak
: tidak ada
Stridor : tidak ada
14
Leher : pembesaran kelenjar limfa (-) 3.4 Diagnosis kerja -Rinitis alergi 3.5 Diagnosis banding -Rinitis vasomotor 3.6 Usulan pemeriksaan penunjang -Darah lengkap -Skin prick test 3.7 Penatalaksanaan a. Non-farmakologi - KIE tentang penyakit pasien - Menjauhi paparan dari suspek alergen (pada kasus ini debu) b. Farmakologi - Antihistamin H-1 Triprolidine HCl 2 x 2,5 mg - Oral dekongestan Pseudoephedrine HCl 2 x 60 mg - Oral kortikosteroid Methylprednisolone 2 x 4 mg BAB IV PEMBAHASAN Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama serta dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan alergen spesifik tersebut. Pada kasus ini pasien dicurigai alergi terhadap debu, dan saat ini menunjukkan gejala rinitis alergi dimana sudah pernah diderita sebelumnya.
15
Rinitis alergi melibatkan interaksi antara lingkungan dengan predisposisi genetik dalam perkembangan penyakitnya. Faktor genetik dan herediter sangat berperan pada ekspresi rinitis alergi. Pada kasus ini didapatkan bahwa ibu pasien pernah mengalami keluhan serupa dengan pasien. Selain itu ibu dan adik pasien memiliki riwayat alergi makanan laut. Sedangkan pasien pertama kali muncul keluhan ini adalah saat usia 10 tahun, dimana memang sesuai dengan literatur yang menyebutkan bahwa onset kejadian rinitis alergi adalah usia 8-10 tahun. Gejala rinitis alergi adalah bersin-bersin yang berulang sampai lebih dari lima kali dalam satu serangan, sensasi gatal pada hidung, dan keluarnya cairan jernih dan banyak dari hidung (rinorrhea). Ketiga gejala utama ini ditemukan pada kasus pasien ini. Tanda klinis umumnya melibatkan hidung, yaitu dapat terjadi hipertrofi konka, mukosa kavum nasi yang livid (pucat) dan dapat ditemukan adanya secret hidung yang encer dan jernih. Tanda klinis ini kesemuanya ditemukan pada pasien ini. Prinsip terapi dari rinitis alergi utamanya adalah menghindari paparan ulang dengan suspek allergen. Selain itu dapat diberikan terapi sesuai gejala yaitu pamberian antihistamin, dekongestan, dan antiinflamasi kortikosterid, Pada pasien ini derikan KIE bahwa penyakit yang diderita adalah penyakit kronis yang disebabkan oleh alergi, yang apabila terpapar ulang oleh allergen tersebut maka akan kembali mencetuskan gejala seperti yang dikeluhkan saat ini, oleh karena itu sangat penting untuk menghindari paparan ulang dari allergen. Selain itu,pasien diberikan
terapi
farmakologi
berupa
Triprolidine
HCl
2
x
2,5
mg,
Pseudoephedrine HCl 2 x 60 mg, Methylprednisolone 2 x 4 mg. BAB V PENUTUP 5.1 Simpulan Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama serta dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan alergen spesifik tersebut. 16
Rinitis alergi melibatkan interaksi antara lingkungan dengan predisposisi genetik dalam perkembangan penyakitnya. Faktor genetik dan herediter sangat berperan pada ekspresi rinitis alergi. Penyebab rinitis alergi tersering adalah alergen inhalan pada dewasa dan ingestan pada anak-anak. Pada anak-anak sering disertai gejala alergi lain, seperti urtikaria dan gangguan pencernaan. Prinsip terapi dari rinitis alergi berupa terapi non-farmakologi dan farmakologi.
Terapi
menghindari
alergen
non-farmakologi yang penyebabnya
paling
(avoidance)
ideal dan
adalah
dengan
eliminasi.
Terapi
medikamentosa yaitu antihistamin, obat-obatan simpatomimetik, kortikosteroid dan antikolinergik topikal. Selain itu dapat dipertimbangkan tindakan pembedahan dan imunoterapi.
DAFTAR PUSTAKA 1. Kasakeyan E, Rusmono N. Alergi Hidung. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. Edisi kelima. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2001. h. 101-6 2. Plaut M, Valentine M. Allergic Rhinitis. New England Journal of Medicine. Massacusset Medical Society. 2009.353. h: 1934-43 17
3. Walker SM et al. Chronic Allergic Rhinitis. Blackwell medical publishing. 2011. 41. h. 1177-2000 4. Ranjan RD et al. Allergic Rhinitis in Adolescence. World Allergy Association. 2011. h. 239-44 5. Small P, Kim H. Management of Allergic Rhinitis. Allergy, Asthma, and Clinical Immunology. 2011. 7.h. 1-8 6.
Sheikh J, Kaliner MA. Allergic Rhinitis : An overview. Tersedia di http://www.emedicine.com. Diakses pada 24-2-2014
18
View more...
Comments