January 14, 2018 | Author: Edy Burmansyah | Category: N/A
ECONOMIC UPDATE June DESEMBER 2017 2014
Indikator Makro Inflasi (Mei) CaDev ( $Miliar) Pertumbuhan (Triwulan I)
Mengakhiri Rezim Defisit Pada Kebijakan Fiskal 0,39% $ 123,249 5,01%
Indiktor Moneter Kurs IDR BI Rate/RR Suku Bunga Kredit (Jan/17)
Indikator Fiskal Penerimaan Pengeluaran Keseimbangan Primer Defisit Utang
13,311 4,75% 12,03%
(IDR Miliar) 1.750,3 2.080,5 (109,0) 330,2 384,7
Neraca Perdagangan ($ Miliar) Ekspor Import Surplus
ECONOMONIC RESEARCH RESEARCH
13,17 11,93 1,24
Dari semenjak merdeka hingga hari ini, pengelolaan anggaran Indonesia selalu berkutat dengan masalah defisit. Satu cela yang membuat Indonesia tidak bisa lepas dari ketergantungan terhadap utang. Kebijakan anggaran yang dijalankan pemerintah acapkali menimbulkan sejumlah persoalan. Pada masa orde lama yang menganut kebijakan anggaran moneter pemerintah berkutat dengan masalah defisit dan inflasi, sedang pada masa orde baru yang menerapkan kebijakan anggaran berimbang, utang luar negeri ditempatkan sebagai sumber utama pembiayaan pembangunan, sementara pada era reformasi yang mengadopsi kebijakan anggaran defisit, utang menjadi faktor penentu bagi keberlanjutan fiskal. Anggaran Moneter
Pada masa perang kemerdekaan (17 Agustus 1945 - 27 Desember 1949), struktur pemerintahan Indonesia belum terbentuk dengan solid, dan pengelolaan anggaran masih sangat amburadul. Pemerintah masih berkonsentrasi mempertahankan kemerdekaan dari usaha Belanda yang ingin kembali menduduki Indonesia. Usai penyerahan kemerdekaan sampai dengan tahun 1954, pengelolaan keuangan Negara masih menggunakan Indische Comptabiliteitswet (Staatsblad 1925 No.448) dan Indische Bedrijvenwet (Staatsblad 1927 No.419). Pada awal-awal pembangunan ini, pemerintahan menghadapi tantangan ekonomi yang sangat berat, inflasi yang sangat tinggi, kondisi infrastruktur yang rusak berat akibat perang, dan terjadinya defisit ganda (APBN dan Neraca Pembayaran).
MARTAPURA INSTITUTE
BERFIKIR & BERBAGI
Namun, awal-awal masa demokrasi Liberal ini, Indonesia diuntungkan adanya fenomena “Korean Boom” yakni peristiwa perang Korea (1950-1953), yang mendorong ekspor komoditas strategis Indonesia (Karet dan Minyak Bumi) melonjak tajam. Kenaikan eskpor ini menyebabkan APBN mengalami surplus, sehingga dapat mengatasi kesulitan pada neraca pembayaran. Sayang, fenomena “Korean Boom” yang berlangsung singkat tersebut, tidak bisa dimanfaatkan dengan baik. Peningkatan devisa mendorong pemerintah dan swasta melakukan impor besar-besaran yang menguras devisa, sehingga mendorong inflasi kembali, dan ekspor Indonesia menjadi tidak kompetitif lagi. Ketika fenomena “Korean Boom” usai seiring berakhirnya perang Korea, July, 1953, dalam sekejap perekonomian Indonesia kembali terpuruk. Pada masa ini, Indonesia dibawah perdana menteri, Ali Sastroamidjojo (Kabinet Ali pertama) menerbitkan UU No 3 Tahun 1954 tentang Mengubah "Indische Comptabiliteitswet" (Staatsblad 1925 No.448) dan "Indische Bedrijvenwet" (Staatsblad 1927 No.419) dan diundangkan dalam lembaran negara Tahun 1954 No 6, selanjutnya, diperbaharui dengan UU No 12 Tahun 1955 tentang perbendaharaan Negara, (diundangkan dalam lembaran negara no. 49 tahun 1955). Namun langkah Ali tersebut, tidak mampu mencegah penerimaan negara terus terjun bebas, akibat melemahnya harga komoditas ekspor Indonesia. Dan pada saat bersamaan pemerintah juga tidak mampu menekan pengeluarannya, terutama membiayai operasi militer untuk mengatasi sejumlah pemberontakan di daerah. Beban APBN semakin bertambah berat, karena pada saat bersamaan harus mengambil alih utang pemerintah Belanda sebelum perang sebesar 4,3 miliar gulden, sesuai kesepakatan Konferensi Meja Bundar (KMB). Hasil kesepakatan KMB yang cenderung merugikan Indonesia, serta pengikaran Belanda atas penyelesaian masalah Irian Barat, kemudian mendorong Indonesia secara sepihak membatalkan kesepakatan KMB pada tahun 1956. Kebijakan ini lalu dikuti aksi pengambil alihan perusahaan-perusahaan Belanda diberbagai daerah pada tahun 1957-1958.
MARTAPURA INSTITUTE
BERFIKIR & BERBAGI
Perusahaan-perusahaan Belanda yang diambil alih sebagian besar dikendalikan militer, sehingga penggelolaannya cenderung kurang profesional dan membebani anggaran negara. Akibatnya dipenghujung era demokrasi liberal, defisit APBN membengkak hingga mencapai Rp 9 milyar—satu angka yang sangat besar pada masa itu. Membengkaknya defisit APBN yang berujung dengan memburuknya perekonomian, yang semakin diperparah oleh gejolak politik dalam negeri yakni jatuh bangunnya kabinet hanya hanya dalam hitungan bulan. Konsolidasi kekuasaan yang tidak berjalan mulus selama era demokrasi liberal mendorong Bung Karno mengeluarkan dekrit presiden pada 5 July 1959, yang menandai berakhirnya era demokrasi liberal dan dimulainya era “Demokrasi Terpimpin” dan “Ekonomi Terpimpin”. Dimasa Demokrasi Terpimpin (1959-1965), Indonesia mulai melakukan pembenahan dalam pengelolaan APBN dengan menerapakan kebijakan anggaran moneter, dimana pengelolaan APBN disatukan dengan anggaran kredit dan anggaran devisa.
Anggaran 1964-1965 Uraian Penerimaan Negara Pengeluaran Negara Defisit/Surplus Anggaran
Nominal (Rp Juta) % dari PDB 1964 1965 1964 1965 283 923 3,8 3,7 681 2.526 9,0 10,1 -398 -1.603 -5,3 -6,4
Sumber: diolah dari Thee Kian Wie, dikutif dari iqbal fadli (2016)
Namun besarnya defisit APBN yang diwariskan dari era demokrasi liberal memaksa pemerintah harus mengajukan pinjaman kepada negara lain untuk membiayai belanja pembangunan. Sebagian besar berasal dari Uni Soviet, sebagian kecil lainnya datang dari Amerika Serikat. Hingga berakhirnya masa kepemimpinan Bung Karno, total utang yang ditanggung pemerintah sebesar $ 2,4 milyar.
MARTAPURA INSTITUTE
BERFIKIR & BERBAGI
Defisit APBN yang sudah begitu kronis tersebut, kemudian secara sederhana diatasi dengan pencetakan uang baru. Celakanya, pencetakan uang baru yang dilakukan pemerintah tidak memperhitungkan cadangan devisa, nilai tukar ideal, kondisi nilai ekspor dan impor, serta permintaan dan penawaran terhadap mata uang asing. Implikasinya, pertumbuhan uang beredar (M1) dengan cepat melonjak tajam dari 37 persen pada 1960 menjadi 302 persen pada 1965. Sementara inflasi meledak, dari 19 persen pada 1960 menjadi 594 persen di tahun 1965, setahun kemudian (1966) melonjak jadi 650 persen. Perekonomian yang memburuk tersebut, memuluskan jalan bagi sekelompok perwira militer yang dipimpin Jenderal Soehatro mengambil alih kekuasaan dari Presiden Soekarno, setelah didahului peristiwa penculikan sejumlah jenderal angkatan darat tahun sebelumnya (1965). Segera setelah naik ke puncak kekuasaan pada 1966, Presiden Soeharto memerintahkan Tim Ekonomi-nya yang didominasi kelompok teknokrat dari Universitas Indonesia, menyusun Program Stabilisasi Ekonomi, dengan instrumen utama kebijakan anggaran berimbang dan dinamis (balanced budget).
Anggaran Berimbang
Dalam pengelolaan keuangan Negara, pemerintah orde Baru menerbitkan UU Nomor 9 Tahun 1968, tentang perubahan pasal 7 "Indische Comptabiliteitswet" (Staatsblad 1925 No.448) sebagaimana telah diubah dengan UU No 3 Drt. 1954. UU ini mulai berlakukan sejak 25 Oktober 1968. UU Nomor 9 Tahun 1968 menjadi dasar bagi diterapkannya kebijakan anggaran berimbang dan dinamis. Kebijakan berimbang adalah kebijakan anggaran yang menghendaki terjadinya keseimbangan antara pendapatan dan pengeluaran, dengan jumlah yang terus membesar setiap tahunnya. Kebijakan anggaran berimbang ditandai dengan diterapkannya format T-account dalam penyusunan APBN.2
MARTAPURA INSTITUTE
BERFIKIR & BERBAGI
Sumber: Direktorat Penyusunan APBN, Direktorat Jenderal Anggaran, Kementerian Keuangan Rupiblik Indonesia
Kebijakan anggaran berimbang dinamis mensyaratkan, bila dalam pelaksanaannya terdapat kecenderungan pendapatan negara kurang atau lebih rendah dari sasaran yang ditetapkan, maka sejauh mungkin harus diupayakan untuk melakukan penyesuaian pada sisi belanja negara. Demikian juga, bila pendapatan negara yang diperkirakan cenderung melampaui sasaran yang ditetapkan, maka dapat dilakukan penyesuaian terhadap belanja negara. Struktur anggaran berimbang dinamis terdiri dari penerimaan internal (penerimaan dalam negeri berupa pajak dan penerimaan bukan pajak), dan penerimaan eksternal (utang luar negeri—dimasa orde baru disebut sebagai penerimaan pembangunan). Sedangkan pengeluaran dibagi atas pengeluaran rutin (belanja operasional dan pemerintah) dan pengeluaran pembangunan (belanja modal). Dalam disiplin pengelolaan anggaran yang menganut kebijakan anggaran berimbang dan dinamis, penerimaan dalam negeri hanya boleh digunakan untuk membiayai pengeluaran rutin, sedangkan penerimaan pembangunan (utang luar negeri) hanya boleh digunakan untuk membiayai pengeluaran pembangunan.3 Penerimaan pembangunan (utang luar negeri) muncul akibat adanya selisih antara tabungan pemerintah dengan pengeluaran pembangunan. Tabungan pemerintah sendiri merupakan selisih antara penerimaan dalam negeri dengan pengeluaran rutin. Dengan kata lain penerimaan pembangunan adalah defisit pada APBN.
MARTAPURA INSTITUTE
BERFIKIR & BERBAGI
Secara sederhana, defisit pada anggaran berimbang dan dinamis, dapat dijelaskan, sebagai berikut: seandainya penerimaan dalam negeri sebesar Rp 8, sedangkan pengeluaran rutin sebesar Rp 5, maka selisih antara penerimaan dalam negeri dengan pengeluaran rutin adalah sebesar Rp 3. Selisih antara penerimaan dalam negeri dengan pengeluaran rutin sebesar Rp 3 tersebut kemudian disebut tabungan pemerintah. Selanjutnya tabungan pemerintah digunakan untuk pengeluaran pembangunan. Karena lebih dari setengah penerimaan dalam negeri digunakan untuk melanja rutin, maka tabungan pemerintah relative kecil. Kecilnya tabungan ini tidak mampu untuk membiayai seluruh rencana-rencana pembangunan yang disusun oleh pemerintah, sementara jika pemerintah membatasi diri hanya mengadalkan tambungan untuk membiayai pembangunan, maka roda bisnis dan kegiatan ekonomi lain tidak dapat bergerak lancar, demikian pertumbuhan ekonomi sulit berkembang, bahkan berpotensi merosot tajam, karena masyarakat/rakyat kesulit membayar pajak karena lesunya perekonomian, akibat lanjutanya penerimaan pemerintah akan menurun. Dalam kaitan itu, untuk terus mendorong kegiatan ekonomi, pemerintah tetap membiayai rencana-rencana pembangunan yang telah disusunnya dalam APBN, meskipun APBN kedalam keadaan defisit akibat rencana pengeluaran pembangunan APBN melebihi jumlah tabungan pemerintah. untuk mengatasi defisit tersebut, pemerintah selanjutnya mengajukan pinjaman luar ke lembaga donor (World Bank, IMF, ADB, dan Negara-negara donor) Secara sederhana, dapat digambaran; bila tabungan pemerintah tercatat sebesar Rp 3, sementara rencana pengeluaran pembangunan ditetapkan sebesar Rp 6, maka APBN mengalami defisit sebesar Rp 3 (minus Rp 3). Defisit tersebut selanjutnya ditutupi dengan mengajukan utang luar negeri sebesar Rp 3. Demikian dana pembangunan akan menjadi sebesar Rp 6, dan APBN akan mencapai keseimbangan (balance). Pada anggaran berimbang dan dinamis, secara akuntansi besarnya pengeluaran sedemikian rupa disusun sama dengan penerimaan, tetapi secara ekonomi anggaran belanja sesungguhnya dalam keadaan defisit, dimana pengeluaran negara selalu lebih besar daripada penerimaan negara. Defisit selanjutnya hanya boleh diatasi melalui utang luar negeri dan hanya menjadi pelengkap pembiayaan pembangunan.4
MARTAPURA INSTITUTE
BERFIKIR & BERBAGI
Namun dalam prakteknya, Orde Baru menempatkan utang luar negeri bukan lagi sebagai pelengkap, namun menjadikannya sebagai strumen utama pembiayaan pembangunan. Sebagian besar penerimaan negara dimasa orde baru bersumber dari utang luar negeri, bahkan ketika Indonesia mendapat penerimaan sangat besar akibat naiknya harga minyak pada masa oil boom, maupun pada priode program reformasi perpajakan. Pada masa oil boom (1974-1985), penerimaan migas Indonesia mencapai 66 persen dari total penerimaan dalam negeri. Begitu pula, pada periode reformasi perpajakan (1984-1994), penerimaan pajak sebesar 12 persen dari PDB (produk domestik bruto). Angka-angka tersebut sesungguhnya lebih dari cukup untuk menghapuskan ketergantungan terhadap utang luar negeri yang berada pada kisaran 3% dari PDB per tahunnya.5 Namun, demi menjaga momentum pertumbuhan (rata-rata pertumbuhan ekonomi Indonesia periode 1974-1985 sebesar 7 persen per tahun). Pemerintah enggan menggunakan dana yang diperoleh dari kenaikan harga minyak tersebut untuk melunasi utang luar negeri. Akibatnya utang Indonesia terus membesar tiap tahunnya. Besarnya utang membuat fondasi perekonomian Indonesia rapuh. Puncaknya, ketika terjadi krisis moneter tahun 19971998, pemerintah mengalami gagal bayar (Default). Celakanya untuk membayar utang lama, pemerintah mengajukan utang baru kepada dari IMF dan sejumlah lembaga donor lainnya. Dalam hitungan bulan, krisis moneter bertranformasi menjadi krisis ekonomi, kemudian berujung pada krisis politik, yang mengakhiri 32 tahun kekuasaan Soeharto, pada 21 Mei 1998.
Anggaran Defisit
MARTAPURA INSTITUTE
Runtuhnya rezim orde baru membawa Indonesia memasuki era reformasi. Dibawah bimbingan lembaga donor (IMF dan World Bank), pemerintah melakukan perombakan besar-besar dalam pengelolaan anggaran. Pemerintah mengubah UU No 9 Tahun 1968 menjadi UU No.17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
BERFIKIR & BERBAGI
Dua tahun sebelum UU No.17/2003 ditetapkan, tepatnya pada tahun 2001, pemerintah telah terlebih dahulu mengadopsi Internasional Government Finance Statistics (GFS) dalam penyajian laporan APBN6. Diadopsinya GFS membuat penyajikan format laporan APBN mengalami perubahan dari T-Account menjadi I-Account7. Format I-Account dibuat satu lajur, dimana pada bagian atas penerimaan dan bagian bawah pengeluaran. Demikian pada format I-Account, menunjukan adanya pos defisit dan pendanaannya.8 Penerapan laporan APBN menggunakan format I-Account menandai diadopasinya kebijakan anggaran defisit9, dimana struktur APBN dipilah kedalam lima bagian; pendapatan, belanja, keseimbangan primer, defisit anggaran, dan pembiayaan.
Sumber: Direktorat Penyusunan APBN, Direktorat Jenderal Anggaran, Kementerian Keuangan Rupiblik Indonesia
MARTAPURA INSTITUTE
BERFIKIR & BERBAGI
Anggaran defisit adalah kebijakan yang menghendaki posisi pengeluaran negara lebih besar dari pada posisi penerimaan negara dalam satu tahun anggaran. Karena pengeluaran lebih besar dari pada penerimaan maka anggaran negara mengalami defisit (kekurangan). Selanjutnya, defisit ditutupi dengan mengajukan utang ke negara donor atau menerbitkan obligasi. Sebagaimana diatur dalam penjelasan pasal 12 ayat 3 UU No/17/2003, setiap tahunnya, pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menetapkan defisit dalam APBN tidak lebih dari 3 persen dari Produk Domestik Bruto10, sedangkan jumlah pinjaman dibatasi maksimal 60% dari Produk Domestik Bruto11.
BOX Kekeliruan Debt to GDP Ratio Merujuk pada rasio utang pemerintah terhadap PDB (debt to GDP ratio ) yang berada dikisaran 27 persen (dibawah 60 persen sebagaimana diatur dalam pasal 12 UU No.17/2003), dalam berbagai kesempatan pemerintah meyakinkan public bahwa utang pemerintah meskipun terbilang besar yakni Rp 3.589,12 triliun, namun masih terkendali dan aman. Untuk menunjukan bahwa kondisi utang pemerintah masih sangat sehat dan aman, pemerintah membandingkanya dengan Negara-negara lain yang perekonomiannya tetap maju meskipun utangnya besar bahkan debt to GDP ratio melampaui batas aman yang ditetapkan oleh IMF dan Bank Dunia. Beberapa Negara yang sering dijadikan pembanding diantaranya, Jepang dengan total utangnya mencapai Rp 143.000 triliun dan rasio utang terhadap PDB sebesar 227,2 persen, begitu pula dengan Singapura yang total utangnya sebesar Rp 743.000 tirliun dengan rasio utang terhadap PDB sebesar 105,5 persen, atau juga Amerika Serikat, dengan total utang sebesar Rp 170.000 triliun, dan debt to GDP ratio berada di level 101,5 persen. Namun membandingkan Indonesia dengan negara-negara maju tidak-lah tepat, karena struktur ekonominya sangat jauh berbeda (tidak apple to apple). Pertumbuhan ekonomi Indonesia lebih dari 50 persen ditopang oleh konsumsi (baik konsumsi pemerintah maupun rumah tanga), sementara negaranegara tersebut mengandalkan produksi (ekspor) sebagai sumber utama pertumbuhaanya. Jepang dan Singapura meskipun debt to GDP ratio sangat tinggi, namun kedua negara itu memiliki kemampuan men-generate cash dalam bentuk devisa/valas sangat besar yang bersumber dari ekspor.12 Begitu pula dengan Amerika Serikat, selain kondisi ekspornya mirip dengan Jepang dan Singapura, mata uang negara ini dijadikan kiblat dari mata uang seluruh negara di dunia. Jika harus melunasi utang, Amerika Serikat tinggal cetak uang, paling resikonya nilai tukar mata uang negara itu akan melemah atas mata uang negara lain, tapi tidak akan membuat Amerika Serikat bangkrut.
MARTAPURA INSTITUTE
BERFIKIR & BERBAGI
Penerapan debt to GDP ratio sendiri diadopsi dari standar yang dibuat oleh International Monetary Fund (IMF) dan World Bank (Bank Dunia). Bank Dunia merumuskan bahwa kondisi debt to GDP ratio yang aman adalah 21 persen– 49 persen, sementara IMF menetapkan batas aman utang antara 26 persen – 58 persen. Namun, sudah sejak lama, debt to GDP ratio dikritik banyak kalangan ekonom, karena dinilai bukan sebuah perbandingan yang logis. Rasio hutang terhadap PDB tidak mencerminkan kondisi sesungguhnya dari kemampuan negara dalam membayar utang-utangnya, padahal keberadaan utang justeru terletak pada kemampuan pemerintah melunasi kewajibannya. PDB merupakan output atas seluruh unit usaha yang ada dalam wilayah negara tertentu, 13 yang tidak berbentuk cash, melainkan hanya merupakan perhitungan semata. Definisi PDB menurut BPS (Badan Pusat Statistik) adalah jumlah nilai tambah yang dihasilkan oleh seluruh unit usaha dalam suatu negara tertentu, atau merupakan jumlah nilai barang dan jasa akhir yang dihasilkan oleh seluruh unit ekonomi. PDB dirumuskan dalam persamaan: PDB = C+ G + I + (X-M)14 Karena hanya merupakan perhitungan semata, maka PDB tidak dapat dijadikan ukuran pembanding rasio utang pemerintah. Jika rasio utang/PDB rendah tidak berarti bahwa negara memiliki kemampuan yang tinggi untuk melunasi utang-utangnya, sebab PDB sendiri tidak berbentuk cash. Sementara, dalam berbagai teori ekonomi keuangan kemampuan melunasi utang (jangka pendek maupun jangka panjang) dinilai dari rasio keuangan pengutang, baik rasio likuiditas maupun rasio solvabilitas. Current Ratio Dalam literature ekonomi keuangan kemampuan suatu perusahaan untuk melunasi semua kewajibannya yang harus segera dipenuhi (utang jangka pendek) digambarkan dengan rasio likuiditas.15 Rasio likuiditas umumnya, dibagi atas; Current Ratio, Quick Ratio dan Cash Ratio. Namun pada artikel pendek ini, hanya akan dibahas tentang Current Ratio, yaitu kemampuan satu unit usaha/perusahaan membayar utang-utangnya yang dinilai dari perbandingan antara aktiva lancar dan utang lancar. Current Ratio bertujuan memberikan informasi tentang kemampuan aktiva lancar dalam menutup utang lancar. Aktiva lancar meliputi kas, piutang dagang, efek, persediaan, dan aktiva lainnya. Sedangkan utang lancar terdiri atas utang dagang, utang wesel, utang bank, utang gaji, dan utang lainnya yang segera harus dibayar. Current Ratio dirumuskan dalam persamaan;
Apabila current rationya 1:1 atau 100 persen, maka berarti aktiva lancar dapat menutupi semua utang lancar. Demikian perusahaan dapat dikategorikan sehat karena aktiva lancarnya berada diatas jumlah utang lancarnya. Semakin besar aktiva lancar dibandingkan utang lancar, maka semakin tinggi kemampuan perusahaan menutupi kewajiban jangka pendeknya.
MARTAPURA INSTITUTE
BERFIKIR & BERBAGI
Debt Ratio Rasio keuangan lainnya yang digunakan untuk melihat kemampuan perusahaan dalam memenuhi segala kewajibannya adalah rasio solvabilitas.16 Ada dua jenis rasio solvabilitas yaitu Total Debt to Total Assets Ratio (Debt ratio) dan Debt To Equity Ratio.. Namun pada kesempatan ini, hanya akan dibahas tentang debt ratio. Debt ratio merupakan rasio utang yang digunakan untuk mengukur perbandingan antara total utang dengan total aktiva. Dengan kata lain, seberapa aktiva perusahaan dibiayai oleh utang atau seberapa besar utang perusahaan berpengaruh terhadap pengelolaan aktiva.17 Debt ratio dirumuskan dalam persamaan;
Semakin kecil rasionya maka semakin tinggi tingkat keamannya (solvable), atau juga dapat diartikan porsi utang harus lebih kecil terhadap aktiva. Debt to ratio banyak dijadikan acuan oleh para kredior dan lembaga pemeringkat internasional dalam menilai peringkat utang satu negara (sovereign credit rating). Tahun lalu lembaga pemeringkat S&P’s memberikan peringkat utang Indonesia BB- (double B minus), yangi mengindikasikan adanya kemungkinan risiko kredit dalam sejumlah instrumen investasi Indonesia (Surat Utang Negara dan Sukuk Negara) maupun pembiayaan terhadap proyek-proyek Pemerintah.18 Rasio Utang Terhadap Penerimaan Merujuk pada dua pendekatan rasio keuangan diatas, maka penilaian kemampuan pemerintah melunasi utang-utangnya, lebih tepat bila membandingkan utang pemerintah (plus bunga) dengan penerimaan negara (penerimaan pajak dan non pajak). Berdasarkan data kementerian keuangan, rasio pembayaran cicilan utang pemerintah (termasuk bunga) terhadap penerimaan negara (pajak dan bukan pajak), yang cenderung meningkat setiap tahunnya. Jika 2011 rasionya sekitar 19,03 persen, pada 2016 rasionya meningkat mencapai 27,87 persen. Sedangkan rasio pembayaran cicilan utang pemerintah (termasuk bunga) terhadap penerimaan perpajakan meningkat dari 26,25 persen (2011) menjadi 32,31 persen (2016).19 Data tersebut menginformasi dua hal. Pertama, beban pembayaran utang pemerintah semakin meningkat. Kedua, kemampuan pemerintah dalam menghasilkan penerimaan negara (pajak dan nonpajak) untuk membayar kembali utangnya melemah. Demikian, kemampuan fiskal dalam mengurangi beban utang sesungguhnya juga rendah. Rendahnya kemampuan fiskal dalam mengurangi beban utang pemerintah juga tercermin dari indikator keseimbangan primer (primary balance) dalam APBN yang terus mengalami defisit sejak tahun 2012 lalu. Ini mengindikasikan bahwa kesehatan fiskal (fiscal sustainability) dalam kondisi berbahaya. Dalam kaitan tersebut, maka pasal 12 UU No.17/2003 harus menegaskan bahwa rasio utang pemerintah diukur beradaskan penerimaan negara, bukan berdasarkan PDB. Rasio utang terhadap PDB, bukan saja tidak dapat menjelaskan kemampuan pemerintah dalam melunasi kewajibannya, tetapi juga tidak hasil analisisnya tidak layak dipakai sebagai pedoman pengambilan keputusan, karena tidak mengambarkan apapun tentang kondisi keuangan negara.***
MARTAPURA INSTITUTE
BERFIKIR & BERBAGI
Sejak penerapan anggaran defisit, utang merupakan kata kunci dalam pengelolaan APBN. Ketidak mampuan pemerintah menutup defisit berpotensi meningkatkan resiko fiskal. Risiko fiskal merujuk pada suatu situasi dimana pemerintah sebagai pengelola keuangan negara kesulitan mendapatkan utang tambahan untuk mengatasi defisit anggaran. Utang sebagai sumber pembiayaan menutup defisit menjadi dijadikan faktor penentu bagi keberlanjutan fiskal, yakni keberlanjutan atas penerimaan dan pengeluaran pemerintah, baik pada sisi rencana maupun realisasi. Demikian, keberlanjutan fiskal sangat bergantung pada kemampuan pengelolaan utang pemerintah. Namun, pada kenyataanya kemampuan pengelolaan utang pemerintah terus mengalami penurunan dari tahun ke tahun. Ini diindikasikan meningkatnya rasio pembayaran cicilan utang pemerintah (termasuk bunga) terhadap penerimaan negara (pajak dan bukan pajak), dan membengkaknya defisit keseimbangnya primer. Berdasarkan data kementerian keuangan, rasio pembayaran cicilan utang pemerintah (termasuk bunga) terhadap penerimaan negara (pajak dan bukan pajak), yang cenderung meningkat setiap tahunnya. Jika 2011 rasionya sekitar 19,03 persen, pada 2016 rasionya meningkat mencapai 27,87 persen. Sedangkan rasio pembayaran cicilan utang pemerintah (termasuk bunga) terhadap penerimaan perpajakan meningkat dari 26,25 persen (2011) menjadi 32,31 persen (2016).20 Sementara, defisit keseimbangan primer yang merupakan selisih antara pendapatan negara dikurangi belanja negara tanpa memperhitungkan pembayaran bunga utang. Defisit keseimbangan primer terus membengkak dalam lima tahun terakhir (2012-2016). Pada 2012 defisit keseimbangan primer tercatat sebesar Rp 52,7 triliun, tahun berikutnya (2013) membengkak jadi Rp 98,6 triliun, pada tahun 2014 sedikit turun, berada pada kisaran Rp 93,2 triliun. Memasuki tahun pertama pemerintahan Jokowi (2015), defisit keseimbangan primer melambung sebesar Rp 142,4 triliun. Sementara hingga tutup tahun 2016, defisit keseimbangan primer mendekati angka 110 triliun, melampaui jumlah yang ditetapkan APBN-P 2016 sebesar 106 triliun. Sementara untuk tahun 2017 defisit keseimbangan primer diprediksi terbang ke angka Rp 111,4 triliun.22
MARTAPURA INSTITUTE
BERFIKIR & BERBAGI
Membengkaknya defisit keseimbangan primer, mengisyaratkan bahwa APBN telah kehilangan kemampuannya untuk membayar bunga utang dari hasil penerimaan negara, bahkan pemerintah dipaksa mencari utang baru hanya untuk membayar bunga utang lama. Situasi ini membuat utang Indonesia terus membengkak dan semakin sulit keluar dari jeratannya. Menutup tahun 2016, utang luar negeri pemerintah sudah menembus angka Rp 3.500 triliun. Bahkan untuk tahun 2017, Pemerintah berencana menarik utang baru melalui penerbitan SBN sebesar Rp 597 triliun23. Penerbitan SBN ini, ditujukan membayar cicilan bunga dan utang pokok untuk tahun 2017 sebesar Rp 500 triliun. Pembayaran bunga utang tahun 2017 diperkirakan mencapai Rp 221,4 triliun atau naik dibandingkan tahun 2016 yang hanya sebesar Rp 191 triliun dan tahun 2015 sebesar Rp 156 triliun. Untuk mengatasi membengkaknya utang dan defisit APBN, pemerintah hanya memiliki dua opsi; mengenjot penerimaan atau memangkas belanja. Sejauh ini, tampaknya pemerintah cenderung memilih untuk meningkatkan penerimaan dibandingkan memangkas pengeluaran. Tahun 2017 target penerimaan pajak dalam APBN 2017 ditetapkan sebesar Rp 1.271,1 triliun, naik 15 persen dibandingkan tahun 2016. Namun, pilihan pemerintah untuk mengenjot penerimaan, ditengah situasi ekonomi global yang masih bergejolak dan kondisi perekoromian dalam negeri yang tidak stabil, sesungguhnya tidak cukup tepat.24 Mantan Menteri Keuangan, Chatib Basri, seperti dikutif katadata.com memprediksi penerimaan negara terancam makin seret pada tahun 2017, terutama yang berasal dari asset-aset yang diikutkan dalam program pengampunan pajak (tax amnesty). Menurut Chatib Basri, jika dihitung berdasarkan return on asset (ROA) sebesar 5 persen, yang merupakan sumber perpajakan, maka hanya Rp 200 triliun dari total hampir Rp 4.000 triliun asset yang ikut dalam program tax amnesty, yang bisa dipajaki oleh pemerintah tahun depan.25 Sementara pada saat yang sama, penambahan jumlah wajib pajak baru relatif kecil. Per September 2016, jumlah wajib pajak baru dari hasil amnesti pajak hanya mencapai 8.412 wajib pajak. Jumlah ini sangat kecil jika dibandingkan dengan jumlah WP yang wajib SPT Indonesia yang berjumlah lebih dari 22 juta. jika jumlah wajib pajak baru tidak banyak, maka bisa menggerus potensi penerimaan pajak pada tahun 2017 ini.26
MARTAPURA INSTITUTE
BERFIKIR & BERBAGI
Pada sisi lain, rasio pajak (tax ratio) terhadap PDB indonesiah yang masih rendah yakni berada dikisaran angka 10-11 persen,. Angka ini, menurut Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Bambang Brodjonegoro tidak cukup acceptable untuk negara sebesar Indonesia.27 Bahkan dalam perhitungan IMF, tax ratio yang dapat dicapai Indonesia dengan melakukan perluasan basis pajak dan peningkatan kepatuhan hanya sekitar 21,5 persen.28 Kalaupun angka tersebut dapat dicapai Indonesia, namun masih rendah dari negara-negara anggota G-20 seperti Inggris yang tax rationya mencapai 27,40 persen, atau Afrika Selatan yang tax rationya mencapai 25,67 persen. Seretnya penerimaan pajak, mendorong pemerintah menambah pundi-pundi penerimaan dari PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak). Dipermulaan tahun 2017, rakyat dikejutkan dengan rencana kenaikan tafif listrik dan biaya pengurusan BPKB dan STNK kendaraan bermotor. Namun langkah pemerintah ini beresiko menaikan laju inflasi dan menurunkan daya beli masyarakat yang dapat berujung pada turunnya pertumbuhan. Pada sisis lain, keputusan pemerintah yang tetap mempertahankan kebijakan anggaran ekspansif (enggan mengurangi belanja),29 bukan saja tidak bijaksana, namun juga tidak tepat dalam membaca sinyal beragam indikator makro ekonomi, yang sesungguhnya menghendaki penyegaran kebijakan pengelolaan anggaran.
Anggaran Surplus
Secara teoritis, kebijakan anggaran defisit ditempuh jika perekonomian dalam keadaan resesi dan pemerintah ingin meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Setelah diberlakukan selama 16 tahun (2001), apakah Indonesia masih dalam situasi resesi ? Para pengambil kebijakan di pemerintahan tidak pernah menyebut bahwa negara dalam situasi resesi. Mengingat Indonesia tidak dalam situasi resesi, maka perlu kiranya pemerintah mempertimbangkan untuk melakukan penyegaran dalam pengelolaan anggaran. Penyegaran tersebut dapat dilakukan dengan mengadopsi kembali kebijakan anggaran berimbang30 atau juga dengan mengadopsi kebijakan anggaran surplus, dimana belanja negara disusun sedemikian rupa sehingga belanja negara lebih kecil dibandingkan dengan penerimaan negara.31
MARTAPURA INSTITUTE
BERFIKIR & BERBAGI
Penerapan anggaran surplus, tentu akan berimplikasi pada pemangkasan terhadap sejumlah pos pengeluaran. Pemangkasan terutama ditujukan terhadap belanja perjalanan dinas, rapat, belanja honorarium, iklan serta anggaran yang memiliki estimasi harga terlalu tinggi. Tahun lalu pemerintah berhasil memangkas pengeluaran sebesar Rp 137,6 triliun. Kebijakan tersebut ternyata tidak berpengaruh signifikat terhadap pertumbuhan ekonomi tahun 2016 yang ditutup sebesar 5,02 persen. Secara umum, kebijakan anggaran surplus diterapkan untuk mengatasi kondisi perekonomian yang inflasif, dimana nilai uang semakin merosot akibat kenaikan harga-harga. Demikian pemerintah berusaha mengurangi pengeluaran, sehingga lambat laun jumlah uang yang beredar akan berkurang dan harga kemudian dapat dikendalikan. Saat ini, merosotnya nilai uang dapat dibaca dari masuknya rupiah sebagai salah satu dari 10 mata utang terendah di dunia. Disamping itu, diindikasi lain, tergambar dari usaha Bank Indonesia (BI) untuk segera memberlakukan kebijakan redenominasi rupiah. Redenominasi adalah penyederhanaan mata uang dengan memangkas jumlah angka nol dibelakang, tanpa mengubah nilainya. Melalui redenominasi, harga barang dan jasa akan turut disesuaikan sebanding penyederhanaan mata uang. Disela-sela acara peluncuran pecahan uang Rupiah baru, di Gedung Thamrin, Bank Indonesia, 19 Desember 2016, Gubernur BI, Agus Martowardoyo meminta dukungan presiden Jokowi untuk mempercepatan Rancangan Undang-Undang (RUU) Redenominasi Rupiah yang masih terganjal persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sejak tahun 2013, bahkan pada 2017 RUU tersebut tidak masuk ke dalam list Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Disamping nilai uang, penerapan angaran surplus juga mempertimbangkan peningkatan inflasi yang diakibatkan ekspansifnya belanja yang dilakukan pemerintah. Dalam dua tahun terakhir belanja pemerintah sangat ekspansif. Pada APBN 2017, belanja ditetapkan sebesar Rp 2.070,5 triliun, turun sedikit dibandingkan belanja tahun 2016 sebesar Rp 2.095,7. Namun lebih tinggi dibandingkan belanja tahun 2015 sebesar Rp 2.039,5.
MARTAPURA INSTITUTE
BERFIKIR & BERBAGI
Belanja pemerintah yang begitu ekspansif tersebut, tidak sebanding dengan tingkat penerimaan yang dipatok pemerintah. Tahun 2017 penerimaan dipatok sebesar Rp Rp 1.737,6 triliun, sedangkan pada tahun 2016 dari proyeksi penerimaan sebesar Rp 1.822,5, realisasi penerimaan hanya sebesar Rp 1.551,8 triliun. Untuk tahun 2015, dari proyeksi penerimaan sebesar Rp 1.762,3 triliun, realisasi penerimaan hanya mencapai Rp 1.491,5 triliun. Besarnya belanja dibandingkan penerimaan, membuat defisit dalam APBN terus membengkak dari tahun ke tahun. Defisit tersebut selalu ditutupi dengan mengajukan utang baru, baik utang langsung kepada debitur (lembaga donor) maupun melalui penerbitan SBN (Surat Berharga Negara). Dan seperti biasa utang akan menjadi beban pada APBN tahun-tahun berikutnya. Defisit dan utang yang mengerogoti APBN tersebut harus segera diakhiri. Usaha untuk mengakhiri rezim defisit tersebut pertamatama dapat ditempuh dengan mengajukan permohonan judicial review kepada Mahkamh Konstitusi (MK) atas UU No.17 tahun 2003 tentang keuangan negara. Keberadaan UU No.17/2003 yang memberikan legitimasi hadirnya defisit dalam APBN, pada kenyataanya bertentangan dengan semangat Pasal 23C Bab VIII UUD 1945, serta pasal-pasal lain yang mengiringi terbitnya UU tersebut, yang menghendaki bangsa ini dapat sejahtera dan mandiri, lepas dari ketergantungan pada bangsa lain.***
MARTAPURA INSTITUTE
BERFIKIR & BERBAGI
Footnote 1. Dari masa perang kemerdekaan 1945 sampai 1959, Indonesia menganut demokrasi parlementer, dan bagi sebagian pihak demokrasi parlementer tersebut juga disebut sebagai demokrasi liberal, karena begitu banyak partai politik, serta jatuh bangunnya perdana menteri/pemerintahan. 2. Format T-Account, laporan APBN menyerupai neraca perusahaan, di mana terdapat keseimbangan antara bagian aset (penerimaan dengan pengeluaran, tanpa mempersoalkan ada tidaknya defisit). Dalam format T-Account tahun anggaran berlaku mulai 1 April – 31 Maret tahun berikutnya. 3. Sejak menerapkan kebijakan anggaran berimbang dan mempekenalkan istilah penerimaan pembangunan, utang Indonesia melesat tajam. Pemberi utama utang kepada Indonesia adalah Intergovernmental Group on Indonesia (IGGI) yakni sebuah kelompok internasional yang didirikan pada tahun 1967, diprakarsai oleh Amerika Serikat untuk mengkoordinasikan dana bantuan multilateral kepada Indonesia. IGGI beranggotakan Bank Pembangunan Asia, Dana Moneter Internasional, UNDP, Bank Dunia, Australia, Belgia, Britania Raya, Kanada, Perancis, Jerman, Italia, Jepang, Selandia Baru, Swiss dan Amerika Serikat. IGGI membantu Indonesia dalam penyusunan program rencana lima tahun (Repelita) Indonesia dan 60% pendanaan pembangunan berasalnya. Pada Maret 1992, IGGI digantikan Consultative Group on Indonesia (CGI). 4. Defisit terbesar pada masa orde baru terjadi pada priode 1975/1976 (2,6% dari PDB), dan priode 1986/1987 (2,7% dari PDB). 5. Pada masa orde baru APBN mencatat 6 kali surplus yakni tahun 1977/1978 (0,2% dari PDB), 1990/1991 (1,1% dari PDB), 1994/1995 (0,8% dari PDB), 1995/1996 (1,1% dari PDB), 1996/1997 (0,6% dari PDB), dan 1997/1998 (0,4% dari PDB). 6. GFS adalah pedoman sistem pelaporan yang dibuat oleh International Monetary Fund (IMF) guna memberikan dasar bagi pengambilan keputusan fiscal serta evaluasi programprogram dukungannya, terutama terkait dengan keberhasilan program-program bantuan keuangan kepada negara anggota IMF, serta guna menilai kebjiakan makroekonomi pada umumnya. Selain itu penerapan GFS oleh satu negara dapat dibandingkan dengan negara lainnya, sehingga dapat memudahkan lembaga pemeringkat (lembaga rating) dalam menilai kapasitas fiskal suatu negara dalam kaitannya dengan pemberian pinjaman serta dasar pengambilan keputusan investor yang ingin berinvestasi dalam negara tersebut. Dasar hukum penerapan GFS di Indonesia sebagai acuan dalam penyusunan Laporan Statistik Keuangan Pemerintah diatur dalam UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, Penjelasan UU No. 23 Tahun 2009 tentang Pertanggungjawaban atas pelaksanaan APBN Tahun Anggaran 2007. PP 71 tahun 2010 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP), Peraturan Menteri Keuangan No.275/PMK.05/2014 tentang Manual Statistik KeuanganPemerintah dan sejumlah peraturan lainnnya. 7. format I-Account menganut kebijakan anggaran tidak berimbang 8. Sejak menerapkan format laporan APBN menjadi I-Account, tahun anggaran ditetapkan mulai 1 Januari – 31 Desember 9. Sejak mengadopsi GFS, menurut Anggito Abimayu, Kepala Badan Analisa Fiskal Departemen Keuangan, seperti dikutif Tempp.com (11/9/2003), penyusunan RAPBN mengacu pada sistem anggaran buatan IMF tersebut, diakses dari: https://m.tempo.co/read/news/2003/09/11/05616576/kwik-tuding-pemerintahrekayasa-defisit-rapbn-2004 10. Penetapan defisit dibawah 3 persen dari PDB, cenderung tidak tepat karena akan membuat defisit dapat menjadi begitu sangat besar, seharusnya defisit ditetapkan sebesar total APBN atau total belanja APBN tahun berjalan.
MARTAPURA INSTITUTE
BERFIKIR & BERBAGI
11. Sebagaimana defisit, jumlah utang pemerintah juga dibatasi dibawah 60 persen dari PDB. Rasio utang pemerintah yang diukur dengan menggunakan PDB, bukan saja tidak tepat, namun juga membuka cela bagi terus membengkaknya utang Indonesia. 12. Devisa (cadangan dan penerimaan) sebagai free cash flow negara sesungguhnya dapat menjadi alat ukur untuk menilai kemampuan pemerintah melunasi utangnya. 13. Dengan catatan bahwa output tersebut sebagian besar berputar di dalam wilayah tersebut. Namun dimasa sekarang (era pasar bebas/globalisasi ekonomi) output dari satu negara tidak hanya berputar di Negara bersangkutan, namun juga di negara-negara lain. 14. C = Konsumsi Rumah Tangga, G = Pengeluaran Pemerintah, I = Investasi, X = Eskpor, M = Impor 15. Perusahaan yang mempunyai cukup kemampuan untuk membayar hutang jangka pendek disebut perusahaan yang likuid sedang bila tidak disebut ilikuid. 16. Perusahaan yang mempunyai aktiva/kekayaan yang cukup untuk membayar semua hutanghutangnya disebut perusahaan yang solvable, sedang yang tidak disebut insolvable 17. Hutang yang dimaksud adalah semua hutang yang dimiliki oleh perusahaan baik yang berjangka pendek maupun yang berjangka panjang. 18. Rating berhubungan dengan biaya yang harus dikeluarkan oleh negara ketika menarik utang dari negara lain. Semakin tinggi peringkat utang yang dimiliki, maka akan semakin murah biaya utang yang harus dibayar karena risiko berinvestasinya rendah. Sebaliknya, semakin buruk peringkat utang yang dimiliki maka akan semakin tinggi biaya utang yang harus dibayar karena negara tersebut berisiko tinggi dalam investasi. 19. Rasio utang terhadap penerimaaan Negara (pajak dan non pajak) jarang sekali dipublikasikan pemerintah, bahkan cenderung “ditutupi”. Yang sering diungkapkan ke public hanya rasio utang terhadap PDB. 20. Rasio utang terhadap penerimaaan Negara (pajak dan non pajak) jarang sekali dipublikasikan pemerintah, bahkan cenderung “ditutupi”. Yang sering diungkapkan kepada public hanya rasio utang terhadap PDB. 21. https://m.tempo.co/read/news/2016/08/18/090797071/keseimbangan-primer-sudahmemburuk-sejak-sebelum-2012 22. https://ekbis.sindonews.com/read/1158666/33/pemerintah-bakal-tarik-utang-rp597triliun-tahun-depan-1480244252 23. Keenggan pemerintah menekan belanja, dilatar belakangi ketakutan terganggunya pertumbuhan. Belanja pemerintah sampai saat ini masih jadi salah satu penopang pertumbuhan ekonomi. Demikian menurut pemerintah jalan satu-satunya yang masih bisa ditempuh adalah menggenjot penerimaan negara. 24. http://katadata.co.id/berita/2016/11/16/penerimaan-negara-terancam-makin-serettahun-depan 25. Ibid 26. Indonesia adalah salah Negara yang tergolong rendah tax rasio di ASEAN, posisi Indonesia hanya berada diatas sedikit dar Myanmar dan Kamboja. 27. Menurut Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Bambang Brodjonegoro seperti dikutif Metrotvnews.com (18/8/2016) penerimaan negara yang tahun makin susah dicapai, terlihat dari rasio pajak (tax ratio) terhadap produk domestik bruto (PDB) yang baru di angka 11 persen. diakses dari: http://m.metrotvnews.com/ekonomi/makro/zNA82yvK-lemahnya-penerimaan-bikindefisit-keseimbangan-primer-memburuk 28. Lihat, Arnold, Jens, Improving the Tax System in Indonesia, OECD Working Paper No.998, 2012, hlm 5-6 (diakses dari: http://www.oecd.org/officialdocuments/publicdisplaydocumentpdf/?cote=ECO/WKP(201 2)75&docLanguage=En)
MARTAPURA INSTITUTE
BERFIKIR & BERBAGI
29. Kebijakan anggaran ekspansif merupakan sebutan lain dari kebijakan anggaran defisit. Disebut anggaran ekspansif karena APBN di desain dengan belanja yang besar demi mengejar pertumbuhan ekonomi. 30. Tentu penerapan anggaran berimbang dimaksud disini, tidak persis sama sebagaimana dipraktekan oleh rezim orde baru. Meskipun menklaim menerapkan anggaran berimbang, tetapi pada prakteknya APBN zaman orde baru mengalami defisit, selanjutnya defisit tersebut ditutup dengan utang luar negeri, yang dalam APBN disebut penerimaan pembangunan—dimana penggunaanya hanya untuk pembangunan, tidak untuk biaya pengeluaran rutin. Penerapan kebijakan anggaran berimbang disini harus benar-benar menerapkan kebijakan dimana antara pengeluaran dan penerimaan sama imbangnya, tanpa ada rekayasa keuangan didalamnya. 31. Besaran Surplus tiap tahunnya dapat saja ditetapkan antara 2 sampai kurang dari 3 persen dari PDB, atau dalam cara hitung sederhana, misalnya, jika penerimaan dalam APBN ditetapkan sebesar Rp 1.737 triliun, maka belanja dapat dibuat sebesar Rp 1.600 triliun. Demikian terdapat surplus sebesar Rp 137 triliun
MARTAPURA INSTITUTE
BERFIKIR & BERBAGI
Daftar Pustaka Abdul Hakim, Guswildan Giovani, perbandingan perekonomian dari masa Soekarno hingga Susilo Bambang Yudhoyono (1945-2009), jurnal Ekonomika-Bisnis Vol.03 No.2, Juli, 2012 Arnold, Jens, Improving the Tax System in Indonesia, OECD Working Paper No.998, Oktober , 2012 Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan, Laporan Kajian Fiskal tahun 2013 Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia, Laporan Hasil Pemeriksaan BPK RI Atas Laporan Keuangan Pemerintah Pusat Tahun 2014, Jakarta, Mei 2015 Direktorat Penyusunan APBN, Direktorat Jenderal Anggaran, Kementerian Keuangan Rupiblik Indonesia, Dasar-Dasar Praktek Penyusunan APBN di Indonesia, Edisi II, Jakarta, 2014 Direktorat Jenderal Perbendaharaan Negara, kementerian keuangan republik Indonesia, Peningkatan Transparansi dan Akuntabilitas Pengelolaan Keuangan Negara melalui Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Pemerintah tahun 2004-2009, Jakarta, 2010 Iqbal fadli, Fakta Pengelolaan Awal APBN: Dari Orde Lama ke Orde Baru, Jakarta, ideas, May, 2016, diakses dari: http://ideas.or.id/fakta-pengelolaan-awal-apbn-dari-orde-lama-ke-orde-baru/# Kementerian Keuangan, Laporan Keuangan Pemerintah Pusat Tahun 2015 (Audited), Mei, 2016 Miryam L. Wijaya, dan Ivantia S. Mokoginta, Identifikasi risiko fiskal dalam anggaran pendapatan dan belanja negara indonesia, Lembaga penelitian dan pengabdian kepada masyarakat Universitas Katolik Parahyangan, 2014 Nota Keuangan dan APBN Tahun 1993-1994 Nota Keuangan dan APBN Tahun 2001 Nota Keuangan dan APBN Tahun 2016 Nota Keuangan dan APBN Tahun. 2017 Suparmoko. Keuangan Negara dalam Teori dan Praktek, Edisi 5, BPFE Yogyakarta, 2000 Undang-Undang No 3 Tahun 1954, Tentang mengubah "Indische Comptabiliteitswet" (Staatsblad 1925 No.448) dan "Indische Bedrijvenwet" (Staatsblad 1927 No.419) Undang-Undang No 12 Tahun 1955 tentang Perbendaharaan Negara Undang-Undang No 9 Tahun 1968 tentang perubahan pasal 7 "Indische Comptabiliteitswet" (Staatsblad 1925 No.448) sebagaimana telah diubah dengan UU No 3 Drt. 1954 Undang-Undang No 17 Tahun 2003 tentang keuangan Negara Zeng, L. (2014). Determinants of the primary fiscal balance: evidence from a panel of countries. In C. Cottarelli, P. Gerson, & A. Senhadji (Eds.), Post-crisis Fiscal Policy (pp. 67-96). London: MIT and IMF.
MARTAPURA INSTITUTE
BERFIKIR & BERBAGI
Website www.bisnis.com www.detik.com www.katadata.com www.Kompas.com www.tempo.co www.koransindo.com www.metrotvnew.com
MARTAPURA INSTITUTE
BERFIKIR & BERBAGI
Edy Burmansyah Economist +62-812-95772089
[email protected]
MARTAPURA INSTITUTE Jl. Matraman Raya No.12A, Jakarta 13120 Indonesia Email:
[email protected]
DISCLAIMER The information contained in this email and/or report can be taken as any recommendation made by MARTAPURA INSTITUTE. In considering any decision you should make your own independent assessment. MARTAPURA INSTITUTE is not responsible for the decisions taken by anyone This report is the copyright of MARTAPURA INSTITUTE and may copied or reproduced in any form of media
MARTAPURA INSTITUTE
BERFIKIR & BERBAGI