Retensi Energi

October 11, 2017 | Author: Dina Hillerry | Category: N/A
Share Embed Donate


Short Description

bhbhb...

Description

RETENSI ENERGI

Oleh : Nama NIM Rombongan Kelompok Asisten

: Nurbaiti Rizki Awandi : B1J013101 : IV :3 : Bunga Khalida Puri

LAPORAN PRAKTIKUM FISIOLOGI HEWAN I

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS BIOLOGI PURWOKERTO 2014

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Retensi energi adalah besarnya energi pakan yang dikonsumsi ikan yang dapat disimpan di dalam tubuh. Sebagian besar energi makanan harus disimpan secara internal untuk penggunaaan cadangan makanan yaitu semakin besar energi yang disimpan (dengan batas) dihubungkan dengan kebutuhan hewan yang lebih panjang dapat bertahan tanpa makanan. Makin banyak energi yang tersimpan, maka semakin banyak yang bisa digunakan untuk proses pengeluaran energi seperti pertumbuhan, reproduksi atau nilai pengeluaran energi yang memecu pada perubahan suhu lingkungan (Kumar, 1997). Energi merupakan kapasitas untuk melakukan kerja dan sangat di perlukan dalam semua kegiatan metabolisme. Pakan yang diperlukan untuk pemeliharaan ikan merupakan sumber energi yang sebagian besar di gunakan untuk aktifitas metabolisme. Pakan ikan pada umumnya mengandung komponen seperti protein, lemak, karbohidrat dan mikro nutrien. Protein, lemak dan karbohidrat dalam pakan apabila di konsumsi oleh ikan akan mengalami proses digesti dan absorbsi. Zat-zat tersebut akan digunakan sebagai sumber energi untuk aktivitas voluntari, mengganti sel-sel yang rusak, dan pertumbuhan. Pertumbuhan dapat di ukur dari pertambahan bobot ikan. Pertambahan bobot ikan berupa pertambahan dalam komponen-komponen penyusun tubuh ikan. Komponen penyusun tubuh ini dapat di nilai dari satuan energi atau kalori yang di kandungnya. Retensi energi dapat mencerminkan seberapa besar energi pakan berkontribusi dengan bertambahnya energi (Effendi, 1979). Pakan yang diberikan ikan pada umumnya mengandung komponen makromolekul seperti protein, karbohidrat, dan lemak. Energi makan terkandung dalam molekul karbohidrat, lemak, protein dan alkohol. Oksidasi metabolik dari molekul-molekul ini membebaskan energi dalam bentuk ATP dan senyawa berenergi tinggi lain yang digunakan untuk mempertahankan gradien konsentrasi ion-ion, menjalankan reaksi biosintetik, untuk transpor dan sekresi molekul melewati membran sel dan untuk menyediakan tenaga sel yang bergerak dan aktivitas otot. Perubahan energi makanan menjadi kerja mekanis terjadi dengan

efisiensi maksimal sekitar 25%. Sisanya hilang sebagai panas, sejumlah panas berfungsi mempertahankan suhu tubuh. Pemilihan makanan yang harus dikonsumsi untuk menjamin kebutuhan energi ikan yang cukup akan nutrien harus diberikan untuk perkembangan, bergerak atau berenang, aktivitas pencernaan dan pertumbuhan. Jumlah pakan yang diberikan pada ikan hendaknya 5-10% dari berat total dan frekuensi pemberian pakan sebanyak 2-3 kali sehari. Jumlah tersebut dapat berubah-ubah tergantung pada suhu lingkungan, semakin rendah suhu maka jumlah makanan yang dikonsumsi semakin sedikit. Pakan merupakan salah satu faktor yang dapat menunjang dalam perkembangan ikan air (Yuwono, 2001). 1.2 Tujuan Tujuan dari praktikum retensi energi adalah melihat seberapa besar energi pakan yang dikonsumsi ikan dapat disimpan dalam tubuh (retensi energi), dan juga mempelajari apakah perbedaan kualitas pakan juga menghasilkan perbedaan retensi energi.

II.

MATERI DAN METODE

2.1 Materi Bahan yang digunakan dalam praktikum retensi energi adalah ikan lele (Clarias batrachus), pakan ikan (pelet). Alat yang digunakan adalah akuarium, alat bedah, timbangan digital, pinset, pengukur waktu, oven, pencetak pellet, bomb calorimeter, saringan ikan, aluminium foil dan tissue. 2.2 Metode 1.

Disiapkan dua buah akuarium lalu diisi air setinggi 25 cm, tempatkan heater diantara dua akurium.

2.

Ikan ditimbang dan ditebarkan dengan kepadatan 3–4 ekor ikan pada setiap akuarium.

3.

Pemberian pakan dilakukan pada hari ketiga setelah ikan ditebar sebanyak 2,5% dari bobot total ikan pada masing-masing akuarium. Pemberian pakan dilakukan selama 7 hari pemeliharaan.

4.

Diambil dan ditimbang 3–4 ekor dari stok (setelah dipuasakan 24 jam) kemudian dikeringkan dalam oven (± 1 minggu) dan setelah kering ditimbang lagi untuk mengetahui bobot kering ikan dan ikan diblender sehingga berbentuk tepung.

5.

Bobot kering awal dihitung (langkah) kedua dengan cara mengkalikan bobot basah ikan awal dengan presentase bobot kering ikan dan ikan diblender sehingga berbentuk tepung.

6.

Pada hari ke 7 pemeliharaan puasakan ikan selama 24 jam, selanjutnya ikan ditimbang bobotnya dan dikeringkan dalam oven (± 1 minggu) dan setelah kering timbang lagi bobotnya dan blender ikan hingga berbentuk tepung.

7.

Dilakukan pengukuran nilai kalori pakan, sampel ikan awal dan ikan akhir dengan menggunakan bomb kalorimeter.

8.

Retensi energi dihitung dengan rumus:

ANER( (

( (

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Hasil Dik : BB awal

= 3 gr

BK awal

= 0,75 gr

BK akhir

= 0,9 gr

Bobot pakan = 2,5 % Waktu pakan = 14 hari Eenergi bom ikan awal= 6469,3157 kal/gr Energi bom ikan akhir = 6931,9823 kal/gr = 3983,67 kal/gr

Energi bom pakan 



ikan awal

= bobot kering awal x energi bom ikan awal = 0,75 x 6469,3157 = 4851,9867





ikan akhir

= bobot kering ikan x energi bom ikan akhir = 0,9 x 6931,9823 = 6238,7840





pakan yang dikonsumsi

= 0,025 x 14 x bobot basah awal = 0,025 x 14 x 3 = 1,05





pakan

= pakan yang dikonsumsi x energi bom pakan = 1,05 x 3983,67 = 4182,8583

ANER =



= = = 33,15%

∑ ∑

x 100%

3.2 Pembahasan Berdasarkan

praktikum

resistensi

energi

diperoleh

hasil

yang

menunjukan bahwa bobot basah ikan awal sebesar 3 gram, bobot kering ikan awal 0,75 gram, bobot kering ikan akhir 0,9 gram, serta hasil pengukuran pada bom kalorimeter didapatkan hasil energi ikan awal 4851,9867 kal, energi ikan akhir 6238,7840 dan energi pakan 4182,8535 kal. Setelah dilakukan perhitungan untuk resistensi energi didapatkan hasil sebesar 33,15%. Hal ini tidak sesuai dengan pernyataan Matty (1985) yang menyatakan bahwa retensi energi normal adalah 60-68%, sedangkan dari hasil praktikum, presentasenya lebih besar yaitu 33,15%, hal ini terjadi dimungkinkan karena energi yang dihasilkan banyak disimpan oleh tubuh dikarenakan ikan tersebut tidak terlalu banyak melakukan aktifitas dan pertumbuhan yang berlebih sehingga energi yang dihasilkan dari pakan disimpan untuk cadangan energi. Energi yang disimpan dimanfaatkan dalam sintesis komponen sel dan digunakan sebagai bahan bakar dalam produksi energi sel. Retensi energi adalah besarnya energi pakan yang dikonsumsi ikan yang dapat disimpan di dalam tubuh. Retensi energi menunjukkan besarnya kontribusi energi pakan yang dikonsumsi terhadap pertambahan energi tubuh ikan. Retensi energi ialah banyaknya energi pakan yang dikonsumsi makhluk hidup dapat disimpan dalam tubuh. Dalam meningkatkan nutrisi pakan, bakteri yang terdapat dalam probiotik memiliki mekanisme dalam menghasilkan beberapa enzim untuk pencernaan pakan seperti amylase, protease, lipase dan selulose. Enzim tersebut yang akan membantu menghidrolisis nutrien pakan (molekul kompleks), seperti memecah karbohidrat, protein dan lemak menjadi molekul yang lebih sederhana akan mempermudah proses pencernaan dan penyerapan dalam saluran pencernaan ikan (Arief, 2014). Retensi atau tingkat efisiensi energi dapat dicerminkan dari rasio besarnya pertambahan energi tubuh terhadap jumlah energi pakan yang dikonsumsi oleh ikan. Besarnya energi pakan yang terkontribusi pada pertambahan energi tubuh energi tubuh juga digambarkan dengan retensi energi. Retensi energi pada ikan hanya sebagian kecil saja yang dialokasikan untuk pertumbuhan dan separuh total energi yang diperoleh dari pakan menjadi limbah dalam bentuk feses dan ekskresi. Energi yang dikonversi dari pakan yang

dikonsumsi, sebagian besar akan hilang dalam bentuk panas dan hanya sekitar 1/5 dari total energi yang diperoleh dalam bentuk pertumbuhan (Effendi, 1979). Faktor yang mempengaruhi retensi energi adalah ukuran tubuh. Proporsi energi yang dialokasikan pada berbagai komponen anggaran energi berubah dengan meningkatnya ukuran tubuh ikan (Kumar, 1997). Retensi energi juga dipengaruhi oleh beberapa faktor, misalnya menurunnya energi intake, meningkatnya proporsi energi yang hilang melalui feses, urine, meningkatnya energi yang dipakai untuk produksi panas, meningkatnya kandungan energi tubuh, relatif pada ikan yang berukuran lebih besar (Cui and Zhu, 1996), selain itu juga retensi energi dipengaruhi temperatur. Apabila temperatur naik, maka proses metabolisme juga akan naik dan semakin banyak pula energi yang tersimpan. Menurut Elliot (1997) pada temperatur 30-40oC akan terjadi peningkatan metabolisme yang sangat cepat yang akan meningkatkan retensi energi, namun pada temperatur yang sangat tinggi akan terjadi denaturasi protein. Prosedur kerja untuk memperoleh hasil retensi energi dari ikan yaitu dengan cara mematikan ikan terlebih dahulu, lalu ikan ditimbang untuk mengetahui bobot berat basah ikan, kemudian dioven bersuhu 70oC selama 7 hari sampai ikan benar-benar mengering. Tujuh hari kemudian setelah dioven, ikan ditimbang kembali untuk mengetahui berat kering ikan, lalu dihaluskan, dibuat pellet dengan alat pencetak pellet, diukur dengan alat pengukur retensi energi yaitu bom kalorimeter, dan terakhir dihitung dengan rumus aner (Effendi, 1979). Menurut Djarijah (1996), dalam penelitiannya tentang pengaruh suhu air tinggi pada efisiensi pemanfaatan energi protein menyimpulkan bahwa keadaan suhu lingkungan dan kualitas pakan sangat mempengaruhi retensi ikan, pada suhu yang kurang optimal pertumbuhan ikan menurun, sedangkan pada suhu diatas optimal akan terjadi stress yang memiliki pengaruh signifikan pada energy yang didapatkan. Lain halnya dengan tikus yang memproduksi panas, per satuan berat badan, lebih rendah pada tikus gemuk dibandingkan pada tikus ramping. Produksi panas terendah diamati pada tikus gemuk yang diberi diet tinggi lemak 40% lebih rendah kebutuhan energi pemeliharaan tikus obesitas merupakan faktor utama yang berkontribusi terhadap efisiensi tinggi dari retensi energi pada tikus tersebut (Lin, 2010).

Bomb kalorimeter adalah alat yang digunakan untuk mengukur jumlah kalor (nilai kalori) yang dibebaskan pada pembakaran sempurna (dalam O2 berlebih) suatu senyawa, bahan makanan, bahan bakar. Sampel ditempatkan pada tabung beroksigen yang tercelup dalam medium penyerap kalor (kalorimeter), dan sampel akan terbakar oleh api listrik dari kawat logam terpasang dalam tabung. Bom kalorimeter adalah alat untuk menentukan nilai kalor zat makanan karbohidrat, protein atau lemak (Glenncross, 2010). Bagian-bagian dari Bom kalorimeter dan fungsinya diantaranya termometer untuk mengukur suhu. Pengaduk berguna untuk mengaduk air dingin, katup oksigen untuk memasukkan oksigen dari tabung, cawan untuk meletakkan bahan atau sampel yang akan dibakar, kawat penyala untuk membakar, bom yaitu tempat terjadinya pembakaran, jacket air yaitu jacket untuk peletakan bom. Perpindahan kalor pada volume tetap bom kalorimeter yang bereaksi dalam sebuah bejana kecil yang tertutup dan bejana ditempatkan dalam sebuah kalorimeter, pada waktu molekul-molekul bereaksi secara kimia, kalor akan dilepas atau diambil dengan perubahan suhhu pada fluida kalorimeter diukur. Bejana tertutup rapat, volumenya tetap dan tak ada kerja pada tekanan volume yang dilakukan, oleh karena itu perubahan energi internal sama dengan besarnya kalor yang diserap oleh reaksi kimia pada volume tetap. Percobaan pada volume konstan ini sering kurang menguntungkan atau sulit dilakukan. Percobaan tersebut memerlukan penggunaan bejana reaksi yang dirancang dengan baik sehingga dapat tahan terhadap perubahan pada tekanan yang besar dan terjadi pada beberapa atau banyak reaksi kimia (Djajasewaka, 1990). Fungsi alat dan bahan yang digunakan antara lain bom kalorimeter merupakan alat yang berguna untuk mengetahui jumlah energi dalam tubuh ikan, dan mampu mengukur panas dalam tubuh ikan yang ditimbulkan oleh pembakaran, oven berfungsi untuk memanaskan bahan uji dengan prinsip kerja dehidrasi pada hewan uji dan terjadi kekeringan pada sampel, timbangan berfungsi untuk mengetahui bobot ikan dan akuarium untuk menyimpan hewan uji berupa hewan air. Alat berupa pinset berfungsi untuk mengambil atau menjepit sampel, pengukur waktu digunakan untuk mengatur waktu yang diperlukan, pencetak pellet berfungsi untuk membentuk bentuk pellet dengan bahan uji yang

telah menjadi tepung, saringan ikan berfungsi untuk mengambil ikan dari akuarium, aluminium foil berfungsi untuk menutupi ikan saat diletakkan pada oven dan terakhir blender berguna untuk mengubah bentuk bahan yang sebelumnya berbentuk padat menjadi berbentuk tepung (Anggorodi, 1979). Bahan yang digunakan seperti pellet berfungsi sebagai pakan atau makanan bagi hewan uji dalam hal ini hewan ikan, sedangkan Ikan Lele (Clarias batrachus) berfungsi sebagai hewan percobaan dalam praktikum “Retensi Energi”. Sementara fungsi air berguna sebagai media bagi ikan agar tetap hidup (Anggorodi, 1979). Umumnya ikan kurang mampu memanfaatkan karbohidrat. Ikan yang bersifat karnivora dapat memanfaatkan karbohidrat optimum pada tingkat 10,020,0% dalam pakan dan ikan omnivora pada tingkat 30,0-40,0 % dalam pakan (Wilson, 1994). Perbedaan kemampuan menggunakan karbohidrat pada spesies yang berbeda disebabkan oleh kemampuan organ pencernaan ikan dalam mencerna karbohidrat dan kemampuan sel untuk memanfaatkan glukosa (Furuichi, 1988). Pemanfaatan protein pakan akan optimal kalau disertai seimbangnya energi protein yang tepat pula. Energi non protein dari lemak dan karbohidrat harus tersedia, sehingga protein sebagian besar digunakan untuk pertumbuhan (Aryansyah, 2007). Retensi energi merupakan gambaran dari banyaknya energi yang tersimpan dalam bentuk jaringan di tubuh ikan dibagi dengan banyaknya energi dalam pakan yang dikonsumsi. Para ahli nutrisi telah menstandarisasikan pemakaian asam benzoate murni sebagai standar untuk analisis energy total menggunakan bom kalorimeter. Energi total pada umumnya dilakukan dengan menggunakan adiabatik bom kalorimeter (Djarijah, 1996). Menurut Effendi (1979), penggunaan ikan lele pada pengukuran retensi energi disebabkan karena ikan lele yang mudah didapatkan dan juga karena ikan lele tidak mempunyai sisik dan kulitnya yang tipis sehingga mempermudah dan mempercepat

proses

pengovenan.

Pakan

mengandung protein sekitar 24–26%.

komersial

ikan

lele

juga

IV. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil percobaan dan pembahasan, diperoleh kesimpulan sebagai berikut : 1. Retensi energi yang didapatkan pada ikan Lele (Clarias batrachus) sebesar 54,4 %. 2. Perbedaan kualitas pakan akan berpengaruh terhadap perbedaan retensi energi. Ikan memerlukan protein sekitar 20–60 % dari pakan yang diberikan dan kadar optimumnya adalah 30–36 % maka kadar protein dalam makanan kurang dari 6% berat basah mengakibatkan ikan tidak dapat tumbuh dengan baik.

DAFTAR REFERENSI

Anggorodi, R. 1979. Ilmu makanan ternak umum. Jakarta. PT. Gramedia. Arief, M. Nur Fitriani dan Sri Subekti. 2014. Pengaruh Pemberian Probiotik Berbeda pada Pakan Komersial Terhadap Pertumbuhan dan Efisiensi Pakan Ikan Lele Sangkuriang (Clarias sp.). Jurnal Ilmiah Perikanan dan Kelautan,Vol. 6 No. 1. Aryansyah, H., I. Mokoginta, & D. Jusadi. 2007. Kinerja pertumbuhan juvenil ikan lele dumbo (Clarias sp.) yang diberi pakan dengan kandungan kromium berbeda. Jurnal Akuakultur Indonesia, 6(2): 171–176. Babalola, T.O.O. and M.A Adebayo. 2007. Effect of Dietary Lipid Level on Growth Performance and Feed Utilization by Heterobranchus longifilis Fingerlings, Journal of Fisheries International 2 (1) : 60-64. Cui, Y, Hung, S and Zhu, X. 1996. Effect of Ration and Body Size on the Energy Budget of Juvenile White Sturgeon. France. Biol: J. Devlin, T.M. 1986. Fishing Farming Hand Book. New York. West Port CRI AVI Publishing Company. Djajasewaka, H. 1990. Pakan Ikan. Jakarta. CV Yasa Guna. Djarijah, A.S. 1996. Pakan Ikan Alami. Yogyakarta. Kanisius. Effendi, M.I. 1979. Metode Biologi Perikanan. Bogor. Yayasan Dewi Sri. Elliot, W.H and Elliot, D.C.1997. Biochemistry and Molecular Biology. New York. Oxford University Press. Glenncross. B, Bermudes. M. 2010. Effect of High Water Temperatures on the Utilisation Efficiencies of Energy. Fisheries and Aquaculture Journal, Volume 2010: FAJ-14. Kumar, S and Tembhre. 1997. Anatomy and Physiology of Fishes. New Delhi. Vikas Publishing House Private Limite. Lin, P. Y. Dale R. Romsos, Jerry G. Vander. Tuig Andgilbert and A. Leveille. 2010. Maintenance Energy Requirements, Energy Retention and Heat Production of Young Obese (ob/ob) and Lean Mice Fed a High-Fat or a High-Carbohydrate Diet. The Journal of Nutrition, 23-26. Matty, P.J. 1979. Fish Endocrinologi. Sydney. Croom Helm London and Sydney Timber. Murtidjo, A. B. 2001. Pedoman Meramu Ikan. Yogyakarta. Kanisius. Villee,C dan R.D. Barnes.1988. Zoologi Umum. Jakarta. Erlangga. Yuwono, E. dan Purnama S. 2001. Fisiologi Hewan Air. Jakarta. CV Sagung Seto.

View more...

Comments

Copyright ©2017 KUPDF Inc.
SUPPORT KUPDF