Resusitasi Cairan Pada Pasien Sepsis
January 15, 2017 | Author: Saniaty Tuankotta | Category: N/A
Short Description
Download Resusitasi Cairan Pada Pasien Sepsis...
Description
RESUSITASI CAIRAN PADA PASIEN SEPSIS Patrick J. Neligan, Niall Fanning Respons kardiovaskular metabolik dan neurohormonal terhadap sepsis ditandai oleh proses temporal bifasik. Fase pertama, yang terjadi lebih duluan, ditandai dengan fase hiperfungsional yaitu peningkatan transpor, ekstraksi, dan penggunaan oksigen. Hal ini menyebabkan peningkatan cardiac output dan peningkatan aliran darah ke jaringan yang berhubungan dengan pengisian transkapiler dan defisit cairan ekstravaskuler. Hal lain yang mempengaruhi adalah umur pasien, status kesehatan, dan tingkat keparahan trauma dan hasilnya berupa ketidakseimbangan supply dan demand oksigen. Hal ini dapat dilihat dari SVO2 yang menurun dan peningkatan konsentrasi laktat arteri dan vena. Ada hubungan yang jelas antara penurunan SVO2, besarnya asidosis laktat, dan tingkat keparahan trauma. Setelah fase hiperfungsional, yang menyerupai respons stress akut terhadap pembedahan atau trauma, dimulailah fase kedua yaitu fase hipofungsional, yang ditandai dengan depresi miokard, vasoplegia, dan disfungsi neuroendokrin. Hal ini dapat disebabkan karena aktivitas mitokondria yang tidak sesuai. Waktu pemberian resusitasi cairan memiliki efek yang berbeda, tergantung pada fase hiperfungsional atau fase hipofungsional. Data menyebutkan bahwa resusitasi yang tepat pada fase hiperfungsional dapat mencegah perkembangan menjadi sepsis hipofungsional dan kerusakan multiorgan, Pada bab ini, kita bertujuan untuk menjawab pertanyaan “ Cara resusitasi apa yang paling tepat dilakukan pada pasien dengan sepsis?”. Ada 3 komponen penting yang harus dibahas yaitu waktu pemberian resusitasi, volume yang dimasukkan, jenis cairan resusitasi yang digunakan.
Waktu Pemberian Resusitasi Kemampuan pasien untuk menghasilkan respons neurohormonal dan hemodinamik untuk menjaga homeostasis disebut dengan respons fisiologik.
Shoemaker dkk pada tahun 1973
menggambarkan hubungan antara demand, supply, dan outcome. Syok dapat menyebabkan perfusi oksigen ke jaringan menjadi terganggu. Shoemaker dkk melakukan suatu eksperimen yaitu memberikan cairan dan obat inotropik untuk menjaga perfusi oksigen ke jaringan tetap 1
bagus pada pasien yang menderita sakit berat. Dengan kata lain, jika pasien tidak dapat mempertahankan hemodinamik yang stabil, maka intervensi terapeutik perlu dilakukan untuk menyelamatkan nyawa. Dalam hal ini pasien yang tergolong menderita sakit berat adalah pasien yang menjalani operasi mayor. Shoemaker dkk meneliti 422 pasien dalam 2 kriteria yaitu pasien yang menggunakan Pulmonary Artery Catheter (PAC) untuk mencapai target resusitasi dan pasien yang menggunakan Central Venous Pressure (CVP) untuk mencapai target. Dari hasil penelitian didapatkan risiko kematian berkurang pada kedua kriteria tersebut yaitu sekitar 13%. Fleming dkk melakukan intervensi dan mengembalikan beberapa hal ke nilai normal seperti indeks jantung (>4,52 L/min/m2), transpor oksigen (>670 mL/min/m2), dan konsumsi oksigen (>166 mL/min/m2) pada pasien trauma yang sudah mengalami perdarahan sekitar 2000 cc atau lebih. Mereka meneliti 77 pasien dalam waktu 6 bulan. 33 orang termasuk protokol supranormalisasi dan 34 orang pasien yang menjadi kontrol. 8 pasien protokol meninggal dan 15 pasien kontrol meninggal. Pasien protokol memiliki sedikit kerusakan organ, waktu rawat inap di ICU yang lebih pendek, dan beberapa hari lebih sedikit memerlukan ventilator dibandingakan pasien kontrol. Hasil yang sama dilaporkan juga oleh Bishop dkk. Gattinoni dkk meneliti 762 pasien yang menderita sakit berat yang dibagi ke dalam 3 kategori yaitu membuat nilai indeks jantung menjadi normal, menaikkan indeks jantung lebih besar dari 4,5 L/m2, dan menaikkan nilai SVO2 di atas 70%. Target resusitasi dicapai menggunakan cairan, darah, inotropik, dan vasopresor. Pasien yang berada di kelompok supranormalisasi secara signifikan memiliki transpor oksigen yang lebih bagus dan konsumsi oksigen yang lebih banyak dibandingkan kelompok lain. Bagaimanapun, hanya sebagian dari pasien di grup tersebut dan sekitar dua pertiga pasien di grup SVO2 yang mencapai target. Hal ini lebih rendah jika dibandingkan dengan 93,4 % pasien yang berada pada kelompok normal. Tidak ada perbedaan hasil antara ketiga kelompok tersebut. Inti dari penelitian tersebut adalah waktu pemberian resusitasi yang tepat. Pasien tersebut memang sudah berada di ICU selama 72 jam sebelum penelitian. Hayes dkk meneliti 109 pasien yang dirawat di ICU yang diberikan dopamin dosis rendah dan resusitasi cairan. 9 dari pasien tersebut mencapai target resusitasi dan tidak memasuki protokol. 100 pasien lainnya secara acak dimasukkan ke protokol supranormalisasi atau protokol kontrol. Dobutamin, yang merupakan intervensi terapeutik pada penelitian ini, hanya diberikan 2
jika indeks jantung kurang dari 2,8 L/m2. Pasien yang berada di kelompok supranormalisasi memiliki transpor oksigen dan indeks jantung yang lebih baik dibandingkan kontrol. Namun, 35 pasien dari 50 pasien pada kelompok penyembuhan, 3 target tidak dicapai secara bersamaan tanpa bantuan obat inotropik. Tetapi, pasien kontrol memiliki hasil yang lebih baik. Angka kematian di rumah sakit lebih rendah pada kelompok kontrol yaitu sekitar 34% dibandingkan kelompok penyembuhan sebesar 54%. Penelitian ini dikritik oleh sebab penggunaan dobutamin dengan dosis yang berlebihan (dosis dobutamin maksimal 25ug/kgBB/min) yang diberikan ke kelompok supranormalisasi dan resusitasi cairan yang tidak adekuat pada kedua kelompok. Sebagai tambahan, ketidakmampuan mencapai target pada kelompok intervensi mungkin disebabkan pasien tersebut lagi berada pada fase lanjut dari penyakit yang dideritanya ketika dijadikan subjek penelitian. Shoemaker dkk menayarankan bahawa permulaan dari protokol supranormalisasi sangat penting. Hal ini mengingat bahwa 31 pasien dari 33 pasien yang mencapai target berhasil bertahan hidup. Kern
dan
Shoemaker
membuat
meta-analisis
dari
21
penelitian
mengenai
supranormalisasi yang dipublikasikan pada tahun 2002. Penelitian dibagi menjadi grup-grup berdasarkan onset waktu yaitu onset cepat (8-12 jam setelah operasi atau sebelum kerusakan organ) dan onset lambat (kerusakan organ telah tejadi). Dan pembagian berdasarkan tingkat keparahan penyakit yaitu mortalitas di atas 20% dan mortalitas di bawah 15%. Dari 6 penelitian, terdapat 23% perbedaan angka kematian antara kelompok kontrol dan kelompok protokol dengan onset waktu cepat. Tetapi 7 penelitian memiliki onset waktu lambat dan tidak ada perbedaan angka kematian yang signifikan dengan pasien yang menderita sakit yang lebih ringan. Tidak ada bukti yang menyatakan bahwa resusitasi untuk mencapai target membahayakan pasien. Gambar ini dikemukakan oleh Rivers dkk. Grup ini meneliti Early Goal Directed Therapy (EGDT) pada 263 pasien sepsis yang secara acak diberikan terapi standar dan terapi agresif goal directed yang menggunakan oximetric CVP line. Alat ini berfungsi untuk mengukur SVO2 pada distribusi vena cava superior. Penelitian ini mengambil subjek pasien di IRD dengan dua atau lebih kriteria yang terpenuhi unutk SIRS. Dokter, perawat, dan resusitasi cairan serta obat-obat inotropik beserta transfusi darah tersedia. Pasien di grup kontrol ditangani secara konservatif hingga mereka dipindahkan ke ICU dan diberikan resusitasi. Pasien yang akan 3
diteliti mendapatkan cairan yang lebih banyak dibandingkan pasien kontrol dalam 6 jam pertama, lebih banyak transfusi PRC, dan lebih banyak volume cairan intravena pada 72 jam pertama. Ada penurunan angka kematian sebesar 16% dalam 28 hari pada grup EGDT. Kesimpulan dari penelitian ini adalah resusitasi agresif pada awal dapat meningkatkan perfusi ke jaringan-jaringan. Setelah target tercapai, resusitasi lebih lanjut tidak dapat menolong dan bahkan membahayakan.
Bagan 1. Protokol Goal-Directed Resuscitation 4
\
Terdapat kontroversi mengenai kegunaan alat monitoring hemodinamik untuk penatalaksanaan pasien-pasien sepsis. Penggunaan PAC pernah diteliti pada 2 kota besar. Yang pertama, Connor dkk, menggunakan data dari penelitian sebelumnya, menyatakan bahwa monitoring menggunakan PAC sebenarnya memberikan hasil yang buruk. Kelemahan dari penelitian ini adalah tidak adanya protokol tetap mengenai pemberian cairan dan titrasi dari obat vasopressor. Akibat dari itu, penelitian ini menggambarkan bahwa tidak adanya PAC tidak memperburuk keadaan pasien tetapi juga tidak memberikan keuntungan. Hal ini tidak mengejutkan karena PAC merupakan alat monitoring bukan alat intervensi terapeutik. Pendekatan terbaru mengenai monitoring dan pengukuran volume dan cairan menggunakan berbagai macam alat. Tujuan pengukuran stroke volume adalah untuk mengukur volume didasarkan pada hokum Frank Starling. Volume preload mencakup CVP, tekanan arteri pulmonalis. Perubahan stroke volume lebih sensitive utuk perubahan volume sirkulasi dibandingkan cardiac output dan cardiac index. Beberapa alat yang dapat mengukur stroke volume atau cardiac output antara lain Esophageal Doppler Monitor(EDM), Peripherally Inserted Continuous Cardiac Output Monitor (PICCO), lithium dilution cardiac output, Fick principle CO2 rebreathing cardiac output (noninvasive cardiac output) (NICO), bioimpedance cardiac output, dan echocardiography. Protokol resusitasi dapat dilihat pada bagan di bawah ini. Pendekatan alternative digunakan untuk mengukur perfusi ke jaringan dan mengukur aliran darah. Pendekatan ini menggunakan tonometri lambung dan pemeriksaan oksigen jaringan. Beberapa penelitian menggunakan Esophageal Doppler Monitor sebagai acuan pemberian cairan perioperatif. Seperti yang telah dibahas sebelumnya, stress pada masa perioperatif dapat memicu timbulnya sepsis. Kebanyakan pasien pada penelitian ini secara acak diberikan cairan koloid dan cairan konvensional dengan hasil pasien yang diberikan cairan koloid memiliki hasil yang lebih bagus yaitu perfusi lebih bagus ke splanchnicus, mengurangi ileus, komplikasi major lebih sedikit, prestasi akibat pemberhentian pada masa awal, dan masa tinggal di rumah sakit dan ICU yang lebih singkat. Sebagai ringkasan, ada bukti yang mendukung bahwa penggunaan alat-alat monitoring pada pasien sepsis, sebagai contoh kateter oxymeter (SVO2) atau monitor stroke volume (EDM, PICCO) sebagai acuan untuk resusitasi cairan yang bersifat agresif. Untuk mencapai target 5
resusitasi, usaha resusitasi harus dilakukan pada awal karena sudah jelas bahwa waktu pemberian resusitasi dan jumlah cairan yang dimasukkan penting.
Jenis Cairan Pada keadaan sepsis, terjadi peningkatan permeabilitas vaskuler. Hal ini menyebabkan ekstravasasi cairan intravaskuler menuju ruang interstitial. Cairan yang pindah ini tidak dapat pindah kembali sampai respon peradangan hilang. Pada keadaan ini, Sekitar 80% cairan kristaloid yang digunakan untuk mengganti volume yang hilang, tertumpuk di ruang ekstravaskuler. Hal ini menyebabkan penambahan berat badan dan edema jaringan, terutama jaringan longgar dan pada perut. Hal ini menyebabkan transpor oksigen berkurang. Sebagai akibat dari peningkatan permeabilitas vaskuler, terjadi penurunan tekanan onkotik yang disebabkan berkurangnya konsentrasi albumin akibat dari proses dilusi, ekstravasasi, dan penurunan metabolisme hati (respons akut negatif). Edema yang terjadi berbanding lurus dengan volume cairan kristaloid yang dimasukkan. Cairan koloid digunakan sebagai pengganti plasma. Cairan koloid adalah substansi nonkristalin yang bersifat homogen, yang terdiri dari molekul-molekul besar atau partikel ultramikroskopik dari satu substansi ke substansi kedua. Larutan koloid bertahan di ruang intravaskuler karena ukuran molekulnya yang besar, yang menyebabkan membran bersifat inpermeabel relatif. Cairan koloid juga dapat mengisi kebocoran kapiler dan meningkatkan tekanan onkotik, jadi meningkatkan volume intravaskuler. Walaupun
koloid
memiliki
peranan
penting
untuk
mempertahankan
volume
intravaskuler, efek onkotik kurang penting untuk volume ekstraseluler dibandingkan efek osmotik dari elektrolit seperti Natrium dan Klorida. Hal ini berhubungan dengan jumlah partikel osmotik aktif yang terlibat. Di balik pendapat tersebut, ada pernyataan sebaliknya yang menyatakan bahwa cairan koloid mahal, mungkin dapat bocor ke ruang ekstraseluler, dan mempengaruhi koagulasi darah. Tiga penelitian yang bersifat meta-analisis yang dipublikasikan pada tahun 1990 menyatakan bahwa cairan koloid sebenarnya memperburuk keadaan pasien. Ada alasan yang kurang meyakinkan mengenai hasil dari penelitian tersebut. Penelitian tersebut mengumpulkan data 6
selama periode 30 tahun dimana banyak terjadi perubahan mendasar mengenai praktek anestesi, trauma, dan perawatan intensif. Kebanyakan penelitian tersebut tidak menggunakan kontrol lingkungan, tidak menggunakan target spesifik untuk resusitasi, dan cenderung untuk membandingkan larutan koloid dan larutan kristaloid, bukan kombinasi. Kebanyakan penelitian membandingkan jenis cairan koloid dengan jenis cairan koloid lainnya, bukan membandingkan dengan larutan kristaloid. 1. ALBUMIN Albumin yang beredar di pasaran tersedia dalam konsentrasi 5% (250 ml dan 500 ml vial) dan 25% (50 ml dan 100 ml vial). Sediaan 5% mengandung 50 mg albumin per millimeter NaCl dan sediaan 25% mengandung konsentrasi albumin 250 mg/mL. Seluruh produk albumin mengandung 130 – 160 mEq Na per liter. Albumin 5% bersifat iso-onkotik yang menyerupai plasma manusia. Albumin 25% memiliki partikel osmotik 4-5 kali lebih banyak dibandingkan plasma normal. Albumin memiliki insidens yang sangat rendah untuk kemungkinan terjadinya reaksi alergik (0,5-1%) dan jika terjadi biasanya reaksinya ringan (rash, demam, menggigil, mual). Albumin tidak menganggu koagulasi darah. Pemberian albumin berhubungan dengan ekspansi volume plasma yang cepat dan tidak diprediksi. Albumin secara luas digunakan untuk menurunkan berat badan, mencegah edema pulmo, menghilangkan asites, dan mengurangi edema jaringan. Ada beberapa bukti yang menyatakan bahwa albumin memiliki efek untuk meningkatkan fungsi organ dan memfasilitasi nutrisi enteral. Tetapi di balik itu, tidak ada bukti yang menyatakan albumin dapat mengurangi angka kematian. Saline versus Albumin Fluid Evaluation (SAFE) melakukan penelitian menggunakan 7000 pasien sebagai sampel dan hasilnya tidak ada perbedaan hasil antara pasien yang diberikan albumin 4% sebagai cairan resusitasi dengan yang menerima larutan saline. Sebagai ringkasan, albumin aman untuk digunakan. Efektivitas biaya belum ditetapkan. Tidak ada bukti yang menyatakan bahwa pemberian albumin dapat memperbaiki keadaan pasien sepsis.
7
2. HYDROXYETHYL STARCH Hydroxyethyl starch (HES atau hetastarch) adalah modifikasi polisakarida alami, berasal dari amilopektin, yang secara struktrual menyerupai glikogen. Larutan starch bersifat tidak stabil karena larutan ini akan dihidrolisis segera oleh amilase. Larutan ini distabilkan oleh proses etilasi dari hidroksil. Hasilnya adalah substitusi pada karbon 2 (c2), c3, dan c6 pada rantai glukosa. Farmakokinetik dari starch ditentukan oleh derajat dan tipe hidroksilasi. Rasio substitusi c2/6 yang lebih tinggi mengakibatkan degradasi enzimatik lebih lambat. Berat molekul mempengaruhi efek samping. Eliminasi terutama melalui urin. Sebuah fraksi diambil oleh sistem retikuloendotelial dan kemudian secara lambat dieliminasi. Hetastarch mengandung molekul yang memiliki berat molekul yang bervariasi, dan nilai tengah berat molekul biasanya tertulis pada kemasan. Setelah resusitasi menggunakan HES, dispersi dari berat molekul mengalami perubahan; awalnya molekul kecil secara cepat dieliminasi, dan kemudian molekul besar dihidrolisis menjadi molekul sedang. Produk HES terbagi menjadi tiga berdasarkan berat molekul; berat molekul tinggi (450 – 480 kD), berat molekul sedang (sekitar 200 kD), dan berat molekul rendah (70-130 kD). Contoh : 6% Hetastarch berat molekul tinggi dalam larutan saline (Hespan), 6% Hetastarch berat molekul tinggi dalam elektrolit yang seimbang (Hextend), Pentastarch berat molekul sedang dalam larutan saline (Pentaspam, EloHAES, HAES-steril), dan Tetrastarch berat molekul rendah dalam larutan saline (Voluven). Hydroxyethyl starch yang paling umum digunakan di Amerika Serikat adalah Hespan, cairan HES yang memiliki berat molekul tinggi dengan nilai rata-rata 450.000 D, 80% polimer memiliki 3.000 – 2.400.000 D. Cairan HES ini biasanya digabungkan dalam NaCl 0,9%. Tekanan onkotik larutan ini adalah 30 mmHg, dan setiap gram hetastarch memiliki water binding capacity 20 mL. Sekitar 46-64% diekskresikan melalui urine dalam waktu 2-8 hari. Waktu paruh sekitar 17 hari. Ekspansi volume plasma bertahan selama kurang lebih 48 jam, dengan 40% peak effect bertahan setelah 24 jam. HES dapat menganggu fungsi platelet, menyebabkan kelainan pada faktor von Willebrand dan faktor VIIIc. Efek pada hemostasis tergantung dari dosis. Volume hetastarch yang banyak secara in vivo dan in vitro dapat menyebabkan kelainan yang bersifat progresif 8
pada pemeriksaan thromboelastography (TEG). Tetapi, belum ada pernyataan yang menyatakan bahwa HES meningkatkan risiko perdarahan. Para klinisi menyarankan dosis hetastarch 20 ml/kgBB/hari. HES berat molekul rendah dan larutan pentastarch berhubungan dengan risiko koagulopati. VISEP melakukan penelitian dengan mengambil pasien sepsis berat dengan kontrol gula ketat dan diberikan resusitasi cairan secara acak dengan pentastarch 10%, HES berat molekul sedang, dan RL. Peneliti mengambil waktu 28 hari dan mengevaluasi angka kematian dan kerusakan organ. Pasien yang menjadi subjek penelitian adalah 537 pasien. Kontrol gula darah tidak memberikan perbedaan pada hasil akhir yang diperoleh dalam 28 hari. Pasien pada kelompok yang diberikan HES memiliki nilai rata-rata trombosit 179.600 / mm3 dibandingkan yang diberikan RL (224.000 / mm3) dan menerima PRC lebih banyak dibandingkan pasien yang diberikan RL. Sebagai tambahan, HES dapat meningkatkan angka kematian dalam 90 hari sebesar 57,6% dengan peningkatan angka penderita gagal ginjal dan 9,1% peningkatan waktu dialysis. Hal ini tentu merupakan berita buruk bagi pabrik industry HES. Bagaimanapun, beberapa kritik tentang penelitian harus disoroti. Pasien diberikan HES melebihi dosis yang direkomendasikan dalam waktu yang lama (21 hari). HES adalah salah satu koloid yang bersifat hiperonkotik yang menyerupai plasma. Tidak ada perbedaan angka kematian pada masa 28 hari dan 90 hari. Angka kematian dalam 90 hari mungkin disebabkan efek toksik akibat akumulasi HES bukan karena kegagalan terapi. Keunikan dari penelitian ini bahwa penelitian ini menyimpulkan bahwa HES lebih membahayakan pasien ketimbang memberikan keuntungan. Sebagai rangkuman, larutan HES digunakan secara luas sebagai resusitasi cairan pada pasien sepsis yang memiliki keuntungan secara teori. Komponen-komponen yang memiliki berat molekul tinggi seharusnya dihindari karena dapat menimbulkan kelainan pada koagulasi dan akumulasi cairan, terutama pada pasien gagal ginjal. 3. LARUTAN KRISTALOID Kristaloid, larutan yang mengandung elektrolit yang dapat bersifat isotonis, hipotonis, atau hipertonis, secara universal digunakan sebagai resusitasi primer pada pasien sakit berat. Tetapi, penggunaan kristaloid sedang dan akan tetap menjadi kontroversial. Pemberian cairan 9
kristaloid sebagai penunjang cenderung mengabaikan efek cairan ini pada jaringan (peningkatan volume interstitial), disosiasi air (keseimbangan asam basa), komposisi elektrolit, keseimbagan koloid, dan koagulasi. Seperti yang telah dibahas sebelumnya, penunjang untuk sistem alternative mengenai keseimbangan cairan perioperatif, pencapaian target resusitasi. Fisiologi cairan dan tubuh lebih menekankan pada waktu pemberian ketimbang total cairan yang diberikan. Hal ini biasanya mencakup pemberian kristaloid dan koloid/darah. Resusitasi dengan cairan kristaloid dapat mengurangi penghantaran oksigen dan perfusi jaringan.
Funk dkk melakukan eksperimen laboratorium mengenai hemodilusi isovolemi
terhadap hamster Syrian Golden. Hamster tersebut diberikan larutan Ringer Laktat atau Dextran 60 untuk menggantikan darah yang hilang. Sebanyak 4 kali dari volume darah yang hilang digantikan dengan ringer laktat untuk mempertahankan MAP, CVP, dan laju jantung. Perfusi jaringan dan PaO2 tidak berubah dalam kelompok koloid, tapi pada kelompok kristaloid berkurang berturut-turut sebesar 62% dan 58%. Lang dkk meneliti efek dari terapi penggantian cairan koloid dengan kristaloid terhadap tekanan oksigen jaringan pada pasien yang menjalani operasi abdomen mayor. Kepada 42 orang pasien secara acak diberikan kombinasi cairan HES 6% dan Ringer Laktat maupun hanya cairan Ringer laktat dalam 24 jam, dengan target CVP 8 hingga 12 mmHg. Peneliti mengukur tekanan oksigen jaringan dalam otot deltoid; digunakan alat monitor LICOX CMP yang dipasang setelah induksi anastesi. Pasien dengan kelompok kristaloid mendapatkan lebih banyak cairan setelah akhir operasi ( 5490 ± 1910 berbanding 3920 ± 1350 mL; P
View more...
Comments