Resume buku Modern Constitutions by C.F. Strong

October 8, 2017 | Author: Agmalun Hasugian | Category: N/A
Share Embed Donate


Short Description

Konstitusi-Konstitusi Modern...

Description

IKHTISAR ISI BUKU

KONSTITUSI-KONSTITUSI POLITIK MODERN: KAJIAN TENTANG SEJARAH & BENTUK-BENTUK KONSTITUSI-KONSTITUSI DUNIA

Oleh: C.F. Strong

Tulisan ini akan membedah buku yang berjudul Konstitusi-Konstitusi Politik Modern: Kajian tentang Sejarah & Bentuk-Bentuk Konstitusi-Konstitusi Dunia yang merupakan terjemaahan dari Modern Political Constitutions: An Introduction to The Comparative Study to Their History and Existing Form karya C.F. Strong pada tahun 2004. Buku ini sendiri terdiri atas tiga bagian besar yaitu bagian pertama tentang pendekatan historis, bagian keduan mengenai perbandingan politik konstitusi, dan bagian ketiga mengenai nasionalisme dan internasionalisme.

BAGIAN KE- I

PENDEKATAN HISTORIS

Bagian I mengenai pendekatan historis terdiri dari 2 (dua) bab, yaitu Bab I mengenai arti konstitusionalisme politik dan Bab II mengenai asal usul dan perkembangan Negara konstitusional. Kostitusi adalah kumpulan asas-asas yang mengatur dan menetap-kan kekuasaan dan pemerintah, hak-hak yang diperintah, dan hubungan antara keduanya atau antara pemerintah dengan yang diperintah. Konstitusi dipergunakan untuk menggambarkan keseluruhan sistem ketatanegaraan suatu negara, yang merupakan kumpulan peraturan yang menetapkan dan mengatur atau menentukan pemerintah. Suatu konstitusi setidaknya mengatur mengenai berbagai institusi kekuasaan yang ada dalam negara, kekuasaan yang dimiliki oleh institusi-institusi tersebut, dan dalam cara seperti apa kekuasaan tersebut dijalankan. C. F. Strong mengibaratkan konstitusi sebagai tubuh manusia dan negara serta badan politik sebagai organ dari tubuh. Organ tubuh akan bekerja secara harmonis apabila tubuh dalam keadaan sehat dan sebalik-nya. Negara ataupun badan-badan politik akan bekerja sesuai dengan fungsi yang telah ditetapkan dalam konstitusi.

Constitution is a collection of principles according to which the powers of the government, the rights of the governed, and the relations between the two are adjusted. Suatu konstitusi setidaknya mengatur mengenai berbagai institusi kekuasaan yang ada dalam negara, kekuasaan yang dimiliki oleh institusi-institusi tersebut, dan dalam cara seperti apa

kekuasaan tersebut dijalankan.

Dengan demikian secara sederhana yang menjadi objek

dalam konstitusi adalah pembatasan terhadap tindakan pemerintah, hal ini ditujukan untuk memberikan jaminan terhadap hak-hak warga negara dan menjabarkan bagaimana kedaulatan itu dijalankan.

Konstitusi dapat berupa catatan tertulis, konstitusi dapat ditemukan dalam bentuk dokumen yang bisa diubah atau diamandemen menurut kebutuhan dan perkembangan jaman, atau konstitusi dapat berwujud sekumpulan hukum terpisah dan memiliki otoritas khusus sebagai hukum konstitusi. Atau bisa juga dasar-dasar konstitusi tersebut ditetapkan dalam satu atau dua undang-undang dasar, sedangkan selebihnya bergantung pada otoritas kekuatan adat-istiadat atau kebiasaan.

Mengenai asal usul dan perkembangan Negara konstitusional membahas tentang sejarah perkembangan konstitusi, seperti sejarah perkembangan konstitusi di Yunani, Romawi, konstitusionalisme abad pertengahan, konstitusionalisme Inggris, dan pada abad ke 19. Konstitusi telah ada sejak ribuan tahun yang lalu. Dimulai sejak zaman Yunani Kuno yang

dapat

dibuktikan

dengan

memperhatikan

pendapat Plato yang

membedakan

istilah nomoi dan politiea. Nomoi berarti undang-undang, sedangkan politiea berarti Negara atau dapat disepadankan dengan pengertian kostitusi. Politea mengandung kekuasaan yang lebih tinggi daripada nomoi, karena politea mempunyai kekuasaan membentuk sedangkan pada nomoi tidak ada, karena ia hanya merupakan materi yang harus dibentuk agar tidak bercerai-berai. Akan tetapi pada masa itu konstitusi masih diartikan secara materiil saja,

karena belum dibuat dalam suatu naskah tertulis sebagaimana dikenal pada masa kini. Pada masa kejayaannya (antara tahun 624-404 SM) Athena pernah mempunyai tidak kurang dari 11 konstitusi. Pada masa itu Aristoteles sebagai murid terbesar Plato berhasil mengumpulkan 158 konstitusi dari berbagai negara sehingga diakui sebagai orang pertama yang melakukan studi perbandingan konstitusi.

Di dalam kebudayaan Yunani penggunaan istilah UUD berkaitan erat dengan ucapan Resblica constituere yang memunculkan semboyan ―Prinsep Legibus Solutus est, Salus Publica Supreme Lex‖ yang artinya rajalah yang berhak menentukan organisasi/struktur negara oleh karena Raja adalah satu-satunya pembuat undang-undang, sehingga kekuasaan raja sangat absolut.

Pada masa itu pemahaman tentang konstitusi hanyalah merupakan suatu kumpulan dari peraturan serta adat kebiasaan semata-mata Bagi bangsa Yunani, Negara merupakan seluruh pola pergaulannya, sebuah kota tempat terpenuhinya semua kbutuhannya secara material dan spiritual. Keberadaan Negara, kata Aristoteles, tidak semata mata untuk memungkinkan adanya kehidupan, tetapi untuk membuat kehidupan bias berjalan dengan baik. Menurut Plato dan Aristoteles, ujian atas kewarganegaraan yang baik adalah kepatuhannya terhadap undang-undang atau konstitusi.

BAGIAN KE- II

PERBANDINGAN POLITIK KONSTITUSI

Pada bagian kedua mengenai perbandingan politik konstitusi terdiri dari 11 (sebelas) bab. Secara umum pada Bab III di bagian ini mencoba untuk memberikan pemahaman mengenai klasifikasi konstitusi. C.F. Strong membagi konstitusi menjadi dua kategori, yaitu: (1) konstitusi bernaskah (codified constitution) serta konstitusi tidak bernaskah (non-codified constitution); dan (2) konstitusi lentur (flexible constitution) dan konstitusi kaku (rigid constitution). Strong menggunakan istilah documentary dan non-documentary constitution sebab menurutnya pembedaan konstitusi menjadi konstitusi tertulis (written constitution) dan konstitusi tidak tertulis (unwritten constitution) adalah suatu pembedaan yang keliru dan menyesatkan. Kekeliruan tersebut diakibatkan oleh karena tak ada satupun konstitusi di dunia yang seluruhnya tertulis, maupun sebaliknya tidak ada satupun konstitusi yang seluruhnya tidak tertulis. Suatu konstitusi umumnya disebut tertulis, bila merupakan naskah, sedangkan konstitusi tak tertulis tidak berupa naskah dan banyak dipengaruhi oleh tradisi dan konvensi. Contoh AS konstitusi berupa naskah, tetapi disamping itu timbul konvensi yang pada hakekatnya telah mengubah beberapa asas pokok dari naskah konstitusi itu sendiri, sebaliknya konstitusi Inggris dianggap tak tertulis memang tidak merupakan naskah tetapi mencakup beberapa dokumen tertulis (Magna Charta, Bill of Rights, Parlement Acts).

Amerika Serikat misalnya undang-undang dasarnya disusun pada tahun 1787 dan diresmikan 1789, merupakan naskah yang tetua di dunia. Hak asasi warga negara tercantum dalam suatu naskah tersendiri yang dinamakan Bill of Rights. Disamping itu ada beberapa ketentuan ketatanegaraan yang tidak termuat dalam UUD. Misalnya adanya partai-partai politik atau wewenang Mahkamah Agung untuk menguji undang-undang (Judicial Review). Ketentuanketentuan konstitusional Amerika Serikat terdapat dalam: a. Naskah undang-undang dasar b. Sejumlah undang-undang c. Sejumlah keputusan MA berdasar hak uji.

Namun demikian, pada kenyataanya pengklasifikasian ini—tertulis dan tidak tertulis, menjadi sebuah keniscayaan yang tak terhindarkan. Strong pun mengakui adanya kategorisasi ini, khususnya untuk sebuah kebutuhan yang lebih praktis. Tetapi, dia kembali menegaskan sesungguhnya konstitusi tertulis adalah konstitusi yang terdokumentasi, sedangkan konstitusi tidak tertulis ialah konstitusi yang tak terdokumentasi.

Bab IV tentang Negara Kesatuan membahasa mengenai Negara kesatuan dan konstitusi yang menaunginya. Mengenai bentuk negara kesatuan, menurut C.F. Strong negara kesatuan ialah bentuk negara di mana wewenang legislatif tertinggi dipusatkan dalam suatu badan legislatif nasional/pusat. Pada negara kesatuan, pembagian kekuasaan dirumuskan secara tegas, wewenang-wewenang apa yang dimiliki oleh pemerintah negara bagian dan selebihnya oleh pemerintah pusat. Ciri negara kesatuan dengan sistem

desentralisasi maka pemerintah memiliki wewenang hanya terbatas pada wewenangwewenang yang telah dirumuskan secara tegas.

Tiada bidang kegiatan pemerintah yang diserahkan konstitusi kepada satuan-satuan pemerintahan lebih kecil, seperti negara bagian atau provinsi. Oleh karena itu, dalam negara kesatuan kekuasaan terletak pada tangan pemerintah pusat dan tidak ada pada pemerintah daerah (local goverment). Dalam suatu negara kesatuan, terdapat asas bahwa segenap urusanurusan negara tidak dibagi antara pemerintah pusat (central government) dengan pemerintah daerah (local government) sedemikian rupa, sehingga urusan-negara dalam negara kesatuan itu tetap merupakan suatu kebulatan (eenheid) dan bahwa pemegang kekuasaan tertinggi di negara itu ialah pemerintah pusat. Dengan demikian, pemerintah nasional bisa, dan biasanya memang, melimpahkan banyak tugas kepada kota-kota, kabupaten-kabupaten, atau satuansatuan pemerintahan lokal atau regional (local government). Namun otoritas ini dilimpahkan oleh undang-undang biasa yang disusun oleh dewan perwakilan rakyat nasional – tidak boleh konstitusi – dan tidak bisa ditarik kembali segera setelah diterima. Sebagai contoh, Inggris adalah negara kesatuan, bukan negara federasi seperti Amerika Serikat. Pemerintahan Inggris, adalah berbentuk kesatuan karena semua kekuasaan dikonsentrasikan pada suatu pemerintahan tunggal yang berpusat di London yang membentuk semua conties, borough dan daerah-daerah lokal yang sekarang ada.

Menurut C.F. Strong, akhirnya sampai pada kesimpulan bahwa ada dua ciri mutlak yang melekat pada Negara kesatuan, yaitu:

(1) Adanya supremasi dari dewan perwakilan rakyat pusat (2) Tidak adanya badan-badan lainnya yang berdaulat.

Dengan demikian bagi para warga negaranya dalam Negara kesatuan itu hanya terasa adanya satu pemerintah saja. Dan bila dibandingkan dengan federasi dan konfederasi, maka Negara kesatuan itu merupakan bentuk Negara dimana ikatan serta integrasi paling kokoh.

Bab V tentang Negara Federal mencoba memberikan penjelasan mengenai Negara federal. Menurut C.F.Strong negara serikat/federal adalah suatu negara dimana terdapat 2 (dua) atau lebih negara atau lebih yang sederajat, bersatu karena tujuan-tujuan tertentu yang sama. Dalam bentuk negara Federal, setiap negara bagian bebas untuk melakukan tindakantindakan ke dalam, selama tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Federal. Tindakan ke luar khususnya hubungan dengan negara-negara lain, hanya dapat dilakukan melalui atau oleh pemerintahan Federal. Salah satu contoh negara Federal kekinian yaitu Amerika Serikat dan Malaysia. Jika dicermati secara seksama, local goverment di negara Federal ini hampir memiliki kesamaan dengan negara kesatuan dengan sistem desentralisasi, di balik itu tentunya terdapat perbedaan. Persamaan diantara keduanya, misalnya satu sama lain memiliki hak untuk mengurus kepentingannya masing-masing dan hanya pemerintah pusat atau federal lah yang dapat bertindak ke luar. Sedangkan perbedaannya terletak pada asal-usul hak mengurus rumah tangga sendiri. Pada negara bagian merupakan hak aslinya, sementara pada daerah otonom hak itu diperoleh dari pemerintah pusat. Apabila ditinjau dari sudut kenegaraan dan sudut hukum, perbedaan antara negara Federal dengan negara kesatuan

yang didesentralisi sesungguhnya hanya perbedaan nisbi (relatif) saja. Berkaitan dengan ini Hans Kelsen mengemukakan bahwa perbedaan antara negara federal dengan negara kesatuan yang didesentralisir itu hanyalah perbedaan pada tingkatan desentralisasi (―only the degree of decentralization distinguishes a unitary state divided into autonomous provinces from federal state‖ ).

Menurut C.F. Strong salah satu ciri negara federal adalah bahwa sistem tersebut mencoba menyesuaikan dua konsep yang sebenarnya bertentangan, yaitu kedaulatan negara federal dalam keseluruhannya dan kedaulatan negara-negara bagian. Untuk membentuk negara federal suatu menurut C.F. Strong diperlukan tiga syarat, yaitu :

1. adanya supremasi konstitusi federal; 2. adanya pemecaran kekuasaan (distribution of powers) antara negara federal dengan negara bagian ; 3.

adanya suatu kekuasaan tertinggi yang bertugas menyelesaikan sengketa-sengketa yang mungkin timbul antara negara bagian dan negara bagian.

Adanya keinginan pada kesatuan-kesatuan politik yang hendak mengadakan federasi untuk mengadakan ikatan terbatas, oleh karena itu apabila kesatuan-kesatuan politik itu menghendaki persatuan sepenuhnya, maka bukan federasilah yang akan dibentuk, melainkan negara kesatuan. Menurut C.F. Strong, yang membedakan negara serikat yang satu dengan yang lain adalah:

1.

cara pembagian kekuasaan antara pemerintah federal dan pemerintah negara bagian;

2.

badan yang berwenang untuk menyelesaikan perselisihan yang timbul antara pemerintah federal dengan pemerintah negara bagian.

Berdasarkan kedua hal tersebut, lahirlah bermacam-macam negara serikat, antara lain:

1.

negara serikat yang konstitusinya merinci satu persatu kekuasaan pemerintah federal, dan kekuaasaan yang tidak terinci diserahkan kepada pemerintah negara bagian. Contoh negara serikat semacam itu antara lain: Amerika Serikat, Australia, RIS (1949);

2.

negara serikat yang konstitusinya merinci satu persatu kekuasaan pemerintah negara bagian, sedangkan sisanya diserahkan kepada pemerintah federal. Contoh: Kanada dan India;

3.

negara serikat yang memberikan wewenang kepada mahkamah agung federal dalam menyelesaikan perselisihan di antara pemerintah federal dengan pemerintah negara bagian. Contoh: Amerika Serikat dan Australia;

4.

negara serikat yang memberikan kewenangan kepada parlemen federal dalam menyelesaikan perselisihan antara pemerintah federal dengan pemerintah negara bagian. Contoh: Swiss.

Mengenai cara membagi kekuasaan antara negara federal dengan negara-negara bagian, terdapat 2 (dua) cara yaitu :

a. kekuasaan yang diserahkan oleh negara-negara bagian kepada negara federal ditetapkan secara limitatif dalam konstitusi negara federal. Disini terjadi perkuatan kedudukan negara federal dibandingkan dengan negara-negara bagian, contoh Kanada yang oleh C.F. Strong disebut sebagai less federal; dan b. kekuasaan yang diserahkan kepada pemerintah negara-negara bagian dan kekuasaan lainnya (the reserve power) ada pada negara federal, ditetapkan secara llimitatif dalam konstitusi. Disini terjadi perkuatan kedudukan negara-negara bagian dibandingkan dengan negara federal dan diharapkan terjadi pengawasan terhadap kekuasaan pemerintah federal dalam hubungannya dengan kekuasaan negara-negara bagian (to check the power of the federal authority as against the federating units).

Bab VI pada bagian kedua ini membahas mengenai konstitusi fleksibel. Jika suatu konstitusi mudah untuk dirubah maka ia digolongkan dalam konstitusi fleksible. Prosedur mengubah undang-undang dasar sama dengan prosedur membuat undang-undang maka konsitusinya disebut konstitusi fleksibel, misalnya Inggris dan Selandia Baru. C.F Strong memberikan ciri-ciri dari Negara yang memakai konstitusi fleksibel, salah satu cirinya adalah berkisar pada persoalan cara amandemen, jika cara pengesahan hukum konstitusional sama dengan cara pengesahan undang-undang biasa yang bukan termasuk karakter konstitusional, maka konstitusi tersebut di nyatakan fleksibel, selain itu juga ciri-ciri konstitusi fleksibel

lainnya adalah bukan melalui referendum rakyar (dilakukan oleh rakyat langsung), tidak ada batasan-batasan dalam sifat apapun di negara dengan konstitusi fleksibel.

Bab VII kemudian membahas klasifikasi konstitusi sebagai antithesis dari konstitusi fleksibel, yaitu konstitusi rigid. Ciri utama dari konstitusi yang kaku atau rigid adalah adanya pembatasan terhadap kekuasaan lembaga legislative oleh suatu hal di luar kekuasaan lembaga tersebut untuk melakukan perubahan konstitusi. Oleh karena itu, perubahan konstitusi harus dilakukan melalui metode- metode tertentu yang diatur secara khusus. Konstitusi rigid mengandung ciri-ciri:

a. Mempunyai kedudukan dan derajat yang lebih tinggi dari peraturan perundangundangan yang lain. b. Hanya dapat diubah dengan cara khusus atau istimewa.

Bab VIII sampai dengan bab X membahas mengenai lembaga eksekutif. Pemerintah adalah ―suatu organisasi yang diberi hak untuk melaksanakan kekuasaan kedaulatan. Dalam pengertian yang lebih luas, pemerintah adalah sesuatu yang lebih besar daripada badan menteri-menteri, suatu pengertian yang sering dipergunakan di masa sekarang ketika mengacu pada kabinet yang ada di Inggris sebagai contoh pemerintah masa kini. Oleh karena itu, negara harus memiliki: pertama, kekuatan militer atau kendali atas angkatan bersenjata; kedua, kekuasaan legislatif atau perangkat pembuat hukum atau undang-undang; ketiga, keuasaan finansial atau kemampuan untuk menggalang dana yang cukup dari masyarakat

untuk membiayai pertahanan negara dan penegakkan hukum yang dibuat atas nama negara. Secara singkat, negara harus memiliki kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif, yang disebut sebagai tiga kekuasaan dalam pemerintahan.

Menurut pendapat Strong, pemerintah yang merupakan organisasi pelaksana kedaulatan, dapat dilihat dalam arti luas dan sempit. Pemerintah dalam arti sempit, hanya menunjuk pada kekuasaan eksekutif (misalnya Kabinet di Inggris), sedangkan pemerintah dalam arti luas mencakup kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif. C.F.Strong mengemukakan adalah suatu keharusan bahwa dalam setiap negara yang mengatur asas-asas demokrasi, kepada lembaga eksekutif harus dilakukan pengawasan serta pembatasan, dengan demikian lembaga eksekutif harus mempertanggungjawabkan kekuasaannya kepada rakyat. Ia membagi hakekat kekuasaan eksekutif ini atas dua hal :

a. adanya pertanggungjawaban Badan Eksekutif kepada Badan Legislatif/Parlemen, dimana badan legislatif ini dapat menjatuhkan pihak eksekutif apabila mendapat mosi tidak percaya; b. Badan eksekutif mendapat pengawasan dalam bentuk lain, misalnya adanya pemilihan presiden secara periodik. Sehingga berdasarkan klasifikasi ini, dapat dibagi negara yang menganut sistem pemerintahan parlementer (The Parliamentary Executive System) dan presidensil (The Non-parliamentary Executive System).

Pada Bab XI dan Bab XII, C.F. Strong membahas mengenai eksekutif parlementer dan eksekutif nonparlementer. Sistem parlementer adalah sistem pemerintahan yang menggabungkan kekuasaan eksekutif dan kekuasaan legislatif dalam suatu lembaga pemegang kedaulatan rakyat yang bernama parlemen. Kedudukan kepala negara biasanya dipegang oleh raja, ratu, presiden, ataupun sebutan lain yang sesuai dengan bahasa resmi yang dipakai di negara bersangkutan, sedangkan jabatan kepala pemerintahan biasanya disebut perdana menteri (prime minister). Fungsi perdana menteri dalam kegiatan pemerintahan adalah menjalankan kekuasaan tata usaha negara dalam lingkungan jabatan eksekutif sedangkan fungsi presiden sebagai kepala negara hanya bersifat simbolik dalam organisasi negara. C.F. Strong, membedakan kedua jabatan tersebut yakni kepala negara disebut sebagai nominal executive, sedangkan kepala pemerintahan disebut sebagai real executive. Eksekutif dalam sistem parlementer dapat dimaknai menjadi 2, yaitu:

1. Real executive: yang menjalankan dan bertanggung dan bertanggung jawab atas jalannya pemerintahan. Contoh: perdana menteri, kanselir;

2. Nominal executive: yang tidak dimintai pertanggungjawaban dalam menjalankan pemerintahan (menjalankan peran simbol negara). Contoh: raja, presiden (kepala negara).

Untuk membedakan antara sistem pemerintahan parlementer dan sistem presidensil, menurut CF.Strong dapat dilihat dari :

1. Ada tidaknya pembedaan real eksekutif (kepala pemerintahan) dan nominal eksekutif (kepala negara) dalam penyelenggaraan pemerintahan Negara;

2. Ada tidaknya hubungan pertangggungjawaban antara cabang eksekutif dan legislatif.

Bab XIII membahas mengenai lembaga yudikatif. Menurut C.F. S, studi tentang kekuasaan kehakiman dalam pemerintahan merupakan suatu hal yang sangat teknis danlebih sesuai dengan ilmu hukum daripada ilmu politik. Menurutnya, dalam Negara yang benarbenar konstitusional, bahkan jika lembaga eksekutifnya nonparlementer, lembaga legislative harus dan benar-benar menjamin bahwa tindakan eksekutif dimaksudkan untuk melaksanakan kehendak legislative secara luas. Dalam sebuah system pemerintahan yang baik, harus dan ada benar-benar ada hak prerogatif di tangan eksekutif untuk memberikan grasi atau penagguha hukuman mati. Dengan demikian eksekutif dapat mengurangi atau membatalkan keputusan lembaga yudikatif yang dirasakan terlalu keras. C.F. Strong menegaskan bahwa ada hubungan antara badan eksekutif, legislatif, dan yudikatif meskipun yudikatif tetap dalam kondisi sebagai lembaga yang independen atau merdeka.

BAGIAN KE- III

NASIONALISME DAN INTERNASIONALISME

Bagian ketiga dari buku ini membahas mengenai Nasionalisme dan Internasionalisme, yaitu membahas tentang hubungan antara nasionalisme dan pengaruh internasionalis dalam membentuk konstitusi suatu Negara. Pada bagian ini terdiri dari 4 (empat) Bab, yaitu Bab XIV tentang Kebangkitan Nasionalisme, Bab XV tentang Organisai Ekonomi Nasional dan Internasional, dan Bab XVI tentang Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa, dan Bab XVII tentang Pandangan Tentang Konstitusionalisme.

Bab XIV mengenai kebangkitan nasionalisme menunjukkan adanya kebangkitan nasionalisme di Negara-negara koloni atas bangsa-bangsa yang melakukan praktik kolonialisme di tanah mereka misalnya, di India atas koloni Inggris dan Indonesia atas koloni Belanda. Kebangkitan rasa nasionalisme ini berujung pada keinginan untuk meredeka dari Negara koloni dan membentuk pemerintahan sendiri atau membentuk Negara yang merdeka.

Bab selanjutnya yaitu Bab XV yang melakukan pembahsan mengenai Organisasi Ekonomi Nasional dan Internasional. Pada Bab ini dijabarkan bagaimana pentingnya dan keberdaan demokrasi ekonomi selain demokrasi politik. Ada sesuatu hal penting masalahmasalah ekonomi nasional dan internasional dalam yang patut untuk dibicarakan karena berperan penting dalam kondisi ekonomi dan pemerintahan suatu Negara. C.F. Strong meyakini ada hal-hal yang perlu ditunjukkan mengenai hal-hal yang sudah terjadi atau

mngkin terjadi pada suatu Negara konstitusional dalam membangun demokrasi ekonomi yang sebenarnya.

Bab XVI mengenai Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa membahas mengenai sejarah lahirnya piagam tersebut dan lahirnya United Nations atau Perserikatan Bangsa-Bangsa. Sebagai perserikatan sukarela Negara-negara yang berdaulat, PBB berperan dalam menjaga stabilitas keamanan internasional dan juga memajukan tingkat perekonomian Negara-negara ekonomi terbelakang.

Bab

terakhir

yaitu

Bab

XVII

membahas

mengenai

Pandangan

Tentang

Konstitusionalisme. Pandangan ini difokuskan pada keberadaan konstitusonalisme pasca Perang Dunia ke-II yaitu begaimana Negara-negara yang terlibat perang memulihkan kembali konstitusinya pasca perang yang kemungkinan ketika perang sudah dicabut atau akibat suatu paham tertentu telah diubah. Pasca perang Negara-negara tersebut banyak yang melakukan perubahan konstitusi yang mengikuti keinginan dan konstelasi dalam negeri bahkan juga konstelasi internasional maupun regional yang terkait dengan kondisi politik maupun geopolitik, bahkan ekopolitik.

View more...

Comments

Copyright ©2017 KUPDF Inc.
SUPPORT KUPDF