Resensi Buku
May 14, 2018 | Author: Andreas | Category: N/A
Short Description
shfzshd...
Description
MASALAH-MASALAH DEMOKRASI DAN KEBANGSAAN Disusun sebagai Pemenuhan Tugas Akhir Resensi Buku Mata Kuliah Konsep Dasar Pendidikan Kewarganegaraan Dosen Pengampu Dr. Waspodo Tjipto Subroto, M.Pd.
Disusun Oleh Andreas Erwin Prasetya NIM 187855133
PRODI PENDIDIKAN DASAR PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA 2015
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis haturkan pada TuhanYang Maha Kasih atas berkat, rahmat, karunia, hidayah, dan kasihnya tugas akhir yang berjudul “Masalah-masalah Demokrasi dan Kebangsaan” Kebangsaan” dapat terselesaikan dengan baik. Tulisan ini menyajikan kajian kepemimpinan yang didasarkan pada buku yang dikarang oleh Prof. Dr. Wasiono, M.Hum. Tulisan ini dibagi dalam 4 bagian. Bagian pertama menguraikan mengenai identitas buku yang menjadi bahan resensi, bagian kedua menjelaskan mengenai rangkuman isi buku, bagian ketiga menguraikan mengenai kajian penulis pada isi buku dan kepemimpinan di Indonesia, dan bagian keempat merupakan kesimpulan dan saran. Selanjutnya penulis ingin menyampaikan ucapan trima kasih pada 1. Dr. Waspodo Tjipto Subroto, M.Pd. selaku dosen pengampu mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan yang telah memberikan ilmunya dalam berbagai kesempatan perkuliahan. 2. Teman-teman kelas C Dikdas 2014 yang telah memberikan dukungan berupa teman diskusi dan motivasi. Pada akhirnya penulis menyadari bahwa banyak keterbatasan pada hal pengetahuan dan pengalaman menyebabkan ketidaksempurnaan dalam penulisan ini. Sehingga penulis memohon maaf dan mengharap kritik, saran yang membangun dari pembaca. Trimakasih.
Penulis, Andreas Erwin Prasetya
2
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis haturkan pada TuhanYang Maha Kasih atas berkat, rahmat, karunia, hidayah, dan kasihnya tugas akhir yang berjudul “Masalah-masalah Demokrasi dan Kebangsaan” Kebangsaan” dapat terselesaikan dengan baik. Tulisan ini menyajikan kajian kepemimpinan yang didasarkan pada buku yang dikarang oleh Prof. Dr. Wasiono, M.Hum. Tulisan ini dibagi dalam 4 bagian. Bagian pertama menguraikan mengenai identitas buku yang menjadi bahan resensi, bagian kedua menjelaskan mengenai rangkuman isi buku, bagian ketiga menguraikan mengenai kajian penulis pada isi buku dan kepemimpinan di Indonesia, dan bagian keempat merupakan kesimpulan dan saran. Selanjutnya penulis ingin menyampaikan ucapan trima kasih pada 1. Dr. Waspodo Tjipto Subroto, M.Pd. selaku dosen pengampu mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan yang telah memberikan ilmunya dalam berbagai kesempatan perkuliahan. 2. Teman-teman kelas C Dikdas 2014 yang telah memberikan dukungan berupa teman diskusi dan motivasi. Pada akhirnya penulis menyadari bahwa banyak keterbatasan pada hal pengetahuan dan pengalaman menyebabkan ketidaksempurnaan dalam penulisan ini. Sehingga penulis memohon maaf dan mengharap kritik, saran yang membangun dari pembaca. Trimakasih.
Penulis, Andreas Erwin Prasetya
2
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL.......................................... JUDUL................................................................ ............................................ ................................1 ..........1 KATA PENGANTAR PENGANTAR ........................................................................................................ 2 DAFTAR ISI............................................................... ....................................................................................................................... ........................................................ 3 BAB I IDENTITAS IDENTITAS BUKU .............................................................. ............................................................................................... ................................. 4 1.1 Diskripsi Buku .......................................................................................................... .......................................................................................................... 4 2.1 Biografi Penulis ........................................................................................................ 5 BAB II RINGKASAN BUKU .......................................................... ........................................................................................... ................................. 6 2.1 Bab 1: Indonesia dan Perangkap Perangkap Demokrasi Demokrasi Elektoral ............................................. 6 2.2 BAB 2: “Salah Urus” Negara dan Rapuhnya Keindonesiaan ................................. Keindonesiaan ................................. 12 2.3 Bab 3: Problem Demokrasi Presidensial Pasca-Amandemen Pasca-Amandemen Konstitusi................ 19 2.4 Bab 4: Koalisi Presidensial Presidensial Era Presiden SBY ....................................................... ....................................................... 24
3
BAB I IDENTITAS BUKU
Judul Buku
: Masalah-Masalah Demokrasi dan Kebangsaan Era Demokrasi
Pengarang
: Syamsuddin Haris
Penerbit
: Pustaka Obor Indonesia
Tahun Terbit : 2014 Tempat Terbit : Jakarta Tebal Buku
: XVI dan 234 halaman
1.1 Diskripsi Buku
Buku ini terdiri dari 9 bab yang masing-masing menguraikan masalahmasalah demokrasi di Indonesia. Berikut merupakan judul untuk masing-masing bab: 1. Indonesia dan perangkap demokrasi elektoral 2. Salah urus negara dan rapuhnya keindonesiaan 3. Problem demokrasi presidensial pasca-amandemen konstitusi 4. Koalisi presidensial era presiden SBY 5. Pluralisme, kebangsaan, dan paradoks demokrasi 6. Demokrasi dan politik kelas menengah 7. Islam dan keindonesiaan: relasi pasca-Soeharto 8. Urgensi demokrasi partai dan sistem kepartaian 9. Desentralisasi asimetris, problem atau solusi? Sebelum masuk pada bagian tiap bab, penulis menghantarkan pembaca untuk memahami permasalahan umum yang dialami bangsa ini terutama dalam demokrasi. Penulis menjelaskan bahwa proses politik bangsa ini mengalami keterpurukan karena kelakuakn para elit politik yang menyimpang. Bahasa yang digunakan dalam buku ini termasuk bahasa yang konseptual namun mengena
4
sebagai kritik dan ungkapan kegelisahan penulis atas praktek demokrasi di Indonesia. Selain mengungkapkan masalah, penulis juga berusaha untuk memberikan sumbangan ide yang tertuang di bagian akhir tiap bab. Ide ini membantu pembaca untuk berfikir reflektif. 2.1 Biografi Penulis
Syamsuddin Haris merupakan peneliti senior di
Lembaga
Ilmu
Pengetahuan
Indonesia
(LIPI). Professor riset kelahiran Bima, 9 Oktober 1957, ini menyelesaikan studi S1 ilmu politik di FISIP Universitas Nasional serta S2 (magister) dan S3 (doktor) ilmu politik di FISIP Universitas Indonesia (UI) pada 2008. Menulis sejumlah buku, puluhan artikel di jurnal ilmiah, dan lebih dari 200 kolom opini di media cetak, terutama kompas. Sejak tahun 2008 menjadi Kepala Pusat Penelitian dan Politik (P2P) LIPI, Sekjen Pengurus Pusat Asosiasi Ilmu Politik Indonesia (AIPI) sejak 2008, staf pengajar Program Pascasarjana FISIP Universitas Nasional, dan sejak 2008, staf pengajar Program Program Pascasarjana FISIP Universitas Nasional, dan sejak 2012 menjadi anggota Dewan Riset Nasional (DRN). Salah satu karyanya, Demokrasi di Indonesia: Gagasan dan Pengalaman (1995), memperoleh penghargaan sebagai buku terbaik bidang Ilmu Sosial dari Yayasan Buku Utama pada 1996.
5
BAB II RINGKASAN BUKU
Sistematika penulisan ringkasan buku ini, akan disajikan berdasar tiap-tiap bab yang ada. Ringkasan akan tetap menampilkan sub bab atau anak judul pada masing-masing bab, sehingga pembaca mengenali konseptualisasi penulis buku dalam membangun pengetahuan pembaca. 2.1 Bab 1: Indonesia dan Perangkap Demokrasi Elektoral
Republik Indonesia adalah negara besar yang dianggap sukses dalam melaksanakan proses demokrasi oleh negara barat. Penghargaan atas hak-hak politik warga negara meningkat secara signifikan dibandingkan dengan negaranegara demokratis lainnya seperti Thailand dan Filipina. Namun demikian, mimpi bangsa ini cenderung cepat menguap tatkala presiden dan wakil presiden terpilih dalam pemilihan umum yang dipilih langsung oleh rakyat. Betapa tidak, karutmarut persoalan politik hampir tidak pernah absen dari panggung politik negeri ini. Politik transaksional berdasar pada kepentingan sempit jangka pendek tetap mendominasi interaksi, kerjasama, dan persaingan para elite politik. Berbagai kasus suap, korupsi, dan gratifikasi timbul kepermukaan sebagai konsumsi rakyat. Kasus korupsi “berjamaah” yang dilakukan oleh DPRD dari tingkat, kabupaten, kota, hingga propinsi, kasus suap dan korupsi yang melibatkan sejumlah jaksa, hakim tertinggi, dan polisi seolah menjadi cambuk yang meninggalkan luka lebam dalam tubuh demokrasi bangsa ini. Para elite bangsa ini seolah mengalami “mati rasa” untuk membedakan mana tindakan yang konstitusional dan inkonstitusional. Lalu, apa yang salah dari negeri ini ? mengapa keberhasilan pesta demokrasi tidak berbanding lurus dengan praktek pemerintahan yang dijalankan oleh elite politik? Dalam kaitanya dengan permasalahan tersebut, bagian ini mencoba menggali akar tunjang persoalan bangsa yang menyebabkan negeri ini terperangkap pada salah urus politik yang tak berkesudahan. Cita-cita Politik Republik
Pancasila dan UUD 1945 merupakan kristalisasi dari para pendiri bangsa yang menggambarkan atau mencerminkan Indonesia di masa depan. Indonesia
6
oleh para pendiri bangsa dalam sidang BPUPKI pada tahun 1945 memilih menjadi satu negara kebangsaan, bukan monarki ataupun negara yang berdasar pada Islam. Oleh karena itu, Sutan Takdir Alisjahbana melihat Indonesia sebagai negara yang baru saja “ditemukan” di abad ke -20, bukan sekdar lanjutan dari kerajaan Sriwijaya atau Majapahit. Pemikiran Hatta juga menunjukan cita-cita bangsa Indonesia sebagai “negara pengurus”, yang mengusung Indonesia sebagai negara demokrasi yang tidak berdasar pada individualisme, melainkan pada kehendak rakyat. Orientasi demokrasi yang dibayangkan oleh peresiden pertama Indonesia adalah demokrasi yang menjanjikan keadilan dan kesejahteraan sosial bagi rakyat. Pengertian tersebut sebenarnya harus dimaknai tidak hanya dalam konteks politik namun juga ekonomi. Artinya bahwa kebebasan dan demokrasi yang diraih rakyat semestinya tidak mengorbankan hak dasar mereka untuk mendapatkan pekerjaan hidup layak, keadilan, dan kesejahteraan. Secara singkat barangkali dapat dirumuskan bahwa cita-cita politik republik tak hanya menolak demokrasi politik yang tidak terkait dengan agenda keadilan dan kesejahteraan rakyat, melainkan juga terminologis menolak konglomerasi kekuasaan, baik dalam pengertian politik maupun ekonomi. Mengenali Akar Masalah
Mengenali akar masalah yang dialami bangsa ini memang tidak semudah menyelesaikan soal matematika. Namun, melalui pengalaman politik kita dapat menemukan paling tidak 4 persoalan yang sekiranya menjadi akar masalah, di antaranya (1) kegagalan konsolidasi kekuatan politik sipil pada momentum reformasi 1998-1999, (2) berlangsungnya reformasi institusi yang cenderung inkonsistensi, (3) pendangkalan serius terhadap pemahaman pemahaman politik serta tata kelola pemerintahan dan demokrasi, (4) kegagalan sekaligus krisis kepemimpinan yang berlangsung di bidang eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Reformasi dan Kegagalan Sipil
Realitas politik kontemporer dewasa ini tidak bisa dilepaskan dari kegagalan sipil dalam mengkonsolidasi pemerintahan menjelang lengsernya peresiden Soeharto pada 1999. Momentum transisi negara kepada era reformasi semstinya dianggap sebagai masa emas untuk menata kehidupan politik, sosial-
7
budaya, ekonomi, dan hukum ke arah yang lebih baik. Semangat pemberantasan kejahatan politik nyatanya tidak mengubah wajah Indonesia sebagai negara terkorup di Asia dan negara dengan tingkat kriminalitas dan premanisme yang mengatasnamakan rakyat, mayoritas, agama, etnisitas, agama, dan demokrasi itu sendiri. Momentum transisi yang gagal tersebut tidak terlepas dari setting reformasi yang memang tidak menjanjikan perubahan secara signifikan. Transisi pada era ’98 hingga ’99 dapat dipahami sebagai tranisisi yang disebabkan tekanan oposisi di luar rezim otoriter kala itu. Hal ini dapat dipahami dengan munculnya gerakan mahasiswa dan rakyat yang tidak terkatit dengan partai politik. Tekanan dari pihak oposisi yang tidak terlembaga semacam ini akan menyebabkan perubahan situasi politik yang tidak mendasar dan signifikan. Seperti dapat dilihat pada periode 1998-1999 para elite oposisi tidak bisa menyatukan agenda dan platform politik, dan menegosiasikan agenda dan platform itu dengan kelompok status quo. Dengan demikian, permasalahan besar dalam pola transisi politik yang dialami Indonesia pada masa Orde Baru adalah (1) tidak adanya kekuasaan oposisi yang terlembaga, (2) terpolarisasinya kekuatan reformasi, sehingga tidak terjadi konsolidasi yang diperlukan untuk mendukung perubahan yang signifikan, (3) terjadinya konsensus minimum di antara kalangan oposisi sendiri, terutama menganai arah dan format politik. Permasalahan tersebut pada akhirnya membagi bangsa ini pada 3 golongan besar, yaitu (1) kekuatan status quo yang berpusat di militer dan Golkar, (2) kelompok reformis yang diwakili oleh pemimpin di partai baru, (3) kelompok reformis radikal yang terpusat pada LSM dan gerakan mahasiswa. Reformasi Kelembagaan Inkonsisten
Reformasi konstitusi telah dilakukan, perubahan yang dilakukan oleh MPR atas UUD ’45 cenderung masih bersifat tambal sulam. Sehingga cita-cita terbentuknya sistem presidensial yang kuat, stabil, dan efektif hanya terganjal dengan peraturan lainnya yang tidak mendukung hal tersebut. Amandemen atas UUD ’45 juga tidak menggambarkan mekanisme chceks and balances yang baik. Selain itu, hasil amandemen juga tidak koheren dan inkonsisten dengan kebutuhan
8
pembentukan sistem presidensial yang kuat dan efektif. Akibatnya terjadi kekacauan konstitusional di mana lembaga seperti MK, KY, dan MA terkesan terpisah, padahal lembaha tersebut adalah satu kesatuan parlemen. Reformasi yang cenderung tambal sulam juga mengakibatkan deadlock dan immobilism dalam relasi Presiden dan Parlemen. Ketidak ajekan berikutnya tampak dalam pembentukan kabinet presidensial dalam sekema koalisi parlementer, sehingga berhadapan dengan DPR SBY cenderung terpenjara oleh koalisi partai pendukung yang mbalelo di Senayan. Hal itu menyebabkan terpenjaranya parpol koalisi politik pendukung preseiden SBY dalam politik transsaksional dan kolusi yang menurunkan tingkat efektifitas dan produktivitas pemerintahan hasil pemilu. Pendangkalan Pemahaman Politik
Pasca Orde Baru partisipasi masyarakat dalam berpolitik memang mengalami peningkatan yang signifikan, namun tidak dapat dipungkiri juga terdapat pendangkalan akan pemahaman politik, partai politik, pemilu, demokrasi, dan esensi pemerintahan yang luar biasa. Pada bidang politik misalnya, kini tidak ada lagi kebebasan untuk memproduksi kebijakan dan keutamaan bagi kehidupan kolektif, melainkan dipandang sebagai hak dasar yang melekat pada setiap manusia bebas. Pemahaman akan partai politik juga mengalami pendangkalan yang sama. Pewarisan pemikiran dari rezim Soeharto ke era reformasi memperikan sumbangsih pada fenomena kedangkalan pada partai politik. Masa reformasi hanya dipandang sebagai sebuah transisi kekuasaan semata ketimbang dipandang sebagai reformasi pada kedaulatan rakyat dalam politik dan ekonomi. Partai politik bukan dipandang sebagai tempat mengabdi, mendidik, dan mencerdaskan bangsa, partai politik justru dipandang sebagai tempat mencari nafkah. Hal tersebut merambat pada ideologi, kinerja, dan kedangkalan praktek kinerja. Ideologi partai cenderung dimaknai sebagai “visi dan misi” normatif tanpa kejelasan agumentatif mengapa suatu program lebih dipilih ketimbang yang lainnya. Selain itu, pengontorolan yang dilakukan oleh wakil rakyat hanya didisotorsikan sebagai “hak interplasi” dan “hak angket” semata, ketimbang benar-benar mempersoalkan kebijakan pemerintah yang belum berpihak pada rakyat atau menawarkan alternatif kebijakan sebagai solusinya. Kinerja juga
9
hanya dimaknai pada lamanya rapat tanpa mempertimbangkan kedalaman substansi yang dibahas. Krisis Etika dan Kegagalan Kepemimpinan
Akumulasi
pendangkalan
pemahaman
terhadap
politik
tersebut
mengakibatkan pada krisis etika dan kepemimpinan yang sangat serius disemua tingkat, negara, dan masyarakat. Pemimpin mudah tergoda dengan uang yang berupa suap dan gratifikasi yang berupa barang. Kegagalan kepemimpinan dapat dilihat dari kinerja partai-partai politik. Hal itu tercermin antara lain dari kecenderungan para elite partai meraih dukungan dengan memanipulasi identitas kultural dan primordial. Hampir belum pernah terjadi upaya para pemimpin partai untuk mendidik rakyat supaya mendukung secara rasional berdasarkan prinsip pertukaran dukungan dengan pelayanan publik. Sebagian partai politik juga terperangkap pada kepemimpinan yang oligarkis. Sehingga komitmen terhadap segenap proses demokratis hanya berhenti pada jargon semata. Selain itu, sistem multipartai juga tidak dapat memberikan variasi yang signifikan pada ideologi-ideologi yang diusung oleh masing-masing partai. Realitas lembaga-lembaga peradilan juga tidak jauh berbeda. Hukum yang semestinya diciptakan untuk menegakkan keadilan dewasa ini justru cenderung dikhianati oleh para jaksa, hakim, dan polisi untuk memburu kepentingan pribadi dan kelompok. Kegagalan kepemimpinan juga dapat dilihat dari ketidakmampuan pemerintah, partai-partai, dan parlemen dalam melakukan reformasi atas birokrasi negara, baik birokrasi pemerintahan maupun militer. Kehilangan etika kepemimpinan juga tercermin dari peresiden yang terpilih setelah rezim Soeharto. Belum ada presiden yang mampu memberikan janji yang dapat terwujud melalui tindakan nyata. Kepemimpian Presiden Yudoyono misalnya. Kepemimpinan beliau hanya terjebak pada pencitraan semata. Berbagai kebijakan Yudoyono yang berkedok pro rakyat ternyata hanya sampai pada tingkat wacana dan pidato belaka. Berbagai kebijakan dalam bidang energi dan pertanian jauh dari kata prorakyat. Semestinya presiden mampu bertindak lebih cepat, tegas dan terarah karena pemerintahanya didukung oleh 75 persen partai politik. Dalam situasi yang demikian, maka tidak mengherankan jika pemaksaan kehendak, premanisme, dan anarki menjadi satu-satunya pilihan bagi
10
massa rakyat yang tidak berdaya dan tidak percaya terhadap para wakilnya di parlemen, hukum, pemerintahan, dan negara. Merajut Harapan dan Optimisme
Jika kita menelaah dengan pikiran positif, maka masih ada harapan yang bisa
dirajut
dibalik
karut-marut
persoalan
bangsa. Pertama,
Konsep
institusionalisasi sistem kepartaian didasarkan pada tingkat stabilitas “kompetisi antar partai” seperti yag diajukan oleh Main dan Torcal, sebagian besar partai di Indonesia lebih terinstitusional ketimbang partai-partai lain di Asia Tenggara. Kedua, terdapat pertumbuhan ekonomi hingga 6 persen selama satu dasarwarsa terakhir. Artinya, peluang terbuka lebar bagi negara ini untuk menyejahterakan rakyat apabila berbagai distorisi reformasi kelembagaan serta krisis etika dan kepemimpinan di balik karut-marut persoalan bangsa secara berangsur dapat dikurangi. Ketiga, secara historis bangsa ini pernah melahirkan pemimpin yang benar-benar memiliki komitmen mengabdi pada Indonesia, bukan sekedar “mengambil” seperti para politikus dewasa ini. Misalnya saja Bung Karno, Bung Hatta, HOS Tjokroaminoto, dan Tjipto Mangunkusumo. Realitas ini dapat digunakan untuk menumbuhkan rasa optimisme bahwa pemimpin yang berpihak pada rakyat dapat dilahirkan di negeri ini. Keempat , berbagai lapisan dari civil society memiliki komitmen untuk mendidik penerus bangsa agar menjadi pemimpin yang berkarakter, pemerintahan yang bersih, serta demokrasi yang terkonsolidasi. Kesemua modal tersebut harus didukung dengan pemimpin yang baik untuk mengelola, merajut, dan menapitalisasikannya sehingga dapat diubah menjadi kekuatan yang dasyat bagi Indonesia. Menuju Rumah Indonesia
Kemudian pertanyaan yang muncul. Apa yang harus dilakukan, siapa yang mengambil inisiatif, serta dari mana kita harus membenahi karut-marut negeri ini? Pertama-tama, bahwa tanggung jawab atas kondisi yang kurang baik ini ada dipundak para elite pemerintahan baik di pusat dan daerah. Kemudian, mungkinkah perubahan signifikan berlangsung dalam waktu tertentu ke depan jika selama ini sudah terbukti bahwa mereka, para elite telah “mati rasa”?. Maka secara tegas dapat dijawab bahwa inisiatif tidak mungkin datang dari para elite
11
penyelenggara negara. Hal tersebut terjadi karena (1) para elite berpandangan bahwa “tidak ada masalah” dalam kehidupan berbangsa kita, (2) pemilu yang semakin demokratis lebih melahirkan para penguasa yang lebih “mengambil” daripada pemimpin yang amanah, bertanggung jawab, serta benar-benar mengabdi pada rakyat dan bangsa. Oleh karena itu, perubahan menuju rumah Indonesia yang lebih baik harus dilakukan dengan membangun rasa saling percaya, kerja sama, dan konsolidasi di antara berbagai elemen civil society.
2.2 BAB 2: “Salah Urus” Negara dan Rapuhnya Keindonesiaan
Sejak 1998 bangsa Indonesia memasuki era kehidupan baru yang lebih terbuka dan demokratis. Transisi masa pemerintahan Indonesia tergolong terlambat namun dapat berjalan dengan cepat menuju pada penghargaan atas hak politik rakyat. Namun, tak seorang pun mengetahui kemana Indoneisa hendak menuju. Meskipun pemilihan umum secara bebas, fair, dan demokratis berhasil diselenggarakan secara berkala dan relatif damai, tata kelola kekuasaan dan pola distribusi sumber-sumber ekonomi strategis belum sepenuhnya berubah. Suasana saling curiga dan saling tidak percaya, baik antar elemen masyarakat sipil maupun antara masyarakat dan negara, meluas sedemikian rupa, sehingga anarki dan tindak kekerasan menggejala di hampir semua tingkat negara dan masyarakat. Cita-cita luhur bangsa hanya terhenti pada jargon para elit politik dan penyelenggara negara tak terkecuali pada era reformasi ini. Selain itu, konflikkonflik horisontal juga menambah keraguan akan masa depan bangsa ini. Dalam kaitan dengan permasalahan tersebut, tulisan ini mencoba mengidentifikasi kecenderungan semakin rapuhnya semangat kebangsaan dan keindonesiaan dari sudut pandang tata kelola negara dan pemertintahan. Fokusnya adalah menilai dan menimbang berbagai kebijakan pemerintahan dalam pengelolaan politik dan ekonomi yang semula ditujukan untuk mewujudkan cita-cita persatuan, keadilan, demokrasi, dan kesejahteraan bagi rakyat, tetapi pada akhirnya terperangkap pada persimpangan dan bahkan perselingkuhan kepentingan para elite politik dari zaman ke zaman. Nasionalisme dan Proyek “Indonesia”
12
Problematik Indonesia sebagai sebuah negara-bangsa sebenarnya tidak dapat dilepaskan dari sejarah panjang pencarian identitas nasional yang dilakukan para elite pergerakan sejak awal abad ke-20. Tarik menarik atas pilihan bentuk negara, sistem politik dan pemerintahan, dialitas struktur ekonomi, ketegangan dan konflik pusat daerah, ketegangan dalam relasi sipil militer, dikotomi pribumi, dan berbagai radikasisasi lainnya mencerminkan Indonesia masa kini. Sejarah panjang pencarian identitas nasional itu sendiri lahir dari perdebatan intelektual yang hampir tak pernah berhenti hingga kini. Jauh sebelum polemik kebudayaan, pencarian dasar-dasar bagi suatu identitas
pernah
diperdebatkan
oleh
RM
Sutatmo
Surjokusumo
yang
mengampanyekan “nasionalisme Jawa” dipihak lain Tjipto Mangunkusumo memperjuangkan “nasionalisme Hindia”. Nasionalisme jawa mengarahkan masyarakat agar memperkuat landasan budaya, bahasa, dan sejarah: suatu yang tidak ditemukan dalam nasionalisme. Sementarai itu nasionalisme Hindia menyerukan bahwa masyarakat pada waktu itu adalah bagian dari pemerintahan Hindia. Perdebatan intelektual sebagai bagian dari pencarian identitas nasional pernah pula berlangsung antara Sukarno dan Haji Agus Salim. Sukarno menekankan dasar nasionalisme pada rasa cinta terhadap tanah air, kemudian Agus Salim memandang Islam sebagai dasar negara. Selain hal tersebut masih banyak perdebatan mengenai nasionalisme bangsa Indonesia. Puncak dari perdebatan yang dialami bangsa Indonesia mengenai dasar bagi suatu bangsa terjadi dalam sidang BPUPKI ketika pemerintahan Jepang memberikan kesempatan para nasionalis untuk bertemu. Secara historis pertemuan tersebut menghasilkan dasar-dasar negara Indonesia. Secara teoritis pencarian identitas nasional yang dialami bangsa Indonesia sejak awal abad ke-20 tersebut dapat dipandang sebagai upaya mentransformasikan bantuk nasionalisme. Secara umum terdapat perbedaan antara nasionalisme barat dan nasionalisme timur. Nasionalisme timur pada umumnya menentang nasionalisme barat yang cenderung liberalis. Indonesia merupakan negara yang menganut nasionalisme timur pada awal kemerdekaan. Meskipun demikian, pengalaman dan pencarian identitas keindonesiaan sejak awal abad ke-20 hingga terbentuknya negara, sebenarnya tidak sebegitu
13
hitam-putih seperti yang digambarkan di atas. Sehingga tercipta landasan fondasi yang kokoh bagi format Indonesia sebagai republik dan negara-negara modern seperti tercermin dalam pancasila dan UUD ’45. Setelah itu, format Indonesia yang telah dirancang sedemikian rupa tidak berjalan lancar karena realitas politik yang begitu dinamis dan tidak terduga. Dari situ, Indonesia mulai bereksperimen untuk mencari format kenegaraan yang tepat. Eksperimen tersebut bahkan berlangsung hingga era reformasi dewasa ini. Sehingga dalam dinamikanya terjadi banyak gejolak politik. Meskipun tidak semua gejolak itu berkehendak memisahkan diri dari republik, realitas ini sekuarng-kurangnya mencerminkan rapuhnya bangunan Indonesia dan fondasinya. Negara “Integralistik Soepomo
Nasionalisme pada dasarnya bukanlah ideologi yang bersifat final. Nasionalisme adalah cita-cita dan kesepakatan kolektif yang bersifat imajiner tentang masa depan yang lahir dari refleksi atas masa lalu dan masa kini. Negara menjadi lembaga penting untuk merasionalisasikan ide tentang nasionalisme menjadi kebutuhan bangsa untuk mempertahankan komitmen kolektif atas republik. Masalahnya, pemerintahan yang berkuasa di negeri ini cenderung melestarikan
“salah
urus”
atas
negara
ketimbang
mengkondisikan
penyelenggaraan negara yang memungkinkan nasionalisme dan semangat keindonesiaan terkelola sebagai aset dan kekuatan kolektif dalam menghadapi persaingan global. Arah format negara yang dikehendaki oleh para pendiri bangsa adalah republik. Namun, pada batang tubuh UUD ’45 tidak dijelaskan lebih lanjut konsep yang lebih teknisnya. Hanya sedikit para tokoh bangsa yang menerjemahkan hal tersebut pada hal yang lebih operasional dan pragmatis. Selain Hatta yang mencoba mengoperasionalkan, Prof. Soepomo juga memiliki konsep tersendiri mengenai kesatuan negara. Ia memperkenalkan faham negara integralistik, yaitu satu negara
yang bersatu dengan seluruh rakyatnya. Ia menyebut negara
integralistik itu sebagai negara kekeluargaan dengan asas kolektivitas. Gagasan integralistik Soepomo berintikan persatuan negara dan individu dalam rangka “kemuliaan negara” yang pada dasarnya mengarah pada faham negara absolut.
14
Penyelenggaraan negara yang dilakukan oleh Soekarno dan Orde Baru Soherto pada hakekatnya bersumber dari perspektif negara dari Soepomo. Dalam prakteknya memang menjadikan keabsolutan negara sebagai tirai untuk menghalalkan otoritarisme. Kecerdasan dan kreatifitas warga dianggap sebagai ancaman bagi negara. Demikian pula aspirasi dari daerah dianggap sebagai gerakan separatis yang tidak boleh dilanjutkan. Kencenderungan tersebut menempatkan nasionlaisme sebagai hal yang didasari oleh perspektif subjektif yang menekankan apa yang terbaik baginya. Sentralisasi Politik dan Dampaknya
Pergolakan politik lokal seperti yang terjadi di Aceh dan Papua merupakan indikasi adanya persoalan yang serius dalam relasi negara-masyarakat secara umum dan hubungannya dengan pusat-daerah. Disamping itu, pergolakan lokal merupakan produk serta dampak dari salah urus negara yang menempatkan daerah sebagai subkoordinasi kekuasaan sentralistik pemerintahan pusat. Sumber dari salah urus negara itu dari kecenderungan pemerintah pusat, terutama selama rezim orde baru. Akibat dari pola hubungan yang dibangun pada rezim orde baru memberikan presepsi subyektid dan distorsif elite politik penyelenggara negara di Jakarta ketimbang aspirasi rakyat, khususnya rakyat kita di daerah -daerah. Orde baru merupakan pemerintahan yang tidak seimbang di mana stabilitas kekuasaan lebih satabil daripada stabilitas pemerintahan. Sehingga para elitelah yang diuntungkan. Selain itu, kebijakan yang seragam dan sentraistik bagi bangsa yang amat beragam, menjadi begitu parah ketika digabungkan dengan pendekatan keamanan
yang represif,
menindas,
dan menafikan
aspirasi
masyarakat terutama tingkat lokal. Potensi konflik dan disintegrasi berakar pada kecenderungan elite politik dihampir semua tigkat untuk memanipulasi aspirasi dan kepentingan masyarakat. Lebih jelas lagi, potensi disintegrasi itu muncul ketika elite politik, terutama elite birokrasi negara (sipil dan militer) memanipulasi kepentingan pribadi, keluarga, dan kelompok sebagai kepentingan nasional. Orde Baru juga gagal untuk memperkokoh integrasi bangsa karena cenderung memanipulasi hampir semua faktor integratif. Sementara itu, ideologi negara Pancasila yang mestinya bisa jadi faktor dinamik bagi perubahan, tak
15
hanya dimonopoli penafsiranya oleh negara, melainkan juga dijadikan alat pembenaran bagi setiap penyimpangan kekuasaan yang dilakukan elite penguasa. Hal tersebut merambat pada pergolakan politik di daerah yang melibatkan pihak asing. Sebut saja PT. Freeport Indonesia di Papua dan PT. Caltex Petroleum di Riau, di mana masyarakat lokal tidak menerima hasil dari eksplorasi yang dilakukan. Kejadian-kejadian tersebut berimplikasi pada menguatnya sentimen daerah terhadap pemerintahan pusat yang tak pernah benar-benar ditanggapi dan diakomodasi, bahkan sejak periode 1950-an. Jelas terlihat integrasi dan stabilitas semu yang diraih melalui stratei kooptasi atas elite lokal, represi terhadap aspirasi alternatif dan masyarakat, dan pemberian ganjaran ekonomi serta kekuasaan bagi mereka yang mendukung tetap tegaknya otoritarisme. Sentralisasi pemerintahan sebenarnya merupakan prinsip yang inherent di dalam konsep negara kesatuan karena kekuasaan negara bersumber dari otoritas politik yang bersifat tunggal. Meskipun demikian, sentralisasi di jaman moderen tidak akan bisa memusatkan semua kekuasaan pada satu pusat, tetap ada pembagian kekuasaan di daerah. Politik sentralisasi sendiri sudah dimulai sejak pemerintahan kolonial Belanda. Bahkan beberapa ahli mengatakan bahwa masa Orde Baru merupakan replika dari masal kolonial. Kecenderungan kebijakan yang sentralis ini dilatar belakang tiga hal, yaitu (1) adanya kekhawatiran terhadap persatuan nasional dan munculnya
kekuatan-kekuatan
yang
memecah
persatuan,
(2)
sentralisasi
diperlukan dalam rangka memelihara kesinambungan politik dan keamanan dalam pembagian sumber daya, khususnya antara jawa dan luar jawa, (3) pengalaman politik yang dialami oleh Indonesia sebelum 1965, sehingga pemerintah ingin tetap memegang kendali yang kuat atas kebijakan pembangunan ekonimi. NKRI: Pendangkalan Ide Persatuan
Barangkali tak seorang pun bisa membantah bahwa ide persatuanlah yang dapat menyatukan seluruh Nusantara bekas wilayah administratif Hindia Belanda ke dalam proyek Indonesia. Sukarno mencoba menuliskan konsep persatuan dan kesatuan bangsa pada buku yang berjudul Nasionalisme, Islam, dan Marxisme (1926) telah mencerminkan obsesi besarnya untuk memaksimalkan persamaan di antara berbagai golongan idologis yang berbeda meskipun ia sering dikritik atas
16
upaya yang hampir mustahil tersebut. Persoalannya bahwa ide persatuan itu hanya diintepretasikan secara dangkal oleh pemerintahan yang berkuasa. Ketika Soekarno berkuasa, ia mendapatkan dukungan penuh dari militer dan sokongan PKI di bawah sistem demokrasi terpimpin. Obsesi persatuan dikampanyekan
dengan
format
ideologi
Nasionalisme-agama-komunis
(Nasakom). Naskom akirnya menjadi perangkap bagi Sukarno sendiri karena membiarkan kaum komunis memperoleh momentum untuk membesarkan diri. Pada masa Soeharto persatuan dipahami sebagai persepsi yang subjektif dan distortif. Konsep kemiliteran membungkus kata persatuan yang didengungkan pada masa itu. Nasionalisme dan ide i de keindonesian (NKRI) akhirnya hanya milik golongan militer dan mereka yang dianggap loyal terhadap kekuasaan represif negara Orde Baru. Dampak lebih jauh dari pendangkalan ide persatuan nasional menjadi NKRI adalah melembagakan saling-curiga dan prasangka politik di antara berbagai kelompok masyarakat di satu pihak, pihak, dan antara negara-masyarakat di lain pihak. Pada era pasca-Soeharto pemahaman para elite politik terhadap NKRI relatif berubah. Hal ini terlihat dari cara menyelesaikan konflik Aceh yang mengedepankan pendekatan keamanan daripada kesejahteraan. Meskipun terdapat perkembangan yang signifkan, namun namun terdapat konflik yang sampai saat ini belum terselesaikan di antaranya konflik Papua. Demokratisasi Demokratisasi dan Dilema Keindonesiaan
Era reformasi dan domokratisasi yang berkembang pesat sejak 1998 merupakan momentum bagi penyelenggara negara dan pemerintahan untuk meninjau kembali kecenderungan praktik “salah urus” negara seperti berlangsung pada periode sebelumnya. Tak mengherankan jika pemerintah dan parlemen selaku unsur-unsur unsur-unsur penyelenggara negara acap kali “gagap” dan disorientasi bagaimana seharusnya mengelola tuntutan masyarakat akan Indonesia baru yang lebih adil, demokratis, sejahtera, dan civilized . Secara
formal,
memang
penyelenggara
negara
berkonsep
pada
desentalisasi namun pemerataan pembangunan belum mencapai tingkat daerah. Sebagai akibat dari kecenderungan yang dikemukakan di atas, peranan negara pada era reformasi dan diwarnai paradoks dirinya. UUD ’45 yang yang dipandang
17
sebagai cita-cita kolektif sebagaimana disepataki oleh para pendiri bangsa, menjadi tidak begitu diperjuangkan oleh pemerintah, DPR selaku penyelenggara negara yang utama. Pada periode SBY-Kalla pengutamaan kepentingan nasional juga kurang mendapat prioritas. Terbukti dari keputusan pemerintah untuk memberikan pengelolaan minyak di blok Cepu kepada perusahaan Amerika Exxon
Mobile
mengecewakan
Oil,
perusahaan
banyak
pihak
asal
karena
Amerika
Serikat.
menunjukan
Keputusan
kurangnya
ini
komitmen
pemerintah pada pengembangan PT. PT. Pertamina. Sementara
itu,
ditingkat
lokal,
desentralisasi
pemerintahan
yang
diagendakan dalam rangka otonomi yang lebih luas bagi daerah justru menjadi momentum bagi tumbuh suburnya semangat kedaerahaan yang tinggi. Realitas kedaerahaan tersebut bukan semata-mata refleksi dari ketidakmampuan negara mengonsolidasikan diri, melainkan juga karena para penyelenggara negara relatif tidak memiliki komitmen yang genuine genuine mengenai format Indonesia pascaSoeharto. Di sisi lain, era reformasi dan demokratisasi juga menjadi momentuhmberbagai kelompok masyarakat yang termarjinalkan dalam era otoriter untuk mengaktualisasikan diri. Munculnya premanisme mengindikasikan menguatnya kepentingan eksklusif dan melemahnya usaha untuk mengakomodasi kepentingan inklusif. Apa yang Salah?
Era demokrasi tidak kunjung memperkuat nasionalisme. Pemerintah cenderung
menunjukan
kegamangan
dan
kegagapan
yang
berpotensi
menimbulkan “salah urus” negara. Nasionalisme negara. Nasionalisme menjadi landasar mendasar atas situasi ini. Sebenarnya para pendiri bangsa telah meletakkan format nasionalisme yang kuat. Pancasila sendiri sudah mewakili secara garis besar kebutuhan segenap bangsa yang amat beragan. Meskipun demikian, para penyelenggara negara berulang kali merumuskan konsep negara kesatuan ini dalam arti yang lebih pragmatis. Perumusan ini merupakan penafsiran atas Indonesia di masa kini. kini. Kegamangan dan kecenderungan “salah urus” negara yang berlangsung pada era pemerintahandemokratis dewasa ini tampaknya hanya han ya berkaitan be rkaitan dengan realitas transisional yang tengah dialami bangsa ini, melainkan juga bersumber pada hampir tiadanya agenda para elite pemerintahan untuk merumuskan
18
Indonesia di masa depan. Ketidakadanya komitmen dari penyelenggara negara dan pemerintahan berdampak pada kreativitas yang tidak positif. Sehingga pada era sekarang tantangan dari pemerintah hasil pemilihan yang demokratis jauh lebih besar dari era Orde Baru. Pasalnya demokrasi semacam ini juga membuka akses pada tumbuhnya politik identitas berdasar pada suku, ras, agama, dan yang lainnya. Oleh karena itu, kemampuan pemerintah untuk memperbaharui, mengelola, dan mengatur nasionalisme menjadi peran kunci bagi tegaknya demokrasi.
2.3 Bab 3: Problem Demokrasi Presidensial Pasca-Amandemen Pasca-Amandemen Konstitusi Reformasi politik 1998, yang kemudian diikuti pemilu bebas dan
demokratis 1999, telah mengubah secara cukup mendasar pada relasi presiden dan DPR. Pada era Orde Baru eksekutif dan legeslatif terkesan sangat “keras” dan kurang felksibel. Presiden menjadi korban atas “angkuhnya” kedua lembaga tersebut. Pemakzulan atas dasar politik menjadi hal yang bisa dilakukan ketika Undang-undang belum di amandemen. Berbagai konflik presiden-DPR pun tidak dapat dihindarkan. Hampir setiap presiden pernah merasakan konflik dengan DPR. Pada pemerintahan Yudoyono periode pertama, ketegangan tersebut cenderung meningkat. Namun, ketegangan-ketegangan tersebut berangsur mereda ketika “rapat konsultasi” berlangsung. berlangsung. Dalam kaitannya dengan hal tersebut, tulisan ini coba memetakan problem demokrasi yang muncul pada era presiden Wahid, Megawati, dan Yudhoyono Y udhoyono.. Presidensialisme-Sistem Presidensialisme-Sistem Multi Partai
Pemisahan kekuasaan pemerintahan menjadi tiga yaitu eksekutif, legeslatif, dan yudikatif merupakan satu kelebihan dalam sistem presidensial. Namun, jika dibandingkan dengan sistem parlementer, sistem presidensial memiliki tiga kelemahan, yaitu (1) kemungkinnan munculnya deadlock akibat konflik eksekutif-legeslatif, (2) tidak ada peluang bagi presiden di tengah masa pemerintahannya untuk diganti, karena kekakuan sistemik, (3) pemisahan kekuasaan antara eksekutif dan legeslatif tidak cocok diadopsi di negara demokrasi baru karena akan menimbulkan banyak konflik. Namun, hal-hal
19
tersebut akan dapat direduksi tergantung pada implementasi agenda-agenda yang telah dibuat untuk menentukan kestabilan demokrasi presiden sial. Di lain pihak, pemisahan eksekutif dan legislatif juga dipandang satu kelebihan jika dibandingkan dengan sistem parlementer. Namun resikonya juga besar ketika terdapat “pemerintahan yang terbelah” seperti pengalaman di negara Amerika Serikat. Maka dapat diidentifikasi bahwa problem presidensial adapaka kombinasi sistem multi partai apalagi dengan tingkat fragmentasi dan polarisasi yang relatif tinggi. Presiden yang berasal dari partai kecil atau koalisi minoritas juga menjadi faktor penting bagi stabilitas dan efektifitas demokrasi presiden sial. Saling
klaim
legitimasi
karena
prinsip
pemilihan
presiden
yang
mayoritarian akan memicu konflik dan ketegangan di antara lembaga presiden dan parlemen jika tidak ada mekanisme institusi yang mengubah perilaku menjadi konsensus dalam relasi presiden-parlemen. Probelm sistem presidensial tidak hanya berhenti sampai disitu, peluang munculnya demokrasi presidensial yang tidak stabil dan tidak efektif bisa terjadi apabila lembaga presiden yang semestinya merupakan eksekutif tunggal terdiri atas dua partai yang berbeda dari presiden dan wakil presiden. Jika hal itu terjadi, maka tarik-menarik antara presiden dan parlemen dalam hal kekuasaan dapat menjadi ongkos politik tersendiri. Presiden Minoritas dan Pemerintahan Mayoritas
Potensi problematis sistem demokrasi presidensial di Indonesia pasca orde baru sebenarnya sudah bisa diduga ketika pemilu dipercepat dengan desain perwakilan berimbang disatu pihak dan sistem multi partai dilain pihak. Kontelasi politik di parelemen relatif tidak berubah meskipun telah ada trobosan institusional melalui pemberlakuan electoral treshold . Hal itu nampak dari karakteristik presiden pada era reformasi, di mana berasal dari partai yang minoritas. Oleh karena itu, dalam rangka efektifitas pemerintahan, baik presiden Wahid, Megawati, dan Yudhoyono membentuk koalisi partai-partai sehingga terbentuk “pemerintahan mayoritas” dengan harapa bahwa relasi Presiden-DPR bisa dibangun dengan konsep checks and balances. Presiden Wahid misalnya, ia memperoleh koalisi yang besar di parlemen namun justru partai-partai pengusungnya lah yang memakzulkan Wahid. Pada era
20
Yudhoyono, semua usulan hak interplasi DPR yang akhirnya disetujui menjadi hak DPR justru karena turut didukung oleh partai-partai yang menyatakan diri sebagai “partai pendukung”. Begitu juga dengan hak angket yang justru menyerang presiden. Kemudian muncul pertanyaan mengapa partai-partai pendukung justru malah menyerang kebijakan-kebijakan pemerintah?. Faktorfaktor apa saja yang mempengaruhi pasang surut hubungan presiden-DPR ? Faktor-Faktor Institusional
Model Koalisi dan Disiplin Partai Salah satu problem yang melekat pada kombinasi sistem presidensial dan multi partai adalah kesulitasn melembagakan format koalisi yang relatif permanen di antara partai-partai tanpa mayoritas parlemen. Dewasa ini problem tersebut bersumber pada tidak adanya basis kesepakatan politik yang mengikat partai=partai yang saling berkoalisi, baik ketika pencalonan presiden maupun menjelang pembentukan kabinet dari pasangan presiden dan wapres terpilih. Ketidaksepakatan politik tersebut menjelaskan mengapa Presiden Wahid begitu mudah dan tanpa beban mencopot menteri-menteri yang memiliki basis politik cukup besar di parlemen. Dalam kasus presiden Wahid, jelas bahwa presiden tidak berupaya untuk memelihara dukungan politik dari partai-partai di DPR, sehingga dengan mudah mengandung protes keras partai yang mentri-mentrinya dicopot tanpa alasan yang jelas. Hal tersebut disebabkan salah satunya adalah koalisi yang tidak permanen. Upaya membangun koalisi permanen sebenarnya pernah dicoba dilakuakn oleh beberapa partai politi seperi (PG, PDIP, KB, PDS, PBR) yang merupakan afilasi dari partai-partai yang mencalonkan Mega-Hasyim. Hal yang sama juga terjadi ketika koalisi kerakyatan pengusung Yudhoyono-Kalla. Namun, koalisi tersebut bubar karena Golkar menarik diri, dan timbulnya konflik tidak sehat di DPR. Masing-masing koalisi membentuk kepemimpinan komisi-komisi yang terpisah satu sama lain dengan menggelar rapat-rapat, temasuk rapat paripurna, secara terpisah. Sehinga aktivitas institusi DPR lumpuh. Persoalan lain yang merupakan dampak dari sistem multi partai dan presidensialisme adalah lemahnya disiplin partai-partai dalam mempertahankan sikap dan prinsip politik. Selain itu, disiplin dalam mempertahankan koalisi juga menjadi lemah. Oleh karena itu,
21
dalam hal koalisi, semestinya diadakan kontrak politik yang jelas agar partai partai di DPR mengandung efektivitas sistem dmokrasi presidensial. Dilema Kohabitasi Presiden-Wapres Persoalan yang bersumber pada ketegangan relasi Presiden-DPR adalah masalah “kohabitasi” yakni perbedaan basis politik antara presiden dan wapres. Hal tersebut berlangsung baik pada pemerintahan Wahid, Megawati, dan Yudhoyono. Pada era Wahid-Mega, ketidaksepakatan terlihat ketika terjadi pencopotan Laksamana Sukardi, di mana PDIP tidak menyetujui hal tersebut. Pada era Mega-Hamzah. Pada era ini persoalan timbul pada Mega yang kecewa terhadap Hamzah Haz ketika mewacanakan tak lazim kepemimpinan perempuan dalam Islam. Pada era Yudhoyono-Kalla konflik kohabitasi berakibat pada tidak terciptanya keefektifan pada sistem presidensial. Pada era Yudhoyono indikasi ketidak harmonisan Presiden-wapres ini sudah terindikasi sejak 100 hari pertama kabinet Indonesia Bersatu bekerja. Hal itu berawal pada tuntutan Golkar agar diberikan jatah menteri yang lebih banyak. Situasi ini menjebak presiden Yudhoyono karena ia tidak memenuhi tuntutan tersebut. Selain itu, keputusan Wapres untuk membuat surat keputusan penanggulanagan bencana Tsunami di Aceh juga memicu ketegangan. Selain itu, persoalan pemilihan Gubernur Bank Indonesia yang sepertinya tidak didasari kesepahaman antara Presiden dan Wapres menambah tegang hubungan Yudhoyono dan Kalla. Problem institusional tersebut antara lain disebabkan karena minimnya pengaturan tentang relasi Presiden-Wapres. Baik dalam konstitusi sebelum maupun setelah amandemen. Ketidakadaan pengartuan yang menyebutkan posisi dan otoritas Wapres nampaknya menjadi penyebab berbagai bentuk ketegangan antara Presiden dan Wapres. Kaitanya dengan hal tersebut, ada beberapa solusi yang dapat dilakukan untuk menghindari konflik presiden-wapres di masa yang akan datang, yakni (1) Menata kembali hubungan presiden-wapres melalui UU Lembaga Kepresidenan, (2) pencalonan pasangan Presiden-Wapres hanya dapat dilakukan oleh partai besar atau koalisi peramen di DPR, (3) pasangan PresidenWapres yang didukung koalisi besar semestinya berasal dari partai politik yang sama agar keharomnisan dapat diminimalkan.
22
Faktor-faktor Non-Institusional
Personalitas dan Gaya Kepemimpinan Presiden Tiga presiden yaitu Wahid, Megawati, dan Yudhoyono memiki karakter yang berbeda satu dengan yang lainnya. Karakter masing-masing nampaknya turut mempengaruhi dan membentuk pola relasi Presiden-Deper, bukan hanya di bawah dua periode pemili yang berbeda, melainkan juga dibawah dua konstitusi yang berbeda. Presiden Wahid memiliki karakter keras. Dalam beberapa kesempatan ia sempat melontarkan penolakan keras pada sidang yang dislenggarakan oleh MPR. Pada era Presiden Yudhoyono karakter tidak mau ikut campur secara langsung terlihat pada penyelesaian permasalahan di konstitusi. Ia cenderung tidak hadir dalam berbagai kesempatan yang penting guna memberikan klarifikasi. Terlihat pola relasi Presiden-DPR yang cenderung berbeda-beda. Presiden Wahid cenderung konfirmatif pada DPR, sementara Yudhoyono dan Mega lebih menyelesaikan konflik melalui rapat-ratat dengan DPR. “Parlementarisme” dan Persepsi-diri DPR Reformasi konstitusi melalui empat tahap amandemen terhadap UUD ’45 tidak hanya semakin melembagakan sistem demokrasi presidensial, melainkan juga makin memperkuat posisi politik dan otoritas DPR dihadapan dengan Presiden. Lebih jauh lagi, atas dasar otoritas legislasi yang dimilikinya, DPR memberi kewenangan tunggal pada dirinya untuk menyeleksi para calon anggota komisi-komisi negara, hakim konstitusi, hakim agung, calon gubernur dan sebagainya. Otoritas DPR yang begitu kuat tidak hanya melahirkan lembaga super body, melainkan realitas para politikus partai di DPR juga menyebabkan kekuatan yang melampaui batas. Catatan Penutup
Sebagai pemerintahan mayoritas, pola relasi Presiden-DPR pada era Wahid, Megawati, dan Yudhoyono semestinya menjadi pembelajaran untuk menciptakan pemerintahan yang efektif dan kondusif. Penyebab hubungan yang fluktuatif tersebut juga tidak hanya disebabkan oleh variabel institusional namun juga pada sistem presidensial yang dikombinasikan dengan sistem multi partai. Dengan demikian, dalam rangka meningkatkan efektivitas dalam demokrasi
23
presiden sial perlu ada penataan kembali pola interaksi menuju pada arah yang lebih baik. Sehingga tercipta prinsip checks and balances yang baik.
2.4 Bab 4: Koalisi Presidensial Era Presiden SBY
Hanya beberapa bulan setelah membentuk kabinet Indonesia bersatu II, Presiden SBY harus menghadapi “perlawanan” sebagai partai politik koalisi pendukungnya di DPR. Melalui hak angket Golkar, PKS, PPP, bersekutu dengan PDIP (partai oposisi) untuk mempersalahkan keputusan pemerintah pada pemberian talangan pada Bank Century. Fenomena ini jelas merupakan ironi karena partai-partai tersebut senelumnya tergabung dalam satu koalisi yang juga menandatangani kontrak politik dengan Presiden Yudhoyono. Namun, ada hal yang unik dari fenomena tersebut. SBY justru menunjuk Aburizal Bakrie sebagai ketua harian sekertariat gabungan parpol pendukung pemerintah. Dengan kata lain SBY lebih memilih bersekutu kembali dengan Golkar ketimbang menghukum dan mengeluarkannya dari koalisi. Memasuki semester 3, fenomena politik hampir serupa kembali terulang. Para petinggi Partai Demokrat kembali mendesak SBY untuk menghukum Golkar dan PKS. Namun yang dilakukan SBY justru merangkul kembali Golkar untuk kembali ke koalisi. Mengapa dalam prakteknya koalisi justru menjadi “beban” ketimbang menjadi solusi? Apa ada yang salah dengan format koalisi sistem presidensial? Tulisan ini mencoba memetakan problem koalisi dibawah sistem presiden sial pada umumnya dan dalam konteks pemerintahan SBY pada khususnya. Koalisi dalam Skema Presidensial
Presidensial
adalah
sistem
pemerintahan
dimana
pemerintahan
menempatkan presiden sebagai pusat kekuasaan eksekutif sekaligus pusat kekuasaan negara. Ciri presidensial adalah pemilihan kepala eksekutif dilakuakan secara langsung oleh rakyat. Kemudian ciri lain adalah kedudukan lembaga parlemen yang tidak hanya terpisah dari eksekutif melainkan juga independen terhadapnya: serta mentri-mentri yang diangkat bertanggungjawab pada presiden. Inspirasi model presidensaial ini cenderung berkiblat ke Amerika Serikat sebagai model pelaksanaan presidensial yang baik. Kemudian dalam sistem koalisi
24
merupakan pemerintahan yang merupakan gabungan dari beberapa partai dalam sistem presidensial yang berbasis multipartai. Secara teoritis model koalisi sebenarnya sangat beragam. Atas dasar sekala atau besarnya, model koalisi dapat dibedakan menjadi 3 jenis, yaitu (1) minimal winning coalition, (2) minority coalition, dan (3) grand coalition. Koalisi pemenang minimal menunjuk pada pemerintahan yang mendapatkan dukungan mayoritas sederhana di parlemen. Kategori koalisi minoritas merupakan gabungan dari partai-partai kecil karena tidak mendapatkan dukungan mayoritas sederhana dari parlemen. Sementara itu koalisi besar merupakan koalisi pemerintahan yang didukung oleh mayoritas utlak partai politik di parlemen. Semenntara itu, pola hubungan atau relasi antara eksekutif dan legislatif mengacu pada pola institusional maupun terbangun antara lembaga eksekutif dengan satu pihak. Pola relasi kekuasaan antara eksekutif dan legislatif ini menjadi salah satu faktor penting yang turut mempengaruhi terbentuknya pemerintahan yang efektif. Konsep pemerintahan yang efektif merujuk pada situasi di mana lembaga eksekutif dapat mewujudkan proses pelaksanaan kebijakan yang berorientasi pada aspirasi dan kepentingan rakyat tanpa hambatan berarti dari lembagai legislatif. Asumsinya semakin minim iterupsi dan distorsi pada proses pembentukan dan pelaksanaan kebijakan akan membuat pemerintah lebih efektif, sehingga pencapaian tujuan bernegara dan berbangsa menjadi lebih nyata. Sebaliknya, jika presiden hanya didukung oleh kekuatan minoritas, maka justru akan membuka peluang pemakzulan presiden itu sendiri. Permasalahan Presidensial di Indonesia
Sistem
presidensial
memang
memiliki
kelebihan
daripada
sistem
parlementer, yaitu (1) keterpisahan institusi presiden dan lembaga parlemen, (2) masa jabatan presiden yang bersifat tetap, (3) dan pemilihan langsung oleh rakyat. Tiga ciri tersebut dapat menjamin tegaknya prinsip checks and balances dalam relasi eksekutif dan legislatif. Meskipun demikian, kelebihan tersebut juga dapat diidentifikasi
sebagai
sumber
kelemahan
dari
sistem
presidensialisme.
Kelemahannya yaitu (1) memicu terjadinya legitimasi demokratis ganda, (2) potensi presiden mengabaikan suara parlemen sehingga terjadi sistem yang
25
otoriter, (3) potensi menghambat berbagai kebijakan pemerintah yang akhirnya berujung pada instabilitas demokrasi Indonesia. Dalam kasus Indonesia, problem presidensial tidak hanya dialami oleh presiden Susilo Bambang Yudoyono, melainkan juga dialami oleh presiden Abdulrahman Wahid dan Megawari. Karena itu, tidak mengherankan jika ketiga presiden tersebut dalam pemerintahanya membentuk kabinet-kabinet yang mempersatukan partai-partai untuk meminimalkan resiko di atas. Kabinet-kabinet tersebut dibentuk untuk mengamankan posisi pemerintahan. Pasalnya kursi yang didapat oleh partai yang mengusung presiden tidak begitu besar sehingga kekuatan politik dari presiden sendiri menjadi sangat lemah. Akan tetapi pembentukan kabinet yang sedemikian juga menjadi bumerang bagi presiden sendiri. Presiden Yudhoyono misalnya menjadi terperangkap dalam situasi di mana ia harus melayani sekurang-kurangnya 14 hak interplasi dan 9 hak angket yang diajukan oleh DPR. Sebenarnya tidak ada yang salah dari penggunaan hak angket dan interplasi, karena secara politik dijamin oleh konstitusi dan perundangundangan. Hanya saja fokus presiden menjadi terbelah antara DPR dan menjalankan kebijakan. Sehingga tak jarang presiden menjadi tidak produktif. Faktor institusional lain, misalnya menjadikan DPR sebagai lembaga super body yang tak jarang mengarah pada otoritarisme DPR. Hal tersebut semakin mempersempit ruang gerak presiden sebagai kepala pemerintahan. Faktor Kerapuhan Koalisi Era Yudhoyono
Faktor Desai Koalisi Secara teoritis, koalisi bentukan presiden Yudhyono sebenarnya termasuk dalam kategori “koalisi besar”. Atau bahkan “koalisi superbesar”. Namun koalisi besar tersebut ternyata rapuh secara internal. Rapuhnya koalisi tersebut terlihat dari indikasi bahwa presiden harus melayani banyak hak angket dan interplasi. Pertanyaan berikutnya mengapa koalisi besar bentukan Yudhoyono menjadi sangat rapuh? Hal tersebut dapat dijawab dengan (1) basis koalisi, (2) problem sifat kesepakatan dan konflik politik, (3) problem cakupan materi masalah koalisi. Sudah
menjadi
pengetahuan
umum
koalisi
politik
mendukung
pemerintahan dibentuk untuk mengamankan kelangsungan pemerintahan hasil
26
pemilu ketimbang faktor kesamaan ideologi dan halauan politik tentang reformasi dan penataan bangsa. Konsekuesi logis dari koalisi yang dibentuk atas dasar kepentingan jangka pendek ini adalah lemahnya ikatan dan solidaritas koalisi, sehingga dukungan parpol terhadap pemerintahan acap ditentukan oleh “ mood politik” ketimbang kepentingan jangka panjang. Kemudian problem sifat kesepakatan dan kontrak politik juga menjadi maslah rapuhnya koalisi. Koalisi bentukan Yudhoyono banyak berdasar pada kontrak-kontrak politik. Persoalan mendasar dari model kontrak politik adalah bahwa komitmen koalisi adalah bahwa komitmen lebih merupakan keputusan pemimpin parpol bukan suatu komitmen parpol secara institusional yang disosialisasikan dan dilembagakan. Kemudian problem cakupan materi yang menjadi kesepakatan koalisi tidak pernah dijelaskan kepada publik. Bahkan para anggota partai yang menjadi anggota koalisi bentukan Yodhoyono pun belum mengerti sepenuhnya cakupan kerja yang menajdi fokus dari koalisi tersebut. Sehingga seperti Wakasekjen PKS tidak mengetahui bagaimana ia bisa dikatakan melanggar koalisi. Problematik dibalik hal tersebut adalah tidak adanya komunikasi yang baik antara parpol dengan anggota koalisi. Problem selanjutnya adalah mekanisme internal koalisi. Persoalan internal koalisi acap kali hanya saling berbalas di media massa tanpa ada pembicaraan internal yang jelas di dalam kubu koalisi sendiri. Sehingga hal tersebut menjadi santapan empuk media sebagai sajian berita yang menarik. Faktor Personalitiy Presiden Pilihan-pilihan pengambilan kebijakan tidak hanya dapat dipahami dari konteks institusional saja, namun juga dari konteks karakter presiden. Dalam pembahasanya perlu diketahui bahwa ada 4 karakteristik presiden yang dimiliki oleh Amerika Serikat selama ini, yaiitu (1) Jeffersonian leadership, (2) Jacksonian leadership, (3) Republican Leadership, (4) Liberal Leadership. Melalui hal tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa meskipun sedikit partai yang berpartisipasi, karakter presiden dapat menjadi bervariasi. Hal yang sama nampaknya juga berlaku di Indonesia. Kajian psikologi yang dilakuakan oleh Naniek L. Karim mendapati bahwa SBY memiliki cukup banyak aspek yang menonjol sebagai modal kepemimpinan di antaranya moderat, mementingkan
27
intelektualitas, keterbukaan pikiran, pola penalaran sistematis, kebutuhan prestasi, kebutuhan afiliasim dan penampilan yang selalu terjaga dan berwibawa. Kekuatan presiden tersebut juga dapat menjadi sumber kelemahan karena pembangunan kepemimpinan yang dislimuti pencitraan. Kecenderungan ini menjadikan Yudhoyono lambat dalam mengambil keputusan karena selalu ingin tampil baik, tetap menjadi pusat perhatian orang dan cenderung menghindari konflik. Watak presiden yang sedemikian menimbulkan beberapa akibat, di antaranya (1) kepemimpinan cenderung mementingkan pencitraan publik, (2) kepemimpinan yang terlalu hati-hati, lamban, tidak berani mengambil resiko, tidak tegas, dan kompromistis. Karakter kepemimpinan yang lembek, lamban, tidak tegas, dan bepusat pada pencitraan ini nampaknya menjadi faktor penting dibalik kerapuhan koalisi politik bentukan Yudhoyono. Faktor Karakter Parpol di DPR Sistem multipartai yang menjadi dasar perpolitikan di Indonesia, nampaknya relatif tidak menunjukan perbedaan ideologis yang signifikan antara sejumlah parpol di DPR dewasa ini. Walaupun para parpol tersebut mengeklaim dirinya berbeda dengan yang lain, namun dalam kenyataannya tidak begitu nampak adanya perdebatan mengenai isu dan kebijakan pemerintah. Konsekuensi dari fenomena ini adalah maraknya politik kartel yang hanya mengejar rente ketimbang memperjuangkan kebijakan atas dasar ideologi tertentu untuk kepentingan umum. Nampaknya fenomena ini dapat menjelaskan mengapa politik kartel ini memancing para parpol untuk menjadi bagian dari koalisi pemerintahan yang berkuasa. Karakter partai yang cenderung numpang tenar inilah yang tidak diwaspadai oleh presiden Yudhoyono. Akibatnya koalisi politik yang dibentuk menjadi perangka politik sekaligus penjara bagi Yudhoyono sendiri ketimbang meningkatkan efektifitas dan produktifitas pemerintahan. Berbagai kebijakan seoalah mentah ditangan DPR, padahal 70 anggota DPR merupakan anggota koalisi yang seharusnya dapat mepermudah kebijakan-kebijakan yang akan dilakukan. Akan tetapi itulah yang menjadi karakter mayoritas parpol di Indonesia. Tidak disiplin, cenderung pragmatis, dan oportiunis, serta lebih berorientasi pada perburuan rente.
28
Koalisi 2009-2014 dan Kasus Century
Pada dasarnya koalisi 2009 melalui kabinet indonesia bersatu II tidak jauh berbeda dengan koalisi sebelumnya. Parpol penghuni sebenarnya relatif tetap dan hanya mengalami tambahan dari partai kecil seperti PBB dan PKPI. Publik sebenarnya berharap lebih pada kabinet 2009 yang akan lebih diisi oleh para profesional untuk memperbaiki situasi ekonomi. Namun seperti yang diuraikan sebelumnya Yudhoyono tidak memiliki cukup keberanian untuk memenuhi ekspektasi publik. Presiden nampaknya beranggapan bahwa pemerintahanya akan aman jika didukung oleh sebagian parpol. Selain itu karakter parpol yang cenderung tidak disiplin dan mengincar perburuan rente juga dan juga tidak adanya konsensus minimum yang bersifar institusional, sehingga cenderung longgar dan tidak mengikat secara publik. Realitas seperti itulah yang melatarbelakangi munculnya gugata keras parpol, termasuk parpol koalisi, di DPR terhadap kebijakan pemerintahan Yudhoyono, atas dasar sekomendari KSSK yang waktu itu di pimpin oleh Menku Sri Mulyani, ,menyelamatkan Bank Century melalui pendanaan sebesar 6,7 triliun. Meskipun DPR gagal membuktikan adanya penyimpangan dan korupsi, melalui voting, parlemen akhirnya memutuskan bahwa kebijakan bail out atas Bank Century adalah bermasalah dan melanggar hukum. Sebagai tindak lanjut keputusan DPR, beberapa politikus dan inisiator hak angket mewacanakan perlunya penggunaan hak yang menyatakan pendapat bahwa perlunya pemrosesan pemecata Boediono sebagai Wakil Presiden. Presiden nampanya merasa tidak nyaman dihadapkan pada kenyataan tersebut. Namun kendati berkali-kali ditekan untuk melakukan perombakan koalisi dan kabinet SBY tetap tidak melakukannya. Watak yang sedemikian nampanya dipahami Golkar yang sering memberikan bantuan finansial melalui perusahaan Bakrie. Karena itu, meski tampak konflik dan ketegangan antara presiden dan Golkar, secara publik presiden tidak pernah langsung menyebut usaha Bakrie sebagai pengempalng pajak dengan niali triliunan rupiah. Catatan Penutup
Untuk membentuk pemerintahan yang bisa memerintah dalam skema presidensial berbasis multi partai diperlukan koalisi berbasis kesamaan ideologi
29
dan halauan politik diantara parpol yang berkoalisi. Koalisi semu dan longgar bentukan Yudhoyono mengakibatkan koalisi yang rapuh dan diwarnai dengan konflik internal. Ironinya kelanjutan dan kesalahan membentuk koalisi publik superbesar tetapi semu dan longgar tersebut tidak menjadi bahan evaluasi melainkan malah di ulang pada periode pemeritahan selanjutnya. Dalam kaitan ini salah satu solusi yang ditawarkan kedepanya adalah menata ulang format pemilu dalam arti luas, sehingga kedepan hanya terdapat dua momentum pemilu, yakni nasional dan lokal. Melalui perubahan format pemilu seperti ini parpol di paksa untuk dapat berkoalisi sejak sebelum pemilu legeslatif, sehingga peluang terbentuknya koalisi berbasis ideologi dan halauan politik menjaid lebih besar.
2.5 Bab 5 : Pluralisme , Kebangsaan, dan Paradoks Demokrasi
Setelah mengalami 3 dekade sistem politik otoriter Orde Baru, sejak 1999 Indonesia telah mengalami masa transisi menuju sistem politik yang lebih terbuka dan demokratis. Agenda politik seperti pemilian umum, partisipasi rakyat, otonomi daerah, dan agenda lain telah mulai dilaksanakan. Ironinya, ditengah preayaan
kolektif
atas
prestasi
keberhasilan
berdemokrasi,
korupsi
dan
penyalahgunaan kekuasaan, tindakan kekerasan, dan berbagai tindakan anarki massa tidaklah berkurang. Hampir setiap pekan, media menyuguhkan informasi tindak kekerasan dan anarki yang dilakukan oleh sekelompok anggota masyarakat untuk melampiaskan amarah mereka, bukan hanya terhadap pemerintah namun juga terhadap sesama warga negara lainnya. Kasus kekerasan terhadap jemaat di Gereja Huria Kristen Batak Protestan, penganut Ahmadiyah, dan pengusiran islam syiah di Madura memperlihatkan bahwa seolah-olah demokrasi telah mengancam pluralisme bangsa. Pertanyaanya, bukankah demokrasi dijemput dan diperjuangkan untuk menjamin keberagaman politik dan kultural yang telah menjadi realita kehidupan berbangsa?. Dalam kaitanya dengan hal tersebut, tulisan ini mencoba mencari penjelasan dibalik tarik-menarik antara keniscayaan merawat pluralisme sebagai fondasi kolektivitas kebangsaan kita disatu pihak, dan “kegagalan” negara mengelola sistem demokrasi dipihak lain.
30
Anatomi Kegagalan
Dalam bidang politik dan pemerintahan, bangsa kita tak hanya terjebak pada obsesi presidensialisme yang dipraktekan secara parlementer, melainkan juga terperangkap pada demokrasi prosedural elektoral yang hampir tak memberikan korelasi yang signifikan dengan tegaknya tata kelola pemerintahan yang baik dan bersih. Perjuangan untuk memperoleh kebebasan di era reformasi seperti sia-sia jika melihat realitas politik saat ini di mana transaksi politik hanya berorientasi jangka pendek, sehingga kejahatan politik marak terjadi. Di bidang hukum muncul fenomena pembiaran negara dalam kasus tindak kekerasan anarki massa yang ersifat sektarian, sehingga sebagian unsur bangsa kita yang kebetulan adalah golongan minoritas tidak dilindungi oleh negara. Dalam bidang ekonomi, pemerintah dan DPR tak hanya memiliki kebijkana antisipatif bagaimana melindungi produk domestik dari serbuan produk import di era perdagangan bebas saat ini. Sementara untuk memenuhi kebutuhan domestik negara kita masih melakukan import pada beberapa komoditi. Sementara itu, di bidang budaya, kebanggan terhadap Indonesia cenderung terus merosot terkait kegagalan negara melindungi hak hidup dan ekspresi kelompokkelompok minoritas serta marjinal di satu pihak, dan kegagalan negara melindungi berbagai produk budaya di pihak lain. Alih-alih memikirakan bagaimana negara ini memperkuat ketahanan internalnya dalam bidang sosial politik, hukum, ekonomi, dan budaya para elite justru sibuk memperebutkan kue kekuasaan yan tidak terbagi rata usai pemilu. Faktor Negara
Faktor Institusi dan Kebijakan Menjelang Soeharto lengser dari jabatan presiden tahun 1998, memang hampir tidk ada pemikiran dan strategi yang jelas bagaimana seharusnya mengelola keberagamaan sebagai fondasi yang terus-menerus menyemai dan menyuburkan siuatu Indonesia baru di mana semua unsur bangsa merasa at home di dalamnya. Hampir tidak pernah diantisipasi bahwa demokrasi politik memiliki paradoks pada dirinya sendiri. Kebebasan didapat oleh pihak-pihak yang merasa terakomodasi, namun juga kebebasan tersebut jika tidak terkontrol akan mengancap prularisme bangsa. Fenomena sosial politik lebih dari 15 tahun
31
reforasi pasca-Soeharto jelas mengindikasikan hal itu. Ketika hak politik warga negara semakin dijamin, pada saat yang sama ternyata politik atas nama etnik ataupun agama acap kali cenderung menisbikan kembali hak-hak warga negara dalam ekspresi serta aktualisasi diri mereka. Keberagaman dan pluralisme diakui dan dipidatokan dimana-mana namun ketika terjadi kekerasan, premanisme yang mengarah pada pembunuhan karakter dan melukai demokrasi, negara cenderung absen dan tidak neteral. Kontntroversi keberadan UU No.1 PNPS Tahun 1965 tentang penodaan dan penistaan agama yang gugatan judicial reviewnya di ajukan ke Mahkamah Konstitusi adalah salah satu
contoh
yang
mengindikasikan
posisi
ambigu
negara
dalam
mengimplementasikan asas kebebasan agama seperti yang diamanatkan oleh UUD’45. Negara justru terkesan mewariskan kebijakan yang berpotensi mengancam kebebasan beragama bagi kelompok atau golongan minoritas. Faktor Elite Politik Negara Sulit dipungkiri bahwa aktor terpenting yang semestinya paling bertanggung jawab atas kegagalan negara dalam mengawal dan menyantuni perbedaan serta keberagaman sebagai fondasi bagi nasionalisme bangsa adalah para elite penyelenggara negara disemua tingkatan pemerintahan (eksekutif, legislatif, dan yudikatif). Para elite politik di ketiga bidang tersebut tidak hanya sibuk berpolitik namun juga sibuk berburu rente untuk diri sendiri. Aparat seperti kepolisian acap kali ambigu dalam menafsirkan tanggung jawabnya dalam menegakan hukum, padahal ia adalah lembaga penjamin tegaknya hukum. Memang ada peraturan mentri dalam negeri No. 8 dan 9 Tahun 2006 bagi kepala daerah bagaimana memelihara kerukunan umat beragama dan pendirian rumah ibadah. Namun dalam pelaksanaanya kerap menyimpang dari apa yang seharusnya. Beberapa hal tersebut tidak hanya menggarisbawahi ketidak seriusan para penyelenggara demokrasi, melainkan juga mencerminkan keberpihakann politik para elite dalam mengelola negeri yang majemuk ini. Sulit dipungkiri bahwa kebutuhan akan popularitas elektoral melatarbelakangi perilaku elite politik yang mengorbankan kebinekaan demi kepentingan politik jangka pendek. Mengingat sumber popularitas berasal dari agama mayoritas. Akibatnya data pelanggaran
32
kebebasan kehidupan beragama berikut tindak kekerasan yang menyertainya masih tinggi dan bahkan dilakukan oleh unsur-unsur negara sendiri. Tampak Jelas bagi kita bahwa negara tak hanya terperangkap dalam praktik pembiaran dalam kasus dan pristiwa tindak kekerasan dan anarki yang berbasis identitas asal dan juga tidak memiliki koridor yang jelas bagaimana seharusnya keberagaman dikelola sehingga semua unsur-unsur bangsa merasa dihargai. Kemudian, problem-problem Indonesia di tengah perayaan keberhasilan berdemokrasi pada dasarnya belum melahirkan pemimpin-pemimpin politik yang benar-benardiperlukan bangsa kita. Komitmen akan pengelolaan keberagaman hanya terhenti pada jargon dimulut tanpa tindakan yang jelas di lapangan. Faktor Masyarakat
Selain fator institusi dan kebijakan, ancaman atas jaminan keberagaman dan ketahanan budaya juga datang dari masyarakat. Pandangan masyarakat mengenai keberagaman semakin menurun pasca orde baru. Pasalnya yang tumbuh dan berkembang saat ini adalah mengentalnya nilai pragmatis dan oportunis, dan merebaknya konsumerisme dan hedonisme. Fenomena para pemimpin agama, adat dan tokoh masyarakat yang mulai ikut dalam perebutan kekuasaan di bidang politik jelas mengindikasikan hal tersebut. Akibatnya ketegangan dan kecurigaan dalam relasi antar etnik dan agama menjadi laten dalam realitas keberagaman bangsa Indonesia. Para tokoh agama, adat, dan masyarakat seharusnya menjadi lapisan terdepan dalam menjunjung tegaknya keberagaman. Catatan Akhir
Dari uraian di atas terlihat bahwa sebagian faktor dibalik ketegangan negara mengelola keberagama tidak semata-mata disebabkan oleh negara itu sendiri, melainkan juga faktor masyarakat. Tidak adanya kepemimpinan yang efektif perlu menjadi perhatian tersendiri bagi pemerintahan di negeri ini. Sehingga yang harus dibangun saat ini adalah suasana saling percaya, dialog, dan kerjasam para pemimpin formal dan pemimpin informal merupakan usaha yang dapat ditempuh untuk merawat keberagaman. Demokrasi memang memberikan ruang yang lebar bagi setiap kelompok, golongan, dan identitas, asal untuk mengaktualisasikan diri. Namun ruang dan ekspresi tersebut juga dapat menjadi ancaman tersendiri bagi kemajemukan jika melampaui proporsinya. Betapa sia-
33
sianya ketika berdemokrasi, namun hanya untuk sekedar “merayakan” tindak kekerasan dan anarki. Terlalu besar ongkos politik yang harus dikeluarkan bangsa ini apabila penyelenggara negara acap kali gagal mengelola keberagaman hanya karena kepentingan picik kekuasaan.
2.6 Bab 6: Demokrasi dan Politik Kelas Menengah: Beberapa Catatan Awal
Bagian ini pertama-tama hendak menghidari perdebatan teoritis mengenai apa yang disebut sebagai “budaya politik” dan juga “kelas menengah”. Pilihan ini dilakukan bukan semata-mata karena dalam ilmu politik perspektif budaya politik kurang diminati sebagai variabel yang determinan dalam menentukan arah politik, pemerintahan, dan demokrasi, melainkan akan terlalu kompleks jika Indonesia didekati melalui perspektif tersebut. Kemudian berkaitan dengan terminologi kelas menengah ada tiga argumen yang dapat digunakan untuk menjelaskan mengapa para ahli menghindari terminologi kelas menengah. Pertama, jika konsep “kelas” berbasis dalam konteks kepemilikan atas produksi, relatif tidak ada tradisi dan kesadaran “kelas” dalam perjuangan berbagai kelompok dan golongan masyarakat sepanjang sejarah Indonesia. Kedua, Konsep kelas menengah mengendalikan adanya kelompo sosial – ekonomi yang memiliki karakter independen dalam politik dan ekonomi. Ketiga, kalaupun konsep kelas mengah digunakan untuk mengidentifikasi dinamika kelas sosial tertentu dalam masyarakat dan bangsa kita, rentang cakupannya sangatlah beragam dan sulit untuk di pilah. Karena itu, tulisan ini hanya bertolak dari kategorisasi relatif longga dari Max Weber yang kurang mendefinisikan kelas menengah berdasarka status sosioekonomi yang mencakup variabel pekerjaan, pendapatan, pengeluaran, dan pendidikan. Sehingga kelas mengengah cakupanya lebih luas dari pada hanya dipandang sebagai kepemilikan modal semata. Dalam studi yang dilakukan oleh Bank Dunia dan Kompas sama-sama menyatakan bahwa kalangan mayoritas penduduk Indonesia adalah kelas menengah sekitar 56, 5 persen. Sebagai kelas sosial yang paling dominan, secara hipotesis kedudukan dan peran kelas menengah semestinya sangat menentukan dalam perubahan sosial politik dna meningkatkan kualitas demokrasi.
34
Kelas Sosial Berwajah Banyak
Pertumbuhan ekonomi Indonesia lebih didorong dan dikontribusikan oleh variabel konsumsi yang mencakup hampir 60 persen ketimbang faktor lain seperti jasa dan perdagangan. Sehingga industri kapitalis global melihat Indonesia sebagai pasar yang empuk untuk menjual satu produk. Karena itu tidak mengherankan jika setiap momentum pemasaran perdana gadget pintar dengan brand tertentu selalu dibanjiri konsumen kelas menengah bahkan rela antri berjam-jam untuk mendapatkan produk tersebut. Fenomena lain adalah ramai dan membludaknya konser musik dengan artis mancanegara yang menikmati keuntungan dari uang kelas menengah di Indonesia. Fenomena konsumtif tidak hanya berwujud pada barang atau sekedar konser musik semata, namun juga merupakan upaya “pembersihan diri” dari kehidupan duniawi melalui ibadah umroh. Sebagian besar orang yang umroh adalah kelas menengah yang mengahbiskan sekitar 10 triliun dana per tahunnya. Tidak heran jika banyak pihak memandang ibadah umroh sebagai bagian dari gaya hidup. Berbagai kecenderungan tersebut kiranya cukup membuktikan bahwa kelas menengah di negeri ini cenderung berprilaku konsumtif. Di sisi lain, wajah kelas menengah juga dapat dilihat dari sikap ambiguitas mereka dalam menghadapi realitas politik, hukum, dan ekonomi di negeri ini. Disatu pihak mereka kritis dalam melihat ketidaksesuaian, ketidakadilan, korupsi, dan berbagai tindakan lainnya namun di pihak lain mereka cenderung berhenti pada kicauan di media sosial semata. Namun ada juga aspirasi lewat media sosial yang berbuah manis. Seperti kasus Prita vs. RS Omni yang mampu menumbuhkan kesadaran masyarakat untuk membantu Prita dalam mengahdapi sengketa dengan RS Omni. Hal lain yang juga mencerminkan
wajah
kelas
menengah
adalah
mereka
yang
dapat
di
kapitalisasikan untuk menyongsong perubahan. Hal tersebut terlihat dari kemenangan Jokowi-Ahok dalam pilgub di Jakarta. Di mana dalam kampanyenya ia melawan kampanye hitam Roma Irama dan strategi politik uang yang dilakuakan oleh Fauzi Bowo. Namun, kelas menengah di DKI Jakarta cenderung mampu bersikap bijak. Kelas Menengah dan Politik
35
Melalui studi yang dilakukan oleh Kompas didapati bahwa kelas mengengah Indonesia cenderung memilih zona nyaman dalam menghadapi berbagai isu yang mengancam kelangsungan demokrasi. Beberapa survey yang dilakuakan dengan mengangkat tema Ahmadiyah, pornografi, dan agama cenderung menunjukan bahwa masyarakat setuju jika Ahmadiya di bubarkan, pornografi diatur dalam undang-undang dan agama menjadi dasar negara. Realitas ini tidak terlalu mengejutkan apabila kita melihat peta politik yang berlangsung selama 10 tahu terakhir. Tingkat kekerasan dan anarki atas nama agama, etnik, dan daerah justru semakin meningkat dan bahkan berbanding lurus dnegan praktik pemilukada yang sedang berlangsung. Mengingat populasi kelas menengah yang cenderung mendominasi dan diwadahi oleh sistem demokrasi, sikap politik cenderung simplitis dan dipandang sebagai sebuah kegagalan dalam mengelola keberagaman. Menurut Komnas Perempuan sejak 1998 kebijakan mengenai hak asasi manusia terus mengalami pengkatan dan banyak yang berkaitan langsung dengan perempuan. Namun dalam periode yang sama pula, terjadi peningkatan kebijakan yang diskriminatif bagi perempuan di antaranya adalah pengaturan busana, pornografi, hingga masalah sunat bagi perempuan. Kemunculan berbagai kebijakan diskriminatif tersebut justru difasilitasi oleh parpol baik di DPRD maupun di lembaga eksekutif daerah. Parpol hanya mencari popularitas dan elektabilitas dan mengesampingkan hal lain yang sekirannya penting. Nampaknya, sikap konservatif kelas menengah dan rendahnya kualitas tanggung jawab mereka pada politik dan struktur kekuasaan juga berpengaruh pada ketidaklancaran sistem demokrasi di Indonesia. Mengapa Demikian?
Pendangkalan pemahaman masyarakat mengenai politik, partai politik, pemilu, demokrasi, dan esensi pemerintahan mengalami peningkatan sejak sistem demokrasi dilakukan di Indonesia. Sebagian besar sumber pendangkalan ini adalah distorsi yang diwariskan oleh orde baru, hasil dari transisi demokrasi yang berlangsung tanpa komitmen, dan liberalisasi praktek demokrasi yang difasilitasi oleh media. Politik misalnya tidak lagi dilihat sebagai kebebasan untuk meproduksi kebijakan dan keutamaan bagi kehidupan kolektif, melainkan lebih
36
dipandang sebagai kesempatan yang disediakan oleh hak dasar yang melekat pada setiap diri manusia. Pemahaman terhadap partai polirik juga mengalami pendangkalan yang sama. Secara historis sebenarnya Indonesia sempat mengalami periode ketika elite terdidik dalam jumlah terbatas membentuk partai-partai dalam rangkan mengabdi bagi kolektifitas bersama. Namun, semuanya berubah menjadi hal privat pribadi semata. Rezim Soeharto juga mewariskan sikap pendangkalan politik. Hal tersebut tercermin dari transisi yang tidak dilakukan dengan matang. Rakyat seolah-olah berdaulat, tetapi cenderung sebagai “massa” yang mudah terprovokasi ketimbang sebagai warha negara yang arif dan sadar akan hak dan kewajibanya. Dalam kaitan ini, tidak mengherankan jika kalangan elite partai politik menjamur dan tidak memiliki proposal yang baik bagaimana cara menata uang formal
halauan
untuk
mewujudkan
cita-cita
keadilan,
demokrasi,
dan
kesejahteraan. Ideologi partai pun demikian. Ia cenderung didistorsikan sebagai “visi dan misi” normatif tanpa kejelasan agumentatif mengapa satu progarm lebih dipilih ketimbang yang lainnya. Maka, ideoleogi pun berhenti pada dokumen tertulis sebagai prasarat kelengkapan anggaran dasar dan anggaran rumah tangga. Keharusan wakil rakyat untuk mengontrol pemerintahan cenderung didistorisikan sebagai “hak interplasi” atau “hak angket” maka munculah euforia untuk mengusulkan hak interplasi dan hak angket untuk mengaktualisasikan diri sebagai wakil rakyat yang “kritis”. Keseriusan semu para penyelenggara negara juga terjadi ketika berbagai kementrian berlomba-lomba untuk menunjukan kinerja kementrian mereka dengan iklan yang justru semakin menimbulkan potensi atas tindakan korupsi. Catatan Penutup
Ditengah krisis pemihakan parpol, para pemimpin, wakil rakyat, dan para politikus di dalam struktur kekuasaan, relatif belum ada tawaran atau agenda alternatif yang signifikan dari kekuatan civil society, khususnya kelas menengah. Hal tersebut mengindikasikan perlu adanya suasana saling percaya, kerja sama, dan konsolidasi di antara berbagai elemen masyarakat sipil dalam rangka mengawal demokrasi agar tidak sekedar menjadi arena transaksi politik para elite dan penyelenggara negara yang tidak bertanggung jawab.
37
2.7 Bab 7: Islam dan Keindonesiaan: Relasi Pasca-Soeharto
Diskusi dan perdebatan tentang format relasi islam dan negara sebenarnya telah menjadi maslah klasik dalam berbagai literatur yang berkaitan dengan sejarah politik Indonesia modern. Perdebatan klasik yang tidak mungkin diabaikan dalam kaitan ini adalah polemik antara golongan nasionalis yang disuarakan oleh Soekarno dan kalangan Islam yang direpresentasikan oleh H. Agus Salim. Meskipun akhirnya perdebatan dan perbedaan prinsipil antara kedua golongan tersebut dapat dikompromikan melalui ideologi pancasila, pencarian format relasi yang “pas” antara Islam dan negara sebenarnya tak pernah benar benar selesai. Pada era kekuasaan rezim otoriter Soeharo di bawah Orde Baru misalnya, ketika Islam benar-benar takluk oleh koalisi militer, islam tak hanya marjinal secara politik, namun juga menjadi nonfaktor bagi gerak perubahan yang bertumpu pada pertumbuhan ekonomi. Walaupun gerakan radikal Islam sesekali muncul dalam berbagai bentuk dan label, arus utama kekuatan benar-benar takut oleh pemerintahan Soeharto. Dalam kaitanya tersebut, bagian tulisan ini mencoba mendiskripsikan kembali dilema kontemporer terkait format relasi Islam dan negara. Urgensi persoalan ini tidak hanya mencari format yang pas, melainkan juga dalam rangka mencari penjelasan di balik maraknya gerakan Islam radikal dalam beberapa tahun terakhir. Paradoks Demokrasi
Fenomena marak dan bangkitnya gerakan Islam radikal tak bisa dipisahkan dari terbentuknya peluang dan kesempatan bagi setiap orang atau kelompok identitas pada era demokrasi pasca-orde baru. Dapat dikatakan bahwa demokrasi juga membuka peluang orang untuk menjadi radikal dan cenderung mengabaikan inklusifitas. Inilah yang menjadi paradoks demokrasi yang mengancam nilai-nilai kebangsaan dan keindonesiaan yang disepakati oleh the Founding Fathers. Berakhirnya rezim otoriter tidak hanya menjadi momentum emas bagi beberapa partai politik berbendera agama, khususnya Islam untuk menghidupkan romantisme “Islam politik” yang pernah berkibar 1950-an, melainkan juga merupakan kesempatan bagi gerakan radikal Islam untuk
38
mempertanyakan arah demokrasi pasca-Soeharto dan menggugat kembali formasi Indonesia sebagai entitas negara berbasis multikulturalisme. Sepanjang perjalanan politik Indonesia tarwaran parpol Islam dalam bentuk ideologi ataupun hanya kesan islami terbukti tidak dapat mendongkrak popularitas partai-partai Islam. Bisa jadi kegagalan partai-partai Islam yang menempuh jalan demokrati ini menjadi faktor yang turut mendoring bangkit dan maraknya grakan-gerakan Islam yang cenderung memilih jalan yang radikal. Gerakan Islam radikal cenderung tidak menyetujui ide-ide demokrasi dan mempertanyakan format negara menurut bentukan negara-bangsa hasil proklamasi 1945. Fenomena paradoks demkrasi juga tidak hanya terjadi di Indonesia. Negara demokrasi baru seperti di Amerika Latin, Afrika, dan Asia Timur juga mengalami masalah yang hampir sama. Persoalannya buka bagaimana kita menghidar atau melarikan diri dari aneka problem yang diakibatkan oleh paradoks demokrasi, melainkan bagaimana negara meningkatkan kepastian dalam mengelola berbagai paradoks tersebut sehingga tidak mengancam keberadaan dan keberlangsungan demokrasi. Hal ini dapat dilakukan dengan mewujudkan keadilan dan kesejahteraan bagi semua elemen masyarakat melalui penyelenggara negara. Karena persolaanya adalah pada keadilan dan kesejahteraan masyarakat yang dianggap rugi atas kebijakan pemeritntah seperti yang terjadi di Aceh dan Papua. Islam dan Negara: Dari Soekarno ke Soeharto
Dalam konteks politik Indonesia kontemporer relasi Islam dan negara, sebagian akar persoalnaya muncul pada penghapusan serikat Islam dalam rancangan dasar negara. Namun hal tersebut dapat dikompromikan melalui Piagam Jakarta yang menghasilkan dasar negara yang lebih multikultur. Namun dikemudian hari hal tersebut dijadikan titik tolak kekalahan politik umat Islam. Pembrontakan Darul Islam di Jawa Barat sejak akhir 1940-an, pembrontakan Daud Bureuh di Aceh, dan Kahar Muzajjr di Sulawesi Selatan, pada dasarnya dilatarbelakangi oleh kekecewaan sebagaian kelompok masyarakat Islam terhadap penghapusan syariat Islam dari sila pertama dalam Pancasila. Momentum penting berikutnya adalah pada sidang-sidang konstituante dan pembentukan undang-undang dasar UUD sementara 1950. Golongan Islam
39
kembali berniat untuk mengganti dasar negara menjadi memiliki nilai syariat Islam. Walaupun usaha tersebut tidak berhasil, nampaknya masih tersimpan harapan yang besar bahwa kelak negara Indonesia akan berdasar pada syariat Islam. Harapan itu akhirnya memang sempat membumbung kembali ketika kekuasaan Soekarno digantikan oleh Soeharto. Akan tetapi sejak awal Soeharto telah memberikan siyal bahwa partai Islam (Masyumi) tidak akan menduduki jabatan di parlemen. Sepanjang kekuasaan hingga awal 1990-an, soeharto tidak memberikan kesempatan kepada berbagai elemen kekuatan Islam untuk mengaktualisasikan aspirasi politik umat Islam. Islam terasa dimarjinalkan dengan keputusan Soeharto mengharuskan semua partai Islam berlandaskan pada Pancasila. Hal inilah yang menjadi daya dorong yang kuat bagi munculnya geraka islam yang radikal yang silih berganti pada periode keemasan rezim Soeharto. Beberapa kelompok radikal tersebut melakukan aksi-aksi yang pada intinya mengharuskan Indonesia menerapkan syariat Islam dan menanggalkan pancasila. Terlepas dari sebagian analisis yang mengatakan bahwa gerakan berbagai kelompok Islam radikal tersebut turut ditunggangi oleh intelejen, secara faktual aspirasi tentang agama Islam masih terus hidup dan dicoba untuk dihidupkan sebagai penentang ideologi sekuler yang mengatasnamakan Pancasila. Seperti yang dikemukakan sebelumnya bahwa orde baru memandang Islam sebagai “musuh” yang harus dimusnahkan. Akan tetapi pada tahun 1990-an ketika gerakan Islam cenderung menurun, Soeharto terlihat mengakomodasi komunitaskomunitas Islam. Namun peran Islam dalm politik masih jauh dari harapan, bahkan Ia memanfaatkan Islam sebagai legitimasi kekuasaan. Dilema Relasi Pasca-Soeharto
Secara teoritis periode Pasca-orde baru membuka kesempatan bagi seluruh warga negara untuk turut berkontribusi bagi pengembangan bangsa dan negara. Hal tersebut juga tersermin dalam bidang politik di mana prosedur dari sistem demokrasi adalah pemilihan umum yang berlangsung secara bebas , fair, dan demokratis sepeti yang berlangsung sejak 1999. Momentum pemilu 1999 juga dimanfaatkan oleh kelompok Islam untuk mngaktualisasikan aspirasi dan kepentingan mereka melalui partai-partai baru yang dibentuk menjelang pemilu.
40
Namun hanya sebagaian dari partai tersebut yang lolos verifikasi. Hingga pemilu 1999, bahkan setelah hasil pemilu diumumkan terlihat relatif tidak ada masalah antara relasi Islam dengan negara. Kondisi tersebut setidaknya menjadi gambaran bahwa pluralisme dapat diraih melalui pola demokrasi yang diterapkan di Indonesia. Bahkan semakin kedepan sistem demokrasi yang dibangun dapat memberikan akomodasi yang baik pada pluralisme dan multikulturalisme para pelaku politik kala itu. Namun memasuki pemilu 2004 dan 2009 dukungan pada parpol berbasis Islam terus mengalami kemrosotan. Selain itu di beberapa daerah muncul kecenderungan untuk memberlakukan “syariat Islam”. Dengan demikian terbuka peluang pada warga negara untuk menggugat Perda “syariat Islam” secara Judisial Review kepada Mahkamah Konstitusi jika pemberlakuak perda tersebut merasa merugikan. Hal tersebut tidak terlepas dari tumbangnya para kroni Soeharto yang secara politik tidak memiliki basis kekuatan yang kuat untuk melawan kecama atas tindakan otoriter di masa Orde Baru. Momentum keterbukaan untuk mengaktualisasi diri ini dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok radikal Islam untuk memperluas pengaruh mereka. Perluasan pengaruh tersebut dilakuakan menggunakan kekuatan sendiri ataupun militer yang kecewa dengan ketidakdipertimbangkannya peran mereka di era pasca orde baru. Kelompok Islam radikal pada masa pasca Soeharto secara garis besar memiliki 4 karateristik utama, yaitu (1) cenderung mempromosikan peradapan tekstual Islam, (2) Gerakan Islam radikal atau salafi militan cenderung berfokus pada pemberlakuakan syariat Islam, (3) Memiliki kepercayaan kuat pada teori konspiras bahwa kemunduran Islam merupakan pengaruh dari konspirasi Barat, terutama Amerika, (4) gerakan ini cenderung mengembangkan agenda anti pluralisme. Perjuangan Islam radikal seperti hal di atas secara teoritis sah-sah saja dalam era demokrasi, namun tindakan yang kadang kala menggunakan kekerasan sebagai alatnya tetap tidak dapat dibenarkan. Catatan Akhir
Era demokrasi pasca Soeharto sebenarnya memberika kesempatan luas pada kaum marjinal untuk mengaktualisasikan kelompok dan ideologi mereka. Termasuk Islam yang pada era Soeharto menjadi kaum yang marjinal. Berbagai
41
momentum digunakan kelompok-kelompok Islam untuk membentuk partai politik sebagai usaha untuk menghidupkan kembali gerakan, organisasi, dan kelompok atas nama Islam yang cenderung tampil sebagai gerakan antithesis atas demokrasi. Dalam konteks keindonesiaan, ide beberapa kelompok tersebut cenderung meresahkan karan merupakan gugatan langsung terhadap pluralisme dan multikulturalisme yang menjadi fondasi bangsa. Hal tersebut sebenarnya dapat dipahami sebagai akibat dari negara yang “salah urus” sehingga kaum -kaum radikal tidak dapat menempatkan diri dalam konteks keindonesiaan. Salah urus menyebabkan kaum radikal ini merasa tersisih dan terpinggir akibat arus perubahan menuji demokrasi Indonesia yang lebih kualitatif serta tekonsolidasi pada masa depan. Oleh karena itu tidak mengherankan jika perasaan tersisih dan termarginalkan pada umumnya hanya dialami oleh segelintir aktivis Islam dan organisasi Islam yang terbentuk belakangan, baik akibat tekanan politik pada masa Orba ataupun akibat era keterbukaan dan ledakan partisipasi pada masa reformasi. Jadi, sebaiknya walaupun secara sosiologis bangsa Indonesia mayoritas adalah Islam, secara politis umat Islam Indonesia tidak beroreientasi pada folmarisme Islam dalam kehidupan politik. Hal itu terbukti dengan terpuruknya partai-partai Islam dalam hasil pemilu dewasa ini.
2.8 Bab 8: Urgensi Demokratisasi Partai Sistem Kepartaian Partai politik merupakan salah satu pilar dan institusi demokrasi yang
penting selain lembaga perlemen, pemilihan umum, eksekutif, yudikatif, dan pers. Partai politik dapat berguna sebagai jembatan antara rakyat dan pemerintah. Namun tidak semua partai politik mampu melakukan tugasnya dengan baik atau dengan kata lain tidak memberikan dampak positif pada dinamika politik. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika partai di negara demokrasi yang relatif baru meruapakan “beban” atau masalah ketimbang inisator bagi solusi permasalahan rakyat. Hasil identifikasi Sinyalemen Transparancy Internasional mengidentifikasi bahwa partai di Indonesia adalah partai terkorup dan politisi sebagai aktor terkorup. Berbagai kasus korupsi terungkap dan hal tersebut dibarengi juga dengan buruknya kinerja partai politik yang tidak menunjukan perkembangan
42
berarti dari periode sebelumnya. Mengapa partai-partai masih lebih merupakan masalah ketimbang solusi? Apa salah partai dalam sistem kepartaian di era reformasi? Tulisan ini akan mencoba membahas permasalahan-permasalah partai dan sistem kepartaian dan juga menawarkan sebuah gagasan sebagai kontribusi untuk perbaikan. Dilema Partai dan Sistem Kepartaian
Secara historis partai-partai politik di Indonesia sebenarnya lahir, tumbuh, dan berkembang besamaan dengan pertumbuhan identitas keindonesiaan pada awal abak ke-20. Ketika Indonesia merdeka telah ada perbedaan mengenai sistem kepartaian dikalangan the Founding Fathers Indonesia. Pada awalnya gagasan Sukarno menganjurkan bahwa Indonesia harus menganut sistem monopartai. Kemudian usul tersebut tidak berlangsung lama karena Bung Hatta mengeluarkan anjuran untuk menganut sistem multipartai dibawah sistem parlementer. Setelah berjalan sistem multi partai tersebut, nampaknya Sukarno dan militer tidak begitu suka dengan dinamika yang tercipta. Selain itu, partai-partai tersebut lebih berfungsi untuk mengintegrasikan massa pendukung partai dan memberikan legitimasi
bagi
para
pemimpinannya
ketimbang
sebagai
dasar
untuk
menidentifikasikan isu-isu politik, sosial, dan ekonomi. Berbagai
persoalan
struktural
partai-partai
inilah
yang
kemudian
diwariskan kembali oleh partai-partai politik yang muncul dan meramaikan era reformasi. Partai-partai dipandang sebagai sumber konflik dan carut-marut pemerintahan. Tidak mengherankan jika yang terbentuk kemudian adalah setigma bahwa partai-partai dan politisi sipil adalah bagian dari masa lalu yang buruk dan lebih jauh lagi stigma bahwa solah-olah politik itu “kotor”. Dalam kaitan ini dapat diidentifikasi empat kelompok kegagalan partai-partai yaitu kegagalan organisasi dan institusi, kegagalan kepemimpinan, kegagalan ideologi, serta kegagalan teknik dan strategi. Kegagalan organisasi dan institusional tampaknya dialami oleh hampir semua partai politik. Konflik internal yang dialami ileh partai-partai besar dan kecil pada umumnya melanggar “aturan main” yang ironinya dilakukan oleh para pemimpin partai tersebut. Kegagalan kepemimpinan dapat dilihat dari 3 unsur yaitu orientasi sikap dan tingkah laku, kematangan etis, dan kualifikasi serta kemampuan elite partai.
43
Hal ini terjadi ketika para pemimpin partai yang tersandung kasus enggan untuk melepaskan jabatanya serta kecenderungan memanipulasi identitas kultural dan primodial, jelas merupakan contoh dari kegagalan kepemimpinan. Dalam konteks idiologi, para politikus cenderung bersifat mendua dan tidak konsisten. Di satu pihak secara formal dan verbal mendukung ideologi, namun secara prilaku sering dijumpai tidak sesuai dengan ideologi yang dianutnya. Kemudian dalam konteks taktik dan strategi pada umumnya partai-partai terperangkap dalam upaya memperjuangkan jabatan-jabatan publik ketimbang perjungan memenangkan kebijakan publik. Sementara itu, fungsi pendidikan politik hampir tidak pernah disentuh dan menjadi
agenda
partai-partai
politik.
Partai
hanya
berlomba-lomba
mengumpulkan massa dan bersembunyi dibalik karisma para elitenya. Ironinya tidak terlihat upaya serius dari para pemimpin partai untuk membenahi diri.Para politikus justru makin melestarikan problem struktural dan menggunakan segala cara untuk melanggengkan kekuasaan. Misalnya saja hampir tidak pernah ada diskusi melalui ke arah mana sistem kepartaian akan dibawa. Sehingga muncul UU No. 2 Tahun 1999 dan UU No. 30 Tahun 2002 tentang partai politik yang tidak visioner dan cenderung membiarkan partai-partai merumuskan dirinya sendiri. Menuju Pelembagaan dan Demokratisasi Partai
Sebagai organisasi modern, sudah tentu partai-partai dianut untuk mengembangkan
etika
berpartai
secara
modern.
Termasuk
dalam
etika
kepemimpinan yang demokratis dan kolegalial, etika berorganisasi, serta etika penanggungjawaban kepada publik yang semuanya dilembagakan melalui mekanisme internal partai berdasar kesepakatan. Potret buram partai-partai dan sistem kepartaian tidak akan pernah berubah apabila tidak ada upaya serius untuk mengubahnya. Paling tidak ada 3 jenis jalur yang dapat dilakukan untuk memperbaiki situasi ini, yaitu (1) jalur masyarakat, (2) jalur institusional, dan (3) jalur partai itu sendiri. Melalui jalur masyarakat partai-partai secara berkala dapat diseleksi, dipilih atau tidak dipilih. Selain itu, masyarakat juga dapat mendesak agar terjadi reformasi dan revitalisasi dari sistem internal partai. Sehingga ada dua konteks
44
penting dalam pembaharuan partai politi yaitu (1) terdapatnya satu UU yang mendorong untuk membentuk karakter kepartaian, dan (2) terdapat sebuah UU yang mengatur mengenai koherensi partai dengan sistem pemerintahan, sistem perwakilan, dan sistem pemilu yang berlaku.
Berikut merupakan indikator-
indikator partai politik yang sudah terlembaga atau belum. Indikator ini diungkapkan oleh Huntington, Randall dan Svasand, dan IMD. Sumber
Huntington
Aspek Institusional partai
Adaptability Complexcity Autonomy Cohrence
Randall dan Svasand
Structural internal: systemness Structural external: decisional autonomy Attitudinal internal: value infusion Attitudinal external: reification
IMD
Demokrasi internal Keutuhan internal Identitas politik Ketangguhan organisasi Kapasitas berkampanya
Jika kita melihat partai politik yang berkembang saan ini, nampaknya masih jauh dari harapan. Perubahan mendasar perlu dilakuakan, namun jika hal tersebut tidak mendapatkan dukungan dari sistem nampaknya persoalan akan menjadi semakin sulit. Mencari Model Sistem Kepartaian
Model kepartaian acap kali hanya dipahami sebagai penyederhanaan akan jumlah partai yang mengikuti dinamika politik. Dari sistem pemerintahan Soekarno hingga reformasi permasalahan utama para pengampu kebijakan adalah menyederhanakan jumlah partai. Jika ditelaah lebih jauh persoalan kepartaian tidak hanya berkaitan dengan jumlah partai semata. Melihat sistem kepataian yang ditawarkan oleh Robert A. Dahl diidentifikasi sistem kepartaian berdasar pada kmpetisi dan oposisinya, yaitu (1) bersifat persaingan sepenuhnya, (2) bekerja sama bersifat persaingan, (3) saling bergabung bersifat persaingan, dan (4) saling bergabung sepenuhnya. Berikut akan ditampilkan beberapa tipe sistem kepartaian.
45
Author
Duverger
Principal Criteria for
Principal Type of Party System
Classification
Identified
Number of parties
Two parties system Multi parteis system
Dhal
Competitivness of oposition
Stricky competitive Cooperation competitive Coalscent competitive Strickly coalscent
Blondel
Number of parteis Relative Size
Tow parteis system
of parties
Tow-half-a-half parteis system Multipartaies system
Rokkan
Sartori
Numbers of parties
The british-German
Likelihood of single-party
1 vs 1 + 1 system
majorities
The Scandinavian
Distribution of minority party
1 vs 2-4 system
strength
Even multipateis system
Number of parteis
Tow parteis systems
Ideological distance
Moderate pluralism Polarized pluralism Predominant party system
Pertanyaannya kemudian adalah sistem kepartaian seperti apa yang dianggap tepat bagi bangsa Indonesia, dalam pengertian tak hanya koheren dengan pilihan terhadap sistem pemerintahan dan sistem perwakilan namun juga memberikan kontribusi bagi cita-cita, demokrasi, dan kesejahteraan rakyat. Sistem yang di anut Indoneisa saat ini adalah sistem presiden sial, maka akan lebih baik lagi jika berlaku pula sistem bikameral. Faktor sejarah, keterbelahan kultur, perpecahan politik, disparitas demografis, dan kesensitifan isu-isu mayoritas adalah variabel pentig dan perlu dipertimbangkan dalam memutuskan sistem partai mana yang paling tepat bagi Indonesia. Oleh karena itu, Model sistem multipartai sederhana dengan dua partai dominan barangkali bisa menjadi alternatif jika diasumsikan bahwa pilihan terhadap sistem pemilupun kelak akan bergerak dari sistem proporsional terbuka untuk jangka pendek dam gaungan sistem distrik proporsional untuk jangka panjang. Arah Penetapan ke Depan
46
Urgensi dalam melakukan revisi terhadap UU partai politik bukan saja merupakan satu rangka menciptakan tatanan pemerintah yang lebih efektif dan stabil, melainkan juga menghasilkan demokrasi yang lebih produktif. Partai-partai hendaknya bekerja secara terlembaga dengan tingkat fragmentasi sedang lebih diperlukan ketimbang partai-partai yang tidak selembaga. Tingkat fragmentasi partai adalah produk dari pilihan terhadap sistem pemilu. Seperti diketahui, sistem distrik cenderung menghasilkan sistem kepartaian yang jauh lebih sederhana dengan dua partai utama, sedangkan sistem proporsional senderung menghasilkan sistem multi partai. Pengurangan fragmentasi dapat dilakukan dengan koalisi dan pengaturan electoral threshold . Paling tidak melalui sistem tersebut partai lama dan partai baru dapat dipangkas sehingga sirkulasinya lebih teratur. Konsep desentralisasi juga menjadi penting, sudah saatnya pemerintah menekankan bahwa kewenangan partai harus disebar ketingkat daerah juga. Sehingga akan tercipta kemandirian dan kapasitas para elite lokal. Dengan demikian, arah revisi UU mengenai partai plolitik seharusnya mencakup (1) penyempurnaan regulasi untuk mendorong kapasitas kelembagaan, ketangguhan dst, (2) penyempurnaan regulasi yang memfasilitasi
berlangsungnya
mekanisme
kerja
sama
dan
koalisi,
(3)
penyempurnaan regulasi untuk membangun sistem multipartai dengan dua partai dominan melalui ketentuan electoral threshhold yang tinggi, (4) penyempuranan regulasi dalam rangka mengakomodasi partai-partai lokal, (5) penyempurnaan regulasi dalam rangka desentralisasi kekuasaan.
2.9 Bab 9: Desentralisasi Asimetris Solusi atau Problem?
Pada era reformasi format pemerintahan mulai terdesentralisasi kepada pemerintah daerah. Perubahan format ini mengubah relasi pemerintah dengan daerah yang sebelumnya adalah eksploratif-sentralis berubah menjadi kemitraandesentralis.
Perubahan
tersebut
juga
mengakomodasi
berbagai
tuntutan
pemerintahan yang terbuka dan demokratis. Meskipun demikian, daeraah istimewa dan daerah khusus memiliki regulasi dan pengaturan tersendiri. Pengaturan tersebut jelas memberikan keuntungan bagi daerah. Seperti DKI Jakarta, Yogyakarta, Aceh, dan Papua. Dalam implementasinya kususnya daerah
47
papua, penerapan daerah otonomi kusus nampaknya belum bisa berjalan dengan maksimal. Konflik tak berkesudahan dan berbagai ancaman lain menghambat pelaksanaan otonomi khusus tersebut. Daerah lain seperti Bali, Kaltim, dan Riau diberikan otonomi khusus dengan maksud agar daerah lebih leluasa dalam mengelola potensi alam maupun budaya yang dapat meningkatkan kemakmuran masyarakatnya. Pemberian otonomi khusus ini secara teoritis disebut sebagai desentralisasi asimetris. Desentralisasi asimetris ini merupakan konsep pemberian kewenangan pada daerah sesuai dengan potensi yang terkait dengan daerah tersebut. Namun dari hal tersebut muncul pertanyaan apakah desentralisasi asimetris lebih merupakan solusi bagi upaya peningkatan efektifitas dan kinerja pemerintahan? Atau malah sebaliknya? Dalam tulisan ini, hendak dilihat problem kebijakan desentralisasi asimetris sebagai pilihan politik dalam rangka otonomi daerah di Indonesia. Esensi Desentralisasi dan Otonomi Daerah (Otda)
Orientasi pemerintahan yang mengarah pada pola desentralisasi telah lama diungkapkan oleh Muhammad Hatta. Desentralisasi merupakan upaya tolongmenolong dalam asas kolektivitas bangsa. Namun setelah merdeka cita-cita desentralisasi
benar-benar
tidak
langsung
terwujud.
Percobaan
konsep
desentralisasi di Indonesia sudah diujicobakan sejak Soekarno memerintah sampai dengan berakhirnya kekuasaan Soeharto. Dalam percobaan tersebut banyak menghasilkan konflik-konflik yang mengancam kehidupan berbangsa dan bernegara. Namun pada era reformasi secara cepar desentralisasi mulai diberlakukan. Namun harus diingat bahwa otonomi daerah tidak akan menjanjikan keadilan dan kesejahteraan apabila agenda demokrasi di dalamnya diabaikan. Sehingga otonomi daerah tidak dapat terpisah dari agenda besar demokrasi kehidupan bangsa. Pada dasarnya cara pandang yang menempatkan desentralisasi sebagai bagian dari demokratisasilah yang secara implisit berada dibalik tujuan utama desentralisasi. Smith mengatakan bahwa tujuan desentralisasi mencakup tujuan pemerintah pusat dan pemerintah daerah serta masyarakat lokal. Sehingga Hatta mengatakan bahwa demokrasi sebenarnya memiliki sifat desentralisasi: memberi otonomi kepada golongan-gologan di bawah, dalam politik dan ekonomi.
48
Konsekuensi logis dari cara pandang tersebut adalah bahwa otonomi daerah ditempatkan sebagai instrumen demokrasi dalam rangka mempertahankan keutuhan serta keberagaman. Dalam kaitan ini, demokrasi merupakan alat bukan tujuan untuk mewujudkan cita-cita bangsa. Sehingga pemahaman lain dari demokrasi
harus
mampu
menciptakan
keadilan
dan
dan
meningkatkan
kesejahteraan masyarakat lokal. Beberapa Masalah Desentralisasi Simetris
Dalam konteks reformasi atau situasi menjelang berakhirnya orde baru terdapat 6 tuntutan yang pada dasarnya juga menjadi agenda reformasi yaitu (1) reformasi hubungan negara dan masyarakat, (2) reformasi pola distribusi dan relasi kekuasaan antara eksekutif-legislatif-yudikatif, (3) reformasi praktik penyelenggaraan negara dari negara kekuasaan menjadi negara hukum, (4) reformasi pola hubungan sipil-militer dan supermasi militer menjadi supermasi sipil, (5) sentralisasi menjadi desntralisai, (6) reformasi hubungan politik dan ekonomi dari negara pembangunan dengan ideologi pertumbuhan menjadi negara kesejahteraan. Dalam kaitanya dengan tuntutan sentralisasi ke desentralisasi setidaknya mengandung 3 masalah yaitu konstitusi, komitmen pemengku kepentingan, dan inkonsistensi kebijakan. Problem Konstitusi
Reformasi institusional melalui perubahan UUD’45 pada dasarnya merupakan upaya strategis untuk mewujudkan berbagai tuntunan reformasi. Namun hasil amandemen pada era Presiden wahid terkesan tidak konsisten dengan semangat revolusioner agenda desentralisasi dan otonomi daerah yang dianut UU No.22 Tahun 1999. UU tersebut cenderung tidak mengamanatkan secara tegas prinsip-prinsip desentralisasi. Apabila dicermati pasal 18B UUD 1945 cenderung membuka penafsiran yang lebar bagi penyusunan UU mengenai desentralisasi
dan
otonomi
daerah.
Tidak
mengeherankan
jika
prinsip
desentralisasi cenderung tidak jelas dan multi tafsir. Lebih jauh lagi para penyusun UU No. 32/2004 hanya bertolak dari hasil amandemen kedua konstitusi, dan sebagai konsekuensinya menafikan semangat amandemen pertama, ketiga, dan keempat UUD ’45 sebagai suatu keseluruhan perubahan konstitusi. Oleh karena itu, terlepas dari kebutuhan objektif akan
49
amandemen kembali konstitusi melalui amandemen kelima, semsetinya revisi atas UU No. 22/199 ditunda hingga terbentuknya DPD hasil pemilu. Sehingga dari kesalahan tersebut dapat diidentifikasi bahwa otonomi daerah seolah-olah menjadi agenda terpisah dari penegasan kembali prinsip-prinsip presidensialisme dalam pemerintahan nasional disatu pihak, dan penguatan kedaulatan rakyat dalam menentukan pemimpinya di lain pihak. Problem Komitmen Pemangku Kepentingan
Komitmen pemangku kebijakan ini merupakan faktor yang sangat menentukan bagi terlaksananya konsep desentralisasi. Namun pada kenyataanya pemerintahan daerah belum memiliki konsep yang jelas apakah seperti sistem presidensialisme atau konsep lain yang terpisah. Semestinya untuk mendukung obsesi presidensialisme di pusat, pemerintahan daerah juga harus menerapkan hal yang sama. Kepala daerah dan DPRD saling melakukan checks and balance. Sebagai konsekuensi dari pemikiran ini, maka kejelasan mengenai sistem perwakilan di daerahpun menjadi sangat penting untuk didiskusikandan kemudian disepakati garis besarnya. Seharusnya
konsep
desentralisasi
juga
dibarengi
peningkatan
kesejahteraan pada masyarakat karena kepala daerah dipilih langsung oleh rakyat semata-mata untuk meningkatkan kontrol kepemimpinan. Namun permasalahan terbesarnya adalah pada ketiadaan halauan yang pasti dan tetap sehingga otonomi daerah pun akhirnya terperangkap dalam kepentingan jangka pendek UU. Ironinya ketiadaan desai besar ini diperparah oleh 3 realitas yaitu (1) pemerintah pusat sesungguhnya tidak memiliki komitmen terhadap agenda desentralisasi dan otonomi daerah, (2) DPR sebagai representasi rakyat juga tidak memiliki komitmen penuh, (3) hampir tidak ada satupun partai politik yang benar-benar secara tulus menegakan agenda otonomi daerah. Probelm Inkonsisteni Kebijakan
Dalam konteks regulasi, problem berkaitan dengan sejumalah persoalan di antaranya lembaga legulator, format regulasi, dan ruang lingkup kebijakan otonomi daerah. Lembaga Legulator
50
Resistensi daerah seperti Aceh dan Papua, pada dasarnya bersumber pada kecenderungan cara pandang yang herarkis-dominatif, sehingga tidak ada peluang bagi daerah untuk berkembang sesuai dengan kemampuan mengembangkan kreativitas, potensi, dan keanekaragaman lokal masing-masing. Oleh karena itu, kebijakan otonomi uas bagi arah diagendakan dalam rangka penataan kembali hubungan antara pusat dan daerah ke arah yang lebih baik. Sifat dari hubungan pemerintah dan daerah pun lebih kepada kemitraan. Cara pandang baru ini diharapkan bukan hanya bisa menjamin hubungan yang bersifat kemitraan dan saling bergantung antara pusat dan daerah melainkan mejadi hubungan yang harmonis. Format Regulasi Format regulasi semestinya mengantisipasi kemungkinan munculnya ketumpangtindihan kebijakan antara UU otonomi daerah dan UU sektoral di berbagai
bidang
seperti
kehutanan, perternakan,
pertanahan,
pendidikan,
kesehatan, dan sebagainya. Dalam format otonomi daerah persoalannya adalah belum ada sinergitas diantara unsur-unsur pemerintah pusat sendiri dalam menegakan peraturan yang konsisten berkaitan dengan relasi pusat dan daerah. Isroninya tidak ada satu instansi pemerintah yang bertugas mensinergikan berbagai regulasi yang saling berkaitan satu sama lain tersebut. Ruang Lingkup Regulasi Dalam cakupan materi kebijakan otonomi daerah, paling kurang ada beberapa persoalan, yakni (1) penurunan derajat otoritas daerah otonom melalui konsep “kewenagan” menjadi “urusan”, jelas merupakan satu kemunduran karena perubahan tersebut
menggeser pendulum orientasi
otonomi daerah
dari
desentralisasi politik ke desentralisasi adminstratif, (2) perluasan pemerintahan pusat dalam pembinaan dan pengawasan terhadap daerah jelas mendistorsikan hakikat otonomi daerah itu sendiri, (3) UU No.32/2004 berdampak pada menguatnya birokratisasi demokrasi di tingkatan lokal. Penciptaan mekanisme konsultasi
DPRD kabupaten dan kota ke gubernur jelas mendistorsikan
kedaulatan Dewan yang dipilih oleh rakyat melalui pemilu demokratis, (4) UU No. 32/2004 pemerintah dan DPR mendistorsikan kembali hakikat pemerintahan daerah dan DPRD sebagai lembaga demikrasi hasil pemilu yang dilakukan secara
51
demokratis., (5) hampir semua pengaturan yang menyangkut pembagian urusan wajib baik bagi provinsi maupun kabuaten kota. Problem Implementasi Pada tingkatan implementasi, rendahnya komitmen pemerintah dan wakilwakil rakya untuk mendukung agenda desentrasisasi dan otonomi daerah yang benar-benar berpiihak kepada kepentingan rakyat berdampak pada munculnya hidden autonomy yang dinikmati oleh para elite politik. Para elite politik juga memanfaatkan pemekaran wilayah, bukan hanya sebagai mekanisme melankan sebagai proyek utntuk menciptakan kekuasaan bagi mereka, melainkan juga sebagai wadah penyaluran DAU ke daerah-daerah yang belum tentu layak menjadi daerah otonom. Desentralisasi Asimetris: Solusi?
Pada dasarnya desentralisasi asimetris merupakan satu keniscayaan. Keanekaragaman daerah-daerah secara kultural politik, dan sejarah disatu pihak dan relaitas keberagaman di pihak lain meniscayakan pelembagaan kebijakan desentralisasi yang fleksibel sesuai dengan realitas kondsi objektif dan potensi daerah. Namun, problemnya pengakuan negara atas keistimewaan suatu daerah belum tentu sepenuh hati. Misalnya pemerintah pusat di Jakarta tidak pernah menerbitkan regualsi untuk mengimplementasikan keistimewaan Aceh, bahkan hingga rezim orde baru. Realitas ini menimbulkan kekecewaan baru bagi masyarakat Aceh dan ketidakjelasan di Jakarta. Kekewewaan meningkat ketika sentralisasi politik tidak berkurang dan distribusi pendapatan tidak adil bagi Aceh, pemerintah justru mengeksplorasi gas alam cair yang dimiliki Aceh. Setelah mengalami perang memperjuangkan kemerdekaan dan bencana Tsunami 2004, Aceh akhirnya menerima format pemerintahan Aceh yang berotonomi khusu mealui nota kespahaman dengan pemerintah. Setelah otonomi khusus ini digulirkan, pemerintahan Aceh relatif stabil dan damai walaupun potensi konflik masih tetap saja terjadi. Problem Otonomi Khusus Papua
Otonomi khusus Papua nampaknya masih menjadi problem besar yang penyelesaianya membuthkan waktu dan tenaga yang besar. Secara ringkas dapat
52
dikatakan bahwa persoalan mendasar pada kegagalan otonomi khusus adalah ketidakpercayaan orang papua dengan pemerintahan pusat di Jakarta. Rasa saling tidak percaya tersebut hingga kini terus terpelihara dan semakin melembaga melaui berbagai bentuk konflik yang melibatkan berbagai pihak yang berkepentingan. Faktor yang menyebabkan otonomi khusus bagi papua mengalami hambatan adalah (1) percepatan pemekaran papua yang dilakukan oleh Megawati dan Wahid yang ditolak oleh rakyat papua, (2) Penundaan dan dan tarik ulur pembentukan Majelis Rakyat Papua (MRP) akibat kuatnya intervensi pemerintah pusat, (3) tidak ada keseriusan pemerinyah melaksanakan amanat UU otonomi khusus secara konsisten, (4) pemerintah tidak melakukan supervisi berkala, melembaga, dan konsisten terhadap implementasi kebijakan otonomi khusus, (5) masih berlangsungnya pendekatan keamanan dengan main set sparatisme dalam menyelesaikan masalah Papua. Sehingga dana sebesar 30 triliun untuk papua hanya memperbaiki tingkat kesejahteraan rakyat papua, tetapi tidak jelas pengelolaannya, peruntukan, dan akuntabilitasnya. Catatan Penutup
Pelaksanaan kebijakan otonomi daerah tidak semudah melakukan kebijakan-kebijakan lainnya. Otonomi daerah yang bersifat simsetris nampaknya masih belum menjadi solusi bagi kemajuan daerah. Otonomi simeteris cenderung menyamaratakan semua daerah tanpa memperhitungkan potensi dan daya dukung daerah masing-masing. Oleh karena itu, otonomi asimetris harus dilakukan pada semua daerah di Indonesia walaupun dalam pelaksanaannya menuali banyak masalah. Namun otonomi asimetris akan membantu daerah sesuai dengan potensi dan daya dukung masing-masing daerah.
53
BAB III ANALISIS BUKU
Dalam analisis ini, penulis akan menguraikan isi buku secara singkat kemudian akan dilakukan analisis konten berdasar intisari tiap bab. Analisis konten tersebut akan lebih mengkritisi mengenai ide-ide yang diungkapkan oleh Syamsuddin Haris. 3.1 Diskripsi Isi Buku
Munculnya era reformasi sebagai momentum bangkitnya gerakan demokrasi yang sebelumnya dihambat pada era Orde Baru, bukanlah hal yang mudah dilakukan dan dikelola dengan baik, banyak kendala yang menghadang dalam konteks keberagaman bangsa Indonesia. Hal tersebut merupakan benang merah dari buku ini. Buku setebal 234 halaman itu sangat menarik untuk dibaca karena
penulis
berusaha
menguraikan
permasalahan
seara
runtut,
yaitu
permasalahan demokrasi yang cenderung terperangkap sekadar elektoral prosedural baru kemudian mengulas masalah rapuhnya nilai-nilai kebangsaan serta keindonesiaan. Syamsuddin mulai membahas permasalahan demokrasi di Bab I yaitu mengenai sistem pemilihan di Indonesia pascareformasi. Ia menganggap bahwa reformasi merupakan jalan yang paling baik untuk memperbaiki sistem pemerintahan Indonesia. Namun seiring berjalannya praktek pemerintahan mimpi demokrasi seakan menguap besarta masalah-masalah yang melanda negeri ini. Dia mempertanyakan berbagai praktek politik transaksional yang melanda para elite politik yang menjadi benteng terdepan dalam menegakan demokrasi. Selain itu korupsi yang marak dilakukan oleh jaksa, hakim, aparat keamanan juga memperburuk kondisi hukum di negeri ini. Selain itu dalam masalah politik, Syamsuddin memberikan analisis kritisnya mengenai pelaksanaan sistem presidensial di Indonesia, tepatnya pasca amandemen keempat Undang-Undang Dasar 1945 yang menempatkan presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan. Dalam hal ini, Ia menilai konstitusi hasil amandemen itu melembagakan pemisahan kekuasaan antara presiden dan parlemen, pemberian kekuasaan presiden, pemilihan langsung presiden oleh rakyat, dan likuidasi supremasi Majelis Permusyawaratan Rakyat
54
(MPR). Syamsuddin juga memberikan penjelasan mengenai berbagai kelebihan dan kelemahan penerapan sistem presidensial di Indonesia. Secara khusus Syamsuddin juga menguraikan berbagai problema penerapan sistem presidensial yang bercampur dengan format multipartai di era Presiden
Susilo
Bambang
Yudhoyono
dan
dinilainya
tidak
membuat
pemerintahan Presiden Yudhoyono dalam 10 tahun terakhir berjalan efektif. Dia mengkritisi berjalannya sistem presidensial dengan multipartai yang dijalankan Presiden Yudhoyono selama 10 tahun, yaitu sejak 2004 hingga 2014 di mana hanya kepentingan jangka pendek yang menjadi tujuan sehingga koalisi menjadi sangat rapuh. Pembahasan mengenai sistem presidensial tersebut dapat menjadi bahan analisis mengenai kondisi politik kekinian terkait polarisasi kekuatan politik yaitu Koalisi Indonesia Hebat yang memenangkan pemilu presiden, dan Koalisi Merah Putih yang berhasil menguasai legislatif. Salah satu bahasannya Syamsuddin
mengetengahkan
bagaimana
Presiden
Abdurahman
Wahid
dilengserkan oleh legislatif karena posisinya ketika itu dilantik oleh MPR, karena saat itu konstitusi belum diubah menjadi presiden dipilih rakyat. Sementara itu, dalam masalah kebangsaan, Syamsuddin menyoroti paham pluralisme dan keindonesiaan di dalam kehidupan demokrasi Indonesia. Dia menyontoi masih adanya konflik horizontal di dalam masyarakat seperti di Papua, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Maluku, dan Sulawesi Tengah. Dalam kaitan itu Syamsuddin mencoba menuliskan dan menjabarkan pencarian identitas kebangsaan Indonesia sejak awal abad ke-20 dipandang sebagai upaya mentransformasikan bentuk nasionalisme dari nasionalisme kultural menjadi nasionalisme politik. Syamsuddin ingin menekankan bahwa format nasionalisme yang mendasari negara-bangsa Indonesia sebagian besar diinspirasikan oleh kebutuhan akan modernitas dan liberalisasi lebih lagi bagi sub-bangsa di Indonesia.
Penjelasan
tersebut
menarik
untuk
disimak
pembaca
karena
Syamsuddin menjelaskannya dengan runut dari sisi historis terbentuknya nasionalisme dalam keberagaman hingga analisisnya dengan menggunakan analisis dari beberapa pakar. Masih terkait denggan masalah kebangsaan, Syamsuddin juga membahas secara khusus mengenai masalah Islam dan keindonesiaan yang terjadi pasca
55
Soeharto dengan pernyataan menarik bahwa demokratisasi juga membuka peluang bangkitnya primordialisme dan ikatan-ikatan lokal serta cenderung mengesampingkan konsep inklusifitas atas dasar nama agama, etnik, daerah maupun hubungan darah. Namun tentu saja demokratisasi disisi lain juga membuka peluang bagi kemunculan dan menguatnya nilai-nilai universal seperti pluralisme, toleransi, dan inklusifitas. Dalam kaitan Islam dan keindonesiaan tersebut, Syamsuddin mengetengahkan eksistensi keberadaan partai berbasis massa dan ideologi Islam di Indonesia yang tumbuh subur sejak era reformasi. Selain dari masa reformasi ia juga membahas sejarah bagaimana Islam, sebagai ideologi gerakan, berperan serta dalam sistem politik dan negara Indonesia. Ia juga menekankan bahwa banyak gerakan Islam yang radikal dan cenderung anti demokrasi. Hal ini menjadi kritik bagi pemerintah untuk semakin mengakomodasi kelompok-kelopok minoritas agar tindakan anarki tidak terulang kembali. Pada bagian selanjutnya Syamsuddin Haris membahas mengenai sistem kepartaian di Indonesia ia meninjau lemahnya regulasi mengenai kepartaian yang menyebabkan partai bukan tampil sebagai solusi melainkan beban bagi pemerintah. Selain itu, banyak partai yang masih mengejar rente daripada mengkaji kebijakan-kebijakan publik di Indonesia. Maka dari itu, ia menyarankan harus ada pengaturan ulang pada sistem kepartaian di Indoneisa. Melalui regulasi ulang mengenai sistem kepartaian ini diharapkan ada kontrol dari semua pihak atas hadirnya partai yang berkualitas. Pada bagian terakhir ia membahas mengenai konsep desentralisasi atau otonomi daerah. Ia menguraikan perkembangan konsep desentralisasi mulai dari wacana oleh para pendiri bangsa, masa orde baru yang merupakan masa suram dalam wacana desentralisasi, hingga era otonomi daerah. Ia menekankan bahwa dalam era otonomi daerah juga banyak menuai masalah. Terutama yang ia soroti bahwa konsep desentralisasi simetris yang menempatkan semua daerah sama bukanlah solusi yang efektif. Sehingga desentralisasi asimetris diperlukan untuk memajukan daerah-daerah di Indonesia. Walaupun Syamsuddin sendiri masih menyangsikan masalah desentralisasi asimetris di papua.
56
3.2 Analisis Isi Buku
Secara umum buku ini sangatlah bagus untuk dibaca sebagai salah satu wahana membangun dan menumbuhkan pemikiran kritis bagi para pembaca. Pembaca diajak untuk melihat sisi lain dari prakterk demokrasi dan kebangsaan di Indonesia
secara
mendalam.
Syamsuddin
menguraikan
secara
terperinci
permasalahan yang dialami oleh bangsa indonesia. Misalnya pada masalah kebangsaan dimana ia menempatkan negara sebagai satu institusi yang gagal dalam mengelola keberagaman. Hal itu terlihat dari para aktor politik yang menampilkan tingkah laku yang cenderung mereduksi keberagaman bangsa. Hal yang selama ini dipandang baik-baik saja ternyata dimata Syamsuddin mengandung ancaman serius bagi masa depan bangsa. Misalnya partai politik yang berkembang dewasa ini cenderung mencari rating ketimbang mengkritisi kebijakan. Hal-hal seperti ini akan mendorong pembaca agar semakin cerdas dalam mengikuti ataupun berpartisipasi dalam proses politik di negeri ini. Masyarakat menengah yang cenderung sudah memiliki tingkat kedewasaan yang cukup merupakan massa yang efektif untuk membangun kedewasaan berpolitik. Karena masyarakat kelas mengenengah adalah bagian terbesar dari negeri ini. Bahasa yang digunakan dalam buku ini adalah bahasa yang cenderung konseptual dan cenderung tidak terlalu lugas. Sehingga pembaca sebaiknya memiliki bekal pengetahuan yang cukup untuk dapat dengan cepat memahami apa yang ingin disampaikan oleh penulis. Namun, pembaca yang kurang familiar dengan politik akan terbantu dengan berbagai catatan kaki yang tersedia dalam buku ini. Alur penyajian materinya pun sangat bagus. Sebagaian besar masalah selalu dirunut dari perspektif historis hingga kekinian sehingga nampak jelas dinamika bangsa hingga sampai pada masalah yang ingin dikemukakan oleh Syamsuddin. Dalam hal konten dan bobot materi, nampaknya buku ini terlalu sepihak untuk mengatakan bahwa satu hal dapat dikatakan demikian. Kadang kala penulis tidak membandingkan dengan pendapat lain atau membuktikan dengan data bahwa yang ia katakan adalah benar sebagai suatu masalah. Misalnya bahwa substansi amandemen UUD ’45 tidak koheren dan inkonsisten dengan kebutuhan pembentukan sistem presidensialisme yang kuat dan efektif. Pernyataan contoh di
57
atas tidak ada bukti yang kuat dan dapat dipercaya sehingga membuat sangsi para pembaca. Dalam permasalahan mengenai kebangsaan. Nampaknya Syamsudin kurang mendalam dalam menyajikan masalah-masalah yang berkaitan dengan dengan masalah kesukuan, ras, dan agama. Ia hanya meninjau masalah-masalah ini dari sudut pandang politik semata. Ia cenderung menempatkan para pemangku jabatan sebagai pihak yang seharusnya paling bertanggung jawab. Tidak ada dalam tulisanya untuk mengajak pembaca menyadari diri dan berefleksi untuk meningkatkan rasa kebangsaan dan nasionalisme. Sehingga nampaknya analisis yang dilakukan syamsudin tidak menyentuh pada akar permasalahan mengenai pluralisme, multikulturalisme. Solusi yang ditawarkanpun bersifat politis dan sangat sulit untuk diaplikasikan dalam kebidupan sehari-hari. Buku terbitan Yayasan Obor Indonesia itu tentu saja tidak cukup untuk mengurai secara rinci permasalahan demokrasi dan kebangsaan Indonesia, karena masih ada yang belum dibahas misalnya mengenai eksistensi peran perempuan dalam perpolitikan nasional, bagaimana kuota 30 persen perempuan di parlemen tidak sekedar secara kuantitas namun kualitas. Dalam konteks kebangsaan, peran perempuan tidak bisa dipandang sebelah mata, misalnya gerakan buruh sebagai elemen munculnya demokratisi ada yang dimobilisir kaum perempuan. Selain itu hal yang perlu dicermati adalah upaya memundurkan format demokrasi melalui pembuatan undang-undang yang jauh dari prinsip kedaulatan rakyat yaitu disahkannya Undang-Undang nomor 22 tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (UU Pilkada) yang isinya pemilihan kepala daerah dilakukan oleh DPRD. Secara prinsip format pemilihan kepala daerah ingin dikembalikan seperti era orde baru, dan hal ini menjadi salah satu masalah dalam sistem demokrasi di Indonesia. Sehingga saran Syamsuddin dapat menjadi masukan yang berharga bagi pemerintah. Buku karya Syamsuddin Haris itu bisa menjadi catatan bahwa demokrasi yang sudah menjadi pilihan bangsa Indonesia tidak boleh mundur dalam pelaksanaannya dan permasalahan yang ada di dalamnya harus terus diperbaiki bukan justru menggugat bahkan menganulir penerapan sistem demokrasi itu sendiri. Intinya, demokrasi yang sudah berjalan saat ini jangan sampai berbalik
58
dan membawa bangsa Indonesia dalam skema oligarki politik yang saat ini cederung tumbuh subur, terutama dalam partai politik yang merupakan salah satu pilar dari demokrasi itu sendiri. Secara umum buku ini cocok dibaca oleh para akademisi, politisi, dan para kritikus bangsa.
Hal itu dikarenakan gaya bahasa dan alur berfikir yang
ditampilkan oleh penulis membutuhkan cakupan pengetahuan yang cukup untuk bisa memahaminya. Selain itu, istilah-istilahnya juga kadang belum familiar dikalangan pembaca pemula. Dalam kaitan dengan solusi yang dikemukakan oleh Syamsuddin, nampaknya belum mencapai prinsip proporsionalitas yang ideal. Penulis mengemukakan permasalahan dengan panjang dan lebar pada tiap bagian bab. Namun, pada bagian penutup solusi yang ditawarkan hanya berkisar pada solusi klasik. Yang lebih membingungkan pembaca, solusi yang cenderung bersifat klasik ini tidak disertai dengan hal-hal praktis yang aplikaif. Misalanya bagaimana cara bekerjasama yang baik, berdialog yang dewasa, dan beberapa contoh lainnya. Terlepas dari kekurangan buku dan penyajian materi yang ditampilkan oleh penulis, buku ini sangatlah cocok dengan kondisi masyarakat Indonesia saat ini. Pembaca diajak untuk menyadari masalah-masalah yang berkaitan dengan demokrasi. Bermula dari hal tersebut, selanjutnya juga pembaca diajak untuk menjadi warga negara yang sadar akan demokrasi dan bagaimana menyikapinya secara dewasa.
59
View more...
Comments