Rekonsepsi Ekonomi Islam - Al-Iqtishad

November 21, 2017 | Author: Ahmad Aly | Category: N/A
Share Embed Donate


Short Description

Konsepsi Ulang Ekonomi Islam...

Description

R

ekonsepsi Ekonomi Islam Ahmad Aly Alboub

1

R

ekonsepsi Ekonomi Islam Ahmad Aly Alboub

2017

Rekonsepsi Ekonomi Islam Versi e-book, Juni 2017 Author: Ahmad Aly Alboub, SE.I Email: [email protected]

ii

Tulisan ini aku dedikasikan untuk kedua orang tuaku, Untuk agama Islam yang aku cintai dan ummat Islam, Terimakasih untuk orang-orang yang terlibat bagi mungkinnya tulisan buku ini terwujud yang tidak dapat disebut satu persatu, yang telah berkontribusi baik langsung ataupun tidak langsung, semoga Allah membalas dengan balasan yang baik

iii

KATA PENGANTAR Alhamdulillahi Rabbil Alamin Shalawat serta salam semoga tercurahkan kepada Baginda Nabi Muhammad shalallahu alaihi wa salam.

Tulisan ini adalah hasil refleksi penulis yang memposisikan diri sebagai seorang pelajar atas sampaian, ceramah-ceramah, buku-buku, ide, pemikiran dan gagasan dari seorang Syaikh, Ulama-Cendekia, filsuf dan pemikir Islam kontemporer, Imran Nazar Hosein, seorang syeikh kelahiran Trinidad, West Indies 1942. Beliau adalah murid dari seorang Syaikh Sufi Maulana Dr. Muhammad Fazlur Rahman Anshari (Al-Qaderi) yang mana beliau telah menempuhi kesarjanaan di Aleemiyyah Institute of Islamic Studies, Karachi, dan International Relation di Univerisiti West Indies, Trinidad dan Graduate Institut of International Studies, Geneva, Switzerland. Selepas 1985 beliau telah meletakkan jawatannya yaitu sebagai pegawai hubungan luar negri di Trinidad dan Tobago untuk berdedikasi menumpukan kehidupan untuk tujuan Islam (Islamic Mission), kemudian beliau dilantik menjabat Prinsipal Aleemiyah Institut of Islamic Studies, Pakistan (1988), berhijrah ke Amerika Serikat untuk ditunjuk dan dilantik sebagai Pengarah Institute for Islamic Education and Research di Miami-Florida, bekerja di New York sebagai Pengarah Islamic Studies for Joint Comittee of Muslim Organization of Greater New York dan Pengarah Islamic Community of the United Nation di Badan Persatuan Bangsa-Bangsa (UN) di Manhattan, New York, di mana beliau mengetuai sholat Jumaat sekali dalam sebulan selama enam tahun. Pada Desember 1996 beliau telah dilantik oleh Dr. Israr Ahmad sebagai Pengarah Da‟wah kepada Tanzeem-e-Islami Amerika Utara, dan beliau telah banyak pula menjelajah untuk dakwah Islam, melawat ke Asia Tenggara sebanyak tujuh kali dari tahun 1988. “Islam and Buddhism in the Modern World” (1972) adalah salah satu bukunya dalam studi perbandingan agama. Karya-karya beliau mengenai Islam dan Hubungan Antarbangsa di antaranya yaitu “Diplomacy in Islam – An Analysis of the Treaty of Hudaibiyah”, dan koleksi tulisan-tulisan beliau telah diterbitkan di Singapura pada tahun 1991 dibawah tajuk “Islamic and the Changing World Order”. Beliau juga menulis buku semenjak tahun 1997 yang ditujukan untuk mengenang gurunya Dr. Anshari, yang dituliskan ke dalam buku-buku „Serial Memori Anshari‟, di antaranya: “The Importance of the Prohibition of Riba In Islam”, “The Prohibition of Riba in the Quran and Sunnah”, “The Religion of Abraham and the State of Israel - A View from the Qur‟an”, “The Chaliphate, the Hejaz and the Saudi-Wahhabi Nation-State”, dan “One Jama‟at at One Ameer – The Organization of a Muslim Community in the Age of Fitan”, “Suratul Kahf and the Modern Age”, “An Islamic View of the Return of Jesus”, “Jerusalem in the Qur‟an”, “Iqbal and Pakistan‟s Moment of Truth”, “Explaining Israel‟s Mysterious Imperial Agenda”, “Madina Returns to Center-State in Akhir al-Zaman”, “From iv

Jesus the True Messiah to Dajjal the False Messiah”, “An Introduction to Methodology for Study of the Quran” dan lain-lainnya. Dalam pengamatan penulis beliau telah cukup banyak menguasai wawasan keilmuan baik ilmu dien maupun ilmu keduniaan khususnya dalam bidang sosial, politik, ekonomi, religi, hubungan internasional, yang terkenal dalam memberikan analisis mengenai cabang disiplin studi Eskatologi Islam atau Ilmu Akhiruzzaman, yakni merangkai peristiwa kejadian dan kajian politik, sosial, ekonomi, religi, yang terjadi pada hari ini kaitannya dengan petunjuk Qurani dan Ahadits yang merefleksikan kebenaran nubuwwah Nabi Muhammad Shallalahu Alaihi Wasalam. Semoga ilmu beliau dan gurunya Maulana Dr. Fazlur Rahman Anshari diberkahi Allah dan rahmat Allah atas mereka berdua. Berdasarkan apa yang telah dipelajari penulis dari sampaian dan upaya Syaikh Imran Hosein selama satu atau dua dekade terakhir (semoga Allah memberkati upayanya), realiti praktek sosial, politik, ekonomi yang terjadi pada zaman modern ini, rupanya amat-amat miris dan memprihatinkan yang sangat amat jauh dari pada apa yang seharusnya menjadi panduan pegangan muslim yang utama yaitu AlQuran dan Sunnah Nabi Muhammad ‫ز‬, yang terjadi dalam skala besar (makro) maupun skala kecil (mikro). Oleh karena itu tulisan ini hanyalah sedikit upaya yang miskin dari penulis untuk mencari jalan keluar atas persoalan. Bila kiranya ada cacat dalam tulisan ini hendaknya diabaikan atau diberi kritik, namun bila ada kebenarannya maka barangkali boleh menjadi jalan kita bersama untuk mencari jalan keluar secara bersama-sama atas masalah, bila masalah itu telah menimpa kita sebagai manusia secara umumnya dan ummat muslim khususnya pada hari ini. Adapun pada akhirnya kebenaran adalah semata-mata milik Allah, kebenaran datangnya hanya dari Allah. Siapa yang dikehendakiNya sesat maka tiada sesiapapun yang dapat memberi petunjuknya, siapa yang dikehendakiNya petunjuk maka tiada sesiapapun yang dapat menyesatkannya. Semoga Allah selalu memberikan petunjuk hidayahNya. Amiin. Di Bumi Allah, Syawal 1438/Juni 2017

Seorang yang faqir

v

I PENDAHULUAN II LANDASAN III PASAR IV PERSERIKATAN V PERAN KHALIFAH VI SISTEM KEUANGAN VII KONSEPSI KEUANGAN PUBLIK ISLAM VIII BAYTULMAL IX PERMODALAN X TABUNGAN DAN INVESTASI XI EKONOMI MAKRO XII IDEOLOGI XIII KOMPETISI XIV KESIMPULAN

vi

DAFTAR ISI KATA PENGANTAR IV DAFTAR ISI VII 1 PENDAHULUAN 1 1.1 Ekonomi 1 1.2 Ekonomi Dalam Filosofi Barat-Modern 5 1.3 Ekonomi Dalam Filosofi Islam 10 1.4 Sistem Ekonomi: Barat-Modern vs Islam 21

2 LANDASAN 28 2.1 Epistimologi Islam 28 2.2 Metodologi Ilmiah Islam 38 2.3 Pandangan Alam Wujud Islam 64 2.4 Implikasi Pandangan Alam Wujud Islam Terhadap Kehidupan Dunia dan Kegiatan Ekonomi 72

3 PASAR 74 3.1 Efisiensi Pasar 74 3.2 Mekanisme Pasar 76 3.3 Pasar Di Dalam Islam 78

4 PERSERIKATAN 84 4.1 Efisiensi Perserikatan 84 4.2 Mekanisme Perserikatan 85 4.3 Perserikatan Di Dalam Islam 86

5 PERAN KHALIFAH 89 5.1 Khalifah 89 5.2 Peran Khalifah di Dalam Ekonomi 90 5.3 Peran Khalifah di Luar Ekonomi 91 5.4 Kedaulatan Khalifah 93

6 SISTEM KEUANGAN 95 6.1 Sistem Keuangan Modern 95 6.2 Sistem Keuangan Islam 106

7 KONSEPSI KEUANGAN PUBLIK ISLAM 112 7.1 Dua Syariat Muammalah Terbesar 112 7.2 Lawan Dari Riba Adalah Sedekah 113 7.3 Dilematika Pelarangan Riba 114 7.4 Sifat Strategis Sedekah Terhadap Riba 115 7.5 Dilematika Penerapan Qardh-Hasan 118 7.6 Penerapan Qardh-Hasan Yang Memungkinkan 121

vii

8 BAYTULMAL 125 8.1 Baytulmal 125 8.2 Sistem Perpajakan Islam 125 8.3 Sedekah 126 8.4 Perpajakan dalam Tradisi Islam 127 8.5 Perolehan dan Penyaluran Keuangan Baytulmal 130 8.6 Infrastruktur 131 8.7 Inisiatif (Ijtihadiyyah) Infaq-Wajib 132 8.8 Inisiatif (Ijtihadiyyah) Sistem Hitung dan Pemungutan Zakat 136 8.9 Kategorisasi, Alokasi dan Distribusi Baytulmal 143

9 PERMODALAN 145 9.1 Pasar Modal dan Pasar Keuangan 145 9.2 Bank dan Bank Islam 149 9.3 Baytusysyirkah 156 9.4 Infrastruktur Keuangan 159

10 TABUNGAN DAN INVESTASI 162 10.1 Tabungan dan Investasi 162 10.2 Tabungan Dalam Islam 165 10.3 Investasi Dalam Islam 167 10.4 Pinjaman dalam Islam 168

11 EKONOMI MAKRO: KONTROL KEBIJAKAN DAN PEMBANGUNAN 169 11.1 Kebijakan dan Kontrol Baytulmal 169 11.2 Kebijakan dan Kontrol Infastruktur Keuangan; Dana Qardh 172 11.3 Tahap-Tahap Lepas Landas Ekonomi 173

12 IDEOLOGI 178 12.1 Ideologi Ekonomi Islam vs Ideologi Ekonomi Sekuler 178

13 KOMPETISI 180 13.1 Kompetisi Ekonomi Dalam Paham Sekuler-Liberalis 180 13.2 Kompetisi Ekonomi Dalam Paham Islam 180

14 KESIMPULAN 182 14.1 Konsepsi Ekonomi Islam 182 14.2 Prinsip-Prinsip Ekonomi Islam 184 14.3 Rumusan Ekonomi Islam 185

REFERENSI DAN BAHAN BACAAN 190

viii

Alhamdulillahi rabbil-alamin Assholatu wassalamu „ala asyrafil anbiya-i wal mursalin A‟udzubillahi minasy-syaithanir-rajim Bismillahirrahmanirrahim

I

PENDAHULUAN I.I

Ekonomi

S

ebelum kita memasuki kepada bab-bab yang lainnya untuk mengkaji ilmu atau konsep mengenai ekonomi, terlebih dahulu kita ingin tahu; apa itu ekonomi? Perihal apakah ekonomi itu? Apa pengertian yang paling mudah, paling umum dan mendasar dari ekonomi? Serta gambaran umum dari sesuatu yang disebut sebagai „ekonomi‟? Sebagai jawaban langsung pertanyaan ini, barangkali pengertian yang paling mudah, yang paling umum dan mendasar, bila digambarkan dengan kalimat yang singkat, ekonomi adalah; „kegiatan manusia dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup‟. Apa yang menjadi inti persoalan dan mendasar dari ekonomi adalah urusan mengenai „kebutuhan hidup manusia‟, itu lah yang paling utama dari subjek kajian ekonomi, bila kebutuhan hidup sudah terpenuhi maka kiranya ekonomi itu sudah tuntas masalahnya, sudah beres, tidak ada lagi yang perlu dipersoalkan; ekonomi sudah mencapai „tujuan‟-nya. Oleh karena itu, bila tidak ada kebutuhan hidup tidak ada ekonomi, bila ada kebutuhan hidup maka ada ekonomi. Semenjak manusia pertama hidup di muka bumi – Adam alaihissalam –, manusia memang diciptakan Allah sebagai makhluk yang berkebutuhan hidup, maka keberadaan ekonomi menjadi wajib sebagai konsekuensi dari adanya kebutuhan hidup manusia. Persoalan ekonomi tidak bisa diabaikan dan sudah menyatu dengan diri manusia itu sendiri, agama juga tidak bisa mengabaikan persoalan ini, ekonomi itu sendiri tidak bisa dibiarkan bebas tanpa panduan moral, dibebaskan dari panduan moral, Allah telah menurunkan kitab untuk menerangkan hukumNya kepada manusia, agar manusia mengambil pelajaran dan hikmah dari 1

padanya, menjadikannya panduan moral praktis; untuk berbuat yang benar dan menjauhi kerugian dan kecelakaan (di dunia dan di akhirat). Kita bisa mengetahui asal-usul adanya ekonomi karena ada „kebutuhan hidup‟ manusia, dengan demikian akar masalah ekonomi itu awal mulanya ada pada manusia. Manusia sebagaimana adanya secara lahiriahnya, adalah makhluk yang tidak bisa hidup kecuali ia diberi dan dipenuhi pemenuh kebutuhannya. Apabila kebutuhan hidup manusia tidak dipenuhi maka (eksistensi) manusia itu menjadi lemah dan akhirnya punah (mati). Bila Allah menciptakan manusia sebagai makhluk yang berkebutuhan hidup, tentu saja Allah tidak bermaksud untuk mem-punah kan manusia karena manusia ada tugas yang perlu ditunaikan, Allah tidak membiarkan penciptaan manusia begitu saja berdiri sendiri tanpa ada sumber pemenuh kebutuhannya. Bumi di sisi lain Allah ciptakan merupakan pelengkap bagi (lahiriah) manusia. Bumi dan manusia ibarat dua kutub yang saling melengkapi, tanpa ada salah satunya tidak berarti apaapa. Dengan kata lain, masalah (mendasar) yang ada pada diri manusia itu sebetulnya solusinya sudah ada di hadapan mata; di mana bumi sebagai sumber pemenuh kebutuhan manusia. Setelah kita memperoleh pengertian singkat dan umum dari ekonomi, kita perlu mengetahui gambaran yang lebih besar secara umum dari „kegiatan manusia dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup‟ itu sendiri. Kira-kira apa saja yang mencakup dari „kegiatan manusia‟ yang dimaksud tersebut. Sebagaimana yang kita ketahui, bumi adalah sumber pemenuh kebutuhan manusia, segala sesuatu yang dibutuhkan manusia bersumber dari bumi (sandang, pangan, papan, material, mineral dan lainlainya). Hanya masalahnya bumi yang mentah itu harus diolah untuk mengadakan barang-barang kebutuhan hidup. Untuk meng‟ada‟kan barang-barang kebutuhan hidup itu manusia harus meng-ekstraksi dan mengolah sumber daya-sumber daya yang ada di bumi; tanah, air, laut, udara, sehingga barang-barang (dan jasa-jasa) bisa berfungsi sebagai pemenuh kebutuhan hidup manusia, kegiatan ini disebut dengan kegiatan „produksi‟. Pada dasarnya kegiatan memenuhi kebutuhan hidup itu bisa dicapai hanya dengan pola yang paling sederhana; produksi-konsumi; manusia memproduksi barang-barang kebutuhan hidupnya kemudian manusia mengkonsumsinya – konsumsi; memanfaatkan harta hingga harta itu berkurang hingga pada akhirnya musnah –. Dalam „kegiatan memenuhi kebutuhan hidup‟ „konsumsi‟ bisa dianggap sebagai kegiatan paling akhir atau final, yang menandakan pencapaian tujuan yang paling mendasar dari ekonomi; yaitu memenuhi kebutuhan hidup. Akan tetapi, lebih lanjut kegiatan ekonomi itu tidak sesederhana produksi lalu konsumsi. Di tengah-tengah, di antara kegiatan produksi dan konsumsi ada serangkaian kegiatan-kegiatan lainnya. Yang menjadi faktor persoalannya; pertama; 2

manusia adalah makhluk ijtima‟i (makhluk sosial), kedua; manusia tidak hanya memiliki satu jenis barang (atau jasa) kebutuhan hidup; ada kebutuhan pangan; kebutuhan sandang; kebutuhan material; kebutuhan alat dan perkakas; dan kebutuhan-kebutuhan lainnya. Bila satu orang manusia memproduksi seluruh barang-barang (atau jasa-jasa) kebutuhan hidup itu sendirian niscaya tidak akan memiliki waktu yang cukup dalam memenuhi kebutuhan hidup yang selalu bermunculan secara rutin, ini bisa menyebabkan banyak pekerjaan-pekerjaan terbengkalai dan tidak tercapainya beberapa macam kebutuhan hidup, kehidupan seperti ini amat susah dan melarat. Oleh karena itu, manusia bekerja secara jama‟i, dan bila manusia bekerja secara jama‟i; maka perlu ada distribusi dan pembagian jatah yang adil dan sesuai dengan kontribusinya bagi kegiatan ekonomi yang ijtima‟i tersebut. Kegiatan distribusi ini secara alaminya terjadi lewat aktivitas „pertukaran‟ (dalam pasar dan perserikatan), di sisi lain peran pemerintah juga bisa membantu distribusi yang merata dan adil lewat kuasa keuangan publiknya (lihat Bab 8: Baytulmal). Pertukaran merupakan kegiatan ekonomi yang fitrah-alami, pertukaran menjadi solusi paling efektif dan efisien untuk mengatasi hambatan-hambatan dan masalah dari beragam kebutuhan yang tak sempat diproduksi oleh masing-masing pelaku ekonomi. Dengan pertukaran, memungkinkan satu orang manusia hanya memproduksi barang khusus dan spesifik berdasarkan kemampuan dan kapasitas produksinya, kemudian dari satu jenis barang yang diproduksinya bisa dipertukarkan di pasar menjadi berbagai macam dari semua jenis barang-barang kebutuhan hidup yang ia perlukan. Oleh karena itu, sekarang kita akan memiliki gambaran bahwa di antara kegiatan produksi dan konsumsi ada berbagai macam ragam bentuk pertukaran atau transaksi-transaksi ekonomi; dari keuangan, barangbarang dan jasa-jasa kebutuhan hidup, dan kegiatan ini lebih besar dan luas di dalam kegiatan ekonomi. Gambaran lebih lanjut, di antara persoalan „kebutuhan hidup‟ di samping kebutuhan hidup manusia yang beragam, selain itu ialah; pertama; kebutuhan hidup manusia dalam dimensi waktu tidak hanya kebutuhan hidup itu ada di saat sekarang, tetapi kebutuhan hidup juga ada di masa depan, kedua; barang-barang (atau jasa-jasa) itu seringkali tidak ada saat dibutuhkan dan ada saat tidak dibutuhkan. Maka dari itu solusi dari persoalan ini manusia perlu manajemen waktu dan jadwal; baik itu menyegerakan pemanfaatan harta/konsumsi (dengan pinjaman) atau menangguhkan pemanfaatan harta/konsumsi (dengan menabung). Kegiatan menyegerakan pemanfaatan harta/konsumsi biasanya dicapai lewat mencari bantuan pinjaman, sedangkan kegiatan menangguhkan pemanfaatan harta/konsumsi dicapai lewat kegiatan menyimpan harta atau menabung. Oleh karena itu, „pinjam-meminjam‟ dan „tabungan‟ juga termasuk fenomena kegiatan ekonomi. Termasuk dari pada strategi manusia untuk memastikan kebutuhan di 3

masa depan tetap terpenuhi dan supaya eksistensi kehidupan manusia tetap berkelanjutan, selain itu pemanfaatan harta tidak hanya dimanfaatkan untuk kebutuhan di masa sekarang (konsumtif), tetapi juga sebagian alokasi harta manusia dimanfaatkan untuk konsumsi produktif, ini disebut kegiatan „investasi‟. Dengan seperti itu maka kegiatan konsumsi akan terus terjamin sepanjang waktu ke depan dan objektif ekonomi yaitu; pemenuhan kebutuhan hidup, bisa terus terpenuhi. Berdasarkan ini maka gambaran umum dari ekonomi itu yaitu; „kegiatan manusia dalam rangka pemenuhan kebutuhan hidup‟ itu kurang lebihnya akan mencakup kegiatan-kegiatan; (1) produksi, (2) transaksi/pertukaran, (3) tabungan/simpanan dan pinjaman, (4) investasi, (5) konsumsi. Kesemuanya berangkaian satu sama lainnya sebagai kegiatan ekonomi. Lebih lanjut lagi, pengertian dan pemaknaan ekonomi pada akhirnya tidak lagi dimaknai sesuai pemaknaan mendasarnya; „kegiatan manusia dalam memenuhi kebutuhan hidup‟. „Kebutuhan hidup‟ itu sendiri maknanya menjadi meluas tergantung pada faham/filosofi dan ideologinya. „kebutuhan hidup‟ maknanya berkembang menjadi „tujuan hidup‟ atau „tujuan hidup‟ itu sendiri boleh lah dikatakan juga „kebutuhan hidup‟, maka ekonomi sekarang juga bisa berarti „kegiatan manusia (menggunakan sumber daya yang ada; sda, sdm, sdu) untuk mencapai tujuan kehidupan‟. Dalam pengertian ini maka ekonomi diartikan berdasarkan filosofi dan ideologi. Kenyataannya memang ekonomi tidak lagi digunakan untuk mencapai „pemenuhan kebutuhan hidup‟ semata, tetapi lebih jauh dari pada itu ekonomi digunakan untuk mencapai „tujuan kehidupan‟ sesuai dengan ideologinya masingmasing yang dianut manusia-manusianya. Tujuan dan cita-cita kehidupan tergambar di dalam konsepsi ideologi – ideologi boleh kita artikan sebagai; ide-ide yang menjadi tujuan kehidupan dan metode/cara/jalan yang ditempuh untuk mencapai tujuan tersebut –. Ekonomi menjadi alat praktis untuk tujuan kehidupan – dan kenyataannya ekonomi tidak pernah lepas dari filosofi (cara berpikirnya) dan ideologinya (ide tujuan hidupnya) –, cara berekonomi ditentukan oleh ideologinya, seringkali kita menyebut „sistem ekonomi‟ atau kadang disederhanakan menjadi „ekonomi‟ saja. Misalnya, sistem ekonomi liberaliskapitalis, sistem ekonomi sosialis-komunis, sistem ekonomi islam. Lalu apa pula yang dimaksud „sistem ekonomi‟? boleh kita artikan sistem ekonomi adalah cara kerja ekonomi; kegiatan ekonomi itu sendiri serta seperangkat alat/instrumen, mekanisme, institusi yang mendukungnya (menyokong kegiatan ekonomi tersebut). Misalnya; pasar di dalam ekonomi dilihat sebagai institusi yang menjalankan mekanisme pasar; sebagai media atau wadah kegiatan pertukaran/transaksi, pemerintah dan fiskalnya di dalam ekonomi dilihat sebagai institusi yang menjalankan mekanisme alokasi dan distribusi, bank sentral dan 4

sistem moneternya di dalam ekonomi dilihat sebagai institusi yang berperan untuk menjaga stabilitasi ekonomi berkaitan dengan kenaikan harga-harga (inflasi). Oleh karena itu, secara gambaran besarnya kata „ekonomi‟ merangkum atau mencakup „kegiatan-kegiatannya‟ (seperti; produksi, pertukaran/transaksi, konsumsi, investasi, tabungan, pinjaman dan lain-lain), juga „ideologinya‟ dan „sistem‟nya. Kesemuanya ditentukan oleh filosofi yang mendasarinya, itulah yang akan membedakan satu ekonomi (sistem ekonomi) dengan ekonomi yang lainnya. Tentu saja ekonomi islam yang dilandasi filosofi (hikamiyyah) iman-islam yang sejati dan ekonomi modern yang dilandasi filosofi rasionalis-empiris-positifmaterialis-sekuler ala barat-modern, memiliki pandangan yang berbeda dan konsekuensinya melahirkan sistem ekonomi yang berbeda pula. I.II

Ekonomi Dalam Filosofi Barat-Modern Asal usul istilah atau bahasa „ekonomi‟ dilahirkan alam pemikiran peradaban Yunani; dengan bahasa Yunani, berasal dari kata oikonomia yang digunakan pertama kali oleh Xenophone pada abad 5 SM. Oikonomia berasal dari kata oikos yang berarti rumah tangga (dan perbendaharaannya) dan nomos yang berarti peraturan/aturan/hukum. Aristoteles memberikan pengertian oikonomia adalah „seni mengelola rumah tangga, tata kelola (perbendaharaan) warisan leluhur, kehati-hatian dan kehematan dalam penggunaan sumber daya‟. Dalam filosofi Yunani, „rumah tangga‟ dianggap sebagai unit terkecil suatu masyarakat, suatu bangsa atau negara. Kegiatan ekonomi pada masa ini belum menjadi disiplin ilmu khusus, masih menjadi satu kesatuan dengan kegiatan politik, tata administrasi mengelola negara, dan nilai-nilai yang menonjol pada kegiatan ini tetap memperhatikan, memastikan dan mengutamakan kepentingan kolektif dari pada kepentingan individu, berorientasi pada mashlahat (kepentingan umum). Dalam perjalanan sejarahnya, walaupun filsafat Yunani memberikan kesan terhadap dunia ilmiah dan filsafat kepada era-era sesudahnya, kemudian datang suatu era spiritual yang berpengaruh kuat kepada dunia di mana peradaban Islam terbit semenjak pengutusan Nabi Muhammad ‫( ز‬munculnya ummat yang baru) hingga ummat islam membuat kontak dan memberikan dampak pada negeri eropa (lewat kekhalifahan di Andalusia), di Barat nuansa spiritual juga berpengaruh kuat yang diprakarsai gerejani-gerejani kaum kristen terpelajar yang dikenal sebagai era Skolastika. Pada masa ini istilah „oikonomia‟ tetap relevan digunakan masyarakat Barat untuk kegiatan pengelolaan harta-benda individu ataupun kolektif dan tatanan moral kristen berpengaruh kuat tetap memastikan kegiatan-kegiatan ekonomi masyarakat Barat selalu berpandukan moral dan juga kepentingan kolektif masih dianggap lebih utama daripada kepentingan individu. 5

Dalam perjalanannya lebih lanjut, peradaban barat mengalami suatu masa yang amat menakjubkan dan mengherankan di mana terjadi suatu perubahan revolusioner yang tidak pernah terjadi sebelumnya; suatu perubahan revolusioner yang akan membawa peradaban barat menjadi peradaban yang paling unggul di atas dunia. Masa ini dikenali sebagai „era kelahiran kembali‟ (renaissance) sebagai era kelahiran peradaban barat-modern. Era kebangkitan peradaban barat menjadi peradaban yang maju dan modern, dipacu oleh gerakan pemikiran yang membangkitkan kembali semangat filsafat Yunani dengan ciri „penggunaan akal secara bebas dari hambatan-hambatan yang membatasinya/menghalanginya‟. Walaupun filsafat barat-modern ini mengambil cangkokan atau akar landasan ilmiah dan filosofinya dari filsafat Yunani, tetapi apa yang dibawa oleh filosofi barat-modern ini memiliki hal-hal baru yang tidak pernah ada sebelumnya. Dampak dari pada gerakan ini menuai hasil yang sukses di mana; (1) „tatanan moral‟ yang diprakarsai gerejani dan agama kristen runtuh, (2) pemikiran dan filosofi barat-modern segera diterima masyarakat Barat secara luas dan (dianggap) membawa kemajuan; walaupun kenyataannya juga memang filosofi barat-modern ini (membawa kemajuan dalam alam materinya, tapi tidak dalam hal moral dan spiritual) telah membangun dan memperbaharui bidang-bidang disiplin ilmu terutama dalam bidang-bidang ilmu eksak (bahkan ilmu sosial kadang dikaji dengan pendekatan eksak), hingga membawa peradaban barat-modern gemilang dalam hal saintifik. Pada akhirnya membawa kepada kemajuan alam materi dan ekonomi kaum Barat dan menjadi superior terhadap negara-negara atau bangsabangsa manapun di dunia (bahkan dengan kekuatan yang dibangunnya telah digunakan untuk menjajah bangsa-bangsa lain di dunia; dalam misi memperadabkan manusia; civilize the people). Pengunaan akal secara bebas (rasionalisme) pada era kelahiran kembali, semula dimaksudkan untuk melepaskan masyarakat peradaban Barat dari dogma-dogma dan rantai kekakuan agama (dan mungkin juga katolik di eropa telah kelewat batas; ghulluw, dengan fenomena misalnya; inquisition yang telah dilakukan gereja dan segala bentuk korupsi agama lainnya di mana ini telah membuat masyarakat barat memendam stigma negatif terhadap religiusitas). Dalam perkembangannya penggunaan akal secara bebas dari hambatan (rasionalisme) ini dipertajam dengan munculnya faham empirisme (kebenaran yang dapat dialami dan diamati) dan faham positivisme (kebenaran yang dapat dialami dan diamati secara terukur/matematis). Walaupun demikian, tetap saja apabila mengabaikan kebenaran yang mungkin bisa diperoleh dari iman, agama dan wahyu Allah dan semata-mata mengandalkan akal, pengalaman dan pengamatan inderawi, maka ia akan melahirkan paham/filosofi (cara berpikir) yang sekuler. Apa yang terjadi di Barat semenjak era kelahiran kembali, filosofi Barat-Modern yang bercirikan rasional-empiris-positif dengan menolak kebenaran yang mungkin dapat diperoleh 6

dari iman, agama dan wahyu Allah, ia sejatinya telah mengabaikan tatanan moral dan menggantinya dengan tatanan yang rasionalis-empiris-positif-sekuler. Sehingga dalam tatanan sekuler bukan berarti aturan moral tidak ada, tetapi aturan moral harus tunduk dan menyesuaikan dengan aturan rasionalitas, empirisitas dan positifitas, manakala di dalam tatanan moral adalah sebaliknya; aturan rasionalitas, empirisitas dan positifitas harus tunduk dan menyesuaikan dengan aturan moral. Lebih lanjut, faham atau filosofi Barat-Modern yang didominasi dengan ciri rasionalis-empiris-positif pada gilirannya kemudian melahirkan faham materialisme, suatu faham yang meyakini bahwa yang wujud hanyalah materi dan kebendaan. Menurut pandangan materialisme Tuhan tidak ada jika tidak dapat dibuktikan dengan pengalaman dan pengamatan inderawi, Tuhan itu ada hanya karena persepsi (zhon atau prasangka) yang dibangun alam pikiran dan kesadaran manusia yang belum tentu benar atau belum bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya. Oleh karena itu, faham atau filosofi Barat-Modern semakin mempertajam jati dirinya yang memiliki faham dengan ciri; rasionalis-empiris-positif-materialissekuler. Faham inilah yang membangun bangunan ilmu modern, peradaban modern dan sistem hidup modern yang diterapkan terlebih dahulu di Barat sebagai pionirnya dan seluruh dunia kemudian (di mana peradaban Barat mempromosikannya secara aktif, bahkan lewat penjajahan dalam misi civilize the people). Dalam faham atau filosofi modern yang sekuler, posisi agama tidak berarti dihilangkan sama sekali, individu-individu boleh meyakini adanya Tuhan boleh juga tidak meyakini (atheis), tetapi selama agama itu sesuai dengan kerangka rasionalis-empiris-positif-materialistis-sekuler; di mana perkara tentang Tuhan itu biar kembali kepada masing-masing individu, tetapi tatanan agama (tatanan moral yang berlandaskan keimanan) tidak boleh mengambil peran pada ranah-ranah kehidupan bermasyarakat dan bernegara, seandainya pun agama mengambil peran pada ranah-ranah kehidupan bermasyarakat dan bernegara maka ia harus berada di bawah kendali kebenaran yang sudah dapat dibuktikan lewat pengalaman, pengamatan dan pengukuran, yakni ilmu pengetahuan yang positif. Dengan kata lain; agama harus tunduk dan disesuaikan dengan tatanan sekuler. Filosofi yang seperti inilah yang berkembang di dalam peradaban Barat-Modern dan pada gilirannya faham atau filosofi ini juga memegang andil bagi kelahiran disiplin ekonomi modern. Disiplin ilmu ekonomi modern lahir dari alam pemikiran barat modern yang rasionalis-empiris-positif-materialistis-sekuler. Kelahiran ilmu ekonomi sebagai bidang kajian disiplin ilmu khusus ditandai dengan kemunculan Adam Smith semula dengan karyanya The Theory Of Moral Sentiment (1759) kemudian karya besarnya An Inquiry Into Nature And The Causes Of The Wealth Of The Nation (1776) telah memberikan sumbang asih yang sangat penting pada kelahiran ilmu ekonomi 7

modern dan setelah ini pun istilah atau bahasa „Ekonomi‟ menjadi populer bagi kaum terpelajar dan bangsawan, ia terpromosikan ke negeri-negeri dunia ke tiga bersamaan dengan kebangkitan kuasa bangsa eropa terhadap dunia lewat aksi kolonialisasinya dan bahkan hegemoni yang masih tersisa setelahnya, membekas kepada negeri-negri jajahannya terutama lewat bahasa inggris sebagai bahasa yang mendunia. Apa yang disumbangkan oleh Adam Smith kepada disiplin ilmu ekonomi modern adalah di mana ia membawa faham baru yang belum pernah ada sebelumnya, Adam Smith sebagai filsuf berbakat melahirkan faham individualisme dan memberikan persepsi yang logis masuk akal kepada orang-orang; bahwa kepentingan umum tidak perlu diletakkan lebih tinggi dari pada kepentingan individu, justru bila individu itu diperhatikan (diberikan kebebasan) maka kepentingan umum pun dengan sendirinya akan tercapai bahkan dengan cara ini lebih efektif dan efisien untuk mencapai kepentingan umum. Tetapi faham individualisme ini telah melangkahi faham sebelumnya yang menganggap „rumah tangga‟ sebagai unit terkecil suatu bangsa, dalam faham individualisme kini „individu‟ lah yang merupakan unit terkecil suatu bangsa, menafikkan peran-peran sosial yang khusus pada rumah tangga seperti fungsi ayah, fungsi ibu dan fungsi laki-laki dan perempuan. Oleh karena itu konsekuensi dari faham ini juga melahirkan konsep persamaan hak antara laki-laki dan perempuan; persamaan gender. Konsepsi Al-Quran mengenai unit terkecil suatu masyarakat adalah pribadi laki-laki dan pribadi perempuan (Quran, Surat Al-Hujurat 49: 13), dan keduanya berbeda oleh karena dengan adanya laki-laki dan perempuan maka „rumah tangga‟ ada, dan „rumah tangga‟ mempunyai peran vital dalam masyarakat Islam, dan semua hal tentunya ada haknya pada tempatnya masing-masing; kepentingan (hak) individu tidak bisa melanggar kepentingan (hak) umum, begitupun kepentingan (hak) umum tidak bisa melanggar kepentingan (hak) individu, hak laki-laki tidak bisa melanggar hak perempuan begitupun hak perempuan tidak bisa melanggar hak laki-laki. Individu di dalam filosofi barat-modern dipahami sebagai makhluk yang berpikir logis-positif dan menginginkan keuntungan dan kepuasan, dan egois. Faham individualisme berkembang menjadi lebih soft dan mutakhir ia menjelma menjadi faham utilitarianisme; yakni suatu faham individualisme berjamaah sebagai lawan dari egoisme. Maka faham utilitarianisme ini bila diterapkan kepada masyarakat ia akan menciptakan ummat atau masyarakat yang kerekatannya atau kesatuannya dijamin oleh materi dan asas manfaat semata, karena setiap individunya hanya peduli pada dirinya masing-masing; self-interest. Perkataan Adam Smith yang terkenal; “bukan karena keramahan si tukang daging kita bisa makan malam ini, melainkan karena tukang daging itu mencari keuntungan ekonomi untuk dirinya pribadi (sehingga kita dapat membeli daging)”. 8

Di sisi lain faham materialisme memberi pengaruh yang sangat kuat terhadap filosofi ekonomi modern. Materialisme mendefinisikan tujuan hidup berpusat pada materi, kepuasan materi (hedonisme). Semakin seseorang memiliki materi yang banyak maka semakin bahagia seseorang. Oleh karenanya tujuan ekonomi tidak lagi sekedar menjaga eksistensi kehidupan manusia – keberlanjutan kehidupan manusia – tetapi lebih dari itu adalah pemuasan kehidupan manusia (peraihan surga di dunia). Bila faham individualisme menyatu dengan faham materialisme ia akan melahirkan faham kapitalisme; bahwasanya yang menjadi tujuan dalam ekonomi adalah „akumulasi kapital‟; akumulasi materi, di mana semakin banyak seseorang memiliki perbendaharaan materi semakin bahagia seseorang. Karl Marx muncul sebagai antithesis dari kapitalisme yang tidak pernah memberikan solusi atas efek samping kompetisi ekonomi yaitu; kaum proletar yang terjebak di dalam kemiskinan abadi, Karl Marx tidak merubah filosofi materialisme-nya, Karl Marx meramu materialisme dengan sosialisme (sebagai lawan dari individualisme atau faham selfinterest, sebaliknya sosialisme; social-interest, peduli dan empati terhadap manusia lainnya), lahirlah faham komunisme suatu faham dengan ciri; pemerataan materi (kapital) ekonomi lewat kuasa kepala kelompok sosial yakni; negara. Jika pada faham kapitalis masih memungkinkan seseorang mempercayai adanya Tuhan, pada faham komunis tidak memberikan ruang sama sekali bagi hak kebebasan berkeyakinan individu atau agama untuk mengatur urusan sosial atau negara, Tuhan dianggap tidak ada (atheis). Sekalipun demikian, kedua-duanya berfaham peran Tuhan tidak ada di dunia (faham newtonian), manusia lah yang menentukan sendiri kehidupannya (faham antrophosentris), terlepas Tuhan itu ada atau tidak ada. Kedua-duanya memiliki pohon filosofi yang sama; filosofi sekuler. Sampai di sini faham atau filosofi modern (yang diprakarsai kaum Barat-Modern) bercirikan; rasionalis, empiris, positif, materialistis, sekuler yang melahirkan disiplin ilmu ekonomi modern, baik teori maupun praktiknya, maka menurut faham ini defenisi ekonomi adalah; „Kegiatan manusia (individu, kolektif, negara) dalam rangka pemenuhan kebutuhan hidup – yang tak terbatas yang dihadapkan pada sumber daya yang terbatas – ‟ „Kebutuhan hidup‟ yang diberi tambahan kalimat; „yang tak terbatas yang dihadapkan pada sumber daya yang terbatas‟ adalah implikasi dari faham atau filosofi Barat-Modern yang rasionalis-empiris-positif-materialis-sekuler. „Kebutuhan hidup‟ menurut faham ini juga termasuk „kesenangan dan kepuasan duniawi‟, „kebutuhan hidup‟ tidak hanya hal-hal mendasar yang cukup untuk membuat hidup tetap eksisten semata, maka „kesenangan dan kepuasan duniawi‟ itu juga termasuk „tujuan kehidupan‟ dan juga „kebutuhan hidup‟, ia adalah hal yang pantas untuk di kejar sebagai surga yang paling nyata; surga dunia (sementara tidak yakin 9

dengan surga di akhirat), sehingga bila setiap manusia mencari kepuasan dan kesenangan, dengan mengumpulkan materi (kapital) menjadi tujuan setiap orang sehingga setiap orang berkompetisi dalam ekonomi, maka tentu saja „kebutuhan hidup‟ menjadi tidak terbatas relatif dibandingkan dengan „sumber daya‟ yang tersedia sebagai sumber pemenuh kebutuhan hidup manusia. Inilah ekonomi menurut filosofi Barat-Modern. I.III

Ekonomi Dalam Filosofi Islam Mulai dari awal semenjak lahirnya dunia Islam, jauh sebelum kedatangan dunia modern-sekuler yang diprakarsa barat-modern ke atas dunia, dunia Islam tidak pernah menggunakan bahasa Inggris atau latin atau yunani sebagai bahasa internasional dan bahasa keilmuan. Dunia keilmuan Islam selalu menggunakan bahasa arab, bila istilah asing itu memiliki padanan maknanya dalam bahasa arab, istilah asing itu akan selalu diterjemahkan kedalam bahasa arab yang maknanya sepadan dan bahasa arab selalu bisa melakukannya (bahasa arab sebagai bahasa mutakhir dan canggih yang bahasanya dibangun dari sistem akar kata yang terdiri dari huruf-huruf tetap), ataupun bila suatu istilah asing tidak ada padanan katanya dalam bahasa arab maka ia diadopsi dan akan disesuaikan dengan bahasa arab, maka dunia keilmuan Islam sejatinya selalu menggunakan bahasa arab sebagai bahasa sentral keilmuan Islam, tidak pernah dunia keilmuan Islam menggunakan bahasa asing sebagai sentral keilmuan, kecuali ia adalah bahasa keilmuan lokal yang tetap menjadikan bahasa arab sebagai bahasa sentralnya; seperti urdhu, farsi, melayu jawi dan lain-lain. „Ekonomi‟ atau „oikonomia‟ lahir istilahnya dan konsep awalnya berasal dari Yunani, ia bermakna „manajemen (perbendaharaan) rumah tangga‟ atau „tata kelola (perbendaharaan) rumah tangga‟. Adapun di dunia Islam (sebagai peradaban) yang muncul setelah peradaban Yunani, ada banyak bermunculan berbagai macam istilah yang bersentuhan, berkaitan atau mengacu pada makna „ekonomi‟, misalnya para ulama-ulama (cendekiawan, terpelajar, sarjanawan, agamawan) peradaban Islam jauh sebelum kedatangan era modern-sekuler, telah menggunakan istilahistilah (dari bahasa arab dan bahasa Al-Quran yang sederhana) sederhana seperti; Al-Kasbu, Al-Mal atau Al-Amwal, Ma‟isyah atau Ma‟ayisy, dan lain sebagainya, dan hari ini pada akhirnya dapat kita ketahui apa yang dibahas para ulama itu berkaitan erat dengan atau merupakan suatu bahasan subjek disiplin ilmu ekonomi. Akan tetapi selain dari pada itu, dari semua istilah yang pernah ada di dunia Islam, ada suatu istilah yang diadopsi dan semakna dengan ekonomi atau „oikonomia‟, misalnya yaitu di dunia Islam disebut dengan Tadbir (Tata Kelola) dari kata ‫ دبر‬- ‫ٌدبر‬ (dabbara - yudabbiru) atau Tadbir Al-Manzil (Tata Kelola Perbendaharaan). Istilah ini memang dimaksudkan untuk disiplin ilmu khusus terkait „tata kelola 10

perbendaharaan‟ yang sangat sesuai dengan makna istilah ekonomi atau „oikonomia‟ dari Yunani yang berarti „tata kelola (perbendaharaan) rumah tangga‟. Namun „Ilm Tadbir Al-Manzil‟ sebagaimana „Oikonomia‟ di Yunani, barangkali perkembangan disiplin ilmu ini masih sangat sederhana dan tidak berkembang begitu ekstensif dan bersifat parsial, sebagian-sebagian, bila dibandingkan disiplin ilmu ekonomi modern yang ada pada saat ini. Ciri khas disiplin ilmu ekonomi yang ada pada saat sebelum kedatangan zaman modern ialah ia masih sering dianggap atau berkaitan dengan kegiatan tata kelola atau administrasi kenegaraan (pemasukan, pengeluaran, pencadangan, distribusi, dan lain-lain) dan juga disiplin ilmu ekonomi pada zaman sebelum kedatangan era modern-sekuler, nilai-nilai moral atau doktrin-doktrin moral masih dijunjung tinggi atau dengan kata lain „tatanan moral‟ masih merupakan tatanan yang diakui. Ekonomi dalam faham Yunani „makna‟nya (serta konsep, teori dan prakteknya) dibangun berlandaskan „cara pandang‟ filosofi yang tengah berkembang di dunia Yunani pada saat itu. Ekonomi dalam faham Barat-Modern dibangun „makna‟nya (serta konsep, teori dan prakteknya) juga berlandaskan „cara pandang‟ filosofi baratmodern yang tengah berkembang mulai semenjak kejadian peristiwa „kelahiran kembali‟ (renaissance); lahirnya „cara pandang‟ filosofi modern yang melahirkan faham; rasionalisme, empirisme, positivisme, materialisme, sekulerisme. Maka, adapun, ekonomi dalam faham Islam tentu saja ekonomi dibangun „makna‟nya (serta konsep, teori dan prakteknya) berlandaskan filosofi Islami; filosofi yang dilahirkan oleh visi Al-Quran dan Sunnah Nabi Muhammad ‫ز‬, yang telah diterima oleh suatu kaum dan kemudian kaum itu berpandukan dengannya, sehingga suatu kaum itu lahir menjadi ummat yang baru, masyarakat Islam, peradaban Islam yang berdiri diatas landasan petunjuk Al-Quran dan Sunnah Nabi Muhammad ‫ز‬. Filosofi apakah yang muncul selepas lahirnya cahaya Islam itu? Filosofi apakah yang melandasi cara bermasyarakat, cara berhukum, cara bermuammalah, cara berkehidupan selepas lahirnya cahaya Islam itu? Ia adalah tentu saja filosofi atau kita bisa menyebutnya „nilai-nilai kebijaksanaan‟ (hikamiyyah) yang berlandaskan tatanan moral Al-Quran dan Sunnah Nabi Muhammad ‫ز‬. Misalnya kaitannya dengan ekonomi (tata kelola perbendaharaan), ia adalah suatu filosofi yang dilahirkan „cara pandang‟ yang memandang bahwa; (1) kepemilikan mutlak seluruh materi benda (dzat) di seluruh alam jagat raya ini baik yang nampak maupun yang ghaib adalah milik Allah, dan Allah adalah pewaris terakhir dari semuanya; Huwal Awwalu wa Huwal Akhiru, (2) adapun si makhluk memiliki kepemilikan yang nisbi atau relatif; terbatas (limited), berjangka (fali kulli syaiin ajal), dalam batas-batas yang ditentukan sunnatullah, (3) pemerolehan dan penggunaan atau pemanfaatan harta benda (yang dikuasai atau dimiliki atau diwenangi) oleh makhluk (dalam 11

pandangan moral Islam) harus-lah sesuai dengan ketentuan-ketentuan Allah (Sang Pemilik Mutlak, Sang Pembuat Hukum, Yang Maha Berdaulat; Allah Al-Malik). Maka filosofi yang dilahirkan oleh Islam itu, filosofi yang dilahirkan dan berasal dari Al-Quran dan Sunnah yang amat sesuai dengan itu, ia merupakan nilai-nilai kebijaksanaan praktis yang bisa kita dapati berasal di dalam Al-Quran misalnya adalah ia disebut dengan Al-Qashdu, atau lebih khusus lagi „Al-Qashdu fil mal‟ (sikap sederhana/lurus atas harta). Kemudian pada gilirannya dari nilai-nilai kebijaksanaan Al-Qashdu menurunkan istilah Iqtishad dan Iqtashada sebagai kata aktif dari Al-Qashdu, maka istilah kata Iqtishad dan konsepsi nilai-nilai Al-Qashdu tidak bisa kita pisah-pisahkan sebagai nilai-nilai kebijaksanaan yang melatarinya. Apabila ditelaah merujuk kepada Al-Quran, Al-Qashdu memiliki makna-makna berikut: 

 



Ia bermakna lurus, adil: (Quran, Surat An-Nahl 16: 9), qashdus sabil; lurus (Quran, Surat Al-Luqman 31: 32), fa minhum muqtashidun; adil, lurus Ia bermakna sederhana: (Quran, Surat Al-Luqman 31: 19), waaqshid; sederhana Ia bermakna pertengahan, moderat, seimbang: (Quran, Surat Al-Fatir 35: 32) fa minhum muqtashid; pertengahan (Quran, Surat Al-Maidah 5: 66) ummatun muqtashidah; moderat Ia bermakna cepat, dekat atau ringkas, (Quran, Surat At-Taubah 9: 42), qaashidan; sederhana, dekat, ringkas

Kitapun boleh merujuk dan menganalogikan makna-makna tersebut pada suatu kutipan filosofi dari ilmu phytagoras atau ilmu geometri misalnya; “(lintasan) jalan paling cepat antara dua titik adalah garis lurus” atau “jarak terdekat antara dua titik adalah garis lurus” (Archimedes), ini bukanlah „logika yang kebetulan‟ ia amat-amat bisa bermakna filosofis bila kita kaitkan dengan istilah Al-Qashdu yang bermakna; lurus, sederhana, pertengahan atau moderat, cepat atau ringkas. Al-Qashdu amat sangat tepat sebagai kata yang menggambarkan maksud kutipan tersebut, di dalam Islam maksud kutipan tersebut apabila diucapkan dengan satu kata yang ringkas maka sesederhana mengucapkan kata „Al-Qashdu‟ atau „Iqtishad‟. Ia adalah suatu prinsip atau kaedah bagaimana membawa suatu titik persoalan (kebutuhan hidup misalnya) pada titik suatu penyelesaian (pemenuhan kebutuhan hidup misalnya) dengan cara-cara yang paling lurus/benar, ringkas, cepat, efisien-efektif, sederhana. Ia juga bisa dimaknai bagaimana membawa suatu titik persoalan keduniaan ini menjadi wasilah untuk mencapai atau menuju kepada titik tujuan di akhirat dengan cara-cara yang paling benar, paling lurus, paling ringkas, paling efisienefektif, paling cepat dan selamat. Maka prinsip dan kaedah itu bisa disebut dengan Al-Qashdu atau Iqtishad. 12

Iqtishad juga identik dengan mashlahah, apa yang jadi tujuan dari ber-iqtashada adalah mencapai keselamatan, kemashlahatan, oleh karena itu ada pula kita mengenal istilah „maqoshidu syari‟ah‟, bahwa apa yang menjadi tujuan dari syari‟ah (al-muhkamat) adalah kemashlahatan (keberesan, kelurusan, ishlah) di dunia dan di akhirat. Adapun lawan dari mashlahah adalah mafsadat, yaitu terciptanya „fasad‟; kerusakan (corrupt) yang bersifat merusakkan, riba adalah salah satu contoh di antara fasad yang bersifat membinasakan, dosa besar yang bersifat membinasakan, yang kerusakannya bersifat menular dan meluas. Maqashid syariah, sebagai istilah, sebagai konsep, sebagai prinsip atau nilai-nilai yang hendak dicapai dari syariat (al-muhkamat), yang diekstrak dari prinsip ajaran Islam (Al-Quran dan Sunnah) yang direvisi dan dipopulerkan oleh Imam Syatibi, dan istilah Iqtishad, keduanya berasal dari akar kata yang sama yaitu qa-sha-da, maka makna-maknanya akan saling terkait bahwasanya Maqashid Syariah dan Iqtishad adalah nilai-nilai, suatu prinsip, suatu sikap, perbuatan yang mengupayakan mashlahat (keberesan, keselamatan, ishlah, kesejahteraan) dan menghindari atau mencegah mafsadat (kerusakan, kezaliman, kecelakaan) baik dalam urusan keduniaaan ataupun urusan akhirat. Iqtishad merupakan nilai-nilai kebijaksanaan, nilai-nilai moral praktis, suatu prinsip kebaikan yang umum dan universal yang merupakan bagian dari kenabian. Sebagaimana yang telah diriwayatkan dalam hadits berikut: Dari Ibnu Abbas ‫ر‬, Rasulullah ‫ ز‬bersabda: ‫ جزء من خمسة وغشرٌن جزءا من النبوة‬،‫ واالقتصاد‬،‫ والهدي الصالح‬،‫السمت الصالٌح‬ “Perilaku yang baik, bimbingan yang baik dan berlaku lurus (al-iqtishad) adalah bagian dari 25 bagian kenabian”

Al-Qashdu dan iqtishad memang makna dasarnya atau makna permulaannya adalah suatu istilah dan prinsip nilai yang bersifat umum, yang bisa diaplikasikan kepada berbagai macam aspek yang luas. Misalnya dalam salah satu kitab karangan Imam Al-Ghazali “Iqtishad fil Al-I‟tiqad” (bersikap pertengahan/lurus dalam berkeyakinan atau berakidah) adalah suatu contoh Al-Qashdu dalam hal agama (dien), yang menandakan bahwa filosofi atau nilai-nilai kebijaksanaan Al-Qashdu atau Iqtishad sebetulnya merupakan nilai-nilai yang universal yang bisa diterapkan dalam berbagai aspek. Apabila dikaitkan dengan maqashid syariah, maka maqashid syariah dengan filosofi Al-Qashdu adalah: (1) Hifzud dien: memelihara agama; dengan cara bersikap iqtishada; lurus, adil, sederhana, seimbang dalam agama, tidak ghulluw, dan tidak mengkorupsi atau mereduksi agama. 13

(2) Hifzun nafs: memelihara diri; dengan cara bersikap iqtashada; lurus, adil, sederhana, seimbang pada hak diri; yaitu hak badan dan hak jiwa, hak jasmani dan hak ruhani. (3) Hifzul aql: memelihara akal; dengan cara bersikap iqtashada; lurus, adil, sederhana, seimbang pada pendayagunaan akal; mendayagunakan iman dan akal secara seimbang, tidak merusak akal dengan hal-hal yang merusak akal, mendayagunakan akal untuk menciptakan manfaat, mencari ilmu, mengembangkan ilmu dan lain-lain. (4) Hifzul mal: memelihara harta; dengan cara bersikap iqtashada: lurus, adil, sederhana, seimbang pada pendayagunaan harta benda dan sumber daya, tidak merusak sumber daya (bumi), yaitu berlaku eksploitatif dan menciptakan krisis; krisis pangan, krisis energi, krisis keuangan, dan lainlain. (5) Hifzun nasl: memelihara generasi (keturunan); dengan cara bersikap iqtashada; lurus, adil, sederhana; memelihara generasi yaitu makhluk hidup; a. Manusia b. Hewan c. Tanaman d. Dan makhluk-makhluk hidup lainnya yang kesemuanya adalah suatu bangunan ekosistem yang membangun keseimbangan kehidupan dan keberlanjutan kehidupan (sustainability). Namun Al-Qashdu atau Iqtishad dalam makna yang khusus (makna khos) adalah dalam makna yang lebih menyempit yaitu Al-Qashdu atau Iqtishad yang terkhusus berkaitan dengan harta perbendaharaan (sumber daya), maka ringkasnya; Al-Qashdu atau Iqtishad maknanya yaitu; Al-Qashdu Fil mal atau Iqtashada fil mal, di antara hal yang menunjukkan makna khususnya yaitu hadits Nabi ‫ ز‬berikut: HR. Ahmad, dari Ibnu Abbas ‫ر‬: ‫ما عال من اقتصد‬ “Tidak akan miskin/kekurangan orang yang bersikap iqtashada (adil, sederhana, lurus) pada harta”

HR. Baihaqi, dari Ibnu Abbas ‫ر‬: ‫االقتصاد فً النفقة نصف المعٌشة‬ “Berhemat dalam pengeluaran adalah setengah (bagian) dari penghidupan”

Dan juga perkataan di dalam kitab Ulama Ibnu Abid Dunya “Ishlahul Mal” di dalam bab “Al-qashdu fil mal”: ‫ و باب السالمة االقتصاد‬،‫حسن التدبٌر مفاتح الرشد‬ “Pengelolaan yang baik (husnut tadbir) adalah kunci-kunci untuk keberesan dan pengelolaan yang lurus (iqtishad) adalah pintu keselamatan”

14

Berdasarkan hal-hal yang telah dijelaskan diatas maka, makna Iqtishad kaitannya dengan „tata kelola harta benda‟ atau ekonomi yaitu; ia mengandung makna dan prinsip berupa; (1) lurus dan adil dalam perolehan harta; yaitu tidak berlaku zalim, tidak berlaku menindas (eksploitatif), (2) bersikap sederhana atas harta; yaitu bersikap qonaah dan zuhud, dan sesuai keperluan atas harta, (3) ringkas, efisienefektif dalam penggunaan harta; tidak berlebih-lebihan, sesuai dan tepat dalam alokasi, (4) bersikap pertengahan dan seimbang; yaitu tidak bakhil dan tidak israf, (5) penggunaan harta adalah untuk keberesan (terpenuhinya kebutuhan hidup), untuk kemashlahatan (tercapainya ishlah) dan mencegah dhururat, menjauhi penciptaan mafsadaat atau mencegah penciptaan mafsadaat. Al-Qashdu yang menurunkan istilah Iqtishad merupakan filosofi yang genuine, yang fitrah yang lahir dari Islam itu sendiri, yang mengandung perangkat positif dan normatif yang mendasari cara bersikap terhadap harta di dalam Islam. Maka dari itu, selain dari semua istilah yang telah disebutkan sebelumnya, dari semua istilah yang ada yang ditujukan untuk makna atau mengacu pada makna „ekonomi‟, ada satu lagi istilah yang lahir di dunia Islam, satu istilah yang sering dikaitkan dengan kegiatan „tata kelola perbendaharaan‟; yang disebut Tadbir (dalam bahasa arab) atau disebut Oikonomia di Yunani. Istilah itu ialah Iqtishad. Iqtishad juga sering dimaknai dan dikaitkan dengan „tata kelola harta benda‟ atau „ekonomi‟ (Oikonomia atau Tadbir), namun ia tidak hanya memuat kegiatan „tata kelola harta benda‟ itu sendiri secara positif tetapi juga memuat perangkat dan kebijaksanaan moral Islam atau nilai-nilai Islam yang bersifat universal. Kendatipun demikian, namun, belum ada istilah yang tersepakat dalam dunia Islam, istilah yang digunakan untuk (menamai) disiplin ekonomi yang lebih universal dan sekaligus menunjukkan jati diri Islam atau sesuai dengan identiti Islam itu sendiri, para ulama zaman dahulu sendiri hanya menggunakan istilahistilah yang sangat sederhana dan umum, hanya saja beberapa ulama pernah menyebutnya sebagai Tadbir Al-Manzil, namun sering juga Tadbir (atau Tadbir AlManzil) dikaitkan dengan Iqtishad. Istilah Iqtishad sendiri dipromosikan kembali di zaman modern oleh Muhammad Iqbal pada akhir-akhir abad belakangan sebagai respon untuk ekonomi barat-modern sekuler serta hegemoninya ke atas dunia Islam pasca zaman kolonial. Sekarang dunia Islam boleh menggali kembali khazanah/wawasan keilmuan Islam dan boleh berdialek dan bersepakat kembali, istilah apakah yang tepat untuk memaknai tata kelola harta benda atau ekonomi yang sesuai dengan jati diri Islam (berlandaskan tatanan moral Islam sesuai dengan Al-Quran dan Sunnah)? Selepas munculnya peradaban Barat-Modern yang kemudian terus berlanjut dengan meluasnya pengaruh peradaban Barat-Modern ke atas dunia juga mempromosikan secara aktif konsepsi-konsepsi ilmu, filosofi dan ideologinya ke seluruh dunia, termasuk disiplin ilmu dan praktek ekonomi modern. Misi 15

memperadabkan dunia yang disokong kekuatan milter yang telah maju atas bantuan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam bidang militer yang telah mengalami dan melewati perubahan revolusioner, serta perangkat politik dan ideologinya menuai keberhasilan. Barat kemudian menjadi pusat menara ilmu pengetahuan dunia, dunia kemudian menggunakan bahasa latin dan Inggris untuk ilmu pengetahuan dan bahasa internasional, begitu juga untuk disiplin ilmu ekonomi modern. Di saat yang bersamaan dunia Islam sedang merosot peradabannya bersama alam materi ekonominya baik oleh karena serangan peradaban Barat-Modern itu sendiri ataupun oleh karena kelemahan moral dunia Islam. Dunia Islam takluk di bawah tatanan sekuler dan dengan terpaksa mengikuti, mensepakati atau bersedia menerima konsepsi-konsepsi dan sistem hidup tatanan peradaban dunia sekuler yang telah diprakarsai kaum Barat-Modern. Selain itu, semenjak dunia dipersaksikan dengan perseteruan dua faham ekonomi; ekonomi liberalis-kapitalis vs ekonomi sosialis-komunis, dunia Islam mulai merasa perlu mencari konsepsi-konsepsi ekonomi yang berdasarkan nilai-nilai Islam, dan berupaya kembali kepada Al-Quran dan sunnah, karena melihat konsepsi-konsepsi ekonomi Barat-Modern (baik liberalis-kapitalis maupun sosialis-komunis) tidak pernah menuntaskan atau mengentaskan masalah; baik itu kemiskinan abadi kaum proletar dan eksploitasi terhadapnya ataupun mimpi kaum sosialis-komunis yang utopis. Maka dari itu muncullah istilah „ekonomi islam‟ sebagai respon/reaksi spontan dan natural sebagai reaksi dialek dunia Islam dengan dunia Barat, ia juga adalah reaksi pembahasaan, ia adalah reaksi bahasa sebagai konsekwensi dalam suatu situasi dominasi bahasa inggris yang menjadi bahasa sentral dunia, istilah „ekonomi islam‟ atau „islamic economic‟ menjadi bahasa paling praktis untuk mempromosikan ekonomi yang sesuai dengan nilai-nilai Islam atau bersumber dari nilai-nilai Islam (Al-Quran dan Sunnah) baik untuk dunia secara umumnya atau dunia Islam sendiri, ummat Islam percaya hanya dengan cara kembali kepada AlQuran dan Sunnah saja lah jalan yang dapat mengeluarkan ummat dari masalahmasalah ekonomi modern. Di samping itu pula selepas kedatangan dunia modern-sekuler ke atas dunia Islam, lebih khususnya di abad 19 istilah Iqtishad dipromosikan kembali oleh Muhammad Iqbal dengan buku yang dikarangnya berjudul ilm al-iqtishad (1930). Ia adalah buku yang ditulis oleh Iqbal yang berdialek dengan fenomena dunia modern, berdialek dengan pemikiran ekonomi dunia modern; manakala saat itu disiplin ilmu ekonomi barat-modern sedang trending di barat yang membicarakan pemikiran tokoh-tokohnya; Adam Smith, David Ricardo, Alfred Marshal, dan lainlain, Iqbal yang berdialek dengan praktek ekonomi barat-modern internasional yang eksploitatif dan kapitalistik terhadap kaum bawah dan anak benua india dan dunia ke tiga dalam masa transisi pasca era kolonialisme. Ilm al-Iqtishad adalah buku yang pertama kali untuk dunia Islam yang berbicara konsepsi ekonomi Islam dan dalam bahasa urdhu dalam masa pasca modern. Ia menjelaskan mengenai 16

pertumbuhan yang pantas, distribusi harta, pengeluaran, konsumsi dan populasi, yang syarat akan isu sosial yang kritis. Dalam menulis bukunya Iqbal mempromosikan istilah Iqtishad untuk dunia Islam untuk ekonomi, ia menerangkan bahwa Ilmu Iqtishad adalah ilmu akhlak (ekonomi adalah human culture dengan moral/akhlak sebagai tatanannya), Ilmu Iqtishad adalah ilmu strategi mengelola/membangun peradaban “ilm siyasah al-madan” (strategi mengelola sumber daya yang ada untuk membangun sebuah peradaban dan masyarakat yang baik). Yang selanjutnya terjadi lebih dramatis, di dalam dunia Islam, sementara terdapat berbagai macam upaya yang terjadi; di satu sisi upaya kaum barat-modern yang mempromosikan, menyusupkan atau menularkan, mensepakatkan konsepsikonsepsi, filosofi, ideologi, cara pandang, praktek sistem hidup yang materialistis dan sekuler (dalam bidang ekonomi, pendidikan, politik) ke atas dunia (dan dunia Islam khususnya), di satu sisi upaya kaum muslimin yang mencoba kembali kepada Islam yang sejati, upaya kembali kepada petunjuk Al-Quran dan Sunnah. Maka dampaknya juga terjadinya upaya pemaknaan dan konsepsi-konsepsi secara alot atas ekonomi dari istilah-istilah yang muncul tersebut; yaitu istilah „ekonomi islam‟ atau „islamic economic‟ dan bahkan juga istilah Iqtishad yang telah dipromosikan kembali pasca abad ke 19. Lalu sebetulnya istilah apakah yang tepat untuk digunakan dunia Islam untuk menamai „ekonomi yang sesuai dengan nilai-nilai Islam; Al-Quran dan Sunnah‟? apakah cukup menggunakan „ekonomi islam‟ ataukah kembali menggunakan „Iqtishad‟ sebagai istilah yang sudah ada bahkan sebagai istilah yang dilahirkan dari Al-Quran di mana ia juga bisa ditelusuri ada dalam Hadits? Dan bagaimana pula cara memaknai istilah-istilah tersebut? Bila kita menggunakan Iqtishad sebagai istilah atau nama untuk ekonomi islam yang sejati, makna istilahi „am-nya boleh kita fahami sama dengan makna ekonomi atau economy atau oikonomi yaitu dengan makna; „tata kelola harta secara hemat/cermat/tepat‟. Namun, dalam makna intinya yaitu makna istilahi khos-nya (terminologi spesifik) tentu saja Iqtishad dan Ekonomi memiliki perbedaan yang sangat jauh oleh karena makna inti dari masing-masing istilah tersebut, dibangun berdasarkan filosofi, ideologi, cara pandang yang melandasinya. Ekonomi (makna yang dikembangkan oleh filosofi Barat-Modern) defenisinya (makna intinya) adalah; “kegiatan manusia (individu maupun kolektif) dalam memenuhi kebutuhan hidup yang tak terbatas yang dihadapkan pada sumber daya yang terbatas”, adapun Iqtishad (sebagai makna yang tidak terlepas dari filosofi yang melahirkan istilahnya yaitu AlQashdu) defenisinya (makna intinya) adalah; “kegiatan manusia (baik individu maupun kolektif) mengelola harta benda (yakni; sumber daya yang tersedia untuk pemenuhan kebutuhan hidup) dengan cara-cara yang benar/lurus sesuai ketentuan (syariat, nilai-nilai Islam, Al-Quran dan Sunnah), seimbang dan adil” 17

Adapun kemunculan istilah „ekonomi Islam‟ bersamaan juga promosi kembali istilah „Iqtishad‟, membuat dunia Islam kebingungan akan istilah-istilah ini dan juga pemaknaannya. „ekonomi Islam‟ dan „iqtishad‟ pada awalnya memang dimaksudkan memiliki makna istilahi yang sama. Jika „ekonomi Islam‟ yang dimaksud itu adalah; „ekonomi yang sesuai nilai-nilai Islam; Al-Quran dan Sunnah‟, maka Iqtishad pun juga dimaksudkan bermakna demikian; „ekonomi yang sesuai nilainilai Islam; Al-Quran dan Sunnah‟. Oleh karena itu maka pada awalnya selepas kedatangan era modern (pasca modern), ekonomi Islam dan Iqtishad berangkat dari makna yang sama, makna ini bisa kita sebut atau kategorikan sebagai makna istilahi „am-nya (terminologi umum). Istilah „ekonomi Islam‟ sebetulnya hanya sebagai respon spontan saja, respon yang terjadi ketika dunia Islam dihadapkan dengan kemajuan/kegemilangan dunia saintifik Barat-Modern dan penerapannya terkhusus dalam hal ekonomi dan takluknya dunia Islam dengen hegemoni serta dominasi ekonomi Barat-Modern dalam suatu kondisi bahasa dunia diambil alih oleh bahasa barat (inggris, latin, yunani, prancis dan lain-lain). Maka „ekonomi islam‟ adalah bahasa, adalah reaksi spontan untuk mempromosikan ekonomi yang sesuai dengan nilai-nilai Islam atau ekonomi dari Islam, ekonomi versi Islam. Walaupun demikian, istilah iqtishad kekuarangannya walaupun sudah dipromosikan kembali oleh Muhammad Iqbal, dia ibarat suara yang kalah nyaring yang tidak terpromosikan secara maksimal dan seluas promosi istilah „ekonomi islam‟. Namun juga, „ekonomi islam‟ dibandingkan dengan Iqtishad, Istilah Iqtishad memang lebih lugas dan jelas bahwa ia berasal dari khazanah, alam pemikiran, wawasan Islam yang diturunkan dari Al-Quran dan hadits, sedangkan „ekonomi Islam‟ sebagai istilah yang dibangun dengan menggabungkan dua kata „ekonomi‟ dan „islam‟ bisa menimbulkan multitafsir terhadap pemaknaannya. Setelah ini pun, keadaannya akan lebih alot dan dramatis lagi yaitu, kendatipun istilah „ekonomi islam‟ lebih tenar dari pada „iqtishad‟. Istilah iqtishad sebetulnya telah diterima dunia Islam, dan diakui dunia Islam untuk makna „ekonomi‟, namun yang menjadi titik masalahnya adalah; istilah iqtishad itu sendiri hanya diterima (oleh dunia Islam mayoritasnya) hanya sebatas makna lughowi, yaitu dia hari ini dapat kita ketahui digunakan sebagai terjemahan resmi ke bahasa arab untuk ekonomi, namun Iqtishad, makna istilahi „am-nya (terminologi umum) maupun makna istilahi khos-nya (terminologi khusus atau makna intisari) tidak diterima, tidak lagi ditelaah, bahkan diabaikan begitu saja, sehingga makna-makna ini hilang ditelan penafsiran makna-makna yang lain, terlebih lagi ketika iqtishad hanya difahami secara makna lughowi-nya saja muncul tindakan menambahkan kata „islami‟ padanya, menjadi „iqtishadul islami‟. Maka dari itu istilah „iqtishadul islami‟ tidak ada bedanya dan bisa disepadankan dengan istilah „ekonomi Islam‟ atau „islamic economic‟, bahkan (ketika istilah kata iqtishad hanya difahami secara 18

lughowi saja) „Iqtishad‟ maknanya dianggap sama atau sepadan dengan „ekonomi‟ atau „oikonomia‟ atau „economy‟. Nah kemudian, apakah konsekwensi dari menanggap atau menerima istilah iqtishad hanya sekedar makna lughowi-nya saja, lantas kemudian menambahkan kata „islami‟ padanya, menjadi „iqtishadul islami‟? maka yang terjadi kemudian adalah, terjadinya penafsiran yang rancu atau multi tafsir, misalnya; seolah menganggap istilah iqtishad itu sendiri belum lah islami, maka dari itu perlu ditambah kata „islami‟, begitupun pula setelah ditambah kata „islami‟ menjadi „iqtishadul islami‟ akan ditafsirkan berdasarkan kerangka makna yang berasal dari „islamic economic‟ atau „ekonomi islam‟ yang sudahpun disalahtafsirkan secara rancu. Maka istilah „iqtishadul islami‟ belum tentu istilah yang islami, tetapi ia hanya sebagai terjemahan resmi ke dalam bahasa arab untuk istilah „islamic economic‟ atau „ekonomi islam‟, di mana ia malah diturunkan, dilahirkan berasal dari istilah kata „islamic economic‟ atau „ekonomi islam‟, „iqtishadul islami‟ bukan istilah yang berdiri indipenden yang melahirkan dirinya sendiri. Penafsiran yang salah dan rancu bagaimanakah yang dimaksud? Yaitu penafsiran istilah „ekonomi islam‟ (atau „islamic economic‟ atau „iqtishadul islami‟) bersama-sama dengan makna sebatas istilahi „am-nya; „ekonomi yang sesuai dengan nilai-nilai Islam; alquran dan sunnah‟, dimaknai sebagai „ekonomi “islam” yang disesuaikan dengan konsepsi, teori dan praktek ekonomi yang dibangun berlandaskan filosofi/ideologi materialistik sekuler‟. Maka pantaskah kita menyebut ekonomi yang sejatinya tidak sesuai dengan nilai-nilai Islam; Al-Quran dan Sunnah, kemudian menyebutnya sebagai „ekonomi islam‟, menyebutnya sebagai „ekonomi yang sesuai dengan nilainilai Islam; Al-Quran dan Sunnah‟. Oleh karena itu, istilah apapun itu, apakah ekonomi, economy atau iqtishad sekalipun yang kemudian ditambahkan atau disematkan kata „Islam‟ padanya, namun ternyata ia adalah ekonomi yang tidak sesuai dengan „nilai-nilai Islam; AlQuran dan Sunnah‟ maka kata „Islam‟nya hanyalah sekedar nama saja, „Islam‟nya hanya tinggal nama saja. Atau mensematkan kata „syariah‟ padanya maka syariahnya bukanlah syariat Nabi Muhammad, bukan syariat ummat Nabi muhammad, melainkan syariat ummat lain selain ummat Nabi Muhammad ‫ز‬. Oleh karena itu, bila kita menggunakan istilah „ekonomi islam‟ (atau „islamic economic‟ atau „iqtishadul islami‟); istilah yang menggabungkan dua kata yaitu kata „ekonomi‟ dan „islam‟ dan lain sebagainya, kita menggunakan istilah tersebut sejatinya hanya sekedar fungsi lughowi atau istilahi „am-nya saja untuk „ekonomi yang sesuai dengan nilai-nilai Islam; Al-Quran dan Sunnah‟, namun istilah yang kita gunakan untuk „identiti asli‟ ekonomi islam atau „ekonomi yang sesuai dengan nilai-nilai Islam; Al-Quran dan Sunnah‟ yang sejati, istilah yang mengandung makna inti, maka sebetulnya sudah cukup hanya menyebutnya dengan istilah kata „Iqtishad‟ saja (tanpa perlu menambah kata „islami‟ atau menggunakan „gabungan dua kata‟ yang menimbulkan penafsiran yang rancu/multitafsir), yang mana istilah „iqtishad‟ 19

ini pun sudah cukup unggul bila difahami berlandaskan filosofi yang melatarinya (filosofi Al-Qashdu), sehingga Iqtishad bisa diterima dan difahami makna istilahi „amnya dan makna isitilahi khos-nya. Istilah Iqtishad yang difahami dengan makna yang lengkap lebih tepat menjadi identiti, jati diri prinsip-prinsip atau nilai-nilai Islam dalam ekonomi dan ia mengandung makna yang berlawanan dengan makna istilahi „ekonomi‟ („oikonomia‟ atau „economy‟) yang pemaknaannya telah dibangunkan oleh filosofi dan ideologi barat-modern yang melandasinya (yaitu materialisme dan sekulerisme). Oleh karena itu ekonomi Islam mesti kita bangun maknanya sama dengan makna Iqtishad secara sempurna yang memiliki makna istilahi „am sebagai; „ekonomi yang sesuai dengan nilai-nilai Islam; Al-Quran dan Sunnah‟, dan dengan istilahi khos (makna inti); “kegiatan manusia (baik individu maupun kolektif) mengelola harta benda (yakni; sumber daya yang tersedia untuk pemenuhan kebutuhan hidup) dengan cara-cara yang benar/lurus sesuai ketentuan (syariat, nilai-nilai Islam, Al-Quran dan Sunnah), seimbang dan adil”, hanya ini pemaknaan yang bisa kita terima sebagai pemaknaan yang tepat. Oleh karena itu yang disebut dengan „ekonomi Islam‟ yang sejati atau kita bisa menyebutnya „iqtishad‟, itu harus memiliki ciri sebagai berikut (baik konsep, teori maupun prakteknya): 1. Sesuai ketentuan atau lurus (sesuai dengan nilai-nilai Islam, ketentuan Allah dan RasulNya; Al-Quran dan Sunnah), misalnya; a. Benar dalam cara memperolehnya/pemasukannya (tidak Riba), benar pula dalam cara pemanfaatan/pengeluarannya [sesuai dengan yang digariskan Allah dan RasulNya; untuk kebutuhan hidup – menegakkan hidup (untuk ibadah), untuk fi sabilillah, bukan untuk melanggar „tatanan moral‟ dan melanggar halal-haram, untuk membangun mashlahah (ishlah dan manfaat) bukan membangun mafsadat (fasad; bersifat rusak dan merusakkan)]. b. Bersikap sederhana, qonaah, zuhud atas harta (tidak cinta harta, tidak berfilosofi materialisme, individualisme, kapitalisme; yang melahirkan sifat tamak atas harta) c. Bersikap hemat, cermat, ringkas, efisien-efektif atas harta d. Bersikap moderat atas harta; tidak bakhil tidak juga ishraf 2. Seimbang (tidak ada tambahan/keuntungan (ziyadah) yang diperoleh seseorang tanpa haq, seseorang memperoleh sesuatu secara haq, tidak ada yang merusak fithrah ekonomi, tidak ada yang merusak keseimbangan ekonomi) 3. Adil (di dalamnya tidak terdapat kezaliman/ketidakadilan; la tazhlimun wala tuzhlamun)

20

I.IV

Sistem Ekonomi: Barat-Modern vs Islam Kehidupan dalam pandangan Barat-Modern adalah sebuah tatanan positif-sekuler; aturan positif-sekuler (akal/logika yang dibebaskan dari panduan moral) sebagai aturan yang paling tinggi, di mana konsekuensinya aturan moral tunduk dibawah otoritas aturan positif-sekuler. Di dalam tatanan positif-sekuler, peran Tuhan tidak wujud didalam kehidupan, tetapi manusia itu sendiri dengan akalnya adalah tuhan, manusia lah yang menentukan arah dan cara berkehidupan. Pandangan ini yang menentukan cara berekonomi dan sistem ekonomi yang dibangunkan oleh Barat untuk kehidupan. Sekalipun demikian, kaum barat-modern yang telah mendayagunakan akal sedemikian rupa telah berhasil membuat kemajuan dalam hal alam materi (tidak dalam hal spiritual), ketika akal dibebaskan dari hambatan-hambatan (dengan menganggap panduan moral juga sebagai hambatan) akal telah meruntuhkan tatanan moral agama dan menggantinya dengan tatanan sekuler. Di satu sisi, kemaujuan yang dihasilkan alam materinya membawa peradaban Barat menjadi peradaban yang unggul tak tertandingi secara kekuatan dan kekuatannya dimanfaatkan untuk memperbesar pengaruh dan hegemoninya ke seluruh dunia. Peradaban Barat-Modern telah menjadi prakarsa atas misi pewujudan tatanan dunia baru (dunia modern) (tidak terkecuali lewat aksi penjajahannya ke atas dunia). Bersamaan dengan pengaruh dan kekuasaan Barat ke atas dunia, konsepsi yang dipromosikan dan disepakatkan ke atas dunia oleh Barat juga termasuk dalam hal cara berekonomi dan sistem ekonomi modern sebagai cara berekenomi yang baku yang bisa diterima secara internasional. Sekalipun setelah faham-faham ekonominya mengalami koreksi-koreksi, misalnya dari perseteruan paham sistem ekonomi kapitalis-liberalis vs ekonomi sosialis-komunis, pada akhirnya melahirkan faham-faham baru – neo-isme, neo-isme – yang lebih soft dan mutakhir yang lebih mengukuhkan sistem ekonomi modern. Sistem ekonomi modern yang telah berlaku ke atas dunia sejatinya adalah produk tatanan sekuler, produk dari faham sekuler yang mengkesampingkan panduan moral; bahkan dalam arti aturan moral harus sesuai atau tunduk di bawah aturan positif-sekuler (logika yang bebas dari panduan moral). Satu hal yang paling pasti, apapun faham ekonomi dunia modern (baik itu kapitalis-liberalis, sosialis-komunis, atau pun gabungan atau modifikasi dari faham-faham baru/neo dari isme-isme itu) bahwa ketika ditinjau dalam sudut pandang Islam sistem ekonomi modern yang diwujudkan kaum Barat-Modern adalah sistem ekonomi yang curang (fraud), menindas, tidak adil di mana riba menjadi unsur utama yang tidak pernah menerima koreksi sama sekali dari sistem

21

ekonomi modern (walaupun setelah berkali-kali mengalami koreksi dari perseteruan faham-fahamnya). Kehidupan dalam pandangan Islam yang berlandaskan keimanan kepada Allah adalah sebuah tatanan moral (morale code); aturan moral adalah aturan yang memandu akal manusia di mana aturan positif (logika) tunduk di bawah otoritas aturan moral. Manusia akan mendapatkan arah dan cara berkehidupan yang benar melalui petunjukNya dengan mengikuti aturanNya sebagai sebuah moral code. Oleh karena itu, di dalam faham Islam maka cara berkehidupan, cara berekonomi dan sistem ekonomi yang dibangun untuk menyokong kegiatan berekonomi (praktik bermuammalah), haruslah sesuai dengan panduan moral. Bagaimanakah kegiatan berekonomi dalam kehidupan dengan tatanan moral? Islam sebagai cara hidup dengan tatanan moral, memiliki syariat (panduan moral/code) yang diturunkan (diwahyukan) kepada manusia sebagai kebijaksanaan praktis yang dapat diperoleh manusia dari Tuhan untuk menghindarkan manusia dari marabahaya dan memperoleh manfaat demi nasib kehidupannya, bahwa dalam berkegiatan ekonomi (praktik muammalah) itu tidak berlaku kezaliman baik dalam perolehannya dan pemanfaatan/pengeluarannya. Dalam perolehannya tidak boleh zalim; curang, menindas, merugikan orang lain, begitupun dalam pemanfaatan/pengeluaran (harta) tidak boleh zalim; melanggar ketentuanketentuan yang digariskan mengenai apa yang halal (dibolehkan) dan apa yang haram (dilarang) dan harus juga mematuhi ketentuan-ketentuan yang wajib seperti misalnya; menunaikan/mengeluarkan sebagian harta yang ditentukan berdasarkan ketentuan-ketentuan syariat. Tetapi panduan moral yang paling umum, paling mudah dipahami dan menjadi titik penting dalam kegiatan berekonomi itu ialah; dalam memperoleh harta tidak boleh berlaku dengan cara curang atau culas (Quran, Surat Al-A‟raf 7: 85, Quran, Surat Hud 11: 84-85, Quran, Surat AsySyu‟ara 26: 181-183).                       Sempurnakanlah takaran dan janganlah kamu Termasuk orang- orang yang merugikan; Dan timbanglah dengan timbangan yang lurus. Dan janganlah kamu merugikan manusia pada hak-haknya dan janganlah kamu merajalela di muka bumi dengan membuat kerusakan; (Quran, Surat Asy-Syu‟ara 26: 181-183)

Dalam tatanan moral Islam kegiatan berekonomi (praktik bermuammalah) itu keadilan harus tegak, di mana; sesorang tidak dapat dibenarkan menuntut keuntungan tanpa timbal balik atau kompensasi atau bayaran yang setimpal (atas keuntungan yang diperoleh tersebut). Keuntungan yang seperti ini contoh yang paling umumnya adalah tindak pencurian, perampokan, penipuan; di mana 22

keuntungan diperoleh secara cuma-cuma tanpa ada timbal balik atau kompensasi atau bayaran yang setimpal pada korbannya. Bagaimana kegiatan berekonomi dalam kehidupan dengan tatanan positif-sekuler ? Seandainya seseorang melakukan tindak pencurian, perampokan, penipuan baik itu oleh sudut pandang positif-sekuler maupun oleh sudut pandang Islam sepakat, ia adalah pelanggaran, sebuah pelanggaran kemanusiaan dan ia dapat diadili di depan hukum. Akan tetapi lain halnya dengan riba, apabila mengacu kepada kitabkitab suci agama baik itu Islam (Quran, Surat Ar-Rum 30: 39, Quran, Surat AnNisa 4:161, Quran, Surat Ali Imran 3: 130, Quran Surat Al-Baqarah 2: 275-278), Yahudi (Taurat; Eksodus 23: 24-25, Mazmur: 15, Yehezkiel 18: 5-9, Imamat 25: 3537, Ulangan 23: 19-20) dan Nashrani (Injil; Lukas 6: 34-35, Matius 25: 14-27, 21: 12-13) serta siapapun juga yang mereka berpegang teguh terhadap „tatanan moral‟ pasti mengenali riba adalah amalan yang dikutuk dan dilarang apapun juga bentuk ribanya. Namun riba ini adalah perkara yang susah dimengerti dan tidak banyak manusia yang dapat mengenali apa itu riba dan apa bentuk-bentuk riba. Barangkali perkara yang paling kritis pertentangannya antara tatanan positif-sekuler dengan tatanan moral mengenai cara berekonomi (praktik bermuammalah) adalah mengenai riba. Esensi riba sama halnya dengan semua jenis dan bentuk praktik muammalah yang mengandung esensi kecurangan. Riba artinya ziyadah; yaitu tambahan. Tambahan (atau keuntungan) yang diperoleh tanpa timbal balik atau kompensasi atau bayaran yang dibenarkan atau tanpa timbal balik atau kompensasi atau bayaran yang setimpal. Ada banyak bentuk riba, akan tetapi bentuk riba yang paling umum yang dikenali adalah lebihan yang dituntut dari pokok pinjaman, yakni bunga pinjaman (Quran, Surat Al-Baqarah 2: 278). Faham positif-sekuler berdalih bunga pinjaman tidak dipandang sebagai riba yang telah diharamkan agama-agama (bila bunganya ringan atau tidak berlipat-ganda) atau seandainya ia dipandang sebagai riba, bunga pinjaman adalah konsekuensi wajar sebagai harga dari uang (atau harga sewa dari uang/modal) atau ia adalah kompensasi atas nilai uang di masa depan yang lebih kecil nilainya dibanding dengan nilai uang di masa sekarang dan dengan berbagai alasan masuk akal lainnya; bunga penting untuk stimulus pembangunan ekonomi dan bisnis. Bila sudah demikian, maka di dalam pandangan positif-sekuler menganggap segala sesuatu ada harganya; dalam arti semuanya bisa dibeli dan dijual, semua hal bisa menjadi komoditas yang boleh diperjualbelikan. Dalam pandangan moral, tidak semua hal bisa dan boleh diperjualbelikan. Seperti misalnya; adakah uang di dalam Islam sebagai komoditas? Ataukah uang bukan komoditas melainkan hanya alat tukar yang tidak boleh mengambil untung dari 23

pada pertukarannya atau menuntut sewa dari padanya. Seperti misalnya; islam menentang perbudakan, manusia tidak boleh dijual, manusia harus dimerdekakan, akan tetapi manusia yang memerangi kemanusiaan mungkin dapat tergadai dirinya kepada perbudakan sebagai akibat kejahatannya yang memerangi kemanusiaan. Namun sejatinya manusia yang baik haruslah merdeka, dan kehadiran islam sejatinya adalah menghapuskan perbudakan di atas dunia yang mana kala pada masa terjadi perbudakan, penghapusan perbudakan harus dilakukan secara bertahap. Seseorang atau siapapun yang memperbudak manusia tanpa suatu alasan yang benar, adalah tindak kejahatan terhadap kemanusiaan yang ia pantas mendapatkan hal semisalnya atau hal yang setimpal; yakni perbudakan itu sendiri. Riba dalam pandangan islam menurut Syaikh Imran Hosein, telah digunakan dalam sistem keuangan modern sebagai alat perbudakan yang canggih yang lebih modern, lebih soft dan mutakhir. Pelaku praktik riba sejatinya telah membeli kebebasan/kemerdekaan manusia, selain dari pada itu secara bersamaan riba membuka jalan bagi pelakunya untuk memperoleh kekayaan cuma-cuma yang digunakan sebagai kekuatan dan kekuasaan dan pada akhirnya kekuatan dan kekuasaan digunakan untuk tujuan-tujuan atau misi-misi tertentu. Maka dari itu, bila pelaku praktik riba itu adalah seorang yang kafir yang tidak bertuhan (di mana apa yang dikhawatirkan itu nyatanya terjadi saat ini yaitu elit predator politik global barat-modern tak bertuhan) yang memiliki misi memperadabkan dunia (civilize the people) dalam suatu peradaban sekuler, adapun korban dari pada sistem ribawi itu adalah seorang yang beriman. Maka risiko dan dampak kerusakan (fasad) terbesar yang dapat menimpa seorang beriman dari praktik riba ialah bencana kesyirikan, di samping kekufuran dan kezaliman di mana; seorang tuan yang kafir akan memaksakan keyakinan, faham, cara berpikir, cara bertindak, cara berkehidupan yang tidak mengakui Allah sebagai satu-satunya Tuhan yang berhak disembah (mengabaikan peran Tuhan atas kehidupan) dari seorang hamba yang mukmin; di mana seorang manusia akan menyetujui apa yang Allah haramkan adalah halal dan apa yang Allah halalkan adalah haram; ini adalah perbuatan syirik yang tidak diampuni dosanya. Itulah yang terjadi saat ini, sistem ekonomi modern telah dibangun untuk menyokong praktik riba, untuk memperkaya yang kuat dan menindas yang lemah. Oleh karenanya deklarasi perang terhadap pelaku riba adalah balasan yang pantas, di mana riba sejatinya adalah tindakan perang, yang pengguna-nya berarti sedang berperang, memerangi kerajaan Allah Yang Maha Tinggi, Yang Maha Mulia, memerangi risalah para Nabi, dan memerangi orang-orang yang beriman.

24

                                 Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa Riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), Maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), Maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak Menganiaya dan tidak (pula) dianiaya. (Quran, Surat Al-Baqarah 2: 278-279)

Di dalam agama-agama Islam, Yahudi dan Nasrani, telah memiliki panduan moral dari kitab-kitab sucinya yang melarang praktik riba dalam bermuammalah. Kaum yahudi sejatinya memiliki panduan moral (syariat) yang melarang dan mengutuk praktik riba, tetapi kemudian Rabi-Rabi yahudi membengkokkan syariatnya dan menghalalkan praktik riba dimana Allah mengutuknya (Quran, Surat An-Nisa 4: 161). Kaum nashrani pun sejatinya memiliki panduan moral (syariat) yang melarang dan mengutuk praktik riba, tetapi kemudian tatanan moral yang pernah hadir di dunia kristen barat telah diruntuhkan oleh kelahiran tatanan positifsekuler, yang merubah wajah Barat-Kristen menjadi Barat-Modern. Adapun yang terjadi pada ummat Islam, kurang lebih sama-sama memprihatinkan dan juga terjadi dilematika-dilematika akibat kedatangan pengaruh tatanan positif-sekuler dunia modern, hal ini oleh karena akan selalu ada orang-orang yang dengan sengaja atau pun tidak berperang dipihak Iblis untuk memembengkokan dan menghancurkan tatanan moral yang semenjak dahulu diturunkan (diwahyukan) kepada manusia yang seharusnya memandu manusia ke jalan yang benar. Seiring dengan kemajuan dan perluasan pengaruh dan kekuasaan tatanan sekuler Barat-Modern ke atas dunia untuk mewujudkan tatanan dunia baru (dunia modern). Dunia Islam di perkenalkan dan dipersaksikan dengan sistem ekonomi modern; sistem ekonomi klasik-liberalis-kapitalis; di mana pasar menjadi institusi utama kegiatan ekonomi, adapun peran negara diisolir dari mengintervensi pasar dan kegiatan ekonominya; maka lahirlah para konglomerat-konglomerat, burjoisburjois, pebisnis kaya, namun di sisi lain tidak peduli pun juga pada kaum buruh, kaum proletar, orang bawahan yang selamanya terjebak dalam kemiskinan oleh karena sistem. Muncul sistem ekonomi lainnya; sistem ekonomi sosialis-komunis; negara mengintervensi pasar, negara mengintervensi individu, bahkan tidak ada hak individu, negara telah mendominasi campur tangan terhadap kegiatan ekonomi; dampaknya ekonomi menjadi lesu, kemiskinan malah merata. Sekalipun setelah itu bermunculan sistem-sistem ekonomi lainnya yang telah menerima koreksi dan perbaikan dari sistem ekonomi sebelumnya, yang wujud saat ini sebagai 25

ekonomi modern; peran negara kini diberikan dan dibatasi hanya mengenai kebijakan fiskal (pendapatan negara dan pengeluaran negara), faham sosialis mulai menerima keampuhan efisiensi self-adjustment pasar dan selain itu muncul aliran ekonomi yang mendukung dan menekankan peran moneter dibandingkan peran fiskal sebagai alat stabilitasi yang paling efektif lewat kebijakan pengelolaan jumlah uang beredar. Apapun bentuk sistem ekonomi modern itu, riba masih saja berlaku di dalamnya, ia tidak pernah menerima kritik dan koreksi, bahkan praktik riba itu didukung oleh sistem ekonomi yang dibangunkan (insitusi-institusi dan instrumeninstrumen) yang menyokong praktik-praktik riba. Ketika dunia dihadapkan dengan sistem ekonomi dan keuangan modern dengan bahasa-bahasa dan istilah-istilah yang rumit dan mekanisme-mekanisme yang sepertinya masuk akal. Susah sekali bagi dunia Islam untuk mengenali riba, dunia Islam baru saja bisa mengenali riba oleh karena faham-faham modern yang datang dari Barat yang bercirikan rasional-empiris-positif-materialistis-sekuler telah menaburkan faham-faham yang mengaburkan pandangan bahwa bunga adalah riba dan juga sistem ekonomi modern memiliki banyak lagi bentuk riba yang susah dikenali oleh ummat Islam, ummat Islam masih tertidur ketika elit politik global sedang menyerang ummat dengan riba. Akan tetapi sekali dunia Islam menyadari bahwa bunga adalah riba, baik nilainya sedikit atau banyak asalkan itu adalah „lebihan‟ dari pokok pinjaman maka ia adalah suatu bentuk riba yang telah diperingatkan dan diberikan contohnya di dalam Al-Quran (Quran, Surat AlBaqarah 2: 278) sebagai salah satu riba yang sangat berbahaya. Dunia Islam harus segera mencarikan jalan keluarnya untuk ummat untuk terlepas dari riba. Menanggapi hal ini kaum Islam modernis (yang menerima apa yang datang dari Barat tanpa ketelitian yang kritis) dengan latahnya memunculkan konsepsi sistem keuangan bank islam atau bank syariah, tidak terkecuali instrumen-instrumen pasar modal yang dikatakan syariah. Kaum Islam modernis ini memahami ekonomi islam adalah ekonomi yang bebas bunga, maka bank islam atau bank syariah serta produk-produk keuangan islam (islamic finance) lainnya yang bebas bunga dipahami juga sebagai sistem keuangan yang bebas riba. Mengartikan ekonomi islam sebagai ekonomi yang bebas bunga adalah pemahaman yang belum tuntas. Bahwa riba bukan hanya bunga pinjaman, riba memiliki bentuk-bentuk lainnya, oleh karenanya pemahaman yang betul bahwa ekonomi islam itu bukan hanya bebas bunga semata, tetapi bebas dari segala bentuk riba termasuk yang paling utamanya adalah riba dayn; riba bunga pinjaman. Hal ini sering sukar dipahami para sarjanawan atau pelajar islam oleh karena pengaruh modernisme barat-sekuler telah merasuki sendi-sendi kehidupan ummat islam dan tak tersadarkan syirik dengan wajah modern menyusupi sistem hidup kaum muslimin. 26

Sistem ekonomi yang terbangun ke atas dunia pada hari ini adalah sistem yang menyokong kegiatan ekonomi yang menghalalkan riba. Faham atau filosofi BaratModern lah yang paling berpengaruh dan bertanggung jawab bagi perwujudan peradaban dunia modern sekuler ini. Maka di dalam buku ini kita ingin mencari konsepsi ekonomi yang betul-betul terbebas dari riba yang sesuai dan konsisten dengan landasan imani islam yang asli. Adakah sistem ekonomi yang dibangun dengan landasan imani (Al-Quran dan Sunnah) itu lebih unggul dari pada sistem ekonomi yang dibangun dengan landasan tatanan modern sekuler? Ataukah sistem ekonomi yang dibangun dengan landasan imani itu tidak akan pernah mengungguli sistem ekonomi yang dibangun dengan landasan tatanan modern sekuler? Oleh karena itu, pertanyaan besar yang ingin dijawab di dalam buku ini adalah; Bagaimanakah konsepsi ekonomi Islam yang asli itu? – bukan ekonomi islam yang palsu atau kita bisa menyebutnya iqtishad sebagai ekonomi islam yang otentik –.

27

II

LANDASAN II.I

Epistimologi Islam

A

llah adalah yang menciptakan segala sesuatu (Allah Al-Khaliq), Allah adalah yang mengetahui segala sesuatu (Al-Alim), Allah sumber ilmu, semua ilmu milik Allah, ilmu Allah meliputi segala sesuatu. Apa yang Allah hendaki/izinkan wujud maka wujud, apa yang Allah hendaki/izinkan tiada maka tiada. Segala sesuatu yang ada yang tercipta tidak luput dari pengetahuan Allah, segala sesuatu yang menghilang yang menjadi tiada tidak luput dari pengetahuan Allah. Allah mengetahui yang nampak (zhahir), Allah mengetahui yang ghaib, yang tidak nampak, yang tersembunyi (bathin). Allah yang Awal, Allah yang Akhir. Alam wujud (segala sesuatu yang ada, yang sejatinya ada; realitas absolut) oleh manusia bisa diketahui, bisa tidak. Ketika alam wujud bisa diketahui manusia maka ia akan berupa pengetahuan, ilmu, gambaran, pandangan, persepsi. Adakalanya pengetahuan (ilmu, persepsi) manusia benar (valid) yaitu; bila yang ada dalam „persepsi‟ sesuai dan sama persis dengan kenyataan alam wujud (realitas absolut). Namun adakalanya pula pengetahuan (ilmu, persepsi) manusia itu tidak benar (valid) yaitu; bila yang ada dalam „persespi‟ tidak sesuai, tidak sama persis dengan kenyataan alam wujud (realitas absolut). Filosofi (philosophia; „cinta kebijaksanaan‟) adalah kegiatan manusia menggunakan akal (intelect, reason, rasio) sebagai alat (indera) manusia yang canggih, yang distinct, yang cerdas, yang mampu berfungsi untuk mengungkap, untuk menyingkap alam wujud, melalui process of logic berbasis input („pengetahuan sumber‟) untuk memperoleh pengetahuan yang benar atasnya, untuk memperoleh kebenaran atasnya. Tujuan dari kegiatan filosofi itu, tidak lain tujuannya adalah agar manusia memperoleh kebijaksanaan (hikmah atau wisdom); yakni mengetahui apa-apa yang dapat membahayakan dan mencelakakan bagi manusia dan apa-apa yang dapat membawa kepada manfaat atau keselamatan kepada manusia. Sehingga ilmu atau pengetahuan yang benar yang diperoleh manusia bisa dimanfaatkan dalam tindakan, dalam cara berkehidupan. 28

Akal tidak akan menjadi berguna (nihil) tanpa terlebih dahulu memiliki „pengetahuan sumber‟, pengetahuan mentah, pengetahuan input yang menjadi data untuk kegiatan berpikir (process of logic) untuk menghasilkan pengetahuan jadi, pengetahuan output yang disebut „persepsi‟ (ilmu, pengetahuan, gambaran). Pengetahuan sumber, diperoleh manusia melalui penginderaan, penginderaan terhadap Alam Wujud menggunakan indera-indera (indera jasmaniah; pancaindera dan indera bathiniah: indera kalbu/qalbun) yang dimiliki manusia. Alam wujud yang dapat diindera manusia berwujud „fenomena‟ atau ia disebut sebagai ayaat (signs, symbol, sandi). Ayaat menjadi pengetahuan sumber, pengetahuan mentah yang diproses akal (process of logic) untuk menghasilkan atau menyusun „persepsi‟. „Persepsi‟ manusia yang sudah ada kemudian akan kembali menjadi „pengetahuan sumber‟ yang baru bagi input akal (process of logic) yang akan selalu mengalami pertentangan atau pencocokan dengan Alam Wujud (realitas absolut) yang ditangkap indera manusia dalam bentuk fenomena-fenomena yang baru lagi (ayaat); sebagai „pengetahuan sumber‟ tambahan yang dihasilkan oleh penginderaan (pengalaman dan pengamatan), sehingga „persepsi‟ (pengetahuan, ilmu, pandangan) akan mengalami koreksi dan kemapanan validitas untuk menghasilkan „persepsi‟ (pengetahuan, ilmu, pandangan) yang benar, pengetahuan yang semakin mendekati kebenaran, seiring berjalannya waktu kedepan. Bagaimana cara manusia memperoleh pengetahuan alam wujud? dan adakah pengetahuan yang diperoleh itu valid (benar) atau tidak? Ini disebut bidang kajian Epistimologi. Epistimologi; yakni suatu cabang ilmu filosofi yang menjelaskan bagaimana pengetahuan (ilmu, persepsi, pandangan) manusia mengenai alam wujud (segala sesuatu yang ada; realitas absolut) itu diperoleh manusia dan apakah pengetahuan (ilmu, persepsi, pandangan) yang diperoleh itu valid (benar) ataukah tidak; yakni sesuai dengan kenyataan alam wujud (realitas absolut) ataukah tidak. Hal ini merupakan subjek penting bagi manusia karena hanya kebenaran (pengetahuan yang benar) yang dapat membawa manusia kepada kebijaksanaan (hikmah atau wisdom); yang dengan sebenar-benarnya dapat membawa manusia kepada keselamatan dan perolehan manfaat (“cahaya”), serta menjauhkan manusia dari marabahaya dan kecelakaan (“kegelapan”); mengeluarkan manusia dari kegelapan menuju cahaya. Ruang lingkup alam wujud yang dicoba dijangkau menjadi objek berfilsafat itu sendiri melingkupi misteri mengenai; (1) alam semseta, (2) manusia itu sendiri dan (3) metafisika. Awal mulanya akal digunakan untuk memahami alam semesta (material universe atau alam thabi‟i), kemudian akal digunakan untuk memahami diri manusia itu sendiri, kemudian akal digunakan untuk menyingkap segala sesuatu yang ada dibalik semuanya yang nampak (alam ghaib; seven parallel universes; sab‟a samawaat), termasuk mengenai Tuhan, seperti misalnya pertanyaan; adakah Tuhan itu? 29

Dalam cara biasa (konvensional) „pengetahuan sumber‟ diperoleh manusia dengan cara mengupayakan penginderaan terhadap alam wujud itu sendiri, yang muncul dalam bentuk „fenomena‟ (ayat; simbol atau sandi). „Fenomena‟ yang dihasilkan oleh pancaindera (indera jasmaniah) ia disebut sebagai ayat kauniyyah, kemudian „fenomena‟ diproses oleh akal (process of logic) sehingga menghasilkan „persepsi‟ mengenai alam wujud, begitulah seterusnya „persepsi‟ akan dipertentangkan dan dicocokan kembali dengan alam wujud (realitas absolut) yang ditangkap indera dalam wujud „fenomena-fenomena baru‟, untuk menghasilkan „persepsi‟ baru dan mutakhir. Kaum rasionalis barat telah meyakini dan bersikukuh, membangun disiplin ilmu berlandaskan filosofi yang berlandaskan standar bahwa; pengetahuan yang dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya adalah pengetahuan (ilmu, persepsi, pandangan) yang dibangun berdasarkan pengetahuan sumber yang diperoleh dari pengalaman dan pengamatan inderawi (pancaindera); observasi empiris (empirisme) yang diproses akal dengan mengolahnya sebagai makna-makna terukur (kuantitatif dan kualitatif) (positivisme). Kaum rasionalis barat telah meyakini dan bersikukuh hanya dengan bersandar pada akal dan observasi empiris (pengalaman dan pengamatan) sebagai data dengan makna-makna terukur sebagai jaminan validitas pengetahuan (ilmu, persepsi, pandangan) yang benar, selain dari pada itu merupakan pengetahuan (ilmu, persepsi, pandangan) yang tidak dapat dipastikan dan dipertanggungjawabkan kebenarannya atau ia dikatakan sebagai pengetahuan subjektif. Adapun dalam Islam, sebetulnya „pengetahuan sumber‟ di dalam Islam mengakui dua sumber jalan perolehan; (1) yang pertama ialah pengetahuan yang diupayakan oleh pengalaman dan pengamatan inderawi/pancaindera (observasi empiris) dan mengolah makna-makna terukur (positif), ia adalah sebagaimana yang diupayakan kaum rasionalis Barat, dan ilmu jenis ini di dalam Islam boleh disebut sebagai ilmu hushuli; ilmu yang diupayakan menggunakan pancaindera dan akal manusia. Adapun yang kedua (2) ia adalah „pengetahuan sumber‟ yang diperoleh dari pengalaman indera kalbu (qalbun) atau tangkapan indera hati, indera bathiniah manusia, kaum rasionalis menyinggungnya sebagai pengetahuan yang subjektif, pengetahuan ini di dalam Islam disebut dengan ilmu hudhuri (knowledge by presence atau revealed knowledge), ada kalanya ilmu jenis ini merupakan „ilmu yang datang‟ (datang sendiri – tidak dicari atau diupayakan, atau ia datang karena diupayakan), ilmu jenis ini diterima secara transmisi atau terpancar (transmited) dari alam wujud (ada yang mengirimnya), ilmu hudhuri dapat muncul berupa; intuisi atau ilham, firasat, mimpi dan penglihatan (ru‟yat dan kasyaf), hidayah dan juga wahyu. Ilmu hudhuri tidak semuanya benar dan memang benar ilmu hudhuri bersifat subjektif, karena pada dasarnya sifat ilmu hudhuri memang tidak dapat dipastikan 30

kebenarannya, adakah ia kebenaran atau kesesatan belaka. Hal ini karena pengetahuan yang diterima secara hudhuri, seperti halnya kasyaf atau mimpi seseorang sejatinya memiliki 3 kemungkinan: (1) ia prasangka (muncul dari diri manusia sendiri; alam pikiran atau bawah sadar), (2) ia kesesatan atau palsu (berasal dari tipuan atau bisikan jahat syaithan), (3) ia kebenaran (berasal dari Allah). Maka dari itu, ilmu yang benar yang diperoleh secara hudhuri, datangnya hanya dari Allah, atau ia disebut dengan „ilm ladunni (pengetahuan yang diperoleh seseorang langsung atau berasal dari Allah secara hudhuri), adapun hudhuri yang muncul oleh karena „perasaan‟ atau prasangka, bisa jadi benar bisa juga tidak dan ia bersifat subjektif. Sebagaimana ilmu hudhuri tidak dapat dipastikan kebenarannya dan bersifat subjektif, namun ilmu atau pengetahuan hudhuri boleh diketahui dan dipastikan kebenarannya (validitasnya) apabila ada bukti-bukti qath‟i yang mendukungnya atau pengetahuan tersebut datang secara bersamaan dengan membawa bukti, bukti yang dapat diindera oleh manusia (mukjizat hissiyah) dan juga dapat ditimbang dengan akal secara jujur (mukjizat aqliyah/ma‟nawiyah). Apabila ia membawa bukti (mukjizat) yang cukup dan bisa diterima, maka ia adalah pengetahuan yang benar. Seseorang yang memperoleh ilmu hudhuri (ladunni; dari Allah) adalah konsepsi kenabian (nubuwwah; ‫ ;)نبوة‬yakni seseorang yang menerima ilmu atau pengetahuan dari Tuhan akan hakikat alam wujud dan juga berita di masa depan, sebagaimana Nabi dari kata naba‟, artinya adalah pembawa berita atau pembawa kabar. Seorang Nabi (‫ )نبى‬adalah manusia pilihan Allah yang terus dan selalu memperoleh pengetahuan dari Allah secara hudhuri: baik itu berupa ilham atau intuisi, firasat, mimpi dan penglihatan atau visi (kasyaf dan ru‟yat) dan juga wahyu. Pengetahuan kenabian yang terbesar dan paling utama disebut sebagai Wahyu. Wahyu datangnya dari Allah, dikirimkan, diturunkan oleh Allah secara langsung kepada manusia yang menerimanya, atau melalui perantara utusanNya (malaikat Jibril a.s). Wahyu merupakan pengetahuan yang diterima manusia secara hudhuri, ia dapat berupa gambaran, intuisi, inspirasi, ilham, gambaran, ru‟yat (penglihatan), mimpi dan adakalanya wahyu berbentuk verbal; kalam-kalimah (kalamullah, kalimatullah) yang kesemua bentuk Wahyu tersebut dapat datang dan diterima oleh seorang Nabi. Apabila seorang Nabi diwahyukan kepadanya kitab (buku) atau shuhuf (lembaran) yang berisikan firman Allah; kalimah Allah atau kalam Allah, wujud dalam bentuk kitab Allah, yang diturunkan (At-Tanzil) kepada seorang Nabi tersebut, maka Nabi tersebut adalah seorang Rasul. Wahyu kitab atau shuhuf berisikan kebenaran (pengetahuan Allah; pengetahuan yang benar) yang berfungsi 31

sebagai panduan kehidupan, memuat ilmu, hikmah dan hukum yang benar mengenai Alam Wujud (realitas absolut). Seorang Nabi yang kitab atau shuhuf diwahyukan kepadanya adalah juga merupakan risalah khusus dan formal/resmi dari kerajaan Allah Yang Maha Tinggi untuk manusia, yang harus diserukan kepada manusia (atau kaum tertentu) agar manusia berhukum dan berpandukan dengan hukum atau kebenaran yang Allah turunkan dalam berkehidupan dan ini menjadi misi para Nabi dan Rasul. Tidak lain misi para Nabi dan Rasul adalah agar manusia bisa memperoleh sebenar-benar hikmah (wisdom) yakni; dengan sebenarbenarnya dapat mengeluarkan manusia dari kemarabahayaan atau kerugian atau kecelakaan kepada keamanan, keberuntungan, keselamatan. Adapun salah satu di antara kitab Allah yang terbesar, yang diturunkan kepada manusia, ialah Al-Quran, ia diwahyukan kepada manusia pilihan Allah, yaitu Nabi Muhammad ‫ز‬, sebagai Nabi dan Rasul terakhir. Nabi Muhammad ‫ ز‬sebagai seorang Nabi merupakan manusia yang terus selalu menerima pengetahuan dari Allah secara hudhuri, terus selalu menerima wahyu dari Allah baikkah ia berupa intuisi, gambaran, ru‟yat (penglihatan), mimpi dan pengalaman kenabian dan adakalanya wahyu Allah berbentuk verbal; kalam-kalimah (kalimatullah atau kalamullah), Nabi Muhammad ‫ ز‬sebagai seorang Rasul maka diantara wahyu kalam tersebut ada yang merupakan buku (Al-Kitab) sebagai wahyu yang terbesar yang diterima oleh Nabi ‫ز‬. Seluruh pengetahuan kenabian dan seluruh wahyu yang diterima oleh Nabi Muhammad ‫ز‬, yang kemudian dinukilkan, dibacakan, disampaikan, diceritakan, diajarkan Nabi ‫ ز‬kepada manusia terutama sekali mulanya lewat orang-orang terdekatnya; generasi awal ummat Islam; para shahabatnya, sehingga Nabi ‫ ز‬telah berhasil memberikan pencerahan, pendidikan, pengajaran kepada para shahabatnya, maka para shahabat yang telah berhasil memperoleh pengajaran dan pendidikan dari Nabi ‫ ز‬telah dikenal jujur dan terpercaya, kemudian para shahabat yang terkenal jujur dan terpercaya tersebut mendokumentasikannya dalam bentuk ingatan, catatan, tulisan yang terbagi kepada dua bagian besar; (1) ia wujud dalam bentuk teks (nash) Al-Quran yaitu yang murni kalam Allah, firman Allah, wahyu Allah yang merupakan kitab yang telah diajarkan, disampaikan secara hati-hati dan secara pasti oleh Nabi ‫ ز‬sehingga ia dapat diterima, dijaga, dilestarikan secara ketat oleh para shahabatnya secara otentik., (2) dan teks (nash) Ahadits yaitu ia adalah pengetahuan dan pengalaman kenabian (seluruh wahyu baik wahyu yang berupa kitab ataupun yang bukan kitab yang diterima secara hudhuri) yang termanifestasi, wujud ke dalam bentuk sabda (perkataan; di antarany yaitu hadits Qudsi; yaitu kalam Allah yang bukan merupakan Al-Kitab/Al-Quran) dan teladan (perbuatan, taqriri; reaksi/respon/klarifikasi Nabi ‫ ز‬atas suatu persoalan, dan sunnah; „cara hidup‟) 32

Nabi Muhammad ‫ ز‬dalam prikehidupan Islam yang berjalan dalam masa kehidupan

para

shahabat

bersama-sama

Rasulullah

‫ز‬,

kesemuanya

didokumentasikan, diriwayatkan, dijaga dan dilestarikan dalam ingatan dan tulisan berupa teks (nash) Ahadits oleh generasi ummat Islam mulai dari para shahabat hingga generasi terakhir ummat Islam. Al-Quran dan Ahadits, keduanya merupakan pengetahuan yang diturunkan (AtTanzil; berasal dari Allah) keduanya adalah bagian dari kenabian dan kerasulan Nabi Muhammad ‫ز‬, yang saling melengkapi. Kedudukan Ahadits, disamping AlQuran berfungsi strategis untuk menjelaskan keumuman Al-Quran, berfungsi sebagai penjelas (bayan) dan memperinci keumuman Al-Quran, ia adalah authority (wewenang) Sang penerima Wahyu Al-Quran itu sendiri; baginda Nabi ‫ ز‬dalam menjelaskan maksud keseluruhan Al-Quran, yang dibimbing oleh pengetahuan dari Allah; pengetahuan kenabian (wahyu). Begitupun Al-Quran disamping Ahadits adalah berfungsi membenarkan apa yang disampaikan Muhammad ‫ ز‬kepada kaumnya, kepada manusia, bahwa apa yang dikatakanya adalah benar. Posisi AlQuran tanpa Ahadits, Al-Quran tidak memiliki penjelas (bayan) dan perinci dari pada makna-makna kalimah Al-Quran yang umum, begitupun Ahadits tanpa AlQuran bila berdiri sendiri ia tidak akan memiliki sokongan yang kuat, di mana fungsi Al-Quran adalah menguatkan Ahadits itu sendiri dan menjaga Ahadits dari kebengkokan. Al-Quran dan Ahadits merupakan wahyu Allah dan manifestasi dari pada wahyu Allah, yang datangnya secara hudhuri pada diri Nabi ‫ ز‬yang sifatnya bathin menjelma menjadi zahir sebagai ayat (simbol, sandi, tanda) dalam bentuk verbal; yaitu kalam, kalimah yang beresensikan wahyu dari Allah atau ia disebut sebagai ayat al-qouliyyah, sebagai salah satu jenis dari pada ayat Allah disamping ayat al-kauniyyah (simbol, tanda, sandi dari pada alam thabi‟i), yang ayat verbal (al-qouliyyah) tersebut dapat diretas maknanya, dapat dipelajari maknanya, bisa ditimbang dengan akal sehingga menjadi dalil, atau disebut dengan dalil naqly (wahyu kenabian yang dinukilkan, dibacakan, dituliskan), ia adalah wahyu yang dituliskan yang mewujud dalam bentuk teks (nash); nash Al-Quran dan nash Ahadits. Oleh karena keduanya; Al-Quran dan Ahadits datangnya dari Allah, ia adalah wahyu, ia datangnya secara bathin kepada diri Nabi ‫ ز‬kemudian ia dinukilkan, dibacakan, dituliskan sehingga ia mewujud menjadi zhahir, maka ia dapat dipelajari secara hushuli oleh manusia, ia menjadi pengetahuan yang bisa diperoleh secara hushuli; ilm hushuli atau ilm azzhahir, maka dari itu ia disebut juga sebagai „pengetahuan yang menampak‟ (revealed knowledge); yang datangnya dari Tuhan secara bathin pada diri Nabi kemudian mewujud menjadi zhahir. Al-Quran dan Ahadits adalah pengetahuan kenabian 33

(wahyu) yang datangnya dari Allah, yang menjadi ayat-ayat verbal (qouliyyah) yang datang menghampiri manusia, yang mendatangi manusia dari Tuhan yang mengirimnya, untuk menjadi bahan pikiran, untuk menantang manusia, mengajak dan mengundang manusia untuk berpikir dan membuktikan kebenarannya secara akal untuk diimani. Ayat-ayat Allah baik berupa ayat-ayat verbal/lingual (qouliyyah) maupun ayat-ayat kauniyyah keduanya adalah merupakan ayat (tanda, simbol, sandi) yang bisa menjadi (input) bahan pikiran manusia (process of logic) agar manusia memikirkannya untuk memperoleh petunjuk dan pengetahuan yang benar yang ada dibalik tanda/simbol/sandi tersebut. Al-Quran dan Ahadits, merupakan dua sumber „pengetahuan sumber‟ yang utama di dalam Islam yang diketahui dan diimani sebagai sumber-sumber pengetahuan yang benar, pengetahuan yang datang dari Allah yang diturunkan (At-Tanzil), yang mengandung kebenaran mutlak, yang berfungsi untuk (1) menjadi petunjuk kehidupan yang paling utama bagi manusia, (2) sandaran/landasan yang paling utama untuk merujuk persoalan manusia, (3) hakim atau tolak ukur yang paling utama menghakimi persoalan manusia. Kebenaran dan Keaslian (Otentisitas) Al-Quran Di antara kaedah (yaitu secara hushuli; penelitian atau studi) yang bisa diterapkan untuk menginvestigasi adakah „ilmu yang datang‟ atau „ilmu yang menampak‟ (revealed knowledge; wahyu) itu kebenaran atau kesesatan belaka yaitu dengan cara: (1) Pembelajaran atau studi menyeluruh dan lengkap dari „ilmu yang datang‟ tersebut (2) Bilamana ia mengandung kontradiski atau pertentangan memperlihatkan ia memiliki kecacatan yang mengindikasikan ia nisbi (relatif dan subjektif), ia tidak benar, ia sesat, ia palsu. (3) Bilamana ia harmoni (tidak terdapat kontradiksi atau pertentangan) memperlihatkan ia memiliki kesempurnaan yang mengindikasikan ia adalah kebenaran. Salah satu wahyu Allah yang terbesar dalam sejarah manusia yang membawa bukti kebenaran yang bisa diterima manusia adalah kitab Al-Quran yang diturunkan kepada manusia istimewa pilihan Allah sebagai Utusan Allah, Nabi Muhammad ‫ز‬. Al-Quran itu sendiri merupakan mukjizat (bukti) Nabi Muhammad ‫ز‬, ia yang merupakan ayat-ayat qouliyyah yang menjadi alat untuk pembuktian kebenarannya itu sendiri (dalil naqly), ia adalah kalam-kalimah (kalimatullah) yang memuat ilmu, ilmu dari ilmu Allah, memuat hikmah-hikmah dan hukum-hukum, yang menerangkan hakikat Alam Wujud (realitas absolut) apakah itu tentang alam ghaib (sab‟a samawat; seven parallel universe), tentang Tuhan, tentang Alam Semesta 34

(material universe), tentang manusia, ia Al-Quran bisa menjelaskan segala sesuatu, „tibyanan likulli syaiin‟ (Quran, Surat An-Nahl 16: 89). Maka dengan pertimbangan akal yang sehat dan jujur Al-Quran memiliki bukti yang cukup bahwa ia adalah kebenaran yang berasal dari Tuhan. Bilamana diupayakan secara hushuli; dikaji, ditelaah, diteliti secara menyeluruh dan lengkap, niscaya tidak akan didapati kontradiksi, melainkan harmoni yang menunjukkan, mengindikasikan bahwa ia adalah kebenaran. Apabila ia diterima dan diimani sebagai kebenaran maka ia menjadi sumber ilmu bagi manusia yang mengimaninya, termasuk juga hal-hal yang diimani di dalamnya bahwa: 1. Allah pemilik kebenaran mutlak (Allah Al-Haq), kebenaran hanya datang dari Allah; manusia tidak dapat mengupayakan perolehan kebenaran dengan upaya apapun kecuali mencarinya, memintanya dari Allah, kembali kepada Allah. 2. Al-Quran adalah Wahyu Allah yang dijamin kebenarannya, dijaga kebenarannya oleh Allah dengan kekuatanNya dari korupsi atau kerusakan dan upaya pengrusakan atau pembengkokan hingga hari kiamat, termasuk juga dari penambahan atau pengurangan ayat-ayatNya. 3. Al-Quran adalah Al-Furqan; yakni kebenaran mutlak yang berfungsi sebagai tolak ukur yang dapat membedakan, mana-mana kebenaran dan manamana kebengkokan atau kesesatan. Kebenaran dan Keaslian (Otentisitas) Ahadits Kebenaran dan Otentisitas Al-Quran dan kejujuran Nabi Muhammad ‫ز‬, Sang penerima Wahyu itu sudah cukup untuk menjadi bukti bahwa apa yang diterima dan disampaikan baginda Nabi ‫ ز‬adalah kebenaran, maka termasuk juga pengetahuan kenabian (yang dicatat ke dalam nash Ahadits). Akan tetapi, sekalipun para shahabat aslaf (generasi awal) adalah para shahabat yang jujur dan terpercaya, Ahadits; yaitu catatan teks (nash) mengenai; sabda, perbuatan, sunnah (cara hidup) yang merupakan bagian dari kenabian Nabi ‫ز‬, yang menjadi; sumber hukum, sumber tatanan, sumber ilmu, sumber pengetahuan, sumber hikmah kedua setelah Al-Quran, perlu melewati beberapa generasi untuk sampai kepada generasi ummat Islam yang terakhir, disinilah otentisitas ahadits diuji, karena akan muncul korupsi, akan muncul orang-orang yang berdusta atas nama Nabi ‫ ز‬ataupun oleh karena kealpaan dan kecacatan dalam upaya pengingatan, pencatatan, pelestarian kebenaran dan keaslian (otentistas atau keshahihah) Ahadits. Ahadits yang shahih (otentik) bisa diupayakan secara hushuli--aqliyyah (yaitu penelitian atau observasi secara empiris-positif terhadap fakta-fakta dan data 35

biografi dan historis periwayatan Ahadits) bisa diupayakan lewat penelitian periwayatan Ahadits (sanad; rantai periwayatan, lafadz, rowi; periwayat, dan lain-lain) oleh ulama-ulama ahli hadits; yaitu disebut dengan bidang disiplin Ilmu Hadits; sehingga dengan melakukan studi Ilmu Hadits bisa membantu pembedaan dan pembuatan tingkatan-tingkatan, jenis-jenis dan derajat-derajat Ahadits untuk memelihara dan melestarikan kandungan kebenaran yang ada dalam Ahadits; adakah ia shahih, dhaif, mardud, dan lain-lain, hingga ia diwariskan dari satu generasi ke generasi, hingga generasi terakhir ummat Islam oleh para ulama Ahadits rahimahumullah, sehingga kebenaran dan keaslian Ahadits tetap lestari dan terpelihara. Sekalipun demikian, tidak ada dalil di dalam Al-Quran dan Ahadits yang mengatakan Ahadits bebas dari korupsi atau kebengkokan, tidak ada dalil di dalam Al-Quran dan Ahadits yang mengatakan atau menujukkan Ahadits terjamin dari korupsi dan kebengkokan dan memiliki jaminan otentisitas (kesahihan) yang mutlak, dan justru dalil-dalil menunjukkan bahwa barangkali ada orang yang berdusta atas nama Nabi ‫ز‬, oleh karena itu sejatinya Ahadits tidak memiliki jaminan otentisitas secara mutlak, dijamin oleh Allah dari kebengkokan sebagaimana Al-Quran, sekalipun setelah diupayakan oleh para ulama Ahadits rahimahumullah. Oleh karena itu, selain telah diupayakan lewat ilmu hadits, perlu ditempuh pula upaya yang kedua yang termasuk jenis upaya hushuli-qouliyyah (bil manqul atau bil ma‟tsur); yaitu studi penelitian menggunakan data ayat-ayat qouliyyah yaitu menggunakan tolak ukur dalil-dalil Al-Quran itu sendiri sebagai alat untuk membedakan (Al-Furqan) mana-mana Ahadits yang bisa dijadikan landasan dan mana-mana yang kurang tepat atau kurang kuat dijadikan landasan, atau juga Ahadits yang menyesatkan. Maka yang perlu dipahami adalah bahwa; pada dasarnya kedudukan Ahadits tanpa Al-Quran ibarat Bible atau Talmud; yang merupakan kumpulan „sabda-sabda‟ atau „perkataan‟ murid-murid Musa a.s, muridmurid Isa a.s, disamping „sabda-sabda‟ Musa a.s dan Isa a.s sendiri, dan juga barangkali bercampur dengan „perkataan‟ sejarawan atau orang yang mengaku murid-murid Musa a.s dan murid-murid Isa a.s, atau orang yang mengaku Nabi atau orang mengaku Rasul atau yang mengaku memperoleh wewenang Musa a.s atau Isa a.s, di mana Ahadits memiliki kemungkinan juga bercampur dengan subjektifitas si penyampai hadits. Oleh karena itu maka, disamping Al-Quran memiliki posisi yang strategis atas Ahadits di mana ia menguatkan, membenarkan dan membela Ahadits itu sendiri (membela kebenaran yang disampaikan Nabi Muhammad ‫)ز‬, tetapi satu lagi fungsinya atas ahadits yaitu; Al-Quran dapat digunakan sebagai tolak ukur (Al-Furqan; yaitu Al-Quran adalah kebenaran mutlak yang dapat berfungsi untuk membedakan mana kesesatan atau kenisbian, mana kebenaran dan kemutlakan); mana-mana Ahadits yang bertentangan dengan totaliti 36

dalil-dalil Al-Quran dan mana-mana Ahadits yang bersesuaian atau dapat diterima (menjadi hujjah dan sandaran) yaitu bila tidak bertentangan dengan totaliti dalildalil Al-Quran, adapun seiring bersamaan dengan itu syarat dalam menggunakan Al-Quran sebagai tolak ukur adalah yaitu menggunakan dalil-dalilnya secara lengkap dan relevan (lihat kelanjutannya di Sub-Bab Metodologi Ilmiah Islam; „Metodologi Studi Teks (Nash)‟). Oleh karena itu, berdasarkan ini maka, Ahadits otentisitasnya menjadi jatuh kepada kenisbian (kebenarannya relatif) apabila ia berdiri sendiri untuk membangun hujjah, dan tidak berdiri bersama-sama atau bersanding dengan Al-Quran (dengan menggunakan dalil-dalil Al-Quran secara lengkap), Ahadits harus bersandar pada Al-Quran, sinkron dan harmoni, Ahadits tanpa bersandar pada Al-Quran dan berdiri sendiri, kedudukannya sama seperti Bibel dan Talmud. Sehingga berdasarkan semua yang telah dijelaskan mengenai kebenaran dan keaslian Al-Quran dan Ahadits, dapat dipahami bahwa Al-Quran memiliki fungsi vital dan strategis bagi semua pengetahuan, semua jenis pengetahuan baik „pengetahuan sumber‟ maupun ilmu pengetahuan yang lainnya yaitu; Al-Quran fungsinya sebagai; (1) Landasan yang utama dan mutlak bagi suatu ilmu/semua ilmu, (2) Tolak ukur/hakim yang utama dan mutlak bagi suatu ilmu/semua ilmu. Sehingga Al-Quran dan Ahadits secara bersama-sama di dalam Islam kedudukan peran dan fungsinya adalah; (1) sumber ilmu yang utama dan (2) sandaran semua ilmu. Epistimologi Islam dalam Sub-Bab ini seperti yang telah dijelaskan, bahwa sumber ilmu di dalam Islam adalah mengakui peran-peran semua indera (alat) yang dimiliki manusia untuk memperoleh ilmu; (1) indera akal, (2) indera jasmaniah (pancaindera), (3) indera kalbu (qalbun). Dan Allah telah menciptakan Alam Semesta (material universe atau alam thabi‟i) adalah sebagai ayaat (tanda, sign, symbol) dari keberadaan Alam Wujud (realitas absolut) yang bisa diindera dengan pancaindera; yaitu sebagai ayat-ayat kauniyyah, namun selain dari pada itu pula Allah menurunkan jenis ayat-ayat yang lain, yang mendatangi manusia itu sendiri yang disebut dengan „pengetahuan Tuhan‟ atau „ilmu Tuhan‟ yang diturunkan (AtTanzil) yang memuat hukum-hukum, hikmah-hikmah, ilmu-ilmu dalam bentuk wahyu yang menghadirkan “tanda”; ayat dari pada jenis ayat al-qouliyyah. Maka dari itu ilmu dalam islam diperoleh lewat mengakui fungsi semua indera yang ada dan menggunakan sumber data yang lengkap (dari ayat-ayat kauniyyah dan ayat-ayat alqouliyyah), dan selain menggunakan akal, satu hal lagi di dalam Islam ilmu juga diperoleh dengan cara iman (tanpa melewati process of logic, apabila secara akal dirasa sudah cukup bukti), maka pengetahuan/ilmu diperoleh lewat jalan:

37

a. Hushuli-aqliyyah: ialah upaya penelitian atau observasi empiris-positif disertai akal (logic) atas data ayat-ayat kauniyyah (pengalaman dan pengamatan inderawi). b. Hushuli-qouliyyah: ialah upaya penelitian atas data ayat-ayat qouliyyah; wahyu (dalil-dalil naqly) disertai akal (logic) dan iman. c. Hudhuri: ialah ilmu yang hadir oleh tangkapan indera kalbu yang diterima secara transmisi. i. Hudhuri-ladunni: berasal dari Allah ii. Hudhuri-aqliyyah: subjektif: berasal dari pribadi iii. Hudhuri-waswaasiyyah: Menyesatkan: berasal dari syaithan (bisikan syaithan) Namun apakah yang membedakan Epistimologi Islam dan Epistimologi BaratModern Sekuler? Epistimologi Islam; (1) disamping menerima seluruh jalan perolehan ilmu sebagaimana poin-poin di atas, (2) juga menjadikan ayat-ayat al-qouliyyah atau wahyu kenabian (Al-Quran dan Ahadits) sebagai landasan ilmu. Sebaliknya, Epistimologi Barat-Modern; (1) hanya bersandar pada jenis pengetahuan yang diperoleh secara hushuli-aqliyyah; yaitu melalui upaya observasi empiris-positif inderawi (pancaindera/indera jasmaniah), mengabaikan peran hati yang dikatakan sebagai pengetahuan subjektif, begitupun pengetahuan yang diperoleh dari ayat-ayat qouliyyah atau wahyu dianggap sebagai pengetahuan yang ambigu dan tidak memiliki bukti empiris, atau sekalipun ia diterima sebagai ilmu yang dikaji dan dijadikan studi (studi keagamaan/religi) akan tetapi (2) pengetahuan yang dibangun oleh Barat-Modern menjadikan hushuli-aqliyyah (observasi empiris-positif; pengalaman dan pengamatan inderawi) sebagai sandaran dan tolak ukur utama dan mutlak untuk menghakimi validitas ilmu dari semua ilmu. II.II

Metodologi Ilmiah Islam Metodologi ilmiah islam ialah metodologi ilmu Islam untuk memperoleh ilmu (pengetahuan, persepsi, pandangan) yang benar (valid) mengenai Alam Wujud (realitas absolut). Pengetahuan (ilmu) yang valid (paling mendekati kebenaran) akan diperoleh apabila; (1) pengetahuannya lengkap, (2) pengetahuan itu sendiri bersandar pada pengetahuan yang valid (yang paling mendekati kebenaran atau kebenaran mutlak) dan (3) adanya keselarasan atau keharmonian pada pengetahuan-pengetahuan (ilmu-ilmu).

38

Konsep Pengetahuan Lengkap Apakah yang perlu diperhatikan sebelum berangkat mencari ilmu? Ada beberapa sikap yang harus dimiliki oleh seorang penuntut ilmu, yaitu: (1) Sikap terbuka atas ilmu Ilmu bisa datang dari mana saja, dari siapa saja. ‫انظر ما قال وال تنظر من قال‬ “Perhatikanlah apa yang dikatakan, bukan perhatikan siapa yang mengatakan”

Oleh karena itu, ilmu tidak mengenal bangsa, ras, agama, kaya atau misikn, dimensi waktu atau dimensi ruang. (2) Sikap rendah hati atas ilmu Oleh karena bahwa orang yang cerdas adalah orang yang bersikap rendah hati atas ilmu, dalam arti; „semakin seseorang memahami kejahilan dirinya sendiri dan di mana ilmu yang kurang atas dirinya sendiri, itulah seseorang yang tahu (alim)‟, „seseorang yang merasa dirinya adalah alim (tahu banyak ilmu), itulah seorang yang bodoh‟. Epistimologi Islam, selain sebagai epistimologi yang didasari iman kepada Allah, epistimologi Islam adalah epistimologi yang dibangun berdasarkan sikap yang rendah hati dan objektif (adil). Yaitu; memahami kejahilan manusia dan keterbatasan diri sebagai seorang manusia dan tidak bersikap sombong, merasa benar, merasa tidak perlu atas ilmu dan merasa cukup atas ilmu yang diperolehnya, maka dari itu implikasinya, pengetahuan akan diupayakan dan diperoleh lewat berbagai cara yang bisa diperoleh yang memungkinkan. Seorang yang beriman kepada Allah kemudian bersikap rendah hati dan berlaku adil (objektif) maka akan mendayagunakan seluruh indera yang dimilikinya untuk memahami segala sesuatu, memikirkannya, itulah yang disebut „Ulul Albab‟ (orang yang berpikir dengan hati), yaitu; ia memfungsikan seluruh indera yang dimilikinya; (1) pancaindera; melihat, mendengar, dst, (2) indera kalbu, dan (3) indera akal untuk berpikir, ia memikirkan ayat-ayat Allah baik itu ayat-ayat kauniyyah, maupun ayat-ayat qouliyyah (wahyu kenabian), menimbangnya, me-refleksikannya secara objektif dan adil, sehingga memikirkan ayat-ayat Allah mengandung esensi fikir dan dzikir, yang akan membuahkan kefahaman dan hikmah-hikmah dari segala penciptaan. Allah membiarkan mereka yang tidak mau memfungsikan seluruh indera yang dimilikinya untuk memikirkan ayat-ayat Allah, dikatakan ia seperti binatang ternak, bahkan lebih sesat lagi.

39

                                  Dan Sesungguhnya Kami jadikan isi neraka Jahannam untuk kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). mereka itu seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi, mereka Itulah orangorang yang lalai (Quran, Surat Al-A‟raf 7: 179)

Lalu sekarang kita bisa melihat, epistimologi macam apakah yang dibangun kaum modern-sekuler? Ia adalah epistimologi yang dibangun dilandasi atas sikap sombong, apakah itu? yaitu bahwa; ia adalah sikap sinisme dan skeptis atas ayat-ayat qouliyyah (wahyu) dan tidak mau memikirkan dan terbetik pertanyaan; „barangkali mungkin adakah ia mengandung kebenaran?‟ „Adakah dirinya bisa tersesat jika mengabaikan ayat-ayat qouliyyah?‟, sebaliknya sikap sinisme dan skeptis itu dengan sombongnya mengatakan ayat-ayat Allah (wahyu) adalah pengetahuan yang tidak punya bukti empiris, bersifat ambigu dan tidak dapat dibuktikan, dan sekali lagi berdasarkan sikap sombongnya; justru ilmu dibangun berdasarkan sikap percaya diri dengan menganggap hebat atas segala instrumen/alat/indera yang terbatas yang dimiliki manusia, dengan mengabaikan kehebatan Allah, memposisikan diri lebih tinggi dari pada kehebatan Allah (sekarang manusia sudah menjadi Tuhan bila bersikap demikian); yang merasa bahwa dia mampu mengungkap segala sesuatu mengenai Alam Wujud, dia mampu menentukan apa itu kebenaran apa itu kesesatan, ia mampu menentukan apakah yang salah dan apakah yang benar, ia mampu menentukan apakah yang halal dan apakah yang haram, ia mampu menentukan apakah yang baik dan buruk, atau barangkali dia menganggap dirinya lebih tahu (Maha Tahu) dibandingkan Allah sendiri yang sejatinya Pencipta Alam Raya, nau‟dzubillahi min dzalik, maka itulah kesyirikan, itulah jati diri paham sekulerisme. Oleh karena itu maka, sumber ilmu di dalam Islam mengakui berbagai macam jalan dan perolehan dan boleh menggunakannya sebagai „pengetahuan sumber‟ sebagai bahan untuk dipikirkan, sebagaimana berikut: (1) Pengetahuan hushuli-aqliyyah: yaitu pengetahuan yang diperoleh dari upaya penelitian atau observasi empiris-positif disertai akal (logic) atas ayat-ayat kauniyyah (alam thabi‟i, causality, dll.)

40

(2) Pengetahuan hushuli-qouliyyah: ialah upaya penelitian atas ayat-ayat alqouliyyah (nash Al-Quran dan Ahadits) disertai akal (logic) dan iman (tanpa process of logic). (3) Pengetahuan hudhuri: ialah ilmu yang hadir oleh tangkapan atau pe‟rasa‟an indera kalbu yang diterima secara transmisi, yang memiliki 3 kemungkinan sebagaimana yang telah dijelaskan. Konsep pengetahuan lengkap di dalam Islam ialah, ia bisa kita ambil istilahnya dari Al-Quran yaitu majma‟ul bahrain. Majma‟ul bahrain yaitu pertamuan dua laut: lautan yang asin (milhun ujaj) dan lautan yang segar („adzbun furat), majma‟ul bahrain dari Al-Quran Surat Al-Kahfi 60-61, ditakwilkan ia maknanya sebagai pertemuan dua lautan ilmu (pengetahuan), integrasi kesatuan antara dua lautan ilmu pengetahuan yaitu; (1) Pengetahuan ilmu dari Tuhan (At-Tanzil; “Yang diturunkan”) dan pengetahuan manusiawi (inderawi), (2) Pengetahuan hushuli (ilm az-zhahir: ilmu yang nampak, eksoteris, pengetahuan oleh pancaindera) dan pengetahuan hudhuri (ilm al-bathin: ilmu yang batin, esoteris, pengetahuan batin; spiritual), (3) ayat-ayat kauniyyah (observasi empiris-positif) dan ayat-ayat qouliyyah (nash Al-Quran dan Ahadits). Di antara manfaat yang diperoleh dari mengupayakan pengetahuan secara lengkap adalah tentu saja semakin lengkap pengetahuan (yang akan menjadi sumber data) akan semakin mendekati kebenaran suatu kesimpulan yang diperoleh atasnya, ini adalah mirip prinsip ilmu statistika atau ilmu data dan data (pengetahuan) tentu saja harus dipastikan validitasnya berdasarkan suatu kriteria atau metode tertentu dan bukan data yang bias. Al-Quran Sandaran Semua Ilmu Sifat semua ilmu adalah nisbi, semua pengetahuan yang dimiliki manusia sekalipun dia itu gelarnya Profesor atau Doktor (Phd) atau manusia paling berilmu di dunia sekalipun, pengetahuan manusia hakikatnya tetap saja bersifat nisbi; relatif dan subjektif. Akan tetapi pengetahuan yang benar, setidaknya pengetahuan yang paling mendekati kebenaran ia adalah pengetahuan yang dilandaskan atau disandarkan pada kebenaran yang sifatnya mutlak atau pengetahuan yang memiliki kandungan kebenaran mutlak. Apakah ada kebenaran mutlak itu sejatinya? Bila kita menggunakan pendekatan Epistimologi sekuler, tentu saja tidak ada kebenaran mutlak, ilmu bersifat relatif, ilmu akan selalu menglami dialektika (tesis-antitesissintesis), ilmu akan selalu jatuh kepada kenisbian, ilmu dan standar ilmu akan selalu berubah sepanjang zaman, sepanjang waktu, akan selalu terjadi “revolusi warna”; merah, kuning, hijau, dan seterusnya, dan seterusnya. Akan tetapi kadang ada benarnya juga pendapat kaum modern-sekuler tersebut, sifat ilmu semuanya relatif, tapi maksudnya disini ilmu manusia, ya yang kita 41

bicarakan adalah ilmu manusia. Sifat semua ilmu manusia adalah nisbi, baik manusia itu mengupayakan pengetahuan secara hushuli (observasi empirisi-positif) terhadap ayat-ayat kauniyyah, maka ilmu akan jatuh kepada relativitas (paralogismespekulatif), atau manusia pengupayakan pengetahuan secara hudhuri (me‟rasa‟kan dengan kalbu) maka ilmu akan jatuh kepada subjektifitas, atau bila manusia mengupayakan semua jalan perolehan secara huhsuli-aqliyyah, hudhuri, hushuliqouliyyah sekalipun, tetap saja “pengetahuan manusia” bersifat nisbi; relatif dan subjektif. Ilmu apapun itu, ilmu manusia, sekalipun itu ilmu agama yang dibangun berlandaskan ayat-ayat qouliyyah (wahyu atau dalil-dalil naqly), pengatahuan manusia tidak dapat terlepas dari kenisbian, pengetahuan manusia tidak bersifat mutlak, selalu ada bias dan kenisbian. Lalu apa sebenarnya yang menjadi tolak ukur dan sandaran yang paling kokoh sebetulnya? Inilah yang baru akan kita bicarakan, perbedaannya paham barat-sekuler dan paham Islam adalah bahwa; dalam paham dan iman Islam memang betul ilmu manusia itu bersifat nisbi, tapi tidak Ilmu Allah, Ilmu Allah bersifat benar dan mutlak (absolute truth), adapun kaum barat-sekuler memang tidak mengenal ilmu apapun lagi selain hanya ilmu ya hanya ilmu manusia itulah saja yang dimaksud, oleh karena itu kaum barat-sekuler tidak mengenal apakah ada kebenaran absolut itu? yang dipahami kaum barat-sekuler kebenaran mutlak itu hanya matematika (pengetahuan dengan makna-makna terukur), tetapi masalahnya tidak semua hal bisa di-matematika-kan, itulah akhirnya ilmu jatuh kepada kenisbian (relativitas). Di dalam Islam mengenali; bahwa ada suatu ilmu yang memiliki status kebenaran mutlak, yaitu adalah ilmu Allah. Lalu di manakah ilmu Allah bisa kita peroleh? Ilmu Allah adalah ilmu yang diturunkan (At-Tanzil) dan dianugrahkan kepada manusia yang menerimanya. Allah memberikan ilmuNya kepada siapa yang Dia kehendaki, di antaranya ialah orang-orang yang terbaik, orang-orang pilihan Allah para Nabi dan Rasul. Ilmu Allah tidak akan bisa diperoleh seseorang bila Dia tidak berkehandak, sekalipun seorang manusia mengupayakannya menggunakan seluruh indera dan seluruh upaya yang dilakukannya. Allah memberikan petunjuk (pengetahuan yang benar) kepada siapa yang dikehendaki, Allah menyesatkan siapa yang Dia kehendaki (membiarkannya dalam kenisbian). Siapa yang diberi petunjuk (pengetahuan yang benar) maka tiada apapun atau sesiapapun yang dapat menyesatkannya, Siapa yang disesatkan maka tiada apapun atau sesiapapun yang dapat memberikan petunjuknya (dibiarkan dalam kenisbian). Maka di antara ilmu Allah, satu-satunya ilmu Allah yang mutlak kebenarannya yang diturunkan (At-Tanzil) yang memiliki otentisitas yang dijamin dan terjaga dari korupsi (kerusakan) hingga hari kiamat ia adalah kitab Al-Quran. Oleh karena itu juga maka, di antara orang yang diberikan ilmu Allah adalah ia yang 42

menerima/memahami ilmu Allah (Al-Quran) secara otentik (secara tepat dan tidak terkorupsi), orang yang diberikan ilmu Allah adalah seorang yang diberikan hikmah yaitu kefahaman yang tepat atas agama. “Barang siapa yang dikehendaki Allah atas seseorang kebaikan maka Allah fahamkan ia tentang agama”

Maka dari itu ilmu manusia yang benar atau yang paling mendekati kebenaran adalah ilmu manusia yang disandarkan pada ilmu Allah, ilmu Allah yang dijamin otentisitasnya oleh Allah sendiri hingga hari kiamat yaitu Al-Quran; maka AlQuran mesti didudukkan sebagai sandaran utama dan mutlak. Ilmu manusia tanpa bersandar pada Al-Quran adalah nisbi; seorang manusia mengupayakan pengetahuan secara hushuli-aqliyyah tanpa bersandar pada Al-Quran, akan jatuh kepada kenisbian (relativitas: paralogisme-spekulatif), seorang manusia mengupayakan pengetahuan secara hudhuri tanpa bersandar pada Al-Quran akan jatuh kepada kenisbian (subjektifitas), sekalipun seseorang mengupayakan pengetahuan hushuli-qouliyyah (melakukan studi atas teks-teks agama; kitab suci dan sabda-sabda Nabi dan Rasul) atau menggunakan seluruh macam upayanya tanpa bersandar pada Al-Quran, tetap saja akan jatuh kepada kenisbian. Ahadits sekalipun bila dipahami dan dijadikan hujjah berdiri sendiri tanpa bersandar dan disandingkan dengan Al-Quran (di mana hanya Al-Quran satu-satunya ilmu Allah yang dijaga otentisitasnya dan bersifat mutlak kebenarannya) maka juga akan jatuh kepada kenisbian. Oleh karena itu Al-Quran adalah ilmu Allah satu-satunya yang diturunkan (AtTanzil), yang paling berhak, untuk menjadi satu-satunya sandaran dan tolak ukur yang paling utama, yang paling tertinggi, yang paling mutlak, oleh karena kandungan kebenarannya yang bersifat mutlak dan otentik. Akan tetapi, Al-Quran akan berfungsi sebagai tolak ukur dan sandaran apabila ayat-ayatnya digunakan secara lengkap dan relevan (lihat lebih lanjut di sub-bab Metodologi Ilmiah Islam; „Metodologi Studi Teks‟), apabila kaedah ini diabaikan maka Al-Quran sekalipun akan bersifat nisbi (relatif dan subjektif) dan tidak ada lagi yang tersisa dan diharapkan dari ilmu/pengetahuan manusia yang telah jatuh kepada kenisbian (kesesatan). Al-Quran bersama-sama dengan Ahadits di dalam Islam berfungsi sebagai landasan dan tolak ukur yang utama untuk ilmu/pengetahuan dan untuk segala sesuatu persoalan manusia. Oleh karena itu maka di dalam metodologi ilmu Islam, Al-Quran adalah sandaran ilmu dan tolak ukur yang paling dasar (yang paling mutlak, yang paling utama, yang paling tinggi) untuk semua pengetahuan dan ilmu pengetahuan, Al-Quran berfungsi sebagai landasan ilmu oleh karena fungsi Al-Quran; ia adalah Ilmu Allah (yang mengandung ilmu-ilmu, hukum-hukum, hikmah-hikmah) yang mampu menjelaskan segala sesuatu, tibyanan likulli syaiin (Quran, Surat An-Nahl 16: 89). 43

Setiap kata atau kalimah di dalam Al-Quran adalah ilmu (Quran, Surat Al-Kahf 18: 109). Sebagian ayatnya muhkamat: yakni jelas dan terang; ia memuat hukum-hukum syara‟ mengenai halal dan haram, sebagian ayatnya mutasyabihat; ilmu atau pengetahuan yang bisa berfungsi umum yang bermanfaat untuk manusia, atau ia boleh disebut juga sebagai „jawami‟ ul-kalim‟; yakni kalimah yang memiliki banyak makna namun makna-maknanya sama-sama benar (Quran, Surat Ali Imran 3: 7), sehingga keseluruhan ayat-ayat Al-Quran sejatinya adalah mampu memberi solusi dan manfaat, tidak ada satu ayat pun di dalam Al-Quran yang tidak bermanfaat dan tidak memberi solusi bagi manusia. Ayat-ayat muhkamat akan jelas dan terang dengan pendekatan tafsir, namun ayat-ayat mutasyabihat disamping pendekatan tafsir ia masih membuka ruang kemungkinan penerapan takwil (dengan memperhatikan kaedah-kaedah yang benar; lihat sub-bab „metodologi studi teks‟). Tafsir dan Takwil adalah dua metode studi teks (nash) yang bisa diterima di dalam Islam. Oleh karena Al-Quran merupakan sandaran ilmu/sandaran pengetahuan dan tolak ukur ilmu/tolak ukur pengetahuan; baik „pengetahuan sumber‟ maupun „pengetahuan jadi‟; disiplin ilmu pengetahuan, maka berlaku hirarki ilmu dan bangunan ilmu dalam islam. Hirarki Sumber Ilmu („Pengetahuan Sumber‟): Al-Quran (ayat al-qouliyyah, wahyu, dalil naqly) Ahadits (ayat al-qouliyyah, wahyu, dalil naqly) Observasi empiris (ayat kauniyyah; pengalaman dan pengamatan inderawi) Dalam arti bahwa; urutannya dari atas kebawah menunjukkan wewenang (authority) dan keutamaan (priority). Authority maksudnya berwenang dalam hal menjadi tolak ukur (yang menghakimi, yang mengkoreksi) „pengetahuan sumber‟ atau disiplin ilmu (knowledge) atau ilmu pengetahuan (science) yang dibangun oleh „pengetahuan sumber‟ tersebut yang berposisi dibawahnya dalam urutan tersebut. Priority maksudnya adalah „pengetahuan sumber‟ tersebut menunjukkan tingkat kandungan kebenaran yang lebih tinggi atau lebih mutlak dalam urutan, sehingga „pengetahuan sumber‟ yang lebih tinggi urutannya lebih diutamakan untuk dijadikan pegangan keilmuan. Bangunan Sumber Ilmu („Pengetahuan Sumber‟): Observasi empiris (ayat al-kauniyyah; pengalaman dan pengamatan inderawi) Ahadits (ayat al-qouliyyah, wahyu, dalil naqly) Al-Quran (ayat al-qouliyyah, wahyu, dalil naqly)

44

Dalam arti bahwa; urutannya dari bawah ke atas menunjukkan „yang menjadi landasan‟ dan „yang bertumpu‟. Al-Quran berfungsi sebagai landasan bagi semua „pengetahuan sumber‟. Process of logic (al-aql): Ilmu Islam Data Input: - Al-Quran - Ahadits - Observasi Empiris - Hudhuri

> process of logic >

Output: Pandangan Alam Wujud Islam (Islamic Worldview), Disiplin Ilmu dan Ilmu Pengetahuan Islam

Ilmu Sekuler Data Input: - Observasi Empiris - Hudhuri (intuisi, idea, dll)

> process of logic >

Output: Pandangan Alam Wujud Sekuler (Secular Worldview), Disiplin Ilmu dan Ilmu Pengetahuan Sekuler

Klasifikasi dan Hirarki Disiplin Ilmu Berikut ini merupakan klasifikasi pembagian ilmu atau divisi ilmu dan hirarki yang menunjukkan urutan wewenang (authority) dan prioritas (priority), dari atas ke bawah, apabila satu sama lainnya bertabrakan atau berkontradiksi, yaitu disiplin ilmu yang berposisi pada urutan lebih bawah harus bersesuaian; sinkron dan harmoni dengan disiplin ilmu yang berposisi pada urutan yang lebih tinggi. 1. Disiplin Ilmu Agama (Ulumuddien): (1) Ilmu Tafsir: Metodologi Studi Teks (Nash); Tafsir dan Takwil; nash AlQuran dan Ahadits (2) Ilmu Hadits (penelitian; jalur hadits, derajat-derajat hadits, otentisitas hadits, biografi periwayat dan segala yang berkaitan dengan periwayatan hadits) (3) Ilmu Fiqh (Filosofi Islam): Seorang ahli fiqh harus memiliki wawasan yang luas dan qualify secara akademis bukan sekedar menggunakan metodologi “anak sekolahan” (metode anak sekolahan yaitu menarik kesimpulan dengan data-data dan dalil-dalil yang tidak lengkap dan tidak relevan), tetapi seorang ahli fiqh bisa dikatakan harus memiliki kualifikasi sekelas doktor (phd) yang sudah terbiasa dengan penelitian berbasis data dan komprehensif (baik data-data qouliyyah maupun data-data kauniyyah, kuantitatif maupun kualitatif), ia harus memahami „ayat-ayat kauniyyah‟ dan „ayat-ayat qouliyyah‟ sekaligus. Bila Al-Quran dan Ahadits adalah “bibit” 45

(sumber ilmu), observasi empiris-positif adalah “hara” ilmu (makanan tanaman dari pohon ilmu), Ilmu Tafsir dan Ilmu Hadits “akar” ilmu, maka Ilmu fiqh adalah “pangkal” tunggal yang melahirkan semua “cabang” ilmu dalam Islam baik ilmu agama maupun ilmu dunia, kedudukan ilmu fiqh sama dengan status kedudukan filosofi kalau dalam bangunan ilmu di Barat-Sekuler, namun dalam Islam, filosofi (upaya berpikir) harus bersandar pada ayat-ayat qouliyyah (Al-Quran dan Ahadits) itulah di dunia Islam dinamakan dengan istilah „fiqh‟ (kefahaman yang mendalam), ilmu fiqh sangat ditentukan oleh metode penarikan kesimpulan untuk memperoleh „makna‟ atau „fatwa‟ dari dalil-dalil (nash/teks), Imam Syafii menyebut metode penarikan kesimpulan (istinbath) tersebut sebagai cabang ilmu yang dinamakan „ushul fiqh‟. (4) Ilmu Akidah/Keyakinan (Teologi Islam): Arkanul Iman (Rukun Iman), AlIhsan/Tasawwuf (spiritual iman kepada Allah); ilmu takwa/tazkiyyatun nafs, Metafisika Islam (iman kepada yang ghaib), Eskatologi Islam (ilmu akhir zaman dan hari akhir; hari kiamat, hari kebangkitan, hari perhitungan), dan lain-lain. (5) Ilmu Syar‟i [Al-Muhkamat; mahdhoh (ritualis) dan ghairu mahdhoh (nonritualis)]; Arkanul Islam (Rukun Islam), Halal-Haram, Makruh-Mandub, dan lain-lain. (6) Ilmu Akhlak: Etika Islam, Etika Praktis (Adab), sistem nilai: nilai-nilai moral islam: (1) manusia kepada Allah, (2) manusia kepada manusia, (3) manusia kepada lingkungan dan makhluk hidup serta kebendaan/alam. 2. Disiplin Ilmu Dunia (disiplin ilmu praktek, ilmu hidup, ilmu berkehidupan): (7) Ilmu Matematika dan Ilmu Bahasa (8) Studi Ilmu Alam: Fisika, Kimia, Biologi, Teknologi, Pertanian, Kedokteran, dan lain-lain. (9) Studi Ilmu Sosial: Hukum, Sosial-Kemanusiaan, Budaya, Ekonomi, Politik, Sastra, dan lain-lain Maka, perbedaan antara bangunan disiplin ilmu Islam dan bangunan disiplin ilmu barat-sekuler adalah sebagaimana yang ditampilkan pada tabel berikut: Pengetahuan Sumber

Landasan Ilmu Mutlak Landasan Ilmu Kelompok Disiplin Ilmu Landasan Pangkal Disiplin Ilmu

Ilmu Islam Al-Quran Ahadits Observasi Empiris-Positif Al-Quran Al-Quran dan Ahadits Ilmu Agama (Ulumuddien)

Ilmu Sekuler Observasi Empiris-Positif

Fiqh (Filosofi Islam)

Filosofi

Observasi Empiris-Positif Observasi Empiris-Positif Filosofi

46

Keselarasan, Kesatuan Ilmu (Unity atau Tawhid) Ketika ilmu semakin dicari, semakin diteliti, semakin dikejar (on pursuit of knowledge), semakin dicari tahu, maka ia mengerucut, ilmu semakin spesifik, ilmu akan menjadi lebih detail, ilmu akan terbelah, maka ilmu terdivisi, ilmu terbagi, ilmu akan membuat bidang-bidangnya sendiri, sehingga pengetahuan yang diperoleh manusia akan semakin kompleks, semakin banyak, pengetahuan manusia meluas, divisi ilmu itu adalah konsekwensi dan akibat yang konstan dari upaya mengejar ilmu (pursuit of knowledge). Akan tetapi proses pembangunan atau pengembangan ilmu tidak berhenti sampai disini saja, tidak berhenti hanya pada satu arah di mana ia menuju arah pembagian, pembagian, pembagian yang tidak ada habisnya di mana ilmu semakin meruncing dan tajam, maka pengetahuan manusia juga atasnya akan semakin lebih tajam dan lebih canggih pula, lebih mutakhir, upaya manusia untuk mengejar ilmu mestinya tidak berhenti hanya sampai pada tahap terbaginya ilmu menjadi divisi-divisi, disiplin-disiplin ilmu. Proses pengembangan ilmu juga mestinya harus menuju ke pada arah yang sebaliknya setelah ilmu itu terdivisi, yaitu pengembangan ilmu harus dikaji, dicari tahu, diteliti kepada arah lintas bidang, dimana setelah ilmu terdivisi harus diupayakan pula ilmu yang telah terdivisi itu dibawa kepada arah penyelarasan ilmu, ilmu harus diharmonikan antara satu bidang ke bidang lainnya, dan dalam penyelarasan ilmu harus dapat diketahui dan disesuaikan pula mana ilmu yang tepat menjadi „tolak ukur‟ dan mana yang menjadi „objek ukur‟, mana „ilmu yang harus menyesuaikan dengan‟ mana „ilmu yang harus disesuaikan dengan‟, sehingga sifat ilmu menjadi bersifat intercorrelated (saling berhubungan dan lintas bidang) dan bersifat multidimensional, wujud sebagai ilmu-ilmu campuran. Maka akan diperoleh satu-kesatuan ilmu (unity of knowledge atau tawhid), ilmu-ilmu menjadi harmoni, ilmu-ilmu menjadi tidak berkontradiksi, saling bertentangan antara satu bidang ilmu dengan bidang ilmu lainnya. Terutama sekali dalam proses penyelarasan adalah semua ilmu diselaraskan, diharmonikan dengan landasan atau sandaran ilmu itu sendiri yaitu Al-Quran sebagai landasan yang mutlak dan bersama-sama Ahadits, semua ilmu selaras dan harmoni dengan kelompok disiplin ilmu agama (ulumuddien), dan disiplin-disilin ilmu lainnya. Sehingga ilmu di dalam Islam sejatinya adalah lintas bidang, intercorrelated (saling berhubungan) dan multidimensional. Maka dari itu, bila ilmu dipersatukan ia akan menghasilkan bangunan ilmu yang akan membuahkan manfaat yang solutif bagi kehidupan. Ini adalah kritik bagi bangunan ilmu yang berlaku dalam sistem dunia pendidikan modern dan universitas yang ada pada saat ini adalah bahwa ilmu dibangun dan dikembangkan terhenti hanya pada upaya pengejaran ilmu (pursuit of knowledge) yang terdivisi dan 47

tidak dilanjutkan pada pengembangan ilmu yang bersifat lintas bidang, intercorrelated dan multidimensional. Pada akhirnya bangunan ilmu yang terbangun hanya memiliki daya kritis, tetapi tidak memiliki daya kreatif atas persoalan, atau sebaliknya (memiliki daya kreatif tetapi tidak memiliki daya kritis), bangunan ilmu yang tidak harmoni dengan „tatanan moral‟ kemudian pada akhirnya hanya akan menghasilkan solusi-solusi yang menimbulkan masalah baru, ilmu menjadi rusak dan bersifat menghasilkan mafsadat (fasad: bersifat rusak dan merusakkan), alih-alih menjadi mashlahat. Pada akhirnya dunia ilmu yang disiplin-disiplin ilmunya bersifat terpisah-pisah dan terdivisi itu kemudian hanya menjadi alat atau diperalat oleh kuasa jahat, yang menguasai perdaban manusia, yang hanya akan menguntungkan golongan-golongan sepihak dan segelitintir orang disamping menimbulkan kerugian pada yang lainnya, inilah yang terjadi pada bangunan ilmu modern yang sekuler dan terdivisi yang diterapkan kepada dunia-dunia saat ini, di mana para sarjanawan hanya disibukkan pada pengerucutan ilmu yang terus dikembangkan yang tidak memberi arti dan solusi banyak bagi masalah riil kehidupan manusia. Metodologi Penelitian Dan Pengembangan Ilmu Islam Di antara hal yang menjadi penting, apabila tujuannya adalah membangun bangunan ilmu islam, tetapi luput dan tanpa memahami dasar-dasarnya, maka bangunan ilmu islam itu tidak mungkin dan nihil, atau ia hanya akan menjadi bangunan ilmu islam, yang “islam”nya hanya menjadi “nama” saja, tinggal “nama” saja. Oleh karena itu agar, yang terwujud itu adalah bangunan ilmu islam dan hirarki ilmu islam bisa berfungsi dengan baik, di antara yang harus diperhatikan adalah kaedah-kaedah dalam Metodologi Studi Teks (Nash): Al-Quran dan Ahadits, sebagaimana yang akan dijelaskan. Metodologi Studi Teks (Nash): (1) Kaedah menggunakan Al-Quran (sebagai sandaran, landasan, tolak ukur atau hakim/judge) 1. Tidak boleh ada yang mem-bypass (melangkahi) Authority (wewenang) AlQuran; Al-Quran harus didudukkan sebagai Al-Furqan; tolak ukur yang mutlak yang paling tinggi (atas segala sesuatu dalam kehidupan manusia termasuk; ilmu pengetahuan dan persoalan manusia) Al-Quran, ia adalah ilmu Allah yang memuat ilmu-ilmu, hukum-hukum, aturan-aturan (order), hikmah-hikmah (kebijaksanaan) yang memiliki jaminan kebenaran mutlak dan otentik, yang maka ia harus didudukan atau diletkakan harus lebih tinggi dibanding semua yang ada; hukum Allah Adalah hukum tertinggi, ilmu Allah adalah ilmu tertinggi, aturan Allah adalah aturan tertinggi. Oleh karenanya implikasinya ia berfungsi sebagai sumber ilmu, landasan ilmu, tolak ukur yang mutlak yang paling tinggi 48

yakni Al-Furqan yang dapat membedakan; mana-mana kesesatan, manamana kebenaran, mana-mana ke-valid-an (benar dan otentik/shahih), manamana kenisbian (relatif; kadang benar, kadang tidak) dan kesesatan. Al-Quran diturunkan untuk kaum yang berakal, kalau kaum itu tidak berakal maka Al-Quran tidak perlu dibicarakan. Oleh karena itu akal, sebagai alat yang distinct yang paling berperan, yang paling menentukan yang bisa membedakan mana kebenaran mana kenisbian, apabila Al-Quran telah diterima (diimani dan diketahui) oleh akal sebagai kebenaran dan kebenarannya bersifat mutlak, maka Al-Quran harus diposisikan lebih tinggi atas akal, dan akal harus menggunakan atau memanfaatkan sumber data itu (wahyu) dengan cara yang benar dengan metode yang benar agar “kebenaran mutlak” yang terkandung di dalamnya, di dalam Al-Quran tidak hilang, tidak menjadi nihil atau tidak menjadi nisbi. Melalui akal pula dapat dibedakan mana Ahadits yang shahih (otentik) mana yang dhaif dan lain-lain; yaitu penelitian dalam Ilmu Hadits. Kemudian disamping itu dalil-dalil Al-Quran juga dapat difungsikan untuk mengklarifikasi kebenaran, kesesuaian, Ahadits tersebut, dan Al-Quran berfungsi membenarkan dan mensuport, menguatkan kebenaran Ahadits; perkataan Nabi ‫ز‬. Adapun selain dari pada Al-Quran tidak ada jaminan validitas kebenaran secara mutlak dan otentik (shahih). Hanya Al-Quran saja yang memiliki jaminan validitas kebenaran secara mutlak dan otentik. Oleh karena itu maka, Ahadits, qoul shahabah, qoul tabi‟in, qoul ulama, ilmu fiqh, ilmu agama, ilmu dunia akan diletakkan atau didudukan setelah Al-Quran, dan Ahadits, qoul shahabah, qoul thabi‟in, qoul ulama, ilmu fiqh, ilmu agama, ilmu dunia tidak bisa mem-bypass (melangkahi) Authority (wewenang) Al-Quran, dalam arti bahwa; Ahadits, qoul shahabah, qoul thabi‟in, qoul ulama, ilmu fiqh, ilmu agama, ilmu dunia, tidak bisa berkedudukan lebih tinggi dari pada Al-Quran, di mana; Ahadits, qoul shahabah, qoul thabi‟in, qoul ulama, ilmu fiqh, ilmu agama, ilmu dunia berlaku mengkoreksi Al-Quran, bisa mengkoreksi dan mengkritisi Al-Quran berserta apa yang dikandungnya; ayat-ayatnya. Juga dalam arti bahwa Ahadits, qoul shahabah, qoul thabi‟in, qoul ulama, ilmu fiqh, ilmu agama, ilmu dunia tidak boleh mengabaikan satu ayat pun di dalam Al-Quran dalam membuat kesimpulan, perolehan makna (tafsir dan takwil), istinbath fatwa (produk hukum) dan dengannya membuat hukum atau aturan atau teori atau panduan praktek (metodologi/kaidah (Qaidah)/cara/sunnah). Maka apabila Ahadits, qoul shahabah, qoul thabi‟in, qoul ulama, ilmu fiqh, ilmu agama, ilmu dunia mengabaikan satu ayat pun daripada Al-Quran dalam membuat kesimpulan dan memperoleh „makna‟ 49

maka ia telah mem-bypass authority Al-Quran untuk mendudukan Al-Quran sebagai tolak ukur, landasan yang paling tinggi. Ahadits, qoul shahabah, qoul thabi‟in, qoul ulama, ilmu fiqh, ilmu agama, ilmu dunia, hanya bisa berfungsi setelah Al-Quran didudukan sebagai authority yang paling tinggi, menghormati Al-Quran sebagai authority yang paling tinggi dengan tidak mengabaikan satu ayat pun di dalam Al-Quran dalam memfungsikan Ahadits, qoul shahabah, qoul thabi‟in, qoul ulama, ilmu fiqh, ilmu agama, ilmu dunia. Al-Quran dihormati dan didudukan sebagai authority yang paling tinggi dengan cara: Ayat-ayat Al-Quran secara keseluruhan tanpa terkecuali dikumpulkan dengan seluruh kumpulan Ahadits secara harmoni [boleh pula diikutkan qoul shahabah, qoul thabiin, qoul ulama tetapi hanya terkait studi tafsir (tidak termasuk fatwa, ijtihad, pendapat ulama), yaitu studi tafsir yang saling bersesuaian; sinkron dan harmoni secara keseluruhan berdasarkan jumhur ulama, tidak termasuk tafsir ulama yang kontradiktif yang melenceng amat jauh atau tidak bersesuaian, tidak harmoni dan tidak sinkron dengan perolehan makna keseluruhan dari studi tafsir yang mayoritas], untuk kemudian setelah makna tafsir tersebut diperoleh kemudian menggunakannya untuk melihat mana-mana Ahadits yang bertentangan, kontradiktif dengan „makna yang diperoleh dari totaliti dalil-dalil Al-Quran‟ (dari studi tafsir yang melibatkan; qoul Nabi/Ahadits, qoul shahabah, qoul thabi‟in, qoul ulama) maka Ahadits yang bertentangan tersebut tidak akan menjadi sandaran/hujjah yang mutlak, adapun Ahadits yang bersesuaian, sinkron dan harmoni dengan makna totaliti dalil-dalil ayat Al-Quran tersebut maka ia disatukan bersama-sama dengan dalil-dalil ayat Al-Quran menjadi tolak ukur utama, sebagai kumpulan dalil-dalil Al-Quran dan Ahadits yang harmoni. Mana-mana qoul shahabah, qoul thabi‟in, qoul ulama yang bersesuaian, sinkron dan harmoni dengan tolak ukur tersebut maka disatukan dengan tolak ukur dalil-dalil Al-Quran dan Ahadits yang harmoni tersebut dijadikan sebagai satu-kesatuan tolak ukur pokok (inti/core) yang lebih besar, mana-mana qoul shahabah, qoul thabi‟in, qoul ulama yang bertentangan, tidak sinkron dan tidak harmoni, maka dikesampingkan, tidak diikutkan sebagai tolak ukur besar (kumpulan dalil-dalil Al-Quran, Ahadits, qoul shahabah, qoul thabi‟in, qoul ulama yang harmoni). Mana-mana ilmu agama (ilmu akidah, ilmu syariah, ilmu akhlak) dan ilmu dunia yang tidak bersesuaian dengan tolak ukur besar (kumpulan dalil-dalil Al-Quran, Ahadits, qoul shahabah, qoul thabi‟in, qoul ulama yang harmoni, yang

50

bersesuaian), maka ia bukanlah ilmu yang bisa dijadikan sandaran dan ilmu yang digunakan untuk berkehidupan secara Islam. 2. Al-Quran (sebagai Al-Furqan) adalah hakim atas pengetahuan hudhuri lainnya (1) Al-Quran digunakan untuk menghakimi wahyu: yang pernah datang sebelum Al-Quran atau pengakuan orang yang mendapat wahyu; mengkoreksi mana-mana wahyu yang benar dan mana-mana yang tidak benar atau sudah dibengkokkan (tidak otentik) (tidak ada lagi Nabi dan Rasul setelah Nabi Muhammad ‫)ز‬. (2) Al-Quran bisa digunakan sebagai tolak ukur untuk menghakimi intuisi, ide, ilham, firasat seseorang: a. Mana-mana yang bersesuaian dengan Al-Quran dan Ahadits maka ia bisa menjadi pengetahuan yang bisa diterima dan dapat dimanfaatkan sebagai pengetahuan yang bermanfaat. b. Mana-mana yang berkontradiksi dengan Al-Quran dan Ahadits maka ia hanyalah pengetahuan yang nisbi (relatif dan subjektif). (3) Al-Quran bisa juga digunakan untuk menilai atau memberi ciri mimpi yang benar (ru‟yat shadiqa wa ru‟yat shaliha) atau mimpi yang tidak baik (hasutan syaithan) 3. Fungsi Al-Quran (Al-Furqan, Landasan Ilmu, Tolak Ukur Ilmu) akan berfungsi dengan baik dan benar (tepat) apabila dalil-dalilnya digunakan secara lengkap dan relevan. (1) Tidak boleh mengambil makna (tafsir dan takwil) atau kesimpulan (istinbath fatwa) dari dalil-dalil ayat secara terisolasi, di mana tidak lengkap ayatnya. Tidak boleh menggunakan dalil-dalil ayat Al-Quran secara berasingan, terisolasi, mengambil makna (tafsir dan takwil) dan kesimpulan (fatwa) dari satu dalil saja atau dua atau tiga dan seterusnya yang tidak lengkap ayatnya, melainkan dalam memperoleh makna (tafsir dan takwil) dan kesimpulan (istinbath atau fatwa; produk hukum) harus menggunakan dalil-dalilnya secara lengkap, mengharmonikan dan mensinkronkan totaliti data dalildalil ayatnya untuk memperoleh makna yang utuh dan menyeluruh sehingga ia bekerja dengan sistem makna (system of meaning), menerapkan kaedah yang paling prioriti (paling didahulukan) sebelum kaedah-kaedah lainnya yaitu kaedah Tafsir Quran Bil Ma‟tsur; Quran dengan Quran, Quran dengan Hadits, dst. Dalam proses pengambilan makna atau kesimpulan dari dalil-dalil ayat yang 51

lengkap tersebut boleh pula menambahkan asbabun nuzul, hadits, qoul shahabah, qoul thabi‟in, qaoul ulama tapi hanya terkait tafsir bukan terkait fatwa, ijtihad atau pendapat ulama yang sudah merupakan prodak jadi/produk hukum. (2) Tidak boleh menggunakan dalil-dalil ayat secara tidak relevan; yaitu dalil-dalil ayat dikaitkan atas persoalan (rumusan masalah) secara tidak relevan dan dipaksakan, melainkan suatu dalil-dalil ayat AlQuran memang berkaitan dan qualify secara akademis, bukan asal menghubung-hubungkan saja secara tidak relevan. Hal ini bermaksud untuk memastikan perolehan makna (tafsir dan takwil) dan kesimpulan (istinbath atau fatwa; produk hukum) yang benar. Apabila rule (kaedah) ini tidak diindahkan maka ini bisa membawa kepada perolehan makna dan kesimpulan yang error dan fatal. Hal ini merupakan kritik kepada para sarjanawan atau ulama-ulama Islam yang mengambil makna dan kesimpulan dari dalil ayat-ayat Al-Quran secara berasingan, terisolasi, di mana satu ayat dengan ayat lainnya tidak berhubungan, kaedah Tafsir Quran Bil Ma’tsur atau Quran bil Quran tidak diindahkan, sebelum berbicara tafsir-tafsir lainnya, dan juga mengambil makna dan kesimpulan dengan memasukkan (menggunakan) dalil-dalil yang tidak relevan, yang dipaksakan untuk menghakimi persoalan. Dalam masa Islam Klasik, metode untuk meminimalisir kesalahan dalam memperoleh kesimpulan ini ialah dengan cara mengumpulkan ulama: Ijma‟ Ulama. Mengumpulkan kapasitas Ulama-Ulama atas pemahaman, atas makna isi kandungan ayat-ayat Al-Quran, mengumpulkannya dalam satu kesatuan dalam suatu sidang, diskusi atau konvensi atau musyawarah untuk menentukan perolehan makna dan kesimpulan yang tepat. Sehingga makna (tafsir dan takwil) dan kesimpulan (istinbath atau fatwa) yang diperoleh itu bisa dijadikan tolak ukur persoalan atau hakim atau pegangan untuk berkehidupan untuk memecahkan persoalan manusia. Akan tetapi kelemahan metode Ijma‟ Ulama terutama di saat kondisi zaman modern seperti saat ini bila Ulama dikumpulkan dengan ia tidak memperhatikan kaedah-kaedah di atas maka hanya akan menghasilkan kontradiksi, dilematika, saling koreksi dan perdebatan yang tidak ada solusinya. (2) Kaedah menggunakan Ahadits 4. Fungsi Ahadits (yaitu sumber hukum, sumber ilmu, sumber hikmah kedua setelah Al-Quran dan bersama-sama dengan Al-Quran berfungsi sebagai batu landasan dan tolak ukur persoalan kehidupan dan juga untuk dunia 52

keilmuan); Ahadits akan berfungsi dengan baik dan benar (tepat) apabila; dalil-dalilnya digunakan secara (1) lengkap, (2) relevan dan (3) bersesuaian (sinkron/harmoni) dengan Al-Quran di mana dalil-dalil ayatnya juga digunakan secara lengkap dan relevan atas persoalan yang sama (rumusan masalah yang sedang dikaji), sehingga diperoleh pemkanaan yang lebih besar, lengkap dan utuh berdasarkan sistem makna (system of meaning), dari suatu kumpulan dalil-dalil Al-Quran dan Ahadits secara bersama-sama sebagai tolak ukur dan batu landasan. 5. Apabila Ahadits Bersesuaian (sinkron/harmoni); dengan makna (tafsir dan takwil) yang diperoleh dari totaliti dalil ayat-ayat Al-Quran, maka Ahadits tersebut bisa dimasukkan menjadi landasan; diikutkan ke dalam suatu kumpulan dalil-dalil Al-Quran dan Ahadits yang menjadi tolak ukur dan batu landasan, sekalipun statusnya dhaif terlebih lagi jika statusnya shahih. 6. Apabila Ahadits Bertentangan (kontradisi); dengan makna (tafsir dan takwil) yang diperoleh dari totaliti dalil ayat-ayat Al-Quran (sekalipun setelah upaya harmonisasi dan sinkronisasi telah dilakukan namun tidak juga ada jalan hadits tersebut bisa harmoni dan sinkron dengan dalil-dalil Al-Quran), maka Ahadits tersebut bisa dikesampingkan (bila statusnya shahih tidak berarti dibuang, hanya saja diturunkan prioritinya; dan tidak perlu menjadi tolak ukur mutlak); dalam arti tidak perlu diikutkan ke dalam suatu kumpulan dalil-dalil Al-Quran dan Ahadits yang menjadi tolak ukur dan batu landasan utama yang mengukur suatu persoalan atau menghakimi persolaan, tidak perlu membangun sikap intolerir dengan membangun pendirian berdasarkan Ahadits tersebut, atau bahkan bila jelasjelas sekali suatu Ahadits tersebut bertentangan dengan totaliti dalil-dalil AlQuran (statusnya dhaif/lemah, mardud/tertolak, dan lain-lain) 7. Apabila Ahadits Tidak Bersesuaian Tapi Juga Tidak Bertentangan (lebih bersifat tengah-tengah); dengan makna (tafsir dan takwil) yang diperoleh dari totaliti dalil ayat-ayat Al-Quran, maka Ahadits tersebut harus disinkronkan atau disintesakan (maknanya) dengan totaliti dalil ayat-ayat Al-Quran, di mana Ahadits tersebut dicoba untuk memungkinkan dalil Ahadits tersebut berperan sebagai perinci atau penambah penjelasan dari dalil-dalil ayat Al-Quran, bila pada akhirnya berujung pada ditemui ia bertentangan (setelah upaya harmonisasi dan sinkronisasi dilakukan) maka ia dikesampingkan, tidak perlu diikutkan menjadi landasan yang utama (hujjah) yang mutlak dalam suatu kumpulan dalil-dalil Al-Quran dan Ahadits.

53

Sebagai catatan, hendaknya mendahulukan Al-Quran dari pada Ahadits, Ahadits sebaliknya harus digunakan secara bersama-sama dengan Al-Quran (dengan menggunakan ayatnya secara lengkap dan relevan), menurut Maulana Dr. Muhammad Fazlur Rahman Anshari, guru dari Shaikh Imran Nazar Hosein rahimahmullah, sekterianisme atau golongan-golongan di dalam Islam sebagian besarnya oleh karena pendirian yang dibangun berdasarkan Ahadits, Ahadits tidak boleh berdiri sendiri tanpa Al-Quran oleh karena ia akan jatuh kepada kenisbian (relativitas dan subjektivitas). Oleh karena itu maka pendirian pokok (landasan atau hujjah) hendaknya dibangun berlandaskan Al-Quran sebagai inti (core) dan Ahadits yang bersesuaian dengan Al-Quran, kesemuanya digunakan bersama-sama secara harmoni sehingga diperoleh makna yang utuh dan menyeluruh berdasarkan system makna (system of meaning), oleh karena itu maka persatuan ummat Islam akan terjalin kembali jika kembali kepada Al-Quran (tali Allah), siapa yang menyelisihi Al-Quran maka dia telah keluar dari Islam. (3) Posisi Pengetahuan Huhduri (Knowledge By Presence) Ilmu hudhuri pada dasarnya adalah konsepsi kenabian dan hanya diterima oleh Nabi dan Rasul, Tetapi ilmu hudhuri boleh diterima oleh seorang manusia biasa apabila memenuhi berikut syaratnya: 1. Ia bukan merupakan wahyu yang menjadikan seseorang Nabi atau Rasul; karena tidak ada Nabi dan Rasul setelah Nabi Muhammad. Ia boleh berupa; ilham, intuisi, idea yang muncul, firasat, mimpi (kasyaf atau ru‟yat), dan lain-lain. 2. Ilmu hudhuri-ladunni (dari Allah), boleh datang kepada seorang manusia yang sholih yang memiliki jiwa dan hati yang bersih, yang telah melewati penyucian jiwa (tazkiatun nafs) dengan amat sangat baik, sehingga hati seorang mukmin bisa menerima nur Allah. HR. Tirmidzi, dari Ibnu Umar ‫ر‬ ‫اتقوا فراسة المؤمن فإنه ٌنظر بنور هللا‬ “Berhati-hatilah terhadap firasat seorang mukmin, karena ia melihat dengan cahaya Allah”

HR. Bukhari, Muslim dan Tirmidzi, dari Abu Hurairah ‫ ر‬dan Ubadah bin Shamit ‫ر‬. ‫رؤٌا المؤمن جزء من ستة و اربعٌن جزءا من نبوٌة‬ “Mimpi seorang mukmin adalah 1 bagian dari 46 bagian kenabian”

54

ً‫العلم نور و نور هللا ال ٌعطى للعاص‬ “Ilmu adalah cahaya dan cahaya Allah tidak diberikan kepada ahli maksiat” (Imam Syafi‟i)

Adapun kaedah atau aturan yang harus dipenuhi dalam menggunakan ilmu hudhuri/ladunni sebagai tolak ukur, ialah sebagai berikut: 1. Ia tidak bertentangan dengan Al-Quran dan Ahadits yaitu: a. Ilmu hudhuri seseorang tidak bisa menambah syariat (aturan muhkamat) yang baru, berkaitan dengan improvisasi (bid‟ah), kecuali yang berdimensi/beririsan dengan dimensi muammalah dan hanya irisan muammalahnya itu sajalah yang boleh dilakukan penambahan/bid‟ah/improvisasi (asalkan tidak bertenangan dengan Al-Quran dan Ahadits, yakni tidak melanggar halal-haram AlMuhkamat; menghalalkan yang haram, mengharamkan yang halal); dan urusan muammalah tidak bisa dianggap ritualis/mahdhoh, apabila urusan muammalah dianggap ritualis/mahdhoh maka itu termasuk penambah-nambahan (bid‟ah) dalam urusan agama, yang termasuk bid‟ah dholalah (kecuali ada dalil-dalil yang membolehkannya, semisal; tarawih, qunut dalam sholat fardhu; qunut ikhtilafiyyah yang masih bisa diterima, doa-doa dengan lafadz tertentu yang tidak dicontohkan tetapi dibolehkan, yang tidak melanggar „nilai-nilai keyakinan islam‟ atau „keyakinan Islam‟ yang telah dijelaskan dari dalil-dalil nash secara totalnya dan tidak melanggar Al-Muhkamat (Syar‟i), tidak melanggar aturan-aturan mengenai: (1) Arkanul Islam (Syahadat, Sholat, Puasa, Zakat, Hajji), (2) Halalharam ketentuan Al-Quran dan Ahadits yang sudah qath‟i. Ibadah ritualis (mahdhoh) adalah ibadah tata cara menyembah Allah yang sudah baku yang dijelaskan dalam al-muhkamat baik di dalam Al-Quran maupun Ahadits, apabila menyembah Allah selain dari cara yang telah dijelaskan Allah dan Rasulnya (selian dari yang dijelaskan dan yang dibolehkan berdasarkan petunjuk) maka ia adalah mengada-ngada (bid‟ah). Amalan bid‟ah yang diyakini, „keyakinan baru‟ diyakini sebagai tata cara yang sah menyembah Allah secara ritualis padahal tidak ada petunjuknya (atau tidak ada petunjuk untuk membolehkannya) maka ia adalah bentuk kesesatan dan suatu bentuk degradasi amalan; yaitu melalaikan pelakunya 55

untuk melakukan ibadah-ibadah yang lebih utama, yang lebih penting, yang lebih nyata faedahnya, yang lebih besar pahalanya atau ia dapat membawa pelakunya kepada kesyirikan yaitu meyakini bahwa sesuatu selain Allah dapat memberikan manfaat atau mudhorot (dalam arti makna ibadah). Catatan tambahan untuk amalan yang bercampur atau beririsan perkara ritualis dan muammalah: Untuk wirid misalnya; ada yang munfarid (sendiri) ada yang jama‟i (jamaah), ada yang sirr (dipelankan) ada yang zhohir (dikeraskan), untuk wirid yang mengandung esensi berdzikir memang bersifat ritualis (mahdhoh) namun apabila dibaca zhohir dan jama‟i maka ia disamping bernilai ritualis (mahdhoh) juga berfungsi secara muammalah (ghairu mahdhoh) yaitu; fungsi tradisi, fungsi budaya; untuk menghidupkan suasana spiritual dan kerekatan sosial jamaah yang merupakan ciri dari masyarakat Islam, ini hanyalah opsional yang boleh dilakukan boleh pula tidak, dan tidak perlu menjadi bahan berpecahan dan ashhabiyyah (kefanatikan) antara golongangolongan yang membolehkan dan yang tidak, dan sebetulnya tidak perlu ada golongan-golongan melainkan ummat Islam adalah ummat yang satu, perlu dikondisikan kapan dikeraskan yaitu pada situasi kondisi yang memang diperuntukkan keperluan tradisimuammalah-religius dan dikondisikan pula kapan direndahkan yaitu ketika diperuntukkan untuk mencari kekhusyukan dan kemurnian ibadah, dan suatu muammalah yang hukumnya mubah apabila terlalu banyak maka akan menjadi lahwun atau bersifat melalaikan atau lalai terhadap yang pokok. [Catatan; wirid bisa bersifat ritualis apabila mengandung esensi berdzikir (dzikr) yaitu; khusyuk (sepenuh hatinya terlibat) dan tidak melanggar adab-adabnya (dan tentu bisa dirasa dan dibedakan antara yang beradab mengandung esensi dzikr dan yang tidak), apabila tidak demikian maka itu bukanlah wirid, ia bisa hanya menjadi perkara yang bernilai muammalah saja, dan bahkan bersifat melalaikan apabila malah beresensi ghaflah (bersifat melalaikan)/ wirid yang bersesensi ghaflah; yaitu wirid yang hatinya tidak berdzikir 56

dan beradab kepada Allah, tetapi ia hanya wirid yang hanya sampai dilidah saja yang barangkali lalai oleh karena hanya menikmati alunan irama atau musik wiridnya saja, tetapi esensi dzikr-nya sendiri menjadi hilang, dan tentunya ini bisa dirasa-rasa dan dibedakan mana yang bersifat melalaikan, mana yang ber-esensi dzikr penuh kekhusyukan; misalnya wirid dengan ritme atau nada ala musik rock dan ritme keras wirid sambil melonjak-lonjak tentu hal yang tidak harmoni dan bersifat kontradiksi antara maksud wirid dan adabadabnya di mana tidak diperoleh kekhusyukan dan ketulusan dalam hati]. Untuk sya‟ir (lafadz-lafadz puisi berisi puji-pujian dan shalawat) adakah bisa disamakan dengan wirid (amalan ritualis dzikr atau shalawat)? Untuk sya‟ir pada dasarnya bukanlah bersifat ritualis, karena sya‟ir merupakan fungsi muammalah; seni-budaya, ia merupakan ekspressi kata yang merupakan sifat kreatif manusia untuk mengekspresikan sesuatu dengan kalimat tertentu untuk pemaknaan yang mendalam. Adapun yang dimaksud wirid, ia merupakan wirid syar‟i yang lafadz-lafadznya diajarkan dan dibolehkan di dalam Islam; seperti; „astaghfirullah‟, „lailaha illa Allah‟, „subhanallah‟, atau „kalimah thoyyibah‟, ayat kursi, surat AnNas, surat Al-Falaq, surat Yasin, surat Al-Mulk, surat Al-Kahf dan lain-lain yang ada petunjuknya/dalilnya. Apabila suatu sya‟ir barangkali mengandung esensi lafadz „wirid-wirid yang diajarkan/syar‟i‟ dan lafadz „shalawat‟, maka sya‟ir yang seperti inipun boleh bernilai ritualis, tetapi ia juga sekaligus bernilai muammalah/memiliki manfaat secara muammlah. [asalkan memenuhi adab-adabnya dan mengandung esensi khusyu‟; hatinya ikut; dan ini bisa dirasa-rasa dan dibedakan mana yang beresensi ghaflah dan mana yang beresensi „shalawat‟ atau „puji-pujian kepada Allah‟ sepenuh hati/melibatkan hati]. Adapun untuk shalawat, shalawat-nya sendiri merupakan ritualis (yaitu berdoa kepada Allah untuk Allah memberikan keberkahan, kesejahteraan, kemuliaan kepada baginda Nabi ‫ )ز‬bahkan setiap dua rakaat dalam sholat terdapat shalawat, namun improvisasi 57

tambahan dengan bentuk-bentuk lafadz-lafadz sya‟ir tertentu dibolehkan sebagai fungsi muammalah (di luar sholat), maka ia bernilai ritualis dan muammalah sekaligus; akan tetapi juga tidak boleh ada lafadz-lafadz dan pemaknaan yang kufur yang tidak sesuai dengan „nilai-nilai keyakinan Islam‟ yang telah diajarkan secara totalnya berdasarkan dalil-dalil Al-Quran dan Ahadits. Begitupun, tahlilan dan yasinan juga perlu dipandang dalam sudut pandang muammalah; yang merupakan tradisi dan budaya, di mana improvisasi dalam urusan muammalah bukanlah perkara bid‟ah (dholalah) asalkan tidak melanggar atau mengubah al-muhkamat (syar‟i); menghalalkan yang haram, mengharamkan yang halal. b. Ilmu hudhuri tidak bisa mem-bypass Al-Quran dan Ahadits; berlaku menjadi pe-nasakh yang me-mansukh-kan dalil-dalil Al-Quran dan Ahadits; mengubah al-muhkamat (syariat); atau menyelewengkan makna-makna dalil-dalil Al-Quran dan Ahadits menggunakan ilmu huhduri dengan penyelewengan makna yang amat jauh dan sesat (sangat jauh atau berlawanan dari makna-makna yang dibangun berdasarkan totaliti dari dalil-dalil Al-Quran dan Ahadits). c. Ilmu hudhuri tidak bisa menambah-nambah „keyakinan baru‟ yang tidak ada penjelasannya di dalam Al-Quran dan Ahadist atau bertentangan dengan Al-Quran dan Ahadits, misalnya: i. Membaca „wirid tertentu‟ atau „bacaan tertentu‟ dengan „keyakinan‟ untuk memperoleh „manfaat tertentu‟ yang tidak ada dijelaskan dalam Al-Quran dan Ahadits, sekalipun „wirid tertentu‟ atau „bacaan tertentu‟ itu berisi kalimatkalimat Allah, atau ayat-ayat Al-Quran sekalipun (tetapi dengan menambah-nambah keyakinan yang tidak diajarkan terhadapnya). Hal ini merupakan bentuk degradasi amalan dan bisa membawa pelakunya lalai dari yang pokok dan bisa juga membawa pelakunya kepada syirik yaitu mempercayai sesuatu selain Allah dapat memberi manfaat atau mudhorot dalam melakukan ibadah-ritual tersebut. ii. „Keyakinan‟ bahwa; Rasulullah memilih langsung Ali ‫ر‬ sebagai penggantinya untuk kepemimpinan/kekhalifahan; 58

bahwa pengetahuan ini diperoleh secara hudhuri-ladunni (langsung dari Allah) oleh imam atau syaikh yang mengakuinya. Sehingga membangun landasan keyakinan (akidah) berasaskan ini. iii. Dan lain-lain d. Ilmu hudhuri tidak bisa dijadikan pengetahuan yang benar sebagai dalih untuk men-shahih-kan Ahadits yang dhaif atau men-dhaif-kan yang shahih. Suatu Ahadits dapat diketahui shahih atau dhaif hanya dengan cara menempuh pendekatan hushuli; studi penelitian Ahadits lewat ilmu Hadits. e. Dan lain-lain. Manfaat ilmu huhduri adalah ia bisa digunakan para sarjanawan atau ulama untuk berimprovisasi dalam kehidupan, sehingga hambatan kehidupan bisa dilompati, maka dari itu para sarjanawan atau ulama Islam tidak hanya kritis, tetapi juga harus kreatif dalam melihat persoalan. Agar kehidupan tidak terperangkap dalam kejumudan „pikiran yang tertutup‟ atau stagnasi yang menjadi sebab kemandegan kehidupan dan kejenuhan hidup yang juga bisa menjadi sebab munculnya kezaliman dan korupsi atas agama. Islam adalah mudah dan memudahkan, Islam adalah sederhana dan bukanlah agama yang sulit, tetapi pada dasarnya semuanya sudah jelas mana halal mana haram. Berdasarkan semua penjelasan yang telah diterangkan mengenai metodologi studi teks (nash) adalah bahwa, Al-Quran tidak boleh di-bypass (dilangkahi wewenangnya), tidak menghormatinya dengan tidak menggunakan ayat-ayatNya secara lengkap dan relevan. Hal ini adalah kritik atas para sarjanawan dan Ulama Islam serta kaum muslimin secara umumnya baik yang modernis maupun tradisionalis. Yaitu untuk mereka yang mem-bypass Al-Quran untuk membenarkan; „menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal‟ (Al-Muhkamat), dengan ber-hujjah pada pendirian yang dibangun diatas akal, Ahadits, qoul ulama, ilmu fiqh, qaidah fiqh, ilmu dunia; yang kesemuanya berdiri sendiri dalam arti tidak berdiri berdasarkan totaliti dalil-dalil Al-Quran secara lengkap dan relevan. Begitu pula kaum tradisionalis yang mem-bypass Al-Quran dengan hujjah „tradisi‟ dan mem-bypass AlQuran dengan (pengakuan memperoleh) “pengetahuan huhduri-ladunni” sehingga membenarkan amalan bid‟ah (dholallah), takhayyul, khurofat, menambah-nambah „keyakinan-keyakinan‟ baru yang tidak ada dijelaskan di dalam nash Al-Quran dan Ahadits, dalam arti bahwa pendirian-pendirian tersebut dibangun berdiri sendiri

59

oleh karena ia dibangun tanpa bersandar pada totaliti dalil-dalil Al-Quran dan Ahadits secara lengkap dan relevan. Begitupun kritik untuk mereka yang mem-bypass Al-Quran menggunakan Ahadits, yaitu mereka yang mengaku para ahli hadits yang membangun pendirian atau hujjah semata-mata berdiri di atas Ahadits, dalam arti; Ahadits berdiri sendiri, tidak berdiri bersama-sama dengan totaliti dalil-dalil ayat Al-Quran di mana mestinya ayat-ayatNya digunakan secara lengkap dan relevan untuk memperoleh makna (tafsir) dan kesimpulan (istinbath dan fatwa). Ahadits yang berdiri sendiri tanpa AlQuran pada dasarnya ibarat Bibel dan Talmud, statusnya sama seperti Bible dan Talmud. Oleh karena itu, pada dasarnya korupsi atas agama, adalah disebabkan meninggalkan Al-Quran, meninggalkan Al-Quran; tidak menghormati Al-Quran, tidak mendudukan Al-Quran sebagai ilmu, hukum, hikmah, yang paling tinggi. Apabila Al-Quran tidak diletakkan sebagai authority (wewenang) yang paling tinggi atas persoalan kehidupan manusia, maka agama dikorupsi dan para ulama akan memproduksi fatwa-fatwa yang „menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal‟, menghalalkan riba, menghalalkan qital atas darah yang haram, intolerasi dan takfiri di dalam „Rumah Islam‟ yang menjadi sumber kebencian dan perpecahan atas sesama muslim, fitnah di dalam tubuh ummat, saling tuduh kafir, saling tuduh munafik, saling tuduh jahil (bodoh), ghulluw (kelewat batas), kejumudan (stagnasi), juhala (kebodohan) yang berbahaya, bid‟ah (dholalah), takhayyul dan khurofat, menambah-nambah „keyakinan‟ yang sesat dalam agama, ashhabiyyah (kefanatikan golongan), dan berbagai macam korupsi lainnya. Wa na‟udzubillah min dzalik. Golongan-golongan yang mengkorupsi agama itu adalah golongan ekstrim kiri dan ekstrim kanan. Yang manakah untuk mengenali mereka itu? Apabila kita boleh sebut contohnya diantara mereka itu, khususnya yang tengah berlaku saat ini, khususnya di dalam Islam (insider Islam) sendiri misalnya yaitu: Ekstrim kanan dan ekstrim kiri itu ialah; Wahhabisme dan Syi’isme Wahhabisme yaitu mereka yang mem-bypass Al-Quran berhujjah pada ahadits, qoul shahabah, tabiin dan ulama, untuk melakukan tindakan ekstrim berupa; menspesialisasikan gerakan mereka pada gerakan pemurnian tauhid yang ghulluw (melampaui batas), berlebihlebihan, tidak relevan dan tidak kondisional, sambil membangkitkan amarah dan kebencian ummat islam; menyetir ummat dengan rasa benci dan emosi, mudah melakukan tindakan takfiri, menyesatkan kelompok-kelompok lain yang tidak sefaham dengan mereka, bahkan mem-bypass Al-Quran untuk mengeluarkan fatwa yang melanggar almuhkamat (syar‟i); “menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal”, mudah menghalalkan darah yang haram, menghalalkan praktik ribawi-perbankan (sekalipun sekarang dilabeli dengan “syariah” atau “islam” dengan memodifikasi akad-akad untuk membuatnya terlihat legal dalam hukum islam) untuk mendukung sistem riba keuangan 60

internasional yang diprakarsa elit kafir, bersekutu dengan elit kafir dengan persekutuan/perjanjian yang bersetuju terkait syarat yang „menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal‟ (menghalalkan riba sambil mengkhianati Allah, Rasul dan ummat Islam), beraliansi dan membantu kaum elit kafir berkuasa (mendukung sistem keuangan ribawi; sistem petrodollar - minyak sebagai basis keuangan modern - yang menjadi basis kekuatan elit kafir; aliansi yahudi-nashrani; sekutu amerika dan zionis, sebagai sumber daya keuangan untuk menguasai dan memerangi manusia dan memberangus tatanan moral), secara tidak langsung (ataupun langsung) wahhabi membantunya dalam melancarkan perang global (secara ekonomi, politik, edukasi dan media informasi; yang zalim, batil, manipulatif) yang menindas terhadap dunia dan ummat islam serta menghalang-halangi bangkitnya khilafah bagi ummat Islam yang murni dan tulus menjunjung hukum Allah sebagai hukum tertinggi, dengan sebaliknya dengan memanfaatkan metodologi wahhabi amerika-sekutu dan zionis membangun gerakangerakan jihad palsu (dan memperangkap muslim-muslim muda yang berhati tulus ingin berjihad membela agamanya) yang didanai oleh hasil jualan minyak dan kesepakatan korporatokrasi sistem riba keuangan internasional untuk kepentingan tujuan geopolitik dan strategi zionis untuk membangun dan mempersiapkan kekuasaan imperial mesianik (Israel Raya); secara bersamaan wahhabi mencegah ummat islam memiliki pikiran yang terbuka dengan mendoktrinkan ummat menggunakan metodologi mempelajari islam yang kaku/jumud/doktrin otoriter (otoritas ulama wahhabi = suara tuhan; maka ummat harus sami‟na wa atho‟na buta kepada ulama wahhabi) yang tidak memberikan kesempatan berpikir ilmiah-objektif secara waras dan membangun kesimpulan dan hukum berdasarkan data dan dalil yang tidak lengkap, tebang pilih dan manipulatif (oknum tertentu; agen zionis di dalam tubuh penganut wahhabi), untuk membenarkan kepentingan/hawa nafsu geopolitik wahhabi dan sekutu (amerika dan zionis) yang ada dibelakangnya. Dalam pandangan yang dibangun berdasarkan metodologi wahhabi akan memandang sebab adalah akibat, dan akibat malah menjadi sebab (terbaliknya „sebab‟ dan „akibat‟ dalam pandangan/paham wahhabi). Maka pendekatan wahhabi menyelesaikan masalah adalah dengan memerangi akibat; ini ibarat mengobati penyakit dengan mengobati gejalanya saja, tidak mengobati akar sebab utama yang menjadi masalahnya (masalah utama yang dihadapi ummat), maka penyakit yang diderita ummat itu sejatinya tidak akan pernah mentas dan hilang, dan malah ummat semakin menderita. Keberadaan wahhabi telah dicipta musuh untuk mengambil alih kepemimpinan dunia Islam selepas khilafah runtuh dengan cara wahhabi menguasai haramain (karena syaithan/dajjal tidak dapat menghancurkan haramain, tapi syaithan/dajjal bisa menguasai haramain), dengan wahhabi menguasai haramain, wahhabi mengambil alih setir kepemimpinan ummat, menjadi ulama ummat yang terdepan dalam memberi fatwa dan menyeret ummat kepada cara hidup islam yang kaku (islam yang susah dan menyusahkan) dan menyeleweng (kemajuan islam yang menyeleweng atau yang disesuaikan dengan kepentingan penguasa dunia; sekutu amerika dan zionis), dengan metodologi studi Islamnya yang kaku, tebang pilih, sudah dimanipulasi, tidak lengkap dalil-dalilnya, dan wahhabi memproduksi ulama/sarjanawan Islam dan menyebarkan ulama/sarjanwan Islam tersebut ke seluruh dunia Islam berdasarkan metodologi tersebut. Syi‟isme yaitu mereka yang berawal dari fanatisme politik (syi‟ah Ali) berubah menjadi doktrinal akidah, yang tidak mempercayai otentisitas Al-Quran, membangun doktrin 61

akidah berdasarkan hadits-hadits yang hanya diperoleh dari jalur imam-imam mereka (yang diimani sebagai maksum; bersih dari dosa) dan bersikap ekstrim dengan; mengkafirkan para shahabat dan mengkafirkan seluruh ahlu sunni, membangkitkan amarah dan kebencian; mencaci dan melaknat para shahabat dan istri Rasulullah, tidak ada bedanya pun dengan wahhabi yang selalu membangkitkan amarah dan kebencian di dalam tubuh ummat untuk menyetir ummat dalam suatu kondisi yang emosi dan penuh benci, hingga kepada tahap pertikaian dan perkelahian, bahkan menumpahkan darah. Syi‟isme adalah buatan musuh (yahudi, dajjal laknatullah alaih) yang bertujuan menjadi alat kontrol untuk membuat perpecahan supaya ummat bisa dikuasai musuh. Kedua golongan ini adalah virus dan benih perpecahan di dalam tubuh ummat, yang keduanya telah dicipta oleh musuh (syaitan, iblis dan dajjal laknatullah alaihim) untuk membuat fitnah di dalam tubuh ummat, dan memaksa ummat Islam berpihak atau mengkotak-kotakkan ummat Islam supaya menjadi termasuk pada salah satunya; ia harus; “kalau dia tidak wahhabi maka dia adalah syi‟i, kalau dia tidak syi‟i maka dia adalah wahhabi”; adapun bila mengatakan tidak keduanya maka dia dianggap taqiyyah atau dianggap munafiq; ini adalah propaganda-propaganda, isu-isu pembodohan yang busuk. Kedua-duanya baik wahhabi maupun syi‟i sama-sama busuk. Ekstrim kanan dan ekstrim kiri itu juga ada dalam; penganut Modernisme dan Tradisionalisme (modernis-liberalis dan tradisionlis-liberalis) Modernisme-liberalis yaitu yang menerima konsepsi-konsepsi dari barat tanpa ketelitian yang kritis, modernisme yang liberal atau terbawa pada kerangka pola pikir liberal, yang mem-bypass Al-Quran dengan mengkapitalisasi dalil-dalil ayat secara tidak lengkap, menggunakan dalil-dalil akal, ilmu fiqih dan perangkat fiqih, qaedah fiqih, ushul fiqh, qoul ulama, qoul shahabat, qoul tabiin; untuk membenarkan tindakan “menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal”; melanggar al-muhkamat (syar‟i), menghalalkan persekutuan, aliansi, perjanjian muammalah dengan kaum kafir bersetuju dengan syarat terkait yang; “menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal”, menghalalkan praktek riba dan membenarkan praktek syirik di dalam perangkat sistem hidup modern dengan tidak mengakui Allah sebagai Al-Malik yang hukumNya adalah hukum tertinggi. Tradisionalis-liberalis yaitu yang mengusung slogan “menjaga/memelihara tradisi” yang mem-bypass Al-Quran dengan hujjah-hujjah tradisi untuk menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal; membenarkan pelanggaran al-muhkamat (syar‟i), membenarkan praktik syirik atas nama tradisi: bid‟ah (amalan-amalan dengan „keyakinan-keyakinan‟ yang ditambah-tambah yang tidak diajarkan di dalam Islam), tahayyul, khurafat, okultisme/kebatinan/mistisme (meyakini sesuatu selain Allah dapat memberi mudhorat atau manfaat dalam konteks makna ibadah/ritual, bukan makna muammalah); memanfaatkan dunia gaib/sihir/jin untuk keuntungan duniawi tidak peduli hitam atau putih/baik atau jahat (orang yang menjalin hubungan dengan dunia jin dan mengambil keuntungan dari padanya adalah telah berbuat syirik), mengkorupsi agama, mengkapitalisasi dalil-dalil untuk keuntungan duniawi atau mengkapitalisasi dalil-dalil untuk memperoleh keuntungan supaya dekat dengan elit politik. Ekstrim kanan dan ekstrim kiri itu ialah penganut Wahabisme dan Syi‟isme, ekstrim kanan dan ekstrim kiri itu ialah penganut Modernis dan Tradisionalis, kesemuanya saling 62

berkombinasi dan menciptakan syubhat (abu-abu; tidak jelas) dalam perikehidupan Islam. Ada banyak lagi golongan-golongan (sekterian-sekterian) sesat lainnya yang telah diprakarsa musuh, namun yang paling kritis yang berlaku saat ini adalah 4 golongan tersebut; Wahhabisme, Syi‟isme, Modernis, Tradisionalis. Di antara mereka itulah terdapat orangorang munafiq yang sebenarnya, dan tidak semuanya munafiq diantaranya hanyalah korban dari pada tipu muslihat musuh dan tipu muslihat para munafiqin sehingga terperangkap dalam ketidaktahuan (kebodohan) dan tersesat ikut-ikutan atau terbawa faham yang disebarkannya, yang sejatinya hanya menjadi korban saja. Maka, adapun posisi penulis dalam meninjau semua korupsi pada sekte-sekte golongangolongan yang ada, penulis bukan penganut Wahhabisme, bukan penganut Syi‟isme, bukan penganut Modernisme, bukan penganut Tradisionalisme. Penulis berposisi dan bersetuju pada posisi Syaikh Imran Nazar Hosein dan gurunya Maulana Fazlur Rahman Anshari yang memperkenalkan istilah dynamic-orthodoxy (dalam bukunya “Quranic Foundations and Structure of Muslim Society”); yang memiliki ciri konservatif (memegang teguh nilai-nilai pokok/qath‟i dalam Islam) namun dinamis (dalam hal-hal yang bukan pokok, dalam hal yang dibenarkan untuk berimprovisasi dalam perikehidupan) dan penulis bersetuju pada haluan aqidah Asy‟ariyyah dan Maturidiyyah, Ulama/Imam 4 mazhab (fiqh) dan Ulama/Imam hadits. Syaikh Imran Hosein sendiri menyesalkan istilah tasawuf/sufi (istilah tasawwuf/sufi masih tepat digunakan untuk metodologi saja, tetapi tidak untuk mengacu pada tarekat-tarekat yang menyesatkan), sebagaimana sebagian besar sekterian sufi sendiri banyak pula didalamnya korupsi-korupsi atas agama (bid‟ah, tahayyul, khurafat; yang memang tidak ada petunjuk dalil-dalilnya, atau dalil-dalilnya fiktif dan tidak relevan untuk membenarkannya), Syaikh Imran Hosein lebih memilih istilah al-ihsan dari pada istilah sufi, sebagaimana sufi yang sejati adalah upaya untuk mencapai al-ihsan, begitupun pengikut salaf yang sejati adalah yang berusaha mencapai al-ihsan (bukan salaf yang diciptakan wahhabi), inilah jalan yang ditempuh Rasulullah ‫ ز‬dan generasi aslaf, jalan yang lurus, yang sejati. (Ihsan adalah tingkat tertinggi, setelah islam dan iman, yang dapat dicapai oleh seorang mukmin; ihsan adalah taqwa secara zahir dan bathin, bukan secara zhahir-nya saja atau secara bathin-nya saja, ihsan adalah taqwa secara keseluruhan tanpa terkecuali; islam yang kaffah).

Pengembangan Ilmu Islam: Harmonisasi, Sinkronisasi, Islamisasi, Rekontruksi Jadi apakah yang kita perlukan atas ilmu pengetahuan modern yang sudah terbangun saat ini? Apakah dunia Islam perlu melakukan islamisasi atau rekontruksi? Sebetulnya yang perlu dilakukan adalah mendialektikakan ilmu-ilmu yang sudah ada yang sudah terbangun dengan Al-Quran sebagai batu landasannya, batu landasan yang mutlak bagi ilmu pengetahuan, melakukan penyelarasan; yaitu ilmu pengetahuan perlu dikembangkan secara intercorrelated (saling berhubungan) dan multidimensional, sehingga bidang ilmu yang satu dapat menjadi alat kontrol bidang ilmu yang lain agar tidak bersifat kontradiktif dan dapat diketahui kerusakan suatu ilmu, dan yang 63

paling utama dalam penyelarasan ilmu adalah Al-Quran mesti didudukan menjadi landasan utamanya, maka dari itu semua ilmu harus bersesuaian, sinkron dan harmoni dengan totaliti ayat-ayat Al-Quran dan bersamaan dengan Ahadits. Manamana ilmu itu kontradiksi dan tidak selaras dengan Al-Quran bersama-sama dengan Ahadits, maka ilmu itu perlu ditolak, dibedah, dipilah, mana-mana kebenarannya mana-mana kesesatannya, sehingga ia dikembangkan betul-betul sesuai dan harmoni dengan totaliti ayat-ayat Al-Quran dan Ahadits, ilmu berada dalam keselarasan, bersesuaian, sinkron dan harmoni dalam satu kesatuan bangunan ilmu (unity atau tawhid). Tidak peduli apakah ini dikatakan sebagai islamisasi atau rekontruksi, tergantung bagaimana mendefinisikan islamisai atau rekontruksi dan juga tergantung seberapa parah kesesatan suatu disiplin ilmu yang harus diperbaiki. Kita tidak bisa melakukan islamisasi hanya mengubah istilah-istilahnya, mengubahubah pemaknaannya, namun „esensi‟nya sama saja dengan ilmu, konsepsi, teori dan praktek yang sekuler, atau seberapa Islampun suatu disiplin ilmu, bahkan dengan menggunakan nama „Islam‟ sekalipun, atau sekalipun menggunakan “AlQuran dan Sunnah” sebagai jargonnya apabila “praktek”nya tidak sesuai Al-Quran dan Sunnah itu sendiri maka “Islam”nya tinggal namanya saja, Al-Quran dan Sunnah-nya hanya tinggal jargon yang utopia, yang tidak ada kaitannya dengan „praktek‟nya. Para sarjanawan dan para ulama Islam, tidak boleh mem-bypass Al-Quran menggunakan Ahadits, tidak boleh mem-bypass Al-Quran dan Ahadits menggunakan qoul shahabah, qoul tabi‟in, qoul ulama, mengabaikan seluruh ayat-ayat Allah dan sabda Nabi ‫ ز‬tidak memikirkannya dan menghormatinya dengan membypass-nya dengan qaul ulama, qaidah-qaidah fiqh, qaidah-qaidah ushul fiqh sekalipun, sehingga qaidah-qaidah fiqh, qaidah-qaidah ushul fiqh dan qaul ulama sekarang menjadi lebih tinggi atas Al-Quran dan Ahadits dan berwenang mengkoreksi atau mengabaikan Al-Quran dan Ahadits. Sesungguhnya Rabi-Rabi yahudi telah menghalalkan apa yang Allah haramkan dan mengharamkan apa yang Allah halalkan, maka kaum yahudi telah menTuhankan Rabi-Rabi mereka disamping Allah dan mereka telah berbuat syirik. II.III

Pandangan Alam Wujud Islam Pandangan alam wujud Islam (ru‟yatul islamu lil wujud), adalah pandangan yang dibangun berdasarkan kontruksi „bangunan ilmu‟ Islam yang dibangun berlandaskan keimanan kepada Allah dan RasulNya, yang menjelaskan hakikat Tuhan, Manusia dan, alam semesta.

64

1 Tuhan (Allah) Pengutusan Nabi Muhammad ‫ ز‬dan turunnya Al-Quran merupakan kasih sayang Allah untuk seluruh alam (rahmatan lil alamin). Ia memberitahukan manusia kebenaran, jika manusia mencari sendiri menggunakan akal dan inderanya niscaya tidak akan diperoleh pengetahuan yang benar mengenai alam wujud terutama mengenai metafisika; tentang Tuhan dan yang ghaib. Hadirnya Muhammad ‫ز‬ sebagai Utusan Allah dan Al-Quran yang dibawanya memperkenalkan manusia kepada pengetahuan yang benar dan cara hidup yang selamat; cara hidup Islam (Iman-Islam-Ihsan). Hal-hal penting yang diperoleh pengetahuannya dari Al-quran adalah; Konsep tentang Tuhan di mana Allah subhanahuwata‟ala memperkenalkan dzatNya sendiri, dan hal-hal pokok yang diimani sebagai fondasi keimanan; Allah, Malaikat, Nabi & Rasul, Kitab-kitab Allah (kitab suci), Hari Akhir, Qadha-Qadar. Di dalam kitabkitabNya, Allah juga memberitakan tentang yang ghaib, jin, malaikat, surga dan neraka. Di antara konsepsi tentang tuhan itu ialah: Katakanlah: "Dia-lah Allah, yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan, dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia." (QS. Al-Ikhlash: 1-4)

Allah adalah pencipta alam raya dan Dia berkuasa atasnya. Dia tidak meninggalkan ciptaannya berjalan sendirian dan luput dari perhatianNya, Dia tidak tidur, Dia aktif (hidup dan bertindak). Allah satu-satunya Tuhan yang berhak diibadahi, Dia tidak bersekutu dengan siapapun baik dalam hal penciptaan maupun peribadahan makhlukNya. Allah memiliki 99 nama dan sifat dzatNya. Dia adalah Ar-Rahman: Yang Maha Pengasih/Pemurah. Ar-Rahim: Yang Maha Penyayang. Al-Malik: Yang Maha Raja, AlQudus: Yang Maha Suci, As-Salam: Yang Maha Menyelamatkan, Al-Mu‟min: Yang Maha Pemelihara Keamanan, Al-Muhaaymin: Yang Maha Menjaga, Al-Aziz: Yang Maha Mulia, Al-Jabbar: Yang Maha Perkasa, Al-Mutakabbir: Yang Maha Megah, AlKhaliq: Yang Maha Pencipta, Al-Bari‟u: Yang Maha Membebaskan, Al-Mushawir: Yang Maha Membentuk, Al-Ghaffar: Yang Maha Pengampun, Al-Qahhar: Yang Maha Pengampun, Al-Wahhab: Yang Maha Pemberi, Ar-Razzaq: Yang Maha Pemberi Rezeki, Al-Fattah: Yang Maha Membukakan, Al-Alim: Yang Maha Mengetahui, Al-Qabidh: Yang Maha Mencabut, Al-Basith: Yang Maha Meluaskan, AlKhafidh: Yang Maha Menjatuhkan, Ar-Rafi‟u: Yang Maha Mengangkat, Al-Mu‟izz: Yang Maha Pemberi Kemuliaan, Al-Mudzil: Yang Maha Pemberi Kehinaan, As65

Sami‟: Yang Maha Mendengar, Al-Bashir: Yang Maha Melihat, Al-Hakam: Yang Maha Menetapkan Hukum, Al-Adl: Yang Maha Adil, Al-Lathif: Yang Maha Halus, Al-Khabir: Yang Maha Waspada, Al-Halim: Yang Maha Pengiba/Penyantun, AlAzhim: Yang Maha Agung, Al-Ghafur: Yang Maha Pengampun, Asy-Syakur: Yang Maha Pembalas, Al-Aliy: Yang Maha Tinggi, Al-Kabir: Yang Maha Besar, Al-Hafizh: Yang Maha Memelihara, Al-Muqit: Yang Maha Pemberi Kekuatan, Al-Hasib: Yang Maha Menghisab, Al-Jalil: Yang Maha Luhur, Al-Karim: Yang Maha Mulia, Ar-Raqib: Yang Maha Mengawasi, Al-Mujibu: Yang Maha Mengabulkan, Al-Wasi‟u: Yang Maha Luas, Al-Hakimu: Yang Maha Bijaksana, Al-Wadud: Yang Maha Pencinta, Al-Majid: Yang Maha Mulia, Al-Ba‟its: Yang Maha Membangkitkan, Asy-Syahid: Yang Maha Menyaksikan, Al-Haq: Yang Maha Benar, Al-Wakil: Yang Maha Memelihara Penyerahan, Al-Qawiyu: Yang Maha Kuat, Al-Matin: Yang Maha Kokoh, Al-Waliy: Yang Maha Melindungi, Al-Hamid: Yang Maha Terpuji, Al-Muhshiy: Yang Maha Penghitung, Al-Mubdi‟: Yang Maha Memulai, Al-Mu‟id: Yang Maha Mengembalikan, Al-Muhyiy: Yang Maha Menghidupkan, Al-Mumit: Yang Maha Mematikan, Al-Hayu: Yang Maha Hidup, Al-Qayyum: Yang Maha Tegak, Al-Wajid: Yang Maha Mengadakan, Al-Majid: Yang Maha Mulia, Al-Wahid: Yang Maha Esa, Al-Ahad: Yang Maha Tunggal, Ash-Shomad: Yang Maha Dibutuhkan, Al-Qadir: Yang Maha Kuasa, Al-Muqtadir: Yang Maha Menentukan, Al-Muakhir: Yang Maha Mengakhiri, AlAwwal: Yang Maha Pertama, Al-Akhir: Yang Maha Penghabisan, Azh-Zhahir: Yang Maha Nyata, Al-Bathin: Yang Maha Tersembunyi, Al-Waliy: Yang Maha Menguasai, Al-Muta‟aliy: Yang Maha Suci, Al-Barru: Yang Maha Dermawan, At-Tawaabu: Yang Maha Penerima Taubat, Al-Muntaqimu: Yang Maha Penyiksa, Al-Afuwu: Yang Maha Pemaaf, Ar-Rauf: Yang Maha Pengasih, Al-Malikul Mulk: Yang Maha Merajai Kerajaan-Kerajaan, Dzul Jalali Wal Ikram: Yang Maha Memiliki Kebesaran Dan Kemuliaan, Al-Muqsith: Yang Maha Mengadili, Al-Jami‟: Yang Maha Mengumpulkan, Al-Ghaniy: Yang Maha Kaya, Al-Mughniy: Yang Maha Pemberi Kekayaan, Al-Mani‟u: Yang Maha Menolak/Melarang, Adh-Dhar: Yang Maha Pemberi Bahaya, An-Nafi‟u: Yang Maha Pemberi Manfaat, An-Nur: Yang Maha Bercahaya, Al-Hadiy: Yang Maha Pemberi Petunjuk, Al-Badi‟u: Yang Maha Pencipta Keindahan, Al-Baqiy: Yang Maha Kekal, Al-Warits: Yang Maha Pewaris, Ar-Rasyid: Yang Maha Jenius/Pintar, Ash-Shabur: Yang Maha Penyabar. Tidak ada satu pun dari makhlukNya yang melebihi ke-maha-anNya. 10 Hal Yang Pasti (Wajib) 1. 2. 3. 4.

Allah adalah Satu, tidak jamak, tidak terbagi dari sifat dzatNya. Tidak ada yang kedua, yang ketiga atau sekutu dalam keTuhananNya. Dia hidup, dan tidak bergantung kepada apapun atau siapapun. Dia tidak berkurang atau musnah (oleh karena waktu) dan tidak pula lelah atau kantuk atau tidur dapat menghampiriNya. 66

5. Dia adalah Tuhan segala sesuatu dan Dia pencipta segala sesuatu. 6. Dia memiliki kekuatan, kekuasaan atas segala sesuatu. 7. Dia mengetahui yang zhahir dan yang bathin, tidak sebiji atom pun baik di langit ataupun di bumi luput dariNya. 8. Dia berkehendak atas penciptaan segala sesuatu –baik atau buruk/jahat-, apa yang Dia kehendaki wujud, maka wujud, apa yang tidak Dia kehendaki wujud, tidak pernah wujud. 9. Dia, dzatNya, mendengar, melihat, berbicara tidak menggunakan bagian tubuh atau alat atau indera apapun (yang bisa dibayangkan manusia). Dia mendengar, melihat, berbicara merupakan sifat dzatNya. 10. Dia, DzatNya, tidak menyerupai segala sesuatu apapun. 10 Hal Yang Mustahil 1. Dia mewujud di dalam dimensi waktu adalah mustahil, di mana Dia dikuasai oleh waktu. 2. Ketidakber‟ada‟anNya adalah mustahil, Dia wujud dan Dia memiliki nama dan sifat (kerja/action), mengawasi dan menghakimi segala sesuatu ciptaanNya apa yang dilakukan ciptaanNya. Dia tidak memiliki awal dan akhir, tetapi „Dia lah Yang Awal dan Yang Akhir‟ 3. Adanya Tuhan lain selain Dia adalah mustahil. „jika ada Tuhan lain selain Allah di langit atau di bumi, maka Tuhan-Tuhan itu akan berperang satu sama lainnya‟. 4. Adalah mustahil bahwa Dia bergantung (atau tidak merdeka) atas semua ciptaannya, dan mustahil Dia membutuhkan penyokong atas kerajaanNya. 5. Adalah mustahil suatu urusan bisa melalaikanNya atas urusan yang lain ketika Ia memberi titah dan perintahNya kepada makhlukNya. 6. Adalah mustahil ada suatu ruang di langit atau di bumi yang memuatNya di dalam, tetapi Dia sudah ada sebelum penciptaan ruang. 7. Adalah mustahil dia memiliki dzat yang seperti tubuh atau bentuk apapun yang menyerupai makhlukNya atau ciptaanNya, akan tetapi Dia adalah tunggal, abadi, berdiri sendiri, Dia tidak dilahirkan, tidak pula melahirkan, tidak ada sesuatu apapun yang setara dengan Dia. 8. Adalah mustahil kejadian dan perubahan, merubahNya, atau merusak dzatNya dan kemudharatan atau kecelakaan atau kerugian menghampiriNya. 9. Adalah mustahil ketidakadilan dalam dzat diriNya, akan tetapi setiap segala sesuatu titahNya adalah kebijaksanaan dan keadilan. 10. Adalah mustahil setiap perbuatan (makhluk) ciptaanNya adalah tanpa izinNya, tanpa perbuatan penciptaanNya dan kehendakNya. Akan tetapi „kalimat atau kehendak Allah adalah sempurna, Ia adalah kebenaran dan keadilan, tidak satupun yang dapat mengubah kalimatNya, „Dia menyesatkan siapa yang dikehendakiNya sesat dan Dia memberi hidayah 67

siapa yang Dia kehendaki‟, „Dia tidak ditanya mengenai apa yang Dia lakukan, tetapi mereka (makhluk atau ciptaan) akan ditanya mengenai apa yang diperbuatnya‟. 10 Hal Yang Ada Yang Telah Terjadi 1. Allah, Yang Maha Agung, mengirim Nabi dan RasulNya kepada hambahambaNya (manusia) 2. Dia menurunkan bukti atau tanda-tandaNya dan kitabNya kepada para Nabi dan Rasul; supaya manusia percaya dan yakin akan kebenaran yang datang dari Allah. 3. Dia menutup pengutusan-pengutusanNya (risalah kebenaran) dengan Nabi Muhammad ‫ز‬. 4. Dia menurunkan pada Rasulullah Al-Quran sebagai petunjuk bagi manusia dengan bukti nyata dan terang, ia adalah petunjuk dan pembeda (al-furqon). 5. Ia adalah kalam/firman/perkataan Tuhan, bukan ciptaan dan diciptakan (bukan makhlukNya, bukan pula diciptakan manusia). 6. Nabi Muhammad, apa yang dia katakan adalah benar. 7. HukumNya (syariat) adalah pembatal, pencabut semua hukum yang ada dan yang pernah ada (hukum yang paling tinggi). 8. Surga dan neraka adalah nyata. 9. Keduanya (surga dan neraka) wujud, disiapkan untuk manusia yang celaka dan manusia yang beruntung. 10. Para malaikat adalah nyata, beberapa dari mereka mencatat perbuatan hambaNya, dari mereka ada yang menjadi utusanNya kepada „manusia yang menjadi Nabi dan RasulNya‟, dan beberapa dari mereka adalah malaikat yang kasar nan keras untuk menghukum siapa yang tidak mentaati perintahNya mengenai apa yang harus dilakukan, kepada siapa perintah itu diberikan. 10 Hal Yang Akan Terjadi 1. Dunia ini akan berakhir, segala sesuatu yang ada akan berakhir. 2. Manusia akan diuji (ditanyai) di dalam kubur dan dia akan diberi ketentraman dan ada yang diberi siksaan. 3. Allah akan mengumpulkan manusia semuanya pada hari kebangkitan – manusia akan disusun ulang jasad tubuhnya dari yang sudah tercerai berai di dalam tanah. 4. Hari Perhitungan, Hari Penghakiman, Timbangan adalah nyata. 5. Jalan (sirat) yang melintang diatas neraka ke surga adalah nyata. 6. Telaga (untuk minum meredakan dahaga) adalah nyata. 7. Manusia yang benar amalannya akan masuk ke surga. 8. Manusia yang kafir akan ke neraka dengan panas yang dahsyat. 68

9. Orang-orang mukmin akan melihat Allah, Yang Maha Kuasa, Yang Maha Besar, dengan kedua matanya di dunia selanjutnya. 10. Allah Yang Maha Mulia akan menghukum dengan apiNya siapa yang dikehendakiNya bagi orang-orang yang melakukan perbuatan jahat yang serius (dosa-dosa besar), di antara orang yang beriman akan diampuni bagi siapa yang dikehendakiNya. Dia akan mengeluarkannya dari neraka dan memasukannya ke surga, dengan rahmat kasihNya dan dengan permohonan/bantuan/perantara Nabi-Nabi dan hamba-hamba yang shalih, sehingga tidak ada lagi orang yang beriman di neraka jahannam, yang tersisa hanya orang kafir selamanya. „Allah tidak mengampuni segala sesuatu yang disekutukan denganNya, tetapi Dia mengampuni siapa yang Dia kehendaki, selain dari pada itu‟. Hal yang terpenting dari berita atau pengetahuan mengenai Tuhan ini adalah; kaitannya dengan manusia. Posisi manusia terhadap Tuhan. Bahwa manusia adalah ciptaanNya, dan hambaNya. Jalan yang selamat bagi manusia dan jalan yang menjauhkan manusia dari mudharat, kerugian, kecelakaan adalah mengikuti kebenaran, mentaati Allah, menyelaraskan diri manusia dengan Allah Yang Maha Kuasa dan tidak sekali-kali menjadi musuhNya, melawanNya dan meragukanNya, dengan menjalankan cara hidup Islam; mentaati syariatNya. Di mana syariatNya menjadi panduan moral kehidupan; tatanan moral untuk kehidupan. Di sini hubungan manusia dengan Tuhan adalah tentang morale code yang harus dijalankan manusia (sebagai kewajiban) kepada Tuhan; yaitu mentaati syariatNya, menegakkan syariatNya, menjalankan morale code kehidupan itu sendiri (taqwa). 2 Manusia Manusia adalah makhluk ciptaan Allah, sama seperti sebelumnya Allah menciptakan Malaikat dari cahaya, Allah menciptakan Jin dari api, kemudian Allah subhanahu wa ta‟ala menciptakan Manusia dari tanah. Adam alaihissalam manusia pertama yang diciptakan Allah, Bapak seluruh manusia. Tujuan penciptaan manusia sama seperti penciptaan makhluk-makhluk lainnya adalah agar manusia itu menjadi abd (hamba) Allah Yang Maha Tinggi (Quran, Surat Adz-Dzariyat 51: 56). Maksudnya, manusia harus menegakkan ibadah yang diperintahkan Allah kepada manusia, dan mentaati syariatNya yang telah diturunkan kepada manusia, sehingga ibadah itu mencakup ibadah yang ritualis (mahdhoh) dan ibadah yang bersifat menyokong ibadah ritualis tersebut (ghairu mahdhoh; ibadah muammalah), seperti menegakkan tulang punggung kehidupan dan aktivitas-aktivitas yang diperlukan terhadapnya juga termasuk ibadah, karena kemudian hidup itu sendiri digunakan untuk tujuan ibadah, oleh karenanya bernilai ibadah. 69

Bersamaan dengan pengetahuan dan kebijaksanaan Allah subhanahu wata‟ala. Sebelum Allah menciptakan Adam. Allah telah bermaksud memberikan manusia suatu peran atau tugas. Tugas yang dimaksud adalah menjadi khalifah. Arti khalifah secara bahasa adalah penerus atau wakil Allah di muka bumi, khalifah ditafsirkan sebagai yakhlufu ba‟dhuhum ba‟dho, di mana seorang manusia menguasai manusia lainnya, dan digantikan oleh penggantinya, secara berterusan (secara estafet); yakni suatu kuasa kepemimpinan (kenegaraan atau kerajaan) di muka bumi. (Quran, Surat Al-Baqarah 2: 30) Ketika Allah menciptakan Adam dengan memberinya potensi unik yang tidak dimiliki makhluk lainnya yang pernah diciptakan (yakni akal dan kemampuan mengembangkan ilmu), Dia membekali Adam dengan pengetahuan dan menciptakan pasangannya; Hawa, mereka tinggal di surga, kemudian Allah menguji untuk yang pertama kali dengan perintah; „janganlah dekati pohon ini‟ (pohon khuldi), ketika Adam dan Hawa gagal melewati ujian ini, maka keturunan manusia seluruhnya sudah menjadi takdir dan ketentuan Allah untuk melewati ujian yang serupa; yaitu menahan diri dari surga di dunia yang sementara; menahan diri dari apa yang dilarang Allah, sambil melaksanakan tugas dan perannya yang paling utama sebagaimana maksud semula Allah menciptakan manusia sebagai abd (Allah) dan sebagai khalifah (penerus atau wakil Allah). Untuk menjadi abd (hamba Allah) tentu saja manusia harus mentaati Tuannya dengan melaksanakan perintah dan menjauhi laranganNya (melaksanakan syariatNya) dan untuk menjadi khalifah manusia harus menegakkan hukum yang benar dan adil (yaitu hukum yang Allah turunkan sebagai wahyu kepada RasulNya kemudian untuk kaum atau manusia yang diseru terhadapnya).                                 Hai Daud, Sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, Maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan (QS. Shaad: 26)

Hal yang penting kaitannya hubungan antara manusia dengan manusia adalah kewajiban moral yang harus dijaga antar manusia; adalah menegakkan al-haq dan aladl, di mana tiada terjadi kezaliman; la tadzhlimu, wala tudzhlamu, sebagai tatanan bermuammalah.

70

3 Alam Semesta (Alam Dunia; Material Universe) Alam dunia dan seisinya, yakni bumi bersama-sama dengan matahari, bulan, bintang. Adalah tempat tinggal manusia, tempat hidup manusia. Dia adalah tanah, air dan laut, bermacam-macam tumbuh-tumbuhan dan makhluk hidup tinggal di dalamnya, dan juga terdapat berbagai macam batuan dan mineral. Dalam pandangan alam wujud Islam. Dunia ini adalah tempat tinggal sementara, manusia akan kembali kepada Tuhannya, menghadapi hari penghakiman dan akan sampai pada tempat tinggal manusia yang abadi di akhirat. Tempat tinggal manusia sejatinya adalah surga yaitu; kebun yang hijau yang menghasilkan berbagai macam makanan dan buah-buahan sebagai kebutuhan hidup manusia. Alam semesta dunia ini juga merupakan surga yaitu kebun yang hijau yang menyediakan kebutuhan hidup manusia, akan tetapi alam semesta dunia ini hanyalah surga yang terbatas dan sampai waktu yang ditentukan, manusia harus mengolah dan bekerja di dalamnya, tidak selalunya di alam semesta dunia ini menyediakan kesenangan kepada manusia adakalanya manusia diuji dengan kelaparan, ketakutan, peperangan dan lain-lain, termasuk ujian dari padanya adalah manusia menahan diri dari surga kesenangan-kesenangan di dunia yang dilarang oleh Allah subhanahu wa ta‟ala, kecuali kesenangan yang sudah diberi koridornya, bila manusia mampu melewati ujian ini maka balasannya akan memperoleh surga yang sebenarnya, surga yang abadi di akhirat kelak. Selain dari pada itu, alam dunia ini juga tempat bagi manusia untuk menjalankan tugas dan perannya untuk menjadi abd dan menjadi khalifah, yaitu dengan mentaati ketentuan Allah dan menegakkan al-haq (kebenaran) dan al-adl (keadilan). Kaitannya manusia dengan alam dunia ini ada aturan moral yang manusia harus menjaganya, kewajiban moral yang harus dilaksanakan manusia itu ialah; tidak merusak (berbuat fasad terhadap) alam dunia ini (beserta seluruh makhluk hidup yang ada padanya), supaya alam dunia ini tetap bisa menyokong kehidupan dan kehidupan digunakan untuk mengabdi kepada Allah semata-mata, bila ia tidak diindahkan maka alam dunia yang rusak akan meruntuhkan kebenaran dan keadilan di mana ia menjadi sebab munculnya kezaliman-kezaliman. Oleh karena itu semua, dengan demikian dalam pandangan alam wujud Islam kehidupan ini adalah „tatanan moral‟, yaitu mengenai hak dan kewajiban antara manusia kepada Allah, manusia kepada manusia lainya dan manusia kepada alam dan seluruh makhluk hidup yang ada padanya. Maka dari itu, hanya dengan melaksanakan „tatanan moral‟ yang benar manusia akan memperoleh kehidupan yang selamat dan terhindar dari bahaya, kerugian dan kecelakaan.

71

II.IV

Implikasi Pandangan Alam Wujud Islam Terhadap Kehidupan Dunia dan Kegiatan Ekonomi Implikasi dari pandangan alam wujud Islam terhadap nilai-nilai dasar kehidupan manusia di dunia dan dalam kegiatan ekonomi adalah bahwa; 1. Dalam berkehidupan; berkegiatan ekonomi itu manusia harus sesuai dengan „tatanan moral‟ yang telah ditentukan oleh Allah dan RasulNya. Hanya ini saja, bentuk pengakuan seorang beriman yang meng‟esa‟kan Allah yang bisa diterima (untuk apa seseorang mengaku beriman atau bertauhid tapi tidak menegakkan „tatanan moral‟ yang benar). Tatanan moral yang benar yaitu tatanan moral yang berlandaskan kepada hukum yang Allah turunkan kepada utusanNya Nabi Muhammad ‫ ز‬untuk seluruh manusia dan menjaga keharmonisan seluruhnya; ia mencakup aturan moral manusia kepada Allah; yaitu manusia harus menunaikan kewajibannya kepada Allah (baik itu perintah ibadah, atau perintah mentaati aturan tertentu dari kewajiban dan larangan). Ia mencakup aturan moral manusia kepada manusia; yaitu manusia hendaknya berlaku benar dan adil, tidak berlaku batil dan zalim kepada manusia lainnya. Ia mencakup aturan moral manusia terhadap bumi dan makhluk hidup lainnya; yaitu manusia hendaknya tidak berlaku merusak bumi dan seisinya; merusak keturunan misalnya lewat; penerapaan rekayasa genetik yang berbahaya, penyalahgunaan teknologi, merusak bahan pangan, merusak lingkungan hidup, merusak manusia; baik secara moral, mental, fisik, generasi dan membuat produk-produk yang menghasilkan limbah pencemaran bagi alam semesta. 2. Manusia harus menjalankan fungsinya sebagai abd dan khalifah dengan benar, sesuai dengan maksud penciptaannya. Di dunia manusia memerankan dua tugas sekaligus yaitu sebagai abd dan khalifah, dan memerankannya dengan benar yakni; menjalankan kewajiban dan mentaati hukum Allah serta menegakkan hukum Allah, yakni hukum yang benar dan adil, membuat manfaat dan mashlahat (ishlah), mencegah dhururat dan mafsadat (fasad), melestarikan kehidupan yang benar dan selamat, membuat keberesan, kelurusan dalam kehidupan di dunia, untuk keselamatan di dunia dan di akhirat. 3. Untuk menjalankan peran khalifah itu yang harus dilakukan manusia adalah menegakkan al-haq (kebenaran) dan al-adl (keadilan) Al-haq adalah kebenaran yang berasal dari Allah, hukum yang diturunkan kepada Nabi sekaligus RasulNya (Nabi Muhamammad ‫)ز‬. Al-adl adalah keadilan yakni; 72

„menempatkan (hak) sesuatu di tempatnya‟, al-adl berarti tidak ada kezaliman; la tazlimun wala tuzlamun (kamu tidak menzalimi dan tidak dizalimi). Lawan dari al-adl adalah az-zulm (kezaliman), yaitu; „tidak menempatkan (hak) sesuatu pada tempatnya‟. Kezaliman yang terbesar di mata Allah adalah syirk, yakni menyekutukan Allah. Namun, juga termasuk keadilan adalah; „tidak ada paksaan dalam agama‟ hal ini adalah nilai kebijaksanaan Islam dalam menempatkan orang musyrik (orang yang menyekutukan Allah) untuk memberi kesempatan orang-orang musyrik mempelajari kebenaran (secara damai), karena ia memang berhak memiliki kesempatan itu, sehingga kebenaran bisa diterima tanpa paksaan. Kecuali orang musyrik itu berlaku zalim dan menindas terhadap orang beriman (yaitu kafir harbi), maka orang beriman sesuai dengan „panduan moral‟ juga akan melawan kezaliman dan penindasannya dengan perlawanan yang serupa; kekuatan dilawan dengan kekuatan, propoganda di lawan dengan propaganda, harta dengan harta, nyawa dengan nyawa, dengan perlawanan yang sepadan, setimpal dan efektif hingga tidak ada lagi kezaliman dan penindasan. 4. Dalam berkehidupan; berkegiatan ekonomi, manusia harus mengingat, bahwa tempat tinggalnya yang sekarang hanyalah sementara dan harus mengingat bahwa kehidupan yang harus dia kejar adalah kehidupan abadi di akhirat; surga-kesenangan di akhirat, bukan sebaliknya; mengejar surgakesenangan di dunia (kecuali yang telah diberikan koridornya oleh Allah dan rasulNya). Oleh karenanya kegiatan ekonomi bagi orang mukmin sejatinya hanyalah untuk sekedar menegakkan tulang punggung kehidupan untuk beribadah kepada Allah dan menggunakan lebihan hartanya untuk wasilah mencapai pahala atau balasan surga di akhirat.

73

III

PASAR III.I

Efisiensi Pasar

P

asar merupakan wadah atau media untuk kegiatan pertukaran (komoditi, jasa dan uang). Pertukaran telah menjadi jalan paling praktis sebagai cara memenuhi kebutuhan hidup. Tanpa pertukaran, kegiatan memenuhi kebutuhan hidup itu harus dilakukan dengan cara; tiap-tiap orang memproduksi seluruh „pemenuh kebutuhan hidup‟nya (yaitu; barang & jasa) yang beragam. Cara seperti ini membuat tiap-tiap orang itu mengalami kekurangan waktu untuk memproduksi seluruh „pemenuh kebutuhan hidup‟ itu sendirian, di mana laju permintaan kebutuhan lebih cepat dari pada laju produksi (laju permintaan lebih cepat dari pada laju penawaran), yang akan selalu menghadapi masalah kurangnya waktu. Dalam sehari seseorang tidak akan mampu memproduksi seluruh barang kebutuhan pada hari itu. Pertukaran merupakan kebijaksanaan manusia nan fitrah (berdasarkan petunjuk ilahi) yang menjadi solusi dari pada kesukaran. Manfaat yang diperoleh dari pertukaran itu ialah; 1. Divisi dan Spesialisasi Pekerjaan Yang memungkinkan tiap-tiap orang, tanpa perlu memproduksi seluruh barangbarang kebutuhan hidup yang beragam itu, melainkan hanya memproduksi beberapa jenis barang yang dapat diproduksinya sesuai kapasitas dan kemampuan produksinya masing-masing, serta berdasarkan keterampilan dan bakat sebagai potensi yang melekat dari setiap individu (kapasitas dan kapabilitasnya). Dengan pertukaran terjadi divisi pekerjaan atau spesialisasi pekerjaan, di mana setiap orang hanya memproduksi satu jenis barang kebutuhan hidup dari kebutuhan hidup yang beragam itu, yang hal ini memungkinkan oleh karena sifat mekanisme pasar itu yang dapat mengubah bentuk satu jenis komoditas ke bentuk komoditas lain secara praktis, dan tanpa bersusah-susah mendapatkan komoditas tertentu dengan cara memproduksinya.

74

2. Fungsi Konversi Fungsi penting yang ada pada mekanisme pasar adalah fungsi konversi; mengubah satu komoditas ke bentuk komoditas yang lain secara instan. Hal ini jelas sangat berguna dan bermanfaat dalam hal manajemen waktu atau jadwal yang menyesuaikan tiap-tiap kebutuhan tiap individu, dan bermanfaat untuk kepentingan alokasi; manusia dapat menentukan (1) mana bagian harta atau komoditas yang ditabung; maka dia ditukarkan dan disimpan dalam bentuk komoditas yang durable atau tahan lama, (2) mana harta yang dimanfaatkan atau dikonsumsi dan (3) mana harta atau komoditas yang digunakan untuk produksi kembali (investasi). 1 Bentuk Pasar Yang Paling Dasar Adalah Pasar Dengan Sistem Barter Esensi dari mekanisme pasar adalah pertukaran. Yang memungkinkan satu jenis komoditas berubah bentuk menjadi komoditas yang lain. Dalam pertukaran berlaku klaim nilai dari setiap komoditas yang dihasilkan para pemiliknya berbanding dengan nilai komoditas pasangan yang ingin ditukar. Misal nilai antara makanan dengan pakaian berbanding 50:1 unit (mengikut satuannya masingmasing; makanan dengan satuan kilogram misalnya, pakaian satuan stel misalnya), nilai antara makanan dengan perkakas berbanding 100:1, sedangkan pakaian dengan perkakas logikanya berbanding 2:1, yang tentu saja masing-masing produsen komoditas itu berhak mengklaim berapapun nilainya sesuai ongkos produksi dan sesuai kesepakatan dalam pertukaran, sehingga terbentuk sistem harga berdasarkan tawar menawar pelaku ekonomi yang rasional (aqil) dan hirarki harga yang stabil berdasarkan perbandingan nilai antar komoditas seperti yang berlaku diatas. Yang pertukaran seperti ini disebut dengan barter: pertukaran komoditas dengan komoditas. Pertukaran barter memiliki beberapa kekurangan, yakni beberapa kendala; nilai kekayaan dari komoditas tertentu yang diproduksi tidak dapat disimpan untuk jangka waktu yang lebih lama karena mengalami kemusnahan alami (depresiasi atau expired). Dan kebutuhan orang tidak selalu mengenai komoditas tertentu yang membutuhkan double coincidence: sepasang konsumen yang saling membutuhkan antar komoditas yang tepat. Dalam sistem barter, akan sulit dicapai pertukaran yang tunai dan akan sering berlaku dengan cara tempo (kredit). 2 Bentuk Pasar Yang Mutakhir Adalah Pasar Dengan Alat Tukar Kebijaksanaan nan fitrah manusia (berdasarkan petunjuk ilahi) kemudian lagi, membuat jalan keluar dan manfaat dari pada masalah, yaitu; penggunaan alat tukar dalam kegiatan pertukaran. 75

Bila dalam aktivitas pertukaran barter, komoditas-komoditas itu berfungsi ganda. Yaitu; tiap-tiap komoditas berfungsi sebagai; „barang kebutuhan hidup‟ sekaligus sebagai „alat tukar‟. Kemunculan sistem baru pertukaran menggunakan alat tukar (khusus), menjadikan komoditas-komoditas sekarang hanya berfungsi tunggal; hanya sebagai „barang kebutuhan hidup‟, sedangkan yang berperan sebagai alat tukar itu sendiri disebut dengan uang/mata uang. Jadi sekarang pasar memiliki dua kutub yang lengkap; sisi komoditas dan sisi uang, yang masing-masingnya berfungsi secara sendiri-sendiri. Asal usul alat tukar yaitu uang/mata uang sendiri dicipta dari komoditas riil (bukan komoditas derivatif seperti sekarang; seperti cek, lembaran kertas, saham, dll). Alat tukar yang paling baik pada sistem pasar semula (yaitu sistem barter) adalah komoditas yang dapat bertahan dalam waktu lama (durable) bukan komoditas yang mudah expire dan depresiasi (berkurang atau musnah nilainya). Oleh karena uang yang baik harus berfungsi sebagai; (1) Alat tukar, (2) Satuan hitung, (3) Penyimpan nilai. Uang yang baik adalah uang yang dapat menyimpan nilai (hingga ke masa depan dengan tetap mempertahankan nilainya sama seperti semula), maka logam mulia seperti emas dan perak dalam catatan sejarah merupakan uang yang paling stabil. Uang pada awalnya dicipta berasal dari komoditas riil ia selalu mempunyai nilai secara intrinsik (nilainya ada di bendanya itu sendiri), Adapun uang modern dicipta secara ekstrinsik (nilainya ada diluar bendanya) yang diturunkan ke dalam sebuah kertas/cek/saham atau bahkan catatan digital. Perbandingan keduanya; uang intrinsik dan uang ekstrinsik, uang ekstrinsik mungkin lebih ringan dan praktis (tidak berat) dibawa untuk mobilitas dan kegiatan ekonomi dibanding uang intrinsik, akan tetapi uang intrinsik lebih mampu menjamin nilainya (terpercaya; memiliki integritas), dibanding dengan uang ekstrinsik rentan terhadap kecurangan otoritas keuangan, manakala ia dicetak tidak memiliki cadangan yang bernilai intrinsik atau melebihi cadangan intrinsiknya (misalnya komoditas tertentu sebagai nilai yang asli); maka ia merupakan salah satu jenis perampokan; ketika ia dicetak tanpa ada jaminan yang bernilai (cadangan intrinsik), sejatinya ia mengurangi nilai harta masyarakat pengguna uang tersebut, yang terjadi lewat penyesuaian sistemharga atau mekanisme pasar; dalam bentuk kenaikan harga-harga barang (inflasi). III.II

Mekanisme Pasar Bentuk pasar yang sempurna atau mutakhir ia memiliki dua kutub yang lengkap; sisi komoditas dan sisi uang. Mekanisme pasar berlaku berdasarkan mekanisme keseimbangan (equilibrium) yang bersifat self-adjustment (menyesuaikan sendiri terjadi secara alami) dalam arti; „bila muncul suatu aksi maka akan muncul reaksi dengan nilai yang berlawanan dengan besaran yang sama, yang membuat keadaan ekonomi itu selalu berada dalam hukum keseimbangan‟. Tetapi dalam ekonomi terkadang self-adjustment 76

ini memiliki waktu jeda (lag) di mana aksi yang muncul tidak selalu konstan diikuti reaksi yang diharapkan yang itu juga karena dipengaruhi faktor lain misalnya psikoekonomi, hal ini karena self-adjustment berlaku karena sifat pelaku ekonomi adalah rasional (dalam menilai harga-harga dipasar) dan kadang rasionalisme pelaku ekonomi bisa dipengaruhi oleh persuasi-persuasi tertentu (media) baik oleh sisi supply (produsen/pedagang) atau sisi demand (pembeli/konsumen), oleh karenanya moral suassion dalam ekonomi juga diperlukan untuk menetralkan dan membuat self-adjustment bekerja dengan benar. Mekanisme keseimbangan itu dapat digambarkan dengan persamaan berikut: M.n ≌ P.Q Atau di mana: M.n = Σ (Pi.Qi) Persamaan tersebut merupakan mekanisme keseimbangan nilai dan harga-harga yang berlaku dalam mekanisme pasar yang dipengaruhi dua kutub: money side dan commodity side. Sisi sebelah kiri menggambarkan sisi uang dan sisi sebelah kanan menggambarkan sisi komoditi yang keduanya beredar dalam mekanisme pasar. Nilai antara kedua kutub tersebut selalu seimbang. Bila mula-mula suatu populasi masyarakat ekonomi memiliki uang sejumlah M, komoditas kebutuhan yang tersedia dalam suplai di pasaran diproduksi hingga sejumlah Q, maka dengan laju transaksi uang n kali, tingkat harga-harga komoditas berada dalam besaran P adalah konsekuensi keseimbangan yang berlaku. M.n ≌ (P) ↓ . (Q)↑ Bila jumlah komoditas yang diproduksi meningkat (nilai Q naik), sedangkan keadaan peredaran uang dalam jumlah yang tetap dengan laju transaksi yang tetap, akan menimbulkan konsekuensi kepada turunnya harga-harga barang. Harga-harga yang turun hanya berarti baik bagi masyarakat bila dengan jumlah transaksi yang tetap artinya pengeluaran (investasi dan belanja) yang tetap nilainya tetapi terjadi peningkatan produktifitas karena meningkatnya bakat, pengetahuan dan keterampilan, dapat membawa kepada kemurahan rezeki dan berkah yakni; berlimpahnya barang, dan harga yang turun. Sebaliknya harga-harga yang naik tidak kunjung dapat meningkatkan produksi atau malah terjadi penurunan produksi akibat kendala-kendala seperti kecelakaan yang tidak diantisipasi, salah urus (mismanaged), kecurangan atau bahkan sifat korupsi dan ketidakprofessionalan lainnya dapat membawa kepada langkanya komoditas, kekurangan suplai dan naiknya harga-harga komoditas.

77

Bila populasi ekonomi itu melakukan kegiatan dagang (ekspor-impor), jumlah uang bisa meningkat datang dari luar. Hal itu bisa terjadi bila sejumlah komoditas yang diproduksi meningkat untuk keperluan ekspor (nilai Q naik), dengan meningkatnya jumlah komoditas yang bertukar dengan kedatangan sejumlah uang (nilai M naik), asalkan laju transaksi dalam besaran yang tetap maka harga-harga pun relatif tidak mengalami penurunan melainkan tetap. (M)↑ . n ≌ (P)↑↓ . (Q)↑ (M)↑ . n ≌ (P)↑ . (Q)↑ Aksi tidak harus selalu datang dari sisi komodias untuk menciptakan reaksi, aksi bisa juga datang dari sisi uang untuk menjelaskan konteks insentif ekonomi. Bila jumlah uang yang dicetak ditingkatkan (nilai M meningkat) kemudian dibelanjakan (investasi), dengan laju transaksi yang tetap, bila produksi tidak segera meningkatkan jumlah komoditas, harga-harga bisa mengalami kenaikan (inflasi), dalam jangka waktu yang diharapkan pengeluaran investasi dapat meningkatkan jumlah komoditas sehingga harga-harga berada pada kisaran tetap, sedangkan komoditas menjadi berlimpah. III.III

Pasar Di Dalam Islam Pasar di dalam Islam adalah institusi ekonomi yang diakui dan penting. Ia adalah media atau wadah yang berfungsi untuk kegiatan ekonomi; kegiatan pertukaran. Pasar akan menjalankan fungsi keadilan (al-adl) bilamana ia terbebas dari kerusakan sebagai pasar yang fitrah yaitu; di mana mekanisme keseimbangan (equilibrium) dan self-adjustment berjalan sebagai mana mestinya, tidak dicurangi yang menyebabkan mekanisme keseimbangan (equilibrium) dan self-adjustment-nya rusak. Oleh karenanya pasar di dalam Islam harus dibebaskan daripada 3 hal yang merusak fitrahnya: 1. Pasar dibebaskan dari praktik muammalah yang curang (riba) dan batil (zalim); riba, gharar, maysir, dan bentuk-bentuk kecurangan (riba) lainnya. Bentuk-bentuk muammalah yang curang dan batil (riba, gharar, maysir, baik yang tampak dan tidak tampak) bersifat merusak fitrah pasar. Contohnya: Praktik menimbun (ihtikar) adalah salah satu bentuk riba (riba yaitu ziyadah; yakni tambahan/keuntungan yang tidak dibenarkan perolehannya), di mana ketika komoditas ditimbun/ditahan penjualannya padahal masyarakat sedang berhajat atas komoditas tersebut maka segera rasionalisme masyarakat pelaku ekonomi terpengaruh, self-adjustment pasar menyesuaikan kondisi kelangkaan pasar, maka harga-harga naik, saat inilah si penimbun melepas barangnya ke pasar dan ia 78

memperoleh keuntungan yang banyak. Contoh yang lainnya: mengeksploitasi seorang mustarsal (seseorang yang tidak mengetahui harga-harga di pasar), atau menghadang komoditas diluar pasar agar si penjual barang tidak mengetahui harga di pasar dan membelinya dengan harga yang lebih murah dari pada di pasar (talaqqi ruqban). HR. Baihaqi, Dari Anas bin Malik ‫ر‬: ”Menipu (mengeksploitasi) seorang mustarsal (seorang yang tidak tahu harga pasaran) adalah riba”

HR. Bukhari, Dari Ibnu Abbas ‫ر‬: “Janganlah kamu mencegat kafilah-kafilah dagang (talaqqi rukban) dan janganlah orang-orang kota menjual buat orang desa”

HR. Darimi, dari Ma‟mar bin Abdullah ‫ر‬: “Tidaklah seseorang menimbun (atau memonopoli) (ihtikar) kecuali ia akan berdosa”

HR. Muslim, dari Abu Hurairah ‫ر‬: “Nabi melarang jual beli gharar (penipuan dan tidak jelas)”

HR. Bukhari, dari Abdullah bin Abu Aufa ‫ر‬: “Seorang lelaki telah memperlihatkan beberapa komoditi di pasar dan membuat sumpah palsu bahwa dia mengaku ditawarkan dengan harga tertentu untuk komoditi tersebut di mana sebetulnya dia tidak ditawarkan dengan harga tersebut. Kemudian ayat Al-Quran yang berikut diturunkan; Sesungguhnya orang-orang yang menukar janji (nya dengan) Allah dan sumpah-sumpah mereka dengan harga yang sedikit, mereka itu tidak mendapat bahagian (pahala) di akhirat, dan Allah tidak akan berkata-kata dengan mereka dan tidak akan melihat kepada mereka pada hari kiamat dan tidak (pula) akan mensucikan mereka. bagi mereka azab yang pedih (Quran, Surat 3: 77). Ibnu Abu Aufa menambah: manusia yang seperti itu (yang dijelaskan diatas) adalah tidak jujur, pelaku riba”

Pada esensinya praktik muammalah yang zalim dan batil; membuat kondisi pelaku ekonomi di pasar berkompetisi dalam kecurangan, berkompetisi tidak sehat; menghalalkan segala cara. Dampaknya ia akan mempengaruhi keseimbangan pasar dan sifat penyesuaiannya yang terbentuk bukan secara fitrahnya. 2. Pasar dibebaskan dari segala bentuk „intervensi terhadap harga-harga‟ di pasar Konsep pasar di dalam Islam adalah harga terbentuk sendiri di dalam pasar berdasarkan sisi penawaran dan sisi permintaan yang terjadi secara fitrah, secara alami, sekalipun kelangkaan terjadi oleh sebab bencana alam atau gagal panen (natural error).

79

HR, Abu Dawud, dari Anas bin Malik ‫ر‬ “Orang-orang mengatakan; wahai Rasulullah harga barang naik, maka tentukan harga buat kami, Rasulullah bersabda; Sesungguhnya Allah-lah yang Maha Menentukan harga, Yang Maha Menggenggam dan Maha Membentangkan, lagi Maha Memberi rezeki, dan aku mengharap ketika berjumpa dengan Allah, tiada satu pun perkara di antara kamu yang menuntutku karena suatu kezaliman baik tentang darah atau harta”

Namun lain halnya harga-harga yang tebentuk di dalam pasar oleh karena tangan manusia (human error) sama sekali tidak diperbolehkan. Salah satu di antaranya adalah persaingan monopolistik, ia adalah contoh pasar yang terlarang di dalam Islam, di mana suatu entitas bisnis dapat menguasai suatu produk (yang menjadi hajat orang banyak) secara monopolistis, hal ini akan menyebabkan entitas bisnis tersebut memiliki kekuasaan menetapkan harga secara sepihak dan sewenangwenang. Di dalam Islam setiap barang-barang yang berpotensi menimbulkan bersaing tidak sehat; secara monopolistik, harus dikuasai publik (dikuasai masyarakat) baik lewat waqaf, atau lewat kuasa pemerintah (khalifah), di antara contohnya; air, api (energi dan listrik), lahan rumput (gembalaan) dan lain-lainnya. Barang-barang publik harus di tetapkan harganya berdasarkan biaya dan ongkos peng‟ada‟annya, atau bahkan bisa digratiskan atau di-waqaf-kan. Contoh intervensi harga lainnya yaitu; pemerintah (khalifah) juga tidak dibenarkan menetapkanmenentukan harga dasar (harga minimal) atau harga atap (harga maksimal) atas komoditas-komoditas di pasar. 3. Pasar dibebaskan dari sewa atau pajak (kecuali pungutan yang dibenarkan) Konsepsi Rasulullah mengenai pasar adalah fasilitas publik yang gratis (sedekah). Pasar di dalam Islam sama seperti masjid (tanah datar dan lapang), siapa yang masuk pasar terlebih dahulu ia berhak berniaga di sana sampai ia pergi. Tidak ada bangun permanen apapun di dalam pasar (kecuali bangunan yang bisa dibongkarmuat seketika saat datang dan pergi). Maka tanahnya tidak dipungut pungutan baik itu rente (biaya sewa) atau pajak. Adapun barang-barang mungkin terkena pungutan usyr (1/10); sebagai zakat komoditi (1/4 usyr: bagi muslim dan bila mencapai nishab) atau jizyah komoditas (1/2 usyr untuk ahlu dzimmi dan 1 usyr untuk ahlu harbi) ketika masuk wilayah-wilayah tertentu. Sebagaimana yang dijelaskan berikut paparan Zaim Saidi dan Syaikh Prof. Umar Vadillo mengenai konsep pasar: 

Pasar serupa dengan masjid

Rasulullah ‫ ز‬bersabda: pasar mengikuti sunnah masjid: siapa dapat tempat duluan berhak duduk sampai dia berdiri dan kembali ke rumah atau menyelesaikan perdagangannya (Al Hindi, Kanzul Ummal, V 488 no 2688) 80



Pasar adalah sedekah tanpa ada kepemilikan pribadi

Ibrahim bin Mundhir Al-Hizami meriwayatkan dari Abdullah bin Ja‟far bahwa Muhammad bin Abdullah bin Hasan mengatakan, “Rasulullah ‫ ز‬memberi kaum muslimin pasar sebagai sedekah” (Saba K, Tarikh Al Madinah Al Munawarah, 304) 

Tanpa pungutan uang sewa

Ibnu Zabala meriwayatkan dari Khalid bin Ilyas Al-Adawi, “Surat Umar bin Abdul Aziz dibacakan kepada kami di Madinah, yang menyatakan bahwa pasar adalah sedekah dan tidak boleh ada sewa kepada siapapun juga. (As-Samhudi, Wafa al Wafa, 749) 

Tanpa pungutan pajak

Ibrahim al Mundhir meriwayatkan dari Ishaq ibn Ja‟far ibn Muhamad dari Abdullah ibn Ja‟far ibn al Miswat, dari Syuraih ibn Abdullah ibn Abi Namir bahwa Ata ibn Yasar mengatakan, “Ketika Rasul SAW ingin mendirikan sebuah pasar di Madinah, beliau pergi ke pasar [Yahudi] Bani Qainuqa dan kemudian kembali mendatangi pasar Madinah, menjejakkan kaki ke tanah dan bersabda, „Inilah pasar kalian. Jangan membiarkannya berkurang (la yudayyaq) dan jangan biarkan pajak apa pun (kharaj) dikenakan‟”. (Ibnu Saba K Tarikh Al Madinah Al Munawarah, 304). 

Di sana tidak ada pesan atau klaim tempat

Ibnu Zabala meriwayatkan dari Hatim ibn Ismail bahwa Habib mengatakan bahwa Umar Ibn Khattab (pernah) melewati Gerbang Ma‟mar di pasar dan (melihat) sebuah kendi di dekat gerbang dan dia perintahkan untuk mengambilnya. Umar melarang orang meletakkan batu pada tempat tertentu atau membuat klaim atasnya. (As-Samhudi, Wafa al Wafa,749). 

Dan di sana tidak boleh dibangun toko-toko

Ibnu Shabba meriwayatkan dari Salih ibn Kaysan, Rasulullah ‫ ز‬bersabda “Inilah pasar kalian, jangan membuat bangunan apa pun dengan batu (la tatahajjaru) di atasnya dan jangan biarkan pajak (kharaj) dikenakan atasnya.” (As-Samhudi, Wafa al Wafa,747-8). Abu Rijal meriwayatkan dari Israil, dari Ziyad ibn Fayyad, dari seorang syekh Madinah bahwa Umar ibn Khattab ‫ ر‬melihat sebuah toko (dukkan) yang baru dibangun oleh seseorang di pasar dan Umar merobohkannya. (Ibnu Saba K Tarikh Al Madinah Al Munawarah, 750). 81

Berdasarkan semua yang telah dijelaskan diatas konsepsi pasar secara Islam; pasar harus dibebaskan dari 3 hal. Pemahaman Islam mengenai „pembebasan‟ pasar tidak berarti bebas sama sekali dari intervensi pemerintah sebagaimana yang dipahami ekonomi liberalis-kapitalis. Justru peran pemerintah sangat penting bagi 3 hal yang harus dibebaskan dari pasar itu. Di antaranya yang harus dilakukan pemerintah adalah; yang pertama (1) membuatkan institusi pemerintah yang bertindak sebagai pencegah kecurangan (segala praktik muammalah yang batil & zalim) di pasar ia semacam polisi atau tim investigasi pasar, pada zaman Islam klasik ia disebut dengan al-hisbah. (2) yang kedua, pemerintah harus mencegah bentuk persaingan monopolistik dengan membeli asset-nya secara (kuasa) hukum, dan mengubahnya menjadi bentuk milik publik apakah itu dimiliki negara atau dimiliki kaum muslimin lewat waqaf yang pengelolaannya diserahkan kepada yang ahli dengan sistem peng-gaji-an, pemerintah (khalifah) juga tidak dibenarkan mengintervensi harga yang terbentuk secara alami di pasar, (3) Pemerintah (khalifah) tidak menetapkan pungutan atas pasar, kecuali pungutan yang dibenarkan oleh syariat. Pasar Yang Adil dan Fitrah Menjalankan Fungsi Keadilan Apabila pasar dibebaskan dari 3 hal diatas: (1) dari segala praktik muamalah yang batil dan zalim, (2) dari intervensi harga, (3) dari sewa dan pajak, maka ia akan berjalan secara fitrah. Pasar yang fitrah menjalankan fungsi keadilan.        “Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya,” (Quran, Surat An-Najm 53: 39)

HR. Ahmad, dari Rafi‟ bin Khadij ‫ ر‬: Ada seorang bertanya, penghasilan apakah yang paling baik wahai Rasulullah?, beliau menjawab: “ penghasilan seseorang dari jerih payah tangannya sendiri dan setiap jual beli yang mabrur”.

HR. Baihaqi, dari Mu‟adz bin Jabal ‫ ر‬: “Sesungguhnya sebaik-baik penghasilan ialah penghasilan para pedagang yang mana apabila berbicara tidak bohong, apabila diberi amanah tidak khianat, apabila berjanji tidak mengingkarinya, apabila membeli tidak mencela, apabila menjual tidak berlebihan (dalam menaikkan harga), apabila berhutang tidak menunda-nunda pelunasan dan apabila menagih hutang tidak memperberat orang yang sedang kesulitan”.

HR. Ibnu Majah: “Tidaklah seseorang memperoleh sesuatu penghasilan yang lebih baik dari jerih payah tangannya sendiri. Dan tidaklah seseorang menafkahi dirinya, istrinya, anaknya dan pembantunya melainkan ia dihitung sebagai sedekah”.

82

HR. Bukhari, dari Miqdam ‫ ر‬: “Tidaklah seseorang mengkonsumsi makanan yang lebih baik dari makanan yang dihasilkan dari jerih payah tangannya sendiri. Dan sesungguhnya Nabi Dawud a.s dahulu senantiasa makan dari jerih payahnya sendiri”.

Bila pasar berjalan berdasarkan fungsi keadilan, maka tiap-tiap pelaku ekonomi memperoleh hasil atau keuntungan berdasarkan upaya, susah-payah, kerja-keringat dirinya sendiri, dia tidak dikurangi sedikit pun dari hartanya, dia tidak dicurangi sedikit pun dari hartanya, ia memperolehnya secara layak dan benar, ia juga tidak memperolahnya dari menipu orang lain, dari mencuri milik orang lain, dari merugikan orang lain (tidak dizalimi, tidak pula menzalimi). Inilah fungsi keadilan di dalam pasar yang fitrah.

83

IV

PERSERIKATAN (SYIRKAH)

IV.I

Efisiensi Perserikatan

K

onsep individu di dalam Islam bukan individu semata (tanpa perbedaan hak yang jelas), tetapi ia adalah individu laki-laki dan individu perempuan, sebagai unit terkecil suatu masyarakat (Quran, Surat Al-Hujurat 49: 13). Kemudian dari laki-laki dan perempuan ia menjadi unit rumah-tangga, dan unit masyarakat, bangsa dan negara. Berdasarkan itulah struktur dan organisasi masyarakat Islam dibentuk berdasarkan kebutuhan (hak) gendernya (berdasarkan bentuk biologisnya yang mendasar; jamaah laki-laki dan jamaah perempuan), bukan persamaan hak semata. Kejamakan suatu unit masyarakat, bangsa dan negara merupakan sebuah kekuatan besar bila ia harmoni dalam kesatuan, dan akan didapati kemudahan dari padanya, ia dapat mempermudah urusan kehidupan. Sebaliknya bila semuanya tidak harmoni, berpecahan, kontradiksi, bersifat saling meniadakan, maka ia hanya akan meningkatkan kesia-siaan dan keborosan serta menambah hambatan dalam urusan kehidupan. Oleh karena itu berserikat, merupakan kebijaksanaan manusia nan fitrah untuk memperoleh kemudahan dalam urusan kehidupan. Di antara manfaat berserikat itu ialah: 1. Kesatuan Pekerjaan Setelah tiap-tiap pelaku ekonomi ter-divisi oleh karena fungsi pasar dan pelakupelaku ekonomi terbagi dalam bidang-bidang spesifik. Perserikatan berperan sebaliknya, ia menyatukan potensi yang kecil-kecil menjadi sebuah potensi besar. Berserikat menghimpun potensi untuk meringankan suatu pekerjaan; pekerjaan ekonomi (yaitu kegiatan memenuhi kebutuhan hidup), sehingga pekerjaan ekonomi menjadi lebih terbantu, menjadi lebih mudah dengan saling berpartisipasi dan mengisi tiap-tiap divisi pekerjaan, dalam satu kesatuan unit. Hasil dan produksi 84

yang dicapai dari perserikatan, akan menghasilkan output yang lebih banyak dan lebih berkualitas dari pada bila setiap orang bekerja sendiri-sendiri. Maka dari itu, perserikatan berfungsi meningkatkan efisiensi dan efektifitas pekerjaan ekonomi. 2. Fungsi Formasi Bila pasar berfungsi sebagai fungsi konversi (yaitu mengubah bentuk satu komoditi ke komoditi lainnya), perserikatan berfungsi sebagai fungsi formasi; yaitu fungsi pembentukan modal (capital formation), ia menyatukan modal-modal dan tenagatenaga yang tercerai berai bersatu dalam satu kesatuan, sehingga memperbesar kemampuan ekonomi masyarakat dalam hal modal ekonomi. IV.II

Mekanisme Perserikatan Ada berbagai macam bentuk perserikatan; modal dengan modal, tenaga dengan tenaga dan tenaga dengan modal. Beberapa bentuk perserikatan dasar di antaranya seperti: musyarakah, mudharabah (qirad), muzara‟ah (untuk pertanian) dan lain-lain. Esensi atau inti pokok dari perserikatan sebetulnya adalah berserikat dalam kontribusi (apakah itu modal atau tenaga atau keterampilan atau keahlian) kemudian berserikat pula pada hasilnya atau jatahnya sesuai prosentase (share) kontribusinya masing-masing. Adapun prinsip yang utama dari perserikatan adalah sepenanggungan; sepenanggungan dalam kontribusi, dalam keuntungan dan kerugian (risiko). Bila ditinjau dalam kaedah „keuntungan‟ Ibnu Arabi; keuntungan adalah iwadh, di mana iwadh berupa; ghurmi, dhaman dan kasb, keuntungan yang tidak setimpal dengan iwadh bisa dikatakan riba. Keuntungan

= iwadh = ghurmi + dhaman + kasb

iwadh: adalah bayaran atau timbal balik yang setimpal untuk keuntungan yang diperoleh ghurmi: adalah risiko usaha dhaman: adalah tanggungan kasb: adalah kontribusi (kerja atau usaha atau bisa juga modal)

Bila pertukaran atau jual beli di pasar urusannya adalah kesepakatan mengenai harga secara nominal, adapun dalam perserikatan urusannya adalah kesepakatan mengenai harga secara prosentase. Nilai harga (nominal) dari barang atau komoditi di pasar terjadi berdasarkan tawar menawar, begitu pun dalam perserikatan nilai suatu kontribusi partisipan dinilai dengan harga secara prosentase dengan tawar menawar antara partisipan yang terlibat.

85

Semisal dari dua partisipan yang berserikat si A dan si B; nilai kontribusi A sebesar x%, nilai kontribusi B sebesar y%. Maka konsep sepenanggungan yang berlaku dalam perserikatan adalah: Keuntungan (x% + y%) = ghurmi (x% + y%) + dhaman (x% + y%) + kasb (x% + y%) Keuntungan x% + keuntungan y% = ghurmi x% + ghurmi y% + dhaman x% + dhaman y% + kasb x% + kasb y% Dengan x% + y% = 100%

Dalam hal ini tanggungan milik A hanya menjadi milik A (dhaman x%), tanggungan milik B hanya menjadi milik B (dhaman y%), begitupun risiko milik A hanya menjadi milik A (ghurmi x%), risiko milik B hanya menjadi milik B (ghurmi y%), adalah tidak betul, tidak sah bila A mengambil keuntungannya x% dengan keuntungan y% untuk B sementara misalnya B harus menanggung risiko milik A (B menanggung risiko lebih tinggi dari y%) atau A tidak mau menanggung bagiannya di mana tanggungan milik A ditanggung oleh B (B menanggung lebih besar dari y%), sehingga bila terjadi kerugian si B harus menanggung kerugian milik A, sementara bila usaha untung si A mengambil keuntungannya, ini bisa dikatakan riba. Dengan x% milik A, dan y% milik B. Apabila usahanya membuahkan hasil keuntungan, maka keuntungan x% adalah milik A dan keuntungan y% adalah milik B. Begitupun apabila usahanya merugi maka kerugian y% adalah milik B dan kerugian x% adalah milik A. Apabila yang diperserikatkan itu adalah „modal dengan modal‟ atau „tenaga dengan tenaga‟, maka kerugiannya dibagi sesuai prosentase masing-masing terhadap nominal kerugiannya, namun apabila yang diperserikatkan itu adalah „modal dengan tenaga‟ maka nominal kerugiannya adalah milik si pemodal, sedangkan kerugian si pengelola (kontributor tenaga) telah menerima kerugiannya dalam bentuk tenaga pula (tenaga yang sudah dicurahkannya untuk usaha) yang masing-masing kerugian itu akan senilai dengan prosentasenya masing-masing. Oleh karena itu, yang disebut perserikatan ia adalah sepenanggungan dalam kontribusi (kasb) dalam jatah (keuntungan), dalam risiko (gurmi/kerugian), dalam tanggungan (dhaman), sesuai nilai prosentase kontribusinya masing-masing. Bila tidak ada kesepenanggungan dalam salah satunya ia tidak bisa dikatakan perserikatan. IV.III

Perserikatan Di Dalam Islam Perserikatan di dalam Islam diakui sebagai jalan yang sah, jalan yang fitrah dalam bermuammalah, ia menjadi jalan yang sah untuk mencari penghasilan, penghidupan, selain ia berperan strategis untuk mempermudah urusan, ia juga di 86

tengah-tengah ekonomi berfungsi strategis sebagai jalan untuk pembentukan modal (capital formation) dan memperbesar kemampuan (ekonomi). Namun agar perserikatan itu bekerja dengan benar secara fitrahnya, ia harus memenuhi syarat: 1. Berserikat harus berasaskan kebenaran dan keadilan  ...      Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu. (Quran, Surat Al-Maidah 5: 1)

 ...           ... Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolongmenolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran (Quran Surat Al-Maidah 5: 2)

             ...  ...      Dan sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berserikat itu sebahagian mereka berbuat zalim kepada sebahagian yang lain, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh; dan Amat sedikitlah mereka ini (Quran, Surat Shaad 38: 24)

HR. Abu Daud, dari Abu Hurairah ‫ر‬: “Allah swt berfirman; „Aku adalah pihak ketiga dari dua orang yang berserikat selama salah satu pihak tidak mengkhianati pihak lain. jika salah satu pihak telah berkhianat. Aku keluar dari mereka”

HR Tirmidzi, dari Abdurrahman bin Auf ‫ر‬: “Perdamaian dapat dilakukan di antara kaum muslimin kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram”

Oleh karena itu suatu perserikatan, persatuan, perjanjian, kesepakatan yang berlandaskan kebenaran dan keadilan yaitu: -

Perserikatan yang sepenanggungan (setia), satu sama lainnya tidak berbuat khianat atau curang. Perserikatan yang tidak menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal Perserikatan yang tolong-menolong dalam urusan kebaikan bukan dalam urusan yang berbuat dosa dan pelanggaran

87

Sebaliknya bila dalam suatu perserikatan, persatuan, perjanjian, kesepakatan, tidak berlandaskan kebenaran dan keadilan, maka wajib berlepas diri atau tidak terlibat dalam perserikatan tersebut. Allah hanya menyertai orang-orang yang berserikat di atas landasan yang benar dan adil. 2. Dibebaskan dari praktik riba (atau kecurangan lainnya) Dalam ekonomi yang praktik riba dilegalkan, cara-cara fitrah dalam berekonomi seperti berserikat menjadi terkucilkan dan tidak begitu berfungsi sebagaimana fitrahnya, tidak berjalan dengan baik. Oleh karena invasi sistem predator (kapitalis) ribawi yang menjamur, itu menyebabkan cara-cara berserikat tidak begitu menarik dan prospektif dalam sudut pandang bisnis (bila dibandingkan dengan usaha ribawi yang menjanjikan keuntungan pasti). Belum lagi praktik ribawi itu bisa meng-infiltrasi, meracuni, menyusupi cara-cara fitrah yang sudah ada dalam berekonomi (seperti jual beli dan berserikat), praktik ribawi ada dalam setiap kontrak dalam berbagai bentuk. Dengan ter-infiltrasinya mekanisme pasar (jualbeli) dan perserikatan dengan praktik-praktik ribawi menjadikannya tidak berfungsi sebagaimana mestinya (secara fitrah). Melainkan mekanisme pasar dan perserikatan itu bekerja dengan cara yang abnormal dan terdistorsi. Ekonomi yang berjalan secara terdistorsi itu tidak lagi berjalan dengan keadilan melainkan kezaliman lah yang akan berlaku dalam skala yang luas. Perserikatan Yang Adil dan Fitrah Menjalankan Fungsi Keadilan Sama seperti pasar, perserikatan yang dijalankan atas asas keadilan menjamin setiap individu memperoleh hasil atau keuntungan dengan usaha, susah-payah, kerjakeringatnya sendiri, hasil atau keuntungannya tidak dikurangi, tidak dirampok orang lain, hasil atau keutuntungannya layak dan benar cara memperolehnya, tidak diperoleh dari merugikan, mencuri, menipu orang lain, tidak ada kezaliman; la tadzlimu wala tudhzlamu (Quran, Surat Al-Baqarah 2: 279)        “Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya,” (Quran, Surat An-Najm 53: 39)

Ia diperoleh lewat kontribusi dan jatah yang berlaku dalam mekanisme perserikatan, siapa yang menanam (berkontribusi) maka dia menuai (memperoleh jatah), namun juga ketika dia berkontribusi dia ikut bersama-sama dalam risiko dan tanggungannya, ini tidak sama dengan pinjaman ribawi yang lari atau mengelak dari risiko pasar.

88

V

PERAN KHALIFAH (PEMERINTAH) V.I

Khalifah

A

rti khalifah adalah wakil atau penerus (wakil Allah di muka bumi), ditafsirkan sebagai yakhlufu ba‟dhuhum ba‟dho, artinya dia manusia yang mewakili manusia lainya, manusia yang menguasai manusia lainnya, manusia yang meneruskan atau pengganti (successor) manusia lainnya, ia adalah kuasa kepemimpinan (kenegaraan atau kerajaan) di bumi yang menegakkan kebenaran; membawa manusia menuju ketaatan kepada Allah. Khalifah secara istilahinya ialah kepala kepemimpinan atau kepala pemerintahan masyarakat Islam yang berasal dari masyarakat Islam itu sendiri, ia penerus kepemimpinan Rasulullah, ia mukmin, ia muslim, ia bisa disebut sebagai amirul mukminin (pemimpin orang muslim) atau amir (pemimpin) saja atau sulthan (penguasa). Amir ialah dia yang memperoleh ketaatan dan janji setia (bay‟ah) serta kekuasaan (yang diberikan untuk mengurusi urusan-urusan) dari masyarakat yang menyerahkannya.                                 Hai Daud, Sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, Maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan benar (adil) dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan. (Quran, Surat Shaad 38: 26)

Fungsi dan peran khalifah yang sebenar-benarnya adalah menegakkan aturan yang benar (Quran, Surat Shaad 38: 26), hukum yang benar yaitu hukum yang diturunkan oleh Allah. Fungsi dan peran khalifah dari menegakkan hukum yang benar itu ialah agar; kebenaran dan keadilan tegak di dalam kehidupan, di dalam 89

sistem hidup; lingkungan sosial (ke-mashlahat-an sosial) dan lingkungan alam (melestarikan bumi). Oleh karena itu Khalifah memiliki peran untuk menegakkan kebenaran dan keadilan di dalam sistem hidup, termasuk peran penegakkan kebenaran dan keadilan baik di dalam ekonomi maupun di luar ekonomi. V.II

Peran Khalifah di Dalam Ekonomi Di antara peran khalifah untuk menegakkan kebenaran dan keadilan di dalam ekonomi itu ialah sebagai berikut. 1 Peran Khalifah Secara Mikroekonomi Peran khalifah di Pasar: membebaskan pasar dan perserikatan dari 3 hal 1. Membebaskan pasar dari praktik muammalah yang batil dan zalim; kecurangan, riba, gharar, maysir, dan macam variannya, baik yang nampak maupun tidak nampak/samar. 2. Membebaskan pasar dari segala bentuk intervensi harga dan persaingan monopolistik, dengan membeli asset-nya untuk diubah menjadi milik negara atau milik publik (waqaf). 3. Membebaskan pasar dari pajak dan rente. 2 Peran Khalifah Secara Makroekonomi Peran khalifah dengan instrumen dan institusi keuangan publik yang diwewenangi oleh khalifah yaitu Baytulmal (lebih lanjut lihat Bab 8: Baytulmal dan Bab 11: Ekonomi Makro: Kontrol Kebijakan dan Pembangunan‟). 1. Menegakkan syariat zakat dan menegakkan syariat pelarangan riba 2. Menyediakan infrastruktur ekonomi dan fasilitas publik 3. Kontrol ekonomi menggunakan instrumen-instrumen Baytulmal: a. Kontrol Insentifikasi Ekonomi: yaitu dengan menyediakan infrastruktur dan fasilitas publik dengan sumber-sumber keungan publik untuk alokasi keperluan umum. b. Kontrol Ekspansi Ekonomi: yaitu kontrol yang dapat diterapkan oleh khalifah menggunakan instrumen-instrumen „Baytulmal‟ dan „infrastruktur keuangan‟ untuk melonggarkan atau meningkatkan jumlah mata uang beredar. (kebijakan belanja) c. Kontrol Kontraksi Ekonomi: yaitu kontrol yang dapat diterapkan oleh khalifah menggunakan instrumen-instrumen „Baytulmal‟ dan „infrastruktur keuangan‟ untuk mengetatkan atau menurunkan jumlah mata uang beredar. (kebijakan menabung, menahan atau menyimpan) 90

d. Kontrol Stabilitasi Ekonomi: yakni peran instrumen zakat yang berfungsi untuk menstabilitasi ekonomi; menstabilkan daya beli masyarakat dan menurunkan ketimpangan ekonomi serta menyelamatkan kaum dhuafa dari kepapaan dan kemiskinan. V.III

Peran Khalifah di Luar Ekonomi Secara umumnya peran Khalifah di luar ekonomi itu ialah mengentaskan hambatan dan ancaman kehidupan masyarakat, Hal ini akan sangat terbantu bila Khalifah memiliki inisiatif sumber keuangan publik dari sumber keuangan yang berfungsi sebagai alokasi untuk memenuhi keperluan umum. Masalah kehidupan terdiri dari 2 jenis; hambatan dan ancaman. Hambatan bersifat alami adapun ancaman oleh karena tangan manusia (human error). Di antara hambatan dan ancaman itu ialah: 1. Hambatan dan ancaman Kebodohan Hambatan: Generasi yang malas dan bodoh, Ancaman: oleh musuh; perang pemikiran; penyesatan pemikiran dan pendangkalan keyakinan/akidah/religiusitas, berita bohong (haditsul ifki), sekulerisme, pembodohan ummat, propaganda, siasat dan lain-lain. (lewat berbagai macam media dan “alat pendidikan” yang dimiliki musuh untuk mengontrol generasi dan ummat). 2. Hambatan dan ancaman Kemiskinan, Kelaparan dan Penyakit Hambatan: Kemiskinan & kepapaan, kurang gizi, penyakit menular atau wabah, kekurangan atau kelangkaan barang-barang kebutuhan hidup. Ancaman: Ancaman kedaulatan dalam hal „produk-produk kebutuhan hidup‟ (sandang, pangan, perkakas, barang teknologi, energi, dan lain-lain); produkproduk tidak layak konsumsi (beracun, bervirus, GMO atau rekayasa genetik, dan lain-lain), produk-produk musuh yang bersifat fasad (rusak dan merusakkan); merusak fisik, mental, akal, agama dan moral, hubungan sosial, merusak keturunan (generasi), merusak alam, yang diimpor karena keteledoran pemimpin (khalifah) yang tidak cakap, jerat pinjaman ribawi oleh musuh; untuk memperbudak negara dan rakyat, perjanjian-perjanjian ekonomi yang merugikan, dan lain-lainnya (perang ekonomi). 3. Hambatan dan ancaman Kenegaraan dan Militer Hambatan: Keamanan dan sustainability negara dan masyarakat, kerusuhan, ketidakstabilan sosial, isu sara, dan lain-lain

91

Ancaman: Serangan militer, assassinasi, propaganda, politik musuh, “perang proxy”, “revolusi warna” dan lain-lain. Solusi dan jalan keluar yang bisa dilakukan Khalifah: 1. Mengatasi hambatan dan ancaman Kebodohan: dengan menyediakan infrastruktur pendidikan yang baik dan khalifah turut aktif dengan pemerintahan dan persuasi-nya untuk mendidik dan membiasakan generasi ummat Islam membangun kebiasaan, tradisi, budaya yang baik dan benar, dan meng-counter serangan peradaban dari pihak musuh yang ingin menghancurkan generasi ummat lewat; penyesatan, pembodohan generasi, melalui media-media dan “alat pendidikan” yang dimiliki musuh. 2. Mengatasi hambatan dan ancaman Kemiskinan, Kelaparan dan Penyakit: dengan menyediakan infrastruktur-infrasturktur ekonomi dan kesehatan: rumah sakit dan pelayanan kesehatan yang baik, Instrumen Keuangan yang baik; instrumen zakat, insentif keuangan, memproteksi industri lokal yang dijaga ketat untuk menghasilkan barang-barang kebutuhan hidup (sandang, pangan, energi, dan lain-lain) yang baik untuk berdaulat dalam hal produkproduk kebutuhan hidup, men-standardisasi produk-produk pangan yang sehat dan berkualitas (azka, halalan, thayyiban), mengharamkan praktik riba, mengganti infrastruktur-infrastruktur keuangan ribawi dengan infrastrukturinfrastruktur keuangan yang benar (yang sesuai dengan Al-Quran dan Assunnah), aktif dan cakap meng-counter serangan peradaban dari pihak musuh yang “membombardir” ummat (generasi) dengan produk-produk jualan musuh yang merusak (fasad; bersifat rusak dan merusakkan), memastikan kedaulatan dan tidak ketergantungan, „tidak merdeka‟ atau diperbudak, aktif dan cakap dalam meng-counter perang ekonomi; berupa kesepakatankesepakatan ekonomi yang merugikan rakyat dan kaum lemah. 3. Mengatasi hambatan dan ancaman Kenegaraan dan Militer; menegakkan peraturan untuk menjamin keamanan sosial, keamanan publik, patroli (berjaga atau ribath) dan polisi. Menyediakan infrastruktur keamanan dan militer, mempersiapkan tentara yang terlatih dan kuat (i‟dad quwwah) untuk mengantisipasi ancaman dan serangan dari luar.

92

V.IV

Kedaulatan Khalifah Sebagaimana yang diketahui keberadaan dan kehadiran peran pemerintah (Khalifah) begitu penting dan mendasar dalam berkehidupan, tanpa keberadaan pemerintah dan perannya yang aktif dan signifikan dalam hal tujuan menegakkan peraturan, menegakkan hukum, menegakkan kebenaran dan keadilan, supaya hidup berjalan diatas pijakannya sesuai fungsinya dengan aman dan lancar. Adalah hal yang mudah dimengerti dan hal yang pasti, tanpa kas (keuangan), pemerintah tidak mungkin bisa berjalan. Suatu pemerintahan (sebagaimana yang berlaku pada negara-negara yang ada di dunia terutama dunia ke tiga saat di zaman modern ini) pemerintahan tidak berdaulat, tidak independen, tidak berkelangsungan dan berkelanjutan dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang mendasar bagi rakyat yang dipimpinnya, melainkan pemerintah bersifat dependen (ketergantungan) dan tidak merdeka. Apa sebabnya? Di antara yang menjadi sebabnya adalah; suatu sistem pemerintahan, hukum dan perundangannya dibuat; menyetujui dan mengabsahkan untuk membebaskan entitas bisnis menguasai hajat hidup orang banyak dimana entitas bisnis tersebut berdiri sendiri (independen), tanpa bekerja sama atau dibawah kendali dan kuasa pemerintah. Di antaranya misalnya; pemberian hak dan wewenang serta intitusi khusus (yang dilegalkan atas nama negara) kepada entitas bisnis yang disebut sebagai „bank sentral‟ (untuk memiliki wewenang mencetak uang tanpa berasaskan cadangan intrinsik, karena menganut kesepakatan internasional yang berlaku dimana pemerintah tunduk di bawahnya) atau juga misalnya sebutlah itu „privatisasi‟, swastanisasi atau apapun yang menggunakan embel-embel „nasional‟ atau „publik‟ atau „umum‟ dimana ia berkepentingan menjalankan kepentingan orang banyak, yang pada intinya di mana pemerintah (khalifah) memberi suatu „entitas bisnis‟ (individu atau segelintir elit) hak tertentu (terkait hajat hidup orang banyak) untuk berkuasa atas nama „publik‟, atas nama „umum‟, atas nama „rakyat‟, atas nama „negara‟, dan lain sebagainya. Itulah yang sebetulnya menjadi sebab pemerintahan tidak berdaulat. Bila dilihat dalam nilai kebijaksanaan Islam, hal ini sangat bertentangan sekali; „segala hal yang menyangkut hajat hidup orang banyak adalah dikuasai oleh negara (dibawah kekuasaan negara) atau milik umum (waqaf)‟. “Ummat muslim berserikat atas air, api dan rumput” (HR. Abu Dawud). Di antara hal-hal yang termasuk hajat orang banyak adalah; air, api (energi dan listrik), lahan, dan lain-lainnya, termasuk juga; telekomunikasi, transportasi dan juga jasa keuangan. Apa akibatnya bila „tatanan moral‟ mengenai ini tidak diindahkan?, bila ini tidak diindahkan akibat yang terjadi adalah (1) entitas bisnis kekayaannya bisa lebih tinggi dari (kas) pemerintah (Khalifah) yang bisa menjadi kekayaan yang berpotensi (digunakan untuk) melawan negara (manakala negara itu sendiri kas keuangannya miskin), (2) 93

entitas bisnis (bisa) mendikte pemerintahan, (3) entitas bisnis bisa menulis hukum atau dengan kata lain hukum yang dibuat pemerintah; mandul. (4) entitas bisnis bisa memiliki kuasa monopolistik di mana ia dapat menetapkan harga secara sepihak dan bersifat zalim dan menindas (di mana monopolistik dilarang dalam Islam, ia mempengaruhi harga pasar dan merusak fitrahnya). Di dalam Islam lawan dari privatisasi (atau swastanisasi) adalah waqaf-isasi. Konsepsi negara (daulah) sejatinya adalah waqaf, waqaf sebagaimana negara itu sendiri adalah „hak milik umum‟ (hak milik kaum muslimin atau rakyat) yang diwewenangi dalam kepengurusannya oleh pemimpin yang ditunjuk, dalam waqaf ia disebut nadzir, dalam zakat ia disebut amil. Oleh karena itu konsepsinya yang terintegrasi, kepala negara (Khalifah atau pemerintah) juga adalah kepala keuangan tertinggi, kepala negara adalah kepala tertinggi nadzir (waqaf), kepala negara adalah kepala tertinggi amil (zakat), sehingga konsekuensinya kepala negara berwenang atas kas publik secara merdeka dan berdaulat terhadap penggunaan kas publik. Manakala dalam sistem pemerintahan modern, kas (keuangan) yang ada tidak berdaulat oleh karena kas (keuangan) yang asli sejatinya adalah „bank sentral‟ [bila pemerintah perlu uang, pemerintah perlu minta ke bank sentral, bilamana perolehan pajak tidak memadai], kas keuangan yang sejati bukan badan keuangan pemerintah (dalam konsep negara modern kas negara itu sendiri hanya pengumpul pajak, tidak sepenuhnya uangnya kembali untuk rakyat, tapi sebagiannya untuk bayar utang plus bunga), di mana sang pemilik kas lah (jaringan elit politik; bankir, investor lokal dan asing, konglomerat politik) yang mendekte pemerintahan, sedangkan „bank sentral‟ itu sendiri di-dikte oleh kesepakatan perjanjian internasional; sistem keuangan internasional, akhirnya negara itu sendiri sebetulnya didikte oleh segelintir elit predator (kapitalis-ribawi) keuangan dunia. Apa yang terjadi dalam fenomena modern; terjadi dualisme kepemimpinan; yaitu pemerintah yang ada sebetulnya bukan pemerintah yang asli, pemerintah yang ada (di dalam sistem pemerintahan modern) kakinya buntung dan tidak mampu berdiri tegap, berdiri terhuyung-huyung (oleh karena utang nasional ataupun sistem demokrasi transaksional; di mana pemerintahan berjalan berdasarkan kepentingan si pemodal yang mensukseskan jabatan kepemimpinan), pemerintah bersandar kepada penguasa atau pemimpin yang sebenarnya yaitu si pemegang kas (uang) (para elit predator keuangan ribawi global) yang mendikte jalannya pemerintahan untuk mensepakati kesepakatan-kesepakatan yang bersifat zalim dan menindas rakyat.

94

VI

SISTEM KEUANGAN (MONETARY SYSTEM) VI.I

Sistem Keuangan Modern

S

ebelum era kelahiran peradaban barat-modern sekuler uang selalunya menggunakan uang intrinsik (nilai uangnya di dalam bendanya itu sendiri) ia terbuat dari logam; emas, perak dan juga tembaga. Pada abad ke 16 di mulai dari eropa, proses kelahiran peradaban barat-modern pada abad pencerahan (renaissance) di dalangi oleh orang-orang anti-agama (sekuleris), orang-orang ini pada akhirnya berhasil melegalkan atau menghalalkan praktik riba atau usury [baik di wilayah otoriti gerejani kristen maupun otoriti pemerintahan di wilayah eropa] dan menggunakan istilah yang lebih halus yaitu interest (bunga), amalan riba pada akhirnya memang sudah menjadi kebiasaan dan menjadi lumrah secara luas entah kaum itu beragama atau tidak. Bermula dari orang-orang yahudi eropa yang menjalankan usaha pandai emas (goldsmith) kemudian berkembang menjadi usaha jasa penitipan, di mana tukang-tukang pandai emas menawarkan jasa penitipan emas baik itu para peziarah, pelancong, pedagang dan semua warga eropa yang ada pada saat itu, menitipkan emas dirasa bermanfaat dan penting, dari pada membawanya sebagai beban dan berisiko terhadap kejahatan dan perampokan. Apabila emas diserahkan kepada tukang penitipan emas tadi maka tukang penitipan tersebut akan membuatkan cek atau nota catatan yang mencantumkan besaran jumlah emas yang dititipkan sebagai alat bukti. Penitipan emas ini pada akhirnya menjadi lumrah bagi warga eropa atau di manapun pada saat itu, hal ini memberikan suatu kemudahan yang tidak pernah dirasakan sebelumnya, mereka tidak perlu lagi susah-susah membawa emasnya untuk bertransaksi, mereka hanya perlu menggunakan cek atau nota itulah untuk bertransaksi, yang lebih menakjubkannya kemudian cek menjadi alat pembayaran yang bisa diterima secara sah, sementara tukang-tukang pandai emas (goldsmith) itu pun kemudian menjelma menjadi bankir di mana ia selain membuka jasa penitipan, ia juga sekaligus menyalurkan sebagaian hartanya untuk usaha pinjaman berbunga, dari sini lah semua mengenai uang ekstrinsik modern (atau „uang kertas‟ atau „mata uang‟ atau currency) dan bank modern bermula. 95

Bank sentral dibuat pertama kali di Belanda tahun 1668. Kemudian pada tahun 1694 Bank of England disahkan oleh pemerintah inggris William III untuk memberi hak kepada pendana atau pemberi pinjaman langganan untuk pemerintah dengan wewenang khusus yaitu hak menerbitkan cek (banknote) poundsterling sebagai Bank Sentral Inggris, di mana pada saat itu keperluan dana mendesak 12.000 poundsterling untuk membiayai keperluan menghadapi ancaman serangan dari Prancis (Inggris masih menggunakan gold standard hingga tahun 1931). Prancis mengesahkan Banque de France tahun 1800, Bank Sentral Amerika The Federal Reserve disahkan melalui kongres tahun 1913, dan banyak juga negara-negara lain kemudian mengesahkan pendirian bank sentral-bank sentral mereka. Pada mulanya setiap bank manapun (sebelum ada bank sentral) boleh menerbitkan cek (banknote), tetapi kemudian kemunculan konsep bank sentral, hak untuk menerbitkan cek atau „mata uang‟ hanya boleh dilakukan oleh bank sentral, dengan kata lain hak untuk menerbitkan cek dimonopoli oleh bank sentral. Kemunculan Bank sentral dirasa penting, untuk membantu pemerintahan dalam hal pemberian dana untuk keperluan-keperluan pemerintahan, sebagai alternatif dari pajak, terutama pada saat-saat genting seperti misalnya; ancaman perang. Awal mulanya memang berkonsep gold standard (cek yang diterbitkan dijamin oleh cadangan emas), namun semakin lama perundangan dibuat untuk membuat ceknya tidak bisa ditukar dengan emas dengan alasan tertentu (keamanan ekonomi, dan lain-lain), apalagi bila saat terjadi panik saat situasi perang. Sebetulnya juga cek yang dicetak akan selalu lebih banyak dari pada cadangan yang disimpan, namun masyarakat tidak menyadarinya karena ini hanya urusan pemerintah dan bank sentralnya yang tahu di mana ceknya dibuat tidak bisa dicairkan, bank sentral hanya perlu meyakinkan masyarakat bahwa nilai uangnya stabil dengan pelaporan angka-angka statistik dari hal yang disebut sebagai „pengendalian inflasi‟. Pada tahun 1930, terjadi depresi besar bersamaan dengan perang dunia II, kondisi ekonomi eropa memburuk, negara-negara memberlakukan kebijakan ekonomi yang ketat dengan meningkatkan hambatan perdagangan luar negeri, devaluasi mata uang untuk bisa bersaing dalam pasar ekspor, serta membatasi warga negaranya memegang valuta asing. Setelah usai perang dunia II, Amerika mengadakan pertemuan di Brettonwood mengundang negara-negara dunia lainnya untuk mengadakan konferensi kerja sama ekonomi internasional selepas perang dunia II. Pada konferensi tersebut, dilahirkanlah institusi-institusi keuangan dunia dan organisasi perdagangan internasional di antaranya: IMF, World Bank, WTO. Pada konferensi ini untuk membuka hambatan-hambatan perdagangan internasional di mana negara-negara yang tergabung dibuat sepakat untuk menjaga nilai tukar mata uangnya dalam bentuk Dollar Amerika Serikat, oleh karena pasca perang dunia ke II Amerika memiliki cadangan emas yang paling banyak dari perdagangan 96

internasional pada masa-masa perang sebelum sebelum itu (di mana negara-negara yang berperang suplai bahan pangan dan lain-lainnya diimpor dari luar, sementara Amerika pemasok utama Inggris), oleh karenanya Amerika berjanji setiap 35 US Dollar dijamin dengan 1 Ons emas tetapi dengan syarat hanya “bank sentral” yang boleh menukarkannya. Selain dari pada itu untuk memperoleh US Dollar bagi negara-negara yang ingin berpartisipasi dalam perdagangan perlu mengirim cadangan emasnya ke The Fed, Bank Sentral Amerika, lewat IMF, bisa juga memperoleh Dollarnya dari perdagangan ekspor, atau meminjam US Dollar ke IMF. Sistem ini merupakan sistem moneter internasional yang disebut dengan sistem keuangan Brettonwood. Hingga tahun 1960an, pemerintah AS telah meningkatkan pengeluaran untuk membiayai perang Korea, perang Vietnam dan program Johnson Great Society. Presiden Prancis, Charles De Gaulle menguji sistemnya dengan meminta penukaran Dollarnya $150 juta, setelah itu banyak negara-negara eropa di belakangnya mengantri, hingga cadangan emas AS mulai 1959 hingga 1971 berkurang hingga 50%. Oleh karena ternyata pemerintah Amerika dan The Fed telah mencetak uang kertasnya melebihi cadangan emasnya, pemerintah AS menyadari jika penukaran terus berlangsung sementara uang kertasnya telah dicetak melebihi cadangan emasnya maka sistem keuangannya tentunya akan bangkrut (collaps). Pada 15 Agustus 1971, peristiwa ini dikenal dengan „Nixon Shock‟, presiden Amerika Serikat Richard Nixon membatalkan perjanjian Brettonwood secara sepihak dengan menyatakan penukaran Dollar tidak berlaku lagi karena memang Dollarnya tidak lagi diback-up dengan emas (walaupun ini terasa seperti perampokan bagi negara-negara lainnya yang sudah menyetorkan emasnya ke The Fed, anehnya tidak ada perlawanan atau penuntutan kejahatan terhadap Amerika, siapa yang mampu melawan Amerika saat itu?), oleh karena itu Dollar yang tadinya diback-up emas (gold standard), sekarang hanya uang kertas yang bernilai janji dan pengaruh hegemoni dan kekuasaan AS ke atas dunia, sekarang ia disebut sebagai sistem uang fiat. Selepas itu, terjadi krisis kepercayaan masyarakat dunia terhadap Dollar, dampak pasar terhadap Dollar sangat buruk, nilai Dollar merosot tajam, hingga Januari 1980 jatuh kurang lebih 850 Dollar per Ons emas (yang semula 35 Dollar per Ons), setiap orang sudah mulai akan meninggalkan Dollar. Tetapi pada tahun 1974 Keuangan Negara Amerika Serikat melakukan kesepakatan rahasia dengan Badan Moneter Arab Saudi (SAMA; Saudi Arabia Monetary Agency), yang meminta Arab Saudi sudi untuk berinvestasi dan membiayai defisit keuangan Amerika dari hasil jualan minyaknya. Saudi merasa terhutang budi, karena AS adalah konsumen pembeli minyak terbesarnya, tetapi kesepakatan yang paling penting adalah; di samping Saudi mengambil alih 60% kepemilikan saham perusahaan minyak ARAMCO (Arabian American Oil Company) dan hingga 1988 Saudi 97

menasionalisasi perusahaan minyak tersebut, Saudi juga bersetuju menjual minyaknya hanya dengan mata uang Dollar, belum lagi Saudi adalah anggota berpengaruh dalam organisasi kartel penjualan minyak yang disebut OPEC dan OPEC hanya menerima penjualan minyak hanya dengan Dollar. Sebagai timbal baliknya, Saudi dan beberapa negara penjual minyak lainnya akan mendapatkan kontrak dan diskon perlindungan militer, senjata, transfer teknologi, tenaga pembangunan infrastruktur dengan kontraktor-kontraktor terbaik yang dimiliki Amerika, ia adalah janji pembangunan dan kemajuan, suatu kemudahan yang akan diperoleh negara-negara penjual minyak, hasil kesepakatan ini menyebabkan Amerika berhasil mempertahankan nilai Dollar. Sistem ini dikenal dengan „Petrodollar‟, di mana nilai Dollar AS disangga oleh minyak, Dollar AS menjadi komplemen terhadap minyak, semakin permintaan minyak dunia tinggi, semakin tinggi juga permintaan Dollar. Sistem ini berhasil mempertahankan nilai Dollar, nilai Dollar akhirnya naik, tetap tinggi nilainya terbang di atas lantai dasar. Di sisi lain, Amerika harus mengontrol minyak harus selalu murah, dengan cara menetapkan bunga tinggi atas pinjaman Dollar, supaya permintaan minyak turun dan harga minyak bisa menyesuaikan permintaan dunia. The Fed membuat mekanisme keuangan baru yang juga berlaku secara resmi ke negara-negara lainnya untuk mekanisme pembuatan uang dalam artikel yang diterbitkan „Modern Money Mechanic‟. Uang kertas itu sendiri selepas perjanjian Brettonwood, tidak lagi diciptakan berdasarkan cadangan emas, tetapi penciptaan uang fiat kini berdasarkan instrumen utang. The Fed atau bank-bank sentral suatu negara akan menerbitkan uang baru dalam bentuk sertifikat atau nota (banknote) untuk pemerintah (sebagai kekayaan yang dibuat dari ketiadaan tanpa cadangan intrinsik, ex nihilo) dengan syarat pemerintah membuat surat utang (obligasi atau tbill), surat utang tersebut akan diserahkan kepada bank sentral di mana pemerintah Amerika Serikat akan membayar pokok utangnya dan bunganya, sementara itu uang baru dalam bentuk nota untuk pemerintah Amerika Serikat belum bisa digunakan menjadi mata uang, kecuali setelah ia disimpan di bank dunia (IMF) sebagai deposito. IMF menggunakan uangnya untuk memberi pinjaman berbunga (termasuk ke negara-negara berkembang; dunia ke tiga) untuk “bantuan pembangunan” dan lain-lainnya, di mana pemerintah Amerika Serikat atau nasabah IMF hanya perlu menyimpan uangnya dalam tempo tertentu (deposito) dan kemudian menikmati bunganya.

98

1 Uang fiat Di awali dari uang yang semula bernilai intrinsik (nilai uangnya berada di dalam bendanya), bergeser menjadi uang ekstrinsik (nilai uangnya berada di luar bendanya) yaitu cek (uang kertas). Uang ekstrsinsik mulanya bercadangkan emas, tetapi selepas pembatalan perjanjian Brettonwood, maka 100% uang ekstrinsik dunia yang berlaku saat ini tidak lagi ada kaitannya dengan cadangan emas, itu lah uang yang sekarang; yaitu uang fiat. Uang fiat yaitu „uang ekstrinsik‟ apakah itu uang kertas atau uang giral atau uang digital dan lain-lainnya [yang selanjutnya menjadi basis (based money atau M1) bagi uang-uang ekstrinsik lainnya (broad money atau M2)] yang sejatinya tidak dicadangkan dengan cadangan intrinsik, melainkan semata-mata bercadangkan utang. Sejatinya ia merupakan kekayaan yang dicipta dari awang-awang (dari ketiadaan atau ex nihilo), sejatinya tidak ada nilainya sama sekali. Ia menjadi berharga hanya karena diback-up oleh kekuatan dan kekuasaan otoritas-otoritas pemerintah-pemerintah, negara-negara dan adikuasa-adikuasa yang memberlakukannya sebagai legal tender (uang resmi). Sekarang mari kita tinjau dalam sudut pandang moral, ketika uang ekstrinsik dicetak lebih banyak dari pada cadangan intrinsiknya (atau malah tanpa cadangan intrinsik sama sekali), maka sejatinya ia adalah menciptakan kekayaan dari ketiadaan dengan hanya semudah menulis ceknya, mencetaknya (print) atau mengetikkan digitnya di dalam komputer yang sejatinya adalah tindakan fraud (curang). Seandainya seseorang membuat cek kosong yang tidak ada isinya, lantas menggunakannya sebagai alat pembayaran, kemudian seorang yang menerima ceknya ketika akan mencairkan ceknya ternyata tidak ada isinya, maka orang itu pastinya akan diserahkan ke badan hukum untuk diadili, karena ia adalah tindakan kecurangan atau bisa dikatakan penipuan. Sementara apa yang terjadi seperti contohnya pada pembatalan pernjanjian Brettonwood yang dilakukan Amerika tidak ada yang bisa menahannya sebagai kejahatan internasional karena Amerika menggunakan kekuasaannya untuk berbuat pelanggaran, ketika Richard Nixon membatalkan kesepakatan Brettonwood, Dollar tidak lain sama seperti cek yang tidak bisa dicairkan. Uang di dalam perspektif modern juga dianggap sebagai komoditas, yang bisa diperjual-belikan untuk memperoleh keuntungan atau disewa-sewakan dengan imbalan bunga. Yang berlaku keseluruh dunia hari ini Dollar Amerika Serikat tetap bisa mempertahankan nilainya sebagai induk dari semua mata uang kertas, sebagai mata uang cadangan utama dunia, yang jiwanya diletakkan pada minyak negaranegara yang tergabung dalam organisasi perusahaan kartel penjual minyak (OPEC), dengan demikian mata uang Dollar AS relatif paling tinggi nilainya dibanding mata uang lain negara manapun, karena AS membuat kesepakatan dengan negara eksportir minyak untuk menjaga pembayaran minyak hanya dilakukan dengan 99

Dollar, dengan kata lain Dollar nilainya dijangkar oleh minyak, di mana minyak terus dibutuhkan negara-negara manapun di dunia. Hal ini sangat mudah difahami tidak ada negara yang bisa berjalan tanpa minyak, tanpa transportasi negara pastinya collaps; di mana semua barang-barang kebutuhan hidup disuplai menggunakan alat transportasi. Uang fiat dicetak oleh segelintir elit sebagai kekayaan cuma-cuma yang dicipta dari awang-awang layaknya Tuhan, ketika ia menjadi komoditi sewaan (utang dengan imbalan bunga) tentunya bisa menjadi senjata berbahaya untuk menguasai (memperhamba) manusia-manusia penggunanya. Sebagai contohnya, apa yang dilakukan pemerintah Amerika Serikat ketika menaruh kekayaan cuma-cumanya sebagai deposit di bank internasional katakanlah IMF, kemudian IMF meminjamkan dananya kepada negara-negara importir sebagai utang plus bunga, maka negara-negara importir tersebut perlu bekerja lebih giat untuk menghasilkan devisa dan membayar utang plus bunga; negara-negara importir (pemerintahannya) bekerja untuk tuan budaknya (yang menghasilkan kekayaan secara cuma-cuma); sedangkan rakyat tidak terurus atau terpenuhi kebutuhannya (karena kas digunakan untuk membayar utang) tetapi rakyat sekaligus juga bekerja lembur untuk membantu memperoleh devisa. Ketika uang fiat yang dicetak oleh segelintir elit sebagai kekayaan cuma-cuma yang dicipta dari awang-awang layaknya Tuhan, ketika ia menjadi komoditi sewaan (utang dengan imbalan bunga), tentunya bisa menjadi senjata berbahaya untuk menguasai (memperhamba) manusia-manusia penggunanya. Sebagai contohnya lagi; ketika negara memerlukan pembiayaan pengeluaran-pengaluaran kebutuhan negara sebutlah itu pertahanan, pendidikan, pembangunan dan lain-lain sebagainya, negara perlu membuat utang nasional dengan membuat surat utang, kemudian otoriti bank sentral menciptakan kekayaan dari awang-awang tanpa berlandaskan cadangan intrinsik untuk menciptakan uang, tetapi apabila pemerintah menerima uang dari bank sentral ia tentu saja bukan uang gratis, tetapi pinjaman dengan bunga, setelah itu sejumlah uang yang beredar akan menggerakkan perekonomian, kemudian uangnya kembali lagi kepada pemerintah lewat pajak yang dipunguti dari masyarakat, kemudian utang nasional perlu dibayarkan kepada bank sentral, ketika pemerintah berhasil melunasi utang, asumsinya tidak ada uang yang tersisa karena jumlah uang yang beredar sama dengan jumlah utang yang dipinjam, wal hasil untuk melunasi sisa bunganya, pemerintah perlu membuat utang nasional lagi, dan keadaan terus berulang di mana sisa bunganya semakin membesar dan membengkak (gali lobang tutup lobang dengan utang yang lebih besar) dan hingga sampai kapanpun bunga tersebut tidak bisa dilunasi bahkan semakin membesar. Ujung-ujungnya, negara tidak bisa memenuhi kebutuhan rakyatnya, banyak anggaran dipangkas, sementara rakyat bekerja lembur untuk membantu melunasi hutang pemerintah dari membayar pajak. 100

Selain dari pada itu pertumbuhan keuangan yang membengkak disebabkan penciptaan uang berlandaskan utang, uang dicipta tanpa berasaskan cadangan bernilai intrinsik, konsekuensi yang berlaku kepada pasar adalah kenaikankenaikan harga, uang kehilangan nilainya, masyarakat yang telah bekerja susah payah mencari penghasilan kini hasil keringatnya lenyap, ia kehilangan daya beli, oleh karena inflasi, di mana nilai uangnya telah dirampok oleh elit pencetak (pencipta) uang. Oleh karena itu, konsekwensi mudharat yang terbesar dari uang fiat beserta otoriti ditangan orang-orang yang tidak beriman kepada Allah, tidak hanya ia menciptakan kekayaan secara mudahnya (menciptakan uang mudah) tetapi juga ia akan menimpakan „perbudakkan‟ atau „perhambaan‟ kepada manusia lantaran manusia bekerja dengan menghasilkan „uang palsu‟ yang secara berterusan kehilangan daya beli, sementara terus berhajat kepadanya berterusan, ke-mudharat-an terbesar yang akan menimpa manusia sebetulnya adalah bencana ke‟syirik‟an sebagai suatu dosa yang tidak akan diampuni oleh Allah; di mana manusia-manusia kini sibuk mengejar tujuan hidup yang hanya sekedar „memenuhi kebutuhan hidup‟ dan bekerja untuk tuan budaknya; yaitu para kreditur, para bankir, para elit, sekaligus bersepakat; “menghalalkan apa yang Allah haramkan dan mengharamkan apa yang Allah halalkan” dengan menerima dan bersetuju praktik riba adalah praktik yang legal, sehingga tidak lagi kehidupan ini untuk Allah subhanahu wa ta‟ala. 2 Bank dan Fractional Reserve Requirement Sebelum praktik uang fiat dapat terealisasikan secara internasional oleh para elit global, sebelum itu sudah lama praktik „meminjam dan meminjamkan uang‟ dipraktikkan oleh para tukang pandai emas (goldsmith) pada abad ke 16. Khususnya, pada kasus Bank of England pada saat itu yang bertindak sebagai Bank Sentral Inggris untuk pertama kalinya, memberikan pinjaman berasaskan cadangan 2:1 atas emas yang disimpan, ini hanyalah rasio permulaan, selanjutnya di zaman modern rasio ini bisa lebih besar lagi sebagai mana yang akan dijelaskan. Uang fiat, di zaman modern dalam menciptakan uang (dari ketiadaan) tidak berjalan sendirian, uang fiat bekerja dengan bank, yaitu suatu insitusi yang mendirikan aktivitas keuangan berlandaskan „meminjam dan meminjamkan uang‟ dari dana simpanan yang diterima dari jasa penitipan (tabungan) para nasabahnya. Meluasnya praktik ini tidak lain dan tidak bukan diawali dari pelegalan praktik bunga pinjaman (interest) terlebih dahulu sebelumnya pada abad 16 oleh ummat kristiani (protestan) (didalangi gerakan abad pencerahan yang sekuleris) dan ummat yahudi jauh-jauh hari sebelumnya sudah melegalkan bunga (dan barangkali kaum yahudi palsu inilah yang memprakarsa gerakan abad pencerahan) (Quran, Surat An-Nisa 4: 161). Sehingga konsekuensinya uang dianggap sebagai komoditi yang 101

bisa diperjualbelikan dengan keuntungan atau disewa-sewakan dengan imbalan bunga. Institusi bank dalam beroperasi ia berjalan berasaskan sistem fractional reserve requirment (FRR) atau giro wajib minimum (GWM) yang menganut sistem percadangan rasio antara yang dipinjam dan yang dipinjamkan dari dana titipan (tabungan) nasabah. Sistem FRR yang paling optimal adalah sistem cadangan seminimal-minimalnya 10% dengan penyaluran semaksimal-maksimalnya 90% (1:9), di mana berdasarkan apa yang terjadi, biasanya nasabah yang menyimpan uangnnya di bank, dari kesemuanya setidaknya hanya sampai 10% yang mengambil uangnya kembali, maka dari itu bank berasumsi 90% dana menganggur dapat dimanfaatkan yaitu dipinjam (dari nasabahnya) untuk usaha pinjaman berbunga kepada peminjamnya (dengan hasil bunganya akan berbagi antara pihak bankir dan nasabahnya). Ketika bank meminjam uang dari uang nasabah untuk disalurkan kepada usaha ribawi (dengan maksimal penyaluran 90% dari semua cadangan/tabungan uang nasabah), maka yang terjadi uang mengganda 9x lipat suplai uang bertambah berasaskan utang, 9x lipat penciptaan kekayaan dari awang-awang (dari ketiadaan). (Apabila) Laju kenaikan pertumbuhan uang lebih tinggi dari pada laju produktifitas berdasarkan kapasitas dan kapabilitas produksi yang tersedia; atau laju keuangan lebih tinggi dari pada laju output komoditi (barang dan jasa) yang mampu diproduksi oleh populasi ekonomi; (bila tidak ditunjang dengan kapasitas produksi yang memadai dan tidak masuk akal) akibatnya pastinya inflasi (kenaikan hargaharga). Sementara bank akan menikmati keuntungan hanya bermodalkan makelar dana (pinjaman dan dipinjamkan), adapun populasi ekonomi menerima penghasilan dari uang yang terus mengalami pengurangan nilai dari waktu ke waktu; dengan kata lain bank turut aktif membantu perbudakan sistematis (perpanjangan dari uang fiat), struktural dan hirarkis dari atas ke bawah, masyarakat yang paling bawah adalah budak-budak pekerja yang bekerja sepanjang hari sepanjang malam, namun barangkali hanya cukup menyambung kebutuhan hidup makannya saja atau tidak pernah mencukupi kebutuhan sehari pada waktu itu. Dampaknya produktifitas yang dilaksanakan oleh populasi ekonomi akan menghalalkan segala cara dan masyarakat populasi ekonomi hanya akan mencari jalan-jalan singkat dan instan (mencari usaha atau pekerjaan yang paling aman dari risiko dan anti-rugi) untuk menghasilkan kekayaan, maka output produksi komoditas-komoditas atau aset-aset yang dihasilkannya sepanjang waktu semakin rendah kualitasnya, orang akan menjual hal yang tidak dibenarkan untuk dijual, dan taraf hidup semakin buruk, sementara nilai hutang populasi masyarakat terhadap para bankir dan para elit semakin tinggi, di mana orang-orang yang terlilit hutang membayar hutangnya dengan uang yang terus mengalami pengurangan nilai sepanjang waktu; tidak lain dan tidak bukan adalah bentuk „perhambaan‟ atas kemanusiaan. 102

3 Bunga Bunga adalah biang dari semua biang sistem keuangan ribawi modern. Bunga adalah praktik keuangan modern yang paling inti dan paling mendasar, tanpa bunga maka tidak ada bank, tidak ada bank maka tidak ada uang fiat. Sebagaimana sebelumnya, mengapa sistem keuangan ribawi global ini bisa terwujud, mula-mula di awali dari proses riba dilegalkan terlebih dahulu (dengan pola pikir rasionalispositif-empiris-materialistis-sekuler) dalam suatu masyarakat (yaitu paling awalnya masyarakat eropa) manakala skriptur-skriptur agama telah mengutuk, mengancam dan memperingatkan bahayanya baik itu dalam skriptur Yahudi (Taurat), Nashrani (Gospel), Islam (Al-Quran), selanjutnya masyarakat akan tertular penyakit mempraktikkan riba yaitu menghalalkan dan melegalkan bunga pinjaman mereka mengatakan (tidak peduli adakah mereka itu kaum agamawan atau bukan) bunga adalah konsekwensi logis sebagai bayaran atau sewa atas modal dan argumenargumen lainnya, kemudian praktik „meminjamkan uang dengan bunga‟ (pinjaman berbunga) berkembang menjadi praktik „meminjam dan meminjamkan uang dengan bunga‟ dengan sumber dananya dari „dana titipan‟ dari pembukaan jasa penitipan, dalam hal ini oleh karenanya „uang tabungan‟ tidak hanya sekedar „tabungan‟ atau „titipan‟ semata tetapi juga sebagai „pinjaman‟ (itulah yang membuat uangnya mengganda) hal ini memunculkan institusi yang disebut sebagai „Bank‟. Bila awal mulanya bank menggunakan uang yang bersifat intrinsik (uang logam; emas dan perak) dalam praktik ribawinya lama-lama bank menerbitkan nota atau kwitansi atas „titipan‟ para nasabah yang sejatinya merupakan „alat bukti‟ tibatiba menjadi „alat transaksi‟ yang dimuati janji-janji palsu, manakala sejatinya nota atau cek atau kwitansi adalah janji pembayaran riil uang intrinsiknya terhadap pemegang cek tersebut alias „utang‟, oleh karenanya di zaman modern „utang‟ bahkan menggantikan „uang intrinsik‟ menjadi uang yang membawa kekayaan ilusif tetapi sekaligus memberi penggunanya kekuasaan tidak hanya dalam urusan pencapaian-pencapiaan pembangunannya (membangun peradaban modern sekuler) tetapi juga sekaligus memperhamba manusia-manusia penggunanya dibawah kekuasaan mutlak layaknya Tuhan, sedangkan manusia-manusia menjadi hambahamba yang bisa digiring seperti hewan ternak. Benarlah agama-agama itu, benarlah Allah Ta‟ala, bunga adalah salah satu riba yang paling utama yang diberikan contohnya oleh kitab-kitab suci; yaitu lebihan atas pokok pinjaman, dalam pandangan „tatanan moral‟ riba merupakan salah satu dari „dosa besar‟, dosa yang membinasakan, ia sama halnya dengan perampokan, melegalkannya sama dengan melegalkan perampokan. Tetapi, ia memiliki dampak yang sangat-sangat besar dalam hal menciptakan kerusakan (fasad), sebagaimana dampak yang ditimbulkannya adalah potensi untuk memperhamba manusia sehingga mencabut keimanan seseorang untuk merdeka dan mengakui Allah sebagai Tuhan satu-satunya; di mana seseorang akan bersetuju, bersepakat 103

“menghalalkan apa yang Allah haramkan dan mengharamkan apa yang Allah halalkan”, dengan kata lain; syirik. Inflasi di Zaman Modern Inflasi di zaman Modern adalah fenomena yang lumrah terjadi begitu kata Milton Friedman (ekonom aliran moneteris), namun juga sekaligus mengherankan, apakah sebab inflasi yang sebenarnya terjadi di zaman modern? Bila kita mencari jawabannya dalam sekolah-sekolah, universitas-universitas atau mazhab-mazhab disiplin ilmu ekonomi modern, dari kesemuanya memberikan definisi yang tidak lugas, apa juga sebab inflasi yang terjadi di zaman modern. Beberapa mengatakan, inflasi terjadi oleh karena kelangkaan harga barang baku, inflasi oleh karena sebab impor dan lain sebagainya yang tidak dengan sebenarnya menjelaskan inflasi apa yang terjadi di seluruh dunia pada saat ini sehingga seperangkat kebijakan moneter menjadi instrument yang lazim dan perlu ada untuk mengendalikannya. Inflasi memang banyak jenis dan banyak sebab-musababnya, tetapi pada inti sarinya inflasi itu terjadi bilamana kenaikan harga-harga komoditas oleh karena sebab berkurangnya nilai dari uang, di mana hubungan relatif antara harga-harga komoditas dengan nilai dari uang itu tidak lain oleh karena „jumlah komoditas‟ dan „jumlah uang‟ antara yang satu dengan yang lainnya berubah secara relatif yang terjadi dalam mekanisme penyesuaian pasar (self-adjustment). Menurunnya jumlah komoditas atau meningkatnya jumlah uang itu bisa terjadi karena sebab-sebab yang alami misalnya kegagalan panen, atau kelangkaan komoditas tertentu (komoditas barang baku), tetapi sebab dari inflasi itu juga bisa terjadi oleh karena tangan manusia yang korup misalnya; adalah praktik penimbunan komoditas oleh pelaku ekonomi tertentu, kelangkaan barang menyebabkan harga-harga barang meningkat. Adapun inflasi yang terjadi di zaman Modern yang terjadi secara meluas dan mendunia, sebetulnya terjadi oleh karena laju keuangan lebih tinggi dari pada laju (produksi) komoditas; yang menciptakan kekayaan ilusi dan menimpakan perhambaan kepada manusia-manusia pengguna sistem keuangannya; yaitu uang fiat, bank (dan sistem FRR-nya) dan praktik riba terutama sekali bunga pinjaman. Sistem keuangan modern ini tidak lain adalah sistem keuangan yang haus kekuasaan (ingin menjadi Tuhan) yang memperhambakan manusia, bersifat zalim dan menindas. Ketika laju keuangan (diciptakan dari instrumen utang yang berlipat-lipat) lebih tinggi dari pada laju komoditi barang dan jasa yang dapat diproduksi, konsekuensinya adalah inflasi menjadi fenomena yang tidak dapat dihindarkan. Maka dari itu untuk menjaga sustainability „sistem keuangan modern‟ supaya ia tidak begitu saja runtuh, peran bank; bank-bank dunia, bank-bank sentral negaranegara, dan bank-bank umum serta lembaga-lembaga keuangan yang dibawah 104

kontrolnya berperan untuk mempertahankan nilai uang yang sebetulnya tidak bernilai sama sekali, dengan bahasa yang lebih halus „mengendalikan inflasi‟. Riba dalam Sistem Keuangan Modern Apabila seseorang menuntut keuntungan (ziyadah) tanpa ada kompensasi atau bayaran yang setimpal atasnya maka ia adalah riba. Menciptakan kekayaan dari awang-awang (dari ketiadaan; ex nihilo), menciptakan kekayaan dari kertas tipis yang tidak bernilai tiba-tiba menjadi bernilai jauh lebih tinggi tanpa berasaskan cadangan yang bernilai intrinsik sebagai penjaminnya, sejatinya adalah riba. Kemudian memperlakukannya layaknya uang, lebih lanjut kemudian memperlakukan uang itu layaknya komoditas, memper-sewa-kannya untuk memperoleh lebihan bunga, ia menjual kepalsuan demi kepalsuan yang berlapislapis, dia menjual sesuatu yang tidak ada untuk memperoleh keuntungan, tidak lain dan tidak bukan ia adalah riba. Katakanlah elit predator (kapitalis) ribawi memperoleh keuntungan dalam jumlah jutaan, miliaran, triliunan, ratusan triliunan Dollar (dari awang-awang) tidak cukup ia hanya memperhamba manusia-manusia untuk tunduk dibawah kekuasaannya lewat instrumen-instrumen dan institusi-insitusi perbankan global-nya ke atas dunia (dunia ketiga yang mayoritas ummat Islam, dan negara-negara lemah lainnya) serta perbankan-perbankan yang ada yang tunduk dibawah agen-agennya, tetapi juga elit predator menggunakan uang yang diciptakannya untuk membiayai perang terhadap bangsa-bangsa, memperbudak dan menindas manusia-manusia, memberangus „tatanan moral‟ dan keimanan, mewujudkan tatanan dunia baru (dunia modern) yang berlandaskan kesyirikan (sekulerisme) kemudian memaksakan sistem hidup yang kufur lagi syirik tersebut kepada orang-orang beriman, adakah dosa yang lebih besar lagi selain dari pada ini?. Sudah cukup borok-busuk jiwa kemanusiaanya, barangkali seburuk-buruk manusia di bawah kolong langit. Allah telah memperingatkan mereka yang mempraktikkan riba, tidak mendapatkan sesuatu apapun kecuali balasan perang dari Allah dan RasulNya, serta adzab pedih yang menunggunya di akhirat kelak, bila tidak segera ber-taubat.                                  Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa lebihan riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), Maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. dan jika kamu bertaubat (dari mengambil riba), Maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya. (Quran, Surat Al-Baqarah 2: 178-179)

105

                                                   Orang-orang yang memakan riba tidak dapat berdiri (stabil) melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran penyakit gila (berhati setan dan gila). Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata, Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), Maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), Maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya. (Quran, Surat Al-Baqarah 2: 275)

Oleh karena itu semua, sistem keuangan modern yang berlandaskan kepada riba, di mana uang yang berlaku adalah uang yang tidak memiliki integritas (kejujuran), yang mendukung praktik riba, bunga pinjaman dan membangunkan institusiinsitusi dan wadah-wadah transaksi yang mendukungnya dengan wujudnya sistemsistem perbankan modern. Sistem keuangan modern dicipta tidak lain dan tidak bukan „sistem perampokan yang dilegalkan‟ untuk memberi keuntungan dan kekuasaan kepada elit global yang memperhamba manusia dan memerangi „tatanan moral‟ dan mewujudkan dunia yang syirik dan tidak mengakui Allah sebagai Tuhan bagi manusia. Maka dampak kemudharatan terbesar yang dapat menimpa manusia atau seorang yang mukmin dari sistem keuangan modern ini yaitu ia menimpakan fasad (kerusakan yang merusakkan) bukan saja merusak dan memusnahkan; harta, jiwa, raga, dan hubungan-hubungan sosial-religius, tetapi juga ia merusakkan dan memusnahkan ke-iman-an kepada Allah dan menimpakan kezaliman dan penindasan dengan memberlakukan tatanan kehidupan yang syirik; „tatanan kehidupan sekuler‟; yang menghalalkan apa yang Allah haramkan dan mengharamkan apa yang Allah halalkan. Ini merupakan subjek yang tidak bisa dianggap tidak penting, dibuat main-main dan diabaikan bagi setiap mukmin yang mengaku beriman kepada Allah, di mana bencana terbesar bagi seorang mukmin adalah bencana ke-syirik-an, Allah mengampuni dosa apapun sekalipun besar kecuali dosa syirik. VI.II

Sistem Keuangan Islam Uang di dalam Islam ia selalu uang intrinsik, uang yang memiliki integritas (kejujuran), uang yang tidak memungut (mem-pajak-i) nilai kekayaan manusia, uang yang tidak mengurangi harta kekayaan manusia sebagaimana inflasi yang dihasilkan 106

(tangan manusia) lewat penciptaan uang di dalam sistem keuangan modern. Akan tetapi sebaliknya inflasi boleh terjadi oleh kelangkaan barang karena sebab-sebab alami, suatu bencana alamiah, gagal panen misalnya, sehingga pasar menyesuaikan sistem harga yang ada padanya. Konsepsi keuangan (moneter) di dalam Islam; uang harus dihapuskan dari segala bentuk celah praktik riba. Bila sistem keuangan dihapuskan dari segala bentuk celah praktik riba maka uang akan berfungsi sebagai penegak keadilan dalam bermuammalah. Identifikasi Riba di Dalam Uang Suatu hari di pasar Madinah, Bilal ‫ ر‬dijumpai oleh Rasulullah, kemudian Rasulullah menyapa Bilal dan menanyakan Bilal; kurma ini bagus sekali, di mana kamu mendapatkanya?, Bilal menjawab kurma ini didapat dari menukar 2 keranjang kurma (2 sha‟) yang tadinya berkualitas jelek dengan 1 keranjang kurma (1 sha‟) berkualitas bagus. Rasulullah sembari merespon; Ya Bilal! Ini lah intisari Riba! Jika kamu menginginkan kurma dengan kualitas bagus, jualah secara terpisah dua keranjang kurma yang jelek itu terlebih dahulu, baru kemudian belilah kurma yang kualitas bagus itu (HR. Bukhari dan Muslim). Di hadits yang lain; Umar bin Khattab menukar 1 unta betina dengan 4 unta, Ali bin Abi Thalib menukar 1 unta jantan dengan 20 ekor unta anakan, akan tetapi Rasulullah terhadap kedua sahabatnya meresponya tidak apa-apa (Muwattha, Imam Malik). Adakah kedua kasus itu berbeda? kasus Bilal ‫ ر‬mengenai kurma dengan kasus Umar ‫ & ر‬Ali ‫ ر‬mengenai unta?, mengapa 2 keranjang kurma kualitas jelek ditukar dengan 1 keranjang kurma kualitas bagus dianggap sebagai riba. Sementara menukar 1 unta ditukar menjadi 4 unta atau 20 unta tidak dianggap riba? Hal ini memang perkara yang agak sukar dimengerti, mereka yang memakan riba karena mereka mengatakan; „sesungguhnya jual beli itu sama saja dengan riba‟! (Quran, Surat 2: 275). Bila mencari penjelasannya menuju hadits yang lain; ada 6 komoditi yang transaksinya harus dilakukan tunai (tanpa selisih). Ia adalah; emas, perak, gandum, jewawut, kurma, garam. Emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, jewawut dengan jewawut, kurma dengan kurma, garam dengan garam. Harus dilakukan tunai, tanpa lebihan, jumlahnya harus sama (HR. Bukhari dan Muslim dan Muwattha Imam Malik). Berdasarkan pendapat Syaikh Umar Ibrahim Vadillo dan Syaikh Imran Hosein, kesimpulannya 6 komoditi itu bukan hanya sekedar dikenali sebagai barang ribawi saja dan menganggap yang lainnya selain itu bukan barang riba, tetapi 6 komoditi tersebut (dan juga komoditi lainnya yang merupakan jenis bahan pangan, yang bisa diukur, dan durable atau tahan lama) di dalam Islam dipandang sebagai uang atau 107

memerankan fungsi uang [yaitu; a. fungsi alat tukar (dalam pasar dengan sistem barter), b. satuan hitung, c. penyimpan nilai], oleh karena itu di pasar Madinah; Pasar Rasulullah ‫ ز‬6 komoditi tersebut berlaku memerankan fungsi uang. Maka konsekwensi dari kesimpulan ini, di dalam Islam; di dalam pertukaran antar uang; „uang dengan uang‟ tidak boleh mengambil lebihan atau keuntungan, baik itu pertukaranya secara kontan (tunai) maupun kredit (tempo atau cicil); sebagai objek dagangan atau objek sewaan (dengan tertangguhnya waktu pentunaiannya). Di dalam Islam alat tukar (uang) hanyalah berfungsi sebagai alat tukar, sekali suatu komoditi disahkan sebagai alat tukar sebagai legal tender (uang resmi), maka ia bukan komoditi yang bisa diperjualbelikan atau disewa-sewakan untuk memperoleh untung dari padanya, bila „aturan moral‟ ini tidak diindahkan yaitu mengambil lebihan atau keuntungan dari pertukaran „uang dengan uang‟ ia sudah termasuk riba, atau ini secara khususnya disebut dengan Riba Fadhl (Riba Utama). Adapun pertukaran selain antar mata uang (uang dengan uang) yaitu; „komoditi dengan komoditi‟ dan „komoditi dengan uang‟ boleh lah kiranya mengambil untung dari pada ini, yang demikian merupakan barter dan jual-beli yang termasuk dari jualbeli atau niaga atau bisnis yang Allah subhanahu wa ta‟ala halalkan (Quran, Surat AlBaqarah 2: 275). Uang Sunnah Uang sunnah sebagaimana yang berlaku di Madinah, di pasar Rasulullah ‫ز‬, uang selalu bersifat intrinsik, atau ia berdasarkan komoditas riil apakah itu gandum atau garam, atau apapun yang dapat dijadikan mata uang di mana dia bisa tahan lama (durable), tidak mudah expire, sehingga dapat berfungsi sebagai penyimpan nilai, sebagaimana dalam riwayat hadits Nabi ‫ ز‬di madinah ada 6 komoditi yang berlaku sebagai mata uang pada masa itu. Uang intrinsik yang paling superior di dalam Islam, yang paling sukses menjalankan fungsi uang; (1) sebagai alat tukar, (2) sebagai satuan hitung, (3) sebagai penyimpan nilai, yaitu mata uang emas; ia disebut Dinar, dan mata uang perak; ia disebut Dirham. Allah telah menciptakan kedua logam tersebut berharga, bernilai, tidak mudah karatan, tidak musnah oleh waktu, ia telah menjadi uang yang standar dan diakui di dalam syariat Islam.                                        Di antara ahli kitab ada orang yang jika kamu mempercayakan kepadanya Qinthar (12.000 koin emas), dikembalikannya kepadamu; dan di antara mereka ada orang yang jika kamu mempercayakan kepadanya satu dinar, tidak dikembalikannya kepadamu kecuali jika kamu selalu menagihnya. yang

108

demikian itu lantaran mereka mengatakan: „tidak ada dosa bagi Kami terhadap orang-orang ummi (non-yahudi)‟. mereka berkata Dusta terhadap Allah, Padahal mereka mengetahui. (Quran, Surat Ali Imran 3: 75)

          Dan mereka menjual Yusuf dengan harga yang murah, Yaitu beberapa dirham saja, dan mereka merasa tidak tertarik hatinya kepada Yusuf. (Quran, Surat Yusuf 12: 20)

Konsep Praktik Uang Sunnah 1. Uang bukan “komoditi” (objek dagangan dan objek sewaan), melainkan hanya sebagai alat tukar. Uang di dalam Islam adalah berasal dari komoditi intrinsik, uang di dalam Islam selalu bernilai Intrinsik, ia adalah emas dan perak, Islam juga menanggap komoditi yang lain (biasanya bahan pangan) yang bisa diukur (ada satuannya) dan bersifat tahan lama adalah sebagai uang (komoditi yang menjadi kebutuhan primer masyarakat harus disahkan sebagai uang, adapun komoditi selain yang menjadi kebutuhan primer masyarakat maka boleh dianggap hanya sebagai komoditi biasa/bukan uang). Adapun praktik penggunannya ialah tidak boleh ada selisih/lebihan dalam pertukaran „uang dengan uang‟ atau ini disebut dengan Riba Fadhl (Riba Utama); yaitu uang sebagai objek dagangan (sehingga membenarkan selisih/lebihan yang diperoleh darinya). Selain itu pula di dalam Islam selain uang dianggap bukan objek dagangan, uang juga bukan objek sewaan, tidak ada selisih/lebihan dari pertukaran uang yang tertangguh (baik „uang ditukar dengan uang‟ atau „uang ditukar dengan komoditi‟ yang berlaku dalam cara tempo/cicil), atau ini disebut dengan Riba Nasi‟ah (Riba Penangguhan; uang bertambah oleh karena waktu; waktu menjadi komoditi), di antara macam Riba Nasiah; (a) Riba Jahiliyyah; menetapkan denda atas pembayaran tertangguh, (b) Riba Dayn: menetapkan bunga atas utang atau pembayaran tertangguh (kredit atau cicilan), (c) Riba Qardh: bunga atas pinjaman. 2. Uang harus memiliki integritas (tidak curang) Uang di dalam Islam selalunya bersifat intrinsik, adapun „uang ekstrinsik‟ di dalam pandangan Islam sejatinya hanyalah „alat bukti‟ atau „alat hukum‟; yaitu segala sesuatu yang berupa catatan di kertas apakah itu cek, nota, sertifikat, saham, catatan keuangan, bahkan bila catatan itu dalam bentuk digital di dalam komputer, ia hanya berguna bila di hadapan hukum sebagai „alat bukti‟ atau „alat hukum‟, yang menunjukkan kepemilikan atau jejak transaksi dan perpindahan kepemilikan atas harta riil-nya, harta intrinsiknya (Quran, Surat 2: 282). „Uang ekstrinsik‟ bisa menjadi alat pembayaran selama ada jaminan kuasa hukum yang menjaminkan

109

„uang ekstrinsik‟nya dapat ditebus kepada harta riilnya atau harta intrinsiknya, dan kuasa hukum harus memiliki integritas. Kuasa atau otoritas keuangan yang mencetak uang fiat yaitu „uang ekstrinsik‟ yang tidak di-back up cadangan intrinsik sama sekali adalah cek kosong atau cek palsu, pemberlakuannya sebagai legal tender merupakan suatu bentuk kecurangan (fraud) dan ia adalah uang yang tidak memiliki integritas. Adapun bila „uang ekstrinsik‟ yang berlaku sebagai legal tender (uang yang sah) yang dicadangkan dengan emas (gold standard) dengan kurs atau nilai tukar yang ditentukan terhadap emas. Otoritas pengendali atau pembuat „uang ekstrinsik‟ tidak boleh mencetak „uang ekstrinsik‟nya dari awang-awang atau tanpa cadangan yang senilai dengan kurs-nya, bila otoritas keuangan berbuat demikian ia sama saja menciptakan cek kosong yang tidak ada isinya. Atau otoritas keuangan mencetak „uang ekstrinsik‟nya dengan mengurangi nilai kurs-nya maka hal ini sama saja dengan mempajaki nilai uang masyarakat penggunanya. Bila otoritas keuangan mencetak „uang ekstrinsik‟nya sebagai cek kosong (yang tidak ada cadangan intrinsiknya) dan memberlakukannya sebagai legal tender (uang yang sah) maka konsekuensi yang berlaku mekanisme pasar melakukan penyesuainnya dengan memberi reaksi berupa inflasi (kenaikan harga) atau dengan kata lain sama saja yaitu kurs-nya (yaitu nilai tukar „uang ekstrinsik‟ terhadap emas) akan berkurang (overvaluation). Seandainya Dinar dan Dirham digunakan pada zaman modern menggunakan infrastruktur pencatatan elektronik e-dinar dan e-dirham, e-dinar dan e-dirham juga merupakan „uang ekstrinsik‟ dan ia sejatinya berfungsi sebagai „alat hukum‟ yaitu catatan keuangan secara digital. E-dinar dan e-dirham itu sendiri tidak boleh menciptakan digitnya (menambahkan jumlah digitnya) dari awang-awang tanpa cadangan Dinar dan Dirhamnya, ini sama halnya ia menciptakan cek kosong; yang tidak ada dinar dan dirhamnya. E-dinar dan e-dirham itu sendiri tidak boleh mengubah-ubah standar emas dan peraknya (atau kursnya); yang sudah ditetapkan pemerintah (khalifah), di mana kurs dinar dan dirham di dalam sistem keuangan haruslah kurs yang permanen. Karena bila mengubah-ubah kurs-nya, ia sama saja mempajaki atau memungut nilai e-dinar atau e-dirham masyarakat penggunanya, di mana ia sebetulnya menciptakan kekayaan dari awang-awang (dari ketiadaan). Infrastruktur pencatatan e-dinar dan e-dirham itu sendiri harus menyesuaikan atau melakukan pen-tunai-an simpanan dinar-dirhamnya ke akun-akun tertuju, dalam jadwal-jadwal yang ditentukan berdasarkan pos-pos kas-kas tabungan yang ada di wilayahnya, apakah penyesuaian itu dilakukan perbulan, per-kuartal, per-semester, dan lain-lain. Ia mirip kliring pada bank, tetapi di dalam Islam kliring itu sendiri (catatan mengenainya) bukan dianggap sebagai komoditi (objek dagangan) atau alat pembayaran. Pen-tunai-an hutang adalah hal yang wajib. Oleh karena itu 110

hendaknya ia dilakukan rutin (berdasarkan jadwal) dari aktivitas perdangan yang terjadi sangat cepat, dinamis, rutin. Oleh karena itu semua, bila saja sistem keuangan yang berlaku berlandaskan sistem keuangan yang berlandaskan uang intrinsik; uang berbasis komoditas, Dinar dan Dirham dan sistem keuangan yang berlaku memiliki integritas (tidak curang), tidak ada riba dan inflasi (kenaikan harga oleh karena kecurangan menciptakan kekayaan atau uang mudah dari awang-awang), maka mekanisme keseimbangan, selfadjustment di pasar terjadi secara alami (fitrah) dan bisa berfungsi menegakkan keadilan. Pertambahan mata uang hanya terjadi oleh karena: (1) Perdagangan, (2) Pertambangan emas dan perak, (3) Produksi komoditas tertentu yang menjadi alat tukar secara legal tender (misalnya; gandum, padi, gula, dan lain-lain). Naik turunnya harga yang terjadi dalam mekanisme pasar yang menggunakan uang yang berbasis intrinsik dan uang yang memiliki integritas akan terjadi menurut siklus ekonomibisnis yang alami.

111

VII

KONSEPSI KEUANGAN PUBLIK ISLAM VII.I

Dua Syariat Muammalah Terbesar

S

edekah dalam sudut pandang moral merupakan perbuatan kebajikan, perbuatan yang terpuji, ia adalah perbuatan kemanusiaan, kepedulian terhadap kaum lemah dan cerminan iman, agama manapun pasti akan memandangnya sebagai kebajikan, suatu perbuatan yang luhur, mulia. Agama Islam, sebagai agama yang di-ridho-i Allah, juga mensyaratkan amalan sedekah sebagai tanda keimanan bagi seseorang, belum beriman seseorang bila belum mengeluarkan hartanya untuk kebajikan, ia mewujud ke dalam syariat menjadi anjuran bahkan menjadi kewajiban sebagai syariat zakat dan juga bahkan telah menjadi pilar atau rukun Islam. Di sisi lain, sifat yang berkebalikan dari pada sedekah adalah perbuatan mencuri, memeras, menipu, merampok harta manusia. Dalam sudut pandang moral, ia dianggap sebagai perbuatan buruk yang tercela (pantas dicela) dan pastinya ia dijauhi dan dilarang. Di dalam Al-Quran istilahnya yang lebih umum adalah „memakan harta manusia dengan cara yang batil‟. Syariat pelarangan akan perbuatan ini tidak hanya pada pelarangan untuk mencuri, memeras, menipu misalnya, bahkan perbuatan seperti ini banyak ragamnya yang bersifat sangat sukar dikenali dan ia bisa menjadi penyakit yang menjangkiti suatu masyarakat, karena ia sukar difahami atau dikenali maka Allah subhanahu wa ta‟ala di dalam Al-Quran menggunakan istilah Riba dan memberikan contohnya yaitu „lebihan atas pokok pinjaman‟ (Riba Dayn), di mana Riba termasuk perkara Dosa Besar yang membinasakan. Maka tentunya syariat pelarangan Riba di dalam Al-Quran, menjadi syariat besar dan pokok, bahkan bisa disandingkan dan sama pentingnya dengan syariat kewajiban Zakat. Barangkali, ke-dua-nya adalah syariat yang terbesar di dalam muammalah, tetapi ia bukan hanya yang terbesar, tetapi juga dua syariat yang saling melengkapi, dua syariat yang saling berkaitan dan sifat keduanya saling berlawanan.

112

Begitupun bila peran keduanya dikaitkan dalam ekonomi, keduanya memiliki pengaruh dan cara kerja yang berbeda dan berlawanan tetapi mirip dan berkaitan. Praktik sedekah, mendistribusikan kekayaan dari yang kaya kepada yang miskin, terjadi penyaluran/transfer kekayaan dari yang kaya kepada yang miskin. Adapun praktik Riba membuat distribusi ekonomi dengan cara sebaliknya, ia mendistribusikan kekayaan dari yang miskin kepada yang kaya, terjadi penyaluran/transfer kekayaan dari yang miskin kepada yang kaya. Sementara yang miskin terjebak dalam kemiskinannya bekerja lembur siang-malam dan abadi, yang kaya berterusan kaya dan menikmati leisure (waktu luang) yang melimpah, abadi. Defenisi Riba menurut Al-Quran adalah; “pertambahan harta (ziyadah) (Quran, Surat Ar-Rum 30: 39), yang diperoleh atas jerih payah orang lain dengan cara yang tidak benar (batil) (Quran, Surat An-Nisa 4: 29 dan 160-161)”. Di antara Riba yang paling berbahaya adalah Riba Nasi‟ah: Riba Qardh atau Riba Dayn; „lebihan‟ yang dipungut atau dituntut atas pokok pinjaman atau dana pembayaran yang tertangguh (Quran, Surat Al-Baqarah 2: 278-279), karena ia sukar dikenali (kejahatannya). Begitu pula gharar (transaksi tidak jelas) dan maysir (judi, tidak ada kaitan antara keuntungan yang diperoleh dengan aktivitas usaha yang riil) adalah Riba dalam bentuk lainnya. [Sebagaimana Riba defenisinya adalah; ziyadah atau lebihan harta yang diperoleh atas jerih payah orang lain tanpa kompensasi atau timbal balik atau bayaran yang setimpal. Adapun Sedekah berkebalikan dengan Riba maka defenisinya adalah; ziyadah atau lebihan harta yang diberikan untuk orang yang berhak menerimanya tanpa timbal balik atau kompensasi atau bayaran yang setimpal. Bedanya; Riba akan beroleh dosa besar, sedekah akan beroleh pahala besar] VII.II

Lawan Dari Riba Adalah Sedekah Bila pengkajian dilakukan pada Al-Quran dalam Surat Al-Baqarah 2: dari 260 hingga 280. Mulai dari ayat 260 hingga 274 Allah berfirman tentang kebajikan infaq, kemudian mulai dari ayat 275 hingga 280 Allah berfirman dengan pencelaan dan pengecaman atas amalan riba, tetapi Allah sambil mengunggulkan dan memuji amalan sedekah dan zakat di ayat 276 dengan kalimat „Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah‟ sebagai puncak yang menyiratkan perbandingan sekaligus menggulkan sedekah atas riba. Pengkajian QS.Al-Baqarah 2: 260-280 memberi isyarat bahwa lawan dari riba adalah sedekah, zakat, infaq. Konsekuensi dari kesimpulan ini, membentuk dan mestinya mengubah pemahaman „lawan dari riba adalah jual-beli‟; sebagai pemahaman yang salah. Karena ayat „Allah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba‟ (QS.2: 275) bukan mengindikasikan jual-beli sebagai lawan dari riba, tetapi ia sebagai ayat yang menyiratkan bahwa jual-beli dan Riba serupa tetapi berbeda di mana sebelum itu 113

Allah berfirman „orang-orang yang memakan Riba itu karena mereka mengatakan; „sesungguhnya jual-beli itu sama saja dengan Riba‟, berdasarkan ini bahkan Riba dan Jual Beli sama atau mirip atau susah dikenali. Sehingga pertanyaannya, jika memang jual-beli adalah lawan dari riba, adakah jualbeli dapat mengatasi masalah riba? adakah jual-beli dapat mengganti atau mensubtitusi peran riba? menjadi alternatif dari pada riba? Bila pelarangan riba itu sendiri menghadapi dilematika unik yang dihasilkannya? Sebagaimana „Konsepsi Keuangan Islam‟ yang wujud saat ini, dibuat berdasarkan pemahaman bahwa; „jualbeli adalah lawan dari riba!‟, sehingga sistem keuangan Islam yang dibangun terlalu banyak mengaplikasikan akad-akad niaga (murabahah, salam, ististna) dan akad-akad kerjasama (musyarakah, mudharabah) dan bahkan yang sudah dimodifikasi akadakadnya. Bila ternyata jual-beli itu tidak dapat mengatasi masalah riba, tidak dapat menjadi alternatif dari pada riba, maka sepatutnya kita mencari petunjuknya pada sedekah; karena sedekah itulah lawan dari pada riba, Allah membuat susunan kalimat ayatNya (Quran, Surat Al-Baqarah 2: 260-280) yang menunjukkan sedekah, zakat, infaq adalah lawan dari riba. VII.III

Dilematika Pelarangan Riba Apabila pelarangan Riba dari Allah dan RasulNya telah disampaikan, terdapat beberapa bantahan dan alasan-alasan dilematika yang berlaku dari pelarangan riba. Beberapa dari kalangan ummat Islam beralasan tidaklah ada satu solusi pun dari keuangan Islam yang bisa menggantikan keuangan yang berlaku dengan cara riba (pinjaman berbunga) dalam memenuhi hajat-hajat keuangan (dari kepraktisannya, dan juga tidak berbelit-belit), juga dengan sikap skeptis bahwa tiada satupun solusi dari Islam yang bisa menyamai efisiensi sistem keuangan ribawi ini dalam keperluan sehari-hari. Selain dari pada itu banyak juga yang mem-fatwa bunga pinjaman adalah halal dengan berbagai dalih. Di kubu seberangnya dari ummat Islam, mencoba mengurai dan mengatasi dilematika persoalan riba, mereka mencoba setia merujuk kepada Al-Quran dan Ahadits, dan mereka berkesimpulan dan berpendapat bahwa jalan lain (alternatif) yang dapat digunakan untuk menghindari keuangan ribawi itu dalam memenuhi hajat-hajat keuangan hanyalah dengan jalan menggunakan „kontrak‟ atau akad yang dihalalkan Allah, yaitu kontrak-kontrak niaga (murabahah, salam, ististna) dan kontrak-kontrak kerjasama (musyarakah, mudharabah), dan lain-lain. Dengan solusi itu, rupanya dilematika tidak hilang begitu saja, masih ada masalahmasalah. Di antaranya; 114

Yang pertama, akad-akad syariah; akad-akad niaga dan kerjasama itu bila bersaing di dalam sistem ekonomi yang riba dilegalkan, ia menjadi sepi peminat dan pilihan orang kebanyakan tidak bisa berpaling dari kemudahan sistem keuangan ribawi, karena keuangan ribawi telah dibangun dengan menawarkan kemudahan yang lebih dari pada apa yang bisa di lakukan akad-akad yang dikatakan syariah itu dan juga keuangan konvensional bersifat to the point tidak berbelit-belit, maka kemudian akad-akad syariah banyak melakukan modifikasi dan kombinasi (financial engineering) untuk mengejar kecanggihan yang bisa dilakukan sistem keuangan ribawi dan berupaya bisa melebihi dari padanya dengan prinsip “tanpa adanya bunga”. Tetapi dengan praktik “islamic finance” yang seperti ini, objektif kebutuhan ummat; „menghindari riba‟ tetap tidak tercapai, karena ketika lembaga-lembaga keuangan syariah itu memodifikasi dan mengkombinasikan akad-akad niaga dan kerjasama itu pada akhirnya juga akan jatuh kepada akad-akad yang bersifat ribawi, di mana di dalam Islam ada rambu-rambu yang mestinya tidak dilanggar; „tidak boleh ada 2 akad dalam 1 transaksi, 1 akad hanya untuk 1 transaksi‟, bila ternyata akad-akadnya dikombinasikan maka ia sudah menggabungkan banyak akad ke dalam satu paket transaksi. Yang kedua, kebutuhan keuangan berupa pinjaman tidaklah sama dengan kebutuhan keuangan berupa investasi, permasalahan ini membuat dilematika bagi keuangan islam („islamic finance‟) di manapun hari ini, yang keuangan Islam itu pada akhirnya mencari solusi yang terkesan memaksakan keuangan yang sejatinya lebih bersifat „investasi‟ menjadi keuangan yang bersifat „pinjaman‟ atau sebaliknya memaksakan pinjaman menjadi investasi. Pemaksaan ini tidak hanya bersifat janggal dan rancu tapi juga rentan menjadi transaksi yang sama saja zalim dan bersifat ribawi juga. VII.IV

Sifat Strategis Sedekah Terhadap Riba Sedekah (shadaqah) dalam makna umumnya bisa dipahami sebagai perbuatan baik apa saja yang dikorbankan oleh seseorang secara sukarela baik kecil atau besar, bahkan dzikir dan puji-pujian kepada Allah; tasbih, tahmid, tahlil bernilai sedekah, sedekah bisa juga berbentuk derma atau pertolongan dari seorang manusia kepada manusia lainnya dalam bentuk apapun, bahkan sekedar menampakkan senyum pun kepada saudara sesamanya adalah sedekah. Tetapi sedekah dalam makna khusus ia adalah derma dalam bentuk uang atau harta. Sedekah dalam bentuk uang yang digunakan untuk keperluan-keperluan disebut sebagai sedekah infaq (pengeluaran), baik keperluan individu atau kelompok atau umum. Sedekah harta atau sedekah infaq yang diwajibkan oleh Allah menjadi syariat ialah zakat, di mana ketentuan-ketentuannya ditentukan oleh syariat (nisab, kadar dan haul, jenis harta dan lain-lain) dan ia berfungsi untuk membersihkan 115

harta dan jiwa seorang muslim dari kekikiran, ke-bakhil-an dan kekotoran, karena Allah telah menetapkan di dalam suatu harta ada hak untuk orang-orang lemah, faqir dan miskin (Quran, Surat Adz-Dzariyat 51: 19, Quran, Surat Al-Ma‟arij 70: 24). Sedekah infaq berupa harta atau asset yang tidak sekali habis sekali dikonsumsi dan dapat memberikan manfaat secara terus menerus dan berkelanjutan ia disebut sedekah waqaf. Misalnya; pembelian sumur yang dilakukan oleh sahabat Rasulullah Utsman Bin Affan ‫ ر‬dari orang yahudi, dan sumur itu disedekahkan kepada masyarakat Madinah dan ia terus menerus memberikan manfaat, tanpa pernah kehabisan manfaatnya, ia adalah sedekah waqaf. Atau perkebunan yang diwaqafkan untuk umum, dan selama perkebunan itu terus dirawat dan produktif menghasilkan, hasil perkebunan itu digunakan untuk menyedekahi faqir dan miskin, ia adalah sedekah waqaf. Selain dari pada itu, ayat-ayat Al-Quran telah banyak menganjurkan kaum beriman untuk meminjamkan harta kepada Allah (harta di jalan Allah) (Quran, Surat AlBaqarah 2: 225, 278-280, Quran, Surat Al-Maidah 5: 12, Quran, Surat Al-Hadid 57: 10-11, 18, Quran, Surat At-Taghabun 64: 16-17, Quran, Surat Al-Muzzammil 73: 20), ia disebut sebagai Qardh-ul Hasan (pinjaman kebaikan). Pinjaman kebaikan dapat pula diberikan kepada saudara se-iman atau saudara kemanusiaan, ia adalah suatu pinjaman yang ikhlas tanpa mengharap imbalan, atau suatu pinjaman yang ikhlas tanpa tempo tertentu yang diberikan kepada orang lemah (faqir dan miskin), sehingga bila ia mampu melunasinya sajalah baru dikembalikan, atau malah diikhlaskan sama sekali bila ia tak mampu membayarnya. Bila dipandang dari sudut pandang sedekah, pinjaman Qardh-ul Hasan juga merupakan perbuatan baik, ia juga adalah sedekah. Dalam kegiatan bermuammalah pada dasarnya, hutang-piutang itu hampir tidak dapat dihindari dan sering terjadi. Misalnya adalah pada jual-beli sering didapati jual-beli tertangguh (kredit), baik yang tertangguh itu adalah barangnya atau uangnya. Kasus jual-beli tertangguh ini sejatinya adalah sebuah fenomena hutangpiutang. Oleh karena ia adalah perkara yang sering terjadi dan hampir tidak dapat dihindari, itulah mengapa perkara utang di dalam Al-Quran, peraturan yang Allah turunkan mengenainya sangat ketat (Quran, Surat Al-Baqarah 2: 282-283) untuk memastikan tidak terjadi kezaliman (ketidakadilan) bahkan ia menjadi ayat yang paling panjang dari seluruh ayat di dalam Al-Quran. Riba di sisi lain, telah dimanfaatkan mereka yang menghalalkannya, ia menyusup kedalam kegiatan utang piutang ini (Riba Dayn) untuk memperoleh keuntungan. Riba menjadi senjata dan bersifat strategis dan efektif bagi penggunanya untuk membangun kekuasaan dan kekuatan untuk memperhamba manusia, tetapi 116

kekuasaan yang dibangun lewat Riba adalah kekuasaan yang zalim dan menindas, yang disetir oleh sifat tamak (gila) kekuasaan dan kekayaan. Di satu sisi bila kita merujuk kepada ayat-ayat Al-Quran (Quran, Surat Al-Baqarah 2: 260-280), ia mengisyaratkan bahwa Allah telah meng-unggul-kan sedekah dari pada Riba. Karena kalimat ayat-ayat Allah memperlihatkan pertentangannya, di mana sedekah merupakan anti-thesis terhadap Riba, dan bukan hanya pertentangan tetapi juga sedekah lebih baik dari pada Riba. Seolah memperlihatkan bahwa sedekah bukan hanya solusi, alternatif, subtituer (pengganti) dari pada Riba, tetapi ia bisa melawan dan mengatasi Riba, bila Riba telah digunakan oleh syaitan sebagai strategi untuk membangun kekuasaan, menaklukan dan memperhamba manusia dan orang-orang beriman, sedekah bisa mengatasi kerusakan-kerusakan (fasad) yang dibuat oleh sistem Riba itu. Lalu sedekah jenis manakah yang bisa berfungsi sebagai solusi, subtituer, senjata yang digunakan untuk melawan Riba secara langsung? Maka kiranya bila kembali kepada Al-Quran, Allah berfirman: Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa Riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), Maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), Maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak Menganiaya dan tidak (pula) dianiaya. Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, Maka berilah tangguh sampai Dia berkelapangan. dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui. (Quran, Surat Al-Baqarah 2: 278-280)

Sedekah yang bisa berfungsi sebagai solusi, subtituer, senjata yang digunakan untuk melawan Riba (Dayn atau Qardh) secara langsung adalah pinjaman kebaikan (Qardh Hasan). Hal ini karena bentuk sedekah yang diberikannya adalah pinjaman tanpa imbalan (bunga), sementara Riba Dayn atau Riba Qardh berlaku dengan imbalan (bunga), bila saja keduanya bertarung dalam suatu pasar, maka tentu saja pinjaman tanpa bunga akan membuat pinjaman berbunga tidak laku, dan membuat usaha pinjaman ribawi collaps. Tetapi syaratnya, bila saja Qardh Hasan berlaku secara massif dan luas sama besarnya dengan perbankan dan lembaga keuangan yang ada pada saat ini di mana ia berlaku secara massif dan luas. Begitupun dengan sedekah-sedekah dalam bentuk yang lain, juga akan memperbaiki kerusakan-kerusakan yang dibuat oleh sistem riba seperti; ketimpangan sosial, kemiskinan, kriminalitas (amoral), kekufuran. Bila saja sedekah zakat, sedekah infaq dan sedekah waqaf berlaku secara massif dan luas.

117

VII.V

Dilematika Penerapan Qardh-Hasan Perbantahan dan alasan-alasan dilematika Qardh-Hasan itu secara umumnya ada dua: 1. Dalam ranah mikro (entitas individu atau rumah tangga dan entitas bisnis), qardh hasan sulit berjalan karena jarang yang akan melakukan atau menyediakan, memberikan pinjaman tanpa imbalan, selain dari pada itu apabila Qardh Hasan dijalankan oleh lembaga keuangan Islam yang ada saat ini (misalnya BMT, koperasi syariah, atau Baitulmal bank syariah), Qardh Hasan memiliki porsir dan ruang yang minim karena lembagalembaga keuangan Islam itu lebih berorientasi pada ranah bisnis dan profit (bukan amal atau tabarru‟). 2. Qardh Hasan adalah hutang-piutang, argumennya akan terdengar; di dalam Islam hutang-piutang hendaknya dihindari karena mendapat peringatanperingatan dalil-dalil syar‟i mengenai keburukan utang. Dilematika yang pertama jelas saja, Qardh Hasan sulit berlaku dalam mikro ekonomi oleh karena (1) tidak adanya imbalan, (2) tidak ada jaminan akan dana, (3) tidak ada sistem yang mendukung dan lain sebagainya, paling minimal Qardh Hasan itu hanya bisa berlaku antar kerabat yang saling percaya. Dan juga jelas saja, Qardh Hasan memiliki porsir dan ruang yang minim dalam „lembaga keuangan islam‟ yang ada saat ini (Bank Syariah, Koperasi Syariah, BMT, dan lain-lain) oleh karena „lembaga keuangan islam‟ tersebut memang lebih berorientasi pada ranah bisnis dan profit, hal ini tidak bisa dipungkiri dan dihindari oleh lembaga keuangan tersebut dari sifat bisnisnya karena juga lembaga keuangan itu memiliki tuntutan untuk menutupi tanggungan dan biaya operasional institusinya yang pada akhirnya asset keuangan yang dimiliki lembaga keuangan tersebut lebih banyak digunakan untuk alokasi dana yang bersifat profitable dibandingkan untuk memberikan fasilitas pinjaman (Qardh Hasan) yang tidak memiliki imbalan dan keuntungan keuangan. Berdasarkan ini sebetulnya, apabila ingin menjadikan Qardh Hasan bisa diterapkan dan berlaku secara luas, sebetulnya ia memerlukan; (1) Penutupan ongkos/biaya operasional, (2) Jaminan akan dana (mencegah dari gagal bayar), (3) Harus ada sistem yang baik (yang bisa mengantisipasi celah atau kelemahan sistem; di mana pinjaman Qardh bisa disalah gunakan). (4) dan Qardh Hasan tidak bisa berjalan berdasarkan institusi yang berorientasi profit, ia harus dijalankan oleh institusi keuangan asli (genuine) di dalam Islam (yaitu Baytulmal yang dijalankan oleh otoritas khalifah; atau kepala pemerintahan Islam).

118

Adapun dilematika yang kedua dari penerapan Qardh-Hasan, adalah pendapat bahwa; utang harus dihindari. Untuk hal ini barangkali memerlukan penelitian yang lebih cermat lagi dari studi Al-Quran dan Ahadits, mengenai masalah hutangpiutang di dalam Islam. Adakah berhutang itu dilarang?, bagaimanakan tata cara dan aturan hutang-piutang itu di dalam Islam? dan juga banyak dalil-dalil yang memperingatkan perihal utang piutang. Adapun bila melihat kenyataan bermuammalat, pada dasarnya hutang-piutang adalah perkara yang sulit dihindari, dalam berniaga, penangguhan sering terjadi dalam bermuamalah, hal ini adalah masalah alami oleh karena jarak distribusi yang berlangsung dan semakin cepatnya alat komunikasi menghubungkan antar klien. Walaupun demikian, adalah panduan moral yang betul, perkara berhutang adalah hal perlu dihindari. Tetapi kiranya, tidak ada salahnya jika infrastruktur keuangan; fasilitas pinjaman tanpa imbalan (Qardh Hasan) disediakan oleh khalifah (amir atau pemerintah), berdasarkan pertimbangan; 1. Untuk mengatasi gap/masalah-masalah utang-piutang yang sering terjadi dan mustahil dihindari di dalam muammalah, 2. Mencegah keuangan ribawi (riba dayn) berlaku sebagai solusi (bak pahlawan) menyusupi dan memanfaatkan celah atau mengeksploitasi celah dari masalah alami muammalah; yaitu fenomena utang-piutang, 3. Pinjaman tanpa imbalan (Qardh Hasan) adalah strategi (perang) ekonomi (sebagai senjata) yang bisa dimanfaatkan oleh orang beriman untuk memusnahkan praktik riba. Akan tetapi agar ia bisa berlaku Ummat Islam perlu mememenuhi syarat atau apaapa yang diperlukan untuk membuatnya bisa berjalan sebagai mana yang telah diterangkan. Adapun dalam membangunkan sistem dan infrastruktur keuangan tersebut perlu memperhatikan ayat yang terkait aturan mengenai utang-piutang dan menjadikannya sebagai landasan dalam membangun sistemnya, Allah berfirman: (Quran, Surat Al-Baqarah 2: 282) “Wahai orang-orang yang beriman, (1) jika kalian berhutang dengan utang tertangguh sampai tempo yang ditentukan maka tulislah, (2) hendaklah seseorang penulis diantara kamu menuliskannya dengan benar, (3) janganlah penulis menolak untuk menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkan kepadanya maka hendaklah dia menuliskan, (4) dan hendaklah seseorang yang berhutan itu men-dikte-kan, (5) dan hendaklah dia (yang berhutang itu) bertakwa kepada Allah Tuhannya (dalam hal mendiktekan jumlah utangnya), (6) dan janganlah dia mengurangi sedikitpun (hutang) dari padanya, (7) jika yang berhutang itu orang yang kurang akalnya atau lemah (keadaannya) atau tidak mampu mendiktekan sendiri, hendaklah walinya mendiktekannya dengan benar, (8) dan persaksikanlah dengan dua orang saksi laki-laki diantara kamu, (9) jika tidak ada (saksi) dua orang laki-laki, maka (boleh) seorang laki-laki dan dua orang perempuan di antara orangorang yang kamu redhai dari para saksi (yang ada), (10) agar jika yang seorang lupa maka yang seorang lagi mengingatkannya, (11) dan janganlah saksi-saksi itu menolak apabila dipanggil, (12) dan janganlah kamu bosan menuliskannya, untuk batas temponya (baik utang itu) kecil maupun besar, yang demikian itu lebih adil disisi Allah, lebih dapat menguatkan kesaksian dan lebih mendekatkan kamu kepada ketidakraguan, (13) kecuali jika hal itu merupakan perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tidak ada dosa bagi kamu tidak menuliskannya, (14) dan ambillah

119

saksi apabila kamu berjual-beli, (15) dan janganlah penulis dipersulit dan begitu juga saksi, jika kamu lakukan yang demikian maka sungguh hal itu suatu kefasikan pada kamu, dan bertakwalah kepada Allah, Allah memberikan pengajaran kepadamu dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. (Quran, Surat Al-Baqarah 2: 283) (16) dan jika kamu dalam perjalanan sedang kamu tidak mendapatkan seorang penulis maka hendaklah ada barang jaminan yang dipegang, (17) tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagaian yang lain, hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (utangnya), (18) dan hendaklah dia bertakwa kepada Allah, tuhannya, (19) dan janganlah kamu menyembunyikan kesaksian, karena barang siapa menyembunyikannya sungguh hatinya kotor (berdosa), Allah maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.

Adapun bila berangkat kepada Ahadits ada beberapa hal yang dapat disimpulkan; 1. Seorang yang syahid tidak akan diterima selama memiliki hutang, kecuali hutang itu ada yang menjaminkan untuk melunasi atau si pemilik piutang mengikhlaskan hutang yang dimiliki si syahid. HR. Tirmizi, dari Abdullah bin Amr bin al-Ash ‫ ر‬: “Orang yang mati syahid diampuni seluruh dosanya, kecuali utang”

HR. Ibnu Hibban, dari Jabir ‫ ر‬: “Seorang laki-laki meninggal dunia dan kami pun memandikan jenazahnya, lalu kami mengkafaninya dan memberinya wangi-wangian. Kemudian kami datang membawa mayit itu kepada Rasulullah

‫ز‬. Kami berkata, „shalatkanlah jenazah ini‟. Beliau melangkahkan

kakinya lalu bertanya, „apakah dia mempunyai tanggungan utang?‟ kami menjawab, „Dua dinar‟. Lalu beliau pergi. Abu Qatadah kemudian menanggung utangnya, kemudian kami datang kepada beliau lagi, kemudian Abu Qatadah berkata, „dua dinarnya saya tanggung‟. Maka Rasulullah

‫ ز‬bersabda „kamu betul akan menanggung sehingga mayit itu terlepas

darinya? Dia menjawab, „ya, maka Rasulullah pun menshalatinya. Kemudian setelah hari itu Rasulullah

‫ ز‬bersabda, „apakah yang telah dilakukan oleh dua dinar tersebut?‟ maka

Abu Qatadah berkata, „sesungguhnya ia baru meninggal kemarin‟, Jabir berkata, „maka Rasulullah mengulangi pertanyaan itu keesokan harinya. Maka Abu Qatadah berkata, „aku telah melunasinya wahai Rasulullah‟ maka Rasulullah bersabda, „sekarang barulah dingin kulitnya”

2. Meleha-lehakan pembayaran utang padahal ia memiliki kemampuan membayar merupakan salah satu bentuk kezaliman juga. HR. Bukhari dan Muslim, dari Abu Hurairah ‫ ر‬: “Menunda pembayaran utang dalam kondisi mampu adalah suatu kezaliman, dan jika salah seorang diantara kalian diikutkan kepada orang yang mampu, maka hendaklah dia mengikutinya”

120

3. Si pemberi pinjaman tidak boleh mensyaratkan imbalan dan si penerima pinjaman tidak boleh melehakan pembayaran dari tempo yang sudah disepakati. HR. Sunan Baihaqi, dari Fadalah bin Ubayd ‫ ر‬: “Setiap utang yang (disyaratkan atau dituntut) ada lebihan atau manfaat maka ia adalah riba”

4. Si pemberi pinjaman yang tidak mengambil imbalan, akan mendapat ganti pahala dari Allah (Quran, Surat Al-Baqarah 2: 280, Quran, Surat Ar-Rum 30: 39, Quran, Surat Al-Baqarah 2: 225, 278-280, Quran, Surat Al-Maidah 5: 12, Quran, Surat Al-Hadid 57: 10-11, 18, Quran, Surat At-Taghabun 64: 16-17, Quran, Surat Al-Muzzammil 73: 20) 5. Penggunaan dana pinjaman tidak boleh digunakan untuk tujuan bermewah-mewah, tabdzir (berboros ria), bermaksiat kepada Allah dan RasulNya, dan sebagai dana untuk kekuatan perang melawan Islam, melawan Allah dan RasulNya dan membela kaum kafir (harbi), dan melanggar „tatanan moral‟ yang ada. Berdasarkan ini sistem keuangan Islam untuk menyediakan infrastruktur keuangan pinjaman Qardh; perlu menerapkan (1) Pencatatan dalam setiap transaksi adalah wajib (Quran, Surat Al-Baqarah 2: 282), (2) Apabila seseorang berhutang hendaknya ada jaminannya (fa rihanu maqbudhoh) (Quran, Surat Al-Baqarah 2: 283) atau ada referensi penjaminnya kalau tidak ada maka penjaminnya tidak lain adalah si pemberi pinjaman tersebut (mengikhlaskannya), (3) Harus ada sistem yang mencegahnya gagal bayar, (4) harus ada sistem yang mencegah penggunaan dananya disalahgunakan. Oleh karena itu, untuk menyediakan infrastruktur pinjaman kebaikan (Qardh Hasan), ia harus bisa menutupi semua masalah-masalah yang telah disebut kan diatas. VII.VI

Penerapan Qardh-Hasan Yang Memungkinkan Beberapa poin sebelumnya yang menjadi poin-poin pokok yang perlu ada untuk mewujudkan penerapan Qardh-Hasan yaitu; perlunya (1) penutupan ongkos atau biaya operasional, (2) perlunya jaminan dana, (3) sistem yang baik (terbebas dari celah-celah kelemahan sistem), (4) dijalankan oleh institusi yang tidak berorientasi profit. Kemudian poin-poin berikut yang harus dipenuhi: (1) pencatatan dan pelaporan keuangan yang lengkap dan terstandar (Quran, Surat Al-Baqarah 2: 282), (2) adanya jaminan (Quran, Surat Al-Baqarah 2: 283) dan penjamin (penanggung), 121

(3) adanya sistem yang mencegah gagal bayar, (4) adanya sistem yang mencegah penyalahgunaan dana. Untuk institusi yang menjalankan penyediaan fasilitas dana Qardh; ada dua pilihan yang tersedia untuk menerapkan Qardh-Hasan, yang pertama; (dalam skala negara atau makro) fasilitas pinjaman Qardh-Hasan merupakan infrastruktur keuangan yang disediakan oleh otoritas Institusi keuangan Khalifah (yaitu Baytulmal), yang didanai dari sumber-sumber keuangan Baytulmal alokasi keperluan umum baik itu dari pajak-pungutan atau dari sedekah dengan biaya-biaya operasionalnya juga ditanggung oleh Baytulmal (lebih lanjut lihat di Bab 9: Permodalan; Infrastruktur Keuangan dan Bab 11: Ekonomi Makro: Kontrol Kebijakan dan Pembangunan). Adapun yang kedua; bila kekhalifahan (serta otoritas keuangan Baytulmal-nya) belum wujud, (dalam skala mikro) alternatif lainnya sebetulnya Qardh-Hasan bisa berjalan berasaskan badan waqaf (berbasis waqaf). Di mana sumber dana diperoleh dari dana waqaf atau hibah para aghniya atau hibah dari institusi tertentu, adapun alokasi dana waqaf umumnya bisa dialokasikan kepada alokasi-alokasi yang beragam; waqaf biasa, waqaf produktif, waqaf tunai. Namun agar badan waqaf bisa menerapkan Qardh-Hasan, beberapa alokasi dana waqaf yang diperlukan yaitu alokasi waqaf produktif dan alokasi waqaf tunai. Alokasi dana waqaf produktif bisa dialokasikan kepada unit-unit usaha yang produktif di mana hasil usahanya dikembalikan untuk membiayai operasional-operasional, adapun alokasi dana waqaf tunai bisa dialokasikan untuk menyediakan dana pinjaman Qardh-Hasan sebagai „dana pinjaman bergulir‟ (revolving loan funds) untuk keperluan mashlahat ummat, atau anggota jamaah tertentu (untuk skala kecil). Adapun sistem yang dibangunkan, sebagai contohnya. Di antara sistem yang dapat mencegah gagal bayar dan mencegah penyalahgunaan dana adalah sebagai berikut: a. Adanya jaminan (barang yang dijaminkan) dan penjamin (penanggung) (Quran, Surat Al-Baqarah 2:283) HR. Bukhari dan Muslim, dari Aisyah ra. : “Rasulullah ‫ ز‬telah membeli 30 sha‟ barli (jewawut) kepada seorang Yahudi dengan pembayaran tertangguh yang dijamin (digadai) dengan baju besi”

b. Adanya sistem survey yang rutin dan auditor laporan keuangan di mana si peminjam mesti bekerja di bawah pengawasan institusi pemberi fasilitas pinjaman, yaitu badan waqaf penyedia dana Qardh tersebut. c. Adapun penggunaan dana harus sesuai dengan etika pemanfaatan dana, misalnya; a) Dibolehkan untuk kebutuhan dasar rumah tangga (baik jangka pendek atau jangka panjang) 122

b) Kegiatan produktif atau usaha yang halal atau sesuai yang digariskan oleh institusi pemberi pinjaman misalnya; khusus untuk usaha pertanian atau usaha perdagangan, atau usaha-usaha yang tidak menyalahi moral-moral tertentu misalnya; untuk usaha yang bersifat mengkonservasi atau memperbaiki lingkungan, kehutanan, dan lain-lain (oleh institusi keuangan yang bergerak dibidang pengkonservasi lingkungan). c) Dibolehkan untuk talangan utang-piutang perniagaan atau usaha yang halal. d) Pemberian pinjaman tidak boleh digunakan untuk: i. Bermewah-mewahan ii. Tabdzir iii. Bermaksiat (melanggar larangan Allah atau meninggalkan yang wajib) iv. Membina kekuatan untuk memerangi Islam v. Dan lain-lain e) Apabila pinjaman digunakan untuk hal yang ilegal atau tidak sesuai ketentuan di atas maka: i. Berlaku pelunasan pinjaman instan tanpa tempo waktu (uang pinjaman ditarik kembali) ii. Bila pelunasan tidak terjadi maka berlaku pencairan asset (yang dijaminkan) untuk pelunasan sesuai nilai pinjamannya. iii. Bila tidak ada asset yang dicadangkan/dijaminkan maka penanggungnya yang melunasinya iv. Bila tidak ada juga jaminan dan penjaminnya maka diserahkan kepada penegak hukum (bila didukung oleh hukum) f) Ketentuan peminjam reguler atau umum (untuk kaum yang berpunya): i. Kewajiban melunasi pinjaman saat tempo yang ditentukan ii. Menjaminkan asset tertentu untuk mencegah gagal bayar iii. Boleh mengajukan permohonan tambahan tempo atas syarat dan udzur yang dibenarkan iv. Pencairan asset untuk pelunasan pinjaman yang gagal dibayar sesuai jumlah pinjamannya g) Ketentuan peminjam khusus (untuk kaum dhuafa atau tak berpunya): i. Kewajiban melunasi pinjaman saat tempo yang ditentukan ii. Pengajuan pinjaman tanpa perlu menjaminkan asset bila tidak ada asset yang dijaminkan iii. Boleh mengajukan permohonan tambahan tempo atas syarat dan udzur yang dibenarkan iv. Pembebasan pinjaman atau utang apabila adanya udzur yang dibenarkan (sah) dan sebagai jalan terakhir.

123

Itulah sebagai contohnya, yang demikian hanyalah contohnya saja. Dengan pinjaman Qardh-Hasan merupakan murni pinjaman kebaikan, bunga 0%, yang ongkos operasionalnya ditanggung oleh; Baytulmal pemerintah (khalifah) (untuk penerapan secara makro), atau ditanggung oleh unit usaha waqaf produktif (untuk penerapan secara mikro). Sifat Strategis Infrastruktur Dana Qardh (Qardh-Hasan Revolving Loan Funds) Apabila fasilitas dana Qardh bisa disediakan dan bisa berjalan maka ia bisa berfungsi strategis sebagai: 1. Insentif Ekonomi (baik diterapkan untuk skala kecil dan mikro atau makro) 2. Subtitutor atau pengganti fasilitas pinjaman keuangan ribawi 3. Sebagai strategi (atau senjata) ekonomi dan keuangan untuk memerangi Riba atau memusnahkan Riba

124

VIII

BAYTULMAL VIII.I

Baytulmal

I

nstitusi keuangan yang otentik dan asli dalam tradisi Islam adalah Baytulmal. Baytulmal artinya „rumah keuangan‟ atau „rumah harta‟, fungsi dan kegunaan Baytulmal adalah menampung harta atau keuangan yang bersifat publik yang digunakan untuk keperluan publik untuk menyediakan pelayanan atau untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dalam melaksanakan kewajiban-kewajiban masyarakat Islam, negara Islam (khilafah) dan agama Islam. Kebutuhan keberadaan Baytulmal pertama kali dalam masa awal-awal Islam adalah ketika ummat muslim memperoleh ghanimah (harta hasil perang) untuk pertama kali, dan bersilang pendapat mengenai pembagiannya (Quran, Surat Al-Anfal 7: 1). Kemudian seiring berjalannya masyarakat Islam, berkembang fungsinya juga untuk mengelola (pemasukan dan pengeluaran) semua jenis keuangan publik masyarakat Islam, di antaranya yang paling utama adalah pengelolaah sedekah-wajib; Zakat. Institusi Baytulmal adalah Institusi keuangan yang unik yang berbeda dari semua Institusi keuangan yang pernah ada. Baytulmal sejatinya bukan semata-mata pengelola dana amal bukan juga lembaga keuangan komersil. Baytulmal adalah otoritas keuangan publik tertinggi di dalam sistem keuangan Islam yang diwewenangi langsung oleh Khalifah. Baytulmal memiliki sistem perpajakan yang unik yang tidak sama dengan sistem fiskal modern, Baytulmal bahkan bisa memperankan peran kebijakan moneter modern; stabilitas ekonomi dan keuangan, dan melonggarkan atau mengetatkan suplai jumlah uang beredar lewat infrastruktur keuangan; fasilitas qardh. VIII.II

Sistem Perpajakan Islam (Islamic Taxation)

Sistem perpajakan Islam yang dijalankan oleh Baytulmal sejatinya adalah sistem perpajakan yang mengkombinasikan keuangan pajak (pungutan yang bersifat 125

memaksa atau wajib), sedekah (derma sukarela) dan jasa atau barang publik komersil [berasas timbal-balik, usaha milik umum atau negara (waqaf produktif) yang dikelola Baytulmal]. Oleh karena itu dalam sistem fiskal Islam, terdapat tiga jenis harta yang dikelola. (1) Yang pertama adalah bagian harta sedekah [sukarela] dan (2) yang kedua adalah bagian harta pajak [pungutan wajib], adapun (3) yang ketiga barangkali ia adalah infrastruktur, fasilitas publik, barang publik yang bersifat komersil (berasas timbal balik) atau bertarif [non-gratis atau komoditi unit usaha dari wakaf-produktif yang dikelola oleh Baytulmal]. VIII.III

Sedekah Baytulmal mengelola berbagai bentuk sumber perolehan harta sedekah. Syariat sedekah di dalam Islam ada yang wajib dan ada yang mandub (anjuran atau sunnah). Harta sedekah yang dikelola Baytulmal yang paling terutama sekali adalah sedekah yang diwajibkan syariat yaitu zakat. Adapun yang lainnya bersifat anjuran dan memiliki keutamaan tersendiri yaitu; sedekah infaq dan sedekah waqaf. Tabel 8.1 Tabel Zakat dan Khumus Jenis Harta Zakat Zakat Emas Zakat Perak Zakat Pertanian Zakat Komoditas atau Perdagangan (Usyr) Khumus Pertambangan dan Barang Temuan (Rikaz) Ternak:

Nishab 20 Dinar atau 93.6 gram emas 200 Dirham atau 624 gram perak 5 wasq atau 653 kg 20 Dinar atau 93.6 gram emas



Haul

Kadar Zakat

Setahun

2.5%

Setahun

2.5%

Seketika waktu panen

5% Dengan Teknologi 10% Tadah Hujan

Setahun

2.5% (seperempat usyr; ¼.1/10)

Seketika waktu ditemukan

20% (khums; 1/5)

Unta

5 ekor

Setahun

Sapi atau Kerbau

30 ekor

Setahun

Kambing atau Domba

40 ekor

Setahun

1 ekor kambing atau domba 1 ekor anak sapi (masuk umur 2 tahun) 1 ekor kambing atau domba

Zakat: zakat adalah sedekah (derma) sekaligus pajak (pungutan wajib) atau dengan kata lain sedekah yang wajib. Allah Yang Maha Raja dan Maha Pemilik Kerajaan mewajibkan zakat kepada kaum muslimin, dan menjadikannya sebagai salah satu 126

pilar Islam (rukun islam) (Quran, Surat At-Taubah 9: 103). Zakat secara ritualis berfungsi sebagai pembersih kekikiran dan kotoran pada jiwa dan harta manusia, di mana pada harta seorang muslim ada hak untuk orang-orang faqir dan miskin. Zakat secara ekonomi berfungsi untuk mendistribusi ulang kekayaan dari yang kaya kepada yang miskin, sehingga ia berdampak mempertahankan daya beli ekonomi masyarakat dan menjaga kestabilan pasar (harga-harga) dan ekonomi. Ketentuan pungutan wajib zakat yaitu Muzakki ialah apabila harta yang dimiliki seorang muslim telah mencapai nishab (limit) yang ditentukan dan berdasarkan syarat ketentuan haul (periode). Adapun metode perhitungannya menggunakan kadar (prosentase) tertentu (2.5%, 5%, 10%). Semua ketentuan itu juga tergantung pada jenis hartanya. Sebagaimana tampak pada Table 8.1. Adapun hak milik harta zakat yaitu Mustahik zakat ialah 8 golongan yang ditentukan, di antaranya: (1) Faqir, (2) Miskin, (3) Amil, (4) Muallaf, (5) Riqab (merdekakan budak), (6) Gharimin (terlilit utang), (7) Fi sabilillah, (8) Ibnu Sabil (sedang dalam perjalanan atau tunawisma). (Quran, Surat At-Taubah 9: 60) Infaq: adalah derma pengeluaran belanja yaitu derma dalam bentuk uang. Derma uang dapat gunakan untuk memenuhi keperluan-keperluan tertentu. Baik keperluan individu atau kelompok atau publik. Infaq yang betul yang berpahala adalah infaq fi sabilillah, infaq di jalan Allah. Ada pula infaq fi sabili syaithan atau infaq fi ghairi haq sebagai infaq yang tercela. Selain itu ada pula infaq yang lazim biasa saja. Shadaqah: adalah derma umum. Shadaqah adalah derma dalam bentuk berbagai macam dan yang paling lazimnya adalah derma harta. Waqaf: artinya adalah menahan. Waqaf adalah derma asset/harta/uang yang ia dapat ditahan dan menghasilkan manfaat secara berterusan berkesinambungan, atau ia tidak habis sekali pakai, tetapi bisa menghasilkan atau memiliki manfaat secara berterusan. Maka manfaat yang dihasilkan oleh asset/harta/uang itu bisa digunakan secara berterusan dan rutin untuk disedekahkan untuk kemashlahatan tertentu. Prinsip waqaf; „ihbis ashluha wa tashaddaq tsamarataha‟ „tahan pokoknya dan sedekahkan buahnya‟. Apabila suatu harta diwaqafkan maka ia berstatus milik umum atau milik publik atau milik masyarakat Islam yang digunakan untuk memberi kemashlahatan atau memenuhi, menutupi biaya keperluan-keperluan umum. VIII.IV

Perpajakan dalam Tradisi Islam Di antara jenis perpajakan, pajak; yaitu pungutan wajib atau yang dipungut pemerintah secara kekuasaan, yang ada di dalam tradisi Islam adalah; zakat, 127

ghanimah, fay, usyur, jizyah, kharaj, harta tak bertuan, tanah tidak produktif, harta temuan, khumus dan sitaan (harta tidak sah) serta harta denda. Zakat: seperti yang sudah dijelaskan di atas. Ghanimah: artinya adalah rampasan perang, yaitu harta yang diperoleh dari menang perang, sebagai hasil perang. Metode perhitungan harta Ghanimah adalah menggunakan metode perhitungan Khums, Khums artinya seperlima (20%). Dengan ketentuan; 1/5 untuk Allah dan RasulNya, kerabat Rasulullah, anak yatim, faqir-miskin dan anak jalanan. Sedangkan 4/5 dibagikan kepada tentara yang ikut andil dalam perang (atau dibagi berdasarkan ijtihad atau inisiatif khalifah). Fay: sama seperti ghanimah yaitu rampasan perang tetapi perbedaannya ia diperoleh karena musuh menyerah (setelah musuh memerangi ummat islam) atau tanpa perlawanan, atau ia adalah harta yang diberikan oleh musuh sebagai tanda damai atau hadiah dari kafir dzimmi sebagai tanda ketundukan atau loyalitas. Hak harta fay adalah milik Allah dan RasulNya, kerabat Rasulullah, faqir-miskin dan anak jalanan. Usyur: artinya adalah sepersepuluh (1/10) dengan bentuk kata jamak dari usyr. Ia adalah pungutan yang dipungut kepada objek komoditi, barang dagangan yang masuk wilayah darul Islam atau batas-batas wilayah tertentu yang dikuasa daulah Islam. Ia dipungut kepada muslim sebesar ¼ usyr atau (1/4.1/10) yaitu 2.5 % dari total nilai komoditi yang dibawa pedagang muslim masuk wilayah antar kota dan dihitung sebagai zakat komoditi, bila mencapai nishab (limit). Ia dipungut kepada ahlu dzimmi sebesar ½ usyr atau (1/2.1/10) yaitu 5% dari total nilai komoditi yang dibawa pedagang ahlu dzimmi masuk wilayah antar kota atau masuk wilayah darul Islam dan dihitung sebagai bea cukai atau jizyah atau pungutan balasan terhadap barrier cukai yang serupa yang dilakukan oleh negeri ahlu dzimmah. Ia dipungut kepada ahlu harbi sebesar 1 usyr atau (1.1/10) yaitu 10% dari total nilai komoditi yang dibawa pedagang ahlu harbi masuk wilayah darul islam dan dihitung sebagai bea cukai atau jizyah atau pungutan balasan terhadap barrier cukai yang serupa yang dilakukan oleh negeri ahlu harbi. Jizyah: artinya adalah bayaran kompensasi. Ia adalah pungutan yang diperoleh kepada ahlu dzimmi yaitu kafir yang tunduk kepada pemerintah khalifah sehingga ia berada dibawah perlindungan kaum muslimin, atau ahlu harbi yang telah berdamai menjadi ahlu dzimmi setelah negerinya ditaklukan. Ia dipungut kepada laki-laki yang baligh dan dewasa dengan besaran: 1 Dinar untuk golongan bawah, 2 Dinar untuk golongan menengah, 4 Dinar untuk golongan kaya. Setiap periode 1 tahun. Harta tak bertuan: di antaranya adalah; harta waris yang tak ada ahli warisnya (baik muslim ataupun ahlu dzimmi), barang temuan (luqatah), tanah tak bertuan – tak produktif dan tak dimanfaatkan – yang tidak ada kepemilikannya. Ia dimiliki 128

penuh oleh Rasulullah, bila Rasulullah sudah tiada maka ia termasuk Infaq atau Waqaf Rasulullah yang diberikan kepada ummat Islam dan dikelola oleh khalifah. Denda dan Sitaan: di antaranya adalah; uang hadiah kepada penguasa atau pejabat kekhalifahan, uang suap, harta hasil dari bisnis haram, dan lain-lain. Ia dimiliki oleh negara untuk umum atau masyarakat Islam dan dikelola oleh khalifah. Tanah tak produktif: Tanah tidak produktif yang menanggur (idle) yang ada kepemilikannya akan disita pemerintah (khalifah) oleh karena tanah termasuk dari pada jenis kebutuhan orang banyak (yaitu untuk pangan dan pakan), sebagaimana yang hadits diriwayatkan: “Kaum muslimin berserikat untuk air, api dan (lahan) rumput” (HR. Abu Dawud), ini termasuk menjadi salah satu bagian dasar hukum pertanahan di dalam Islam (Land Reform), kemudian tanah tersebut akan diserahkan pengelolaannya kepada orang yang mau mengelolanya sehingga ia akan melahirkan manfaat seluas-luasnya agar produktif dan dapat menutupi hajat orang banyak (terkait kebutuhan pangan atau kemandirian pangan masyarakat). Khumus: artinya adalah seperlima (1/5) atau 20% dalam bentuk kata jamak dari khums. Ia adalah pungutan yang diambil dari; penemuan tambang atau penemuan harta karun (rikaz), ia sama seperti ghanimah. Ia hak milik Allah, Rasulullah, kerabat Rasulullah, anak yatim, faqir miskin, dan anak jalanan. Catatan: di antara semua jenis pemasukan tersebut, apabila ia haknya dimiliki oleh Rasulullah ‫ز‬, seperti fay dan khums (ghanimah, harta tambang dan harta karun). Semasa Rasulullah tiada (telah wafat), Rasulullah telah berpesan bahwa harta yang dimilikinya adalah diinfaqkan kepada ummat Islam bila beliau telah tiada. Maka konsekuensi dari wasiat ini, harta yang sumber perolehannya dari fay dan khums adalah milik ummat Islam dan dikelola khalifah untuk kemaslahatan ummat islam (HR. Bukhari dalam Bab Khumus) Kharaj: adalah pungutan rente/sewa dari tanah. Kharaj adalah inisiatif/ijtihad Umar Ibn Khatthab dan ijma‟ shahabat Rasulullah semasa kepemimpinan beliau sebagai khalifah ummat Islam dan dilanjutkan khalifah-khalifah setelah beliau. Kharaj sejatinya adalah tanah yang diperoleh dari penaklukan perang dan ia termasuk sebagai harta ghanimah atau fay (rampasan perang), sebagaimana perhitungan berdasarakn ketentuan syariat, sebelumnya harta ghanimah 1/5 milik Allah dan Rasulullah, kerabat Rasulullah, anak yatim, faqir miskin dan anak jalanan, sedangkan 4/5 dibagikan kepada tentara perang dan khalifah. Namun khalifah Umar ber-inisiatif/ber-ijtihad untuk mengikuti Rasulullah yang telah tiada dan beliau berpesan menginfaqkan bagian beliau untuk ummat islam, maka khalifah Umar mengikuti tindakan Rasulullah beserta para sahabatnya, tidak mengambil bagian milik nya dan milik mereka (tentara) dan lebih memilih menginfaqkannya untuk ummat islam, sehingga tanah taklukan itu sejatinya adalah 129

milik ummat islam seluruhnya. Maka konsekuensi dari kepemilikan tanah yang milik ummat islam itu, kepada pengguna tanah yaitu kafir dzimmi di mana mereka telah di taklukkan terpaksa harus membayar sewa tanahnya, atau sekalipun kafir itu telah memeluk islam tetap membayar sewa tanahnya. Itulah yang disebut kharaj. Harta kharaj dimiliki oleh ummat islam terdahulu dan yang ikut berperang, dan dikelola oleh khalifah sebagai pemasukan rutin Baytulmal untuk keperluankeperluan umum kemashlahatan masyarakat Islam termasuk juga menyantuni faqirmiskin, anak yatim, kerabat Rasulullah, anak jalanan dan untuk semuanya. VIII.V

Perolehan dan Penyaluran Keuangan Baytulmal Gambaran perolehan dan penyaluran keuangan Baytulmal adalah sebagaimana yang nampak pada tabel berikut: Tabel 8.2 Tabel Jenis Keuangan Baytulmal 1 2 3 4

Jenis keuangan Zakat Jizyah Ghanimah Fay

Disalurkan untuk Mustahik Umum Umum Umum

Sifat perolehan Rutin (periodik) Rutin (periodik) Insidentil Insidentil

Denda dan sitaan Harta tak bertuan Khumus Infaq dan waqaf

Diperoleh dari Muzakki Ahlu dzimmah Ahlu harbi Ahlu harbi dan Ahlu dzimmah Semua Semua Semua Muslim

5 6 7 8

Umum Umum Umum Umum

Kharraj Usyur

Ahlu dzimmah Semua

Umum Umum (dari ahlu dzimmah dan ahlu harbi) dan Mustahik (dari muslim)

Insidentil Insidentil Insidentil Semi-rutin (non periodik) Rutin (periodik) Semi-rutin (non periodik)

9 10

Keuangan penyaluran khusus ialah untuk mustahik yaitu 8 golongan yang telah ditentukan, ia diperoleh dari sumber keuangan zakat. Adapun keuangan penyaluran umum digunakan untuk sebagai berikut: 1. „Biaya operasional dan administrasi kekhalifahan‟ serta „gaji kebutuhan hidup seluruh pegawai pemerintahan khalifah‟ dan „pengelola infrastruktur‟ serta „biaya atau ongkos operasional infrastruktur‟. 2. Untuk santunan faqir dan miskin, anak jalanan, anak yatim, pensiun dan honor atau kehormatan, untuk ulama, untuk tabib (dokter), veteran perang atau pahlawan, hadiah penghargaan untuk orang berjasa dan lain-lain.

130

3. Membangunkan „infrastruktur‟, „layanan dan fasilitas publik‟ serta dana insentif tertentu misalnya (dana penelitian, dana pendidikan, dana kesehatan, dan lain-lain). VIII.VI

Infrastruktur Di antara infrastruktur yang perlu diperhatikan dan dibangunkan oleh khalifah yaitu: Infrastruktur Negara: bangunan negara, kantor kekhalifahan, kantor keuangan, kantor kehakiman/persidangan, dan lain-lain. Infrastruktur Ibadah (Agama): membangunkan masjid-masjid (masjid jami‟; masjid yang besar daya tampungnya untuk melaksanakan sholat-sholat hari besar ataupun sholat-sholat fardhu) Infrastruktur Ilmu dan Pendidikan: membangunkan sekolah (madrasah), universitas dan perpustakaan (Baytul Hikmah), laboratorium, observatorium, dan lain-lain Infrastruktur Kesehatan: membangunkan rumah sakit dan layanan kesehatan. Infrastruktur Taman Kota (sarana penyegaran): taman kota hijau dan biru (tumbuh-tumbuhan, air mancur dan kanal), tempat wisata dan lain-lain. Infrastruktur Fasilitas Umum: rumah besar/wisma untuk tunawisma (anak jalanan, pengembara/musafir), pemandian umum, toilet umum. Infrastruktur Olahraga: arena olahraga (misal; olahraga kuda, memanah, berenang dan lain-lain). Infrastruktur Ekonomi: membangunkan sarana transportasi dan telekomunikasi, loji-loji (gudang-gudang komoditi), air, sanitasi, irigasi, energi, listrik dan lain-lain Infrastruktur Keuangan: menyediakan (1) fasilitas pinjaman (qardhul hasanah; bunga 0%), (2) fasilitas tabungan (saving box account; dengan sistem cadangan 100% bukan sistem fractional reserve requirement (FRR) 10% seperti yang berlaku pada bank-bank modern) dan (3) jasa transfer atau wesel. (Lebih lanjut lihat bahasan di „Bab 9: Permodalan‟ dan „Bab 10: Tabungan dan Investasi‟) Di antara semua infrastruktur tersebut, lazimnya diberikan secara gratis (sebagai sedekah atau barang wakaf) oleh khalifah kepada kaum muslimin (atau termasuk juga kafir dzimmi atau diskriminasi tertentu dengan berbagai pertimbangan berlandaskan timbangan kebenaran dan keadilan) adapun semua ongkos atau biaya operasional pemeliharaan dan pengoperasian infrastruktur-infrastruktur tersebut 131

ditanggung oleh keuangan Baytulmal. Akan tetapi Khalifah dapat membuat infrastruktur atau barang publik tertentu memiliki tarif (komersil), apabila ia memiliki tarif maka ia dapat menjadi sumber pemasukan Baytulmal. Akan tetapi lebih diutamakan untuk infrastruktur-infrastruktur berikut diberlakukan secara gratis atau ia sebagai barang publik yang diwaqafkan, disedekahkan untuk masyarakat, di antaranya yaitu: 1. Infrastruktur keuangan (infrastruktur keuangan perlu digratiskan sebagai strategi untuk mencegah tercampurnya “jasa-jasa keuangan” dengan praktik riba, pembahasan lebih lanjut lihat di „Bab 9 Permodalan‟) 2. Infrastruktur keilmuan dan pendidikan 3. Infrastruktur kesehatan 4. Infrastruktur fasilitas umum 5. Infrastruktur taman kota 6. Infrastruktur negara/pemerintahan 7. Infrastruktur agama 8. Air, energi, listrik, lahan rumput gembalaan; “muslim berserikat atas air, api dan rumput” (HR. Abu Dawud) Adapun infrastruktur-infrastruktur yang barangkali bisa juga diberlakukan tarif yaitu: 1. Energi dan listrik (dengan tarif minimum yang tidak memberatkan rakyat) 2. Loji-loji (gudang-gudang tempat menyimpan komoditi) 3. Tanah milik negara atau milik ummat (sewa atau bagi hasil olah tanah); Kharaj. 4. Produk tertentu sebagai usaha milik negara atau waqaf-produktif 5. Dan lain-lain VIII.VII

Inisiatif (Ijtihadiyyah) Infaq-Wajib Apabila melihat tradisi fiskal Islam, tradisi perpajakan keuangan publik Baytulmal, kita bisa melihat ia memiliki jenis-jenis keuangan sebagaimana yang telah diterangkan pada Tabel 8.2 sebelumnya. Secara sasaran: berupa penyaluran (1) khusus dan (2) penyaluran umum Secara sifat waktu-waktu perolehannya: ada yang (1) rutin (periodik & nonperiodik) ada pula yang (2) insidentil. Secara sumber perolehannya: ada yang dari (1) muslim, dari (2) ahlu dzimmi, dari (3) ahlu harbi dan ada pula yang (4) umum (muslim, ahlu dzimmi, ahlu harbi). Secara sifat perolehannya: secara (1) sukarela (derma), secara (2) pungutan/pajak (wajib), secara (3) komersil (tarif infrastruktur dan barang publik). 132

Bila dilihat sistem perpajakan yang tradisional ini dana-dana untuk keperluan umum kebanyakannya bertumpu pada sumber keuangan: (1) Insidentil: (a) Ghanimah, (b) Fay, (c) Khumus, (d) denda dan penyitaan, (e) harta tak bertuan; (2) beberapa dari non insidentil atau semi-rutin: (a) Sedekah-Infaq dan (b) SedekahWaqaf kaum muslimin dan (c) Usyur; (3) adapun yang rutin (periodik) hanya dari (a) Jizyah (dipungut dari ahlu dzimmi) dan (2) Kharraj (sewa tanah/bagi hasil olah tanah; diterima secara umum). Adapun sasaran penyaluran yang bersifat khusus (8 golongan yang ditentukan) hanya berupa Zakat yang dipungut dari kaum muslimin yang bersifat secara rutin (periodik). Rumusan masalahnya adalah; kehidupan yang akan dihadapi masyarakat dan khalifah tidak berjalan begitu saja tanpa hambatan dan ancaman. Khalifah berperan dan bertanggung jawab untuk memastikan kehidupan masyarakat kaum muslimin berjalan tanpa hambatan dan ancaman (aman dan lancar). Untuk mengatasi hambatan dan ancaman itu, yang pertama sekali khalifah tentu saja perlu menjamin institusi pemerintah itu sendiri bisa survive dan berkelanjutan (sustainable), tanpa tegaknya pemerintahan maka tidak ada peraturan yang berjalan (atau tidak ada syariat yang berjalan) sebagaimana peran dan kehadiran pemerintah (khalifah) bagi kehidupan masyarakat adalah penting untuk menegakkan kebenaran dan keadilan, oleh karena itu untuk menjaga pemerintahan tetap berjalan (survive) dan berkelanjutan (sustainable) maka pemerintah perlu pemasukan atau sumber keuangan umum untuk operasional negara dan gaji karyawan pemerintahan, yang kedua, untuk mengatasi hambatan dan ancaman yang kapan saja datang dan menghadang ke atas kehidupan masyarakat, pemerintah perlu membangunkan infrastruktur-infrastruktur, sarana-prasarana untuk menyelesaikan hambatan-hambatan dan ancaman-ancamannya sehingga kehidupan bisa berjalan dengan aman dan lancar. Di antaranya infrastuktur pendidikan untuk memerangi kebodohan, infrastruktur kesehatan (rumah sakit dan layanan kesehatan) untuk pengobatan, penyembuhan dan mengentaskan penyakit dan kurang gizi, infrastuktur ekonomi untuk memastikan ekonomi berjalan dan memerangi kepapaan-kemiskinan, infrastuktur pertahanan untuk menjaga keamanan sosial dan mengantisipasi ancaman dari luar. Itu lah semua yang diperlukan untuk memastikan kehidupan tetap berjalan dengan aman dan lancar, maka dari itu sumber-sumber keuangan publik yang berfungsi untuk menutupi keperluan umum adalah penting. Tidak ada sumber keuangan untuk umum (untuk mashlahat) maka tidak ada pemerintahan (khalifah) dan tidak ada infrastruktur; bila pemerintahan lumpuh, tidak ada hukum, masyarakat pun lumpuh. Oleh karena itu keuangan publik Baytulmal untuk penyaluran umum adalah wajib dan penting untuk mencegah lumpuhnya sistem kekhalifahan, masyarakat Islam dan agama Islam. Bila melihat sifat sistem perpajakan Baytulmal tradisional, sumber keuangan untuk keperluan umum secara dominannya bertumpu kepada ahlu dzimmi (yaitu dari 133

jizyah) untuk secara rutinnya (sumber keuangan yang rutin), dan juga selain itu bertumpu pada ahlu harbi (yaitu dari ghanimah, fay, dan lain-lain) yang bersifat insidentil, adapun sumber keuangan umum yang bertumpu pada kaum muslimin sendiri hanya dari infaq-waqaf yang sifatnya secara sukarela yang bersifat tidak rutin (tetapi semi rutin). Melihat hal ini, adakah baik kiranya kewajiban umum yaitu mengatasi hambatan dan ancaman serta mencegah kelumpuhan sistem kekhalifahan dan masyarakat Islam itu sendiri sumber keuangannya bertumpu pada ahlu dzimmi dan ahlu harbi? Sistem yang baik kiranya harus bisa menghadapi kemungkinan suatu situasi dan kondisi yang paling kritis, misalnya; tidak ada lagi kafir dzimmi di daerah wilayah yang dikuasai orang Islam karena telah memeluk Islam, lalu bagaimana kekhalifahan memenuhi keperluan umumnya? adakah dengan cara mencari-cari insiden untuk memperoleh sumber keuangan publik dengan cara mencari-cari perang atau mencari-cari musuh untuk memperoleh ghanimah dan fay manakala musuh tidak ingin mencari-cari perang atau ingin berdamai, adakah hal ini bisa dibenarkan dan adil? Mungkin akan terdengar beberapa argumen, bukankah masih ada sumber keuangan dari sedekah infaq dan sedekah waqaf sukarela kaum muslimin? Dan bukankah masih ada sumber keuangan lain misalnya dari infrastruktur atau usaha milik negara (sewa tanah kharraj, misalnya pada pemerintahan Umar Bin Khattab ‫?)ر‬ Sekali lagi sistem yang baik harus bisa menghadapi kemungkinan suatu situasi dan kondisi yang paling kritis, untuk apa? untuk mengantisipasi persoalan-persoalannya dan mencari solusi yang terbaik adakah sistem keuangan Baytulmal bisa berfungsi berlandaskan keadilan. Misalnya; tidak mustahil masyarakat muslimin pada „situasi dan kondisi tertentu‟ dihinggapi penyakit bakhil sehingga sekalipun tersedia sumber-sumber keuangan dari infaq dan waqaf, mungkin tidak akan mencukupi keperluan umum, atau misalnya; sekalipun khalifah mempunyai usaha milik negara, barangkali usaha milik negara tidak juga cukup untuk mencukupi keperluan umum. Sekalipun ada yang beranggapan asumsi ini tidak mungkin terjadi, ini hanya asumsi untuk situasi dan kondisi yang paling kritis. Dengan situasi dan kondisi seperti itu, bagaimanakah khalifah mencari sumber keuangan publiknya? Oleh karna itu, inisiatif-ijtihadnya adalah dengan mewajibkan infaq dengan ketentuan dan kadar tertentu. Alasannya; menjaga dan memastikan sistem kekhalifahan, masyarakat Islam dan agama Islam bisa tetap berjalan dan berkelanjutan, merupakan bagian dari jihad fi sabilillah, dan ada dalil-dalil syar‟i yang mengecam bagi mereka yang mengaku beriman tetapi tidak mau ber-infaq atau meminjamkan harta kepada Allah di jalan Allah (Quran, Surat Al-Baqarah 2: 134

225, Quran, Surat Al-Maidah 5: 12, Quran, Surat Al-Hadid 57: 10-11 dan 18, Quran, Surat At-Taghabun 64: 16-17, Quran, Surat Al-Muzzammil 73: 20). Dengan demikian, penulis bersetuju pada pendapat Syaikh Yusuf al-Qardhawi bahwa bagi kaum muslimin kewajiban mengeluarkan harta tidak hanya berupa Zakat, ada kewajiban lain pada harta kaum muslimin selain dari pada zakat, yaitu sedekah infaq dalam situasi dan kondisi tertentu yaitu untuk; (1) menjaga keberlangsungan dan keberlanjutan (atau kemerdekaan atau kedaulatan) institusi kekhalifahan, karena tanpa adanya sumber dana yang berfungsi untuk umum maka tidak bisa membiayai ongkos administrasi, operasional negara, dan gaji para pegawai negara. (2) tanpa adanya sumber dana yang berfungsi untuk umum, maka tidak bisa membangunkan infrastruktur dan menutupi biaya untuk membuat infrastrukturnya tetap berjalan, manakala kehidupan masyarakat berhadapan dengan hambatan dan ancamannya yaitu; (1) ancaman kebodohan, (2) ancaman kemiskinan, kepapaan dan kelaparan, (3) Keamanan dan keberlanjutan masyarakat Islam. Adapun ketentuan dalam mewajibkan infaq itu yang pertama sekali (1) ia tidak boleh berlaku zalim, yang kedua (2) ia perlu diadakan bila dirasa perlu dan mendesak saja (tidak permanen, sewaktu-waktu saja), dan (3) hendaknya tidak memungut golongan bawah (hanya memungut golongan menengah-atas atau golongan atas saja). Berdasarkan ini, metode mewajibkan infaq itu sebetulnya, sepatutnya meniru sistem pemungutan zakat, suatu sedekah atau infaq yang Allah wajibkan kepada ummat Islam, ia adalah contoh sistem pajak yang adil yang tidak zalim. Oleh karena itu, khalifah yang berinisiatif mewajibkan infaq perlu meniru syariat zakat yaitu dengan menentukan nishab (limit), kadar (prosentase) dan haul (periode). Ia bisa diterapkan untuk memungut harta milik atau penghasilan seseorang baik muslim ataupun ahlu dzimmi, akan tetapi pemungutannya dilakukan setelah zakat dipungut (dari muslim) atau setelah jizyah dipungut (dari ahlu dzimmi). Misalnya, nishab yang ditentukan adalah 200 Dirham, kadar pemungutan bagi muslim 1%, bagi dzimmi 1.5%. Maka apabila harta seorang muslim setelah dipungut zakat masih memiliki harta di atas 200 Dirham, maka ia kena pungut infaq wajib 1%. Adapun apabila harta seorang ahlu dzimmi setelah dipungut jizyah masih memiliki harta di atas 200 Dirham, maka ia kena pungut jizyah ekstra 1.5%. Tentu saja khalifah bisa menaikkan nishabnya di atas 200 Dirham, misalnya 100 Dinar, maka ia hanya akan memungut orang-orang yang kaya saja yang kepemilikan hartanya di atas 100 Dinar. Adapun orang-orang menengah atau orang-orang bawah (faqir-miskin atau yang cukup) tidak akan terkena pungutan pajak ini. Ini tentunya lebih adil dan ini sistem pajak yang sangat fleksibel.

135

Dalam suatu kondisi mendesak, manakala kas keuangan Baytulmal kosong misalnya; khalifah dapat menaikkan kadar (prosentase) infaq-wajib; misalnya untuk muslim 1.5% untuk dzimmi 2.5%. Atau dalam suatu kondisi sebaliknya, manakala kas keuangan Baytulmal melimpah, justru infaq-wajib tidak perlu ada sama sekali tingkat pajaknya 0%. Tetapi, ada pertanyaan adakah memungut pajak itu haram? Karena ada dalil yang menunjukkan pemungutan pajak (atau bea cukai) adalah haram. “Tidak masuk surga orang yang memungut bea cukai” (HR. Ahmad). Pemungutan yang diharamkan kiranya hanyalah pemungutan yang bersifat zalim dan merugikan (al-bakhsu). Adapun pemungutan yang didasari suatu alasan yang benar dan berdasarkan kewajiban umum; yaitu mencegah lumpuhnya sistem pemerintahan (kekhalifahan), masyarakat Islam dan agama Islam, tidaklah mengapa, ia termasuk infaq fi sabilillah. VIII.VIII

Inisiatif (Ijtihadiyyah) Sistem Hitung dan Pemungutan Zakat Apabila bercermin pada tradisi ketentuan sistem hitung dan pemungutan Zakat di dalam Islam. seperti yang terlihat berdasarkan tabel sebelumnya (Tabel 8.1 Tabel Zakat dan Khumus). Adapun bila mengacu kepada ayat syariat Zakat (Quran, Surat At-Taubah 9: 103), bahwa pemungutan zakat adalah pada harta milik kaum muslimin. Berdasarkan ini, kiranya yang terkena zakat itu adalah semua jenis harta tidak hanya harta-harta tertentu, tetapi semua jenis harta; baik uang (emas dan perak) ataupun komoditi (pertanian, pertambangan, peternakan, dagang, dan lain-lain). Persoalannya sekarang agak lebih rumit, yaitu kapan zakat dipungut? Adakah zakat dipungut ketika harta itu dihasilkan ataukah ketika ia berlalu 1 tahun? Zakat pertanian dan pertambangan dipungut seketika ketika dihasilkan yaitu saat dipanen dan saat ditemukan tambangnya. Zakat emas dan perak dipungut ketika sudah berlalu 1 tahun, Zakat peternakan (sapi, kambing, domba, unta, hewan berkaki empat jenis pemakan rumput/tanaman) dihitung nishab dan dipungut ketika ternak masuk umur 1 atau 2 tahun. Zakat komoditi dagang (usyr) dipungut ketika masuk kota/masuk wilayah. Untuk menelaahnya kita perlu pertanyaan: semenjak kapan suatu harta terkena hukum Zakat? Bila mengacu kepada ayatnya (“khudz min amwalihim shadaqotan”; ambillah sedekah dari harta milik mereka), semenjak suatu harta menjadi milik seseorang, yaitu sewaktu ketika ia dihasilkan. Tetapi apa jua yang menentukan 136

suatu harta dipungut ketika berlalu 1 tahun, kenapa ia tidak dipungut sewaktu pertama kali seketika ia dihasilkan? Apabila ditarik kesimpulan umum dari semua harta wajib zakat, kapan mestinya zakat ditarik? Bila dilihat bahwa, adalah yaitu saat pertama kali suatu harta terkena hukum zakat se-„ketika‟ ketika ia dihasilkan/dimiliki, adapun harta yang terkena pungutan ketika berlalu 1 tahun kiranya merupakan jenis harta yang durable yaitu harta yang bisa disimpan/ditabung (hingga berlalu 1 tahun), berdasarkan ini ada dua jenis zakat. Berdasarkan ini maka sebetulnya suatu harta terkena hukum zakat saat; (1) seketika ia dihasilkan; zakat penghasilan, (2) bila ia berlalu setahun; zakat simpanan atau tabungan. Oleh karena itu ada dua jenis zakat, yaitu; 1. Zakat penghasilan: yaitu harta baik uang atau komoditi ketika ia dihasilkan (dimiliki) 2. Zakat tabungan/simpanan: yaitu harta baik uang atau komoditi yang telah dimiliki yang disimpan hingga berlalu 1 periode (tahun) Implikasi dari pemahaman ini (2 jenis zakat tersebut) terhadap semua jenis harta yang terhukum zakat, mengikut ciri fisik hartanya masing-masing: 1. Emas dan perak atau dinar dan dirham atau „uang komoditi‟ (serealia atau komoditi yang bisa ditakar dan durable) merupakan harta yang tahan lama, harta jenis ini terkena hukum zakat saat ia dihasilkan atau dimiliki dan juga sekali lagi terhukum oleh zakat saat ketika ia berlalu 1 tahun, di mana dari saat masing-masing-nya dihitung terhadap nishab dan dipungut zakatnya (jika mencapai nishab), begitu pun bila harta itu terus tersimpan atau tertabung hingga ke tahun-tahun selanjutnya. 2. Hasil pertanian selain serealia (gandum, padi, jewawut, jelai dan lain-lain) yaitu seperti; sayuran, buah-buahan, pada umumnya merupakan komoditi yang tidak durable (tahan lama), oleh karenanya jenis harta pertanian jenis ini hanya terhukum zakat ketika ia dihasilkan atau saat panen, kecuali ia adalah komoditi yang tahan lama (gandum, padi, garam) yang bisa disimpan hingga berlalu 1 tahun, maka ia akan terhukum zakat untuk kali ke dua, dan seterusnya bila sampai ke tahun-tahun berikutnya. 3. Sama halnya dengan pertanian, hasil pertambangan terhukum zakat ketika ia dihasilkan saat ditemukan tambangnya, bila hasil tambangnya disimpan hingga 1 tahun, pada tahun itu ia terhukum zakat kembali untuk kali kedua, dan seterusnya di tahun berikutnya. 4. Pada harta peternakan, ada pengecualian, ia merupakan benda hidup, di mana pada waktu seketika ternak dilahirkan belum terkena hukum zakat oleh karena harta berupa ternak berkembang bersama risiko hewaninya (rentan sakit dan mati), kecuali ia sudah masuk 1 atau 2 tahun baru kemudian ia dihukumi oleh zakat (dihitung dengan nishab; adakah wajib 137

zakat atau tidak), sampai hingga masuk ke tahun 3, tahun 4 dan seterusnya jumlah ternaknya akan terus terhukumi oleh zakat. 5. Adapun komoditi dagangan, terkena hukum zakat saat ia dibeli saat harga pokok sebelum ia dijual (maka ia dizakatkan dalam bentuk komoditi tersebut atau dikonversi nilainya dengan uang dan dibayarkan dalam bentuk mata uang) ketika memasuki wilayah. Berdasarkan ini maka zakat berlaku secara tahunan (bila jenis hartanya tahan/durable atau mencapai hingga tahun-tahun berikutnya), ia menggantikan inflationary (faktor pengurang nilai harta) yang diperankan bunga, tetapi bedanya zakat ia akan berhenti menghukumi harta manusia saat menyentuh (kurang dari) batas nishab; manakala dalam bunga berterusan mengurangi harta manusia hingga ke titik 0 dari inflasi yang dihasilkannya, selain dari pada itu inflationary (faktor pengurang harta manusia) yang berlaku dari sistem zakat atas harta manusia sangat kecil yaitu 2.5% (per-tahun), itu artinya ketika zakat memungut harta manusia ia akan selalu menyisakan 97.5% (setahun sekali) sisa hartanya tidak peduli berapapun jumlah harta yang dimiliki seseorang, sehingga suatu harta sebetulnya tidak akan habis dimakan oleh zakat atau dengan kata lain zakat akan habis memakan harta manusia dalam jumlah tahun tak hingga (manakala umur manusia itu sendiri rata-rata hanya dibawah 60-100 tahun), sekalipun bila hartanya terus menerus menganggur. Ini tidak akan berdampak dan terasa merugikan, sementara kegiatan dan produktifitas masyarakat itu sendiri nyaris tanpa hambatan atau sama sekali tidak ada hambatan, disamping itu apa lagi dengan berlakunya sistem nishab pada zakat membuat zakat berhenti memakan harta manusia bila harta manusia itu sudah di bawah nishab (tidak mencapai nishab atau tidak lebih dari nishab), dengan demikian maka kegiatan dan produktifitas akan mengembangkan harta manusia lebih laju dari pada zakat yang memangkasi harta manusia (dalam jumlah yang kecil dan berlaku dalam tahunan), zakat bahkan berkembang bersama harta dan akan mendorong produktifitas itu sendiri. Selain itu, pada dasarnya, zakat dibayarkan dalam bentuk mengikut harta yang dihasilkan, bila seseorang menghasilkan harta berupa uang maka zakatnya dibayarkan berupa uang, bila harta yang dihasilkan berupa hasil panen maka zakatnya dibayarkan dalam bentuk hasil panen, bila harta yang dihasilkan dalam bentuk ternak maka dibayarkan dalam bentuk ternak, dan lain seterusnya. Akan tetapi dari semua jenis komoditi yang dihasilkan sebetulnya, zakat komoditi (pertanian, peternakan, pertambangan, produksi perkakas dan lain-lainnya) boleh dikonversi ke nilai mata uang atau dizakatkan dalam bentuk mata uang (yaitu dalam bentuk Dinar dan Dirham), sesuai nilai wajib zakat komoditinya, dan dalam suatu harta, dan juga dalam 1 tahun tidak akan terkena zakat 2 kali (double zakat), satu tahun hanya satu kali, adapun untuk pedagang bila suatu komoditi sudah dizakati maka ketika ia berubah bentuk menjadi uang (karena komoditinya dijual 138

atau diperdagangkan) maka penghasilan uangnya tidak perlu kena zakat lagi, begitupun hasil tani, ternak, dan komoditi-komoditi lainnya, setiap harta yang „dihasilkan‟ dan harta yang „telah lewat satu tahun‟ hanya kena zakat 1 kali untuk 1 tahun. Mengenai sistematika periode, sebetulnya tidak harus haul (1 tahun), periode bisa mengikut jenis harta yang dihasilkan manusia, misalnya; harta yang dihasilkan secara bulanan, triwulanan, semesteran, pertahun atau perduatahunan, dan lain sebagainya. Adapun metode tolak ukur nishabnya adalah membaginya sesuai periodenya, misalnya nishab zakat Dinar adalah 20 Dinar dengan ketentuan periode 1 tahun (haul) atau dengan kata lain 20 Dinar/tahun, apabila ia digunakan untuk jenis harta yang dihasilkan perbulan, maka bila pemungutan zakat dilakukan perbulan nishab yang digunakan untuk mengukur harta wajib atau tidaknya adalah dengan nishab 20 Dinar/tahun dibagi 12, yaitu 1.67 Dinar/bulan, 5 Dinar/kuartal untuk nishab harta yang dihasilkan kuartal-an (triwulanan), 10 Dinar/semester untuk nishab harta yang dihasilkan perenam bulan (untuk hasil tani; padi, gandum yang umumnya masa tanamnya 6 bulanan). Apabila jenis harta yang diperoleh dengan periode yang tidak menentu atau acak, bisa dirata-rata menjadi perbulan, kemudian diukur dengan nishab 1.67 Dinar/bulan. Selain dari pada itu, untuk harta-harta yang dihasilkan dalam periode bulanan, kuartalan, semesteran; periode kurang dari 1 tahunan, zakatnya bisa dibayarkan pertahun dengan sistem perhitungan; menggunakan rata-rata penghasilan per bulan dalam setahun dengan menggunakan standar nishab bulanan; 1.67 Dinar/bulan, bila rata-rata penghasilan perbulan dalam setahun nishabnya sampai (mencapai atau lebih) dari standar nishab yaitu 1.67 Dinar/bulan, maka ia akan membayar zakat sebesar; Z = (m x 2.5%) x 12, dimana: m = rata-rata penghasilan perbulan dalam setahun, m = (∑mi)/12 = (m1 + m2 + m3 +.........+m12)/12 Dengan syarat bila: m ≥ 1.67 Dinar atau 12m ≥ 20 Dinar. [m mencapai nishab 20 Dinar]

Adapun untuk zakat simpanan (tabungan) bisa dihitung dengan cara; Z = (n x 2.5%), di mana: n = rata-rata saldo tabungan perbulan dalam setahun, n = (∑ni)/12 = n1 + n2 + n3 +........ + n12)/12 Dengan syarat apabila: n ≥ 20 Dinar. [n mencapai nishab 20 Dinar]

Adapun di antara termasuk pengecuali harta zakat beberapa di antaranya; (1) harta utang, (2) faktor produksi (barang modal) dan (3) harta yang digunakan untuk kebutuhan hidup (pakaian, alat transportasi, perkakas/gadget). Menurut beberapa 139

pendapat, suatu harta akan dihitung atau terhukum oleh zakat setelah dikurangi utang dan total kebutuhan hidup dalam periode itu. Adapun penulis berpendapat untuk utang sependapat ia termasuk pengurang harta terhukum zakat, tetapi untuk total kebutuhan hidup ini kiranya tidak termasuk pengurang harta terhukum zakat, kenapa? Fungsi nishab itu sendiri pada dasarnya adalah sebagai batas (limit) yang menjamin suatu harta cukup untuk kebutuhan hidup seseorang dalam periode itu. Oleh karena itu, pengecuali harta zakat hanya utang saja (selain faktor produksi dan barang kebutuhan hidup), di mana ia perlu dilaporkan utang (yang dilunasi) pada tahun itu sebagai pengurang atas harta yang terhukum oleh zakat. (adapun utang yang belum lunas pada tahun itu akan masuk hitungan pengurang zakat di tahun depan). Cara perhitungan zakat dengan dikurangi utang, yaitu; Z = (12m + n – y) x 2.5% Di mana: m = rata-rata harta penghasilan perbulan dalam setahun, m = (m1 + m2 + m3 + .........+ m12)/12 n = rata-rata saldo tabungan perbulan dalam setahun, n = (n1 + n2 + n3 +.............+n12)/12 y = utang yang dilunasi pada tahun itu, Dengan syarat bila: (12m + n – y) ≥ 20 Dinar. [(12m + n – y ) mencapai nishab 20 Dinar]

Di antara hal yang bisa membantu sistem penghitungan dan pemungutan zakat, bilamana zakat diterapkan dalam skala makro (dengan pemerintahan Khalifah) dan diterapkan di zaman pasca modern. Yaitu dengan membuat Badan Survey Statistik Zakat, yang memiliki unit-unit survey berupa: 1. Unit survey tabungan dan laporan keuangan serta laporan utang (yang terintergrasi dengan „Infrastruktur Keuangan‟ dan „Baytusysyirkah‟); 2. Unit survey tani; 3. Unit survey ternak; 4. Unit survey tambang; serta 5. Layanan pelaporan harta dan utang tersembunyi/tak tersurvey (privat) Oleh karena itu semua, dengan demikian, adanya inisiatif metode sistem perthitungan dan pemungutan seperti ini sebetulnya tujuannya adalah; memperjelas dan memperinci syariat zakat yang belum pernah dijelaskan atau ditemui dalam literatur klasik; yaitu aplikasi perhitungan statistik zakat (bila dilakukan dalam skala makro dengan adanya institusi kekhalifahan Islam dan otoritas keuangan Islam yang otentik), agar supaya bisa meminimalisir celah sistem dan mencegah kaum muslimin (yang dihinggapi penyakit bakhil dan cinta harta) untuk menghindari kewajiban membayar zakat, di mana orang yang lari dari kewajiban zakat berdasarkan atsar sahabat Abu Bakar Ash-Shiddiq ‫ ر‬juga merupakan orang yang terhukum diperangi. Sekalipun demikian sistem tagihan 140

zakat tetap berada dalam koridor etika pemungutan zakat tidak boleh zalim dan menindas sebagaimana yang disarankan berdasarkan atsar shahabat Ali bin Abi Thalib ‫ر‬. Sistem seperti ini dibuat adalah untuk apabila khalifah (pemerintah) mewajibkan pembayaran zakat harus lewat khalifah, lain lagi bila zakat/sedekah dibayarkan sendiri-sendiri tidak lewat khalifah, maka orang yang sudah membayar zakat/sedekah tidak lewat pemerintah bisa dilaporkan pengeluaran zakatnya kepada pemerintah karena ia sudah bebas dari kewajiban bayar zakat. Inisiatif dan perintah khalifah (pemerintah) adalah menjadi sebuah perintah yang terikat dan harus ditaati bagi masyarakat yang berjanji setia kepadanya (“taatilah Allah dan Rasul dan Ulul Amri kalian”) termasuk dalam urusan tata aturan dan disiplin bernegara dan berhukum (ber-syariat), yaitu misalnya ketika khalifah berinisiatif untuk mewajibkan pembayaran zakat harus lewat khalifah, maka adapun bila pembayaran zakat dilakukan sendiri-sendiri maka bisa dinyatakan pembayaran zakatnya ilegal dan tidak sah; manfaat strategi dari inisiatif kebijakan ini adalah bahwa; sistem ini dibuat selain ia berfungsi untuk mencegah para wajib zakat (muzakki) menghindar dari kewajiban zakat dengan berbohong bahwa sedekah/zakatnya sudah disalurkan tidak melalui Baytulmal pemerintah, ia juga berfungsi untuk memastikan distribusinya tepat sasaran karena pemerintah memiliki gambaran yang lengkap dan memegang data para mustahiq akan titik-titik penyalurannya secara sempurna, dibanding bila zakat dilaksanakan sendiri-sendiri yang penyalurannya berdasarkan informasi data para muzakki yang terbatas (adapun bila muzakki mengeluarkan sedekah tambahan selain daripada zakat maka bisa dibolehkan lah bersedekah sendiri-sendiri tanpa melalui Baytulmal pemerintah). Maka dari itu, tidak bisa dikatakan atau dianggap semua orang adalah shaleh-shaleh semua sebagaimana para alim-ulama orang-orang shaleh terdahulu yang ketika memperoleh/memiliki harta maka langsung seketika itu pula dikeluarkannya hartanya tanpa hitunghitungan, ditunaikannya dalam bentuk sedekah dan di mana di dalam sedekahnya pula sudah mencakupi zakatnya. Atau khalifah bisa berinisiatif, membolehkan pengaluaran zakat dilakukan sendiri-sendiri/tidak lewat pemerintah, tetapi ia harus dilaporkan kepada pemerintah, karena kalau tidak demikian maka sistem survey data zakat akan menganggapnya belum membayar zakat dan mengenakan beban zakat sesuai besaran wajib zakatnya kepada para muzakki. Ini semua hanyalah inisiatif (ijtihad) untuk membuatkan suatu sistem agar pelaksanaan syariat zakat tertata dengan rapi dan disiplin, dengan tanpa melanggar timbangan kebenaran dan keadilan (bebas dari kezaliman). 141

Tabel 8.3 Persamaan dan Perbedaan Zakat dan Infaq-Wajib Zakat

Infaq-wajib*

Kadar Ditentukan syariat/jumhur ulama; mengikut tiap-tiap jenis harta wajib zakatnya: (a) Kadar komoditi - Hasil Tani - Hasil Ternak - Hasil Tambang (b) Kadar uang - emas dan perak - dinar dan dirham

Ditentukan inisiatif amir (kebijakan pemerintah)

Nishab Ditentukan syariat/jumhur ulama; mengikut tiap-tiap jenis harta wajib zakatnya; (a) Nishab komoditi - Hasil Tani - Hasil Ternak - Hasil Tambang (b) Nishab uang - emas dan perak - dinar dan dirham

Ditentukan inisiatif amir (kebijakan pemerintah)

Periode* Dengan menerapkan aplikasi statistik, maka zakat bisa dilaksanakan secara: > Bisa bulanan, > Bisa tahunan (1 haul), > Bisa disegerakan (di awal waktu), > Bisa ditangguhkan (di akhir tahun)

Dengan menerapkan aplikasi statistik, maka infaq-wajib bisa dilaksanakan secara: > Bisa bulanan, > Bisa tahunan (1 haul), > Bisa disegerakan (di awal waktu) > Bisa ditangguhkan, (di akhir tahun)

Dengan cara mengkonversi „nishab dasar‟nya yang telah ditentukan syariat (n/p; nishab per periode), dikonversi menjadi nishab bulanan atau tahunan. Begitupun kadar bisa dikonversi menjadi bulanan atau tahunan dengan mengkali atau membagi nilai wajib zakatnya dengan angka 12. Pembayaran bisa saling dikonversi pula apakah pembayaran dibayarkan dalam bentuk komoditi atau dalam bentuk uang, tidak masalah harta yang dihasilkan dalam bentuk komoditi boleh dibayarkan dalam bentuk komoditi boleh pula dibayarkan dalam bentuk uang, tidak masalah harta yang dihasilkan dalam bentuk uang boleh dibayarkan dalam bentuk komoditi (komoditi yang tahan lama/uang komoditi). Dengan khalifah menentukan pemungutan zakat dilakukan secara tahunan, maka harta-harta yang dihasilkan secara bulanan, kuartalan, semesteran dan periode acak sekalipun, bisa dirata-rata atau ditangguhkan dan diakumulasi zakatnya untuk dikonversi ke tahun dan dibayarkan secara tahunan. Dengan cara mengkonversi „nishab dasar‟nya yang telah ditentukan amir, menjadi nishab bulanan atau tahunan. Begitupun kadar bisa dikonversi menjadi bulanan atau tahunan dengan mengkalinya atau membaginya dengan angka 12. Pembayaran bisa saling dikonversi pula apakah pembayaran dibayarkan dalam bentuk komoditi atau dalam bentuk uang, tidak masalah harta yang dihasilkan dalam bentuk komoditi boleh dibayarkan dalam bentuk komoditi boleh pula dibayarkan dalam bentuk uang, tidak masalah harta yang dihasilkan dalam bentuk uang boleh dibayarkan dalam bentuk komoditi (komoditi yang tahan lama/uang komoditi). Dengan khalifah menentukan pemungutan infaq-wajib dilakukan secara tahunan, maka harta-harta yang dihasilkan secara bulanan, kuartalan, semesteran dan periode acak sekalipun, bisa dirata-rata atau ditangguhkan dan diakumulasi infaq-wajibnya untuk dikonversi ke tahun dan dibayarkan secara tahunan.

* Ijtihadiyyah (inisiatif) zakat dan infaq-wajib mengenai; pengembangan metode dan sistem penghitungan dan penarikannya/pengeluarannya.

VIII.VIX

Kategorisasi, Alokasi dan Distribusi Baytulmal

Gambar 8.1 Diagram Alokasi dan Distribusi

Tabel 8.4 Pemasukan Baytulmal Pemasukan Baytulmal (1) Zakat:

(2) Sedekah:

- Zakat-Mal

- Sedekahinfaq

- ZakatFithrah - UsyrMuslim (Zakat-Tijari)

- Sedekahwaqaf

(3) PajakNon-Zakat - Jizyah - Usyr-Kafir (ahlu dzimmi dan ahlu harbi)

(4) PajakTarif - TarifInfrastruktur

(5) PajakInsidentil - Fay

(6) PajakEkstra - Infaq-wajib

- Ghanimah

- Extra-jizyah

- Kharaj - Denda dan Sitaan - Harta tak bertuan

143

Tabel 8.5 Pengeluaran Baytulmal Pengeluaran Baytulmal Mustahiq Zakat - Faqir

Pegawai

Operasional

Dana Umum

Infrastruktur

- Pegawai Pemerintah

- Operasional Pemerintah

- Dana riset & keilmuan

- Infra Keuangan

- Infra Taman Kota

- Pegawai Infrastruktur

- Operasional Infrastruktur

- Dana Honor atau Penghormatan

- Infra Ekonomi

- Infra Fasilitas umum

- Infra Keilmuan dan Pendidikan

- Infra Olahraga

- Miskin - Amilin - Muallaf - Santunan Yatim, Faqir, Miskin, Dhuafa.

- Riqab - Gharimin

-Dan lain-lain - Fi sabilillah

- Infra Kesehatan/ Rumah Sakit

- Ibnu Sabil

- Infra Bangunan Kekhalifahan atau Kantor - Infra Ibadah

Tabel 8.6 Infrastruktur Ekonomi dan Keuangan Infrastruktur Ekonomi dan Keuangan Infrastruktur Ekonomi -Pasar -Baytusysyirkah* -Loji (gudang komoditi) -Energi dan listrik -Air -Sanitasi -Irigasi -Transportasi -Telekomunikasi dan informasi -Dan lain-lain

Infrastruktur Keuangan* -Fasilitas pinjaman (bunga 0%) -Fasilitas tabungan (sistem cadangan 100%) -Fasilitas transfer/wesel/elektronik (infrastruktur pencatatan e-dinar & edirham)

*lihat di bab 9: permodalan dan bab 10: investasi dan tabungan

144

IX

PERMODALAN IX.I

Pasar Modal dan Pasar Keuangan

D

alam perspektif Barat Modern, uang dan modal adalah komoditas, yang bisa diperjualbelikan untuk memperoleh untung atau menderita kerugian dari padanya, ini adalah konsepsi yang salah total (bathil) dalam perspektif Islam. Uang atau modal dalam perspektif Islam bukan komoditas yang bisa diperjualbelikan untuk memperboleh keuntungan atau menderita kerugian dari padanya, tetapi uang atau modal boleh dipertukarkan dengan syarat tunai (jumlahnya sama) tidak ada lebihan, tidak juga kurang, baik tanpa tempo (tunai) atau dengan tempo (kredit), hanya pertukaran semata-mata (di mana fungsi uang semata-mata hanya menjalankan fungsi alat tukar) ini disebut sebagai hawalah (perpindahan tangan). Pasar modal merupakan wadah atau media di mana sekuritas diperdagangkan. Sekuritas atau efek atau „surat berharga‟ tidak lebih dari sekedar kertas (yang tak berharga), namun ia menjadi berharga karena ada sesuatu dari luar yang dimuat ke dalamnya. Oleh karena itu konsepsi sekuritas ini, ia bernilai secara ekstrinsik, bukan secara intrinsik. Sama halnya dengan uang ekstrinsik yaitu cek, uang kertas menjadi berharga karena uang riil (yaitu uang berbasis komoditi riil; emas ataukah minyak) dimuat ke dalamnya. Lalu apa yang dimuat ke dalam „surat berharga‟ sehingga kertas biasa menjadi berharga (lebih tinggi dari nilai kertas itu sendiri)?. Ada bermacam-macam surat berharga, mereka menyebutnya „obligasi‟, „warrant‟ (hak membeli kembali), „right‟ (hak memesan efek terlebih dahulu; HMETD) dan „saham‟. Surat berharga diterbitkan oleh perusahaan atau institusi permerintah yang disebut sebagai emiten adapun pembeli surat berharga itu disebut sebagai investor (pemberi dana). „Obligasi‟ ia adalah surat berharga, apa yang membuatnya berharga „utang‟lah yang dimuat ke dalamnya (yaitu utang perusahaan atau utang institusi pemerintah penerbit surat berharga tersebut; emiten), kemudian obligasi tersebut surat berharga jangka panjang dalam periode tahunan yang menjanjikan keuntungan tetap (fix income) berupa bunga utang bagi pemegang surat tersebut. Jelas sekali 145

ketika utang di muat ke dalam kertas, lalu memperdagangkan kertasnya (utang ekstrinsik) tersebut layaknya komoditi (untuk memperoleh keuntungan atau menderita kerugian daripadanya) tidak lain adalah riba, riba berlapis-lapis riba. Ia sejatinya menjual hal yang tidak benar untuk dijual dan memperoleh hal yang tidak benar untuk diperoleh baik bunga utangnya itu sendiri atau keuntungan (capital gain) perdagangannya. „Warrant‟, adalah surat yang dimuat ke dalamnya „syarat jual beli‟; yaitu hak membeli kembali (surat berharga). Bila kita tanyakan, adakah memperjualbelikan „syarat jual beli‟ atau „hak membeli kembali‟ layak sebagai komoditi, adakah transaksinya diakui oleh Islam?, jelas sekali „syarat jual beli‟ atau „hak membeli kembali‟ bukan lah komoditas yang dapat diperjualbelikan. Ia hanya uang kuasa untuk memberikannya hak eksklusif dan prioritas dibanding pembeli-pembeli lainnya. Sama juga dengan „right‟ atau HMETD ia memuat „hak memesan efek terlebih dahulu‟ ke dalam surat. Ia memperjualbelikan hal yang tidak benar untuk diperjualbelikan, ini jelas bathil. Dan berbagai bentuk surat berharga turunan lainnya di pasar modal kebanyakan adalah hal-hal yang tidak benar untuk diperjualbelikan, kebanyakan adalah hal-hal yang tidak layak diakui sebagai komoditi atau asset atau harta. Lalu bagaimana dengan saham? Kaum Islam moderenis (yang mempromosikan Islamisasi instrumen pasar modal) memandang saham adalah instrumen keuangan yang paling sesuai dengan cara Islam, ia sama halnya dengan investasi dan di dalam Islam investasi adalah hal yang dihalalkan dan banyak praktik-praktik muammalah dan akad-akad kontrak di dalam Islam yang bisa mengakomodasi kegiatan investasi ini; seperti musyarakah, mudharabah, dan lain-lain sebagainya. Lalu apa salahnya menciptakan saham syariah? Saham ia dipandang sebagai surat berharga, tetapi apa yang membuat surat yang tidak berharga menjadi berharga? Apa yang dimuat ke dalamnya? Di dalam surat berharga „saham‟, ia memuat asset perusahaan. Sehingga dipandang apabila seseorang membeli share (bagian) surat berharga „saham‟ maka ia memiliki hak atas asset perusahan dalam besaran persen sesuai share yang dicantumkan dalam surat saham tersebut. Oleh karena itu para pemegang saham akan memperoleh share keuntungan setiap periode tertentu. Bukankah ini sesuai syariah, sama seperti investasi yang halal? Sekarang kita mulai dengan membicarakan „capital gain‟nya dari perdagangan saham itu sendiri, adakah saham ini boleh diperjualbelikan menganggap „surat berharga‟ itu sendiri sebagai komoditas, sebagaimana sejatinya ia bernilai secara ekstrinsik, yaitu asset yang riilnya sebetulnya ada diluar benda „surat berharga‟ itu sendiri. Adakah sama antara surat (ekstrinsik) dengan asset atau harta riil (intrinsik)?. 146

Pertama sekali, ketika menjual saham (ditengah proses regenerasi kekayaan perusahaannya) sama saja me-withdraw modalnya pada perusahaan yang dibelinya (share-nya) di tengah jalan dan menukarkan modal yang ditariknya kepada pemodal baru dengan keuntungan yang diperoleh, hal ini tidak bisa dipandang hanya terjadi hawalah (perpindahan tangan/kepemilikan) semata tetapi juga hawalah dengan gain (keuntungan) atau bahkan loss (kerugian). Ia adalah riba, yaitu mempertukarkan modal (uang) yang telah ditariknya ditengah proses investasi dan regenerasi kekayaannya kepada pemodal baru untuk memperoleh keuntungan. Selain dari pada itu, apa konsekuensi dari memuat nilai asset ke dalam sebuah kertas, lantas memperlakukan kertasnya (yang bernilai ekstrinsik) layaknya komoditi riil (yang bernilai intrinsik), walaupun kertas (ekstrinsik) itu mewakili asset (intrinsik) yang dimuat ke dalamnya, tetapi apabila kertas (yang bernilai ekstrinsik) itu dilepas ke pasar layaknya sebagai komoditi (yang riil atau intrinsik) di mana transaksi kertas (ekstrinsik) tersebut berlaku dalam cara yang sangat-sangat cepat, dinamis dan agressif (karena di antara motif-motif pelaku perdagangan saham adalah „capital gain‟-nya, bukan hasil investasi/dividennya semata-mata). Yang sebetulnya terjadi adalah harga yang terbentuk ke atas kertas ekstrinsik tidak sama dengan harga yang terbentuk ke harta intrinsiknya, bahkan harga yang terbentuk ke atas „kertas ekstrinsik‟ lebih volatile (labil) dibandingkan dengan bila harga terbentuk ke atas harta intrinsiknya, mengapa karena estimasi orang terhadap asset intrinsiknya dibandingkan terhadap kertas ekstrinsiknya tidaklah sama dan juga harga yang terbentuk ke atas „kertas ekstrinsik‟nya terintegrasi dengan sistem informasi, berita dan rumor yang sangat dinamis (yang mungkin bercampur benar salahnya). Konsekuensi dari hal ini, maka „kertas ekstrinsik‟ menciptakan harga ilusi atas asset atau harta intrinsiknya, berlaku layaknya karung penutup yang menutupi asset atau harta intrinsiknya. Perdagangan kertas ekstrinsik saham (yang sejatinya mewakili perdagangan asset intrinsik yang dimuat ke dalamnya) sama seperti perdagangan „kucing dalam karung‟, di mana kertas ekstrinsik-nya itu sendiri berlaku layaknya „karung penutup‟ yang menciptakan harga ilusi, yang bersifat sangat volatile (labil) dan rentan terpengaruh informasi-informasi yang beredar yang sangat dinamis (yang membombardir rasionalitas pelaku transaksi saham), yang mana harga itu tidak mencerminkan harga dari harta atau asset intrinsiknya yang sebenarnya. Ini tidak lain dan tidak bukan merupakan transaksi syubhat alias gharar (transaksi tidak jelas harganya dan komoditinya, dimana komoditi intrisniknya „dimuat‟ atau dengan kata lain „tertutup‟ kertas ekstrinsiknya). Oleh karena itu juga, pasar saham (atau pasar keuangan lainnya) yang memperdagangkan harta yang bernilai secara ekstrinsik lebih tepat seperti tempat judi. Kenapa? Harga-harga yang terbentuk ke atasnya adalah harga-harga yang sangat labil (volatil) dan bersifat ilusi, manakala sementara ia sejatinya 147

memperjualkan „harta intrinsik‟ yang dimuat ke dalamnya atau bahkan juga sesuatu hal yang tidak layak dianggap sebagai komoditi atau harta dimuat ke dalam kertas ekstrinsik yang diperdagangkan, adapun para pelaku yang beraktivitas, bertransaksi, memperdagangkan kertas-kertas ekstrinsik itu sedang bertaruh dan mencoba memprediksi dan menebak, apapun pendekatan dan metode perhitungannya untuk memprediksi harga saham untuk memperoleh keuntungan atau menerima kerugian dari padanya, tidak lain dan tidak bukan layaknya bermain judi. Kenapa? Karena tidak ada kaitannya hasil keuntungan atau kerugian yang diperolehnya dengan aktifitas riil regenerasi kekayaannya, itulah disebut judi (maysir). Oleh karena itu sejatinya memperjualbelikan asset perusahaan yang dimuat kedalam sebuah kertas tidak ada kaitannya dengan kegiatan riil aktivitas regeneratif kekayaan asset perusahaan itu sendiri. Sehingga keuntungan yang diperoleh dari memperjualbelikan (share) asset perusahaan yang dimuat ke dalam sebuah kertas, sejatinya adalah perolehan/keuntungan perjudian. Kita tahu apa yang menyebabkan penjudi untung adalah berhasil menebak atau memperdiksi sesuatu, tetapi sesuatu itu tidak ada kaitannya dengan aktivitas riil regeneratif kekayaan, aktivitas bisnis riil, ekonomi riil. Kertas itu tidak ada kaitannya dengan harta riil (yang dimuat ke dalam kertas tersebut). Konsepsi pasar modal atau pasar keuangan tidak lain dan tidak bukan hanya tempat judi, pasar modal sejatinya adalah wadah judi, dengan segala instrumen bermacam-macam yang ada di dalamnya baik instrumen keuangan syariah ataupun bukan. Jadi jangan coba salahkan seseorang berspekulasi di dalam pasar modal atau di pasar keuangan, hal ini karena spekulan tersebut ber-spekulasi berada pada tempat yang tepat, yaitu tempat judi, dan setiap penjudi pasti lah spekulator; penebak dan tukang prediksi. Lalu adakah „surat berharga‟ syariah? Memuat nilai harta riil (asset) ke dalam kertas apakah itu tradisi Islam?, lantas menganggap atau mengakui kertas (yang memuat harta riil) itu sendiri sebagai komoditi adakah itu dibenarkan?, Konsekuensi yang terjadi bila memuat harta riil ke dalam sebuah/selembaran kertas maka harga yang terbentuk ke atasnya jelas tidak mencerminkan harga yang terbentuk atas harta riilnya, ia adalah harga ilusi, harga yang tidak stabil, ia adalah gharar. Walaupun akad-akad syariah dibentuk, ditransformasi, dikombinasikan, digabung-gabungkan, direkayasa untuk membuatnya terlihat halal dan legal di dalam Islam. Imam Malik dalam Muwattha, menerangkan: Yahya meriwayatkan padaku dari Malik bahwa ia mendengar tanda terima (resi) dibagikan pada penduduk pada masa Marwan bin al-Hakam untuk barang di Pasar al-Jar. Penduduk membeli dan menjual resi di antara mereka sebelum mereka mengambil barangnya. Zaid bin Tsabit bersama seorang sahabat Rasulullah pergi menghadap Marwan bin al-Hakam dan berkata, “Marwan, apakah engkau menghalalkan riba?”. Ia menjawab, “Naudzubillah, apakah itu?”. Ia berkata, “resi-resi ini

148

yang dipergunakan penduduk untuk berjual beli sebelum menerima barangnya”. Marwan kemudian mengirim penjaga untuk mengikuti mereka dan mengambilnya dari penduduk kemudian mengembalikannya kepada pemilik asalnya.

HR. Muslim dan Ahmad, dari Sulaiman bin Yasar ‫ ر‬: Bahwa Abu Hurairah

‫ ر‬berkata kepada Marwan: “Apakah kamu menghalalkan jual beli riba?”,

Marwan menjawab, “saya tidak menghalalkannya”. Abu Hurairah melanjutkan; “kamu menghalalkan jual beli sukuk (surat kertas yang dikeluarkan oleh penguasa, bertuliskan sejumlah makanan atau selainnya yang diberikan kepada orang yang berhak). Sungguh Rasulullah

‫ ز‬telah

melarang menjual bahan makanan sampai ia ditimbang terlebih dahulu”. Sulaiman berkata; “lantas Marwan mengumumkan kepada orang-orang dan melarang jual beli seperti itu”. Sulaiman berkata “saya dan para pengawal mengambilnya dari tangan orang ramai”

Segala sesuatu yang ditulis ke atas kertas walaupun ia mewakili harta riil yang bernilai intrinsik adakah itu harta dalam bentuk uang atau komoditi; seperti cek, saham, catatan keuangan, laporan keuangan, nota, kwitansi dan lain-lain. Ia sejatinya di dalam Islam hanya berfungsi sebagai „alat hukum‟ yang hanya berfungsi di depan hukum sebagai alat bukti kepemilikan atau alat wakil atas harta riil tersebut dan segala sesuatu yang ditulis menjadi sebuah catatan adakah itu catatan diatas kertas atau catatan digital di dalam komputer, ia sama sekali bukan komoditas, yang bisa diperdagangkan untuk memperoleh keuntungan atau kerugian. (Quran, Surat Al-Baqarah 2: 282) Jelas sekali konsepsi pasar keuangan adakah itu pasar modal dan pasar uang adalah konsepsi pasar yang bathil. Dan tidak layak disebut sebagai pasar, manakala pasar diartikan tempat/wadah/media untuk memperjualbelikan komoditas (barang dan jasa). Adapun yang ditransaksikan di dalam pasar modal dan pasar keuangan sama sekali tidak layak di dalam perspektif Islam sebagai komoditas. Yang diperdagangkan di dalamnya bukanlah komoditas, melainkan „kepalsuan‟ demi „kepalsuan‟ yang dibuat-buat berlapis-lapis. IX.II

Bank dan Bank Islam Definisi Riba dalam Al-Quran adalah “pertambahan harta (ziyadah) (Quran, Surat Ar-Rum 30: 39), yang diperoleh atas jerih payah orang lain dengan cara yang tidak benar/batil” (Quran, Surat An-Nisa 4: 29 dan 161). Maka riba banyak macamnya, akan tetapi identifikasi riba yang paling utama dan paling berbahaya (karena ia adalah kejahatan yang paling sukar dikenali dan difahami manusia) yang diberikan contohnya di dalam Al-Quran adalah Riba Qardh atau Riba Dayn; yaitu „lebihan‟ yang dituntut atas pokok pinjaman atau utang (Quran, Surat Al-Baqarah 2: 278281). 149

Bank yang berlaku dengan cara ini, yaitu meminjam dari nasabahnya untuk memperoleh pinjaman dengan memberikan imbalan bunga dan kemudian lagi meminjamkan uang tersebut kepada peminjamnya dengan imbalan bunga, adalah praktik Riba Qardh atau Riba Dayn, baik kadarnya sedikit atau banyak, baik ringan atau berlipat. Riba yang berlaku dalam „perbankan konvensional‟ (yaitu bunga pinjaman); ini sesungguhnya adalah riba yang sama dengan yang dijelaskan di dalam Al-Quran (Quran, Surat Al-Baqarah 2: 278-281) Bagaimanakah dengan „Bank Islam‟ atau yang disebut dengan „Bank Syariah‟? „Bank Islam‟, diklaim tidak bekerja dengan cara Riba karena ia adalah bank yang bebas dari bunga. Tetapi kita belum lagi mencari definisi Riba dalam Ahadits, adakah bentuk Riba selain bunga pinjaman? Riba yang selain dari riba pinjaman (Riba Qardh) adalah riba dalam transaksi, pertukaran atau jual beli (Riba bai‟). Riba dalam transaksi ada dua macam; yaitu Riba Fadhl dan Riba Nasi‟ah. (1) Riba Fadhl adalah riba (ziyadah atau keuntungan) yaitu selisih/lebihan; yang terjadi pada pertukaran uang dengan uang yang berlaku dalam cara tunai (tanpa tempo). Sebagaimana yang berlaku pada 6 komoditi pada suatu riwayat hadits Rasulullah ‫ز‬. (2) Riba Nasi‟ah adalah riba (ziyadah atau keuntungan) yang terjadi pada uang yang tertangguh pembayarannya atau pentunaiannya, tidak peduli itu adakah pertukaran „uang dengan uang‟ atau „uang dengan komoditi‟ atau yang disebut „bai‟ muajjal‟ (jual beli tertangguh). Karena nasi‟ah artinya adalah penangguhan, artinya satu-satunya alasan uang itu bertambah adalah oleh karena waktu. HR. Bukhari dan Muslim, Rasulullah ‫ ز‬bersabda: “Tidak ada riba kecuali pada penangguhan (nasi‟ah)”

Di antara yang termasuk dari pada Riba Nasi‟ah itu ialah: a. Riba Jahiliyyah: yaitu mengenakan denda atas utang atau pembayaran yang tertangguh (kredit atau cicil) b. Riba Dayn: yaitu mengenakan bunga atas utang atau pembayaran yang tertangguh (kredit atau cicil) c. Riba Qardh: yaitu menetapkan bunga atas utang pinjaman. Oleh karena itu maka apabila yang berlaku pada Riba Fadhl adalah uang menjadi objek dagangan, maka pada Riba Nasi‟ah adalah manakala uang menjadi objek sewaan, maka dari masing-masingnya baik ia menjadi objek

150

dagangan atau sewaan dibenarkan untuk memperoleh lebihan keuntungan (ziyadah) atau rugi daripadanya. Berdasarkan semua jenis Riba tersebut, maka ada intisari yang dapat diperoleh sebagai kaedah dalam transaksi ribawi, yaitu sifat uang di dalam Islam ialah: 1. Tidak boeh mengambil untung dari pada pertukaran antar uang (uang dengan uang); uang bukan objek dagangan. 2. Uang tidak bertambah oleh karena waktu; uang tidak berkembang biak seperti berkembang biaknya hewan ternak atau hasil pertanian, atau usaha manusia; jasa atau tenaga manusia; uang bukan objek sewaan. Sifat-sifat tersebut, dapat digunakan sebagai kaedah untuk mengenali berbagai macam bentuk riba-riba lainnya. Adapun beberapa kaedah yang mudah bisa gunakan untuk mengenali riba dalam sistem bank dan lembaga keuangan syariah lainnya, sebagaimana berikut: Kaedah 1: Uang Bertambah Oleh Karena Waktu Adalah Riba Margin Di dalam perbankan syariah, ada sesuatu yang dikenal dengan sebutan „margin‟. Ia adalah perolehan keuntungan yang diperoleh Bank Islam atau Bank Syariah sebagai keuntungan usaha jasa keuangan perbankan islam/syariah. „Margin‟ ditetapkan berdasarkan ketentuan perbankan, ia dipandang sebagai perolehan yang sah dari usaha perbankan syariah melalui berbagai akad-akad jual-beli dan akad-akad kerjasama, perbankan islam/syariah. Tetapi sejatinya „margin‟ adalah bunga yang menyamar sebagai keuntungan (profit). Mengapa demikian, margin ditentukan dari awal sebelum berlakunya akad niaga maupun akad kerjasama/bagihasil oleh perbankan islam/syariah. Tetapi penetapan margin di awal itu bukan „target‟ usaha semata mata, melainkan „keuntungan yang dituntut‟ tanpa memperdulikan risiko pasar, mengelak dari pasar, mengimunisasi diri atau mengebalkan diri (perbankan islam/syariah) dari kerugian, sehingga sejatinya bank tidak boleh rugi, bank menjalankan bisnis anti-rugi, bank tidak mau menanggung risiko kliennya, sebaliknya klien bank islam/bank syariah harus menanggung ruginya sendiri dan rugi dari pihak bank. Tetapi beberapa alasan dari penetapan „margin‟ itu adalah; „uang di masa sekarang lebih bernilai dari pada uang di masa depan‟, dalam kata lain uang itu menyusut nilainya (inflasi), itulah yang tidak ingin ditanggung oleh perbankan islam/perbankan syariah. Hal ini adalah konsekuensi dari uang fiat yang bekerja dalam kerangka „time value of money‟ (atau apapun bahasanya ketika perbankan syariah ingin mengelak dari kerangka „time value of money‟ maka diciptakan istilah 151

„economic value of time‟ untuk menutupi cara kerja „time value of money‟ yang berlaku pada uang fiat). Dengan kata lain, ketika perbankan syariah/islam menetapkan keuntungan „margin‟ dengan tingkat kepastian yang tinggi (mengelak dari menanggung risiko pasar), telah mengakui uang fiat (yang hakikatnya fraud) sebagai uang yang halal dan mengakui cara kerja uang (fiat) dalam kerangka „time value of money‟. Itu artinya menghalalkan „uang bertambah oleh karena waktu‟. Ini adalah riba. Inflasi yang saat ini yang terjadi di zaman modern yang terjadi pada uang fiat sama sekali tidak layak disebut sebagai risiko pasar, ia tidak pantas menjadi risiko (sebagai kompensasi) untuk keuntungan. Murabahah Praktik murabahah dalam tradisi Islam ialah mengambil keuntungan dari harga beli dan harga jual suatu komoditi. Pada jual-beli biasa (musawwamah) lazimnya seorang penjual komoditi tidak memberitahukan (merahasiakan) harga belinya dan menawarkannya pada harga rasional yang bisa diterima oleh pembeli. Tetapi dalam praktik murabahah, seorang penjual komoditi memberitahukan (membuka rahasia) harga belinya dan menawarkannya pada harga rasional yang bisa diterima oleh pembeli. Praktik murabahah ini sejatinya adalah mubah. Murabahah yang dipraktikan perbankan islam/syariah agaknya melenceng sedikit tetapi fatal. Murabahah apapabila dijelaskan oleh perbankan syariah; ia adalah jasa keuangan dimana seseorang dapat mengajukan pembelian komoditi, kemudian bank syariah akan membelikannya dengan harga x secara tunai kemudian menjualnya kepada pihak yang mengajukan pembelian tersebut seharga y secara cicil atau tunai. Di mana harga y (harga jual) lebih tinggi daripada harga x (harga beli). Namun biasanya murabahah yang dilakukan oleh perbankan syariah selalu dalam bentuk cicil, karena harga y (harga jual) yang lebih tinggi dari pada harga x (harga beli) tanpa cicil adalah tidak rasional, manakala dipasar yang sama harganya hanya sebesar x, tidak mungkin ada yang mau membeli dengan harga seperti itu kecuali dia adalah seorang yang mustarsal (jahil terhadap harga pasaran) atau dia adalah seorang yang tidak cakap (tidak aqil). Oleh karena itu disini terselip ba‟i muajjal (transaksi tertangguh atau kredit) di dalam akad murabahah perbankan syariah. Namun bila „kenaikan harga‟ berlaku atas „komoditi‟ sebagai balasan atau kompensasi atau timbal balik atas pembayaran yang tertangguh (kredit atau cicil) tidak lain dan tidak bukan ia adalah „uang bertambah oleh karena waktu‟, tidak ada alasan lain untuk berkelit atas kenaikan harganya selain satu-satunya alasannya adalah oleh karena waktu, „waktu‟ bukan komoditi yang bisa dijual dalam prinsip moral Islam, ia adalah Riba.

152

HR. Abu Dawud, dari Abu Hurairoh: “Barangsiapa menjual dua penjualan dalam satu penjualan (2 harga berlaku dalam 1 komoditi; harga tunai dan harga cicil/kredit) maka ia hanya dibenarkan mengambil harga yang paling kecil, kalau tidak maka ia telah terjatuh ke dalam riba”

Kaedah 2: Modifikasi Atau Kombinasi Dua Akad Atau Lebih Dalam Satu Akad (Multi-akad) Adalah Batil HR. Ahmad, shahih: “Nabi ‫ ز‬telah melarang dua kesepakatan (akad) dalam satu kesepakatan (akad)” Akad kombinasi atau multi-akad ialah kesepakatan dua pihak untuk melaksanakan suatu muamalah meliputi dua akad atau lebih, misalnya akad jual-beli dengan ijarah, jual-beli dengan hibah, dan lain-lain, dan semua akibat hukum dari akadakad gabungan itu, serta semua hak dan kewajiban yang ditimbulkannya, dianggap sebagai satu kesatuan yang tidak dapat dipisah-pisahkan, yang sama kedudukannya dengan akibat-akibat hukum dari satu akad (Nazih Hammad, Al-„Uqud AlMurakkabah Fi Al-Fiqh Al-Islami) Aplikasi multiakad pada lembaga keuangan syariah/islam cukup banyak dan beraneka ragam, pada lembaga keuangan syariah/islam; akad selalu melibatkan tiga pihak yaitu; pembeli, lembaga keuangan dan penjual. Walaupun tiap dua pihak melakukan satu akad, tetapi karena ada 3 pihak maka minimal pasti terjadi 2 akad, dan apabila ia dijadikan satu-kesatuan sebagai satu prosedur, satu akad maka jelas ia adalah menyatukan 2 akad dalam satu akad. Keuangan islam atau Islamic finance begitu kaum modernis menyebutnya telah membangun atau merekayasa sistem keuangan islam modern (financial engineering) yang memodifikasi akad-akad menjadi akad-akad produk-produk keuangan yang bertujuan agar minimal bisa menyaingi atau kalau bisa lebih baik dari pada sistem keuangan barat modern yang syarat akan riba, kemudian produk-produk keuangan syariah tersebut bersaing di dalam sistem ekonomi yang riba dilegalkan. Sejatinya sistem keuangan islam yang dibangun tersebut adalah sistem yang mengabunggabungkan akad-akad menjadi satu akad dan ini digunakan tidak hanya di tubuh perbankan islam/syariah dan lembaga keuangan syariah/islam lainnya tetapi juga diaplikasikan dalam instrumen-instrumen pasar keuangan syariah (pasar modal dan pasar uang). Menggabungkan dua akad atau lebih ke dalam satu akad sejatinya membuka pintu riba, yang memungkinkan pelaku ekonomi memperoleh riba, lewat pintu lain, selain pintu (bunga) pinjaman, yang memungkinkan seseorang mengelak dari risiko kerugian, mengebalkan diri dari kerugian. Dengan prinsipsi dan intisari cara kerja riba yaitu; bila seseorang harus untung namun dijamin tidak bisa rugi, ini tidak lain 153

prinsipsi dan intisari cara kerja riba, atau ia bisa dikatakan sebagai „bisnis anti-rugi‟ sejatinya adalah intisari cara kerja riba. Kaedah 3: Perserikatan adalah sepenanggungan dalam kontribusi, sepenanggungan dalam untung dan sepenanggungan dalam rugi (risiko). Di dalam perbankan islam/syariah, ada akad kerjasama atau disebut akad bagi-hasil (profit sharing atau revenue sharing). Selain ia juga berlaku dengan penerapan „margin‟, lalu ada yang janggal dari akad bagi-hasil perbankan syariah ini. Berkaitan dengan margin (keuntungan), berdasarkan kaedah keuntungan Ibnu Arabi; „keuntungan = kontribusi + tanggungan + risiko‟. Di dalam konsep perbankan „inflasi‟ termasuk risiko pasar. Manakala dalam pandangan moral Islam yang sejati yang dapat melihat inflasi yang terjadi pada hari ini yang terjadi berasaskan „sistem penggelembungan‟ bukanlah termasuk risiko pasar yang bisa diterima, karena ia adalah sistem uang fiat yang fraud (curang); mencetak uang tanpa berasaskan cadangan intrinsik. Adapun dalam akad bagi-hasil atau perserikatan yang diterapkan bank syariah/islam dan lembaga keuangan syariah, sebagai mana “keuntungan = kontribusi + tanggungan + risiko”, risiko 100% yang seharusnya menjadi tanggungan bersama, yang terjadi dilapangan malahan risiko hanya diterima oleh klien partner kerjasamanya atau perserikatannya atau risiko yang ditanggung oleh klien partner kerjasamanya lebih tinggi dari share yang semestinya di mana klien menanggung share risiko milik bank syariah/lembaga keuangan syariah. Partner-partner persekutuan seharusnya saling sepenanggungan bagaikan satu tubuh, satu sama lainnya tidak boleh berlaku saling mengkhianati dan berlaku tidak adil kepada yang lainnya (Quran, Surat Al-Maidah 5: 1, Quran, Surat Shaad 38: 24), yaitu sepenanggungan dalam kontribusi, dalam jatah (keuntungan), dalam tanggungan dan dalam risiko (kerugian), yang terjadi dalam sistem perbankan, bank tidak mau menanggung risiko kliennya, sementara memperoleh bagian keuntungannya menetapkan „margin‟; sebagai keuntungan yang dituntut tanpa timbal balik yang setimpal di mana; „keuntungan = tanggungan + kontribusi + risiko‟. Perserikatan yang seperti ini adalah perserikatan yang tidak jentel, perserikatan yang pengecut, lari dari risiko pasar, mengimunisasi, mengebalkan diri dari berbagai kemungkinan kerugian. Tidak lain adalah perserikatan yang mencurangi kliennya; maka keuntungan yang diperoleh atasnya adalah riba. Konsepsi Bank (Konvensional Maupun Syariah) Adalah Batil dan Salah Total (1) Bank adalah usaha jasa keuangan yang berlandaskan dana simpanan (titipan atau tabungan) Sumber dana utama yang digunakan untuk menjalankan usaha perbankan/jasa keuangan perbankan adalah sumber dana milik masyarakat yang dititipkan kepada 154

bank, dalam bentuk simpanan. Masyarakat yang menitipkannya disebut nasabah. Satu hal yang nasabah ingin pastikan kepada bank adalah uang/harta yang dititipkannya harus aman, tidak boleh sesuatu hal terjadi kepada uang tersebut, misalnya hilang, dirampas, berkurang, dirampok, dan lain-lain. (2) Konsekuensi dari dana simpanan adalah kepastian dana (terjaminnya dana) Karena bank yang diamanahi harta/uang titipan oleh nasabahnya harus memastikan aman, tidak boleh terjadi apa-apa dengan uang simpanan nasabah tersebut, nasabah menuntutnya demikian. Maka hukum di negara dibuat untuk memastikan uang masyarakat yang dititipkan kepada lembaga keuangan yaitu bank, harus pasti aman. Oleh kerena itu kita bisa melihat institusi „lembaga penjamin simpanan‟. (3) Konsekuensi dari kepastian dan terjaminnya dana adalah usaha bank yang dijalankan bersumber dari dana tersebut tidak boleh rugi Karena bank, sebagai yang diamanahi harta simpanan masyarakat di satu sisi ia harus menjamin uang masyarakat tidak hilang, tidak berkurang (kecuali untuk biaya administrasi), tetapi disisi lain kita tidak boleh lupa bank adalah badan usaha, usaha yang bergerak dibidang jasa keuangan, badan usaha tentu saja orientasinya keuntungan. Di mana harta yang dititipkan oleh nasabah kepada bank, harus boleh dipinjam oleh bank dengan bank menjanjikan bunga atau bagi hasil dari uang yang dipinjam tersebut (berasaskan simpan-pinjam), namun bank juga faham ia tidak boleh rugi dari usaha tersebut, karena hukum dan perundangan dibuat menuntutnya demikian yaitu; (walaupun bank boleh menggunakan uang simpanan tersebut untuk usaha, namun) bank harus memastikannya dananya aman; yaitu tidak boleh harta simpanan tersebut berkurang, dengan kata lain; usaha bank (yang sejatinya bermodalkan dana simpanan masyarakat) tidak boleh rugi (bank punya dalih untuk tidak menanggung kerugian; karena dana yang digunakannya adalah dana masyarakat/nasabah yang akan menuntut komplain bila terjadi sesuatu dengan dananya).

(4) Konsekuensi dari usaha yang tidak boleh rugi adalah hanya boleh untung Apabila bank menjalankan usaha dengan cara; tidak boleh rugi dan dengannya bank memperoleh keuntungan. Ia adalah keuntungan yang diperoleh tanpa risiko. Ia adalah keuntungan yang diperoleh dengan mengebalkan diri (immunize) dari kemungkinan kerugian. Maka sesuatu usaha yang tidak boleh rugi dan harus untung (bisnis anti-rugi), ia adalah intisari cara kerja riba. Ini ciri khas cara kerja yang berlaku pada bank, baik bank konvensional maupun bank islam/syariah.

155

IX.III

Baytusysyirkah Perbankan jelas sekali bukan bentuk dan kerangka keuangan publik Islam, karena perbankan adalah lembaga keuangan komersil berbasis dana simpanan yang dipinjam dan dipinjamkan, kerangka kerja bank itu mengharuskan bank memperoleh untung dengan cara mengebalkan diri (mengimunisasi) dari kerugian, ini tidak lain adalah cara kerja riba, baik ia bank konvensional atau bank yang dikatakan syariah/islam; yang memodifikasi istilah atau term, skema dan mekanismenya menjadi lebih rumit dan “sepertinya masuk akal” namun beresensi sama (Riba lewat pintu belakang); yaitu „mengebalkan diri dari kerugian‟. Sistem ekonomi Riba itu juga mengakar pada uang fiat yang menyebabkan rusaknya pasar (inflasi) dan bank-bank telah dicipta dan dikonstruksi sebagai institusi yang melengkapi sistem uang fiat tersebut dan berasaskan dengannya; yaitu menciptakan kekayaan palsu dan menjaga kekayaan palsu tersebut tetap berlaku, tetap bernilai dan tetap digunakan masyarakat, sambil merampok nilai uang masyarakat, menguasai dan memperbudak masyarakat. Begitu pula pasar modal atau pasar keuangan, mengakui catatan kertas (yang bernilai ekstrinsik) layaknya asset atau komoditi intrinsik yang bisa diperjualbelikan, padahal sejatinya di dalam Islam catatan di atas kertas hanyalah „alat bukti‟ dan „alat hukum‟ (alat wakil, pemegangnya adalah yang berhak atas harta) untuk menegakkan keadilan, bukan „alat transaksi‟ atau „komoditi‟. Hal ini menimbulkan ilusi harga (gharar) sedangkan kuasa atau kepemilikan harta intrinsiknya boleh berpindah lewat sell & buy dari memprediksi harga sekuritas yang ilusif, ia adalah judi (maysir), pemindahan tangan (hawalah) dan withdraw atas investasi yang sedang berjalan untuk memperoleh keuntungan darinya tidak lain adalah keuntungan ribawi, memperjualbelikan „modal‟ (uang). Pasar keuangan; pasar uang dan pasar modal bukan bentuk sistem keuangan dan permodalan yang sesuai dengan prinsip-prinsip Islam, ia telah dicipta sebagai instrumen keuangan global untuk menguntungkan para elit predator menguasai aset-aset negara dan masyarakat dengan cara yang manipulatif dan bersifat perjudian. Oleh karenanya berdasarkan itu semua, perlu kiranya mengusulkan bentuk mediasi baru yang sesuai dengan prinsip-prinsip Islam, yang dibangun dengan prinsipprinsip Islam yang bisa menggantikan (men-substitute) sistem permodalan sistem ekonomi riba. Barangkali bentuk baru mediasi yang sesuai dengan Islam itu disebut dengan Baytusysyirkah. Baytusysyirkah artinya adalah rumah persekutuan/perserikatan. Ia me-mediasi pihak-pihak yang berserikat yaitu pihak pengusaha/pebisnis/pedagang dan pihak pemodal. Namun Baytusysyrikah hanyalah mediator semata, ia tidak perlu terlibat menjadi pihak ke tiga untuk mengambil keuntungan dari pada dua pihak yang 156

berserikat. Baytusysyirkah konsepsinya merupakan infrastruktur (barang publik) yang disediakan oleh pemerintah (khalifah), dimana ia tidak hanya sebagai „rumah perserikatan‟ dari bisnis-bisnis dan perniagaan, Baytusysyirkah juga adalah infrastruktur hukum atau „rumah hukum‟ yang menjadi saksi atau menyediakan persaksian dan mengesahkan akad-akad perserikatan kaum muslimin, kemudian menjamin akad-akad perserikatan tersebut dengan hukum serta mengurai atau menyelesaikan masalah jika terjadi masalah lewat hukum. Baytusyirkah sebagai „rumah hukum‟, di antara perannnya yaitu: 1. Menjadi tempat perasaksian akad, 2. Pengesah akad-akad, 3. Membuatkan sertifikat (dari akad-akad persekutuan tersebut; musyarakah, mudharabah/qirad, dan lain-lain), 4. Sebagai mediasi hukum yang menerima laporan, yang menyelesaikan sengketa atau permasalahan-permasalahan kontrak dan bisnis. 5. Mediasi yang menyediakan dan melakukan audit laporan keuangan, melakukan pemantauan (transparansi) laporan keuangan dan menentukan standar bisnis yang layak dan professional. 6. Mediasi yang memfasilitasi pengubahan status kontrak-kontrak bisnis tersebut (likuidasi, pecah kontrak, gabung/merger, atau alih tangan (hiwalah) suatu perusahan/bisnis/usaha) Secara konsepsinya, selain Baytusysyirkah sebagai „rumah persekutuan‟ dan „rumah hukum‟, Baytusysyirkah juga adalah „rumah informasi‟, yaitu informasi-informasi (list) terkait penawaran: 1. Rekrutmen (tenaga ahli tertentu; akuntan, manajer, dan lain-lain) 2. Penawaran modal (investor) 3. List penawaran bisnis (entry business) dan list bisnis yang telah diratifikasi (running business) Akad-akad persekutuan di Baytusysyirkah sesuai standar akad persekutuan di dalam Islam, adakah ia musyarakah (persekutuan modal) atau mudharabah/qiradh (modal usaha dan pengelola) dan lain-lain. Akad-akad tersebut bekerja secara periodik, tidak bisa dibatalkan atau di-withdraw atau di-alihtangan-kan (hiwalah) manakala kontrak sudah diakad dan bisnis sedang berlangsung hingga akhir periodenya mengikut periodik bisnisnya (laporan keuangan per tutup buku), hingga akhir periode baru re-kontrak (kontrak ulang) bisa dilakukan saat tutup buku, re-kontrak bisa diajukan kembali ke Baytusysyirkah untuk memperbaharui sertifikat; adakah re-kontrak itu terkait alih nama pemegang share (hiwalah) atau mengubah besaran share.

157

Standar bisnis yang layak dan professional harus bisa menerbitkan laporan keuangan yang baik dan berstandar, maka dari itu juga Baytusysyirkah mengakomodasi dan menyediakan rekrutan tenaga akuntan. Bila ada sengekta tertentu misalnya perolehan share yang tidak sesuai saat kontrak atau apapun masalahnya, maka ia dapat diajukan kepada Baytusysyirkah untuk diaudit dan menetapkan sanksi tertentu. Baytusysyirkah sebagai rumah informasi akan menampilkan informasi-informasi yang dibutuhkan bagi para pemodal dan para pebisnis yang sedang melakukan pekerjaan professionalnya, list-list rekrutmen, list-list penawaran modal, dan list-list bisnis serta profil-profilnya dan kontak-kontak tertentu. Di antara penawaran bisnis tersebut ada dua kategori; penawaran bisnis baru (entry business) dan bisnis yang sedang berjalan atau telah berjalan (running business), di-antara bisnis yang sedang berjalan tersebut akan diratifikasi secara tingkat kesehatan keuangan atau tingkat produktifitasnya, secara rutin periodik (up to date) dan akumulatif semenjak perusahan/usaha tersebut didirikan. Selain Baytusysyirkah menyediakan badan audit dan rating, Baytusysyirkah juga menyediakan informasi mengenai outlook ekonomi dan bisnis kedepan yang bisa menjadi panduan para professional pebinis dan pemodal, serta professi-professi lainnya, Baytusysyirkah menyediakan badan hukum dan penyelesaian masalah, dan bahkan Baytusysyirkah bisa juga menyediakan rekening kas untuk bisnis (berasaskan sistem cadangan 100% dan terintegrasi dengan sistem survey zakat), baytusysyirkah juga menyediakan ruang presentasi, ruang demonstrasi ilmiah dan inovatif (inovasi dan teknologi baru yang menjadi potensi bisnis baru oleh peneliti atau akademisi). Mediasi Ekstensi: Sekolah Ekonomi-Bisnis dan Permagangan Di bawah Baytusysyirkah ada media pembelajaran ia adalah institusi sekolah dan permagangan (edukasi atau pembelajaran teori dan praktik) terkait ekonomi dan bisnis. Keberadaan institusi ini penting yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan berikut: -

Para professional (pebisnis, pedagang, investor, dan lain-lain) harus memenuhi prasyarat dasar; memahami ilmu iqtishad, fiqih dan batasanbatasan halal-haram muammalah. Untuk memproduksi tenaga-tenaga akuntan dan permagangan tenagatenaga akuntan. Untuk memfasilitasi permagangan keahlian bisnis dan manajerial. Untuk memproduksi tenaga-tenaga manajer berpengalaman (lewat permagangan).

158

Mereka-mereka yang ingin terjun sebagai professional keuangan, ekonomi dan bisnis, harus terlebih dahulu mengetahui dasar-dasar ilmu yang perlu diketahui baik dalam ekonomi (ilm al-iqtishad) ataupun dalam fiqih (batasan-batasan, halalharam muammalah), seni bisnis dan manajemen, mengetahui standar-standar pelaporan keuangan dan memiliki keterampilan-keterampilan yang diperlukan dalam memenuhi prasyarat, misalnya; kemampuan membuat laporan keuangan bisnis. IX.IV

Infrastruktur Keuangan Infrastruktur keuangan adalah prasarana atau fasilitas atau jasa keuangan yang disediakan untuk mendukung kelancaran aktivitas ekonomi masyarakat seperti; (1) fasilitas pinjaman, (2) fasilitas penitipan/tabungan dan (3) fasilitas transfer. Di dalam sistem ekonomi ribawi, umumnya infrastruktur keuangan diperankan oleh lembaga keuangan komersil, perbankan dan lembaga keuangan lainnya dengan menawarkan jasa-jasa dan fasilitas-fasilitas keuangan tersebut yang bekerja dengan cara riba seperti; pinjaman berbunga. Jasa-jasa keuangan itu sendiri sejatinya diperlukan untuk mendukung kelancaran aktivitas ekonomi, akan tetapi di dalam Islam konsepnya jasa-jasa keuangan itu harus tidak berlaku dengan cara ribawi. Tetapi, maka dari itu, dengan cara sebaliknya konsepsi keuangan Islam mengenai jasa-jasa keuangan itu justru dibangun dengan konsepsi sedekah (tabarru‟). Misalnya fasilitas pinjaman di dalam Islam tidak dibenarkan berlaku dengan cara menuntut imbalan bunga, pinjaman di dalam Islam hanya sah berlaku sebagai pinjaman tabarru‟ (pertolongan atau sedekah) yakni pinjaman qardhul hasan. Selain itu, fasilitas keuangan lainnya yang termasuk penting dan dibutuhkan seperti; fasilitas tabungan dan fasilitas transfer adakah ia boleh berlaku di dalam Islam? Apabila ditinjau secara Islam, fasilitas tabungan sejatinya merupakan jasa keuangan yang menyediakan kas/box atau wadah penitipan untuk mengamankan harta, ia adalah usaha pengamanan harta, maka adalah sah-sah saja untuk mengenakan ongkos/tarif/sewa pada kas tabungan ataupun mengenakan ongkos administrasinya. Begitupun fasilitas transfer/wesel, adalah jasa keuangan yang mengenakan ongkos pada biaya transportasinya atau administrasinya. Ongkosongkos itu adalah sah-sah saja dituntut dari pengguna jasa. Membebaskan ongkos pun sah-sah saja, ia terhitung sebagai pemberian (sedekah) kepada si pengguna jasa. Namun yang menjadi tidak sah adalah bila perspektifnya diganti; seseorang yang menitipkan hartanya kepada si penjaga titipan, tidak hanya sebagai „titipan‟ tetapi juga sebagai „pinjaman‟ (loan) oleh karena itu si penjaga titipan dituntut dengan imbalan atau kompensasi tertentu (sekalipun imbalan itu berupa pembebasan cost pada kas rekening tabungannya) yang demikian bukanlah termasuk tabarru‟ atau 159

sedekah, melainkan transaksi ribawi; yaitu memperjualbelikan „jasa pinjaman‟ atau „utang‟. Oleh karena konsepsi keuangan Islam mengenai jasa-jasa keuangan dibangun berdasarkan konsepsi sedekah, dengan cara sedekah, maka bentuk jasa-jasa keuangan itu disediakan terbebas dari ongkos atau tarif atau biaya kepada masyarakat. Hal ini berasaskan dan merupakan nilai-nilai kebijaksanaan Islam untuk membangun jasa-jasa keuangan itu dengan cara sedekah, dengan cara demikan ia akan memiliki kedudukan strategis tersendiri, terutama terhadap riba. Alasan yang paling utama, pembebasan ongkos atas jasa keuangan adalah untuk menghindari tercampurnya jasa-jasa keuangan dengan praktik riba dalam keuangan dan memperbesar daya guna sedekah yang bersifat strategis dalam mengatasi penyakit-penyakit ekonomi yang ditimbulkan oleh riba. Lebih lanjut, apabila ditinjau dalam perspektif moral, jasa-jasa keuangan yang sebetulnya merupakan komoditi (barang-jasa) strategis, karena hajat masyarakat terkait jasa-jasa keuangan bersifat komplementif dengan hajat terhadap uang itu sendiri, di mana ia merupakan komoditi yang menjadi hajat orang banyak. Apabila ditinjau dalam perspektif moral, dalam tinjauan moral Islam komoditi strategis yang menyangkut hajat orang banyak harus dikuasai oleh pemerintah (khalifah) atau ia dimiliki seluruh ummat islam secara berserikat tanpa terkecuali (milik umum) dan termasuk komoditi strategis yang dimaksud itu ialah infrastruktur keuangan. Maka dari itu jasa-jasa keuangan sebetulnya dalam tinjauan moral tidak dibenarkan dikuasai oleh entitas bisnis (badan privat), karena komoditi strategis yang tidak dikuasai oleh pemerintah (khalifah) atau dimiliki seluruh ummat islam (sebagai milik umum) berpotensi memberikan entitas bisnis tertentu kekuasaan monopolistik atas pasar, di mana kekuasaan monopolistik akan membuat seseorang (badan privat) menetapkan harga secara sepihak dan zalim terhadap masyarakat umum dan bahkan kekuasaan kekayaan yang diperolehnya lewat kuasa monopolistik bisa mengancam kekuasaan pemerintah (khalifah) atau membuat hukum mandul (memakzulkan hukum) bila hingga pada akhirnya entitas bisnis tersebut lebih kaya dari pada pemerintah (Khalifah). Di sinilah kaitannya, di mana jasa-jasa keuangan itu sendiri di dalam Islam mesti dibangun bersifat sedekah, bebas dari tarif atau biaya atau ongkos. Jasa-jasa keuangan yang bebas dari ongkos atau biaya atau tarif itu hanya bisa disediakan oleh pemerintah (khalifah), mengapa?. Hal ini karena, karakteristik yang inheren pada badan privat (entitas bisnis) adalah tuntutan profit (orientasi profit), di mana sustainability badan privat (entitas bisnis) itu berkegantungan terhadap profit agar institusi tersebut tetap berkelangsungan, berkelanjutan dan akan mustahil atau berat bagi badan privat (entitas bisnis) yang bersifat komersil ini untuk menyediakan jasa-jasa keuangan yang bebas tarif. Berbeda dengan badan pemerintah (khalifah), badan pemerintah memiliki kekuasaan hukum memperoleh 160

pemasukan pasti lewat sistem perpajakan (Baytulmal; sistem perpajakan yang mendistribusikan kekayaan yang hanya memungutnya dari si kaya kepada si miskin), sehingga badan pemerintah tidak semestinya berorientasi profit mencari keuntungan dan tidak selalu sibuk dengan urusan mengatasi sustainability institusi, tetapi sebagai tugas pemerintah, ia hanya fokus kepada pengentasan masalah ummat, orientasi mashlahat dan keselamatan ummat dari marabahaya (dunia dan akhirat), oleh karena itu jasa-jasa keuangan yang bebas tarif hanya bisa disediakan oleh entitas pemerintah (khalifah). Dengan demikian, bila hal ini diterapkan, yakni pembebasan biaya atas jasa-jasa keuangan (infrastruktur keuangan), hal ini akan memberi dampak dan peran strategis pada infrastruktur keuangan yang bersifat sedekah ini untuk mematikan usaha-usaha jasa keuangan komersil badan privat (entitas bisnis), mencegah badan privat (entitas bisnis) eksis atau survive menjalankan usaha-usaha jasa keuangan, di mana ia sejatinya tidak dibenarkan untuk menjalankan usaha-usaha terkait komoditi yang menjadi hajat orang banyak, sekaligus pembebasan biaya jasa-jasa keuangan juga berperan strategis untuk mematikan usaha-usaha jasa keuangan ribawi. Disamping itu keuntungannya, pembebasan biaya atas jasa-jasa keuangan akan berperan strategis sebagai insentif ekonomi yang sangat baik; yang memacu produktifitas dan kegiatan ekonomi riil. Maka dari itu „Infrastruktur Keuangan‟ di dalam konsepsi Islam dan praktinya, ia mesti dikuasai dan disediakan oleh entitas pemerintah dan bersifat sedekah (barang gratis), di mana sumber pendanaannya dan penutupan biaya-biaya ongkos operasional dan administrasinya bersumber pada sumber keuangan publik Baytulmal (alokasi penyaluran umum), di mana sistem perpajakan Baytulmal bersifat mendistribusikan kekayaan hanya memungutnya dari golongan menengah atas dan disalurkan ke golongan menengah bawah dan umum dalam cara yang adil. „Infrastruktur Keungan‟ di dalam konsepsi Islam bukan disediakan oleh entitas bisnis (badan privat), lembaga keuangan dan perbankan komersil yang memberikan entitas-entitas bisnis tersebut kuasa monopolistik dari barang publik yang menjadi hajat orang banyak. Begitupun semua barang publik di dalam Islam, hendaknya berlaku bebas tarif, sebagai sedekah pubik, sebagaimana pasar di dalam Islam adalah sedekah (bebas pungutan atau rente).

161

X

TABUNGAN DAN INVESTASI X.I

Tabungan dan Investasi

D

alam ekonomi ada dua pilihan kegiatan yang ditempuh untuk pemenuhan kebutuhan hidup di masa depan, di antaranya; (1) Alokasi harta pada akun tabungan dan (2) Alokasi harta pada akun investasi. Ke dua-duanya samasama memberi manfaat di masa depan. Akan tetapi adakah kiranya dari keduanya itu memiliki perbedaan mendasar yang perlu difahami? Perspektif moral ekonomi Islam umumnya sering mempromosikan seperti ini; „harta haruslah dikeluarkan, harta tidak boleh disimpan‟. Hal ini sangat beralasan karena banyak dalil dalil yang mengancam perilaku menimbun harta (ihtikar), sirah Rasulullah dan atsar para sahabat pun banyak pula menunjukan atau memberikan contoh di mana mereka sering tidak menyimpan uang atau hartanya terlalu lama, akan sering di dapati mereka akan membelanjakannya atau kebanyakan menyedekahkannya. Maka perspektif moral yang dipromosikan ini seolah membuat kesimpulan; „mengalokasikan harta pada tabungan adalah perkara yang harus dijauhi adapun yang lebih baik dan yang mestinya dilakukan hanyalah mengalokasikan harta pada sektor investasi‟, apalagi di saat zaman modern ini di mana tabungan berlaku secara ribawi di dalam sistem perbankan, perspektif moral yang menganjurkan tindakan „menjauhi tabungan dan mewajibkan investasi‟ lebih kuat lagi. Pertanyaan yang menggelitik sebetulnya adalah; adakah tabungan dan investasi memiliki perbedaan mendasar? lalu jika ada apakah tabungan dan investasi bersifat subtitutif (saling menggantikan, meniadakan) ataukah tabungan dan investasi bersifat komplementif (saling melengkapi, keduanya perlu ada). Jika kita berkaca pada perspektif moral ekonomi Islam yang sering dipromosikan secara umumnya, tabungan dan investasi sepertinya bersifat subtitutif (saling menggantikan), di mana dalam pandangan moral ini; „investasi lebih baik, lebih wajib dari pada tabungan, bahkan tabungan bisa jadi haram‟. Yang perlu kita lakukan sebetulnya adalah penelusuran adakah dalil atau contoh tabungan di 162

dalam Islam itu dibenarkan/dibolehkan ataukah ia secara totalnya dibenci (makruh) atau diharamkan? Di dalam Al-Quran (Quran, Surat Yusuf 12: 43–49), kegiatan menabung atau menyimpan ternyata ada contohnya. Misalnya ia adalah cerita Nabi Yusuf a.s. yang memperoleh ilmu dari Allah akan takwil mimpi berupa prediksi keadaan ekonomi di masa depan mesir saat itu yaitu; prediksi akan datangnya masa subur dalam 7 tahun dan masa panceklik dalam 7 tahun. Maka rekomendasi kebijaksanaan yang ditawarkan oleh Nabi Yusuf a.s. kepada raja mesir saat itu ialah menanam dan mengalokasikan harta (gandum) saat-saat masa subur untuk disimpan, agar ia bisa digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup pada saat-saat masa panceklik ke depannya. Bila kita boleh ambil kesimpulan dari keseluruhan ayat Al-Quran, sebetulnya kegiatan menabung itu ada dan diakui di dalam Islam, ia sah-sah saja dan bolehboleh saja. Namun motif-motif yang benar di dalam menabung itu yaitu motif berjaga-jaga (takaful) atau motif memenuhi kebutuhan hidup di masa depan, adapun motif yang salah ialah motif cinta pada harta dan berlaku menimbun harta kekayaan (ihtikar). Di sisi lain, keberadaan syariat Zakat apabila ia ditegakkan bisa berperan untuk mencegah perilaku menimbun harta kekayaan di mana Zakat akan memangkas harta seseorang setiap tahun bila harta itu terus menerus menganggur (idle) hingga ia sampai kepada batas (limit) nishab. Walaupun demikian, namun, apabila tabungan bekerja dengan cara ribawi hal ini tentu saja membut kegiatan menabung menjadi relatif haram dibandingkan investasi, maka pandangan moral akan melihat hanya investasi-lah satu-satunya jalan yang harus ditempuh dari pada menempuh tabungan yang bekerja dengan cara riba itu (untuk membantu pemenuhan kebutuhan hidup di masa depan). Oleh karena itu hadirnya riba dalam cara kerja tabungan (sebagaimana yang berlaku dalam cara kerja perbankan komersil modern) membuat tabungan dan investasi bersifat subtitutif. Adapun bila masalah riba sudah disingkirkan dari cara kerja tabungan lantas masihkan ia bersifat subtitutif terhadap investasi?, maka kita kiranya perlu menelaah lebih lanjut, sifat yang mendasar dari perbedaan investasi dan tabungan. Apabila ditelaah lebih lanjut, tabungan dan investasi memiliki perbedaan sifat yang mendasar yaitu; (1) Tabungan aman dari risiko (selama harta yang disimpan bukan berupa uang fiat modern ini yang ia mengalami inflasi), sementara (2) Investasi tidak aman dari risiko. Harta yang dialokasikan pada tabungan seharusnya senantiasa berada dalam status aman (nilainya tetap), karena ia adalah harta yang disimpan agar ia bisa digunakan di masa depan dengan nilai yang tetap seperti semula ia dicadangkan. Adapun harta yang dialokasikan pada investasi tidak aman dari risiko, harta yang dialokasikan pada investasi berada dalam pertaruhan risiko 163

usaha, di mana ia memiliki tiga kemungkinan, (1) hartanya bertambah, (2) hartanya tetap, (3) hartanya berkurang. Selain tabungan dan investasi itu memiliki perbedaan sifat, ia juga memiliki perbedaan fungsi yaitu; (1) tabungan bukanlah sebuah professi (pekerjaan), sementara (2) investasi merupakan sebuah professi (pekerjaan). Ini artinya, kegiatan tabungan tidak memerlukan keahlian khusus sementara investasi sejatinya adalah „sebuah pekerjaan‟ di mana ia harus memenuhi syarat keahlian dan kapasitas yang diperlukan sebagai seroang investor; artinya ia harus menugasai ilmu ekonomi atau ilmu bisnis atau pengetahuan produk dan lain-lain, sekalipun ia bekerja bersama dengan seorang manajer investasi. Maka dari itu, berdasarkan sifat-sifat mendasar perbedaan antara tabungan dan investasi tersebut, di mana riba sudah dihilangkan dari cara kerja tabungan, maka tabungan dan investasi itu sebetulnya bersifat komplementif; saling melengkapi dan keduanya harus ada. Tabungan dan investasi secara alamiah dan fitrahnya tidaklah bersifat subtitutif, oleh karenanya tabungan dan investasi tidak bisa berfungsi menggantikan satu sama lainnya. Tabungan Tidak Bisa Menggantikan Fungsi Investasi Apabila tabungan menggantikan fungsi investasi, maka yang terjadi adalah, seseorang akan memperoleh keuntungan dari simpanan. Ia adalah memberlakukan simpanan sebagai investasi, di mana simpanan bekerja dengan cara pinjaman berbunga, berlaku sebagai pinjaman berbunga. Apabila tabungan berfungsi sebagai investasi pastilah ia akan berlaku dengan cara riba. Inilah persoalan yang berlaku dalam sistem perbankan; yaitu membuat simpanan atau tabungan berfungsi menjadi investasi. Investasi Tidak Bisa Menggantikan Fungsi Tabungan Sementara, perspektif moral yang tidak teliti yang dikeruhkan oleh situasi dan kondisi dilematika khas peradaban modern yang menyerang „tatanan moral‟ yang beranggapan bahwa; investasi adalah solusi wajib untuk menghindari keuangan ribawi, sementara beranggapan „investasi bisa berfungsi layaknya akun tabungan‟; seperti yang muncul dalam solusi-solusi keuangan syariah atau keuangan Islam atas sistem ribawi. Maka orang sekarang pikirannya menjadi tidak sehat, karena ketika seseorang menyimpan hartanya pada akun investasi, yang ia dapati adalah risiko usaha, sedangkan kebutuhannya sebetulnya adalah mengamankan harta dari risiko (yaitu menyimpan atau mengamankan harta). Apabila terjadi kerugian, maka seseorang yang mengamankan hartanya pada akun investasi tiba-tiba protes dan menuntut klaim bahwasanya harta simpanannya mestinya aman. Ianya menuntut menjadikan suatu usaha yang memastikan keamanan, yaitu menuntut keuntungan 164

tetapi dengan mengebalkan diri dari risiko kerugian (bisnis anti-rugi). Sesungguhnya ia adalah intisari cara kerja riba. Oleh karena itu semua, pada saat tabungan bekerja dengan cara kerja ribawi yaitu „tabungan yang berfungsi sebagai investasi‟, persepektif moral yang menganjurkan untuk menghindari tabungan dan mewajibkan investasi adalah hal yang betul, tetapi perspektif moral para sarjanawan dan ulama Islam harusnya juga teliti tidak kemudian mengambil tindakan dengan cara sebaliknya yaitu ketika mewajibkan atau menganjurkan investasi malah memberlakukan „investasi layaknya tabungan‟, yang jatuhnya sama-sama riba. Selain dari pada itu ketika riba sudah bisa dihilangkan dari cara kerja tabungan dan investasi, „penganjuran dan pewajiban investasi dari pada tabungan dan me-makruh-kan tabungan‟ juga sudah tidak relevan lagi, di mana hal ini dapat memberatkan dan mempersusah masyarakat ekonomi, yaitu setiap orang yang telah bekerja dan mengambil bidangnya secara spesifik berdasarkan bakat dan minat serta kemampuannya, tiba-tiba harus diwajibkan untuk mengambil satu pekerjaan lagi yaitu sebagai „investor‟ manakala ia bukan menjadi bakat dan minatnya, sekalipun dibantu dengan manajer investasi. Jadi maksudnya, investasi tidak bisa diwajibkan kepada setiap orang, tetapi walaupun demikian pekerjaan investor adalah pekerjaan yang baik. Akan lebih bagus bila setiap orang dibebaskan memilih pilihannya masing-masing adakah itu menabung atau terjun sebagai seorang investor/pemodal (untuk mengantisipasi kebutuhan di masa depannya). Adapun menabung di satu sisi, tidak perlu keahlian karena ia bukan pekerjaan, dan semua orang bisa melakukannya. X.II

Tabungan Dalam Islam Konsepsi tabungan di dalam Islam adalah aman dari risiko. Karena maksud semula seseorang menyimpan atau menabung suatu harta adalah untuk mengamankannya dari berbagai kemungkinan yang dapat membuatnya rusak, berkurang, hilang dan lain-lain agar kemudian harta itu dapat digunakan di masa depan di mana ia membutuhkannya. Konsekuensi tabungan yang aman dari risiko, adalah tabungan itu di dalam Islam sejatinya menganut sistem cadangan 100% [bukan sistem cadangan 10% (giro wajib minimum 10% atau fractional reserve requirment 10%)], yaitu 100% harta simpanan. Si penerima titipan hukum asalnya tidak dibenarkan menggunakan harta titipan tersebut untuk kemanfaatan apapun, itulah maksud sistem cadangan 100%. Kapanpun si penitip meminta uangnya kepada yang dititipi, harta titipan itu harus diberikan, sehingga ia bersifat full access, sehingga tabungan bisa memenuhi motif berjaga-jaga (takaful) si penitip (maka berdasarkan ini tidak perlu ada asuransi pula, tabungan sudah bisa berfungsi demikian, sesuai kemampuan dan kebutuhan masing-masingnya, kecuali ia adalah tidak mampu menabung maka qardh hasan yang disediakan Infrastruktur Keuangan adalah 165

solusinya). Barangkali di dalam perbankan syariah ia disebut sebagai akad wadhiah yad amanah; yaitu suatu titipan harta yang oleh penitipnya tidak diizinkan untuk menggunakannya untuk kegunaan apapun kepada yang dititipi. Adapun pada umumnya di dalam sistem perbankan komersial modern, tabungan dipraktikkan secara simpan-pinjam (atau simpan-investasi pada bank syariah/islam), yang menganut sistem cadangan wajib minimum sebesar 10%. Itu artinya 90% harta titipan boleh digunakan oleh si penerima titipan (bank) untuk pemanfaatan tertentu; apakah itu untuk menyediakan pinjaman berbunga atau untuk digunakan kepada usaha tertentu. Harta titipan atau simpanan yang boleh dimanfaatkan itu menganut sistem simpanpinjam (atau simpan-investasi), sebagaimana yang berlaku pada cara kerja perbankan, hal ini sebetulnya merupakan praktik janggal dan rancu. Pemanfaatan harta titipan tidak sesuai sama sekali dengan maksud tujuan dari penitipan harta tersebut; yaitu „pengamanan harta‟ (mengamankan harta dari kemungkinan risikorisiko). Di dalam perbankan syariah, sistem seperti ini yaitu simpan-pinjam atau simpan-investasi disebut dengan akad wadhiah yad dhamanah; yaitu suatu titipan harta yang oleh penitipnya diizinkan untuk menggunakannya kepada yang dititipi (asalkan si penerima titipan itu bisa memastikan keamanan hartanya/ketika dikembalikan hartanya harus sama seperti semula dititipkan). Lalu adakah wadhiah yad dhamanah ini atau konsep „simpan-pinjam‟ atau „simpan-investasi‟ ini sah (dibolehkan atau dibenarkan) dalam tinjauan Islam? Apabila kita tinjau lebih dekat wadhiah yadh dhamanah sejatinya berlaku dua akad di dalamnya, yang pertama akad titipan (wadhiah) di mana si penitip menitipkan harta kepada yang dititipi dan kedua akad pinjaman (qardh) atau akad qiradh (mudharabah) di mana harta tersebut (selain sebagai titipan) juga sekaligus dipinjam atau diusahakan untuk menghasilkan manfaat atau keuntungan. Oleh karena itu, akad wadhiah yad dhamanah, atau apapun lembaga keuangan baik konvesional maupun syariah yang menganut sistem „simpan-pinjam‟ atau „simpan-investasi‟ sejatinya mengkombinasikan dua akad ke dalam satu akad, hal ini terlarang dalam Islam, ia membuka kemungkinan praktik riba. Jelas saja memberlakukan „dana titipan‟ sebagai „pinjaman‟ membuat uang mengganda (sebagaimana yang dijelaskan di „Bab 6 Sistem Keuangan‟ mengenai Bank dan FRR). Seseorang yang dititipi harta hendaknya menggunakan satu akad saja, adakah itu akad titipan atau simpanan (wadhiah) maka ia akan menyatakan dalam usahanya „membuka jasa titipan‟; sebagai konsekuensinya harta itu aman dari risiko (sebagai tabungan), ataukah ia akad pinjaman (qardh) maka ia menyatakan „menerima pinjaman dana‟; sebagai konsekuensinya harta itu tidak aman dari risiko tetapi ia merupakan amal bantuan (tabarru) atau sedekah yang berpahala, ataukah ia akad qiradh maka ia menyatakan „menerima dana kerjasama (qiradh)‟; sebagai konsekuensinya harta itu 166

tidak aman dari risiko tetapi memiliki kesempatan keuntungan, itu lah kejujuran yang harus diungkapkan. [Adapun pada akad „simpan-pinjam‟ atau „simpaninvestasi‟ sebagai konsekuensinya menyebabkan usaha yang dijalankannya „aman dari risiko‟ atau ia adalah „bisnis anti-rugi‟] Namun juga di sisi lain, sebetulnya akad wadhiah yad dhamanah [yang di dalamnya terdapat dua akad; yaitu wadhiah/titipan dan qardh/pinjaman] ini hanya sah sebagai akad tabarru‟ (bantuan-pertolongan atau sedekah) di mana sang pemilik dana sejatinya hanyalah memberikan sedekah atau pemberian manfaat kepada orang yang dititipinya di mana orang yang dititipi boleh memanfaatkan harta titipan tersebut; maka orang yang dititipi memiliki kewajiban moral untuk mengembalikan pinjaman tersebut, dan dalam menjalankan usaha berdasarkan dana tersebut harus menjalankannya tidak berlaku „anti-rugi‟; mengebalkan diri dari rugi, sehingga bila terjadi rugi maka kerugian itu adalah tanggungannya sendiri. Namun apabila akad tabarru dikomersilkan atau dituntut sebagai bayaran atau kompensasi atau timbal balik ia telah jatuh kepada riba, sama halnya pinjaman (qardh) (sebagai akad tabarru dan bersifat sedekah) apabila diberi harga (imbalan bunga), maka ia adalah riba. Maka oleh karena itu, berdasarkan itu semua, tabungan dalam konsepsi Islam ia sejatinya bersifat: 1. Bebas dari risiko (Free Risk) 2. Berasaskan sistem cadangan 100% 3. Full access (kapanpun di-withdraw harus diberikan akses) Jasa atau fasilitas tabungan yang disediakan „Infrastruktur Keuangan‟ yang diprakarsai Khalifah juga sepatutnya menerapkan sistem ini; yaitu sistem cadangan 100% yang aman dari risiko, kecuali ia khusus dialokasikan sebagai pinjaman tabarru yang berisiko namun berpahala, yang telah diniatkan bagi pemilik dananya sebagai dana tabarru/pemberian atau sedekah. X.III

Investasi Dalam Islam Investasi adalah alokasi harta atau uang kepada unit usaha tertentu, suatu usaha atas komoditi yang sah untuk berkembang biak, seperti usaha perniagaan („Allah menghalalkan jual-beli‟; Quran, Surat Al-Baqarah 2: 275), usaha produksi, usaha pertanian, dan lain-lainnya. Investasi dalam konsepsi Islam adalah alokasi dana yang secara penuh bertaruh dan tertahan oleh risiko-risiko usaha. Maka dana yang dialokasikan kepada investasi sejatinya ia adalah alokasi dana dengan sistem cadangan 0%, karena 100% ia digunakan untuk usaha. Konsekuensi dari ini, dana investasi tidak bisa ditarik (withdraw) sembarangan, seenaknya, atau ditarik kapanpun, ia merupakan alokasi 167

keuangan berjangka (berumur) mengikut usaha yang diinvestasikannya di mana setiap usaha pastilah memiliki umur (periodik). Maka dari itu penarikan (withdraw) bisa dilakukan saat per-tutup buku sesuai periodik tertentu adakah itu perbulan, perkuartal, persemester atau pertahun. Maka sifat alokasi dana investasi ini tidak full acces sebagai mana tabungan, melainkan limited acces atau periodic access, withdraw hanya bisa dilakukan setelah tutup buku, ini untuk memastikan kalkulasinya tuntas. Oleh karena itu, tindakan menjual share (bagian saham) pada unit investasi sejatinya secara tidak langsung melakukan withdraw ditengah jalan, dan apabila seseorang memperoleh untung dari menjual share, ia sejatinya menjual modal (uang) bukan menjual asset yang ada pada unit investasi tersebut. Itulah riba dalam investasi. Oleh karena itu, Investasi dalam konsepsi Islam ia bersifat: 1. Ber-risiko (Full Risk) 2. Alokasi dana yang berasaskan sistem cadangan 0% 3. Limited acces atau berjangka (periode) Di Baytusysyirkah dalam konsepsinya, alokasi dana pada usaha-usaha bersifat berjangka adapun re-kontrak baik itu hawalah atau besaran share baru atau penambahan anggota perserikatan, hanya bisa dilakukan setelah tutup buku, tidak ada kontrak di tengah-tengah periode. X.IV

Pinjaman dalam Islam Dana yang dialokasikan sebagai pinjaman di dalam Islam sejatinya bukan bersifat komersil, tetapi sebagai pinjaman sedekah atau amal bantuan (tabarru), memperlakukan dana pinjaman sebagai dana komersil (ada syarat dan tuntutan timbal balik atasnya) akan jatuh kepada riba. Akan tetapi karakteristik dana yang dialokasikan kepada pinjaman bersifat berisiko hal ini karena dana digunakan untuk keperluan si peminjamnya adakah itu untuk keperluan konsumtif atau keperluan produktif tertentu dan bagi si peminjamnya ada kewajiban moral untuk mengembalikan dana pinjaman pada tempo yang ditentukan, oleh karena itu dana yang dialokasikan kepada pinjaman bisa kembali bisa tidak alias gagal bayar. Namun, di dalam Islam sebagai balasan bagi si pemberi pinjaman adalah pahala dari Allah. Oleh karena itu berdasarkan ini semuanya, karakteristik alokasi dana pinjaman di dalam konsepsi Islam ia bersifat: 1. Ber-risiko (berisiko sebagian) 2. Alokasi dana yang berasaskan sistem cadangan 0% (di mana ia digunakan untuk keperluan peminjamnya) 3. Limited acces atau berjangka (tempo) 168

XI

EKONOMI MAKRO: KONTROL KEBIJAKAN DAN PEMBANGUNAN XI.I

Kebijakan dan Kontrol Baytulmal

S

istem perpajakan Baytulmal memiliki ciri unik tersendiri, Baytulmal memiliki dua jenis alokasi dana; yaitu (1) jenis alokasi yang khusus (wajib) yaitu zakat (2) jenis alokasi umum (untuk keperluan umum). Adapun pemasukan Baytulmal ada tiga jenis sumber pemasukan; (1) sumber pemasukan pasti yaitu; pajak (pungutan yang wajib); (a) Zakat (b) Pajak-Non-Zakat, (c) Pajak-Insidentil, (d) Pajak-Ekstra, (2) sumber pemasukan dari dana sukarela atau sedekah; (a) sedekahinfaq, (c) sedekah-waqaf, dan (3) sumber pemasukan dari infrastruktur atau barangpublik komersil (Pajak-Tarif). Sistem perpajakan Baytulmal yang unik ini memungkinkan Baytulmal berperan sebagai kontrol kebijakan yang fleksibel, efisien dan efektif untuk mencapai tujuan-tujuan ekonomi dan mengentaskan masalah-masalah ekonomi. Di antara kontrol atau kebijakan-kebijakan efektif yang bisa dilakukan oleh Baytulmal, sebagaimana berikut: Insentifikasi Ekonomi Dana keuangan Baytulmal yang memiliki jenis alokasi umum di antaranya; (1) Sedekah, (2) Pajak-Non-Zakat, Pajak-Insidentil, Pajak-Ekstra, (3) Pajak-Tarif (atau komersil). kesemuanya (sebagai jenis dana alokasi untuk umum) menjalankan peran sebagai instrumen insentif ekonomi. Jenis dana alokasi umum digunakan untuk memberikan insentif yaitu membangunkan prasarana dan fasilitas; infrastruktur ekonomi dan infrastruktur keuangan. Infrastruktur ekonomi berupa; pasar-pasar, institusi Baytusysyirkah, infrastruktur air; sanitasi dan irigasi, infrastruktur energi-listrik, jalan besar atau jalan raya, jembatan, alat transportasi, telekomunikasi, gudang-gudang penyimpanan (lodge), dan lain-lain. Infrastruktur keuangan berupa; (1) fasilitas pinjaman [qardh-hasan, bunga 0%], (2) fasilitas tabungan [sistem cadangan 100%], (3) fasilitas transfer atau wesel. 169

Di antara semua jenis infrastruktur yang disebutkan di atas, fasilitas pinjaman (qardh-hasan) memiliki peranan yang menonjol dalam hal memberikan insentif ekonomi, menggantikan (men-subtitute) sistem moneter-perbankan modern. Insentifikasi ekonomi, bisa dilakukan dengan mengendalikan (suplai) besaran kuota pinjaman, baik dengan memperbesarnya atau membebaskannya (kebijakan longgar), atau memperkecilnya atau membatasinya (kebijakan ketat). Kebijakan mengadakan besaran kuota pinjaman, ditentukan oleh tingkat kebutuhan masyarakat terhadap pinjaman. Apabila kebutuhan pinjaman dirasa tinggi maka besaran kuota pinjaman ditambah, dengan mengalokasikan dana umum Baytulmal kepada penyediaan dana qardh. Sebaliknya bila dana qardh mengganggur (idle), ia indikasi kebutuhan masyarakat terhadap pinjaman sudah tidak ketergantungan, bila demikian, alokasi dana qardh dikurangi, diambil kembali oleh Baytulmal dan bisa dialokasikan untuk keperluan umum lainnya. Stabilitasi Ekonomi Instrumen stabilitasi di dalam ekonomi Islam adalah zakat yang dijalankan oleh Baytulmal, bukan instrumen moneter (bunga) yang dijalankan oleh bank sentral. Di antara fungsi zakat ialah; 1. Mempertahankan stabilitas daya beli dan harga-harga di pasar, di mana zakat mendistribusi ulang kekayaan dari si kaya kepada si miskin, sehingga si miskin tetap bisa berpartisipasi dalam sistem ekonomi, sehingga kekuatan supply dan demand yang membentuk harga-harga di pasar tetap cenderung stabil. 2. Sebagai sistem penyelamatan sosial-ekonomi, yaitu menyelamatkan generasi atau populasi manusia secara utuh dari kemiskinan dan kepapaan serta bencana kelaparan. 3. Mendistribusi ulang kekayaan dari si kaya kepada si miskin, sehingga tidak terjadi ketimpangan yang berpotensi kepada chaos dan kegagalan sistem hidup (sosial dan negara), termasuk kegagalan sistem ekonomi. Ekspansi Ekonomi Ekspansi ekonomi adalah kebijakan ekonomi longgar, tujuannya untuk memperbesar volume ekonomi. Di antara instrumen yang bisa digunakan ialah; (1) Pajak-Ekstra; (a) infaq-wajib dan (b) ekstra-jizyah, (2) Infastruktur Keuangan; (a) suplai qardh, (3) Pajak-Tarif: infrastruktur bertarif atau barang publik bertarif. Adapun pendekatan cara-cara atau metode melakukan kebijakan longgar adalah sebagai berikut:

170

Kebijakan longgar Baytulmal dengan pengeluaran: 1. Meningkatkan belanja umum 2. Subsidiary; meningkatkan pemberian santunan faqir-miskin atau kaum dhuafa atau anak yatim atau kaum disabilitas (tambahan di samping zakat/hak khumus) Kebijakan longgar pajak-ekstra, di antaranya: 1. Meningkatkan limit nishab wajib pajak. 2. Menurunkan kadar (prosentase) pungutan pajak Kebijakan longgar pajak-tarif: 1. Menurunkan tarif (harga) infrastruktur (barang publik) komersil (nonbarang gratis) Kebijakan longgar suplai qardh, di antaranya: 1. Menambah alokasi dana qardh 2. Membebaskan kuota pinjaman dana qardh Kontraksi Ekonomi Kontraksi ekonomi adalah kebijakan ekonomi ketat, tujuannya untuk memperkecil volume ekonomi. Di antara instrumen yang bisa digunakan ialah; (1) Pajak-Ekstra; (a) infaq wajib dan (b) ekstra jizyah), (2) Infastruktur Keuangan; suplai qardh, (3) Pajak-tarif; Infrastruktur bertarif atau barang publik bertarif. Adapun pendekatan cara-cara atau metode melakukan kebijakan ketat adalah sebagai berikut:. Kebijakan pengeluaran baytulmal: 1. Menurunkan belanja umum Kebijakan ketat pajak-ekstra, di antaranya: 1. Menurunkan limit nishab wajib pajak 2. Meningkatkan kadar (prosentase) pungutan pajak Kebijakan ketat pajak-tarif: 1. Meningkatkan tarif (harga) infrastruktur (barang publik) komersil (nonbarang gratis) Kebijakan ketat suplai qardh, di antaranya: 1. Mengurangi/withdraw alokasi dana qardh 2. Membatasi/menurunkan kuota pinjaman dana qardh

171

XI.II

Kebijakan dan Kontrol Infastruktur Keuangan; Dana Qardh Perlu dijelaskan kembali kelebihan atau manfaat dari Infastruktur Keuangan terutama fasilitas pinjaman qardh. Sebagaimana yang telah diterangkan sebelumnya, ia bisa berperan strategis sebagai; (1) Insentif ekonomi, (2). Subtituter (pengganti) pinjaman ribawi, (3) Strategi ekonomi dan keuangan Islam untuk menekan usaha keuangan ribawi, dan satu tambahan lagi sebagai (4) kontrol ekonomi kontraktif dan ekspansif (dalam mempengaruhi suplai uang). Kebijakan dan Kontrol Infrastruktur Keuangan fasilitas qardh sejatinya berada dibawah otoritas Baytulmal dan merupakan bagian dari Baytulmal itu sendiri. Selain dari pada itu alokasi dana qardh sejatinya merupakan „dana pinjaman bergulir‟ (revolving loan funds) yang bisa berfungsi secara abadi (berterusan), selain ia memberi manfaat secara ekonomi, secara ritualis ia mengalirkan pahala kolektif suatu populasi ekonomi dan akan menambah keberkahan suatu ekonomi; “Allah memusnahkan Riba dan menyuburkan Sedekah” (Quran, Surat Al-Baqarah 2: 276). Adapun kebijakan-kebijakan yang dapat diperankan infrastruktur dana qardh dalam mempengaruhi ekonomi sebagaimana sebagiannya telah diterangkan sebelumnya (dan juga sistemnya di „Bab 7 Konsepsi Keuangan Publik Islam‟), adapun sebagai tambahan, gambarannya adalah sebagaimana berikut. Menaikan dan menurunkan batasan (limit) penyaluran dana qardh (lending) Jumlah dana yang dipinjamkan kepada peminjam dapat diatur dengan menetapkan batasan (limit), misal pinjaman maksimal yang dapat disalurkan per-entiti adalah 10 Dinar. Kebijaksanaan limit (batasan) ini tentu saja bisa dibuat berdasarkan berbagai situasi dan kondisi dan rencana ekonomi ke depan. Misal bila tersedia dana qardh yang banyak dan melimpah limit pinjaman dapat dinaikkan misalnya menjadi 20 Dinar per-entiti, 50 Dinar per-entiti dan sebagainya. Semuanya juga tergantung pada kemampuan membayar dan skala individu ataukah skala perusahaan, menengah ke atas atau menengah ke bawah. Memperbesar dan memperkecil volume dana qardh Alokasi penyaluran umum Baytulmal kepada infrastruktur keuangan; dana qardh (fasilitas pinjaman) sejatinya mirip kebijakan menabung atau kebijakan surplus (menyimpan sebagaian sumber keuangan Baytulmal kepada alokasi pinjaman sebagai pinjaman kebaikan atau qardh-hasan yaitu bunga pinjaman 0%) dan dalam hal ini volume dana qardh bisa diperbesar dan bisa diperkecil. Penyediaan dana qardh atau memperbesar penyediaannya bisa diupayakan oleh pemerintah (khalifah) dari menggali sumber-sumber keuangan alokasi penyaluran umum oleh Baytulmal, apakah itu lewat; pajak-ekstra (infaq-wajib dan ekstra jizyah) atau lewat 172

penggalangan dana sukarela (sedekah infaq-waqaf) atau lewat tarif (infrastrutkur bertarif), kesemuanya tentunya berdasarkan situasi dan kondisi serta pertimbangan yang berlandaskan tolak ukur kebenaran dan keadilan. Kebijakan memperbesar penyediaan dana qardh dirasa perlu apabila; ekonomi sedang lesu atau ekonomi membutuhkan insentif untuk mendorong produktifitas, untuk memacu giat dan pertumbuhan ekonomi. Selain dari pada itu kebijakan memperkecil volume dana qardh dilakukan apabila; dana qardh memiliki tingkat menganggur (idle), yang mengindikasikan bahwa masyarakat secara keseluruhan telah mencapai kemandirian dan giat usaha yang tinggi sehingga tidak memerlukan lagi sokongan dan insentif dana qardh. Pada tingkat ini pemerintah dapat menurunkan jumlah dana qardh, mengambilnya dan mengalokasikannya pada alokasi keperluan umum yang lainnya, misalnya pembangunan infastruktur, biaya negara, biaya kemajuan teknologi (penelitian), santunan faqir-miskin. Alokasi dana qardh sejatinya tidak akan berkurang – kecuali bila terjadi gagal bayar yang memenuhi udzur syar‟i –, akan selalu bertambah bila ditambah atau dialokasikan secara rutin atau sering (sesuai keperluan ekonominya). Tidak mustahil, volume dana qardh bisa berkali-kali lipat dari kas Baytulmal (dari likuiditas yang tersedia di Baytulmal), di mana penyaluran dana qardh yang massif dan luas dalam jumlah besar akan berpotensi menekan pasar jasa keuangan atau lembaga keuangan komersil ribawi. Sekalipun demikian dana qardh hanya ada bila dirasa perlu dan bila dana qardh menganggur (idle), perlu ditarik dan dialokasikan kepada pengeluaran-pengeluaran yang lebih bermashlahat. XI.III

Tahap-Tahap Lepas Landas Ekonomi Secara mendasar ada 3 tahap yang perlu dilakukan untuk membuat ekonomi lepas landas. 3 langkah itu ialah: 1. Ekstraksi Sumber Daya Ekonomi a. SDA (Sumber Daya Alam) b. SDM (Sumber Daya Manusia) c. SDU (Sumber Daya Keuangan) 2. Aktivasi pasar dan perserikatan (syirkah) 3. Kontrol Baytulmal dan Infrastuktur Keuangan Suplai-Qardh Langkah 1: Ekstraksi Sumber Daya Ekonomi Kesemua bentuk sumber daya baik SDA, SDM dan SDU adalah hal yang niscaya dan penting. Ketidakadaan salah satunya merupakan kenihilan dalam menjalankan sebuah ekonomi. Ketersediaan SDA bersifat penting dan pokok karena ekonomi 173

yang erat kaitannya dengan pemenuhan kebutuhan dasar manusia seperti: sandang, pangan dan papan, serta material lainnya yang dibutuhkan untuk memproduksi komoditas kesemuanya memerlukan ketersediaan SDA. Namun ketersediaan SDA tanpa ketersediaan SDM juga menjadi nihil yang SDM memegang peran sebagai pelaku produksi dan pelaku ekonomi. Adapun ketersediaan SDU penting dalam ekonomi karena tanpa ketersediaan SDU, di dalam ekonomi tidak terwujud aktivitas pertukaran yang efisien karena uang memegang peranan sebagai alat tukar. Meskipun demikian, ketersediaan sumber daya-sumber daya itu pada suatu kawasan ekonomi pada dasarnya bervariasi. Ada suatu wilayah negara yang memiliki SDA berlimpah ada juga yang tidak, ada suatu wilayah negara yang memiliki SDM berlimpah ada juga yang tidak, ada suatu wilayah negara yang memiliki SDU (emas dan perak) berlimpah ada juga yang tidak. Keragaman ketersediaan sumber dayasumber daya itu pada suatu negara tidak menjadikan hambatan selama negara itu dapat menyesuaikan kebijaksanaan ekonominya berdasarkan bentuk ketersediaan sumber daya-sumber dayanya dan bagaimanapun bentuk ketersediaan sumber dayasumber daya itu, negara tetap bisa mencapai tujuan pemenuhan kebutuhan hidup masyarakatnya bila diatur dengan baik. Langkah paling pertama yang dilakukan untuk menjalankan sebuah ekonomi adalah meng-ekstraksi sumber daya-sumber daya yang tersedia secara optimal. Pada sisi SDA, SDA yang tersedia perlu diolah sebaik-baiknya untuk menghasilkan seluruh barang-barang atau komoditas-komoditas kebutuhan hidup dengan menggunakan faktor-faktor produksi yang tersedia. Di antara komoditas-komoditas yang diproduksi itu ialah; pangan, pakaian dan tekstil, material, perkakas dan peralatan (barang teknologi) dan lain sebagainya. Produktivitas olah SDA juga akan meningkat seiring meningkatanya keterampilan, keahlian, serta iptek (ilmu pengetahuan dan teknologi) yang digunakan oleh suatu populasi ekonomi. Pada sisi SDM, SDM yang tersedia perlu diolah untuk menghasilkan keterampilan, keahlian, serta teknologi yang dikuasainya dalam hal ini institusi atau instrumen pendidikan memainkan perannya dalam olah SDM (disamping fungsi pendidikan yang terutama sekali tentu saja membangun karakter generasi mukminin). Bila SDA dan SDM telah terolah. Diharapkan laju produksi barang-barang kebutuhan hidup dapat mengimbangi atau melebihi laju kebutuhan hidup suatu populasi walau bagaimanapun bentuk ketersediaan serta keterbatasan dari sumber daya-sumber daya yang ada. Masalah dari sumber daya-sumber daya yang terbatas itu dapat diselesaikan dengan intensifikasi SDA dan SDM berbasis iptek (ilmu pengetahuan dan teknologi yang dibangun di atas landasan ilmiah quran; iptek dengan landasan „tatanan moral‟; misalnya riset dan pengembangan teknologi tepat guna (efficient-effective technology), teknologi ramah lingkungan dan ekonomis). 174

Dalam hal ini keterampilan dan teknologi memainkan peranan yang penting dalam memaksimalkan sumber daya yang terbatas, begitu juga pada masalah SDM yang terbatas dengan teknologi dapat mengubah haluan kebijakan faktor produksi dari labor-intensif menjadi kapital-intensif untuk menghasilkan output produksi yang sama. Keterampilan dan teknologi dihasilkan di institusi pendidikan dan keilmuan; penelitian dan pengembangan (R&D). Keterbatasan SDA dapat juga diatasi dengan intensifikasi SDA berbasis teknologi dan arah kebijakan ekonomi pasar yang mengekspor jasa-professionalitaas SDM atau ekspor barang jadi dan mengimpor bahan baku dari luar, serta menetapkan industri jasa dan dagang sebagai industri unggulan. Bila ekonomi sudah memiliki barang-barang kebutuhan hidup; barang-barang atau komoditas ekonomi. Kebutuhan suatu populasi ekonomi selanjutnya adalah ketersediaan mata uang. Ketidaktersediaan mata uang dalam suatu populasi ekonomi akan menimbulkan masalah kesukaran dalam aktivitas pertukaran. Setelah olah SDA dan SDM selanjutnya yang diperlukan adalah olah SDU atau penyediaan mata uang atau modal. Uang di dalam Islam adalah uang bernilai intrinsik atau uang berbasis komoditas. Penyediaan mata uang dapat dilakukan dengan menggali sumber-sumber tambang emas dan perak untuk dicetak menjadi Dinar dan Dirham. Bila sumber-sumber tambang emas dan perak yang ada dalam suatu negara tidak memadai dalam mencukupi kebutuhan likuiditas (kebutuhan akan uang) dalam suatu populasi ekonomi maka, pemerintah dapat memberlakukukan atau menetapkan beberapa komoditas pokok (pangan) yang memiliki sifat durable (tahan lama) dan tidak mudah ter-depresiasi atau expire menjadi mata uang yang berlaku atau sebagai uang yang sah (legal tender) (sama seperti 6 komoditi yang berlaku di pasar madinah) di dalam suatu populasi ekonomi. Dengan ketersediaan mata uang sekarang diharapkan aktivitas pertukaran atau jual-beli dapat berjalan lancar, sehingga keberadaan barang-barang atau komoditas yang telah diproduksi tidak menjadi nihil, sehingga terjadi mobilisasi dan dinamika ekonomi secara luas. Langkah 2: Aktivasi Pasar dan Perserikatan Bila seluruh sumber daya sudah disiapkan dan telah terolah, barang-barang atau komoditas keluar dari bumi ke permukaan begitu pula mata uang telah dicetak dan tersedia. Langkah yang harus dilakukan selanjutnya adalah penyediaan mediamedia pasar dan syirkah. Dengan wujudnya pasar; populasi ekonomi akan melakukan aktivitas pertukaran secara luas (massif dan masal), dengan media-media pasar berperan menjalankan fungsi konversi; yaitu fungsi mengubah bentuk suatu komoditi ke komoditi lain, hal ini akan sangat bermanfaat untuk strategi alokasi dan manajemen kebutuhan175

kebutuhan hidup populasi ekonomi; (1) alokasi cadangan/tabungan, (2) alokasi konsumsi, (3) alokasi investasi. Sehingga terjadi dinamika perputaran bagi ekonomi. Dengan wujudnya media-media syirkah (Baytusysyirkah); populasi ekonomi akan melakukan pembentukan kemampuan finansial dari pembentukan modal (capital formation), modal-modal terbentuk dari yang kecil-kecil dan tercerai berai menjadi satu kesatuan dengan adanya media syirkah, sebagaimana media syirkah itu dalam populasi ekonomi berperan menjalankan fungsi formasi. Seiring dengan terbentuknya kemampuan finansial akan wujud pula aktivitas-aktivitas produktif. Langkah 3: Kontrol Kebijakan Baytulmal dan Infrastruktur Keuangannya Hadirnya peran pemerintah dalam ekonomi melalui Baytulmal dan Infrastruktur Keuangannya, maka ekonomi tidak berjalan sendirian dengan aktivitas pasar dan perserikatan di dalamnya. Baytulmal dan Infrastruktur Keuangan; sebagai sistem keuangan publik yang berperan strategis dalam menentukan arah berjalannya ekonomi memiliki mekanisme dan kontrol terhadap ekonomi yaitu: 1. 2. 3. 4.

Insentifikasi ekonomi Ekspansi ekonomi Kontraksi ekonomi Stabilitasi ekonomi

Insentifikasi mendorong produktifitas dan output ekonomi, ekspansi dan kontraksi ekonomi menyesuaikan dan mengatur volume ekonomi untuk merekayasa siklus ekonomi-bisnis yang diharapkan. Serta stabilitasi untuk menetralkan marginalitas; efek samping kompetisi ekonomi yaitu menyisakan orang-orang yang tersingkirkan, kaum faqir-miskin dan dhuafa. Itulah tiga langkah-langkah yang harus dilakukan untuk lepas landas, langkah yang pertama yaitu; ekstraksi sumber daya, memastikan dapat berlakunya langkah kedua; yaitu aktivasi pasar dan perserikatan, langkah kedua tidak mungkin atau nihil berlaku tanpa langkah pertama. Begitu pula langkah kedua memastikan dapat berlakunya langkah ketiga yaitu; kontrol kebijakan Baytulmal, yang langkah ketiga itu tidak mungkin atau nihil tanpa langkah yang kedua. Jadi langkah-langkah ini merupakan urutan. Bila ketiga langkah itu sudah dapat berlaku, maka seiring waktu berjalan kedepannya akan terjadi dinamika sosial-ekonomi ke-arah yang positif secara berkesinambungan (virtous circle). Beriringan dengan peran kehadiran pemerintah yang membebaskan korupsi atas pasar dan ekonomi oleh human error dan peran pemerintah dalam memainkan kontrol dan kebijakan Baytulmal secara benar dan adil, maka hanya kecelakaan alamiah (natural error) saja yang akan mempengaruhi 176

kondisi perekonomian. Sistem ekonomi ini, menyebabkan peradaban Islam bisa berjalan ratusan tahun sebagaimana sejarah para kekhalifahan terdahulu, stabil dari chaos atau kekacauan yang meruntuhkan sistem ekonomi itu sendiri (sebelum dunia kedatangan sistem ekonomi ribawi yang diprakarsa peradaban Barat Modern), apapun bentuk ekonominya pada masa itu di mana sistemnya masih berpandukan Al-Quran dan „tatanan moral‟ sebagai landasannya.

177

XII

IDEOLOGI XII.I

Ideologi Ekonomi Islam vs Ideologi Ekonomi Sekuler

S

etiap sistem ekonomi yang ada di dunia ini mengikuti Ideologi dasar yang menjadi penopang sistem ekonomi tersebut. Ideologi yang dipahami sebagai susunan ide-ide yang menjadi tujuan umum atau tujuan final kehidupan, kemudian juga tujuan tersebut seperangkat dengan apa yang menjadi strategi, metode dan cara yang diperlukan untuk mencapai tujuan tersebut. Apa yang membedakan antara orang-orang Islam (yang benar imannya) dengan orang-orang yang sekuler (yang palsu imannya atau tidak beriman) adalah ide-ide tujuan kehidupan itu lah yang membedakan begitu pula strategi, metode, dan cara hidupnya juga mesti berbeda oleh karena apa yang ingin dicapai itu adalah hal yang berbeda antara orang-orang Islam (mu‟min) dengan orang-orang sekuler (kafir). Kaum sekuler pada umumnya tidak begitu yakin dengan konsep kehidupan ke-dua, sebaliknya faham yang dominan diyakini kaum sekuler adalah faham materialisme, apa yang nampak itulah yang paling esensi, yang lainnya ditolak dianggap hanya sebagai ilusi dan tidak nyata, segala sesuatu yang tidak dapat dibuktikan lewat pengamatan dan pengalaman indera serta nalar akal tidak bisa dijadikan pegangan kebenaran. Yang difahami orang-orang Islam (mu‟min) konsepsi kehidupan ke-dua itu adalah nyata, apa yang datang dari Allah adalah nyata, apa yang datang dari Rasulullah ‫ز‬ adalah nyata. Maka dari itu tentu saja kehidupan yang ke-dua itu lebih baik daripada kehidupan yang pertama. Maka tujuan dan cita-cita orang Islam adalah menggapai kesenangan-surga di akhirat, bukan kesenangan-surga di dunia. Implikasinya konsepsi kehidupan yang pertama ini yaitu kehidupan di dunia, tidak lain hanya sekedar untuk menegakkan kehidupan untuk melaksanakan atau menunaikan kewajiban-kewajiban manusia yang Allah tetapkan kepada manusia, melaksanakan peran-peran yang ditugaskan atau dibebankan kepada manusia, dan segala sesuatu yang ada di dunia, yang dimiliki seseorang adalah sebagai wasilah (modal) untuk mengumpulkan amal kebaikan, mencari rahmah dan ridho Allah agar 178

bisa mencapai cita-cita memperoleh keselamatan dan kesenangan-surga di akhirat. Inilah ideologi orang islam (yang benar imannya). Sebaliknya konsepsi kehidupan dalam faham orang-orang sekuler, kehidupan yang ada ini yaitu kehidupan yang sekarang sebagai surga yang paling nyata, maka mencari kesenangan-surga di dunia ini adalah hal yang layak dan pantas untuk dikejar, diperjuangkan. Inilah ideologi orang-orang sekuler (kafir). Maka dari itu oleh karena tujuan yang berbeda ini, juga menghasilkan cara yang berbeda untuk mencapai tujuan itu. Orang-orang sekuler akan membangun cara hidupnya berdasarkan rasionalisme semata tanpa iman, bahkan „tatanan moral‟ itu yang kesekian, yang penting adalah apapun caranya, baik atau buruk, yang jelas tujuan mencapai kesenangan dan surga dan „membangun kejayaan dan keabadian‟ di dunia itu adalah yang paling utama. Sebaliknya orang-orang Islam (yang sejati dan yang beriman) akan membangun cara hidupnya berdasarkan petunjuk yang benar; bahwa kesenangan dan surga yang hakiki itu (yaitu kesenangan dan surga yang di akhirat), hanya bisa diperoleh bila manusia berkehidupan dengan menjalankan „tatanan moral‟. Tentu saja „tatanan moral‟ yang betul hanya bisa diperoleh dari petunjuk yang benar (revealed knowledge), bukan dicari berdasarkan observasi rasional.

179

XIII

KOMPETISI XIII.I

Kompetisi Ekonomi Dalam Paham Sekuler-Liberalis

D

alam paham sekuler, ekonomi ini yaitu „kegiatan memenuhi kebutuhan hidup untuk tetap hidup‟, adalah kompetisi. Hidup itu adalah kompetisi, tidak ada kompetisi maka tidak ada kemajuan, tidak ada kompetisi di dalam ekonomi tidak ada inisiatif kemajuan. Tetapi kompetisi dalam paham sekuler tidak ada aturan main yang spesifik, menurut paham barat-sekuler agar manusia itu bisa berkompetisi, maka manusia harus dibebaskan dari batasan-batasan yang membatasinya. Kompetisi dalam paham barat-sekuler, mereka yang menang dalam kompetisi adalah mereka yang paling unggul, yang paling cerdas, yang paling kuat. Dengan istilah „survival for the fittest‟, hanya yang paling kuat, paling fit lah yang survive di dalam hidup ini, dan yang lainnya akan terseleksi (punah) secara alami. Maka orang yang paling unggul itu adalah pantas untuk menang dan dialah yang pantas mewarisi semua perbendaharaan di bumi ini. XIII.II

Kompetisi Ekonomi Dalam Paham Islam Islam tidak menyangkal kompetisi adalah hal yang baik, hal yang dapat memacu kemajuan dalam kehidupan. Kita bisa mengambil pelajaran di mana paham sosialiskomunis runtuh karena kekuasaan negara begitu dominan menyingkirkan kebebasan individu, kekuasaan negara merobohkan fungsi pasar, sehingga kompetisi ekonomi menjadi lesu, dan individu-individu yang diambil kebebasannya menjadi lesu, tidak ada inisiatif untuk membuat suatu kemajuan. Akan tetapi dalam paham Islam, sebelum kompetisi berlangsung kebenaran dan keadilan harus ditegakkan terlebih dahulu. Kompetisi tanpa kebenaran dan keadilan tegak di dalamnya hanyalah kompetisi yang saling bunuh-membunuh dengan cara-cara curang dan tidak benar. 180

Kompetisi hanya boleh berlaku bila kebenaran dan keadilan ditegakkan, sehingga kompetisi terjadi secara fair, pantas, adil. Ada yang miskin, ada yang kaya, semuanya adalah anugrah Allah, karena dalam sistem yang adil orang yang miskin hanya miskin oleh karena kekurangan dirinya sendiri bukan karena dicurangi atau dirampok atau diperas oleh orang lain. Sedangkan sebagian yang lain menjadi kaya oleh karena keunggulan dirinya yang telah Allah berikan keunggulan padanya, karena ada orang yang berbakat yang sangat cemerlang, sementara yang lain usahanya atau kecerdasannya kurang. Kemiskinan itu sendiri adalah efek samping dari pada kompetisi, di mana kompetisi ekonomi selalu menyisakan orang-orang yang termarginalkan, tersingkirkan, di antaranya ada juga orang-orang yang mengabdikan dirinya untuk urusan agama; berjuang di jalan Allah (mengatasi ancaman dan hambatan kehidupan yang menimpa kaum muslimin) sehingga tidak sempat mencari nafkah, yang menahan diri dari meminta-minta. Namun untuk masalah efek samping kompetisi ini di dalam Islam sudah punya jalan keluaranya, di mana kaum faqir-miskin, para dhuafa ini dijamin dan diselamatkan kehidupannya dengan adanya sistem zakat. Apabila kebenaran dan keadilan ditegakkan di dalam sistem hidup, maka kebebasan dan kompetisi itu berlaku dalam koridor yang benar, tidak berlaku zalim dan menindas. Pada akhirnya hakikat berkompetisi itu di dalam Islam adalah berkompetisi dalam kebaikan, berkompetisi meraih pahala di akhirat. Kompetisi bisa membuat manusia belajar, bagaimana hari ini lebih baik dari hari kemarin, hari esok lebih baik dari hari ini, manusia juga bisa belajar dari orang lain, mengapa orang lain lebih baik dari pada diri sendiri, mengapa orang lain amalnya bisa lebih baik dari pada diri sendiri. Kondisi kaya tentu saja lebih baik dan lebih mudah dalam mengatasi urusan-urusan, hidup barangkali bisa menjadi lenggang dan ibadah mungkin bisa menjadi tenang di mana tiada hambatan-hambatan apapun juga untuk menuju Allah, dari pada kondisi miskin yang terjebak dalam kebutuhan-kebutuhan hidup dan ketergantungan. Dari sini kompetisi adalah hal yang diakui ada di dalam Islam, ia adalah resep kemajuan, tanpa kompetisi tidak ada kemajuan, akan tetapi „syarat‟nya kebenaran dan keadilan harus ditegakkan sebagai batas-batas kebebasan itu. Kompetisi di dalam Islam adalah „berlombalomba untuk kebaikan‟; „fastabiqul khairat‟ (Quran, Surat Al-Baqarah 2: 148, Quran, Surat Al-Maidah 5: 48).

181

XIV

KESIMPULAN XIV.I

Konsepsi Ekonomi Islam

E

konomi Islam yang asli (atau cukup Iqtishad saja), kata Islam yang disematkan ke dalam kata ekonominya bukan hanya sekedar nama saja, tapi luput dari mengenali riba dengan segala bentuknya; riba nasi‟ah, riba qardh, riba dayn, riba fadhl, riba gharar, riba maysir, dan riba-riba lainnya yang telah Allah dan RasulNya haramkan. Ekonomi Islam atau Iqtishad adalah; „kegiatan (manusia; individu maupun kolektif) mengelola harta benda (yakni; sumber daya yang tersedia, untuk pemenuhan kebutuhan hidup) dengan cara-cara yang benar sesuai ketentuan-ketentuan (syariat dan nilai-nilai islam), seimbang dan adil‟, suatu ekonomi yang keadilan tegak di dalamnya, sebaliknya kezaliman tidak ada di dalamnya (la tazlimun wala tuzlamun) (Quran, Surat Al-Baqarah 2: 279). Secara keseluruhannya yang disebut dengan Ekonomi Islam itu harus memenuhi ciri-ciri berikut: (1) Praktik-muammalah nya sesuai Islam, Yaitu prilaku pelaku ekonominya sesuai dengan nilai-nilai islam. baik perilaku konsumsi; yaitu tidak tabdzir (berboros ria) dan berlebihan (tasarruf), tidak mengkonsumsi yang haram, perilaku produksi; yaitu tidak memproduksi produkproduk yang haram, yang rusak dan merusakan (fasad); merusak iman-agama-moral, merusak akal, merusak badan, merusak keturunan (generasi), merusak alam dan merusak aspek sosial, perilaku transaksi; yaitu tidak zalim, mengurangi takaran, curang dan menindas, perilaku menabung; yaitu tidak berlaku cinta harta dan menumpuk kekayaan, sebaliknya lebihan harta setelah „kebutuhan hidup‟ dialokasikan-didistribusikan ulang dengan bersedekah dan digunakan untuk fi sabilillah, perilaku investasi; yaitu tidak mengambil untung dengan cara yang zalim dan curang, dengan cara riba, tidak mengalokasikan harta untuk produksi produk yang haram, serta tidak mengalokasikan harta kepada penciptaan fasad [memusnahkan iman-agama-moral, merusak akal, merusak badan atau menghilangkan jiwa (membunuh), memusnahkan harta atau merugikan atau mengambil harta orang lain, memusnahkan hubungan-hubungan kekerabatan, 182

hubungan-hubungan religius yang didasari keimanan menjadi hubungan-hubungan yang bersifat materialistik dan amoral, memusnahkan dan merusak alam] dan melanggar „tatanan moral‟, dan prilaku berserikat: yaitu berserikat dengan adil dan sepenanggungan, setia dan tidak khianat, tidak mencurangi dan merugikan sepihak klien atau partner-nya, tidak berserikat dalam hal; menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal, dalam pelanggaran dan berbuat dosa. Di satu sisi pemerintah, harus membangunkan sistem, institusi dan instrumen yang efektif untuk menekan, meminimalisir, mentiadakan perilaku-perilaku ekonomi yang disebutkan di atas yang tidak sesuai dengan Islam, misalnya insitusi al-hisbah (polisi pasar) untuk membebaskan pasar dari transaksi riba, transaksi curang dan batil, serta menegakkan pungutan sistem zakat untuk mencegah perilaku menumpuk harta. Dan lain-lain. (2) Sistemnya sesuai Islam, Yaitu institusi, instrumen dan sistem yang dibangunkan dalam ekonomi; adakah itu pasar, badan atau lembaga keuangan, entitas pemerintah, entitas bisnis, sistem keuangan. Dan cara kerja institusi-institusi tersebut, cara kerja keuangnya, tidak boleh mendorong, membudayakan praktik riba, berlaku dengan cara riba, berlaku dengan cara curang dan batil; mengurangi takaran (al-bakhsu), menggunakan uang ekstrinsik yang palsu yang tidak berharga yang curang (fraud) sebagaimana sistem uang fiat modern dan instrumen-instrumen „harta ekstrinsik‟ lainnya (uang kertas, saham, nota bank, dan lain-lainya), menjual hal yang tidak benar untuk dijual, menjual ketiadaan dan kepalsuan, sistem yang merampok harta manusia, menguasai (dengan kekuasaan mutlak berasaskan ribawi) dan memperbudak atau memperhamba (mengeksploitasi) manusia dan orang lemah, sistem yang tidak adil, zalim dan menindas. (3) Ideologinya sesuai Islam, Yaitu tujuan “pemenuhan kebutuhan hidup” itu, adalah sekedar menegakkan hidup untuk ibadah dan berlomba-lomba mencari surga akhirat, mencari amal kebaikan, mencari ridho dan rahmat Allah, bukan menegakkan hidup untuk berlomba-lomba mencari kesenangan dan surga di dunia sehingga juga pada akhirnya menghalalakan segala cara; menghalalkan apa yang Allah haramkan dan mengharamkan apa yang Allah halalkan; dan bersetuju-bersepakat dengannya yang akan menjatuhkan seseorang kepada syirik (suatu ideologi yang; materialisindividualis-liberalis-kapitalis-sekuleris). Bila satu di antara ketiganya tidak ada berarti belum bisa dikatakan Ekonomi Islam.

183

XIV.II

Prinsip-Prinsip Ekonomi Islam 1. TEGAKNYA KEBENARAN dan KEADILAN di dalam EKONOMI Aturan yang paling pokok dalam bermuammalah ialah tegaknya kebenaran dan keadilan, tanpa tegaknya kebenaran dan keadilan, kehidupan menjadi chaos, yang wujud hanyalah kebatilan dan kezaliman, penindasan. Ia adalah perintah paling utama yang paling esensi sebagai peran khalifah dan menjadi prinsip yang utama dalam bermuammalah. “Wahai daud, sesungguhnya kami menjadikanmu khalifah di muka bumi, oleh karena itu berhukumlah di antara manusia dengan hukum yang benar (adil)” (Quran, Surat Shaad 38: 26) “Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan” (Quran, Surat Al-Maidah 5: 8) “Sempurnakanlah takaran dan janganlah kamu Termasuk orang- orang yang merugikan” (Quran, Surat Asy-Syu‟ara 26: 181)

2. KEADILAN di dalam PASAR dan PERSERIKATAN Pasar dan perserikatan adalah institusi-intsitusi penting di dalam Ekonomi Islam. Pasar dan perserikatan yang fitrah (yang terbebas dari kerusakan; yaitu disebabkan oleh riba) akan menjalankan fungsi keadilan. Yaitu setiap orang akan memperoleh apa yang diusahakannya, tanpa dikurangi atau dicurangi, juga tanpa dengan kecurangan. “Dan sesungguhnya tidaklah manusia memperoleh sesuatu kecuali apa yang diusahakannya” (Quran, Surat An-Najm 53: 39)

3. KEADILAN di dalam SISTEM ZAKAT Syariat zakat adalah salah satu pilar dari pilar-pilar Islam (rukun Islam). Menegakkan zakat adalah menegakkan keadilan; di mana orang kaya terhutang dengan semua manusia yang ikut berpartisipasi dalam sistem ekonomi, termasuk orang-orang yang ditentukan oleh syariat (faqir miskin, fi sabilillah dan yang termasuk 8 golongan). Oleh karena itu di dalam setiap harta (di atas nishab) ada hak harta milik orang-orang yang di tentukan tersebut. “Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang-orang yang ditentukan” (Quran, Surat Ad-Dzariyat 51: 19, Quran, Surat Al-Ma‟arij 70: 24-25)

184

Dan keberadaan syariat zakat berperan untuk mencegah sistem ekonomi dan keuangan itu runtuh, sistem hidup (sosial dan negara) ini runtuh, oleh karena itu harta harus didistribusi ulang dari golongan kaya kepada golongan miskin, supaya ekonomi ini berkeseimbangan dan berkeadilan. “Supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu” (Quran, Surat Al-Hasyr 59: 7)

4. PERAN KHALIFAH ‘di luar ekonomi’ dan ‘di dalam ekonomi’ dalam MENEGAKKAN KEBENARAN dan KEADILAN Kehadiran dan peran khalifah di dalam ekonomi (dan di luar ekonomi) adalah penting dan prinsipsi, tanpa kehadiran khalifah maka kehidupan dan kompetisi ekonomi berlangsung tanpa ada yang peduli terhadap peraturan-peraturan yang benar, kompetisi ekonomi berlangsung bebas menghalalkan segala cara, zalim dan menindas. Di luar ekonomi khalifah berperan penting untuk mengentaskan masalah-masalah kehidupan rakyat yang ditanggung oleh khalifah dari hambatan-hambatan dan ancaman-ancamannya; (1) ancaman kurangnya ilmu/kebodohan, (2) ancaman kemiskinan, kelaparan, penyakit, (3) ancaman keamanan dan ketertiban umum. Di dalam ekonomi khalifah berperan untuk membebaskan ekonomi dari kebatilan dan kezaliman ekonomi; menegakkan keadilan di dalam pasar, dan mendistribusikan kekayaan dengan menegakkan syariat zakat dan menggunakan inisiatif keuangan untuk mengentaskan masalah-masalah. XIV.III

Rumusan Ekonomi Islam 1. PENIADAAN atas segala bentuk KEZALIMAN dan KEBATILAN ekonomi [baik secara mikro; di dalam pasar dan perserikatan, maupun makro; institusi-institusi kebijakan publik]; RIBA adalah ILEGAL [segala bentuk riba; riba qardh, riba fadhl, riba nasi’ah, riba dayn, gharar, maysir, serta kecurangan-kecurangan muammalah lainnya]. Sebaliknya SEDEKAH menggantikan peran riba di dalam ekonomi (mikro maupun makro) Pasar dan perserikatan secara khususnya dan ekonomi secara umumnya (makro) harus dibebaskan dari praktik muammalah yang zalim dan batil (dibebaskan dari Riba). Sebaliknya sedekah menggantikan peran Riba, misal pinjaman berbunga digantikan (subtituted) dengan pinjaman sedekah (qardh-hasan). Monopoli, Swastanisasi dan Privatisasi barang publik diganti menjadi waqaf-isasi barang publik.

185

2. RESTORASI UANG INTRINSIK yang adil untuk menggantikan uang ekstrinsik, tidak ada uang ekstrinsik, atau sekalipun menggunakan uang ekstrinsik, ia harus berbasis uang yang asli yaitu UANG INTRINSIK dan harus memiliki INTEGRITAS dan tidak FRAUD. Mencabut legal tender uang ekstrinsik dan uang fiat modern (yang sejatinya curang/fraud), kemudian merestorasi dan menjadikan uang intrinsik sebagai legal tender (uang yang sah). Uang intrinsik dengan standar permanen [bukan uang ekstrinsik ber-backup emas (gold standard) yang bisa berubah-ubah nilai tukar (kurs) terhadap emasnya]. Atau seandainya pun ia menggunakan uang ekstrinsik (uang kertas atau digital), uang ekstrinsik itu fungsi sejatinya adalah „alat hukum‟ bukan „alat transaksi‟ dan ia perlu dicadangkan dengan cadangan intrinsik dengan kurs (nilai tukar) permanen antara „uang ekstrinsik‟nya terhadap emasnya atau harta intrinsiknya, dan ia harus berlaku dengan cara jujur dan adil yang memiliki integritas, bukan dengan cara yang tidak adil dan tidak memiliki integritas (yang dicetak lebih besar nominalnya dari pada cadangan aslinya) sebagaimana uang fiat modern yang dicipta hanya berasaskan cadangan „utang‟ semata. 3. TIDAK ADA INSTITUSI MONETER (Bank Sentral dan Bank-Bank lainnya), TIDAK ADA PULA INSTITUSI FISKAL MODERN (fiskal negara modern yang terintegrasi dengan sistem riba). Sebagai gantinya hanya BAYTULMAL dengan seluruh instrumen yang dimilikinya. Institusi moneter, adalah biang pelaksana sistem riba, autoriti yang berwenang mencetak uang (fiat) dari awang-awang (dari ketiadaan) sebagai utang (tanpa berasaskan cadangan intrinsik), dan mem‟bunga‟kannya di dalam sistem perbankan. Ini adalah bathil. Mestinya tidak ada institusi moneter, begitu pula uang fiat tidak perlu dipertahankan nilainya oleh institusi bank (baca: mengendalikan inflasi; mempertahankan uang yang tak berharga menjadi tetap berharga). Begitupula sistem fiskal modern, tidak sama dan tidak sepadan dengan sistem Baytulmal. Sistem fiskal modern telah dicipta terintegrasi dengan sistem riba; yang berfungsi untuk mengalihkan beban utang nasional (dan internasional) kepada rakyat yang ditanggung lewat pajak, ia menjadi bagian dari sistem perbudakan modern. Sistem riba mentransfer kekayaan dari yang miskin kepada yang kaya, adapun sistem sedekah yang diperankan Baytulmal mentransfer kekayaan dari yang kaya kepada yang miskin; sehingga sistem ekonomi dan keuangan stabil dan berkeseimbangan. Baytulmal menkombinasikan instrumen sedekah dan pajak untuk mengentaskan keperluan-keperluan untuk mengatasi hambatan dan ancaman kehidupan. Oleh karena itu di dalam Islam hanya dengan Baytulmal saja, sudah lah cukup, sebagai institusi keuangan tunggal yang mewenangi keuangan publik, Baytulmal sudah bisa melakukan peran-peran institusi-institusi perangkat ekonomi modern; baik peran moneter maupun fiskal. 186

4. TIDAK ADA BANK DAN LEMBAGA KEUANGAN MODERN LAINNYA (baik konvensional maupun syariah), TIDAK ADA PASAR KEUANGAN; pasar modal dan pasar uang (baik konvensional maupun syariah) yang kesemuanya telah dirancang berasaskan RIBA yang merusak fitrah pasar. Sebagai gantinya Khalifah harus menyediakan ‘INFRASTRUKTUR KEUANGAN’ yang berbasis SEDEKAH dan membangunkan ‘INSITUSI BAYTUSYSYIRKAH’ (serta pasar) yang berasaskan FITRAH MUAMMALAH. Konsepsi bank adalah salah total (bathil); menggunakan uang simpanan (titipan) sebagai basis bisnis atau jasa atau usaha keuangan komersil, begitu pula konsepsi pasar modal salah total (bathil); memberlakukan uang sebagai komoditi, dan memberlakukan „harta ekstrinsik‟ sebagai komoditi, uang dan „harta yang bernilai ekstrinsik‟ tidak pernah diakui sebagai komoditi di dalam Islam „harta ekstrinsik‟ adakah itu uang kertas atau saham atau cek atau catatan keuangan lainnya hanyalah „alat hukum‟ (alat wakil dan alat bukti) bukan „komoditi‟. Kesemuanya adalah konsepsi riba. Sebagai gantinya, fasilitas keuangan disediakan oleh prakarsa khalifah (bukan entitas bisnis) dengan membangunkan „Infastruktur Keuangan‟ yang bebas dari biaya, bersifat sedekah atau waqaf; barang publik gratis dan bebas riba. Selain itu juga khalifah harus membangunkan „Institusi Baytusysyirkah‟ untuk mengakomodasi kegiatan permodalan bisnis dan investasi yang Islami, sesuai dengan prinsip-prinsip Islam yang genuine. Supaya dengan keberadaannya, diharapkan bisa membudayakan kegiatan berserikat sebagai cara bermuamalah yang fitrah dan melatih serta membudayakan professionalisme berbisnis atau berniaga.

187

Berdasarkan semua itu, maka ringkasan dan kesimpulan yang bisa diperoleh dari perbedaan rumusan Sistem Ekonomi Sekuler-Modern dengan Sistem Ekonomi Islam bisa dilihat sebagaimana yang ditampilkan dalam tabel berikut: Tabel 14.1 Perbedaan Konsepsi Ekonomi Modern-Sekuler dan Ekonomi Islam Konsepsi dan rumusan Uang

Institusi Keuangan Publik Lembaga Keuangan dan Fasilitas Keuangan

Pasar dan perserikatan (ekonomi mikro) dan ekonomi secara umumnya (ekonomi makro)

Ekonomi modern-sekuler Berlandaskan uang ekstrinsik yang tidak memiliki integriti (curang); uang fiat modern (uang bercadangkan hal yang tidak benar untuk menjadi cadangan; seperti misalnya instrumen utang, atau tidak ada cadangannya sama sekali) Dual Sistem:  Fiskal: sistem pajak negara  Moneter: Bank sentral  Bank dunia, bank sentral, bank umum, lembaga keuangan. (konvensional maupun syariah)  Pasar keuangan: pasar modal (sekuritas) dan pasar uang (forex dan valas, dan lainlain), (konvensional maupun syariah)  Berasaskan praktek ribawi, mengebalkan diri dari risiko, dan menuntut keuntungan pasti (bisnis anti-rugi); caracara berekonomi yang curang, yang menghalalkan segala cara.  Di dalam pasar tidak hadir penegak keadilan (freeintervention)  Praktik Riba dihalalkan dan legal, praktik sedekah (filantropi) terkucilkan dan terminimalisir, atau hanya untuk kepentingan pencitraan institusi atau elit tertentu

Ekonomi Islam Berlandaskan uang yang bernilai secara intrinsik atau uang yang berasaskan komoditi intrinsik, serta memiliki integritas (tidak curang)

 Baytulmal (tunggal)

 „Infrastruktur keuangan‟ (berasaskan sistem sedekah, dan dibawah otoriti Baytulmal)  „Baytusysyirkah‟; mediasi pemodal dan pembutuh modal, mediasi pembelajaran, permagangan, dan perserikatan, sertifikasi kontrak.  Pasar dan ekonomi terbebaskan dari praktik riba, berasaskan jual beli dan perserikatan yang fitrah.  Di dalam pasar pemerintah hadir sebagai penegak keadilan lewat institusi alhisbah (polisi dan investigator pasar).  Praktik Riba diharamkan atau ilegal, praktik sedekah didorong dan dianjurkan, di mana sedekah menggantikan peran-peran ribawi.

188

Shadaqallahul Adzhim Wa Shadaqa Rasuluhul Karim Wallahu A‟lam Bish-showab

189

REFERENSI DAN BAHAN BACAAN Referensi Utama Imran N. Hosein, The Prohibition Of Riba In The Qur‟an And Sunnah, 1997. Imran N. Hosein, The Importance Of The Prohibition Of Riba In Islam. Imran N. Hosein, The Importance Of The Prohibition Of Riba In Islam. [video lecture] Imran N. Hosein, The Gold Dinar And Silver Dirham – Islam And The Future Of Money, 2007. Imran N. Hosein, Islam & International Monetary System (Islam dan Sistem Keuangan Internasional, sub. Indonesia). [video lecture] Imran N. Hosein, Dajjal The False Messiah. [video lecture] Imran N. Hosein, Jerusalem In The Quran, 2003. Imran N. Hosen, Metodology for Study of The Quran, 2016. Imran N. Hosein, In Search Of Khidr‟s Footprints In Akhiruzzaman, 2015. Imran N. Hosein, Dream In Islam, 1997. Imran N. Hosein, The Caliphate The Hejaz and The Saudi-Wahhabi Nation State, 1996.

Referensi dan Bahan Bacaan Abdul Qadir As-sufi, The Foundation of Islam, Madinah Press, 2001. Abdul Qadir As-sufi, Sultaniyya, Madinah Press, 2002. Umar Ibrahim Vadillo, Fatwa on Banking, 2006. Zaim Saidi, Tidak Syariahnya Bank Syariah, 2015. Zaim Saidi, Hakekat Perekonomian Dalam Islam, 2012. Zaim saidi, Ilusi Demokrasi, 2016. A. Riawan Amin, Satanic Finance, 2007. Abdul Qadir Zallum, Sistem Keuangan Negara Khalifah, HTI Press, 2009.

190

Alexander Del Mar, A History of Money in Ancient Countries From The Earliest Time to The Present. 1885. Richar R. D., Early History of Banking In England. 1929. M. Shiddiq Al-Jawi https://hizbut-tahrir.or.id/2012/08/06/multi-akad-halal-atauharam/ Anis Byarwati, Tjiptohadi Sawarjuwono, Ekonomi Islam Atau Iqtishad, Jurnal Imanesi, 2013. Yusuf Al-Qaradhawi, Fiqh Zakat. Ahmad Tafsir, Pengantar Filsafat Umum. 1990. Adian Husaini, et. al., Filsafat Ilmu, Gema Insani, 2013. Nurizal Ismail, Scrutinizing The Epistimology of Islamic Economic: A Historical Analysis, Jurnal Tsaqafah, Vol. 12, No. 1 Mei 2016. Ibnu Abid Dunya, Ishlahul Mal, Muassasah Al-Kitab Ats-Tsaqafiyyah, 1993/1414H, Beirut, Lebanon. Abdurrazak Belabes, Al-Iqtishad Al-Islami: Hafriyah Mushtholah, Islamiyat al-Ma‟rifah: Journal of Contemporary Islamic Thought, 2014, vol 20. Issue 78, pp. 105-132 Khawaja Amjad Saeed, Economic Philosophy of Allama Iqbal, The Pakistan Development Review, 41:4 Part II (2002) pp. 973 – 982.

191

Ahmad Aly Alboub, lahir tanggal 31 Desember 1991 di Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Selepas tamat SD (SDN Pemurus Dalam 6 di Banjarmasin), masuk pondok tahun 2003, di pondok pesantren Al-Mukmin Ngruki, Solo, Jawa Tengah 2003-2009 (MTS-MA Al-Mukmin Ngruki). Tahun 2009 masuk Sekolah Tinggi Ekonomi Islam Tazkia dan tamat tahun 2013 untuk gelar Sarjana Ekonomi Islam, di Bogor, Jawa Barat. Demikianlah informasi singkatnya, saat ini hanya aktif menulis dan berkontemplasi. Email: [email protected]

192

193

Sistem ekonomi yang terbangun ke atas dunia pada hari ini adalah sistem yang menyokong kegiatan ekonomi yang menghalalkan Riba. Faham atau filosofi Barat-Modern lah yang paling berpengaruh dan bertanggung jawab bagi perwujudan peradaban dunia modern sekuler ini. Maka di dalam buku ini kita ingin mencari konsepsi ekonomi yang betul-betul terbebas dari Riba yang sesuai dan konsisten dengan landasan imani Islam yang asli. Adakah sistem ekonomi yang dibangun dengan landasan imani (Al-Quran dan Sunnah) itu lebih unggul dari pada sistem ekonomi yang dibangun dengan landasan tatanan modern sekuler? Ataukah sistem ekonomi yang dibangun dengan landasan imani itu tidak akan pernah mengungguli sistem ekonomi yang dibangun dengan landasan tatanan modern sekuler? Oleh karena itu, pertanyaan besar yang akan dijawab di dalam buku ini adalah; Bagaimanakah konsepsi Ekonomi Islam yang asli itu? – bukan Ekonomi Islam yang palsu atau kita bisa menyebutnya Iqtishad sebagai Ekonomi Islam yang otentik –.

194

View more...

Comments

Copyright ©2017 KUPDF Inc.
SUPPORT KUPDF