REFRAT-Dr. Suradi M-Myelodisplasia Syndrome

February 23, 2017 | Author: Yessi Perlitasari | Category: N/A
Share Embed Donate


Short Description

Download REFRAT-Dr. Suradi M-Myelodisplasia Syndrome...

Description

REFRAT

SINDROM MYELODISPLASIA

Disusun oleh : Hastin Mutiara Surga

G0007084

Yessi Perlitasari

G0007173

Denni Tri Hananto

G0007190

Pembimbing dr. Suradi Maryono, SpPD, KHOM-FINASIM

KEPANITERAAN KLINIK SMF ILMU PENYAKIT DALAM FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/RSUD DR MOEWARDI SURAKARTA 2011

BAB I PENDAHULUAN

Sindrom myelodisplasia (MDS) adalah gangguan sumsum tulang, ditandai dengan hematopoesis yang tidak efektif, berbagai tingkat sitopenia serta peningkatan risiko leukemia akut (Steensma, 2003). MDS mewakili spektrum gangguan neoplastik sel induk klonal yang ditandai oleh kegagalan sumsum tulang dengan sitopeni, dan persentase leukemia berkisar dari kurang dari 5% sampai 19% dan terjadi pada populasi lanjut usia. Kejadian MDS dalam data yang baru-baru ini diterbitkan oleh Surveillance, Epidemiology, and End Results (SEER) meningkat dari kurang dari 5 per 100.000 pasien di bawah usia 60 menjadi 36,2 per 100.000 pada pasien lebih dari 80 tahun. Dengan rata-rata usia diagnosis 76 tahun. Secara umum, pria dan kulit putih memiliki insiden yang lebih tinggi dari penyakit ini (Rami, 2009). Seperti halnya penyakit kanker pada umumnya, penyebab MDS yang pasti belum diketahui. Studi epidemiologi menunjukkan MDS dihubungkan dengan paparan bahan kimia seperti benzen, halogenated hydrocarbon, hydrogen peroksida serta paparan radiasi. Beberapa hal dapat mendasari patologi fenotip dan biologi pada penyakit ini, termasuk kelainan kromosom dan genetik, perubahan epigenetic serta dearrangements sitokin dan sistem imun (EplingBurnette, 2009). Onkogenesis pada MDS bersifat multistep dimana proses akumulasi perubahan genetik yang pada akhirnya menuju suatu neoplasma ganas setelah sebelumnya melewati fase pre maligna. Pada fase awal, sel induk normal dan abnormal sama-sama berfungsi, tetapi pada fase selanjutnya klon ganas lebih dominan. Ciri dari penyakit ini pada usia dini adalah apoptosis yang dipercepat pada sel induk hematopoietik disertai dengan peningkatan kompensasi dalam proliferasi (Steensma, 2003). . Setelah diagnosis dibuat, hematologi / onkologi medis mencoba untuk mengklasifikasikan pasien ke kategori untuk memprediksi prognosis dan memutuskan strategi pengobatan yang akan dilakukan. Tujuan pengobatan pada

1

kelompok risiko rendah (kelompok dengan prognosis yang lebih baik) adalah untuk meningkatkan kualitas hidup dan mengurangi kebutuhan untuk transfusi, yang dapat dicapai melalui pilihan yang berbeda, termasuk faktor pertumbuhan erythropoietic, lenalidomide, dan agen hypomethylating. Pada kelompok risiko tinggi (kelompok dengan prognosis buruk), tujuan pengobatan adalah untuk meningkatkan kelangsungan hidup dan memperlambat perkembangan penyakit. Pilihan pengobatan bagi kelompok ini termasuk transplantasi stem cell alogenik pada pasien yang memenuhi kriteria dan penggunaan agen hypomethylating (Rami, 2009). Meskipun tersedia berbagai pengobatan alternatif yang dapat dilakukan, sebagian besar pasien meninggal karena komplikasi dari penyakit atau transformasi menjadi leukemia myeloid akut (AML).

2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI Sindrom myelodisplasia atau myelodisplasia syndrome (MDS) adalah kelainan neoplastik hemopoetik klonal yang disebabkan oleh transformasi ganas sel induk myeloid sehingga menimbulkan gangguan maturasi dan diferensiasi seri myeloid, eritriod atau megakariosit, yang ditandai dengan hematopesis inefektif, sitopenia pada darah tepi dan sebagian akan mengalami transformasi menjadi leukemia myeloid akut (Rami, 2009). B. ETIOLOGI Etiologi MDS tidak diketahui secara pasti, namun dapat terjadi karena bertambahnya usia, perubahan genetik yang diwariskan atau disebabkan oleh paparan zat berbahaya. Faktor risiko meliputi pemaparan terhadap pelarut benzena atau bahan lainnya, halogenated hydrocarbon, tembakau dan asap rokok serta penurunan sistem imun. Kemoterapi dan radiasi yang berhubungan dengan terapi juga dapat terkait dengan MDS (Steensma, 2007). 1. Penuaan Sebagaimana disebutkan di atas, penuaan tampaknya menjadi faktor risiko terpenting dalam perkembangan MDS karena risiko terjadinya mutasi meningkat sebanding dengan usia. 2. Kimia Paparan tingkat tinggi dari beberapa bahan kimia lingkungan, terutama produk benzena dan minyak bumi, terkait dengan perkembangan MDS. 3. Rokok Paparan bahan kimia dalam asap tembakau / rokok dapat meningkatkan risiko perkembangan MDS.

3

4. Sitotoksik kemoterapi Pasien yang sebelumnya mengalami pengobatan kanker atau kondisi lain dengan kemoterapi, akan meningkatkan risiko untuk terjadinya MDS sekunder atau terkait pengobatan. Ini mewakili kurang dari 10 persen dari semua kasus MDS. Sekunder MDS dikaitkan dengan mutasi yang berbeda yang terjadi pada MDS spontan dan memiliki prognosis yang lebih buruk. Waktu antara paparan obat dan terjadinya MDS dapat 2-3 tahun hingga lebih dari 10 tahun. 5. Radiasi Terapi radiasi sebelumnya, atau paparan radiasi lingkungan tingkat tinggi dikaitkan dengan peningkatan risiko MDS. Dalam beberapa kasus mungkin tidak terlihat sampai 40 tahun setelah paparan. 6. Kelainan Bawaan Beberapa kelainan bawaan seperti sindrom Bloom, Down Syndrome, anemia Fanconi dan neurofibromatosis memiliki risiko lebih untuk terjadinya mutasi yang menyebabkan kanker atau MDS (Leukaemia Fondation, 2009) C. PREVALENSI Perkiraan terbaru dari American Cancer Society (2009), MDS di Amerika Serikat berkisar 12.000 kasus baru setiap tahun. Jumlah kasus baru nampaknya akan meningkat karena peningkatan usia rata-rata populasi. Sekitar 80% sampai 90% dari semua pasien dengan MDS umumnya lebih dari 60 tahun. Sedangkan insidens MDS dalam data yang baru-baru ini diterbitkan oleh Surveillance, Epidemiology, and End Results (SEER) meningkat dari kurang dari 5 per 100.000 pasien di bawah usia 60 menjadi 36,2 per 100.000 pada pasien lebih dari 80 tahun. Dengan rata-rata usia diagnosis 76 tahun. Secara umum, pria dan kulit putih memiliki insiden yang lebih tinggi dari penyakit ini (Rami, 2009).

4

D. PATOFISIOLOGI Penyebab MDS masih belum dikehui dengan pasti, dan sulit dipisahkan dari penyebab leukemia dan penyakit mieloproliferatif lainnya. Diajukan sebuah hipotesis bahwa pengaruh factor lingkungan, kelainan genetic dan interaksi

sel menimbulkan

mutasi pada tingkat

selinduk sehingga

menimbulkan ketidakseimbangan proses proliferasi dan diferensiasi. Variasi perubahan prose situ akan menyebabkan transformasi kea rah leukemia akut, MDS atau penyakit myeloproliferatif (MPD) (Uwe, 2007). Pada MDS terjasi ketidakserasian antara proliferasi dengan diferensiasi, dimana daya proliferadi masih cukup tetapi terjadi gangguan diferensiasi atau maturasi sehingga terjasi hemopoesis inefektif, dengan kematian premature sel (eritroid, myeloid, megakariosit) dalam sumsum tulang sebelum sempat dilepaskan ke darah tepi. Hal ini berakibat terjadinya sumsum tulang hiperseluler, tetapi terjadi sitopenia pada darah tepi (Uwe, 2007)..

Bagan 1. Faktor-faktor yang berkontribusi terhadap terjadinya MDA (Uwe, 2007).

5

E. GEJALA KLINIS Gejala MDS sering tidak jelas dan spesifik, dan diagnosis sering dibuat selama pemeriksaan untuk anemia, trombositopenia, atau neutropenia pada pemeriksaan darah rutin. Jika tampak tanda-tanda dan gejala, biasanya tergantung pada jenis sel yang terpengaruh. Ketika eritrosit terpengaruh (situasi yang paling umum), pasien datang dengan tanda-tanda anemia, termasuk pucat, konjungtiva anemis, takikardi, hipotensi, kelelahan, sakit kepala, dan intoleransi latihan, atau dengan tanda dan gejala memburuknya kondisi atau penyakit yang mendasari seperti angina pectoris, gagal jantung, atau emfisema. Ketika trombosit yang terpengaruh, kurang dari 20% dari pasien datang dengan gejala trombositopenia terisolasi sebagai perdarahan kecil (misalnya, perdarahan mukosa, petechie, mudah memar, epistaksis) atau perdarahan besar (misalnya, perdarahan gastrointestinal, perdarahan intrakranial). Ketika neutrofil yang terpengaruh, terjadi neutropenia terisolasi misalnya infeksi bakteri yang sering terjadi pada sistem organ yang berbeda. Infeksi merupakan keluhan utama dari 10% kasus dan penyebab kematian dari 21% kasus. Splenomegali dan limfadenopati jarang terjadi pada MDS. Jika terdeteksi, maka harus curiga terhadap adanya neoplasma myeloproliferatif atau limfoproliferatif (Barzi, 2010). F. DIAGNOSIS Langkah diagnosis MDS adalah sebagai berikut : 1. Diagnosis MDS sangat dicurigai apabila dijumpai gejala klinik yang sesuai, terutama pada orang tua, yang disertai sitopenia (anemia, leukopenia, trombositopenia) persisten atau monositosis yang tidak dapat diterangkan. 2. Kemudian dilakukan pemeriksaan teliti terhadap apusan darah tepi dan sumsum tulang untuk mencari tanda-tanda displastik. Abnormalitas morfologi pada penderita MDS dapat dilihat pada Tabel 1.

6

Tabel 1. Abnormalitas Morfologi pada Penderita MDS (List, 2009) Jenis sel

Apus darah tepi

Sumsum tulang

Eritroid

Ovalomakrosit

Eritropoiesis megaloblastoid

Eliptosit

Nuclear budding

Akantosit

Ringed sideroblast

Stomatosit

Internuclear bridging

Teardrops

Karioreksis

Normoblas

Fragmen nuclei

Basophilic stippling

Vakuolisasi sitoplasma

Howel-Jolly bodies

Multinuklearitas

Anomali Pseudo-Pelger- Huet

Defektif granulasi

Hipogranulasi

Hambatan maturasi tingkat mielosit

Nuclear sticks

Peningkatan bentuk monositoid

Hipersegmentasi

Lokasi abnormal prekursor imatur

Mieloid

Ring-shaped nuclei Auer rods Megakariosit Giant platelet

Mikromegakariosit

Trombosit hipogranuler/ Agranuler Hipogranulasi Nukleus kecil multipel 3. Jika dijumpai tanda displastik pada satu alau lebih jenis sel, penyebab dysplasia di luar MDS harus disingkirkan (dengan anamnesis, pemeriksaan klinik, laboratorium atau pemeriksaan lain). Penyebab dysplasia diluar MDS antara lain: defisiensi vitamin B12, defisiensi folat, infeksi virus seperti HIV, pemakaian antibiotika tertentu, agen kemoterapi, etanol, benzene, atau timah hitam. Apabila penyebabpenyebab ini telah dapat disingkirkan, diagnosis MDA sudah dapat ditetapkan.

7

pada

4. Langkah selanjutnya adalah melakukan klasifikasi berdasarkan FAB atau WHO. 5. Jika fasilitas tersedia, pemeriksaan sitogenetik dikerjakan untuk menilai

prognosis.

Pemeriksaan

sitokimia,

imunofenotiping,

imunokimia, pemeriksaan onkogen dan kultur jaringan dapat membantu dignosis, tetapi secara rutin tidak selalu diperlukan. Sebenarnya untuk diagnosis SDM perlu dibantu dengan pemeriksaan pembiakan sel-sel sumsum tulang dan pemeriksaan sitogenetik. Sitogenetik sumsum tulang dapat memberikan informasi prognosis dan adanya abnormalitas kromosom yang merupakan kunci untuk membedakan MDS primer dan sekunder. Kromosom abnormal sumsum tulang ditemukan pada 30 – 50 % pasien MDS de novo. Berbagai kelainan sitogenetik pada MDS termasuk delesi, trisomi, monosomi dan anomali struktur.

8

Bagan 2. Panduan Diagnosis MDS (Peter L, 2011)

9

Has there been exposure to cytotoxic drugs or irradiation ?

YE S

Therapy Related MDS N O

Are there 5-19% blast cells in the blood or 10-19% blast cell in the bone marrow or Auer rods ?

YE S

RAEB-II N O

Are there no more than 5% blast cells in the blood and 5-9% in the bone marror ?

YE S

RAEB-I N O

Is there an isolates 5q- ?

N O

Is there multiliniage dysplasia ?

N O

YE S

5q - syndrome

YE S

RCMD or RCMD-RS

RA or RARS

Bagan 3. Algoritma Diagnosis MDS menurut kriteria WHO (Barbara, 2004)

10

F. KLASIFIKASI FAB membuat klasifikasi khusus untuk MDS yang diterima secara luas sampai saat ini. FAB membagi MDS menjadi 5 kategori berdasarkan jumlah blast dalam darah tepid an sumsum tulang, jumlah monosit dalam darah tepi, serta jumlah ringed sideroblast dalam sumsum tulang. 1. Refractory Anemia (RA) Pada RA dijumpai sitopenia, paling sedikit pada satu turunan sel (cell lineage), pada umumnya pada seri eritroid. Sumsum tulang hiperseluler atau normoseluler dengan perubahan displastik terutama pada sistem eritroid, system granulosit dan megakariosit mengalami perubahan displastik dalam derajad yang lebih ringan. Blast dalam darah tepi < 1 % dan dalam sumsum tulang < 5%. 2. Refractory Anemia with Ringed Sideroblast (RARS) Pada RARS dijumpai sitopenia (hampir selalu disertai anemi), perubahan displastik, jumlah blast seperti dapa RA. Ring sideroblast dijumpai > 15% dari sel eritroid berinti dalam sumsum tulang. 3. Refractory Anemia with Excessive Blast (RAEB) Pada RAEB dijumpai sitopenia dari dua atau lebih turunan sel pada darah tepi. Perubahan displastik pada ketiga lineage dalam sumsum tulang lebih nyata. Blast darah tepi < 5%, dan dalam sumsum tulang antara 5-20 %. 4. RAEB in Transformation to Leukemia (RAEBt) Pada RAEBt gambaran hematologi sama dengan RAEB, tetapi blast darah tepi > 5% atau blast dalam sumsum tulang 21-30% atau adanya auer rod pada sel blast. 5. Chronic Myelo-Monocytic Leukemia (CMML) Pada CMML dijumpai monositosis pada darah tepi (monosit > 1.109 per liter). Dalam darah tepi < 5%, sedangkan dalam sumsum tulang sampai dengan 20% (Brunning et al, 2001).

11

Tabel 2. Kelainan Darah Tepi dan Sumsum Tulang pada MDS Menurut Klasifikasi FAB (Brain, 2003) Jenis MDS Refractory Anemia (RA)

Darah Tepi Anemia

< 5% blast

1% blasts monocytes < 1.109 /l

Refractory Anemia with Excessive Blast in Transformation to Leukemia (RAEB-t)

Anemia

≥ 20% blast

Chronic MyeloMonocytic Leukemia (CMML)

Monocytes < 1.109 /l

>5% blasts

Granulocytes increased

Blast up to 20%

often Promonocytes often increased

10% of penia/pancytopenia) the cell in two or more myeloid cell lines ≥ 5% ring sideroblast No or rare blast < 5% blast No Auer rods No Auer rods

Refractory Anemia with Excessive Blast-1 (RAEB-1)

Cytopenias
View more...

Comments

Copyright ©2017 KUPDF Inc.
SUPPORT KUPDF