Referat Uveitis

July 24, 2017 | Author: Medika Wisata | Category: N/A
Share Embed Donate


Short Description

Referat Uveitis...

Description

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Uveitis merupakan salah satu penyebab utama kebutaan di dunia. Uveitis secara luas diklasifikasikan menjadi anterior, intermediate, posterior dan panuveitis berdasarkan anatomi mata (Agrawal et al, 2010). Uveitis memiliki banyak subtipe yang berpotensi yang berhubungan dengan kondisi sistemik (Babu, Rathinam, 2010). Secara anatomis, uveitis anterior melibatkan peradangan pada iris (iritis), bagian anterior badan ciliary (siklitis anterior) atau kedua struktur (iridosiklitis) (Agrawal et al, 2010). Uveitis umumnya unilateral, biasanya terjadi pada dewasa muda dan usia pertengahan. Ditandai adanya riwayat sakit, fotofobia, dan penglihatan yang kabur, mata merah tanpa sekret mata purulen dan pupil kecil atau ireguler. Insiden uveitis di Amerika Serikat dan di seluruh dunia diperkirakan sebesar 15 kasus/100.000 penduduk dengan perbandingan yang sama antara laki-laki dan perempuan. Morbiditas akibat uveitis terjadi karena terbentuknya sinekia posterior sehingga menimbulkan peningkatan tekanan intraokuler dan gangguan pada nervus optikus. Selain itu, dapat timbul katarak akibat penggunaan steroid. Oleh karena itu, diperlukan penanganan uveitis yang meliputi anamnesis yang komprehensif, pemeriksaan fisik dan oftalmologis yang menyeluruh, pemeriksaan penunjang dan penanganan yang tepat (Agrawal et al, 2010). Uveitis dapat disebabkan oleh trauma, diare kronis, penyakit Reiter, herpes simpleks, sindrom Behcet, sindrom Posner Schlosman, pasca operasi, adenovirus, parotitis, influenza, infeksi klamidia, arthritis rheumathoid dan lain-lain (Ilyas S, 2007) 1.2. Rumusan Masalah Referat ini membahas manifestasi klinis, penegakan diagnosis dan penatalaksanaan uveitis. 1.3. Tujuan Penulisan

1

Referat ini bertujuan untuk menambah ilmu pengetahuan dan pemahaman mengenai geja, diagnosis dan penatalaksanaan uveitis . 1.4. Metodologi Penulisan Referat Penulisan referat ini disusun berdasarkan tinjauan pustaka yang merujuk pada berbagai literature. 1.5. Manfaat Penulisan Referat Referat ini diharapkan dapat bermanfaat dalam memberikan informasi dan pengetahuan mengenai uveitis serta dapat dijadikan referensi pembelajaran bagi mahasiswa lain.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2

A. Anatomi dan Fisiologi Traktus Uvealis Traktus uvealis terdiri atas iris, corpus ciliare dan koroid. Bagian ini merupakan lapisan vaskuler tengah mata dan dilindungi oleh kornea dan sclera. Struktur ini ikut mendarahi retina. Uvea dibagi menjadi 3 bagian yaitu iris dibagian anterior, badan ciliare di tengah dan koroid diposterior (Emmett,2007).

Gambar Uvea Pendarahan uvea dibedakan antara bagian anterior yang diperdarahi oleh 2 buah arteri siliar posterior longus yang masuk menembus sklera di temporal dan nasal dekat tempat masuk saraf optik dan 7 buah arteri siliar anterior, yang terdapat 2 pada setiap otot rektus superior, medial, inferior dan satu pada otot rektus lateral. Arteri siliar anterior dan posterior ini bergabung menjadi satu membentuk arteri sirkulus major pada badan siliar. Uvea posterior mendapat perdarahan dari 15- 20 buah arteri siliar posterior brevis yang menembus sklera disekitar tempat masuk saraf optic (Eva , Whitcher, 2007).

3

Gambar Perdarahan Uvea Persarafan uvea didapatkan dari ganglion siliar yang terletak antara bola mata dengan otot rektus lateral, 1 cm didepan foramen optik, yang menerima 3 akar saraf dibagian posterior yaitu (Eva , Whitcher, 2007): 1. Saraf sensoris, yang berasal dari saraf nasosiliaris mengandung serabut saraf sensoris untuk kornea, iris, dan badan siliar. 2. Saraf simpatis membuat pupil berdilatasi, yang berasal dari saraf simpatis yang melingkari arteri karotis; mempersarafi pembuluh darah uvea dan untuk dilatasi pupil. 3. Akar saraf motor akan memberika saraf parasimpatis untuk mengecilkan pupil. Pada ganglion siliar hanya saraf parasimpatis yang melakukan sinaps. A.1. Iris Iris adalah perpanjangan corpus ciliare ke anterior. Iris berupa permukaan pipih yang dengan apertura yang bulat yang terletak ditengah, pupil. Iris terletak bersambungan dengan permukaan anterior lensa, memisahkan bilik mata depan dari bilik mata belakang, yang masing-masing berisi aqueos humor. Didalam stromairis terdapat sfingter dan otot – otot dilatator. Kedua lapisan berpigmen

4

pekat pada permukaan posterior iris merupakan perluasan neuroretina dan lapisan epitel pigmen retina ke arah anterior (Eva , Whitcher, 2007). Pendarahan iris didapat dari circulus major iris. Kapiler- kapiler iris mempunyai lapisan endotel yang tak berlubang (nonfenestrated) sehingga normalnya tidak membocorkan fluoresin yang disuntikan secara intravena. Persarafan sensoris iris melalui serabut-serabut dalam nervi ciliares (Eva, Whitcher, 2007). Iris mengendalikan banyaknya cahaya yang masuk kedalam mata. Ukuran pupil pada prinsipnya ditentukan oleh keseimbangan antara konstriksi aktivitas parasimpatis yang dihantarkan melaui nervus kranialis III dan dilatasi yang ditimbulkan oleh aktivitas simpatis (Eva , Whitcher, 2007). A.2. Corpus ciliare Corpus ciliare berbentuk segitiga pada potongan melintang, membentang kedepan dari ujung anterior koroid ke pangkal iris (sekitar 6 mm). Corpus ciliare terdiri atas zona anterior yang berombak-ombak, pars plicata (2 mm), dan zona posterior yang datar, pars plana (4 mm). Processus ciliaris berasal dari pars plicata. Processus ciliaris ini terutama terbentuk dari kapiler dan vena yang bermuara ke vena-vena verticosa. Kapiler –kapilernya besar dan berlubang-lubang sehingga membocorkan fluoresin yang disuntikn secara intravena. Ada dua lapisan epitel ciliaris: satu lapisan tanpa pigmen disebelah dalam, yang merupakan perluasan neuroretina ke anterior; dan satu lapisan berpigmen disebelah luar, yang merupakan perluasan epitel pigmen retina. Processus ciliaris dan epitel ciliares pembungkusnya berfungsi sebagai pembentuk aqueous humor (Eva , Whitcher, 2007). Radang badan siliar akan mengakibatkan melebarnya pembuluh darah di daerah limbus, yang akan mengakibatkan mata merah yang merupakan gambaran karakteristik peradangan intraocular (Eva , Whitcher, 2007). Musculus ciliaris, tersusun dari gabungan serat-serat longitudinal, sirkuler dan radial. Fungsi serat-serat sirkular adalah untuk mengerutkan dan relaksasi seratserat zonula, yang berorigo dilembah-lembah diantara processus ciliares. Otot ini

5

mengubah tegangan pada kapsul lensa sehingga lensa dapat mempunyai berbagai focus baik untuk objek berharak dekat maupun yang berjarak jauh dalam lapangan pandang (Eva , Whitcher, 2007). Serat-serat longitudinal musculus ciliaris menyisip kedalam anyaman trabekula untuk mempengaruhi besar porinya. Bila musculus ciliaris berkontraksi akan membuka anyaman trabekula dan mempercepat pengaliran cairan mata melalui sudut bilik mata. Pembuluh-pembuluh darah yang mendarahi corpus ciliare berasal dari circulus arteriosus major iris. Persarafan sensoris iris melalui saraf-saraf ciliaris (Eva , Whitcher, 2007). . A.3. Koroid Koroid adalah segmen posterior uvea, di antara retina dan sclera. Koroid tersusun atas tiga lapis pembuluh darah koroid; besar , sedang, dan kecil. Semakin dalam pembuluh terletak didalam koroid, semakin lebar lumennya. Bagian dalam pembuluh darah koroid dikenal sebagai koriokapilaris. Darah dari pembuluh koroid dilairkan melalui empat vena vorticosa, satu di tiap kuadran posterior. Koroid disebelah dalam dibatasi oleh membrane Bruch dan disebelah luar oleh sklera. Ruang suprakoroid terletak diantara koroid dan sklera. Koroid melekat erat ke posterior pada tepi-tepi nervus opticus. Disebelah anterior, koroid bergabung dengan korpus ciliare (Eva , Whitcher, 2007). B. Uveitis B.1. Definisi Uveitis Istilah " uveitis " menunjukkan peradangan pada iris (iritis, iridocyclitis), corpus ciliar (uveitis intermediate, cyclitis, uveitis perifer, atau planitis pars), atau koroid (choroiditis). Uveitis dapat juga digunakan pada inflamasi retina (retinitis), pembuluh darah retina (vaskulitis retina), dan saraf optik intraokular (papillitis). Uveitis juga dapat terjadi sekunder pada peradangan kornea (keratitis), sclera (scleritis), atau keduanya (Eva , Whitcher, 2007).

B.2. Epidemiologi 6

Uveitis biasanya terjadi pada umur 20-50 tahun dan menyumbang 10-20% kasus kebutaan. Uveitis umumnya terjadi di negara berkembang daripada di negara-negara maju, hal ini terjadi karena sebagian besar prevalensi yang lebih besar dari infeksi yang dapat mempengaruhi mata, seperti toksoplasmosis dan TBC (Eva, Whitcher, 2007). Sebagian besar pasien uveitis menunjukkan variasi dalam hal prevalensi relatif berbagai bentuk uveitis. Uveitis anterior sebanyak 28-66 % kasus, uveitis intermediate 5-15 %, uveitis posterior 19-51 %, dan panuveitis 7-18 %. (Yanoff, 2009). B.3. Etiologi Uveitis dapat disebabkan oleh trauma, diare kronis, penyakit Reiter, herpes simpleks, sindrom Behcet, sindrom Posner Schlosman, pasca operasi, adenovirus, parotitis, influenza, infeksi klamidia, arthritis rheumathoid dan lain-lain (Ilyas S, 2007). Uveitis trauma sering terjadi pada cedera yang disengaja atau operasi pada jaringan uveal. Mekanisme yang berbeda yang dapat menghasilkan uveitis trauma berikut meliputi (Khurana, 2007) : a. Efek mekanis langsung pada trauma. b. Efek iritasi dari produk darah setelah perdarahan intraokular c. Invasi mikroba d. Efek kimia benda asing intraokular e. Oftalmia simpatis pada mata lainnya.

Penyebab Uveitis anterior (Eva , Whitcher, 2007)

7

Penyebab Uveitis posterior (Eva , Whitcher, 2007)

8

B.4. Klasifikasi Uveitis akut menggambarkan jalannya suatu sindrom uveitis tertentu ditandai dengan onset mendadak dan durasi yang singkat. Uveitis kronis menggambarkan peradangan persisten yang ditandai dengan kekambuhan (dalam waktu kurang dari 3 bulan) setelah penghentian terapi. Uveitis berulang ditandai dengan episode berulang dari uveitis dipisahkan oleh masa non-aktif tanpa pengobatan yang berlangsung setidaknya 3 bulan. (Kanski, 2011) Klasifikasi uveitis berdasarkan :

9

1.

Lokasi utama dari bercak peradangan : a.

uveitis anterior

b.

uveitis intermediate

c.

uveitis posterior

d.

pan uveitis.

2.

Berat dan perjalanan penyakit : a.

akut

b.

subakut

c.

kronik

d.

rekurens

3.

Patologinya : a.

non granulomatosa

b.

granulomatosa

4.

Demografi, lateralisasi dan faktor penyerta : a.

distribusi menurut umur

b.

distribusi menurut kelamin

c.

distribusi menurut suku bangsa dan ras

d.

unilateral dan bilateral

e.

penyakit yang menyertai atau mendasari

5.

Penyebab yang diketahui : a.

bakteri : tuberkulosis , sifilis

b.

virus : herpes simplek, herpes zoster, citomegalovirus

c.

jamur : candida

d.

parasit : toksoplasma, toksokara

e.

imunologik : sindrom behcet, sindrom vogt-koyanagi-harada, oftalmia simpatika, poliarteritis nodosa, granulomatosis wegener

f.

penyakit sistemik : penyakit kolagen, artritis reumatoid, multipel skerosis, sarkoidosis, penyakit vaskular.

g.

Neoplasmik : leukemia, melanoma maligna, reticullum cell sarcoma

h.

lain – lain : AIDS.

10

6.

Berdasarkan anatomisnya : a. Inflamasi iris bersamaan dengan peningkatan permeabilitas vaskular dinamakan iritis / uveitis anterior. Sel darah putih yang bersirkulasi dalam humor aqueous pada anterior chamber dapat dilihat dengan slitlamp. Protein yang juga bocor dari pembuluh darah terlihat dengan sifat penyebaran cahaya pada sinar slitlamp sebagai flare. b. Inflamasi pars plana (badan siliaris posterior) dinamakan siklitis atau uveitis intermediate, inflamasi segmen posterior (uveitis posterior) menghasilkan sel – sel inflamasi dicairan vitreus. Selain itu, terdapat inflamasi koroid atau retina terkait (koroiditis dan retinitis). Panuveitis terjadi ketika uveitis anterior dan posterior terjadi bersamaan.

B.5. Manifestasi Manifestasi klinis uveitis bervariasi tergantung pada beberapa faktor utama dari keterlibatan dalam mata, jalannya proses inflamasi (misalnya, akut atau kronis), dan adanya komplikasi sekunder yang timbul dari uveitis sendiri (Yanoff, 2009). Gejala-gejala uveitis anterior akut (misalnya, antigen leukosit entitas HLAB27 terkait manusia, seperti ankylosing spondylitis) umumnya meliputi nyeri, kemerahan, fotofobia, dan penglihatan kabur, yang biasanya berkembang selama jam atau hari. Di sisi lain, pasien yang memiliki uveitis anterior kronis, seperti yang terlihat dengan JIA atau Fuchs' iridocyclitis heterochromic, dapat terjadi penurunan visus atau kemerahan ringan, dengan sedikit rasa sakit atau fotofobia. Pasien yang memiliki uveitis intermediate atau uveitis posterior biasanya dengan floaters atau gangguan penglihatan sekunder untuk edema makula cystoid atau keterlibatan chorioretinal. (Yanoff , 2009).

B.6. Metode pemeriksaan

11

Slit lamp digunakan untuk memeriksa permukaan iris di bawah sinar terfokus cahaya. Pembuluh darah Iris hanya dapat terlihat ketika terjadi atrofi iris, peradangan, atau sebagai neovaskularisasi di rubeosis iridis. Pembuluh darah iris dapat divisualisasikan oleh iris angiografi setelah injeksi intravena fluorescein natrium pewarna. Cacat pada lapisan berpigmen iris tampak merah di bawah retroillumination dengan slit lamp. Slit lamp biomicroscopy visualisasi individual cells seperti melanin sel pada 40 - daya pembesaran. Anterior chamber transparan. Peradangan dapat meningkatkan permeabilitas pembuluh iris dan kompromi penghalang antara darah dan aqueous humor. Epitel pigmen retina mengevaluasi koroid oleh oftalmoskopi dan angiografi fluorescein angiography atau indocyaninegreen. Perubahan koroid seperti tumor atau hemangioma scan divisualisasikan dengan pemeriksaan USG. (Lang , 2006). B.7. Patologi uveitis Peradangan uvea memiliki karakteristik yang sama seperti jaringan tubuh yang lain, yaitu, pembuluh darah dan respon seluler. Namun, karena vaskularisasi ekstrim dan longgarnya jaringan uveal, terjadi respon inflamasi yang berlebihan (Khurana, 2007). Secara patologis, radang saluran uveal dapat dibagi menjadi supuratif (purulen) dan non supuratif (non-purulen). Uveitis non-supuratif dapat dibagi menjadi jenis nongranulomatous dan granulomatosa (Khurana, 2007). Inflamasi purulen dari uvea biasanya merupakan bagian dari endophthalmitis atau panophthalmitis, infeksi eksogen oleh organisme piogenik yang meliputi staphylococcus, streptokokus, psuedomonas, pneumokokus dan gonococcus. Reaksi patologis ditandai dengan eksudat purulen yang banyak dan infiltrasi oleh sel polimorfonuklear jaringan uveal, anterior chamber, posterior chamber dan rongga vitreous. Akibatnya, jaringan uveal seluruh menebal dan nekrotik dan rongga mata menjadi penuh dengan pus (Khurana, 2007). Reaksi nongranulomatous terdiri dari dilatasi dan peningkatan permeabilitas pembuluh darah, terjadi kerusakan barrier blood aqueous dengan berlimpahnya eksudat fibrinous dan infiltrasi limfosit, sel plasma dan makrofag besar dari

12

jaringan uveal, anterior chamber, posterior chamber dan ruang vitreous. Peradangan biasanya difus sebagai hasil dari reaksi patologis iris, edema, kriptus kabur dan terdapat alur. Sebagai konsekuensi mobilitas berkurang, pupil mengecil karena iritasi sfingter dan kendurnya pembuluh radial dari iris. Eksudat dan limfosit mengalir ke anterior chamber di aqueous flare dan deposisi KPs belakang kornea. Eksudat di posterior chamber, permukaan posterior dari iris melekat pada kapsul anterior lensa mengarah ke posterior menyebabkan sinekia. Peradangan yang berat, karena terdapat eksudat dari proses silia, di belakang lensa, membran eksudatif disebut cyclitic membrane dapat dibentuk (Khurana, 2007). Reaksi granulomatosa ditandai dengan infiltrasi limfosit, sel plasma, dengan mobilisasi dan proliferasi sel mononuklear besar yang akhirnya menjadi epithelioid dan sel-sel raksasa dan agregat menjadi nodul. Iris nodul biasanya terbentuk di dekat perbatasan pupil (nodul Koeppe). Nodular sel disimpan di bagian belakang kornea dalam bentuk mutton fat keratic precipitates dan aqueous flare minimal. Nekrosis struktur yang berdekatan mengarah pada proses perbaikan mengakibatkan fibrosis dan gliosis (Khurana, 2007). B.8. Uveitis anterior Uveitis anterior, hampir selalu muncul sebagai peradangan gabungan iris dan ciliary body (iridosiklitis), reaksi dapat lebih jelas pada iris (iritis) atau corpus cilliar (cyclitis). Secara klinis, dapat dibagi menjadi uveitis anterior akut atau kronis. Gejala utama dari uveitis anterior akut adalah nyeri, fotofobia, kemerahan, lakrimasi dan penurunan visus. Uveitis kronis, gejala dapat berupa mata tenang dengan gejala minimal (Khurana, 2007). Pemeriksaan fisik menunjukkan silia (circumcorneal) injeksi yang memiliki violaceous hue (Kanski, 2011).

13

Ciliary Injection Miosis terjadi karena sfingter yang spasme dapat mempengaruhi pembentukan sinekia posterior, kecuali pupil yang farmakologi melebar. Endothelial dusting menimbulkan penampakan kotor. Keratic Precipitates (KP) biasanya muncul hanya setelah beberapa hari dan biasanya non- granulomatosa (Kanski, 2011).

Endothelial Sel

dusting by cells

aqueous

menunjukkan aktivitas

penyakit dan tingkat keparahan penyakit. Grading sel dilakukan dengan sinar celah 2 mm dan 1 mm lebar dengan intensitas cahaya maksimal dan pembesaran, ini harus dilakukan sebelum midriasis karena dalam sel mata normal dan gumpalan pigmen dapat berkembang setelah dilatasi pupil. Sel vitreous anterior menunjukkan iridocyclitis (Kanski, 2011). Hypopyon adalah fitur peradangan yang intens di mana sel-sel menetap di bagian inferior dari anterior chamber (AC) dan membentuk tingkat horizontal (Kanski, 2011).

Hypopion

14

Sinekia Posterior dapat berkembang dengan cepat dan harus dipecah sebelum menjadi permanen. Tekanan intraokular rendah (TIO) dapat terjadi sebagai akibat dari penurunan sekresi aqueous oleh epitel silia (Kanski, 2011).

Extensive posterior synechiae Pemeriksaan fundus biasanya normal, tetapi harus selalu dilakukan untuk menyingkirkan 'spillover' uveitis anterior terkait dengan fokus posterior, terutama toksoplasmosis dan nekrosis retina akut (Kanski, 2011). Dengan terapi yang tepat peradangan cenderung dapat diobati dalam 5-6 minggu dengan prognosis biasanya sangat baik. Komplikasi dan prognosis visual yang buruk terkait dengan manajemen tertunda atau tidak memadai (Kanski, 2011). Uveitis anterior kronis jarang terjadi dibandingkan dengan uveitis anterior akut dengan peradangan yang menetap, dalam waktu kurang dari 3 bulan, setelah penghentian pengobatan. Peradangan dapat terjadi granulomatosa atau non granulomatosa. Uveitis anterior akut umumnya terjadi bilateral, sering berbahaya dan banyak pasien tidak menunjukkan gejala sampai berkembang dengan komplikasi seperti katarak atau band keratopati (Kanski, 2011). Pemeriksaan fisik biasanya menunjukkan mata tenang, namun terkadang mata dapat merah muda selama periode eksaserbasi. Aqueous inflamasi bervariasi jumlahnya sesuai dengan aktivitas penyakit tetapi bahkan pasien dengan berbagai sel mungkin tidak memiliki gejala. Aqueous flare dapat ditandai dari sel-sel di mata dengan aktivitas yang berkepanjangan dan beratnya dapat bertindak sebagai indikator aktivitas penyakit (Kanski, 2011). Hal ini disebabkan kebocoran partikel protein ke dalam aqueous humor dari pembuluh darah yang rusak. Hal ini ditunjukkan pada pemeriksaan slit lamp oleh sinar titik cahaya melewati miring terhadap bidang iris. Dalam berkas cahaya, partikel protein sebagai partikel debu dan ditangguhkan bergerak. Hal ini didasarkan pada ' Brownian movement ' atau ' fenomena Tyndal ' (Khurana, 2007).

15

Aqueous Flare and Cells Keratic precipitate adalah kelompok deposito seluler pada endotel kornea terdiri dari sel epiteloid , limfosit dan polimorf (Kanski, 2011).

Keratic precipitate Durasi yang prolong dan kasus peradangan dapat berlangsung selama berbulanbulan atau bahkan bertahun-tahun. Remisi dan eksaserbasi inflamasi yang umum dan sulit untuk menentukan kapan proses alamiah penyakit. Prognosis dipengaruhi dengan munculnya komplikasi katarak, glaucoma, dan hypotony (Kanski, 2011). B.9. Uveitis intermediate Uveitis intermediate terjadi pada badan ciliary mata, terutama pars plana, retina perifer, dan vitreous. Penyebabnya tidak diketahui dalam banyak kasus, meskipun sifilis, tuberkulosis, penyakit Lyme, dan sarkoidosis harus disingkirkan dengan laboratorium yang sesuai dan pengujian tambahan. Multiple sclerosis juga harus dipertimbangkan. Uveitis intermediate terlihat terutama di kalangan orang dewasa muda, mempengaruhi laki-laki dan perempuan sama-sama, dan bilateral dalam hingga 80 % dari kasus (Eva , Whitcher, 2007). Keluhan umum termasuk nyeri, floaters dan visus menurun. Fotofobia minimal atau peradangan eksternal. Biasanya usia 15 sampai 40 tahun dan bilateral. Sel vitreous, eksudatif putih ora serrata inferior dan pars plana

16

(snowbank), agregat selular floating di vitreous inferior (snowballs). Pasien yang lebih muda dapat terjadi pendarahan vitreous (Eva , Whitcher, 2007).

B.10. Pars planitis / uveitis intermediate dengan snowballs Katarak subkapsular posterior dan edema makula cystoid adalah penyebab paling umum dari penurunan visus. Dalam kasus yang parah, membran cyclitic dan ablasio retina dapat terjadi. Glaukoma sekunder jarang terjadi. Kortikosteroid digunakan terutama untuk mengobati edema makula cystoid atau neovaskularisasi retina. Kortikosteroid topikal harus dicoba selama 3-4 minggu untuk mengidentifikasi perkembangan kortikosteroid induced hipertensi okular. Jika tidak ada perbaikan dan tidak terjadi hipertensi okular, posterior subtenon atau injeksi intraokular dari triamcinolone acetonide, 40 mg/ml. Pasien dengan uveitis intermediate biasanya dilakukan operasi katarak, dan umumnya membaik. (Eva, Whitcher, 2007). B.11. Uveitis posterior Uveitis posterior mengacu pada peradangan pada koroid (choroiditis). Lapisan luar retina berada berdekatan dengan koroid dan bergantung pada nutrisi dari retina, peradangan choroidal hampir selalu melibatkan retina, dan lesi yang dihasilkan disebut korioretinitis (Khurana, 2007). Variasi fokus inflamasi dan adanya vitritis, misalnya pasien dengan lesi perifer mungkin mengeluh floaters

17

sedangkan pasien dengan lesi yang melibatkan makula terutama akan mengeluh gangguan penglihatan sentral (Kanski, 2011). Penglihatan kabur, floaters, nyeri, kemerahan, dan fotofobia biasanya tidak ditemukan kecuali peradangan anterior chamber (Elsher, 2008). Berbagai gejala visual yang dialami oleh pasien choroiditis (Khurana, 2007) : a. Penglihatan. Hal ini biasanya ringan karena kabut vitreous, tetapi bisa berat pada choroiditis central. b. Photopsia. Ini adalah sensasi subjektif dari kilatan cahaya yang dihasilkan akibat iritasi batang dan kerucut. c. Black spots floating. Keluhan yang sangat umum, terjadi karena gumpalan eksudatif dalam vitreous. d. Metamorphopsia. Pasien melihat gambar terdistorsi dari objek, akibat perubahan dalam kontur retina yang disebabkan oleh patch dari choroiditis. e. Micropsia yang dihasilkan akibat pemisahan sel visual adalah keluhan umum. f. Makropsia yaitu, persepsi objek yang lebih besar dari mereka. g. Scotoma positif, yaitu, persepsi tempat besar tetap dalam bidang penglihatan. Lesi segmen posterior mata bisa fokus, multifokal, geografis, atau difus, menyebabkan kekeruhan dari vitreous. Lesi inflamasi segmen posterior umumnya perlahan, tetapi beberapa bisa disertai dengan hilangnya penglihatan tiba-tiba (Eva, Whitcher, 2007).

Retinitis Kekeruhan vitreous karena choroiditis di bagian tengah atau posterior, dapat terlihat kasar, berserabut, rongga snowball (Khurana, 2007). Patch choroiditis dalam tahap aktif tampak sebagai pale-yellow atau dirty white dengan tepi yang tidak jelas. Hasil ini karena eksudasi dan infiltrasi seluler dari koroid yang tersembunyi dalam pembuluh darah choroidal. Lesi biasanya lebih dalam

18

pembuluh retina. Retina terlihat berawan dan edema. Pada tahap atrofi atau tahap penyembuhan, peradangan aktif mereda, daerah yang terkena menjadi lebih tajam dibandingkan sisa daerah yang normal, daerah yang terlibat menunjukkan sclera putih di bawah berpigmen atrofi koroid dan hitam di pinggiran lesi (Khurana, 2007). B.12. Pengobatan Prinsip utama penatalaksanaan uveitis adalah untuk menjaga fungsi penglihatan, mencegah komplikasi, meringankan keluhan pasien dan, jika memungkinkan, untuk mengobati penyakit yang mendasarinya (Babu, Rathinam, 2010) 1. Mydriatic dan cycloplegic Agen Obat-obat topikal digunakan untuk mengobati ciliary spasm yang sering terjadi dengan uveitis anterior akut dan mengobati sinekia posterior dan/ atau mencegah perkembangan sinekia baru. Homatropin, skopolamin, atau atropin, yang digunakan untuk meringankan ciliary spasm. Tropikamid atau cyclopentolate mungkin memainkan peran dalam mencegah pembentukan sinekia posterior baru pada pasien yang memiliki iridocyclitis kronis (misalnya, sekunder untuk JIA) dan minimal fotofobia dan pupil (Yanoff, 2009). 2. Kortikosteroid Kortikosteroid adalah obat pilihan di sebagian besar jenis uveitis. Cara kerja dengan menghambat proses inflamasi dengan menekan metabolisme asam arakidonat dan aktivasi komplemen (Babu, Rathinam, 2010). Ketika diberikan secara sistemik memiliki peran dalam pengobatan iridocyclitis non granulomatosa, di mana peradangan, sebagian besar terjadi akibat reaksi antigen antibodi. Bahkan dalam jenis uveitis, steroid sistemik membantu karena efek kuat anti - inflamasi dan antifibrotic non - spesifik. Kortikosteroid sistemik biasanya ditunjukkan dalam uveitis anterior resisten terhadap terapi topikal (Khurana, 2007).

19

Pada panuveitis, kortikosteroid topikal dan sistemik baik diperlukan. Tergantung pada beratnya penyakit, prednisolon oral dimulai pada dosis 1 mg/ kg / hari. Peradangan mereda kortikosteroid di tapering of 5-10 mg per minggu dimulai dalam waktu dua sampai empat minggu memulai terapi. Setelah mata benar-benar diam, pasien diikuti dengan dosis pemeliharaan mulai 2,5-10 mg sehari prednisolon. Menggunakan kortikosteroid long acting dengan dosis rendah diperlukan sebagai terapi pemeliharaan VKH (Vogt Koyanagi - Harada) sindrom dan SO (Babu, Rathinam, 2010). Respon terhadap terapi kortikosteroid dapat terganggu oleh kekambuhan uveitis. Kasus unilateral dapat diberikan percobaan dengan injeksi periokular dari depot kortikosteroid ke dalam ruang posterior subtenon. Efek samping dan komplikasi kortikosteroid topikal atau sistemik harus mencari di setiap tindak lanjut kunjungan pasien. Ini termasuk glaukoma sekunder, posterior subkapsular katarak, peningkatan kerentanan terhadap infeksi (mata atau sistemik),

hipertensi,

tukak

lambung,

diabetes,

obesitas,

gangguan

pertumbuhan, osteoporosis dan psikosis (Babu, Rathinam, 2010). Kortikosteroid dapat menyebabkan glaukoma melalui peningkatan tekanan intra okuler melalui mekanisme sudut terbuka. Mekanisme tersebut dikaitkan dengan efek ganda pada anyaman trabekula meshwork, Mekanisme lainnya mengarah pada perubahan sitoskeletal yang dapat menghambat pinositosis dari humour aqueous. Kortikosteroid juga menyebabkan penurunan sintesis prostaglandin yang mengatur fasilitas/pengeluaran humour aqueous sehingga terjadi peningkatan tekanan intra okuler (TIO) menyebabkan tekanan pada saraf optic (Babu, Rathinam, 2010). 3. Antimetabolit Antimetabolit di indikasikan pada kasus uveitis bilateral, non infeksi, reversible, tidak berespon dengan steroid. Steroid sparing terapy pada pasien dengan intoleran terhadap efek sistemik steroid atau penyakit kambuh kronis yang membutuhkan dosis harian prednisolon lebih dari 10 mg. Setelah pasien telah dimulai pada obat imunosupresif dan dosis yang tepat dipastikan, pengobatan harus dilanjutkan selama 6-24 bulan, setelah itu secara bertahap

20

dan penghentian obat harus dicoba selama 3-12 bulan ke depan. Namun, beberapa pasien mungkin memerlukan terapi jangka panjang untuk mengontrol aktivitas penyakit (Kanski, 2011). 4. Vitrectomy di panuveitis Vitrectomy pada uveitis dimulai pada akhir 1970-an untuk tujuan diagnostik dan untuk mengobati infeksi. Vitrectomy diagnostik dikombinasikan dengan PCR dapat secara signifikan meningkatkan hasil diagnostik dalam uveitis. Vitrectomy dapat dianggap sebagai pilihan terapi saat uveitis lanjut dengan terapi maksimal dengan kortikosteroid dan / atau imunosupresan lainnya. Hal ini juga dapat ditunjukkan ketika kehilangan penglihatan terjadi akibat komplikasi dari radang lama, seperti jaringan vitreous, parut padat opacifier menarik pada cillary body menyebabkan hypotony, edema makula cystoid, membran epiretinal, lensa posterior kapsul kekeruhan padat dan ablasi retina. Vitrectomy dilakukan untuk menghilang limfosit di vitreous, inflamasi, kompleks imun dan autoantigens. Hal ini juga meningkatkan penetrasi uveal sel anti - inflamasi. Selain menyediakan akses yang lebih baik untuk penghapusan dari bahan lensa cataractous bersama dengan kapsul posterior, gabungan pars plana vitrectomy lensectomy dan memungkinkan manuver intraokular dan mencegah pembentukan membran cyclitic (Babu, Rathinam, 2010). B.13. Komplikasi Komplikasi terpeting yaitu terjadinya peningkatan tekanan intraokuler (TIO) akut yang terjadi sekunder akibat blok pupil (sinekia posterior), inflamasi, atau penggunaan kortikosteroid topikal. Peningkatan TIO dapat menyebabkan atrofi nervus optikus dan kehilangan penglihatan permanen. Komplikasi lain meliputi corneal band-shape keratopathy, katarak, pengerutan permukaan makula, edema diskus optikus dan makula, edema kornea, dan retinal detachment. B.14. Prognosis Prognosis uveitis tergantung pada banyak hal diantaranya derajat keparahan, lokasi, dan penyebab peradangan. Secara umum, peradangan yang berat perlu 21

waktu lebih lama untuk sembuh serta lebih sering menyebabkan kerusakan intraokular dan kehilangan penglihatan dibandingkan dengan peradangan ringan atau sedang. Selain itu uveitis anterior cenderung lebih cepat merespon pengobatan dibandingkan dengan uveitis intermediet, posterior atau difus. Umumnya kasus uveitis anterior prognosisnya baik bila di diagnosis lebih awal dan diberi pengobatan yang tepat. Prognosis visual pada iritis kebanyakan pulih dengan baik tanpa adanya katarak, glaukoma dan uveitis posterior. Keterlibatan retina, koroid atau nervus optikus cenderung memberi prognosis yang lebih buruk.

BAB III KESIMPULAN Uveitis adalah peradangan atau inflamasi yang terjadi pada lapisan traktus uvealis yang meliputi peradangan pada iris, korpus siliaris dan koroid. Klasifikasi uveitis dibedakan menjadi empat kelompok utama, yaitu klasifikasi secara anatomis, klinis, etiologis, dan patologis. Penyakit ini dapat disebabkan oleh faktor eksogen, endogen, infeksi maupun noninfeksi. Tujuan utama dari pengobatan uveitis adalah untuk mengembalikan atau memperbaiki fungsi penglihatan mata. Apabila sudah terlambat dan fungsi penglihatan tidak dapat lagi dipulihkan seperti semula, pengobatan tetap perlu diberikan untuk mencegah memburuknya penyakit dan terjadinya komplikasi yang tidak diharapkan.

22

DAFTAR PUSTAKA Agrawal, 2010, Current approach in diagnosis and management of anterior uveitis. indian journal of opftalmology 58 (1),11 Babu, Rathinam, 2010, Intermediate Uveitis. Indian Journal of Opthalmology. 58(1) 21-27. Emmett T. 2007. Cunningham. Uveal tract In: Riordan-Eva P, Whitcher JP, editors. General Eva, P.R., and Whitcher, J.P. 2007. Vaughan and Asbury’s General Ophthalmology 17th Edition. USA: McGrawHill Ilyas S. 2007. Ilmu Penyakit Mata edisi ketiga. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. Kanski, Jack J; Bowling B. 2011. Clinical Ophthalmology: A Systematic Approach, 7th edition. UK: Elveiser. Khurana A. 2007. Comprehensive Ophtalmology 4th Edition. India: New Age International Limited Publisher. Lang, GK., 2000. Ophthalmology: A Short Textbook. New York: Thieme. Ophthalmology 17th Ed. London: McGraw Hill, 2007 Yanoff, M. and Duker, JS., 2009. Yanoff and Duker’s Ophthalmology. 3 rd Edition. UK: Mosby Elsevier. 23

24

View more...

Comments

Copyright ©2017 KUPDF Inc.
SUPPORT KUPDF