referat uveitis
May 7, 2017 | Author: Laurentius Oktavianus | Category: N/A
Short Description
Download referat uveitis...
Description
REFERAT ILMU PENYAKIT MATA
UVEITIS ANTERIOR & POSTERIOR
Dokter Pembimbing :
Dr. Roesmawati, Sp. M. Disusun Oleh : LAURENTIUS OKTAVIANUS 17120060004 KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT MATA PERIODE 8 AGUSTUS – 9 SEPTEMBER 2011 FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PELITA HARAPAN KARAWACI
BAB I PENDAHULUAN Uvea adalah organ yang terdiri dari beberapa kompartemen mata yang berperan besar dalam vaskularisasi bola mata. Terdiri atas iris, badan silier dan koroid. Uveitis didefinisikan sebagai inflamasi yang terjadi pada uvea. Meskipun demikian sekarang istilah uveitis digunakan untuk menggambarkan berbagai bentuk inflamasi intraokular yang tidak hanya pada uvea tetapi juga struktur yang ada didekatnya, baik karena proses infeksi, trauma, neoplasma, maupun autoimun.1) Secara anatomis uvea merupakan lapisan vaskular tengah mata dan dilindungi oleh kornea dan sklera, juga merupakan lapisan yang memasok darah ke retina. Perdarahan uvea dibagi antara bagian anterior yang diperdarahi oleh 2 buah arteri siliar posterior longus yang masuk menembus sklera ditemporal dan nasal dekat tempat masuk saraf optik dan 7 buah arteri siliar anterior yang terdapat 2 pada setiap otot superior, medial, inferior serta pada otot rektus lateral. Arteri siliar anterior posterior ini bergabung menjadi satu membentuk arteri sirkulari mayor pada badan siliar. Uvea posterior mendapat perdarahan dari 15 – 20 arteri siliar posterior brevis yang menembus sklera disekitar tempat masuk saraf optik. 2) Anatomi Bola Mata
Dikutip dari http://www.klinik mata nusantara
2
KLASIFIKASI 5) Klasifikasi uveitis berdasarkan : 1. Lokasi utama dari bercak peradangan :
uveitis anterior
: meliputi iris, iridosiklitis, dan uveitis intermedia.
uveitis posterior
: koroiditis, koriorenitis ( bila peradangan koroid
lebih menonjol ), retinokoroiditis ( bila peradangan retina lebih menonjol), retinitis dan uveitis diseminata.
uveitis difus atau pan uveitis.
2. Berat dan perjalanan penyakit :
akut
subakut
kronik
rekurens
3. Patologinya :
non granulomatosa
granulomatosa
4. Demografi, lateralisasi dan faktor penyerta :
distribusi menurut umur
distribusi menurut kelamin
distribusi menurut suku bangsa dan ras
unilateral dan bilateral
penyakit yang menyertai atau mendasari
5. Penyebab yang diketahui :
bakteri : tuberkulosis , sifilis
virus : herpes simplek, herpes zoster, citomegalovirus
jamur : candida
parasit : toksoplasma, toksokara
imunologik : sindrom behcet, sindrom vogt-koyanagi-harada, oftalmia simpatika, poliarteritis nodosa, granulomatosis wegener 3
penyakit sistemik : penyakit kolagen, artritis reumatoid, multipel skerosis, sarkoidosis, penyakit vaskular.
Neoplasmik : leukemia, melanoma maligna, reticullum cell sarcoma
lain – lain : AIDS.
6. Berdasarkan anatomisnya :
Inflamasi iris bersamaan dengan peningkatan permeabilitas vaskular dinamakan iritis / uveitis anterior . Sel darah putih yang bersirkulasi dalam humor akous bilik mata anterior dapat dilihat dengan slitlamp. Protein yang juga bocor dari pembuluh darah terlihat dengan sifat penyebaran cahaya pada sinar slitlamp sebagai flare.
Inflamasi pars plana ( badan siliaris posterior) dinamakan siklitis atau uveitis intermedia.inflamasi segmen posterior ( uveitis posterior) menghasilkan sel – sel inflamasi dicairan vitreus. Selain itu juga terdapat inflamasi koroid atau retina terkait ( masing – masing adalah koroiditis dan retinitis). Panuveitis terjadi ketika uveitis anterior dan posterior terjadi bersamaan
Uveitis merupakan penyakit yang mudah mengalami kekambuhan, bersifat merusak, menyerang pada usia produktif dan kebanyakan berakhir dengan kebutaan. Hubungan yang baik antara dokter dengan penderita uveitis sangat dibutuhkan untuk mendapatkan hasil penanganan yang optimal. 3) EPIDEMIOLOGI 3) Insiden sekitar 15 per 100.000 orang, sekitar 75 % merupakan uveitis anterior. Sekitar 50% pasien dengan uveitis menderita penyakit sistemik terkait
4
BAB II PEMBAHASAN MASALAH Uveitis anterior Uveitis anterior ditandai dengan adanya dilatasi pembuluh darah yang akan menimbulkan gejala hiperemia silier (hiperemi perikorneal atau pericorneal vascular injection). Peningkatan permeabilitas ini akan menyebabkan eksudasi ke dalam akuos humor, sehingga terjadi peningkatan konsentrasi protein dalam akuos humor. Pada pemeriksaan biomikroskop (slit lamp) hal ini tampak sebagai akuos flare atau sel, yaitu partikel-partikel kecil dengan gerak Brown (efek tyndal). Kedua gejala tersebut menunjukkan proses keradangan akut. Pada proses keradangan yang lebih akut, dapat dijumpai penumpukan sel-sel radang di dalam BMD yang disebut hipopion, ataupun migrasi eritrosit ke dalam BMD, dikenal dengan hifema. Apabila proses radang berlangsung lama (kronis) dan berulang, maka sel-sel radang dapat melekat pada endotel kornea, disebut sebagai keratic precipitate (KP). Ada dua jenis keratic precipitate, yaitu : • mutton fat KP : besar, kelabu, terdiri atas makrofag dan pigmen-pigmen yang difagositirnya, biasanya dijumpai pada jenis granulomatosa. • punctate KP : kecil, putih, terdiri atas sel limfosit dan sel plasma, terdapat pada jenis non granulomatosa. Apabila tidak mendapatkan terapi yang adekuat, proses keradangan akan berjalan terus dan menimbulkan berbagai komplikasi. Sel-sel radang, fibrin, dan fibroblas dapat menimbulkan perlekatan antara iris dengan kapsul lensa bagian anterior yang disebut sinekia posterior, ataupun dengan endotel kornea yang disebut sinekia anterior. Dapat pula terjadi perlekatan pada bagian tepi pupil, yang disebut seklusio pupil, atau seluruh pupil tertutup oleh sel-sel radang, disebut oklusio pupil. Perlekatan-perlekatan tersebut, ditambah dengan tertutupnya trabekular oleh sel-sel radang, akan menghambat aliran 5
aquos humor dari bilik mata belakang ke bilik mata depan sehingga aquos humor tertumpuk di bilik mata belakang dan akan mendorong iris ke depan yang tampak sebagai iris bombans. Selanjutnya tekanan dalam bola mata semakin meningkat dan akhirnya terjadi glaukoma sekunder. Pada uveitis anterior juga terjadi gangguan metabolisme lensa, yang menyebabkan lensa menjadi keruh dan terjadi katarak komplikata. Apabila keradangan menyebar luas, dapat timbul endoftalmitis (peradangan supuratif berat dalam rongga mata dan struktur di dalamnya dengan abses di dalam badan kaca) ataupun panoftalmitis (peradangan seluruh bola mata termasuk sklera dan kapsul tenon sehingga bola mata merupakan rongga abses). Bila uveitis anterior monokuler dengan segala komplikasinya tidak segera ditangani, dapat pula terjadi symphatetic ophtalmia pada mata sebelahnya yang semula sehat. Komplikasi ini sering didapatkan pada uveitis anterior yang terjadi akibat trauma tembus, terutama yang mengenai badan silier. Uveitis posterior Uveitis posterior adalah proses peradangan pada segmen posterior uvea, yaitu pada koroid, dan disebut juga koroiditis.3) Karena dekatnya koroid pada retina, maka penyakit koroid hampir selalu melibatkan retina ( korioretinitis ).2) Uveitis posterior biasanya lebih serius dibandingkan uveitis anterior.6) Peradangan di uvea posterior dapat menyebabkan gejala akut tapi biasanya berkembang menjadi kronik. Kedua fase tersebut ( akut dan kronik ) dapat menyebabkan pembuluh darah diretina saling tumpang tindih dengan proses peradangan di uvea posterior. Penyebab utama uvea posterior tidak berpengaruh pada faktor eksternal dari uvea bagian posterior. Dengan pemeriksaan oftalmoskopi standar dan lamanya peradangan penyakit secara lengkap dengan perubahan pada koroid sudah dapat dilihat kelainan. Terjadinya perubahan elevasi yang memberi warna kuning atau abu – abu yang dapat menutup koroid sehingga pada pemeriksaan koroid tidak jelas. Perdarahan diretina akan menutup semua area, pada beberapa kasus terdapat lesi yang kecil disertai kelainan pada koroid tapi setelah beberapa minggu atau bulan akan
6
ditemukan infiltrat dan edema hilang sehingga menyebabkan koroid dan retina atrofi dan saling melekat. Daerah yang atrofi akan memberikan kelainan bermacam – macam dalam bentuk dan ukuran. Perubahan ini akan menyebabkan perubahan warna koroid menjadi putih, kadang pembuluh darah koroid akan tampak disertai karakteristik dari deposit irregular yang banyak atau berkurangnya pigmen hitam terutama pada daerah marginal. Lesi bisa juga ditemukan pada eksudat selular yang berkurang di koroid dan retina. Inflamasi korioretinitis selalu ditandai dengan penglihatan kabur disertai dengan melihat lalat berterbangan ( floaters). Penurunan tajam penglihatan dapat dimulai dari ringan sampai berat yaitu apabila koroiditis mengenai daerah makula atau papilomakula. Kerusakan bisa terjadi perlahan – lahan atau cepat pada humor vitreus yang dapat dilihat jelas dengan fundus yang mengalami obstruksi. Pada korioretinitis yang lama biasanya disertai floaters dengan penurunan jumlah produksi air mata pada trabekula anterior yang dapat ditentukan dengan pemeriksaan fenomena Tyndall. Penyebab floaters adalah terdapatnya substansi di posterior kornea dan agregasi dari presipitat mutton fat pada kornea bagian dalam. Mata merah merupakan gejala awal sebelum menjadi kuning atau putih yang disertai penglihatan kabur, bila terdapat kondisi ini biasanya sudah didapatkan atropi pada koroid, sering kali uveitis posterior tidak disadari oleh penderita sampai penglihatannya kabur. Gejala khas dari uveitis posterior adalah tajam penglihatan yang menurun, floating spot dan skotoma. Karena terdapat banyak kelainan pada badan vitreus sel yang disebabkan fokal atau multifokal retina dan koroid gambaran klinis bisa juga secara bersamaan. Diagnosis banding tergantung dari lama dan penyebab infeksi atau bukan infeksi. Infeksi bisa disebabkan oleh virus, bakteri, jamur, protozoa, dan cacing non infeksi, bisa juga disebabkan oleh penurunan imunologik atau alergi organ, bisa juga penyebabnya tidak diketahui setelah timbul endoftalmitis dan neoplasma.
7
2.1. ETIOLOGI dan PATOFISIOLOGI Penyakit Virus • Penyakit Herpes 2) Lesi mata yang tersering dan paling serius adalah keratitis. Lesi kulit vesikuler juga dapat muncul di kulit dan tepi kelopak. Herpes simpleks dapat menyebabkan iridosiklitis. Virus herpes simpleks tipe I, virus varicela zoster, dan CMV pernah dilaporkan sebagai penyebab sindrom nekrosis retina akut.7) • Sindrom Nekrosis Retina Akut (ARN)
2)
ARN merupakan suatu proses nekrosis pada retina yang disebabkan oleh infeksi. Biasanya mengenai kedua mata ( pada 33 % pasien), paling banyak berusia 26 tahun . Penyebab penyakit ini yang paling sering adalah virus varisela zoster, herpes simpleks tipe 2 dan cytomegalovirus. Kadang penyakit ini tanpa gejala sehingga pasien tampak sehat meskipun mengenai pasien dengan AIDS. ARN merupakan diagnosis dari gejala klinik, pasien sering datang dengan keluhan penglihatan kabur secara akut. Terdapat inflamasi segmen anterior yang memberi rongga pada beberapa bagian disertai eksudat pada badan vitreus. Masa inkubasi 2 minggu sampai terbentuknya sumbatan yang akan menyebabkan arteriolitis retinal, vitritis dan bercak kuning – putih di posterior retina. • AIDS dan Retinitis Cytomegalovirus 2) Penyakit mata merupakan manifestasi umum dari AIDS, pasien mengalami beberapa kondisi penyakit mata : o Oklusi mikrovaskular menyebabkan perdarahan retina dan cotton wool spot (daerah infark pada lapisan serabut saraf retina). o Deposit endotel kornea. o Neoplasma pada mata dan orbita. o Gangguan neurooftalmika termasuk palsy okulomotorik. 8
Infeksi oportunistik yang paling umum adalah retinitis CMV. Awalnya ditemukan lebih dari 1/3 pasien AIDS, namun populasi beresiko telah berkurang secara bermakna sejak berkembangnya terapi antivirus yang sangat aktif dalam terapi AIDS. Khas terjadi pada pasien dengan hitung sel CD4 + dan leukosit 5/ μl. Pasien biasanya mengeluh penglihatan kabur atau floaters. Diagnosis penyakit AIDS biasanya telah ditegakkan dan sering ditemukan tampilan AIDS lainnya seperti retinopati CMV yang terdiri dari area retina keputihan berhubungan dengan perdarahan disertai likenifikasi hingga terlihat seperti keju softage. Lesi itu dapat mengancam makula atau lempeng optik dan biasanya terdapat sedikit inflamasi pada vitreus. Retina yang terkena Cytomegalovirus
\ (dikutip dari :www. uveitis.org/medical/article/case/wds.html) Penyakit Jamur •
Histoplasmosis
3)
Merupakan kelainan multifaktor korioretinitis, epidemiologinya berhubungan dengan Histoplasma capsulatum, yang merupakan jamur dimorfik yang dalam 9
perkembangannya dapat bertahan 2 tahun dalam bentuk filamennya. Spora jamur tersebut dapat menyebabkan terjadinya penyakit sistemik dan penyakit mata. Beberapa daerah di Amerika Serikat yang endemis histoplasmosis yaitu Ohio dan lembah sungai Missisippi. Diagnosis koroiditis yang diduga disebabkan oleh histoplasmosis sering ditegakkan. Infeksi primer pada mata terjadi setelah kontak spora jamur yang berasal dari paru – paru. Jamur ini dapat menyebar ke limpa, hati, dan koroid mengikuti infeksi yang berasal dari paru – paru. Histoplasmosis didapat kadang tidak menimbulkan gejala atau akibat dari keadaan sakit yang tidak berbahaya dan biasanya ditemukan pada anak – anak. Pemeriksaan kulit pada pasien biasanya positif terhadap histoplasmosis dan menunjukkan bercak – bercak khas pada perifer fundus. Bercak – bercak ini berbentuk daerah – daerah kecil, bulat atau lonjong tidak teratur, tanpa pigmen kadang – kadang dengan batas berpigmen halus. Kadang dapat ditemukan atrofi peripapiler dan hiperpigmentasi. Bercak histo muncul pertama kali pada mata selama masa remaja, tetapi makulopati baru berkembang pada usia 20 -50 tahun, rata-rata pada usia 41 tahun. Secara patologi, lesi pertama muncul dalam bentuk granuloma di koroid. Koroiditis akan menyebabkan penglihatan menurun dan terbentuk sikatrik disertai pigmentasi pada pigmen epitelium, atau memberi gambaran rusaknya membran pigmen epitelium yang disebabkan peningkatan kadar limfosit. Pada daerah pusat koroiditis akan terbentuk pembuluh darah baru subretinal yang baru, yang akan menyebabkan peningkatan cairan, lipid dan darah yang dapat menyebabkan kerusakan pada fungsi makular. Diagnosis histoplasmosis berdasarkan gejala klinis disertai pembentukan bercak kecil yang menyebar, perubahan papil – papil di pigmen dan pembentukan cincin pigmen dimakula sehingga menyebabkan saraf sensorik retina saling tumpang tindih, kadang disertai perdarahan. Pada permulaan histo akan terbentuk bercak dimakula dan badan vitreus yang tidak terlihat pada histoplasmosis, jarang didapat gejala yang menyertai bentuk atrofi. Sel vitreus tidak terlihat pada OHS, dan gejala sering bersamaan dengan perifer dan atropi bercak histo. Bercak tersebut fokal, sembuh dan terbentuk lesi punched out yang disebabkan oleh jumlah yang bervariasi dari luka yang terdapat pada koroid dan yang berlengketan pada retina lapisan luar. Gangguan penglihatan pada pusat penglihatan karena keterlibatan makula sehingga pasien harus dirujuk ke dokter mata.
10
Pada daerah koroiditis dapat diobati dengan kortikosteroid oral dan lokal. Pada tahap awal dari angiogram fluoresein, koroid aktif akan menghambat zat tersebut dan akan tampak hipofluoresein. Selanjutnya, lesi koroid akan berwarna dan menjadi hiperfluoresein. Dengan kontras, area pada membran neovaskular subretina aktif akan menjadi hiperfluoresein yang terjadi awal pada angiogram. Membran neovaskular penting jika hanya terdapat pada daerah diskus-makula. Jika di luar superotemporal dan inferotemporal vascular arcades, hal tersebut tidak mengurangi penglihatan dan tidak membutuhkan terapi. Namun jika membran tersebut terletak di 1-200 µm dari tengah, laser fotokoagulasi diindikasikan untuk mencegah hilangnya penglihatan. Macular Photocoagulation Study Group bekerjasama dengan Multicenter Study menunjukan efek yang berguna dengan fotokoagulasi argon biru-hijau. Pasien yang tidak diobati menunjukkan persentase yang tinggi (50%) kehilangan penglihatan dibandingkan dengan pasien yang mendapatkan terapi laser (22%) selama 24 tahun. Krypton merah atau Argon hijau gelombang tinggi dapat memberi hasil penglihatan yang lebih baik dengan luka retina yang lebih sedikit dibandingkan dengan fotokoagulasi argon biruhijau. 3) •
Kandidiasis ( Candida albicans) 3) Meskipun tidak umum, insiden penyakit inflamasi bola mata yang disebabkan
oleh Candida albican meningkat khususnya sebagai akibat dari penggunaan imunosupresan dan obat-obat intravena. Retinitis kandida dapat terlihat pada penderita AIDS akibat penggunaan obat intravena meskipun hal tersebut jarang terjadi. Candida endoftalmitis terjadi pada 10-37% pasien dengan kandidemia yang tidak mendapat terapi anti jamur. Pada pasien yang mendapat terapi anti jamur kemungkinan mengenai mata terjadi penurunan. Organisme menyebar secara metastasis ke koroid. Replikasi jamur mempengaruhi vitreus dan retina sekunder. Gejala dari kandidiasis mata adalah penurunan tajam penglihatan atau floaters, tergantung pada lokasi lesi. Menyerupai koroiditis Toxoplasma lesi pada segmen posterior tampak putih kuning dengan batas yang halus, dengan ukuran dari spot woll yang kecil sampai beberapa pertambahan diameter diskus. Lesi mula-mulanya terdapat di retina dan berakibat eksudasi ke vitreus. Lesi perifer mungkin menyerupai pars planitis.
11
Diagnosa kandidiasis mata dapat ditegakkan dengan kultur darah positif yang didapat pada saat terjadi kandidemia. Seorang dokter harus waspada pada kemungkinan diagnosis kandidiasis pada pasien rawat inap yang menggunakan kateter intavena atau yang mendapat terapi antibiotik sistemik, steroid dan antimetabolit. Pasien yang dirawat karena kandidemia harus diperiksa kemungkinan mengenai mata. Pada pasien tersebut pada dua pemeriksaan akan ditemukan dilatasi fundus yang dilakukan secara terpisah selama 1-2 minggu untuk mendeteksi metastasis penyakit mata. Pengobatan untuk kandidiasis mata meliputi intravena, pengobatan anti jamur periokular dan intraokular seperti amphoterisin B dan ketokonazole, Flusitosin, Fluconazole atau Rifampin oral yang dapat diberi dengan ditambah amphoterisin B intravena. Bila proses inflamasi mengenai retina dan sampai ke dalam vitreus, anti jamur intravitreal dan vitrektomi dapat dipertimbangkan. Terapi yang tepat untuk lesi perifer memiliki prognosis yang baik. Namun, pengobatan yang cepat pada lesi sentral jarang menyelamatkan penglihatan karena merusak fotoreseptor sentral. Konsultasi dengan spesialis penyakit infeksi dapat sangat membantu. Penyakit Protozoa •
Toxoplasmosis 2)
Toxoplasma gondii adalah parasit protozoa obligat intraselular yang menyebabkan nekrosis retina koroiditis. Terdapat 3 bentuk: + Ookista, atau bentuk tanah (10-12µm) + Takizoit, atau bentuk aktif infeksius ( 4-8 µm) + Kista jaringan atau bentuk laten (10-200µm), mengandung sebanyak 3000 bradizoit T. gondii adalah parasit usus yang ditemukan pada kucing. Ookista ditemukan pada feses kucing yang kemudian termakan oleh tikus dan burung yang dapat berperan sebagai reservoir atau host intermediet bagi parasit. Vektor serangga dapat juga menyebarkan T.gondii dari feses kucing ke sumber makanan manusia, termasuk tumbuhan dan binatang herbivora.
12
Manusia terinfeksi lebih sering karena memakan daging yang mentah dan kurang matang yang mengandung kista jaringan. Wanita yang mendapat Toxoplasmosis selama kehamilan dapat mentransmisikan takizoit ke janin dengan potensial mata yang parah, SSP dan komplikasi sistemik. Wanita hamil nonimun tanpa bukti serologik terpapar toxoplasmosis harus berhati-hati bila memelihara kucing dan harus menghindari daging mentah. Pasien AIDS juga mudah terkena. Toxoplasmosis tercatat pada 7-15% dari uveitis. Karena penyakit tersebut dapat merusak penglihatan struktur mata, hal tersebut penting bagi para ahli mata untuk mengenal lesi tersebut dan untuk menghindari potensi kematian. Diagnosis yang tepat pada waktunya sangat penting karena toxoplasmosis memberi respon pada terapi anti mikroba dan itu merupakan bentuk yang masih dapat diobati pada uveitis posterior. Tergantung pada luasnya lokasi lesi, pasien mengeluh floating spot unilateral atau penglihatan kabur. Secara umum segmen anterior tidak mengalami inflamasi pada awal penyakit, dan pasien memperlihatkan mata putih dan penglihatan yang masih nyaman. Kadang-kadang inflamasi granulomatosa dapat terjadi peningkatan tekanan bola mata khususnya pada penyakit yang berulang. Opasitas vitreus secara umum terlihat jelas dengan pemeriksaan mata baik dengan pemeriksaan direk maupun indirek. Kuning keputihan, sedikit tinggi letaknya, lesi kabur dapat terlihat pada fundus, lokasi lesi sering berada dekat dengan bekas luka korioretinal. Lesi tersebut tampak pada bagian posterior dibandingkan pada fundus bagian lain dan kadang-kadang terlihat berdekatan dengan papil nervus optikus. Sering salah dianggap sebagai papilitis optik. Pembuluh darah retina pada sekitar lesi aktif tampak perivaskulitis dengan sarung vena dan arterial segmental yang difus. Karakteristik lesi adalah retinitis fokal eksudatif. Pada lapisan depan retina merupakan lokasi untuk proliferasi T. gondii. Lesi ini tidak menyebabkan berkabut pada vitreus pada tahap awal penyakit, dan pasien tidak menyadari floating spot sampai lapisan depan retina dan membran hialoid posterior terkena. Retinitis toksoplasma dapat dimanifes oleh lesi retina perifer, kecil, punctata, sering disebut Punctate Outer Retinal Toxoplasmosis (PORT). Diagnosis Toxoplasmosis mata dibuat dengan: 1. Observasi dari karakteristik lesi fundus (fokal nekrosis retinokoroiditis)
13
2. Deteksi dari adanya antibodi anti Toxoplasma pada serum pasien 3. Pengeluaran dari penyakit infeksi lain yang dapat menyebabkan nekrosis lesi pada fundus, seperti sifilis, sitomegalovirus dan jamur. Pemeriksaan toxoplasma dye Sabin dan Feldman, pemeriksaan hemaglutinasi, atau pemeriksaan antibody immunofluoresen indirek menyediakan fasilitas yang sama. Namun ELISA dapat memberi lebih sensitifitas dan spesifisitas. Harus di ingat bahwa titer serum pada pemeriksaan tersebut dapat sangat rendah pada pasien dengan toksoplasmosis mata dan tidak terdapat tanda sistemik lain pada penyakit ini. Titer serum antibodi signifikan apabila terdapat lesi fundus yang berhubungan dengan toksoplasmosis mata. Pemeriksaan humor akous dapat digunakan untuk konfirmasi adanya penyakit toksoplasma pada kasus yang masih meragukan. Pemeriksaan tersebut lebih signifikan pada saat titer antibodi pada humor akous lebih tinggi daripada dalam serum. Meskipun diagnosis toksoplasmosis mata didasari dengan pemeriksaan fisik, antibodi antitoksoplasmosis negatif perlu dipikirkan diagnosis lain. Para dokter dalam hal menginterpretasikan standar pemeriksaan antibodi IgG harus mengingat bahwa laboratorium menampilkan pemeriksaan pada dilusi 1 : 8 atau lebih, meskipun reaksi antibodi positif ditemukan dilusi 1 : 4 atau kurang. Titer antibodi yang sangat rendah ini tetap mengindikasikan terdapat toksoplasmosis yang sebelumnya tetapi juga dapat mengarah ke positif palsu sebagai hasil dari reaksi nonspesifik.
Penyakit non infeksi
Autoimun:Vaskulitis retina, penyakit bechet, oftalmia simpatis.
Keganasan:Leukemia, sarcoma sel reticulum, melanoma maligna, leukemia Etiologi tidak diketahui: Sarkoiditis, epitelopati pigmen retina, koroiditis geografik.
14
Yang sering terjadi mengakibatkan uveitis posterior adalah : Sindrom Behcet Ditemukan pada usia 20-40 tahun, pria lebih banyak dari wanita.Penyebab diduga suatu proses imunologik tetapi virus sebagai penyebab tidak dapat disingkirkan. 4) Walaupun memiliki banyak gambaran penyakit hipersensitivitas tipe lambat, adanya perubahan mencolok kadar komplemen serum pada permulaan serangan mengisyaratkan suatu gangguan kompleks imun. Baru-baru ini pada pasien Behcet dapat dideteksi adanya kompleks imun berkadar tinggi dalam darah. Sebagian besar pasien dengan gejala mata positif untuk HLA-B51, suatu subtipe HLA-B5. 9) Ditandai 4 kelainan yaitu : o Uveitis (iridosiklitis, retinitis, retinokoroiditis). Pada dasarnya didapatkan peri arteritis dan end arteritis yang menyebabkan vaskulitis obliteratif sehingga dapat terjadi iskemi retina, perdarahan retina, serta ablasi. Bila terdapat hipopion maka hal ini merupakan gejala yang lebih lanjut. o Kelainan pada rongga mulut berupa stomatitis aftosa yang dapat mengenai bibir, lidah, mukosa bukal, palatum durum serta palatum molle. o Kelainan
kulit
berupa
eritema
nodusum,
folikulitis
serta
hipersensitivitas kulit. o Kelainan genital berupa ulserasi pada alat genital pria atau wanita4). Pengobatan sering berupa pemberian imunosupresan multipel (mis: steroid, siklosporin, azatioprin), walaupun demikian hasil akhir penglihatan tetap buruk pada 25% kasus.7) Sindrom Vogt-Koyanagi-Harada (VKH) 3) Terdiri dari peradangan uvea pada satu atau kedua mata yang ditandai oleh iridosiklitis akut, koroiditis bebercak dan pelepasan serosa retina. Penyakit ini biasanya diawali oleh suatu episode demam akut disertai nyeri kepala dan kadang-kadang vertigo.
15
Pada beberapa bulan pertama penyakit dilaporkan terjadi kerontokan rambut bebercak atau timbul uban. Walaupun iridosiklitis awal mungkin membaik dengan cepat, perjalanan penyakit di bagian posterior sering indolen dengan efek jangka panjang berupa pelepasan serosa retina dan gangguan penglihatan. Pada sindrom Vogt-Koyanagi-Harada diperkirakan terjadi hipersensitivitas tipe lambat terhadap struktur-struktur yang mengandung melanin. Tetapi virus sebagai penyebab belum dapat disingkirkan. Diperkirakan bahwa suatu gangguan atau cedera, infeksi atau yang lain, mengubah struktur berpigmen di mata, kulit dan rambut sedemikian rupa sehingga tercetus hipersentivitas tipe lambat terhadap struktur-struktur tersebut. Baru-baru ini diperlihatkan adanya bahan larut dari segmen luar lapisan fotoreseptor retina (antigen-S retina) yang mungkin menjadi autoantigennya. Pasien sindrom Vogt-Koyanagi-Harada biasanya adalah Oriental, yang mengisyaratkan adanya disposisi imunogenetik. Oftalmia Simpatika 4) Yaitu pan uveitis granulomatosa pada mata yang semula sehat (sympathetic eye) yang timbul minimal dua minggu setelah terjadinya trauma tembus pada mata yang lain (exciting eye). Biasanya exciting eye ini tidak pernah senbuh total dan tetap meradang pasca trauma, baik tauma tembus akibat kecelakaan ataupun trauma karena pembedahan mata. Tanda awal dari mata yang ber-simpati adalah hilangnya daya akomodasi serta terdapatnya sel radang di belakang lensa. Gejala ini diikuti oleh iridosiklitis sub akut, sebukan sel radang dalam vitreus dan eksudat putih kekuningan pada jaringan dibawah retina. Penyakit ini dapat disertai dengan gejala-gejala sistemik lain seperti vitiligo, alopesia dan poliosis (uban) sehingga mirip sindrom VKH. Bedanya adalah pada sindrom VKH tidak ada riwayat trauma. Penyebab yang pasti belum diketahui tetapi diduga kuat merupakan suatu reaksi autoimun terhadap jaringan pigmen uvea atau pigmen epitel retina yang telah berubah sifat menjadi antigen pasca trauma tembus mata. Pengobatan : pemberian kortikosteroid; bila tidak memberikan perbaikan dapat ditambah pemberian imunosupresan. Yang terpenting adalah hati-hati dan waspada menghadapi trauma tembus mata yang disertai destruksi jaringan uvea.
16
Poliarteritis Nodosa 4) Penyakit kolagen ini mengenai arteri berukuran sedang, terutama pada pria. Terjadi peradangan hebat pada semua lapisan otot arteri, dengan nekrosis fibrinoid dan eosinofilia perifer. Gambaran klinis utama adalah nefritis, hipertensi, asma, neuropati perifer, nyeri dan atrofi otot dan eosinifilia perifer. Sering terjadi kelainan jantung, walaupun kematian biasanya disebabkan oleh disfungsi ginjal. Kelainan mata dijumpai pada 20% kasus dan terdiri dari episkleritis dan skleritis yang sering tidak nyeri. Apabila pembuluh-pembuluh
limbus terkena, dapat terjadi
pembentukan alur-alur di kornea perifer. Sering terjadi mikrovaskulopati retina. Hilangnya penglihatan secara mendadak mungkin disebabkan oleh neuropati optikus iskemik yang mencerminkan keparahan vaskulitis di pembuluh siliaris atau sumbatan arteri retina sentralis. Dapat terjadi oftalmoplegia akibat arteritis vasa nervorum. Kortikosteroid sistemik dan siklofosfamid memberi manfaat, tetapi prognosis jangka panjang tetap buruk. Granulomatosis Wegener 4) Proses granulomatosa ini memiliki persamaan gambaran klinis tertentu dengan poliarteritis nodosa. Tiga kriteria diagnosis adalah : - Lesi granulomatosa nekrotikans pada saluran napas - Arteritis nekrotikans generalisata - Kelainan ginjal berupa glomerulitis nekrotikans Penyulit pada mata terjadi pada 50% kasus dan terjadi proptosis akibat pembentukan granuloma orbita disertai keterlibatan otot mata atau saraf optikus. Apabila vaskulitis mengenai mata dapat terjadi konjungtivitis, ulserasi kornea perifer, skleritis, episkleritis, uveitis dan vaskulitis retina. Antibodi sitoplasma antineutrofilik ditemukan pada sebagian besar kasus dan memiliki nilai diagnostik sekaligus prognostik. Kortikosteroid yang dikombinasikan dengan imunosupresan (terutama siklofosfamid) sering memberi hasil memuaskan. Epiteliopati Pigmen Plakoid Multifokal Posterior Akut (APMPPE)
17
3)
APMPPE biasanya menyerang individu pada usia remaja dan dewasa muda. Pasien mengeluh penglihatannya berkurang. Sebagian penderita umumnya merasa sehat, tetapi ada juga yang mempunyai gejala-gejala prodormal seperti pada penyakit infeksi virus. Pemeriksaan funduskopi menunjukkan adanya banyak lesi berupa plak berwarna putih kekuningan dan homogen, pada retina pigmen epithelium dan koriokapilaris. Setelah 2-6 minggu, lesi ini akan menghilang dan meninggalkan depigmentasi pada retina pigmen epithelium. Diagnosis APMPPE ditegakkan berdasarkan gambaran klinik, terutama jika didahului adanya gejala sistemik seperti gejala infeksi virus. Pada stadium akut, fluorescein angiografi menunjukkan awalnya ada hambatan pada koroid oleh lesi plakoid dan adanya bekas noda hiperfluoresein. Pada kebanyakan kasus, pengobatan tidak diperlukan, ketajaman penglihatan akan kembali normal dalam beberapa minggu sampai beberapa bulan. Penyakit ini mirip dengan koroidopati serpiginosa (geografik), tetapi
APMPPE
adalah penyakit yang bersifat akut dan biasanya tidak rekuren, sedangkan koroidopati serpiginosa adalah penyakit yang sangat progresif.
Retina terkena APMPPE (dikutip dari www.uveitis.org/medical/article/case/wds.html) Epitelitis Pigmen Retina Akut (ARPE)
3)
Epitelitis Pigmen Retina Akut atau disebut juga penyakit Krill adalah peradangan akut retina pigmen epitelium yang dapat sembuh sendiri. Penyebabnya tidak di ketahui. Biasanya terjadi pada umur antara 16-40 tahun. Pasien biasanya sehat dan mengeluh adanya penurunan ketajaman penglihatan unilateral secara tiba-tiba. Pemeriksaan fundus
18
menunjukkan lesi hiperpigmentasi halus pada bagian retina pigmen epitelium. Dua sampai empat kelompok dari dua sampai enam “titik-titik” muncul di kutub posterior. Angiografi fluoresein menunjukkan gambaran ”target” atau “honeycomb” dengan pusat hiperpigmentasi dan di kelilingi halo hiperfluoresein. Pengobatan tidak diperlukan. Gangguan penglihatan dan lesi di retina akan menghilang dalam 6-12 minggu. Retinokoroidopati ”Birdshot” (Korioretinitis Vitiliginosa) 3) Keadaan yang tidak umum ini biasanya terjadi pada dekade ke-5 sampai dekade ke-7 kehidupan, wanita lebih sering dibandingkan pria. Gejala awalnya berupa berkurangnya ketajaman penglihatan, nyctalopia dan gangguan penglihatan warna. Mungkin ada sedikit inflamasi segmen anterior. Didalam vitreus dapat ditemukan sel-sel. Karakteristiknya adalah ditemukannya banyak bintik putih kekuningan atau depigmentasi pada fundus, seolah-olah fundus mendapat pukulan ”birdshot from a shotgun”. Bintik-bintik juga muncul pada pigmen epitelium. Edema diskus, atrofi N. Optikus, edema makula, pembuluh darah retina menipis dan berkerutnya permukaan retina dapat juga ditemukan. Pada 80-90% pasien dapat ditemukan HLA-A29 haplotipe, yang mana merupakan faktor predisposisi genetik dalam perkembangan penyakit ini. Penyakit ini adalah penyakit yang kronik, sering mengalami eksaserbasi dan remisi. Koroiditis Punctata
3)
Koroidotis Punctata adalah peradangan idiopatik koroid yang biasanya terjadi pada wanita yang menderita myopia, yang berusia antara 18-37 tahun. Pasien dengan PIC akan mengeluh kehilangan ketajaman penglihatan sentral, biasanya bilateral. Tidak terdapat sel pada vitreus, tetapi lesi berukuran kecil (100-300 µm) berbentuk “punctate” berwarna kuning disebelah dalam koroid ditemukan di kutub posterior. Penyakit ini dapat sembuh dalam 4-6 minggu.
19
lesi pungtata kekuningan pada RPE dan koroid (dikutip dari www.uveitis.org/medical/article/case/wds.html)
Koroidopati Serpiginosa 3 Biasanya penyakit ini menyerang wanita pada dekade ke-4 sampai dekade ke-6 kehidupan. Keluhan utama dari pasien ialah penglihatan menjadi kabur. Pada vitreus tidak ditemukan sel, tetapi kadang-kadang dapat juga ditemukan sel dalam jumlah yang banyak. Gambaran sikatriks seperti serpiginosa (pseudopodial) atau geograpik (seperti peta) terdapat di fundus posterior. Tepi lesi ini mungkin aktif, berwarna kuning abu-abu dan tampak edema. Daerah yang aktif akan menjadi atrofi dalam beberapa minggu sampai beberapa bulan, kemudian lesi yang baru dapat muncul di mana saja atau berdekatan dan memberi gambaran seperti ular. Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan karakteristik gambaran klinik. Angiografi fluorescein menunjukkan awalnya ada hambatan pada koroid, pada daerah dimana penyakitnya aktif. Pada saat penyakitnya tidak aktif, daerah yang menarik zat warna dapat menyebarkan fluorescein, tetapi tidak di tahan. Jika penyakit ini mengenai makula, maka ketajaman penglihatan sentral akan terganggu. Fibrosis Subretina dan Sindrom Uveitis (SFU) 3 Panuveitis ini biasanya lebih banyak mengenai wanita yang berusia antara 14-34 tahun. Penyebabnya tidak diketahui. Histopatologi dari biopsi korioretinal terutama menunjukkan sel β dan sel plasma. Pasien biasanya memiliki kondisi fisik yang sehat dan mengeluh adanya penurunan ketajaman penglihatan, biasanya bilateral. Pada awalnya, pasien yang menderita penyakit ini akan menunjukkan vitritis bilateral dan multifokal 20
koroiditis. Kemudian, lesi pada koroid akan berkembang menjadi lesi fibrotik subretinal berbentuk stellate yang besar. SFU memberi respons yang kurang baik terhadap berbagai bentuk pengobatan, dan prognosis dari tajam penglihatan juga buruk. Koroiditis Multifokal dan Sindrom Panuveitis (MCP) 3 Koroiditis Multifokal dan sindrom Panuveitis adalah peradangan idiopatik koroid, retina dan vitreus, lebih sering terjadi pada wanita. Penyebabnya tidak diketahui. Pasien menunjukkan vitritis bilateral (82%) dan multifokal koroiditis. Dalam keadaan aktif, lesinya berukuran kecil (50-350 µm) dan berwarna kekuningan. Lesi makula mungkin dapat dihubungkan dengan pembuluh darah baru membran subretina. Diagnosis penyakit ini adalah sesuatu yang penting karena ada berbagai kondisi yang mungkin dapat menyebabkan multifokal koroiditis dan panuveitis. Sarkoidosis, sifilis, tuberkulosis dan sindrom titik putih pada retina harus diperhatikan. Penyakit ini sering kronik.
Lesi kuning multifokal pada koroid (dikutip dari : www. uveitis.org/medical/article/case/wds.html) 2.2 Diagnosis 4) A. Anamnesis Uveitis posterior Umur : Pada pasien sampai 3 tahun dapat disebabkan oleh “sindrom samaran”, seperti retinoblastoma atau leukemia. Dalam kelompok umur 4 sampai 15 tahun penyebab uveitis posterior termasuk Toksoplasmosis, Uveitis intermediate, Sitomegalovirus dan infeksi bakteri atau fungi. Dalam kelompok umur 16 sampai 40 tahun yang termasuk diagnosa banding adalah Toksoplasmosis, Sifilis dan Candida. Pada pasien yang berumur di atas 40 tahun mungkin menderita sindrom nekrosis retina akut, Toksoplasmosis, Retinits dan Sarkoma sel reticulum.
21
Lateralisasi : Yang unilateral lebih condong untuk diagnosis uveitis akibat toksoplasmosis, Kandidiasis dan sindrom nekrosis retina akut. B. Gejala 5) Uveitis anterior 1. Pada anamnesa penderita mengeluh: •
Mata terasa seperti ada pasir.
•
Mata merah disertai air mata.
•
Nyeri, baik saat ditekan ataupun digerakkan. Nyeri bertambah hebat bila
telah timbul glaukoma sekunder. •
Fotofobia, penderita menutup mata bila terkena sinar
•
Blefarospasme.
•
Penglihatan kabur atau menurun ringan, kecuali bila telah terjadi katarak
komplikata, penglihatan akan banyak menurun. 2. Dari pemeriksaan fisik didapatkan: •
Kelopak mata edema disertai ptosis ringan.
•
Konjungtiva merah, kadang-kadang disertai kemosis.
•
Hiperemia perikorneal, yaitu dilatasi pembuluh darah siliar sekitar limbus,
dan keratic precipitate. •
Bilik mata depan keruh (flare), disertai adanya hipopion atau hifema bila
proses sangat akut. •
Sudut BMD menjadi dangkal bila didapatkan sinekia.
•
Iris edema dan warna menjadi pucat, terkadang didapatkan iris bombans.
•
Dapat pula dijumpai sinekia posterior ataupun sinekia anterior.
•
Pupil menyempit, bentuk tidak teratur, refleks lambat sampai negatif.
•
Lensa keruh, terutama bila telah terjadi katarak komplikata.
•
Tekanan intra okuler meningkat, bila telah terjadi glaukoma sekunder.
22
Uveitis posterior o Penurunan penglihatan : Penurunan ketajaman penglihatan dapat terjadi pada semua jenis uveitis posterior dan karenanya tidak berguna untuk diagnosis banding o Injeksi mata : Kemerahan mata tidak terjadi bila hanya segmen posterior yang terkena. Jadi gejala ini jarang pada Toksoplasmosis dan tidak ada pada histoplasmosis. Biasa terlihat seperti lalat yang berterbangan (floaters) o Sakit : Rasa sakit terdapat pada pasien dengan sindrom nekrosis retina akut, Sifilis, Infeksi bakteri endogen, Skleritis posterior dan pada kondisi-kondisi yang megenai N. II. o Fotofobia. C. Pemeriksaan 5) Pemeriksaan pada mata Terdiri
dari
pemeriksaan
visus,
pemeriksaan
dengan
binokuler,
pemeriksaan dengan funduskopi dan pemeriksaan lapangan gelap. Pemeriksaan darah Terdiri dari pemeriksaan darah rutin dan indikator leukosit yang akan diamati. Pemeriksaan etiologi Seperti apabila dicurigai penyebabnya kuman TBC dilakukan Mantoux test (test untuk Tuberkulosis) dan rontgen (Thorax ). Pada umumnya segmen anterior bola mata tidak menunjukkan tanda-tanda peradangan sehingga seringkali proses uveitis posterior tidak disadari oleh penderita sampai penglihatannya kabur. Lesi pada fundus biasanya dimulai dari retinitis atau koroiditis tanpa komplikasi. Apabila proses peradangan berlanjut akan didapatkan retinikoroiditis, hal yang sama terjadi pada koroiditis yang akan berkembang menjadi korioretinitis. Pada lesi yang baru didapatkan tepi lesi yang kabur dan lesi terlihat 3 dimensional dan dapat disertai perdarahan disekitarnya, dilatasi vaskuler atau sheating pembuluh darah.
23
Pada lesi lama didapatkan batas yang tegas seringkali berpigmen rata atau datar dan disertai hilang atau mengkerutnya jaringan retina atau koroid. Pada lesi yang lebih lama didapatkan parut retina atau koroid tanpa bisa dibedakan jaringan mana yang lebih dahulu terkena. 4)
2.3 Terapi
Uveitis anterior Tujuan utama dari pengobatan uveitis anterior adalah untuk mengembalikan atau memperbaiki fungsi penglihatan mata. Apabila sudah terlambat dan fungsi penglihatan tidak dapat lagi dipulihkan seperti semula, pengobatan tetap perlu diberikan untuk mencegah memburuknya penyakit dan terjadinya komplikasi yang tidak diharapkan. Adapun terapi uveitis anterior dapat dikelompokkan menjadi: Terapi non spesifik 1. Penggunaan kacamata hitam. Kacamata hitam bertujuan untuk mengurangi fotofobi, terutama akibat pemberian midriatikum. 2. Kompres hangat. Dengan kompres hangat, diharapkan rasa nyeri akan berkurang, sekaligus untuk meningkatkan aliran darah sehingga resorbsi sel-sel radang dapat lebih cepat. 3. Midritikum/sikloplegik. Tujuan pemberian midriatikum adalah agar otot-otot iris dan badan silier relaks, sehingga dapat mengurangi nyeri dan mempercepat panyembuhan. Selain itu, midriatikum sangat bermanfaat untuk mencegah terjadinya sinekia, ataupun melepaskan sinekia yang telah ada. Midriatikum yang biasanya digunakan adalah: •
Sulfas atropin 1% sehari 3 kali tetes
•
Homatropin 2% sehari 3 kali tetes
•
Scopolamin 0,2% sehari 3 kali tetes
4. Anti inflamasi. Anti inflamasi yang biasanya digunakan adalah kortikosteroid, dengan dosis sebagai berikut:
24
Dewasa : Topikal dengan dexamethasone 0,1 % atau prednisolone 1 %. Bila radang sangat hebat dapat diberikan subkonjungtiva atau periokuler: dexamethasone phosphate 4 mg (1ml). prednisolone succinate 25 mg (1 ml). triamcinolone acetonide 4 mg (1 ml). methylprednisolone acetate 20 mg. Bila belum berhasil dapat diberikan sistemik prednisone oral mulai 80 mg per hari sampai tanda radang berkurang, lalu diturunkan 5 mg tiap hari. Anak : prednison 0,5 mg/kgbb sehari 3 kali. Pada pemberian kortikosteroid, perlu diwaspadai komplikasi-komplikasi yang mungkin terjadi, yaitu glaukoma sekunder pada penggunaan lokal selama lebih dari dua minggu, dan komplikasi lain pada penggunaan sistemik. Terapi spesifik Terapi yang spesifik dapat diberikan apabila penyebab pasti dari uveitis anterior telah diketahui. Karena penyebab yang tersering adalah bakteri, maka obat yang sering diberikan berupa antibiotik. •
Dewasa : Lokal berupa tetes mata kadang dikombinasi dengan steroid. Subkonjungtiva kadang juga dikombinasi dengan steroid. Per oral dengan Chloramphenicol 3 kali sehari 2 kapsul
•
Anak : Chloramphenicol 25 mg/kgbb sehari 3-4 kali. Walaupun diberikan terapi spesifik, tetapi terapi non spesifik seperti disebutkan diatas harus tetap diberikan, sebab proses radang yang terjadi adalah sama tanpa memandang penyebabnya.
Uveitis posterior Pengobatan yang diberikan tergantung pada penyebab dan luasnya kerusakan pada mata Biasanya
Konservatif pasien
diberikan
anti-
radang
seperti
kortikosteroid,
immunosuppressive / cytotoxic agent . Bila penyebabnya infeksi maka akan diberikan antibiotik atau anti virus. Tindakan Kadang-kadang vitrektomi atau bedah retina dilakukan untuk membersihkan cairan dalam bola mata yang meradang atau untuk diagnosis penyakit. Terapi
25
fotokoagulasi dan kryotherapi kurang berhasil. Neovaskularisasi retina dapat terjadi pada toksoplasma, dan fotokoagulasi dari lesi neovaskular dapat mencegah kehilangan penglihatan sampai perdarahan vitreus
2.4 Penyulit dan komplikasi •
Komplikasi uveitis anterior:
Sinekia posterior dan anterior Untuk mencegah maupun mengobati sinekia posterior dan sinekia anterior, perlu diberikan midriatikum, seperti yang telah diterangkan sebelumnya. Glaukoma sekunder Glaukoma sekunder adalah komplikasi yang paling sering terjadi pada uveitis anterior. Terapi yang harus diberikan antara lain: •
Terapi konservatif: Timolol 0,25 % - 0,5 % 1 tetes tiap 12 jam. acetazolamide 250 mg tiap 6 jam
•
Terapi bedah: Dilakukan bila tanda-tanda radang telah hilang, tetapi TIO masih tetap tinggi. Glaukoma sudut tertutup: iridektomi perifer atau laser iridektomi, bila telah terjadi perlekatan iris dengan trabekula (Peripheral Anterior Synechia atau PAS) dilakukan bedah filtrasi. Glaukoma sudut terbuka: bedah filtrasi.
Katarak komplikata. Komplikasi ini sering dijumpai pada uveitis anterior kronis. Terapi yang diperlukan adalah pembedahan, yang disesuaikan dengan keadaan dan jenis katarak serta kemampuan ahli bedah. •
Penyulit uveitis posterior3) :
Keratopati pita 26
Uveitis kronik dalam beberapa tahun khususnya pada anak akan menimbulkan pengendapan kalsium pada membrane basalis dan lapisan bowman. Endapan kalsium biasanya ditimbulkan pada daerah intrapalpebra sering meluas ke daerah sumbu penglihatan. Terapi dilakukan dengan cara epitel kornea sentral dilepaskan dengan 15 bard parker blade dengan meninggalkan sel – sel stem limbal secara utuh, kemudian ditetesi EDTA 0,35% 5 menit kemudian dicuci dengan BSS. Proses ini diulang hingga beberapa kali sampai deposit kalsium hilang dan dipasang bandage lensa kontak kemudian diberi antibiotik dan sikloplegik. Katarak Penanganan
katarak
pada
kasus
uveitis
bisa
dilakukan
dengan
fakoemulsifikasi dengan implantasi IOL in the bag. Pada kasus JRA terkait uveitis penanganan operasi katarak dilakukan dengan menunggu ketenangan reaksi dalam 3 bulan, kemudian diberi steroid pre operasi selama 1 hingga 2 minggu. Dilakukan sinekiolisis dengan viskoelastik diikuti oleh kapsuloresis dan fakoemulsifikasi serta implantasi IOL in the bag. Steroid diberikan hingga 5 bulan. Dianjurkan menggunakan IOL akrilik hidrofobik. Penggunaan intraoperatif tiamsinolon asetonid 4 mg intravitreal dapat mencegah terjadinya fibrin pasca bedah katarak dibandingkan dengan penggunaan steroid intravenus intraoperatif. Glaukoma Dapat berupa hipertensi okular, glaukoma uveitik, glaukoma sekunder sudut sempit, glaukoma sekunder sudut terbuka, glaukoma induksi kortikosteroid, glaukoma uveitis mekanisme kombinasi. Pemeriksaan pasien dengan hipertensi okuli dan uveitis dianjurkan diperiksa foto papil. Evaluasi OCT papil nervus optikus dan pemeriksaan lapangan pandang secara berkala. Tindakan operasi pada uveitis adam antiades Behcet dengan mitomisin C intraoperatif pada trabekulotomi dapat mengontrol tekanan bola mata tanpa obat – obatan pada 83 % pasien pada akhir tahun pertama dan 62 % pada 5
27
tahun pasca bedah. Beberapa penyulit dijumpai : katarak, kebocoran bleb, dan efusi koroid. Beberapa kasus khusus misalnya pada pseudofakik atau afakik membutuhkan alat drainase seperti implan monteno, implan ahmed, dan implan baerveldt. Untuk mencegah terjadinya glaukoma steroid lebih aman digunakan fluorometolol, loteprednol atau rimeksolon. Ablasi retina Ablasi retina rematogenues terjadi pada 3 % pasien dengan uveitis, panuveitis, infeksi uveitis, pars planitis dan uveitis posterior paling sering terjadi ablasi retina. Lebih dari 30 % kasus uveitis dengan ablasi retina terjadi proliferasi vitreoretina (PUR) dalam hal ini maka sklera buckling dan vitrektomi pars plana perlu dilakukan. Angka keberhasilan operasi sebesar 60 % dengan visus akhir kurang dari 6 / 60. Neovaskularisasi retina dan khoroid Dapat terjadi pada setiap uveitis kronik khususnya pada pars planitis, panuveitis sarkoidosis, beberapa variasi kasus vaskulitis retina termasuk penyakit ecles. Neovaskularisasi retina terjadi pada radang kronis atau nonperfusi kapiler. Terapi dapat dilakukan dengan steroid atau imunodulator atau fotokoagulasi laser scatter didaerah iskemik. Neovaskularisasi kronik dapat berkembang pada uveitis posterior dan panuveitis pada umumnya terjadi pada histoplasmosis, koroiditis pungtata, koroiditis multifaktor idiopatik serta koroiditis serpiginosa. Terapi dilakukan dengan fotokoagulasi lokal peripapiler ditempat terjadi NUK. Beberapa imunomodulator dapat dapat dikombinasi dengan anti VEGF seperti pegabtanid, bevacizumab, ranibizumad. Endoftalmitis Dikaitkan dengan inflamasi bola mata yang melibatkan vitreus dan segmen depan namun kenyataan juga dapat melibatkan koroid dan retina. Pada prinsipnya endoftalmitis dibagi 2 bentuk yaitu infeksi dan noninfeksi.
28
Bentuk endoftalmitis yang paling sering dijumpai adalah endoftalmitis infeksi yang dapat terjadi secara eksogen maupun endogen. Endoftalmitis infeksi disebut juga endoftalmitis steril disebabkan oleh stimulus non- infeksi misalnya sisa massa lensa pasca operasi katarak / atau bahan toksik yang masuk ke dalam bola mata karena trauma. Gejala klinik yang sering timbul adalah penurunan tajam penglihatan, hipopion, vitritis. Penurunan tajam penglihatan mendadak dapat berkisar mulai dari ringan hingga berat, nyeri sering menyertai kasus endoftalmitis, kadang didapat hiperemia maupun kemosis konjungtiva dan terdapat udem pada kelopak mata dan kornea
•
Komplikasi uveitis posterior 8) :
Hipopion
Penyakit segmen posterior yang menunjukan perubahan-perubahan peradangan
dalam
uvea
anterior
dan
disertai
hipopion
adalah
leukemia,penyakit behcet,sifilis,toksokariasis,dan infeksi bakteri.
Glaukoma
Glaukoma sekunder mungkin terjadi paad pasien sindom nekrosis retina akut,toksoplasmosis,tuberculosis,atau tuberculosis.
Vitritis Peradangan korpus vitreum dapa menyertai uveitis posterior.peradangan dalam vitreum berasal dari focus-focus radang di segmen posterior mata.peradangan dalam vitreus tidak terjadi pada pasien koroiditis
29
geografik tau histoplsmosis.sedikit sel radang dalam vitreus dapat terlihatpaad pasien sel sarcoma reticulum,infeksi cytomegalovirus,dan rubella,dan rubella dan beberapa kasus toksoplasmosis dengan focus-fokus kecil pada retina.sebaliknya,peradangan berat dalam vitreus dengan banyak sel dan eksudat terdapat pada tuberculosis,toksokariasis,sifilis. 2.5 Prognosis 7) Uveitis umumnya berulang, penting bagi pasien untuk melakukan pemeriksaan berkala dan cepat mewaspadai bila terjadi keluhan pada matanya. Tetapi tergantung di mana letak eksudat dan dapat menyebabkan atropi. Apabila mengenai daerah makula dapat menyebabkan gangguan penglihatan yang serius.
30
DAFTAR PUSTAKA 1. Hartono. Ringkasan Anatomi dan Fisiologi Mata. UGM. Yogyakarta. 2007: 6. 2. Ilyas H Sidarta. Kelainan kelopak dan kelainan jaringan orbita. Ilmu Penyakit Mata. Edisi ketiga. Jakarta : Balai Penerbit FK UI. 2005 : 102. 3. Wijaya,Nana. Ilmu Penyakit Mata. Cetakan ke-6. Semarang. Universitas Diponegoro. 1993 : 75-6. 4. Voughan Daniel G, Asburg Taylor, Eva-Riordan Paul. Sulvian John H,editors. Optalmologi Umum. Edisi 14. Jakarta. Widya Medika. 2000 : 266-78 5. PDSMI. Ilmu Penyakit Mata. PDSMI 1998 : 159-176 6. FKUKI. Teknik Penulisan Ilmiah. Majalah Kedokteran; Desember 2005. 7. KMN. Uveitis Posterior. Diunduh dari: http://www.klinik mata nusantara/uveitis posterior. kmn.htm. 19 Oktober 2008. Update terakhir : Agustus 2008. 8. ASPX. Uveitis Posterior. Diunduh dari: www.retinalphysician.com 20 Oktober. Update terakhir: Juli 2008. 9. Conrad. Uveitis Posterior. Diunduh dari: E:\uveitis news_files\imgres.htm 20 Oktober 2008.
31
ii
32
View more...
Comments