Referat THT Ramsay Hunt Syndrome

July 24, 2022 | Author: Anonymous | Category: N/A
Share Embed Donate


Short Description

Download Referat THT Ramsay Hunt Syndrome...

Description

 

REFERAT   RAMSAY  RAMSA Y HUNT HUNT SYNDROME  

Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Program Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu THT Fakultas Kedokteran Dan Ilmu Kesehatan  Kesehatan   Universitas Muhammadiyah Yogyakarta Yogyakarta  

Disusun oleh :  :  Jati Wido Retno  20184010048  

Diajukan kepada :  :  dr. Bakti Setio Gustomo, Sp.THT-KL 

BAGIAN ILMU TELINGA HIDUNG DAN TENGGOROKAN   RSUD KRT SETJONEGORO WONOSOBO  FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN  UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA  2018

 

 

LEMBAR PENGESAHAN 

REFERAT   RAMSAY  RAMSA Y HUNT SYNDROME  

Telah dipresentasikan pada tanggal :   8 Desember 2018 

Oleh :  :  Jati Wido Retno  20184010048  

Disetujui oleh :  :  Dosen Pembimbing Kepaniteraan Klinik   Bagian Ilmu THT  THT  RSUD KRT Setjonegoro, Wonosobo  Wonosobo 

dr.Bakti Setio Gustomo, Sp.THT-KL 

ii  ii 

 

 

KATA PENGANTAR   Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karuniakarunia- Nya,  Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan referat  referat  dengan  judul “RAMSAY HUNT SYNDROME”. Referat  Referat  ini disusun untuk memenuhi sebagian persyaratan Kepaniteraan Klinik bagian Ilmu THT di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Yogyakarta.  Dalam penulisan referat ini, penulis banyak mendapatkan bantuan,  bimbingan, dan dukungan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terimakasih yang tulus kepada semua pihak yang telah membantu, khususnya kepada:  kepada:  1.  dr. Bakti Setio Gustomo, Sp.THTSp.THT -KL selaku pembimbing Kepaniteraan Klinik bagian Ilmu THT sekaligus pembimbing referat di RSUD KRT Setjonegoro, Wonosobo yang telah berkenan memberikan bantuan,  pengarahan, dan bimbingan dari awal sampai selesainya penulisan referat ini.   ini. 2.  Seluruh perawat, tenaga medis lainnya dan staf di bangsal bougenvil, instalasi bedah sentral (IBS) dan poli THT yang telah berkenan membantu  berjalannya Kepaniteraan Klinik bagian Ilmu THT. THT.  3.  Ayah, Ibu beserta sanak saudara s audara yang telah mencurahkan kasih sayang dan dukungan yang tiada henti. Semoga pengalaman dalam membuat referat  referat ini dapat memberikan hikmah  bagi semua pihak. Mengingat penyusunan referat  referat  ini masih jauh dari kata sempurna, penulis mengharapkan kritik dan saran yang dapat menjadi masukan  berharga sehingga menjadi acuan untuk untuk penulisan referat referat  selanjutnya. selanjutnya.  

Wonosobo, 8 Desember 2018  2018  Penulis   Penulis

iii  iii 

 

 

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ...................... ............................................ ............................................ ............................................ .............................. ........ii  KATA PENGANTAR ..................... PENGANTAR  ........................................... ............................................ ............................................ ............................ ......iii iii  DAFTAR DAFT AR ISI IS I ...................... ............................................. ............................................. ............................................ ....................................... .................iv iv  BAB I ...................... ............................................. ............................................. ............................................ ............................................ ............................. .......1 1  BAB II ..................... ............................................ ............................................. ............................................ ............................................. ............................. ......3 3  BAB III ...................... ............................................. .............................................. ............................................. ............................................. .......................2 22  DAFTAR PUSTAKA ..................... ........................................... ............................................ ............................................ ........................... .....2 24 

iv iv  

 

 

BAB I  PENDAHULUAN  Sindrom Ramsay Hunt (SRH) adalah suatu kumpulan gejala yang terdiri dari otalgia akut disertai dengan timbulnya vesikel herpetik dan paresis fasialis. Sindrom Ramsay Hunt dipublikasikan pertama kali pada tahun 1907 oleh James Ramsay Hunt pada pasien yang menderita otalgia disertai dengan rash pada kulit dan mukosa yang disebabkan oleh infeksi human herpes virus yaitu virus variselavariselazoster (VVZ) pada ganglion genikulatum. Sindrom Ramsay Hunt merupakan komplikasi infeksi laten VVZ yang jarang terjadi. Sindrom Ramsay Hunt diperkirakan terjadi sekitar 16% dari seluruh kasus paresis fasial unilateral pada anak dan 18% pada dewasa. Sindrom Ramsay Hunt jarang didapatkan pada anak kurang dari usia enam tahun. Sindrom ini diduga merupakan penyebab dari sekitar 20% dari kasus yang secara klinis didiagnosis sebagai Bell’s palsy, sehingga merupakan penyebab tersering kedua pada paresis fasialis setelah Bell’s palsy. Infeksi VVZ dapat lebih tinggi terjadi pada populasi umum terutama pada individu dengan HIV. Menurut James Ramsay Hunt (1907) yang dikutip dari Colemon, SRH adalah suatu sindrom yang terdiri dari otalgia, vesikel pada aurikula dan parese nervus fasialis perifer. Definisi lain dari SRH adalah suatu parese nervus VII perifer yang disertai dengan eritem vesikuler pada telinga dan mulut. Angka kejadian SRH dari seluruh kejadian paresis fasialis akut adalah 1010 -15%. Pada dewasa terdapat angka 1 

 

  kejadian sekitar 18%, anak -anak 16% dan jarang terjadi pada anak di bawah umur kurang dari 6 tahun. Perbandingan insidensi antara lakilaki -laki dan wanita 1:1.  Nervus fasialis merupakan saraf sara f kranial terpanjang yang berjalan di dalam dala m tulang temporal, sehingga sebagian besar kelainan nervus fasialis terletak dalam tulang ini. Nervus VII terdiri dari 3 komponen yaitu komponen motoris, sensoris, dan  para simpatis. Penyebab SRH adalah virus varisela zoster yang merupakan jenis virus neurotropik. Virus ini termasuk dalam anggota family dari Herpesviridae dan penyebab utama dari penyakit cacar air. Penyakit cacar air biasanya dapat sembuh sempurna tanpa sequele, namun virus tetap dapat mengalami masa dormansi di neuron. SRH terjadi akibat reaktivasi dari infeksi virus varisela zoster sebelumnya. Pada tahap awal virus varisela zoster masuk ke dalam tubuh melalui saluran nafas atas dan mukosa konjungtiva, kemudian bereplikasi pada kelenjar limfe regional dan tonsil. Virus kemudian menyebar melalui aliran darah dan  berkembang biak di organ dalam. Fokus replikasi virus terdapat pada sistem retikuloendotelial hati, limpa dan organ lain. Pada saat titer tinggi, virus dilepaskan kembali ke aliran darah (viremia kedua) dan membentuk vesikel pada kulit dan mukosa saluran nafas atas. Kemudian berkembang dan menyebar melalui

saraf

sensoris

dari

jaringan

kutaneus,

menetap

pada

ganglion

serebrospinalis dan ganglion saraf kranial. Parese nervus VII timbul akibat reaktivasi virus varisela zoster yang menetap pada ganglion genikulatum dan  proses ini disebut dengan ganglionitis. Ganglionitis menekan selubung jaringan saraf, sehingga menimbulkan gejala pada nervus VII. Peradangan dapat meluas 2 

 

  sampai ke foramen stilomastoid. Gejala kelainan nervus VIII yang juga dapat timbul akibat infeksi pada ganglion yang terdapat di telinga dalam atau  penyebaran proses peradangan dari nervus VII. Penyakit ini didahului dengan gejala prodormal berupa nyeri kepala, nyeri telinga, lesu, demam, sakit kepala, mual dan muntah. Lesi terdapat di telinga luar dan sekitarnya, kelainan berupa vesikel berkelompok di atas daerah yang eritema, edema dan disertai rasa nyeri seperti terbakar pada telinga dan kulit sekitarnya (nyeri radikuler). Diagnosis SRH ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan  pemeriksaan penunjang. Pada anamnesis, pasien dapat mengeluh adanya nyeri telinga, mual, muntah, vertigo atau kurangnya pendengaran serta pengecapan. Pada pemeriksaan fisik didapatkan paresis saraf fasial unilateral dan lesi berupa vesikel atau eschar pada aurikulum (konka), meatus akustikus eksternus, kulit di  belakang aurikulum dan membrana timpani. KadangKadang-kadang didapatkan pula pada kavum oris, leher dan bahu. Penyakit ini juga dapat mengenai saraf kranialis yang lain yaitu saraf auditorius, vestibular, trigeminal, glosofaringeal dan vagus sehingga disebut herpes zoster cephalicus. Sedangkan sebagai pemeriksaan  penunjang, dapat dilakukan pemeriksaan darah dan tes kulit untuk VVZ,  pemeriksaan pendengaran, elektromiografi dan pemeriksaan lainnya yang  berhubungan dengan gejala yang ada.

Penatalaksanaan SRH adalah dengan

kortikosteroid (antiinflamasi) dan anti viral. Kortikosteroid dapat mengurangi inflamasi dari nervus kranial dan mengurangi nyeri serta gejala neurologis, sedangkan asiklovir oral digunakan untuk infeksi yang disebabkan herpes virus 3 

 

  seperti virus variselavarisela -zoster. Penyembuhan (recovery) SRH baik bila terapi diberikan dalam 3 hari sejak gejala timbul. Beberapa laporan kepustakaan menyebutkan kesembuhan total dapat mencapai 7070-75% dengan menggunakan steroid dan antiviral.  antiviral.  Adapun tujuan penulisan referat ini adalah agar tenaga kesehatan, khususnya  penulis sendiri, memiliki bekal pengetahuan yang cukup dan memadai dalam menghadapi SRH. Oleh karena itu dalam referat ini akan dikemukakan upaya diagnosis dan pengobatan medikamentosa yang dapat dilakukan oleh dokter umum. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa referat ini jauh dari sempurna, oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran konstruktif dari pembaca



 

  BAB II  TINJAUAN PUSTAKA 

A. 

ANATOMI PENDENGARAN 

Anatomi telinga dibagi atas telinga luar,telinga tengah,telinga dalam:

Gambar 1. Struktur Telinga Manusia: Telinga Luar, Telinga Tengah dan Telinga Dalam

1. 

Telinga Luar

Telinga luar terdiri dari daun telinga (aurikula) dan liang telinga (meatus akustikus eksternus), sampai dengan membran timpani. Daun telinga terdiri dari tulang rawan elastis dan kulit. Liang telinga berbentuk huruf S, dengan rangka tulang rawan pada sepertiga bagian luar, 5 

 

  sedangkan dua pertiga bagian dalam rangkanya terdiri dari tulang. Pada orang dewasa panjangnya kirakira-kira 1 inci (2,5 cm). 

Pada sepertiga bagian luar meatus adalah kartilago elastis, dan dua  pertiga bagian dalam adalah tulang. Sepertiga luar kulit liang telinga terdapat banyak kelenjar serumen (modifikasi kelenjar keringat = kelenjar serumen) dan rambut. Kelenjar keringat terdapat pada seluruh kulit liang telinga. Pada duapertiga bagian dalam hanya sedikit dijumpai kelenjar serumen.  2. 

Telinga Tengah

Telinga tengah berbentuk kubus dengan batasbatas - batas  batas sebagai berikut:  berikut:  -  Batas lateral : membran timpani  -  Batas anterior : tuba eustachius  -  Batas inferior : vena jugularis (bulbus jugularis)   -  Batas posterior: additus ad antrum, kanalis facialis pars vertikalis   -  Batas superior : tegmen timpani   -  Batas medial : kanalis semisirkularis horizontal, kanalis facialis, oval window,, round window dan window window dan promontorium 

Membran timpani adalah membran fibrosa tipis yang berwarna 6 

 

  kelabu  mutiara, serta berbentuk bundar (diameter lebihlebih-kurang 1 cm) dan cekung bila  dilihat dari arah liang telinga dan terlihat oblik terhadap sumbu liang telinga. 

Bagian atas disebut pars flaksida (membrane Shrapnell), sedangkan  bagian  bawah bawah pars tensa (membrane propria). Pada pars flaksida terdapat daerah yang  disebut atic atic.. Di tempat ini terdapat additus ad antrum, yaitu lubang yang menghubungkan telinga tengah dengan antrum mastoid. 

Bayangan penonjolan bagian bawah maleus pada memban timpani   disebut sebagai umbo. Dari umbo bermula suatu refleks cahaya (cone ( cone of light ) ke   arah bawah yaitu pada pukul 7 untuk membrana timpani kiri dan  pukul 5 untuk   membran timpani kanan. Refleks cahaya ialah cahaya dari luar yang dipantulkan oleh membran timpani. 

Membran timpani dibagi dalam 4 kuadran, dengan menarik garis searah  dengan processus longus maleus dan garis yang tegak lurus pada garis itu di  umbo, sehingga didapatkan bagian superior anterior, superior  posterior, inferior   anterior, dan inferior posterior, untuk menyatakan letak  perforasi membran timpani. 

Di dalam telinga tengah juga terdapat tulang pendengaran yang saling  berhubungan. Processus longus maleus melakat pada membrane timpani, maleus  melekat pada inkus, dan inkus melekat pada stapes. 7 

 

  Stapes terletak pada tingkap  lonjong yang berhubungan dengan koklea di telinga dalam. Hubungan antar   tulang–tulang pendengaran berupa  persendian. 

Tuba

eustachius

termasuk

dalam

telinga

tengah,

yang

menghubungkan  telinga tengah dengan daerah nasofaring. Sepertiga  bagian lateral adalah tulang  dan dua pertiga bagian medial adalah kartilago.  3. 

Telinga Dalam

Telinga dalam terdiri dari koklea yang berupa dua setengah lingkaran dan vestibulum yang terdiri dari 3 buah kanalis semisirkularis. Ujung  puncak dari koklea disebut helikotrema, menghubungkan menghubungkan perilemfe skala timpani dengan skala vestibuli. 

Pada irisan melintang koklea tampak skala vestibule sebelah atas, skala timpani di sebelah bawah dan skala media (duktus koklearis) di antaranya. Skala vestibuli dan skalai timpani berisi perilimfa, sedangkan skala media berisi endolimfa. Dasar skala vesstibuli disebut sebagai membrane vestibule sedangkan dasar skala media adalah membran basalis. Pada membran ini terletak organo corti. 

Bagian vestibulum telinga dalam dibentuk oleh sakulus, utrikulus dan kanalis semisirkularis. Utrikulus dan sakulus mengandung macula 8 

 

  yang diliputi oleh selsel-sel rambut yang ditutupi oleh lapisan gelatinosan yang ditembus oleh silia, dan pada lapisan ini terdapat pula otolit yang  berperan dalam proses keseimbangan.  B.  ANATOMI NERVUS FACIALIS

 Nervus fasialis merupakan saraf kranial terpanjang yang berjalan di dalam tulang temporal, sehingga sebagian besar kelainan nervus fasialis terletak dalam tulang ini. Nervus VII terdiri dari 3 komponen yaitu komponen motoris, sensoris, dan parasimpatis. Komponen motoris mempersarafi otot wajah kecuali musculus levator palpebra superior. Selain itu nervus facialis juga mempersarafi stapedius dan venter posterior musculus gastricus. Komponen sensoris mempersarafi 2/3 anterior lidah untuk mengecap melalui meatus corda timpani. Komponen  parasimpatis

memberikan

persarafan

pada

glandula

lakrimalis,

glandula

submandibular, dan glandula sublingualis. Nervus facialis memliki 2 inti yaitu superior dan inferior. Inti superior mendapat persarafan dari korteks motor secara  bilateral sedangkan inti inferior hanya mendapat persarafan dari 1 sisi. Serabut dari kedua inti berjalan mengelilingi inti nervus abducens (N.VI) kemudian meninggalkan pons bersama nervus vestibulococlearis (N.VIII) dan nervus intermedius masuk ke dalam tulang temporal melalui poros meatus akustikus internus. Setelah masuk ke dalam tulang temporal N.VII kan berjalan dalam saluran yang disebut kanal Fallopi. Dalam perjalan di dalam tulang temporal N. VII dibagi dalam 3 segmen yaitu segmen labirin, segmen timpani, dan segmen mastoid. Segmen labirin terletak antara akhir kanal akustik internus dan ganglion 9 

 

  genikulatom. Panjang nervus ini 2-3milimeter. Segmen timpani (segmen vertical) terletak diantara bagian distal ganglion genikolatum dan berkala kea rah posterior telinga tengah, kemudian naik ke arah tingkap lonjong (fenestra ovalis) dan stapes, lalu turun dan kemudian terletak sejajar dengan kanal semisirkularis horizontal. Panjang segmen ini kira-kira 12 milimeter. Segmen mastoid (segmen vertical), mulai dari dinding medial dan superior kavum timpani. Perubahan posisi dari segmen timpani menjadi segmen mastoid disebut segmen pyramidal atau genu eksterna. Bagian ini merupakan bagian paling posterior dari N. VII sehingga mudah terkena trauma pada saat operasi. Selanjutnya segmen ini berjalan ke arah caudal menuju foramen stylomastoid. Panjang segmen ini 15-20 milimeter. Setelah keluar dari tulang mastoid, N.VII menuju glandula parotis dan membagi diri untuk mepersarafi otot-otot wajah. Di dalam tulang temporal N.VII memberikan 3 cabang penting, yaitu nervus petrosus superior mayor, nervus stapedius, dan corda timpani. Nervus petrosus superior mayor keluar ganglion genukulatum dan memberi rangsang pada glandula lakrimalis. Nervus stapedius mempersarafi muskulus stapedius dan berfungsi sebagai peredam suara. Corda timpani mempersarafi pengecapan pada 2/3anterior lidah. Korteks serebri akan memberikan persaratan bilateral pada nucleus N VII yang mengontrol otot dahi, tetapi hanya mernberi persarafan kontra lateral pada otot wajah bagian bawah. Sehingga pada lesi LMN akan menimbulkan paralysis otot wajah ipsilateral bagian atas bawah, sedangkan pada lesi LMN akan menimbulkan kelemahan otot wajah sisi kontta lateral. 10 10  

 

  Pada kerusakan sebab apapun di jaras kortikobulbar atau bagian bawah korteks motorik primer, otot wajah muka sisi kontralateral akan memperlihatkan kelumpuhan jenis UMN. Ini berarti otot wajah bagian bawah lebih jelas lumpuh dari pada bagian atasnya, sudut mulut sisi yang lumpuh tampak lebih rendah. Jika kedua sudut mulut disuruh diangkat maka sudut mulut yang sehat saja yang dapat terangkat. Lesi LMN : bisa terletak di pons, disudut serebelo pontin, di os petrusus, cavum tympani di foramen stilemastoideus dan pada cabang-cabang tepi nervus facialis. Lesi di pon yang terletak disekitar ini nervus abducens bisa merusak akar nevus facialis, inti nervus abducens dan fasikulus longitudinalis medialis. Karena itu paralysis facialis LMN tersebut akan disertai kelumpuhan rektus lateris atau gerakan melirik ke arah lesi, Proses patologi di sekitar meatus akuatikus intemus akan melibatkan nervus facialis dan akustikus sehingga paralysis facialis LMN akan timbul berbarengan dengan tuli perseptif ipsilateral dan ageusia ( tidak bisa rnengecap dengan 2/3 bagian depan lidah).

11 11  

 

 

12 12  

 

  C. 

PATOGENESIS RAMSA RAMSAY Y HUNT SYNDROME  

Pada tahap awal virus varisela zoster masuk ke dalam tubuh melalui saluran nafas atas dan mukosa konjungtiva, kemudian bereplikasi pada kelenjar limfe regional dan tonsil. Virus kemudian menyebar melalui aliran darah dan  berkembang biak di organ dalam. Fokus replikasi virus terdapat pada system retikuloendotelial hati, limpa dan organ lain. Pada saat titer tinggi, virus dilepaskan kembali ke aliran darah (viremia kedua) dan membentuk vesikel pada kulit dan mukosa saluran nafas atas. Kemudian berkembang dan menyebar melalui

saraf

sensoris

dari

jaringan

kutaneus,

menetap

pada

ganglion

serebrospinalis dan ganglion saraf kranial. Parese nervus VII timbul akibat reaktivasi virus varisela zoster yang menetap pada ganglion genikulatum dan  proses ini disebut dengan ganglionitis. Ganglionitis menekan selubung jaringan saraf, sehingga menimbulkan gejala pada nervus VII. Peradangan dapat meluas sampai ke foramen stilomastoid. Gejala kelainan nervus VIII yang juga dapat timbul akibat infeksi pada ganglion yang terdapat di telinga dalam atau  penyebaran proses peradangan dari nervus VII. Lokasi ruam bervariasi dari pasien ke pasien, seperti halnya wilayah dipersarafi oleh nervus intermedius (yaitu,  bagian sensorik s ensorik dari CN VII). Daerah ini mungkin termasuk anterior dua pertiga dari lidah, langit-langit lunak, kanal auditori eksternal, dan pinna

13 13  

 

  D. 

DIAGNOSIS 

Diagnosis SRH ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Pemeriksaan fungsi nervus VII diperlukan untuk menentukan letak lesi, beratnya kelumpuhan dan evaluasi pengobatan. Pemeriksaan meliputi fungsi motorik otot wajah,tonus otot wajah, gustatometri dan tes Schimer. Dari dalam anamnesis riwayat penyakit dahulu bisa didapatkan ada riwayat terkena penyakit cacar air. Penyakit ini didahului dengan gejala prodromal berupa nyeri kepala, nyeri telinga, lesu, demam, sakit kepala, mual dan muntah. Lesi terdapat di telinga luar dan sekitarnya, kelainan berupa vesikel berkelompok di atas daerah yang eritema, edema dan disertai rasa nyeri seperti terbakar pada telinga dan kulit sekitarnya (nyeri radikuler).Gejala-gejala yang biasanya dikeluhkan adalah nyeri telinga paroksismal, ruam pada telinga atau mulut (80%  pada kasus yang ada, ruam bisa menjadi awal dari adanya paresis), ipsilatereal lower motor neuron paresis wajah (N. VII), vertigo, ipsilateral ketulian (50% kasus), tinnitus, sakit kepala, diastrhia, gait ataxia, cervical adenopathy. Nyeri telinga sering kali nyeri menjalar ke luar telinga sampai ke daun telinga. Nyeri  bersifar konstan, difus, dan tumpul. Nyeri muncul biasanya beberapa jam sampai  beberapa hari setelah muncul ruam. Pemeriksaan dan otoscopy menunjukkan vesikel-vesikel di dalam saluran atau di membrana tympani. Derajat kelumpuhan saraf fasialis dapat dinilai secara subjektif dengan menggunakan sistim House-Brackmann selain itu derajad dapat digunakan untuk evaluasi. 14 14  

 

  Tabel House – Brackman  Brackman 

Disamping itu juga dapat dilakukan tes topografi untuk menentukan letak lesi saraf fasialis dengan tes Schirmer dan tes gustometri. Pemeriksaan N. VII dimulai dari fungsi saraf motorik dengan cara menggerakkan otot-otot wajah utama di muka, mulai dari mengankat alis (m. frontalis), mengerutkan alis (m. soucilier), mengakat serta mengeruktan hidung ke atas (m. piramidalis), memejamkan mata kuat-kuat (m.orbicularis okuli), tertawa lebar sambil memperlihatkan gigi (m. zygomatikus), memoncongkan mulut ke depan sambil memperlihatkan gigi (m. relever komunis), meggembungkan kedua pipi (m. businator), bersiul (m. orbicularis oris), menarik kedua sudut bibir ke bawah (m. triangularis), dan memoncongkan mulut yang tertutup rapat ke depan ( m. mentalis). Setiap gerakkan yang dilakukan dibandingkan kanan dan kiri. Penilaiain yang diberikan adalah angka 3 jika gerakkan normal serta simetris, angka 1 jika sedikit ada gerakkan, angka 2 gerakkan yang berada diantara angka 3 dan 1, angka 0 jika 15 15  

 

  tidak ada gerakkan sama sekali. Tes gustatomeri ini digunakan untuk menilai n.corda timpani, dengan cara membandingkan ambang rasang antara sisi lidah kanan dan kiri. Tes Schrimer digunakan untuk mengetahui fungsi serabut serabut  pada simpatis dari N.VII yang disalurkan melalui nervus petrosus superfisialis mayor setinggi genikulatum, dengan cara meletekkan kertas lakmus pada bagian inferior konjungtiva dan dihitung berapa banyak sekresi kelenjar lakrimalis. Berdasarkan gejala klinis, klasifikasi SRH dibagi menjadi 4 yaitu (1) penyakit yang menyerang bagian sensoris nervus VII, (2) penyakit yang menyerang bagian sensoris dan motoris nervus VII, (3) penyakit yang menyerang bagian sensoris dan motoris nervus VII, disertai gejala gangguan pendengaran, (4) penyakit yang menyerang bagian sensoris dan motoris nervus VII, disertai gejala gangguan  pendengaran dan keseimbangan.

E. 

DIAGNOSIS BANDING 

Berdasarkan keluhan pasien dan temuan fisik yang beberapa penyakit dapat dijadikan

diagnosis

banding

untuk

SRH,

antarala

lain

adalah

Bell’s

Palsy,miringitis bulosa, otitis eksterna, dan trigeminal neuralgia. Diagnosis  banding yang mungkin adalah Bell’s Palsy Pals y hal ini i ni didasarkan pada tampilan pada tampilan klnis yang terdapat kelamahan separuh otot wajah. Hal yang sangat membedakan adalah adanya ruam pada SRH. Miringitis Bullosa memiliki karakteristik gambaran klinis pasien yaitu tiba-tiba mengalami sakit telinga yang parah atau otalgia sifatnya berdenyut. Nyeri biasanya terletak di dalam telinga, tetapi dapat 16 16  

 

  menyebar ke ujung mastoid, tengkuk, temporomandibula hingga ke seluruh wajah. Karakteristik pemeriksaan fisik dari miringitis bullosa adalah adanya bulla  pada membran timpani. ti mpani. Bulla yang muncul paling sering pada sisi posterior atau  postero inferior membran timpani atau pada dinding kanalis posterior. Pada  pemeriksaan pendengaran dapat ditemukan adanya penurunan penurunan pendengaran. Otitis eksterna juga bida dijadikan diagnosis banding berdasarkan adanya otalgia, pruritus, keluarnya cairan dan hilangnya pendengaran. Pada pemeriksaan didapatkan adanya nyeri tekan tragus dan liang telinga hiperemis dan bengkak. Gejala trigeminal neuralgia muncul secara tiba-tiba, unilateral, nyeri yang berat terasa tertusuk dan rasa nyeri rekuren sesuai dengan saraf trigeminal tetapi trigeminal neuralgia tidak menyebabkan adanya deficit nerologis F.  PENATALAKSANAAN

Pengobatan terhadap herpes zoster terdiri dari tiga hal utama yaitu  pengobatan infeksi virus akut, pengobatan rasa ras a sakit akut yang berkaitan dengan  penyakit tersebut, dan pencegahan terhadap neuralgia pascaherpes. Perawatan utama untuk nyeri zoster terkait akut termasuk analgesik narkotik dan nonnarkotika (baik sistemik dan topikal), agen neuroactive, dan agen antikonvulsan. Sementara kemanjuran perawatan ini untuk nyeri neuropatik umum telah mapan, hanya beberapa modalitas telah dievaluasi khusus untuk zoster akut terkait nyeri  pada studi terkontrol. Para oksikodon narkotika oral dan antikonvulsan gabapentin lisan, serta aspirin analgesik topikal dan lidokain, semua telah menunjukkan kemampuan untuk mengurangi akut zoster terkait nyeri pada double-blind, 17 17  

 

   placebo-controlled studi.Di sisi lain, pregabalin anticonvulsant lisan gagal untuk menunjukkan pengaruh signifikan secara statistik kesakitan zoster menghilangkan akut dalam studi double-blind kecil, terkontrol plasebo. Meskipun, perlu dicatat obat ini telah terbukti ampuh mengobati rasa sakit dari neuralgia postherpetic dalam studi terkontrol lainnya. Antivirus dan kortikosteroid juga telah ditunjukkan untuk mempercepat resolusi zoster terkait sakit. Tujuan terapi antiviral pada herpes zoster adalah untuk

mengurangi

rasa

sakit,

menghambat

replikasi

virus,

membantu

 penyembuhan penyakit kulit, dan mencegah atau mengurangi keparahan neuralgia  postherpetic. Tiga agen antivirus, asiklovir, valasiklovir, dan famsiklovir, telah disetujui untuk pengobatan herpes zoster di Amerika Serikat. Mekanisme kerja untuk semua agen adalah pencegahan varicella-zoster (VZV) replikasi virus melalui penghambatan polimerase DNA virus . Bentuk ke-3 agen telah terbukti dalam uji klinis untuk mengurangi pelepasan virus dan mempercepat resolusi gejala, termasuk rasa sakit, di herpes zoster tanpa komplikasi. Acyclovir merupakan turunan guanin yang mencegah varicella-zoster virus (VZV) replikasi melalui penghambatan polimerase DNA virus. Ini mengurangi durasi lesi simtomatik. Setelah tertelan, famsiklovir dengan cepat biotransformed ke dalam senyawa aktif penciclovir dan terfosforilasi oleh kinase timidin virus. Dengan  persaingan

dengan

triphosphate

deoxyguanosine,

penciclovir

trifosfat

menghambat polimerase virus. Dosis disesuaikan pada pasien dengan insufisiensi ginjal atau penyakit hati. Valacyclovir adalah prodrug yang dengan cepat diubah 18 18  

 

  menjadi asiklovir sebelum mengerahkan aktivitas antivirus nya. Beberapa  penelitian memberi kesan superioritas valacyclovir dan famciclovir dibandingkan dengan asiklovir dalam hal resolusi rasa sakit dan percepatan penyembuhan kulit. Selain itu, baik valasiklovir dan famsiklovir telah meningkatkan bioavailabilitas lebih asiklovir dan, sebagai hasilnya, memerlukan dosis kurang sering. Studi-studi terkontrol penggunaan antivirus pada herpes zoster hanya dievaluasi efektivitas mulai terapi dalam 48-72 jam onset ruam, dan mereka telah menunjukkan tanpa kehilangan efektivitas ketika obat dimulai pada setiap saat selama periode itu. Meta-analisis dan uji coba terkontrol secara acak menunjukkan bahwa agen antivirus oral asiklovir,famsiklovir, dan valacyclovir, dimulai dalam waktu 72 jam setelah onset ruam,mengurangi keparahan dan durasi nyeri akut, serta kejadian  postherpetic neuralgia. Beberapa studi observasional telah menunjukkan terapi antivirus yang mampu mengurangi rasa sakit zoster, bahkan ketika mulai luar  jendela 72-jam terapi tradisional. Terapi antivirus harus dipertimbangkan untuk rejimen pengobatan zoster akut, terlepas dari saat sa at presentasi. Lamanya pengobatan antivirus dalam studi telahbervariasi dari 7-21 hari. Berdasarkan literatur saat ini, untuk pasien imunokompeten, asiklovir selama 7-10 hari atau kursus 7-hari dari agen yang lebih baru adalah tepat. Kursus yang lama mungkin diperlukan pada  pasien

immunocompromised.

Terapi

antivirus

telah

ditunjukkan

untuk

menghentikan perkembangan dan penyebaran herpes zoster akut pada pasien immunocompromised, bahkan bila dimulai lebih dari 72 jam setelah onset ruam. Dengan demikian, pendapat pakar saat ini merekomendasikan penggunaan terapi 19 19  

 

  antivirus pada semua pasien immunocompromised zoster sebelum krusta penuh dari semua lesi. Terapi herpes zoster pada individu normal dapat diberikan asiklovir 5x800mg sehari selama 7 hari, paling lambat 72 jam setelah lesi muncul. Menurut Gupta J dkk, pemberian asiklovir 7-10 hari. Pada saat 72 jam setelah munculnya gejala pemberian antivirus 70% orang akan mengalami kesembuhan yang seutuhnya. Jika pemberian antiviral diberikan lebih dari golden peiode kesempatan seseorang untuk sembuh seutuhnya akan berukurang 50% Penggunaan steroid dalam hubungannya dengan antivirus untuk herpes zoster tanpa komplikasi adalah kontroversial. Penambahan kortikosteroid oral telah dievaluasi pada pasien yang diobati dengan asiklovir dalam 2 studi terkontrol. Steroid yang ditemukan untuk mempercepat resolusi neuritis akut dan memberikan peningkatan yang jelas dalam kualitas-hidup tindakan dibandingkan dengan pasien diobati dengan antivirus saja. Penggunaan steroid oral tidak  berpengaruh terhadap perkembangan atau durasi neuralgia postherpetik. Steroid oral belum diteliti dengan valacyclovir atau famciclovir, sehingga manfaatnya tidak diketahui. Bentuk nonoral terapi steroid tambahan pada herpes zoster akut  juga telah dipelajari. Sebuah penelitian yang melibatkan injeksi epidural steroid tunggal dan anestesi lokal diberikan bersamaan dengan rejimen standar antiviral oral dan analgesik ditemukan sederhana meningkatkan zoster terkait sakit selama 1 bulan lebih tanpa pengobatan steroid. Seperti di atas, tidak ada efek dalam mencegah postherpetic neuralgia dicatat. Mengingat dampak negatif dari dan kontraindikasi untuk penggunaan kortikosteroid, pendapat pakar saat ini 20 20  

 

  menyarankan membatasi keterlibatan mereka dengan kasus-kasus nyeri sedang sampai zoster parah, atau di mana gejala-gejala gejal a-gejala neurologis yang signifikan (seperti

kelumpuhan wajah) atau keterlibatan SSP hadir (dan penggunaan kortikosteroid tidak dinyatakan kontraindikasi). Durasi optimal terapi steroid tidak diketahui. Jika diresepkan, tampaknya masuk akal untuk steroid untuk digunakan bersamaan dengan terapi antivirus. Lamanya penggunaan steroid tidak boleh melampaui masa terapi antivirus. Steroid tidak boleh diberikan sendiri (tanpa terapi antivirus), karena kekhawatiran tentang promosi replikasi virus. Individu dengan perubahan imunitas diperantarai sel, akibat kondisi imunosupresif (misalnya, HIV, kanker) atau pengobatan (misalnya, penggunaan kortikosteroid diperpanjang), akan meningkatkan risiko untuk herpes zoster. Selanjutnya, presentasi herpes zoster  pada populasi immunocompromised dapat menjadi rumit oleh penyakit disebarluaskan dan keterlibatan organ visceral. Menurut Gupta J dkk, kortikosteroid 3-5 hari dengan regimen tapperring. Kortikosteroid dapat diberikan selama 10-14 hari dengan dosis 40-60mg/hari atau 1mg/KgBB/hari dengan regimen tappering. Evaluasi dari pengobatan SRH ini sendiri dengan melakukan pemeriksaan  N.VII secara serial dan dengan pemeriksa yang sama selain dari apa yang dikeluhkan oleh pasien. Selain terapi medikamentosa juga diperlukan edukasi kepada pasien bahwa mungkin saja hilangnya pendengaran ataupun paralisis wajah yang terjadi adalah mentepa mesiskipun sudah dilakukan pengobatan. G.  KOMPLIKASI

21 21  

 

  Paralysis berat akan mengakibatkan tidak lengkap atau tidak sempurnanya kesembuhan dan berpotensi untuk menjadi paralysis fasial yang permanen dan

synkinesis. Adakalanya, virus dapat menyebar ke saraf-saraf lain atau bahkan ke otak dan jaringan saraf dalam tulang punggung, menyebabkan sakit kepala, sakit  punggung,, kebingungan, kelesuan, dan kelemahan. Neuralgia pasca herpetik  punggung adalah rasa nyeri yang timbul pada daerah bekas penyembuhan. Neuralgia ini dapat berlangsung berbulan-bulan sampai beberapa tahun. Keadaan ini cenderung terjadi pada penderita diatas usia 40 tahun dengan gradasi nyeri yang bervariasi. Makin tua penderita makin tinggi persentasenya. Sepertiga kasus diatas usia 60 tahun dikatakan akan mengalami komplikasi ini, sedang pada usia muda hanya terjadi pada 10 % kasus. Infeksi sekunder oleh bakteri akan menyebabkan terhambatnya penyembuhan dan akan meninggalkan bekas sebagai sikatriks. Vesikel sering menjadi ulkus dan jaringan nekrotik. Paralisis motorik dapat terjadi  pada sebagian kecil penderita (1 –  (1 –  5  5 % kasus), terutama bila virus juga menyerang ganglion anterior, bagian motorik kranialis. Terjadinya biasanya 2 minggu setelah timbulnya erupsi. Berbagai paralisis dapat terjadi, misalnya di muka, diafragma  batang tubuh, ekstremitas, vesika urinaria dan anus. H.  PROGNOSIS

Prognosis SRH dipengaruhi oleh umur, diabetes mellitus, hipertensi dan  pemberian terapi yang cepat. Yeo dkk menyatakan bahwa Herpes Zoster Oticus (HZO) memiliki prognosis yang buruk daripada Bell’s Palsy. Sekitar setengah dari jumlah pasien SRH masih memiliki gangguan motorik nervus fasial, hanya 22 22  

 

  sebagian kecil pasien dengan gangguan paralisis komplit. Hasil pemulihan akan lebih baik jika perawatan dimulai pada hari ke tiga setelah gejala timbul. Kesembuhan yang sempurna akan tercapai pada 70% kasus jika pengobatan dimulai pada saat ini. Namun, jika pengobatan tertunda lebih dari 3 hari, kesempatan untuk mencapai kesembuhan sempurna akan turun sekitar 50%

23 23  

 

  BAB III  KESIMPULAN  

RHS merupakan kumpulan gejala yang terdiri dari neuralgia radikuler, otalgia, erupsi vesikuler yang mengenai sebagian telinga luar dan kanalis akustikus eksternus disertai kelumpuhan nervus VII perifer. Diagnosis SRH dibuat berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Dari dalam anamnesis riwayat penyakit dahulu bisa didapatkan ada riwayat terkena  penyakit cacar air. Penyakit ini didahului dengan gejala prodromal berupa nyeri kepala, nyeri telinga, lesu, demam, sakit kepala, mual dan muntah. Lesi terdapat di telinga luar dan sekitarnya, kelainan berupa vesikel berkelompok di atas daerah yang eritema, edema dan disertai rasa nyeri seperti terbakar pada telinga dan kulit sekitarnya (nyeri radikuler). Pemeriksaan fungsi nervus VII diperlukan untuk menentukan letak lesi, beratnya kelumpuhan dan evaluasi pengobatan. Tes yang dapat dilakukan adalah tes topografi untuk menentukan letak lesi saraf fasialis dengan tes Schirmer, reflek stapedius dan tes gustometri. Derajat kelumpuhan saraf fasialis dapat dinilai secara subjektif dengan menggunakan sistim HouseBrackmann, metode ini juga dapat digunakan di gunakan untuk evaluasi pengobatan. Diagnosis banding untuk SRH, antarala lain adalah Bell’s Bell’s Palsy, miringitis  bulosa, otitis eksterna, dan trigeminal neuralgia. Obat yang paling direkomendasikan untuk tatalaksana SRH adalah kombinasi acyclovir dan prednisone. Berdasarkan penelitian yang tealh dilaksanakan dari 80  pasien SRH dengan berbagai tingkat keparahan diobati dengan acyclovir dan 24 24  

 

   predniosen menunjukkan hasil kesembuhan total, tetapi masih ada 52% yang menujukkan gejala sisa berupa kelumpuhan wajah dengan grade I menurut HouseBackman. Oleh sebab itu pemberian terapi dalam waktu 3 hari setelah ruam muncul menjadi penting untuk mencapai prognosis yang lebih baik bagi kelumpuhan wajah parsial dan kehilangan pendengaran. Jika obat diberikan lebh dari 7 hari onset ruam maka kesempatan bagi pasien yang dinyatakan dalam grade 1 House backman memiliki kesempatan 30% untuk sembuh. Lamanya pengobatan antivirus dalam studi telah bervariasi dari 7-21 hari. Terapi pada individu normal dapat diberikan asiklovir 5x800mg sehari selama 7 hari Steroid ini hanya boleh diberikan bersamaan dengan antiviral dan lamanya  penggunaan steroid tidak boleh melampaui mel ampaui masa terapi antivirus. Menurut Gupta J dkk, penggunaan kortikosteroid 3-5 hari dengan regimen tapperring. Kortikosteroid dapat diberikan selama 10-14 hari dengan dosis 40-60mg/hari atau 1mg/KgBB/hari dengan regimen tappering. Prognosis SRH dipengaruhi oleh umur, diabetes mellitus, hipertensi dan  pemberian terapi yang cepat. Yeo dkk menyatakan bahwa Herpes Zoster Oticus (HZO) memiliki prognosis yang  buruk daripada Bell’s Palsy. Hasil pemulihan akan lebih baik jika perawatan dimulai pada hari ke tiga setelah gejala timbul. Kesembuhan yang sempurna akan tercapai pada 70% kasus jika pengobatan dimulai pada saat ini. Namun, jika pengobatan tertunda lebih dari 3 hari, kesempatan untuk mencapai kesembuhan sempurna akan turun sekitar 50%.  50%. 

25 25  

 

 

DAFTAR PUSTAKA  1.  Coleman et al. Ramsay Hunt syndrome with severe dysphagia. Department of Otolaryngology Head and Neck Surgery Michigan medical center. 2011;12011;1 -2. 2.  Danil Kim et al. Ramsay Hunt syndrome presenting as simple otitis externa in CJEM. Department of Medicine University of Toronto; 2008; 247247 -50. 3.  Anil K. Facial nerve: disorders of facial nerve. In: Current otolaryngology. New York: Mc Graw Hill; 2007.  2007.  4.  Miravalle A. Ramsay Hunt syndrome. Available from http://emedicine.medscape.c http://emedicine.m edscape.com om Cited on August 2009. 5.  Sjarifudin, Bashirudin J, Bramantyo B. Kelumpuhan Nervus Fasialis Perifer. Dalam: Buku ajar ilmu kesehatan telinga hidung tenggorok kepala & leher Bagian Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala dan Leher Fakultas Kedokteran Universitas Andalas/RS Dr.M.Djamil Padang 4 Edisi  Edisi   6.  Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia;2007.p1 Indonesia;2007.p114 14 -17. 6. Honda, Nobumitsu et al. Swelling of the intratemporal facial nerve in Ramsay Hunt syndrome. Acta Otolaryngol. 2002; 122:348122:348-52  52  7.  Kim HJ, et al. Ramsay Hunt syndrome complicated by a brainstem lesion. Journal of Clinical virology 39 (2007) 322322-325. 325.   8.  Sjaiful dkk. Infeksi Virus Herpes. Jakarta: kelompok studi herpes Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia .2002.p196.2002.p196-7.  7.  9.  Bhupal HK. Ramsay hunt syndrome presenting in primary care. In: ThePrectitioner casebook: 2010;254:332010;254:33-35. 35.   10.  Ballenger JJ. Penyakit telinga hidung tenggorrok kepala& leher leher.. Edisi 13. Jakarta: Binarupa aksara; 1997.p5601997.p560-61. 61.   11.  Yeo SW, SW, et al. Analysis of prognostic prognosti c factors in bell’s palsy and ramsay hunt syndrome. Auris nasus larynx.2007.34:159larynx.2007.34:159-164. 164.   12.  Philip A, Wackym, Jhon SR. Facial paralysis. In: Ballenger’s otorhinolaryngology head head and neck sur surgery gery.. Ed.16th. Hamilton ontario : 2003; 24:492494.   24:492494. 13.  Quinn , et al. Facial Nerve Paralysis.Dept.of Otolaryngology,UTMB,Grand Rounds :2007.  :2007.    14. Gupta J, et al. Ramsay hunt syndrome, type I. ENTear, nose & throat journal. 2007:p.138--140. 2007:p.138 140.   15.  Bella, danil et al. Ramsay Hunt syndrome in a person with HIV disease. Indian J. Otolaryngol.Head Otolaryngol.Hea d Neck Surg.2008;171Surg.2008;171-73. 73.   16.  Ohtani F, et al. VaricellaVaricella -zoster virus load and cochleovestibular symptoms in ramsay hunt syndrome. syndrome. Annals of otology, otology, rhinology & laryngology:2006; 115(3);233--238. 115(3);233

26 26  

View more...

Comments

Copyright ©2017 KUPDF Inc.
SUPPORT KUPDF