Referat TB-HIV

September 20, 2017 | Author: Bernard Santoso | Category: N/A
Share Embed Donate


Short Description

Referat TB-HIV...

Description

I. LATAR BELAKANG Tuberkulosis (TB) merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting di dunia. Pada tahun 1992, World Health Assosiation (WHO) telah mencanangkan TB sebagai Global Emergency. Perkiraan kasus TB secara global pada tahun 2011 adalah1: − Insidensi kasus

: 8,7 juta (8.3- 9.0 juta)

− Prevalensi kasus

: 12 juta (10- 13 juta)

− Kasus meninggal (HIV negatif)

: 10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut +++(3+)2. 4. Pemeriksaan Radiologi Pemeriksaan standar ialah foto toraks PA. Pemeriksaan lain atas indikasi yaitu foto lateral, top-lordotic, oblik atau CT-scan. Pada pemeriksaan foto toraks, TB dapat memberi gambaran bermacammacam bentuk (multiform). Gambaran radiologi yang dicurigai sebagai lesi TB aktif adalah: a. Bayangan berawan/nodular di segmen apikal dan posterior lobus atas paru dan segmen superior lobus bawah. b. Kavitas, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak berawan atau nodular. c. Bayangan bercak milier. d. Efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang). Gambaran radiologi yang dicurigai lesi TB inaktif: a. Fibrotik. b. Kalsifikasi. c. Schwarte atau penebalan pleura 5. Pemeriksaan Penunjang Lain a. Analisis cairan pleura.

9

b. Pemeriksaan histopatologi jaringan. c. Pemeriksaan darah2.

Gambar 1. Alur Diagnosis TB paru 3 E. Penatalaksanaan Pengobatan TB Paru diberikan dalam 2 tahap yaitu tahap intensif dan lanjutan. Pada tahap intensif (awal) penderita mendapat obat setiap hari dan diawasi langsung untuk mencegah terjadinya kekebalan terhadap semua OAT terutama rifampisin. Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat biasanya penderita menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu sebagian besar penderita TBC BTA positif menjadi BTA negatif (konversi) pada akhir pengobatan intensif 3. Tabel 1 berikut menunjukkan jenis, sifat dan dosis OAT. Tabel 1. Jenis, sifat dan dosis OAT3

10

Jenis OAT

Sifat

Isoniazid (H) Rifampisisn ( R) Pyrazinamid (Z) Streptomycin (S) Ethambutol (E)

Bakterisid Bakterisid Bakterisid Bakterisid Bakterostatik

Dosis yang direkomendasikan (mg/kg) Harian 3x seminggu 5 (4-6) 10 (8-12) 10 (8-12) 10 (8-12) 25 (20-30) 35 (30-40) 15 (12-18) 15 (12-18) 15 (15-20) 30 (20-35)

Sedangkan kategori penggunaan OAT di Indonesia, adalah sebagai berikut. 1. Kategori-1 (2HRZE/ 4H3R3), diberikan untuk pasien dengan kriteria: a.

Pasien baru TB paru BTA positif.

b.

Pasien TB paru BTA negatif foto toraks positif

c.

Pasien TB ekstra paru

Tabel 2. Dosis untuk paduan OAT KDT untuk Kategori 13 Berat Badan

Tahap intensif tiap hari selama 56 hari RHZE (150/75/400/275) 2 tablet 4KDT 3 tablet 4KDT 4 tablet 4KDT 5 tablet 4KDT

30-37 kg 38-54 kg 55-70 kg ≥ 71 kg

Tahap Lanjutan 3 kali seminggu selama 16 minggu RH (150/150) 2 tablet 2KDT 3 tablet 2KDT 4 tablet 2KDT 5 tablet 2KDT

Tabel 3. Dosis paduan OAT-Kombipak untuk Kategori 13 Tahap

Lama

Tablet

Dosis per hari / kali Kaplet Tablet

Jumlah Tablet

hari/kali

Pengobatan Pengobatan Isoniasid @ Rifampisin @ Pirazinamid @ Etambutol @ menelan 300 mgr 450 mgr 500 mgr 250 mgr obat Intensif 2 Bulan 1 1 3 3 56 Lanjutan 4 Bulan 2 1 48

2. Kategori 2 (2HRZES/ HRZE/ 5H3R3E3), diberikan untuk pasien BTA positif yang telah diobati sebelumnya: a. Pasien kambuh b. Pasien gagal

11

c. Pasien dengan pengobatan setelah putus berobat (default) Tabel 4. Dosis untuk paduan OAT KDT Kategori 2 3

Berat Badan

Tahap Intensif tiap hari

Tahap Lanjutan 3

RHZE(150/75/400/275)

kali seminggu RH (150/50)+

Selama 56 hari

Selama 28 hari

E (400) Selama 20 minggu

2 tab 4KDT + 30 – 37 kg

500 mg

2 tab 4KDT

Streptomisin

2 tab 2KDT + 2 tab Etambutol

inj 3 tab 4KDT + 30 – 54 kg

750 mg

3 tab 4KDT

Streptomisin

3 tab 2KDT + 3 tab Etambutol

inj + 1000 mg 55 – 70 kg

Streptomisin

4 tab 4KDT

4 tab Etambutol

inj 5 tab 4KDT – ≥ 71 kg

1000 mg

5 tab 4KDT

Streptomisin

5 tab 2 KDT + 5 tab Etambutol

inj

II.

HIV/ AIDS A. Definisi HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah suatu retrovirus dengan materi genetik asam ribonukleat (RNA). Retrovirus mempunyai kemampuan yang unik untuk mentransfer informasi genetik mereka dari RNA ke DNA dengan menggunakan enzim yang disebut reverse transcriptase, setelah masuk ke tubuh hospes. Virus ini menyerang dan merusak sel- sel limfosit T-helper (CD4+) sehingga sistem imun penderita turun dan rentan terhadap berbagai infeksi dan keganasan 14. AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome) dapat diartikan sebagai kumpulan gejala atau penyakit yang disebabkan oleh

12

menurunnya kekebalan tubuh akibat infeksi oleh virus HIV (Human Immunodeficiency Virus) yang termasuk family retroviridae. AIDS merupakan tahap akhir dari infeksi HIV4. B. Patogenesis HIV menginfeksi sel dengan mengikat permukaan sel sasaran yang memiliki reseptor membran CD4, yaitu sel T-helper (CD4+). Glikoprotein envelope virus, yakni gp120 akan berikatan dengan permukaan sel limfosit CD4+, sehingga gp41 dapat memperantarai fusi membran virus ke membran sel. Setelah virus berfusi dengan limfosit CD4+, RNA virus masuk ke bagian tengah sitoplasma CD4+. Setelah nukleokapsid dilepas, terjadi transkripsi terbalik (reverse transcription) dari satu untai tunggal RNA menjadi DNA salinan (cDNA) untai-ganda virus. cDNA kemudian bermigrasi ke dalam nukleus CD4+ dan berintegrasi dengan DNA dibantu enzim HIV integrase. Integrasi dengan DNA sel penjamu menghasilkan suatu provirus dan memicu transkripsi mRNA. mRNA virus kemudian ditranslasikan menjadi protein struktural dan enzim virus. RNA genom virus kemudian dibebaskan ke dalam sitoplasma dan bergabung dengan protein inti. Tahap akhir adalah pemotongan dan penataan protein virus menjadi segmen- segmen kecil oleh enzim HIV protease. Fragmen-fragmen virus akan dibungkus oleh sebagian membran sel yang terinfeksi. Virus yang baru terbentuk (virion) kemudian dilepaskan dan menyerang sel-sel rentan seperti sel CD4+ lainnya, monosit, makrofag, sel NK (natural killer), sel endotel, sel epitel, sel dendritik (pada mukosa tubuh manusia), sel Langerhans (pada kulit), sel mikroglia, dan berbagai jaringan tubuh15. Sel limfosit CD4+ (T helper) berperan sebagai pengatur utama respon imun, terutama melalui sekresi limfokin. Sel CD4+ juga mengeluarkan faktor pertumbuhan sel B untuk menghasilkan antibodi dan mengeluarkan faktor pertumbuhan sel T untuk meningkatkan aktivitas sel T sitotoksik (CD8+). Sebagian zat kimia yang dihasilkan sel CD4+ berfungsi sebagai kemotaksin dan peningkatan kerja makrofag,

13

monosit, dan sel Natural Killer (NK). Kerusakan sel T-helper oleh HIV menyebabkan penurunan sekresi antibodi dan gangguan pada sel-sel imun lainnya16. Pada sistem imun yang sehat, jumlah limfosit CD4+ berkisar dari 600 sampai 1200/ μl darah. Segera setelah infeksi virus primer, kadar limfosit CD4+ turun di bawah kadar normal untuk orang tersebut. Jumlah sel kemudian meningkat tetapi kadarnya sedikit di bawah normal. Seiring dengan waktu, terjadi penurunan kadar CD4+ secara perlahan, berkorelasi dengan perjalanan klinis penyakit. Gejala-gejala imunosupresi tampak pada kadar CD4+ di bawah 300 sel/μl. Pasien dengan kadar CD4+ kurang dari 200/μl mengalami imunosupresi yang berat dan risiko tinggi terjangkit keganasan dan infeksi oportunistik15. C. Penularan HIV/ AIDS Penularan AIDS terjadi melalui : 1. Hubungan kelamin (homo maupun heteroseksual); 2. Penerimaan darah dan produk darah; 3. Penerimaan organ, jaringan atau sperma; 4. Ibu kepada bayinya (selama atau sesudah kehamilan). Kemungkinan penularan melalui hubungan kelamin menjadi lebih besar bila terdapat penyakit kelamin, khususnya yang menyebabkan luka atau ulserasi pada alat kelamin. HIV telah diisolasi dari darah, sperma, air liur, air mata, air susu ibu, dan air seni, tapi yang terbukti berperan dalam penularan hanyalah darah dan sperma. Hingga saat ini juga tidak terdapat bukti bahwa AIDS dapat ditularkan melalui udara, minuman, makanan, kolam renang atau kontak biasa (casual) dalam keluarga, sekolah atau tempat kerja. Juga peranan serangga dalam penularan AIDS tidak dapat dibuktikan17. D. Diagnosis Terdapat dua uji yang khas digunakan untuk mendeteksi antibodi terhadap HIV. Pertama, tes ELISA (enzyme-linked immunosorbent assay) yang bereaksi terhadap antibodi dalam serum. Apabila hasil ELISA positif, dikonfirmasi dengan tes kedua yang lebih spesifik, yaitu

14

Western blot. Bila hasilnya juga positif, dilakukan tes ulang karena uji ini dapat memberikan hasil positif-palsu atau negatif-palsu. Bila hasilnya tetap positif, pasien dikatakan seropositif HIV. Pada tahap ini dilakukan pemeriksaan klinis dan imunologik lain untuk mengevaluasi derajat penyakit dan dimulai usaha untuk mengendalikan infeksi 15. WHO mengembangkan sebuah sistem staging (untuk menentukan prognosis), berdasarkan dari kriteria klinis, sebagai berikut17. Tabel 5. WHO clinical staging system for HIV infection and related disease in adult (15 years or older) 17 Tahap 1 : - Asimptomatik - Limfadenopati menyeluruh Performance scale 1 : asimtomatik, aktifitas normal Tahap 2: -Penurunan berat badan < 10% berat badan sebelumnya - Manifestasi mukokutaneus minor (misal: ulserasi oral, infeksi jamur di kuku) - Herpes zoster dalam 5 tahun terakhir - Angular cheilitis - seboroik dermatitis - Infeksi saluran napas atas rekuren (misal: sinusitis bakterial) Dan/ atau Performance scale 2: simptomatik, aktivitas normal

Tahap 3: - Penurunan berat badan > 10% dari berat badan sebelumnya - Diare kronis tanpa sebab > 1 bulan - Demam berkepanjangan tanpa sebab > 1 bulan - Candidiasis oral - Oral hairy leukoplakia - TB paru - Infeksi bakteri berat (pneumonia, pyomiositis) Dan/atau Performance scale 3: bedrest < 50% dlm sehari 1 bulan terakhir Tahap 4: - HIV wasting syndrome (penurunan bb > 10%, diare>1n bl atau lemah lesu dan demam > 1 bln) - Pneumonisitis carina pneumonia

15

- Toxoplasmosis otak - Kriptosporidiosis dengan diare, lebih dari sebulan - Kriptokokosis, ekstra paru - TB ekstra paru - Penyakit disebabkan oleh CMV - Kandidiasis - Mikobakteriosis atipikal - Lymphoma - Kaposi sarcoma - HIV encephalopati - Infeksi virus herpes lebih dari 1 bulan - Leukoensefalopati multifokal yang progresif - Infeksi jamur endemik yang menyebar Dan/atau Performance scale 4 : bedrest >50% dlm sehari 1 bulan terakhir

E. Terapi Anti Retrovirus (ART) Antiretrovirus (ARV) yang ditemukan pada tahun 1996, mendorong suatu revolusi dalam perawatan penderia HIV/AIDS. Meskipun belum mampu menyembuhkan penyakit dan menambah tantangan dalam hal efek samping dan resistensi, obat ini secara dramatis menunjukkan penurunan angka mortalitas dan morbiditas akibat HIV/AIDS16. Pemberian ARV bergantung pada tingkat progresifitas penyakit, yang dapat dinilai melalui kadar CD4+ dan kadar RNA HIV serum. Terdapat tiga jenis antiretrovirus yang digolongkan berdasarkan cara kerjanya, yang dapat dilihat pada tabel di bawah ini 15. Tabel 6. HAART (Highly Active Antiretroviral Therapy), golongan dan dosis2 Golongan Obat

Dosis

Nukleoside Reverse Transcriptase Inhibitor (NsRTI) •

Abakavir (ABC)

300mg 2x/hari atau 400mg 1x/hari



Didanosin (ddI)

250mg 1x/hari (bb= 10mm, namun pada pasien dengan HIV positif diameter > 5 mm sudah dapat dinyatakan positif.

v.

Gambaran klinis TB ekstraparu. TB ekstraparu perlu diwaspadai pada odha karena kejadiannya lebih sering dibandingkan pada TB dengan HIV negatif. Diagnosis pasti dari TB ekstraparu sangat kompleks dan sulit terutama di daerah dengan fasilitas yang terbatas. Berdasarkan ISTC, diagnosis TB ekstraparu dapat dilakukan dengan mengambil lesi dan pemeriksaan patologi untuk menemukan BTA dari jaringan apabila memungkinkan. Namun, apabila lesi sulit didapat, diagnosis TB ekstraparu dapat ditegakkan dengan dugaan klinis yang menunjang. Adanya TB ekstraparu pada pasien HIV merupakan tanda bahwa penyakitnya sudah lanjut.

21

vi.

Penggunaan antibiotik pada pasien suspek TB dengan HIV positif. Pemberian antibiotic pada pasien suspek TB paru sebagai alat bantu diagnosis TB paru tidak direkomendasikan lagi karena dapat menyebabkan diagnosis TB terlambat dengan konsekuensi pengobatan juga terlambat sehingga meningkatkan risiko kematian. Penggunaan antibiotik kuinolon sebagai terapi infeksi sekunder pada TB dengan HIV positif harus dihindari sebab golongan antibiotik ini respons terhadap mikobakterium TB sehingga dikhawatirkan menghilangkan gejala sementara. Disamping itu dikhawatirkan timbulnya resistensi, sementara antibiotic golongan kuinolon dicadangkan sebagai OAT lini kedua. Alur pendiagnosisan TB paru pada ODHA yang berobat jalan, secara ringkas digambarkan pada Gambar 3.

Gambar 3. Alur diagnosis TB paru pada ODHA yang berobat jalan18 Keterangan: a. Tanda-tanda bahaya yaitu bila dijumpai salah satu dari tanda- tanda berikut: frekuensi pernapasan 30 kali/menit, demam > 390 C, denyut nadi > 120 kali/menit, tidak dapat berjalan bila tdk dibantu.

22

b. Untuk daerah dengan angka prevalensi HIV pada orang dewasa > 1% atau prevalensi HIV diantara pasien TB > 5%, pasien suspek TB yang belum diketahui status HIV-nya maka perlu ditawarkan untuk tes HIV. Untuk pasien suspek TB yang telah diketahui status HIV-nya maka tidak lagi dilakukan tes HIV. c. Untuk daerah yang tidak tersedia test HIV atau status HIV tidak diketahui (misalnya pasien menolak utk diperiksa) tetapi gejala klinis mendukung kecurigaan HIV positif. d. BTA Positif = sekurang-kurangnya 1 sediaan hasilnya positif; BTA Negatif = bila 3 sediaan hasilnya negatif. e. PPK = Pengobatan Pencegahan dengan Kotrimoksazol. f. Termasuk penentuan stadium klinis (clinical staging), perhitungan CD4 (bila tersedia fasilitas) dan rujukan untuk layanan HIV. g. Pemeriksaan-pemeriksaan dalam kotak tersebut harus dikerjakan secara bersamaan (bila memungkinkan) supaya jumlah kunjungan dapat dikurangkan sehingga mempercepat penegakkan diagnosis. h. Pemberian antibiotik (jangan golongan fluoroquionolones) untuk mengatasi typical & atypical bacteria. i.

PCP = Pneumocystis carinii pneumonia atau dikenal juga Pneumonia Pneumocystis jiroveci

j.

Anjurkan untuk kembali diperiksa bila gejala-gejala timbul lagi.

Tabel 7 menunjukkan perbedaan pada gambaran klinis, hasil sputum dan radiologi antara pasien infeksi HIV dengan TB paru tahap awal dan tahap lanjut 2,17.

Tabel 7. Perbedaan TB paru pada infeksi HIV tahap awal (dini) dan lanjut 2,17

Gambaran TB Paru

Tahap Infeksi HIV Awal (CD4>200/mm3) Akhir

Gambaran klinis

Biasanya

menyerupai

(CD4250/mm3 yang perlu mulai ART.

Prinsip tatalaksana koinfeksi TB-HIV, berdasarkan rekomendasi dalam guidelines WHO18. 1.

Pemberian terapi ARV pada semua pasien HIV dengan TB aktif tanpa melihat nilai CD4.

2.

OAT diberikan terlebih dahulu, diiukuti dengan pemberian terapi ARV sesegera mungkin (dalam 2-8 minggu pemberian OAT)

3.

Efavirenz

(EFV)

merupakan

golongan

NNRTI

yang

direkomendasikan dalam pemberian terapi ARV pada pasien dalam

terapi

OAT.

Efavirenz

direkomendasikan

karena

mempunyai interaksi dengan rifampisin yang lebih ringan dibandingkan Nevirapin. Mengingat terkadang sulit mendiagnosis TB pada HIV, terapi empiris sebaiknya diinisiasi pada HIV dimana dicurigai TB sampai semua hasil pemeriksaan TB (sputum, kultur, dan pemeriksaan lain) lengkap. Setelah didiagnosis atau dicurigai TB aktif, OAT harus diberikan segera. Directly Observed Treatment Short-course (DOTS) direkomendasikan pada semua pasien TB-HIV. Semua pasien yang mendapat INH harus mendapatkan suplementasi piridoksin/vitamin B6 25-50 mg/kgBB/hari untuk mencegah neuropati perifer 18. Tatalaksana TB Ekstra Paru pada pasien HIV 18 I.

Secara Umum -

Pasien Tb ekstraparu regimen 6-9 bulan direkomendasikan.

-

Untuk TB pada Sistem saraf pusat (tuberkuloma atau meningitis) dan TB tulang dan sendi direkomendasikan 9-14 bulan terapi.

II.

TB pada Otak 28

-

Untuk meningitis TB diberikan 2RHZE/7-12RH dan dexamethason untuk mengurangi inflamasi di otak (tidak untuk HIV positif).

-

Indikasi pemberian kortikosteroid untuk meningitis TB : peningkatan tekanan intrakranial, edema serebri, defisit neurologis fokal, hidrosefalus, infark dan adanya meningitis basalis.

-

Bila terdapat putus obat diberikan OAT kategori 2 yakni 2RHZES/7-12RH lalu nilai respon secara klinis

Penanganan Kegagalan Terapi 18 Rekomendasi terapi TB yang resisten terhadap OAT pada pasien HIV sama dengan pasien tanpa HIV Efek Samping, Interaksi Obat dan Penanganannya 2 Tanda Gejala Anoreksia, mual dan nyeri

Penanganan Telan obat setelah makan. Jika paduan obat ART

perut

mengandung AZT, jelaskan kepada pasien bahwa ini biasanya akan hilang sendiri. Atasi keluhan ini simtomatis. Tablet INH dapat diberikan malam

Nyeri sendi Rasa kesemutan

sebelum tidur. Beri analgetik, misalnya aspirin atau parasetamol. Efek ini oleh karena INH diberi bersama ddI atau D4T. Berikan tambahan vitamin B6 (piridoksin) 100mg/hari.

Kencing warna kemerahan Sakit kepala

Jika

tidak

berhasil,

gunakan

amitriptilin atau dirujuk. Jelaskan karena pengaruh obat dan tidak berbahaya. Beri analgetik, periksa tanda meningitis. Bila terdapat pengobatan ZDV atau EFV jelaskan bahwa hal ini biasa terjadi dan akan hilang, jika >2

Diare

mg, rujuk. Beri oralit dan tatalaksana untuk diare, yakinkan kalau karena obat, akan membaik dalam bbrp

Kelelahan

minggu. Pikirkan anemia, terutama oleh karena ZDV. Periksa HB, kelelahan biasa terjadi 4-6 minggu setelah penggunaan ZDV, jika > 4-6 minggu dirujuk.

29

Tegang, mimpi buruk

Mungkin disebabkan oleh EFV, lakukan konseling dan dukungan, dapat hilang < 3 minggu. Rujuk pasien apabila ada gangguan mood atau psikosis, masa sulit awal atasi dengan amitriptilin pada

Kuku kebiruan/kehitaman Perubahan dalam distribusi

malam hari. Yakinkan pasien sebagai akibat pengobatan ZDV. Diskusikan dengan pasien, sebagai efek samping

lemak Gatal atau kemerahan pada

D4T. Jika menyeluruh atau mengelupas, stop obat TB

kulit

dan ART, rujuk pasien. Jika dalam pengobatan NVP periksa dan teliti : apakah lesinya kering (kemungkinan alergi) atau basah (kemungkinan

Gangguan

pendengaran

steven Johnson syndrome ), minta pendapat ahli. Hentikan streptomisin, rujuk ke unit DOTS.

atau keseimbangan Ikterus

Lakukan pemeriksaan fungsi hati, hentikan OAT

Ikterus dan nyeri perut

dan ART, minta pendapat ahli. Hentikan OAT dan ART, periksa fungsi hati, nyeri perut

dapat

dikarenakan

pankreatitis

yang

disebabkan oleh ddI atau D4T. Periksa penyebab muntah, lakukan pemeriksaan

Muntah berulang

fungsi hati, jika terjadi hepatotoksik hentikan OAT dan ART, rujuk pasien. Hentikan EMB, minta pendapat ahli/rujuk. Periksa penyebab demam dapat disebabkan oleh

Penglihatan berkurang Demam

efek samping obat, infeksi oportunistik, infeksi baru atau IRIS, beri parasetamol dan minta pendapat ahli. Ukur kadar HB singkirkan infeksi oportunistik,

Pucat,anemia Batuk

atau

bernafas Limfadenopati

kesulitan

pasien dirujuk dan stop ZDV/diganti D4T. Kemungkinan IRIS atau infeksi oportunistik, minta pendapat ahli. Kemungkinan IRIS atau infeksi oportunistik, minta pendapat ahli.

30

III. KESIMPULAN Tuberkulosis (TB) merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting di dunia, maupun di Indonesia. Munculnya pandemi HIV/ AIDS menambah permasalahan TB. HIV merupakan faktor risiko paling kuat bagi yang terinfeksi TB menjadi sakit TB. Sedangkan TB juga meningkatkan morbiditas dan mortalitas pada pasien pengidap HIV. Kombinasi TB dengan HIV/AIDS merupakan kombinasi yang mematikan. TB pada pasien dengan HIV mempunyai gejala dan gambaran klinis yang berbeda dengan orang tanpa terinfeksi HIV. Maka diagnosis yang tepat sangat diperlukan. Penatalaksanaan pasien TB dengan HIV/AIDS pada dasarnya sama dengan pasien TB tanpa HIV/ AIDS, namun harus memperhatikan beberapa faktor, di antaranya reaksi obat (alergi, efek samping dan interaksi) OAT maupun ARV.

31

IV. DAFTAR PUSTAKA 1. World Health Organization. Global Tuberculosis control 2012: epidemiology, strategy, 2. 3. 4. 5. 6.

7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14.

15.

16. 17. 18.

financing. WHO/HTM/TB/2012.6. Geneva, Switzerland: WHO; 2012. Isbaniyah, F. dkk. Tuberkulosis: Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta: PDPI; 2011. Aditama, T.Y, dkk. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Jakarta: Depkes RI; 2011. Djoerban, Z. Samsuridjal, D. HIV/ AIDS di Indonesia, dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: FKUI; 2009. Bhatia, R.S.. HIV and Tuberculosis: The Ominous Connection. IJCP. 2001; 2 (4): 256-9. KEMENTERIAN KESEHATAN RI (2011). Rencana Aksi Nasional TB-HIV Pengendalian Tuberkulosis 2011–2014. Jakarta: Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan; 2011. Hudoyo, A. dkk. Diagnosis TB-Paru pada Pasien dengan HIV/ AIDS. 2008; JTI 4(2): 1-5. Djojodibroto, D. Respirologi (Respiratory Medicine). Jakarta: EGC; 2009. Crofton, J., Horne, N., Miller, F. Tuberkulosis Klinis 2nd ed. Jakarta: Widya Medika; 2002. Misnadiarly. Pemeriksaan Laboratorium Tuberkulosis dan Mikobakterium Atipik. Jakarta: Dian Rakyat; 2006. Alsagaff, H. Abdul M. Dasar-Dasar Ilmu Penyakit Paru. Surabaya: Airlangga University Press; 2009. Hasan, H. Tuberkulosis Paru, dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru. Surabaya: Airlangga University Press; 2010 Amin, Z. Asril B. Tuberkulosis Paru, dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: FKUI; 2009. Simbolon, E. Pola Kelainan Kulit pada Pasien HIV/AIDS di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan. Universitas Sumatra Utara; 2011. Diakses dari: http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/21448. Lan, V.M. Virus Imunodefisiensi Manusia (HIV) dan Sindrom Imunodefisiensi Didapat (AIDS). Dalam: Hartanto,H. (eds). Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Vol I. Ed.6. Jakarta:EGC; 2006. p. 224-245. Murtiastutik, D. AIDS. Dalam: Barakbah, J. (eds). Buku Ajar Infeksi Menular Seksual. Ed.2. Surabaya: Airlangga University Press; 2008.p. 211-220. WHO. TB/ HIV: A Clinical Manual; 2004. Diakses dari: whqlibdoc.who.int/publications/2004/9241546344.pdf. Syam, A.F. dkk. Tatalaksana HIV/AIDS : Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran. Jakarta: Kemenkes RI Konsorsium Upaya Kesehatan; 2011.

32

View more...

Comments

Copyright ©2017 KUPDF Inc.
SUPPORT KUPDF