REFERAT-spondilolistesis
June 21, 2019 | Author: putraaditya30 | Category: N/A
Short Description
radiologi ileus...
Description
REFRAT GAMBARAN RADIOLOGI SPONDILOLISTESIS
Pembimbing : Dr.Hj. Nurwita A, Sp.Rad,MHKes Oleh: Putra Aditya 09310131
KEPANITERAAN KEPANITERAAN KLINIK FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MALAHAYATI BANDAR LAMPUNG BAGIAN ILMU KEDOKTERAN RADIOLOGI RSUD SOEKARDJO TASIKMALAYA 2014
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Spondilolistesis adalah subluksasi ke depan dari satu korpus vertebrata terhadap korpus vertebrata lain dibawahnya . Hal ini terjadi karen adanya defek antara sendi pacet superior dan inferior (pars interartikularis).
Spondilolis
adalah
adanya
defek
pada
pars
interartikularis tanpa subluksasi korpus vertebrata . (Japardi, 2002)
Spondilolis dan spondilolistesis terjadi pada 5% dari populasi. Kebanyakan penderita tidak menunjukkan gejala atau gejalanya hanya minimal, dan sebagian besar kasus dengan tindakan konservatif memberikan hasil yang baik. Spondilolistesis dapat terjadi pada semua level vertebrata, tapi yang paling sering terjadi pada vertebrata lumbal bagian bawah. (Japardi, 2002) Spondilolistesis
berasal
dari
bahasa
Yunani,
yakni
spondylo
(vertebrata) dan olisthesis (slip), jadi secara harfiah berarti vertebrata yang bergeser . Deskripsi kelainan ini pertama kali ditulis pada tahun 1782 oleh
Herbiniaux seorang ahli obstetri dari Belgia, yang mencatat suatu keadaan dislokasi lumbal kedepan terhadap sakrum yang menghambat proses
persalinan. Kilian (1854) menggunakan istilah spondilolistesis untuk keadaan diatas (pergeseran vertebrata lumbal terhadap sakrum diatas ). Klasifikasi spondilolistesis pertama dibuat oleh Newman (1963) dan disempurnakan tahun 1976 menjadi Wiltse – Newman – MacNab classification, yang terdiri dari: Dysplastic, Isthmic, Degenerative, Traumatic dan Patological. (Japardi, 2002) Gejalanya berupa nyeri pinggang yang semakin hebat bila berdiri,
berjalan atau berlari, dan berkurang bila beristirahat. Biasanya otot biceps
femur,semitrendinosus, semimembranosis dan grasilis tegang sehingga ekstensi
tungkai
terbatas. Foto rontgen memberikan
gambaran yang
jelas menunjukkan kelainan vertebra. Kelainan ini mngkin tidak bergejala sehingga perlu pemeriksaan klinis dan radiologis berkala. Adanya pergeseran yang progresif. Adanya pergeseran yang progresif merupakan indikasi untuk melakukan stabilisasi. Nyeri pinggang yang ringan biasanya dapat diatasi dengan pemakaian alat penguat lumbosacral . (Joong, 2004)
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
I.
Definisi Spondilolistesis vertebra
dalam
merupakan
pergeseran
kedepan
hubungannya dengan sacrum,
atau
korpus kadang
dihubungan dengan vertebra lain . Kelainan terjadi akibat hilangnya kontinuitas-pars intervertebralis sehingga menjadi kurang kuat untuk menahan pergeseran tulang berakang . (Joong, 2004)
II.
Epidemiologi Spondilolistesis mengenai 5-6% populasi pria, dan 2-3% wanita. Karena gejala yang diakibatkan olehnya bervariasi, kelainan tersebut sering ditandai dengan nyeri pada bagian belakang (low back pain), nyeri pada paha dan tungkai . (www.emedicine.com) Spondilolisthesis degeneratif memiliki frekuensi tersering karena
secara umum populasi pastinya akan mengalami penuaan. Paling sering melibatkan level L4-L5. Sampai 5,8% pria dan 9,1% wanita memiliki listhesis tipe ini. (Joong, 2004)
III.
Etiopatofisiologi Etiologi spondilolistesis sampai saat ini belum diketahui dengan pasti. Konsep umum masih terfokus pada faktor predisposisi yakni konginetal dan trauma. (Japardi, 2002) Penyebab dari sindrom ini adalah malformasi persimpangan lumbosakral (kecil bagian belakang dan bagian belakang panggul )
yang kecil, sendi facet tidak kompeten , yang dapat bersifat kongenital (bawaan), disebut sebagai spondilolisthesis displastik , atau mungkin
terjadi selama masa remaja karena patah tulang atau cedera atau Trauma pada salah satu tulang-tulang belakang dari kegiatan olahraga terkait
seperti angkat berat, berlari, berenang, atau sepak bola yang menyebabkan seseorang memiliki spondilolisthesis isthmic. (Joong. 2004) Ada lima jenis utama dari Spondilolisthesis dikategorikan oleh sistem klasifikasi Wiltse: 1. Dysplastic
Dijumpai kelainan kongenital pada sacrum bagian atas atau neral arch L5. Permukaan sakrum superior biasanya bulat (rounded) dan kadang disertai dengan spina bifida. 2. Isthmic atau spondilolitik
Tipe
ini
disebabkan
oleh
karena
adanya
lesi
pada
pars
interartikularis. Tipe ini merupakan tipe spondilolistesis yang paling sering. Tipe ini mempunyai tiga sub: - Lytic: ditemukan pemisahan (separation) dari pars, terjadi karena
fatique fracture dan paling sering ditemukan pada usia dibawah 50 tahun -
Elongated pars interarticularis : terjadi oleh karena mikro
fraktur dan tanpa pemisahan pars - Acute pars fracture : terjadi setelah suatu trauma yang hebat. 3. Degenerative
Secara patologis dijumpai proses degenerasi. Lebih sering terjadi pada level L4-L5 dari pada L5-S1. Ditemukan pada usia sesudah 40 tahun. Pada wanita terjadi empat kali lebih sering dibandingkan pria.
Pada kulit hitam terjadi tiga kali lebih sering dibandingkan kulit putih. 4. Traumatic
Tipe ini terjadinya bersifat skunder terhadap suatu proses trauma pada vertebrata yang menyebabkan fraktur pada sebagian pars interartikularis. Tipe ini terjadi sesudah periode satu minggu atau
lebih dari trauma. Acute pars fracture tidak termasuk tipe ini. 5. Pathologis
Jenis terakhir Spondilolisthesis, yang juga yang paling langka, disebut spondilolisthesis patologis. Jenis Spondilolisthesis terjadi
karena kerusakan pada elemen posterior dari metastasis (kanker sel-sel yang menyebar ke bagian lain dari tubuh dan menyebabkan tumor) atau penyakit tulang metabolik. Jenis ini telah dilaporkan dalam kasus-kasus penyakit Paget tulang ( dinamai Sir James Paget , seorang ahli bedah Inggris yang menggambarkan gangguan kronis yang biasanya menghasilkan tulang membesar dan cacat), tuberkulosis (penyakit menular mematikan yang biasanya menyerang paru-paru tetapi dapat menyebar ke bagian lain dari tubuh), tumor sel raksasa , dan metastasis tumor.
Diagnosis yang tepat dan identifikasi jenis atau kategori Spondilolisthesis adalah penting untuk memahami serta keparahan dari pergeseran yang terbagi menjadi 5 kelas sebelum pengobatan yang tepat untuk kondisi tersebut dapat disarankan .
(www.spondylolisthesis.org )
IV.
Gejala klinis Presentasi klinis dapat bermacam-macam, tergantung pada jenis pergeseran dan usia pasien. Selama tahun-tahun awal kehidupan,
presentasi klinis dapat berupa nyeri punggung bawah ringan yang sesekali dirasakan pada panggul dan paha posterior, terutama saat beraktivitas. Gejala jarang berkorelasi meskipun
mereka
disebabkan
dengan tingkat pergeseran,
ketidakstabilan
segmental.
Tanda
neurologis seringkali berkorelasi dengan tingkat selip dan melibatkan motorik , sensorik , dan perubahan refleks yang sesuai untuk pelampiasan
akar saraf (biasanya S1). (Syaiful, 2008)
Gejala yang paling umum dari spondylolisthesis adalah :
1. Nyeri punggung bawah. Hal ini sering lebih memberat dengan latihan terutama dengan ekstensi tulang belakang lumbal. 2. Beberapa pasien dapat mengeluhkan nyeri, mati rasa, kesemutan, atau kelemahan pada kaki karena kompresi saraf . Kompresi parah
dari saraf dapat menyebabkan hilangnya kontrol dari usus atau fungsi kandung kemih. 3. Keketatan dari paha belakang dan penurunan jangkauan gerak dari punggung bawah.
Pasien dengan spondilolistesis degeneratif biasanya lebih tua dan datang dengan nyeri punggung, radikulopati, klaudikasio neurogenik, atau kombinasi dari gejala-gejala tersebut. Pergeseran yang paling umum adalah di L4-5 dan kurang umum di L3-4. Gejala-gejala
radikuler sering hasil dari stenosis recessus lateral dari facet dan ligamen hipertrofi dan/ atau disk herniasi. Akar saraf L5 dipengaruhi paling sering dan menyebabkan kelemahan ekstensor halusis longus. Stenosis pusat dan klaudikasio neurogenik bersamaan mungkin atau mungkin tidak ada.
V.
Diagnosis Diagnosis ditegakkan dengan gambaran klinis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan radiologis. a. Gambaran kl in is
Nyeri punggung (back pain) pada regio yang terkena merupakan gejala khas. Umumnya nyeri yang timbul berhubungan dengan aktivitas. Aktivitas membuat nyeri makin bertambah buruk dan istirahat akan dapat menguranginya. Spasme otot dan kekakuan dalam pergerakan tulang belakang merupakan ciri spesifik. Gejala neurologis seperti nyeri pada bokong dan otot hamstring tidak sering terjadi kecuali jika terdapatnya bukti adanya subluksasi
vertebra. Keadaan umum pasien biasanya baik dan masalah tulang belakang umumnya tidak berhubungan dengan penyakit atau kondisi lainnya. b. Pemer iksaan fisik
Postur pasien biasanya normal, bilamana subluksasio yang terjadi bersifat ringan. Dengan subluksasi berat, terdapat gangguan bentuk postur. Pergerakan tulang belakang berkurang karena nyeri dan terdapatnya spasme otot. Penyangga badan kadang-kadang memberikan rasa nyeri pada pasien, dan nyeri umumnya terletak pada bagian dimana terdapatnya pergeseran/keretakan, kadang nyeri tampak pada beberapa segmen distal dari level/tingkat dimana lesi mulai timbul. Ketika pasien diletakkan pada posisi telungkup (prone) di atas
meja pemeriksaan, perasaan tidak nyaman atau nyeri dapat diidentifikasi ketika palpasi dilakukan secara langsung diatas defek pada tulang belakang. Nyeri dan kekakuan otot adalah hal yang sering dijumpai. Pada
banyak pasien, lokalisasi nyeri disekitar defek dapat sangat mudah diketahui bila pasien diletakkan pada posisi lateral dan meletakkan kaki mereka keatas seperti posisi fetus (fetal position). Defek dapat diketahui pada posisi tersebut. Fleksi tulang belakang seperti itu membuat massa otot paraspinal lebih tipis pada posisi tersebut. Pada beberapa pasien, palpasi pada defek tersebut kadang-kadang sulit atau tidak mungkin dilakukan. Pemeriksaan neurologis terhadap pasien dengan spondilolistesis biasanya negatif. Fungsi berkemih dan defekasi biasanya normal, terkecuali pada pasien dengan sindrom cauda equina yang berhubungan dengan lesi derajat tinggi.
c. Pemer ik saan r adiologis
Foto polos vertebra lumbal merupakan modalitas pemeriksaan
awal dalam diagnosis spondilosis atau spondilolistesis. X ray pada pasien dengan spondilolistesis harus dilakukan pada posisi tegak/berdiri. Film posisi AP, Lateral dan oblique adalah modalitas standar dan posisi lateral persendian lumbosacral akan melengkapkan pemeriksaan
radiologis. Posisi lateral pada lumbosacral joints , membuat pasien berada
dalam posisi fetal, membantu dalam mengidentifikasi defek pada pars interartikularis, karena defek lebih terbuka pada posisi tersebut dibandingkan bila pasien berada dalam posisi berdiri. Pada beberapa kasus tertentu studi pencitraan seperti Bone scan atau CT scan dibutuhkan untuk menegakkan diagnosis. Pasien dengan defek pada pars interartikularis sangat mudah terlihat dengan CT scan. Bone scan ( SPECT scan) bermanfaat dalam diagnosis awal
reaksi stress/tekanan pada defek pars interartikularis yang tidak terlihat baik dengan foto polos.
Scan positif menunjukkan bahwa proses penyembuhan tulang telah dimulai, akan tetapi tidak mengindikasikan bahwa penyembuhan yang definitif akan terjadi. CT scan dapat menggambarkan abnormalitas pada tulang dengan baik, akan tetapi MRI sekarang lebih sering digunakan karena selain dapat mengidentifikasi tulang juga dapat mengidentifikasi jaringan lunak (diskus, kanal, dan anatomi serabut saraf)
lebih baik
dibandingkan dengan foto polos. Xylography umumnya dilakukan pada pasien dengan spondilolistesis derajat tinggi .
Spondilolistesis
dibagi
berdasarkan
derajatnya
berdasarkan
persentase pergeseran vertebra dibandingkan dengan vertebra di dekatnya, yaitu:
1. Derajat I: pergeseran kurang dari 25% 2. Derajat II diantara 26-50% 3. Derajat III diantara 51-75% 4. Derajat IV diantara 76-100% 5. Derajat V, atau spondiloptosis terjadi ketika vertebra telah terlepas dari tempatnya.
( www.emedicine.medscape.com )
Gambar 1. Pengukuran Derajat Spondilolisthesis
Gambar 2. Spondilolisthesis Grade I
Gambar 3. Spondilolisthesis Traumatik Grade IV.
VI.
Pemeriksaan penunjang Berikut
adalah
pemeriksaan-pemeriksaan
yang
menunjang
diagnosis spondilolisthesis: a. X-ray Pemeriksaan awal untuk spondilolistesis yaitu foto AP, lateral, dan spot view radiograffi dari lumbal dan lumbosacral junction. Foto oblik dapat memberikan informasi tambahan, namun tidak rutin dilakukan. Foto lumbal dapat memberikan gambaran dan derajat spondilolistesis tetapi tidak selalu membuktikan adanya isolated spondilolistesis.
b. SPECT SPECT dapat membantu dalam pengobatan. Jika SPECT positif maka lesi tersebut aktif secra metabolik.
c. Computed tomography (CT) scan CT scan dengan potongan 1 mm, koronal ataupun sagital, dapat memeberikan gambaran yang lebih baik dari spondilolistesis. CT scan juga dapat membantu menegakkan penyebab spondilolistesis yang lebih serius.
d. Magnetic resonance imaging (MRI) MRI dapat memperlihatkan adanya edema pada lesi yang akut. MRI juga dapat menentukan adanya kompresi saraf spinal akibat stenosis dadri kanalis sentralis.
e. EMG EMG
dapat
mengidentifikasi
radikulopati
lainnya
atau
poliradikulopati (stenosis), yang dapat timbul pada spondilolistesis.
VII.
Penatalaksanaan A. Non operative Pengobatan
untuk
spondilolistesis
umumnya
konservative.
Pengobatan non operative diindikasikan untuk semua pasien tanpa defisit neurologis atau defisit neurologis yang stabil. Hal ini dapat merupakan pengurangan berat badan, stretching exercise, pemakaian brace, pemakain obat anti inflamasi. Hal terpenting dalam manajemen pengobatan spondilolistesis adalah motivasi pasien. (Japardi, 2002) Terapi konservatif ditujukan untuk mengurangi gejala dan juga termasuk:
Modifikasi aktivitas, bedrest selama eksaserbasi akut berat.
Analgetik (misalnya NSAIDs).
Latihan dan terapi penguatan dan peregangan.
Bracing
Angka keberhasilan terapi non-operatif sangat besar, terutama pada pasien muda. Pada pasien yang lebih tua dengan pergesera n ringan (low grade slip) yang diakibatkan oleh degenerasi diskus, traksi dapat digunakan dengan beberapa tingkat keberhasilan.
B. Operative Pasien dengan defisit neurologis atau pain yang mengganggu aktifitas, yang gagal dengan non operative manajemen diindikasikan untuk operasi. Bila radiologis tidak stabil atau terjadi progresivitas slip dengan serial x-ray disarankan untuk operasi stabilisasi. Jika progresivitas slip menjadi lebih 50% atau jika slip 50% pada waktu diagnosis, ini indikasi untuk fusi. Pada high grade spondilolistesis walaupun tanpa gejala fusi harus dilakukan. Dekompresi tanpa fusi adalah logis pada pasien dengan simptom oleh karena neural kompresi. Bila manajemen operative dilakukan pada adolescent, dewasa muda maka fusi harus dilakukan karena akan terjadi peningkatan slip yang bermakna bila dilakukan operasi tanpa fusi. Jadi indikasi fusi antara lain: usia muda, progresivitas slip lebih besar 25%, pekerja yang sangat aktif, pergeseran 3mm pada fleksi/ekstensi lateral x-ray. Fusi tidak dilakukan bila multi level disease, motivasi rendah, aktivitas rendah, osteoporosis, habitual tobacco abuse. Pada habitual tobacco abuse angka kesuksesan fusi menurun. Brown dkk mencatat pseudoarthrosis (surgical non union) rate 40% pada perokok dan 8% pada tidak perokok. Fusi insitu dapat dilakukan dengan beberapa approach: 1. anterior approach 2. posterior approach (yang paling sering dilakukan) 3. posterior lateral approach (Japardi, 2002)
VIII.
Komplikasi Progresifitas dari pergeseran dengan peningkatan tekanan ataupun penarikan (traction) pada saraf spinal, bisa menyebabkan komplikasi. Pada pasien yang membutuhkan penanganan dengan pembedahan untuk menstabilkan spondilolistesis, dapat terjadi komplikasi seperti nerve root
injury (50%). Pasien yang berusia lebih muda memiliki resiko yang lebih tinggi untuk menderita spondilolistesis isthmic atau congenital yang lebih progresif. Radiografi serial dengan posisi lateral harus dilakukan setiap 6 bulan untuk mengetahui perkembangan pasien ini. (Japardi, 2002)
IX.
Prognosis Pasien dengan fraktur akut dan pergeseran tulang yang minimal kemungkinan akan kembali normal apabila fraktur tersebut membaik. Pasien dengan perubahan vertebra yang progresif dan degenerative kemungkinan akan mengalami gejala yang sifatnya intermiten. Resiko untuk terjadinya spondilolistesis degenerative meningkat seiring dengan bertambahnya usia, dan pergeseran vertebra yang progresif terjadi pada 30% pasien. Bila pergeseran vertebra semakin progresif, foramen neural akan semakin dekat dan menyebabkan penekanan pada saraf (nerve compression) atau sciatica hal ini akan membutuhkan pembedahan dekompresi. (Japardi, 2002)
DAFTAR PUSTAKA
Vookshor
A.
2007.
Spondilolisthesis,
spondilosis
and
spondylisis.
www.eMedicine.com diakses pada 18 Desember 2013.
http://www.spondylolisthesis.org diakses pada 18 Desember 2013
Syaanin, Syaiful. 2008. Neurosurgery of Spondylolisthesis. Padang: RSUP. Dr. M. Djamil/FK-UNAND Padang.
Irani,Z. Spondylolisthesis Imaging http://emedicine.medscape.com/article/396016overview#showall diakses pada 18 Desember 2013
Japardi, I. 2002. Spondilolistesis. Dalam USU digital Library. Fakultas Kedokteran, Bagian Bedah, Universitas Sumatera Utara
View more...
Comments