Referat Spinal Cord Injury
May 31, 2016 | Author: kriswanti | Category: N/A
Short Description
sci...
Description
REFERAT
Aspek Rehabilitasi Cedera Medulla Spinalis Setinggi Thorakal 6
1
DAFTAR ISI
BAB I. Pendahuluan..............................................................................................4 BAB II. Tinjauan Pustaka......................................................................................5 Definisi...........................................................................................5 Klasifikasi.......................................................................................5 Migren…………………………………………….6 Nyeri kepala tegang (Tension headache)………… 7 Cluster headache………………………………….9 Epidemiologi..................................................................................11 Faktor pencetus..............................................................................11 Patofisiologi...................................................................................12 Struktur kepala yang peka nyeri…………………………………12 Pemeriksaan...................................................................................13 Manifestasi klinis...........................................................................14 Penatalaksanaan.............................................................................16 Prognosis........................................................................................18 BAB III. Kesimpulan.............................................................................................19
Daftar Pustaka........................................................................................................20
2
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Spinal Cord Injury adalah suatu disfungsi dari medulla spinalis yang mempengaruhi fungsi sensoris dan motoris, sehingga menyebabkan kerusakan pada traktus sensori motor dan percabangan saraf-saraf perifer dari medulla spinalis. Cedera medulla spinalis merupakan kerusakan medulla spinalis akibat dari trauma dan non trauma (infeksi bakteri atau virus) yang dapat menyebabkan terjadinya gangguan sensoris, motoris, vegetative (bladder dan bowel).1 Cedera pada medulla spinalis setinggi torakal 6 ke bawah dapat menyebabkan paraplegia ataupun paraparesis. Paraplegia adalah gangguan atau hilangnya fungsi motorik dan atau sensorik, karena kerusakan pada segmen torako-lumbal-sakral. Salah satu akibat yang akan terjadi adalah kelumpuhan otototot anggota gerak bawah. Kondisi paraplegi berdampak besar terhadap kemampuan seseorang untuk melakukan aktivitas sehari-hari yang sangat terbatas. Suatu hal yang sangat penting untuk dilakukan pada penderita paraplegi adalah memaksimalkan anggota gerak tubuhnya yang berpotensial terutama pada bagian atas. Hal ini merupakan tujuan dasar bagi penderita untuk memulai aktivitasnya sehari-hari.1 Rehabilitasi medik adalah suatu proses pemulihan dan pengembangan bagi penyandang cacat agar dapat melaksanakan fungsinya secara wajar. Hasil
3
yang di harapkan pada penderita cedera medula spinalis adalah mencapai penampilan fungsional semaksimal mungkin sesuai dengan sisa-sisa kemampuan yang
masih ada untuk meningkatkan kualitas hidup pasien, dan mencegah
komplikasi. 2 Pada kondisi penderita spinal cord injury, fisioterapi jelas sangat diperlukan untuk memberikan latihan-latihan, edukasi, baik kepada pasien maupun keluarganya untuk membantu pasien dalam mengatasi gangguan gerak dan fungsi yang diakibatkan spinal cord injury tersebut. Penanganan fisioterapi yang dapat diberikan pada penderita paraplegi akibat spinal cord injury yaitu penanganan yang bertujuan utama untuk meningkatkan aktivitas fungsional sehari-hari.2
4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi Medulla Spinalis
Gambar 1. Anatomi Medula spinalis3
5
Medulla Spinalis merupakan bagian dari susunan saraf pusat. Terbentang dari foramen magnum sampai dengan konus medullaris di L1. Medulla spinalis berlanjut menjadi kauda equina yang lebih tahan terhadap cedera. Medula spinalis terletak di kanalis vertebralis, dan dibungkus oleh tiga meningen yaitu duramater, arakhnoid dan piamater. Saraf Spinal dilindungi oleh tulang vertebra, ligamen, meningen spinal dan juga cairan LCS (liquor cerebro spinal). LCS mengelilingi medulla spinalis di dalam ruang subarachnoid. Dibawah medulla spinalis menipis menjadi konus medularis dari ujungnya yang merupakan lanjutan piamater, yaitu fillum terminale yang berjalan kebawah dan melekat dibagian belakang os coccygea. Akar saraf lumbal dan sakral terkumpul yang disebut dengan Cauda Equina. Setiap pasangan saraf keluar melalui foramen intervertebral.4-6
Gambar 2. Cauda Equina4
Medulla spinalis terdiri atas traktus asenden (yang membawa informasi di tubuh menuju ke otak seperti rangsang raba, suhu, nyeri, dan gerak posisi)
6
dan traktus desenden (yang membawa informasi dari otak ke anggota gerak dan mengontrol fungsi tubuh).7 Medulla spinalis diperdarahi oleh 2 susunan arteri yang mempunyai hubungan istimewa yaitu arteri spinalis dan arteri radikularis. Arteri spinalis dibagi menjadi arteri spinalis anterior dan posterior yang berasal dari arteri vertebralis, sedangkan arteri radikularis dibagi menjadi arteri radikularis posterior dan anterior yang dikenal juga ramus vertebra medularis arteria interkostalis. 7 Nervus spinalis/akar nervus yang berasal dari medulla spinalis melewati suatu lubang di vertebra yang disebut foramen dan membawa informasi dari medulla spinalis sampai ke bagian tubuh dan dari tubuh ke otak. Nervus spinalis berjumlah 31 pasang. 7 Dermatom Dermatom merupakan area kutaneus dimana terdapat persarafan sensorik dari salah satu saraf spinal tertentu. Bagian dari kulit pada dermatom menunjukkan pengaturan segmental dari saraf spinal dan persarafannya. Dermatom-dermatom nyeri lebih sempit dan kurang tumpang tindih satu sama lain dibandingkan dengan dermatom sentuhan. Lesi pada suatu level dari medulla spinalis dapat menyebabkan gangguan sensoris yang lebih mudah diketahui dengan tes tusuk (pinprick testing) daripada dengan sentuhan ringan (light touch).
7
Gambar 3. Dermatom3
2.2 Fisiologi Sistem Saraf Sistem motorik berhubungan dengan sistem neuromuskular, terdiri atas upper motor
neurons (UMN) dan lower motor neurons (LMN). Upper motor
neurons (UMN) merupakan kumpulan-kumpulan menyalurkan impuls dan area motorik di korteks
saraf motorik
motorik sampai
yang inti-inti
motorik di saraf kranial di batang otak atau kornu anterior medulla spinalis.
8
Berdasarkan perbedaan anatomik dan fisiologik, kelompok UMN dibagi dalam susunan piramidal dan susunan ekstrapiramidal. Susunan piramidal terdiri dari traktus kortikospinal dan traktus kortikobulbar. Melalui LMN, yang merupakan kumpulan saraf
motorik yang berasal dari batang otak, pesan
tersebut dari otak dilanjutkan ke berbagai otot dalam tubuh seseorang. Kedua saraf motorik tersebut mempunyai peranan penting di dalam
sistem
neuromuskular tubuh. Sistem ini yang memungkinkan tubuh kita untuk bergerak secara terencana dan terukur. 2.2.1. Upper Motor Neuron Traktus kortikospinalis berfungsi menyalurkan impuls motorik pada sel-sel motorik batang otak dan medulla spinalis untuk gerakan-gerakan otot kepala dan leher. Traktus kortikobulbar membentuk traktus piramidalis, mempersarafi sel-sel motorik batang otak
secara bilateral, kecuali nervus VII &
XII, berfungsi untuk menyalurkan impuls motorik untuk gerak otot tangkas. Dalam klinik, gangguan traktus piramidalis memberikan tipe UMN berupa parese/paralisis spastis disertai dengan tonus meninggi, hiperrefleksi, klonus, refleks patologis positif, tidak ada atrofi. Kelainan traktus piramidalis setinggi: Hemisfer: memberikan gejala-gejala hemiparesi tipika Setinggi batang otak: hemiparese alternans Setinggi medulla spinalis: tetra/paraparese
Susunan ekstrapiramidal dengan formasio retikularis: Pusat eksitasi/fasilitasi: mempermudah pengantaran impuls ke korteks maupun ke motor neuron. 9
Pusat inhibisi: menghambat aliran impuls ke korteks/motor neuron. Pusat kesadaran Susunan ekstrapiramidal berfungsi untuk gerak otot dasar/gerak otot
tonik, pembagian tonus secara harmonis, mengendalikan aktivitas piramidal. Gangguan pada susunan ekstrapiramidal: Kekakuan/rigiditas Pergerakan-pergerakan involunter: tremor, atetose, khorea, balismus 2.2.2 Lower Motor Neuron Merupakan neuron yang langsung berhubungan dengan otot, dapat dijumpai pada batang otak dan kornu anterior medulla spinalis. Gangguan pada LMN memberikan kelumpuhan tipe LMN, yaitu parese yang sifatnya flaksid, arefleksi, tidak ada refleks patologis, atrofi cepat terjadi. 2.2.3 Susunan Somestesia Perasaan yang dirasakan oleh bagian tubuh baik dari kulit, jaringan ikat, tulang, maupun otot dikenal sebagai somestesia. Terdiri: Perasaan eksteroseptif dalam bentuk rasa nyeri, rasa suhu, dan rasa
raba Perasaan proprioseptif: disadari sebagai rasa nyeri dalam rasa getar,
rasa tekan, rasa gerak, dan rasa sikap Perasaan luhur: diskriminatif dan dimensional
Menentukan tinggi lesi medulla spinalis berdasarkan:
Gangguan
motorik:
timbul
kelumpuhan
yang
sifatnya
paraparese/tetraparese. - Paraparese UMN: lesi supranuklear terhadap segmen medula -
spinalis lumbosakral (L2-S2) Paraparese LMN: lesi setinggi segmen medula spinalis L2-S2 atau
-
lesi infranuklear Tetraparese UMN: lesi supranuklear terhadap segmen medula
-
spinalis servikal IV Tetraparese: ekstremitas superior LMN, ekstremitas inferior UMN. 10
Gangguan sensibilitas - Gangguan sensibilitas segmental: Lipatan paha: lesi medulla spinalis L1 Pusar: lesi medulla spinalis torakal 10 Papilla mammae: lesi medulla spinalis torakal 4 Saddle anesthesia: lesi pada konus - Gangguan sensibilitas radikuler: Gangguan sensibilitas sesuai dengan radiks posterior - Gangguan sensibilitas perifer: glove/stocking anesthesia Gangguan susunan saraf otonom - Produksi keringat - Bladder: berupa inkontinensia urin atau uninhibited bladder. Autonomic bladder/ spastic bladder lesi medulla spinalis supranuklear terhadap segmen sakral Flaccid bladder/overflow incontinence lesi pada sakral medulla spinalis
2.3 Definisi dan Klasifikasi Cedera Medula Spinalis Cedera medulla spinalis adalah suatu kerusakan pada medulla spinalis akibat trauma atau non trauma yang akan menimbulkan gangguan pada sistem motorik, sistem sensorik dan vegetatif. Kelainan motorik yang timbul berupa kelumpuhan atau gangguan gerak dan fungsi otot-otot, gangguan sensorik berupa hilangnya sensasi pada area tertentu sesuai dengan area yang dipersarafi oleh level vertebra yang terkena, serta gangguan sistem vegetatif berupa gangguan pada fungsi bladder, bowel dan juga adanya gangguan fungsi seksual.4 Parese adalah kelemahan parsial yang ringan/tidak lengkap atau suatu kondisi yang ditandai oleh hilangnya sebagian gerakan atau gerakan terganggu. Plegia adalah kelemahan berat/kelumpuhan sebagai akibat kerusakan sistem saraf. 4
11
Plegia pada anggota gerak dibagi menjadi 4 macam, yaitu: 4
Monoplegia: paralisis/kelemahan berat pada satu ekstremitas atas atau
ekstremitas bawah. Paraplegia: paralisis/kelemahan berat pada kedua ekstremitas bawah Hemiplegia: paralisis/kelemahan berat pada satu sisi tubuh yaitu satu
ekstremitas atas dan satu ekstremitas bawah pada sisi yang sama. Tetraplegia: paralisis/kelemahan berat pada keempat ekstremitas. Paraplegia inferior adalah paralisis bagian bawah tubuh termasuk tungkai. 4 Paraplegi terbagi menajdi tipe spastik (UMN) dan flaksid (LMN).
Paraplegi spastik adalah kekakuan otot dan kejang otot disebabkan oleh kondisi saraf tertentu. Paraplegi flaksid adalah kelemahan atau kurangnya otot yang tidak memiliki penyebab yang jelas. Otot lemas sebagian karena kurangnya aktivitas dalam otot, gerakan volunter sebagian atau seluruhnya hilang. 4 Klasifikasi menurut American Spinal Injury Association:8 Grade A Grade B Grade C Grade D Grade E
Hilangnya seluruh fungsi motorik dan sensorik dibawah tingkat lesi Hilangnya seluruh fungsi motorik dan sebagian fungsi sensorik di bawah tingkat lesi. Fungsi motorik intak tetapi dengan kekuatan di bawah 3. Fungsi motorik intak dengan kekuatan motorik di atas atau sama dengan 3. Fungsi motorik dan sensorik normal.
Sedangkan lesi pada medula spinalis menurut ASIA revised 2000, terbagi atas :8
12
a. Paraplegi : Suatu gangguan atau hilangnya fungsi motorik atau dan sensorik karena kerusakan pada segmen thoraco-lumbo-sacral. b. Quadriplegi : Suatu gangguan atau hilangnya fungsi motorik atau dan sensorik karena kerusakan pada segmen servikal. Spesifik Level8 1. C1 – C2 : Quadriplegia, kemampuan bernafas (-). 2. C3 – C4 : Quadriplegia, fungsi N. Phrenicus (-), kemampuan bernafas hilang. 3. C5 – C6 : Quadriplegia, hanya ada gerak kasar lengan. 4. C6 – C7 : Quadriplegia, gerak biceps (+), gerak triceps (-). 5. C7 – C8 : Quadriplegia, gerak triceps (+), gerak intrinsic lengan (-). 6. Th1 – L1-2 : Paraplegia, fungsi lengan (+), gerak intercostalis tertentu (-), fungsi tungkai (-), fungsi seksual (-). 7. Di bawah L2: Termasuk LMN, fungsi sensorik (-), bladder & bowel (-), fungsi seksual tergantung radiks yang rusak.
13
Sindrom cedera medulla spinalis menurut ASIA, yaitu :4,8,9,10 Nama Sindroma Central cord syndrome
Pola dari lesi saraf
Kerusakan
Cedera pada posisi sentral dan sebagian
Menyebar ke daerah sakral.
pada daerah lateral.
Kelemahan otot ekstremitas atas dan ekstremitas bawah jarang
Sering terjadi pada daerah servikal
terjadi.
Brown- Sequard Syndrome
Anterior dan posterior hemisection dari
Kehilangan fungsi motorik dan
medulla spinalis atau cedera akan
proprioseptif ipsilateral.
menghasilkan hemilesi ipsilateral. Anterior cord syndrome
Kerusakan pada anterior dari daerah putih
Kehilangan fungsi motorik dan
dan abu- abu medulla spinalis
sensorik secara komplit.
Kerusakan pada anterior dari daerah putih
Kerusakan proprioseptif ,
dan abu- abu medulla spinalis
diskriminasi dan getaran. Fungsi
Posterior cord syndrome
motor juga terganggu Cauda equine syndrome
Kerusakan pada saraf lumbal atau sakral
Kerusakan sensori dan lumpuh
sampai ujung medulla spinalis
flaksid pada ekstremitas bawah, kontrol berkemih dan defekasi.
14
Gambar 4.Pola Cedera medula spinalis.6
2. 4 Patofisiologi Defisit neurologis yang berkaitan dengan cedera medula spinalis terjadi akibat dari proses cedera primer dan sekunder. Sejalan dengan kaskade cedera berlanjut, kemungkinan penyembuhan fungsional semakin menurun. Karena itu, intervensi terapeutik sebaiknya tidak ditunda, pada kebanyakan kasus, window period untuk intervensi terapeutik dipercaya berkisar antara 6 sampai 24 jam setelah cedera. Mekanisme utama yaitu cedera inisial dan mencakup transfer energi ke korda spinal, deformasi korda spinal dan kompresi korda paska trauma yang persisten. Mekanisme ini, yang terjadi dalam hitungan detik dan menit setelah cedera, menyebabkan kematian sel yang segera, disrupsi aksonal dan perubahan metabolik dan vaskuler yang mempunyai efek yang berkelanjutan. Proses cedera sekunder yang bermula
15
dalam hitungan menit dari cedera dan berlangsung selama bermingguminggu hingga berbulan-bulan, melibatkan kaskade yang kompleks dari interaksi biokimia, reaksi seluler dan gangguan serat traktus. Sangat jelas bahwa peningkatan produksi radikal bebas dan opioid endogen, pelepasan yang berlebihan dari neurotransmitter eksitatori dan reaksi inflamasi sangat berperan penting. Lebih jauh lagi, profil mRNA (messenger Ribonucleic Acid) menunjukkan beberapa perubahan ekspresi gen setelah cedera medula spinalis dan perubahan ini ditujukan sebagai target terapeutik. Beberapa teori telah diusulkan untuk menjelaskan patofisiologi dari cedera sekunder. Teori radikal bebas menjelaskan bahwa, akibat dari penurunan
kadar
anti-oksidan
yang
cepat,
oksigen
radikal
bebas
berakumulasi di jaringan sistem saraf pusat yang cedera dan menyerang membrane lipid, protein dan asam nukleat. Hal ini berakibat pada dihasilkannya lipid peroxidase yang menyebabkan rusaknya membran sel. Teori kalsium menjelaskan bahwa terjadinya cedera sekunder bergantung pada influks dari kalsium ekstraseluler ke dalam sel saraf. Ion kalsium mengaktivasi phospholipase, protease, dan phosphatase. Aktivasi dari enzimenzim ini mengakibatkan interupsi dari aktivitas mitokondria dan kerusakan membran sel. Teori opiate receptor mengusulkan bahwa opioid endogen mungkin terlibat dalam proses terjadinya cedera medula spinalis dan bahwa antagonis
opiate (contohnya
naloxone) mungkin bisa memperbaiki
penyembuhan neurologis. Teori inflamasi berdasarkan pada hipotesis bahwa zat-zat inflamasi (seperti prostaglandin, leukotrien, platelet-activating factor, serotonin) berakumulasi pada jaringan medula spinalis yang cedera dan
16
merupakan mediator dari kerusakan jaringan sekunder. Bila bagian cervical 1-4 yang terkena mengakibatkan pola nafas menjadi efektif dan kelumpuhan total dan kemungkinan untuk bertahan hidup sangat kecil. Tulang belakang yang mengalami gangguan trauma (kecelakaan mobil, jatuh dari ketinggian, cedera olahraga) atau penyakit (Transverse Myelitis, Polio, Spina Bifida, Friedreich dari ataxia) dapat menyebabkan kerusakan pada medulla spinalis, tetapi lesi traumatik pada medulla spinalis tidak selalu terjadi karena fraktur dan dislokasi. Efek trauma yang tidak langsung bersangkutan tetapi dapat menimbulkan lesi pada medulla spinalis disebut whiplash atau trauma indirek. Whiplash adalah gerakan dorsapleksi dan anterofleksi berlebihan dari tulang belakang secara cepat dan mendadak. Trauma whiplash terjadi pada tulang belakang bagian cervikalis bawah maupun thorakalis bawah misalnya pada waktu duduk dikendaraan yang sedang berjalan cepat kemudian berhenti secara mendadak, atau pada waktu terjun dari jarak tinggi, menyelam yang dapat mengakibatkan paraplegia. Trauma tidak langsung dari tulang belakang berupa hiperekstensi, hiperfleksi, tekanan vertical (terutama pada T.12sampai L.2), rotasi. Kerusakan yang dialami medulla spinalis dapat bersifat sementara atau menetap.akibat trauma terhadap tulang belakang, medula spinalis dapat tidak berfungsi untuk sementara (komosio medulla spinalis), tetapi dapat sembuh kembali dalam beberapa hari. Gejala yang ditimbulkan adalah berupa oedema, perdarahan peri vaskuler dan infark disekitar pembuluh darah. Pada kerusakan medulla spinalis yang menetap, secara makroskopis kelainannya dapat terlihat dan terjadi lesi, contusion, laseratio dan pembengkakan daerah 17
tertentu di medulla spinalis. Laserasi medulla spinalis merupakan lesi berat akibat trauma tulang belakang secara langsung karena tertutup atau peluru yang dapat mematahkan atau mengeserkan ruas tulang belakang (fraktur dan dislokasi).lesi transversa medulla spinalis tergantung pada segmen yang terkena (segmen transversa, hemitransversa, kuadran transversa). Trauma ini bersifat whiplash yaitu jatuh dari jarak tinggi dengan sifat badan berdiri, jatuh terduduk, terdampar eksplosi atau fraktur dislokasio.kompresi medulla spinalis terjadi karena dislokasi, medulla spinalis dapat terjepit oleh penyempitan kanalis vertebralis. Suatu segmen medulla spinalis dapat tertekan oleh hematoma ekstra meduler traumatik dan dapat juga tertekan oleh kepingan tulang yang patah yang terselip diantara duramater dan kolumna vertebralis.gejala yang didapat sama dengan sindroma kompresi medulla spinalis akibat tumor, kista dan abses didalam kanalis vertebralis. Akibat hiperekstensi dislokasio, fraktur dan whislap radiks saraf spinalis dapat tertarik dan mengalami jejas. pada trauma whislap, radiks colmna 5-7 dapat mengalami hal demikian, dan gejala yang terjadi adalah nyeri radikuler spontan yang bersifat hiperpatia, gambaran tersebut disebut hematorasis atau neuralgia radikularis traumatik yang reversible.jika radiks terputus akibat trauma tulang belakang, maka gejala defisit sensorik dan motorik yang terlihat adalah radikuler dengan terputusnya arteri radikuler terutama radiks T.8 atau T.9 yang akan menimbulkan defisit sensorik motorik pada dermatoma dan miotoma yang bersangkutan dan sindroma sistema anastomosis anterial anterior spinal. 18
Medula spinalis dan radiks dapat rusak melalui 4 mekanisme berikut: 1. Kompresi oleh tulang, ligamentum, herniasi diskus intervertebralis dan hematom. Yang paling berat adalah kerusakan akibat kompresi tulang dan kompresi oleh korpus vertebra yang mengalami dislokasi tulang dan kompresi oleh korpus vertebra yang mengalami dislokasi ke posterior dan trauma hiperekstensi. 2. Regangan jaringan yang berlebihan akan menyebabkan gangguan pada jaringan, hal ini biasanya terjadi pada hiperfleksi. Toleransi medula spinalis terhadap regangan akan menurun dengan bertambahnya usia. 3. Edema medula spinalis yang timbul segera setelah trauma menyebabkan gangguan aliran darah kapiler dan vena. 4. Gangguan sirkulasi akibat kompresi tulang atau sistem arteri spinalis anterior dan posterior.
2.5 Manifestasi Klinis Jika medula spinalis mengalami cedera, maka saraf-saraf yang berada pada daerah yang mengalami cedera dan yang di bawahnya akan mengalami gangguan fungsi, yang menyebabkan hilangnya kontrol otot dan juga hilangnya sensasi. Hilangnya kontrol otot atau sensasi dapat bersifat sementara atau menetap, sebagian atau menyeluruh, tergantung dari beratnya cedera yang terjadi. Cedera yang menyebabkan putusnya medula spinalis atau merusak jalur jalannya saraf di medula spinalis menyebabkan hilangnya fungsi yang menetap, tetapi trauma tumpul yang mengguncang medula spinalis dapat menyebabkan hilangnya fungsi sementara, yaitu bisa sampai beberapa hari, beberapa minggu, atau beberapa bulan. Hilangnya kontrol otot
19
sebagian menyebabkan timbulnya kelemahan pada otot. Sedangkan kontrol otot yang hilang seluruhnya menyebabkan kelumpuhan. Ketika otot mengalami kelumpuhan, maka otot tersebut seringkali kehilangan tonus ototnya sehingga menjadi lemas (flaccid). Beberapa minggu kemudian, kelumpuhan dapat berkembang menjadi spasme otot yang involunter (tidak disadari) dan lama (paralysis spastik). Kerusakan hebat dari medula spinalis di pertengahan punggung bisa menyebabkan kelumpuhan pada tungkai, tetapi lengan masih tetap berfungsi secara normal. Gerakan refleks tertentu yang tidak dikendalikan oleh otak akan tetap utuh atau bahkan meningkat. Contohnya, refleks lutut tetap ada atau bahkan meningkat. Meningkatnya refleks ini dapat menyebabkan spasme pada tungkai. Refleks yang tetap dipertahankan menyebabkan otot yang terkena menjadi memendek, sehingga dapat terjadi kelumpuhan jenis spastik. Otot yang spastik teraba kencang dan keras dan sering mengalami kedutan. Kompresi yang terjadi secara langsung pada bagian-bagian saraf oleh fragmen-fragmen tulang, ataupun rusaknya ligamen-ligamen pada sistem saraf pusat dan perifer. Pembuluh darah rusak dan dapat menyebabkan iskemik. Ruptur axon dan sel membran neuron bisa juga terjadi. Mikrohemoragik terjadi dalam beberapa menit di substansia grisea dan meluas beberapa jam kemudian sehingga perdarahan masif dapat terjadi dalam beberapa menit kemudian.
20
Sesaat setelah trauma, fungsi motorik dibawah tingkat lesi hilang, otot flaksid, reflex hilang, paralisis atonik vesika urinaria dan kolon, atonia gaster dan hipestesia. Juga dibawah tingkat lesi dijumpai hilangnya tonus vasomotor, keringat dan piloereksi serta fungsi seksual. Kulit menjadi kering dan pucat serta ulkus dapat timbul pada daerah yang mendapat penekanan tulang. Spingter vesika urinaria dan anus dalam keadaan kontraksi (disebabkan oleh hilangnya inhibisi dari pusat sistem saraf pusat yang lebih tinggi. Apabila medula spinalis cedera secara komplit dengan tiba-tiba, maka tiga fungsi yang terganggu antara lain seluruh gerak, seluruh sensasi dan seluruh refleks pada bagian tubuh di bawah lesi. Keadaan yang seluruh refleks hilang baik refleks tendon, refleks autonomic disebut spinal shock. Kondisi spinal shock ini terjadi 2-3 minggu setelah cedera medula spinalis. Fase selanjutnya setelah spinal shock adalah keadaan dimana aktifitas refleks yang meningkat dan tidak terkontrol. Pada lesi yang menyebabkan cedera medula spinalis tidak komplit, spinal shock dapat juga terjadi dalam keadaan yang lebih ringan atau bahkan tidak melalui shock sama sekali. Selain itu gangguan yang timbul pada cidera medula spinalis sesuai dengan letak lesinya, dimana pada UMN lesi akan timbul gangguan berupa spastisitas, hiperefleksia, dan disertai hypertonus, biasanya lesi ini terjadi jika cidera mengenai C1 hingga L1. Dan pada LMN lesi akan timbul gangguan berupa flaksid, hiporefleksia, yang disertai hipotonus dan biasanya lesi ini terjadi jika cidera mengenai L3 sampai cauda equina, di samping itu juga masih ada
21
gangguan lain seperti gangguan bladder dan bowel, gangguan fungsi seksual, dan gangguan fungsi pernapasan. Dapat durumuskan gejala-gejala yang terjadi pada cedera medulla spinalis yaitu: 1. Gangguan sensasi menyangkut adanya anastesia, hiperestesia, parastesia. 2. Gangguan motorik menyangkut adanya kelemahan dari fungsi otot-otot dan reflek tendon. 3. Gangguan fungsi vegetatif dan otonom menyangkut adanya flaksid dan spastik bladder dan bowel. 4. Gangguan fungsi ADL yaitu makan, toileting, berpakaian, kebersihan diri. 5. Gangguan mobilisasi yaitu miring kanan dan kiri, transfer dari tidur ke duduk, duduk, transfer dari bed ke kursi roda, dan dari kursi roda ke bed. 6. Penurunan vital sign yaitu penurunan ekspansi toraks, kapasitas paru dan hipotensi. 7. Skin problem menyangkut adanya dekubitus. Cedera medulla spinalis juga mempengaruhi fungsi organ vital yaitu diantaranya disfungsi respirasi terbesar yaitu cedera setinggi C1-C4. Cedera pada C1-C2 akan mempengaruhi ventilasi spontan tidak efektif. Lesi setinggi C5-8 akan mempengaruhi m. intercostalis, parasternalis, scalenus, otot-otot abdominal, otot-otot abdominal. Selain itu mempengaruhi intaknya
22
diafragma, trapezius dan sebagian m. pectoralis mayor. Lesi setinggi thoracal mempengaruhi otot-otot intercostalis dan abdominal, dampak umumnya yaitu efektivitas kinerja otot pernafasan menurun. Selain itu mengganggu fungsi sistem kardiovaskular dimana terjadi karena gangguan jalur otonom, terjadi pada lesi setinggi cervical dan thoracal. Akibat disfungsi simpatis yang mempengaruhi fungsi jantung dan dinding vascular, hilangnya control simpatis supraspinal mengakibatkan aktivitas
simpatis
menurun.
Lesi
setinggi
cervical
dan
thoracal
mengakibatkan tonus vasomotor menurun sehingga mengakibatkan hipotensi. Fungsi sistem urinaria terganggu dimana bila terjadi lesi setinggi S2 dan S4. Dimana bila terjadi lesi setinggi S2 akan mengakibatkan otot detrusor vesika urinaria mengalami kelemahan tipe LMN sehingga otot detrusor melemah sedangkan S4 mengatur spinkter urinaria eksterna berkontraksi karena bersifat spastic, akan mengakibatkan retensi urin. Sedangkan bila lesi setinggi S4 akan mengakibatkan SUE melemah (membuka) sedangkan fungsi dari otot VU normal maka akan mengakibatkan inkontinensia urin. Lesi pada badan sel parasimpatis di conus medularis, axon parasimpatis di cauda equine dan axon somatik pudendus setinggi T10, fungsi pembentukan fese terganggu, karena mempengaruhi dinding usus, pada lesi tersebut diatas akan mengakibatkan tipe LMN, dimana feces lebih kering dan bundar, resiko tinggi inkontinensia akibat rendahnya tonus sfingter ani. Lesi setinggi diatas conus medularis akan mengakibatkan lesi
23
tipe UMN, dimana terjadi overaktivitas peristaltik usus, retensi fekal akibat spastic sfingter ani.
2.6 Manajemen Rehabilitasi Rehabilitasi dimulai ketika kondisi medis pasien cukup stabil untuk menjalani terapi. Terapi dapat langsung dijalani sesegera mungkin sehari setelah cedera. Faktanya, semakin dini terapi dimulai, semakin besar kemungkinan terhindarnya komplikasi SCI seperti pembentukan kontrakturkontraktur sendi. 2 Program rehabilitasi meliputi: (a) Penilaian dan evaluasi pasien (b) Identifikasi kondisi komorbid (c) Manajemen komplikasi (d) Terapi Fisik (e) Terapi okupasional (f) Ortosis (g) Pelatihan gaya berjalan (gait retraining).11 a. Penilaian dan evaluasi pasien: meliputi evaluasi stabilitas spinal, juga penilaian neurologis, muskuloskeletal, paru, kardiovaskular, pencernaan, genitourinary, dan sistem-sistem intergumen. 11 b. Identifikasi kondisi komorbid: meliputi hipertensi, diabetes mellitus, penyakit jantung iskemik, penyakit paru obstruktif kronik, dsb. 11 c. Manajemen komplikasi. pada rehabiliasi SCI komplikasi berikut harus diperhatikan: 11 (i) Bladder dysfunction. Pendekatan manajemen bladder yang paling sering meliputi intermittent catheterization (IC) dan indwelling catheterization. Indwelling catheterization digunakan pada cedera akut dan intermittent catheterization menjaga volume pengeluaran urin kurang dari 450 ml. Kateterisasi suprapubik digunakan pada
24
ulserasi penis. Mekanisme pencetus contohnya valsava, metode crede juga berguna dalam memperbaiki fungsi miksi (bladder). Obat-obatan digunakan dalam penanganan bladder meliputi: antikolinergik, antispasmodic, dll. Terapi lain adalah akupuntur, assistive devices, stimulasi elektrik atau surgical augmentation juga dapat digunakan (ii)
untuk membantu fungsi miksi. Bowel dysfunction: lebih dari 20% penderita SCI melaporkan kesulitan dalam mengevakuasi defekasi mereka. Penanganan defekasi harus dimulai selama fase akut untuk menghindari impaksi fekal. Penanganan defekasi meliputi: Diet serat: serat tidak terlarut dapat menyerap dan menahan air yang akan membentuk suatu bulk yang mendorong makanan melalui sistem pencernaan secara cepat. Serat terlarut akan
mencetuskan regularitas dan menyembuhkan konstipasi. Asupan cairan tinggi (high fluid) secara teratur mencegah
konstipasi. Irigasi pulse water (intermitten rapid pulse of warm water) ke dalam rektum, untuk memecah stool impaction dan merangsang
peristalsis. Rangsangan: rangsangan elektrik pada dinding otot abdominal dan stimulasi magnetic fungsional dapat mengurangi waktu transit
koloni. Agen farmakologis: agen prokinetik are presumed to promote transit melalui traktus pencernaan, dengan cara mengurangi jangka waktu dari stool saat melalui usus dan meningkatkan frekuensi stool untuk evakuasi, contohnya Cisapride.
25
(iii)
Penggunaan
supositoria:
gliserin
suppositoria
merupakan
stimulant lokal yang ringan dan agen lubrikan. Spastisitas: merupakan episode yang umum terjadi pada SCI. terjadi secara bertahap dan setelah spinal shock. Berikut penanganan yang tersedia saat ini: 11 1. Terapi fisik: pergerakan pasif yang ritmis, 2. Direct muscle electrical stimulation yang mengurangi spastisitas: patterned electrical stimulation (PES), patterned neuro muscular electrical stimulation (PNS), functional electrical stimulation, transcutaneous electrical nerve stimulation (TENS). 3. Terapi farmakologis: baclofen oral, obat yang bekerja secara sentral yang merupakan agonis gamma-aminobutaric acid. Obat lain:
diazepam,
tizanidine,
klonidin,
gabapentin.
Agen
penghambat: phenol atau toksin botulinum. 4. Pembedahan meliputi percutaneous radio frequency rhizotomy, (iv)
myelotomy. Kelemahan otot: paresis atau paraplegia merupakan gejala yang umum terjadi pada SCI. Penanganannya dengan cara: 11 1. Strengthening exercise: meningkatkan kekuatan
otot
dan
mencegah kehilangan otot. 2. Electrical stimulation therapy: juga meningkatkan kekuatan otot (v)
dan mencegah kehilangan otot. Nyeri: nyeri merupakan komplikasi yang sering pada SCI traumatik. 30-40% pasien dengan SCI mengalami nyeri yang berat. 69% telah ditetapkan sebagai nyeri kronik. Usia yang tua berhubungan dengan prevalensi nyeri yang meningkat. Nyeri disebabkan karena neuropatik atau nyeri muskuloskeletal yang dapat dikurangi dengan cara: 10 1. Non farmakologis: pijat dan terapi panas, TENS dan modalitas latihan yang mengurangi nyeri.
26
2. Farmakologis: berbagai obat tersedia untuk mengurangi nyeri, contoh: gabapentin dan antikonvulsan lain. DVT: komplikasi yang umum terjadi pada SCI dan penyebab utama
(vi)
morbiditas dan mortalitas. Kejadian pada penderita SCI bervariasi dari 12.5-55% dan emboli paru dilaporkan sekitar 5% pada pasien SCI akut. Pengobatan berikut untuk mencegah dan mengobati DVT: 10 1. Non farmakologis: compression stocking, external pneumatic compression, dan continuous rotation beads. 2. Agen farmakologis: antitrombotik atau antikoagulan digunakan sebagai
profilaksis
terhadap
DVT.
Penggunaan
LMWH
mempunyai efektivitas yang tinggi baik digunakan sendiri atau (vii)
dengan kombinasi bersama modalitas mekanik lain. Bed sore: ulkus karena tekanan atau bed sore dapat timbul kapanpun pada SCI. selama fase akut, ulkus di sakral dan tumit merupakan yang tersering, dan pada kasus kronik, ulkus ischial yang tersering. Bed sore dapat dicegah dengan cara: 11 1. Perubahan postur tiap 2 jam. 2. Penggunaan minimal air loss beds. 3. Penggunaan bantal dan foam wedges untuk mencegah tekanan pada penonjolan tulang. 4. Stimulasi elektrik digunakan untuk mengurangi ulkus ischial dan
(viii)
meningkatkan aliran darah. Hipotensi postural: terjadi karena penyimpangan respons simpatik.
Pengobatan: 11 1. Farmakologis: klonidin, flucordison 2. Non farmakologis: elastic stocking dan abdominal binders. d. Terapi fisik. Tujuan Fisioterapi antara lain adalah: 2
Mengurangi nyeri
Meningkatkan kekuatan otot-otot tungkai
27
Mencegah atrofi dan kontraktur pada otot-otot tungkai
Meningkatkan ROM tungkai
Merangsang dan mengembalikan rasa sensasi
Mengembalikan ke ADL yang mandiri
Program Latihan Fisioterapi antara lain: 2
Menjaga fungsi respirasi: breath exercise, glossopharyngeal breath, airshift
manuever,
strengthening,
stretching,
coughing,
chest
fisioterapi. Bertujuan untuk meningkatkan kondisi umum serta mengatasi komplikasi paru akibat tirah baring (bed rest). Perhatian pada: Trauma pada dada dan perut pada paraplegia (gangguan diafragma).
Perubahan posisi (pencegahan pressure sores, kontraktur, inhibisi spastisitas, mengkoreksi kelurusan dari fraktur).
Latihan ROM (pasif dan aktif) dan penguluran untuk mencegah kontraktur dan adanya keterbatasan lingkup gerak sendi pada bagian yang lesi.
Penguatan yang tersisa dan yang sehat (selective).
Bladder training yang dilakukan untuk menjaga kontraktilitas otot detrusor.
Orientasi pada posisi vertikal sedini mungkin setelah cedera stabil.
Perhatian terhadap gerak yang boleh/tidak boleh pada cedera yang stabil/tak stabil.
28
Physical agents. 11 1). Thermotherapy: digunakan untuk mengurangi nyeri dan spastisitas. Meliputi
superficial heat (IRR, Wax bath) dan deep heat (SWD,
MWD, UST). Aplikasi panas adalah tindakan sederhana sebagai metode yang efektif untuk mengurangi nyeri kronik atau kejang otot. Diberikan untuk mengurangi atau menghilangkan rasa sakit, kekakuan otot dan kekakuan sendi. Terdapat 2 macam pemanasan:
Pemanasan dangkal Karena daya tembusnya hanya beberapa milimeter saja. Misalnya sinar infrared, bantal hidrokolataor atau botol berisi air panas Pemanasan dalam (diatermi) - Diatermi gelombang pendek: menggunakan arus listrik frekuensi tinggi yang diubah menjadi panas sewaktu -
melintasi jaringan Diatermi gelombang
-
elektromagnet dengan efek pemanasan jaringan Diatermi ultrasonik: mengunakan gelombang suara dengan
mikro:
menggunakan
radiasi
frekuensi diatas 17.000 Hz Ultrasound dan short wave diathermy. Membantu terutama pada kontraktur sendi, dan perlengketan. Hal ini meningkatkan fleksibilitas dari serat kolagen dan sirkulasi jaringan ikat yang membantu restorasi fungsional
29
2). Electrical therapy: digunakan untuk meningkatkan kekuatan otot dan mengurangi nyeri, contohnya TENS, EST.
Stimulasi saraf dengan listrik melalui kulit (TENS) terdiri dari suatu alat yang digerakkan oleh batre yang mengirim impuls listrik lemah melalui elektroda yang diletakkan di tubuh. Elektroda pada umumnya diletakkan diatas atau dekat dengan
bagian yang nyeri. TENS mengaktifkan mekanisme sentral untuk memberikan analgesia. TENS frekuensi rendah mengaktifkan reseptor μopioid pada saraf tulang belakang dan batang otak sementara TENS frekuensi tinggi menghasilkan efeknya melalui δ-opioid reseptor. Efektivitas TENS tergantung pada intensitas, frekuensi,
durasi dan jumlah sesi. 3). Teknik neurostimulation termasuk transcranial magnetic stimulation (TMS) dan cortical electric stimulation (CES), spinal cord stimulation (SCS) dan deep brain stimulation (DBS) juga telah telah ditemukan efektif dalam pengobatan nyeri neuropatik. 4). Akupuntur. Akupuntur berupa insersi jarum halus ke dalam berbagai titik akupuntur di seluruh tubuh untuk meredakan nyeri. Metode noninvasif lain untuk merangsang titik-titik pemicu adalah memberi tekanan dengan ibu jari, suatu teknik yang disebut akupresur.
30
Terapi latihan: mat exercise, PNF exercise, active & passive ROM exercise, strengthening exercise, stretching exercise, endurance exercise, co-ordination exercise.11 Range of motion (ROM) exercise (pasif, dibantu, atau aktif) dapat digunakan untuk melemaskan otot, memperbaiki sirkulasi dan mencegah nyeri yang berkaitan dengan kekakuan dan imobilitas.11 e. Terapi Okupasi. Merupakan bagian dari program rehabilitasi dan dilakukan oleh terapis okupasi. Tujuan dari terapi ini adalah latihan untuk aktivitas sehari-hari (activity daily life). 11 Terapi pada penderita paraplegia: Cara duduk tegak. Pada awalnya penderita paraplegia akan ditegakkan perlahan-lahan membentuk sudut 45o selama kurang lebih 10 menit, kemudian hingga 90o atau duduk tegak selama 30 menit. Setelah penderita paraplegia siap maka terapis akan membantu duduk di atas kursi untuk beberapa menit dan sedikit demi sedikit untuk
waktu yang lebih lama. Keseimbangan. Pertama kali penderita paraplegia akan belajar menyesuaikan perasaan mengenai keseimbangan yang hilang dengan menggunakan matanya dan menggunakan otot-otot yang masih berfungsi setelah penderita paraplegia ini akan mampu menarik tubuhnya ke belakang dalam posisi tegak lurus. Hal ini membutuhkan waktu yang cukup hingga pada akhirnya penderita paraplegia akan mampu melakukan hal tersebut dengan sendirinya tanpa bantuan dari orang lain.
31
Berpakaian.
Sementara
penderita
paraplegia
belajar
akan
keseimbangan, mereka juga belajar bagaimana cara memakai baju sendiri. Umumnya hal ini tidak terlalu sulit untuk penderita paraplegia karena bagian atas tubuh mereka tidak mengalami kerusakan atau kelumpuhan, hanya saja waktu yang mereka gunakan untuk memakai baju menjadi agak lama terutama saat mereka memakai celana dan ini
butuh latihan yang intensif. Latihan berdiri dan berjalan. Berfungsi untuk menjaga agar lutut-lutut penderita paraplegia tetap lurus dan kaki-kaki tidak terseret ke lantai. Penderita paraplegia ini akan belajar dengan menggunakan palang sejajar yang terdapat pada rumah sakit rehabilitasi pada umumnya, setelah menjalani latihan yang cukup, penderita paraplegia akan mulai belajar dengan menggunakan kruk untuk berjalan sedikit demi sedikit. Hal ini hanya dapat dilakukan pada penderita paraplegia yang mengalami tingkat cedera di bawah L3 sedangkan pada penderita paraplegia yang mengalami tingkat cedera pada T12 kemungkinan ini sangat kecil, namun latihan harus tetap dilakukan untuk menjaga terjadinya kontraktur atau pemendekan otot tetap, memperbaiki sirkulasi darah, dan membantu ginjal agar dapat bekerja secara
semestinya. Makanan. Penderita paraplegia juga akan kehilangan kontrol buang air kecil dan besar sehingga pada tahap awal kelumpuhan, mereka membutuhkan makanan khusus yang menghindarkan penderita mengalami komplikasi. Setelah lewat masa perawatan dan setelah mendapat ijin dari dokter, penderita diperbolehkan memakan
32
makanan pada umumnya. Penderita paraplegia diharuskan memakan makanan yang banyak mengandung serat dan mineral guna
menghindarkan sembelit. Naik turun dari kloset. Penderita paraplegia membutuhkan beberapa peralatan seperti tali atau rantai yang digantung di langit-langit kamar mandi. Hal ini berfungsi untuk membantu penderita paraplegia naik dan turun dari kloset.
f. Ortosis11 Pada pasien cedera medula spinalis penetapan alat bantu ambulasi : kursi roda, crutches, walker bisa digunakan. Setelah berbaring lurus untuk beberapa waktu selama periode awal pasien harus berkembang oleh fisioterapis untuk duduk tegak di kursi roda. Ini adalah proses bertahap yang bergerak pasien ke posisi tegak terlalu cepat dapat menyebabkan penurunan tekanan darah yang parah. Sebuah kursi roda dengan kaki terletak mengangkat dan kembali miring digunakan pada awalnya sampai pasien mampu mentoleransi kursi tegak. Latihan teratur keseimbangan duduk adalah penting dibawah pengawasan yang ketat dari fisioterapis sebagai kontrol batang diperlukan untuk hidup mandiri. Setelah transfer duduk dikuasai ke kursi roda dan penguatan dapat bekerja. Tahap pertama pembelajaran keseimbangan duduk yang baik, memperkuat otot dan transfer kursi roda kini telah dikuasai dan itu adalah waktu untuk rehabilitasi tersisa untuk mengambil tempat di Unit Luka Spinal. g. Gait retraining. Gait retraining dapat dilakukan dengan cara: 11 - Program pre ambulation MAT: rolling, prone on elbow, prone on hand, quadruped, pelvic tilting, setting and standing balance.
33
-
Parallel bar progression Advanced parallel bar activities Assistive device, contoh: tongkat, crutches.
34
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan Cedera medulla spinalis adalah suatu kerusakan pada medulla spinalis akibat trauma atau non trauma yang akan menimbulkan gangguan pada sistem motorik, sistem sensorik dan vegetatif. Apabila medula spinalis cedera secara komplit dengan tiba-tiba, maka tiga fungsi yang terganggu antara lain seluruh gerak, seluruh sensasi dan seluruh refleks pada bagian tubuh di bawah lesi. Keadaan yang seluruh refleks hilang baik refleks tendon, refleks autonomik disebut spinal shock. Pada lesi yang menyebabkan cedera medula spinalis tidak komplit, spinal shock dapat juga terjadi dalam keadaan yang lebih ringan atau bahkan tidak melalui shock sama sekali. Selain itu gangguan yang timbul pada cedera medula spinalis sesuai dengan letak lesinya, dimana pada UMN lesi akan timbul gangguan berupa spastisitas, hiperefleksia, dan disertai hipertonus, biasanya lesi ini terjadi jika cidera mengenai C1 hingga L1. Dan pada LMN lesi akan timbul gangguan berupa flaksid, hiporefleks, yang disertai hipotonus dan biasanya lesi ini terjadi jika cidera mengenai L2 sampai cauda equina, di samping itu juga masih ada gangguan lain seperti gangguan bladder dan bowel, gangguan fungsi seksual, dan gangguan fungsi pernapasan.
35
Rehabilitasi pengembangan bagi
medik
adalah
penyandang
suatu
cacat
proses
agar
pemulihan
dapat
dan
melaksanakan
fungsinya secara wajar. Hasil yang di harapkan pada penderita cedera medula spinalis adalah mencapai penampilan fungsional semaksimal mungkin sesuai dengan sisa-sisa kemampuan yang
masih ada untuk
meningkatkan kualitas hidup pasien, dan mencegah komplikasi.
36
Daftar Pustaka 1. Prayudi S. Perbedaan pengaruh penambahan latihan kekuatan otot lengan dengan Metode Oxford pada latihan transfer dari tidur ke duduk terhadap kecepatan transfer dari tidur ke duduk pada penderita paraplegia akibat spinal cord injury. Diunduh dari: http://eprints.uns.ac.id/1979/2/1582-3512-1-SM.pdf 2. Thuret, Sandrine; Moon, Lawrence D.F; Gage, Fred H. Therapeutic intervention after spinal cord injury. Nature Publishing Group; 2006.p.7, 628640. 3. Rohkamm R. Color atlas of neurology. New York: Thieme; 2004.p.31-3. 4. Evans, Mardjono M, Sidharta P. Neurologi klinis dasar. Jakarta: Dian Rakyat; 2003.h. 35-36. 5. deGroot J, Chusid JG. Corelative neuroanatomy. Jakarta: EGC; 1997.h.30-42. 6. Snell RS. Neuroanatomi klinik: pendahuluan dan susunan saraf pusat. Edisi ke-5. Jakarta : EGC; 2007.h.1-16. 7. Sherwood L. Human physiology from cells to system. 6th ed. Canada: Thomson Brooks/ Cole; 2007.p.77-102. 8. ASIA. Spinal cord injury. 13 Januari 2008. Diunduh dari : http://sci.rutgers.edu, 4 Juli 2014. 9. Consortium Member Organizations and Steering Committee Representatives. Early Acute Management in Adults with Spinal Cord Injury: A Clinical Practice Guideline for Health-Care Professionals. The Journal Of Spinal Cord Medicine. Vol. 31. 2006. 10. Dewanto G, Suwono WJ, Riyanto B, Turana Y. Panduan praktis diagnosis dan tatalaksana penyakit saraf. Jakarta: EGC; 2007.h.19-23.
37
11. Hasan SA, Alam Z, Hakim M, Shakoor MA, Salek AKM, Khan MM, et al. Rehabilitation of patients with paraplegia from spinal cord injury: a review. JCMCTA 2008; 20 (1): 53-57.
38
View more...
Comments