Referat Post Traumatic Stress Disorder Kelompok 1
December 18, 2016 | Author: vindychan | Category: N/A
Short Description
referat ptsd...
Description
Post Traumatic Stress Disorder Disusun Oleh: Kelompok 1: Louis Isabell Elim
112012204
Yenti Puspita Sari
112012092
Vindy
112013213
Ardian Pratama
112013216
Natalia Setiawan
112013219
Gresia Kristi
112013237
Gituen Miracline
112013238
KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN JIWA FAKULTAS KEDOKTERAN PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA RUMAH SAKIT KETERGANTUNGAN OBAT – CIBUBUR JAKARTA 2014 1
BAB I PENDAHULUAN Gangguan stress pasca trauma adalah suatu gangguan kecemasan yang timbul setelah mengalami atau menyaksikan suatu ancaman kehidupan atau peristiwa-peristiwa trauma, seperti perang militer, serangan dengan kekerasan atau suatu kecelakaan yang serius. Peristiwa trauma ini menyebabkan seseorang memberikan reaksi dalam keadaan ketakutan, dan tak berdaya. Gejala-gejala umum tersebut antara lain kenangan yang muncul kembali dalam ingatan dan berulang-ulang, sangat mendalam dan mengganggu akibat peristiwa tersebut, berusaha menghindari keadaan-keadaan yang mengingatkan seseorang pada peristiwa tersebut, sehingga secara emosional perasaan menjadi cemas, depresif, dan suka menyendiri, sulit tidur dan konsentrasi, ketakutan atas keselamatan pribadi. Bila gejala-gejala gangguan stres pasca trauma menjadi parah, gangguan tersebut menimbulkan penurunan aktivitas atau kegiatan sehari - hari. Resiko seseorang akan mengalami gangguan stres pasca trauma meningkat oleh karena banyak faktor, termasuk intensitas beratnya peristiwa yang dialami, sejauh mana seseorang terlibat di dalamnya, dan seberapa hebatnya orang tersebut bereaksi. Sementara itu penyebab sebenarnya dari gangguan stres pasca trauma belum dapat dipastikan meski banyak teori yang berkembang. Seseorang akan beresiko tinggi menderita gangguan stres pasca trauma jika mempunyai riwayat keluarga depresi. Kemungkinan lain adalah dilepaskannya hormonhormon tertentu oleh dan zat-zat kimia lainnya sebagai respons terhadap rasa takut. Hormonhormon dan zat-zat kimia ini juga akan membangkitkan kenangan-kenangan tersebut. Orangorang dengan ketidakseimbangan zat kimia tertentu dalam otaknya mungkin resiko terjadinya gangguan stres pasca trauma akan meningkat. Gangguan stres pasca trauma sebenarnya dapat diterapi sehingga seseorang memiliki kualitas hidup yang lebih baik. Maka dari itu gangguan stres pasca trauma penting untuk diketahui sehingga sebagai klinisi dapat membantu penyembuhan pasien.
2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA Epidemiologi Pada tahun 1980, American psychiatric association memperkenalkan gangguan jiwa yang disebut gangguan stress pasca trauma (Post Traumatic Stress Disorder/PTSD) dengan kriteria diagnosis yang tercantum dalam DSM III. Penelitian-penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa kasus gangguan stress pasca trauma merupakan salah satu kasus psikiatri yang cukup sering ditemui. Kasus ini dijumpai pada 10,3% untuk pria dan 18,3% untuk wanita1. Di Amerika Serikat, 60% laki-laki dan 50% wanita mengalami setidaknya sekali masalah traumatik selama hidupnya. Dari mereka, 8% laki-laki dan 20% wanita bisa mengalami PTSD. Kasus pemerkosaan lebih mungkin menjadi PTSD daripada kasus traumatic lainnya, karena kasus pemerkosaan perempuan jauh lebih banyak daripada laki-laki (9% versus 1%), mungkin ini yang menyebabkan kejadian PTSD lebih banyak pada wanita. 88% laki-laki dan 79% wanita yang mengalami PTSD juga memiliki riwayat gangguan psikiatrik lainnya, hampir setengahnya menderita depresi mayor, 16% menderita gangguan cemas selain PTSD, dan 28% memiliki riwayat fobia social. Dan para penderita PTSD lebih beresiko untuk memiliki gaya hidup tidak sehat seperti penyalahgunaan alcohol yang dialami 52% laki-laki dan 28% perempuan penderita PTSD, sedangkan penggunaan NAPZA terlihat pada 35% laki-laki dan 27% perempuan penderita PTSD2. Etiologi Faktor Predisposisi Terdapat gangguan stress pasca trauma didahului adanya stressor berat yang melampaui kapasitas hidup seseorang, serta menimbulkan penderitaan bagi setiap orang. Beberapa factor predisposisi bagi seorang individu untuk mengalami gangguan stress pasca trauma adalah: 1. Adanya gangguan psikiatrik sebelum trauma baik pada individu 2. Adanya trauma masa kanak, seperti kekerasan fisik maupun seksual 3. Kecenderungan untuk mudah menjadi kuatir 4. Ciri kepribadian ambang, paranoid, dependen, atau antisosial 5. Punya karakter yang introvert dan memiliki gangguan dalam adaptasi 6. Adanya kebutuhan emosional secara bermakna
3
Tipe kejadian yang cenderung akan meningkatkan angka kejadian gangguan stress pasca trauma dapat dikategorikam menjadi: 1. Mereka yang mengalami tindakan kekerasan interpersonal 2. Mereka yang mengalami kecelakaan atau bencana alam yang mengancam nyawa, baik berupa kejadian yang alamiah atau kejadian yang diakibatkan manusia 3. Trauma berulang dan bersifat kronik Faktor Kejadian Berdasarkan DSM IV, ada beberapa jenis kejadian yang potensial mungkin akan meningkatkan angka kejadian gangguan stress pasca trauma, yaitu: 1. Kekerasan personal(seksual, fisik, perampokan) 2. Penculikan 3. Penyanderaan 4. Serangan militer 5. Serangan teroris 6. Penyiksaan 7. Ditahan dalam penjara sebagai tahanan politik atau tahanan perang 8. Bencana alam baik yang alamiah maupun dibuat oleh manusia 9. Kecelakaan lalu lintas yang berat 10. Didiagnosis mengalami penyakit berat yang mengancam kehidupan Pada umumnya individu yang mempunyai karakter yang ekstrovertyang berpikir lebih positif lebih jarang mengalami masalah psikologis seperti ini. Karakteristik dari peristiwa traumatic yang dialami juga akan mempengaruhi jenis reaksi psikologis sperti ini. Karakteristik dari peristiwatraumatik yang dialami juga akan mempengaruhi jenis reaksi psikologis yang akan terjadi, seperti: 1. Durasi dan intensitas dari stressor yang dialami 2. Derjatnya dalam kaitan dengan ancaman terhadap kehidupan seseorang 3. Berat ringan kehilangan yang dialami 4. Perilaku korban yang selamat pada waktu menghadapi peristiwa traumatic tersebut, misalnya pakah ia juga menyelamatkan orang lain pada saat kejadian atau hanya menyelamatkan diri sendiri1
4
Factor psikodinamik Model psikoanalitik gangguan ini menghipotesiskan bahwa trauma mengaktifkan kembali konflik psikologis yang sebelumnya tenang, tapi tidak terselesaikan. Penghidupan kembali trauma masa kanak-kanak menimbulkan regresi dan menggunaan mekanisme defence represi, penyangkalan, reaction formation, dan undoing. Konflik yang sebelumnya telah ada secara simbolis dibangkitkan kembali dengan peristiwa traumatic yang baru. Ego menghidupkan kembali dan dengan demikian mencoba menguasai dan mengurangi anxietas. Factor perilaku-kognitif Model perilaku PTSD menekankan adanya dua fase di dalam perkembangannya. Pertama, trauma (stimulus yang tidak dipelajari), yang menimbulkan respons takut, dipasangkan, melalui pembelajaran klasik, dengan stimulus yang dipelajari.kedua, melalui pembelajaran instrumental, stimulus yang dipelajari mencetuskan respons takut yang bebas dari stimulus asal yang tidak dipelajari, dan orang mengembangkan pola penghindaran terhadap stimulus yang dipelajari maupun stimulus yang tidak dipelajari.3 Faktor biologis 1. Faktor genetic Para peneliti meyakini bahwa polimorfisme pada gen promotor serotonin transporter (5HTTLPR) bisa mempengaruhi terjadinya depresi dan PTSD. Sjoberg membuktikan bahwa karrier homozigot alel pendek dari 5-HTTLPR lebih sulit untuk mengendalikan respons mereka terhadap stresor lingkungan dibandingkan dengan orang yang memiliki alel panjang pada gen yang sama. Pada perempuan yang memliki alel pendek homozigot lebih mudah terpengaruh oleh kejadian traumatik yang melibatkan pihak keluarga, sedangkan laki-laki lebih mudah terpengaruh pada keadaan lingkungan tempat tinggal.4 2. Sistem noradrenergic Para tentara dengan gejala mirip PTSD menunjukkan kegugupan, peningkatan tekanan darah dan denyut jantung, palpitasi, berkeringat, dan tremor. Yaitu gejala yang berkaitan obat adrenergic. Sejumlah studi menemukan peningkatan konsentrasi epinefrin urin 24 jam pada veteran dengan PTSD dan meningkatnya konsentrasi katekolamin dengan anak perempuan yang mengalamipenyiksaan seksual. Lebih jauh lagi, reseptor beta adrenergic limfosit dan alfa2 tromobosit mengalami downregulation pada PTSD, kemungkinan sebagai respons 5
terhadap konsentrasi katekolamin yang meningkat kronis. Temuan ini adalah bukti kuat perubahan fungsi system noradrenergic pada PTSD. 3. Sistem opioid Abnormalitas system opioid dikesankan dengan adanya penurunan konsentrasi beta-endorfin plasma pada PTSD. Veteran perang dengan PTSD menunjukkan respons analgesic yang reversible dengan nalokson untuk stimulus yang berkaitan dengan perang sehingga meningkatkan kemungkinnan hiperregulasi system opioid yang serupa dengan hiperregulasi pada system HPA. 4. Factor pelepas kortikotropin dan aksis hipotalamus Beberapa faktor mengacu pada disfungsi hipotalamus-pituitari-adrenal (HPA). Sejumlah studi menunjukkan konsentrasi kortisol bebas yang rendah di dalam plasma dan urin pada PTSD. Terdapat peningkatan resptor glukokortikoid pada limfosit dan tantangan denagn faktor pelepas kortikotropin (CRF) eksogen menunjukkan respons hormon adrenokortikotropin (ACTH) yang tumpul. Lebih lagi, supresi kortisol melalui tantangan dengan dosis rendah dexametason meningkat pada PTSD. Hal ini menunjukkan hiperregulasi aksis HPA pada PTSD. Sejumlah studi juga telah menemukan terjadinya hipersupresi kortisol pada pasien yang tepajan trauma tetapi dan mengalami PTSD dibandngkan pasien yang terpajan trauma dan mengalami PTSD, sehingga mungkin hipersupresi ini secara spesifik berkaitan dengan PTSD bukan hanya dengan trauma. Secara keseluruhan, hiperregulasi aksis HPA berbeda dengan aktivitas neuroendokrinyang biasanya terlihat selama stres dan pada gangguan lain selain depresi.3 Gambaran Klinis Gambaran klinis utama dari gangguan stress pascatraumatik adalah pengalaman ulang peristiwa yang menyakitkan, suatu pola menghindar dan kekuatan emosional dan kesadaran yang berlebihan yang hampir tetap. Gangguan mungkin tidak berkembang sampai berbulanbulan atau bertahun- tahun setelah peristiwa. Pemeriksaan status mental seringkali mengungkapkan rasa bersalah, penolakan dan penghinaan. Pasien mungkin juga menggambarkan keadaan disosiatif dan serangan panik. Ilusi dan halusinasi mungkin ditemukan. Tes kognitif mungkin mengungkapkan bahwa pasien memiliki ganguan daya ingat 6
dan perhatian. Gejala penyerta dapat berupa agresi, kekerasan. Pengendalian impuls yang buruk dan depresi. Berbagai cirri anti sosial mungkin ditemukan, termasuk penyalah gunaan dan ketergantungan alcohol dan obat, serangan panic, agresi kekerasan dan gangguan daya ingat serta gangguan memusatkan perhatian(konsentrasi).3 Gejala gangguan stres pasca-trauma umumnya dapat di kelompokkan menjadi tiga jenis: kenangan mengganggu (intrusive memories), menghindari dan mati rasa, dan kecemasan atau peningkatan gairah atau emosi (hyperarousal). Gejala dalam kelompok kenangan mengganggu (intrusive memories) antara lain:
Kilas balik (flash back), atau hidupnya kembali peristiwa traumatis selama beberapa menit atau bahkan berhari-hari
Mengalami mimpi buruk tentang peristiwa traumatik
Gejala menghindari (avoidance) dan mati rasa (numbing) emosional dapat mencakup:
Mencoba untuk menghindari dari berpikir atau berbicara tentang peristiwa traumatik
Merasa mati rasa emosional
Menghindari aktivitas yang dulu Anda pernah sukai
Keputusasaan tentang masa depan
Gangguan memori
Kesulitan berkonsentrasi
Kesulitan mempertahankan hubungan dekat
Gejala kecemasan dan gairah emosional peningkatan meliputi:
Lekas marah atau marah marah
Rasa bersalah atau malu yang sangat
Perilaku merusak diri sendiri, seperti minum alkohol terlalu banyak
Sulit tidur
Menjadi mudah kaget atau ketakutan
Mendengar atau melihat hal yang tidak ada 1
7
Table 01. Common Signs and Symptoms After Exposure to a Traumatic Event.5 Physical
Cognitive/Mental
Emotional
Chills
Blaming others
Agitation
Difficulty breathing
Change in alertness
Anxiety
Apprehension
Denial
Depression
Emotional shock
Fear
Memory problems
Feeling overwhelmed
Grief
Nightmares
Guilt
Poor abstract thinking
Poor attention
Inappropriate emotional response
Poor concentration
Dizziness
Confusion
Elevated blood pressure
Hypervigilance
Fainting
Fatigue
Grinding teeth
Headache s
Muscle tremors
Nausea
Pain
Profuse sweating
Rapid heart rate
Twitches
Weakness
Increased or decreased awareness of surroundings Intrusive images
Poor decision making
Poor problem solving
Irritability
Loss of emotional control
Behavioral
Increased alcohol consumption
Antisocial acts
Change in activity
Change in communicatio n
Change in sexual functioning
Change in speech pattern
Emotional outbursts
Inability to rest
Change in appetite
Pacing
Startle reflex intensified
Suspiciousnes s
8
Physical
Cognitive/Mental
Emotional
Behavioral
Social withdrawal
Modified from the Department of Veterans Affairs and the Department of Defense.
Kriteria Diagnostik F43.1 Gangguan stres Pasca Trauma Keadaan ini timbul sebagai respons yang berkepanjangan dan/atau tertunda terhadap kejadian atau situasi yang menimbulkan stress (baik singkat maupun berkepanjangan) dari yang bersifat katastrofik dan menakutkan, yang cenderung menyebabkan distress pada hampir setiap orang (misalnya musibah yang alamiah maupun yang dibuat manusia sendiri, perperangan, kecelakaan berat, menyaksikan kematian yang mengerikan, menjadi korban penyiksaan, terorisme, perkosaan dan kejahatan-kejahatan lain).6 Factor predisposisi seperti ciri kepribadian (misalnya kompulsif, astenik) atau adanya riwayat gangguan neurotic sebelumnya, dapat menurunkan ambang kerentanan untuk terjadinya sindrom ini atau memperberat keadaanya, akan tetapi bukan merupakan hal yang menentukan untuk terjadinya gangguan ini.6 Gejala khas mencakup episode-episode di mana bayangan-bayangan kejadian traumatic tersebut terulang kembali (flash backs) atau dalam mimpi, terjadi dengan latar belakang yang menetap berupa kondisi perasaan ‘beku’ dan penumpulan emmosi, menjauhi orang lain, tidak responsive terhadap lingkungannya, anhedonia, menghindari aktivitas dan sitausi yang berkaitan dengan traumanya. Lazimnya ada ketakutan dan penghindaran dari hal-hal yang mengingatkannya kembali pada trauma yang dialami. Meskipun jarang, kadang-kadang bisa terjadi reaksi yang dramatik, mendadak ketakutan, panik atau agresif, yang dicetuskan oleh stimulus yang mendadak mengingatkannya kembali pada trauma yang dialaminya serta reaksi asli terhadap trauma itu.6 Biasanya terjadi keadaan bangkitan otonomik yang berlebih dengan kenekatan yang berlebih, mudah kaget, tertegun dan insomnia. Anxietas dan depresi lazimnya diserta dengan gejalagejala tersebut diatas, dan ide mengenai bunuh diri juga tidak jarang. Penggunaan alkohol dan obat-obatan secara berlebihan dapat merupakan faktor komplikasi lain.6 9
Onset terjadi setelah terjadi trauma, dengan masa laten yang berkisar antara beberapa minggu sampai beberapa bulan (jarang sampai melampaui 6 bulan). Perjalanaan keadaan ini berfluktuasi dan pada kebanyakan kasus dapat diharapkan kesembuhan. Pada sejumlah kecil pasien, perjalanan penyakitnya dapat menjadi kronis sampai beberapa tahun dan terjadi transisi menuju suatu perubahan kepribadian yang berlangsung lama (F 62.0).6
Kriteria diagnosis dari gangguan stress pasca trauma berdasarkan PPDGJ III (F43.1) •
Gangguan ini tidak boleh secara umum didiagnosis kecuali ada bukti bahwa timbulnya dalam waktu 6 bulan dari suatu peristiwa traumatik yang luar biasa berat. Kemungkinan diagnosis masih dapat ditegakkan apabila tertundanya waktu antara terjadinya peristiwa dan onset gangguan melebihi waktu 6 bulan, asalkan manifestasi klinisnya khas dan tidak didapat alternatif lain yang memungkinkan dari gangguan lain (misalnya sebagai suatu gangguan anxietas atau gangguan obsesif kompulsif atau episode depresif).1,6
•
Sebagai tambahan, bukti adanya trauma, harus selalu ada dalam ingatan, bayangan atau mimpi mengenai peristiwa tersebut secara beulang-ulang. Sering kali terjadi penarikan diri secara emosional, penumpulan perasaan, dan penghindaran terhadap stimulus yang mungkin mengingatkan kembali akan traumanya, akan tetapi hal ini tidak esensial untuk diagnosis. 1,6
•
Gangguan otonomik, gangguan suasana perasaan dan kelainan perilaku semuanya mempengaruhi diagnosis tersebut tetapi bukan merupakan hal yang terlalu penting. 1,6
•
Suatu sekuele kronis terlambat setelah suatu stres yang luar biasa, misalnya yang timbul bebrapa puluh tahun setelah trauma, harus dikasifikasikan dalam kategori F62.0 (perubahan kepribadian yang berlangsung lama setelah mengalami katastrofa) 1,6
Kriteria diagnosis dari gangguan Stres Pasca Trauma berdasarkan DSM IV adalah sebagai berikut:1 1. individu pernah terpapar dengan peristiwa traumatik berupa; a. individu mengalami, menjadi saksi mata atau berhadapan langsung dengan satu kejadian atau beberapa kejadian yang mengerikan atau mengancam kehidupan atau kecelakaan yang serius, atau ancaman terhadap integritas fisik diri sendiri atau orang lain 10
b. respons dari individu yang terlibat dalam peristiwa yang sangat mengerikan, keputusasaan atau ketakutan yang luar biasa. Catatan; pada anak, kondisi ini mungkin ditunjukkan oleh adanya perilaku yang disorganisasi atau agitasi 2. pengalaman peristiwa traumatik selalu timbul berulang dalam salah satu bentuk di bawah ini; a. adanya bayangan, pikiran atau persepsi yang berkaitan dengan peristiwa traumatik yang timbul secara berulang dan menyebabkan penderitaan bagi individu yang bersangkutan. Bagi anak, seringkali kondisi ini diekspresikan melalui pola mainan yang bertemakan peristiwa traumatik yang dialaminya. b. Adanya mimpi-mimpi buruk berulang yang menimbulkan penderitaan bagi individu. Pada anak kondisi ini seringkali berupa timbulnya mimpi buruk tanpa dapat dikenali isi dari mimpi-mimpi itu c. Berperilakuatau berperasaan seolah-olah peristiwa traumatik yang dialami itu terjadi kembali (termasuk ilusi, halusinasi, dan episode disosiatif yang bersifat flashback) d. Adanya distress psikologis jika berhadapan dengan hal-hal atau simbol-simbol yang berkaitan dengan aspek peristiwa traumatik baik sebagian atau seluruh secara internal maupun eksternal e. Adanya reaksi fisiologis jika berhadapan dengan hal-hal atau simbol-simbol yang berkaitan dengan aspek peristiwa traumatik baik sebagian atau seluruhnya secara internal maupun eksternal. 3. adanya perilaku penghindaran yang menetap terhadap stimulus-stimulus yang berkaitan dengan peristiwa traumatik yang dialami dan disertai dengan respons emosi yang membeku secara keseluruhan (tidak dijumpai sebelum trauma terjadi), yang ditunjukkan oleh 3 atau lebih gejala di bawah ini; a. adanya usaha untuk menghindari pikiran-pikiran, perasaan, atau pembicaraan yang berkaitan dengan peristiwa traumatik yang dialaminya b. adanya usaha untuk menghindari aktiviras, tempat-tempat atau orang-orang yang membangkitkan ingatan-ingatan tentang peristiwa traumatik yang dialaminya c. kesulitan untuk mengingat kembali aspek-aspek penting yang berkaitan dengan peristiwa traumatik yang dialaminya
11
d. penurunan yang jelas akan ketertarikan atau partisipasi dalam aktivitasaktivitas e. merasa asing atau merasa terpisah dari lingkungan atau orang-orang di sekitarnya f. adanya ekspresi afektif yang terbatas, misalnya tidak mampu lagi merasakan perasaan dicintai g. kehilangan motivasi untuk membina masa depanya, misalnya tidak mempunyai keinginan lagi untuk mengembangkan karier, hidup perkawinan, mengasuh anak atau dalam aktivitas sehari-harinya 4. adanya gejala yang menetap dari peningkatan kewaspadaan (tidak dijumpai sebelum mengalami peristiwa traumatik), yang ditandai oleh 2 atau lebih gejala di bawah ini; a. kesulitan untuk tidur atau jatuh tertidur b. iritabilitas atau mudah mengalami ledakan kemarahan c. kesulitan berkonsentrasi d. hypervigilance e. respons yang kacau dan tidak terkendali 5. durasi dari gejala-gejala dalam kriteria 2,3 dan 4 berlangsung lebih dari 1 bulan 6. gejala-gejala diatas jelas menimbulkan penderitaan atau hendaya dalam fungsi social, pekerjaan atau fungsi-fungsi penting lainnya spesifikasi: akut: jika durasi gejala-gejala kurang dari 3 bulan kronik: jika durasi gejala-gejala berlangsung 3 bulan atau lebih dengan awitan lambat: jika awitan dari gejala-gejala terjadi paling lambat 6 bulan setelah mengalami peristiwa traumatik.
Diagnosis banding Gangguan penyesuaian Pada gangguan penyesuaian, keparahan stressor dan jenisnya dapat dapat bermacam-macam dibandingkan yang dibutuhkan pada kriteria A PTSD. Diagnosis gangguan penyesuaian digunakan bila respon terhadap stressor yang ada tidak memenuhi semua kriteria A PTSD (atau kriteria untuk gangguan mental lain). Gangguan penyesuaian juga didiagnosis ketika
12
pola gejala PTSD terjadi sebagai respons terhadap stressor yang tidak memenuhi kriteria A PTSD (misalnya, ditinggalkan pasangan, dipecat).7 Gangguan dan kondisi pasca trauma lain. Tidak semua psikopatologi yang terjadi pada individu yang terpapar stressor yang ekstrem harus dikaitkan dengan PTSD. Untuk diagnosis diperlukan paparan trauma yang mendahului onset atau eksaserbasi gejala yang bersangkutan. Apalagi jika pola respon terhadap stressor yang ekstrem memenuhi kriteria untuk gangguan mental lainnya, Diagnosa ini harus menggantikan, atau ditambahkan dengan PTSD. Diagnosa dan kondisi lain harus dikesampingkan jika lebih baik dijelaskan dengan PTSD ( misalnya , gejala gangguan panik yang terjadi hanya setelah terpapar ingatan yang traumatis ). Jika parah, pola respon terhadap stressor yang ekstrem memerlukan diagnosa yang terpisah (misalnya, amnesia disosiatif). 7 Gangguan stres akut . Gangguan stres akut dibedakan dari PTSD karena pola gejala pada gangguan stres akut dibatasi untuk jangka waktu 3 hari sampai 1 bulan setelah paparan peristiwa traumatis . 7 Kriteria diagnostic DSM-IV-TR gangguan stress akut: 1 A. Orang tersebut telah terpajan dengan peristiwa traumatic dan kedua hal ini ada: 1. Orang tersebut mengalami, menyaksikan, atau menghadapi peristiwa uang melibatkan kematian atua cedera serius yang sebenarnya atau mengancam, atau ancaman terhadap integritas fisik dirinya atau orang lain. 2. Respon orang tersebut melibatkan rasa takut yang intens, rasa tidak berdaya atau horror. B. Pengalaman peristiwa traumatic selalu timbul berulang dalam tiga atau lebih gejala disosiatif berikut ini: 1. Rasa lepas atau tidak adanya respon emosional 2. Menurunnya kesadaran akan sekelilingnya (linglung) 3. Derealisasi 4. Depersonalisasi 5. Amnesia disosiatif C. Peristiwa traumatic secara terus menerus dialami kembali pada satu atau lebih cara. D. Penghindaran stimulus yang nyata dan membangkitkan kembali trauma. 13
E. Gejala ansietas atau meningkatnya keterjagaan yang nyata. F. Gangguan ini menimbulkan distress yang secara klinis bermakna atau hendaya dalam area fungsi sosial, pekerjaan atau fungsi penting lain atau mengganggu lemampuan seseorang menjalankan tugas penting, seperti memperoleh bantuan yang penting atau berbagai hal- hal yang personal dengan bercerita pada angota keluarga mengenai peristiwa traumatic. G. Gangguan ini ada selama minimum 3 hari maksimum 4 minggu setelah peristiwa traumatic. H. Gangguan ini bukan disebabkan efek fisiologis langsung suatu zat.
Gangguan kecemasan dan gangguan obsesif-kompulsif . Pada OCD, ada pikiran berulang yang mengganggu , ini memenuhi definisi obsesi. Selain itu, pikiran yang mengganggu tidak berhubungan dengan peristiwa traumatis yang dialami , kompulsi biasanya ada, dan gejala lain dari PTSD atau gangguan stres akut biasanya tidak ada.7 Gangguan depresif mayor Depresi berat mungkin atau tidak mungkin didahului oleh peristiwa traumatik dan harus didiagnosis jika gejala PTSD lainnya tidak ada. Khususnya, gangguan depresi mayor tidak termasuk gejala kriteria B atau C PTSD. Juga tidak termasuk sejumlah gejala PTSD Kriteria D atau E. 7 Gangguan kepribadian Kesulitan interpersonal dengan onset atau yang kambuh, setelah terpapar peristiwa traumatik bisa jadi indikasi dari PTSD dibandingkan gangguan kepribadian, dimana kesulitan independen dari setiap eksposur traumatis. 7 Gangguan disosiatif Amnesia disosiatif, gangguan identitas disosiatif, dan gangguan depersonalisasi- derealisasi mungkin atau mungkin tidak didahului dengan paparan peristiwa traumatis ataupun mungkin atau tidak mungkin terjadi bersamaan dengan PTSD . Ketika kriteria PTSD juga dipenuhi, namun, subtipe PTSD '' dengan gejala disosiatif " juga harus dipertimbangkan. 7 14
Gangguan konversi (gangguan gejala neurologis fungsional ) Onset baru dari gejala somatik dalam konteks distress post traumatik mungkin merupakan indikasi dari PTSD daripada gangguan konversi (gangguan gejala neurologis fungsional). 7 Gangguan psikotik . Flashback pada PTSD harus dibedakan dari ilusi, halusinasi, dan gangguan persepsi lain yang mungkin terjadi pada skizofrenia, gangguan psikotik singkat, dan gangguan psikotik lainnya ; depresi dan gangguan bipolar dengan psikotik; delirium ; gangguan terinduksi zat; dan gangguan psikotik karena kondisi medis lain. 7 Traumatic Brain Injury . Ketika cedera otak terjadi dalam konteks peristiwa traumatis (misalnya, kecelakaan traumatis , ledakan bom , trauma akselerasi / deselerasi), gejala PTSD mungkin muncul .7
Gangguan buatan dan malingering Sebagian karena publisitas yang didapat PTSD, klinisi juga harus mempertimbangkan kemungkinan gangguan buatan dan malingering.3 Penatalaksanaan Gangguan Stres Pasca Trauma Tatalaksana gangguan stres pasca trauma dilakukan dalam bentuk yang komprehensif, meliputi pemberian medikasi dan psikoterapi serta edukasi, dukungan psikososial, teknik untuk meredakan kecemasan dan juga modifikasi pola hidup. Berdasarkan rekomendasi dari The Expert Consensus Panels for PTSD, tatalaksana gangguan stres pasca trauma sebaiknya mempertimbangkan hal – hal sebagai berikut: 1. Gangguan stres pasca trauma merupakan suatu gangguan yang kronik dan berulang serta sering berkomorbiditas dengan gangguan jiwa serius lainnya. 2. Antidepresan golongan penghambat selektif dari ambilan serotonin/ SSRI merupakan obat pilihan pertama untuk kasus ini. 3. Terapi yang efektif harus dilanjutkan paling sedikit 12 bulan. 15
4. Expossure therapy merupakan terapi pendekatan psikososial terbaik yang dianjurkan dan sebaiknya dilanjutkan selama 6 bulan.1 A. Farmakoterapi Medikasi lini pertama yang tergolong bermanfaat untuk mengatasi kasus gangguan stres pasca trauma adalah pemberian obat – obatan antidepresan golongan SSRI seperti Fluoxetin 10 – 60 mg/hari, Setralin 50 – 200mg/ hari atau Fluvoxamine 50 – 300 mg/ hari. Selain obat antidepresan golongan SSRI, dapat pula digunakan obat antidepresan dari golongan lainnya seperti antidepresan trisiklik, MAO inhibitors, SRNI ( Serotonin Norepineprin Reuptake Inhibitors). Prinsip pengobatan selalu dimulai dari dosis rendah, ditingkatkan bertahap sampai mencapai dosis terapeutik. Efek terapi baru akan tampak pada minggu ke 2 – 3 sehingga pemberian obat harus memperhatikan hal ini. Pada minggu pertama perlu diberikan benzodiazepin yang memiliki efek cepat dalam memberikan rasa nyaman sambil menunggu efek terapi antidepresan. Setelah efek terapi tercapai maka dilanjutkan dengan terapi pemeliharaan untuk mencegah relaps selama paling sedikit 12 bulan.1,3 1. Selective Serotonin Reuptake Inhibitor (SSRI) Golongan obat ini kurang memperlihatkan efek terhadap sistem kolinergik, adrenergik atau histaminergik, sehingga efek sampingnya lebih ringan. Menurut penelitian, obat – obat golongan ini lebih menujukkan hasil pengobatan yang baik untuk pasien dengan gangguan stress pasca trauma. Obat – obat golongan ini merupakan golongan obat yang secara spesifik menghambat ambilan serotonin. Yang termasuk golongan obat ini adalah fluoksetin, paroksetin, setraline, fluvoksamin, R-S sitalopram, dan S-sitalopram. Obat ini merupakan inhibitor spesifik P450 isoenzim. Masa kerja obat golongan ini panjang yaitu antara 15 – 24 jam, fluoksetin paling panjang dengan masa kerja 24 – 96 jam. Paroksetin dan fluoksetin dapat meningkatkan kadar anti depresi trisiklik berdasarkan hambatan enzim CYP. Efek samping yang sering dikeluhkan adalah mual, penurunan libido, dan fungsi seksual lainnya.3,8 a. Fluoksetin Obat ini merupakan golongan obat SSRI yang paling luas digunakan, karena obat ini kurang menyebabkan antikolinergik, hampir tidak menimbulkan sedasi dan cukup diberikan sekali sehari.
16
Sediaan obat ini dalam bentuk kapsul 10 mg dan 20 mg, dalam tablet bergaris 10 mg, dan dalam bentuk iv 20mg/5ml. Dosis awal dapat diberikan 20 mg/hari diberikan setiap pagi, bila tidak diperoleh hasil maka dapat ditingkatkan 20mg hingga 30 mg per hari.8 b. Setralin Suatu golongan SSRI serupa dengan fluoksetin namun bersifat lebih selektif terhadap SERT (transporter serotonin) dan kurang efektif terhadap DAT (transporter dopamin). Tersedia dalam tablet garis 25 mg, 50 mg, dan 100mg. Dosis awal yang dapat diberikan adalah 50 mg/hari dan dapat ditingkatkan bila tidak berespon.8 c. Flufoksamin Efek sedasi dan efek antimuskarinik kurang dari fluoksetin. Obat ini cenderung meningkatkan metabolit oksidatif benzodiazepin, klozapin, teofilin dan warfarin karena menghambat CYP 1A2, CYP 2C19, dan CYP 3A3/4.8 d. Paroksetin Masa paruh 22 jam. Obat ini meningkatkan kadar klozapin, teofilin dan warfarin. Iritabilitas terjadi pada penghentian secara mendadak. Obat ini tidak boleh diberikan pada anak karena dapat mengakibatkan gagasan bunuh diri dan agitasi.8 e. R-S sitalopram dan S-sitalopram Selektivitas terhadap SERT paling tinggi. Masih belum diketahui apakah berarti secara klinis.8 2. Antidepresan Trisiklik Golongan obat ini bekerja dengan menghambat ambilan kembali neurotransmitter di otak. Dari beraneka jenis antidepresan trisiklik terdapat perbedaan potensi dan selektivitas hambatan ambilan kembali neurotransmitter. Ada yang sangat sensitive terhadap pengambilan norepinefrin dan ada pula yang sensitif terhadapa serotonin serta yang sensitif terhadap dopamin. Tidak jelas hubungan antara mekanisme penghambatan ambilan kembali katekolamin dengan efek antidepresinya. Efek samping obat ini adalah sering terjadi pengeluaran keringat berlebihan, peningkatan tekanan darah, gangguan irama jantung. Pemberian obat ini harus hati – hati pada pasien glaukoma atau hipertrofi prostat.8 a. Imipramin Tersedia dalam bentuk tablet berlapis gula 10 dan 25 mg dan dalam bentuk sediaan suntik 25 mg/ 2ml. Biasanya efek mulai timbul minggu 2-3 minggu dari pemberian obat.8 b. Desmetilimipramin Berbentuk tablet 25 mg. Dosis permulaan 3 kali 25 mg per hari, selama 7-10 hari. Dosis kemudian ditambahkan atau dikurangkan sesuai kebutuhan. c. Amitriptilin Tersedia dalam bentuk tablet 10 dan 25 mg, dan dalam bentuk larutan suntikan 100 mg/10ml.6 17
3. Monoamin Oksidase Inhibitors (MAO Inhibitors) Golongan obat ini sudah lama digunakan sebagai antidepresan. MAO dalam tubuh berfungsi dalam proses deaminasi oksidasif katekolamin dalam mitokondria. Bila proses ini dihambat maka kadar epinefrin, norepinefrin dan 5-HT dalam otak akan meningkat. Penggunaan obat ini sangat terbatas karena toksik. Efek samping obat ini adalah hipotensi, hipertensi, gejala tremor, insomnia, konvulsi, dan kerusakan hati.8 a. Isokarboksazid Tersedia dalam tablet 10 mg. Dosis obat ini adalah 3 kali 10 mg perhari. Efek terapi baru terlihat setelah 1-4 minggu.8 b. Nialamid Tersedia dalam tablet 25 dan 100 mg. Sifat obat ini kurang toksik namun juga kurang efektif.8 c. Moklobemid Menghambat MAO-A secara spesifik dan reversibel. Belum ada cukup bukti untuk menentukan status obat ini dalam pengobatan depresi.8 Table 02. Assessment of Pharmacotherapeutic Interventions for Post-traumatic Stress Disorder in War Veterans.5 Significant Benefit
SSRIs
SNRIs
Some Benefit
Unknown Benefit
MAO inhibitors (phenelzine) [caution*]
Atypical antipsychotics (monotherapy)
Mirtazapine
Nefazodone [caution*]
Atypical antipsychotics (adjunctive)
Prazosin (for sleep/nightmar es) TCAs
Bupropion
Buspirone
Clonidine
Conventional antipsychotics
Gabapentin
Lamotrigine
No Benefit
Benzodiazepine s [harmful]
Guanfacine
Risperidone
Tiagabine
Topiramate
Valproate
18
Significant Benefit
Some Benefit
Unknown Benefit
Nonbenzodiazepine hypnotics
Prazosin (for global PTSD)
Propranolol
Trazodone (adjunctive)
No Benefit
*
Attention to drug-drug and dietary interactions.
MAO = monoamine oxidase; SSRI = selective serotonin reuptake inhibitor; SNRI = serotonin–norepinephrine reuptake inhibitor; TCA = tricyclic antidepressant. Adapted from the Department of Veterans Affairs and the Department of Defense. B. Non farmako terapi a) Edukasi Merupakan bagian yang sangat penting karena merupakan pendekatan untuk membantu pasien mengerti akan perubahan – perubahan yang terjadi dalam fungsi pasien baik secara fisik maupun psikis sebagai dampak dari peristiwa traumatik yang dialami, baik adaptif maupun maladaptif.1,9 b) Dukungan psikososial Dibutuhkan untuk mengurangi berbagai stigma negatif yang mungkin muncul akibat dari diagnosis gangguan stres pasca trauma. Dukungan psikososial tidak hanya diberikan oleh dokter, keluarga dan masyarakat lingkungan di sekitar pasien juga harus memberikan dukungan kepada pasien.1,9 Pada tingkat klinis , Huntington , NY , ahli trauma dan praktisi swasta Elizabeth Carll , PhD , telah mengembangkan alat pendekatan untuk keluarga dengan anggota keluarga PTSD . Strategi Carll meliputi:10 Mengajarkan keterampilan manajemen stres . Menggunakan copy keterampilan keluarga yang sebelumnya efektif untuk membangun kerangka kerja ketahanan sekarang dan masa depan.
19
Membahas bagaimana orang yang mengalami trauma dan anggota keluarganya ingin berbicara kepada orang-orang di luar keluarga . Konsep ini sangat penting dalam kasus trauma emosional seperti perkosaan . Membantu keluarga untuk memahami bahwa setiap orang terpengaruh oleh kejadian tersebut, bahkan jika itu tidak jelas pada awalnya . Melihat anggota keluarga dalam konfigurasi yang fleksibel - individu , dyadic atau tingkat tergantung pada kebutuhan kelompok dan pengobatan. c) Teknik untuk meredakan kecemasan Teknik yang dapat digunakan adalah pengaturan pernafasan serta mengontrol pikiran – pikiran yang terus dilatih. Hal ini terbukti bermanfaat bagi pasien.1,9 d) Modifikasi pola hidup Diet makanan sehat, mengatur konsumsi kafein, alkohol, rokok, dan obat – obatan lainnya. Selain itu olahraga juga diperlukan dalam modifikasi pola hidup.1 e) Psikoterapi: Psikoterapi psikodinamik dapat berguna dalam terapi pada banyak pasien PTSD. Di sejumlah kasus, rekonstruksi peristiwa traumatik dengan abreaksi dan katarsis terkait dapat bersifat terapeutik, tetapi psikoterapi harus diindividualisasi, karena mengalami kembali trauma dapat terlalu berat untuk pasien. Individualisasi psikoterapi pada PTSD meliputi terapi perilaku, terapi kognitif, dan hipnosis. Psikoterapi setelah peristiwa traumatik harus mengikuti model intervensi krisis dengan dukungan edukasi, dan pembentukan mekanisme koping (copyng mechanism) serta penerimaan peristiwa. Ketika timbul PTSD, dua pendekatan psikoterapeutik utama dapat diambil. Pendekatan pertama adalah pajanan terhadap peristiwa traumatik melalui teknik membayangkan atau pajanan in vivo. Pajanan ini dapat intens seperti terapi implosif atau bertahap seperti pada desentisasi sistematik. Pendekatan kedua adalah dengan mengajari pasien metode penatalaksanaan stres, termasuk teknik relaksasi dan pendekatan kognitif untuk menghadapi stres. Di samping terapi individualm terapi kelompok dan terapi keluarga sering dilaporkan efektif pada kasus PTSD. Keuntungan terapi kelompok mencakup saling berbagi pengalaman traumatik dan dukungan dari anggota kelompok lain.1,3,9 Prognosis Jika tidak diobati, sekitar 30% psien akan pulih sempurna, 40% akan terus memiliki gejala ringan, 20% akan terus memiliki gejala sedang, dan 10% tetap tidak berubah atau bertambah buruk. Setelah 1 tahun, sekitar 50% pasien akan pulih. 20
Prognosis pasien menjadi lebih baik bila adanya awitan cepat, durasi gejala singkat (kurang dari 6 bulan), fungsi pramorbid baik, dukungan sosial baik, dan tidak adanya gangguan psikiatri, medis, atau gangguan terkait zat lain atau faktor risiko lain. Umumnya orang yang sangat muda dan sangat tua lebih memiliki kesulitan dengan peristiwa traumatik daripada orang usia pertengahan. Kemungkinan orang usia muda belum memiliki mekanisme pertahanan copyng mecanism yang adekuat untuk mengatasi akibat buruk emosional dan fisik dari trauma. Begitu pula dengan orang yang sangat tua, umumnya memiliki copyng mecanism yang kaku untuk menghadapi masalah emosional dan fisik dari trauma yang dialami. PTSD yang terjadi bersamaan dengan gangguan lain umumnya lebih berat, lebih kronis dan dapat sulit diobati. Ketersediaan dukungan sosial juga dapat memengaruhi timbulnya gejala, keparahan, dan durasi PTSD. Umumnya, pasien yang memiliki jaringan dukungan sosial yang baik lebih kecil kemungkinan untuk memiliki gangguan ini dan lebih jarang mengalami PTSD dalam bentuk berat, serta lebih besar kemungkinan pulih dalam waktu cepat.3
Komorbiditas Individu dengan PTSD 80% lebih mungkin dibandingkan mereka yang tidak memiliki gejala PTSD memenuhi kriteria diagnostik untuk setidaknya satu gangguan mental lain (misalnya, depresi, bipolar, kecemasan, atau gangguan penggunaan zat). Komorbiditas gangguan penggunaan zat dan gangguan perilaku lebih sering terjadi pada laki-laki daripada pada wanita. Di antara personil militer AS dan veteran perang yang dikerahkan untuk perang di Afghanistan dan Irak, terjadinya PTSD dan TBI ringan sekitar 48%. Meskipun sebagian besar anak-anak dengan PTSD juga memiliki setidaknya satu diagnosis lain, pola komorbiditas berbeda dari
pada orang dewasa, dengan gangguan pemberontak dan gangguan cemas
perpisahan Ada komorbiditas yang cukup besar antara PTSD dan gangguan neurokognitif utama dan beberapa gejala tumpang tindih antar gangguan ini.7
21
BAB III KESIMPULAN Gangguan stress pasca trauma adalah suatu gangguan kecemasan yang timbul setelah mengalami atau menyaksikan suatu ancaman kehidupan atau peristiwa-peristiwa trauma, seperti perang militer, serangan dengan kekerasan atau suatu kecelakaan yang serius. Peristiwa trauma ini menyebabkan seseorang memberikan reaksi dalam keadaan ketakutan, tak berdaya dan merasa cemas. Bila gejala-gejala gangguan stres pasca trauma menjadi parah, gangguan tersebut menimbulkan gangguan dalam aktivitas. Terdapat berbagai penyebab terjadinya gangguan stres pasca trauma. Stressor adalah penyebab utama terjadinya gangguan stress pasca trauma. Stressor berupa kejadian yang traumatis misalnya akibat perkosaan, kecelakaan yang parah, kekerasan pada anak atau pasangan, bencana alam, perang, atau dipenjara. Pedoman untuk mendiagnosis PTSD dapat menggunakan PPDGJ III dan DSM IV/V. Penatalaksaan gangguan stress pasca trauma berupa terapi farmakologi dan nonfarmakologi. Terapi farmakologi yang merupakan lini pertama untuk PTSD adalah golongan SSRI. Namun sebagai alternatif dapat digunakan golongan obat antidepresan lainnya seperti antidepresan trisiklik, MAO inhibitors, atau SNRI. Terapi nonfarmakologi yang dilakukan dapat berupa psikoterapi, dukungan sosial, modiikasi pola hidup dan edukasi. Psikoterapi memegang peranan penting dalam pengobatan PTSD. Umumnya prognosis pasien PTSD baik. Prognosis pasien menjadi lebih baik bila adanya awitan cepat, durasi gejala singkat (kurang dari 6 bulan), fungsi pramorbid baik, dukungan sosial baik, dan tidak adanya gangguan psikiatri, medis, atau gangguan terkait zat lain atau faktor risiko lain.
22
Daftar Pustaka 1. Elvira SD, Hadisukanto G. Buku ajar psikiatri. Edisi 2. 2013. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.h. 277-86. 2. Post-Traumatic Stress Disorder (PTSD). Diunduh dari: http://www.webmd.com/mental-health/post-traumatic-stressdisorder-ptsd, 24 Mei 2014. 3. Sadock BJ, Sadock VA. Kaplan & Sadock’s synopsis of psychiatry. 10th ed. 2007. Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkins p. 252-8. 4. Wynn GH, Benedek DM. Clinical Manual for Management of PTSD. 2011. Arlington: American Psychiatrics Publishing p.46-7. 5. Alexander W. Pharmacotherapy for Post-traumatic Stress Disorder In Combat Veterans. [serial online] 2012; 37(1):32–38. Diunduh dari: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3278188/, 25 Mei 2014. 6. Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia III. 1993. Jakarta: Departemen Kesehatan RI Direktoral jenderal Pelayanan Medis h.190-2. 7. American Psychiatric Association. Diagnostic an Statistical Manual Of Mental Disorders. 5th edition. 2013. Arlington: American Psychiatric Association p. 278-80. 8. Gunawan SG, Nafrialdi RS, Elysabeth. Farmakologi dan terapi. Edisi ke-5. 2007. Jakarta: Balai penerbit FKUI.h.172-4. 9. Schnurr PP. Treatments for PTSD: Understanding the Evidence. PTSD Research Quarterly [serial online] 2008 Summer; 19(3):13-8. Diunduh dari: http://www.ptsd.va.gov/professional/newsletters/research-quarterly/V19N3.pdf., 24 Mei 2014. 23
10. DeAngelis. Helping families cope with PTSD. [serial online] 2008; 39(1):44. Diunduh dari: http://www.apa.org/monitor/jan08/helping.aspx , 25 Mei 2014.
24
View more...
Comments