referat polineuropati stase neurologi
February 10, 2019 | Author: Veronika Peny Laba | Category: N/A
Short Description
referat polineuropati stase neurologi...
Description
BAB I PENDAHULUAN
Neuropati merupakan proses patologi yang mengenai susunan saraf perifer, berupa proses demielinisasi atau degenerasi aksonal atau kedua-duanya. Sususan saraf perifer mencakup saraf kranial (kecuali N. opticus dan N. olfaktorius), saraf spinal dengan akar saraf serta cabang-cabangnya, saraf tepi dan bagian-bagian tepi dari susunan saraf otonom.Saraf perifer yang terkena meliputi semua akar saraf spinalis, sel ganglion radiks dorsalis, semua saraf perifer dengan semua cabang terminalnya, susunan saraf otonom, dan nervus cranialis kecuali opticus dan olfaktorius. 1 Neuropati didefinisikan sebagai lesi saraf baik perifer maupun sentral bisa diakibatkan oleh beberapa penyebab seperti amputasi, toksis (akibat kemoterapi), metabolik (diabetik neuropati) atau juga infeksi misalnya herpes zoster. Nyeri pada neuropati bisa muncul spontan (tanpa stimulus) maupun dengan stimulus atau kombinasi. 1 Terdapat beberapa etiologi dari polineuropati, namun pada referat ini hanya akan dibahas polineuropati yang disebabkan herediter, infeksi, inflamasi, dan neoplastik.
1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Neuropati adalah gangguan saraf perifer yang meliputi kelemahan motorik, gangguan sensorik, otonom dan melemahnya refleks tendon yang dapat bersifat akut atau kronik. Beberapa saraf perifer yang terkena meliputi semua akar saraf spinalis, sel ganglion radiks dorsalis, semua saraf perifer dengan semua cabang terminalnya, susunan saraf autonom, dan saraf otak kecuali saraf optikus dan olfaktorius. . 1,2
2.2 Etiologi
Adapun etiologi dari neuropati adalah sebagai berikut:
1,3,4
1. Genetik (Charcot-Marie-Tooth) 2. Infeksi (lepra, difteri, penyakit lyme, HIV) 3. Inflamasi (sindrom Guillain Barre, sarkoidosis, sindrom Sjogren, vaskulitis lupus,poliarthritis) 4. Neoplastik (paraneoplastik, paraproteinemik) 5. Metabolic ( diabetes mellitus, uremia, miksedema, amiloidosis) 6. Nutrisi (defisiensi vitamin B1, B6, B12, asam folat, asam nikotinat dan asam pentotenat) Defisiensi tiamin, asam nikotinat dan asam pentotenat mempengaruhi metabolisme neuronal dengan menghalangi oksidasi glukosa. Defisiensi ini dapat terjadi pada kasus malnutrisi, muntah-muntah, kebutuhan meningkat seperti pada masa kehamilan, atau pada alkoholisme. 7. Toksik (alkohol, timah, timbal, arsen, merkuri, insektisida, heksana) Timah dan logam berat akan menghambat aktivasi enzim dalam proses aktifitas oksidasi glukosa sehingga mengakibatkan neuropati yang sulit dibedakan dengan defisiensi vitamin B. 8. Obat-obatan
(isoniazid,
metronidazole,
fenitoin,
amiodaron,karbamazepin,
kloramfenikol)
2.3 Epidemiologi
Neuropati merupakan suatu penyakit saraf yang sering ditemukan di klinik. Penyakit ini mengenai semua umur, terbanyak pada usia remaja dan pertengahan, serta laki-laki relatif lebih banyak daripada wanita. Kerusakan saraf perifer dialami oleh 2,4% populasi di dunia. Prevalensi ini akan meningkat 8% seiring bertambahnya usia. Penyebab polineuropati yang yang 2
paling sering dijumpai adalah polineuropati sensorimotor diabetik, dimana 66% penderita DM tipe 1 dan 59% penderita DM tipe 2 mengalami polineuropati. Sedangkan polineuropati genetik yang paling sering adalah akibat Charcot-Marie-Tooth type 1a, dimana 30 dari 100.000 populasi mengalaminya. Mononeuropati terbanyak disebabkan oleh carpal tunnel syndrome yang syndrome yang prevalensinya 3% - 5% dari populasi orang dewasa. 1,2
2.4 Klasifikasi a. Jumlah Saraf yang Terlibat
Polineuropati
Lesi utama pada polineuropati adalah pada neuron sehingga bisa juga disebut neuronopati. Gejala yang mula-mula mencolok adalah pada ujung saraf yang terpajang. Disini didapatkan degenerasi aksonal, sehingga penyembuhan dapat terjadi jika ada regenerasi aksonal. Proses disini lambat dan sering tidak semua saraf terkena lesi tersebut. Gangguan bersifat simetris pada kedua sisi. Tungkai lebih dulu menderita dibanding lengan. Gangguan sensorik berupa parastesia, disestesia, dan perasaan baal pada ujung jari kaki yang dapat menyebar kearah proksimal sesuai dengan penyebaran saraf tepi, ini disebut sebagai gangguan sensorik dengan pola kaus kaki. Kadang parastesia dapat berupa perasaan yang aneh yang tidak menyenangkan, rasa terbakar. Nyeri pada otot dan sepanjang perjalanan saraf tepi jarang dijumpai. 5,6 Kelemahan otot awalnya dijumpai pada bagian distal kemudian menyebar kearah proksimal. Atrofi otot, hipotoni dan menurunnya reflex tendon dapat dijumpai pada fase dini, sebelum kelemahan otot dijumpai. Saraf otonom dapat juga terkena sehingga menyebabkan gangguan tropik pada kulit dan hilangnya keringat serta gangguan vaskuler prifer yang dapat menyebabkan hipotensi postural. 5,6 Cairan serebrospinal biasanya normal. Proses patologik pada sistem motorik dan sensorik dapat mengalami gangguan yang tidak sama beratnya. Tidak jarang satu fungsi masih normal sedangkan yang lain mengalami gangguan berat. Biasanya neuropati jenis ini disebabkan oleh penyakit defisiensi, gangguan metabolisme dan intoksikasi. 6,7
Radikulopati
Lesi utama yaitu pada radiks bagian proksimal, sebelum masuk ke foramen intervertebralis. Pada kasus ini dijumpai proses demielinisasi yang disertai degenerasi aksonal sekunder. Demielinisasi diduga sebagai akibat reaksi alergi.
3
Reaksi serupa dapat dijumpai pada binatang percobaan dengan memberikan imunisasi lanjutan jaringan saraf. Pada manusia dijumpai pada neuritis difteria dan Guillian-Barre syndrome. syndrome. Oleh karena lesi terjadi disekitar ruangan subarakhnoid maka akan terjadi reaksi pada CSF yang disebut sebagai disosiasi sitoalbumin, dimana protein meningkat dan sedikit perubahan pada jumlah sel.6,7 Gangguan sensorik sangat bervariasi, kadang-kadang berupa gangguan segmental, pola kaus kaki dan juga dapat normal tanpa kelainan. Kelemahan otot dapat terjadi pada bagian proksimal maupun distal pada tungkai. Atrofi tidak begitu nyata dibandingkan pada poli neuropati. Refleks-refleks dapat menurun sampai menghilang.7
Mononeuropati
Pada mononeuropati terjadi lesi perifer lokal yang disebabkan oleh infeksi, kompresi, atau iskemik pada satu saraf. Gangguan motorik maupun sensorik hanya terbatas pada satu saraf yang terkena. Lesi pada berbagai saraf perifer yang bersifat simetris yang disebut mononeuropati multipleks sebagai komplikasi penyakit kolagen. 8 1. Mononeuropati Simpleks Mononeuropati simpleks adalah jenis neuropati yang hanya mempengaruhi saraf tunggal. Penyebab paling umum mononeuropati adalah melalui kompresi fisikal pada saraf yang dikenal sebagai neuropati kompresi. Salah satu contoh dari neuropati kompresi adalah Carpal tunnel syndrome. Cedera langsung ke saraf, gangguan suplai darah (iskemia), atau peradangan juga dapat menyebabkan menyebabkan mononeuropati.
9
2. Mononeuropati Kompleks Mononeuropati kompleks adalah kondisi dua atau lebih mono-neuropati yang berkembang secara berdekatan yang terjadi akibat infeksi primer. Pola keterlibatan adalah asimetris, walau bagaimanapun, apabila penyakit ini berkembang, defisit menjadi lebih terimpit dan simetris, sehingga sulit untuk membedakan dari polineuropati.Oleh karena itu, perhatian terhadap t erhadap pola dari gejala awal adalah penting. Mononeuritis multipleks juga dapat menyebabkan rasa sakit, yang dicirikan sebagai nyeri yang sangat dalam, nyeri yang lebih buruk di malam hari, sering di punggung bawah, pinggul, atau kaki. Pada pasien dengan diabetes mellitus, multipleks mononeuritis biasanya ditemui sebagai akut, nyeri unilateral, nyeri paha parah diikuti oleh kelemahan otot anterior dan kehilangan refleks lutut. 9
Neuropati Otonom
Neuropati otonom merupakan bentuk polineuropati yang mempengaruhi sistem involunter, sistem saraf non-sensorik (sistem saraf otonom) yang mempengaruhi sebagian
4
besar organ internal seperti otot-otot kandung kemih, sistem kardiovaskular, saluran pencernaan, dan organ kelamin. Saraf-saraf ini tidak berada di bawah kendali kesadaran seseorang dan berfungsi secara otomatis. Serabut saraf otonom membentuk koleksi besar di toraks, abdomen dan panggul di luar medula spinalis, namun mereka memiliki hubungan baik dengan medula spinalis dan otak. Umumnya neuropati otonom terlihat pada pasien dengan diabetes mellitus tipe 1 dan 2 dalam jangka panjang. Dalam sebagian besar tapi tidak semua kasus, neuropati otonom terjadi bersama bentuk-bentuk neuropati yang lain, seperti neuropati sensorik.8 b. Onset serangan 10
Akut (hari hingga minggu) Acute polyradiculitis Critical illness Polyarteritis nodosa Toxic polyneuropathies Porphyria Kronik (minggu hingga bulanan) HMSN Diabetes Relaps Chronic polyradiculitis c. Letak lesi
1. Aksonopati distal : merupakan gangguan pada akson 2. Mielinopati: merupakan gangguan pada selubung mielin 3. Neuronopati: merupakan gangguan pada badan sel saraf di cornu anterior, medulla spinalis, atau pada dorsal root ganglion.
8
d. Klasifikasi Neuropati menurut Derajat Keparahan
1. Neuropati ringan Pada derajat keparahan yang ringan hanya terdapat gangguan sensorik saja 2. Neuropati sedang Pada derajat keparahan sedang s edang meliputi gangguan sensorik dan gangguan motorik 3. Neuropati berat Pada neuropati dengan derajat keparahan berat selain ada gangguan sensorik dan gangguan motorik, terdapat juga atrofi otot
8
5
e. Berdasarkan penyakit yang mendahului dan letak anatomisnya 9
1. Perifer: dapat diakibatkan oleh neuropati, nueralgia pasca herpes zoster, trauma susunan saraf pusat, radikulopati, neoplasma, dan lain-lain. 2. Medula spinalis: dapat diakibatkan oleh multiple sclerosis, trauma medula spinalis, neoplasma, arakhnoiditis, dan lain-lain 3. Otak: dapat diakibatkan oleh stroke, siringomielia, neoplasma, dan lain-lain. f. Berdasarkan gejala, klasifikasi nyeri neuropati terbagi menjadi: 9
1. Nyeri spontan (independent pain) 2. Nyeri oleh karena stimulus (evoked pain) 3. Gabungan antara keduanya. Stimulus nyeri neuropati 1. Stimulus independent pain Nyeri spontan tanpa rangsangan dalam bentuk bentuk parastesa, disestesia 2. Stimulus evoked pain Rasa nyeri setelah rangsangan mekanis (mechanical),suhu (mechanical),suhu (thermal), bahan bahan kimia (chemical) dalam bentuk allodynia dan hiperalgesia.
2.5 Patofisiologi
Secara umum neuropati perifer terjadi akibat 3 proses patologi yaitu degenerasi wallerian, degenerasi aksonal dan demielinisasi segmental. Proses spesifik dari beberapa penyakit yang menyebabkan neuropati masih belum diketahui. 11
6
Gambar 1. Patologi serabut saraf. S umber: umber: Adam’s. principles of Neurology. 8 thed. New York: Mc Graw Hill; 2014. Pada degenerasi wallerian, terjadi degenerasi myelin sebagai akibat dari kelainan pada akson. Degenerasi akson berlangsung dari distal sampai lesi fokal sehingga merusak kontinuitas akson. Reaksi ini biasanya terjadi pada mononeuropati fokal akibat trauma atau infark saraf perifer. 11 Degenerasi aksonal, yang biasanya disebut dying-back phenomenon, phenomenon , kebanyakan menunjukkan degenerasi aksonal pada daerah distal. Polineuropati akibat degenerasi akson biasanya bersifat b ersifat simetris dan selama s elama perjalanan penyakit akson berdegenerasi dari distal ke proksimal. Proses ini sering didapatkan pada penderita polineuropati polineuropati kausa metabolik. 11 Pada degenerasi akson dan Wallerian, perbaikannya lambat karena menunggu regenerasi akson, disamping memulihkan hubungan dengan serabut otot, organ sensorik dan pembuluh darah. 11 Pada demielinisasi segmental terjadi degenerasi fokal dari myelin. Reaksi ini dapat dilihat pada mononeuropati fokal dan pada sensorimotor general atau neuropati motorik predominan. Polineuropati demielinasi segmental yang didapat biasanya akibat proses autoimun atau yang berasal dari proses inflamasi, dapat pula terdapat pada polineuropati herediter. Pada kelainan ini perbaikan dapat terjadi secara cepat karena yang diperlukan hanya remielinisasi. 11 Pada polineuritis idiopatik akut dapat terjadi infiltrasi limfosit, sel plasma dan sel mononuklear pada akar-akar saraf spinalis, sensorik dan ganglion simpatis dan saraf perifer.
7
Pada polineuropati difteri terjadi demielinisasi pada serat-serat saraf di akar dan ganglion sensorik dengan reaksi inflamasi. 11 Mekanisme yang mendasari neuropati perifer tergantung dari kelainan yang mendasarinya. Diabetes sebagai penyebab tersering, dapat mengakibatkan neuropati melalui peningkatan stress oksidatif
yang meningkatkan Advance Glycosylated End products
(AGEs), akumulasi polyol, menurunkan nitric oxide, mengganggu fungsi endotel, mengganggu aktivitas Na/K ATP ase, dan homosisteinemia. Pada hiperglikemia, glukosa berkombinasi dengan protein, menghasilkan protein glikosilasi, yang dapat dirusak oleh radikal bebas dan lemak, menghasilkan AGE yang kemudian merusak jaringan saraf yang sensitif. Selain itu, glikosilasi enzim antioksidan dapat mempengaruhi sistem pertahanan menjadi kurang efisien. 11
Gambar
2.
Patofisiologi
pada
neuropati
diabetik.
Dari:Head
KA.
Peripheral
neuropathy:pathogenic mechanisms and alternative therapies. Alternative Medicine Review 2006;11(4):294-296.12 Glukosa di dalam sel saraf diubah menjadi sorbitol dan polyol lain oleh enzim aldose reductase. Polyol tidak dapat berdifusi secara pasif ke luar sel, sehingga akan terakumulasi di dalam sel neuron, yang menganggu keseimbangan gradien osmotik sehingga memungkinkan natrium dan air masuk ke dalam sel dalam jumlah banyak. Selain itu, sorbitol juga dikonversi menjadi fruktosa, dimana kadar fruktosa yang tinggi meningkatkan prekursor AGE. Akumulasi sorbitol dan fruktosa dalam sel saraf menurunkan aktivitas Na/K ATP ase. 12
8
Gambar 3. Jalur sorbitol, sebagai salah satu mekanisme patogenesis pada neuropati perifer. Dari: Head KA. Peripheral neuropathy:pathogenic mechanisms and alternative therapies. Alternative Medicine Review 2006;11(4):294-296. 2006;11(4):294-296. 12
Nitric oxide memainkan peranan penting dalam mengontrol aktivitas Na/K ATPase. Radikal superoksida yang dihasilkan oleh kondisi hiperglikemia mengurangi stimulasi NO pada aktivitas Na/K ATPase. Selain Sela in itu, penurunan kerja NO juga mengakibatkan penurunan aliran darah ke saraf perifer. 12
2.6 Gambaran Klinis13 1. Metabolik
a. Neuropati diabetik * Polineuropati : komplikasi komplikasi diabetes melitus yang yang paling sering terjadi Gejala dan tanda : - gangguan motorik tungkai lebih sering terkena daripada tangan - gangguan sensorik kaos kaki dan sarung tangan berupa gangguan rasa nyeri dan suhu, vibrasi serta posisi. 13 * Otonom neuropati Gejala dan tanda : keringat berkurang, hipotensi ortostatik, nokturnal diare, inkontinensi alvi, konstipasi, inkontinensia dan retensio urin, gastroparesis dan impotensi. 13 *Mononeuropati Gejala dan tanda : terutama mengenai nervi kranialis (terutama nervi untuk pergerakan bola mata) dan saraf tepi besar dengan gejala nyeri. 13 b. Polineuropati uremikum Terjadi pada pasien uremia kronis (gagal ginjal kronis) Gejala dan tanda : - gangguan sensorimotor simetris pada tungkai dan dan tangan - rasa gatal, geli dan rasa merayap pada tungkai dan paha memberat pada malam hari, membaik bila kaki digerakkan (restless leg syndrome). 13 2. Nutrisional
a. Polineuropati defisiensi : 13 - Piridoksin : pada penggunaan Izoniazid (INH) Gejala dan tanda : neuropati sensorimotor dan neuropati optika - Asam folat : sering pada penggunaan penggunaan fenitoin > a intake intake asam folat yang kurang - Niasin : pada pasien defisiensi multiple 9
b. Polineuropati alkoholik : Neuropati Neuropati karena defisiensi multivitamin dan thiamin Gejala dan tanda : gangguan gangguan sensorimotor simetris terutama terutama tungkai tahap lanjut mengenai tangan. 13 3. Toksik a. Arsenik : keracunan arsen secara kronik (akumulasi kronik) 13 Gejala dan tanda : - gangguan sensoris berupa nyeri dan gangguan motorik yang berkembang lambat - gangguan GIT mendahului ganggauan neuropati oleh karena intake arsen. b. Merkuri : Gejala dan tanda : menyerupai keracunan arsen
13
4. Drug induced a. Obat antineoplasma : (Cisplastin, carboplastin, vincristin) Gejala dan tanda : - Kloramfenikol
dan metronodazole :
gangguan sensoris
ringan/akral parestesia, kadang optik neuropati. 13 b. Keganasan / paraneoplastic polyneuropathy13 Gejala dan tanda : - Banyak dalam bentuk distal distal simetrikal sensorimotor polineuropati akibat ”remote effect” keganasan seperti: mieloma multipel, limfoma. - Gejala motorik seperti ataksia, atrofi tingkat lanjut kelumpuhan.
2.7 Diagnosis Klinis Dan Pemeriksaan Penunjang
* Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik :14 - gangguan sensorik meliputi parestesia, nyeri, terbakar, penurunan rasa raba, vibrasi dan posisi. Hilangnya sensasi (getar, posisi/proprioseptif, suhu, dan nyeri) pada bagian distal ekstremitas menunjukkan neuropati perifer. - gangguan motorik berupa kelemahan otot-otot - refleks tendon menurun - fasikulasi Ketika pasien mengeluh rasa kebas , keram, nyeri atau lemah utamanya dibagian distal ekstremitas, langkah pertama adalah menentukan letak lesi apakah lesinya di saraf perifer, radix atau plexus. Lesi CNS biasanya disertai gejala lain seperti sulit berbicara, diplopia, ataxia, kelemahan nervus cranialis, atau pada kasus mielopati didapatkan penurunan fungsi 10
digestif dan kandung kemih, refleks patologis positif dan tonus otot spastik. Jika lesinya pada saraf perifer biasanya menunjukkan gejala asimetrik dan gangguan sensorik yang mengikuti dermatom, bisa juga disertai nyeri leher atau low back pain. pain. Lesi pada pleksus juga menunjukkan gejala yang asimetrik dengan gangguan sensorik pada beberapa nervus pada satu ekstremitas. 14 Setelah menetukan letak lesi (nervus perifer yang bermasalah), langkah selanjutnya adalah mencari penyebab/etiologinya. Pada tahap awal neuropati perifer, pasien menunjukkan gejala progresif meliputi hilangnya sensasi sensorik, kebas, dan nyeri ataupun rasa terbakar pada ekstremitas inferior (stocking and gloves). Lama kelamaan, gangguan sensorik ini akan mengenai bagian proksimal ekstremitas disertai kelemahan otot ringan bahkan atropi. Pada neuropati perifer akut, pasien biasanya menunjukkan gejala yang sama tapi lebih berat, nyeri lebih dominan dan progresnya cepat. Pada kasus acute inflammatory demyelinating disorder (misalnya Guillain-Barré syndrome) syndrome) dan chronic inflammatory demyelinating polyneuropathy, polyneuropathy , kelemahan otot lebih dominan dibandingkan dengan gangguan sensorik dan merupakan gejala awal yang khas. 14 * Laboratorium : 14
Tes darah dapat meliputidarah lengkap, profil metabolik, laju endap darah, gula darah puasa, vitamin B12, dan kadar kadar TSH. Pungsi lumbal dan analisis CSF membantu dalam diagnosis Guillain-Barré syndrome dan chronic inflammatory demyelinating neuropathy. neuropathy . Elektrodiagnostik, membantu dalam differensial diagnosisjenis neuropati tipe aksonal, demielinisasi, atau campuran. - Gula darah puasa : didapatkan hiperglikemi - fungsi ginjal - kadar vitamin B1, B6, B12 darah : defisiensi vitamin B1, B6 dan B12 - kadar logam berat : kadar arsenik dan merkuri tinggi - fungi hormon tiroid :didapatkan hipotiroidisme - Lumbal pungsi pungsi : protein CSF meningkat meningkat * Gold Standard : 14
- ENMG : degenerasi aksonal dan demielinisasi
11
- Biopsi saraf
Gambar 4 Diagnosis pasien suspek neuropati perifer. Sumber: Greenberg, David.A, Aminoff, Michael.J, Simon, Roger.P. 2002. Clinical Neurology Greenberg 5th ed. San Francisco 14 Evaluasi pasien dengan neuropati perifer dilakukan dengan pemeriksaan darah lengkap, comprehensive metabolic profile, profile, laju endap darah, gula darah puasa, vitamin B12, dan TSH. Pemeriksaan tambahan dilakukan jika ada indikasi, misalnya mencari kemungkinan adanya
keganasan,
pemeriksaan
antibodi
antimyelin-associated
glycoprotein
untuk
mengevaluasi neuropati sensorimotor, antibody anti-gangliosida, krioglobulin, dan analisis CSF digunakan untuk mengevaluasi neuropati demyelinasi inflamasi kronik, antibody antisulfatida untuk mengevaluasi polineuropati autoimun, serta tes genetik jika dicurigai neuropati perifer herediter. Pungsi lumbal dan analisis CSF membantu dalam mendiagnosis Guillain-Barré syndrome dan neuropati demyelinasi inflamasi kronik dimana didapatkan peningkatan protein CSF.3 Pemeriksaan
elektodiagnostik
membantu
membedakan
apakah
neuropati
disebabkanoleh kerusakan akson (axonalneuropathy) atau kerusakan myelin (demyelinating neuropathy), ataupun keduanya (mixed neuropathy). 3 Pemeriksaan elektrodiagnostik direkomendasikan jika pada anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium tidak ditemukan hasil yang bermakna. Ada 2 jenis 12
pemeriksaan elektrodiagnostik yang utama yaitu pemeriksaan konduksi saraf dan Elektromiografi (EMG). Pemeriksaan konduksi saraf menilai bentuk, amplitudo, periode laten, dan kecepatan konduksi dari sebuah sinyal elektrik yang dihantarkan melalui nervus yang diperiksa. Kerusakan aksonal akan menampakkan gambaran amplitude yang mengecil, sedangkan proses demyelinisasi menampakkan gambaran periode laten yang memanjang dan kecepatan konduksi yang lambat. EMG dapat mendeteksi kerusakan akson yang aktif. Potensial aksi saraf motorik pada kontaksi otot volunter juga dinilai. 3 Pemeriksaan konduksi saraf yang normal dan EMG yang menurun secara signifikan mengarah pada diagnosis neuropati perifer, sedangkan konduksi saraf yang abnormal menguatkan diagnosis. 3 Keterbatasan pemeriksaan elektrodiagnosis yaitu hanya dapat mendeteksi kelainan pada saraf yang besar (saraf bermielin). Dengan keterbatasan ini, terjadi penurunan sensitifitas dalam mendiagnosis neuropati yang mengenai saraf kecil contohnya pasien dengan keluhan gangguan sensorik nyeri, suhu, dan fungsi otonom. Sehingga pada kasus ini ada pemeriksaan khusus untuk menilai fungsi otonom, dan tes non-elektro diagnosis lainnya biopsi epidermis dapat menghasilkan diagnosis. 3 Biopsi saraf dilakukan jika pada tes laboratorium dan elektrodiagnostik tidak ditemukan kelainan atau untuk memastikan diagnosis sebelum melakukan tindakan agresif, misalnya pada vaskulitis sebelum pemberian steroid atau kemoterapi. Lokasi biopsi biasanya di nervus suralis dan nervus peroneal superficialis. Jika pada semua pemeriksaan tidak didapatkan hasil bermakna dan pemeriksaan elektrodiagnostik elekt rodiagnostik menunjukkan neuropati perifer simetris tipe aksonal maka dianggap diagnosisnya adalah neuropati perifer idiopatik. Biopsi epidermis dapat dilakukan pada pasien dengan keluhan rasa terbakar, kebas, dan nyeri dimana diduga diduga kerusakan terjadi pada serabut saraf kecil. Kerusakan serabut saraf kecil dapat mendasari tahap awal dari beberapa neuropati perifer dan tidak dapa dideteksi dengan pemeriksaan elektrodiagnostik. 3
2.8 Polineuropati Herediter Charcot-Marie-Tooth Disease (CMT)
Charcot-Marie-Tooth Disease (CMT) merupakan kelainan neuropati herediter yang menyebabkan kerusakan pada system saraf ditandai dengan degenerasi progresif otot-otot serta hilangnya sensasi yang ringan pada daerah ekstremitas. Penyakit tersebut sering menimbulkan kecacatan yang mirip dengan penyakit kusta sehingga sering terjadi salah diagnosis dan diobati sebagai kusta. Dilaporkan lima kasus CMT pada sebuah keluarga yaitu 13
tiga orang kakak beradik dan dua orang anak mereka. Kelimanya lahir normal dan tumbuh kembang dengan normal hingga usia remaja., setelah itu mulai terjadi kelainan berupa kelemahan pada lengan dan tungkai. Pada pemeriksaan klinis didapatkan atrofi interossei jari jari tangan dan kaki, pengecilan otot pada tungkai bawah, drop foot, penurunan kekuatan motorik, didapatkan hipoestesia ringan pada tangan dan kaki tanpa macula serta tidak didapatkan penebalan saraf tepi. Pemeriksaan BTA sayatan kulit memberi hasil negatif pada seluruh penderita, pemeriksaan PCR dengan nested primer Lp1-Lp4 yang spesifik untuk mendeteksi adanya Mycobacterium leprae memberikan hasil negatif. Pemeriksaan serologis ELISA (IgM dan IgG) untuk melihat antibodi terhadap PGL-1 juga negatif. Pada pemeriksaan EMG pada kelima kasus tersebut didapatkan kesamaan hasil yaitu : Axonal demyelinating sensory motor polyneuropathy dengan denervasi, motoris lebih terkena dibandingkan sensoris. Hal-hal diatas mendukung diagnosis CMT serta menyingkirkan diagnosis kusta. Penatalaksanaan CMT terutama dengan rehabilitasi medik (fisioterapi).11 Penyakit CMT adalah penyakit yang bersifat progresif, yang berarti gejala yang dialami penderita akan semakin memburuk seiring waktu, dan menurunkan kemampuan penderita melakukan aktivitas sehari-harinya secara normal. Penyakit yang tergolong jarang ini biasanya baru muncul saat remaja atau dirasakan saat penderita beranjak dewasa. 11
Penyebab Penyakit Charcot-Marie-Tooth
Penyebab utama penyakit Charcot-Marie-Tooth adalah adanya kelainan atau mutasi genetik yang diturunkan dan mengakibatkan kerusakan pada sistem saraf tepi. 11 Kelainanan genetik pada CMT dapat diturunkan secara: 11
Aut A uto osom somal domi nant nant
Aut A uto osom somal rese resess ssii ve
X-linke X-li nked d inheri inheri tance nce Jenis-jenis Penyakit Charcot-Marie-Tooth11
Terdapat 5 jenis penyakit Charcot-Marie-Tooth (CMT) yaitu:
CMT 1, merupakan jenis paling umum terjadi yang disebabkan oleh pengikisan
selubung mielin.
CMT 2, adalah kondisi yang disebabkan oleh kerusakan pada akson, namun tidak
separah CMT 1 dan termasuk jarang terjadi.
14
CMT 3 (disebut juga dengan sindrom Dejerine-Sottas), merupakan kondisi CMT
yang tergolong jarang dan menyerang selubung mielin, hingga mengakibatkan kelemahan otot yang berat dan kelainan sensorik sejak awal usia kanak-kanak.
CMT 4. Jenis CMT ini juga tergolong berat dan langka. Dapat dialami sejak awal
usia kanak-kanak dan dapat mengakibatkan penderitanya tidak dapat berjalan.
CMT X, yaitu kondisi yang disebabkan oleh mutasi kromosom X, dan lebih sering
terjadi pada pria.
Gambar demielinasi serabut saraf CMT.15 Sumber: Shazia Perveen. Charcot-
Marie-Tooth type 1A disease from patient to laboratory. Department of Physiology, Catholic University of Korea, Seoul, Republic of Korea. Journal of Pakistan Medical Association, February 2015
Gejala Penyakit Charcot-Marie-Tooth11
Kebanyakan gejala penyakit CMT dirasakan penderita saat memasuki usia remaja atau saat beranjak dewasa. Keparahan gejalanya tergantung pada jenis kelainan yang diderita pasien. 11 Gejala yang biasa dialami pada tahap awal, khususnya pada anak-anak ada lah:
Sering mengalami kecelakaan dan terlihat ceroboh.
Sulit mengangkat kaki atau berjalan.
Kaki terlihat seperti jatuh saat berjalan (foot drop). Gejala yang biasa dialami penderita berusia 5 hingga 15 tahun adalah:
Otot kaki, tangan dan pergelangan mulai melemah.
15
kelainan kaki seperti lengkungan tinggi (cavus pes) atau jari kaki melengkung (jari kaki palu).
Kaki datar (flat foot).
Kemampuan merasakan sensasi pada lengan dan tungkai menurun.
Perubahan bentuk pada tungkai hingga kaki, seperti posisi kaki yang terbalik.
Sirkulasi darah yang buruk, mengakibatkan suhu tangan dan kaki menurun.
Mudah merasa lelah. Dalam kasus tertentu, gejala seperti menggigil, skoliosis, atau disfagia juga dapat
terjadi. Mengingat penyakit CMT bersifat progresif, penderita dapat merasakan efek seperti menurunnya kemampuan bergerak dan kemampuan merasakan sensasi pada lengan dan tungkai, nyeri sendi, melemahnya kekuatan otot dan bahkan kelumpuhan, seiring usia bertambah.11
Gambar: pescavus dan cavus yang berat 15 16
Tabel klasifikasi neuropati perifer herediter11
17
Sumber: Adam’s. principles of Neurology. 8thed. New York: Mc Graw Hill; 2014. Diagnosis Penyakit Charcot-Marie-Tooth
Dokter dapat mencurigai seorang pasien menderita penyakit CMT berdasarkan gejala yang dialaminya dengan ditunjang oleh pemeriksaan fisik. Dalam melakukan pemeriksaan fisik, dokter akan melihat strukur lengan, tangan, tungkai, dan kaki, serta memeriksa kemampuan refleks dan sensorik pasien.11 Untuk mendukung diagnosa, serangkaian pemeriksaan lanjutan juga akan dilakukan, seperti:
Tes konduksi saraf , untuk mengukur kekuatan dan kecepatan sinyal saraf yang
dihantarkan pada saraf tepi (saraf perifer) menggunakan elektroda.
Elektromiografi (EMG), untuk mengukur aktivitas listrik di dalam otot.
18
Biopsi saraf dengan mengambil dan memeriksa sampel jaringan saraf tepi, jika
pemeriksaan lainnya tidak memberikan hasil yang jelas. Sebelum pemeriksaan ini dilakukan, pasien akan diberikan anestesi terlebih dahulu.
Pemeriksaan genetik dengan menggunakan sampel darah pasien untuk mendeteksi
adanya kelainan genetik. Tes ini juga umumnya disarankan bagi pasangan yang sedang merencanakan kehamilan. Bagi orang tua yang memiliki penyakit CMT, dokter dapat melakukan tes pada janin untuk memeriksa besarnya kemungkinan bayi tersebut lahir dengan kondisi yang sama. Tes tersebut meliputi:
Chorionic villus sampling (CVS) dengan meneliti sampel plasenta saat usia kehamilan memasuki minggu ke-11 sampai 14.
Amnio Amnioccente ntesis dengan meneliti sampel cairan ketuban saat usia kehamilan memasuki minggu ke-15 sampai 20. Pengobatan Penyakit Charcot-Marie-Tooth
Meskipun penyakit Charcot-Marie-Tooth tidak bisa disembuhkan, terdapat beberapa cara yang dapat dilakukan untuk meredakan dan memperlambat perkembangan gejalanya. Penanganan dapat berupa pemberian obat-obatan, penggunaan alat bantu, terapi, hingga operasi. 11 Obat-obatan dan alat bantu
Penderita penyakit CMT umumnya merasakan nyeri otot dan sendi. Obat antiinflamasi nonstreoid (NSAIDs), (NSAIDs), seperti ibuprofen, kerap disarankan. Jika penderita mengalami nyeri neuropati karena kerusakan saraf, dokter mungkin akan meresepkan obat antidepresan trisiklik (TCA) atau antikejang sebagai pereda. Bagi penderita yang mengalami kesulitan secara fisik, seperti berjalan atau mengangkat benda, dokter akan menyarankan untuk menggunakan alat bantu tertentu. Salah satunya adalah pemasangan orthosis pada orthosis pada pergelangan tangan kaki agar memudahkan memudahkan pergerakan. 11 Terapi
Terdapat 2 jenis terapi yang biasa dilakukan, yaitu:
Fisioterapi. Terapi
ini
dilakukan
untuk
mengembalikan
kekuatan
otot
dan
memperbaiki postur tubuh melalui pemijatan, olahraga ringan, dan manipulasi yang diawasi dokter atau terapis. 11
Terapi okupasi. Dalam hal ini, terapis akan mengidentifikasi kesulitan yang dialami
dan mengajari pasien cara beradaptasi dengan aktivitas sehari-harinya. 11
19
Operasi
Dalam kasus dimana struktur lengan dan tungkai mengalami perubahan drastis, tindakan operasi berikut ini dapat dilakukan: 11
Osteotomi, disarankan bagi penderita kaki datar kronis dengan memposisikan tulang
ke posisi sebenarnya. Proses pemulihan umumnya memerlukan waktu beberapa minggu.
Arthrodesis, disarankan bagi penderita kaki datar untuk memperbaiki struktur kaki
dan untuk meredakan nyeri sendi. Tindakan ini dilakukan dengan menyatukan 3 sendi utama di belakang pergelangan kaki. Biasanya, waktu pemulihan yang diperlukan adalah 10 bulan.
Pelepasan pla plant nta ar fasc fascia, ia, adalah tindakan yang dilakukan untuk meredakan nyeri
tumit yang disebabkan oleh peradangan tendon. Dalam tindakan ini, sebagian dari tendon akan diangkat dan sisanya akan diposisikan secara tepat. Masa pemulihannya adalah sekitar 3 minggu dan kaki tidak dapat dibebani dalam masa itu.
Operasi tulang belakang, biasanya dilakukan jika terdapat kelainan bentuk tulang
belakang, misalnya skoliosis. Selain dengan operasi, kelainan pada bentuk tulang belakang juga dapat ditangani dengan menggunakan penyangga tulang belakang (back brace). brace). Komplikasi Penyakit Charcot-Marie-Tooth11
Komplikasi yang bisa terjadi pada penyakit penyakit CMT berbeda-beda sesuai dengan dengan kondisi yang dialami pasien. Segera temui dokter jika Anda mengalami:
Tidak dapat berjalan.
Kekuatan tubuh menurun secara progresif.
Cedera pada area tubuh yang mengalami penurunan kemampuan sensorik (merasakan sensasi).
Kesulitan bernapas, menelan, atau berbicara. Pencegahan Penyakit Charcot-Marie-Tooth11
Pencegahan penyakit CMT tidak dapat dilakukan karena merupakan penyakit keturunan. Namun, bagi penderita penyakit CMT, langkah-langkah berikut dapat dilakukan untuk menekan keparahan atau komplikasi:
Melakukan olahraga secara rutin untuk memelihara kekuatan otot dan sendi.
Menggunakan alat bantu jalan, seperti tongkat atau alas kaki khusus, agar tidak membebani pergelangan kaki dan membantu dalam keseimbangan. kes eimbangan.
20
Menjaga kesehatan kaki dengan selalu memeriksanya jika terdapat luka, cedera, atau
pembengkakan. Hindari kuku yang panjang untuk mengurangi risiko terkena infeksi atau kelainan
pada pertumbuhan kuku kuku
2.9 Polineuropati Infeksi Polineuropati Pada Pasien Hiv-Aids
Keterlibatan Sistim Saraf Tepi (SST) dalam infeksi HIV telah menjadi satu aspek yang paling menantang dari epidemi AIDS. Dengan adanya terapi antiretrovirus yang efektif yang mengakibatkan berkurangnya tingkat insidensi infeksi oportunistik Sistim Saraf Pusat (SSP) dan dementia HIV, maka neuropati yang berkaitan dengan HIV telah menjadi gangguan neurologis yang paling sering terjadi yang berkaitan dengan AIDS. Sebagai akibat dari efek langsung disregulasi imunologis yang ditimbulkan oleh infeksi HIV, infeksi oportunistik, atau antiretrovirus neurotoksik, keterlibatan sistim saraf tepi dapat terjadi pada berbagai stadium penyakit dengan gambaran klinis, ele ktrofisiologis dan neuropatologis yang khas.16 Neuropati sensori yang berkaitan dengan HIV meliputi Distal Sensory Neuropathy (DSP) yang disebabkan infeksi HIV itu sendiri, dan A ntiretroviral Toxic Neuropathy Neuropathy (ATN) yang berkaitan dengan penggunaan Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitors Inhibitors (NRTI) (dideoxynucleoside reverse transcriptase inhibitors), khususnya zalcitabine (ddC), stavudine (d4T) dan didasine (ddI). 17 Meskipun etiologi spesifik untuk sebagian besar kasus DSP pada AIDS tidak diketahui. Beberapa peneliti telah melaporkan bahwa infeksi HIV dari saraf perifer atau sel ganglion radiks dorsalis dapat menyebabkan DSP. Walaupun patogenesis DSP masih belum jelas, tetapi bukti sampai saat ini menunjukkan bahwa dua mekanisme yang prevalen adalah disfungsi imulogis akibat HIV, dan efek neurotoksik dari obat antiretroviral (khususnya dideoxynucleo-sides).18 Meningkatnya insidensi DSP pada infeksi HIV tahap lanjut menunjukkan menunjukkan bahwa bahwa patologinya berkembang secara bertahap, subklinis atau tanpa ta npa gejala. Hal ini didukung di dukung oleh temuan kelainan patologis di di saraf tepi pada hampir semua pasien yang yang kondisi kritis akibat AIDS. Begitu juga, meningkatnya ambang termal ditemukan pada penderita infeksi HIV bahkan dalam keadaan tidak ada neuropati yang nyata. Sebuah penelitian prospektif memperlihatkan kelainan elektrofisiologi pada pada 50 dari 56 pasien (89%) yang terinfeksi HIV, HIV, 21
ditemukan
21 pasien
(42%) yang mempunyai gejala yang menunjukkan DSP. Dalam
penelitian lain, disfungsi saraf tepi subklinis ditemukan, berdasarkan test sensori kuantitatif pada 36% dari penderita AIDS.18 Salah satu cara untuk mengklasifikasikan neuropati HIV adalah menurut stadium penyakit HIV dimana neuropati ini terjadi. Oleh karena itu perlu melakukan hitung sel CD4 secara aktual.19 Gejala-gejala utama DSP adalah distesia distal, hampir selalu dimulai pada ekstremitas bawah. Keluhan dari "kaki terbakar" dilaporkan sebesar 23% sampai 100% pasien AIDS yang dievaluasi untuk DSP (Cornblath dan McArthur, 1988; Lange dkk, 1988; So dkk, 1988). Pasien-pasien ini mungkin mengubah gaya berjalan berj alan mereka untuk menghindari tekanan pada pada telapak kaki mereka dan sering dilaporkan bahwa kontak yang paling ringan (yaitu, kaus kaki, seprei) meningkatkan rasa sakit (Cornblath dan McArthur, 1988). Mati rasa dan parestesia juga merupakan gejala DSP yang sering. Ekstremitas bagian atas mungkin akan terpengaruh pada gejala distal dan simetris yang muncul kemudian pada riwayat DSP. Kelemahan otot tidak menjadi gejala menonjol dari DSP, dan umumnya hanya terjadi belakangan dalam penyakit (Cornblath dan McArthur, 1988). 20,21 Tanda-tanda paling umum dari DSP pada AIDS adalah refleks yang menurun atau hilang pada pergelangan kaki(Cornblath dan McArthur, 1988; Lange dkk, 1988; So dkk, 1988). Keberadaan refleks lutut yang hiperaktif dan refleks pergelangan kaki yang menurun dapat menandakan mielopati dan neuropati yang terjadi bersamaan, yang merupakan asosiasi umum pada individu terinfeksi HIV (Dal Pan dkk, 1994). Ambang getaran meningkat, dan tusukan peniti dan suhu berkurang pada distribusi stoking dan sarung tangan sedangkan sensasi posisi sendi relatif normal (Leger dkk, 1989). Kelemahan umumnya terbatas pada otot kaki intrinsik (Cornblath dan McArthur, 1988; So dkk, 1988). 20, 22 Obat terapi untuk perawatan penyakit HIV dapat meningkatkan DSP yang berkaitan dengan HIV. Pasien AIDS yang dirawat dengan HAART mungkin juga menderita nyeri neuropati sensori . Gejala sindrom ini secara klinis tidak dapat dibedakan dengan gejala DSP yang diinduksi HIV-1, termasuk adanya sensasi panas pada tangan dan kaki dan hipersensitivitas terhadap nyeri.Mekanisme nosiseptif yang yang
memberi kontribusi kepada
neuropati terapi AIDS melibatkan gangguan pada homeostasis kalsium, signal caspase, dan tranportasi electron mitokondria. 23
22
Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitors Inhibitors (NRTI), khususnya zalcitabine (ddC), stavudine (d4T) dan didasine (ddI)., telah diketahui menimbulkan neurotoksisitas tapi ddC adalah neurotoksin yang paling poten. Antiretroviral A ntiretroviral Toxic Neuropathy (ATN) terlihat pada semua pasien yang memperoleh ddC dalam dosis >0,04 mg/kg/hari, 80% dari mereka memperoleh 0,04 mg/kg/hari, dan sepertiga dari mereka memperoleh terapi dengan dosis yang lebih rendah. Begitu juga, dalam sebuah trial acak yang melibatkan d4T, ATN terlihat dalam 2-4 bulan setelah memulai terapi, pada 31% dari pasien yang memperoleh 2 mg/kg/hari, 15% dari pasien yang memperoleh 1 mg/kg/hari, dan 6% dari pasien yang memperoleh 0,5 mg/kg/hari. 17 Sebuah trial tentang ddI dan d4T yang digunakan dalam kombinasi didapatkan kombinasi ini aman, dan mempunyai insidensi rendah untuk neurotoksisitas. Tetapi penelitian ini dilaksanakan pada pasien yang relative immunokompeten, yang oleh karena itu mempunyai risiko yang rendah secara intrinsik untuk HIV-SN Pemberian hydroxurea secara bersamaan dengan dideoxynucleoside juga meningkatkan risiko ATN. Faktor risiko untuk ATN yang diidentifikasi dalam trial klinik yang menggunakan dideoxynucleotide meliputi neuropati yang telah ada sebelumnya, apapun penyebabnya (misalnya yang disebabkan oleh diabetes, defisiensi vitamin B12 dan peminum berat alkohol), umur yang lebih tua, gizi buruk, dan penyakit penyakit HIV yang lebih lanjut stadiumnya. 17 Dengan meningkatnya penggunaan terapi antiretrovirus kombinasi untuk jangka panjang dan pada pasien yang telah lama mempunyai me mpunyai infeksi HIV, maka mungkin ATN akan menjadi masalah yang semakin penting. Menurut Cherry et al. prevalensi neuropati pada pasien infeksi-HIV yang relative imunokompeten (rata-rata hitung sel CD4 >400 per mm3) adalah 44%. Temuan ini menunjukkan adanya peningkatan signifikan dari prevalensi 14% yang dilaporkan oleh klinik tersebut pada tahun 1993. 17 Pengenalan cART pada pertengahan 1990-an, secara dramatis telah mengurangi morbiditas dan mortalitas
HIV.10 Harapan hidup dengan HIV di negara-negara maju
diperkirakan mencapai dua pertiga dibandingkan populasi umum. Sementara kejadian komplikasi neurologis HIV yang terbanyak telah menurun dengan diperkenalkannya terapi yang efektif, tingkat HIV-SN meningkat sejak obat antiretroviral dikembangkan. Beberapa pengobatan HIV, khususnya nukleosida reverse transkriptase inhibitor (NRTIs) - stavudine, didanosine, dan zalcitabine, 20% sampai >50% berpotensi neurotoksik. Prevalensi HIV-SN
23
tetap tinggi di antara pasien yang diobati dengan cART, bahkan di negara dimana obat antiretroviral neurotoksik seperti stavudine tidak lagi umum digunakan. 24 Skrining yang digunakan adalah Douleur Neuropathique 4 Questions (DN4), memiliki tujuh item yang terkait dengan gejala klinis dan tiga item yang terkait dengan pemeriksaan klinis. DN4 mudah digunakan dan sudah diterjemahkan ke berbagai bahasa. Dengan sensitivitas 83% dan spesifisitas 90%.25 2.10.
Polineuropati Inflamasi Guillain – Barré Barré Syndrome
Guillain – Barré Barré Syndrome (GBS) atau radang polineuropati demyelinisasi akut adalah peradangan akut yang menyebabkan kerusakan sel kerusakan sel saraf tanpa penyebab yang jelas. Sindrom ini ditemukan pada tahun 1916 oleh Georges Guillain, Jean-Alexandre Barré, dan André Strohl. Mereka menemukan sindrom ini pada dua tentara yang menderita keabnormalan peningkatan produksi protein cairan otak. GBS merupakan penyebab kelumpuhan yang cukup sering dijumpai pada usia dewasa muda. GBS ini seringkali mencemaskan penderita dan keluarganya karena terjadi pada usia produktif apalagi pada beberapa keadaan dapat menimbulkan kematian, meskipun pada umumnya mempunyai prognosa yang baik. Beberapa nama disebut oleh beberapa ahli untuk penyakit ini, yaitu Idiopathic polyneuritis, Acute Febrile Polyneuritis, Infective Polyneuritis, Post Infectious Polyneuritis, Acute Inflammatory Demyelinating Polyradiculoneuropathy, Guillain Barre Strohl Syndrome, Landry Ascending paralysis, dan Landry dan Landry Guillain Barre Syndrome. Syndrome . (2) GBS adalah suatu polineuropati yang bersifat ascending dan dan akut yang sering terjadi setelah 1 sampai 3 minggu setelah infeksi akut. GBS merupakan suatu sindroma klinis yang ditandai adanya paralisis flasid yang terjadi secara akut berhubungan dengan proses autoimun dimana targetnya adalah saraf perifer, radiks, dan nervus kranialis 26 Penyakit ini ini terjadi di seluruh dunia, kejadiannya kejadiannya pada semua musim.
Insidensi
sindroma Guillain-Barre bervariasi antara 0.6 sampai 1.9 kasus per 100.000 orang pertahun.. Usia termuda yang pernah dilaporkan adalah 3 bulan dan paling tua usia 95 tahun. Laki-laki dan wanita sama jumlahnya. Dari pengelompokan ras didapatkan bahwa 83% penderita adalah kulit putih, 7% kulit hitam, 5% Hispanic, 1% Asia dan 4% pada kelompok ras yang tidak spesifik. Data di Indonesia mengenai gambaran epidemiologi belum banyak. Penelitian Chandra menyebutkan bahwa insidensi terbanyak di Indonesia adalah dekade I, II, III (dibawah usia 35 tahun) dengan jumlah penderita laki-laki dan wanita hampir sama. Sedangkan penelitian di Bandung menyebutkan bahwa perbandingan laki-laki dan wanita 3 : 24
1 dengan usia rata-rata 23,5 tahun. Insiden tertinggi pada bulan April s/d Mei dimana terjadi pergantian musim hujan dan kemarau. 2 Etiologi
Etiologi GBS sampai saat ini masih belum dapat diketahui dengan pasti penyebabnya dan masih menjadi bahan perdebatan. Beberapa keadaan/penyakit yang mendahului dan mungkin ada hubungannya dengan terjadinya GBS, antara lain: 1. Infeksi GBS sering sekali berhubungan dengan infeksi akut non spesifik. Insidensi kasus GBS yang berkaitan dengan infeksi ini sekitar antara 56% - 80%, yaitu 1 sampai 4 minggu sebelum gejala neurologi timbul seperti infeksi saluran pernafasan atas atau infeksi gastrointestinal26 2. Vaksinasi 3. Pembedahan 4. Kehamilan atau dalam masa nifas 5. Penyakit sistematik: Keganasan, Systemic lupus erythematosus, erythematosus, tiroiditis, Penyakit Addison Tabel Infeksi akut yang berhubungan dengan GBS Infeksi
Definite
Probable
Possible
Virus
CMV
HIV
Influenza
EBV
Varicella-zoster
Measles
Vaccinia/smallpox
Mumps Rubella Hepatitis Coxsackie Echo
Bakteri
Campylobacter Jejeni
Typhoid
Borrelia B
Mycoplasma
Parathyphoid
Pneumonia
Brucellosis Chlamydia Legionella Listeria
Tabel`1 : Infeksi Infeksi akut yang berhubung dengan dengan GBS. (Tabel (Tabel dikutip dari kepustakaan 2) Patofisiologi 25
Sindrom Guillain-Barre adalah penyakit post-infeksi yang dimediasi oleh imunitas. Di dalam perkembangan penyakit ini ada kemungkinan dimainkan peran oleh seluler dan humoral imunitas.
Banyak pasien yang yang melapor berlakunya berlakunya infeksi beberapa minggu
sebelum timbulnya gejala GBS. Banyak agen infeksi yang di identifikasi diteliti telah menginduksi produksi antibodi melawan gangliosides dan glikolipid spesifik, seperti GM1 dan GD1b, yang didistribusi melalui myelin di sistem saraf per ifer. 28 Mekanisme
bagaimana
infeksi,
vaksinasi,
trauma,
atau
faktor
lain
yang
mempresipitasi terjadinya demyelinisasi akut pada GBS masih belum diketahui dengan pasti. Banyak ahli membuat kesimpulan bahwa kerusakan saraf yang terjadi pada sindroma ini adalah melalui mekanisme imunologi.2 Bukti-bukti bahwa imunopatogenesis merupakan mekanisme yang menimbulkan jejas saraf tepi pada sindroma ini adalah30: 1. Didapatkannya antibodi atau adanya respon kekebalan seluler ( cell mediated immunity) immunity) terhadap agen infeksious pada saraf tepi. 2. Adanya auto antibodi terhadap sistem saraf tepi. 3. Didapatkannya penimbunan kompleks antigen antibodi dari peredaran pada pembuluh darah saraf tepi yang menimbulkan proses demyelinisasi saraf tepi. Proses demyelinisasi saraf tepi pada GBS dipengaruhi oleh respon imunitas seluler dan imunitas humoral yang dipicu oleh berbagai peristiwa sebelumnya, yang paling sering adalah infeksi virus. Dalam sistem kekebalan seluler, sel limfosit T memegang peranan penting disamping peran makrofag. Prekursor sel limfosit berasal dari sumsum tulang (bone (bone marrow) marrow) steam cell yang mengalami pendewasaan sebelum dilepaskan kedalam jaringan limfoid dan peredaran. Sebelum respon imunitas seluler ini terjadi pada saraf tepi antigen harus dikenalkan pada limfosit T (CD4) melalui makrofag. Makrofag yang telah menelan (fagositosis) antigen/terangsang oleh virus, allergen atau bahan imunogen lain akan memproses antigen tersebut oleh penyaji antigen (antigen presenting cell = APC). Kemudian antigen tersebut akan dikenalkan pada limposit T (CD4). Setelah itu limposit T tersebut menjadi aktif karena aktivasi marker dan pelepasan substansi interlekuin (IL2), gamma interferon serta alfa TNF. 30 Kelarutan E selectin dan adesi molekul (ICAM) yang dihasilkan oleh aktifasi sel endothelial akan berperan dalam membuka sawar darah saraf, untuk mengaktifkan sel limfosit T dan pengambilan makrofag. Makrofag akan mensekresikan protease yang dapat merusak protein myelin disamping menghasilkan T.
30
26
Gambaran Klinis
Guillain Barre Sindrom (GBS) adalah gangguan di mana sistem kekebalan tubuh menyerang bagian dari sistem saraf perifer. Gejala pertama dari gangguan ini meliputi berbagai tingkat ti ngkat kelemahan kelema han atau rasa kesemutan di kaki. Kebanyakan kasus, kelemahan dan abnormal sensasi menyebar ke lengan dan tubuh bagian atas. Gejala ini dapat meningkatkan intensitas sampai otot-otot tertentu tidak dapat digunakan sama sekali dan, bila berat, pasien hampir lumpuh sepenuhnya. Walaubagaimanapun kebanyakan pasien sembuh dari Guillain Barre Sindrom yang parah, meskipun beberapa terus memiliki tingkat kelemahan tertentu dan walaupun sembuh secara fungsional, pada umumnya EMG masih menunjukkan kelainan. 2 Manifestasi klinisnya yaitu sebelum kelumpuhan timbul, terdapat anamnesis yang khas, yaitu infeksi traktus respiratorius bagian atas. Di antara masa tersebut, dan mulai timbulnya kelumpuhan, terdapat masa bebas gejala penyakit yang berkisar antara beberapa hari sampai beberapa(3-4) minggu. Kelumpuhan timbul pada keempat anggota gerak dan pada umumnya bermula dibagian distal tungkai dan kemudian melanda otot-otot tungkai proksimal. Kemudian kelumpuhan meluas ke bagian tubuh atas, terutama ke otot-otot kedua lengan, bahkan leher dan wajah serta otot-otot penelan dan bulbar yang lain. Maka dari itu sindrom ini juga dikenal sebagai paralisis asendens. 1 Kerusakan pada radiks ventralis dan dorsalis yang reversible dan menyeluruh dapat terjadi. Kerusakan itu merupakan perwujudan reaksi imunopatologik. Walaupun segenap radiks (ventralis/dorsalis) terkena, namun yang berada di intumesensia servikalis dan lumbosakralis paling berat mengalami kerusakan. Keadaan patologik itu dikenal sebagai poliradikulopatia atau polyneuritis post infeksiosa.2 Keterlibatan radiks dorsalis dapat diketahui oleh adanya paresthesia di daerah yang dilanda kelumpuhan asendens itu. Mula terasanya dan perluasannya ke atasnya berjalan seiring dengan perjalanan kelumpuhan asendens. Pada tahap permulaan, gangguan miksi dan defekasi dapat juga menjadi ciri penyakit tersebut. 2 Ada lima subtipe khas GBS yang diklasifikasikan yaitu
29
:
a. Acute inflammatory demyelinating polyradiculoneuropathy (AIDP)
1. Antibody mediated autoimmune autoimmune disorder. 2. Dipicu oleh infeksi anteseden atau vaksinasi. 3. demielinasi inflamasi hadir dan bisa disertai dengan hilangnya saraf aksonal. 27
4. Remyelinasi terjadi pada penghentian reaksi kekebalan. b. Acute motor axonal neuropathy (AMAN)
1. Kebanyakan pasien seropositif untuk infeksi Campylobacter. 2. Motorik berupa aksonal dari neuropati. 3. Kebanyakan terkena pada pasien anak dan biasanya sembuh dengan cepat c. Acute motor sensory axonal neuropathy (AMSAN)
1. Degenerasi motor dan serabut sensoris sensoris yang dimielinasi dengan peradangan peradangan dan demielinasi minimal. 2. Mirip dengan AMAN kecuali AMSAN hanya hanya mempengaruhi mempengaruhi saraf sensorik dan akar. 3. Biasanya mempengaruhi orang dewasa. d. Miller Fisher syndrome
1.
Jarang, ataksia berkembang pesat, areflexia, dengan kelemahan ekstremitas dan ophthalmoplegia.
2.
Kehilangan sensorik tidak umum, tetapi proprioception dapat terganggu.
3. Demyelinasi dan peradangan saraf kranial III / IV, ganglia spinal, dan saraf perifer. 4. Resolusi dalam satu sampai tiga bulan.
e. Acute panautonomic neuropathy
1. Paling jarang dari semua jenis, dengan keterlibatan simpatik, parasimpatis, dan jantung. 2. Pemulihan lambat dan tidak lengkap. Diagnosis
Diagnosa GBS terutama ditegakkan secara klinis. GBS ditandai dengan timbulnya suatu kelumpuhan akut yang disertai hilangnya refleks tendon dan didahului parestesi dua atau tiga minggu setelah mengalami demam disertai disosiasi sitoalbumin pada likuor dan gangguan sensorik dan motorik perifer. Kriteria diagnosa yang umum dipakai adalah criteria dari National dari National Institute of Neurological and Communicative Disorder and Stroke (NINCDS), (NINCDS) , yaitu31: Ciri-ciri yang perlu untuk diagnosis: 1. Terjadinya kelemahan yang progresif 2. Hiporefleksi Ciri-ciri yang secara kuat menyokong diagnosis GBS: a) Ciri-ciri klinis: 28
1. Progresifitas: gejala kelemahan motorik berlangsung cepat, maksimal dalam 4 minggu, 50% mencapai puncak dalam 2 minggu, 80% dalam 3 minggu, dan 90% dalam 4 minggu. 2. Relatif simetris 3. Gejala gangguan sensibilitas ringan 4. Gejala saraf kranial ± 50% terjadi parese N VII dan sering bilateral. Saraf otak lain dapat terkena khususnya yang mempersarafi lidah dan otot-otot menelan, kadang < 5% kasus neuropati dimulai dari otot ekstraokuler atau saraf otak lain 5. Pemulihan dimulai 2-4 minggu setelah progresifitas berhenti,dapat memanjang sampai beberapa bulan. 6. Disfungsi otonom. Takikardi dan aritmia, hipotensi postural, hipertensi dangejala vasomotor. 7. Tidak ada demam saat onset gejala neurologis b) Ciri-ciri kelainan cairan serebrospinal yang kuat menyokong diagnosa: diagnosa: 1. Protein CSS. Meningkat setekah gejala 1 minggu atau terjadi peningkatan pada LP serial 2. Jumlah sel CSS < 10 MN/mm3 3. Varian: a) Tidak ada peningkatan protein CSS setelah 1 minggu gejala b) Jumlah sel CSS: 11-50 MN/mm3 Kelainan yang ditemukan dalam likuor menunjang sekali anggapan, bahwa proses
imunopatologik
mendasari
sindrom
ini.
Adapun
kelainan
itu
yang
meningkatnya kadar protein, yang tidak bergandengan dengan peningkatan jumlah sel. Kelainan ini menyimpang dari ungkapan likuor yang mengarah kepada proses infeksi, pada mana peningkatan protein bergandengan dengan kenaikan jumlah sel. Oleh kerana itu, maka kelainan tersebut dinamakan ‘disosiasi sitosito -albumik’. Lagipula jenisjenis jenis imonuglobulin di dalam serum ternyata meninggi. meninggi. c) Gambaran elektromiografi (EMG) yang mendukung diagnosa: Perlambatan konduksi saraf bahkan blok pada 80% kasus. Biasanya kecepatan hantar kurang 60% dari normal d) Patologi Pada pemeriksaan makroskopis tidak tampak jelas gambaran pembengkakan saraf tepi. Dengan mikroskop sinar tampak perubahan pada saraf tepi. Perubahan pertama berupa edema yang terjadi pada hari ke tiga atau ke empat, kemudian timbul 29
pembengkakan dan iregularitas selubung myelin pada hari ke lima, terlihat beberapa limfosit pada hari ke sembilan dan makrofag pada hari ke sebelas, poliferasi sel schwan pada hari ke tiga belas. Perubahan pada myelin, akson, dan selubung schwan berjalan secara progresif, sehingga pada hari ke enam puluh enam, sebagian radiks dan saraf tepi telah hancur. Ada yang mengemukakan bahwa perubahan pertama yang terjadi adalah infiltrasi sel limfosit yang ekstravasasi dari pembuluh darah kecil pada endo dan epineural. Keadaan ini segera diikuti demyelinisasi segmental. Bila peradangannya berat akan berkembang menjadi degenerasi Wallerian. Kerusakan myelin disebabkan makrofag yang menembus membran basalis dan melepaskan selubung myelin dari sel schwan dan akson.
Diagnosis Banding
Gejala klinis GBS biasanya jelas dan mudah dikenal sesuai dengan kriteria diagnostik dari NINCDS, tetapi pada stadium awal kadang-kadang harus dibedakan dengan keadaan lain, seperti 31: 1. Mielitis akuta 2. Poliomyelitis anterior akuta 3. Porphyria intermitten akuta 4. Polineuropati post difteri
Penatalaksanaan
Pada sebagian besar penderita dapat sembuh sendiri. Pengobatan secara umum bersifat simtomatik. Meskipun dikatakan bahwa penyakit ini dapat sembuh sendiri, perlu dipikirkan waktu perawatan yang cukup lama dan angka kecacatan (gejala sisa) cukup tinggi sehingga pengobatan tetap harus diberikan. Tujuan terapi khusus adalah mengurangi beratnya penyakit dan mempercepat penyembuhan penyembuhan melalui sistem imunitas (imunoterapi). 2 1. Kortikosteroid Kebanyakan
penelitian
mengatakan
bahwa
penggunaan
preparat
steroid
tidak
mempunyai nilai/tidak bermanfaat untuk terapi GBS. 2. Plasmaparesis Plasmaparesis atau plasma exchange bertujuan untuk mengeluarkan faktor autoantibodi yang beredar. Pemakaian plasmaparesis pada GBS memperlihatkan hasil yang baik, berupa perbaikan klinis yang lebih cepat, penggunaan alat bantu nafas yang lebih sedikit, dan lama perawatan yang lebih pendek. Pengobatan dilakukan dengan mengganti 20030
250 ml plasma/kg BB dalam 7-14 hari. Plasmaparesis lebih bermanfaat bila diberikan saat awal onset gejala (minggu pertama). 3. Pengobatan imunosupresan: a) Imunoglobulin IV Pengobatan dengan gamma globulin intervena lebih menguntungkan dibandingkan plasmaparesis karena efek samping/komplikasi lebih ringan. Dosis maintenance 0.4 gr/kg BB/hari selama 3 hari dilanjutkan dengan dosis maintenance 0.4 gr/kg BB/hari tiap 15 hari sampai sembuh. b) Obat sitotoksik Pemberian obat sitoksik yang dianjurkan adalah: 1. 6 merkaptopurin (6-MP) 2. Azathioprine 3. Cyclophosphamid Efek samping dari obat-obat ini adalah: alopecia, muntah, mual dan sakit kepala. 4. Intervensi Bedah Tracheostomy mungkin diperlukan pada pasien dengan kegagalan pernapasan berkepanjangan, terutama jika ventilasi mekanis diperlukan untuk lebih dari 2 minggu. tabung makan Percutaneous mungkin juga diperlukan, dalam rangka memenuhi kebutuhan gizi pasien dengan berkepanjangan, disfagia berat. Sebuah garis vena sentral perlu ditempatkan untuk pasien yang menjalani plasmapheresis. 5. Program Rehabilitasi32 a) Terapi fisik Penatalaksanaan rehabilitasi penderita GBS harus dimulai sejak awal penyakit, yaitu sejak kondisi pasien stabil. Oleh karena perjalananan penyakit GBS yang unik, ada dua fase yang perlu diperhatikan dalam memberikan fisioterapi yakni pada fase progresif serta fase penyembuhan. Pada fase progresif yang penting diperhatikan adalah bagaimana mempertahankan kondisi pasien, sehingga tidak terjadi komplikasi. Penting diperhatikan semua aspek medis dan rehabilitasi pada fase ini, karena pada fase ini, umumnya kondisi pasien akan terus menurun. Pada fase penyembuhan, prinsip rehabilitasi ditujukan terutama pada peningkatan kekuatan dan optimalisasi kondisi pasien. Prinsip rehabilitasi pada fase ini terutama ditujukan pada masalah muskuloskeletal dan kardiopulmoner. Tujuan utama dari rehabilitasi pada penderita GBS secara keseluruhan adalah untuk mengoptimalisasi kemampuan fungsional penderita. Diperkirakan bahwa sekitar 40% 31
dari pasien yang dirawat inap dengan GBS membutuhkan rehabilitasi rawat inap. Sayangnya, belum ada penelitian rehabilitasi jangka panjang hasil yang telah dilakukan, dan pengobatan sering didasarkan pada pengalaman dengan kondisi neurologis lainnya. Tujuan dari program terapi adalah untuk mengurangi defisit fungsional dan untuk menargetkan gangguan dan cacat akibat GBS. Pada awal fase akut penyakit saja, pasien mungkin tidak dapat berpartisipasi penuh dalam program terapi aktif. Pada tahap itu, pasien manfaat dari berbagai harian gerak (ROM) latihan dan posisi yang tepat untuk mencegah pemendekan otot dan kontraktur sendi. b) Terapi Bicara Terapi bicara ini ditujukan untuk meningkatkan keterampilan berbicara dan menelan aman bagi pasien yang memiliki kelemahan orofaringeal signifikan dengan disfagia resultan dan dysarthria. Pada pasien ventilator dependent, strategi komunikasi alternatif mungkin juga perlu diterapkan. Setelah dilepaskan dari ventilator, pasien dengan tracheostomies bisa belajar menyuarakan strategi dan akhirnya bisa dilepaskan dari tabung trakeostomi. Skrining kognitif juga dapat dilakukan conjointly dengan neuropsikologi untuk menilai defisit, karena masalah kognitif telah dilaporkan pada beberapa pasien dengan GBS, terutama setelah mereka memiliki masa tinggal diperpanjang di unit perawatan intensif (ICU).
Prognosis
Meskipun kebanyakan pasien dengan GBS membuat pemulihan yang baik, 2-12% dari mereka meninggal akibat komplikasi yang berkaitan dengan GBS dan persentase yang signifikan dari penderita telah sequelae telah sequelae motor motor persisten. Estimasi data menunjukkan bahwa 75-85% dari pasien mengalami pemulihan yang baik, 15-20% memiliki sisa defisit sedang, dan 1-10% yang tersisa dengan cacat. Meskipun prevalensi yang tepat tidak pasti, hingga 25.000-50.000 orang di Amerika Serikat mungkin telah defisit fungsional jangka panjang dari GBS.33 Pada usia tua, ekstremitas atas (upper (upper extremity) extremity) mengalami kelemahan kekuatan otot, kebutuhan untuk ventilasi mekanik, Medical Research Council (MRC) skor (MRC) skor kurang dari 40, dan sebelumnya infeksi pencernaan telah ditemukan memiliki efek buruk pada hasil yang terkait dengan GBS. Berbeda halnya pada pasien muda muda selama sakit tidak memerlukan pernapasan bantuan, perjalanan penyakit lambat, tidak terjadi kelumpuhan total, dan 90% penderita akan sembuh sempurna.2
32
Kecepatan pemulihan bervariasi. ber variasi. Pemulihan sering terjadi te rjadi dalam beberapa minggu atau bulan, namun jika degenerasi aksonal telah terjadi, pemulihan dapat diharapkan untuk kemajuan perlahan-lahan selama berbulan-bulan, karena regenerasi mungkin memerlukan 618 bulan. Secara umum, pemulihan lebih lambat dan kurang sempurna dapat terlihat pada pasien yang lebih tua.33
2.11.
Polineuropati Neoplastik Paraneoplastic Neurological Syndromes (PNS)
Paraneoplastic Neurological Syndromes (PNS) adalah gangguan sistem saraf akibat kanker yang tidak disebabkan oleh efek lokal maupun metastasis. PNS jarang dijumpai, mencakup gangguan yang sangat luas, dapat mengenai sistem saraf pusat maupun saraf perifer. Gangguan neuromuskuler yang terkait dengan kanker sekarang termasuk di antara sindrom paraneoplastik. Gangguan tersebut mempengaruhi 6% dari semua pasien dengan kanker dan yang lazim di kanker ovarium dan kanker paru. Ditemukannya antibodi terhadap antigen onkoneural menciptakan pemahaman baru tentang sindrom ini. 1-4 Akhir-akhir ini ditemukan antibodi yang menyerang antigen pada membran reseptor atau kanal ion (antigen permukaan sel), antibodi ini memegang peranan dalam patofi siologi PNS. Pada kasus dengan antibodi terhadap antigen onkoneural intraseluler positif sering ser ing dapat ditemukan tumor penyebabnya, sedangkan pada kasus dengan antibodi terhadap antigen permukaan sel positif tidak selalu ditemukan tumor penyebabnya. 1,2 Definisi
Paraneoplastic Neurological Syndromes (PNS) didefinisikan sebagai efek jauh kanker yang bukan disebabkan langsung oleh tumor atau metastasisnya, ataupun oleh infeksi, dan gangguan metabolik. PNS mencakup gangguan pada sistem saraf pusat dan sistem saraf perifer1,4. Pada PNS terdapat istilah sindrom klasik yang merupakan sindrom neurologis yang sering berhubungan dengan kanker (tabel 1).
33
Sumber: 1. Grisold W, Giometto B, Vitaliani R, et al. Current Approaches to the Treatment of Paraneoplastic Encephalitis. Ther Adv Neurol Disord Disord 2011; 4(4): 237-48 . 4. Honnorat J, Antoine JC. Paraneoplastic Neurological Syndromes. Orphanet Journal of Rare Diseases 2007; 2:22: 1-8.
Tumor Yang Berhubungan dengan PNS
Pada PNS, 50% sampai 80% pasien sudah menunjukkan gejala neurologis sebelum diagnosis tumor ditegakkan. Tumor yang berhubungan dengan PNS adalah kanker paru-paru ( 60%) terutama small cell lung cancer (SCLC). Sekitar 20% ditemukan pada tumor germ cell. Sisanya berhubungan dengan kanker payudara, thymoma, limfoma Hodgkin dan teratoma.
1,2
34
Patofisiologi
Para ahli imunologi tumor memperkenalkan nama antibodi onkoneural untuk menjelaskan antibodi yang mentarget antigen pada jaringan neuroektodermal dan tumor. Sejak tahun 1980-an sudah beberapa antibodi onkoneural ditemukan dan merupakan biomarker untuk sindrom paraneoplastik klasik. Mekanisme patofi siologi utama adalah adanya respons imun oleh kanker yang kemudian bereaksi silang dengan jaringan saraf. a. Belum diketahui pasti apakah antibodi onkoneural PNS terutama dihasilkan dari antibodi serum atau antibodi intratekal. Konsentrasi absolut antibodi terhadap antigen onkoneural tertentu biasanya lebih tinggi di serum dibandingkan dengan di likuor serebrospinal (LCS), bahkan kadang-kadang antibodi antibodi tersebut tidak dapat dideteksi di LCS.2
35
Sumber: - Dwyer
J,
Rabin
B.
Final
Diagnosis:
Anti
NMDA
Receptor
Encephalitis.
http://path.upmc.edu/cases/case762/dx.html. diunduh Oktober 2013. - Lai M, Hughes EG, Peng X, et al. AMPA receptor antibodies in limbic encephalitis alter synaptic receptor location. Ann Neurol. 2009; 65(4): 424 – 34. 34. - Wysota B, Teare L, Karim A, Jacob S. Autoimmune Gabab antibody encephalitis associated with non-malignant lung lesion. J Neurol Neurosurg Psychiatry. 2013 Nov;84(11):e2. 1
Myasthenia gravis adalah sindrom paraneoplastik yang paling umum pada pasien dengan thymoma dengan thymoma , keganasan yang timbul dari sel-sel epitel timus. Memang, thymoma adalah penyebab yang mendasari pada sekitar 10% sampai 15% kasus myasthenia gravis. Jarang,hypogammaglobulinemia Jarang,hypogammaglobulinemia dan aplasia sel merah murni terjadi sebagai sindrom paraneoplastik pada pasien dengan thymoma. th ymoma.
36
Lambert-Eaton myasthenic sindrom (LEMS), yang bermanifestasi sebagai asthenia dari girdle skapulae dan panggul dan penurunan refleks tendon. LEMS kadang-kadang dapat disertai dengan xerostomia, impotensi seksual, miopati, dan neuropati perifer. Hal ini terkait dengan kanker 40-70%, yang paling umum kanker paru-paru sel kecil (SCLC). Tampaknya hasil dari campur tangan dengan pelepasan asetilkolin akibat serangan imunologi terhadap saluran kalsium channel presynaptic.
Opsoclonus-mioklonus sindrom, biasanya mempengaruhi anak-anak lebih muda dari 4 tahun. Hal ini terkait dengan hipotonia, ataksia, dan iritable. i ritable. Satu dari da ri dua pasien pasie n memiliki neuroblastoma. memiliki neuroblastoma.
Ensefalitis
limbik paraneoplastic ditandai oleh
depresi, kejang,
iritabilitas,
dan
kehilangan memori jangka pendek.Gejala-gejala neurologis berkembang dengan cepat dan dapat menyebabkan demensia. Ensefalitis limbik paraneoplastic paling sering dikaitkan dengan SCLC.
Encephalomyelitis paraneoplastic ditandai dengan gejala kompleks yang berasal dari ensefalitis batang otak, ensefalitis limbik, degenerasi serebelum, myelitis, dan disfungsi otonom. Defisit neurologis dan tanda-tanda tampaknya berhubungan dengan proses inflamasi yang melibatkan beberapa daerah sistem saraf.
Degenerasi serebelar paraneoplastic menyebabkan kesulitan kiprah, pusing, mual, dan diplopia, diikuti oleh ataksia, disartria, disfagia dan. Degenerasi serebelar paraneoplastic sering dikaitkan dengan limfoma Hodgkin, kanker payudara, SCLC, dan kanker ovarium,. itu mungkin terjadi dalam hubungan dengan karsinoma prostat
Neuropati sensorik paraneoplastik mempengaruhi ekstremitas bawah dan atas dan di tandai dengan hilangnya sensori yang progresif, baik simetris maupun asimetris. Hal ini tampaknya dikaitkan dengan hilangnya akar ganglia dorsal dengan keterlibatan awal dari serat utama yang bertanggung jawab untuk mendeteksi getaran dan posisi
Manifestasi
Satu atau lebih sindrom paraneoplastik neurologis mungkin hadir pada pasien dengan kanker, terutama mereka yang menderita kanker paru-paru.
Neuropati dapat berupa sensorik, motorik, atau atau campuran.
Neuropati sensorik, yang biasanya terjadi hanya pada pasien dengan kanker paru-paru, berasal dari degenerasi ganglionic, dan onsetnya ditandai dengan parestesia dan nyeri tabeticlike, hyporeflexia akut dengan pengurangan sensitivitas proprioseptif dan ataksia (baik statis dan dinamis), anestesia getaran, tuli, hypoesthesia cutaneous atau anestesi, dysgeusia, dan dysosmia. 37
Neuropati campuran dapat terjadi dengan beberapa keganasan dan memiliki presentasi yang sangat bervariasi, dengan motor atau gejala sensorik baik sebelum onset klinis penyakit tumor atau menyertainya. men yertainya. Sumsum tulang belakang dapat dipengaruhi oleh baik myelitis nekrotik subakut s ubakut atau myelitis subakut. Kondisi ini menyebabkan paraplegia progresif dengan areflexia, kurangnya kontrol sphincteric, dan anestesi pada tungkai bawah.Sebuah sindrom amyotrophic lateral (LAS) dapat terjadi, bermanifestasi sebagai asthenia dan atrofi yang khas pada otot, hyperreflexia dengan fasciculasi piramida, dan degenerasi dari neuron motor kedua. Bentuk LAS berbeda dari bentuk nonparaneoplastic karena adanya keterlibatan pada sensorik (yaitu, proprioception dan pallesthesia).
Cerebellum mungkin menjadi tempat degenerasi saraf subakut pada pasien dengan karsinoma sel kecil atau at au payudara atau tumor ginekologi. Degenerasi seperti itu bermanifestasi klinis sebagai ataksia cerebellar, disartria, dan nystagmus.Disfagia, ptosis palpebral, tuli, dan tanda Babinski positif positif juga dapat terjadi.
Otak kecil pasien dengan kanker paru-paru juga dapat dipengaruhi oleh ensefalitis. Dalam kasus tersebut, gambaran klinis ditandai dengan kejang-kejang, delirium, dan kurangnya memori jangka panjang. Pada pasien lain, l ain, proses patologis melibatkan medula (yaitu, encephalomyelitis).
Pada beberapa pasien dengan leukemia, limfoma, atau kanker epitel, proses degeneratif yang langka yang melibatkan pusat semioval dapat diamati.Proses degeneratif ini ditandai dengan kejang-kejang, ataksia cerebellar, demensia progresif, afasia, hemiparesis, hemihypoesthesia, disfagia, dan nystagmus. Proses ini berkembang pesat, menyebabkan kematian dalam waktu 6 bulan dari onset.
Eaton-Lambert myasthenic sindrom (ELMS) dapat terjadi pada pasien dengan limfoma, thymoma, atau kanker rectum, pankreas, payudara, ginjal, prostat, atau rahim. ELMS bisa menghilang setelah reseksi bedah dari tumor primer tetapi tidak setelah radioterapi atau kemoterapi.
Pasien dengan limfoma atau kanker paru-paru, perut, payudara, atau rahim mungkin memiliki polimiositis dan dermatomiositis yang ditandai secara klinis oleh asthenia, nyeri, dan hipertrofi progresif dari otot proksimal yang mempengaruhi, kemudian melibatkan, dermis dan kulit. Hal ini menyebabkan ruam berwarna ungu pada wajah dan tangan.
Sebuah studi retrospektif oleh Fardet dkk mengidentifikasi faktor-faktor independen yang berhubungan dengan dengan keganasan pada pasien dengan dermatomiositis:
38
Usia saat diagnosis> 52 tahun (rasio hazard [HR], 7,24; 95% confidence interval [CI], 2,35-22,31)
Onset cepat timbulnya gejala kulit dan / atau gejala otot (HR, 3,11; 95% CI, 1,079,02)
Adanya nekrosis kulit (HR, 3,84; 95% CI, 1,00-14,85) atau eritema periungual (HR, 3,93; 95% CI, 1,16-13,24)
Tingkat dasar faktor komplemen C4 yang rendah (HR, 2,74; 95% CI, 1,11-6,75) Namun,
tingkat
dasar
jumlah
limfosit
(
View more...
Comments