REFERAT - PICA
December 19, 2017 | Author: Ahmad Rahmat Ramadhan Tantu | Category: N/A
Short Description
REFERAT PICA GANGGUAN MAKAN DSM V...
Description
REFERAT
DESEMBER 2015
PICA
Nama
: Ahmad Rahmat Ramadhan
No. Stambuk
: N 111 14 055
Pembimbing
: dr. Effendy Salim, Sp.A
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN ANAK FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TADULAKO RUMAH SAKIT UMUM DAERAH UNDATA PALU 2015 BAB I PENDAHULUAN Pica adalah gangguan makan yang didefinisikan sebagai konsumsi zat-zat yang tidak bergizi secara terus menerus selama kurang lebih satu bulan. Menurut Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders edisi keempat (DSM-IV), ingesti zat tidak bergizi harus tidak sesuai untuk tingkat perkembangan anak. Pica mungkin saja jinak namun bisa juga mengancam nyawa.1 Pica jauh lebih sering ditemukan pada anak kecil dibandingkan dengan dewasa. Individu yang terdiagnosis pica dilaporkan menelan berbagai macam zat non pangan termasuk tanah liat, kotoran, pasir, batu, kerikil, rambut, es, kuku, kertas, kapur, kayu, bahkan batu bara. Pada orang dewasa, bentuk pica tertentu, termasuk geofagia (makan tanah) dan amilofagia (makan kanji), telah dilaporkan terjadi pada wanita hamil. Walaupun pica diamati paling sering terjadi pada anak-anak, gangguan makan ini adalah suatu hal yang paling umum terjadi pada individu dengan retardasi mental. Dalam beberapa masyarakat, pica adalah suatu hal yang bersifat budaya dan tidak dianggap patologis.1
1
Pica terjadi di seluruh dunia. Geofagia adalah bentuk paling umum dari pica pada orang yang hidup dalam kemiskinan serta orang yang hidup di daerah tropis dan bersuku-suku. Pica adalah hal yang lazim terjadi di bagian barat Kenya, Afrika Selatan, dan India. Pica juga dilaporkan di Australia, Kanada, Israel, Iran, Uganda, Wales, Turki, dan Jamaika. Di beberapa Negara, bahkan tanah dijual untuk tujuan konsumsi. Di Indonesia sendiri belum ada data dan informasi yang jelas mengenai gangguan makan jenis ini.2 Pica diperkirakan terjadi pada usia 10 sampai 32 persen anak-anak antara usia 1 dan 6 tahun. Pada anak yang lebih dari 10 tahun, laporan pica menyatakan angka kira-kira 10 persen dari populasi. Terjadi penurunan linier seiring dengan bertambahnya usia. Pica kadang-kadang meluas ke golongan remaja namun jarang ditemukan pada orang dewasa yang tidak cacat mental. Pada individu dengan keterbelakangan mental, pica paling sering terjadi pada mereka yang berusia 10-20 tahun.2 Bayi dan anak sering menelan cat, plester, tali, rambut, dan kain. Anak-anak lebih cenderung suka menelan kotoran hewan, pasir, serangga, daun, kerikil, dan punting rokok. Sedangkan remaja dan orang dewasa paling sering menelan tanah liat atau tanah. Pada wanita hamil muda, pica terjadi selama kehamilan pertama pada masa remaja akhir atau dewasa awal. Meskipun pica biasanya berhenti pada akhir kehamilan, namun bisa saja terus berlanjut hingga bertahun-tahun. Pica biasanya terjadi dengan frekuensi yang sama antara laki-laki dan perempuan, namun sangat jarang pada pria remaja dan dewasa.3
2
3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1
DEFINISI Pica
ialah
nafsu
makan
yang
aneh,
yaitu
penderita
menunjukkan nafsu makan terhadap berbagai atau salah satu obyek yang bukan tergolong makan, misalnya tanah, pasir, rumput, bulu, selimut wol, pecahan kaca, kotoran hewan, cat kering, dinding tembok, dan sebagainya.4 Beberapa subtipe pica yang dinamakan sesuai dengan substansi yang dimakan misalnya: Amylophagia (konsumsi pati) Coprophagy (konsumsi tinja) Geophagy (konsumsi tanah, tanah liat, atau kapur) Hyalophagia (konsumsi kaca) Konsumsi debu atau pasir Lithophagia (subset dari geophagia, konsumsi kerikil atau batu) Mucophagia (konsumsi lendir) Odowa (batu lembut dimakan oleh ibu hamil di Kenya) Konsumsi cat Pagophagia (konsumsi patologis es) Self-kanibalisme (kondisi langka di mana bagian tubuh dapat dikonsumsi) Trichophagia (konsumsi rambut, bulu atau wol) Urophagia (konsumsi urin) Xylophagia (konsumsi kayu atau kertas) 2.2 EPIDEMIOLOGI
4
Insiden pica jarang pada anak yang berusia lebih tua dan remaja. Pica lebih lazim pada anak dan remaja dengan retardasi mental. Pica dilaporkan hingga 15% individu dengan retardasi mental berat. Pica dapat dijumpai pada kedua jenis kelamin dengan angka kejadian sama besar.3 2.3 ETIOLOGI
Insiden pica yang lebih tinggi dari perkiraan tampak terdapat pada kerabat orang dengan gejala ini. Defisiensi gizi didalilkan sebagai penyebab pica, pada keadaan tertentu, perasaan “nagih” zatzat yang tidak dapat dimakan diakibatkan oleh insufisiensi diet. Contohnya, perasaan “nagih” debu dan es kadang-kadang disebabkan oleh
defisiensi
besi
dan
seng,
yang
dihilangkan
dengan
pemberiannya. Insiden pengabaian dan deprivasi orang tua juga dikaitkan dengan kasus pica. Teori yang menghubungkan deprivasi psikologis dan konsumsi zat yang tidak dapat dimakan diajukan sebagai mekanisme kompensasi untuk memenuhi kebutuhan oral. Selain itu terdapat kondisi-kondisi tertentu yang dapat meningkatkan faktor risiko terjadinya pica, yaitu: Terdapat pada golongan anak di bawah umur 3 tahun, biasanya di atas 1 tahun, sebab bayi yang sedang belajar merangkak dan anak sapihan
wajar
bila
suka
memasukkan
benda-benda
yang
dipegangnya ke dalam mulutnya. Diet. Orang yang diet mungkin mencoba untuk meringankan kelaparan dengan makan zat non-pangan untuk mendapatkan 5
perasaan kenyang, Malnutrisi dan Penderita defisiensi gizi. Terutama di negara-negara terbelakang, di mana orang-orang dengan pica paling sering makan tanah atau tanah liat. Faktor budaya. Dalam keluarga, agama, atau kelompok yang makan zat non-pangan, digunakan untuk praktek pembelajaran. Kelalaian orang tua, kurangnya pengawasan, atau kekurangan makanan sering terlihat pada anak-anak yang hidup dalam kemiskinan. Masalah perkembangan, seperti keterbelakangan mental, autisme, cacat perkembangan lainnya, atau kelainan otak. Kondisi kesehatan mental, seperti gangguan obsesif-kompulsif (OCD) dan skizofrenia. Kehamilan. Pica selama kehamilan lebih sering terjadi pada wanita yang selama masa kecil mereka atau sebelum kehamilan, memiliki riwayat pica baik dirinysa sendiri, maupun dalam keluarga.5
2.4 DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis banding pica6 a. b. c. d. e.
Retardasi Mental Pervasive Developmental Disorder Skizofrenia Autis Kleine-Levin syndrome
6
2.5 PENEGAKAN DIAGNOSIS
Presentasi klinis pica sangat bervariasi dan berhubungan dengan sifat spesifik dari kondisi medis yang dihasilkan dan zat tertelan. Pada keracunan atau paparan agen infeksi, gejala dilaporkan sangat bervariasi dan berhubungan dengan jenis toksin atau agen infeksi tertelan. Gejala pada saluran Gastrointestinal (GI) seperti sembelit, sakit perut kronis atau akut yang mungkin menyebar atau terfokus, mual dan muntah, distensi perut, dan kehilangan nafsu makan.1,4,5 Pasien perilaku
mungkin
pica
dan
menyembunyikan menyangkal
informasi
adanya
pica
mengenai ketika
ditanya. Kerahasiaan ini sering mengganggu diagnosis yang akurat dan pengobatan yang efektif. Kisaran luas komplikasi yang timbul dari berbagai bentuk pica dan keterlambatan diagnosis yang akurat dapat menyebabkan gejala ringan sampai mengancam nyawa. 1,4,5
Tabel 1-1 Kriteria Diagnostik DSM-IV-TR untuk Pica A. Makan zat tanpa gizi yang menetap untuk periode sedikitnya 1 bulan. B. Makan zat tanpa gizi tidak sesuai dengan tingkat perkembangan. C. Perilaku makan bukan bagian dari praktik yang disetujui budaya. D. Jika perilaku makan ini terjadi hanya selama perjalanan gangguan jiwa lain (misalnya retardasi mental, gangguan
7
perkembangan pervasif, skizofrenia), gangguan ini cukup berat sehingga memerlukan perhatian klinis tersendiri. Dari American Psychiatric Association, Diagnostic
and
Statistical Manual of Mental Disorder. 4th ed. Text rev, Washington,
DC:
American
Psychiatric
Association;
copyright 2000, dengan izin Pemeriksaan fisik Temuan fisik yang terkait dengan pica sangat bervariasi dan berhubungan langsung dengan bahan yang tertelan dan konsekuensi medis selanjutnya. Temuan ini seperti berikut: a. Tanda keracunan b. Tanda infeksi atau infestasi dari parasit c. Manifestasi pada Gastrointestinal (GI) d. Manifestasi pada gigi Toksisitas adalah keracunan yang paling umum yang terkait dengan pica. Tanda fisiknya tidak spesifik dan tak terlihat, dan kebanyakan anak dengan keracunan timah tidak menunjukkan gejala. Manifestasi fisik dari keracunan dapat seperti gejala neurologis (misalnya, mudah tersinggung, lesu, ataksia, inkoordinasi, sakit kepala, kelumpuhan saraf, papilledema , ensefalopati, kejang, koma, atau kematian) dan gejala pada saluran GI (misalnya, sembelit, sakit perut, kolik , muntah, anoreksia, atau diare). 1,4,5 Toxocariasis (termasuk larva migrans visceral dan ocular larva migrans) dan ascariasis merupakan infeksi parasit paling sering yang 8
terkait dengan pica. Gejala Toxocariasis beragam dan tampaknya terkait dengan jumlah larva yang tertelan dan organ mana tempat larva bermigrasi. Temuan fisik yang terkait dengan migrans larva visceral adalah demam, hepatomegali, malaise, batuk, miokarditis , dan encephalitis. Ocular larva migrans dapat menyebabkan lesi retina dan kehilangan penglihatan. 1,4,5 Manifestasi pada saluran cerna berupa kelainan mekanik usus, sembelit, ulserasi, perforasi, dan pengahalang usus yang disebabkan oleh pembentukan bezoar dan konsumsi bahan yang dicerna ke dalam saluran pencernaan. Kelainan gigi dapat terlihat pada pemeriksaan fisik, termasuk abrasi gigi yang parah, abfraksi, dan kehilangan permukaan gigi. 1,4,5
Pemeriksaan Penunjang Tidak ada tes laboratorium tunggal yang mengkonfirmasi atau menyingkirkan diagnosis pika, tetapi beberapa tes laboratorium berguna karena pika sering disertai dengan indeks yang abnormal misalnya kadar serum besi dan seng. 1,4,5 2.6
TERAPI
Langkah pertama di dalam terapi pika adalah untuk menentukan penyebabnya jika memungkinkan. Jika pika disebabkan oleh situasi pengabaian atau penganiayaan, tentu saja keadaan ini perlu diubah. Pajanan pada zat toksik, seperti timah, harus 9
dihilangkan. Tidak ada terapi definitif untuk pika; sebagian besar terapi ditujukan pada edukasi dan modifikasi perilaku. Terapi menekankan pendekatan psikososial, lingkungan, perilaku, dan pedoman keluarga. Upaya harus dilakukan untuk mengurangi stresor psikososial yang signifikan. 1. Terapi lama Menurut ADAManual Clinical Dietetics tahun 2000, Pica didefinisikan sebagai kelainan psikobehavioral yang melibatkan keinginan-keinginan yang abnormal untuk memakan sesuatu yang sebenarnya bukan merupakan makanan yang lazim dikonsumsi seperti tanah, kapur, dan sebagainya. Pica menjadi sebuah perhatian karena substansi-substansi yang bukan merupakan makanan itu dikhawatirkan dapat menggantikan nutrisi-nutrisi dari makanan yang sesungguhnya dan hal ini bisa menjadi berbahaya. Menurut Andrews, 1998 sebenarnya tidak ada suatu panduan yang spesifik mengenai rencana terapi pada pica, tetapi pendekatan personal dan pemberian edukasi serta saran-saran yang baik mengenai nutrisi yang seimbang pada pasien pica menjadi suatu hal penting untuk upaya mengurangi keinginankeinginan mengkonsumsi benda-benda yang aneh sehingga dapat tercipta
keseimbangan
nutrisi dalam
tubuh. Rose,
2000
menyatakan bahwa penatalaksanaan pasien pica dengan cara yang sama belum tentu mendapatkan hasil yang sama, kesadaran dari praktisi kesehatan adalah hal yang paling penting dalam manajemen pasien pica.7 10
2. Terapi Baru a. Selective Serotonin Reuptake Inhibitors (Farmakologis) Terapi baru yang kemungkinan dapat digunakan dan telah direkomendasikan karena hasil yang memuaskan saat diuji coba pada pasien pica adalah terapi farmakologis dengan selective serotonin reuptake inhibitors (SSRi) dan neuroleptic atipical lain. Terapi baru ini bekerja dengan memblok reuptake atau reabsorpsi serotonin oleh sel-sel saraf di otak. Beberapa jenis SSRi ini antara lain adalah fluvoxamin, zimelidin, paroxetin, fluoxetin, dan citalopram.8
b. Bupropion (Farmakologis) Bupropion merupakan golongan obat dari aminoketone norepinephrine and dopamine reuptake inhibitor yang terbukti dapat digunakan sebagai terapi pada gangguan pica yang persisten, kronik, dan mengalami ketergantungan nikotin yang parah.9 Intervensi perilaku pada pasien pica dengan tujuan untuk mengalihkan
perhatian,
seperti
menyusun
ulang
llingkungannya, konseling, dan terapi-terapi perilaku yang lain tidak berhasil, maka terapi farmakologis merupakan opsi selanjutnya seperti bupropion.9 Pada juli 2003, bupropion dikeluarkan dengan regimen 100 mg dua kali sehari ditambah dengan lamotrigin 200 mg
11
tiga kali sehari, gabapentin 600 mg tiga kali sehari, topiramat 200 mg tiga kali sehari, zonisamide 300 mg, loratadin 10 mg/hari, naltrexon 50 mg/hari, propanolol 60 mg dua kali sehari, paroxetin 40 mg/hari, risperidone 3 mg dua kali sehari, multivitamin setiap hari, dan vitamin E 800 IU dua kali sehari. Pada penelitian yang telah dikakukan, pemberian bupropion selama 12 bulan, pasien mengalami penurunan episode pica menjadi 6.25 kali setiap bulan.9 c. Response Effort (Pendekatan perilaku) Response effort merupakan salah satu terapi pada pica dengan pendekatan metode perilaku. Pada terapi ini, yang dinilai adalah usaha pasien untuk berusaha memakan sesuatu yang menjadi objek pica dan yang bukan objek pica. Pada penelitian yang dilakukan oleh Piazza et al (2002), penelitian ini menggunakan tiga orang yang mengalami gangguan kejiwaan dan GiasGn ke klinik Neurobehavioral di Kennedy Krieger Institute. Pasien pertama memiliki riwayat memakan kunci mobil, batu, tongkat penunjuk, kotoran, sarung tangan, dan baterai. Pasien kedua memiliki riwayat memakan batu, tongkat penunjuk, plastic, dan kotoran. Pasien ketiga memiliki riwayat memakan batu, tongkat penunjuk, kotoran, pakaian, sabun, dan feces.10 Penelitian dilakukan di ruang tertutup yang terbuat dari bahan yang aman jika dimakan, lalu disimpan benda objek yang biasa dimakan (seperti kunci mobil, kotoran, dll) dan 12
benda lain yang menjadi pengalih perhatian, dari kedua benda tersebut akan diletakkan sedemikian caranya sehingga pasien akan menggunakan low effort atau high effort untuk menjangkau benda-benda tersebut. Penelitian dilakukan dengan mengamati response effort pada pica dan benda-benda pengalih perhatian. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa pada usaha untuk mendapatkan benda-benda pengalih perhatian tinggi (high effort) sedangkan usaha untuk mendapatkan objek pica mudah (low effort) maka pasien akan menjangkau objek pica dan memakannya. Sehingga, jika kita menurunkan usaha untuk menjangkau benda yang dapat dimakan akan menurunkan frekuensi kejadian pica. Pada keadaan objek pica mudah dijangkau (low effort) misalnya benda-benda yang didapat bebas ketika sedang bermain; dan benda-benda pengalih perhatian disimpan susah untuk dijangkau (misalnya di saku seseorang di sekitar anak) maka akan menurunkan kejadian pica. Sehingga kesimpulannya, para orang tua atau yang merawat pasien pica harus menyimpan benda-benda yang berbahaya untuk dimakan di tempat-tempat yang aman, dan meletakkan benda-benda pengalih perhatian di tempat-tempat yang menarik untuk pasien sehingga dapat mengurangi frekuensi pica pada pasien.10 d. Response Blocking
13
Response Blocking merupakan usaha yang dilakukan oleh individu yang merawat atau menjaga pasien pica agar tidak mengambil benda (bukan makanan) untuk dimakan. McCord dan Grosser (2005) melakukan penelitian tentang response blocking pada pasien pica yang dilakukan selama 10 menit selama 3 sampai dengan 5 hari setiap minggu. Pada penelitian ini, pasien ditempatkan di ruangan tertutup yang di dalamnya terdapat kertas segi empat yang dilekatkan ke lantai dan di atas kertas tersebut disimpan benda-benda (bukan makanan) yang Gias dimakan oleh pasien pica. Lalu ada seorang terapis yang ada di ujung ruangan berjarak 3.1 m dari benda yang ada di atas lantai. Pada percobaan pertama, terapis tidak bereaksi apa-apa (tidak mencegah/mem-block) pasien saat akan mengambil benda di atas kertas. Percobaan kedua, terapis mencegah ketika benda sudah berjarak 0.3 m dari mulut pasien, pada percobaan ketiga, terapis mencegah pasien mengambil benda di atas kertas.11 Pada penelitian ini menunjukan bahwa jika pasien tidak dicegah maka pasien akan dengan leluasa memakan bendabenda bukan makanan tersebut, walaupun dicegah, tetapi jika dicegah saat makanan sudah diambil maka efeknya tidak efektif, pasien tetap tidak mau menjatuhkan makanan tersebut. Hasil dari pencegahan ini akan efektif jika perawat atau seseorang yang menjaga pasien mencegah pasien mengambil benda-benda berbahaya untuk dimakan. Sehingga, 14
kesimpulannya adalah pencegahan tidak efektif jika dilakukan setelah pasien mengambil benda untuk dimakan, tetapi harus dilakukan usaha untuk mencegah pasien menjangkau bendabenda berbahaya untuk dimakan tersebut.11 2.7
PROGNOSIS
Prognosis untuk pika beragam, meskipun pada anak dengan intelegensi normal, gangguan ini paling sering bersifat pulih spontan. Pada anak, pika biasanya pulih seiring dengan meningkatnya usia; pada perempuan hamil, pika biasanya terbatas pada masa kehamilan saja. Meskipun demikian, pada beberapa orang dewasa, terutama mereka yang mengalami retardasi mental, pika dapat berlanjut hingga bertahun-tahun. Data pemantauan lanjutan pada populasi ini terlalu terbatas untuk memberikan suatu kesimpulan. Keberhasilan dalam pengobatan bervariasi, sebagian besar kasus pica berlasung beberapa bulan dan akan sembuh dengan sendirinya, tapi ada beberapa kasus yang berlanjut kemasa remaja dan dewasa terutama ketika terjadi bersamaan dengan gangguan perkembangan. 2.8
a. b. c. d. e. f. g. h.
KOMPLIKASI
Komplikasi pica dapat berupa11 : Infeksi Obstruksi usus Menyebabkan keracunan Malnutrisi Diare Anemia Konstipasi Kecacingan
15
BAB III KESIMPULAN Pica ialah nafsu makan penderita yang menunjukkan terhadap berbagai atau salah satu obyek yang bukan tergolong makan, misalnya tanah, pasir, rumput, bulu, selimut wol, pecahan kaca, kotoran hewan, cat kering, dinding tembok, dan sebagainya Gejala pada saluran Gastrointestinal (GI) seperti sembelit, sakit perut kronis atau akut yang mungkin menyebar atau terfokus, mual dan muntah, distensi perut, dan kehilangan nafsu makan. Terapi yang dapat diberikan diantaranya dengan farmakologis yaitu Selective Serotonin Reuptake Inhibitors dan Bupropion, serta non farmakologis dengan respons effort dan respons blocking. 1.
16
DAFTAR PUSTAKA 1. American Psychiatric Association. DSM-V: Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, Text Revision. American Psychiatric Press; 2012:103-105. 2. Hagopian, L. P; Rooker, G. W; Rolider, N. U. Identifying Empirically Supported Treatments for Pica in Individuals with Intellectual Disabilities. Res Dev Disabil. Nov-Dec 2011;32(6):2114-20. 3. Young, S. L. Pica in Pregnancy: New Ideas About an Old Condition. Annu Rev Nutr. Aug 21 2010;30:403-22. 4. Hassan, Rusepno., Alatas, Husein. 1985. Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta: Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 5. Hope Interprises Inc.
Pica.
Available
from
URL:
http://www.heionline.org/docs/training/pica.pdf 6. Cunningham, Eleese dan Wendy Marcason. 2001. Question of the month: How do I help patients with pica?. Jurnal of the Academy of Nutrition and Dietettics. 101(3): 318 7. Morrow, Alina. 2010. Condition & Disease: Eating & Weight Disorder. Online. Diunduh dari http://www.omnimedicalsearch.com/conditionsdiseases/pica-disorder-treatment-options.html. 8. Ginsberg, David L. 2006. Bupropion SR for Nicotine-Craving Pica in a Developmentally Disabled Adult:
Primary Psychiatry. Vol
13(12):28-30 9. Piazza, Cathleen., Henry S. Roanne., Kris M. Keeney et al. Varying Response Effort in The Treatment of Pica Maintained by Automatic Reinforcment: Journal Of Applied Behavior Analysis. Vol (35): 233-46
17
10.McCord, Brandon dan Jason W. Grosser. 2005. An Analysis Of Response-Blocking Parameters In The Prevention Of Pica: Journal Of Applied Behavior Analysis. Vol (38): 391-4 11.Johnson, C.D., Shynett, B., Dosch, R., Paulson, R. 2007. An Unusual Case Of Tooth Loss, Abrasion, and Erosion Associated with A Culturally Accepted Habit. Gen Dent. Vol. 55(5):445-8.
18
View more...
Comments