Referat Persalinan Preterm FIX
June 10, 2018 | Author: Rachmi Annisa | Category: N/A
Short Description
persalinan preterm...
Description
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Persalinan preterm merupakan salah satu penyebab morbiditas dan mortalitas perinatal di seluruh dunia. Persalinan preterm menyebabkan mortalitas 70% perinatal dan neonatal, dan morbiditas jangka panjang, yang meliputi retardasi mental, serebral palsi, gangguan perkembangan, seizure disorder, kebutaan, hilangnya pendengaran, dan gangguan non neurologis, seperti penyakit paru kronis dan neuropati. Oleh karena itu persalinan preterm bukan hanya menjadi masalah obstetri yang paling umum tapi dapat menjadi masalah obstetri yang paling serius (Rima, 2010). Persalinan preterm didefinisikan sebagai persalinan yang terjadi pada usia kehamilan kurang dari 37 minggu, dimana terjadi kontraksi uterus yang teratur yang berhubungan dengan penipisan dan dilatasi serviks. Terdapat definisi lain tentang persalinan preterm, yaitu persalinan yang terjadi antara usia kehamilan 20 dan 37 minggu dihitung dari hari pertama haid terakhir.Bayi yang lahir prematur memiliki berat badan lahir rendah dan hubungan antara umur kehamilan dengan berat badan lahir mencerminkan kecukupan pertumbuhan intra uterin (Cunningham, 2012). Angka kejadian persalinan preterm umumnya bervariasi antara 6 – 15% pada seluruh persalinan. Diperkirakan terdapat 12.870 persalinan preterm per 1000 kelahiran di seluruh dunia (9,6%), di USA kejadian persalinan preterm adalah 12 -13%. di Afrika terdapat 4.047 persalinan preterm per 100 kelahiran (11,9%) di Eropa sebesar 466 per 1000 kelahiran (6,2%), di Asia 6.097 per 1000 kelahiran atau 9,1%, dan di Asia Tenggara 6.097 per 1000 kelahiran (11,1%) (Stacy et al, 2010). Di Indonesia belum ada
1
angka yang secara nasional menunjukkan kejadian persalinan preterm, namun pernah dilaporkan angka kejadian persalinan preterm di rumah sakit di Jakarta sebesar 13,3% dan di rumah sakit di bandung sekitar 9,9% pada tahun 2001 (Rima, 2010). Di Amerika Serikat pada tahun 2005, 28.384 bayi meninggal pada tahun pertama kehidupan mereka, kelahiran kurang bulan terkait dengan dua per tiga kematian ini. Angka kelahiran kurang bulan pernah menjadi penyumbang terbesar kematian bayi di Amerika Serikat. Berbagai jenis morbiditas terutama dikarenakan sistem organ yang imatur secara signifikan meningkat pada bayi yang lahir sebelum usia kehamilan 37 minggu dibandingkan dengan bayi yang lahir aterm (Cunningham, 2012). Keberhasilan menurunkan angka morbiditas dan mortalitas perinatal yang berhubungan dengan persalinan preterm memerlukan identifikasi faktor resiko. Sehingga diperlukan pemahaman yang lebih baik tentang faktor – faktor
resiko
psikososial, etiologi, dan mekanisme persalinan preterm (Rima, 2010).
1.2 Tujuan 1.2.1 Tujuan Utama Dengan disusunnya referat ini, diharapkan mahasiswa mampu memahami tentang penatalaksanaan pada persalinan preterm. 1.2.2 Tujuan Khusus Menjelaskan tentang defenisi, etiologi, patogenesa, gejala dan tanda, diagnosa, penanganan dan penatalaksanaan persalinan preterm.
2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Persalinan preterm didefinisikan sebagai persalinan yang terjadi sebelum usia kehamilan 37 minggu atau kurang dari 259 hari sejak hari pertama haid terakhir (C.Hubinont, 2011). Partus prematurus atau persalinan prematur juga diartikan sebagai dimulainya kontraksi uterus yang teratur disertai pendataran dan atau dilatasi serviks serta turunnya bayi pada wanita hamil yang lama kehamilannya kurang dari 37 minggu (kurang dari 259 hari) dari hari pertama haid terakhir (Oxorn, 2010). Himpunan Kedokteran Fetomaternal (POGI) di Semarang menetapkan bahwa persalinan preterm adalah persalinan yang terjadi pada usia kehamilan 22 – 37 minggu (Rima, 2010).
2.2 Epidemiologi Persalinan preterm juga dapat dibagi menurut usia kehamilan, sekitar 5% persalinan preterm terjadi pada usia kurang dari 28 minggu (extreme prematurity), sekitar 15% terjadi pada usia kehamilan 28-31 minggu (severe prematurity), sekitar 20% pada usia 32-33 minggu (moderate prematurity), dan 60-70% pada usia 34-36 minggu (near term) (Rima, 2010.) Diperkirakan terdapat 12.870 persalinan preterm per 1000 kelahiran di seluruh dunia (9,6%), di USA kejadian persalinan preterm adalah 12 -13%. di Afrika terdapat 4.047 persalinan preterm per 100 kelahiran (11,9%) di Eropa sebesar 466 per 1000 kelahiran (6,2%), di Asia 6.097 per 1000 kelahiran atau 9,1%, dan di Asia Tenggara 6.097 per 1000 kelahiran(11,1%) (Stacy et al, 2010).Angka kejadian persalinan
3
prematur di Indonesia pada taun 1983 adalah 18,5% dan pada tahun 1995 menurun menjadi 14,2%. Menurut data terakhir pada tahun 2005 jumlah persalinan prematur di Indonesia adalah 10% (Oxorn, 2010). Prematuritas dewasa ini menjadi merupakan faktor tersering terkait morbiditas dan mortalitas bayi. Anoksia 12 kali lebih sering terjadi pada bayi – bayi prematur, gangguan respirasi menyebabkan kematian sebesar 44% pada bayi usia kurang dari 1 bulan. Jika berat bayi kurang dari 1000 gram maka angka kematian naik menjadi 74%. Karena lunaknya tulang tengkorak serta immaturitas, bayi prematur lebih rentan terhadap kompresi kepala. Perdarahan intrakranial lebih sering terjadi pada bayi prematur dibandikan dengan bayi aterm (Oxorn, 2010).Setiap tahun sekitar 4 juta bayi meninggal dalam 4 minggu pertama kehidupan (periode neonatal). Secara global diperkirakan penyebab langsung kematian neonatal adalah prematuritas (28%), infeksi berat 26%, dan asfiksia 28%.
2.3. Klasifikasi Menurut usia kehamilannya maka prematur dibedakan menjadi beberapa, yaitu: a. Usia kehamilan 32 – 36 minggu disebut persalinan prematur (preterm) b. Usia kehamilan 28 – 32 minggu disebut persalinan sangat prematur (very preterm) c. Usia kehamilan 20 – 27 minggu disebut persalinan ekstrim prematur (extremely preterm) 2.4 Etiologi dan Patofisiologi Penyebab persalinan preterm untuk semua kasus adalah berbeda–beda. Persalinan preterm, merupakan kelainan proses yang multifaktorial. Kombinasi keadaan obstetrik, sosiodemografi, dan faktor medik memiliki pengaruh terhadap terjadinya
4
persalinan preterm. Kadang hanya resiko tunggal dijumpai seperti distensi berlebih uterus, ketuban pecah dini atau trauma (Sarwono, 2010). Beberapa faktor resiko terjadinya persalinan preterm adalah abortus yang mengancam, faktor gaya hidup seperti merokok, pertambahan berat badan ibu yang tidak adekuat, penggunaan narkoba. Faktor maternal lain yang terlibat adalah usia ibu terlalu muda atau terlalu tua, tubuh pendek, kesenjangan ras dan etnik, hiperaktivitas selama kehamilan, faktor genetik, penyakit periodontal, cata lahir, interval antara kehamilan sebelumnya dan saat ini, serta riwayat persalinan preterm pada kehamilan sebelumnya (Cunningham, 2012).
Tabel 1. Faktor resiko persalinan preterm
Terdapat empat penyebab utama untuk kelahiran kurang bulan di Amerika Serikat. yaitu : 1. Persalinan atas indikasi ibu atau janin sehingga persalinan diinduksi atau bayi dilahirkan dengan persalinan sesar.
5
2. Persalinan kurang bulan spontan tak terjelaskan dengan selaput ketuban utuh. 3. Ketuban pecah dini preterm (PPROM) idiopatik 4. Kelahiran kembar dan multijanin yang lebih banyak Pada persalinan preterm, 30 – 35% teridentifikasi, sebanyak 40 – 45% dikarenakan persalinan kurang bulan spontan dan 30-35% karena PPROM (Cunningham, 2012).
1. Indikasi Medis dan Obstetris Preeklampsia, distress janin dan solusio plasenta merupakan indikasi paling umum atas intervensi medis yang mengakibatkan persalinan preterm. Penyebab lain yang kurang umum adalah hipertensi kronik, plasenta previa, perdarahan tanpa sebab yang jelas, diabetes, penyakit ginjal, isoimunisasi RH, dan malformasi kongenital (Cuningham, 2012).
2. Ketuban Pecah Dini Preterm Didefinisikan sebagai pecahnya ketuban sebelum persalinan dan sebelum usia kehamilan 37 minggu, ketuban pecah dini prematur dapat disebabkan oleh beragam mekanisme patologis termasuk infeksi intraamnion. Faktor lain yang terlibat adalah indeks massa tubuh yang rendah krang dari 19,8, kurang gizi, dan merokok. Wanita dengan riwayat ketuban pecah dini preterm sebelumnya memiliki resiko yang tinggi terjadinya rekurensi pada kehamilan berikutnya. Namun kebanyakan kasus ketuban pecah preterm terjadi tanpa faktor resiko (Cuningham, 2012).
6
3. Persalinan Kurang Bulan Spontan Persalinan kurang bulan spontan dikaitkan dengan beberapa hal, yaitu withdrawal progesteron, inisiasi oksitosin, dan aktivitas desidua.Teori withdrawal progesteron menjelaskan bahwa semakin mendekati proses persalinan sumbu adrenal janin menjadi lebih sensitif terhadap adrenokortikotropik sehingga meningkatkan sekeresi kortisol. Kortisol janin merangsang aktivitas 17-α hidroksidase plasenta sehingga mengurangi sekresi progesteron dan meningkatkan produksi estrogen. Kondisi ini menyebabkan peningkatan pembentukan prostaglandin yang memicu persalinan preterm (Goldenberg et al, 2008). Sebuah jalur penting menyebabkan inisiasi persalinan melibatkan aktivasi inflamasi desidua. Pada kasus persalinan preterm, aktivasi desidua tampaknya muncul pada kauss perdarahan intrauterin atau infeksi intrauteri (Louis J, 2010).
4. Infeksi Intra Uterin Infeksi intra uterin merupakan salah satu penyebab terjadinya persalinan preterm. Infeksi bakterial dalam uterus dapat terjadi antara jaringan maternal dan fetal membran (dalam koriodesidual space), dalam fetal membran (amnion dan korion), dalam placenta, dalam cairan amnion, dalam tali pusat. Infeksi pada fetal membran disebut korioamnionitis, infeksi pada tali pusat disebut funisitis, infeksi pada cairan amnion disebut amnionitis. Infeksi jarang terjadi pada kehamilan prematur akhir (34-36 minggu), dan lebih sering terjadi pada usia kehamilan kurang dari 30 minggu (Franklin. 2000).
7
Gambar 1. Tempat potensial terjadinya infeksi bakteri intrauterin
Ada beberapa jalur yang dapat menyebabkan masuknya bakteri ke dalam uterus. Bakteri dapat berasal dari migrasi dari kavum abdomen melalui tubafallopi, infeksi dari jarum amnionsintesis yang terkontaminasi, secara hematogen melalui plasenta, atau melalui serviks dari vagina. Pada persalinan preterm dengan membran yang utuh bakteri yang paling banyak ditemukan adalah Ureaplasma urealitycum,Mycoplasma hominis, Gardnerella
vaginalis,
peptostretococcus,
dan
spesies
bakterioides
(Franklin,
2000).Organisme yang sering berhubungan dengan infeksi saluran genital pada wanita tidak hamil Neisseriagonorrhoeae dan Chlamydia trachomatis,
jarang ditemukan
dalam uterus sebelum pecah ketuban, sedangkan bakteri yang sangat sering berhubungan dengan korioamnionitis dan infeksi janin setelah pecah ketubah, group B streptococci dan Escherichia coli, hanya ditemukan kadang-kadang. Jarang, organisme
8
saluran non genital, seperti organisme di mulut genus capnocitophaga, ditemukan di dalam uterus yang berhubungan dengan persalinan prematur dan korioamnionitis. Organisme ini mencapai uterus dapat melalui plasenta dari sirkulasi atau mungkin dengan kontak oral genital. Meskipun demikian, kebanyakan bakteria yang ditemukan dalam uterus dalam hubungannya dengan persalinan prematur berasal dari vagina. Bakteri dari vagina menyebar secara ascendens pertama kali ke dalam ruang koriodesidua. Pada beberapa wanita, organisme ini melewati membran korioamniotik yang intak ke dalam cairan amnion, dan beberapa fetus akhirnya menjadi terinfeksi. Bukti infeksi melalui rute ini berasal dari penelitian 609 wanita
yang fetusnya
dilahirkan dengan seksio sesar sebelum pecah ketubah. Setengah dari 121 wanita dengan kultur membran positif juga memiliki organisme dalam cairan amnion. Sebagian kecil fetus memiliki kultur darah atau cairan serebrospinal yang positif saat persalinan. Wanita dengan kultur membran positif memiliki respon peradangan yang aktif, seperti diinfikasikan oleh temuan leukosit histologis pada membran dan adanya konsentrasi interleukin 6 yang tinggi dalam cairan amnion. Temuan ini mungkin menjelaskan kenapa wanita dengan kultur cairan amnion negatif tetapi dengan konsentrasi sitokin yang tinggi dalam cairan amnion resisten terhadap obat tokolitik. Tampaknya, wanita ini sering memiliki infeksi dalam korioamnion, suatu tempat yang tidak boleh dikultur sebelum persalinan.
Waktu terjadinya infeksi Bukti terakhir menunjukkan bahwa infeksi intrauterine mungkin terjadi jauh lebih awal saat hamil dan masih tidak terdeteksi selama beberapa bulan. Sebagai contoh U. urealyticum telah terdeteksi pada beberapa sampel cairan amnion yang diperoleh dari
9
analisis kromosom rutin pada usia kehamilan 15 – 18 minggu. Kebanyakan wanita ini melakukan persalinan sekitar usia kehamilan 24 minggu. Lebih lanjut, konsentrasi interlekin 6 yang tinggi dalam cairan amnion pada minggu 15 – 20 berhubungan dnegan persalinan prematur spontan setelat 32 – 34 minggu. Contoh lain yang menunjukkan infeksi kronik, konsentrasi fibronektin yang tinggi dalam cerviks atau vagina pada usia kehamilan 24 minggu (yang dipertimbangkan sebagai marker infeksi saluran genitalia atas) berhubungan dengan terjadinya korioamnionitis rata-rata 7 minggu kemudian. Akhirnya, beberapa wanita yang tidak hamil dengan vaginosis bakterialis memiliki kolonisasi intrauterin yang berhubungan dengan endometritis sel plasma kronik. Sehingga memungkinkan bahwa kolonisasi intrauterine yang berhubungan dengan persalinan prematur spontan tampak saat konsepsi. Penting untuk menekankan bahwa kebanyakan infeksi saluran genitalia atas masih asimptomatik dan tidak berhubungan dengan demam, uterus yang bengkak atau leukositosis darah tepi.
Mekanisme persalinan premature akibat infeksi Data dari penelitian hewan, in vitro dan manusia seluruhnya memberikan gambaran yang konsisten bagaimana infeksi balteri menyebabkan persalinan prematur spontan (gambar 3). Invasi bakteri pada rongga koriodesidua, menyebabkan pelepasan endotoksin dan eksotoksin, mengaktivasi desidua dan membran janin untuk menghasilkan sejumlah sitokin, termasuk including tumor necrosis factor, interleukin-1, interleukin-1ß, interleukin-6, interleukin-8, dan granulocyte colony-stimulating factor. Selanjutnya, cytokines, endotoxins, dan exotoxins merangsang sistesis dan pelepasan
10
prostaglandin dan juga mengawali chemotaxis, infiltrasi, dan aktivasi neutrofil. Prostaglandin merangsang kontraksi uterus sedangkan metalloprotease menyerang membran korioamnion yang menyebabkan
pecah ketuban. Metalloprotease juga
meremodeling kolagen dalam serviks dan melembutkannya (Franklin, 2000). Terdapat jalur lain yang memiliki peranan yang hampir sama. Sebagai contoh, prostaglandin dehydrogenase dalam jaringan korionik menginaktivasi prostaglandin yang dihasilkan dalam amnion yang mencegahnya mencapai miometrium dan menyebabkan kontraksi. Infeksi korionik yang menurunkan aktivitas dehidrogenase ini menyebabkan peningkatan kuantitas prostaglandin untuk mencapai miometrium (Rima, 2010). Jalur lain dimana infeksi menyebabkan persalinan prematur melibatkan janin itu sendiri.
Pada janin dengan infeksi, peningkatan produksi corticotropin-releasing
hormone menyebabkan meningkatnya sekresi kortikotropin janin, yang kemudian meningkatkan produksi kortisol adrenal fetus. Sekresi kortisol yang tinggi menyebabkan meningkatnya produksi prostaglandin. Contoh lain yaitu ketika fetus itu sendiri terinfeksi, produksi sitokin fetus meningkat dan waktu untuk persalinan jelas berkurang. Namun, kontribusi relatif kompartemen maternal dan fetal terhadap respon peradangan keseluruhan tidak diketahui (Rima, 2010).
11
Gambar 2. Alur kolonisasi bakteri koriodesidua yang menyebabkan persalinan prematur
Marker infeksi Infeksi intrauterine sering bersifat kronik dan biasanya asimptomatik hingga persalinan dimulai atau pecah ketubah. Bahkan selama persalinan, kebanyakan wanita yang menunjukkan korioamnionitis kemudian (dengan temuan histologis dan kultur) tidak memiliki gejala selain dari persalinan prematur – tidak demam, nyeri perut atau leukositosis darah tepi dan biasanya tidak terdapat takikardia janin. Zat yang ditemukan
12
dalam kuantitas abnormal dalam cairan amnion dan di tempat lain pada wanita dengan infeksi intrauterine dijelaskan dalam tabel 1 (Rima, 2010).
Tabel 2. Marker infeksi intrauterin
5. Aktivasi Aksis Hipothalamic-Pituitary-Adrenal (HPA) Ibu dan Janin Stress didefinisikan sebagai tantangan baik psikologis ataupun fisik yang mengancam ataupun mengancam hemostasis pasien akan mengakibatkan aktivasi prematur Hipothalamic-Pituitary-Adrenal (HPA) janin atau ibu. Stress semakin diakui sebagai faktor resiko penting terjadinya persalinan preterm. Neuroendrokin, kekebalan
13
tubuh, proses perlilaku (seperti depresi) telah dikaitkan dengan kejadian persalinan preterm akibat stress. Proses aktivasi prematur HPA dimediasi oleh corticothropine releasing hormone (CRH) plasenta. Dalam sebuah hasil penelitian in vivo ditemukan hubungan yang signifikan antara stress psikososial ibu dengan kadar CRH, ACTH, dan kortisol plasma ibu. Menurut Hobel dkk, dibandingkan dengan wanita yang melahirkan aterm, wanita yang preterm memiliki kadar CRH yang meningkat signifikan dengan mempercepat peningkatan kadar CRH selama kehamilan. Pada persalinan preterm aksis HPA ibu dapat mendorong ekspresi CRH plasenta. CRH plasenta menstimulasi janin untuk mensekresi kortisol dan dehydroepiandrosterone synthase (DHEA-S) melalui aktivasi aksis HPA janin dan menstimulasi plasenta untuk mensisntesis estriol dan prostaglandin, sehingga mempercepat persalinan preterm (Rima, 2010).
6. Perdarahan Desidua (Desidual Hemmorrage/thrombosis) Perdarahan desidu dapat menyebabkan persalinan preterm. Lesi vaskuler dari plasenta biasanya dihubungkan dengan persalinan preterm dan ketuban pecah dini. Lesi plasenta dilaporkan terjadi pada 34% wanita dengan persalinan preterm. Lesi ini dapat dikarakteristikkan sebagai kegagalan transformasi fisiologis dari arteri spiralis, atherosis, dan trombosis arteri ibu atau janin. Diperkirakan mekanisme yang menghubungkan lesi vaskuler dengan persalinan preterm adalah iskemi uteroplasenta. Meskipun patofisiologinya belum jelas tetapi trombin diduga memegang peranan utama (Rima, 2010). Terlepas dari peran penting dalam koagulasi, trombin merupakan protease multifungsi yang memunculkan aktivitas kontraksi dari vaskuler dan otot halus
14
myometrium. Trombin mestimulasi kontraksi otot polos longitudinal myometrium (Rima, 2010).
Tabel 3. Etologi dan jalur persalinan preterm yang diakui secara umum (Rima, 2010)
2.5 Diagnosis 1. Anamnesis Anamnesis diperlukan untuk mencari faktor resiko. Faktor resiko ini penting dan dalam kaitannya dengan terjadinya persalinan preterm. Berikut adalah beberapa faktor resiko terjadinya persalinan preterm : (Rima, 2010) 1. Faktor resiko mayor : a. Kehamilan multipel b. Polihidramniom c. Anomali uterus d. Dilatasi serviks > 2cm pada usia kehamilan 32 minggu e. Riwayat abortus 2 kali atau lebih pada trimester II 15
f. Riwayat persalinan preterm sebelumnya g. Riwayat menjalani prosedur operasi pada serviks (cone biopsy, loop electrosurgical excision procedure) h. Penggunaan cocain dan amphetamine i. Operasi besar pada abdomen . 2. Faktor resiko minor a. Perdarahan pervaginam setelah 12 minggu b. Riwayat pyelonefritis c. Merokok d. Riwayat abortus Pasien tergolong reiko tinggi apabila ditemukan lebih dari satu faktor resiko mayor atau dua atau lebih fator resiko minor, atau keduanya. Disamping faktor resiko di atas faktor resiko lain yang perlu diperhatikan adalah tingkat sosiobiologi (usia ibu, jumlah anak, obesitas, status sosioekonomi yang rendah, ras, stress lingkungan) dan komplikasi kehamilan lainnya (infeksi maternal, preeklampsia-eklampsia, plasenta previa, kehamilan yang diperolh melalui bantuan medikasi, terlambat atau ridak melakukan asuhan antenatal) (Rima, 2010).
16
Gambar 2. Mekanisme persalinan preterm pada kehamilan ganda
2. Gejala Klinis Sering terjadi kesulitan dalam diagnosis ancaman persalinan preterm. Differensiasi dini antara persalinan palsu dengan persalinan sebenarnya sulit ditentukan sebelum adanya pendatarandan dilatasi serviks. Kontraksi uterus sendiri sulit dibedakan karena adanya kontraksi braxtons hicks. Kontraksi ini digambarkan sebagai kontraksi yang tidak teratur, tidak ritmis, tidak begitu sakit atau tidak sakit sama sekali, namun dapat menimbulkan keraguan besar dalam diagnosis persalinan preterm. Tidak jarang wanita yang melahirkan sebelum aterm memiliki kontraksi yang mirip dengan braxtons hicks yang mengarahkan ke diagnosis yang salah, yaitu persalinan palsu. Beberapa kriteria yang dapat dipakai sebagai ancaman persalinan preterm : a. Usia kehamilan antara 20 dan 37 minggu atau 140 dan 259 hari. b. Kontraksi uterus (his) yang teratur yaitu berulang 7-8 kali atau 2-3 kali dalam 10 menit.
17
c. Merasakan gejala seperti kaku di perut, menyerupai rasa kaku seperti menstruasi, rasa tekanan intrapelvik, nyeri punggung bawah (low back pain). d. Mengeluarkan lendir bercampu darah pervaginam. e. Pemeriksaan dalam menunjukkan serviks telah mendatar 50-80%, atau telah terjadi pembukaan sedikitnya 2 cm. f. Selaput amnion sering kali telah pecah. g. Presentasi janin rendah, sampai mencapai spina ischiadika (Cunningham, 2012). Kriteria lain yang diusulkan oleh American Academy of Pediatrics dan The American College of Obstreticians and Gynecologists, adalah sebagai berikut : a. Kontraksi yang terjadi 4 kali dalam 20 menit atau 8 kali dalam 60 menit dan perubahan progresif pada serviks. b. Dilatasi serviks lebih dari 1 cm. c. Pendataran serviks sebesar 80% atau lebih.
3. Perubahan serviks a. Dilatasi serviks Dilatasi serviks asimtomatik setelah pertengahan masa kehamilan diduga sebagai fator resiko persalinan preterm (Cunningham, 2012). b. Panjang serviks Serviks memegang peranan ganda pada kehamilan. Serviks mempertahankan isi uterus terhadap pengaruh gravitasi dan tekanan intrauterin sampai persalinan, dan serviks akan berdilatasi untuk memungkinkan isi uterus untuk melewatinya selama proses persalinan.
18
Kompetensi serviks tergantung pada kesatuan antara anatomi dan komposisi biokimia dari serviks. Salah satu indikator dini dari inkompetensia serviks adalah terjadinya
pemendekan
dari
serviks.
Berdasarkan
hasil
penelitian
dengan
ultrasounografi sebagai prediktor persalinan preterm menentukan bahwa panjang serviks kurang dari 25 mm pada usia kehamilan 24-28 minggu dapat meningkatkan resiko persalinan preterm (Rima, 2010). c. Inkompetensia Serviks Inkompetensia serviks adalah diagnosis klinis yang ditandai dengan dilatasi serviks berulang, tanpa rasa sakit, dan kejadian kelahiran spontan pada midtrimester tanpa adanya pecah ketuban spontan, peradarahan, ataupun infeksi. Dilatasi serviks ini dapat diiikuti prolaps dan menggembungnya membran janin ke dalam vagina, dan akhirnya ekspulsi janin imatur. Penyebab inkompetensia serviks ini belum jelas, namun terkait dengan riwayat trauma pada serviks seperti dilatasi , kuretase, kauterisasi (Rima, 2010).
2.5.1 Indikasi Wanita yang beresiko mengalami persalinan preterm Cara utama untuk mengurangi resiko persalinan preterm dapat dilakukan sejak awal, sebelum tanda – tanda persalinan muncul. Dimulai dengan pengenalan pasien yang beresiko, untuk diberi penjelasan dan penilaian klinik terhadap persalinan preterm serta pengenalan kontraksi sedini mungkin, sehingga tindakan pencegahan dapat segera dilakukan. Pemeriksaan serviks mempunyai manfaat yang cukup besar dalam memprediksi terjadinya persalinan preterm. Bila dijumpai serviks pendek (< 1cm) yang disertai dengan pembukaan yang merupakan tanda serviks matang/inkompetensia
19
serviks, maka pasien tersebut dikatakan memiliki resiko mengalami persalinan preterm 3-4 kali (Cunningham, 2012).
2.6 Penatalaksanaan Manajemen persalinan perterm meliputi (P.O.G.I, 2011): 1. Tirah baring (Bedrest) 2. Hidrasi dan sedasi 3. Pemberian tokolitik 4. Pemberian steroid 5. Pemberian antibiotik 6. Emergency Cerclage 7. Perencanaan persalinan
1. Tirah baring (bedrest) Kepentingan istirahat rebah disesuaikan dengan kebutuhan ibu, namun secara statistik tidak terbukti dapat mengurangi kejadian kurang bulan secara statistik (P.O.G.I, 2011).
2. Hidrasi dan sedasi Hidrasi oral maupun intravena sering dilakukan untuk mencegah persalinan preterm, karena sering terjadi hipovolemik pada ibu dengan kontraksi premature, walaupun mekanisme biologisnya belum jelas. Preparat morfin dapat digunakan untuk mendapatkan efek sedasi (P.O.G.I, 2011).
20
3. Pemberian tokolitik Tokolitik akan menghambat kontraksi myometrium dan dapat menunda persalinan. Berikut adalah alasan pemberian tokolitik pada persalinan preterm (Sarwono, 2010) : a. Mencegah mortalitas dan morbiditas pada bayi prematur. b. Memberi kesempatan bagi terapi kortikosteroid untuk menstimulir surfaktan paru janin. c. Memberi kesempatan trasnfer intrauterin pada afsilitas yang lebih lengkap. d. Optimalisasi personel. Beberapa macam obat yang dapat digunakan sebagai tokolisis : a. Nifedipin Nifedipin adalah antagonis kalsium diberikan per oral. Dosis inisial 20 mg, dilanjutkan 10-20 mg, 3-4 kali perhari, disesuaikan dengan aktivitas uterus sampai 48 jam. Dosis maksimal 60mg/hari, komplikasi yang dapat terjadi adalah sakit kepala dan hipotensi (P.O.G.I, 2011).Antagonis kalsium merupakan relaksan otot polos yang menghambat aktivitas uterus dengan mengurangi influks kalsium melalui kanal kalsium yang bergantung pada 19 voltase. Terdapat beberapa kelas antagonis kalsium, namun sebagian besar pengalaman klinis adalah dengan nifedipin (Hadrians, 2007). Nifedipin diabsorbsi cepat di saluran pencernaan setelah pemberial oral ataupun sublingual. Konsentrasi maksimal pada plasma umumnya dicapai setelah 15-90 menit setelah pemberian oral, dengan pemberian sublingual konsentrasi dalam plasma dicapai setelah 5 menit pemberian(Hadrians, 2007) .
21
b. Magnesium sulfat Magnesium sulfat dipakai sebagai tokolitik yang diberikan secara parenteral. Dosis awal 4-6 gr IV diberikan dalam 20 menit, diikuti 1-4 gram per jam tergantung dari produksi urin dan kontraksi uterus. Bila terjadi efek toksik, berikan kalsium glukonas 1 gram secara IV perlahan-lahan (P.O.G.I, 2011). Terapi tokolitik magnesium sulfat terbukti aman dan bermanfaat terhadap janin dan ibu. Namun, perubahan tulang yang terlihat melalui rontgen terlihat pada neonatus dari pasien yang menerima infus magnesium sulfat jangka panjang (lebih dari 1 minggu). Perubahan-perubahan ini termasuk abnormalitas tulang secara radiografi seperti perubahan dari tulang panjang, penipisan tulang parietal, dan mineralisasi tulang yang abnormal.Ketika magnesium sulfat digunakan dengan hati-hati sebagai obat tokolitik, efek sampingnya terhadap ibu, janin dan neonatus biasanya sedikit dan tidaklah serius atau merusak (Hadrians, 2007). c. Atosiban Antagonis oksitosin salah satu contohnya adalah atosiban dapat menjadi obat tokolitik di masa depan. Obat ini merupakan alternatif menarik terhadap obat-obat tokolitik saat ini karena spesifisitasnya yang tinggi dan kurangnya efek samping terhadap ibu, janin atau neonatus. Atosiban adalah obat sintetik baru pada golongan obat ini dan telah mendapat izin penggunaannya sebagai tokolitik di Eropa (Hadrians, 2007). Atosiban menghasilkan efek tokolitik dengan melekat secara kompetitif dan memblok reseptor oksitosin. Dosis awal 6,75mg bolus dalam satu menit, diikuti 18mg/jam selama 3 jam per infus, kemudian 6mg/jam selama 45 jam (P.O.G.I, 2011).
22
d. Beta2-sympathomimetics Saat ini sudah banyak ditinggalkan. Preparat yang biasa dipakai adalah ritodrine, terbutaline, salbutamol, isoxsuprine, fenoterol and hexoprenaline. Contoh: Ritodrin (Yutopar) Dosis: 50 mg dalam 500 ml larutan glukosa 5%. Dimulai dengan 10 tetes per menit dan dinaikkan 5 tetes setiap 10 menit sampai kontraksi uterus hilang. Infus harus dilanjutkan 12 — 48 jam setelah kontraksi hilang. Selanjutnya diberikan dosis pemeliharaan satu tablet (10 mg) setiap 8 jam setelah makan. Nadi ibu, tekanan darah dan denyut jantung janin harus dimonitor selama pengobatan (Hadrians, 2007). Kontra indikasi pemberian adalah penyakit jantung pada ibu, hipertensi atau hipotensi, hipertiroidi, diabetes dan perdarahan antepartum. Efek samping yang dapat terjadi pada ibu adalah palpitasi, rasa panas pada muka (flushing), mual, sakit kepala, nyeri dada, hipotensi, aritmia kordis, edema paru, hiperglikemi, dan hipoglikemi.Efek samping pada janin antara lain ft.tal takhikardia. Inpoglikemia, hipokalemi, ileus dan hipotensi (Hadrians, 2007). e. Progesteron Progesteron dapat mencegah persalinan preterm. Injeksi alpha-hi.draxffirogesterone caproate menurunkan persalinan pretern berulang. Dosis 250 mg (1 mL) im tiap minggu sampai 37 minggu kehamilan atau sampai persalinan. Pemberian dimulai 16-21 minggu kehamilan (P.O.G.I, 2011). f. COX (Cyclo-oxygenase) -2 inhibitor Indomethacin Dosis awal 100 mg, dilanjutkan 50 rng per oral setiap 6 jam untuk 8 kali pemberian. Jika pemberian lebih dari dua hari,dapat rnenimbulkan oligohidramnion
23
akibat penurunan renal blood flow janin. Indometasin direkomendasikan pada kehamilan>32 minggu karena dapat mempercepat penutupan ductus arteriosus (P.O.G.I, 2011).
4. Pemberian Steroid Pemakaian kortikosteroid dapat menurunkan kejadian RDS. kematian neonatal dan perdarahan intraventrikuler. Dianjurkan pada kehamilan 24 — 34 minggu, namun dapat dipertimbangkan sampai 36 minggu.Kontra indikasi : infeksi sistemik yang berat, (tuberkulosis dan korioamnionitis). Betametason merupakan obat terpilih, diberikan secara injeksi intramuskuler dengan dosis 12 mg dan diulangi 24 jam kemudian. Efek optimal dapat dicapai dalam 1 - 7 hari pemberian, setelah 7 hari efeknya masih meningkat. Apabilatidak terdapat betametason, dapat diberikan deksametason dengan dosis 2 x 5 mg intramuskuler per hari selama 2 hari (P.O.G.I, 2011).
5. Antibiotika Pemberian antibiotika pada persalinan tanpa infeksi tidak dianjurkan karena tidak dapat meningkatkan luaran persalinan. Pada ibu dengan ancaman persalinan preterm dan terdeteksi adanya vaginosis bakterial, pemberian klindamisin ( 2 x 300 mg sehari selama 7 hari) atau metronidazol ( 2 x 500 mg sehari selama 7 hari). atau eritromisin (2 x 500 mg sehari selama 7 hari) akan bermanfaat bila diberikan pada usia kehamilan minggu (P.O.G.I, 2011). 6. Emergency cerclage
24
Di negara maju telah dilakukan emergency cerclage pada ibu hamil dengan pembukaan dan pendataran serviks yang nyata tanpa kontraksi. Secara teknik hal ini sulit dilakukan dan berisiko untuk terjadi pecah ketuban (P.O.G.I, 2011). 7. Perencanaan Persalinan Persalinan
preterm
harus
dipertimbangkan
kasus
perkasus,
dengan
mengikutsertakan pendapat orang tuanya. Untuk kehamilan 13.000/ml). Indikator biokimia
30
antara lain adalah peningkatan kadar fibronektin janin pada vagina, serviks, dan air ketuban memberi indikasi adanya gangguan pada hubungan antara korion dan desidua. Pada kehamilah 24 minggu atau lebih. Kadar fibronektin janin 50 ng/ml atau lebih mengindikasikan resiko persalinan preterm (Sarwono, 2010). Pertimbangan utama dalam penatalaksanaan persalinan preterm adalah memastikan bahwa ini memang persalinan preterm. Selanjutnya mengidentififikasi etiologi terkait persalinan preterm. Manajemen persalinan preterm tergantung dari beberapa faktor, yaitu keadaan selaput ketuban, pada umumnya persalinan tidak dihambat bila selaput ketuban sudah pecah. Persalinan akan sulit dicegah bila pembukaan mencapai 4 cm. Makin muda usia kehamilan, upaya mencegah persalinan makin perlu dilakukan. Persalinan dapat dipertimbangkan bila TBJ > 2000 gram atau kehamilan > 34 minggu, penyebab atau komplikasi persalinan preterm, dan kemampuan neonatal intensive care facilities(Sarwono, 2010). Beberapa langkah yang dapat dilakukan pada persalinan preterm, terutama untuk mencegah morbiditas dan mortalitas persalinan preterm, yaitu bedrest, menghambat proses persalinan preterm dengan pemberian tokolisis, akselerasi pematangan fungsi paru dengan pemberian kortikosteroid, pencegahan infeksi dengan pemberian antibiotik (Cuningham, 2011).
31
BAB IV PENUTUP
4.1 Kesimpulan Berdasarkan tinjauan pustaka dan pembahasan tersebut, maka dapat ditarik beberapa simpulan, yaitu : 1. Partus prematurus atau persalinan prematur merupakan dimulainya kontraksi uterus yang teratur disertai pendataran dan atau dilatasi serviks serta turunnya bayi pada wanita hamil yang lama kehamilannya kurang dari 37 minggu (kurang dari 259 hari) dari hari pertama haid terakhir.
32
2. Persalinan preterm menjadi masalah obstetri penting sebab menjadi salah satu penyebab utama morbiditas dan mortalitas perinatal. 3. Pengenalan faktor resiko dan identifikasi penyebab terjadinya persalinan preterm adalah penting dalam upaya pencegahan terhadap terjadinya persalinan preterm yang dapat dijelaskan kepada ibu hamil melalui komunikasi, informasi, dan edukasi. 4. Wanita yang diketahuin beresiko mengalami persalinan preterm dan mereka yang diketahui memiliki tanda dan gejala persalinan preterm telah menjadi kandidat penerima intervensi yang dimaksudkan untuk meningkatkan prognosis neonatus. Jika tidak ada indikasi ibu atau janin yang mengharuskan pelaksanaan persalinan yang disengaja, maka intervensi dimaksudkan untuk mencegah persalinan kurang bulan. 5. Intervensi medik yang dilakukan adalah pemberian tokolisis, kortikosteroid, dan antibiotik.
DAFTAR PUSTAKA
Cunningham et al. 2012. Obstetri Williams.Volume 2. Edisi 23. Jakarta : EGC Cubinont, H. 2011. Prevention of PretermLabour: 2011 Update on Tocolysis.Saint-luc University Hospital :Hindawi Publishing Corporation. Journal of Pregnancy. Franklin H. Epstein. 2000. Intrauterine infection and Preterm Delivery. The New England Journal of Medicine . Goldenberg, Robert L. 2008. Epidemiology dan Causes Birth.http://www.thelancet-epidemiology-preterm-birt-pdf.
of
Preterm
Kesuma, Hadrians dr. 2007. Obat – Obat Tokolitik dalam Bidang Kebidanan. Departemern Obstetri dan Ginekologi Universitas Sriwijaya. RSUP Moh. Hoesin Palembang.http://digilib.unsri.ac.id/download/obat%20tokolitik.pdf.
33
Louis J. 2010. The Enigma of Spontaneus Preterm Birth. The New England Journal of Medicine. http://nejm0904308-spontaenus-preterm-birtf-pdf. Nejad, Vida. 2008. The Association of Bacterial Vaginosis and Preterm Labor.Department of Obstetrics and Gynaecology, Kerman University of Medical Sciences and Health Services, Kerman, Iran .http://1338 bacterialvaginosis-nejm pdf. Novalia, Rima. 2010. Persalian Preterm. Fakultas Mulawarman. http://97539577/Persalinan-Preterm.
Kedokteran
Oxorn, Harry. 2010. Human Labor 1343405.Oxorn_Foote_Human_Labor_and_Birthhttp://
dan
Universitas Birth.
P.O.G.I. 2011. Panduan Pengelolaan Persalianan Preterm Nasional. Bandung : Himpunan Kedokteran Fetomaternal POGI. http://kalogisma.com/kepustakaan/pengelolaan%20persalinan%20preterm.pdf Prasmusinto, Damar dr.. 2010. Preterm.http://prediksipersalinanpreterm-pdf.
Prediksi
Persalinan
Prawiroharjo, Sarwono. 2010. Ilmu Kebidanan. Edisi IV. Jakarta : P.T Bina Pustaka Sarwono Prawiroharjo.
34
View more...
Comments