Referat Osteoporosis

October 24, 2017 | Author: lianaanggara | Category: N/A
Share Embed Donate


Short Description

referat osteoporosis...

Description

REFERAT

FRAKTUR OSTEOPOROSIS

Disusun oleh: Liana Anggara Rizkia 030.10.160 Pembimbing: dr. Radi Muharris, Sp.OT

KEPANITRAAN KLINIK ILMU BEDAH RUMAH SAKIT UMUM DAERAH BEKASI PERIODE 13 MARET 2015 - 23 MEI 2015 FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI

i

KATA PENGANTAR Puji syukur kehadirat Allah SWT, karena dengan rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan referat dengan judul ”Fraktur Osteoporosis”. Referat ini ditulis untuk menambah pengetahuan dan wawasan mengenai Fraktur Osteoporosis dan merupakan salah satu syarat dalam mengikuti Kepaniteraan Klinik di Bagian Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti. Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada pembimbing dr. Radi Muharris, Sp.OT yang telah meluangkan waktu untuk membimbing dan memberikan pengarahan dalam penyusunan referat ini hingga selesai. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa referat ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kritikan yang membangun dan saran demi perbaikan dimasa yang akan datang. Semoga referat ini dapat berguna bagi kita semua.

Jakarta,

Mei 2015

Liana Anggara Rizkia

ii

LEMBAR PENGESAHAN Nama

: Liana Anggara Rizkia

NIM

: 030.10.160

Fakultas

: Kedokteran

Universitas

: Trisakti Jakarta

Tingkat

: Program Pendidikan Profesi Dokter

Bidang Pendidikan

: Ilmu bedah

Periode

: 15 Maret 2015 – 23 Mei 2015

Judul makalah

: Fraktur Osteoporosis

Pembimbing

: dr. Radi Muharris, Sp.OT

TELAH DIPERIKSA DAN DISAHKAN PADA TANGGAL :…………………. Pembimbing

dr. Radi Muharris, Sp.OT

iii

DAFTAR ISI KATA PENGANTAR ………………………………… ii LEMBAR PENGESAHAN ………………………………… DAFTAR ISI ………………………………… Bab I PENDAHULUAN ………………………………… Bab II TINJAUAN PUSTAKA ………………………………… II.1. Definisi osteoporosis ………………………………… II.2. Epidemiologi ………………………………… II.3. Klasifikasi ....……………………………… II.4. Patofisiologi ………………………………… II.5. Faktor risiko ………………………………… II.6. Diagnosis ………………………………… II.7. Fraktur ………………………………… II.8. Tatalaksana ………………………………… Bab III KESIMPULAN ………………………………… Bab IV DAFTAR PUSTAKA …………………………………

iii iv 1 2 2 3 3 5 5 6 11 13 17

iv

BAB I PENDAHULUAN Osteoporosis adalah berkurangnya densitas dan penipisan korteks tulang yang disebabkan oleh berkurangnya pembentukan dan atau meningkatnya resorpsi tulang. Menurut World Health Organization (WHO), osteoporosis adalah penyakit tulang sistemik yang ditandai oleh penurunan densitas massa tulang dan perburukan mikroarsitektur tulang sehingga tulang mudah rapuh dan patah, yang biasanya melibatkan pergelangan tangan, tulang belakang, tulang panggul, tulang rusuk, pelvis, dan humerus.1 Seiring bertambahnya usia, orang tua mengalami penurunan massa tulang dan peningkatan risiko patah tulang sehingga osteoporosis merupakan masalah kesehatan utama di dunia. Beban sosial dan ekonomi dari osteoporosis terus meningkat karena populasi usia tua yang terus meningkat.2 Penatalaksanaan osteoporosis sejak awal mempunyai prognosis lebih baik sehingga dilakukan pemeriksaan skrining pada kelompok berisiko. Pemeriksaan radiologi merupakan salah satu modalitas untuk mengukur massa tulang yang berkurang pada osteoporosis.2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi Tulang Secara anatomi, tulang dibagi menjadi beberapa bagian, yaitu tulang panjang (contoh : femur), tulang pendek atau kuboid (contoh : tulang karpal), dan

1

tulang pipih (contoh skapula).2 Sebagaimana jaringan ikat lainnya, tulang terdiri dari matriks dan sel. Matriks tulang terdiri serat-serat kolagen dan protein non kolagen, sedangkan sel tulang terdiri dari osteoblas, osteoklas, dan osteosit.3 Osteoblas adalah sel tulang yang bertanggung jawab terhadap proses formasi tulang yang berfungsi dalam sintesis matriks tulang. Osteoblas berperan dalam memulai proses resorpsi tulang dan pada permukaan osteoblas terdapat berbagai reseptor permukaan untuk berbagai mediator metabolisme tulang. Osteoklas adalah sel tulang yang bertanggung jawab untuk resorpsi tulang. Osteosit merupakan sel tulang yang terbenam dalam matriks tulang. Fungsi osteosit diduga berperan pada transmisi sinyal dan stimuli dari satu sel ke sel lainnya.3 2.2 Definisi Osteoporosis Menurut World Health Organization (WHO), osteoporosis adalah penyakit tulang sistemik yang ditandai oleh penurunan densitas massa tulang dan perburukan mikroarsitektur tulang sehingga tulang mudah rapuh dan patah, yang biasanya melibatkan pergelangan tangan, tulang belakang, tulang panggul, tulang rusuk, pelvis, dan humerus. Definisi osteoporosis menurut National Institute of Health (NIH) adalah penyakit yang mengganggu kekuatan tulang yang menyebabkan peningkatan risiko terjadinya fraktur.1

Gambar 1. Tulang normal dan tulang keropos

2

2.3 Epidemiologi Pada tahun 2003 WHO mencatat lebih dari 75 juta orang di Eropa, Amerika dan Jepang menderita osteoporosis dan penyakit tersebut mengakibatkan 2,3 juta kasus patah tulang per tahun di Eropa dan Amerika. Sedang di Cina tercatat angka kesakitan sebesar 7% dari jumlah populasi.1 Osteoporosis mempengaruhi lebih dari 10 juta orang di Amerika Serikat dan pada tahun 2020 osteoporosis diperkirakan akan berdampak pada sekitar 14 juta orang dewasa di atas usia 50 tahun. Di seluruh dunia, kira-kira 200 juta perempuan telah menderita osteoporosis. Meskipun kemungkinan penyebaran osteoporosis saat ini terbesar di Amerika Utara dan Eropa, hal ini juga meningkat di negara-negara berkembang seiring bertambahnya usia populasi.2 2.4 Klasifikasi Osteoporosis dibagi dua, yaitu:  Osteoporosis primer  Osteoporosis sekunder Osteoporosis primer adalah osteoporosis yang tidak diketahui penyebabnya sedangkan

osteoporosis

sekunder

adalah

osteoporosis

yang

diketahui

penyebabnya.4 Tabel 1. Etiologi Osteoporosis5,6 Osteoporosis Primer Anak dan remaja : (1) Idiopathic juvenile osteoporosis (2) Heritable disorders of connective tissue  Osteogenesis imperfecta  Ehler–Danlos syndrome  Bruck syndrome  Marfan syndrome  Osteoporosis pseudoglioma syndrome  Homocystinuria Dewasa : (1) Osteoporosis tipe I (post menopause) (2) Osteoporosis tipe II (senilis)

                   

Osteoporosis Sekunder (1) Gangguan neuromuskular Cerebral palsy Duchenne muscular dystrophy Imobilisasi lama (2) Penyakit Kronik Leukemia Diffuse connective tissue diseases Fibrosis Kistik Inflammatory bowel diseases Sindroma malabsorbsi (celiac disease) Talasemia Sirosis bilier primer Sindroma nefrotik Anoreksia nervosa TransplantasioOrgan Infeksi HIV (3) Gangguan endokrin Pubertas terlambat Hipogonadisme Turner syndrome Defisiensi hormon pertumbuhan Hipertiroidisme Diabetes mellitus

3

           

Hiperprolaktinemia Cushing syndrome (4) Inborn errors of metabolism Intoleransi protein Gangguan Penyimpanan Glikogen Galaktosaemia Penyakit Gaucher (5) Obat-obatan Glukokortikoid Methotrexate Siklosporin Heparin Radioterapi Obat antikonvulsan

2.5 Patofisiologi Proses remodeling tulang normal melibatkan keseimbangan pada proses resorpsi dan formasi dimana osteoklas meresorpsi tulang dengan asidifikasi dan proteolitik dan osteoblas mensekresikan osteoid pada kavitas osteoklas. Pada wanita menopause, proses remodeling tulang meningkat secara drastis menyebabkan kehilangan massa tulang progresif. Hal ini dikarenakan umur osteoblas yang lebih pendek sedangkan umur osteoklas lebih lama. 2 Selain itu estrogen berperan menurunkan produksi dari berbagai sitokin oleh bone marrow stem cells dan sel-sel mononuklear seperti IL-1, IL-6, dan TNF-α yang berperan meningkatkan kerja osteoklas.4

Gambar 2. Patogenesis Osteoporosis pasca menopause Defisiensi kalsium dan vitamin D sering didapat pada orang tua disebabkan oleh asupan kalsium dan vitamin D yang kurang, anoreksia, malabsorbsi, dan paparan sinar matahari yang rendah. Akibat defisiensi kalsium, akan timbul hiperparatiroidisme sekunder yang persisten sehingga akan meningkatkan resorpsi

4

tulang dan kehilangan massa tulang.5 Aspek nutrisi yang lain adalah defisiensi protein yang akan menyebabkan penurunan sintesis IGF-1. Defisiensi vitamin K juga akan menyebabkan osteoporosis karena akan meningkatkan karboksilasi protein tulang, misalnya osteokalsin.4

Gambar 3. Patogenesis Osteoporosis tipe II dan fraktur 2.6 Faktor Risiko Beberapa faktor risiko yang menyebabkan osteoporosis adalah sebagai berikut : 1. Umur Risiko osteoporosis meningkat 1,4-1,8 kali setiap penambahan umur 1 dekade. 2. Genetik  Etnis : kaukasia dan oriental lebih berisiko menderita osteoporosis dibandingkan kulit hitam dan polinesia.  Jenis kelamin : Perempuan lebih berisiko daripada laki-laki.  Riwayat keluarga 3. Lingkungan  Penduduk yang tinggal di negara 4 musim perlu memperhatikan defisiensi vitamin D dan kalsium karena kurangnya kedua zat 

tersebut dapat menyebabkan osteoporosis. Gaya hidup : kurang aktivitas fisik, kebiasaan merokok dan minum



alkohol, serta mengkonsumsi obat-obatan. Mengkonsumsi obat-obatan seperti steroid,



antikonvulsan. Risiko jatuh yang meningkat (gangguan keseimbangan, licin, dan

heparin,

dan

gangguan penglihatan). 4. Hormonal dan Penyakit Kronik

5

 Hormonal

:

Defisiensi

estrogen,

androgen,

tirotoksikosis,

hiperparatiroidisme primer, hiperkortisolisme  Penyakit kronik : sirosis hepatis, gagal ginjal, gastrektomi 5. Sifat Fisik Tulang Aspek skeletal yang harus diperhatikan adalah densitas (massa tulang), ukuran tulang, makro dan mikroarsitektur tulang, derajat mineralisasi dan kualitas kolagen tulang.4 2.7 Diagnosis Keluhan umum pada osteoporosis adalah nyeri tulang kronik dan intermiten yang mungkin berhubungan dengan fraktur mikroskopik berulang, sebagaimana nyeri tulang di bagian lain, tinggi badan berkurang baik saat berdiri maupun duduk, dan berkurangnya kemampuan fisik, termasuk fungsi respirasi. Pasien dengan osteoporosis berat terlihat rapuh dan cenderung kifosis (dowager’s hump).7 Berdasarkan: 1) Anamnesis Anamnesis memegang peranan yang penting dalam evaluasi penderita osteoporosis. Keluhan utama berupa fraktur dapat mengarahkan kepada diagnosis, terutama lokasi terjadinya osteoporosis. Hal yang harus ditanyakan pada pasien yang dicurigai osteoporosis adalah : 

Adanya fraktur pada trauma minimal, immobilisasi lama, penurunan tinggi badan pada orang tua, kurangnya paparan sinar matahari, asupan kalsium, fosfor dan vitamin D, atau latihan yang teratur yang bersifat weight-



bearing. Riwayat

mengkonsumsi

obat-obatan

jangka

panjang,

seperti

kortikosteroid, hormon tiroid, anti konvulsan, heparin, antasid yang  

mengandung aluminium, sodium-flourida dan bifosfonat etidronat. Riwayat konsumsi alkohol dan rokok Riwayat penyakit yang berhubungan dengan osteoporosis, seperti penyakit ginjal, saluran pencernaan, hati, kelenjar endokrin, dan insufisiensi



pankreas. Riwayat haid, umur menarke dan menopause, dan penggunaan obat kontrasepsi.

6



Riwayat keluarga dengan osteoporosis.5

2) Pemeriksaan Fisik Pada pemeriksaan fisik, diharuskan mengukur tinggi badan, untuk mengetahui adanya penurunan tinggi badan. Selain itu juga dinilai gaya berjalan, deformitas tulang, leg-length inequality, dan nyeri spinal. Pada penderita osteoporosis sering mengalami kifosis dorsal atau gibbus (Dowager’s hump) dan penurunan tinggi badan. Selain itu juga didapatkan protuberansia abdomen, spasme otot paravertebra dan kulit yang tipis (McConkey sign). 4 3) Pemeriksaan Penunjang  Laboratorium (bone turnover) Biopsi tulang dan parameter biokimiawi dapat memberikan gambaran tentang proses dinamis penyerapan dan pembentukan tulang, yang dapat menunjukkan derajat kecepatan kehilangan tulang dengan jelas, tetapi biopsi tulang merupakan prosedur yang invasif, sehingga sulit untuk dilaksanakan secara rutin. Sehingga pilihan untuk menentukan bone turnover adalah parameter atau penanda biokimiawi. Pada osteoporosis, petanda bone turnover dapat digunakan untuk memperkirakan kehilangan tulang pada wanita pascamenopause, untuk memperkirakan kejadian fraktur osteoporosis dan untuk memantau efikasi pengobatan.8 Penilaian bone turnover rate dilakukan dengan membandingkan aktivitas formasi

tulang

dengan

aktivitas

resorpsi

tulang.

Apabila

aktivitas

pembentukan/formasi tulang lebih kecil dibandingkan dengan aktivitas resorpsi tulang maka pasien ini memiliki risiko tinggi terhadap osteoporosis. Evaluasi biokimia ini dilakukan melalui pemeriksaan darah dan urine pagi hari.9 Petanda untuk menilai aktivitas pembentukan tulang (bone formation) : a.

Osteokalsin yaitu protein yang dihasilkan oleh osteoblas yang berfungsi

b.

membantu proses mineralisasi tulang. Alkali fosfatase tulang yaitu enzim yang dihasilkan osteoblas yang berfungsi sebagai katalisator proses mineralisasi tulang.

Petanda untuk menilai aktivitas resorpsi tulang (bone resorption) : a.

Deoxypyridinolin/ β-Crosslink yaitu protein penguat mekanik tulang yang dilepaskan ke dalam peredaran darah dan dikeluarkan melalui urin jika terjadi proses resorpsi/ penyerapan tulang.

7

b.

CTx (C-Telopeptide) yaitu hasil pemecahan protein kolagen tipe 1 yang spesifik

untuk

tulang.

Selain

itu,

pemeriksaan

kadar

CTx

dan

deoxypyridinolin dapat digunakan untuk menilai/pemantauan keberhasilan terapi (sebelum pemeriksaan densitas mineral tulang berikutnya).  Pemeriksaan Radiologi Osteoporosis disebabkan oleh penurunan massa tulang, oleh karena itu diagnosis osteoporosis dapat ditegakkan dengan pengukuran massa tulang. Pengukuran massa tulang dapat memberi informasi massa tulangnya saat itu dan risiko terjadinya patah tulang di masa yang akan datang. Metode pengukuran densitas tulang dikategorikan atas : A. Metode kuantitatif Metode ini menilai densitas tulang dengan relatif objektif. Teknik yang digunakan adalah dengan radiogrammetri, radiographic photodensitometry, computed tomography, single and dual photon absorptiometry, dan compton scattering.10 1. Energy Absorptiometry Teknik ini terdiri dari Single Photon Absorptiometry (SPA), Double Photon Absorptiometry (DPA), Single Energy X-Ray Absorptiometry (SXA), dan Double Energy X-ray Absorptiometry (DXA). Kelebihan densitometer X-ray absorptiometry dibandingkan Photon Absorptiometry dapat mengukur dari banyak lokasi, misalnya pengukuran vertebral dari anterior dan lateral, sehingga pengaruh bagian belakang corpus dapat dihindarkan dan presisi pengukuran lebih tajam. Single Photon Absorptiometry memakai isotop radionuklir berenergi rendah seperti Iodine 125. Radiasi monokromatik yang dihasilkannya secara sinkron melintasi tulang yang diperiksa. Tulang dan jaringan lunak yang dilewati melemahkan radiasi. Berkurangnya intensitas radiasi inilah yang diukur. Single Energy X-ray Absorptiometry saat ini banyak digunakan untuk menggantikan SPA, terutama dalam menilai tulang di daerah pergelangan tangan. SXA ini lebih akurat dan tidak menggunakan isotop. SPA dan SXA baik untuk menilai tulang-tulang apendikular, namun untuk menilai tulang belakang dan tulang panggul sebaiknya digunakan DPA atau DXA.8

8

Saat ini gold standard pemeriksaan osteoporosis pada laki-laki maupun osteoporosis pascamenopause pada wanita adalah DXA, karena dapat mengukur baik massa tulang di permukaan maupun bagian yang lebih dalam, termasuk yang dikelilingi oleh jaringan lunak yang tebal seperti jaringan lemak, otot, pembuluh darah, dan organ-organ dalam perut.8 Dalam pemeriksaan massa tulang dengan densitometer DEXA kita akan mendapatkan informasi beberapa hal tentang densitas mineral tulang antara lain : 

Perbandingan kadar rerata densitas mineral tulang dibandingkan dengan kadar rerata densitas mineral tulang orang dengan umur yang sama dan etnis yang sama, disebut Z Score dalam %.



Perbandingan kadar rerata densitas mineral tulang dibandingkan dengan kadar rerata densitas mineral tulang dengan orang dewasa etnis yang sama, yang disebut dengan T Score dalam %.5

Osteoporosis pada dewasa Kategori diagnosis massa tulang (densitas tulang) berdasarkan skor-T adalah sebagai berikut : Tabel 2. Klasifikasi osteoporosis WHO1 Definisi Normal Osteopenia Osteoporosis Osteoporosis Lanjut

Kriteria Skor-T lebih besar atau sama dengan -1,0 SD Skor-T antara -1,0 SD sampai -2,5 SD Skor T kurang dari -2,5 SD Skor T kurang dari -2,5 SD ditambah satu atau lebih fraktur

Pemeriksaan DEXA dianjurkan pada : 1. Wanita lebih dari 65 tahun dengan faktor risiko. 2. Pascamenopause dan usia 250 HU

Trabekula tulang

: 30-260 HU

Hasil pengukuran CT berada dalam satuan HU, karenanya dibutuhkan kalibrasi untuk mengubahnya ke densitas mineral tulang yang relevan. Khususnya, pada QCT aksial, penderita di-scan bersamaan dengan fantom kalibrasi. Cann-Genant juga memperkenalkan suatu garis kalibrasi yang mengubah nilai pengukuran dari satuan HU ke satuan mg/ml konsentrasi mineral tulang (Cann-Genant Technique).11 Aplikasi pengukuran QCT dalam klinik adalah : 

Penentuan kandungan mineral tulang dalam vertebra, panggul atau radius untuk perkiraan osteoporosis.



Penentuan kandungan lemak/fat dalam vertebra untuk diagnosis dini osteoporosis.



Penentuan kandungan zat besi/iron dalam hepar untuk evaluasi diagnosis pasti penyakit liver.



Penentuan kandungan iodium dalam tiroid untuk pemeriksaan penyakit tiroid.



Penentuan kandungan lemak dalam tubuh untuk perkiraan komposisi tubuh.



Penentuan kalsium yang terdapat dalam nodul paru untuk memastikan stadium penyakit.



Penentuan densitas elektron dalam jaringan untuk planning radioterapi yang baik.13 3.

Sidik Radioisotop Sidik radioisotop

Pemeriksaan

ini

menggunakan

memberikan

petunjuk

technetium aktivitas

diphosphonate. osteoblastik

dan

vaskularisasi skeletal. Ambilan tulang terhadap diphosphonate dapat dihitung.

Dua

puluh

empat

jam

setelah

penyuntikan

technetium

diphosphonate, retensi isotop dalam tubuh dihitung. Retensi isotop terjadi pada osteoporosis, sedangkan peningkatan dapat tampak pada penyakit Paget, osteomalacia dan hiperparatiroid primer. Kelainan metabolik tulang dapat

menyebabkan

peningkatan

uptake

secara

menyeluruh

dan

11

osteoporosis terkadang memberikan gambaran washed out. Saat ini, metode tersebut di atas digunakan dalam mendiagnosis banding dan sebagai teknik penelitian. 13

Gambar 5. Sidik Radioisotop Tulang 4.

Radiographic Photodensitometry Densitas tulang, dibandingkan dengan obyek tertentu yang menjadi

acuannya, misalnya lempeng aluminium. Keduanya difoto dengan x-ray, hasilnya dibandingkan dengan memakai densitometer cahaya. Aplikasi klinik pemeriksaan densitometri :  

Menentukan efek pada tulang penderita dengan gangguan metabolik. Untuk memonitor progresifitas penyakit atau respon terapi dengan



pemeriksaan seri. Menentukan perimenopause wanita, dengan penentuan perubahan

 5.

kadar estrogen. Menentukan diagnosis dan beratnya osteoporosis. Compton Scattering Metode ini mendeteksi dan mengukur sinar hambur yang terjadi di

sekitar sinar primer. Sinar primer difokuskan pada suatu area kecil tulang. Intensitas sinar hambur yang terjadi di sekitarnya merupakan alat pengukur kandungan mineral tulang. 6. Ultrasonografi Kebanyakan teknik Ultrasonografi kuantitatif mengukur tulang kalkaneus. Ultrasonografi memprediksi resiko patah tulang, namun apakah kedudukannya dapat menggantikan pengukuran-pengukuran densitas tulang lainnya atau menambah informasi yang didapat daripadanya masih belum jelas. B. Metode semi kuantitatif

12

Penilaian osteoporosis dangan metode semi kuantitatif ini dapat dengan hanya menggunakan radiografi konvensional. Pemeriksaan ini dapat dilakukan di beberapa tempat, yaitu vertebra, proksimal femur, kalkaneus, dan metakarpal. 1. Foto Vertebra Menentukan densitas tulang melalui foto lateral. Normalnya bayangan ini opak homogen. Dengan berkurangnya massa tulang, korpus vertebra menjadi lebih radiolusen, trabekula transversal perlahan-lahan mulai hilang, gambaran trabekula vertikal menjadi lebih menonjol.4 Terdapat 6 kriteria yang dianjurkan dalam menentukan osteoporosis vertebra : 1) Peningkatan daya tembus sinar pada korpus vetebra atau penurunan densitas tulang. 2) Hilangnya trabekula horizontal disertai semakin jelasnya trabekula vertikal. Resorpsi, penipisan dan menghilang terutama pada trabekula horizontal dibandingkan trabekula vertikal, sehingga menghasilkan gambaran densitas striata vertikal.

Gambar 6. Bone Atrophy Class Kriteria Bone Atrophy Class membagi tingkat perubahan trabekulasi

 

menjadi 4 tingkatan : Kelas 0 : Normal Kelas I : Trabekula longitudial lebih jelas Kelas II : trabekula longitudinal menjadi kasar Kelas III : Trabekula longitudinal mejadi tidak jelas Pengurangan ketebalan korteks bagian anterior korpus veterba. Perubahan end plates, degan membandingkat korpus vetebra denga end plates. Penurunan kalsium vetebra menghasilka end plates yag semakin



tidak jelas. Abnormalitas bentuk korpus vetebra Kleerekoper dkk di Detroit melakukan penilaian terhadap perubahanperubahan bentuk vertebra, yang mereka sebut Permanent Vertebral Body

13

Deforming Events (PVDE). Perubahan-perubahan yang terjadi bervariasi dari kolaps end plates (EP) hingga pemipihan/Wedging (W) dan fraktur kompresi/Crush fracture (C).



Gambar 7.

Permanent

Vertebral

Body

Deforming Events (PVDE) Menemukan fraktur spontan atau setelah trauma minimal pada foto vertebra.4 2. Proksimal femur Pola trabekular pada proksimal femur menunjukkan perubahanperubahan karakteristik bersamaan dengan hilangnya massa tubuh. Singh, dkk memberikan suatu sistem grading berdasarkan perubahan-perubahan ini. Indeks yang rendah menunjukkan rendahnya massa tulang.10

Gambar 8. Indeks Singh Indeks Singh terbagi dalam 6 grade yaitu :  Grade 6 : semua struktur kelompok trabekula dan segitiga Ward kurang 

jelas terlihat menandakan tulang normal. Grade 5 : tampak atenuasi struktur principal compressive dan principal tensile, segitiga Ward tampak kosong dan lebih prominen. Stadium ini



menunjukkan stadium dini osteoporosis Grade 4 : tensil trabekula tampak berkurang, terjadi resorpsi dimulai dari bagian medial, sehingga principal tensile bagian lateral masih dapat diikuti garisnya. Stadium ini menunjukkan transisi antara tulang normal dan osteoporosis.

14



Grade 3 : tampak principal tensile terputus di area yang berseberangan dengan trochanter mayor sehingga tensil trabekula hanya terlihat dibagian



atas leher femur. Stadium ini menunjukkan definite osteoporosis. Grade 2 : hanya tampak principal compressive yang prominen sedangkan kelompok trabekula lain tidak/kurang jelas. Keadaan ini menunjukkan



advanced osteoporosis. Grade 1 : principal compressive tidak menonjol dan berkurang jumlahnya, keadaan ini menunjukkan keadaan osteoporosis berat.4 3. Kalkaneus Metode Jhamaria menggunakan metode yang sama dengan Singh dkk yaitu menentukan indeks osteoporosis berdasarkan pola trabekula kalkaneus. Metode Jhamaria lebih mudah dilakukan dan relatif aman karena letak kalkaneus jauh dari gonad.10

Grade V. Normal.Persebaran dan distribusi trabekula normal

Grade IV. A wedge shaped (varian normal).

Grade III. borderline osteoporosis.

15

Grade Il. Definite osteoporosis.

Grade I. Severe osteoporosis. Gambar 9. Indeks osteoporosis kalkaneus menurut Jhamaica dkk.10 4.

Metakarpal Pada pemeriksaan foto tangan, yang perlu diperhatikan adalah

metakarpal ke 2 pada tangan kanan. Dalam hal ini yang diukur adalah Tebal Total Tulang (TW) dan Tebal Medulla Tulang (MW) pada pertengahan metakarpal. Dilakukan pengukuran tebal korteks, yaitu selisih diameter tulang dengan tebal medula.4

Gambar 10. Radiomorfometri Metakarpal Perbandingan korteks (CA) dengan daerah keseluruhan keseluruhan tulang (TA), dinilai dengan rumus berikut : CA/TA = TW2 - MW2 TW2 Nilai rata-rata dewasa adalah 0,72-0,85, dan menurun sesuai bertambahnya umur. Osteoporosis korteks dinyatakan bila nilainya kurang dari 0,72.4 C. Metode kualitatif Metode kualitatif dapat dilakukan dengan radiografi sederhana, radiografi detail tinggi, dan radionuklir. Metode-metode ini dapat digunakan untuk membentuk diagnosis yang cukup akurat. Scan tulang radionuklir memanfaatkan technetium-99m. Serapan technetium-99m tergantung pada aktivitas metabolik tulang serta aliran darah tulang. Area pergantian tulang yang cepat dengan laju

16

aliran darah tinggi akan menunjukkan peningkatan serapan. Laju alir rendah dan aktivitas metabolisme berkurang akan menunjukkan penurunan serapan.10 2.8 Fraktur pada osteoporosis Tulang yang rapuh dan patah dinamakan fragility fracture, pada kondisi ini dapat terjadi patah tulang meskipun tidak harus timbul akibat trauma yang hebat, melaikan cukup hanya terjatuh biasa yang ringan, mengangkat barang berat, mendorong sesuatu, atau akibat trauma ringan. Fraktur paling sering pada Osteoporosis adalah: 1) Fraktur tulang panggul (hip fracture) / (collum femoris) 2) Fraktur tulang pergelangan tangan bagian bawah (wrist fracture) 3) Fraktur tulang belakang (spine fracture atau vertebral compression fracture) Pada seseorang yang mengalami patah tulang, diagnosis pasti ditegakkan berdasarkan gejala, pemeriksaan fisik, dan rontgen tulang.12 Fraktur tulang panggul Fraktur pada pangkal tulang paha (collum femoris) yang hamper sebagian besar disebabkan oleh osteoporosis umumnya terjadi akibat terjatuh, terduduk, atau terkadang hanya salah posisi berdiri saja. Gejala :  Rasa nyeri yang hebat, paha dan tungkai bawah sulit digerakan karena rasa nyeri.

Gambar 4. Fraktur pada tulang pinggul Fraktur radius distal Patah tulang ini timbul disebabkan reaksi penderita yang jatuh selalu berusaha menahan badan dengan tangannya. Pada pergelangan tangan terjadi cedera kompresi, rotasi dan angulasi yang menimbulkan Colles fracture. Gejala:  Pergelangan tangan akan tampak bengkak dan perubahan bentuk, timbul rasa nyeri bila digerakan.

17

Gambar. 5 Fraktur pergelangan tangan bagian bawah Fraktur Tulang Belakang Patah tulang belakang pada penderita osteoporosis sebagian besar terjadi karena jatuh terduduk, bila osteoporosisnya parah dapat juga terjadi fraktur karena terjatuh pada kamar mandi, ataupun mengangkat beban yang berat. Tubuh yang membungkuk (kifosis) atau dorsal kifosis atau dowager’s hump, biasanya terjadi akibat kerusakan beberapa ruas tulang belakang dari daeraah thoracal dan lumbal. Osteoporosis pada tulang belakang ini menimbulkan fraktur kompresi atau kolaps tulang dan menyebabkan tulang membungkuk ke depan.

Gambar 6. Kompresi tulang belakang Fraktur kompresi vertebra adalah suatu keretakan pada tulang belakang yang disebabkan oleh tekanan, tindakan menekan yang terjadi bersamaan. terjadi jika berat beban melebihi kemampuan vertebra dalam menopang beban tersebut, seperti pada kasus terjadinya trauma. 2.9 Tatalaksana Penanganan Fraktur Pada Osteoporosis Pada umumnya penderita dengan Osteoporosis adalah manula, baru datang berobat ke ahli orthopaedi apabila mengalami patah tulang, wanita lebih sering dari pria hal ini disebabkan wanita manula berisiko dan reaksi terhadap jatuh juga lebih lamban. Fraktur paling sering pada Osteoporosis adalah fraktur kollum

18

femur, fraktur Colles, fraktur vertebra dan fraktur intertrokhanter femur. Pada prinsipnya penangan patah tulang adalah 4 R yaitu:13,14 1. Recognition 2. Reduction 3. Retaining 4. Rehabilitation 1. Recognition Yaitu membuat diagnosis patah tulang dengan baik agar dapat dibuat rencana terapinya, apakah tulang yang terjadi simple, kominutif atau segmental pada daerah epifisis, metafisis atau diafisis. Patah tulang akibat osteoporosis biasanya terjadi pada daerah metafisis (daerah cancellous bone). Osteoporosis memang terjadi lebih banyak di daerah kanselous karena permukaan yang lebih luas dibanding tulang kortikal, Perlu diketahui pula prognosis dari kemungkinan union, seperti pada daerah collum femur dimana sebagian besar akan terjadi non union disamping kemungkinan terjadinya avaskuler nekrosis kaput femoris. 2. Reduction Setelah dibuat diagnosis patah tulang, maka tindakannya adalah memperbaiki kedudukan fragmen agar terjadi penyambungan yang baik, apakah harus segera atau dapat ditunda (emergency atau ASAP : as soon as possible) 3. Retaining Pada patah tulang akibat osteoporosis perlu dipertimbangkan cara mempertahankan hasil reposisi, Menggunakan implant maka implant harus dapat memegang fragmen yang ada, kalau tidak ada cara lain yang cukup memadai yaitu dengan imp/ant yang sederhana yang bersifat adaptasi atau splinting dengan kirscher wire dan pemasangan fiksasi luas (gips). Selain itu kualitas tulang perlu diperhatikan dan kalau perlu dapat diperkuat fiksasi bila dipergunakan bone cement 4. Rehabilitation Tindakan rehabilitasi adalah untuk mencegah timbulnya kecacatan dengan mengupayakan fungsi alat atau anggota yang masih baik guna memberikan kesempatan bagian yangcedera agar menjalani istirahat guna penyembuhan. Imobilisasi yang lama dapat menyebabkan beberapa penyulit, baik yang bersifat umum akibat tirah baring lama mengenai beberapa sistem tubuh seperti sistem kardiorespirator, ginjal, juga sistem muskuloskeletal yaitu kekakauan sendi terutama distal dari fraktur dan menambah timbulnya disuse osteoporosis dan fracture disesase vertebrae yang kolaps. Penyuntikan bone cement tersebut dapat

19

memperbaiki deformitas dan memberikan kepadatan pada corpus vertebrae. Kekuatan yang lebih dapat pula memberi tekanan pada corpus vertebrae cranial dan distal, karenanya tindakan terhadap terapi osteoporosis perlu dilaksanakan. 

PATAH TULANG COLLUM FEMUR (FEMORAL NECK) Pada umumnya patah tulang collum femur sering terjadi non union atau

nekrosis avaskuler kaput femoris. Tindakan yang dapat dilakukan untuk mencegah timbulnya penyulit tirah baring yang lama yaitu dengan tindakan bedah pemasangan endoprothesis (Austin Moore Prosthesis-AMP) atau Total Hip Replacement (THR). Total hip replacement adalah prosedur operasi dengan mana tulang rawan (cartilage) dan tulang yang berpenyakit (rusak) dari sendi pinggul secara operasi diganti dengan materi-materi buatan.

Gambar. Pemotongan tulang femur dan pemasangan hip joint prosthesis Sambungan tulang pinggul (hip joint) adalah sambungan tulang yang terletak diantara pinggul dan pangkal tulang paha atas. Hip joint pada manusia terdiri dari tiga bagian utama, yaitu: femur, femoral head, dan rounded socket. memperlihatkan tentang proses penggantian sambungan tulang pinggul dengan sambungan tulang pinggul tiruan (artificial hip prosthesis). Sambungan tulang pinggul yang terindikasi arthritis, kemudian dilakukan pemotongan pada tulang femur terutama di bagian sekitar femoral head. Setelah pemotongan, kemudian bagian acetabulum akan dihaluskan untuk menempatkan cup pada acetabulum. Hip joint prosthesis akan dipasang dengan cara menanam femoral stem pada tulang femur.

20

Gambar . Hip joint sebelum dan sesudah dilakukan hip joint replacement Komponen sambungan tulang pinggul buatan terdiri dari sistem acetabular dan femoral. Dalam sistem acetabular terdiri dari komponen acetabular shell dan acetabular liner, sedangkan pada sistem femoral terdiri dari komponen femoral head dan femoral stem.

Gambar . hip joint prosthesis Acetabular Shell adalah bagian terluar dari total hip joint replacement sebagai metal cup yang menempel pada acetabulum (bagian tulang dari pelvis), bagian permukaan luar acetabular shell terdapat porous (permukaan kasar yang mirip jarring-jaring) fungsinya adalah merangsang tulang agar tumbuh dan merekat pada acetabular shell secara alami, sebagai penguat acetabular shell di tanam baut kedalam tulang pelvis secara permanen. Acetabular liner adalah untuk menopang

femoral

head

yang

direkatkan/diikat menempel pada acetabular shell. Femoral head merupakan implant pengganti bonggol tulang femur yang telah dinyatakan secara medis tidak berfungsi lagi (rusak) oleh karena suatu sebab, baik karena penyakit atau sebab lainnya. 

PATAH TULANG RADIUS DISTAL Pada patah tulang yang segar, reposisi tertutup dan pemasangan gips

cukup memadai. Lain halnya bila datang terlambat dengan malposisi. Walaupun demikian penderita manula biasanya tidak mengeluh dengan kelainan bentuk dan

21

gangguan gerak yang terbatas, baik fleksi ekstensi maupun pro dan supinasi. Orif (Open Reduction Internal Fixation) dengan implant yang minimal yaitu kirshner wire hanyalah untuk mempertahankan kedudukan setelah reposisi dan kemudian perlu dipasang gips.  PATAH TULANG BELAKANG Patah tulang yang terjadi biasanya bentuk kompresi. Paling banyak pada tulang belakang tengah (Thorakal XII & Lumbal I). Bila jatuhnya keras tidak jarang terjadi kelemahan kekuatan otot-otot tungkai bahkan kelumpuhan sampai gangguan kencing & BAB, hal ini terjadi karena penekanan saraf oleh fragmen tulang yang patah. Penanganan patah tulang belakang, bila ringan hanya perlu memakai Brace, bila menimbulkan kelemahan harus dilakukan operasi dengan tujuan membebaskan saraf yang terjepit fragmen tulang yang patah sekaligus stabilisasi dengan implant. Pada awal tahun 2000 ini ditemukan vertebroplasty cara baru penanganan patah tulang belakang tanpa operasi yang bertujuan menghilangkan nyeri dan mereposisi fragmen fraktur yang mengalami kompresi dengan cara menyuntikkan semen tulang kedalam tulang belakang yang patah. Percutaneous vertebroplasty merupakan teknik penyuntikan suatu semen tulang acrylic (polymethylmethacrylate; PMMA) ke bagian tulang belakang melalui jarum trokar yang bertujuan untuk mengurangi rasa sakit, menjaga kestabilan tulang belakang, dan pada beberapa kasus dapat mengembalikan postur tubuh.

Gambar. vertebroplasty Patah tulang belakang mengakibatkan nyeri dan kecacatan. Percutaneous vertebroplasty dapat mengurangi nyeri tidak hanya pada pasien dengan patah tulang belakang yang disebabkan oleh osteoporosis, namun juga pada pasien patah tulang belakang akibat hemagioma (tumor jinak pembuluh darah), dan patah tulang patologis akibat tumor tulang belakang. Penelitian menunjukkan bahwa

22

percutaneous vertebroplasty dapat mengurangi nyeri yang diakibatkan oleh patah tulang belakang dan hemangioma. Indikasi terapi :  Patah tulang yang disebabkan oleh osteolysis  Patah tulang kompresi  Patah tulang atau nyeri akibat kanker saraf tulang belakang yang menyebar  Hemangioma pada tulang belakang 2.9 Prognosis Osteoporosis Prognosis osteoporosis baik apabila kehilangan massa tulang terdeteksi sejak fase awal dan tatalaksana yang adekuat segera diberikan. Pasien bisa meningkatkan densitas mineral tulang dan menurunkan risiko fraktur dengan pengobatan anti osteoporotik yang cukup. Selain itu pasien bisa menyesuaikan keadaan lingkungannya untuk mengurangi risiko jatuh.15 Fraktur kompresi vertebra berhubungan dengan peningkatan morbiditas dan mortalitas osteoporosis. Postur pasien memburuk, kifosis yang progresif, gangguan keseimbangan, nyeri punggung, dan peningkatan risiko pneumonia. Secara keseluruhan pasien kehilangan kemampuan untuk hidup mandiri. Fraktur vertebra meningkatkan 5-years risk of mortality rate sebesar 15%.15 Fraktur panggul juga meningkatkan morbiditas dan mortalitas pasien osteoporosis. Dari seluruh pasien fraktur panggul, 50% memerlukan perawatan di rumah untuk pemulihan. Sekitar 50% yang sebelumnya dapat hidup mandiri menjadi cukup bergantung, dan sepertiganya menjadi sangat bergantung pada orang lain.15 Pasien yang sudah pernah mengalami fraktur berisiko tinggi untuk fraktur berikutnya. Sebagai contoh, adanya satu fraktur vertebra akan meningkatkan risiko lima kali lipat untuk fraktur vertebra berikutnya. Pasien dengan fraktur panggul sebelumnya akan berisiko 2-10 kali lipat untuk frakur panggul kedua.15 WHO membuat Fracture Risk Assesment Tool (FRAX) untuk menilai kemungkinan 10 tahun osteoporosis menyebabkan fraktur mayor, seperti tulang belakang, panggul, bahu, atau lengan berdasarkan jumlah faktor risiko klinis (clinical risk factor/CFR), densitas mineral tulang, indeks massa tubuh, umur pasien (50-90 tahun), serta epidemiologi masing-masing negara.16 Faktor risiko klinis yang dinilai ialah usia, jenis kelamin, riwayat fraktur, indeks massa tubuh rendah, pemakaian obat glukokortikoid, osteoporosis sekunder, riwayat orangtua dengan fraktur panggul, status merokok saat ini, dan

23

konsumsi alkohol (lebih dari tiga kali sehari).1 BAB III PENUTUP 3.1

Kesimpulan Osteoporosis adalah penyakit tulang sistemik yang ditandai oleh

penurunan densitas massa tulang dan perburukan mikroarsitektur tulang sehingga tulang mudah rapuh dan patah. Osteoporosis dibagi dua, yaitu osteoporosis primer dan osteoporosis sekunder. Osteoporosis primer adalah osteoporosis yang tidak diketahui penyebabnya sedangkan osteoporosis sekunder adalah osteoporosis yang diketahui penyebabnya. Diagnosis osteoporosis dapat ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan penunjang yang sangat berperan adalah pemeriksaan massa tulang yang dapat dinilai dengan tiga cara yaitu, kuantitatif, semi kuantitatif, dan kualitatif. Osteoporosis

dapat

ditatalaksana

secara

farmakologik

dan

non-

farmakologik. Prognosis osteoporosis baik kehilangan massa tulang terdeteksi sejak fase awal dan tatalaksana yang adekuat segera diberikan. 3.2

Saran Pencegahan dan pemberian edukasi sebagai kegiatan preventif sebaiknya

dilakukan oleh pelayanan kesehatan dimulai dari puskesmas sebagai tonggak utama kesehatan dasar masyarakat. Pemeriksaan radiologi akan diperlukan untuk mendeteksi apakah telah terjadi komplikasi yang paling ditakutkan dari osteoporosis yaitu patah tulang.

BAB IV

24

DAFTAR PUSTAKA 1.

Hough, S., Ascott Evan B., Brown S., Cassim B., De Villiers T., Lipschitz S., et al. NOFSA Guideline for the Diagnosis and Management of Osteoporosis. South Africa: NOFSA; 2010 2. Lane, Nancy E. Epidemiology, etiology, and diagnosis of osteoporosis. American Journal of Obstetrics and Gynecology. 2006;194:S3–11 3. Setiyohadi, Bambang. Struktur dan Metabolisme Tulang dalam Aru W. Sudoyo dkk, editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Jakartra: Interna Publishing; 2006: 1106. 4. Salter, Robert B. Textbook of Disorder and Injuries of the Muskuloskeletal System. Edisi ketiga. Pennsylvania : Lippincott William and Wilkins; 1999. 5. Setiyohadi, Bambang. Osteoporosis dalam Aru W. Sudoyo dkk, editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Jakartra: Interna Publishing; 2006: 1269-84 6. Bianchi, Maria L. Osteoporosis in children and adolescents. Bone. 2007;41:486–95. 7. Kanis, J.A., E. V. Mc Closkey, H. Johansson, C. Cooper, R. Rizzoli, dan J. Y. Reginster. European guidance for the diagnosis and management of osteoporosis in postmenopausal women. Springer : International Osteoporosis Foundation and National Osteoporosis Foundation; 2012 8. Burgener, A. F., Martti Kormano, dan Tomi Pudas. Differential diagnosis in conventional radiology. Edisi ketiga. Jerman: Thieme; 2008: 6-11. 9. Sweet, M. G., Jon M. S., Michael P. J., dan Sim S. G. Diagnosis and Treatment of Osteoporosis. Am Fam Physician. 2009;79(3):193-200. 10. Kosmin, Dana J. Osteoporosis. Diakses di : http://emedicine.medscape.com/ article/33059-overview#aw2aab6b2b6. Diakses pada 11 Maret 2014. 11. WHO Fracture Risk Assesment Tool (FRAX). Diakses di : www.shef.ac.uk/FRAX. Diakses pada 11 Maret 2014. 12. Banks Alan S., Brad Castellano. Radiology of osteoporosis evaluation and interpretation. Diakses di : http://www.podiatryinstitute.com/pdfs/Update_ 1987/1987_04.pdf pada 10 Maret 2014 13. Razak B. Osteoporosis ditinjau dari sisi pemeriksaan radiologi. Artikel Radiologi. 2011 14. Brunader, R dan Shelton D. K. Radiologic bone assessment in the evaluation of osteoporosis. American Family Physician. 2002; 65(7): 1357-1364 15. Wachjudi R G. OSTEOPOROSIS AKIBAT PEMAKAIAN STEROID. Diakses di: http://internershs.com/home3/index.php? option=com_content&task=view&id=76&Itemid=124 pada 10 Maret 2014 16. Kawiyana I. K. S. Osteoporosis : Patogenesis, diagnosis, dan penanganan terkini. J Peny Dalam. 2009; 10 (2): 157-170

25

26

View more...

Comments

Copyright ©2017 KUPDF Inc.
SUPPORT KUPDF