referat osteoporosis

September 18, 2017 | Author: Andry Gonius | Category: N/A
Share Embed Donate


Short Description

osteoporosis...

Description

2.6 Diagnosis 2.6.1. Anamnesis Anamnesis pada penyakit osteoporosis harus meliputi skrining dan mengidentifikasi faktor resiko yang terdapat pada seseorang yang dicurigai akan mengalami osteoporosis atau telah mengalami patah tulang yang diduga kuat akibat osteoporosis. Secara spesifik, osteoporosis harus menanyakan beberapa hal berikut (Screening for osteoporosis, 2011): 1. Usia (>50 tahun), jenis kelamin (perempuan) dan ras (kulit putih atau asia). Rekomendasi dari yayasan osteoporosis nasional adalah melakukan skrining osteoporosis wanita berusia 65 tahun atau lebih tua dan pada wanita yang lebih muda dengan resiko patah tulang yang sama atau perempuan dengan usia lebih dari 65 tahun dengan kulit putih namun tanpa faktor resiko apapun. 2. Riwayat ibu dengan osteoporosis atau patah tulang akibat osteoporosis 3. Riwayat terjadinya menopause dan penggunaan terapi sulih hormon estrogen; riwayat melakukan operasi pengangkatan rahim dan ovarium (histerektomi totalis atau oophorektomi) 4. Kelainan hipogonadal terutama pada pria dengan hipogonadisme sekunder dengan faktor genetik atau kondisi yang beresiko seperti bekerja pada paparan radiasi tinggi, operasi pengangkatan testis, riwayat testis tidak turun ke skrotum 5. Merokok 6. Konsumsi alkohol dalam jumlah banyak 7. Aktivitas fisik yang kurang. Dengan adanya imobilisasi akibat penyakit tertentu seperti stroke atau cedera korda spinalis akan menambah resiko terjadinya osteoporosis 8. Mengalami amenore dini baik primer maupun sekunder. Misalnya olahraga berat menyebabkan terjadinya amenore sekunder. 9. Rendahnya asupan kalsium dan vitamin D

10. Riwayat memiliki trauma dengan kekuatan energi yang rendah dimana pada orang normal trauma tersebut tidak dapat menyebabkan patah tulang, tetapi pada pasien terjadi patah tulang 11. Adanya tanda dari fraktur vertebra seperti merasa lebih pendek dari waktu ke waktu. Adanya tanda gangguan gerak jalan tanpa sebab apapun atau kehilangan kesimbangan memungkinkan terjadinya suatu osteoporosis pada usia rentan. 12. Adanya penyakit tertentu yang menunjang untuk terjadinya kehilangan densitas tulang seperti hiperparatiroid atau gangguan fungsi ginjal yang lama 13. Pengobatan

yang

menyebabkan

penurunan

kepadatan

tulang

seperti

penggunaan metotreksat atau kortikosteroid jangka panjang. Penggunaan jangka panjang yang dimaksud adalah penggunaan lebih dari 3 bulan dengan dosis setara prednison 7,5 mg (Geusens, 2008; Van Staa, 2000). Apabila osteoporosis sudah terjadi dan bergejala, kemungkinan besar telah terjadi fraktur simtomatik. Pada anamnesis akan didapatkan episode nyeri akut setelah jatuh atau trauma minor dan nyeri spesiifik pada daerah trauma. Apabila daerah vertebra, nyeri dapat terjadi pada daerah thorakal, lumbal atau sakral. Nyeri dirasakan tumpul, tajam atau sangat mengganggu. Biasanya faktor yang memperberat adalah spasma otot-otot vertebral dan gerakan yang membutuhkan kerja dari tulang belakang. Apabila fraktur terjadi pada tulang pelvis, dapat ditemukan nyeri pada selangkangan dan bagian paha apabila melakukan aktivitas mengangkat beban. Terjadinya penurunan luas gerak sendi panggul terutama fleksi dan rotasi internal (Riggs, 1995; Francis, 2008). 2.6.1. Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Pemeriksaan fisik harus mengukur berat badan dan tinggi badan, sebagaimana penurunan berat badan dan body mass index (BMI) adalah prediktor penentu rendahnya BMD dan terjadinya fraktur (Morin, 2009; Pappaionau, 2004). Fraktur vertebra adalah temuan paling sering pada osteoporosis (Lindsay, 2001). Dua per tiga dari fraktur vertebra

biasanya asimtomatik tetapi sering terkait dengan nyeri tulang belakang kronis dan penurunan kemampuan aktivitas (Nevitt, 1998). Hal ini ditandai dengan kifosis, penurunan tinggi badan, dan penurunan jarak dari tulang iga ke pelvis (Van Staa, 2000). Terjadinya penurunan tinggi badan 6 cm (perbedaan tinggi badan yang tertinggi yang pernah diukur dengan saat ini) atau kehilangan tinggi badan 2 cm (dari 2 atau lebih kunjungan dalam 3 tahun terakhir) terkait dengan adanya fraktur vertebra. Jika memenuhi, maka dilanjutkan dengan foto polos dari tulang belakang pada arah lateral untuk melihat pemendekan tulang (Moayyeri A, 2008; Siminoski, 2005; Kaptoge, 2004). Tes yang mudah untuk menilai adanya fraktur dengan melakukan Tes bangun dan mulai berjalan tanpa bantuan tangan. Apabila pasien mengalami kesulitan yang ditandai dengan dilakukan lebih dari 12 detik, terdapat gangguan keseimbangan statis dan dinamis yang bisa berasal dari gangguan tulang belakang (Cummings, 1995). Diagnosis

osteoporosis

dapat

dilakukan

dengan

menggunakan

radiografi

konvensional dan dengan mengukur kepadatan mineral tulang (BMD). Metode yang digunakan untuk mengukur BMD adalah dual-energy X-ray absorptiometry (DXA). Selain deteksi normal BMD, diagnosis osteoporosis memerlukan penyelidikan penyebab yang mendasar yang berpotensi untuk dimodifikasi; hal ini dapat dilakukan dengan tes darah dan tergantung pada kemungkinan masalah yang mendasari. Dual X-Ray absorptiometry/bone densitometry (DXA) DXA dianggap sebagai baku emas untuk diagnosis osteoporosis. Diagnosis osteoporosis ditegakkan ketika kepadatan mineral tulang kurang dari atau sama dengan 2,5 standar deviasi di bawah wanita dewasa muda yang sehat dengan usia 30 tahun yang memiliki jenis kelamin dan etnis yang sama. Hal ini dartikan sebagai T-score. WHO telah membentuk pedoman diagnostik berikut :

Keterangan

T-score

Normal

T ≥ -1

Osteopenia

-2,5 < T < -1

Osteoporosis

T ≤ -2,5 tanpa riwayat fraktur osteoporosis

Osteoporosis Berat

T ≤ -2,5 dengan riwayat fraktur osteoporosis

Pada Z-score, yang dinilai adalah standar deviasi melebihi atau kurang dari usia pasien, jenis kelamin, dan etnis dibandingkan dengan pasien yang normal seusianya. Nilai ini digunakan pada pasien perimenopause, anak-anak dan pria dibawah usia 50 tahun (Richmond, 2008). Usia

Kategori

Kurang dari usia 50 tahun

Dibawah

Kriteria nilai

yang Z skor ≤ -2,0

diharapkan terhadap usia Dalam nilai yang diharapkan Z skor > -2,0 terhadap usia

BMD harus pada posteroanterior (PA) tulang belakang dan panggul pada semua pasien yang menjalani DXA. BMD lengan hanya diukur dalam situasi berikut: 

Pinggul dan / atau tulang belakang tidak bisa diukur atau ditafsirkan



Hiperparatiroidisme



Pasien sangat gemuk (di atas batas berat untuk tabel DXA) (Papaionnou, 2010).

X-Ray konvensional Radiografi konvensional berguna, baik dengan sendirinya atau disuplementasi dengan CT-scan atau MRI, untuk mendeteksi komplikasi osteopenia (penurunan massa tulang; preosteoporosis), seperti patah tulang; untuk diagnosis diferensial dari osteopenia;

atau untuk pemeriksaan tindak lanjut dalam keadaan klinis tertentu, seperti kalsifikasi jaringan lunak, hiperparatiroidisme sekunder, atau osteomalacia pada osteodistrofi ginjal. Namun, radiografi konvensional relatif tidak sensitif terhadap deteksi dini dan membutuhkan sejumlah besar kehilangan massa tulang (sekitar 30%) agar jelas pada gambar X-ray. Plain radiografi tidak seakurat tes BMD. Karena osteoporosis terutama mempengaruhi tulang trabekular daripada tulang kortikal, radiografi tidak mengungkapkan perubahan osteoporosis sampai mereka mempengaruhi tulang kortikal. Tulang kortikal tidak terpengaruh oleh osteoporosis sampai lebih dari 30% dari tulang telah hilang. Sekitar 30-80% dari mineral tulang harus hilang sebelum lusensi radiografi menjadi jelas (Resnick, 2005). Radiografi polos konvensional dianjurkan untuk menilai integritas tulang secara keseluruhan. Secara khusus, dalam pemeriksaan osteoporosis, radiografi polos dapat diindikasikan jika patah tulang sudah dicurigai atau jika pasien telah kehilangan lebih dari 1,5 inci tinggi badan atau sekitar 4 cm. Apabila tidak didapatkan DXA bone densitometry, dapat digunakan indeks singh melalui derajat trabekulasi tulang femur. Pada derajat 6, struktur trabekula terlihat, segitiga Ward kurang jelas dan didalamnya tampak struktur trabekula tipis yang tidak lengkap yang menandakan tulang normal. Pada derajat 5, tampak atenuasi struktur kelompok principal compressive dan principal tensile karena resorpsi trabekula yang tipis. Secondary compressive kurang jelas dan seritiga Ward tampak kosong dan lebih prominen. Stadium ini menunjukan osteoporosis dini. Pada derajat 4, trabekula tensile tampak lebih berkurang, terjadi resorpsi dimulai bagian medial, sehingga principal tensile bagian lateral masih dapat diikuti garisnya, semetara secondary tensile telah menghilang sehingga segitiga Ward batas lateralnya terbuka. Stadium ini menunjukan transisi antara tulang normal dan osteoporosis. Pada derajat 3, tampak principal tensile terputus diarea yang berseberangan dengan trokanter mayor sehingga trabekula tensile hanya terlihat dibagian atas leher femur. Stadium ini menunjukan definite osteoporosis. Pada derajat 2, hanya tampak principal compressive yang prominen sedangkan kelompok trabekula lain tidak / kurang jelas karena sebagian besar telah teresorpsi. Keadaan ini

menunjukan moderatly advanced osteoporosis. Pada derajat 1, principle compressive tidak menonjol dan berkurang jumlahnya, keadaan ini menunjukan keadaan osteoporosis berat (PAPDI, 2014).

Gambar 1. Indeks Singh. Gambaran radiografi konvensional utama pada osteoporosis adalah penipisan korteks dan peningkatan radiolusensi. Fraktur vertebra yang merupakan salah satu komplikasi tersering osteoporosis dapat terbantu dalam diagnosis dan follow-up nya dengan radiografi konvensional. Biomarker tulang Penanda biokimia dari turnover tulang mencerminkan aktifitas pembentukan tulang atau resorpsi tulang. Penanda tersebut (baik pada pembentukan dan resorpsi) mungkin meningkat dalam keadaan dimana aktifitas bone turnover tinggi (misalnya, awal menopause, osteoporosis) dan mungkin berguna pada beberapa pasien untuk memantau respon awal terhadap terapi.

Diantara biomarker yang dapat digunakan untuk membantu penegakan diagnosis osteoporosis adalah sebagai berikut: Biomarker serum 

Cathepsin K Enzim ini mampu melakukan katabolisme terhadap elastin, kolagen (tipe 1), dan gelatin sehingga memungkinkannya untuk memecah tulang dan kartilago. Fragmen yang dihasilkan oleh pemecahan tulang dan kartilago oleh enzim ini dapat dideteksi dengan antibodi khusus (Yasuda, 2005).



Bone-specific alkaline phosphatase (BSAP) BSAP dapat sedikit meningkat pada pasien dengan patah tulang. Selain itu, pasien dengan hiperparatiroidisme, penyakit Paget, atau osteomalacia dapat memiliki kenaikan BSAP (Yasuda, 2005).



Osteocalcin (OC) Osteocalcin diproduksi oleh osteoblas, dan digunakan sebagai penanda untuk proses pembentukan tulang. Penelitian membuktikan bahwa tingkat serum-osteocalcin yang lebih tinggi relatif baik berkorelasi dengan peningkatan kepadatan mineral tulang (BMD) selama pengobatan dengan obat pembentukan tulang anabolik untuk osteoporosis, seperti Teriparatide. Dalam banyak penelitian, osteocalcin digunakan sebagai biomarker awal pada efektivitas obat yang diberikan pada pembentukan tulang. Misalnya, pada penelitian yang bertujuan untuk mempelajari efektivitaslaktoferin pada pembentukan tulang, digunakannya osteocalcin sebagai ukuran aktivitas osteoblas (Bharadwaj, 2009).

2.7 Diagnosis Banding Diagnosis banding pada osteoporosis sangat luas mengingat penurunan densitas tulang tidak menimbulkan gejala sampai terjadi perubahan anatomis yang dapat mengganggu kualitas hidup pasien. Adanya fraktur pada usia tua dapat disebabkan banyak hal, misalnya osteomalasia, tumor tulang, osteonekrosis, infeksi tulang, leukemia, metastasis dari kanker terutama kanker paru dan prostat. Diagnosis banding dari osteoporosis antara lain hiperparatiroidisme, osteomalasia, mastositosis, mieloma multipel, penyakit paget, anemia sel sabit, dan metastasis tulang akibat tumor ganas (Cotran, 2007). 2.8 Tatalaksana Menurut pedoman praktek klinis oleh American College of Physicians, karena kecacatan, morbiditas, mortalitas, dan biaya yang berhubungan dengan pengobatan patah tulang karena osteoporosis signifikan, maka pengobatan ditujukan untuk pencegahan patah tulang. Tindakan pencegahan termasuk modifikasi faktor gaya hidup umum, seperti meningkatkan latihan beban dan latihan penguatan otot, dan memastikan kalsium dan vitamin D asupan optimal sebagai tambahan (AAFP, 2015). Perawatan medis termasuk pemberian kalsium yang cukup, vitamin D, dan obat antiosteoporosis seperti bifosfonat, hormon paratiroid (PTH), raloxifene, dan estrogen. Selain itu, penyebab mendasar osteoporosis yang dapat diobati seperti hiperparatiroidisme dan hipertiroidisme harus dikesampingkan atau diobati jika terdeteksi. Perawatan bedah termasuk vertebroplasti dan kyphoplasty untuk meringankan rasa sakit akibat fraktur kompresi vertebra karena osteoporosis (Cosman, 2014). Saat ini, tidak ada perawatan benar-benar dapat menyembuhkan osteoporosis yang telah terjadi. Intervensi dini dapat mencegah osteoporosis pada kebanyakan orang. Untuk pasien dengan osteoporosis, intervensi medis dapat menghentikan perkembangan

osteoporosis. Jika terdapat penyebab sekunder osteoporosis, penyebab tersebut harus diatasi. Terapi harus individual didasarkan pada skenario klinis setiap pasien, dengan risiko dan manfaat dari pengobatan dibahas antara dokter dan pasien (Cosman, 2014). 2.8.1 Non Farmakologis Latihan beban ringan atau latihan ringan yang memperkuat otot dapat memperkuat tulang pada penderita osteoporosis. Latihan aerobik, latihan beban ringan menunjukkan peningkatan BMD pada wanita post-menopause (Body, 2011). Latihan dampak rendah aerobik, seperti berjalan dan bersepeda, umumnya direkomendasikan. Selama kegiatan ini, memastikan bahwa pasien mempertahankan keselarasan tulang belakang Untuk osteoporosis latihan yang tepat meliputi weight bearing excercise 3-5 sesi per minggu seperti berjalan atau jogging, dengan masing-masing sesi berlangsung 30-60 menit. Pasien harus diinstruksikan dalam program latihan dirumah tersebut untuk menggabungkan elemen yang diperlukan untuk meningkatkan postur dan kebugaran fisik secara keseluruhan serta kelenturan dan koordinasi (PAPDI, 2014). Edukasi dan pencegahan lainnya penting dalam mencegah dan mengatasi osteoporosis adalah menghindari minuman beralkohol dan merokok, mengenali obat-obatan yang memicu osteoporosis, posisi ergonomis dan keergonomisan dalam bekerja, menghindari mengangkat beban berat, menghindarkan penderita dari hal-hal yang membuat penderita dapat terjatuh seperti lantai licin, obat sedatif, dan penurun hipertensi berlebih (PAPDI, 2014). 2.8.2 Farmakologik National

Osteoporotic

Foundation

(NOF)

merekomendasikan

bahwa

terapi

farmakologis hanya dilakukan untuk wanita menopause dan pria berusia 50 tahun atau lebih yang memiliki keadaan berikut (NOF, 2014). 

Fraktur panggul atau vertebra



T-score -2.5 atau kurang pada leher femoralis atau vertebra setelah evaluasi yang tepat untuk menyingkirkan penyebab sekunder



Massa tulang yang rendah (T-score -1.0 antara -2.5 dan di leher femoralis atau tulang belakang) dan probabilitas 10-tahun patah tulang pinggul sebesar 3% atau lebih, atau probabilitas 10-tahun patah tulang osteoporosis 20 % atau lebih.

American College of Physicians merekomendasikan obat-obat berikut, yang dikonsumsi dengan memperhatikan adekuasi intake kalsium dan vitamin D (Mulder, 2006) 

Bifosfonat



Raloxifene



Kalsitonin



Denosumab



Teriparatide (rekombinan hormon paratiroid manusia)

Berdasarkan American College of Rheumatology pada tahun 2017, standard terapi dari osteoporosis harus melibatkan kombinasi farmakoterapi dan nonfarmakoterapi dimana pemberian bifosfonat harus diberikan pada pasien dengan resiko tinggi fraktur. Pada pasien dengan penggunaan kortikosteroid jangka panjang lebih dari 30 tahun atau usia diatas 40 tahun tetapi menggunakan kortikosteroid dosis tinggi jangka panjang wajib mendapatkan bifosfonat (Buckley, 2017).

Gambar 2. Alur pengobatan osteoporosis, dosis rekomendasi kalsium dan vitamin D adalah 1000-1200 mg / hari dan vitamin D600-800 IU/ hari. Modifikasi gaya hidup termasuk diet seimbang, berhenti merokok, latihan beban, dan latihan resistensi dimasukkan dalam panduan. Bifosfonat Bifosfonat adalah kelas obat yang dapat mencegah hilangnya massa tulang, digunakan untuk mengobati osteoporosis dan penyakit serupa. Bifosfonat adalah obat yang paling sering diresepkan untuk mengobati osteoporosis. Bifosfonat terbagi menjadi 2 kategori yaitu nitrogenous dan non-nitrogenous. Bifosfonat

bekerja

dengan

cara

menghancurkan

osteoklas.

Bifosfonat

non-

nitrogendimetabolisme dalam sel menjadi senyawa yang menggantikan pirofosfat bagian

terminal dari ATP, membentuk molekul non-fungsional yang bersaing dengan adenosine triphosphate (ATP) dalam metabolisme energi sel. Akibatnya, osteoklas mengalami apoptosis, yang menyebabkan penurunan secara keseluruhan dalam resorpsi tulang. Contoh obat dari bifosfonat non-nitrogenus adalah etidronat, clodronate, dan tiludronate (PAPDI, 2014). Bifosfonat nitrogenus bekerja dengan cara mengikat dan menghalangi enzim sintase farnesyl difosfat (FPPS) di jalur HMG-CoA reduktase (juga dikenal sebagai jalur mevalonat). Gangguan FPPS mencegah pembentukan dua metabolit yaitu farnesol dan geranylgeraniol yang penting untuk menghubungkan beberapa protein kecil ke membran sel. Fenomena ini dikenal sebagai prenilasi. Prenilasi atas protein spesifik bernama Ras, Rho, dan Rac, mendasari mekanisme kerja bifosfonat nitrogenous yang mempengaruhi sitoskeleton dari osteoklas menyebabkan kerapuhan ketahanan sel osteoklas, dan juga proses pembentukan osteoklas. Contoh obat dari golongan ini adalah Olpadronate, Neridronate Pamidronate, Alendronate, Risedronate, dan Zoledronate (Van Beek, 1999). Contoh berbagai sediaan dan penggunaannya seperti alendronate 70 mg tablet diminum setiap minggu dengan tambahan 2800-5600 IU vitamin D3. Ibandronat sodium yang terkenal saat ini dengan cara pemberian oral 150 mg dan3 mg injeksi selang 3 bulan setelah injeksi. Pemberian lainnya pada risedronate dalam mencegah dan mengobati dengan cara pemberian 5 mg per hari, lalu 35 mg tiap minggu ditambah kalsium karbonat 500 mg setiap harinya, 75 mg

2 hari setiap bulan, dan 150 mg tablet setiap bulanny

(Cosman, 2014). Raloxifene Raloxifene merupakan selective estrogen receptor modulator (SERM). Raloxifene memiliki sifat estrogenik pada tulang dan anti-estrogenik pada rahim dan payudara. Raloxifene digunakan dalam pencegahan osteoporosis pada wanita pascamenopause dan untuk mengurangi risiko kanker payudara invasif pada wanita postmenopause dengan

osteoporosis dan pada wanita menopause yang berisiko tinggi untuk kanker payudara. Baik untuk pengobatan atau pencegahan osteoporosis, suplementasi kalsium dan / atau vitamin D harus ditambahkan pada diet jika asupan harian tidak memadai. Raloxifen dapat menyebabkan DVT terutama pada pasien dengan gangguan koagulasi dan memiliki faktor resiko dari penyakit jantung (PAPDI, 2014; Cosman, 2014). Kalsitonin Kalsitonin meruakan hormon yang diproduksi oleh sel paraffolikular dari kelenjar tiroid. Dalam bentuk obat, sumber kalsitonin diambil dari kelenjar ultimobrankial ikan Salmon. Kalsitonin dapat digunakan untuk perawatan terhadap osteoporosis, Paget’s disease of the bone, dan juga phantom limb pain. Kalsitonin berperan dalam kalsium metabolisme kalsium dan metabolisme fosfor. Secara garis besar, kalsitonin merupakan antagonis PTH. Secara spesifik, kalsitonin menurunkan kalsium darah dengan mekanisme (Rhoades, 2009). 

Menghambat penyerapan kalsium oleh usus



Menghambat aktivitas osteoklas pada tulang



Merangsang aktivitas osteoblastik pada tulang.



Menghambat reabsorpsi kalsium pada sel tubulus ginjal yang memungkinkan untuk diekskresikan dalam urin

Denosumab Denosumab merupakan antibodi monoklonal untuk perawatan osteoporosis. Denosumab menghambat pematangan osteoklas dengan mengikat dan menghambat RANKL. Hal ini meniru mekanisme osteoprotegerin yang merupaka inhibitor RANKL endogen, yang konsentrasi dan afinitasnya menurun pada pasien yang menderita

osteoporosis. Hal Ini melindungi tulang dari degradasi, dan membantu untuk melawan perkembangan osteoporosis (PAPDI, 2014) Teriparatide Teriparatide merupakan bentuk rekombinan dari PTH. Teriparatide efektif sebagai agen anabolik tulang dan juga dapat digunakan untuk mempercepat penyembuhan fraktur. Teriparatide merupakan satu-satunya agen anabolik yang tersedia untuk pengobatan osteoporosis. Hal ini diindikasikan untuk pengobatan wanita dengan osteoporosis postmenopause yang berisiko tinggi fraktur, yang telah toleran terapi osteoporosis sebelumnya, atau pengobatan osteoporosis telah gagal untuk meningkatkan massa tulang. Hal ini ditunjukkan pada pria dengan osteoporosis idiopatik atau hipogonadisme yang berisiko tinggi fraktur, yang telah toleran terapi osteoporosis sebelumnya, atau di antaranya terapi osteoporosis telah gagal. Teriparatide juga disetujui untuk pengobatan pasien dengan glucocorticoid-induced osteoporosis. Sebelum pengobatan dengan teriparatide, kadar kalsium serum, PTH, dan vit. D perlu dipantau (Quattrocchi, 2004). Teriparatide tidak dapat diberikan selama lebih dari 2 tahun. Terapi ini dikontraindikasikan pada pasien dengan hiperkalsemia yang sudah ada sebelumnya, gangguan ginjal berat, kehamilan, ibu menyusui, riwayat metastasis tulang atau keganasan tulang, dan pasien yang berada pada risiko dasar meningkat untuk osteosarcoma termasuk mereka dengan penyakit Paget, peningkatan alkali fosfatase, anak-anak dan orang dewasa muda dengan epifisis terbuka atau riwayat radioterapi sebelumnya (Quattrocchi, 2004). Kalsium dan Vitamin D Sumber makanan untuk kalsium yang baik termasuk produk susu, sarden, kacangkacangan, biji bunga matahari, tahu, sayuran seperti lobak hijau, dan jus jeruk. Sumber makanan yang baik untuk vitamin D termasuk telur, hati, mentega, lemak ikan, susu dan jus jeruk. Tujuan dari rekomendasi saat asupan kalsium harian adalah untuk memastikan

bahwa individu mempertahankan keseimbangan kalsium yang memadai. Rekomendasi saat ini dari American Association of Clinical Endocrinologist (AACE) untuk asupan kalsium harian adalah sebagai berikut (Watts, 2010). 

Umur 0-6 bulan: 200 mg / hari



Umur 6-12 bulan: 260 mg / hari



Umur 1-3 tahun: 700 mg / hari



Umur 4-8 tahun: 1000 mg / hari



Umur 9-18 tahun: 1300 mg / hari



Umur 19-50 tahun: 1000 mg / hari



Usia 50 tahun dan lebih tua: 1200 mg / hari



Wanita hamil dan menyusui usia 18 tahun / lebih muda: 1300 mg / hari



Wanita hamil dan menyusui usia 19 tahun / lebih muda: 1000 mg / hari

2.9 Pencegahan Pencegahan osteoporosis secara dini penting untuk mencegah terjadinya fraktur dan penurunan kualitas hidup akibat osteoporosis itu sendiri. WHO pada tahun 2008 mengembangkan suatu alat untuk mengukur resiko terjadinya fraktur yang dinamakan FRAX (fracture risk assesment tool) dengan memperkirakan 10 tahun kemungkinan terjadinya osteoporosis mayor dan patah tulang pelvis. Penggunaan FRAX didasarkan pada BMI dan tinggi badan pada negara tertentu dan membandingkan beberapa parameter. Contoh kuesioner dapat dilihat pada gambar berikut:

Gambar 3. Kuesioner FRAX yang digunakan untuk mengukur 10 tahun kemungkinan terjadinya osteoporosis dengan membandingkan faktor resiko yang dimiliki pasien (IOF, 2009). Belum ada rekomendasi yang mengharuskan menggunakan FRAX sebagai landasan dalam memulai terapi osteoporosis dini (ACR, 2017). Beberapa penelitian menunjukan dengan adanya faktor resiko fraktur antara yang diberikan terapi dini dibandingkan dengan tidak diberikan terapi, 7-8% angka kejadian fraktur dapat dicegah dan mampu menghemat 60.000 dolar amerika berdasarkan perhitungan biaya operasi dan kualitas hidup pasien (Zhang, 2014). Dengan intervensi dini, diharapkan dapat mencegah terjadinya fraktur dan dapat meningkatkan kualitas hidup pasien dan mencegah terjadinya kecacatan yang tidak diinginkan. Rekomendasi yang dipostulasikan dengan menggunakan FRAX adalah sebagai berikut:

Gambar 4. Penentuan faktor resiko dengan FRAX dan intervensi dini yang dilakukan (IOF, 2009).

Guideline Screening for osteoporosis: U.S. preventive services task force recommendation statement. Ann Intern Med. 2011 Mar 1. 154(5):356-64. Geusens P, Dumitrescu B, van Geel T, van Helden S, Vanhoof J, Dinant GJ. Impact of systematic implementation of a clinical case finding strategy on diagnosis and therapy of postmenopausal osteoporosis. J Bone Miner Res. 2008 Jun. 23(6):812-8. Francis RM, Aspray TJ, Hide G, Sutcliffe AM, Wilkinson P. Back pain in osteoporotic vertebral fractures. Osteoporos Int 2008; 19:895-903. Riggs BL, Melton LJ III, The worldwide problem of osteoporosis: Insights afforded by epidemiology. Bone 1995; 17(Suppl): 505-11. Van Staa T, Leufkens HG, Abenhain L. Use of oral corticosteroids and risk of fractures. J Bone Miner Res 2000;15:993-1000. Papaioannou A, Giangregorio L, Kvern B, Boulos P, Ioannidis G, Adachi JD. The osteoporosis care gap in Canada. BMC Musculoskelet Disord 2004;5:11. Morin S, Tsang JF, Leslie WD. Weight and body mass index predict bone mineral density and fractures in women aged 40 to 59 years. Osteoporos Int 2009;20:363-70. Lindsay R, Silverman SL, Cooper C, et al. Risk of new vertebral fracture in the year following a fracture. JAMA 2001;285:320-3. Nevitt MC, Ettinger B, Black DM, et al. The association of radiographically detected vertebral fractures with back pain and function: a prospective study. Ann Intern Med 1998;128:793800. Moayyeri A, Luben RN, Bingham SA, et al. Measured height loss predicts fractures in middle-aged and older men and women: the EPIC-Norfolk prospective population study. Journal of Bone & Mineral Research 2008;23:425-32. Siminoski K, Jiang G, Adachi JD, et al. Accuracy of height loss during prospective monitoring for detection of incident vertebral fractures. Osteoporosis International 2005;16:403-10. 63. Kaptoge SA. When should the doctor order a spine X-ray? Identifying vertebral fractures for osteoporosis care: Results from the European Prospective Osteoporosis Study (EPOS). Journal of Bone and Mineral Research 2004;19:Dec. 2010 Clinical Practice Guidelines Osteoporosis: Background and Technical Report Page 77 Cummings SR, Black D. Bone mass measurements and risk of fracture in Caucasian women: a review of findings from prospective studies. [Review] [26 refs]. American Journal of Medicine 1995;98:24S-8S. Richmond, Bradford. Osteoporosis and bone mineral density. American College of Radiology. Retrieved 2008-05-11. Papaioannau A, Morin S, Cheung AM, Atkinson A, Brown JP, et al. Clinical Practice Guidelines for the Diagnosis and Management of Osteoporosis in Canada: Background and Technical Report. Clinical Practice Guidelines Osteoporosis. 2010;1-89.

Resnick D, Kransdorf M. Osteoporosis. Bone and Joint Imaging. Third Edition. 2005. 551. Yasuda Y, J Kaleta, Brömme D. The role of cathepsins in osteoporosis and arthritis: rationale for the design of new therapeutics. Adv Drug deliv Rev. 2005 May 25; 57 (7): 97393. Epub 2005 Apr 15th. Bharadwaj S, Naidu AG, Betageri GV, Prasada Rao NV, US Naidu. Milk ribonucleaseenriched lactoferrin induces positive effects on bone turnover markers in postmenopausal women. Osteoporos Int. 2009 September; 20 (9): 1603-11. doi: 10.1007 / s00198-009-08398. Epub 2009 Jan 27. Cotran, R.S., Kumar, V., Robbins, S.L., et al. 2007. Buku Ajar Patofisiologi Edisi 7. Terjemahan oleh Pendit B.U., Prasetyo, A., Priliono, T., et al. 2012. Jakarta: EGC. Jeremiah MP, Unwin BK, Greenawald MH, et al. Diagnosis anf Management of Osteoporosis. Am Fam Physician. 2015; 15;92(4): 261-269. Cosman F, Beur SJ, LeBoff, et al. Clinician’s Guide to Prevention and Treatment of Osteoporosis. Osteoporos Int. 2014; 25(10): 2359-2381. Body JJ, Bergmann P, Boonen S, Boutsen Y, Bruyere O, Devogelaer JP, et al. Nonpharmacological management of osteoporosis: a consensus of the Belgian Bone Club. Osteoporos Int. 2011 November; 22 (11): 2769-88. [Guidelines] National Osteoporosis Foundation. Clinician's Guide to Prevention and Treatment of Osteoporosis: 2014 Issue, Version 1. Available at http://nof.org/files/nof/public/content/file/2791/upload/919.pdf. Mulder JE, Kolatkar NS, LeBoff MS. Drug insight: Existing and emerging therapies for osteoporosis. Nat Clin Pract Endocrinol Metab. Dec. 2006 2 (12): 670-80. van beek E, Löwik C, van der Pluijm G, Papadopoulos IS. The role of geranylgeranylation in bone resorption and its suppression by bisphosphonates in the fetal bone explants in vitro: A clue to the mechanism of action of nitrogen-containing bisphosphonates. J Bone Miner Res. 1999 May; 14 (5): 722-9. Quattrocchi E, Kourlas H. Teriparatide: a review. Clin Ther. 2004 Jun. 26(6):841-Rhoades, Rodney (2009).Medical Physiology: Principles for Clinical Medicine. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins. Watts NB, Bilezikian JP, Camacho PM, Greenspan SL, Harris ST, Hodgson SF, et al. American Association of Clinical Endocrinologists Medical Guidelines for Clinical Practice for

the diagnosis and treatment of postmenopausal osteoporosis. Endocr Pract. 2010 Nov-Dec. 16 Suppl 3:1-37. Setyohadi B dalam Setiati S, Alwi I, Sudoyo A, Simadibrata M, Setyohadi B, et al. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi Keenam Jilid II. Pusat Penerbit Ilmu Penyakit Dalam, Jakarta Pusat. Buckley L, Guyatt G, Fink HA, Cannon M, Grossman J, et al. 2017 American College of Rheumatology Guideline for the Prevention and Treatment of Glucocorticoid-Induced Osteoporosis. Arthritis and Rheumatology 0(0) 1-17. McCloskey E. International Osteoporosis Foundation. FRAX: Identifying people at high risk of fracture. Switzerland, 2009. Zhang Z, Qu Y, Sheng Z, Liao E. How to decide intervention treshold based on FRAX in central south Chinese postmenopausal women. Endocrine 2014; 45(2):195-197.

View more...

Comments

Copyright ©2017 KUPDF Inc.
SUPPORT KUPDF