Referat Morbus Hansen
March 12, 2017 | Author: letitiabellavesta24 | Category: N/A
Short Description
Kusta merupakan penyakit tertua yang sampai sekarang masih ada. Kusta merupakan penyakit yang sangat ditakuti oleh masya...
Description
Referat Kepaniteraan
Morbus Hansen DAFTAR ISI Kata Pengantar
2
Daftar Isi
3
Bab I Pendahuluan
4
Bab II Tinjauan Pustaka
5
2.1
Definisi
5
2.2
Epidemiologi
5
2.3
Etiologi
5-6
2.4
Klasifikasi dan Manifestasi Klinis
6-11
2.5
Patogenesis
11-12
2.6
Diagnosis
12-14
2.7
Pemeriksaan Penunjang
14-16
2.8
Diagnosis Banding
16
2.9
Penatalaksanaan
17-24
2.10
Pencegahan cacat
24-25
2.11
Prognosis
26
Bab III Kesimpulan
27
Daftar Pustaka
27
1
BAB I PENDAHULUAN
Kusta merupakan penyakit tertua yang sampai sekarang masih ada. Kusta merupakan penyakit yang sangat ditakuti oleh masyarakat karena dapat menyebabkan ulserasi, mutilasi dan deformitas. Kata kusta berasal dari bahasa India kustha,dikenal sejak 400 tahun SM. Kata lepra disebut dalam kitab Injil,terjemahan dari bahasa Hebrew zaraath. Kusta (lepra atau penyakit Hansen) adalah infeksi menahun yang disebabkan oleh Mycobacterium leprae, bakteri ini menyerang saraf perifer, kulit, mukosa traktus respiratorius bagian atas, kemudian organ lainnya. Kuman dapat ditemukan di kulit, folikel rambut, kelenjar keringat, dan ASI, namun jarang di urin. Mycobacterium leprae masih belum dapat dibiakkan dalam medium buatan sehingga diagnosis yang tepat dalam waktu pendek masih belum memungkinkan. Pada sebagian besar orang yang terinfeksi, penyakit bersifat asimptomatik. Sebagian kecil terlambat didiagnosis dan terlambat diobati, memperlihatkan gejala klinis dan mempunyai kecenderungan untuk menjadi cacat. Tetapi diagnosis dapat dibuat berdasarkan gejala-gejala klinis yang spesifik pada pasien. 1 Penyakit ini disebarkan melalui droplet infeksi dan mempunyai masa tunas yang panjang (antara 2 bulan sampai 40 tahun)2
2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Istilah kusta berasal dari bahasa India, yakni kustha berarti kumpulan gejala-gejala kulit secara umum. Penyakit kusta disebut juga Morbus Hansen, sesuai dengan nama yang menemukan kuman yaitu Dr. Gerhard Armauwer Hansen pada tahun 1874 sehingga penyakit ini disebut Morbus Hansen. Kusta yang juga disebut lepra merupakan penyakit infeksi granulomatous kronik yang disebabkan oleh Mycobacterium leprae, terutama mengenai sistem saraf perifer, kulit, namun dapat juga terjadi mukosa traktus respiratorius bagian atas, kemudian dapat ke organ lain kecuali susunan saraf pusat 1
2.2 Epidemiologi Di Indonesia penderita anak-anak di bawah umur 14 tahun didapatkan ±13 %, tetapi anak di bawah umur 1 tahun jarang sekali. Frekuensi tertinggi terdapat pada kelompok umur antara 25-35 tahun. Kusta terdapat dimana-mana, tertama di Asia, Afrika, Amerika latin, daerah tropis dan subtropis, serta masyarakat yang sosial ekonominya rendah.1 Penyakit kusta tersebar di seluruh dunia dengan endemisitas yang berbeda-beda. Penyebaran penyakit kusta dari suatu tempat di seluruh dunia, tampaknya disebabkan oleh perpindahan penduduk yang terinfeksi penyakit tersebut. Penyakit ini disebarkan melalui droplet infeksi dan mempunyai masa tunas yang panjang (antara 2 bulan sampai 40 tahun)2 2.3 Etiologi Kuman penyebab lepra adalah Mycobacterium leprae. Kuman ini bersifat obligat intrasel, aerob, tidak dapat dibiakkan secara in vitro, berbentuk basil Gram positif dengan ukuran 3 – 8 μm x 0,5 μm, bersifat tahan asam dan alkohol. Waktu pembelahan Mycobacterium leprae sangat lama, yaitu 2-3 minggu, kuman ini dapat bereproduksi optimal pada suhu 27°C – 30°C secara in vivo, tumbuh dengan baik pada jaringan yang lebih dingin (kulit, sistem saraf perifer, hidung, cuping telinga, anterior chamber of eye, saluran napas atas, kaki dan testis), dan tidak mengenai area yang hangat (aksila, inguinal, kepala, garis tengah punggung.1,2
3
Gambar 1.1 Mycobacterium
leprae
2.4 KLASIFIKASI DAN MANIFESTASI KLINIS Menurut WHO, kusta dibagi menjadi 2 bentuk yaitu pausi basiler (indeterminate dan tuberculoid) dan multi basiler (borderline dan lepromatous). Tabel 2.1 Bagan Diagnosis Klinis menurut WHO1 PB (Pausibasilar)
MB (Multibasilar)
Lesi kulit (makula yang 1-5 lesi datar,
papul
meninggi,
yang
infiltrate,
plak eritem, nocus) Kerusakan
>5 lesi
Hipopigmentasi/eritema Distribusi tidak simetris
Distribusi simetris
saraf Hilangnya sensasi yang Hilangnya
(menyebabkan
jelas
lebih
sensasi
kurang jelas
hilangnya sensasi/kelemahan otot yang dipersarafi oleh Hanya satu cabang saraf
Banyak cabang saraf
saraf yang terkena BTA
Negatif
Tipe
Indeterminate
(I),
Lepromatosa
Tuberkuloid
(T),
Borderline
Borderline (BT)
Positif
tuberkuloid
(LL),
lepromatous (BL), Mid borderline (BB)
Berdasarkan klasifikasi Ridley and Jopling, penyakit kusta dibagi menjadi:3 a. Indeterminate leprosy (I): makula hipopigmentasi, terkadang makula eritema. Kehilangan rasa sensoris belum ada. Sekitar 75% penderita mengalami kesembuhan 4
spontan, sedangkan pada yang lainnya akan tetap pada bentuk ini sampai ketika imunitas menurun, maka akan berubah menjadi bentuk yang lain. b. Tuberculoid leprosy (TT): lesi kulit minimal. Biasanya hanya berupa satu plak eritem dengan bagian tepi yang meninggi. Predileksi pada wajah, ekstremitas, intertriginosa, dan kepala. Lesi kering, skuama, hipohidrotik, dan tanpa rambut. Pada bentuk ini, lesi pada kulit sudah mengalami anestesi. c. Bordeline tuberculoid leprosy (BT): lesi sama dengan tipe tuberculoid, namun lesi lebih kecil dan banyak. Berupa makula anestesi atau plak yang disertai lesi satelit di pinggirnya. Gambaran hipopigmentasi, kekeringan kulit dan skuama tidak jelas. Saraf tidak terlalu membesar dan tidak terlalu menyebabkan alopesia dibandingkan tipe tuberculoid. Bentuk ini biasanya bertahan/tetap, namun dapat kembali pada tipe tuberkuloid atau progresif menuju bentuk lepromatosa. d. Borderline borderline leprosy (BB): tipe yang paling tidak stabil, disebut juga dimorfik dan jarang dijumpai. Lesi kulit banyak, merah, berupa plak ireguler. Lesi sangat bervariasi baik ukuran, bentuk, maupun distribusinya. Bisa didapatkan lesi punched out yaitu hipopigmentasi yang oval pada bagian tengah. Distribusi menyerupai bentuk lepromatosa, namun asimetris. Dapat terjadi adenopati regional. e. Borderline lepromatous leprosy(BL): lesi banyak dan terdiri atas makula, papula, plak dan nodul. Terdapat lesi punched-out annular. Anestesi tidak terjadi. f. Lepromatous leprosy(LL): lesi awal berupa makula yang pucat. Makula kecil, difus dan simetris. Anetesi tidak terjadi pada bentuk ini, saraf tidak menebal, dan hidrotik. Hilangnya rangsang saraf lambat dan progresif.
Tabel 2.2 Gambaran klinis, Bakteriologis, dan Imunologik Kusta PB1 Karakteristi k
Tuberkuloid (TT)
Borderline Tuberkuloid (BT)
Indeterminate (I)
Lesi 5
Bentuk
Makula
atau Makula
makula
dibatasi infiltrat;
infiltrat Jumlah
infiltrat
saja
Satu
atau Satu
beberapa Distribusi
dibatasi Hanya infiltrat
dengan
lesi Satu
satelit
Terlokasi
atau
beberapa
dan Asimetris
Bervariasi
asimetris Permukaan
Kering,skuama
Kering, skuama
Halus
agak
berkilat Anestesia
Jelas
Jelas
Tidak ada sampai tidak jelas
Batas
Jelas
Jelas
Dapat jelas atau tidak jelas
BTA Pada lesi kulit
Negatif
Negatif, atau 1+
Biasanya negatif
Tes Lepromin
Positif kuat (3+)
Positif lemah
Dapat
positif
lemah
atau
negatif *Tes Lepromin (Mitsuda) untuk membantu penentuan tipe, hasilnya baru dapat diketahui setelah 3minggu
Tabel 2.3 Gambaran klinis, Bakteriologis, dan Imunologik Kusta MB1 Karakteristi
Lepromatosa
Borderline
Mid-borderline
k
(LL)
Lepromatosa
(BB)
(BL) Lesi Bentuk
Makula, infiltrat Makula, difus,
papul, papul
nodus Jumlah
plak, Plak,
lesi
bentuk
kubah, lesi punched out
Banyak distribusi Banyak tapi kulit Beberapa,
kulit
luas, praktis tidak 6
Distribusi
ada kulit sehat
sehat masih ada
sehat (+)
Simetris
Cenderung
Asimetris
simetris Permukaan
Halus berkilat
Halus berkilat
Sedikit
berkilap,
beberapa lesi kering Anestesia
Tidak jelas
Tidak jelas
Lebih jelas
Batas
Tidak jelas
Agak jelas
Agak jelas
Banyak
Agak banyak
BTA Pada
lesi Banyak
kulit Sekret
Banyak
Biasanya
hidung Tes
tidak Tidak ada
ada Negatif
Negatif
Biasanya negatif
Lepromin
TT
BT
I
LL
BL
BB
7
Gambar 2.2 Tipe Kusta
Gambar 2.3 Foto Manifestasi Tuberculoid Lepra di Punggung
Gambar 2.4 Foto Manifestasi Tuberculoid Lepra di Wajah
2.5. PATOGENESIS M. leprae berpredileksi di daerah-daerah tubuh yang relatif lebih dingin. Ketidakseimbangan antara derajat infeksi dan derajat penyakit disebabkan oleh respon imun 8
yang berbeda yang menyebabkan timbulnya reaksi granuloma setempat atau menyeluruh yang dapat sembuh sendiri atau progresif. Oleh karena itu penyakit kusta dapat disebut sebagai penyakit imunologik. Gejala klinisnya lebih sebanding dengan tingkat reaksi selularnya daripada intensitas infeksinya. Meskipun cara masuk M. leprae ke dalam tubuh masih belum diketahui dengan pasti, beberapa penelitian telah memperlihatkan bahwa yang tersering ialah melalui kulit yang lecet pada bagian tubuh yang bersuhu dingin dan melalui mukosa nasal. Pengaruh, M. leprae terhadap kulit bergantung pada faktor imunitas seseorang, kemampuan hidup M. leprae pada suhu tubuh yang rendah, waktu regenerasi yang lama, serta sifat kuman yang avirulens dan nontoksis. Masuknya M. leprae ke dalam tubuh akan ditangkap oleh APC (Antigen Presenting Cell) dan melalui dua sinyal yaitu sinyal pertama dan sinyal kedua. Sinyal pertama adalah tergantung pada TCR- terkait antigen (TCR = T cell receptor) yang dipresentasikan oleh molekul MHC pada permukaan APC sedangkan sinyal kedua adalah produksi sitokin dan ekspresinya pada permukaan dari molekul kostimulator APC yang berinteraksi dengan ligan sel T melalui CD28. Adanya kedua sinyal ini akan mengaktivasi To sehingga To akan berdifferensiasi menjadi Th1 dan Th2. Adanya TNF α dan IL 12 akan membantu differensiasi To menjadi Th1. Th 1 akan menghasilkan IL 2 dan IFN γ yang akan meningkatkan fagositosis makrofag (fenolat glikolipid I yang merupakan lemak dari M. leprae akan berikatan dengan C3 melalui reseptor CR1,CR3,CR4 pada permukaannya lalu akan difagositosis) dan proliferasi sel B. Selain itu, IL 2 juga akan mengaktifkan CTL lalu CD8+. Di dalam fagosit, fenolat glikolipid I akan melindungi bakteri dari penghancuran oksidatif oleh anion superoksida dan radikal hidroksil yang dapat menghancurkan secara kimiawi. Karena gagal membunuh antigen maka sitokin dan growth factors akan terus dihasilkan dan akan merusak jaringan akibatnya makrofag akan terus diaktifkan dan lama kelamaan sitoplasma dan organella dari makrofag akan membesar, sekarang makrofag seudah disebut dengan sel epiteloid dan penyatuan sel epitelioid ini akan membentuk granuloma. Th2 akan menghasilkan IL 4, IL 10, IL 5, IL 13. IL 5 akan mengaktifasi dari eosinofil. IL 4 dan IL 10 akan mengaktifasi dari makrofag. IL 4 akan mengaktifasi sel B untuk menghasilkan IgG4 dan IgE. IL 4 , IL10, dan IL 13 akan mengaktifasi sel mast. Sinyal I tanpa adanya sinyal II akan menginduksi adanya sel T anergi dan tidak teraktivasinya APC secara lengkap akan menyebabkan respon ke arah Th2. Pada Tuberkoloid Leprosy, kita akan melihat bahwa Th 1 akan lebih tinggi dibandingkan dengan Th2 sedangkan pada Lepromatous leprosy, Th2 akan lebih tinggi dibandingkan dengan Th1.3
9
2.6. DIAGNOSIS Diagnosis penyakit kusta didasarkan gambaran klinis, bakterioskopis, dan histopatologis, dan serologis. Diantara ketiganya, diagnosis secara klinislah yang terpenting dan paling sederhana. Hasil bakterioskopis memerlukan waktu paling sedikit 15-30 menit, sedangkan histopatologik 10-14 hari. Kalau memungkinkan dapat dilakukan tes lepromin (Mitsuda) untuk membantu penentuan tipe, yang hasilnya baru dapat diketahui setelah 3 minggu. Kelainan kulit pada penyakit kusta tanpa komplikasi dapat hanya berbentuk makula saja, infiltrat, saja atau keduanya. Secara inspeksi mirip penyakit lain, ada tidaknya anestesia sangat banyak membantu penentuan diagnosis, meskipun tidak terlalu jelas. Hal ini dengan mudah dilakukan dengan menggunakan jarum terhadap rasa nyeri, kapas terhadap rasa raba, dan dapat juga dengan rasa suhu, yaitu panas dan dingin dengan tabung reaksi. Perhatikan pula ada tidaknya dehidrasi di daerah lesi yang dapat dipertegas dengan menggunakan pensil tinta (tanda Gunawan). Cara menggoresnya mulai dari tengah lesi ke arah kulit normal. Dapat pula diperhatikan adanya alopesia di daerah lesi. Dan ditemukan satu atau lebih tanda kardinal pasien dari daerah endemik,lesi kulit dengan karakter lepra dengan atau tidak rasa baal,disertai dengan saraf perifer,dan menemukan M.Leprae. 1,4 Mengenai saraf perifer yang perlu diperhatikan ialah pembesaran, konsistensi, dan nyeri atau tidak. Hanya beberapa saraf superfisial yang dapat dan perlu diperiksa, yaitu N. fasialis, N. aurikuralis magnus, N. radialis, N. ulnaris, N. medianus, N. poplitea lateralis, dan N. tibialis posterior. Untuk tipe lepramatosa kelainan saraf biasanya bilateral dan menyeluruh, sedang untuk tipe tuberkuloid kelainan sarafnya lebih terlokalisasi mengikuti tempat lesinya.1,4 Deformitas pada kusta, sesuai dengan patofisiologinya, dapat dibagi dalam deformitas primer dan sekunder. Deformitas primer sebagai akibat langsung oleh granuloma yang terbentuk sebgai reaksi terhadap M. leprae, yang mendesak dan merusak jaringan di sekitarnya, yaitu kulit, mukosa traktus respiratorius atas, tulang-tulang jari, dan wajah. Deformitas sekunder terjadi sebagai akibat kerusakan saraf, umumnya deformitas diakibatkan keduanya, tetapi terutama karena kerusakan saraf. Gejala-gejala kerusakan saraf:1,4 1. N. ulnaris: anestesia pada ujung jari anterior kelingking dan jari manis, clawing kelingking dan jari manis, atrofi hipotenar dan otot interoseus serta kedua otot lumbrikalis medial.
10
2. N. medianus: anestesia pada ujung jari bagian anterior ibu jari, telunjuk, dan jari tengah, tidak mampu aduksi ibu jari, clawing ibu jari, telunjuk, dan jari tengah, ibu jari kontraktur, atrofi otot tenar dan kedua otot lumbrikalis lateral. 3. N. radialis: anestesia dorsum manus, serta ujumg proksimal jari telunjuk, tangan gantung (wrist drop), tak mampu ekstensi jari-jari atau pergelangan tangan. 4. N. poplitea lateralis: anestesia tungkai bawah, bagian lateral dan dorsum pedis, kaki gantung (foot drop), kelemahan otot peroneus. 5. N. tibialis posterior: anestesia telapak kaki, claw toes, paralisis otot intristik kaki dan kolaps arkus pedis. 6. N. fasialis: lagoftalmus (cabang temporal dan zigomatik), kehilangan ekspresi wajah dan kegagalan mengaktupkan bibir (cabang bukal, mandibular dan servikal). 7. N. trigeminus: anestesia kulit wajah, kornea dan konjungtiva mata. Pemeriksaan Fungsi Saraf a. Tes sensorik Gunakan kapas, jarum, serta tabung reaksi berisi air hangat dan dingin. - Rasa raba - Rasa tajam - Suhu b. Tes Otonom Berdasarkan adanya gangguan berkeringat di makula anestesi pada penyakit kusta, pemeriksaan lesi kulit dapat dilengkapi dengan tes anhidrosis, yaitu:5 1. Tes keringat dengan tinta ( tes Gunawan) 2. Tes Pilokarpin 3. Tes Motoris (voluntary muscle test) pada n. ulnaris, n.medianus, n.radialis, dan n. peroneus 2.7 PEMERIKSAAN PENUNJANG1 1. Pemeriksaaan bakterioskopik Digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis dan pengamatan obat. Sediaan dibuat dari kerokan jaringan kulit atau usapan mukosa hidung yang diwarnai dengan pewarnaan Ziehl Neelson. Bakterioskopik negatif pada seorang penderita, bukan berarti orang tersebut tidak mengandung basil M. leprae. Pertama – tama harus ditentukan lesi di kulit yang diharapkan paling padat oleh basil setelah terlebih dahulu menentukan jumlah tepat yang diambil. Untuk riset dapat diperiksa 10 tempat dan untuk rutin sebaiknya minimal 4 – 6 tempat yaitu kedua cuping telinga bagian bawah dan 2 -4 lesi lain yang paling aktif berarti yang paling eritematosa dan paling infiltratif. Pemilihan cuping telinga tanpa menghiraukan ada atau tidaknya lesi di tempat tersebut karena pada cuping telinga biasanya didapati banyak M. leprae. 11
Kepadatan BTA tanpa membedakan solid dan nonsolid pada sebuah sediaan dinyatakan dengan indeks bakteri (I.B) dengan nilai 0 sampai 6+ menurut Ridley. 0 bila tidak ada BTA dalam 100 lapangan pandang (LP). 1 + Bila 1 – 10 BTA dalam 100 LP 2+ Bila 1 – 10 BTA dalam 10 LP 3+ Bila 1 – 10 BTA rata – rata dalam 1 LP 4+ Bila 11 – 100 BTA rata – rata dalam 1 LP 5+ Bila 101 – 1000BTA rata – rata dalam 1 LP 6+ Bila> 1000 BTA rata – rata dalam 1 LP
Indeks morfologi adalah persentase bentuk solid dibandingkan dengan jumlah solid dan non solid. IM= Jumlah solidx 100 %/ Jumlah solid + Non solid Syarat perhitungan IM adalah jumlah minimal kuman tiap lesi 100 BTA, I.B 1+ tidak perlu dibuat IM karena untuk mendapatkan 100 BTA harus mencari dalam 1.000 sampai 10.000 lapangan, mulai I.B 3+ maksimum harus dicari 100 lapangan.1 2. Pemeriksaan histopatologi Makrofag dalam jaringan yang berasal dari monosit di dalam darah ada yang mempunyai nama khusus, dan yang dari kulit disebut histiosit. Apabila SIS nya tinggi, makrofag akan mampu memfagosit M. leprae. Datangnya histiosit ke tempat kuman disebabkan karena proses imunologik dengan adanya faktor kemotaktik. Kalau datangnya berlebihan dan tidak ada lagi yang harus difagosit, makrofag akan berubah bentuk menjadi sel epiteloid yang tidak dapat bergerak dan kemudian akan dapat berubah menjadi sel datia Langhans. Adanya massa epiteloid yang berlebihan dikelilingi oleh limfosit yang disebut tuberkel akan menjadi penyebab utama kerusakan jaringan dan cacat. Pada penderita dengan SIS rendah atau lumpuh, histiosit tidak dapat menghancurkan M. leprae yang sudah ada didalamnya, bahkan dijadikan tempat berkembang biak dan disebut sebagai sel Virchow atau sel lepra atau sel busa dan sebagai alat pengangkut penyebarluasan. 12
Gambaran histopatologi tipe tuberkoloid adalah tuberkel dan kerusakan saraf yang lebih nyata, tidak ada basil atau hanya sedikit dan non solid. Tipe lepromatosa terdapat kelim sunyi subepidermal (subepidermal clear zone) yaitu suatu daerah langsung di bawah epidermis yang jaringannya tidak patologik. Bisa dijumpai sel virchow dengan banyak basil. Pada tipe borderline terdapat campuran unsur – unsur tersebut.1 3. Pemeriksaan serologik Didasarkan terbentuk antibodi pada tubuh seseorang yang terinfeksi oleh M. leprae. Antibodi yang terbentuk dapat bersifat spesifik terhadap M. leprae, yaitu antibodi anti phenolic glycolipid-1 (PGL-1) dan antibodi antiprotein 16kD serta 35kD. Sedangkan antibodi yang tidak spesifik antara lain antibodi anti-lipoarabinomanan (LAM), yang juga dihasilkan oleh kuman M. tuberculosis.1 Kegunaan pemeriksaan serologik ialah dapat membantu diagnosis kusta yang meragukan, karena tanda klinis dan bakteriologik tidak jelas.Pemeriksaan serologik adalah MLPA (Mycobacterium Leprae Particle Aglutination), uji ELISA (Enzyme Linked ImmunoSorbent Assay) dan ML dipstick (Mycobacterium Leprae dipstick).1
2.8 DIAGNOSIS BANDING DD
Vitiligo
Etiologi
Efluoresensi,Gejala Klinis
Idiopatik
Hipomelanosis,adanya makula putih yang dapat meluas dapat mengenai seluruh bagian tubuh yang mengandung melanosit, misalnya rambut dan mata. Makula berwarna putih dengan diameter beberapa milimeter sampai beberapa sentimeter, bulat atau lonjong dengan batas tegas, tanpa perubahan epidermis yang lain.
Pitiariasis Vesikolor
Malassezia furfur Robin
Dermatitis Seboroik
Idiopatik,Status seboroik Autoimun,Genet ik Mutasi gen NF1 Idiopatik
Bercak berskuama halus yang berwarna putih sampai coklat hitam, terutama meliputi badan dan kadangkadang dapat menyerang ketiak, lipat paha, lengan, tungkai atas, leher, muka dan kulit kepala yang berambut Eritema dan skuama berminyak dan agak kekuningan batasnya agak kurang tegas Bercak eritema yang meninggi (plak)dengan skuama di atasnya. Fenomena tetesan Lilin,Auspitz dan Kobner Neurofibroma,Cafe-au-lait spot Ruam berbentuk benjol kemerahan
Psoriasis Neurofibromatosis Granuloma Anulare
13
Xantomatosis
Genetik
Skleroderma
Idiopatik
Leukemia Kutis
Leukimia
Tuberkulosis Kutis Verukosa
M. Tuberculosis HPV
Birth mark
Overgrowth of B.V.,Melanocyte s,smooth muscle,fat,fibro blast, or keratinocytes Jamur
Dermatofitosis
Deposit lemak kekuning kuningan pada kulit atau tempat lain (dalam sel retikulo-endotelial) karena hiperlipidemia Bercak skleropatik atau plak soliter (tersering) atau bercak-bercak multiple (terjarang) Infiltrasi sel-sel leukemia yang bersifata gresif kedalam lapisan epidermis,dermis maupun subkutis. Skrofuloderma,chancre Kutil berbentuk bulat,berwarna abu-abu,permukaan kasar Gambaran kelainan kulit yang timbul saat atau setelah lahir
Gatal dan kelainan berbatas tegas,polomorfi. Eczema marginatum
2.9 PENATALAKSANAAN Tujuan utama yaitu memutuskan mata rantai penularan untuk menurunkan insiden penyakit, mengobati dan menyembuhkan penderita, mencegah timbulnya penyakit, untuk mencapai tujuan tersebut, strategi pokok yg dilakukan didasarkan atas deteksi dini dan pengobatan penderita.2 Pengobatan kusta disarankan memakai program Multi Drugs Therapy (MDT) dengan kombinasi rifampisin, klofazimin, dan DDS, direkomendasikan oleh WHO sejak 1981. Tujuan dari program MDT adalah: mengatasi resistensi dapson yang semakin meningkat, menurunkan angka putus obat (drop-out rate) dan ketidaktaatan penderita. Obat antikusta yang paling banyak dipakai pada saat ini adalah DDS, klofazimin dan rifampicin. Pada tahun 1998 WHO menambahkan 3 obat antibiotik lain untuk pengobatan alternatif yaitu ofloksasin, minosiklin, dan klaritomisin.1,4 DDS (Dapsone) Merupakan singkatan dari Diamino Diphenyl Sulfon. Dapson bersifat bakteriostatik dengan menghambat enzim dihidrofolat sintetase. Dapson bekerja sebagai anti metabolit PABA. Indeks morfologi kuman penderita LL yang diobati dengan Dapson biasanya menjadi nol setelah 5 sampai 6 bulan. 14
Dosis: dosis tunggal yaitu 50-100 mg/hari untuk dewasa atau 2 mg/kg berat badan untuk anak-anak. Efek samping: erupsi obat, anemia hemolitik, leukopenia, insomnia, neuropatia, nekrolisis epidermal toksik, hepatitis dan methemoglobinemia. Efek samping tersebut jarang dijumpai pada dosis lazim. Rifampisin Rifampisin merupakan bakterisidal kuat pada dosis lazim dan merupakan obat paling ampuh untuk kusta saat ini. Rifampisin bekerja menghambat enzim polimerase RNA yang berikatan secara irreversibel. Namun obat ini harganya mahal dan telah dilaporkan adanya resistensi. Dosis: dosis tunggal 600 mg/hari (atau 5-15 mg/kgBB) mampu membunuh kuman kira-kira 99.9% dalam waktu beberapa hari. Efek samping: hepatotoksik, nefrotoksik, gejala gastrointestinal dan erupsi kulit. Klofazimin Obat ini bersifat bakteriostatik setara dengan dapson. Diduga bekerja melalui gangguan metabolisme radikal oksigen. Obat ini juga mempunyai efek anti inflamasi sehingga berguna untuk pengobatan reaksi kusta. Dosis: 50 mg/hari atau 100 mg tiga kali seminggu dan untuk anak-anak 1 mg/kgBB/hari. Selain itu dosis bulanan 300 mg juga diberikan setiap bulan untuk mengurangi reaksi tipe I dan II.5 Efek samping: hanya terjadi pada dosis tinggi berupa gangguan gastrointestinal (nyeri abdomen, diare, anoreksia dan vomitus).1,4
Obat alternatif Ofloksasin Merupakan turunan fluorokuinolon yang paling aktif terhadap M. leprae in vitro. Dosis optimal harian adalah 400 mg. Dosis tunggal yang diberikan dalam 22 dosis akan membunuh kuman M. leprae hidup sebesar 99,99%. Efek sampingnya adalah mual, diare,
15
dan gangguan saluran cerna lainnya, berbagai gangguan susunan saraf pusat termasuk insomnia, nyeri kepala, dizziness, nervousness dan halusinasi. Minoksiklin Termasuk dalam kelompok tetrasiklin. Efek bakterisidalnya lebih tinggi daripada klaritromisin, tetapi lebih rendah daripada rifampisin. Dosis standar harian adalah 100 mg. Efek sampingnya adalah pewarnaan gigi bayi dan anak-anak, kadang-kadang menyebabkan hiperpigmentasi kulit dan membran mukosa, berbagai simtom saluran cerna dan susunan saraf pusat, termasuk dizziness dan unsteadiness.1,4 Klaritromisin Merupakan kelompok antibiotik makrolid dan mempunyai aktivitas bakterisidal terhadap M. leprae pada tikus dan manusia. Pada penderita kusta lepromatosa, dosis harian 500 mg dapat membunuh 99% kuman hidup dalam 28 hari dan lebih dari 99% dalam 56 hari. Efek sampingnya adalah nausea, vomitus dan diare.2 Penatalaksanaan kusta menggunakan Multi Drug Therapy (MDT) menurut WHO tahun 1998 adalah sebagai berikut:5 Skema Regimen MDT WHO Tabel 2.4 Obat dan dosis regimen MDT-PB OBAT
DEWASA BB35 kg
Rifampisin
450 mg/bln (diawasi)
600 mg/bln (diawasi)
Dapson swakelola
50mg/hari(1-2mg/kgBB/hari)
100 mg/hari
Tabel 2.5 Obat dan dosis regimen MDT-MB OBAT
DEWASA BB35 kg
Rifampisin
450 mg/bln (diawasi)
600 mg/bln (diawasi)
Klofazimin
300
mg/bln
diteruskan
diawasi 50
dan
mg/hari
16
Dapson swakelola
swakelola
100 mg/hari
50mg/hari(1-2mg/kgBB/hari)
Tabel 2.6 Obat dan dosis regimen MDT WHO untuk anak PB OBAT
< 10 tahun
MB 10 th – 14 th < 10 th
BB < 50kg
10 th -14 th
BB < 50 kg
Rifampisin
300 mg/bln
450 mg/bln
300 mg/bln
Klofazimin
-
-
100
450 mg/bln mg/bln 150
mg/bln
dilanjutkan 50 mg, dilanjutkan 25 mg/hr
50 mg/hr
2x/mgg
mg/hr
25 mg/hr
50 mg/hr
50
Obat morbus hansen dari WHO
Lamanya pengobatan morbus hansen tipe PB adalah 6 dosis diselesaikan dalam 6-9
bulan. Pengobatan morbus hansen tipe MB adalah sudah sebesar 24 dosis diselesaikan dalam
waktu maksimal 36 bulan. Minimum 6 bulan untuk PB dan minimum 24 bulan untuk MB maka dinyatakan RFT
(Release From Treatment). WHO Expert Committee:1,5 o MB menjadi 12 dosis dalam 12-18 bulan, sedangkan pengobatan untuk kasus PB o
dengan lesi kulit 2-5 buah tetap 6 dosis dalam 6-9 bulan. Bagi kasus PB dengan lesi tunggal pengobatan adalah Rifampisin 600 mg ditambah dengan Ofloksasin 400 mg dan Minosiklin 100 mg (ROM) dosis tunggal.
17
Penderita MB yang resisten dengan rifampisin biasanya akan resisten pula dengan DDS sehingga hanya bisa mendapat klofazimin. Untuk itu pengobatannya dengan klofazimin 50 mg, ofloksasin 400 mg dan minosiklin 100 mg setiap hari selama 6 bulan, diteruskan klofazimin 50 mg ditambah ofkloksasin 400 mg atau minosiklin 100 mg setiap hari
selama 18 bulan. Bagi penderita MB yang menolak klofazimin, diberikan rifampisin 600 mg ditambah dengan ofloksasin 400 mg dan minosiklin 100 mg dosis tunggal setiap bulan selama 24
bulan. Penghentian pemberian obat lazim disebut Release From Treatment (RFT). Setelah RFT dilanjutkan dengan tindak lanjut tanpa pengobatan secara klinis dan bakterioskopis minimal setiap tahun selama 5 tahun. Bila bakterioskopis tetap negatif dan klinis tidak ada keaktifan baru, maka dinyatakan bebas dari pengamatan atau disebut Release From Control (RFC).
Reaksi kusta Reaksi kusta adalah interupsi dengan episode akut pada perjalanan penyakit yang sebenarnya sangat kronik.1 Penyakit kusta yang merupakan suatu reaksi kekebalan (cellular response) atau reaksi antigen antibody (humoral response). Reaksi ini dapat terjadi sebelum pengobatan, tetapi terutama terjadi selama atau setelah pengobatan. Dari segi imunologis terdapat perbedaan prinsip antara reaksi tipe 1 dan tipe 2, yaitu pada reaksi tipe 1 yang memegang peranan adalah imunitas seluler (SIS), sedangkan pada reaksi tipe 2 yang memegang peranan adalah imunitas humoral. 1 Tabel 2.7 Perbedaan Reaksi Kusta Tipe 1 dan Tipe 2 3 No. Gejala/tanda
Tipe I (reversal)
Tipe II (ENL)
1
Baik atau demam ringan
Buruk, disertai malaise dan
Kondisi umum
febris 2
Peradangan kulit
di Bercak kulit lama menjadi Timbul nodul kemerahan, lebih
meradang
(merah), lunak,
dapat timbul bercak baru
dan
nyeri
tekan.
Biasanya pada lengan dan tungkai. Nodul dapat pecah
18
(ulserasi) 3
Waktu terjadi
Awal pengobatan MDT
Setelah
pengobatan
yang
lama, umumnya lebih dari 6 bulan 4
Tipe kusta
PB atau MB
5
Saraf
Sering terjadi Dapat terjadi Umumnya berupa nyeri tekan saraf
dan
MB
atau
gangguan
fungsi saraf 6 7
Keterkaitan organ Hampr tidak ada
Terjadi pada mata, KGB,
lain
sendi, ginjal, testis, dll
Faktor pencetus
Melahirkan Obat-obat
yang
Emosi Kelelahan dan stress
fisik lainnya kehamilan
meningkatkan kekebalan tubuh
Tabel 2.8 Perbedaan Reaksi Kusta Ringan dan Berat tipe 1 dan tipe 2 3 N
Gejala/tanda
Tipe I
Tipe II
o Ringan 1.
Kulit
Berat
Ringan : Nodul
Berat
Bercak
: Bercak
: Nodul
:
merah,
merah,
merah,panas,nyer
panas,
tebal,
tebal,
i
bertambah
panas,
panas,
nyeri
nyeri
nyeri
merah, yang parah
sampai pecah
yang bertamba h
parah
sampai pecah 2
Saraf tepi
Nyeri pada Nyeri
Nyeri
perbaan (-)
perabaan (-)
pada
pada Nyeri pada perabaan (+)
perabaan
19
(+) 3
Keadaan
Demam (-)
umum 4
Keterlibatan
Demam
Demam (+)
Demam (+)
-
+ Terjadi
(+) -
-
organ lain
peradangan
pada : mata
:
iridocyclitis testis
:
epididimoorchiti
s ginjal : nefritis kelenjar limpa :
limfadenitis gangguan pada tulang,
hidung,
dan tenggorokan *bila ada reaksi pada lesi kulit yang dekat dengan saraf, dikategorikan sebagai reaksi berat Fenomena Lucio Fenomena lucio merupakan reaksi kusta yang sangat berat yang terjadi pada kusta tipe lepromatosa non nodular difus. Gambaran klinis berupa plak atau infiltrat difus, bewarna merah muda, bentuk tidak teratur dan terasa nyeri. Lesi terutama di ekstremitas, kemudian meluas ke seluruh tubuh. Lesi yang berat tampak lebih eritematous disertai purpura dan bula kemudian dengan cepat terjadi nekrosis serta ulserasi yang nyeri. Lesi lambat menyembuh dan akhirnya terbentuk jaringan parut. Gambaran histopatologi menunjukkan nekrosis epidermal iskemik dengan nekrosis pembuluh darah superfisial, edema, dan proliferasi endhotelial pembuluh darah lebih dalam. Didapatkan banyak basil M.Leprae di endotel kapiler. Walaupun tidak ditemukan infiltrat PMN seperti pada ENL namun dengan imunofluoresensi tampak deposit imunoglobulin dan komplemen di dalam dinding pembuluh darah.1
Pengobatan ENL
20
Obat yang paling sering dipakai adalah tablet kortikosteroid, antara lain prednisone. Dosisnya bergantung pada berat ringannya reaksi, biasanya 15-30 mg/hari dan dosisnya diturunkan bertahap. Klofazimin juga dapat dipakai sebagai anti ENL, tetapi dengan dosis yang lebih tinggi. Dosisnya antara 200-300mg/hari. Khasiatnya lebih lambat daripada kortikosteroid dan dapat dipakai untuk melepaskan ketergantungan kortikosteroid.1
Pengobatan Reaksi Reversal Bila reaksi ini tidak disertai neuritis akut, maka tidak perlu diberi obat tambahan. Bila ada neuritis akut, obat pilihan pertama adalah kortikosteroid yang dosisnya disesuaikan dengan berat ringannya neuritis. Biasanya diberikan prednisone 40-60 mg/hari yang dosisnya diturunkan secara bertahap. Anggota gerak yang terkena neuritis akut harus diistirahatkan. Analgesik dan sedatif kalau diperlukan dapat diberikan. Pada pasien ini diberikan terapi morbus hansen sesuai dengan regimen MDT-MB dari WHO dan diberikan kortikosteroid oral untuk mengatasi reaksi ENL yang terdapat pada pasien ini. Pada pasien ini juga diberikan antihistamin. Antihistamin yang dipilih disini adalah antihistamin golongan sedatif misalnya Klorfeniramin maleat 2 x 4 mg. Obat ini dipilih karena murah serta mudah didapat, namun dapat menyebabkan kantuk karena memiliki efek sedatif.1
2.10 PENCEGAHAN CACAT Penderita kusta yang terlambat didiagnosis dan tidak mendapat MDT mempunyai resiko tinggi untuk terjadinya kerusakan saraf. Selain itu, penderita dengan reaksi kusta, terutama reaksi reversal, lesi kulit multipel dan dengan saraf yang membesar atau nyeri juga memiliki resiko tersebut. Kerusakan saraf terutama berbentuk nyeri saraf, hilangnya sensibilitas dan berkurangnya kekuatan otot. Penderitalah yang mula-mula menyadari adanya perubahan sensibilitas atau kekuatan otot. Keluhan berbentuk nyeri saraf atau luka yang tidak sakit, lepuh kulit atau hanya berbentuk daerah yang kehilangan sensibilitasnya saja. Juga ditemukan keluhan sukarnya melakukan aktivitas sehari-hari, misalnya memasang kancing baju, 21
memegang pulpen atau mengambil benda kecil, atau kesukaran berjalan. Keluhan tersebut harus diperiksa dengan teliti dengan anamnesis yang baik tentang bentuk dan lamanya keluhan, sebab pengobatan dini dapat mengobati, sekurangnya mencegah kerusakan berlanjut. Cara terbaik untuk melakukan pencegahan cacat atau prevention of disabilities (POD) adalah dengan melaksanakan diagnosis dini kusta, pemberian pengobatan MDT yang cepat dan tepat. Selanjutnya dengan mengenali gejala dan tanda reaksi kusta yang disertai gangguan syaraf serta memulai pengobatan dengan kortikosteroid sesegera mungkin. Bila terdapat gangguan sensibilitas, penderita diberi petunjuk sederhana misalnya memakai sepatu untuk melindungi kaki yang telah terkena, memakai sarung tangan bila bekerja dengan benda yang tajam atau panas, dan memakai kacamata untuk melindungi matanya. Selain itu diajarkan pula cara perawatan kulit sehari-hari. Hal ini dimulai dengan memeriksa ada tidaknya memar, luka atau ulkus. Setelah itu tangan dan kaki direndam, disikat dan diminyaki agar tidak kering dan pecah.
WHO Expert Committee on Leprosy membuat klasifikasi cacat pada tangan, kaki dan mata bagi penderita kusta. Berikut adalah klasifikasi cacat pada penderita kusta: Cacat pada tangan dan kaki Tingkat 0 : tidak ada gangguan sensibilitas, tidak ada kerusakan atau deformitas
yang
terlihat. Tingkat 1 : ada gangguan sensibilitas, tanpa kerusakan atau deformitas yang terlihat. Tingkat 2 : terdapat kerusakan atau deformitas.
Cacat pada mata Tingkat 0 : tidak ada kelainan atau kerusakan pada mata (termasuk visus). Tingkat 1 : ada kelainan atau kerusakan pada mata, tetapi tidak terlihat, visus sedikit berkurang. 22
Tingkat 2
: ada kelainan mata yang terlihat (misalnya lagoftalmos, iritis, kekeruhan kornea) dan atau visus sangat terganggu.1
Rehabilitasi Usaha rehabilitasi medis yang dapat dilakukan untuk cacat tubuh ialah antara lain dengan jalan operasi dan fisioterapi. Meskipun hasilnya tidak sempurna kembali ke asal, tetapi fungsinya secara kosmetik dapat diperbaiki. Cara lain ialah secara kekaryaan, yaitu memberi lapangan pekerjaan yang sesuai cacat tubuhnya, sehingga dapat berprestasi dan dapat meningkatkan rasa percaya diri, selain itu dapat dilakukan terapi psikologik (kejiwaan).1
2.11 PROGNOSIS Quo ad vitam adalah ad bonam karena MH tidak mengancam nyawa walaupun bersifat kronik dan membutuhkan pengobatan jangka panjang. Quo ad fungsionam adalah dubia ad bonam karena MH juga tidak mengakibatkan gangguan fungsi organ-organ tubuh pada pasien ini, walaupun dapat menyebabkan deformitas pada beberapa kasus yang terlambat mendapatkan pengobatan. Quo ad sanationam pada pasien ini adalah dubia ad bonam karena pasien memiliki pendidikan yang cukup dan mampu memahami pentingnya pengobatan jangka panjang terhadap penyakitnya.
23
BAB III KESIMPULAN Diagnosa pada kusta didasarkan pada diagnostik secara klinis dimana terdapat tiga tanda kardinal yang khas yaitu lesi kulit yang mati rasa (hipopigmentasi atau eritema yang mati rasa atau anestesi), penebalan saraf perifer dan ditemukan M. leprae (bakteriologis positif). Pemeriksaan penunjang dengan pemeriksaan BTA dan menentukan indeks bakteri membantu membedakan jenis kusta yang diderita. Pengobatan lepra disarankan memakai program Multi Drugs Therapy (MDT), yang direkomendasikan oleh WHO sejak 1981. Tujuan dari program MDT adalah mengatasi resistensi dapson yang semakin meningkat, menurunkan angka putus obat (drop-out rate) dan ketidaktaatan penderita. Komplikasi utama yang ditakutkan adalah kecacatan bagian tubuh akibat hilangnya sensitifitas terutama pada kulit. Prognosis penyakit ini dengan adanya obat-obat kombinasi, menjadi lebih baik, dan pengobatannya menjadi lebih sederhana. 24
DAFTAR PUSTAKA 1. A.Kosasih, I Made Wisnu, Emmy Sjamsoe – Dili, Sri Linuwih Menaldi. Kusta. Dalam: Djuanda,Adhi dkk.(ed). Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi Kelima. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2010.h. 73-88. 2. Buxton K.P. ABC of Dermatology, 4th ed (BMJ Books); 2003.p.109-10. 3.
Lewis
S.
Leprosy.
Update
4
Februari
2010.
Diunduh
dari:
http://emedicine.medscape.com/article/1104977-overview#showall, 19 Juni 2016. 4. Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Fritzpatrick’s Dermatology in General Medicine. 6th Edition. Mc Graw Hill; 2008.h. 665-71. 5. World Health Organization. WHO model prescribing information: drug used in leprosy. Diunduh dari: http://apps.who.int/medicinedocs/en/d/Jh2988e/1.html, 19 Juni 2015.
25
View more...
Comments