Referat Jiwa - Delirium
May 22, 2018 | Author: titisetyo | Category: N/A
Short Description
psikiatri delirium...
Description
Delirium : Presentasi, Epidemiologi, Evaluasi Diagnostik. Terapi dan Pencegahan ABSTRAK
Delirium merupakan kelainan neuropsikiatri yang kompleks dengan prevalensi yang tinggi. Delirium ditandai dengan adanya disfungsi atensi, gangguan pada fungsi kognitif yang multiple, perubahan pada psikomotor, gangguan persepsi, gangguan tidur, dan gangguan proses berpikir. Delirium timbul akibat dari intoksikasi, metabolik, infeksi, berbagai etiologi yang bersifat struktural yang mempengaruhi outcomes yang buruk. Patofisiologi delirium sendiri berkaitan dengan kerusakan pada sistem neurotransmitter. Manifestasi klinis dari delirium bersifat umum dan sering bukan merupakan proses gangguan mental primer. Pemeriksaan diagnostik delirium meliputi pemeriksaan fisik langsung, tes fungsi kognitif, pemeriksaan laboratorium untuk infeksi dan gangguan metabolik, riwayat penggunanaan obat sebelumnya, struktural otak dan elektroencephalografi sesuai indikasi. Pengobatan farmakologi dan scanning struktural non-farmakologi talah tercatat tercatat mengurangi angka kejadian keparahan delirium. Antipsikotik merupakan treatment of choice untuk delirium dengan gejala agitasi dan sindrom psikosis. Manajemen delirium dimulai dengan intervensi nonfarmakologi dan pengobatan penyakit yang mendasarinya. Tidak ada pengobatan yang diakui untuk kondisi delirium tekait psikosis dan agitasi, walaupun beberapa obat telah banyak diteliti. Ukuran sampel yang terlalu kecil, kriteria inklusi yang sempit, kontrol placebo yang kurang baik, dan berbagai metodologi yang menyebabkan kesulitan dalam penelitian obat delirium. Beberapa penelitian dan guidline mendukung penggunaan antipsikotik untuk delirium terkait psikosis dan agitasi, dan penggunaan kombinasi antara obat psikotik generasi petama dan kedua. Bukti lain juga menunjukkan antipsikotik dan dexmedetomedine efektif dalam mencegah kejadian delirium pada pasien pasca bedah dan pasien dengan alat bantu napas. Kata kunci : delirium, ensefalopati, gangguan kognitif, agitasi
PENDAHULUAN
Delirium merupakan kelainan neuropsikiatri yang ditandai dengan perubahan tingkat kesadaran, disfungsi atensi, gangguan fungsi kognitif yang meliputi memory, orientasi, dan bahasa, dan perubahan non-kognitif seperti sep erti psikomotor, persepsi, afektif, siklus tidur, dan proses berpikir. Delirium timbul dari berbagai etiologi yang mempengaruhi gejala klinis dan outcome diantaranya infeksi sekunder, gangguan jatuh, tindak kekerasaan, dan menambah lamanya perawatan di rumah sakit, biaya, dan kematian. Walaupun patofisiologi dari delirium belum sepenuhnya dimengerti, sindroma neuropsikiatri menunjukkan gangguan mekanisme kerja sistem neuritransmitter yang selanjutnya meluas ke seluruh jaringan saraf. Pada intinya delirium merupakan gangguan kognitif, sementara kaitannya dengan perubahan neurobahavior dan gejala atau tanda psikiatri adalah pertimbangan yang kedua. Delirium telah banyak dejelaskan dari berbagai literatur sejak dahulu dan telah banyak penamaaan diagnostiknya seperti status konfusional akut, disfungsi otak akut, acute brain failure, sindroma otak organik akut, psikosis ICU, dan metabolik encephalopathy. Terminologi
delirium berasal dari bahasa latin de (artinya menjauh) dan lira (artinya jalur) sehingga dapat diartikan bahwa delirium adalah orang yang menjauh dari jalur yang lurus atau yang sudah digariskan. Istilah encephalopathy sering digunakan dalam kondisi tertentu, atau kondisi klinis yang diiringi dengan kejadian delirium dan memungkinkan kejadian kognitif yang terjadi secara bersamaan antara delirium dan demensia. Sementara dalam perjalanan penyakitnya, antara delirium dan demensia memiliki perbedaan yaitu delirium yang terjadi secara akut dan reversibel sedangkan demensia berjalan secara progresif dan kronis. Penggunaan istilah ini juga bisa untuk kejadian sindroma encephalopathy sub akut dimana disfungsi kognitif kurang dominan dibandingkan dengan gejala neuropsikiatrinya. Menejemen delirium dimulai dengan intervensi non-farmakologi dan pengobatan penyakit yang mendasarinya. Tidak ada pengobatan yang diakui untuk kondisi delirium tekait psikosis dan agitasi, walaupun beberapa obat telah banyak diteliti. Beberapa penelitian dan guidline mendukung penggunaan antipsikotik untuk delirium terkait psikosis dan agitasi, dan
penggunaan kombinasi antara obat psikotik generasi petama dan kedua. Bukti lain juga
menunjukkan antipsikotik dan dexmedetomedine efektif dalam mencegah kejadian delirium pada pasien pasca bedah dan pasien dengan alat bantu napas. Penelitian tentang penanganan delirium dikemas dalam bentuk pencegahan dan pengobatan untuk pasien pembedahan, penyakit yang kritis, dan pasien ICU, yang terdiri dari intervensi non farmakologi dan farmakologi. Namun ukuran sampel yang terlalu kecil, kriteria inklusi yang sempit, kontrol placebo yang kurang baik, dan berbagai metodologi yang menyebabkan kesulitan dalam penelitian penanganan delirium. Beberapa obat telah diteliti dalam penanganan delirium diantaranya antipsikotik, benzodiazepine, cholinesterase inhibitor dan obat pro-cholinergic lainnya, ketamine, dan yang terbaru dexmedetomidine. Guidline dari numerous subspecialty societies dan meta analisis terbaru merekomendasikan haloperidol dan antipsikotik lainnya dalam penanganan delirium. EPIDEMIOLOGI, FAKTOR RISIKO, DAN OUTCOME
Delirium mempunyai prevalensi yang tinggi yaitu berisiko terjadi pada 10 - 15 % pasien bedah umum, 25 – 45 % pasien kanker yang rawat inap, dan 80 – 90 % pada pasien stadium akhir yang melakukan terapi paliatif. Insidensi delirium menjadi lebih tinggi pada pasien yang dirawat di ICU. Lebih dari 80% pasien ICU yang mendapat ventilasi mekanik juga berisiko mengalami delirium. Faktor-faktor yang dapat dimodifikasi penting untuk diidentifikasi lebih lanjut sebagai pencegahan dan manajemen yang tepat pada kasus delirium. Faktor risiko seperti usia tua, gangguan kognitif dasar, riwayat penyakit medis, serta penggunaan obat-obatan dapat memprediksi perkembangan delirium pada seseorang. Pasien bedah, terutama pasien yang akan melakukan total joint replacement dan bypass pada pasien jantung mempunyai risiko yang lebih tinggi untuk mengalami delirium. Selain itu, delirium bersamaan dengan demensia atau gangguan kognitif lainnya lebih resisten terhadap terapi yang diberikan. Delirium mempunyai hubungan yang erat dengan peningkatan biaya kesehatan, penurunan kualitas hidup, lama rawat inap pasien, peningkatan mortalitas, serta gangguan kognitif menetap. Selain itu, kasus delirium di ICU berhubungan dengan peningkatan penggunaan ventilator serta lama rawat inap di ICU dan mengakibatkan peningkatan mortalitas pasien di ICU. Sehingga, semakin lama penegakan diagnosis dan pemberian terapi pada pasien delirium semakin meningkatkan mortalitas pasien di ICU.
GEJALA KLINIS, PEMERIKSAAN, DAN PERJALANAN PENYAKIT
Gejala delirium dapat dijabarkan dalam tiga domain inti diantaranya domain “kognitif”
(orientasi, atensi, memori jangka pendek, memori jangka panjang, dan kemampuan visuospasial), domain “pikiran” (bahasa dan proses pikir), dan domain “sirkardian” (siklus tidur
bangun dan perilaku motorik). Sehingga dapat disimpulkan, definisi delirium adalah gangguan atensi yang sering ditandai dengan penurunan kesadaran atau kemampuan sensorik. Tingkat kesadaran pada pasien delirium dapat bervariasi yaitu antara somnolen hingga sadar dengan gangguan konsentrasi yang ringan. Fungsi atensi yang baik di sini berarti seseorang mampu untuk tetap fokus, mempertahankan, dan mengalihkan konsentrasi atau atensi sesuai dengan lingkungannya. Manifestasi klinis gangguan atensi yang dapat diamati yaitu ketika diberi pertanyaan oleh pemeriksa, pasien tampak kebingungan atau mudah dialihkan konsentrasinya. Jika atensi dan konsentrasi terganggu, maka fungsi kognitif yang lebih kompleks seperti bahasa, orientasi, memori, dan proses pikir juga akan terganggu. Pada kasus delirium yang berat, gangguan atensi dapat menghalangi penatalaksanaan yang adekuat pada domain kognitif yang lainnya. Ketika atensi dan kesadaran berubah, maka kemampuan navigasi pasien delirium pun akan terganggu. Observasi dari kejauhan justru dapat memberikan petunjuk tentang fungsi kognitif pasien. Pasien delirium biasanya berpenampilan acak-acakan, gelisah, dan berbicara dengan suara keras ketika berada di ruangan sendiri. Delirium dapat terjadi selama beberapa jam hingga hari. Pada kasus ensefalopati subakut dapat terjadi selama beberapa hari hingga mingguan. Perubahan kognitif dan perilaku pada delirium bersifat fluktuatif dan sesuai siklus diurnal. Perubahan kemampuan motorik pada delirium dapat dibedakan menjadi dua subtipe yaitu hiperaktif dan hipoaktif. Akan tetapi, perubahan motorik juga bersifat fluktuatif sehingga terkadang pasien hiperaktif kemudian berubah menjadi hipoaktif. Delirium tipe hiperaktif sering terjadi pada pasien yang mengalami intoksikasi obat dan withdrawal . Dari studi yang ada menunjukkan bahwa delirium tipe hiperaktif lebih responsif terhadap pengobatan farmakologi daripada tipe hipoaktif. Gejala psikiatri dan neurobehavioral pada delirium bersifat berubah-ubah/ fluktuatif seperti agitasi, gelisah, ansietas, disforia, apati, withdrawal , halusinasi maupun delusi. Pada
delirium gejala psikiatri yang ada terjadi termasuk fenomena sekunder dan didapatkan fungsi yang abnormal dari otak. Walaupun kasus delirium mempunyai prevalensi yang tinggi serta menyebabkan morbiditas dan mortalitas, delirium sering tidak terdeteksi oleh dokter. Hal ini disebabkan karena perubahan perilaku pada pasien delirium mirip dengan proses psikiatri primer. Delirium tipe hipoaktif sering didiagnosis depresi karena adanya penurunan psikomotor, nafsu makan yang berkurang, dan pasien menjadi senang menyendiri. Sedangkan gelisah dan ansietas pada pasien dengan penyakit medis tertentu dianggap respon psikologi yang normal. Hal ini menyebabkan penegakkan diagnosis dan pemberian tatalaksana tertunda bahkan tidak tepat. Misalnya, pasien justru mendapatkan terapi antidepresan atau benzodiazepine yang bersifat deliriogenik. Halusinasi, ilusi, dan delusi tipe paranoid sering terjadi pada pasien delirium. Sehingga dokter sering salah menginterpretasikan gejala yang ada sebagai gejala psikosis. Maka, halusinasi maupun delusi pada lansia dan pasien dengan penyakit medis tertentu dapat dipertimbangkan sebagai delirium atau demensia hingga dapat dibuktikan diagnosis pastinya. Episode delirium dapat berlangsung lebih lama dari yang diperkirakan. Selain itu, delirium dapat menyebabkan gangguan fungsi kognitif jangka panjang terutama pada pasien yang telah melewati masa kritis dan kasus sepsis ensefalopati.
FAKTOR RESIKO DAN PENYEBAB
Delirium dapat disebabkan oleh banyak hal seperti metabolik, keracunan obat, infeksi, vaskular, trauma, dan keadaan paska bedah. Brain imaging menjadi evaluasi awal pada kasus delirium walaupun mayoritas episode delirium tidak selalu diikuti oleh kelainan struktural. Penyebab struktural delirium biasanya dikabarkan dari riwayat trauma atau pemeriksaan neurologis fokal. Delirium banyak terjadi pada pasien stroke rawat inap dan paling sering akibat dari kelainan metabolik ataupun komplikasi infeksi. Biasanya stroke tidak menjadi penyebab langsung delirium. Mekanisme terjadinya delirium masih belum banyak dipahami. Proses inflamasi yang biasanya teraktivasi pada proses infeksi, metabolik, dan berbagai proses terkait delirium. Beberapa percobaan terhadap hewan dan manusia didapatkan bahwa terdapat perubahan mood, perilaku, dan daya kognitif yang buruk, diperantai oleh mediator inflamasi seperti IL , IL-1, IL-
6, TNF-. Berbagai penyakit-terkait inflamasi sistemik diperkirakan berperan utama dalam berbagai sebab di etiologi delirium. Disfungsi neurotransmitter dilibatkan sebagai patofisiologi dari delirium. Kacaunya fungsi neurotransmiter seperti dopamin dan serotonin, sepertinya menjadi penyebab dalam diagnosis neuroleptic malignant syndome dan sindroma serotonin. Defisiensi gamma amino butyric acid (GABA) dan hiperreaktivitas glutamat dikaitkan dengan terjadinya encephalopahty sedative-hypnotic withdrawl . Sifat anti-kolinergik dari berbagai obat juga berperan dalam
munculnya delirium. Narkotika golongan opioid merangsang terjadinya delirium lewat mekanisme efek anti-kolinergis. Ganguan metabolisme seperti pada metabolisme sodium dan kalsium, hipoalbuminemia, hipoksemia, hiperkapnea, insufisiensi ginjal dan hepar, hiperglikemia dan hipoglikemia, keracunan obat maupun gejala putus obat, infeksi, dan penyakit primer pada sistem syaraf pusat seperti stroke, kejang dan trauma kepala dihubungkan dengan kejadian delirium. Tabel 1. Penyebab delirium Autoimun Acute graft versus host disease Autoimun ensefalopati ( voltage-gated potassium channel, NMDA receptor ) Vaskulitis sistem syaraf pusat Hashimoto’s encephalopathy Systemic lupus erythematosus Jantung Infark myocardial akut Gagal jantung Cerebrovascular Stroke (iskemik, hemoragik) Transient ischemic attack Subarachnoid hemoragik Hypertensive encephalopathy Intoksikasi obat Alkohol Bath salts Cannabinoids (marijuana, synthetic) Gamma-hydroxybutyrate Hallucinogens Opioid Psikostimulan Sedatif-hipnotik (benzodiazepines,
Metabolik Asidosis or alkalosis Anemia Heparic failure Hipercapnea Hipoalbuminemia Hipo- atau hiperkalsemia Hipo- atau hiperglikemia Hipo- atau hiperkalemia Hipo- atau hipermagnesemia Hipo- atau hipernatremia Hipofosfatemia Hipoksemia Uremia Other (carcinoid, porphyria, dll) Neoplasma Carcinomatous meningitis Intraparenchymal brain tumor Lymphomatous meningitis Parenchymal metastasis Paraneoplastic syndrome Infeksi Sistemik Bacteremia Selulitis
barbiturates)
Pneumonia Sepsis Infeksi saluran kemih Trauma kepala Diffuse axonal injury Parenchymal contusion Subdural hematoma Lainnya Radiasi sistem syaraf pusat Disseminated intravascular coagulation, thrombotic thrombocytopenic purpura Malignant hyperthermia, neuroleptic malignant syndrome, serotonin syndrome Tahap post operasi (cardiotomy, joint arthroplasty) Kejang
Dr ug withdrawal
Alkohol Sedatif-hipnotik (benzodiazepines, barbiturates) Endokrin Insufisiensi atau hipereksresi adrenal Hypo- atau hiperthyroid Hypo- atau hyperparathyroid Panhipopituitari Infeksi Intrakranial Abses Ensefalitis (HSV, arboviruses) Human immunodeficiency virus Meningitis (bacterial, viral, fungal) Neurosyphilis
Terapi untuk berbagai kelas, lewat mekanisme yang telah dimengerti maupun belum dimengerti, juga dikaitkan dengan kejadian delirium. Pengobatan dengan antimikroba seperti clerithromycin, fluoroquinolone (ciprofloxacin, penicillin, cephalosporin, dan metronidazole), antikonvulsan (fenitoin, fenobarbital, asam valproat), kortikostroid, obat anti parkinson (amantadine, levodopa), obat jantung (digitalis, lidocain, quinidine, dan beta blocker), berbagai obat anti kanker (5-fluoruracil, methotrexate, procarbazine, vincristine, interferon-, dan ifosfamide). Analgetik opioid dan benzodiazepine menjadi penyebab utama terjadinya delirium pada pasien bedah. Intoksikasi obat akut disebabkan oleh penyalahgunaan obat bisa memicu delirium (drug withdrawl delirium), biasanya berasal dari golongan obat hipnotik sedatif (barbiturat, alkohol
dan benzodiazepine) yang digunakan secara bebas. Mekanisme melalui GABA-nergik sehingga terjadi delirium tremens-like encephalopathy syndrome. Meskipun terdapat laporan kasus delirium terkait penghentian tiba-tiba narkotik opioid (metadon), pada dasarnya agen ini tidak menyebabkan
withdrawl-delirium,
dugaan
opioid
dapat
menyebabkan
delirium
pada
penyalahangunaan opioid dan pasien paska bedah sebenarnya karena pasien memiliki resiko lain dari penyebab delirium itu sendiri.
Tabel 2. Obat-obat penyebab delirium Analgesik Opioid Salisilat Antimikroba Acyclovir, gancyclovir Aminoglycosides Amphotericin B Antimalaria Sefalosporin Ethambutol Interferon Isoniazid Macrolides (clarithromycin) Metronidazole Quinolones (ciprofloxacin) Rifampin Sulfonamides Vancomycin Antikolinergik Antihistamin (H1) Antispasme Atropine dan atropine-like drugs Benztropine Phenothiazines Tricyclics (amitriptyline, doxepin, imipramine) Trihexiphenidyl Antikonvulsan Phenobarbital Phenytoin Asam valproat Anti inflamasi Kortikosteroid Nonsteroidal anti-inflammatory drugs Antineoplasma Asparaginase Dacarbazine Diphosphamide 5-Fluorouracil Methotrexate Procarbazine Vinblastine Vincristine
Antiparkinson Amantadine Bromocriptine Agonis dopamine (ropinirole, pramipexole) Levodopa Obat jantung Beta-blocker Captopril Clonidine Digoksin Lidocaine Methyldopa Procainamide Quinidine Tocainide Sedatif-hipnotic (intoksikasi atau withdrawal) Barbiturates Benzodiazepines Stimulan Amphetamines Epinephrine, phenylephrine Pseudoephedrine Theophylline Lainnya Antihistamines (H2) Baclofen (intoksikasi atau withdrawal) Bromides Disulfiram Ergotamine Lithium Propylthiouracil Quinacrine Timolol (ophthalmic)
Kemudian dibuatlah protokol kegawatdaruratan delirium yang didukung oleh pengobatan empiris pada delirium yang reversibel. Protokol darurat, termasuk tes diagnostik yang tepat,
pemberian oksigen tambahan, dekstrosa intravena, larutan saline intravena, nalokson, dan penargetan thiamin pada masing-masing keadaan hipoksemia, hipoglikemia, hipovolemia, intoksikasi opioid, dan encephalopathy wernicke. Flumazine (benzodiazepine reverse agonist ) kadang diberikan pada pasien dengan dugaan keracunan benzodiazepine, namun laporan mengenai kejang-terinduksi benzodiazepin withdrawl menyebabkan penggunaan agen ini digunakan secara lebih berhati-hati. INTERVENSI NON-FARMAKOLOGIS
Sebuah studi yang dilakukan Inouye et al meneliti protokol multidisiplin dalam suatu intervensi nonfarmakolois untuk menurunkan insidensi, durasi, dan keparahan delirium pada 852 pasien lansia yang masuk ke pelayanan kesehatan umum sebuah rumah sakit akademik.Protokol tersebut terdiri atas intervensi global dan intervensi khusus untuk pasien dengan faktor risiko spesifik. Intervensi tersebut yaitu mobilisasi segera, pengurangan paparan bising dan pengaturan jadwal harian untuk mencegah gangguan tidur, pengenalan dan penatalaksanaan awal dehidrasi, serta bantuan komunikasi untuk pasien dengan gangguan penglihatan dan pendengaran. Indisensi delirium pada kelompok intervensi 40% lebih rendah daripada kelompok kontrol. Durasi delirium pada kelompok intevensi juga lebih rendah secara signifikan pada kelompok intervensi. Zaubler et al mereplikasi hasil ini dan melaporkan penghematan $841,000 dalam 9 bulan pada sebuah setting rumah sakit umum. Protokol ini dipertimbangkan sebagai pelayanan standar dan telah dilaksanakan pada berbagai institusi di berbagai penjuru negara (Amerika Serikat). Intervensi nonfarmakologis yang serupa telah didesain dan diimplementasikan oleh Brown-based Geriatric Medicine Program, dan menjadi dasar dari Close Observation Medical Unit (COMU) serta protokol pelayanan lansia lain di rumah sakit Rhode Island dan rumah sakit Miriam (L. McNicoll, komunikasi personal, Juli 2012). INTERVENSI FARMAKOLOGIS – TERAPI DAN PREVENSI
Overview
Antipsikotik generasi pertama seperti haloperidol merupakan pilihan utama untuk terapi gejala neurobehaviour pada delirium. Obat ini bekerja melalui blokade dopaminergik berdasarkan teori bahwa hiperaktivitas dopaminergik dan defisiensi kolinergik berpengaruh pada onset dan keadaan delirium. Karena itu, inhibitor kolinesterase juga telah dicoba untuk
digunakan, namun menimbulkan outcome yang beragam. Haloperidol memiliki efek samping hemodinamik yang minimal dan merupakan terapi yang paling dianjurkan untuk agitasi terkait delirium. Haloperidol dapat digunakan secara oral, intramuskular (IM), atau intravena (IV), memiliki window terapi yang panjang, dan dapat dititrasi dalam rentang dosis yang luas mulai 0.5 mg sampai 10 mg perjam jika diperlukan, dengan onset kerja antara 30-60 menit untuk rute pemberian IM dan IV. Puncak konsentrasi dalam serum didapatkan setelah 2-6 jam setelah pemberian oral. Terdapat sebuah case report yang melaporkan bahwa pemberian haloperidol 500 mg perhari masih aman dan efektif. Haloperidol yang diberikan secara IM dan IV sangat berguna pada pasien yang tidak kooperatif dan pasien dengan penyakit berat di mana absorpsi gastrointestinal tidak berjalan baik. Beberapa studi melaporkan bahwa pemberian haloperidol berhubungan dengan risiko extrapyramidal symptom (EPS) yang rendah. Data terbaru menunjukkan bahwa selain memiliki aktivitas antidopaminergik, haloperidol juga memperbaiki keadaan delirium dengan mengurangi stres oksidatif dan inflamasi karena bersifat antagonis terhadap interleukin-1 dan memblokade reseptor σ-1. Terdapat beberapa literatur yang mendukung penggunaan antipsikosis generasi kedua dalam terapi agitasi dan psikosis yang terkait delirium. Antipsikosis generasi kedua yang digunakan saat ini adalah risperidone, quetiapine, olanzapine, ziprasidone, dan aripiprazole. Kelebihan antipsikotik generasi kedua dibanding haloperidol adalah risiko EPS yang relatif rendah, yang relevan pada pasien dengan sindroma parkinson seperti demensia Lewy bodies dan Parkinson’s
disease idiopatik. Quetiapin paling sedikit menyebabkan atau mengeksaserbasi EPS dan merupakan pilihan utama terapi agitasi dan psikosis pada pasien parkinson. Tidak seperti haloperidol, tidak ada antipsikosis generasi kedua yang tersedia dalam sediaan IV. Olanzapine, ziprasidone, dan aripiprazole dapat diberikan dalam bentuk IM lepas cepat dan diindikasikan ketika rute oral tidak memungkinkan atau haloperidol dikontraindikasikan. Risperidone dan paliperidone tersedia dalam formulasi IM long-acting yang digunakan dalam terapi psikosis kronis, namun tidak diindikasikan untuk pasien delirium. Food and Drug Association (FDA) mengeluarkan peringatan “black box” pada April 2005 dan Juni 2008 mengenai penggunaan antipsikosis pada lansia. Peringatan ini terkait dengan bukti meningkatnya kejadian serebrovaskular dan mortalitas pada studi tentang terapi antipsikosis jangka panjang pada lansia yang merupakan pasien nursing home. Relevansi hasil penelitian dan
peringatan ini dalam penggunaan antipsikosis jangka pendek pada pasien delirium belum jelas. Karena jumlah pasien delirium dengan komorbid demensia cukup tinggi, maka peringatan ini perlu mendapatkan perhatian ketika menimbang risiko dan keuntungan penggunaan antipsikosis sebagai terapi delirium. Haloperidol dan semua antipsikosis generasi kedua memiliki risiko perpanjangan kompleks QT yang merupakan prediktor utama torsade de pointes (TdP), sebuah disritmia vertrikular maligna. Efek antipsikosis dan agen terapi lain pada perpanjangan QT didokumentasikan pada www.torsades.org. Haloperidol dosis rendah memiliki efek perpanjangan QT yang minimal. Thioridazone, ziprasidone, dan haloperidol IV dosis tinggi memiliki efek perpanjangan QT yang paling signifikan di antara berbagai antipsikosis. Walaupun derajat perpanjangan QT dan risiko absolut TdP dari penggunaan obat ini relatif kecil, sebagian besar guideline memberikan peringatan dalam penggunaan haloperidol IV pada pasien dengan faktor risiko perpanjangan QT atau TdP. Absolute risk TdP atas penggunaan haloperidol IV adalah sekitar 0.27%. Dexmedetomidine merupakan analgesik, anxiolitik, dan agonis α-2 kerja sentral yang
bersifat selektif tinggi dan sedatif, dan telah diteliti penggunaannya pada prevensi delirium dan agitasi terkait delirium pada pasien ICU. Sebuah uji yang membandingkan dexmedetomidine dengan benzodiazepine + opioid pada protokol sedasi ICU telah menunjukkan efikasi, keamanan, dan efek samping yang dapat ditoleransi. Tidak seperti sebagian besar sedatif yang digunakan di ICU, dexmedetomidine tidak menyebabkan depresi napas, namun hipotensi dan bradikardi dapat terjadi pada penggunaan dexmedetomidine dengan infus tetesan cepat. Berbagai studi telah melaporkan penurunan kebutuhan opiat di ICU dan pasien post-operative pada penggunaan sedasi dengan dexmedetomidine. Penurunan penggunaan opioid kemungkinan berkontribusi pada penurunan
insidensi delirium pada
pasien
yang diterapi dengan
dexmedetomidine. Dexmedetomidine juga memiliki aktivitas kolinergik sedang yang tidak terlalu mempengaruhi siklus tidur-bangun. Benzodiazepine berpotensi delirionergik. Kecuali pada kasus alkoholisme dan withdrawal sedatif-hipnotik di mana benzodiazepine merupakan pilihan utama, golongan ini bukan merupakan terapi firt-line pada agitasi terkait delirium. Penggunaan benzodiazepine adjunctive tepat pada kasus toxidromes dan sindroma neuroleptik maligna, atau pada delirium dengan komplikasi katatonia atau EPS berat yang tidak memungkinkan penggunaan antipsikosis.
Di bawah ini akan diringkaskan studi-studi terbaru dengan membedakan pasien bedah umum dengan pasien ICU. Outcome bervariasi di antara studi-studi ini, termasuk insidensi delirium, durasi dan keparahan, lama perawatan di rumah sakit, lama perawatan di ICU, lama penggunaan ventilator, dan kecenderungan untuk perawatan di rumah dibanding fasilitas medis atau institusi lain. Beberapa studi merekomendasikan penggunaan antipsikosis pada terapi psikosis dan agitasi terkait delirium, namun tidak direkomendasika untuk sindroma delirium murni. Studi pada hewan coba membuktikan bahwa mekanisme dopaminergik memainkan peran penting dalam munculnya delirium, baik yang disertai atau tidak disertai dengan agitasi. Beberapa studi melaporkan sejumlah besar pasien delirium non-agitasi dan hipoaktif mengalami distressing psychotic symptom dan gejala ini dapat menyebabkan terjadinya post-traumatic stress disorder
(PTSD)-like syndrome. Observasi ini bertentangan dengan penggunaan dopamine-blocking agent yang luas untuk terapi delirium walau tanpa gangguan perilaku. Tabel 1. Menilai dan Memonitor Risiko Obat yang Menyebabkan Perpanjangan QT Faktor Risiko Perpanjangan QT:
Penyakit jantung berat
Riwayat sindroma kompleks QT yang panjang
Baseline kompleks QT > 450 msec
Hipokalemia
Hipomagnesemia
Penggunaan obat yang menyebabkan perpanjangan QT
Hal
yang
Perlu
Dilakukan
pada
Penggunaan
Obat
yang
Menyebabkan
Perpanjangan QT:
Pemeriksaan elektrokardiogram untuk mengukur baseline interval kompleks QT
Pemeriksaan level potassium dan magnesium plasma
Melakukan koreksi abnormalitas elektrolit
Melakukan review interaksi obat yang menyebabkan perpanjangan QT
Hal yang Perlu Dilakukan Setelah Penggunaan Obat yang Menyebabkan
Perpanjangan QT:
Mengulang pemeriksaan elektrokardiogram pada interval yang teratur (biasanya sekali sehari)
STUDI TERAPEUTIK Praktek umum dan pasien pembedahan
Pada sebuah studi multi kasus menyatakan bahwa obat golongan antipsikosis atipikal (SGA) seperti risperidone, quetiapine, olanzapine, aripiprazoledan ziprasidone, efektif dan aman untuk terapi delirium. Dari suatu uji coba dengan metode Randomized Control Trial (RCT) yang membandingkan antara obat golongan SGA dengan haloperidol pada terapi delirium tidak didapatkan perbedaan signifikan antara keduanya baik dalam hal hasil terapi maupun efek di kemudian hari. Sebuah uji coba dengan metode RCT mengenai perbandingan risperidone dengan haloperidol didapatkan hasil peningkatan sebanding antar kelompok. Pada sebuah review Cochrane 2007 tentang penggunaaan antipsikosis pada terapi delirium termasuk sebuah meta analisis dari haloperidol, olanzapine, risperidon dan placebo, dapat disimpulkan bahwa 1). Haloperidol tidak signifikan menurunkan insidensi delirium dibandingkan dengan placebo, 2). Haloperidol dosis rendah mengurangi tingkat keparahan dan durasi pada pasien delirium post operasi, 3). Haloperidol dosis rendah dan obat golongan SGA mempunyai efikasi dan insidensi EPS yang sama, 4). Haloperidol dosis tinggi berhubungan dengan gejala EPS yang lebih parah. Pasien ICU
Pada studi MIND, yang mengevaluasi pencegahan dan terapi, pada 101 pasien ICU dengan ventilator yang secara acak menerima haloperidol oral, ziprasidone oral, atau placebo selama 14 hari, menurut protokol yang memungkinkan untuk penyesuaian dosis berdasarkan tingkat keparahan delirium, tingkat sedasi dan efek samping. Agen tidak signifikan mengurangi durasi delirium, meskipun kekuatan penelitian tersebut kemungkinan besar lemah dikarenakan jumlah sampel yang sedikit, diikutsertakannya pasien tanpa delirium pada awal penelitian, dan penggunaan haloperidol IV open-label pada seluruh kelompok. Tidak ada p erbedaan durasi koma diantara kelompok-kelompok, ada sebuah kekhawatiran bahwa efek sedasi dari anipsikosis dapat
memperpanjang waktu koma. Munculnya gejala EPS, termasuk akathisia, sebanding pada seluruh kelompok. Gejala dan tanda ekstrapiramidal dinilai dengan pemeriksaan fisik. Akathisia hanya dapat dinilai pada saat pasien tidak koma maupun tidak delirium dan dapat berpartisipasi dalam pemeriksaan. Sebuah studi internasional 2013 menggunakan metode yang sama untuk membandingkan antara penggunaan haloperidol IV dengan placebo untuk pencegahan dan terapi pada pasien dengan ventilator, dan tidak ditemukan perbedaan signifikan antar kelompok dalam hal durasi delirium. Devlin et al mengacak 36 pasien delirium, pasien ICU untuk menerima quetiapine oral atau placebo. Terapi dengan quetiapine berhubungan dengan durasi total delirium yang lebih pendek, waktu yang lebih pendek untuk resolusi pertama delirium, dan waktu yang lebih singkat untuk agitasi dibandingkan dengan placebo. Secara signifikan beberapa efek di kemudian hari dilaporkan pada penggunaan quetiapine, terutama sedasi. Meskipun gejala EPS maupun QTP ditemukan. Pada penelitian pasien ICU dengan ventilator dengan agitasi sekunder berat serta delirium yang secara acak menerima infus kontinu medetomidine atau haloperidol. Obat golongan medetomidine menghabiskan waktu yang lebih banyak dengan gejala minimal atau tanpa gejala delirium, waktu intubasi lebih pendek, dan waktu lebih singkat di ICU. Tiga pasien yang menerima haloperidol tidak dapat diekstubasi dan menjalani trakeostomi, berbeda dengan pasien yang mendapat terapi medetomidine. Haloperidol dihentikan lebih awal pada satu pasien karena QTP. Pada penelitian RCT mengenai penggunaan rivastigmine dibandingkan dengan placebo sebagai terapi tambahan untuk haloperidol pada pasien delirium ICU dihentikan lebih awal karena peningkatan kematian pada penggunaan rivastigmin. Waktu paruh dari delirium, keparahan delirium, lamanya dirawat di ICU, dan dosis kumulatif dari kebutuhan haloperidol, lorazepam dan propofol, semua meningkat pada penggunaan rivastigmin. American College Critical Care Medicine (ACCM) tidak menyarankan penggunaan rivastigmine pada pasien delirium yang dirawat di ICU.
STUDI PENCEGAHAN Praktek Umum dan Pasien Pembedahan
Setidaknya tiga penelitian membahas mengenai penggunaan antipsikosis profilaksis pada pasien pembedahan ortopedi dan gastrointestinal. Pada penelitian Kalisvaart et al mengacak 430 pasien operasi panggul untuk menerima haloperidol oral atau placebo dari masuk sampai hari ketiga post operasi. Insidensi terjadinya delirium diantara dua kelompok tersebut adalah sama, meskipun episode delirium lebih pendek dan tingkat keparahan lebih rendah pada pasien yang menerima haloperidol. Kaneko et al mengacak 78 pasien operasi gastrointestinal untuk menerima haloperidol atau saline normal IV pada hari pertama post operasi hingga hari kelima. Insidensi, tingkat keparahan, dan durasi terjadinya delirium secara signifikan lebih rendah pada pemberian haloperidol. Pada penelitian yang dilakukan Larsen et al, 400 pasien yang menjalani operasi panggul dan lutut diacak dan diberi satu dosis olanzapine atau placebo segera sebelum dan setelah operasi. Insidensi delirium secara signifikan lebih rendah pada olanzapine (14,3% vs 40,2%, p
View more...
Comments