Referat Inflammatory Bowel Disease
April 27, 2017 | Author: Ria Andini | Category: N/A
Short Description
bid, inflammatory bowel disease...
Description
INFLAMMATORY BOWEL DISEASE
REFERAT
Pembimbing :
dr. Femiko Morauli Natalya Sitohang Sp.PD
Penyusun:
Ria Andini Sutopo NIM : 03011250
KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KOTA BEKASI PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI JAKARTA, MARET 2016
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur saya panjatkan kepada Allah Yang Maha Kuasa, karena atas berkat rahmat-Nya saya dapat menyelesaikan presentasi kasus dengan judul “INFLAMMATORY BOWEL DISEASE.” Presentasi ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas dalam kepaniteraan klinik di bagian Ilmu Penyakit Dalam RSUD Kota Bekasi Dalam kesempatan ini saya mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah membantu dalam penyusunan penyelesaian kasus ini, terutama kepada: 1. dr. Femiko Morauli Natalya Sitohang Sp.PD selaku pembimbing dalam kasus ini. 2. Dokter dan staf SMF Ilmu Penyakit Dalam RSUD Kota Bekasi. 3. Rekan-rekan Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam RSUD Kota Bekasi atas bantuan dan dukungannya. Saya menyadari dalam pembuatan referat ini masih banyak terdapat kekurangan, oleh karena itu segala kritik dan saran guna penyempurnaan presentasi kasus ini sangat saya harapkan. Akhir kata, semoga referat ini dapat bermanfaat bagi kita semua, terutama dalam bidang ilmu penyakit dalam.
Jakarta, 1 Maret 2016
Penyusun
1
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING
PERSETUJUAN Referat
Judul: INFLAMMATORY BOWEL DISEASE Nama Koas: Ria Andini Sutopo NIM 030.11.250
Telah disetujui untuk dipresentasikan
Pada Hari
, Tanggal
2016
Pembimbing
dr. Femiko Morauli Natalya Sitohang Sp.PD 2
DAFTAR ISI KATA PENGANTAR……………………………………...…………………
i
LEMBAR PENGESAHAN………………………...……..………………….
ii
DAFTAR ISI…………………………………………………………………..
iii
BAB I
PENDAHULUAN…………………..………………………............ 1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA…………………...……………..………...
3
2.1. Anatomi………….……………………………………………...
3
2.2. Definisi………….....……………………………..…………….. 3 2.3. Epidemiologi…………………………………...……………….
8
2.4. Etiopatogenesis.......................…………….....……….…….…..
9
2.5. Gejala Klinis................................................................................
12
2.6. Diagnosis..................................………….……………………... 17
BAB III
2.7. Penatalaksanaan………………..………………….……………
24
2.8. Komplikasi...........................………………………….…….......
30
2.9. Prognosis....................................................................................
31
KESIMPULAN.................................................................................. 32
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................
34
3
BAB I PENDAHULUAN Infammatory bowel disease (IBD) merupakan gambaran kondisi peradangan saluran cerna kronik dan idiopatik. Secara umum dibagi atas kolitis ulseratif (KU) dan penyakit Crohn (PC).(1,2) Kolitis Ulseratif sebagai proses inflamasi idiopatik yang bersifat kronis dan hilang timbul serta terbatas pada mukosa kolon dan rektum. Proses inflamasi yang terjadi pada Kolitis Ulseratif relatif homogen pada mukosa yang dimulai pada rektum dan melibatkan kolon kearah proksimal.(3) Penyakit Crohn pertama kali dikenal oleh Crohn, Ginzburg, dan Oppenheimer pada tahun 1932. Saat ini, penyakit Crohn diketahui sebagai suatu proses inflamasi kronis transmural yang melibatkan traktus gastrointestinal dari mulut sampai rektum.(3) Kedua tipe IBD ini paling sering didiagnosa pada orang-orang berusia dewasa muda. Insiden paling tinggi dan mencapai puncaknya pada usia 15-30 tahun dan tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan. (4,5) Insidens IBD lebih tinggi dinegara maju dibanding negara berkembang. Di Amerika Serikat diperkirakan 3,5 kasus baru Penyakit Crohn setiap 100.000 populasi/tahun dan 2,3 kasus baru Kolitis Ulseratif pada kelompok usia 10-19 tahun. Secara umum, lebih banyak diderita oleh ras berkulit putih, didaerah urban, akan tetapi laki-laki mempunyai insidens 20% lebih tinggi pada Penyakit Crohn. Pada anak, Penyakit Crohn biasanya dijumpai saat usia 10-16 tahun, dan sekitar 25% kasus baru di populasi berusia 6x /hari
Darah pada feses
Sedikit
Sedang
Berat
Demam
Tidak ada
< 37,5C
> 37,5C
Takikardi
Tidak ada
< 90x /menit
> 90x /menit
Anemia
Ringan
> 75%
1cm
+
+++
Dalam
+
+++
Bentuk linier (longitudinal)
+
+++
Aphtoid
-
++++
Cobblestone appearance (CSA) atau pseudopolyp SIFAT ULKUS Terdapat pada mukosa yang inflamasi Keterlibatan ileum Lesi ulkus bersifat diskrit BENTUK ULKUS
Keterangan: (-) = Tidak ada; (++++) = Sangat diagnostik (karakteristik) Tabel 5. Perbedaan laboratorium, radiologi, dan kolonoskopi IBD (4,19)
26
Gambar 5. Gambaran kolonoskopi pada (a) usus normal, (b) penyakit Crohn dengan gambaran “Cobblestoning”, (c) gambaran pseudopolyps, (d) kolitis ulseratif berat.(25)
2.7. Penatalaksanaan A. TERAPI MEDIKAMENTOSA Mengingat bahwa etiologi dan patogenesis IBD belum jelas, maka pengobatannya lebih ditekankan pada penghambatan kaskade proses inflamasi jika tidak dapat dihilangkan sama sekali.(4) Prinsip tatalaksana medikamentosa pada IBD yaitu: (1) Mengobati kedarangan aktif IBD dengan cepat sampai tercapai remisi; (2) Mencegah radang berulang dengan mempertahankan remisi selama mungkin; (3) Mengobati serta mencegah terjadinya komplikasi.(19) Tidak semua lini kesehatan memiliki fasilitas endoskopi sehingga diperlukan suatu alogaritma penatalaksanaan terutama pada lini kesehatan primer (Gambar 6 dan 7). Tindakan bedah dipertimbangkan pada tahap akhir jika medikamentosa gagal atau jika terjadi komplikasi yang tidak teratasi. (12,26) Pengobatan Umum Dengan dugaan adanya faktor proinflamasi dalam bentuk bakteri intralumen usus dan komponen diet sehari-hari yang dapat mencetuskan proses inflamasi kronik pada kelompok orang yang rentan, maka diusahakan untuk mengeliminasi hal tersebut dengan cara pemberian antibiotik, lavase usus, mengikat produksi bakteri, mengistirahatkan kerja usus, dan perubahan pola diet. (4)
Pemberian antibiotik misalnya metronidazole dosis terbagi 1500 – 3000 mg per hari dikatakan cukup bermanfaat menurunkan derajat aktivitas penyakit, terutama PC. Sedangkan untuk KU, jarang diberi terapi antibiotik.(1)
27
OBAT GOLONGAN ASAM AMINO SALISILAT 5-Aminosalicylic acid (5-ASA) Obat yang sudah lama dipakai dalam pengobatan IBD adalah preparat sulfasazin yang merupakan gabungan sulpiridin dan aminosalisilat dalam ikatan azo. Preparat ini akan dipecah di dalam usus menjadi sulfapiridin dan 5-ASA. Telah diketahui bahwa yang bekerja sebagai agen anti-inflamasi adalah 5-ASA.(4) Terapi utama untuk KU dan PC rungan ke sedang adalah sulfasazine dengan agen 5-ASA lainnya. Agen ini efektif dalam menginduksi remisi pada kedua KU dan PC juga mempertahankan remisi pada KU, namun masih belum jelas apakah dapat mempertahankan remisi pada PC. (11) Baik sulfasalazine maupun 5-ASA mempunyai efektivitas yang relative sama dalam pengobatan IBD, hanya efek samping lebih rendah pada 5-ASA. Hal ini disebabkan telah diketahui bahwa efek samping pada sulfasalazine terletak pada unsur sulfapiridinnya.(4) Sekitar 50-70% pasien dengan KU dan PC ringan sampai sedang membaik ketika diterapi dengan 2 g/hari dari 5-ASA; respon dosis dapat dinaikkan hingga 4,8 g/hari. Dosis 1,5-4 g/hari untuk mempertahankan remisi pada 50-75% pasien KU.(23) OBAT GOLONGAN KORTIKOSTEROID Sampai saat ini obat golongan glukokortikoid merupakan obat pilihan untuk PC semua derajat dan KU derajat sedang dan berat. (4) Pasien dengan keluhan KU sedang sampai berat umumnya mengalami perbaikan setelah mendapatkan terapi glukokortikoid oral maupun parental. Prednisolon biasanya dimulai dari dosis 40-6- mg/hari untuk KU aktif yang tidak berespon terhadap terapi 5-ASA. Sebuah studi melaporkan bahwa oral prednisolone (dimulai dari 40 mg per hari) dapat menginduksi remisi pada 77% dari 118 pasien dengan penyakit ringan sampai sedang dalam 2 minggu, bila dibandingkan 48% diterapi 8gr/hari dari sulfasalazine. Glukokortikoid parental dpat diberikan sebagai hidrokortison intravena, 300mg/hari, atau metilprednisolon 40-60 mg/hari.(11,23)
28
Glikokortikoid tidak memiliki peranan dalam terapi rumatan baik pada KU maupun PC. Sekali sudah terjadi remisi, sebaiknya obat dilakukan tapering dose sesuai dengan aktivitas klinis, normalnya tidak lebih dari 5 mg/minggu. Dapat juga diturunkan sampai 20 mg/hari dalam 4-5 minggu namun sering memerlukan beberapa bulan untuk menghentikan seluruhnya.(11) ANTIBIOTIK Antibiotik tidak memiliki peranan dalam pengobatan KU aktif maupun tenang. Namun, pouchitis yang muncul pada sepertiga pasien KU setelah kolektomi, umumnya respon terhadap pengobatan metronidazole ataupun ciprofloxacin. Metronidazole efektif pada inflamasi aktif, fistula, dan PC perianal dan dapat mencegah kekambuhan setelah reseksi ileum.(11) Dosis paling efektif adalah 15-20 mg/kg/hari dibagi dalam tiga dosis; biasanya dilanjutkan sampai beberapa bulan. Coprofloxacin (500 mg 2x/hari) juga bermanfaat untuk PC inflamasi, perianal, dan fistula. Kedua antibiotic ini sebaiknya digunakan sebagai obat lini pertama pada PC perianal dan fistula,dan sebagai obat lini kedua untuk PC aktif setelah agen 5-ASA.(11) OBAT GOLONGAN IMUNOSUPRESIF Azathioprine dan 6-Mercaptopurine Azathioprine dan 6-Mercaptopurine (6-MP) adalah analog purin yang umumnya
digunakan
dalam
penangan
glucocorticoid-dependent
IBD.
Azathioprine (2-3 mg/kg/hari) atau 6-MP (1-1,5 mg/kg/hari) telah digunakan pada dua per tiga pasien KU dan PC yang sebelumnya tidak dapat menghentikan penggunaan glikokortikoid. Peranan imunomodulator ini sebagai terapi rumatan pada KU dan PC juga sebagai pengobatan aktif perianal dan fistula cukup menjanjikan. Sebagai tambahan, Azathioprine dan 6-MP efektif untuk profilaksis pada pasien post operasi dari PC. (11) Methotrexate
29
Methotrexate
(MTX)
menghambat
dihidrofolat
reduktase,
yang
menghasilkan sintesis DNA terganggu. Dosis 25 mg/minggu intramuscular atau subkutaneus efektif dalam menginduksi remisi dan menurunkan dosis glukokortikoid; 15 mg/minggu efektif dalam remisi rumatan PC aktif. Belum ada uji coba mengenai peranan MTX dalam menginduksi datau mempertahankan remisi pada KU.(11,23) Cyclosporine Cyclosporine (CSA) bekerja lebih cepat bila dibandingkan azathioprine dan 6-MP. CSA paling efektif bila diberikan pad adosis 2-4 mg/kg/hari secara intravena pada KU berat yang tidak dapat disembuhkan dengan glukokortikoid intravena. Oral CSA saja hanya efektif pada dosis yang lebih tinggi (7,5 mg/kg/hari) pada penyakit aktif namun tidak efektif untuk rumatan tanpa azathioprine / 6-MP.(11,23) Antibodi Anti-TNF TNF adalah sitokin inflamasi dan meditor dari inflamasi intestinal. Ekspresi TNF mengikat pada IBD. Pada pasien PC aktif yang tidak sembuh dengan glukokortikoid, 6-MP/ 5-ASA, 65% akan respon terhadap infliximab (INF) dengan dosis 5mg/hari intravena, sepertiga akan mengalami remisi komplit. Dari pasien yang awalnya respon, 40% akan remisi selama 1 tahun dengan pengulangan infus infliximab setiap 8 minggu.(11) INF efektif pada pasien KU dapat mempertahankan remisi setelah 30 dan 54 minggu. INF diberikan pada minggu 0, 2, dan 6 dan selanjutnya setiap 8 minggu.(carter
lobo)
INF juga efektif pada pasien PC dengan fistula perianal dan
enterokutaneus yang tidak sembuh, dengan angka respon 68% dan 50% mengalami remisi komplit. Pemasangan infus kembali, setiap 8 minggu penting untuk melanjutkan manfaat terapi.(11)
30
Gambar 6. Alogaritma rencana terapeutik Kolitis Ulseratif di Pelayanan Kesehatan Lini Pertama.(1)
Gambar 7. Alogaritma rencata terapeutik Penyakit Crohn di Pelayanan Kesehatan Lini Pertama.(1)
B. PEMBEDAHAN
31
Kolitis ulseratif perlu dilakukan operasi yaitu dengan membuang bagian dari kolon dan rektum. Standar prosedur pembedahan untuk kolitis ulseratif yang disebut an ileal pouch anal anastomosis (IPAA). Dalam prosedur tersebut setelah seluruh usus besar dan rektum diangkat, usus kecil dilekatkan pada daerah anus. Kemudian dibuat kantung untuk pembuangan, hal ini untuk memudahkan buang air besar. Namun ada beberapa pasien yang mengalami komplikasi seperti pouchitis (radang kantung). Beberapa pasien membutuhkan ileostomy permanent, dimana dibuatkan kantung ekternal yang melekat pada perut pasien sebagai tempat pembuangan feses.(27) Penyakit Crohn membutuhkan setidaknya pembedahan satu kali selama hidupnya. Sekitar 70% pasien dengan penyakit Crohn memerlukan operasi pembedahan. 30% pasien yang menjalani operasi dapat mengalami kekambuhan dalam jangka waktu tiga tahun dan 60% dapat kambuh dalam jangka waktu sepuluh tahun. Pembedahan dilakukan sesuai dengan tingkat keparahan penyakit dan lokasi penyakit di usus. Pasien dengan penyakit usus kecil memiliki 80% kemungkinan untuk dilakukan pembedahan. Pembedahan dapat menjadi pilihan ketika pengobatan medis telah gagal atau terdapat komplikasi yang mengharuskan tindakan bedah.(11,27) INDIKASI PEMBEDAHAN KOLITIS ULSERATIF PENYAKIT CROHN Penyakit yang sulit disembuhkan Penyakit yang fulminan Megakolon toksik Perforasi kolon Perdarahan masif kolon Penyakit ekstrakolon Obstruksi kolon Pencegahan kanker kolon Displasia kolon atau kanker Prolonged corticosteroid dependent
Usus halus Striktura dan obtruksi yang tidak respon terapi medikamentosa. Perdarahan masif. Fistula yang sulit ditangani. Abses Kolon dan Rektum Penyakit yang sulit disembuhkan. Penyakit fulminan. Penyakit perianal yang tidak respon terapi medikamentosa. Obstruksi kolon. Pencegahan kanker.
32
Displasia kolon atau kanker. Tabel 6. Indikasi pembedahan IBD.(11)
2.8. Komplikasi Dalam perjalanan penyakit ini, dapat terjadi komplikasi: (1) Perforasi usus yang terlibat, (2) Terjadinya stenosis usus akibat proses fibrosis, (3) Megakolon toksik (terutama pada KU), (4) Perdarahan, (5) Degenerasi maligna. Diperkirakan resiko terjadinya kanker pada IBD lebih kurang 13%.(4)
Komplikasi Kolitis Ulseratif dengan gejala berat dapat mengakibatkan diare persisten, pedarahan anus, dan nyeri. Perforasi usus kronis dapat mengakibatkan melemahnya dinding usus.(3) Komplikasi yang mengancam jiwa adalah megakolon toksik dan merupakan kasus kegawatan medis dan kegawatan bedah. Anak dengan megakolon toksik mempunyai risiko tinggi untuk perforasi kolon, sepsis akibat bakteri gram negatif dan perdarahan masif. Selain itu, komplikasi yang dapat terjadi berupa striktur dan keganasan.(11) Inflamasi transmural dari lapisan mukosa hingga serosa merupakan penyebab komplikasi intestinal tersering pada Penyakit Crohn, sehingga terjadi adhesi, striktur, dan abses, yang meningkatkan resiko obstruksi serta pertumbuhan bakteri yang berlebihan dan fistula. Komplikasi lain yang dapat terjadi berupa keganasan, malnutrisi dan gagal tumbuh. Fistula dapat terjadi enterokutan, enteroenteral, enterokolika, perirektal, labial, enterovaginal, dan enterovesikal. (11,20)
2.9. Prognosis Pada dasarnya, penyakit IBD merupakan penyakit yang bersifat remisi dan eksaserbasi. Cukup banyak dilaporkan adanya remisi yang bersifat spontan dan
33
dalam jangka waktu yang lama. Prognosis banyak dipengaruhi oleh ada tidaknya komplikasi atau tingkat respon terhadap pengobatan konservatif.(4) Sebagian besar anak (70%) dengan Kolitis Ulseratif mengalami remisi dalam 3 bulan setelah terapi inisial dan kurang lebih 50% remisi dalam 2 tahun. Koletomi dalam 5 tahun setelah diagnosis terjadi pada 26% kasus derajat berat dibanding 10% kasus derajat ringan. (11) Hanya 1% anak dengan penyakit Crohn tidak mengalami relaps setelah didiagnosis dan terapi inisial. Anak dengan ileokolitis cenderung untuk mengalami respon buruk terhadap terapi medikamentosa. Sekitar 70% anak dengan Penyakit Crohn akan mengalami tindakan bedah dalam 10-20 tahun setelah diagnosis.(22) Selain itu, pada IBD cenderung untuk terjadi keganasan pada kolorektal. Resiko keganasan kolorektal pada penyakit Crohn (kolitis) sama dengan Kolitis Ulseratif. Dalam 8-10 tahun setelah didiagnosis, risiko keganasan kolorektal meningkat 0,5-1% setiap tahun. Dua faktor resiko utama untuk adenokarsinoma adalah lama/durasi colitis (terutama lebih dari 10 tahun) dan luas colitis.(22)
34
BAB III KESIMPULAN
Inflammtory Bowel Disease (IBD) penyakit inflamasi kronis yang melibatkan saluran cerna dengan etiologi pastinya yang belum diketahui jelas, yang dicirikan oleh episode berulang dari nyeri perut, sering kali disertai dengan diare. Secara umum dibagi atas penyakit Crohn (PC), dan kolitis ulseratif (KU) (1,4) Etiologi yang mendasari sampai saat ini belum jelas dan terdapat banyak teori. Teori yang paling popular adalah bahwa system imunitas tubuh pada penderita PC beraksi abnormal terhadap bakteria, makanan, dan substansi lain yang dianggap benda asing. Begitu juga dengan KU, diduga system imun mukosa usus besar yang terpicu oleh intervensi antigen yang berasal dari komponen nutrisi atau agen infeksi.(4,11) PC melibatkan semua lokasi pada traktus digestivus dari mulut sampai anus. Dimana pada gambaran klinis dapat dijumpai nyeri perut baguan bawah kanan dan diare. Berbeda dengan KU yang hanya melibatkan usus besar (kolon) dan rectum, dengan gambaran klinis meliputi adanya lender dan darah saat buang air besar, diare kronis, tenesmus, perut terasa tidak enak serta urgensi.(19)
35
Prinsip tatalaksana medikamentosa pada IBD yaitu: (1) Mengobati kedarangan aktif IBD dengan cepat sampai tercapai remisi; (2) Mencegah radang berulang dengan mempertahankan remisi selama mungkin; (3) Mengobati serta mencegah terjadinya komplikasi.(19) Prognosis banyak dipengaruhi oleh ada tidaknya komplikasi atau tingkat respon terhadap pengobatan konservatif.(4)
DAFTAR PUSTAKA
1. Firmansyah MA. Perkembangan Terkini Diagnosis dan Penatalaksanaan Inflammatory Bowel Disease. CDK-203 2013; 40(4): 247-52. 2. Kuhbacher T, Folsch UR. Practical guidelines for the treatment of inflammatory bowel disease. World J Gastroenterol 2007; 13(8): 1149-55. 3. Crohn’s & Colitis Foundation of America. The Facts about Inflammatory Bowel Diseases 2014. Available at: http://www.ccfa.org/assets/pdfs/updatedibdfactbook.pdf. Accessed on 2016, March 1. 4.
Djojoningrat D. Inflammatory Bowel Disease: Alur Diagnosis dan Pengobatannya di Indonesia. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Edisi Kelima.
5.
Jakarta: Interna Publishing; 2010: 591-7. Loftus EV, Shivashankar R, Tremaine WJ, Harmsen WS, Zinsmeisetes AR. Updates Incidence and Prevalence of Crohn’s Disease and Ulcerative Colitis
36
in Olmsted Country, Minnesota (1970-2011). AGC 2014 Annual Scientic Meeting. October 2014. 6. Bernstein CN, Fried M, Krabshuis JH, Cohen H, Eliakim R, Fedail S, et al. World gastroenterology organization practice guidelines for the diagnosis and management of IBD in 2010. Inflamm Bowel Dis 2010; 16(1): 112-24. 7. Tamboli CP. Current medical therapy for chronic in ammatory bowel disease. Surg Clin N Am 2007; 87: 697-725. 8. Sloane E. Anatomi dan Fisiologi untuk Pemula. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2004: 281-94. 9. Sherwood L. Fisiologi manusia: dari sel ke system, Edisi keenam. Jakarta: EGC; 2012: 641-92. 10. Lilihata G, Syam AF. Inflammatory Bowel Disease. Dalam: Tanto C, Liwang F, Hanifati S, Pradipta EA. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi keempat. Jakarta: Media Aesculapius; 2014: 598-601. 11. Friedman S, Blumberg RS. Inflammatory Bowel Disease. Dalam: Longo DL, Fauci AS, penyunting. Harrison, Gastroentrology and Hepatology. 17 th edition. United States: The McGraw-Hill Companies; 2010; 16: 174-95. 12. Kelompok Studi Infammatory Bowel Disease Indonesia. Konsensus nasional penatalaksanaan infammatory bowel disease (IBD) di Indonesia. Jakarta: Perkumpulan Gastroenterologi Indonesia 2011. 13. Bossuyt X. Serologic markers in in ammatory bowel disease. Clinical Chem 2006;52(2):171-81. 14. Bengston MB, Solberg IC, Aamodt G, Jahnsen J, Moum B, Vatn MH. Relationships between in ammatory bowel disease and perinatal factors: both maternal and paternal disease are related to preterm birth o spring. In amm Bowel Dis 2010; 16(5): 847-55.
37
15. Rowe
WA,
Katz
J.
Inflammatory
bowel
disease.
Available
at:
http://www.medscape.com. Accessed on 2016, March 2. 16. Bartlett AH, Hayashida K, Park PW. Molecular and cellular mechanisms of syndecans in tissue injury and inflammation. Moll Cells 2007;24(2):153-66. 17. Floer M, Gotte M, Wild MK, et al. Enoxaparin improves the course of dextran sodium sufate-induced colitis in syndecan-1-de cient mice. Am J Path. 2010;176(1):146-57. 18. Day R, Ilyas M, Daszak P, Talbot I, Forbes A. Expression of syndecan-1 in inflammatory bowel disease and a possible mechanism of heparin therapy. Dig Dis Sci. 1999;44:2508-15. 19. Julis, Zubir N, Miro S, Tarigan P, et al, Editors. Konsensus Nasional Penatalaksanaan IBD di Indonesia Tahun 2008. 20. Danese S, Fiocchi C, Rutgeerts P. Ulcerative Colitis. The New England J of Medicine 2011; 365: 1713-25. 21. Hanauer SB, Sandborn W. Management of Crohn’s Disease in Adult. The American J of Gastroenterology 2001; 96: 635-43. 22. Hyams J. Inflammatory Bowel Disease. Richard EB, Robert MK, Hal BJ, editors. Nelson Texbook of Pediatrics. Edisi ke-17. Philadelphia: Saunders; 2004: 1248-1255 23. Carter MJ, Lobo AJ, Travis SP. Guidelines for the management of inflammatory bowel disease in adults. Gut 2004; 53 (Suppl V): v1-v16. 24. Lashner BA. Colitis Ulcerative. In: Koch TR, editor. Colonic Disease. Humana Press 2003; 2003: 479-90. 25. Crohn’s & Colitis Foundation of America. Inflammatory Bowel Disease and Irritable Bowel Syndrome Similarities and Differences. Available at:
38
http://www.ccfa.org/assets/pdfs/ibd-and-irritable-bowel.pdf.
Accessed
on
2016, March 1. 26. Tamboli CP. Current medical therapy for chronic inflammatory bowel disease. Surg Clin N Am 2007; 87: 697 – 725. 27.
Sachar DB. The problem of post-operative recurrence of Crohn’s disease.
Med Clin North Am. 1990;74:183-188.
39
View more...
Comments