Referat Gerd

November 18, 2017 | Author: elisa | Category: N/A
Share Embed Donate


Short Description

GERD...

Description

REFERAT

GASTROESOPHAGEAL REFLUX DISEASE (GERD)

Disusun Oleh: Elisa Novianti 030.11.085

PEMBIMBING dr. SYAIFUN NIAM, Sp. PD

KEPANITERAAN KLINIK SMF PENYAKIT DALAM RUMAH SAKIT UMUM DAERAH SEMARANG PERIODE 1 FEBRUARI 2016 – 9 APRIL 2016 FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI SEMARANG

LEMBAR PENGESAHAN

Telah diterima dan disahkan, referat ILMU KESEHATAN PENYAKIT DALAM yang berjudul

GASTROESOPHAGEAL REFLUX DISEASE (GERD)

Yang disusun oleh : Nama : Elisa Novianti NIM : 030.11.085 Sebagai salah satu syarat kelulusan Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Penyakit Dalam Periode 1 Februari 2016 - 9 April 2016

Jakarta, Maret 2016 Tertanda,

Dr. Syaifun Niam, Sp. PD

DAFTAR ISI LEMBAR PENGESAHAN........................................................................................ii DAFTAR ISI...............................................................................................................iii BAB I PENDAHULUAN...........................................................................................1 BAB II PEMBAHASAN............................................................................................2 2.1. 2.2. 2.3. 2.4. 2.5. 2.6. 2.7. 2.8. 2.9.

Definisi.........................................................................................................2 Epidemiologi................................................................................................2 Etiologi.........................................................................................................2 Anatomi dan Fisiologi .........................................................3 Patosiologi....................................................................................................7 Tipe-tipe ............................................................................................9 Manifestasi Klinis.......................................................................................11 Diagnosis.....................................................................................................12 Diagnosis Banding......................................................................................16

2.10. Tatalaksana.................................................................................................17 2.11. Prognosis....................................................................................................22 BAB III KESIMPULAN..........................................................................................23 DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................

BAB I Gastroesophageal Reflux Disease (GERD) atau penyakit refluks esophagus (PGRE) merupakan suatu keadaan dimana terjadinya refluks isi lambung ke dalam esofagus dengan akibat menimbulkan gejala klinik, Refluks dapat terjadi dalam keadaan normal yang biasanya berhubungan dengan kondisi tertentu, seperti posisi berbaring setelah makan, pada saat muntah. Bila terjadi refluks, esofagus akan segera berkontraksi untuk membersihkan lumen dari refluksat tersebut sehingga tidak terjadi suatu kontak yang lama antara refluksat dan mukosa esofagus.1,2 Penyakit ini frekuensinya cukup tinggi di negara maju. Di Indonesia sendiri kasus GERD ini belum ada data epidemiologinya, namun kasus Penyakit ini seringkali tidak terdiagnosis sebelum menimbulkan keluhan yang berat. 3,4 Penyebab GERD pada populasi ras kulit putih lebih tinggi dibanding dengan ras yang lainnya dan dari segi geografis dijumpai bervariasi antar negara dan benua, di benua Afrika dan Asia prevalensinya sangat rendah sedangkan di Amerika utara dan Eropa rasionya tinggi. Peluang pada pria dan wanita yaitu dengan rasio laki-laki dan wanita untuk terjadinya GERD adalah 2:1 sampai 3:15,6 Di Amerika serikat, dijumpai simptom heart burn pada individu dewasa muda terjadi 14% setiap minggunya, sedangkan di Jepang dan Philipina adalah 7,2% dan 7,1%. Di negara barat sekitar 20-40% setiap individu pernah mengalami simptom heart burn yang berkembang menjadi: esofagitis 25-25%, 12% jadi Barret’s esofagus dan 46% adenokarsinoma. Sedangkan laporan kekerapan di Indonesia sampai saat ini masih rendah, hal ini diduga karena kurangnya perhatian kita terhadap penyakit ini pada tahap awal proses diagnosis.5,6

BAB II 2.1.

Definisi Penyakit refluks gastroesofageal (Gastroesofageal refluks disease / GERD ) adalah suatu keadaan patologis sebagai akibat refluks kandungan lambung ke dalam esofagus, dengan berbagai gejala yang timbul akibat keterlibatan esofagus, faring, laring dan saluran nafas.4,7 Refluks gastroesofageal adalah fenomena biasa yang dapat timbul pada setiap orang sewaktu-waktu, pada orang normal refluks ini terjadi pada posisi tegak sewaktu habis makan, karena sikap posisi tegak tadi dibantu oleh adanya kontraksi peristaltik primer, isi lambung yang mengalir ke esofagus segera kembali ke lambung, refluks sejenak ini tidak merusak mukosa esofagus dan tidak menimbulkan keluhan. Keadaan ini dikatakan patologis bila refluks terjadi berulang-ulang dan dalam waktu yang lama. 8

2.2.

Epidemiologi Penyakit ini umumnya ditemukan pada populasi negara–negara barat, namun dilaporkan relatif rendah insidennya di negara Asia - Afrika. Di amerika di laporkan satu dari lima orang dewasa mengalami gejala heartburn atau regurgutasi sekali dalam seminggu serta lebih dari 40 % mengalaminya sekali dalam sebulan. Prevalensi esofagitis di amerika sekitar 7%, sementara negara non-western prevalensinya lebih rendah (1,5% di China dan 2,7% di Korea). Sementara di Indonesia belum ada data epidemiologinya mengenai penyakit ini, namun di Divisi Gastroenterologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUIRSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta didapatkan kasus esofagitis sebanyak 22,8% dari semua pasien yang menjalani pemeriksaan endoskopi atas indikasi dyspepsia.4 GERD dapat diderita oleh laki-laki dan perempuan. Rasio laki-laki dan wanita untuk terjadinya GERD adalah 2:1 sampai 3:1 (4). GERD pada negara berkembang sangat dipengaruhi oleh usia, usia dewasa antara 60-70 tahun merupakan usia yang seringkali mengalami GERD. 4,9

2.3.

Anatomi dan Fisiologi a. Faring Faring atau pharynx berasal dari bahasa yunani yang berarti tenggorok. Faring digunakan sebagai saluran alat pernafasan. Pada manusia faring juga

digunakan sebagai alat artikulasi bunyi. Berdasarkan letaknya faring dibagi menjadi Nasofaring, Orofaring dan Laringofaring. Fungsi faring yang utama adalah untuk respirasi, pada waktu menelan, resonansi suara dan artikulasi. Dan yang bagian faring yang digunakan saat menelan adalah orofaring dan laringofaring.

b. Esophagus Esofagus atau kerongkongan adalah tabung (tube) berotot pada vertebrata yang dilalui sewaktu makanan mengalir dari bagian mulut ke dalam lambung. Makanan berjalan melalui esofagus dengan menggunakan proses peristaltik. Esofagus bertemu dengan faring – yang menghubungkan esofagus dengan rongga mulut pada ruas ke-6 tulang belakang. Menurut histologi, esofagus dibagi menjadi tiga bagian: bagian superior (sebagian besar adalah otot rangka), bagian tengah (campuran otot rangka dan otot halus), serta bagian inferior (terutama terdiri dari otot halus). Esofagus merupakan suatu organ berongga dengan panajang sekitar 25 cm dan diameter 2 cm. Terbentang dari hipofaring atao laringofaring hingga bagian kardia dari lambung. Esofagus terletak posterior dari trakea dan jantung,

anterior

terhadap

vertebrae.

Esofagus

menghantarkan bahan makanan dari faring ke lambung.

terutama

befungsi

Pada Esofagus terdapat beberapa tempat penyempitan yang dapat dilihat pada saat dilakukan esofagoskopi. Penyempitan di bagian proksimal disebabkan oleh otot krikofaring dan kartilago krikoid. Diameter transversal 23 milimeter dan antero-posterior 17 milimeter.3 Penyempitan kedua adalah pada sebelah kiri setinggi arkus aorta yang mentilang esofagus. Didaerah ini dapat terlihat pulsasi aorta saat di lakukan esofagoskopi. Penyempitan ketiga adalah pada dinding anterior kiri yang disebabkan oleh penekanan bronkus kiri. Dan penyempitan keempat adalah pada saat esofagus menembus diafragma.3 Pada kedua ujung esofagus terdapat sfingter. Dalam keadaan normal berada dalam keadaan tonik atau kontraksi kecuali pada saat menelan. SEB (Sfingter esofagus bawah) berfungsi sebagai sawar terhadap refluks isi

lambung ke esofagus. Dalam keadaan normal SEB menutup kecuali bila makanan masuk ke dalam lambung atau waktu bersendawa atau muntah. Dinding esofagus terdiri dari 4 lapisan, mukosa, submukosa, muskularis dan lapisan luar. Mukosa esofagus terbentuk dari epitel berlapis gepeng bertingkat yang berlanjut ke faring, epitel ini mengalami perubahan pada perbatasan esofagus dan lambung dan menjadi epitel selapis toraks. Mukosa esofagus dalam keadaan normal bersifat alkalis dan tidak tahan terhadap isi lambung yang asam. Lapisan submukosa mengandung sel sekretorius yang mengandung mukus. Mukus ini mempermudah jalannya makanan sewaktu menelan dan melindungi mukosa dari cedera kimia. Lapisan otot luar tersusun longitudinal dan lapisan dalam tersusun sirkular. Otot pada 5 % bagian atas esofagus merupakan otot rangka sedangkan pada separuh bagian bawahnya merupakan otot polos. Dan diantaranya campuran otot polos dan otot rangka. Bagian luar esofagus tidak memiliki lapisan serosa, melainkan terdiri dari lapisan jaringan ikat jarang yang menghubungkan esofagus dengan struktur yang berdekatan. Tidak adanya serosa menyebabkan penyebaran sel tumor lebih cepat. Persyarafan esofagus dilakukan oleh saraf simpatis dan parasimpatis. Serabut simpatis dibawa oleh n.vagus yang merupakan saraf motorik esofagus. Fungsi serabut simpatis kurang diketahui. Selain persarafn ekstrinsik tersebut, terdapat serabut saraf intramural intrinsik diantara lapisan otot sirkular dan otot longitudinal (pleksus auerbach) yang berfungsi sebagai mengatur peristaltik normal esofagus. Bagian atas esofagus diperdarahi oleh cabang A. tiroidea inferior dan A. subklavia. Bagian tengah dipendarahai oleh cabang segmental aorta dan A. Bronchiale, sedangkan bagian subdiafragma disuplai oleh A. Gastrica sinistra. Vena esofagus daerah leher mengalirkan darah ke v. azygos dan hemiazygos dan dibawah diafragma V. esofagika ke dalam V. gastrika sinistra.

c. Menelan Terdapat tiga fase dalam menelan yaitu fase oral, fase faringeal, dan fase esofageal. Pada fase oral, bolus makanan dari mulut menuju ke faring. Gerakan disini disengaja atau volunter. Fase faringeal yaitu pada waktu transport bolus makanan melalui faring. Gerakan disini tidak disengaja, yaitu pada waktu bolus makanan bergerak secara peristaltik di esofagus menuju lambung atau fase esofageal.



Fase Oral Fase oral terjadi secara sadar. Makanan yang telah dikunyah dan

bercampur dengan yang telah dikunyah membentuk bolus makanan. Bolus ini

bergerak dari rongga mulut melalui dorsum lidah, terletak di tengah lidah akibat kontraksi otot intrinsik lidah.7 Kontraksi dari m.levator veli palatini mengakibatkan rongga pada lekukan dorsum lidah diperluas, palatum mole terangkat dan bagian atas dinding posterior faring ternagkat pula. Bolus terdorong ke posterior karena lidah terangkat keatas. Berasamaan dengan ini terjadi penutupannasofaring sebagai akibat dari kontraksi m.levator veli palatini. Selanjutnya terjadi kontraksi m.palatofaring, sehingga bolus makanan tidak akan berbalik ke rongga mulut. 

Fase Faringeal Fase ini terjadi secara refleks pada akhir fase oral, yaitu perpidahan

bolus makanan dari faring ke esofagus. Faring dan laring bergerak keatas oleh kontraksi m.stilofaring, m.salfingofaring, m.tirohioid, dan m.palatofaring. Aditus laring tertutup oleh epiglotis, sedangkan ketiga sfingter laring, yaitu plika ariepiglotika, plika ventrikularis dan pika vokalis tertutup karena kontraksi dari m.ariepiglotika dan m.aritenoid obliquus. Bersamaan dengan ini terjadi juga penghentian udara ke laring karena refleks yang menghambat pernapasan, sehingga bolus makanan tidak akan sampai masuk ke dalam saluran nafas. Selanjutnya bolus makanan akan meluncur ke arah eofagus, karena valekula dan sinus piriformis sudah dalam keadaan lurus.7 

Fase Esofageal Dalam keadaan istirahat introitus esofagus tertutup, namun dengan

adanya rangsangan bolus makanan pada akhir fase faringeal, maka terjadi relaksasi m.krikofaring, sehingga introitus esofagus terbuka dan bolus makanan bisa masuk.7 Setelah bolus lewat, maka SEA akan berkontraksi lebih kuat melebihi tonus introitus esofagus saat istirtahat, sehingga makanan tidak akan kembali ke faring. Dengan demikian refluks dapat dihindari.7

Gerak bolus makanan di esofagus bagian atas masih dipengaruhi oleh kontraksi m.konstriktor faring inferior pada akhir fase faringeal. Selanjutnya bolus makanan akan didorong ke distal oleh peristaltik esofagus.7 Dalam keadaan istirahat sfingter esofagus bagian bawah selalu tertutup dengan tekanan rata2 8 mmHg lebih dri tekanan dalam lambung sehingga tidak akan terjadi regurgitasi. Pada akhir fase esofageal, SEB ini akan terbuka secara refleks ketika dimulainya peristaltik esofagus servikal untuk mendorong makanan ke distal. Selanjutnya setelah bolus makanan lewat, maka sfingter ini akan menutup kembali.7

2.4.

Etiologi Refluks gastroesofageal terjadi sebagai konsekuensi berbagai kelainan fisiologi dan anatomi yang berperan dalam mekanisme antirefluks di lambung dan esofagus. Mekanisme patofisiologis meliputi relaksasi transien dan tonus Lower Esophageal Sphincter (LES) yang menurun, gangguan clearance esofagus, resistensi mukosa yang menurun dan jenis reluksat dari lambung dan duodenum, baik asam lambung maupun bahan-bahan agresif lain seperti pepsin, tripsin, dan cairan empedu serta faktor-faktor pengosongan lambung. Asam lambung merupakan salah satu faktor utama etiologi penyakit refluks esofageal, kontak asam lambung yang lama dapat mengakibatkan kematian sel, nekrosis, dan kerusakan mukosa pada pasien GERD. Ada 4 faktor penting yang memegang peran untuk terjadinya GERD 5: 1. Rintangan Anti-refluks (Anti Refluks Barrier) Kontraksi tonus Lower Esofageal Sphincter (LES) memegang peranan penting untuk mencegah terjadinya GERD, tekanan LES < 6 mmHg hampir selalu disertai GERD yang cukup berarti, namun refluks bisa saja terjadi pada tekanan LES yang normal, ini dinamakan inappropriate atau transient sphincter relaxation, yaitu pengendoran sfingter yang terjadi di luar proses menelan. Akhir-akhir ini dikemukakan bahwa radang kardia oleh infeksi kuman Helicobacter pylori mempengaruhi faal LES denagn akibat memperberat

keadaan.Faktor

hormonal,

menyebabkan turunnya tonus LES.5

makanan

berlemak,

juga

2. Mekanisme pembersihan esofagus Pada keadaan normal bersih diri esofagus terdiri dari 4 macam mekanisme, yaitu gaya gravitasi, peristaltik, salivasi dan pembentukan bikarbonat intrinsik oleh esofagus. Proses membersihkan esofagus dari asam (esophageal acid clearance) ini sesungguhnya berlangsung dalam 2 tahap. Mula-mula peristaltik esofagus primer yang timbul pada waktu menelan dengan cepat mengosongkan isi esofagus, kemudian air liur yang alkalis dan dibentuk sebanyak 0,5 mL/menit serta bikarbonat yang dibentuk oleh mukosa esofagus sendiri, menetralisasi asam yang masih tersisa. Sebagian besar asam yang masuk esofagus akan turun kembali ke lambung oleh karena gaya gravitasi dan peristaltik. Refluks yang terjadi pada malam hari waktu tidur paling merugikan oleh karena dalam posisi tidur gaya gravitasi tidak membantu, salivasi dan proses menelan boleh dikatakan terhenti dan oleh karena itu peristaltik primer dan saliva tidak berfungsi untuk proses pembersihan asam di esofagus. Selanjutnya kehadiran hernia hiatal juga menggangu proses pembersihan tersebut.5 3. Daya perusak bahan refluks Asam pepsin dan mungkin juga empedu yang ada dalam cairan refluks mempunyai daya perusak terhadap mukosa esofagus. Beberapa jenis makanan tertentu seperti air jeruk nipis, tomat dan kopi menambah keluhan pada pasien GERD.5 4. Isi lambung dan pengosongannya Reluks gastroesofagus lebih sering terjadi sewaktu habis makan dari pada keadaan puasa, oleh karena isi lambung merupakan faktor penentu terjadinya refluks. Lebih banyak isi lambung lebih sering terjadi refluks. Selanjutnya

pengosongan

lambung

yang

lamban

akan

menambah

kemungkinan refluks tadi.5 Penyakit refluks gastroesofageal bersifat multifaktorial. Esofagitis dapat terjadi sebagai akibat dari refluks gastroesofageal apabila1: 1. Terjadi kontak dalam waktu yang cukup lama antara bahan refluksat dengan mukosa esofagus

2. Terjadi penurunan resistensi jaringan mukosa esofagus, walaupun waktu kontak antara bahan refluksat dengan esofagus tidak lama. 2.5.

Patofisiologi Penyakit GERD bersifat multifactorial.3,4 GERD dapat merupakan gangguan fungsional (90%) dan gangguan struktural (10%).7 Gangguan fungsional lebih pada disfungsi SEB dan gangguan struktural pada kerusakan mukosa esophagus. 7 Esofagitis dapat terjadi sebagai akibat dari GERD apabila terjadi kontak yang cukup lama dengan bahan yang refluksat dengan mukosa esofagus. Selain itu juga akibat dari resistensi yang menurun pada jaringan mukosa esofagus walaupun kontak dengan refluksat tidak terlalu lama.4 Selain itu penurunan tekanan otot sfingter esofagus bawah oleh karena coklat, obat-obatan, kehamilan dan alkohol juga ditengarai sebagai penyebab terjadinya refluks.3 Esofagus dan gaster terpisah oleh suatu zona tekanan tinggi yang dihasilkan oleh kontraksi Sfingter esofagus bawah. Pada orang normal, pemisah ini akan dipertahankan, kecuali pada saat terjadinya aliran antergrard (menelan) atau retrogard (muntah atau sendawa).4 Aliran balik gaster ke esofagus hanya terjadi bila terdapat hipotoni atau atoni sfingter esofagus bawah.3,4 Beberapa keadaan seperti obesitas dan pengosongan lambung yang terlambat dapat menyebabkan hipotoni pada sfingter esofagus bawah.3 Tonus SEB dikatakan rendah bila berada pada < 3 mmHg. 4 Sedangkan pada orang normal 25-35 mmHg.7 Episode refluks bervariasi tergantung kandungan isinya, volume, lamanya, dan hubungannya dengan makan. Pada proses terjadinya refluks, sfingter esofagus bawah dalam keadaan relaksasi atau melemah oleh peningkatan tekanan intraabdominal atau sebab lainnya sehingga terbentuk rongga diantara esofagus dan lambung. Isi lambung mengalir atau terdorong kuat ke dalam esofagus. Jika isi lambung mencapai esofagus bagian proksimal dan sfingter esofagus atas berkontraksi, maka isi lambung tersebut tetap berada di esofagus dan peristaltik akan mengembalikannya ke dalam lambung. Jika sfingter esofagus atas relaksasi sebagai respon terhadap distensi esofagus maka isi lambung akan masuk ke faring, laring, mulut atau nasofaring.3 Refluks yang terjadi pada pasien penderita GERD melalui 3 mekanisme.4 1. Refluks spontan pada saat relaksasi SEB yang tidak adekuat,

2. Aliran retrogard yang mendahului kembalinya tonus SEB setelah menelan, 3. Meningkatnya tekanan intraabdomen. Dengan begitu dapat diakatakan bahwa patogenesis terjadinya refluks menyangkut keseimbangan antara faktor defensif dari esofagus dan faktor ofensif dari bahan refluksat.4 Yang termasuk faktor defensif dari refluks adalah:

Pemisah antirefluks. Pemeran terbesar pemisah antirefluks adalah tonus dari SEB. Meurunnya tonus SEB dapat menyebabkan timbulnya refluks retrogard pada saat terjadi peningkatan tekanan intraabdomen.4 Sebagian besar pasien GERD ternyata memiliki tonus SEB yang normal. Yang dapat menurunkan tonus SEB antara lain :3,4 1. Adanya hiatus hernia 2. Panjang SEB. Semakin pendek semakin rendah tonusnya. 3. Obat-obatan seperti antikolinergik, beta adrenergik, theofilin, opiat dan lain-lain. 4. Kehamilan.

Karena

terjadi

peningkatan

progesteron

yang

dapat

menurunkan tonus SEB 5. Makanan berlemak dan alkohol. Dengan berkembangnya teknik pemeriksaan manometri, tampak bahwa pada kasus GERD dengan tonus normal pada SEB lebih banyak disebabkan oleh terjadinya transient LES relaxation (TLESR), yaitu relaksasi SEB yang bersifat spontan dan berlangsung kurang lebih 5 detik tanpa didahului proses menelan. Belum jelas diketahui bagaimana mekanisme terjadinya TLESR. Tetapi pada beberapa individu diketahui adanya kaitan dengan keterlambatan pengosongan lambung dan dilatasi lambung.3,4

Peranan Hiatus hernia pada patogenesis GERD masih kontroversi, karena banyak pasien GERD yang pada endoskopik didapatkan hiatus hernia tidak menampakan gejala GERD yang signifikan. Hiatus hernia dapat memperpanjang waktu yang dibutuhkan untuk bersihan asam dari esofagus serta menurunkan tonus SEB.4 Bersihan asam dari lumen esofagus Faktor yang berperan pada bersihan asam dari esofagus adalah gravitasi, peristaltik, eksresi air liur dan bikarbonat. Setelah terjadi refluks, sebagian besar bahan refluksat akan kembali ke lambung dengan dorongan peristaltik yang dirangsang oleh proses menelan. Sisanya akan dinetralisir oleh bikarbonat yang disekresi oleh kelenjar saliva dan kelenjar esofagus4 Mekanisme bersihan asam ini sangat penting sebab, semakin lama waktu bersihan maka semakin lama kontak mukosa lambung dengan refluksat, dan makin besar pula kemungkinan terjadinya esofagitis. Pada sebagian pasien GERD memiliki waktu transit refluksat yang normal, sehingga penyebab terjadinya refluks adalah peristaltik esofagus yang minimal4 Refluks pada malam hari lebih berpotensi meimbulkan kerusakan pada esofagus, karena selama tidur sebagian besar mekanisme bersihan esofagus tidak aktif4 Ketahanan Epitelial Esofagus. Berbeda dengan lambung dan duodenum, esofagus tidak memiliki lapisan mukus untuk melindungi mukosa esofagus4

Mekanisme ketahanan epitelial esofagus terdiri dari4 : 1. Membran sel 2. Intraseluler junction yang membatasi difusi H+ ke jaringan esofagus. 3. Aliran darah esofagus yang menyuplai nutrisi, oksigen dan bikarbonat, serta mengeluarkan ion H+ dan CO2 4. Sel-sel esofagus mempunyai kemampuan untuk mentransport ion H + dan Cl- intrasel dengan Na+ dan bikarbonat ekstrasel. Nikotin dari rokok menyebabkan transport ion Na+ melalui epitel esofagus. Sedangkan alkohol dan aspirin meningkatkan permeabilitas epitel terhadap ion H. Yang dimaksud dengan faktor ofensif adalah potensi daya rusak refluksat. Kandungan lambung yang juga ikut berpengaruh dalam kerusakan mukosa gaster (menambah daya rusak refluksat) antar lain HCl, pepsin, garam empedu, enzim pancreas.4 Faktor ofensif dari bahan refluksat bergantung pada bahan yang dikandungnya. Derajat kerusakan mukosa esofagus makin meningkat pada Ph < 2, atau adanya pepsin dan garam empedu. Namun efek asam menjadi yang paling memiliki daya rusak tinggi.4 Faktor lain yang ikut berperan dalam timbulnya gejala GERD adalah kelainan lambung yang meningkatkan terjadinya refluks fisiologis, antara lain : dialatasi lambung atau obstruksi gastric outlet dan lambatnya pengosongan lambung. Sedangkan peranan Helicobacter pylori dalam patogenesis GERD relatif kecil dan tidak banyak didukung oleh data yang. 4 Lambatnya pengosongan lambung ditengarai juga menjadi penyebab GERD. Pada kondisi pengosongan lambung yang lambat, maka isi dari lambungpun juga banyak. Hal ini berakibat meningkatnya tekanan intragaster. Tekanan intragaster yang meningkat ini akan berlawanan dengan kerja dari SEB. Pada keadaan ini, biasanya SEB akan kalah oleh tekanan intragaster dan terjadilah refluks.9

Peran Sfingter Atas Esofagus SEA merupakan pertahanan akhir untuk mencegah refluksat masuk ke larinofaring. Studi menyatakan bahwa tonus SEA yang meninggi sebagai reaksi terhadap refluksat menimbulkan distensi pada esofagus. Relaksasi pada SEA menyebabkan terjadinya pajanan asam ke faring atau laring.10 Patofisiologi Refluks Ekstraesofagus(7) Dua mekanisme dianggap sebagai penyebab Refluks ekstraesofagus. Mekanisme tersebut antara lain. 1. Kontak langsung refluksat (asam lambung dan pepsin) ke esofagus proximal dan SEA yang berlanjut dengan kerusakan mukosa faring, laring dan paru. 2. Pajanan esofagus

distal

akan

merangsang

vagal

refleks

yang

menyebabakan spasme bonkus, batuk, sering meludah dan menyebabkan inflamasi pada faring dan laring. 2.6.

Manifestasi Klinik Heart burn merupakan gejala khas dari GERD yang paling sering dikeluhkan oleh penderita

5,11

Heart burn adalah sensasi nyeri esofagus yang

sifatnya panas membakar atau mengiris dan umumnya timbul dibelakang bawah ujung sternum. Penjalarannya umunya keatas hingga kerahang bawah dan ke epigastrium, punggung belakang bahkan kelengan kiri yang menyerupai pada angina pektoris. Timbulnya keluhan ini akibat ransangan kemoreseptor pada mukosa. Rasa terbakar tersebut disertai dengan sendawa, mulut terasa masam dan pahit dan merasa cepat kenyang. Keluhan heart burn dapat diperburuk oleh posisi membungkuk kedepan berbaring terlentang dan berbaring setelah makan. Keadaan ini dapat ditanggulangi terutama dengan pemberian antasida.7

Refluks yang sangat kuat dapat memunculkan regurgitasi yang berupa bahan yang terkandung dari esofagus dan lambung yang sampai kerongga mulut. Bahan regurgitasi yang terasa asam atau sengit dimulut merupakan gambaran sudah terjadinya GERD yang berat dan dihubungkan dengan inkompetensi sfingter bagian atas dan LES. Regurgitasi dapat mengakibatkan aspirasi laringeal, batuk yang terus-menerus, keadaan tercekik waktu bangun dari tidur dan aspirasi pneumoni. Peningkatan tekanan intraabdomal yang timbul karena posisi membungkuk, cekukan dan bergerak cepat dapat memprovokasi terjadinya regurgitasi.7 Regurgitasi yang berat dapat dihubungkan dengan gejala-gejala berupa serangan tercekik, batuk kering, mengi, suara serak,mulut rasa bauk pada pagi hari, sesak nafas, karies gigi dan aspirasi hidung. Beberapa pasien mengeluh sering terbangun dari tidur karena rasa tercekik, batuk yang kuat tapi jarang menghasilkan sputum.6 Disfagia (kesulitan dalam menelan) yaitu suatu gangguan transport aktip bahan yang dimakan, merupakan keluhan utama yang dijumpai pada penyakit faring dan esofagus. Disfagia dapat terjadi pada gangguan non esofagus yang merupakan akibat dari penyakit otot dan neurologis. Disfagia esofagus mungkin dapat bersifat obstruktif atau motorik. Obstruksi disebabkan oleh striktur esofagus, tumor intrinsik atau ekstrinsik esofagus yang mengakibatkan penyempitan lumen. Penyebab gangguan motorik pada disfagia berupa gangguan

motilitas dari esofagus atau akibat disfungsi sfingter bagian atas dan bawah. Gangguan motorik yang sering menimbulkan disfagia adalah akalasia, skleroderma dan spasme esofagus yang difus.5,6 GERD juga dapat berakibat manifestasi klinis non esofagus yang atipik seperti laringitis, suara serak, batuk karena aspirasi sampai timbul asma 3. Manifestasi non esofagus pada GERD dapat disimpulkan antara lain gangguan pada Paru (Astma, pneumonia aspirasi), Suara (Laringitis), Telinga (Otitis media), Gigi (Enamel decay).6 Di lain pihak, penyakit paru juga dapat memicu timbulnya GERD oleh karena penatalaksanaan berupa obat yang dapat menurunkan tonus SEB. Misalnya theofilin.

2.7.

Diagnosis Disamping anamnesis dan pemeriksaan fisik yang seksama, beberapa pemeriksaan penunjang lainnya dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosis GERD, yaitu : Endoskopi saluran cerna bagian atas Pemeriksaan ini merupakan standar baku untuk diagnosis GERD dengan ditemukannya mucosal break di esofagus (esofagitis refluks). Dengan endoskopik dapat dinilai perubahan makroskopik dari mukosa esofagus, serta dapat menyingkirkan keadaan patologis lain yang dapat menimbulkan gejala GERD. Jika tidak ditemukan muscosal break pada pasien GERD dengan gejala yang khas, keadaan ini disebut non erosive reflux disease (NERD).7 Ditemukannya kelainan esofagitis pada pemeriksaan endoskopi yang dipastikan dengan pemeriksaan histopatologi, dapat mengonfirmasi bahwa gejala heartburn atau regurgutasi memang karena GERD. Pemeriksaan histopatologi juga dapat memastikan adanya Barrett’s esophagus, displasia atau keganasan. Tidak ada bukti yang mendukung perlunya pemeriksaan histopatologi/biopsi pada NERD.4

Ada beberapa klasifikasi kelainan esofagitis pada pemeriksaan endoskopi pasien GERD, antara lain klasifikasi Los Angeles dan Savary-Miller. a. Klasifikasi Los Angeles4 Derajat kerusakan A

Endoskopi Erosi kecil pada mukosa esofagus dengan diameter 5mm tanpa saling berhubungan Lesi yang konfluen tetapi tidak mengenai atau

D

mengelilingi seuruh lumen Lesi mukosa esofagus yang bersifat sirkumferensial/ mengelilingi seluruh lumen esofagus.

b. Klasifikasi Savary-Miller12 GRADE I II III IV V

Deskripsi endoskopi Erosi sebagian dari satu lipatan mukosa esofagus Erosi sebagian dari beberapa lipatan mukosa esofagus. Erosi dapat bergabung Erosi meluas pada sirkumferesnsia esofageal Ulkus, striktura dan pemendekan esofagus Barrett’s ephitelium

Esofagografi dengan Barium Dibandingkan dengan endoskopi, pemeriksaan ini kurang peka dan seringkali tidak menunjukan kelainan terutama pada kasus esofagitis ringan. Pada keadaan yang lebih berat, gambar radiologi dapat berupa penebalan dinding dan lipatan mukosa, ulkus atau penyempitan lumen. Pada beberapa kasus, pemeriksaan memiliki nilai lebih dari endoskopi, misal pada stenosis esofagus dan hiatus henia.2,4 Pemantauan pH 24 jam Episode refluks gastroesofageal menimbulkan asidifikasi bagian distal esofagus. Episode ini dapat dimonitor dan direkam dengan menempatkan mikroelektroda pH pada bagian distal esofagus. Pengukuran pH pada esofagus distal dapat memastika ada tidaknya refluks gastroesofageal. ph dibawah 4 pada jarak 5 cm diatas SEB dianggap diagnostik untuk refluks gastroesofageal.3,4

Tes Bernstein Tes ini ini mengukur sensitivitas mukosa dengan memasang selang transnasal dan melakukan perfusi bagian distal esofagus dengan HCl 0,1 M dalam waktu kurang dari satu jam. Tes ini bersifat pelengkap dari pemantauan ph 24 jam pada pasien dengan gejala yang tidka khas. Tes ini dianggap positif bila larutan ini menimbulkan rasa nyeri dada pada pasien, sedangkan larutan NaCl tidak menimbulkan nyeri. Hasil negatif tidak menutup kemungkinan adanya gangguan pada esofagus4.

Pemeriksaan manometri Tes ini akan memberi manfaat yang berarti jika pada pasien dengan gejala nyeri epigastrium dan regurgitasi yang nyata didapatkan esofagografi barium dan endoskopi yang normal.3,4 Scintigrafi Gastroesofageal Pemeriksaan ini bertujuan untuk menilai pengosongan esofagus dengan menggunakan cairan atau makanan yang dilabel dengan radioisotop (biasanya technetium) dan bersifat non invasif. Selanjutnya sebuah penghitung gamma eksternal akan memonitor transit dari cairan atau makanan yang dilabel tersebut. Sensitivitas dan spesifisitas tes ini masih diragukan.3,4 Tes supresi asam Pada dasarnya tes ini merupakan terapi empiris untuk menilai gejala dari GERD. Dengan memberikan PPI dosis tinggi selama 1-2 minggu sambil melihat respon yang terjadi. Tes ini terutama dilakukan jika modalitas lainya seperti endoskopi dan ph metri tidak tersedia. Tes ini dianggap positif jika terdapat perbaikan dari 50&-75% gejala yang terjadi. Dewasa ini tes ini merupakan salah satu langkah yang dianjurkan dalam algoritme tatalaksana GERD Pada pelayanan kesehatan lini pertama pada pasien yang tidak memiliki alarm symptom (BB turun, anemia, hematemesis, melena, disfagia, odinofagia, riwayat keluarga dengan keganasan esofagus atau lambung dan umur diatas 40 tahun.4

Diagnosis Refluks Ekstraesofagus Diagnosis REE dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis terarah mengenai riwayat penyakit GERD, pemeriksaan fisik, pemeriksaan hipofaring, laring dan tes diagnosis. Memonitor ph 24 jam dengan double/trople probe pada esofagus bagian atas (minimal 1 probe). Pemeriksaan laringoskopi fleksible fiberoptik, videolaringoskopi, video stroboskopi dan laringoskopi kaku merupakan pemeriksaan yang sensitif terhadap refluks ekstraesofagus.4 2.8.

Komplikasi Dengan penanganan yang tidak adekuat, beberapa komplikasi dapat terjadi pada GERD. Komplikasi yang kerap terjadi pada GERD antara lain Esofagitis, Striktura esofagus dan esofagus Barret7,9.  Esofagitis Merupakan peradangan pada mukosa esofagus, ini terdapat pada lebih dari 50% pasien GERD. Dapat menyebabkan ulkus pada daerah perbatasan antara lambung dan esophagus.9  Striktura Esofagus Suatu penyempitan lumen oleh karena inflamasi yang timbul akibat refluks.9 Hal ini ditimbulkan karena terbentuk jaringan parut pada gastroesophageal junction. Striktur timbul pada 10-15% pasien esofagitis yang bermanifestasi sulit menelan atau disfagia pada makanan padat. Seringkali keluhan heartburn berkurang oleh karena striktura berperan sebagai barier refluks. Biasanya striktur terjadi dengan diameter kurang dari 13 mm. Komplikasi ini dapat diatasi dengan dilakukan dilatasi bougie, bila gagal dapat dilakukan operasi.7  Barrett’s Esophagus Pada keadaan ini terjadi perubahan dimana epitel skuamosa berganti menjadi epitel kolumnar metaplastik.9 Keadaan ini merupakan prekursor Adenokarsinoma esophagus.11 Esofagus Barrett ini terjadi pada 10% pasien GERD dan adenokarsinoma timbul pada 10% pasien dengan esofagus Barrett. Gejala dari kelainan ini adalah gejala dari GERD yaitu heartburn dan regurgutasi. Pada 1/3 kasus, gejala GERD tidak tampak atau minimal, hal ini diduga karena sensitivitas epitel Barrett terhadap asam yang menurun. Pada endoskopi kelainan ini dapat dikenaldengan mudah dengan tampaknya segmen yang panjang dari epitel kolumnar yang berwarna

kemerahan meluas ke proksimal melampaui “gastroesophageal junction” dan tampak kontras sekali dengan epitel skuamosa yang pucat dan mengkilat dari esofagus. Penyakit ini dapat ditatalaksana dengan medikamentosa.7

2.9.

Tatalaksana Pada prinsipnya terapi GERD ini dibagi beberapa tahap, yaitu terapi modifikasi gaya hidup, terapi medikamentosa dan terapi pembedahan serta akhirakhir ini mulai dipekenalkan terapi endoskopik.3,4,5 Target penatalaksanaan GERD ini antara lain, menyembuhkan lesi esofagus, menghilangkan gejala, mencegah kekambuhan, memperbaiki kualitas hidup, dan mencegah timbulnya komplikasi.4,5. Modifikasi gaya hidup Modifikasi gaya hidup merupakan salah satu penatalaksanaan GERD,namun demikian bukan merupakan pengobatan primer(3). Usaha ini bertujuan untuk mengurangi refluks serta mencegah kekambuhan.4,5 Hal yang perlu dilakukann dalam modifikasi gaya hidup antara lain3,4,5: 1. Meninggikan posisi kepala pada saat tidur dan menghindari makan sebelum tidur, dengan tujuan meningkatkan bersihan asam lambung selama tidur serta mencegah refluks asam lambung ke esofagus. 2. Berhenti merokok dan mengonsumsi alkohol karena berpengaruh pada tonus SEB. 3. Mengurangi konsumsi lemak dan mengurangi jumlah makanan yang di makan karena dapat menimbulkan distensi lambung. 4. Menurunkan berat badan dan menghindari memakai pakaian ketat untuk mengurangi tekanan intrabdomen. 5. Menghindari makanan dan minuman seperti coklat, tehm kopi dan minuman soda karena dapat merangsang aam lambung. 6. Jika memugkinkan, hindari pemakaian obat yang dapat meningkatkan menurunkan tonus SEB, antara lain antikolinergik, tefilin, diazepam, antagonis kalsium, progesteron. Modifikasi gaya hidup merupakan penatalaksanaan lini pertama bagi wanita hamil dengan GERD.5 Terapi Medikamentosa

Terdapat dua alur penatalaksanaan GERD, yaitu step up dan step down. Pada pendekatan step up pengobatan dimulai dengan obat yang kurang kuat dalam menekan sekresi asam (antagonis reseptor H 2) atau golongan prokinetik. Bila gagal baru diberikan yang lebih kuat menekan sekresi asam dengan masa terapi lebih lama yaitu penghambat pompa proton. Sedangkan untuk pendekatan step down diberikan tatalaksana berupa PPI terlebih dahulu, setelah terjadi perbaikan,baru diberi obat dengan kerja yang kurang kuat dalam menekan sekresi asam lambung, yaitu antagonis H2 atau prokinetik atau bahkan antasid. Dari beberapa studi, dilaporkan bahwa pendekatan step down lebih ekonomis dibandingkan dengan step up. Menurut Genval statement ((1999) dan konsensus asia pasifik tahun 2003 tentang tatalaksana GERD, disepakati bahwa terapi dengan PPI sebagai terapi lini pertama dan digunakan pendekatan step down. 3,4,5 Antasid Pengobatan ini digunakan untuk gejala ringan GERD sejak tahun 1971, dan masih dinilai efektif hingga sekarang dan tidak menimbulkan esofagitis 3,4,5. Selain sebagai penekan asam lambung, obat ini dapat memperkuat tekanan SEB.4,5 Kelemahan obat golongan ini adalah. Rasanya kurang enak. Dapat menimbulkan diare terutama yang mengandung magnesium serta konstipasi terutama antasid yang mengandung aluminium, Selain itu penggunaannya sangat terbatas untuk pasien dengan ganghuan fungsi ginjal. Dosis sehari 4x1 sendok makan. Antagonis Reseptor H2 Obat ini dilaporkan berhasil pada 50% kasus GERD. Yang termasuk obat golongan ini adalah ranitidin, simetidin, famotidin dan nizatidin. Sebagai penekan sekresi asam, golongan obat ini efektif dalam pengobatan penyakit refluks gastroesofageal jika diberikan dosis 2 kali lebih tinggi dan dosis untuk terapi ulkus(2,3). Pengguanaan obat ini dinilai efektif bagi keadaan yang berat, misalnya dengan barrett’s esophagus.5 Golongan obat ini hanya efektif pada pengobatan esofagitis derajat ringan sampai sedang serta tanpa komplikasi. Dosis rantidin 4x150 mg.4

Obat prokinetik Secara teoritis, obat ini dianggap paling sesuai untuk pengobatan GERD karena penyakit ini dianggap lebih condong kearah gangguan motilitas. Namun praktiknya, pengobatan GERD sangat bergantung pada penekanan sekresi asam. 4 Obat ini berfungsi untuk memperkuat tonus SEB dan mempercepat pengosongan gaster. 1. Metoklopramid4 a. Efektifitasnya rendah dalam mengurangi gejala, serta tidak berperan

dalam

penyembuhan

lesi

di

esofagus

kecuali

dikombinasikan dengan antagonis reseptor H2 atau PPI. b. Karena melalui sawar darah otak, maka dapat tumbuh efek terhadap saraf pusat berupa mengantuk, pusing, agitasi, tremor, dan diskinesia c. Dosis 3x 10 mg sebelum makan dan sebelum tidur.3 2. Domperidon4 a. Obat ini antagonis reseptor dopamin (sama dengan metoklopramid) hanya saja obat ini tidak melewati sawar darah otak, sehingga efek sampingnya lebih jarang. b. Walaupun efektifitasnya belum banyak dilaporkan, namun obat ini diketahui dapat menigkatkan tonus SEB dan percepat pengosongan lambung. c. Dosis 3x10-20 mg sehari 3. Cisapride4 a. Obat ini merupakan suatu antagonis reseptor 5HT4, obat ini dapat memperkuat tonus SEB dan mempercepat pengosongan lambung. b. Efektivitasnya dalam menghilangkan gejala serta penyembuhan lesi lebih bagus dari domperidon. c. Dosis 3x10 mg Sukralfat (Aluminium hidroksida + sukrosa oktasulfat) Obat ini tidak memiliki efek langsung terhadapa asam lambung, melainkan berefek pada meningkatkan pertahanan mukosa esofagus, sebagai buffer terhadap HCl di esofagus serta dapat mengikat pepsin dan garam empedu. Golongan obat ini cukup aman karen bersifat topikal. Dosis 4x1 gram.3,4

Penghambat Pompa Proton (Proton pump inhibitor/PPI) Merupakan obat terkuat dalam penatalaksanaan GERD, sehingga dijadikan drug of choice(3,4,5). Golongan ini bekerja langsung pada pompa proton sel parietal dengan memperngaruhi enzim H, K ATP –ase yang dianggap sebagai tahap akhir proses pembentukan asam lambung. Pengobatan ini sangat efektif dalam menghilangkan keluhan serta penyembuhan lesi esofagus, bahkan pada esofagitis erosiva derajat berat yang refrakter dengan antagonis reseptor H2. Dosis untuk GERD adalah dosis penuh, yaitu : -

Omeprazole : 2x20 mg Lansoprazole: 2x30 mg Pantoprazole: 2x40 mg Rabeprazole : 2x10 mg Esomeprazole: 2x40 mg

Umumnya pengobatan diberikan selama 6-8 minggu (terapi inisial) berikutnya dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan selama 4 bulan , tergantung esofagitisnya. Efektivitas obat ini semakin bertambah jika dikombinasi golongan prokinetik. Skema 1. Algoritma tatalaksana GERD pada pelayanan kesehatan lini pertama. Gejala khas GERD Umur 40 tahun

Terduga kasus GERD

PPI tes/ terapi empiris

Gejala menetap/berulang Tidak diselidiki

Respon baik Diselidik Terapi minimal 4minggu

Endoskopi Keluhan menetap

Skema 2. Algoritma tatalaksana GERD pada pusat pelayanan yang memiliki Terapi awal Terapi empiris/Tes PPI kekambuhan Terapi on demand fasilitas diagnostik memadai. PPI test 1-2 minggu dosis ganda (sensitivitas 60-80%)

Esofagitis sedang dan berat Gejala berulang

Esofagitis ringan NERD

On demand therapy

Terapi Maintenance

Terapi Bedah Beberapa keadaan dapat menyebabkan terjadinya kegagalan terapi medikamentosa pada pasien GERD, antara lain : Diagnosa yang tidak benar, pasien GERD sering disertai gejala lain seperti rasa kembung, cepet kenyang dan mual-mual yang lebih lama menyembuhkan esofagitisnya. Pada kasus Barrett’s esofagus kadang tidak memberikan respon terhadap terapi PPI, begitu pula dengan adenokarsinoma dan bila terjadi striktura. Pada disfungsi SEB juga memiliki hasil yang tidak memuaskan dengan PPI.4 Terapi bedah merupakan terapi alternatif yang penting jika terapi modifikasi gaya hidup dan medikmentosa tidak berhasil. Umumnya pembedahan yang dilakukan adalah fundoplikasi,3,4,5

Fundoplikasi Nissen Fundoplikasi Nissen adalah suatu tindakan bedah untuk tatalaksana penyakit GERD bila tatalaksana Modifikasi gaya hidup dan medikamentosa tidak berhasil. Pada Hiatus hernia, Fundoplikasi Nissen justru menjadi terapi lini pertama. Teknik operasi ini dilakukan dengan laparoskopi. Tujuan dari teknik ini adalah

memperkuat esofagus bagian bawah untuk mencegah terjadinya refluks dengan cara membungkus bagian bawah esofagus dengan bagian lambung atas.12

Indikasi Fundoplikasi 1. Kasus resisten dan kasus refluks esofagitis dengan komplikasi yang tidak sepenuhnya responsif terhadap terapi medis atau pada pasien dengan terapi medis jangka panjang yang tidak menguntungkan. 2. Pasien dengan gejala yang tidak sepenuhnya tekontrol oleh terapi PPI, Pada pasien ini dipertimbangkan untuk dilakukan pembedahan. Pada pasien dengan penyakit yang tekontrol dengan baik juga dapat dilakukan pertimbangan pembedahan. 3. Terjadinya esofagus barrret adalah indikasi untuk pembedahan. Asam lambung meningkatkan terjadinya barrett esofagus berkembang kearah keganasan, tetapi kebanyakan ahli menyarankan tindakan mensupresi asam lambung secara lengkap untuk pencegahan pada pasien yang terbukti secara histologis menderita esofagus barret. Terapi Endoskopi

Walaupun laporannya masih terbatas serta masih dalam penelitian, akhir-akhir ini mulai dikembangkan pilihan terapi endoskopi pada pasien GERD, yaitu, penggunaan energi radiofrekuensi, plikasi gastrik endoluminal, implantasi endoskopik dengan menyuntikan zat implan di bawah mukosa esofagus bagian distal sehingga lumennya menjadi lebih kecil.4 Endoskopi bukan merupakan pemeriksaan rutin sebagai pemeriksaan awal pasien suspek PRGE dengan manifestasi otolaringologi dan bukan prasyarat untuk terapi medic.10 2.10.

Prognosis Sebagian besar pasien dengan GERD akan mebaik dengan pengobatan,

walaupun relaps mungkin akan muncul setelah terapi dan memerlukan terapi medis yang lebih lama. Apabila kasus GERD ini disertai komplikasi (seperti striktur, aspirasi, penyakit saluran nafas, Barrett esophagus), biasanya memerlukan terapi pembedahan. Prognosis untuk pembedahan biasanya baik. Meskipun begitu, mortaliti dan morbiditi adalah tinggi pada pasien pembedahan dengan masalah medis yang kompleks.

BAB IV KESIMPULAN

Gastroesophageal Reflux Disease (GERD) atau yang dikenal dengan Penyakit Refluks Gastroesofageal (PRGE) merupakan suatu keadaan dimana terjadi gerakan retrogard atau naiknya isi lambung sampai pada esofagus secara patologis. Keadaan berakibat kandungan lambung yang asam dapat mengiritasi mukosa esofagus. Manifestasi klinis dari PRGE adalah rasa nyeri dada retrosternal atau rasa panas (heartburn) di dada, regurgutasi, disfagia, mual bahkan sampai suara serak karena mengiritasi laring, menyebabkan laringitis. Penatalaksanaan pada kasus PRGE ini terdapat beberapa jenis yang dilakukan bertahap yaitu modifikasi gaya hidup, medikamentosa dan terapi bedah. Pada sebagian besar kasus PRGE pasien sembuh dengan terapi medikamentosa.

DAFTAR PUSTAKA

1. Corwin, Elizabeth J. 2009. Buku Saku Patofisiologi. EGC. : Jakarta 2. Susanto A, Sawitri N, Wiyono W, Yunus F, Prasetyo S. Gambaran klinis dan endoskopi penyakit refluks gastroesofagus (PRGE) pada pasien asma persisten sedang di RS Persahabatan, Jakarta. Jurnal Respirologi. 2005 3. Asroel H. Penyakit Refluks Gastroesofagus. Cited March 8 2016. Available : http://library.usu.ac.id/download/fk/tht-hary.pdf 4. Makmun D. Penyakit Refluks Gastroesofageal. Dalam : Sudoyo A, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 1, Edisi keempat. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 2007. 5. Patti, Marco G. 2010. Gastroesophageal reflux

disease:

From

pathophysiology to treatment. World J Gastroenterol 2010 August 14; 16(30): 3745-3749. 6. Ndraha, Suzanna. 2014. Penyakit Refluks Gastroesofageal. Vol. 27, No. 1 April 2014 7. Sudoyo AW, Setiyohadi Bambang, Alwi Idrus, Simadibrata M, Setiati S, editor, Buku ajar ilmu penyakit dalam, Jilid I, ed. IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Universitas Indonesia. h. 1803;2007 8. Lelosutan HSAR, editor, Kapita Selekta Gastroentero-Hepatologi Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : JC Institute h.1-7, 2009 9. Patti M, Kantz J,editor. Gastroesophageal Reflux Disease Treatment & Management.

June

8

2011

[cited

March

7

2016].

Available:

http://emedicine.medscape.com/article/176595-treatment#aw2aab6b6b4aa 10. Iskandar N, Soepadrdi E, Bashiruddin J, Restuti R. Buku Ajar Ilmu Penyakit Telinga Hidung Tenggorokan Kepala Leher. Edisi keenam. Jakarta: Balai penerbit FKUI. 2007 11. Syam AF, Aulia C,

Renaldi

K,

Simadibrata

M,

Abdullah

M,

Tedjasaputra.2013. Revisi konsensus nasional penatalaksanaan penyakit refluks gastroesofageal (Gastro-esophageal Reflux Disease/ GERD) di Indonesia 2013. Perkumpulan Gastroenterologi Indonesia. 12. Gastroesophageal reflux disease : Savary – Miller classification. Cited March 7 2016. Available : http://www.gastrolab.net/pa-113.htm

View more...

Comments

Copyright ©2017 KUPDF Inc.
SUPPORT KUPDF