Referat General Anestesi Astrid
November 1, 2017 | Author: hanifahastrid | Category: N/A
Short Description
general anestesi...
Description
Referat
GENERAL ANESTESI
Penyusun : Hanifah Astrid Ernawati G99131041 Pembimbing : dr. Fitri Hapsari Dewi, Sp. An
KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2015 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anestesia berarti pembiusan, kata ini berasal dari bahasa Yunani an"tidak, tanpa" dan aesthētos, "persepsi, kemampuan untuk merasa". Istilah anestesi digunakan pertama kali oleh Oliver Wendel Holmes Sr pada tahun 1846. Anestesi umum adalah tindakan meniadakan nyeri secara sentral disertai dengan hilangnya kesadaran dan bersifat pulih kembali (reversible). Komponen anestesi yang ideal (trias anestesi) terdiri dari : hipnotik, analgesia dan relaksasi otot. Praktek anestesi umum juga termasuk
mengendalikan pernapasan dengan pemantauan fungsi-fungsi vital tubuh selama prosedur anestesi. Tahapannya mencakup premedikasi, induksi, maintenance, dan pemulihan. Ada tiga kategori utama anestesi, yaitu anestesi umum, anestesi regional dan anestesi lokal. Masing-masing memiliki bentuk dan kegunaan. Seorang ahli anestesi akan menentukan jenis anestesi yang menurutnya terbaik dengan mempertimbangkan keuntungan dan kerugian dari masing-masing tindakan tersebut. Anestesi umum adalah tindakan meniadakan nyeri secara sentral disertai dengan hilangnya kesadaran dan bersifat pulih kembali (reversible). Praktek
anestesi
umum
juga
termasuk
mengendalikan
pernapasan
pemantauan fungsi-fungsi vital tubuh selama prosedur anestesi. Tahapannya mencakup induksi, maintenance, dan pemulihan. Metode anestesi umum dapat dilakukan dengan 3 cara: antara lain secaara parenteral melalui intravena dan intramuskular, perrektal (biasanya untuk anak-anak) dan inhalasi. Anestesi umum intravena adalah obat anestesi yang diberikan melalui jalur intravena, baik untuk tujuan hipnotik, analgetik ataupun pelumpuh otot. Anestesi yang ideal akan bekerja secara cepat dan baik serta mengembalikan kesadaran dengan cepat segera sesudah pemberian dihentikan. Selain itu batas keamanan pemakaian harus cukup lebar dengan efek samping yang sangat minimal. Tidak satupun obat anestesi dapat memberikan efek yang diharapkan tanpa efek samping, bila diberikan secara tunggal. Kombinasi beberapa obat mungkin akan saling berpotensi atau efek salah satu obat dapat menutupi pengaruh obat yang lain. B. Tujuan Anestesi umum intravena ini penting untuk diketahui karena selain dapat
digunakan
dalam
pembedahan
dikamar
operasi,
juga
dapat
menenangkan pasien dalam keadaan gawat darurat. Oleh karena itu sebagai dokter umum, sebaiknya mengetahui tentang anestesi umum intravena.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Definisi Asal kata Anestesi (pembiusan; berasal dari bahasa Yunani an-"tidak, tanpa" dan aesthētos, "persepsi, kemampuan untuk merasa"), secara umum berarti suatu tindakan menghilangkan rasa sakit ketika melakukan pembedahan dan berbagai prosedur lainnya yang menimbulkan rasa sakit pada tubuh. Istilah anestesi digunakan pertama kali oleh Oliver Wendel Holmes Sr pada tahun 1846. Obat yang digunakan dalam menimbulkan anesthesia disebut sebagai anestetik, dan kelompok ini dibedakan dalam anestetik umum dan anestetik lokal. Berdasarkan pada dalamnya pembiusan, anestetik umum dapat memberikan efek analgesia yaitu hilangnya sensasi nyeri atau efek anesthesia yaitu analgesia yang disertai hilangnya kesadaran, sedangkan anestetik lokal hanya menimbulkan efek analgesia (Silistia, 1995). Anestesi umum adalah menghilangkan rasa sakit seluruh tubuh secara sentral disertai hilangnya kesadaran yang bersifat reversible. Perbedaan anestesi umum dibanding dengan anestesi lokal diantaranya pada anestesi lokal hilangnya rasa sakit setempat sedangkan pada anestesi umum seluruh
tubuh. Pada anestesi lokal yang terpengaruh syaraf perifer, sedang pada anestesi umum yang terpengaruh syaraf pusat dan pada anestesi lokal tidak terjadi kehilangan kesadaran (Soenardjo, 2010). Menurut bentuk fisiknya, anestesi umum dibagi menjadi 2 macam yaitu anestesi inhalasi dan anestesi intravena. B. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Anestesi Umum Faktor respirasi Pada setiap inspirasi sejumlah zat anestesika akan masuk ke dalam paru-paru (alveolus). Dalam alveolus akan dicapai suatu tekanan parsial tertentu. Kemudian zat anestesika akan berdifusi melalui membrane alveolus. Epitel alveolus bukan penghambat disfusi zat anestesika, sehingga tekanan parsial dalam alveolus sama dengan tekanan parsial dalam arteri pulmonarsi. Hal- hal yang mempengaruhi hal tersebut adalah: Konsentrasi zat anestesika yang dihirup/ diinhalasi; makin tinggi konsentrasinya, makin cepat naik tekanan parsial zat anestesika dalam alveolus. Ventilasi alveolus; makin tinggi ventilasi alveolus, makin cepat meningginya tekanan parsial alveolus dan keadaan sebaliknya pada
hipoventilasi. Faktor sirkulasi Terdiri dari sirkulasi arterial dan sirkulasi vena Factor-faktor yang mempengaruhi: 1. Perubahan tekanan parsial zat anestesika yang jenuh dalam alveolus dan darah vena. Dalam sirkulasi, sebagian zat anestesika diserap jaringan dan sebagian kembali melalui vena. 2. Koefisien partisi darah/ gas yaitu rasio konsentrasi zat anestesika dalam darah terhadap konsentrasi dalam gas setelah keduanya dalam keadaan seimbang. 3. Aliran darah, yaitu aliran darah paru dan curah jantung. Makin banyak aliran darah yang melalui paru makin banyak zat anestesika yang diambil dari alveolus, konsentrasi alveolus turun sehingga induksi lambat dan makin lama waktu yang dibutuhkan untuk mencapai tingkat anesthesia yang adekuat.
Faktor jaringan 1. Perbedaan tekanan parsial obat anestesika antara darah arteri dan jaringan. 2. Koefisien partisi jaringan/darah: kira-kira 1,0 untuk sebagian besar zat anestesika, kecuali halotan. 3. Aliran darah terdapat dalam 4 kelompok jaringan: a) Jaringan kaya pembuluh darah (JKPD) : otak, jantung, hepar, ginjal. Organ-organ ini menerima 70-75% curah jantung hingga tekanan parsial zat anestesika ini meninggi dengan cepat dalam organ-organ ini. Otak menerima 14% curah jantung. b) Kelompok intermediate : otot skelet dan kulit. c) Lemak : jaringan lemak d) Jaringan sedikit pembuluh darah (JSPD) : relative tidak ada
aliran darah : ligament dan tendon. Faktor zat anestesika Bermacam-macam zat anestesika mempunyai potensi yang berbeda-beda. Untuk menentukan derajata potensi ini dikenal adanya MAC (minimal alveolar concentration atau konsentrasi alveolar minimal) yaitu konsentrasi terendah zat anestesika dalam udara alveolus yang mampu mencegah terjadinya tanggapan (respon) terhadap rangsang rasa sakit. Makin rendah nilai MAC, makin tinggi
potensi zat anestesika tersebut. C. Anestesi Intravena Anestesi intravena ideal membutuhkan kriteria yang sulit dicapai oleh hanya satu macam obat yaitu larut dalam air dan tidak iritasi terhadap jaringan, mula kerja cepat, lama kerja pendek, cepat menghasilkan efek hypnosis, mempunyai efek analgesia, disertai oleh amnesia pascaanestesia, dampak yang tidak baik mudah dihilangkan oleh obat antagonisnya, cepat dieliminasi dari tubuh, tidak atau sedikit mendepresi fungsi respirasi dan kardiovaskuler, pengaruh farmakokinetik tidak tergantung pada disfungsi organ, tanpa efek samping (mual muntah), menghasilkan pemulihan yang cepat. Untuk mencapai tujuan di atas, kita dapat menggunakan kombinasi beberapa obat atau cara anestesi lain. Kombinasi beberapa obat mungkin akan
saling berpotensi atau efek salah satu obat dapat menutupi pengaruh obat yang lain (Silistia, 1996).
D. Stadium Anestesi Kedalaman anestesi harus dimonitor terus menerus oleh pemberi anestesi, agar tidak membahayakan penderita, tetapi cukup adekuat untuk melakukan operasi. 1. Stadium I (Stadium analgesi atau stadium disorientasi) Dimulai sejak diberikan anestesi sampai hilangnya kesadaran. Pada stadium ini, operasi kecil dapat dilakukan. 2. Stadium II (stadium delirium atau stadium eksitasi) Dimulai dari hilangnya kesadaran sampai nafas teratur. Pada stadium ini penderita bisa meronta-ronta, pernafasan irregular, pupil melebar, refleks cahaya positif gerakan bola mata tidak teratur, lakrimasi (+), tonus otot meninggi, refleks fisiologi masih ada, dapat terjadi batuk atau muntah, kadang-kadang kencing atau defekasi. Stadium ini diakhiri dengan hilangnya reflek menelan dan kelopak mata, dan selanjutnya nafas menjadi teratur. Stadium ini dapat membahayakan penderita sehingga harus segera diakhiri. Keadaan ini dapat dikurangi dengan memberikan premedikasi yang adekuat, persiapan psikologis penderita dan induksi yang halus dan tepat. 3. Stadium III (Stadium operasi) Dimulai dari nafas teratur sampai paralise otot nafas. Stadium ini dibagi menjadi 4 plana : Plana I : Dari nafas teratur sampai berhentinya gerakan bola mata. Ditandai dengan nafas teratur, nafas torakal sama dengan abdominal Gerakan bola mata berhenti, pupil mengecil, refleks cahaya (+), lakrimasi meningkat, reflek faring dan muntah Plana II
menghilang, tonus otot menurun. : Dari berhentinya gerakan bola mata sampai permulaan paralisis otot interkostal. Ditandai dengan pernafasan teratur, volume tidal menurun dan frekuensi nafas meningkat, mulai terjadi depresi nafas
torakal, bola mata berhenti, pupil melebar dan reflek cahaya menurun, reflek korne menghilang dan tonus otot makin Plana III
menurun. : Dari permulaan paralise otot interkostal sampai paralise seluruh otot interkostal. Ditandai dengan pernafasan abdominal lebih dominan dari torakal karena terjadi paralisis otot interkostal, pupil makin melebar dan reflek cahaya menjadi hilang, lakrimasi negatif, reflek laring dan peritoneal menghilang, tonus otot
Plana IV
makin menurun. : Dari paralise semua otot intercostal sampai paralise diafragma Ditandai dengan paralise otot intercostal, pernafasan lambat, ireguler dan tidak adekuat. Tonus otot makin menurun sehingga terjadi flaccid, pupil melebar, reflek cahaya negatif, reflek spinchter ani negatif.
4. Stadium IV Dari paralisis diafragma sampai apneu dan kematian. Disebut juga stadium overdosis atau stadium paralysis. Ditandai dengan hilangnya semua reflek, pupil dilatasi, terjadi respiratory failure dan diikuti dengan circulatory failure. E. PENILAIAN DAN PERSIAPAN PRA ANESTESI Kegagalan untuk mempersiapkan keadaan pasien sering terjadi dan biasanya dapat dihindari dengan mudah untuk mencegah kecelakaan yang berhubungan dengan anestesi. Persiapan ini menyangkut setiap aspek terhadap kondisi pasien dan tidak hanya permasalahan patologis yang membutuhkan operasi. 1. Anamnesis Riwayat tentang apakah pasien pernah mendapat anestesi sebelumnya sangatlah penting untuk mengetahui apakah ada hal-hal yang perlu mendapat perhatian khusus, misalnya alergi, mual-muntah, nyeri otot, gatal-gatal atau sesak nafas pasca bedah, sehingga dapat dirancang anestesi berikutnya dengan lebih baik. Beberapa peneliti menganjurkan
obat yang kiranya menimbulkan masalah dimasa lampau sebaiknya jangan digunakan ulang, misalnya halotan jangan digunakan ulang dalam waktu tiga bulan, suksinilkolin yang menimbulkan apnoe berkepanjangan juga jangan diulang. Kebiasaan merokok sebaiknya dihentikan 1-2 hari sebelumnya. 2. Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan gigi-geligi, tindakan buka mulut, lidah relatif besar sangat penting untuk diketahui apakah akan menyulitkan tindakan laringoskopi intubasi. Leher pendek dan kaku juga akan menyulitkan laringoskopi intubasi. Pemeriksaan rutin secara sistemik tentang keadaan umum tentu tidak boleh dilewatkan seperti inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi semua system organ tubuh pasien. 3. Pemeriksaan laboratorium Uji laboratorium hendaknya atas indikasi yang tepat sesuai dengan dugaan penyakit yang sedang dicurigai. Pemeriksaan yang dilakukan meliputi pemeriksaan darah kecil (Hb, lekosit, masa perdarahan dan masa pembekuan) dan urinalisis. Pada usia pasien diatas 50 tahun ada anjuran pemeriksaan EKG dan foto thoraks. 4. Klasifikasi status fisik Klasifikasi yang lazim digunakan untuk menilai kebugaran fisik seseorang adalah yang berasal dari The American Society of Anesthesiologists (ASA). Klasifikasi fisik ini bukan alat prakiraan resiko anestesia, karena dampaksamping anestesia tidak dapat dipisahkan dari dampak samping pembedahan. (2)(3) Kelas I : Pasien sehat organik, fisiologik, psikiatrik, biokimia. Kelas II : Pasien dengan penyakit sistemik ringan atau sedang. Kelas III : Pasien dengan penyakit sistemik sedang atau berat, sehingga aktivitas rutin terbatas. Kelas IV : Pasien dengan penyakit sistemik sedang atau berat tak dapat melakukan aktivitas rutin dan penyakitnya merupakan ancaman kehidupannya setiap saat. Kelas V : Pasien sekarat yang diperkirakan dengan atau tanpa pembedahan hidupnya tidak akan lebih dari 24 jam. Kelas VI : Pasien yang mati batang otak dan akan diambil organnya untuk transplantasi.
5. Masukan oral Refleks laring mengalami penurunan selama anestesia. Regurgitasi isi lambung dan kotoran yang terdapat dalam jalan napas merupakan risiko utama
pada
pasien-pasien
yang
menjalani
anestesia.
Untuk
meminimalkan risiko tersebut, semua pasien yang dijadwalkan untuk operasi elektif dengan anestesia harus dipantangkan dari masukan oral (puasa) selama periode tertentu sebelum induksi anestesia. Pada pasien dewasa umumnya puasa 6-8 jam, anak kecil 4-6 jam dan pada bayi 3-4 jam. Makanan tak berlemak diperbolehkan 5 jam sebeluminduksi anestesia. Minuman bening, air putih teh manis sampai 3 jam dan untuk keperluan minum obat air putih dalam jumlah terbatas boleh 1 jam sebelum induksi anestesia. 6. Premedikasi Sebelum pasien diberi obat anestesi, langkah selanjutnya adalah dilakukan premedikasi yaitu pemberian obat sebelum induksi anestesi diberi dengan tujuan untuk melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari anestesi diantaranya: 1. Menimbulkan rasa nyaman bagi pasien a. Menghilangkan rasa khawatir melalui: i. Kunjungan pre anestesi ii. Pengertian masalah yang dihadapi iii. Keyakinan akan keberhasilan operasi b. Memberikan ketenangan (sedative) c. Membuat amnesia d. Mengurangi rasa sakit (analgesic non/narkotik) e. Mencegah mual dan muntah 2. Memudahkan atau memperlancar induksi a. Pemberian hipnotik sedative atau narkotik 3. Mengurangi jumlah obat-obat anestesi a. Pemberian hipnotik sedative atau narkotik 4. Menekan refleks-refleks yang tidak diinginkan (muntah/liur) 5. Mengurangi sekresi kelenjar saliva dan lambung a. Pemberian antikolinergik atropine, primperan, rantin, H2 antagonis 6. Mengurangi rasa sakit Waktu dan cara pemberian premedikasi:
Pemberian obat secara subkutan tidak akan efektif dalam 1 jam, secara intramuscular minimum harus ditunggu 40 menit. Pada kasus yang sangat darurat dengan waktu tindakan pembedahan yang tidak pasti obat-obat dapat diberikan secara intravena, obat akan efektif dalam 3 5 menit. Obat akan sangat efektif sebelum induksi. Bila pembedahan belum dimulai dalam waktu 1 jam dianjurkan pemberian premedikasi intramuscular, subkutan tidak dianjurkan. Semua obat premedikasi bila diberikan secara intravena dapat menyebabkan sedikit hipotensi kecuali atropine dan hiosin. Hal ini dapat dikurangi dengan pemberian secara perlahan-lahan dan diencerkan. Obat-obat yang sering digunakan: a) Analgesik narkotik 1) Morfin ( amp 1cc = 10 mg), dosis 0,1 mg/kgBB 2) Petidin ( amp 2cc = 100 mg), dosis 1-2 mg/kgBB 3) Fentanyl ( fl 10cc = 500 mg), dosis 1-3µg/kgBB b) Analgesik non narkotik 1) Ketorolak 2) Asam mefenamat 3) Natrium diklofenak 4) Tramadol c) Hipnotik 1) Ketamin (fl 10cc = 100 mg), dosis 1-2 mg/kgBB 2) Pentotal (amp 1cc = 1000 mg), dosis 4-6 mg/kgBB d) Sedatif 1) Diazepam/valium/stesolid (amp 2cc = 10mg), dosis 0,1 mg/kgBB 2) Midazolam/dormicum
(amp
5cc/3cc
=
15
mg),dosis
0,1mg/kgBB e) Antikolinergik 1) Sulfas atropine (anti kolinergik) (amp 1cc = 0,25 mg),dosis 0,001 mg/kgBB f) Anti emetic 1) Simetidin dan Ranitidin 2) Ondancentron 7. Obat-Obat Induksi Anestesi Intravena Obat anestesi intravena dapat digolongkan dalam 2 golongan: 1.) Obat yang terutama digunakan untuk induksi anestesi, contohnya golongan
barbiturat, eugenol, dan steroid; 2.) obat yang digunakan baik sendiri maupun
kombinasi
untuk
mendapat
keadaan
seperti
pada
neuroleptanalgesia (contohnya: droperidol), anestesi dissosiasi (contohnya: ketamin), sedative (contohnya: diazepam). Dari bermacam-macam obat anesthesia intravena, hanya beberapa saja yang sering digunakan, yakni golongan: barbiturat, ketamin, dan diazepam. PROPOFOL Propofol adalah salah satu dari kelompok derivat fenol yang banyak digunakan sebagai anastesia intravena. Pertama kali digunakan dalam praktek anestesi pada tahun 1977 sebagai obat induksi. Propofol dikemas dalam cairan emulsi berwarna putih susu bersifat isotonik dengan kepekatan 1% (1ml=10 mg).(7) Propofol dengan cepat dimetabolisme di hati melalui konjugasi ke glukuronat dan sulfat untuk menghasilkan senyawa larut dalam air, yang diekskresikan oleh ginjal. Kurang dari 1% propofol diekskresikan tidak berubah dalam urin, dan hanya 2% diekskresikan dalam tinja. (1) (4)(7) Farmakokinetik. Waktu paruh 24-72 jam. Dosis induksi cepat menimbulkan sedasi (30-45 detik) dengan durasi berkisar antara 20-75 menit tergantung dosis dan redistribusi dari sistem saraf pusat. (4) Sebagian besar propofol terikat dengan albumin (96-97%). Setelah pemberian bolus intravena, konsentrasi dalam plasma berkurang dengan cepat dalam 10 menit pertama (waktu paruh 1-3 menit) kemudian diikuti bersihan lebih lambat dalam 3-4 jam (waktu paruh 20-30 menit). Kedua fase ini menunjukkan distribusi dari plasma dan ambilan oleh jaringan yang cepat. (5)(7)
Metabolisme terjadi di hepar melalui konjugasi oleh konjugasi oleh glukoronida dan sulfat untuk membentuk metabolit inaktif yang larut air yang kemudian diekskresi melalui urin(6). Eliminasi propofol sensitif terhadap perubahan aliran darah hepar namun tidak dipengaruhi oleh
ikatan protein ataupun aktivitas enzim. Propofol diketahui menghambat metabolisme obat oleh sitokrom p450 oleh karena itu dapat menyebabkan perlambatan klirens dan durasi yang memanjang pada pemberian bersama dengan fentanyl, alfentanil dan propanolol.(4)(5)(7) Farmakodinamik. Sistem saraf pusat. Dosis induksi menyebabkan pasien kehilangan kesadaran dengan cepat akibat ambilan obat lipofilik yang cepat oleh SSP, dimana dalam dosis yang kecil dapat menimbulkan efek sedasi, tanpa disetai efek analgetik. Pada pemberian dosis induksi (2mg/kgBB)
pemulihan
kesadaran
berlangsung
cepat.
Dapat
menyebabkan perubahan mood tapi tidak sehebat thiopental. Propofol dapat menyebabkan penurunan aliran darah ke otak dan konsumsi oksigen otak sehingga dapat menurunkan tekanan intrakranial dan tekanan intraokular sebanyak 35%.(2)(3)(5) Sistem
kardiovaskuler.
Induksi
bolus
2-2,5
mg/kg
dapat
menyebabkan depresi pada jantung dan pembuluh darah dimana tekanan dapat turun. Hal ini disebabkan oleh efek dari propofol yang menurunkan resistensi vaskular sistemik sebanyak 30%. Namun penurunan tekanan darah biasanya tidak disertai peningkatan denyut nadi. Pernafasan spontan (dibanding
nafas
kendali)
serta
pemberian
drip
melalui
infus
(dibandingkan dengan pemberian melalui bolus) mengurangi depresi jantung. Sedangkan usia berbanding lurus dengan efek depresi jantung. (4)(5) (7)
Sistem pernafasan. Apnoe paling banyak didapatkan pada pemberian propofol dibanding obat intravena lainnya. Umumnya berlangsung selama 30 detik, namun dapat memanjang dengan pemberian opioid sebagai premedikasi atau sebelum induksi dengan propofol. Dapat menurunkan frekuensi pernafasan dan volume tidal. Efek ini biasanya bersifat sementara namun dapat memanjang pada penggunaan dosis yang melebihi dari rekomendasi atau saat digunakan bersamaan dengan respiratory depressants. (4)(5)(7)
Dosis. Propofol digunakan untuk induksi dan pemeliharaan dalam anastesia umum, pada pasien dewasa dan pasien anak – anak usia lebih dari 3 tahun. (4) Dosis yang dianjurkan untuk induksi pada pasien lebih dari 3 tahun dan kurang dari 55 tahun adalah 2-2.5 mg/kgBB dan untuk pasien lebih dari 55 tahun, pasien lemah atau dengan ASA III/IV: 1-1.5 mg/kgBB. Untuk pemeliharaan dosis yang dianjurkan pada pasien lebih dari 3 tahun dan kurang dari 55 tahun adalah 0.1-0.2 mg/menit/kgBB dan untuk pasien lebih dari 55 tahun, pasien lemah atau dengan ASA III/IV: 0.05-0.1 mg/menit/kgBB. (4) Dosis yang dianjurkan yang dapat menimbulkan sedasi adalah 0.1-0.15 mg/kgBB sebagai dosis inisial dengan dosis pemeliharaan yang dianjurkan pada pasien lebih dari 3 tahun dan kurang dari 55 tahun adalah 0.025-0.075 mg/menit/kgBB dan untuk pasien lebih dari 55 tahun, pasien lemah atau dengan ASA III/IV: 0.02-0.06 mg/menit/kgBB. (4) Propofol, bila digunakan untuk induksi anestesi dalam prosedur singkat, hasil dalam pemulihan secara signifikan lebih cepat dan pengembalian sebelumnya fungsi psikomotor dibandingkan dengan thiopental atau methohexital, terlepas dari anestesi yang digunakan untuk pemeliharaan anestesi. Kejadian mual dan muntah saat propofol digunakan untuk induksi juga nyata kurang dari setelah penggunaan anestesi IV lainnya, mungkin karena sifat antiemetik propofol.(3) Propofol mendukung perkembangan bakteri, sehingga harus berada dalam lingkungan yang steril dan hindari profofol dalam kondisi sudah terbuka lebih dari 6 jam untuk mencegah kontaminasi dari bakteri. (4)(5) Efek samping. Suntikan intravena sering menyebabkan nyeri, sehingga beberapa detik sebelumnya dapat diberikan lidokain 1-2mg/kgBB intravena(3). Biasanya terjadi saat penyuntikan dilakukan di dorsum Palmaris. Insidens nyeri lebih sedikit didapatkan pada penyuntikan di vena yang lebih besar di fossa antecubiti. (5). Bradikardi serta hipotensi kadang didapatkan setelah penyuntikan propofol, namun dapat diatasi dengan penyuntikkan obat antimuskarinik, misalnya: atropin. Efek samping eksitatorik seperti myoclonus, opisthotonus serta konvulsi kadang
dihubungkan dengan pemberian propofol dan dapat terjadi pada masa pemulihan. Resiko konvulsi dan onset yang melambat ditemujan pada pemberian propofol pada pasien epilepsy. KETAMIN Ketamin adalah suatu “rapid acting non-barbiturate general anesthetic”. Pertama kali diperkenalkan oleh Domino and Carsen pada tahun 1965.(2) Ketamin kurang digemari untuk induksi anesthesia karena sering menimbulkan takikardi, hipertensi, hipersalivasi, nyeri kepala, pasca anesthesia dapat menimbulkan mual muntah, pandangan kabur dan mimpi buruk.(3) Blok terhadap reseptor opiat dalam otak dan medulla spinalis yang memberikan efek analgesik, sedangkan interaksi terhadap reseptor metilaspartat dapat menyebakan anastesi umum dan juga efek analgesik. .(1) (4)
Farmakokinetik. Onset kerja ketamin pada pemberian intravena lebih cepat dibandingkan pemberian intramuskular. Onset pada pemberian intravena adalah 30 detik sedangkan dengan pemberian intramuskular membutuhkan waktu 3-4 menit, tetapi durasi kerja juga didapatkan lebih singkat pada pemberian intravena (5-10 menit) dibandingkan pemberian intramuskular (12-25 menit). .(1)(4) Metabolisme terjadi di hepar dengan bantuan sitokrom P450 di reticulum endoplasma halus menjadi norketamine yang masih memiliki efek hipnotis namun 30% lebih lemah dibanding ketamine, yang kemudian mengalami konjugasi oleh glukoronida menjadi senyawa larut air untuk selanjutnya diekskresikan melalui urin.(5) Farmakodinamik Sistem saraf pusat. Ketamine memiliki efek analgetik yang kuat akan tetapi efek hipnotiknya kurang (tidur ringan) disertai anestesia disosiasi. Apabila diberikan intravena maka dalam waktu 30 detik pasien akan mengalami perubahan tingkat kesadaran yang disertai tanda khas pada mata berupa kelopak mata terbuka spontan, dilatasi pupil dan nistagmus. Selain itu kadang-kadang dijumpai gerakan yang tidak
disadari (cataleptic appearance), seperti gerakan mengunyah, menelan, tremor dan kejang. Pada pasien yang diberikan ketamin juga mengalami amnesia anterograde. Itu merupakan efek anestesi dissosiatif yang merupakan tanda khas setelah pemberian Ketamin. Sering mengakibatkan mimpi buruk dan halusinasi pada periode pemulihan sehingga pasien mengalami agitasi. Selain itu, ketamin menyebabkan peningkatan aliran darah ke otak, konsumsi oksigen otak, dan tekanan intrakranial. .(1)(4) Pulih sadar kira-kira tercapai dalam 10-15 menit tetapi sulit menentukan saatnya yang tepat seperti halnya sulit menentukan permulaan kerjanya. Kontak penuh dengan lingkungan dapat bervariasi dari beberapa menit setelah permulaan tanda-tanda sadar sampai 1 jam. Sering mengakibatkan mimpi buruk, disorientasi tempat dan waktu, halusinasi dan menyebabkan gaduh, gelisah, tidak terkendali. .(1)(4) Sistem kardiovaskuler. Tekanan darah akan naik baik sistolik maupun diastolik. Kenaikan rata-rata antara 20-25% dari tekanan darah semula mencapai maksimum beberapa menit setelah suntikan dan akan turun kembali dalam 15 menit kemudian. Denyut jantung juga meningkat. Efek ini disebabkan adanya aktivitas saraf simpatis yang meningkat dan depresi baroreseptor. Efek ini dapat dicegah dengan pemberian premedikasi opioid, hiosine. Namun aritmia jarang terjadi. .(1)(4) Sistem pernafasan. Depresi pernafasan kecil sekali dan hanya sementara, kecuali dosis terlalu besar dan adanya obat-obat depressan sebagai premedikasi. Ketamin menyebabkan dilatasi bronkus dan bersifat antagonis terhadap efek konstriksi bronkus oleh histamin, sehingga baik untuk penderita asma dan untuk mengurangi spasme bronkus pada anesthesia umum yang masih ringan. .(1)(4) Dosis. Dosis yang dianjurkan untuk induksi pada pasien dewasa adalah 1-4mg/kgBB atau 1-2mg/kgBB dengan lama kerja 15-20 menit, sedangkan melalui infus dengan kecepatan 0.5mg/kgBB/menit, sedangkan untuk anak-anak terdapat banyak rekomendasi. Menurut Mace, et al (2004) dosis induksi adalah 1-2 mg/kgBB sedangkan menurut Harriet
Lane, 0.25-0.5 mg/kgBB. Dengan dosis tambahan setengah dari dosis awal sesuai kebutuhan.(5) Untuk sedasi dan analgesik dosis yang dianjurkan adalah 0.2-0.8 mg/kgBB intravena dan untuk mencegah nyeri dosis yang dianjurkan adalah 0.15-0.25 mg/kgBB intravena.(5) Ketamin dapat diberikan bersama dengan diazepam atau midazolam dengan dosis 0.1mg/kgBB intravena dan untuk mengurangi salvias dapat diberikan sulfas atropine 0.01mg/kgBB.(3) Indikasi. Ketamin dipakai baik sebagai obat tunggal maupun sebagai induksi pada anestesi umum : 1.) untuk prosedur dimana pengendalian jalan nafas sulit, misalnya pada koreksi jaringan sikatriks daerah leher; 2.) untuk prosedur diagnostic pada bedah saraf atau radiologi (radiografi); 3.) tindakan ortopedi, misalnya reposisi; 4.) pada pasien dengan resiko tinggi karena ketamin yang tidak mendepresi fungsi vital; 5.) untuk tindakan operasi kecil; 6.) di tempat dimana alat-alat anestesi tidak ada; 7.) pasien asma. .(1)(4) Kontra Indikasi. Ketamin tidak dianjurkan untuk digunakan pada: 1.) Pasien hipertensi dengan tekanan darah sistolik 160mmHg dan diastolic 100mmHg; 2.) Pasien dengan riwayat CVD; 3.) pasien dengan decompensatio cordis. Penggunaan ketamin juga harus hati-hati pada pasien dengan riwayat kelainan jiwa & operasi-operasi pada daerah faring karena reflex masih baik. Efek samping. Di masa pemulihan pada 30% pasien didapatkan mimpi buruk sampai halusinasi visual yang kadang berlanjut hingga 24 jam pasca pemberian. Namun efek samping ini dapat dihindari dengan pemberian opioid atau benzodiazepine sebagai premedikasi. .(1)(4) 8. Pemeliharaan Anestesi (Maintainance) Dapat dikerjakan secara intravena (anestesi intravena total) atau dengan inhalasi atau dengan campuran intravena inhalasi. Rumatan anestesi mengacu pada trias anestesi yaitu tidur rinan (hypnosis) sekedar tidak sadar, analgesia cukup, diusahakan agar pasien selama dibedah tidak menimbulkan nyeri dan relaksasi otot lurik yang cukup. Rumatan
intravena biasanya menggunakan opioid dosis tinggi, fentanil 10-50 µg/kgBB. Dosis tinggi opioid menyebabkan pasien tidur dengan analgesia cukup, sehingga tinggal memberikan relaksasi pelumpuh otot. Rumatan intravena dapat juga menggunakan opioid dosis biasa, tetapi pasien ditidurkan dengan infuse propofol 4-12 mg/kgBB/jam. Bedah lama dengan anestesi
total
intravena,
pelumpuh
otot
dan
ventilator.
Untuk
mengembangkan paru digunakan inhalasi dengan udara + O2 atau N2O + O2. Rumatan inhalasi biasanya menggunakan campuran N2O dan O2 dengan perbandingan 3:1 ditambah halotan 0,5-2 vol% atau enfluran 2-4% atau isofluran 2-4 vol% atau sevofluran 2-4% bergantung apakah pasien bernapas spontan, dibantu atau dikendalikan. 9. Pemulihan Anestesi Pada akhir operasi atau setelah operasi selesai, maka anestesi diakhiri dengan menghentikan pemberian obat anestesi. Pada penderita yang mendapatkan anestesi intravena, kesadaran akan kembali berangsurangsur dengan turunnya kadar obat anestesi akibat metabolisme atau ekskresi setelah obat dihentikan. Selanjutnya bagi penderita yang dianestesi
dengan
pernafasan
spontan
tanpa
menggunakan
pipa
endotrakeal maka hanya tinggal menunggu sadarnya penderita. Sedangkan untuk pasien yang menggunakan pipa endotrakheal, maka perlu dilakukan pelepasan atau ekstubasi. Ekstubasi dapat dilakukan ketika penderita masih teranestesi maupun setelah penderita sadar. Ekstubasi dalam keadaan setengah sadar dapat membahayakan penderita karena dapat menyebabkan
spasme
jalan
nafas,
batuk,
muntah,
gangguan
kardiovaskuler, naiknya tekanan intraokuli dan intrakranial (Soenarjo et al, 2010).
BAB III KESIMPULAN
Anestesi adalah suatu tindakan menghilangkan rasa sakit ketika melakukan pembedahan dan berbagai prosedur lainnya yang menimbulkan rasa sakit pada tubuh. Anestesi umum adalah adalah menghilangkan rasa sakit seluruh tubuh secara sentral disertai hilangnya kesadaran yang bersifat reversible. Faktor-faktor yang mempengaruhi anestesi meliputi faktor respirasi, faktor sirkulasi, faktor jaringan dan faktor zat anestetika. Anestesi intravena ideal membutuhkan kriteria yang sulit dicapai oleh hanya satu macam obat yaitu larut dalam air dan tidak iritasi terhadap jaringan, mula kerja cepat, lama kerja pendek, cepat menghasilkan efek hypnosis, mempunyai efek analgesia, disertai oleh amnesia pascaanestesia, dampak yang tidak baik mudah dihilangkan oleh obat antagonisnya, cepat dieliminasi dari tubuh, tidak atau sedikit mendepresi fungsi respirasi dan kardiovaskuler, pengaruh farmakokinetik tidak tergantung pada disfungsi organ, tanpa efek samping (mual muntah), menghasilkan pemulihan yang cepat. Stadium anestesi menurut Guedel dibagi menjadi 4 stadium yaitu : 1. 2. 3. 4.
Stadium I (Stadium analgesia) Stadium II (Stadium eksitasi atau stadium delirium) Stadium III (Stadium anestesia atau stadium operasi) Stadium IV (Stadium paralysis) Penilaian dan persiapan pra anestesi meliputi :
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Anamnesis Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan Laboratorium Klasifikasi Status Fisik Masukan Oral Premedikasi Obat-obat Induksi Intravena Pemeliharaan Anastesi (Maintanance) Pemulihan Anastesi
DAFTAR PUSTAKA
Calvey, Norman; Williams, Norton. Principles and Practice of Pharmacology for Anaesthetists. Fifth edition. Blackwell Publishing 2008; 110-126, 207-208 Dobson, M.B.,ed. Dharma A., 1994 Penuntun Praktis Anestesi. Jakarta
Dewoto HR, et al. Farmakologi dan Terapi Edisi 5, cetak ulang dengan tambahan, tahun 2012. Analgesik opioid dan antagonisnya. Balai Penerbit FKUI Jakarta 2012; 210-218 Fentanyl.
Available
at:
http://www.webmd.com/pain-management/fentanyl.
Accessed on 2 juni 2014 Ganiswara, Silistia G., 1995. Farmakologi dan Terapi (Basic Therapy Pharmacology). Alih Bahasa: Bagian Farmakologi FKUI. Jakarta, Latief, Said A, Sp.An; Suryadi, Kartini A, Sp.An; Dachlan, M. Ruswan, Sp.An. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Jakarta 2010; 46-47, 81 Muhiman, Muhardi, dr. et al. Anestesiologi. Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Jakarta; 65-71 Propofol. Available at: http://reference.medscape.com/drug/diprivan-propofol343100#0. Werth, M. 2010. Pokok-Pokok Anestesi. Jakarta: EGC
View more...
Comments