REFERAT Anemia Inflamasi Dan Penyakit Kronis

March 29, 2017 | Author: rahmat | Category: N/A
Share Embed Donate


Short Description

Download REFERAT Anemia Inflamasi Dan Penyakit Kronis...

Description

REFERAT Anemia Pada Inflamasi dan Penyakit Kronis

Pembimbing:

Oleh

HALAMAN PENGESAHAN TUGAS REFERAT Anemia Pada Inflamasi dan Penyakit Kronis

Oleh Disusun untuk memenuhi tugas Diterima dan disahkan, Purwokerto,

Mei 2016

Dosen Pembimbing,

2

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Anemia pada penyakit kronik adalah anemia yang dijumpai pada penyakit kronik tertentu yang khas ditandai oleh gangguan metabolisme besi yaitu adanya hipoferemia sehingga menyebabkan berkurangnya penyediaan besi yang dibutuhkan Ciri khas anemia pada penyakit kronik adalah gangguan hemostasis besi yaitu meningkatnya uptake dan retensi besi dalam sel sel retikuloendotelial. Ini menimbulkan perpindahan besi dari sirkulasi kedalam tempat penyimpanan besi tubuh didalam sistem retikuloendotelial sehingga penyediaan besi untuk sel progenitor eritroid di sumsum tulang dalam proses eritropoisis akan berkurang dan terjadi eritropoisis dengan restriksi besi. Karakter biologik dan hematologik anemia yang berhubungan dengan kanker adalah sama dengan anemia pada penyakit kronik.

Anemia penyakit kronis sering bersamaan dengan anemia

defisiensi besi dan keduanya memberikan gambaran penurunan besi serum. Oleh karena itu penentuan parameter besi yang lain diperlukan untuk membedakannya. Pemeriksaan rutin yang dilakukan untuk menentukan defisiensi besi akan menemui kesulitan bila berkaitan dengan anemia penyakit kronis. Pemeriksaan khusus seperti pengecatan sumsum tulang untuk menentukan cadangan besi.

3

II. Tujuan 1. Mengetahui penyebab Anemia Pada Inflamasi dan Penyakit Kronis 2. Mengetahui mekanisme terjadinya Anemia Pada Inflamasi dan Penyakit Kronis 3. Mengetahui gejala klinis dari Anemia Pada Inflamasi dan Penyakit Kronis 4. Mengetahui terapi yang diberikan untuk pasien Anemia Pada Inflamasi dan Penyakit Kronis 5. Mengetahui komplikasi yang dapat terjadi akibat Anemia Pada Inflamasi dan Penyakit Kronis

4

BAB II PEMBAHASAN A. Definisi Anemia didefinisikan sebagai kondisi dimana terjadinya penurunan konsentrasi eritrosit atau hemoglobin pada darah sampai dibawah normal (Patologi Klinik Undip, 2012). Hal ini terjadi apabila keseimbangan antara kehilangan darah (lewat perdarahan atau penghancuran sel) dan produksi darah terganggu. Dengan kata lain, anemia terjadi apabila kadar eritrosit atau hemoglobin dalam darah menurun dan mengakibatkan penurunan fungsi utamanya (Dorland, et al., 2008)

Tabel 1. Nilai Normal Hemoglobin (Patologi Klinik Undip, 2012) Usia terhadap Anemia Usia memiliki keterkaitan dalam proses kejadian anemia. Dalam survey National Health And Nutrition Examination Survey ketiga (NHANES III), insidensi terjadinya anemia pada pria dan wanita berusia lebih dari 65 tahun sekitar 11 % dan 10%.9 Hal ini patut diperhatikan karena kejadian anemia pada usia senja akan memberikan efek lanjutan, diantaranya peningkatan resiko terjadinya sindroma geriatri seperti jatuh, demensia, komplikasi, dependensi, gangguan kardiovaskuler, bahkan kematian.

5

B. Epidemiologi Anemia pada penyakit kronik adalah anemia paling sering nomor dua setelah anemia defisiensi besi. Tidak ada data epidemiologis mengenai semua kondisi penyakit dasar yang berhubungan dengan anemia pada penyakit kronik. Prevalensi dan beratnya anemia berhubungan dengan stage penyakit dan kondisi penyakit dasar. Prevalensi anemia pada pasien kanker dipengaruhi prosedur terapi dan umur. Suatu studi melaporkan prevalensi tinggi yaitu 77% laki laki tua dan 68% perempuan tua dengan kanker menderita anemia. Studi lain menunjukkan anemia terjadi pada 41% pasien tumor solid. Di Rumah Sakit Sanglah Denpasar, penyebab tersering anemia pada penyakit kronik adalah tuberkulosis paru. Belum banyak data epidemiologis anemia pada penyakit kronik dipublikasikan di Indonesia (Wibawa & Bakta, 2008). C. Etiologi Secara garis besar, anemia pada penyakit kronik dibagi menjadi beberapa kategori yaitu (Litchman, et al., 2009): 1. Infeksi: AIDS/ HIV, tuberkulosis, malaria, osteomielitis, abses kronik, dan sepsis, 2. Inflamasi: arthritis rheumatoid, kelainan reumatologi, inflammatory bowel disease, sindrom respons inflamasi sistemik, 3. Keganasan: karsinoma, myeloma multipel, limfoma, 4. Disregulasi sitokin: anemia akibat penuaan. Penyebab

utama

dari

anemia

pada

penyakit

kronik

adalah

ketidakmampuan tubuh meningkatkan produksi eritrosit (Litchman, et al., 2009). Ciri khas dari anemia pada penyakit kronik adalah disregulasi homeostasis besi dimana

terjadi

pengambilan

dan

penyimpanan

besi

melalui

sistem

retikuloendotelial. Dengan demikian, jumlah besi untuk sel progenitor eritroid dan eritropoeisis tidak memadai (Weiss & Goudnough, 2005).

6

Mekanisme pasti dari anemia pada penyakit kronik masih belum dimengerti. Dari beberapa penelitian, anemia pada penyakit kronik pada arthritis rheumatoid melibatkan banyak faktor seperti gangguan pelepasan besi oleh sistem fagositik mononuklear, besi yang terikat kuat dengan protein, penurunan respons eritropoeitin, dan efek supresif interleukin dalam eritropoeisis (Djourban, 2010). Adapun patogenesis dari anemia apda penyakit kronik adalah (Litchman, et al., 2009): 1. Destruksi eritrosit yang disebabkan oleh aktivasi faktor pejamu seperti makrofag yang memfagosit yang eritrosit secara prematur. Hal ini ditandai dengan ditemukannya eritrosit muda dalam jumlah besar. Keterlibatan faktor ekstrinsik seperti toksin bakteri dan pengobatan belum diketahui. 2. Resistensi dan inadekuasi eritropoetin. Penurunan produksi eritropoetin disebabkan oleh efek inhibisi sitokin inflamasi seperti TNF alfa dan interleukin. Inhibisi ini diperantarai oleh GATA 1 pada promoter eritropoetin. Disamping itu, berdasarkan penelitian, terjadinya resistensi dibuktikan melalui pasien dengan kadar eritropoetin yang tinggi, memiliki hemoglobin yang rendah. 3. Keterbatasan besi sehingga menghambat eritropoeisis. Hal ini dapat disebabkan oleh : a. Pengeluaran sitokin inflamasi yaitu IL-6 merangsang pengeluaran hepsidin . Hepsidin ini akan menginduksi internalisasi serta degradasi ferroportin, transpor keluar besi. Oleh karena itu, pengeluaran hepsidin akan menghambat pengeluaran besi dari makrofag, hepatosit, dan enterosit. Pada akhirnya, akan terjadi hipoferemia. b. Inhibisi absorpsi besi pada usus oleh IL-6 dan hepsidin selama inflamasi. Setiap hari, 1-2 mg besi yang berasal dari makanan dibutuhkan untuk eritropoeisis. c. Keterbatasan besi menyebabkan protoporfirin yang seharusnya berikatan dengan besi untuk membentuk heme, lebih cenderung mengikat zinc. Oleh

7

karena itu, kadar protoporfirin-zinc meningkat pada pasien anemia pada penyakit kronik 4. Kegagalan proliferasi sel progenitor eritroid terutama oleh efek inhibisi interferon gamma. Selain itu, sitokin seperti NO yang diproduksi oleh makrofag bersifat toksik terhadap sel progenitor.

D. Metabolisme Besi Metabolisme besi terutama ditujukan untuk pembentukan hemoglobin. Sumber utama untuk reutilisasi terutama bersumber dari hemoglobin eritrosit tua yang dihancurkan oleh makrofag sistem retikuloendotelial. Pada kondisi seimbang terdapat 25 ml eritrosit atau setara dengan 25 mg besi yang difagositosis oleh makrofag setiap hari, tetapi sebanyak itu pula eritrosit yang akan dibentuk dalam sumsum tulang atau besi yang dilepaskan oleh makrofag ke dalam sirkulasi darah setiap hari. Besi dari sumber makanan yang diserap duodenum berkisar 1–2 mg, sebanyak itu pula yang dapat hilang karena deskuamasi kulit, keringat, urin dan tinja. Besi plasma atau besi yang beredar dalam sirkulasi darah terutama terikat oleh transferin sebagai protein pengangkut besi. Kadar normal transferin plasma ialah 250 mg/dl, secara laboratorik sering diukur sebagai protein yang menunjukkan kapasitas maksimal mengikat besi. Secara normal 25–45% transferin terikat dengan besi yang diukur sebagai indeks saturasi transferin.Total besi yang terikat transferin ialah 4 mg atau hanya 0,1% dari total besi tubuh. Sebanyak 65% besi diangkut transferin ke prekursor eritrosit di sumsum tulang yang memiliki banyak reseptor untuk transferin. Sebanyak 4% digunakan untuk sintesis mioglobin di otot, 1% untuk sintesis enzim pernafasan seperti sitokrom C dan katalase. Sisanya sebanyak 30% disimpan dalam bentuk feritin dan hemosiderin. Kompleks besi transferin dan reseptor transferin masuk ke dalam sitoplasma prekursor eritrosit melalui endositosis. Sebanyak 80–90% molekul besi yang masuk ke dalam prekursor eritrosit akan dibebaskan dari endosom dan reseptor transferin akan dipakai lagi, sedangkan transferin akan

8

kembali ke dalam sirkulasi. Besi yang telah dibebaskan dari endosom akan masuk ke dalam mitokondria untuk diproses menjadi hem setelah bergabung dengan protoporfirin, sisanya tersimpan dalam bentuk feritin. Dalam keadaan normal 30– 50% prekursor eritrosit mengandung granula besi dan disebut sideroblast. Sejalan dengan maturasi eritrosit, baik reseptor transferin maupun feritin akan dilepas ke dalam peredaran darah. Feritin segera difagositosis makrofag di sumsum tulang dan setelah proses hemoglobinisasi selesai eritrosit akan memasuki sirkulasi darah. Ketika eritrosit berumur 120 hari akan difagositosis makrofag sistem retikuloendotelial terutama yang berada di limpa. Sistem tersebut berfungsi terutama melepas besi ke dalam sirkulasi untuk reutilisasi. Terdapat jenis makrofag lain seperti makrofag alveolar paru atau makrofag jaringan lain yang lebih bersifat menahan besi daripada melepaskannya. Proses penghancuran eritrosit di limpa, hemoglobin dipecah menjadi hem dan globin. Dalam keadaan normal molekul besi yang dibebaskan dari hem akan diproses secara cepat di dalam kumpulan labil (labile pool) melalui laluan cepat pelepasan besi (the rapid pathway of iron release) di dalam makrofag pada fase dini. Molekul besi ini dilepaskan ke dalam sirkulasi, yang selanjutnya berikatan dengan transferin bila tidak segera dilepas. Maka molekul besi akan masuk jalur fase lanjut yang akan diproses untuk disimpan oleh apoferitin sebagai cadangan besi tubuh. Kemudian dilepas ke dalam sirkulasi setelah beberapa hari melalui laluan lambat (the slower pathway). Penglepasan besi dari makrofag tidak berjalan secara langsung, tetapi melalui proses oksidasi di permukaan sel agar terjadi perubahan bentuk ferro menjadi ferri, sehingga dapat diangkut oleh transferin plasma. Reaksi oksidasi tersebut dikatalisasi oleh seruloplasmin. Kecepatan pelepasan besi ke dalam sirkulasi oleh makrofag lebih cepat terjadi pada pagi hari, sehingga kadar besi plasma menunjukkan variasi diurnal (Muhammad & Sianipar, 2005).

9

E. Manifestasi Klinis Gejala berupa pucat, sesak napas, dan sakit kepala. Namun, pada anemia moderat dengan Hb
View more...

Comments

Copyright ©2017 KUPDF Inc.
SUPPORT KUPDF