REFERAT Anemia Gravis Elsya Natalia
August 18, 2018 | Author: elsyanatalia | Category: N/A
Short Description
test...
Description
REFERAT ANEMIA GRAVIS
Oleh : Elsya Natalia P 15710263 Pembimbing dr. Nisvi Dewi Andaningrum, Sp.PD BAGIAN SMF ILMU PENYAKIT DALAM RUMAH SAKIT UMUM DAERAH SIDOARJO 2017
1
BAB I PENDAHULUAN
Anemia adalah suatu masalah kesehatan global yang terjadi pada negara berkembang maupun negara maju, dapat dap at terjadi pada seluruh fase kehidupan, namun paling sering terjadi p ada wanita hamil dan anak-anak. Anemia merupakan salah satu indikator buruknya nutrisi dan status kesehatan seseorang. Anemia dapat meningkatkan risiko mortalitas ibu dan anak, menghambat perkembangan kognitif dan psikologis anak, dan menurunkan produktifitas seseorang.1 Secara global, berdasarkan data WHO tahun 1993 hingga 2005, anemia diderita oleh 1,62 milyar orang. Prevalensi tertinggi terjadi pada anak usia belum sekolah, dan prevalensi terendah pada laki-laki dewasa. Asia tenggara merupakan salah satu daerah yang dikategorikan berat dalam prevalensi anemia.2 Anemia adalah keadaan berkurangnya sel darah merah atau konsentrasi hemoglobin (Hb) di bawah nilai normal sesuai usia dan jenis kelamin. Anemia dipengaruhi oleh tiga faktor utama yaitu usia, jenis kelamin, dan populasi. Diagnosis anemia
ditegakkan
berdasarkan
temuan
anamnesis,
pemeriksaan
fisik,
dan
laboratorium yang dapat mendukung sehubungan dengan gejala klinis yang sering tidak khas. Suatu anemia gravis dikatakan bila konsentrasi Hb ≤ 7 g/dL selama 3 bulan berturut-turut atau lebih. Anemia gravis dapat dikarenakan kanker, malaria, thalassemia mayor, defisiensi besi, leukemia, dan infeksi cacing1
2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi anemia gravis
Anemia gravis adalah anemia anemia apa bila konsentrasi Hb ≤ 7 g/dL selama 3 bulan berturut-turut atau lebih. Anemia gravis timbul akibat penghancuran sel darah merah yang cepat dan hebat. Anemia gravis lebih sering dijumpai pada penderita anak-anak. Anemia gravis dapat bersifat akut dan kronis. Anemia kronis dapat disebabkan oleh anemia defisiensi besi (ADB), sickle cell anemia (SCA), talasemia, spherocytosis, spherocytosis, anemia aplastik dan leukemia. Anemia gravis kronis juga dapat dijumpai pada infeksi kronis seperti tuberkulosis (TBC) atau infeksi parasit yang lama, seperti malaria, cacing dan lainnya. Anemia gravis sering memberikan gejala serebral seperti tampak bingung, kesadaran menurun sampai koma, serta gejala-gejala gangguan jantung-paru 3
B. Fisiologi Eritrosit
Eritrosit (sel darah merah) dihasilkan pertama kali di dalam kantong kuning saat embrio pada minggu-minggu pertama. Setiap milliliter darah mengandung sekitar 5 milyar eritrosit, sehingga secara klinis kadar eritrosit dilaporkan sebagai 5 juta sel/mm3. Eritrosit adalah sel berbentuk piringan bikonkaf dengan diameter 8µm, ketebalan 2 µm di tepi luar, dan ketebalan 1 µm di bagian tengah. Bentuk bikonkaf akan menghasilkan luas permukaan yang lebih besar untuk difusi oksigen menembus membrane dibandingkan dengan bentuk sel bulat dengan volume yang sama. Tipisnya sel memungkinkan oksigen cepat berdifusi antara bagian paling dalam sel dan eksterior sel. Ciri anatomik terpenting yang memungkinkan eritrosit mengangkut oksigen adalah adanya hemoglobin di dalamnya.3
3
Molekul hemoglobin memiliki dua bagian : 1. Globin, yaitu suatu protein yang terbentuk dari empat rantai polipeptida yang sangat berlipat-lipat. 2. Gugus heme, yaitu empat gugus non protein yang mengandung besi yang masing-masing berikatan dengan salah satu polipeptida. Masing-masing dari keempat atom besi dapat berikatan secara reversible dengan satu molekul oksigen. Oleh karena itu, satu molekul hemoglobin dapat mengambil empat molekul oksigen di paru. Sekitar 98,5% oksigen di dalam darah terikat ke hemoglobin.3
Berikut ini struktur molekul hemoglobin :
Gambar 2.2. Struktur molekul hemoglobin3
Selain mengangkut oksigen, hemoglobin juga dapat berikatan dengan : a. Karbon dioksida (CO2). Hemoglobin membantu mengangkut gas ini dari sel jaringan kembali ke paru. b. Bagian hidrogen asam (H+) dari asam karbonat terionisasi. 4
Zat ini dihasilkan di tingkat jaringan dari karbon dioksida. Hemoglobin menyangga asam ini sehingga asam ini tidak banyak menyebabkan perubahan pH darah. c. Karbon monoksida (CO). Gas ini dalam keadaan normal tidak terdapat di dalam darah, tetapi jika terhirup maka gas ini cenderung menempati bagian hemoglobin yang berikatan dengan oksigen sehingga terjadi keracunan CO. d. Nitrat oksida (NO) Di paru, NO yang bersifat vasodilator berikatan dengan hemoglobin. NO ini dibebaskan di jaringan, tempat zat ini melemaskan dan melebarkan arteriol local. Vasodilatasi ini membantu menjamin bahwa darah kaya oksigen dapat mengalir lancar dan juga membantu menstabilkan tekanan darah.6 Oleh sebab itu, hemoglobin berperan besar dalam transport oksigen, sekaligus memberi kontribusi signifikan pada transport karbon dioksida dan kemampuan
darah
menyangga
pH.
Selain
itu,
dengan
mengangkut
vasodilatornya sendiri, hemoglobin membantu menyalurkan oksigen yang dibawanya.3 Untuk memaksimalkan kandungan hemoglobin, satu eritrosit dipenuhi oleh lebih dari 250 juta molekul hemoglobin, menyingkirkan hamper semua organel yang lain. Sel darah merah tidak mengandung nucleus, organel, atau ribosom. Selama perkembangan sel, struktur-struktur ini dikeluarkan untuk menyediakan ruang lebih banyak bagi hemoglobin.3 Selama perkembangan intra uterus, eritrosit mula-mula dibentuk oleh yolk sac dan kemudian oleh hati dan limpa, sampai sumsum tulang terbentuk dan mengambil alih produksi eritrosit secara eksklusif. Pada anak-anak, sebagian besar tulang terisi oleh sumsum tulang merah yang mampu memproduksi sel darah. Namun, seiring pertambahan usia, sumsum tulang kuning
yang
tidak
mampu
melakukan
5
eritropoiesis
perlahan-lahan
menggantikan sumsum merah, yang tersisa hanya di beberapa tempat, seperti sternum, iga, dan ujung-ujung proksimal tulang panjang di ekstremitas.3 Berikut ini tahapan pembentukan eritrosit di dalam sumsum tu lang :
Gambar 2.3. Tahapan pembentukan eritrosit3
Di dalam sumsum merah terdapat pluripotent stem cell yang belum berdiferensiasi, yang kemudian secara terus-menerus membelah diri dan berdiferensiasi untuk menghasilkan semua jenis sel darah. Myeloid stem cell adalah stem cell yang telah berdiferensiasi sebagian yang akan berkembang menjadi eritrosit dan beberapa jenis sel darah lainnya. Eritroblas merupakan sel yang masih memiliki nucleus dan organel-organel sel. Retikulosit merupakan eritrosit imatur yang masih mengandung organel remnants. Eritrosit matur sudah tidak memiliki nucleus maupun organel, dan kemudian akan dilepaskan ke dalam kapiler yang menembus sumsum tulang.3 Gambar
berikut
ini
menunjukkan
diperankan oleh eritropoietin :
6
regulasi
eritropoiesis
yang
Gambar 2.4. Regulasi pembentukan eritrosit4
Pada keadaan penurunan perfusi oksigen ke ginjal, misalnya pada hipoksia atau proses hemolisis, maka ginjal akan terangsang untuk mengeluarkan eritropoietin ke dalam darah, sehingga terjadi eritropoiesis di sumsum tulang. Eritropoietin akan merangsang maturasi dan proliferasi eritrosit. Peningkatan aktivitas eritropoietik ini meningkatkan jumlah eritrosit di dalam darah, sehingga kapasitas darah mengangkut oksigen meningkat dan penyaluran oksigen ke jaringan kembali normal. Jika penyaluran oksigen ke
7
ginjal telah kembali normal, maka sekresi eritropoietin akan dihentikan sampai dibutuhkan kembali. Dengan mekanisme ini, produksi eritrosit dalam keadaan normal disesuaikan dengan kerusakan atau kehilangan sel-sel tersebut, sehingga kemampuan darah mengangkut oksigen relatif konstan. Pada kehilangan eritrosit yang berlebihan, misalnya pada perdarahan atau kerusakan abnormal eritrosit muda dalam darah, laju eritropoiesis dapat meningkat menjadi lebih dari enam kali lipat nilai normal.4
Siklus hidup sel darah merah dijelaskan pada gambar berikut :
Gambar 2.5. Siklus hidup eritrosit4 8
Setelah dibentuk dan di sumsum tulang, sel darah merah akan dikeluarkan menuju aliran darah. Tanpa DNA dan RNA, eritrosit tidak dapat membentuk protein untuk memperbaiki sel, tumbuh, dan membelah atau memperbarui enzim-enzimnya. Eritrosit hanya bertahan hidup selama sekitar 120 hari, dengan kecepatan penghancuran rata-rata dua hingga tiga juta sel per detik.3 Seiring dengan proses penuaan, membrane plasma eritrosit yang tidak dapat diperbaiki akan menjadi rapuh dan mudah pecah sewaktu sel terjepit melewati titiktitik penyempitan di dalam system vaskular. Sebagian besar eritrosit tua dihancurkan di limpa, karena jaringan kapiler organ ini yang sempit dan berkelok-kelok merusak sel-sel rapuh ini. Sel darah merah dari sirkulasi akan keluar melalui arteriol di pulpa limpa, kemudian melalui pori-pori kecil akan memasuki sinus limpa. Di dalam sinus limpa inilah eritrosit dihancurkan, kemudian fragmen selnya difagosit oleh makrofag yang ada di sumsum tulang, nodus limfoid, limpa, dan hati. Heme yang dihasilkan pada proses hemolisis akan diubah menjadi bilirubin, sedangkan zat besi akan digunakan kembali untuk pembentukan hemoglobin.4 Sekitar dua pertiga zat besi yang ada di dalam tubuh terkandung di dalam hemoglobin. Seperempatnya ada dalam bentuk zat besi simpanan (ferritin, hemosiderin), dan sisanya sebagai zat besi fungsional (mioglobin dan enzim-enzim yang mengandung besi). Tubuh akan kehilangan zat besi sebesar 1-2 mg/hari. Penyerapan zat besi di usus terutama terjadi di duodenum dan bervariasi jumlahnya tergantung kebutuhan tubuh. Tubuh akan menyerap 3-15 persen zat besi dari makanan, dan dapat meningkat hingga 25 persen pada defisiensi zat besi. Konsumsi zat besi minimum yang direkomendasikan paling sedikit adalah 10-20 mg/hari.4
9
Berikut ini proses absorpsi, penyimpanan, dan daur ulang zat besi di dalam tubuh :
Gambar 2.6. Absorpsi, penyimpanan, dan daur ulang zat besi4
10
Zat besi diabsorpsi dari duodenum dari makanan, terutama dari hemoglobin dan mioglobin pada daging dan ikan. Zat besi tersebut sebagian besar dalam bentuk Fe2+, yang akan langsung diabsorpsi dalam bentuk heme- Fe2+. Setelah memasuki sel mukosa, enzim heme oksigenase akan melepaskan heme dan Fe2+, kemudian Fe2+ akan dioksidasi menjadi Fe3+. Bentuk tersebut dapat tetap berada di dalam sel mukosa dalam bentuk ferritin-Fe3+ untuk kemudian dikembalikan lagi ke lumen usus pada saat regenerasi sel, atau dapat pula masuk ke sirkulasi darah.4 Zat besi yang tidak terikat dengan heme hanya dapat diabsorpsi oleh sel mukosa usus dalam bentuk Fe2+, sehingga Fe3+ yang tidak terikat heme harus terlebih dahulu direduksi menjadi Fe2+ oleh enzim ferri reduktase dan askorbat yang berada di permukaan sel mukosa muk osa usus. Kemudian Fe2+ diabsorpsi melalui proses transport aktif sekunder, yaitu melalui protein simport Fe2+-H+. Dalam proses ini, pH kimus yang rendah berperan penting untuk meningkatkan kadar H+ sehingga transport Fe2+ ke dalam sel mukosa meningkat, serta untuk memisahkan zat besi dari kompleks makanan di usus.4 Penyerapan zat besi ke dalam aliran darah diregulasi oleh mukosa usus. Ketika terjadi defisiensi zat besi, aconitase (protein regulasi zat besi) yang berada di sitosol akan berikatan dengan ferritin-mRNA, sehingga terjadi inhibisi translasi ferritin. Maka, jumlah Fe2+ yang dapat memasuki aliran darah akan meningkat.4 Fe2+ di dalam darah dioksidasi oleh ceruroplasmin menjadi Fe3+ yang kemudian berikatan dengan apotransferin, yaitu suatu protein yang berperan dalam transport zat besi di dalam plasma, dan membentuk transferin. Transferin akan mengalami endositosis oleh eritroblas dan sel-sel hepar melalui reseptor transferin. Setelah zat besi diabsorpsi oleh sel, maka apotransferin akan terlepas dari zat besi sehingga memiliki kemampuan kembali untuk mengikat zat besi dari usus dan makrofag.4 Feritin merupakan salah satu bentuk terbanyak dari zat besi simpanan di dalam tubuh, dan mengandung hingga 4500 ion Fe3+, sehingga dapat menyediakan zat besi secara cepat bagi tubuh (sekitar 600 mg zat besi), dimana kemampuan hemosiderin dalam menyediakan zat besi jauh lebih lambat (sekitar 250 mg zat besi
11
di dalam makrofag di hepar dan sumsum tulang). Hb-Fe dan heme-Fe dikeluarkan dari eritroblas yang rusak dan sel darah merah yang mengalami hemolisis, kemudian berikatan dengan haptoglobin dan hemopexin, lalu difagosit oleh makrofag di sumsum tulang, hepar, dan limpa, kemudian 97 persen zat besi akan digunakan kembali.4 Vitamin B12 (kobalamin) dan asam folat juga dibutuhkan dalam proses eritropoiesis, terutama berperan dalam sintesis DNA. Berikut ini peran zat-zat tersebut dalam proses eritropoiesis :
Gambar 2.7. Peran asam folat dan vitamin B12 dalam eritropoiesis4
C. Etiologi Dan Klasifikasi Anemia
Anemia dapat diklasifikasikan berdasarkan :5 1.
Etiopatogenesis A. Gangguan pembentukan eritrosit di sumsum tulang 1. Kekurangan bahan esensial pembentuk eritrosit a) Anemia defisiensi besi
12
b) Anemia defisiensi asam folat c) Anemia defisiensi vitamin B12 2. Gangguan penggunaan besi a) Anemia akibat penyakit kronik b) Anemia sideroblastik 3. Kerusakan sumsum tulang a) Anemia aplastik b) Anemia mieloplastik c) Anemia pada keganasan hematologi d) Anemia diseritropoietik e) Anemia pada sindrom mielodisplastik 4. Anemia akibat kekurangan eritropoietin B. Anemia hemoragik 1. Anemia pasca perdarahan akut 2. Anemia akibat perdarahan kronik C. Anemia hemolitik 1. Anemia hemolitik intrakorpuskular a) Gangguan membran eritrosit (membranopati) b) Gangguan enzim eritrosit (enzimopati)
Anemia akibat defisiensi G6PD
c) Gangguan hemoglobin (hemoglobinopati)
Thalassemia
Hemoglobinopati struktural : HbS, HbE, dll
2. Anemia hemolitik ekstrakorpuskular a) Anemia hemolitik autoimun b) Anemia hemolitik mikroangiopati c) Lainnya D. Anemia dengan penyebab tidak diketahui atau dengan pathogenesis yang kompleks5
13
2.
Gambaran morfologik (melalui indeks eritrosit atau hapusan darah tepi) A. Anemia hipokromik mikrositer, bila MCV
View more...
Comments