Referat Acute Liver Failure
July 31, 2022 | Author: Anonymous | Category: N/A
Short Description
Download Referat Acute Liver Failure...
Description
BAB I PENDAHULUAN
Acute Liver Failure (ALF) merupakan sindrom klinis kerusakan berat fungsi hati (ensefalopati, koagulopati dan jaundice) dan disfungsi organ multipel dalam waktu 6 bulan sejak onset gejala.1,2 Dengan insidensi kurang dari 10 kasus per 1 juta orang per tahun, gagal hati akut umumnya terlihat pada dewasa sehat umur 30an, dan memiliki tantangan yang unik dalam penatalaksanaannya.3 Walaupun biasanya penyebabnya akut (paling banyak virus atau obat) pada seseorang yang sebelumnya sehat, acute liver failure dapat juga terjadi karena penyakit hati kronis, terutama Wilson’s disease atau hepatitis kronis autoimun. Etiologi lain yang kurang umum diantaranya Budd-Chiari syndrome, acute liver failure of pregnancy, dan keganasan. Penyebab acute liver failure tidak dapat diidentifikasi pada 15% kasus. Prediktor terbaik untuk kesembuhan spontan dan perlunya transplantasi hati berdasarkan etiologi yang mendasari. Penentuan etiologi diperlukan dalam tata laksana acute liver failure.2 Secara klinis, pasien dengan ALF dapat berkembang komplikasi, termasuk ensefalopati hati, ginjal, jantung, dan kegagalan paru, yang sering diramalkan oleh systemic inflammatory response syndrome. Meskipun strategi penatalaksanaan telah dikembangkan untuk ALF selama beberapa dekade terakhir, seperti sistem pendukung hati yang menggantikan fungsi seperti detoksifikasi dan homeostasis metabolik, transplantasi hati tetap menjadi pengobatan yang paling menjanjikan untuk ALF.4
1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi Definisi asli dari fulminant liver failure oleh Trey dan Davidson pada 1959 menetapkan suatu onset ensefalopati hepatik dalam 8 minggu dari gejala pertama sakit, pada pasien tanpa penyakit hati yang sedang berlangsung. Definisi yang lebih luas termasuk pasien dengan onset penyakit menjadi ensefalopati selama 26 minggu, walaupun pada mayoritas kasus terjadi dalam durasi lebih pendek. Satu klasifikasi yang lebih luas membedakan acute liver failure menjadi hiperakut, akut, dan subakut berdasarkan interval antara jaundice dan ensefalopati.2 Klasifikasi lainnya mengelompokkan liver failure menjadi fulminant, subfulminant, dan late-onset hepatic failure. Fulminant hepatic failure yaitu saat mulainya jaundice menjadi ensefalopati kurang dari 2 minggu dan subfulminant hepatic failure saat lebih dari 2 minggu. Late onset liver failure saat perkembangannya lebih dari 8 minggu (tetapi kurang dari 24 minggu) setelah gejala pertama. 2 Tabel 1 Klasifikasi Gagal Hati Akut
2
B. Epidemiologi dan Etiologi Insiden dan etiologi dari ALF bervariasi sesuai dengan wilayah geografis yang berbeda, dan hepatitis virus dan konsumsi obat atau racun adalah penyebab paling umum.5,6 Asia dan negara-negara berkembang menyumbangkan kasus paling
banyak, diperkirakan karena masih tingginya prevalensi hepatitis viral dan kurangnya paparan terhadap obat-obatan. Banyak negara barat menunjukkan penurunan etiologi viral dan peningkatan dalam kasus gagal hati karena
2
parasetamol dan idiosinkrasi obat. Di USA dan UK, bunuh diri dengan parasetamol menyebabkan 45-60% acute liver failure dan idiosinkrasi obat sebanyak 12% kasus.2 1. Hepatitis Viral Di USA, hepatitis viral hanya 11% sebagai penyebab acute liver failure, dimana 2,5% berasal dari hepatitis A, 7,7% dari hepatitis B, dan sisanya dari virus lainnya. Di India, lebih dari 95% penyebab acute liver failure adalah virus, dengan 40% dari hepatitis E, dan 25-30% dari hepatitis B. Hepatitis B merupakan 80% penyebab acute liver failure dan dua-pertiganya memerlukan transplantasi hati. Walaupun digolongkan sebagai akut, banyak yang mungkin merupakan kemunculan tiba-tiba dari hepatitis B kronis, yang timbul dari perubahan keseimbangan antara respons imun dan replikasi virus. 2 Meskipun hepatitis A memiliki distribusi yang luas, tetapi merupakan penyebab acute liver failure yang jarang dan menurun dengan cepat di Amerika Serikat. Indikator prognosis jelek terdiri atas kreatinin di atas 2,0 mg/dL, SGPT kurang dari 2600 IU/mL, dan kebutuhan untuk dukungan ventilasi atau pressor. Mereka yang memiliki penyakit hati kronis mungkin lebih rentan, dengan gagal hati terjadi pada hingga 41% pasien dengan penyakit dasar hepatitis C kronis yang tertular hepatitis A. Vaksinasi terhadap hepatitis A serta hepatitis B dianjurkan bagi mereka dengan penyakit hati kronis akibat hepatitis C serta penyebab lain.
2
Kegagalan hati terjadi pada sekitar 1% pasien dengan hepatitis B akut dan penyakit kuning. IgM inti antibodi hepatitis B (anti-HBc) akan positif pada hepatitis B fulminan. Namun, diagnosis dapat dikaburkan karena sepertiga hingga setengah pasien menjadi seronegatif untuk antigen permukaan hepatitis B (HBsAg) setelah beberapa hari. Superinfeksi dengan virus hepatitis D menyebabkan 4% dari acute liver failure pada hepatitis B di daerah endemik tetapi jarang di Amerika Serikat. 2 Infeksi HBV diklasifikasikan menjadi jenis infeksi HBV transient dan eksaserbasi akut pada carrier HBV inaktif. Reaktivasi replikasi virus pada carier inaktif hepatitis B dapat memicu gagal hati akut, baik secara spontan atau karena kemoterapi atau imunosupresi untuk transplantasi organ. Selain itu, pengenalan rituximab plus terapi kombinasi steroid untuk limfoma non-Hodgkin baru-baru ini dikaitkan dengan reaktivasi HBV.2,7,8
3
Hepatitis C sebagai penyebab gagal hati akut tampaknya sangat langka di Amerika Serikat dan Eropa, tetapi lebih umum di Timur. Dalam beberapa seri, RNA HCV terdeteksi hingga pada setengah dari pasien dengan non-A dan non-B hepatitis fulminan. Namun, penanda infeksi hepatitis B kronis dapat ditekan dengan infeksi HCV akut, menyebabkan atribusi yang salah tentang kerusakan hati karena hepatitis C saja.2 Hepatitis E, seperti hepatitis A, menyebar terutama melalui penampungan air yang terkontaminasi. Meskipun jarang di Barat, hepatitis E merupakan penyebab utama gagal hati akut di daerah endemis seperti India, Asia Tengah dan Asia Tenggara, Meksiko dan Afrika Utara.2 Virus lainnya dapat menyebabkan nekrosis hati yang fatal terutama pada individu immunocompromised, diantaranya herpes simplex, varicella zoster, cytomegalovirus, adenovirus, Epstein - Barr, demam berdarah dan Parvovirus B19.2 2. Parasetamol Parasetamol adalah racun yang berhubungan dengan dosis, agen bunuh diri yang paling umum di Inggris. Pada tahun 1998, undang-undang yang berlaku di Inggris mengamanatkan parasetamol dijual dalam kemasan blister dengan jumlah tablet terbatas bila diperoleh tanpa resep. Sejak itu, telah terjadi pengurangan frekuensi berat hepatotoksisitas terkait-parasetamol, yang berhubungan dengan transplantasi dan kematian. Namun, di USA parasetamol tetap menjadi penyebab utama dari gagal hati akut, yang terdiri dari 46% kasus dalam database Acute Liver Failure Study Group (ALFSG) USA. Berbeda dengan Inggris, hampir setengah dari kasus-parasetamol gagal hati akut dianggap tidak disengaja dan sangat terkait dengan penggunaan berlebihan dan penyalahgunaan senyawa yang mengandung narkotika.2 Liver injury yang tidak disengaja dapat terjadi dari self-medication untuk nyeri atau demam dengan dosis parasetamol melebihi 4 g/hari. Puasa dan alkohol dapat meningkatkan toksisitas, tapi ini masih kontroversial. N-acetylcysteine (NAC) dapat mencegah kerusakan hati jika diberikan dalam waktu 12 jam dari konsumsi tunggal. Namun, overdosis yang tidak disengaja biasanya disadari setelah gejala berkembang. Dosis parasetamol yang diperpanjang, keterlambatan dalam mencari bantuan medis, dan/atau kegagalan untuk terapi NAC berhubungan dengan morbiditas dan mortalitas yang lebih besar.9 Gambaran karakteristik toksisitas parasetamol yaitu tingkat aspartat serum atau alanine aminotransferase yang sangat tinggi (dilaporkan hingga 48000 IU/L). Pasien
4
di Amerika Serikat dengan gagal hati akut terkait acetaminophen terbagi menjadi mereka yang bunuh diri dan mereka yang dianggap tidak disengaja overdosis. Pasien yang tidak disengaja biasanya akan mengambil obat lebih dari dosis harian yang direkomendasikan selama beberapa hari untuk nyeri dengan penyebab spesifik, membantah niat bunuh diri dan gagal untuk mengenali risiko toksisitas.2 3. Etiologi Lain Reaksi obat idiosinkratik dapat menyebabkan gagal hati akut pada hingga 12% kasus di negara-negara Barat dan jauh lebih sedikit di negara berkembang. Kasus biasanya subakut dengan tingkat aminotransferases dan bilirubin yang tinggi dan ketahanan hidup buruk tanpa transplantasi (sekitar 25% dari sebagian besar kasus). Penyebab paling sering adalah obat antituberkulosis, obat anti-inflamasi non-steroid, obat anestesi dan obat anti kejang. Gagal hati akut juga dilaporkan pada obat rekreasi ‘ekstasi' (3,4-methylene dioxymetamphetamine). Obat herbal, terutama yang mengandung ekstrak teh hijau, juga terlibat dalam gagal hati akut.2 Tabel 2 Some drugs that may cause idiosyncratic liver failure2
Drug-Induced Liver Injury (DILI) pada ALF ditandai dengan ikterus mendalam, retensi
cairan,
koagulopati,
dan
koma
5
(tetapi
hanya
peningkatan
sedang
aminotransferases), menunjukkan kondisi subakut yang berkembang perlahan. Profil biokimia dari DILI berbeda dengan ALF akibat parasetamol yang menunjukkan peningkatan aminitranserase yang lebih tinggi.10 Keracunan jamur, biasanya Amanita phalloides, dapat menyebabkan gagal hati akut, didahului oleh efek muskarinik, seperti berkeringat banyak, muntah dan diare dalam beberapa jam setelah konsumsi.2 Kerusakan hati akibat Amanita phalloides berkaitan dengan amanitins, racun kuat yang menghambat RNA polimerase II mengakibatkan defisiensi sintesis protein dan nekrosis sel. Setelah fase lag tanpa gejala, gambaran klinis yang ditandai dengan gejala gastrointestinal, diikuti dengan keterlibatan hati dan ginjal.11 Kematian mendekati 30%.2 Tidak ada obat penawar spesifik amatoxin yang tersedia.11 Pengenalan dini penting untuk mengoptimalkan langkah-langkah dukungan dan kewaspadaan terhadap kemungkinan kegagalan hati.2 Bilas lambung dipertimbangkan bila bisa dilakukan lebih awal setelah konsumsi.11 Wanita hamil dapat berkembang menjadi nekrosis hati selama trimester ketiga, karena eklampsia dan/atau perlemakan hati atau infeksi herpes simpleks.2,12 Gold standard pengobatan belum ditetapkan, terutama mengenai waktu terminasi kehamilan, karena kondisi ini dapat memiliki konsekuensi serius tidak hanya bagi ibu tetapi juga untuk janin.12 Penyebab vaskular dari hepatitis iskemik termasuk output jantung yang rendah pada pasien dengan penyakit jantung yang mendasarinya, hipotensi sistemik seperti sepsis atau penyakit jantung, sindrom Budd-Chiari akut, dan sindrom obstruksisinusoidal yang terjadi setelah transplantasi sumsum tulang . 'Syok hati' jarang fatal dan prognosis tergantung pada kondisi medis yang mendasari, sedangkan Budd-Chiari syndrome dan obstruksi-sinusoidal memiliki prognosis yang lebih buruk. Infiltrasi besar hati dengan tumor seperti pada limfoma dapat menyebabkan gagal hati akut. Penyebab tersebut harus dipertimbangkan dalam diagnosis diferensial karena transplantasi hati merupakan kontraindikasi, dan terapi spesifik dapat menyelamatkan nyawa.2 Penyakit Wilson dapat hadir dengan gagal hati yang berhubungan dengan anemia hemolitik dan gagal ginjal. Pasien biasanya didiagnosis antara usia 5 hingga 40 tahun. Gagal hati fulminan akibat penyakit Wilson secara umum fatal tanpa transplantasi hati.2 Hepatitis autoimun mungkin jarang hadir dengan gagal hati akut dan dapat menjadi penyebab yang mendasari pada pasien dengan penyakit tak tentu.2
6
Tabel 2 Etiologi Gagal Hati Akut2
C. Patofisiologi Mekanisme kerusakan hati yang berkontribusi terhadap ALF dapat diklasifikasikan menjadi dua kelompok. Pertama, patogen dan zat beracun langsung merusak organel seluler atau memicu sel sinyal jalur kaskade, yang mengganggu homeostasis intraseluler. Intervensi jalur ini bisa mencegah ALF.4 Kedua, respon imun (termasuk bawaan dan adaptif), akhirnya berkumpul di jalur kematian sel hati termasuk apoptosis, autofagi, nekrosis dan nekroptosis (juga dikenal sebagai nekrosis terprogram) menyebabkan cedera hati yang dimediasi imun.4 ALF dapat disebabkan oleh toksin, penyakit infeksi, metabolik dan genetik, tapi terlepas dari etiologi, ALF ditandai dengan hilangnya fungsi hepatosit secara besar dan konfluen. Tingkat kematian sel hepatosit dapat menjadi biomarker keparahan ALF, dan mungkin digunakan sebagai prediktor hasil ALF.13 ALF dikaitkan dengan respon imun masif, dengan perekrutan sel-sel inflamasi dari sirkulasi perifer ke hati, aktivasi reseptor stres dan kematian, dan pembersihan debris apoptosis /nekrosis, yang mengarah pada peradangan dan cedera hati. Zimmer mann et al dalam Sowa J et al13 menggambarkan pentingnya makrofag hati (sel Kupffer) dan monosit
dalam patogenesis ALF. Ketika diaktifkan oleh sinyal bahaya, sel-sel ini
mensekresikan sitokin proinflamasi TNFa dan meningkatkan ekspresi FasL yang meningkatkan kematian hepatosit.13 Apoptosis dapat dipicu oleh reseptor Fas dimediasi sinyal serta rangsangan berbeda yang memprovokasi stres sel. Semua rangsangan ini berkumpul pada pengaktifan caspase 3 yang mengarah ke degradasi DNA internucleosomal, kondensasi kromatin, penyusutan sel, dan pembentukan badan-badan
7
apoptosis kecil yang difagositosis oleh makrofag. Hati sangat sensitif terhadap Fasinduced apoptosis.14 Sel imun yang teraktifasi, serta hepatosit yang mulai mati dan sel stroma mampu mensekresi kemokin yang mengarah pada perekrutan dan retensi efektor sel T dan NK yang memperkuat respon inflamasi lebih lanjut.13 Kapasitas regeneratif hati tergantung pada jenis kelamin pasien, usia, berat badan, dan riwayat penyakit hati. Mediator penting dari regenerasi hati termasuk sitokin, faktor pertumbuhan dan jalur metabolik untuk pasokan energi. Pada hati dewasa, kebanyakan hepatosit berada dalam fase G0 dari siklus sel dan non-proliferasi. Setelah stimulasi dengan sitokin proinflamasi tumor necrosis factor α (TNFα) dan interleukin-6 (IL-6), faktor pertumbuhan seperti transforming-growth factor -α (TGFα), epidermal growth factor (EGF) dan hepatocyte growth actor (HGF) dapat menginduksi proliferasi hepatosit. TNF dan IL-6 juga menyebabkan jalur downstream yang terkait dengan NF dan STAT3 signaling . Kedua faktor transkripsi yang wajib untuk koordinasi respon inflamasi terhadap cedera hati dan proliferasi hepatosit.15 TNFa, IL-1 dan IL-6 juga merupakan mediator penting dari sirkulasi hiperdinamik dengan mengubah sintesis nitric oxide pada ALF. Gagal ginjal, ensefalopati, dan edema otak adalah hasil dari perubahan patofisiologis. Penurunan sintesis urea hati, insufisiensi ginjal, keadaan katabolik dari sistem muskuloskeletal dan gangguan sawar darah-otak menyebabkan akumulasi amonia dan perubahan perfusi lokal, yang menginduksi edema otak di ALF. Risiko edema otak meningkat seiring dengan peningkatan ensefalopati. Setelah kematian sel hati akut dan masif, pelepasan sitokin proinflamasi dan material intraseluler menghasilkan penurunan tekanan darah sistemik yang menyebabkan penurunan sirkulasi splanknikus. Gagal ginjal pada pasien ALF umum terjadi, sampai dengan 70%. Berkurangnya fungsi kualitatif dan kuantitatif trombosit, dan sintesis faktor prothrombotic yang tidak adekuat adalah penyebab koagulopati. Leukopenia dan gangguan sintesis faktor komplemen pada pasien ALF meningkatkan risiko infeksi, yang mungkin mengakibatkan sepsis. Dengan penurunan glukoneogenesis hati, hipoglikemia sering terjadi pada pasien dengan ALF.15
8
D. Manifestasi Klinis Pasien dengan gagal hati akut biasanya mengalami gejala non-spesifik seperti mual, muntah, dan malaise, ikterik, dan tanda-tanda ensefalopati hati, berkembang relatif cepat.2 Ikterik biasanya merupakan gejala pertama dari gagal hati, manandakan mulainya ALF.16 Hati sering menyusut akibat hilangnya massa hati dan dapat sekecil 600 g dalam ukuran (normal sekitar 1600 g). Penurunan fungsi hepatoselular mengganggu sintesis faktor pembekuan dan glukosa menyebabkan koagulopati dan hipoglikemia. Asidosis metabolik terjadi karena penurunan clearance dan peningkatan produksi laktat. Takikardi, hipotensi, hiperventilasi, demam, dan tanda-tanda respon inflamasi sistemik dapat terjadi. Pemindahan pasien ke pusat spesialisasi hati dengan layanan transplantasi harus dilakukan lebih awal. Adanya ensefalopati memerlukan transfer langsung ke fasilitas transplantasi kecuali bila terdapat kontraindikasi.2 Pasien dengan onset insufisiensi hati yang lebih bertahap (selama beberapa minggu, dan disebut subfulminan, subakut, atau late onset) jarang terjadi edema serebral. Asites, edema dan gagal ginjal lebih mungkin dalam keadaan ini, prognosis tergantung pada etiologi yang mendasarinya. Pasien yang bertahan hidup tanpa transplantasi biasanya memiliki pemulihan lengkap.2 Perbedaan dari penyakit hati kronis Perhatian terhadap adanya riwayat penyakit hati, durasi gejala dan adanya kekerasan hati ditandai splenomegali dan vascular spiders pada kulit. Pada pasien dengan bukti penyakit hati kronis, lakukan evaluasi penuh untuk penyebab potensial dekompensasi. Infeksi, perdarahan gastrointestinal, dehidrasi, obat penenang dan alkohol adalah penyebab umum.2
E. Pemeriksaan Awal 1.
Laboratorium Tes darah harus dilakukan awal untuk menetapkan etiologi dan keparahan cedera. Menilai prognosis merupakan pusat manajemen. Meskipun terdapat kelemahan, prothrombin time / international normalized ratio (INR)
9
mencerminkan fungsi sintetis hati dan merupakan pusat penilaian keparahan. Jumlah leukosit dapat menandakan infeksi yang mendasarinya. Tingkat hemoglobin yang rendah mungkin merupakan tanda hemolisis, sering terlihat pada Wilson’s disease atau menunjukkan perdarahan gastrointestinal. Jumlah trombosit rendah hampir 80% untuk alasan yang tidak jelas.2 Kimia serum termasuk glukosa, elektrolit, urea dan kreatinin diukur. Hipoglikemia bisa parah, menyebabkan perubahan status mental. Natrium, kalium dan fosfor umumnya rendah seperti juga karbon dioksida dalam keadaan hiperventilasi. Tes fungsi hati termasuk bilirubin, aminotransferase, alkalin fosfatase, protein total dan albumin secara rutin dilakukan dan biasanya abnormal. Aminotransferase memiliki nilai prognostik sedikit karena nilainya dapat turun saat kondisi pasien memburuk atau membaik. Asidosis adalah umum pada gagal hati terkait parasetamol dan merupakan tanda prognosis yang buruk.2 Serologi virus dapat mengidentifikasi etiologi potensial, antibodi IgM yang sesuai berguna dalam mengidentifikasi hepatitis A dan B. HBsAg mungkin jelas tapi antibodi permukaan hepatitis B (anti-HBs) umumnya tidak akan hadir. Serum HBV DNA biasanya turun dengan cepat dan mungkin tidak terdeteksi. Pada pasien yang positif untuk HBV, serum antibodi hepatitis D harus dicari. Antibodi virus antihepatitis C (anti - HCV) dan PCR untuk HCV RNA diperlukan untuk diagnosis gagal hati akut terkait HCV. Serologi IgM hepatitis E dilakukan jika etiologi lain disingkirkan karena HEV dapat muncul di daerah non-endemik dan pada orang yang tidak bepergian.2 Serologi herpes simplex virus dan varicella zoster virus dan PCR harus diperiksa, terutama pada pasien imunosupresi atau hamil, karena keadaan ini memerlukan pengobatan khusus. Biopsi hati, jika dilakukan, akan menunjukkan inklusi virus tertentu, namun adanya lesi kulit membantu inisiasi terapi asiklovir. Kadar parasetamol dan skrining toksikologi harus dilakukan. Namun, kadar parasetamol sering tidak terdeteksi dalam kasus yang tidak disengaja jika gejala sudah berkembang. Hepatotoksisitas tidak
10
dapat diprediksi secara akurat dengan menggunakan standar nomogram Rumack-Matthew jika waktu tepatnya menelan obat tidak diketahui atau jika pasien beberapa kali overdosis dari waktu ke waktu. Kadar parasetamol dapat meningkat palsu dengan konsentrasi bilirubin lebih dari 10 mg/dl. Aminotransferase nyata meningkat, seringkali lebih dari 3500 IU/L, sangat menunjukkan toksisitas parasetamol.2
Antibodi antinuklear, antibodi otot polos, antibodi terhadap mikrosom hati/ginjal tipe 1 dan tingkat immunoglobulin harus diperiksa untuk kemungkinan hepatitis autoimun, biopsi hati dapat membantu untuk menegakkan diagnosis dan dilakukan dalam kasus tak tentu.2 Serum ceruloplasmin tidak membantu pada penyakit Wilson fulminan karena tingkatnya rendah hampir 50% dari semua bentuk gagal hati akut. Pengukuran rasio alkaline phosphatase terhadap bilirubin kurang dari 4 dan SGOT terhadap SGPT lebih dari 2,2 sangat akurat dalam mendiagnosa penyakit Wilson dan dapat diperoleh lebih cepat daripada tes seperti tembaga urine.2
11
2.
Electroencephalogram (EEG) Perekaman EEG terus menerus menunjukkan perlambatan aktivitas kortikal dan sampai 50% dari pasien dengan gagal hati akut yang memiliki aktivitas kejang/epileptiform subklinis. Hal ini tidak terlihat secara klinis tanpa EEG karena pasien biasanya lumpuh dan berventilasi. Pemantauan EEG kontroversial karena profilaksis fenitoin nilainya tidak terbukti.2
3.
Computed Tomography (CT) CT non-kontras dari otak tidak sensitif untuk mendeteksi hipertensi intrakranial tetapi mungkin membantu menyingkirkan patologi lainnya, seperti perdarahan. Hasil dari studi tersebut adalah rendah.2
4.
Pencitraan abdomen dan biopsi hati USG abdomen digunakan untuk menilai patensi pembuluh darah dan lesi massa. Nodularitas hati sering terlihat dalam kasus akut, mencerminkan nodul regeneratif daripada sirosis. CT scan akan menunjukkan penurunan ukuran hati tetapi korelasi ukuran hati dengan kelangsungan hidup adalah tidak tepat. Histologi hati dapat menunjukkan variabilitas nekrosis. Sampling error menghalangi penggunaan biopsi hati untuk prognosis. Biopsi hati transjugular harus dilakukan jika ada kecurigaan keganasan atau hepatitis autoimun. Ini dapat membantu dalam diagnosis. Dalam penelitian retrospektif, volume hati kurang dari 1000 mL dan/atau nekrosis parenkim hati yang lebih besar dari 50% menunjukkan prognosis yang buruk.2
F. Komplikasi dan Penatalaksanaan Gagal Hati Akut Gagal hati akut merupakan sindrom yang dipicu oleh berbagai sebab bukan penyakit tunggal. Selain ensefalopati hati dan koagulopati, kematian hepatosit signifikan menyebabkan badai sitokin yang dapat menyebabkan systemic inflammatory response syndrome (SIRS), kegagalan organ multipel, dan akhirnya kematian. Pengobatan difokuskan pada pengelolaan komplikasi kecuali untuk beberapa terapi khusus etiologi. Double-blind placebo controlled trial terbaru dari N-acetylcysteine (NAC) intravena menunjukkan peningkatan kelangsungan hidup pada pasien gagal hati akut non-parasetamol bebas transplantasi dengan
12
ensefalopati tahap awal, mungkin menawarkan terapi umum untuk gagal hati fulminan.2
Bagan 1 Suggested algorithm for triage, diagnosis, and treatment of patient with acute liver failure
1.
Ensefalopati hepatikum Adanya ensefalopati mengindikasikan kondisi yang berat dan mengancam nyawa yang memerlukan hospitalisasi segera. Evaluasi sesegera mungkin untuk transfer ke pusat transplantasi dan persiapan transplantasi perlu dilakukan jika terjadi perubahan status mental karena progres penyakit seringkali cepat setelah kesadaran terganggu.17 Ensefalopati dan edema serebral dengan peningkatan tekanan intrakranial (ICP) adalah penanda dari gagal hati akut. Bila terjadi stupor dengan atau tanpa sikap deserebrasi (tahap 3 - 4 ensefalopati), edema serebral mungkin terjadi.2
13
Tabel 3 Stages of Hepatic Encephalopathy18
Patogenesis ensefalopati adalah multifaktorial dan berpusat pada kegagalan hati untuk menghilangkan racun, zat dari sirkulasi, terutama dari pencernaan. Kadar amonia arteri meningkat dan tampaknya berkontribusi pada pembengkakan astrosit. Kadar amonia lebih dari 150 sampai 200 mmol /L telah terbukti berkorelasi dengan edema serebral dan herniasi.2 Amonia masuk ke otak dengan difusi tak larut dari basa bebas amonia (NH3), di mana amonia dimetabolisme menjadi glutamin dalam reaksi yang dikatalisis oleh glutamin sintetase. Di otak, glutamin sintetase terlokalisir sebagian besar di astrosit. Ensefalopati hiperammonemia ini disebabkan, setidaknya sebagian, oleh peningkatan ICP, yang dihasilkan dari stres osmotik diinduksi-glutamin dalam astrosit. U.S. Acute Liver Failure Study Group menetapkan ensefalopati hiperamonemia pada ALF sebagian besar disebabkan sintesis glutamin dalam astrosit, mengakibatkan pembengkakan astrosit,
yang
pada
gilirannya
menyebabkan
edema
serebral
dan
ensefalopati.19 Kemungkinan inhibitor glutamin sintetase otak mungkin memiliki manfaat terapeutik, terutama pada penyakit hati akut, sedang dalam penelitian.20 Terjadinya ensefalopati sering tiba-tiba, mungkin mendahului ikterus, dan tidak seperti penyakit hati kronis, dapat terjadi dengan agitasi, perubahan kepribadian, delusi, dan gelisah. Asteriksis mungkin bersifat sementara. Fetor hepaticus biasanya hadir.2 Pengelolaan ensefalopati portosistemik dari sirosis berpusat pada laktulosa
dan
antibiotik
non-absorbable.
Namun,
laktulosa
tidak
menunjukkan manfaat pada gagal hati akut dan dapat meningkatkan resiko
14
aspirasi dan distensi usus, yang merumitkan transplantasi. Tidak ada cukup bukti untuk merekomendasikan antibiotik non-absorbable pada gagal hati akut. Pada sirosis, L-ornithine L-aspartat (LOLA) mengobati ensefalopati dengan meningkatkan metabolisme amonia otot tetapi percobaan terkontrol secara acak baru-baru ini menunjukkan tidak ada manfaat pada gagal hati akut.2 Prognosis untuk pasien dengan ensefalopati stadium 1 atau 2 (bingung atau mengantuk) adalah baik. Untuk stadium 3 atau 4 jauh lebih buruk. Pasien dengan penurunan kesadaran diintubasi untuk perlindungan jalan napas. Sedasi dengan propofol lebih disukai karena dapat menurunkan tekanan intrakranial. Progres ensefalopati sering dipicu oleh infeksi dan antibiotik empirik harus diberikan kepada pasien tersebut.2 2.
Edema serebral dan hipertensi intrakranial Gagal hati akut secara unik terkait dengan edema serebral, yang dapat menyebabkan peningkatan tekanan intraserebral. Hal ini jarang terjadi pada pasien dengan ensefalopati stadium 1 atau 2, tetapi mayoritas berkembang pada stadium 4. Peningkatan tekanan intraserebral dapat menyebabkan herniasi batang otak, yang menjadi penyebab utama kematian. Penyebabnya tidak sepenuhnya dipahami dan mungkin multifaktorial, dipengaruhi oleh perubahan osmolalitas otak, metabolisme selular, dan aliran darah otak.2 Peningkatan pesat amonia penting terhadap perkembangan edema serebral. Amonia melintasi sawar darah-otak yang akan diambil oleh astrosit, dan diubah ke glutamin aktif oleh glutamin sintetase secara osmotik. Peningkatan akumulasi glutamin dan air yang berdifusi ke astrosit, menyebabkan pembengkakan astrosit. Selain itu, sitokin inflamasi menambah vasodilatasi, sehingga terjadi peningkatan aliran darah otak, edema vasogenik dan peningkatan tekanan intrakranial.2,21 Pasokan darah ke otak tergantung pada keseimbangan antara tekanan arteri karotis dan tekanan intraserebral (tekanan perfusi serebral = mean arterial pressure - tekanan intrakranial). Autoregulasi aliran darah otak (aliran darah yang dipertahankan meskipun tekanan darah turun atau
15
meningkat) hilang pada pasien dengan gagal hati fulminan. Hal ini dapat menyebabkan hipertensi intrakranial relatif akibat peningkatan aliran darah otak dan air interstitial, serta hipoperfusi otak dan hipoksia akibat hipotensi sistemik.2 Secara klinis, peningkatan tekanan intraserebral disebabkan oleh hipertensi sistolik (berkelanjutan atau intermiten), peningkatan tonus otot dan mioklonus, yang berkembang menjadi ekstensi dan hiperpronasi dari lengan dan ekstensi kaki (sikap deserebrasi). Gerakan mata yang tidak terkonjugasi dan posisi miring dari mata dapat terlihat. Jika tidak dikontrol dengan pengobatan, gambaran klinis ini berkembang menjadi hilangnya refleks pupil dan kegagalan napas karena herniasi batang otak.2 Tabel 4 Clinical signs of raised intracranial pressure22
Metode yang paling akurat untuk mendiagnosa hipertensi intrakranial adalah dengan insersi monitor ICP. Banyak pusat kesehatan mengandalkan monitor ICP setelah pasien mencapai ensefalopati tahap 3 sampai 4 untuk memandu tata laksana meskipun bukti menunjukkan tidak ada manfaat dalam kelangsungan hidup dan risiko komplikasi 4-20%. Pusat-pusat lain menggunakan monitor non-invasif seperti spektroskopi inframerah, Doppler transkranial, atau oksimetri vena jugularis kecuali tanda-tanda edema serebral progresif . Jika monitor ICP dimasukkan, tujuan tekanan perfusi serebral adalah di atas 50 mmHg dan tekanan intrakranial di bawah 25 mmHg.2 Tata laksana umum edema serebral termasuk membatasi stimulasi, mengangkat kepala sampai 30 derajat, dan koreksi asidosis dan elektrolit. Terapi tambahan berfokus pada penurunan edema serebral dengan meningkatkan gradien osmotik intravaskular (saline hipertonik, mannitol) atau dengan mengurangi aliran darah otak (hiperventilasi, barbiturat, indometasin dan hipotermia).2
16
Infus profilaksis 30% saline hipertonik untuk menjaga natrium serum 145-155 mmol/L pada pasien dengan ensefalopati berat berhubungan dengan sedikitnya episode hipertensi intrakranial. Pencobaan-percobaan diperlukan untuk menguji efikasinya dalam mengobati hipertensi intrakranial.2 Bila tanda-tanda neurologis yang jelas berkembang atau ICP di atas 25 mmHg selama lebih dari 10 menit, bolus manitol intravena (0,25-1 g/kg, 20% larutan) dianjurkan. Hal ini dapat diulang jika osmolalitas serum kurang dari 320 mOsm/L. Volume yang berlebihan dan ultrafiltrasi dapat terjadi pada gangguan ginjal. Hampir 60% kasus hipertensi intrakranial berespon dan manitol telah menunjukkan peningkatan kelangsungan hidup.2 Hiperventilasi,
untuk
menginduksi
vasokonstriksi
serebral
dan
mengurangi volume darah otak, memiliki efek yang tidak berkelanjutan. Dalam kasus herniasi yang mengancam, keadaan ini dapat berguna beberapa saat. Infus thiopental (5-10 mg/kg diikuti 3-5 mg/kg per jam) atau pentobarbital (3-5 mg/kg diikuti dengan 1-3 mg/kg per jam) menginduksi koma barbiturat yang efektif pada beberapa pasien dimana mannitol telah gagal. Hipotensi mempersulit penggunaannya. Kortikosteroid tidak efektif dalam mengendalikan edema serebral atau meningkatkan kelangsungan hidup pada gagal hati akut. Indometasin intravena 25 mg bolus diberikan dalam kasus-kasus refrakter dari hipertensi intrakranial menyebabkan vasokonstriksi dan mengurangi aliran darah otak. Risikonya yang menyebabkan iskemia serebral serta toksisitas ginjal dan lambung membatasi penggunaannya.2 Hipotermia (32 sampai 35°C) mencegah edema otak dengan mengurangi amonia arteri dan penyerapan amonia otak, mengurangi aliran darah otak dan membangun kembali autoregulasi otak. Studi awal pada pasien dengan gagal hati akut menunjukkan penurunan tekanan intrakranial dan stabilisasi sampai transplantasi. Namun, hipotermia meningkatkan risiko sepsis, masalah pembekuan dan aritmia jantung. Uji coba terkontrol secara acak diperlukan untuk menentukan dampak potensial terhadap mortalitas pada gagal hati akut. Berdasarkan data klinis saat ini, hipotermia tidak dianjurkan tetapi hasil ini menekankan bahwa hipertermia harus dihindari.2
17
3.
Koagulopati Hati mensintesis semua faktor koagulasi (kecuali faktor VIII), inhibitor koagulasi dan protein yang terlibat dalam sistem fibrinolitik. Hati juga terlibat dalam clearance faktor pembekuan aktif. Koagulopati kegagalan hati fulminan demikian kompleks dan tidak hanya disebabkan oleh kekurangan faktor, tetapi juga peningkatan aktivitas fibrinolitik dan penurunan jumlah dan fungsi trombosit. Ketidakmampuan hati untuk membersihkan faktorfaktor pembekuan aktif dapat memicu DIC.2 Koagulopati yang dihasilkan merupakan predisposisi perdarahan. Hal ini merupakan penyebab potensial kematian, dapat spontan, dari membran mukosa, saluran pencernaan, atau ke otak. Perdarahan spontan yang signifikan secara klinis terjadi pada sekitar 5% pasien gagal hati akut. Perdarahan setelah prosedur invasif menimbulkan masalah yang lebih signifikan, dengan perdarahan yang fatal terjadi pada 1-4% setelah insersi monitor ICP.2 Waktu protrombin dan INR adalah panduan yang banyak digunakan untuk prognosis dan merupakan salah satu kriteria yang digunakan dalam menentukan apakah transplantasi harus dilakukan. Kadar faktor V dan tingkat
18
fibrinogen juga harus dipantau secara serial, penurunan kadar faktor V meramalkan prognosis yang buruk.2 Koagulopati dikelola dengan vitamin K rutin secara intravena atau subkutan. Plasma beku segar, kriopresipitat dan trombosit diberikan untuk INR pada atau di atas 1,5, fibrinogen kurang dari 100 mg/dL dan trombosit kurang dari 50000/mm3 tetapi hanya jika ada perdarahan aktif atau sebelum prosedur invasif. Produk darah profilaksis tidak disarankan, karena tidak mengurangi risiko perdarahan, menyebabkan kelebihan beban volume dan mengaburkan tren INR sebagai nilai prognostik. Faktor VII aktif rekombinan dapat memperbaiki koagulopati non-responsif terhadap plasma namun memiliki risiko trombosis. Penggunaan faktor rekombinan VIIa kontroversial, tetapi sering diberikan sebelum prosedur invasif jika plasma beku segar saja gagal untuk memperbaiki koagulopati.2 4.
Gangguan metabolik Hipoglikemia ditemukan pada 40% pasien dengan gagal hati akut. Kadar insulin plasma tinggi karena berkurangnya ambilan hati, glukoneogenesis berkurang dalam kegagalan hati. Hipoglikemia dapat menyebabkan kerusakan neurologis yang cepat dan kematian. Kadar glukosa darah kurang dari 60 mg/dL harus ditangani dengan infus kontinu 5 atau 10% dekstrosa. Pemberian makanan enteral harus dimulai awal kecuali kontraindikasi. Kegagalan hati adalah keadaan katabolik, tidak memerlukan pembatasan protein.2 Hipokalemia biasa terjadi karena sebagian hilang lewat urin dengan penggantian yang tidak memadai, dan penggunaan glukosa. Hiponatremia sering memperburuk edema serebral. Perubahan elektrolit lainnya termasuk hipofosfatemia, hipokalsemia dan hipomagnesemia. Elektrolit dan glukosa harus dipantau dua kali sehari dan segera diperbaiki.2 Perubahan asam-basa umum terjadi. Alkalosis pernapasan karena hiperventilasi, mungkin berhubungan dengan stimulasi langsung dari pusat pernapasan oleh zat beracun yang tidak diketahui. Asidosis respiratorik dapat disebabkan oleh ICP tinggi dan depresi pernafasan, atau komplikasi paru.
19
Asidosis laktat terjadi pada sekitar setengah dari pasien yang mencapai koma stadium 3. Hal ini terkait dengan perfusi jaringan yang tidak memadai karena hipotensi dan hipoksemia. Asidosis metabolik lebih sering pada gagal hati akut diinduksi-parasetamol. Penurunan pH merupakan salah satu kriteria yang digunakan dalam keputusan transplantasi. gagal hati akut parasetamoldiinduksi. Penurunan pH merupakan salah satu kriteria yang digunakan dalam keputusan transplantasi.2 5.
Infeksi Infeksi mempengaruhi hingga 90% dari pasien dengan gagal hati akut dan ensefalopati stadium 2 atau lebih dan merupakan salah satu penyebab utama kematian. Sebagian besar infeksi terjadi di paru, diikuti oleh saluran kemih dan darah. Lebih dari dua pertiga infeksi disebabkan oleh organisme Gram-positif, biasanya staphylococci, tapi streptokokus dan basil Gramnegatif juga ditemukan. Infeksi jamur terjadi pada sekitar sepertiga pasien, sering tidak disadari. Manifestasi khas sepsis seperti demam dan leukositosis mungkin tidak ada.2 Tingginya tingkat infeksi dapat berhubungan dengan pertahanan tubuh yang buruk dengan gangguan fungsi sel Kupffer dan berkurangnya faktorfaktor seperti fibronektin, opsonin, dan kemotraktan, termasuk komponen sistem komplemen. Buruknya upaya pernapasan dan refleks batuk dan adanya endotracheal tube, venous line dan kateter urin meningkatkan risiko pasien. Untuk mencegah komplikasi septik, dahak dan urin dikirim untuk kultur. Venous dan arterial line diperiksa secara teratur, kanula diganti jika meradang, jika demam berkembang atau tidak secara rutin setiap 3-5 hari. Ujung kateter dikirim untuk kultur.2 Studi profilaksis antibiotik sistemik dan dekontaminasi usus telah menunjukkan manfaat. Penggunaannya adalah, bagaimanapun, kontroversial. Antibiotik profilaksis intravena mengurangi infeksi hingga 80% tetapi tidak meningkatkan hasil ataupun mengurangi lama dirawat.2 Regimen antibiotik yang paling tepat tergantung pada insidens, jenis dan sensitivitas bakteri di setiap rumah sakit, tetapi biasanya mencakup
20
sefalosporin generasi ketiga atau fluoroquinolone. Vancomycin diindikasikan jika ada kekhawatiran untuk sepsis. Antifungal ditambahkan bila gagal membaik dengan antibiotik. Penggunaan antibiotik spektrum luas dipersempit menjadi pilihan spesifik setelah hasil kultur tersedia. Antibiotik harus diberikan kepada pasien yang memiliki kultur positif, tanda-tanda infeksi, hipotensi, progres ke koma derajat 3 atau terdaftar untuk transplantasi hati.2 6.
Renal Gagal ginjal, yang berkembang pada 30-70% pasien, mempengaruhi kelangsungan hidup secara negatif. Hal ini mungkin terkait dengan kegagalan sel hati itu sendiri (sindrom hepatorenal), menjadi nekrosis tubular akut akibat komplikasi kegagalan hati akut (sepsis, perdarahan, hipotensi), atau nefrotoksisitas langsung dari obat atau penyebab lain yang bertanggung jawab atas kerusakan hati (misalnya overdosis parasetamol). Sindrom hepatorenal terjadi karena multi faktor termasuk sirkulasi hiperdinamik dengan penurunan tekanan perfusi ginjal, aktivasi sistem saraf simpatik dan peningkatan sintesis mediator vasoaktif yang menurunkan ultrafiltrasi kapiler glomerular. Urinalisis membantu membedakan penyebabnya, dengan natrium urin lebih dari 10 mEq/L dengan sedimen aktif lebih mengarahkan ke nekrosis tubular akut dan natrium urin kurang dari 10 mEq/L terlihat pada azotemia prerenal dan sindrom hepatorenal.2 Ketika gagal ginjal berkembang, monitoring keseimbangan cairan menjadi lebih kritikal. Cairan intravena kristaloid dan koloid 1 sampai 1,5 L harus dicoba pertama untuk mengobati setiap azotemia prerenal. Dopamin dosis rendah telah terbukti tidak ada manfaat pada gagal ginjal dibandingkan vasopressor lain dan tidak rutin dianjurkan. Continuous renal replacement therapy (CRRT) dengan buffer bikarbonat diindikasikan dibandingkan hemodialisis intermiten bahkan pada pasien gagal hati akut dengan hemodinamik stabil untuk mencegah fluktuasi tekanan intrakranial. Selain mengoreksi uremia, cairan yang berlebihan, asidosis dan hiperkalemia, CRRT dapat menurunkan edema serebral dengan mengeluarkan amonia dan mendinginkan pasien.2
21
7.
Perubahan hemodinamik Hipotensi dengan resistensi pembuluh darah perifer yang rendah dan peningkatan curah jantung adalah manifestasi dari gagal hati. Mediator yang terlibat termasuk prostaglandin dan nitrat oksida. Hipoksia jaringan di tingkat mikrosirkulatori sering terjadi dengan konsekuensi asidosis laktat. Ketika infus kristaloid atau albumin tidak dapat mengatasi penurunan tekanan darah, vasopressor sering diperlukan untuk mempertahankan tekanan arteri rata-rata di atas 60 mmHg atau tekanan perfusi serebral di bawah 50 mmHg. Noradrenalin (norepinefrin) lebih dipilih. Vasopressin harus digunakan dengan hati-hati karena menyebabkan vasodilatasi cerebral dan mungkin meningkatkan tekanan intrakranial.2 Pada hipotensi persisten segera dilakukan evaluasi insufisiensi adrenal. Hidrokortison (200-300 mg/hari) terbukti bermanfaat pada pasien sepsis dengan respons adrenal tidak adekuat. Sebuah tinjauan retrospektif terhadap pasien gagal hati akut menunjukkan bahwa mereka yang menerima hidrokortison memerlukan dukungan vasopressor lebih sedikit tetapi tidak ada manfaat dalam kelangsungan hidup.2 Disritmia kardiak terlihat pada tahap selanjutnya dan berhubungan dengan abnormalitas elektrolit, asidosis, hipoksia dan penyisipan kateter ke dalam arteri pulmonal. Depresi fungsi batang otak karena edema serebral dan herniasi akhirnya menyebabkan kegagalan sirkulasi.2
8.
Perdarahan gastrointestinal Pasien dengan sakit kritis, termasuk dengan gagal hati akut, beresiko untuk perdarahan gastrointestinal. Infus histamine-2 receptor blocker intravena terbukti mengurangi perdarahan gastroduodenal pada populasi ini. Proton pump inhibitor dan sulcralfate digunakan untuk profilaksis, tetapi belum terbukti efektif dalam uji coba terkontrol.2
9.
Komplikasi pulmonal Pasien sering membutuhkan intubasi endotrakeal dan ventilasi mekanik untuk mencegah aspirasi pada ensefalopati tahap selanjutnya. Koma dan depresi pernapasan dapat bermanifestasi sebagai hipoksemia. Cedera paru
22
primer jarang terjadi tetapi mungkin lebih umum pada gagal hati akut diinduksi-parasetamol. Cairan intravena dapat berkontribusi pada edema paru. Adult respiratory distress syndrome (ARDS) berkembang di akhir.2 Status pernapasan dipantau menggunakan pulse oximetry kontinyu. Rontgen dada harian dilakukan untuk memantau infeksi dan hasilnya abnormal pada lebih dari separuh pasien. Saatventilasi mekanik diperlukan, volume tidal yang rendah (6 mL/kg berat badan ideal) dan tingkat tekanan akhir-ekspirasi positif digunakan untuk meminimalkan barotrauma dan memburuknya tekanan intrakranial.2 10. Pankreatitis akut Pankreatitis hemoragik dan necrotizing akut telah dilaporkan pada 44% pasien meninggal dengan gagal hati akut. Baru-baru ini, sebuah penelitian melaporkan hiperamilasemia pada 12% pasien gagal hati akut, hanya 9% di antaranya menunjukkan pankreatitis secara klinis. Tingkat amilase serum bukan merupakan prediktor independen dari kelangsungan hidup dan tampaknya dipengaruhi oleh gagal ginjal dan gagal multiorgan. Pankreatitis sulit dikenali pada pasien koma tapi, walaupun jarang, mungkin menjadi penyebab kematian.2 G. Terapi Khusus Selama bertahun-tahun kelangsungan hidup pasien dengan gagal hati akut telah meningkat karena perhatian cermat pada detail perawatan suportif yang baik dikombinasikan dengan pengetahuan yang lebih baik tentang hilangnya fungsi yang paling penting ketika sel hati mengalami kegagalan. Namun, hasilnya masih sangat tergantung pada penyebab yang mendasari. Dalam rangka mengoptimalkan kelangsungan hidup, diagnosis gagal hati akut harus didiagnosis dengan cepat, mengevaluasi etiologi potensial dan terapi, dan memperkirakan keparahan untuk mengidentifikasi orang-orang yang membutuhkan transplantasi.2 1.
Hepatotoksisitas parasetamol Gagal hati akut karena parasetamol harus dicurigai berdasarkan riwayat upaya bunuh diri atau konsumsi obat anti nyeri. Dosis melebihi 10 g/hari
23
biasa menyebabkannya tapi kerusakan hati yang parah kadang-kadang dapat terjadi pada dosis 4 g/hari pada pasien yang rentan. Bahkan jika riwayatnya adalah negatif, aminotransferase lebih dari 3500 IU/L dengan kadar bilirubin yang rendah biasanya menunjukkan toksisitas parasetamol.2 NAC adalah penawar untuk keracunan parasetamol, NAC menambahkan glutathione
yang
mendetoksifikasi
metabolit
berbahaya,
N-
aminoparaquinoneimine (NAPQI). Pemberiannya sangat efektif dalam waktu 10 jam sejak overdosis parasetamol, NAC mungkin bermanfaat 48 jam atau lebih setelah konsumsi dan harus diberikan bahkan jika gagal hati akut telah berkembang. NAC dapat diberikan secara oral (140 mg/kg dilajutkan 70 mg/kg setiap 4 jam sebanyak 17 dosis) tetapi pemberian intravena (150 mg/kg dalam 5% dextrose lebih dari 15 menit kemudian 50 mg/kg lebih dari 4 jam dilanjutkan 100 mg/kg lebih dari 16 jam) dianjurkan jika terdapat ensefalopati. Reaksi anafilaktoid jarang terjadi dan dapat dikelola dengan penghentiannya, antihistamin, dan adrenalin.2 2.
Keracunan jamur Amanita phalloides bertanggung jawab atas sebagian besar kematian akibat keracunan jamur. Jamur ini beracun dalam jumlah kecil (0,1-0,3 mg/kg) , bahkan setelah dimasak. Riwayat terakhir konsumsi jamur disertai mual, muntah dan diare harus segera dilakukan lavage lambung dan arang aktif. Penisilin G intravena (300.000-1.000.000 unit/kg per hari) adalah obat penawar yang paling umum digunakan di Amerika Serikat tetapi silibinin (30 - 40 mg/kg/hari per oral atau i.v.) dengan atau tanpa NAC mungkin lebih efektif.2
3.
Hepatitis B Gagal hati akut dapat terjadi pada infeksi hepatitis B akut atau dengan reaktivasi infeksi kronis baik secara spontan maupun dengan imunosupresi. Dalam sebuah penelitian prospektif kecil pasien dengan hepatitis B akut yang parah, terapi lamivudine (100 - 150 mg/hari ) dikaitkan dengan penurunan kebutuhan untuk transplantasi dan menurunkan risiko infeksi ulang setelah transplantasi. Antivirus lain juga digunakan dalam keadaan ini, terutama
24
ketika supresi virus jangka panjang diindikasikan (misalnya setelah transplantasi hati). Terapi antivirus profilaksis harus dimulai pada pasien yang HBsAg positif dan juga harus dipertimbangkan pada pasien positif HbsAg dan
HBsAg negatif anti-HBc positif sebelum kemoterapi atau
transplantasi organ untuk mencegah reaktivasi.2 Rekomendasi pengobatan untuk pasien dengan kemunculan akut HBV adalah inisiasi dini analog nukleosida oral untuk menekan HBV DNA replikasi virus. Penekanan awal dapat menurunkan jumlah hepatosit yang mengekspresikan antigen HBV sehingga mengurangi target untuk respon imun, sehingga meredakan kemunculan akut tersebut. Analog nukleosida tidak memiliki efek imunologi langsung dan memiliki efek yang cepat pada replikasi virus dibandingkan dengan terapi interferon. Terapi anti-viral belum berdampak pada kelangsungan hidup jangka pendek tapi meningkatkan kelangsungan jangka panjang dengan mencegah eksaserbasi selanjutnya dan injury hati yang sedang berlangsung.23 Entecavir adalah analog nukleosida kuat dengan rendahnya tingkat resistensi antiviral (40%) 2. Transplantasi hati (25%) 3. Kematian (33%) Makin pendek interval antara ikterik dengan perkembangan ensefalopati hepatik, makin tinggi kemungkinan kesembuhan spontan.24
Grafik 1 Outcomes in acute liver failure in the USA by aetiology
Kriteria prognostik yang banyak dipakai adalah kriteria King’s College Hospital yang menggabungkan etiologi ALF dengan berbagai biomarker biokimia. Pasien yang memenuhi kriteria ini tidak dapat bertahan tanpa transplantasi hati yang cepat. Kriteria lain yang biasa digunakan yaitu kriteria Clichy, yang berdasarkan pengukuran kadar faktor V. Selain itu, laktat serum terbukti sebagai prediktor independen hasil yang buruk pada gagal hati diinduksi asetaminofen, dan MELD (Model for End Stage Liver Disease) dapat digunakan sebagai nilai, walaupun sekarang tidak digunakan untuk alokasi organ pada pasien ALF.25 Transplantasi hati adalah terapi pilihan ALF pada individu-individu dengan insufisiensi kapasitas regenerasi dan prognosis yang dinyatakan fatal. Pada pasien tanpa kontraindikasi untuk transplantasi, tingkat kelangsungan
27
hidup satu tahun 80-90% dengan kelangsungan hidup lima tahun sebesar 55%.15 Tabel 6 King's College Hospital criteria for liver transplantation in acute liver failure
28
BAB III KESIMPULAN
1.
Acute liver failure (ALF) merupakan sindroma kegagalan hati meliputi keadaan liver injury, koagulopati, dan ensefalopati yang terjadi kurang dari 26 minggu sejak gejala pertama timbul.
2.
Hepatitis viral merupakan penyebab yang paling sering di seluruh dunia, sedangkan toksisitas parasetamol merupakan penyebab tersering di negaranegara barat.
3.
Angka kelangsungan hidup bergantung dari etiologi, pengobatan dini, dan komplikasi.
4.
Edema serebral dan hipertensi intrakranial merupakan komplikasi tersering dan unik dari ALF.
5.
Transplantasi hati dapat menyelamatkan pasien dengan derajat koma yang tinggi.
29
View more...
Comments