Referaat Syringomyelia RN

October 28, 2017 | Author: Rinto Nugroho | Category: N/A
Share Embed Donate


Short Description

syringomyelia...

Description

1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Syringomyelia adalah kelainan kronis, progresif, degeneratif pada medula spinalis yang berupa lubang/ kavitasi pada bagian tengah medula spinalis segmen servikal. Kelainan ini dapat meluas ke arah kaudal menuju segmen torasik dan lumbar, atau ke arah rostral menuju batang otak (syringobulbia). Kelainan ini menyebabkan gangguan-gangguan neurologis secara progresif, biasanya sebagai amiotrofi brakhial dan disosiasi sensorik segmental.1,3 Kelainan ini jarang ditemukan. Kelainan ini sering terdapat atau mengikuti kelainan kongenital seperti misalnya malformasi Arnold-Chiari.1,2,3,4,7 Oleh karena itu, manifestasi kelainan ini bisa beragam, tergantung dari letak lesi, perluasan lesi, dan kelainan yang mendasarinya. Namun, secara garis besar kelainan ini dapat didiagnosis karena adanya gejala yang khas seperti amiotrofi dan disosiasi sensibilitas.3,7 Patofisiologi syringomyelia sampai saat ini belum ada persesuaian. Hal ini mengakibatkan beragamnya metode penatalaksanaan.1 Kelainan ini berkembang secara lambat. Bahkan seorang penderita syringomyelia dapat berada dalam kondisi yang tetap sama selama beberapa tahun atau bahkan berpuluh tahun.1,2,3,7

2 2. PEMBAHASAN 2.1 Batasan Lesi tunggal yang berupa lubang di pusat substansia grisea sentralis dinamakan sebagai syringomyelia. 5,6 Syringomyelia adalah kelainan berupa lubang atau kavitas (syrinx) yang terdapat pada bagian tengah medula spinalis. Kavitas ini berisi cairan dan tidak berhubungan secara anatomis maupun fisiologis dengan kanalis sentralis medula spinalis.1,2,3,4,7 Kavitas tersebut bisa terletak sentral atau eksentris, dilapisi oleh sel glia dan tidak berhubungan dengan ventrikel keempat (siringomielia non-komunikata).1 Oleh karena itu, cairan kista siringomielia bukan berasal dari cairan serebrospinal dalam kanalis sentralis medula spinalis. Walaupun begitu, dalam perkembangannya kista siringomielia ini dapat mencapai kanalis sentralis medula spinalis

sehingga

terjadi

suatu

hubungan

dengan

kanalis

sentralis

yang

memungkinkan cairan serebrospinalis mengisi kista siringomielia dan juga terjadi hubungan antara kista siringomielia dengan ventrikel keempat. Hal ini disebut sebagai siringomielia komunikata.13 Hidromyelia adalah keadaan di mana terdapat dilatasi kanalis sentralis medula spinalis.1,2,3,4,7 Kanal yang berdilatasi dilapisi oleh ependim dan berhubungan dengan ventrikel keempat melalui obex.1,2 Menurut Satyanegara, siringohidromielia didefinisikan sebagai suatu kavitasi tubuler berisi cairan di dalam sumsum tulang belakang (dapat melibatkan sampai beberapa segmen). Istilah ini merupakan istilah yang umum di mana dalam hal ini tidak dapat menunjukkan lokasi kavitas tersebut, hubungannya dengan kanalis sentralis, dan juga tidak menjelaskan mengenai histologi dinding kista maupun ciriciri cairan di dalamnya. Dengan kata lain, siringomielia dapat merupakan segala macam kista termasuk kista paskatrauma yang berisi cairan likuor, kista akibat abnormalitas bawaan daerah kranio-vertebra atau kista tumor-tumor intramedular. Hidromielia yang merupakan istilah yang lebih spesifik, adalah terminologi dari kavitas intramedular yang merupakan pelebaran dari kanalis sentralis, dindingnya adalah lapisan ependim, dan mengandung cairan yang identik dengan likuor. Siringobulbia adalah sebutan bagi kasus yang kavitasnya meluas sampai ke batang otak.13 Akumulasi cairan di dalam medula spinalis sendiri adalah bukan merupakan suatu manifestasi primer dari proses penyakit, ia merupakan proses sekunder dengan

3 mekanisme yang bervariasi satu penyakit dengan lainnya. Kavitas yang berisi cairan mirip dengan likuor disebut sebagai siringomielia komunikans (siringohidromielia), dan kerap berkaitan dengan malformasi Chiari atau disgrafisme spinal okulta. Sedangkan yang berisi cairan pekat yang proteinkaseosa, yang merupakan proses sekunder dari neoplasma, anomali vaskuler, arakhnoiditis, dan trauma, diistilahkan sebagai siringomielia nonkomunikans.13 2.2 Epidemiologi Prevalensi syringomyelia adalah 5,6 – 8,6 per 100.000 populasi. 1,2 Namun tidak ada angka kejadian yang pasti untuk syringomyelia di seluruh dunia. 7 Penyakit ini dapat mengenai laki-laki dan perempuan dengan frekuensi yang sama besar.1,2,3 Manifestasi penyakit ini biasanya muncul pada umur 35 – 45 tahun, tapi bisa juga muncul pada usia akli balik atau awal remaja.1,7 2.3 Etiologi Kelainan ini bisa terjadi akibat sebab kongenital dan dapatan. 1,2,3 Penyebab kongenital yang sering terkait dengan kelainan ini adalah malformasi ArnoldChiari.1,2,3,7 Sedangkan sebab dapatan kelainan ini antara lain karena prosedur pembedahan, trauma, peradangan, dan tumor.1,3,7 a. Kongenital Syringomyelia dapat terjadi karena suatu gangguan pada waktu kanalis sentralis dibentuk; atau karena terjadi penyusupan spongioblas (kelainan deferensiasi sel otak) di kanalis sentralis pada tahap embrional; atau karena terjadi perdarahan pada tahap embrional. 5 Syringomyelia yang tampak pada masa dewasa sering menyertai malformasi Chiari tipe I.1,2 Sedangkan malformasi Chiari tipe II dan III sering terdapat pada syringomyelia infantil. 1 b. Dapatan 

Trauma: kavitasi paska trauma medula spinalis adalah kelainan progresif di mana kerusakan medula spinalis menyebabkan gangguan pada hidrodinamik cairan serebrospinal dan arakhnoiditis, sehingga terjadi ekspansi progresif dari syrinx. Kasus tersering terdapat pada kecelakaan kendaraan bermotor dan mengenai bagian bawah segmen servikal medula spinalis.1,3,7,8

4 

Pembedahan: pembedahan spinal intradural, misalnya pada reseksi tumor medula spinalis, dapat menyebabkan Syringomyelia.1



Peradangan: Syringomyelia paska peradangan dapat terjadi sesudah suatu infeksi (misalnya tuberkular, jamur, parasit) atau dari meningitis kemikal, dan biasanya berhubungan dengan pembentukan parut arakhnoidal.1,2



Tumor: beberapa tumor, misalnya ependimoma dan hemangioblastoma memiliki insidens 50 % disertai dengan syringomyelia.2

2.4 Anatomi Medula Spinalis Panjang medula spinalis antara 40-45 sentimeter dan beratnya 34-38 gram. Medula spinalis dimulai dari atas, pada perbatasannya dengan medula oblongata, yaitu pada dekusasio piramidum, dan berakhir setinggi vertebra lumbalis I. Bentuknya silindrik dan terletak di dalam kanalis vertebralis. Baik panjang maupun diameternya tidak mengisi penuh seluruh kanalis vertebralis ini. Panjang kanalis vertebralis antara 61-71 sentimeter.9

Gambar 2.1 Anatomi Tulang Belakang (www.spinalcordinjury.net )

Medula spinalis dapat dibagi menjadi bagian-bagian sebagai berikut: 1. Pars cervicalis: Mengeluarkan 8 pasang nervi (spinales) cervicales. 2. Pars thoracica: Mengeluarkan 12 pasang nervi (spinales) thoracales.

5 3. Pars lumbalis: Mengeluarkan: - 5 pasang nervi (spinales) lumbales. - 5 pasang nervi (spinales) sacrales. - 1 pasang nervus (spinalis) coccygeus.

Gambar 2.2 Segmen Vertebra dan Columna Vertebralis (www.spinalcordinjury.net) Di daerah cervical, antara n. cervicalis V sampai dengan n. thoracicus I, sebagian dari medula spinalis membesar, dan disebut intumescentia cervicalis. Pada pars lumbalis, antara n. lumbalis I sampai dengan n. sacralis II, terdapat juga suatu pelebaran daripada medula spinalis yang disebut intumescentia lumbosacralis.9 Ujung akhir medula spinalis berbentuk kerucut, dan disebut conus medullaris, yang letaknya setinggi vertebra lumbalis I. Ujung conus medullaris ini melanjutkan diri sebagai filum terminale yang terbentuk dari jaringan ikat fibrilar. Filum terminale bukan merupakan ujung akhir medula spinalis; ujung akhir medula spinalis dibentuk oleh conus medularis. Filum terminale dapat dibedakan menjadi dua bagian, yaitu:

6 1. Filum terminale internum (pialis), yang masih terletak di dalam saccus duralis, setinggi vertebra lumbalis V dan vertebra sacralis I, dan kemudian menembus saccus duralis keluar menjadi: 2. Filum terminale externum (durale), yang meneruskan diri ke dalam canalis sacralis, dan akhirnya melekat pada periosteum os coccygeus. 9 Pada permukaan medula spinalis terdapat beberapa celah memanjang, yaitu: 1. Di sebelah ventral, di tengah-tengah terdapat fissura mediana ventralis (anterior) (agak lebar), dan disebelah lateralnya terdapat sulcus ventro (antero)-lateralis, dari mana keluar radix ventralis (anterior). 2. Di sebelah dorsal terdapat sulcus medianus dorsalis (posterior), yang bila diteruskan ke dalam menjadi septum medianum dorsale posterius. Lateral dari sulcus medianus dorsalis terdapat sulcus dorso (postero) lateralis, tempat keluarnya radix dorsalis (posterior). Pada pars cervicalis medullae spinalis, antara sulcus medianus dorsalis dan sulcus dorsolateralis terdapat sulcus intermedius dorsalis posterior.9 Radices nervi sacralis yang keluar dari conus medullaris, secara berjejeran mengelilingi filum terminale, memberi kesan bentuk ekor kuda, sehingga disebut sebagai cauda equina.9,10 Medula spinalis terdiri dari dua bagian, yaitu: 1. Substantia alba Berwarna putih, terletak di bagian luar medula spinalis, dan merupakan kumpulan-kumpulan jurai serabut memanjang yang berselubungkan bahan myelin, yang menjadikan warna substantia alba menjadi putih mengkilat karena mengandung lemak. 2. Substantia grisea Terdapat di bagian dalam medula spinalis dan pada penampang transversal berbentuk seperti huruf H. Bagian ini terdiri dari jurai-jurai serabut halus yang tidak berselubungkan myelin dan sel-sel neuron medula spinalis, sehingga berwarna abu-abu. 9,12 Perbandingan banyaknya substantia alba dan substantia grisea pada suatu penampang transversal medula spinalis dapat dipakai untuk menentukan setinggi berapa irisan itu dibuatnya. Pada umumnya, makin ke arah cervical, makin

7 banyak terdapat jurai-jurai serabut memanjang, sehingga makin banyak substantia albanya. Sebaliknya, makin ke kaudal,

makin sedikit jurai-jurai serabut

memanjangnya, sehingga akan tampak lebih banyak substantia grisea.12 Substantia alba medullae spinalis dibagi menjadi tiga pasang kelompok, yaitu: 9,12 1. Dorsalis (posterior) Letaknya antara sulcus medianus dorsalis dan sulcus dorsolateralis. Oleh sulcus intermedius dorsalis, bagian dorsalis posterior dibagi lagi menjadi fasciculus dorsalis medialis, yang disebut juga fasciculus gracilis dari Goll, dan di sebelah lateralnya terdapat fasciculus dorsalis lateralis yang dinamakan juga fasciculus cuneatus dari Burdach. 2. Funiculus lateralis Terletak antara sulcus dorso-lateralis dan sulcus ventro-lateralis. 3. Ventralis (anterior) Terletak antara sulcus ventro-lateralis dan fissura mediana ventralis (anterior). Masih ada sebagian dari substantia alba yang warnanya tampak lebih pucat daripada substantia alba disekitarnya, yaitu yang disebut fasciculus dorsolateralis dari Lissauer (zona terminalis), yang letaknya pada apex columnae dorsalis (posterioris) substantiae griseae.9,12 Pada medula oblongata, antara fissura mediana ventralis (anterior) dan sulcus ventro (antero) lateralis, terdapat sebuah tonjolan yang ditimbulkan oleh adanya serabut-serabut tractus pyramidalis yang bersatu menjadi suatu ikatan kompak yang disebut pyramis. Di sebelah lateral pyramis terdapat tonjolan lain, yaitu oliva, disebabkan oleh adanya nucleus olivaris caudalis (inferior). Fasciculus dorsolateralis dari Lissauer mengandung serabut-serabut yang sebagian berselubungkan myelin, sebagian tidak, dan serabut-serabut yang naik (ascendens) dan yang turun (descendens).9,12 Substantia grisea medullae spinalis merupakan bagian sentral medula spinalis, dan terdiri dari columnae griseae, yang satu dengan lainnya dihubungkan oleh commissura grisea. Di tengah-tengah commissura grissea ini berjalan canalis centralis yang dikelilingi oleh substantia grisea centralis, yang disebut juga substantia gelatinosa centralis.9 Bagian commissura grisea di sebelah ventral dari canalis centralis disebut commissura grisea ventralis (anterior), dan yang di sebelah dorsalnya disebut

8 commissura grisea dorsalis (posterior). Ventral dari commissura grissea ventralis terdapat substantia alba yang disebut commissura alba ventralis (anterior), yang terdiri dari serabut serabut yang menyilang. Tiap-tiap columna grisea terdiri dari bagian ventral, disebut columna ventralis (anterior) yang merupakan bagian terbesar, dan bagian dorsal yang kecil disebut columna dorsalis (posterior).9

Gambar 2.3 Ilustrasi Medula Spinalis. Pada pars thoracica medullae spinalis, setinggi n. cervicalis VIII sampai dengan n. lumbalis II-IV, substantia grisea yang terletak di antara columna ventralis dan columna dorsalis mengeluarkan suatu tonjolan ke lateral yang disebut columna lateralis. Di dalamnya terdapat nucleus intermedio-lateralis yang merupakan pusat dari sistem sympathycus. Columna dorsalis pada basisnya menyempit dan bagian ini disebut isthmus columnae dorsalis. Di sebelah medial dari isthmus ini terdapat suatu penebalan substantia grisea yang menonjol ke dalam funiculus posterior yang disebut columna dorsalis dari Clarke; di dalamnya terdapat nucleus dorsalis dari Clarke. Di sebelah dorsal dari isthmus columnae dorsalis, columna dorsalis tersebut membesar dan disebut substantia gelatinosa dorsalis (posterior) atau substantia gelatinosa Rolandi. Dari substantia gelatinosa Rolandi ke dorsal, columna dorsalis menjadi ujung yang sempit yang disebut crista columnae dorsalis. Di belakang ini terdapat zona marginalis dan zona terminalis (fasciculus dorso-lateralis dari Lissauer).9 Columna dorsalis dapat juga dibagi menjadi bagian-bagian a p e x , caput,

dan cervix (collum). Lateral dari cervix (collum) columnae dorsalis

9 terdapat suatu daerah yang terdiri dari campuran substantia alba dan substantia grisea yang disebut formatio reticularis. Columna ventralis substantiae griseae mengandung nuclei motorii.9 Jurai-jurai serabut memanjang pada substantia alba medula spinalis dapat dibagi menjadi: 1. Tractus sensibilis: Terdapat di dalam funiculus dorsalis (posterior) dan praktis terdiri dari serabutserabut ascendens. 2. Tractus motorius: Terdapat di dalam funiculus lateralis dan funiculus ventralis (anterior) dan praktis terdiri dari serabut-serabut descendens. Jurai-jurai descendens terdiri dari: 1. Tractus cortico-spinalis lateralis (crossed pyramidal tract). 2. Tractus cortico-spinalis ventralis (anterior) (direct pyramidal tract). 3. Tractus vestibulo-spinalis: untuk mempertahankan tonus, sikap kepala sikap tegak dari tubuh. 4. Tractus reticulo-spinalis: untuk memperlancar atau menghambat gerakan, untuk menaikkan atau menurunkan tonus otot. 5. Tractus tecto-spinalis: untuk refleks-refleks penglihatan dan pendengaran. 6. Tractus rubro-spinalis dart Monakov 7. Tractus olivo-spinalis: hanya terdapat pada pars cervicalis medullae spinalis, fungsinya masih belum dimengerti dengan jelas. Jurai-jurai ascendens terdiri dari: 1. Tractus spino-thalamicus lateralis: rasa nyeri, panas-dingin, tekanan berat, kasar (protopatik). 2. Tractus spino-thalamicus ventralis (anterior): tekanan ringan, halus, dan perabaan (epikritik). 3. Fasciculus gracilis dari Goll. 4. Fasciculus cuneatus dari Burdach. (3) dan (4) ini untuk diskriminasi taktil (epikritik, light touch) dan untuk stereognosi (melalui serabut-serabut proprioseptif dari otot, tendon, dan persendian), perasaan getaran (vibrasi).

10 5. Tractus spino-cerebellaris dorsalis (posterior) dari Flechsig: proprioseptif. 6. Tractus spino-cerebellaris ventralis (anterior) dari Gowers: proprioseptif dan rasa nyeri. (5) dan (6) untuk pengaturan koordinasi dan keseimbangan. 7. Tractus spino-corticalis. 8. Tractus spino-vestibularis. 9. Tractus spino-reticularis. 10. Tractus spino-tectalis. 11. Tractus spino-pontinus. 12. Tractus spino-olivaris. (7) sampai dengan (12) fungsinya masih belum jelas, mungkin untuk koordinasi dan keseimbangan. Jurai-jurai ini tersebar di dalam funiculus lateralis dan funiculus anterior.9,10 Vascularisasi Medula Spinalis Arterialisasi: 1. a. spinalis anterior (1 buah) Merupakan cabang dari a. vertebralis (= cabang dari a. subclavia) kiri dan kanan, yang kemudian bergabung menjadi satu pembuluh, yaitu a. spinalis anterior. 2. a. spinalis posterior (2 buah) Merupakan cabang dari a. vertebralis kiri dan kanan, tidak menggabung menjadi satu, akan tetapi tetap berupa dua arteri, yaitu : a. spinalis posterior sinistra dan a. spinalis posterior dextra. 3. rami spinales: a. pars cervicales. b. pars thoracica. c. pars lumbalis. d. pars sacralis. Rami spinales pars cervicalis: masing-masing merupakan cabang dari a.vertebralis dan/atau a.cervicalis ascendens (cabang dari truncus thyreocervicalis = cabang dari a. subclavia).9 Rami spinales pars thoracica: I dan II merupakan cabang dari a. intercostalis suprema (cabang dari truncus thyreocervicalis = cabang dari a.

11 subclavia) III sampai dengan XII merupakan cabang dari ramus dorsalis a. intercostalis III sampai dengan XII, yang masing-masing adalah cabang dari aorta thoracalis. 9 Rami spinales pars lumbalis I sampai dengan V merupakan cabang dari a. lumbalis (cabang dari aorta abdominalis). 9 Rami spinales pars sacralis: I sampai dengan V merupakan cabang dari a. sacralis lateral (cabang dari a. hypogastrica). Rami spinales tersebut akan pecah menjadi dua, yaitu a. radicularis anterior dan a. radicularis posterior yang mengikuti jalannya radix anterior dan radix posterior. Kedua arteri ini kemudian bersama-sama dengan a. spinalis anterior dan a. spinalis posterior membentuk suatu lingkaran pembuluh di dalam pia mater medula spinalis yang disebut vasa corona arteriosum.9 Dari sini kemudian dikeluarkan cabang-cabang yang menembus pia mater dan yang memberi darah pada substansia alba medula spinalis. Untuk substansia grisea medula spinalis, darahnya datang dari cabang a. spinalis anterior (ada dua cabang), yaitu yang disebut a. sulcocommissuralis. Arteri ini akan pecah menjadi pembuluhpembuluh yang memberikan darahnya kepada substansia grisea.9 Aliran darah venous Darah venous dari medula spinalis disalurkan melalui pembuluh-pembuluh yang kemudian membentuk suatu plexus venosus di dalam pia mater. Di dalam plexus venosus ini masuk pula: 1. V. spinalis anterior (dua buah), yang seterusnya pergi ke v. vertebralis, lalu masuk ke dalam v. anonyma. 2. V. spinalis posterior (satu buah), yang masuk ke dalam v. vertebralis dan selanjutnya ke dalam v. anonyma. 3. V. radicularis anterior dan v. radicularis posterior bergabung menjadi satu dan membentuk v. intervertebralis.9 Venae spinalis anterior et posterior, venae radiculares anterior et posterior, dan plexus venosus yang terdapat di dalam pia mater medula spinalis membentuk suatu lingkaran venous yang disebut vasa coronavenosum. Darah dari v. intervertebralis kemudian disalurkan sebagai berikut: 1

Pars cervicalis: Ke v. vertebralis, kemudian ke v. anonyma.

12 2

Pars thoracica I dan II: Masuk ke dalam v. intercostalis suprema. Kemudian yang sinistra masuk ke dalam v. hemiazygos accesoria, ke v. azygos, lalu ke v. cava superior. Yang dextra masuk ke dalam v. azygos dan v. cava superior.

3

Pars thoracica III sampai dengan XII: Masuk ke dalam v. intercostalis. Kemudian yang sinistra masuk ke dalam v. hemiazygos, terus ke v. cava superior. Yang dextra masuk ke dalam v. azygos, lalu ke v. cava superior.

4

Pars lumbalis: Akan masuk ke v. lumbalis. Yang sinistra kemudian masuk ke dalam v. hemiazygos dan v. cava superior.

5

Pars sacralis: Akan masuk ke dalam v. sacralis lateralis, lalu ke v. glutea superior, v. hypogastrica, v. iliaca communis, dan akhirnya masuk ke dalam v. cava inferior.9

2.5 Fisiologi Cairan Serebro Spinal11 Sirkulasi dimulai dengan sekresi cairan serebrospinal dari pleksus choroideus di dalam ventrikel dan produksinya dari permukaan otak. Cairan mengalir dari ventriculus lateralis ke dalam ventriculus tertius melalui foramen interventriculare. Selanjutnya, cairan mengalir ke dalam vetriculus quartus melalui aquaductus cerebri. Sirkulasi dibantu oleh pulsasi arteri pada pleksu choroideus dan silia sel-sel ependimal yang melapisi ventrikel. Dari ventrikulus quartus, cairan berjalan melalui apertura mediana dan foramen lateralis di recessus lateralis ventriculi quarti, kemudian mesuk keruang subarachnoid. Cairan perlahan-lahan bergerak melalui cisterne cerebellomedullaris dan cisterna pontis, lalu mengalir ke superior melalui incisura tentorii dari tentorium cerebelli untuk mencapai permukaan inferior cerebri. Selanjutnya cairan serebrospinal berjalan ke atas melalui aspek lateral masing-masing hemispherium cerebri. Sebagian cairan seerebrospinal berjalan ke inferior di dalam ruang subarachnoid di sekeliling medula spinalis dan cauda equina. Denyut arteri serebri dan spinal serta gerakangerakan columna vertebralis, pernafasan, batuk, dan perubahan posisi tubuh akamn memfasilitasi aliran cairan secara bertahap.

13 Cairan serebrospinal tidak hanya membasahi permukan ependima serta pia mater otak dan medula spinalis, tetapi juga berpenetrasi ke dalam jaringan saraf disepanjang pembuluh darah.

Gambar 2.4 Ilustrasi Aliran Cairan Serebrospinal (www.cerebromente.org) Aliran cairan serebrospinal: lateral ventricles--> foramen of Monro third ventricle --> aqueduct of Sylvius --> fourth ventricle --> foramina of Magendie and Luschka --> subarachnoid space over brain and spinal cord --> reabsorption into venous sinus blood via arachnoid granulations 2.6 Patofisiologi Sampai saat ini patofisiologi terjadinya Syringomyelia masih belum diketahui. Belum ada kesepakatan tentang patofisiologi Syringomyelia, khususnya yang terjadi pada malformasi Chiari I.1,2,3,7, Salah satu dari postulat yang dikemukakan untuk menerangkan patofisiologi syringomyelia adalah teori Hidrodinamik dari Gardner. Aliran normal cairan serebrospinal dari ventrikel keempat dapat terganggu oleh kegagalan pembukaan saluran keluar dari ventrikel keempat secara kongenital. Sebagai akibatnya, pulsasi tekanan cairan serebrospinal, yang ditimbulkan oleh pulsasi sitolik dari plexus choroideus, disalurkan melalui ventrikel keempat menuju kanal sentralis medula

14 spinalis, kemudian menyebabkan pembentukan kavitas sentral yang meluas sepanjang substansi kelabu dan serat-serat lintasan saraf.1,2,7 Teori ini didukung oleh seringnya dijumpai syringomyelia bersama-sama dengan malformasi kongenital pada tautan kranioservikal yang dapat mengganggu aliran normal cairan serebrospinal, misalnya pada malformasi Arnold-Chiari, dan sindrom Klippel-Feil (fusi antara satu atau lebih vertebra servikal), dan abnormalitas kongenital lainnya seperti spina bifida dan hidrosefalus.1,2,3 Bendungan sirkulasi cairan serebrospinal secara anatomis maupun fisiologis, yang terjadi sebagai respon terhadap ekspansi otak selama sistol jantung, menyebabkan terjadinya aliran dari tengkorak menuju ke ruangan subarakhnoid spinal dan mendorong tonsil serebelar masuk ke dalam ruang subarakhnoid. Kemudian terbentuk pulsasi bertekanan, yang mendorong cairan serebrospinal dari ruang subarakhnoid menuju ke medula spinalis melalui ruang Virchow-Robin.1,2 Pada pasien dengan syringomyelia paska trauma, dapat terjadi nekrosis dan pembentukan kista pada tempat terjadinya cedera yang disebabkan oleh cairan yang dihasilkan oleh akson yang rusak.2,8 Syringomyelia yang terjadi pada arakhnoiditis spinal dapat disebabkan oleh mekanisme vaskular. Pada syringomyelia yang terkait dengan tumor, pertumbuhan tumor dapat mengganggu suplai darah medula spinalis dan mengakibatkan iskemia, nekrosis, dan pembentukan kavitas.2

Gambar 2.5 Syringomyelia – Malformasi Chiari I

15 2.7 Patologi Kista abnormal berisi cairan, dilapisi oleh jaringan gliotik astrositik dan pembuluh darah, dan berisi cairan jernih dengan kadar protein relatif rendah, seperti cairan serebrospinal.1,2 Kelainan ini sering terletak pada bagian tengah massa kelabu medula spinalis segmen servikal bawah atau torasik atas, tapi dapat juga mengenai seluruh panjang medula spinalis dan dapat meluas sampai batang otak (syringobulbia) sampai talamus.1 Sering juga terdapat abnormalitas perkembangan kolumna vertebralis (skoliosis toraks, fusi vertebra, atau anomali Klippel-Feil), pada dasar tengkorak (platibasia dan invaginasi basilar), dan kadang-kadang pada serebelum dan batang otak (malformasi Chiari tipe I).1,3,7 Pada mulanya lubang itu tentu kecil dan meluas ke tepi secara berangsurangsur. Seluruh substansia grisea sentralis dapat musnah, berikut dengan massa putih yang dikenal sebagai komisura alba ventralis. Funikulus dorsalis yang membatasi substansia grisea sentralis dari dorsal tidak pernah terdesak oleh lubang petologik itu. Tergantung pada luas lubang dalam orientasi rostrokaudal, maka kornu anterius dan kornu laterale berikut serabut-serabut spinotalamik (yang membentuk komisura alba ventralis) dapat terusak sepanjang satu atau dua segmen.5 Biasanya syringomyelia itu kempis, sehingga pada segmen yang terkena, medula spinalis memperlihatkan atrofia. Tetapi lubang patologik itu dapat mengandung cairan serebrospinalis bagaikan kista. Penimbunan cairan itu dapat berlnagsung secara progresif, sehingga tekanan terhadap substansia alaba di sekelilingnya mengganggu funikulus posterolateralis (yang mengandung serabutserabut kortikospinal) dan funikuklus anterolateralis (yang mengandung serabutserabut spinotalamik).5

Gambar 2.6 Syringomyelia

16 2.8 Klasifikasi Berdasarkan

gambaran

patologi

dan

postulat

tentang

mekanisme

perkembangan syringomyelia, maka syringomyelia dapat diklasifikasikan sebagai berikut.1,3,7 a. Tipe I. Syringomyelia dengan obstruksi foramen magnum dan dilatasi kanal sentralis, dapat disertai dengan malformasi Chiari tipe I, atau disertai dengan lesi obstrukstif foramen magnum yang lain. b. Tipe II. Syringomyelia tanpa obstruksi foramen magnum (idiopatik). c. Tipe III. Syringomyelia dengan penyakit medula spinalis yang lain (tumor medula spinalis, mielopati traumatik, arakhnoiditis spinal dan pakimeningitis, myelomalasia sekunder). d. Tipe IV. Hidromyelia murni dengan atau tanpa hidrosefalus. 2.9 Manifestasi Klinis Manifestasi klinis syringomyelia beragam terkait dengan empat jenis klasifikasi syringomyelia. Perbedaannya tidak hanya karena letak dan perluasan syrinx, tapi juga berkaitan dengan perubahan patologik yang berhubungan dengannya, seperti misalnya malformasi Chiari.3

Gambar 2.7 Manifestasi Klinis Syringomyelia4

17 Secara umum kelainan ini menyebabkan gejala-gejala neurologis progresif, biasanya amyotrofi brakhial dan kelumpuhan sensorik segmental, sesuai bagian yang terkena.1,2,3,4 Gejala-gejalanya biasanya muncul pada umur 35 – 45 tahun, tapi bisa juga muncul pada masa akil balik atau remaja. 1,2,3,4,7 Gejala yang pertama kali muncul dapat berupa nyeri dan rasa tebal pada tangan, kekakuan pada kaki, skoliosis, vertigo, osilopsia, diplopia, disfonia, disfagia, stridor laringeal, gangguan pada kelenjar keringat, tortikolis, dan artropati neurogenik.2 Manifestasi klinis syringomyelia yang dapat digunakan sebagai petunjuk diagnosis adalah: a) kelemahan otot segmental dan antrofi otot-otot tangan dan lengan; b) hilangnya sebagian atau seluruh refleks tendon, terutama pada lengan; dan c) hipo atau anestesia segmental secara disosiatik.1,3,4,7 Kelemahan dan atrofi otot Akibat dari rusaknya kornua anterius dan kornu laterale berikut serabut-serabut spinotalamik maka terjadi kelumpuhan LMN (akibat runtuhnya motoneuron), adanya disosiasi sensibilitas (akibat hancurnya serabut-serabut spinotalamik di komisura alba ventralis), dan hilangnya reaksi neurovegetatif (akibat musnahnya neuron-neuron di kornu laterale) pada bagian tubuh yang merupakan kawasan sensorik dan motorik segmen-segmen yang diduduki syringomyelia. Oleh karena sering berlokasi di intumesensia servikalis, maka daerah tubuh yang terkena adalah kedua lengan. Dalam hal ini ditemukan kelumpuhan LMN yang melanda otot-otot tenar, hipotenar, dan interosea. Kulit yang menutupi otot-otot tersebut menunjukkan disosiasi sensibilitas/ sensorik dan gangguan neurovegetatif. Sebagai tanda perluasan lubang patologik itu dapat ditemukan fasikulasi di otot-otot bahu, lengan bawah dan lengan atas. Gambaran penyakit tersebut dikenal sebagai sindroma syringomyelia. 1,2,3,4,5,7 Kemudian, kelemahan anggota gerak bawah dapat terjadi berkaitan dengan kompresi jaras kortikospinal, menyebabkan paraparesis spastik.1,2,3,4,7 Perubahan refleks Hilang refleks dapat terjadi pada anggota gerak atas karena gangguan pada busur refleks pada segmen yang terlibat.1,2 Pada kaki dapat terjadi peningkatan tonus otot dan refleks halus (kekakuan tungkai merupakan gejala yang sering ditemukan) jika jaras

kortikospinal

lateral

tertekan,

menyebabkan

kuadriparesis, di bawah tingkat segmen.1,3,7 Disfungsi sensorik segmental

paraparesis

spastik

atau

18 

Hilang rasa nyeri dan sensasi suhu terdapat pada satu atau dua dermatom pada lengan atas bilateral, sering dengan distribusi melintasi punggung dan bahu (pola selendang).1,2,3,4,7 Hal ini terjadi berhubungan dengan perluasan kavitas ke arah anterior (dan lebih dari satu atau dua segmen) setinggi daerah dermatom,

dan

juga

menekan

serat

nyeri

dan

temperatur

yang

menyilang.1,2,3,4,6,7 Jika syrinx meluas secara lateral, hal ini dapat menyebabkan nyeri dan hilang sensasi suhu kontralateral di bawah tingkat lesi. Akibatnya, pasien sering terluka karena terbakar dan mengalami cedera sendi karena tidak bisa merasakan nyeri.1,2,3,4,7 

Rasa raba dan posisi masih ada (disosiasi sensorik), tapi gangguan proprioseptif selanjutnya juga terjadi pada anggota gerak karena kompresi pada kolumna posterior.1,2,3,4,7



Nyeri dapat juga ditemukan. 2 Biasanya nyeri didapatkan pada syringomyelia tipe I dan II.1 Nyeri biasanya pada satu sisi tubuh atau lebih nyata pada satu sisi leher, bahu, dan lengan. Nyeri ini bersifat membakar, terutama pada daerah perbatasan dengan daerah yang mengalami gangguan sensorik.3,4,7

Gambar 2.8 Manifestasi Syringomyelia Syringobulbia Adalah suatu kelainan neurologis dengan progresifitas yang lambat dan memiliki karakteristik yang ditandai dengan terbentuknya kavitas yang berisi cairan di dalam medula spinalis dan batang otak. Syrinx meluas secara rostral ke dalam medula (biasanya pada dasar ventrikel keempat) dan jarang di bawahnya.1,3,4 Gejala yang timbul dapat berupa :

19 

Sensasi nyeri dan suhu berkurang atau hilang pada satu atau kedua sisi wajah, jika syrinx meluas ke segmen servikal atas (C1,2) dan menekan traktus trigeminotalamik.



Sensasi raba, propriosepsi, dan getaran dapat berkurang atau hilang ipsilateral karena penekanan serat-serat menyilang lemniskus medialis pada beberapa kasus syringobulbia.



Atrofi dan kelemahan lidah, palatum molle, faring, dan plika vokalis, menyebabkan disfagia, disartria, dan disfonia, dapat terjadi jika syrinx meluas sampai medula dan menekan inti saraf hipoglosus dan vagus (nukleus ambiguus).



Oftalmoplegia internuklear dapat terjadi jika fasikulus longitudinal medialis ikut terlibat.1,3,4

2.10 Pemeriksaan Penunjang Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang spesifik untuk membantu menegakkan diagnosa syringomyelia.2,7 Pemeriksaan cairan serebrospinal tidak dianjurkan untuk dilakukan karena resiko terjadinya herniasi sangat besar. Seringkali terjadi peningkatan tekanan intrakranial akibat adanya blokade total dari rongga subarakhnoid. Bisa didapatkan peningkatan ringan dari jumlah protein. Pada kasus blokade total rongga subarakhnoid bisa didapatkan jumlah protein sekitar 100 mg/dl.1 Pemeriksaan penunjang yang dianjurkan untuk saat ini oleh para klinikus adalah pemeriksaan MRI (Magnetic Resonance Imaging).1,2,3,7 Alat ini dapat mengambil gambaran dari struktur tubuh seperti otak dan medula spinalis dengan terperinci. Dalam pemeriksaan akan didapatkan gambaran kista didalam medula spinalis dengan kondisi yang sama baik seperti pada gambaran adanya tumor. Pemeriksaan ini juga aman, kurang invasif, serta memberikan informasi yang sangat mendukung diagnosis syringomyelia.1

20

Gambar 2.9 MRI Syringomyelia yang menyertai Malformasi Chiari I Pemeriksaan lain yang dapat dilakukan adalah1,,3,7 : 

X-ray Photo



CT-scan



Myelography



CT-myelography



MRA (Magnetic Resonance Angiography)



USG

2.11 Diagnosis Banding1,7 

Tumor spinal intramedular (primer maupun sekunder): perkembangannya cepat dan terdapat peningkatan protein cairan serebrospinal.



Tumor spinal extramedular: biasanya disertai dengan nyeri akar saraf dan paraparesis spastik karena penekanan extramedular terhadap segmen medula. Protein cairan serebrospinal dapat meningkat.



Hematomyelia: biasanya terdapat riwayat trauma, timbul tiba-tiba, dan nyeri pada daerah yang terlibat.



Spondilosis servikal: defisit sensorik biasanya terdapat pada akar saraf yang terlibat.



Penyakit motor neuron: pengecilan tangan, tapi tak ada defisit sensorik



Mononeuropati multipel: dapat dihubungkan dengan defisit sensorik pekuliar. Biasanya onsetnya mendadak dengan kehilangan fungsi satu saraf, diikuti oleh saraf perifer dan kranial yang lainnya. Disosiasi sensorik pada tubuh bagian atas sangat jarang ditemukan.

21 

Neuropati diabetik: penyebab nyeri sendi pada bahu, tapi dengan disertai dengan gejala diabetes.



Neuropati vaskuler (sistemik : poliartritis nodosa, reumathoid arthritis, taau nonsistemik): dapat tampak sebagai polinueropati simetris distal, tapi lebih sering terjadi sebagai mononeuropati multipleks.



Lepra: menyebabkan nyeri, sensasi suhu dan mungkin menyebabkan sindrom yang mirip dengan gejala syringomyelia. Akan tetapi pada lepra, gejala dirasakan pada saraf intrakutan, sehingga defek sensoris tidak diikuti dengan distribusi pada saraf tepi dan akar saraf. Selain itu gejala kehilangan sensoris selalu disertai dengan gejal lepra yang lain seperti adanya lesi lepromatous yang khas.



Porfiria Intermiten Akut: di sini gejala kehilangan sensoris yang menyerang tubuh atau lengan memiliki onset akut. Keempat ekstremitas terserang lebih dahulu sebelum didapatkan gejala lain pada tubuh, seperti nyeri perut, gejala psikiatri, atau defisiensi eritrosit porphobilinogen deamniase dapat dijumpai.



Amyliodosis: kehilangan sensasi nyeri dan suhu yang sering disertai dengan disfungsi otonom.



Penyakit Fabry: kelainan resesif kromosom X dimana sering ditemukan sensasi terbakar pada daerah tangan dan kaki.



Penyakit Tangier: mungkin dapat menyebabkan sindrom seperti syringomylia (nyeri spontan pada lengan, kelemahan pada otot tangan, dan kelaian sensoris pada tubuh bagian atas) yang terjadi akibat tidak adanya serabut myelin pada saraf dan akar ganglion.

2.12 Diagnosis Syringomyelia dapat didiagnosis dengan mudah jika ditemukan tanda-tanda yang khas.1,2,3,4,7 Tetapi, ada kalanya syringomyelia sulit untuk didiagnosis. Hal ini terjadi jika gejala-gejala syringomyelia minimal sekali atau bahkan tidak spesifik untuk waktu yang lama. Gejala-gejala syringomyelia juga dapat dikaburkan oleh adanya gejala-gejala kelainan yang terdapat bersamanya. 3 Dalam hal ini, pemeriksaan dengan MRI dapat membantu menegakkan diagnosis syringomyelia.1,2,3,7 2.13 Penatalaksanaan

22 Konservatif Pada syringomyelia yang kecil dengan progresifitas yang lambat dapat digunakan karbamazepin, amitriptilin atau tindakan stimulasi saraf transkutaneus jika nyeri tidak berespon dengan pemberian analgetik saja.1 Tidak ada pengobatan spesifik yang dapat digunakan untuk pengobatan syringomyelia. Akan tetapi pemberian analgesik dan pelemas otot mungkin dapat dipergunakan. 1,3,7 Kategori obat NSAIDs (Non Steroidal Anti Inflammation Drugs) sering kali digunakan sebagai analgetik pada penderita syringomyelia. Jika salah satu jenis tidak memberikan efek setelah 2 minggu pengobatan, maka dapat dicoba dengan kelas yang lain. Sediaan yang sering dipakai seperti misalnya ibuprofen, asam asetil salisilat, naproxen, indometasin, asam mefenamat, dan piroxicam.3,7 Kategori obat pelemas otot juga dapat digunakan, dimana obat ini untuk meredakan spasme otot yang dapat meredakan rasa tidak nyaman yang dialami penderita. Untuk lebih lengkapnya dapat dilihat pada lampiran 1.7 Pembedahan Prosedur pembedahan dilakukan jika defisit neurologis memberat. Deformitas spinal, seperti kifoskoliosis harus sesegera mungkin dikoreksi.1 Syringomyelia yang berhubungan dengan malformasi Chiari I Tujuan utama ialah menghentikan progresifitas dari gejala defisit neurologis dengan cara kraniotomi suboksipital dan laminektomi servikal atas yang dikombinasi dengan tindakan duraplasti. Jika ditemukan jaringan parut di daerah ventrikel keempat, maka harus dilakukan pembukaan untuk mengambil jaringan parut.1,2 Syringomyelia yang berhubungan dengan malformasi Chiari II Chiari II adalah kelainan kongenital yang berhubungan dengan myelomeningokel, hidrosefalus, dan kelainan nervus kranial.1 Dapat dilakukan dekompresi fossa posterior dan servikal atas.2,3,13 Tetapi, seringkali dekompresi pada fosa posterior tidak efektif karena fosa posterior terlalu kecil untuk terjadinya herniasi serebelum, sehingga yang terjadi ialah herniasi keatas (ke bagian fossa media).1 Shunting Tindakan yang dilakukan dengan membuat jalur pintas (shunt) merupakan pilihan terakhir. Tindakan ini dapat membuat kolaps kista, tetapi sering kali memberi komplikasi berupa reekspansi kista sehingga memerlukan tindakan pembedahan ulang, juga obstruksi, dislokasi, infeksi, maupun kerusakan medula spinalis akibat

23 shunt yang bergeser. Komplikasi yang lain ialah bertambahnya defisit neurologis yang seringkali terjadi. Dekompresi dengan dural graft dan membuat ’bypass’ untuk cairan serebro spinal mungkin membantu.1,3,13

Syringomyelia simptomatik Idoipatik

Pasca trauma

Pasca arakhnoiditis

Patensi foramen magendi

Malformasi Chiari Neoplasma / AVM

Pintas syringopleural / peritoneal

Non paten

Reseksi lesi primer

Paten

Dekompresi kranioservikal

Gambar 2.10 Skema Penanganan Syringohidromyelia13 2.14 Komplikasi Syringobulbia biasanya merupakan komplikasi syringomyelia. Saat tekanan intraspinal

meningkat

selama

kontraksi

otot

abdomen

dan

tidak

terjadi

penyeimbangan tekanan intrakranial, maka tekanan ini akan diteruskan ke syrinx dan cairan kista akan bergerak ke atas.2 Komplikasi lain yang dapat berlangsung lama antara lain artropati neurogenik, spondilosis servikal, koma sentral, dan mati mendadak. Walaupun telah dilakukan operasi yang adekuat, penderita dapat menunjukkan deteriorasi, seringkali karena

24 gliosis di sepanjang dinding kavitas, meskipun ukuran syrinx sudah tidak membesar lagi.2 Komplikasi dari dekompresi foramen magnum antara lain cedera tulnag belakang karena hiperekstensi leger atau hiperfleksi selama intubasi, iskemia medula spinalis karena hipotensi arterial, kekurangan cairan serebrospinal dengan pembentukan pseudomeningokel, perdarahan fossa posterior, infeksi, hidrosefalus, dan ptosis serebelar.2 Komplikasi prosedur pembuatan jalur pintas (shunting) antara lain malfungsi shunt, hematom lokal, infeksi, dan syrinx yang kolaps.2,13 2.15 Prognosis Syringomyelia yang tidak diterapi akan berkembang lambat, dan hampir separuh dari semua pasien tetap tanpa gejala yang spesifik selama lebih dari 10 tahun.2,3,7 Indikator prognosis yang buruk termasuk terdapatnya gejala selama lebih dari 2 tahun dan terdapatnya ataksia, nistagmus, gejala-gejala bulbar, atrofi otot, atau disfungsi kolumna dorsalis.2 Secara umum, prognosis siringomielia sulit ditentukan. Hal ini berkaitan dengan letak lesi yang sulit dicapai sehingga sulit untuk dilakukan tindakan pembedahan. Tindakan pembedahan pada kista bisa memperbaiki gejala neurologis. Tetapi, gejala neurologis juga dapat memburuk apabila terjadi komplikasi-komplikasi. Pada siringomielia nonkomunikans, letak lesi yang lebih dekat dengan kanalis sentralis medula spinalis akan mempermudah dilakukannya tindakan pembuatan pintas (shunt) dengan kanalis sentralis medula spinalis sehingga cairan kista dapat dialirkan keluar melalui kanalis sentralis medula spinalis. Tetapi hasil dari tindakan ini juga tidak dapat ditentukan berkaitan dengan berbagai resiko yang terkait seperti obstruksi, dislokasi dan infeksi, drainase yang tidak sempurna dari kista yang bersepta, kerusakan medula spinalis akibat shunt yang bergeser, atau perburukan klinis neurologis akibat tindakan mielotomi.13 Karena terdapat hubungan anatomis dan fisiologis dengan kanalis sentralis medula spinalis, maka pada siringomielia komunikans dapat dilakukan tindakan pembedahan dengan tidak banyak melibatkan medula spinalis secara langsung. Hal ini berarti bahwa prognosisnya lebih baik dari siringomielia nonkomunikans. Tetapi, sampai sekarang belum ada laporan yang lengkap mengenai prognosis penderita siringomielia.7,13

25

3. KESIMPULAN 1. Syringomyelia adalah kelainan berupa terbentuknya lubang atau kavitas (syrinx) yang terdapat pada bagian tengah medula spinalis. Kavitas ini berisi cairan dan tidak berhubungan secara fungsional dengan kanalis sentralis medula spinalis. Kavitas tersebut bisa terletak sentral atau eksentris. 2. Manifestasi penyakit ini biasanya muncul pada umur 35 – 45 tahun, tapi bisa juga muncul pada usia akil balik atau awal remaja. 3. Kelainan ini bisa terjadi akibat sebab kongenital dan dapatan. Penyebab kongenital yang sering terkait dengan kelainan ini adalah malformasi ArnoldChiari. Sedangkan sebab dapatan kelainan ini antara lain karena prosedur pembedahan, trauma, peradangan, dan tumor. 4. Sampai saat ini patofisiologi terjadinya syringomyelia masih belum diketahui. Akan tetapi banyak yang mengemukakan bahwa terjadinya akibat terganggunya proses hidrodinamik dari cairan serebrospinal baik akibat blokade secara anatomis fisiologis maupun patologis. Dapat juga akibat paskatrauma maupun gangguan mekanisme vaskuler. 5. Manifestasi klinis syringomyelia beragam terkait dengan empat jenis klasifikasi syringomyelia. Perbedaannya tidak hanya karena letak dan perluasan syrinx, tapi juga berkaitan dengan perubahan patologik yang berhubungan dengannya, seperti misalnya malformasi Chiari. Secara umum kelainan ini menyebabkan gejala-gejala gangguan neurologis progresif, biasanya amyotrofi brakhial dan kelumpuhan sensorik segmental, sesuai bagian yang terkena. 6. Syringomyelia dapat didiagnosis dengan mudah jika ditemukan tanda-tanda yang khas. Tetapi, ada kalanya syringomyelia sulit untuk didiagnosis. Hal ini

26 terjadi jika gejala-gejala syringomyelia minimal sekali atau bahkan tidak spesifik untuk waktu yang lama. Dalam hal ini, pemeriksaan dengan MRI dapat membantu mengakkan diagnosis syringomyelia. 7. Pada umumnya penatalaksanaan tergantung dari gejala neurologis yang timbul. Jika ringan maka dapat diberikan terapi simptomatis saja, tetapi jika gejala memburuk maka terapi pembedahan adalah pilihan utama. 8. Prognosis penderita dengan siringomielia sampai saat ini masih belum pasti terkait dengan kompleksitas kelainan sekaligus penatalaksanaannya. DAFTAR PUSTAKA 1.

Graeme J. Hankey, Joanna M. Wardlaw. 2002. Syringomyelia. dalam Clinical Neurology. pp: 541 – 533. Manson Publishing

2.

Alireza Minagar, J. Steven Alexander. 2003. Arnold-Chiari Malformation and Syringomyelia. dalam Randolph W. Evans. Saunder’s Mannual of Clinical Practice. pp 903 – 909. WB Saunders

3.

Allan H. Ropper, Robert H. Brown. 2005. Diseases of the Spinal Cord. dalam Adams and Victor’s Principles of Neurology, Eight Edition. pp 1084 – 1087. McGraw-Hill Publishing

4.

Mark Mumenthaler & Heinrich Mattle. 2006. Diseases of the Spinal Cord. dalam Fundamentals of Neurology. pp 141 – 155. New York: Georg Thieme Verlag

5.

Mardjono, M & Sidharta, P. 2004. Neurologi Klinis Dasar. hal 40 – 41. Jakarta: Dian Rakyat

6.

Mardjono, M & Sidharta, P. 2004. Tata Pemeriksaan Klinis dalam Neurologi. hal 518. Jakarta: Dian Rakyat

7.

Galhom, Ayman Ali. 2005. Syringomyelia. http://www.emedicine.com

8.

Goetz, Lance. 2007. Posttraumatic Syringomyelia. http://www.emedicine.com

9.

Subagjo, dkk. 2002. Medulla Spinalis. dalam Anatomi 3. Surabaya: Laboratorium Anatomi – Histologi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga

10.

Islam, Mohammad Saiful. 1995. Neuroanatomi Fungsional. Surabaya: Laboratorium/ UPF Ilmu Penyakit Saraf FK Universitas Airlangga

27 11.

Snell Richard.S. 2006. Sistem Ventrikular, Cairan Serebrospinal, Serta Sawar Darah Otak Dan Sawar Darah Cairan Serebrospinal. Dalam Neuroanatomi Klinik. pp 508 – 510. EGC ; Jakarta

12.

Gondim, Francisco de Assis Aquino. 2007. Spinal Cord, Topographical and Functional Anatomy. http://www.emedicine.com

13.

Satyanegara. 1998. Ilmu Bedah Syaraf. Editor: L. Djoko Listiono. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama

LAMPIRAN Antiinflamasi Non Steroid

Drug Name

Ibuprofen (Ibuprin, Advil, Motrin) -- One of propionic acid derivatives group. Effective inhibitor of cyclooxygenase, which is responsible for biosynthesis of prostaglandins; rapidly absorbed after PO administration; half-life in plasma is about 2 h; passes slowly into synovial spaces and may remain there in higher concentration as concentrations in plasma decline; excretion is rapid and complete, mainly in urine as metabolites or their conjugates.

Adult Dose

Maintenance dose: 1200-1800 mg PO q4-6h; not to exceed 3200 mg in divided doses

Pediatric Dose Contraindications

Not established Documented hypersensitivity; avoid in peptic ulcer disease, recent GI bleeding or perforation, renal insufficiency, and high risk of bleeding

Interactions

Aspirin increases risk of inducing serious NSAID-related adverse effects; probenecid may increase concentrations and, possibly, toxicity; may decrease effects of hydralazine, captopril, and beta-blockers; may decrease diuretic effects of furosemide and thiazides; monitor PT closely in patients taking anticoagulants (instruct patients to watch for signs of bleeding); may increase risk of methotrexate toxicity; may increase phenytoin levels

Pregnancy

D - Unsafe in pregnancy

28

Precautions

Category D in third trimester of pregnancy; caution in congestive heart failure, hypertension, and decreased renal or hepatic function; caution in coagulation abnormalities or during anticoagulant therapy

Drug Name

Aspirin (Anacin, Ascriptin, Bayer Aspirin) -- Treats mild to moderately severe pain and headache. Inhibits prostaglandin synthesis, which prevents formation of platelet-aggregating thromboxane A2; acts on heatregulating center of hypothalamus and vasodilates peripheral vessels to reduce fever.

Adult Dose

325-650 mg PO q4-6h; not to exceed 4 g/d

Pediatric Dose

10-15 mg/kg/dose PO q4-6h; not to exceed 60-80 mg/kg/d

Contraindications

Documented hypersensitivity; liver damage; hypoprothrombinemia; vitamin K deficiency; bleeding disorders; asthma Because of association with Reye syndrome, do not use in children (2 g/d may potentiate glucose-lowering effect of sulfonylurea drugs

Pregnancy

D - Unsafe in pregnancy

Precautions

May cause transient decrease in renal function and aggravate chronic kidney disease; avoid using in patients with severe anemia, history of blood coagulation defects, or taking anticoagulants

Drug Name

Naproxen (Naprelan, Naprosyn, Aleve, Anaprox) -- For relief of mild to moderately severe pain; inhibits inflammatory reactions and pain by decreasing activity of cyclooxygenase, which is responsible for prostaglandin synthesis.

Adult Dose

500 mg PO initial dose, followed by 250 mg q6-8h; not to exceed 1.25 g/d

29

Pediatric Dose Contraindications

2 years: 2.5 mg/kg/dose PO; not to exceed 10 mg/kg/d Documented hypersensitivity; peptic ulcer disease; recent GI bleeding or perforation; renal insufficiency

Interactions

Aspirin increases risk of inducing serious NSAID-related adverse effects; probenecid may increase concentrations and, possibly, toxicity; may decrease effects of hydralazine, captopril, and beta-blockers; may decrease diuretic effects of furosemide and thiazides; monitor PT closely in patients taking anticoagulants (instruct patients to watch for signs of bleeding); may increase risk of methotrexate toxicity; may increase phenytoin levels

Pregnancy

B - Usually safe but benefits must outweigh the risks.

Precautions

Category D in third trimester of pregnancy; acute renal insufficiency, interstitial nephritis, hyperkalemia, hyponatremia, and renal papillary necrosis may occur; patients with preexisting renal disease or compromised renal perfusion risk acute renal failure; leukopenia occurs rarely, is transient, and usually returns to normal during therapy; persistent leukopenia, granulocytopenia, or thrombocytopenia warrants further evaluation and may require discontinuation of drug

Drug Name

Indomethacin (Indocin, Indochron E-R) -- Rapidly absorbed. Metabolism occurs in liver by demethylation, deacetylation, and glucuronide conjugation. Inhibits prostaglandin synthesis.

Adult Dose

25-50 mg IR PO bid/tid 75 mg PO SR PO bid; not to exceed 200 mg/d

Pediatric Dose Contraindications

1-2 mg/kg/d PO divided bid/qid; not to exceed 4 mg/kg/d or 150-200 mg/d Documented hypersensitivity; GI bleeding; renal insufficiency

30

Interactions

Aspirin increases risk of inducing serious NSAID-related adverse effects; probenecid may increase concentrations and, possibly, toxicity; may decrease effects of hydralazine, captopril, and beta-blockers; may decrease diuretic effects of furosemide and thiazides; monitor PT closely in patients taking anticoagulants (instruct patients to watch for signs of bleeding); may increase risk of methotrexate toxicity; may increase phenytoin levels

Pregnancy

B - Usually safe but benefits must outweigh the risks.

Precautions

Category D in third trimester of pregnancy; acute renal insufficiency, hyperkalemia, hyponatremia, interstitial nephritis, and renal papillary necrosis may occur; increases risk of acute renal failure in patients with preexisting renal disease or compromised renal perfusion; reversible leukopenia may occur, (discontinue if persistent leukopenia, granulocytopenia, or thrombocytopenia)

Drug Name

Piroxicam (Feldene) -- Decreases activity of cyclooxygenase, which in turn inhibits prostaglandin synthesis. These effects decrease formation of inflammatory mediators.

Adult Dose

10-20 mg/d PO qd

Pediatric Dose Contraindications

0.2-0.3 mg/kg/d PO qd; not to exceed 15 mg/d Documented hypersensitivity; active GI bleeding

Interactions

Aspirin increases risk of inducing serious NSAID-related adverse effects; probenecid may increase concentrations and, possibly, toxicity; may decrease effects of hydralazine, captopril, and beta-blockers; may decrease diuretic effects of furosemide and thiazides; monitor PT closely in patients taking anticoagulants (instruct patients to watch for signs of bleeding); may increase risk of methotrexate toxicity; may increase phenytoin levels

Pregnancy

B - Usually safe but benefits must outweigh the risks.

31

Precautions

Category D in third trimester of pregnancy; acute renal insufficiency, hyperkalemia, hyponatremia, interstitial nephritis, and renal papillary necrosis may occur; increases risk of acute renal failure in patients with preexisting renal disease or compromised renal perfusion; reversible leukopenia may occur, (discontinue if persistent leukopenia, granulocytopenia, or thrombocytopenia)

Drug Name

Mefenamic acid (Ponstel) -- Inhibits inflammatory reactions and pain by decreasing prostaglandin synthesis.

Adult Dose

500 mg PO initially followed by 250 mg q4h prn

Pediatric Dose Contraindications

12 years: Administer as in adults Documented hypersensitivity; peptic ulcer disease; recent GI bleeding or perforation; renal insufficiency; high risk of bleeding

Interactions

Aspirin increases risk of inducing serious NSAID-related adverse effects; probenecid may increase concentrations and, possibly, toxicity; may decrease effects of hydralazine, captopril, and beta-blockers; may decrease diuretic effects of furosemide and thiazides; monitor PT closely in patients taking anticoagulants (instruct patients to watch for signs of bleeding); may increase risk of methotrexate toxicity; may increase phenytoin levels

Pregnancy

C - Safety for use during pregnancy has not been established.

Precautions

Category D in third trimester of pregnancy; may have adverse effects in fetus; caution in congestive heart failure, hypertension, and decreased renal or hepatic function; caution in coagulation abnormalities or during anticoagulant therapy

32 Pelemas Otot (Muscle Relaxant)

Drug Name

Methocarbamol (Robaxin) -- Skeletal muscle relaxant used in conjunction with other therapeutic efforts to treat pain and discomfort associated with musculoskeletal conditions. Acts on CNS to relax certain reflexes.

Adult Dose

60 years: 6 g/d PO initially (8 g in severe cases); reduce dose prn

Pediatric Dose Contraindications

12 years: 800 mg (2 tab) PO qid Documented hypersensitivity; renal impairment

Interactions

Increases toxicity of CNS depressants

Pregnancy

C - Safety for use during pregnancy has not been established.

Precautions

Observe extreme caution in patients with impaired liver or kidney function; caution in patients with history of seizures; prolonged use requires regular monitoring Because of risk of potential harm to newborn, avoid using while breastfeeding Adverse effects include light-headedness, blurred vision, dizziness, drowsiness, itching, conjunctivitis, fever, headache, hives, nasal congestion, nausea and vomiting, rash, urticaria (itching attack, may be due to drug sensitivity), anaphylaxis (severe allergic reaction), extreme weakness, temporary vision loss, transient paralysis Overdosage symptoms include convulsions, vomiting, diarrhea, headache, nausea, difficult breathing, sensation of paralysis, coma, severe weakness Drug may cause color interference in certain screening tests for 5-hydroxyindoleacetic acid (5-HIAA) and vanillylmandelic acid (VMA) To prevent additive CNS depression (eg, excessive sleepiness, slurred speech, decreased awareness), avoid drinking alcoholic beverages or taking other CNS depressants Patients >60 years are more likely to experience adverse reactions

View more...

Comments

Copyright ©2017 KUPDF Inc.
SUPPORT KUPDF