Recurrent Apthous Stomatitis (laporan kasus)
January 25, 2021 | Author: Anonymous | Category: N/A
Short Description
Download Recurrent Apthous Stomatitis (laporan kasus)...
Description
RECURRENT APTHOUS STOMATITIS (RAS)
LAPORAN KASUS Diajukan sebagai laporan hasil perawatan pasien penyakit mulut pada Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Padjajaran
FEBRIA ANGELINA PURWONO NPM 160110110031
UNIVERSITAS PADJADJARAN FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI BANDUNG
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang telah memberikan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan laporan kasus ini sebagai syarat untuk memenuhi tugas ilmu penyakit mulut di fakultas kedokteran Gigi Universitas Padjadjaran Bandung. Laporan kasus ini berisi tentang deskripsi hasil pemeriksaan, perawatan, serta hasil perawatan yang telah dilakukan kepada salah satu pasien yang mengalami Recurrent Apthous Stomatitis (RAS). Dalam penyusunan laporan kasus ini, penulis banyak mendapatkan bantuan dari berbagai pihak, mulai dari pemeriksaan pasien hingga kontrol pasien. Oleh sebab itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada I.K sebagai pasien yang sudah bersedia untuk mengikuti instruksi yang diberikan demi kesembuhan dan sudah meluangkan waktu untuk kontrol kembali, drg. Wahyu Hidayat Sp. PM. Selaku dosen pembimbing dalam pengisian status, diskusi kasus, dan pembuatan laporan penyakit mulut, serta drg. Dewi Zakiawati selaku dosen penjaga klinik saat dilakukan kontrol terhadap pasien. Semoga laporan kasus ini dapat bermanfaat bagi mahasiswa program profesi, mahasiswa PPDGS, dokter gigi, dokter gigi spesialis, serta pihak lain yang memerlukan dalam memahami dan mengatasi kasus RAS.
November, 2015
1
Penulis
2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..............................................................................................i DAFTAR ISI...........................................................................................................ii BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1 BAB II LAPORAN KASUS..................................................................................4 2.1 Status Klinik IPM.................................................................................4 2.1.1
Biodata Pasien..........................................................................4
2.1.2
Anamnesa.................................................................................4
2.1.3
Riwayat Penyakit Sistemik.......................................................5
2.1.4
Riwayat Penyakit Terdahulu.....................................................6
2.1.5
Kondisi Umum.........................................................................6
2.1.6
Pemeriksaan Ekstra Oral..........................................................6
2.1.7
Pemeriksaan Intra Oral.............................................................7
2.1.8
Status Geligi.............................................................................8
2.1.9
Status Lesi................................................................................8
2.1.10 Pemeriksaan Penunjang............................................................9 2.1.11 Diagnosa...................................................................................9 2.1.12 Rencana Perawatan dan Perawatan..........................................9 2.2 Laporan Kontrol.................................................................................10 2.2.1
Biodata Pasien........................................................................10
2.2.2
Anamnesis..............................................................................10
2.2.3
Pemeriksaan Ekstra Oral.........................................................11
2.2.4
Pemeriksaan Intra Oral...........................................................11
2.2.5
Status Lesi..............................................................................12
2.2.6
Hasil Pemeriksaan Penunjang................................................13
2.2.7
Diagnosis................................................................................13
2.2.8
Rencana Perawatan dan Perawatan........................................13
BAB III TINJAUAN PUSTAKA........................................................................14 3.1 Definisi...............................................................................................14 3.2 Etiologi...............................................................................................14 3.3 Gambaran Klinis dan Klasifikasi Ulser..............................................19 3.3.1
Gambaran Klinis dan Patofisiologi........................................20
3.3.2
Klasifikasi Ulser.....................................................................21
3.4 Diagnosis............................................................................................24 3.5 Diagnosis Banding..............................................................................26 3.6 Perawatan...........................................................................................30 BAB IV PEMBAHASAN.....................................................................................32 BAB V KESIMPULAN.......................................................................................37 DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................38
BAB I PENDAHULUAN
Reccurent Aphtous Stomatitis (RAS) merupakan salah satu penyakit pada mukosa mulut yang paling sering terjadi dan ditemui oleh dokter gigi. Di Indonesia, orang awam lebih mengenalnya dengan istilah sariawan. RAS merupakan penyakit yang paling sering terjadi . Penyakit ini dapat muncul tanpa adanya pengaruh dari penyakit sistemik. Karakteristik dari penyakit ini yaitu ditandai oleh ulser berulang yang menyakitkan di rongga mulut dan berbentuk bulat atau oval dan dikelilingi inflamasi. Biasanya, luka yang timbul berupa bercak putih kekuningan dapat tunggal maupun kelompok dengan permukaan yang agak cekung. Reccurent Aphtous Stomatitis merupakan self-limiting disease yang melibatkan 10 – 25% populasi. Penyakit ini dapat ditemukan pertama kali pada anak-anak ataupun remaja. Penderitanya biasanya terlihat sehat, tidak merokok. RAS merupakan penyakit mulut yang penyebabnya belum diketahui secara pasti, tetapi ada beberapa faktor predisposisi yang diduga menjadi pencetus RAS, yaitu stress, alergi makanan, genetik, trauma, ketidakseimbangan hormonal, infeksi bakteri atau virus, dan gangguan sistem imun. Sebenarnya RAS merupakan penyakit yang relatif ringan karena tidak bersifat membahayakan jiwa dan tidak menular. Namun, bagi sebagian orang ini
1
sangat mengganggu. Orang-orang yang mengalami RAS akan merasa sangat terganggu terutama dalam hal fungsi pengunyahan, penelanan dan berbicara.
2
3
Hal ini menyebabkan terjadinya penurunan kualitas hidup dan kondisi kesehatan secara menyeluruh, terutama pada penderita yang sering berulang kejadiannya. Tidak menutup kemungkinan, hal ini dapat mengakibatkan terjadinya penyakit infeksi, selain dapat mengganggu penyakit lainnya yang terjadi secara psikoneuroimunologi. Sehubungan dengan etiologi penyakit ini yang tidak jelas, sukar untuk menemukan suatu perawatan yang pasti. Karena RAS dapat sembuh sendiri tanpa pengobatan, maka sering pasien mengabaikannya atau mengobati sendiri dengan obat-obatan yang diketahui dari iklan media massa. Namun, RAS sebenarnya memerlukan perhatian pula dari tenaga ahli. Hal ini dikarenakan RAS juga memerlukan perawatan untuk tujuan pengobatan jangka panjang karena sifatnya yang berulang. Multivitamin herbal, pasta adesif, antiseptik lokal, antibiotik lokal, obat anti-inflamasi non-steroid topikal, kortikosteroid topikal serta ditambah imunomodulator, imunosuppresan dan kortikosteroid topikal dan sistemik, serta konsumsi vitamin B12 merupakan perawatan yang dapat diberikan pada penderita RAS. RAS merupakan salah satu penyakit mulut yang paling sering ditemui oleh dokter gigi dan banyak orang awam yang mengira bahwa RAS hanya merupakan sariawan biasa yang tidak memerlukan perawatan lebih lanjut, sehingga banyak kasus RAS yang tidak ditangani lebih lanjut. Oleh sebab itu, perlu adanya pemahaman yang baik mengenai Reccurent Aphtous Stomatitis (RAS) dan karena etiologinya yang multifaktorial, diperlukan pengamatan lebih lanjut dalam menangani kasus RAS.
4
Pada makalah ini dilaporkan kasus RAS pada seorang pasien perempuan usia 20 tahun yang datang ke bagian Penyakit Mulut Rumah Sakit Gigi dan Mulut Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Padjadjaran pada bulan Oktober 2015 yang dikarenakan adanya efek traumatik pada mukosa mulutnya.
BAB II LAPORAN KASUS
2.1 Status Klinik IPM 2.1.1 Biodata Pasien Tanggal
: 8 Oktober 2015
Nama
: I. K.
Agama
: Katholik
Telepon
: 8886***
Jenis Kelamin : Perempuan Usia
: 21 tahun
Pekerjaan
: Mahasiswa
Alamat
: Jl. Taman Mekar Utama 3 No. 21, Bandung
Status
: Belum menikah
NRM
: 2015-00***
2.1.2 Anamnesa Pasien wanita usia 21 tahun datang dengan keluhan terdapat sariawan di bibir bawah kiri sebanya dua buah dengan diameter kurang lebih tiga mili meter sejak empat hari yang lalu. Sariawan muncul karena tergigit sekitar satu minggu yang lalu. Pasien mengeluhkan rasa tidak nyaman pada daerah sariawan. Awal
5
mulanya, sariawan tersebut hanya setitik kecil, tetapi lama kelamaan bertambah besar,
6
7
terutama setelah makan makanan pedas. Setelah sariawan membesar, pasien mengeluhkan adanya rasa sakit dan bengkak pada daerah tersebut. Pasien mengaku sering mengalami hal ini kurang lebih tiga bulan sekali dan seringkali sariawan terjadi karena tergigit. Biasanya, pasien menggunakan kenalog untuk menyembuhkan sariawannya. Tidak ada gejala lain yang menyertai, pasien tidak demam dan tidak sedang memiliki gangguan pencernaan. Pasien tidak dalam kondisi stres, tetapi pasien sedang dalam masa menstruasi. Pasien mengaku tidak sedang mengkonsumsi obat-obatan tertentu beberapa tahun ini. Pasien tidak memiliki riwayat penyakit sistemik. Ayah pasien sering mengalami sariawan juga. Pasien mengaku minum air putih yang cukup setiap harinya, mengkonsumsi buahbuahan dan sayur-sayuran yang cukup. Pasien ingin sariawannya disembuhkan.
2.1.3 Riwayat Penyakit Sistemik Penyakit Jantung
: Disangkal
Hipertensi
: Disangkal
Diabetes Mellitus
: Disangkal
Asma/alergi
: Disangkal
Penyakit hepar
: Disangkal
Kelainan GIT
: Disangkal
Penyakit Ginjal
: Disangkal
Kelainan Darah
: Disangkal
Hamil
: Disangkal
Kontrasespsi
: Disangkal
8
Lain-lain
: Disangkal
2.1.4 Riwayat Penyakit Terdahulu Disangkal
2.1.5 Kondisi Umum Keadaan Umum
: Baik
Kesadaran
: Compos Mentis
Suhu
: Afebris
Tensi
: 110/80 mmHg
Pernafasan
: 18x/menit
Nadi
: 75x/menit
2.1.6
Pemeriksaan Ekstra Oral
1. Kelenjar Limfe Submandibula : kiri kanan Submental
: kiri kanan
Servikal
: kiri kanan
: teraba +/-
lunak/kenyal/keras
sakit +/-
: teraba +/-
lunak/kenyal/keras
sakit +/-
: teraba +/-
lunak/kenyal/keras
sakit +/-
: teraba +/-
lunak/kenyal/keras
sakit +/-
: teraba +/-
lunak/kenyal/keras
sakit +/-
: teraba +/-
lunak/kenyal/keras
sakit +/-
9
2. Mata Pupil
: isokhorik
Sklera
: non ikterik
Konjungtiva
: non anemis
3. TMJ
: kliking kanan
4. Bibir
: Kompeten, Lip seal (+)
5. Wajah
: Simetri/Asimetri
6. Sirkum Oral : Bibir Kering 7. Lain-lain
2.1.7
: Tidak ada kelainan
Pemeriksaan Intra Oral
Kebersihan Mulut
: baik/sedang/buruk Kalkulus +/-
plak +/stain +/-
Gingiva
: Tidak ada kelainan.
Mukosa Bukal
: Teraan gigitan regio 36-37 dan 46-47.
Mukosa Labial
: Terdapat dua buah ulser; diameter ±3mm dan ±2mm; bentuk: bulat, regular; dasar: putih, cekung; tepi: eritem; kedalaman: dangkal; indurasi: positif.
Palatum Durum
: Kedalaman sedang, tidak ada kelainan.
Palatum Mole
: Tidak ada kelainan.
Frenulum
: Perlekatan sedang pada frenulum labialis rahang atas dan rahang bawah, lingualis
Lidah
: Terdapat teraan gigitan di lateral kiri dan kanan
Dasar Mulut
: Tidak ada kelainan
10
2.1.8
Status Geligi
UE CS CS 18 48
17 47
16 46
CS UE 15 45
14 44
13 43
12 42
11 41
21 31
22 32
23 33
24 34
25 35
26 36
27 37
CS
UE
UE 2.1.9
28 38
Status Lesi Jenis lesi
: Ulser
Jumlah
: 2 buah
Diameter
: ±3mm dan ±2mm
Bentuk
: bulat, regular
Dasar
: putih, cekung
Tepi
: eritem
Kedalaman : dangkal Indurasi
: positif.
Gambar 2.1 Ulser pada bibir bagian bawah depan 2.1.10 Pemeriksaan Penunjang Radiologi
: tidak dilakukan
Darah
: tidak dilakukan
Patologi Anatomi
: tidak dilakukan
Mikrobiologi
: tidak dilakukan
2.1.11 Diagnosa 1. D/ Stomatitis aftosa rekuren tipe minor a/r labial 32, 33 DD/ Traumatic ulcer, Behcet syndrome, herpetic ulcer, stomatitis alergia.
11
2. D/ Cheekbiting a/r bukal sinistra dan bukal dextra DD/ Linea alba 3. Creaneted tongue
2.1.12 Rencana Perawatan dan Perawatan 1. Farmakologis: 1) Pro Chlorhexidine gluconat 0,2% 2) Pro triamcinolone acetonide 0,01% 3) Pro vitamin B12 2. Non-farmakologis: 1) KIE: menjelaskan diagnosis, menjelaskan pemakaian obat, edukasi nutrisi, minum air putih lebih dari delapan gelas per hari, makan buah-buahan dan sayuran, kontrol 1 minggu. 2) DHE: scaling, sikat lidah, Oral Hygiene Instruction 2.2 Laporan Kontrol 2.2.1
Biodata Pasien
Tanggal Nama Agama Telepon Jenis Kelamin Usia Pekerjaan Alamat Status NRM
2.2.2
: 8 Oktober 2015 : I. K. : Katholik : 8886*** : Perempuan : 21 tahun : Mahasiswa : Jl. Taman Mekar Utama 3 No. 21, Bandung : Belum menikah : 2015-00***
Anamnesis Pasien datang pada kunjungan kedua dengan kondisi sariawan pada bagian
bibir bawah kiri telah hilang setelah delapan hari semenjak kunjungan pertama. Pasien mengaku telah melakukan instruksi yang dianjurkan, yaitu tidak memainkan luka dengan lidah atau jari, mengkonsumsi obat dan vitamin b12
12
secara teratur. Pasien sudah memperbanyak konsumsi sayur dan buah-buahan, serta minum air putih delapan gelas perhari. Pasien mengaku sudah tidak ada rasa sakit pada sariawannya.
2.2.3
Pemeriksaan Ekstra Oral
1. Kelenjar Limfe Submandibula :
Submental
Servikal
:
:
kiri
: teraba +/-
lunak/kenyal/keras
sakit +/-
kanan : teraba +/-
lunak/kenyal/keras
sakit +/-
kiri
: teraba +/-
lunak/kenyal/keras
sakit +/-
kanan : teraba +/-
lunak/kenyal/keras
sakit +/-
kiri
: teraba +/-
lunak/kenyal/keras
sakit +/-
kanan : teraba +/-
lunak/kenyal/keras
sakit +/-
2. Bibir
: Kompeten, lip seal (+), Tidak ada kelainan
3. Wajah
: Simetri/Asimetri
4. Sirkum Oral
: Tidak ada kelainan
5. Lain-lain
: Tidak ada kelainan
2.2.4 Pemeriksaan Intra Oral 1. Kebersihan Mulut Debris Indeks
Kalkulus Indeks
OHI-S
16 0
11 0
26 0
16 0
11 0
26 0
Sedang
46 1
31 2
36 1
46 1
31 2
46 1
Stain (-)
13
Debris Indeks
= 4/6
Kalkulus IndeksI = 4/6 2. Gingiva
O HI-S = DI+CI = 4/6 + 4/6 = 1,334 (sedang)
: Normal
3. Mukosa bukal : 1) Teraan gigitan bilateral regio 17 – 16, 26 – 27 2) Ptechiae lokasi: mukosa bukal kanan; jumlah: 2 buah; diameter: ± 0,5mm; warna: hitam; bentuk: bulat, reguler; tepi: eritem; kedalaman: datar. Mukosa labial : Normal Palatum durum : Normal, kedalaman sedang Palatum mole : Normal Frenulum : Perlekatan sedang pada frenulum labialis rahang atas dan rahang bawah, lingualis 8. Lidah : Teraan gigitan bilateral 9. Dasar mulut : Normal 4. 5. 6. 7.
2.2.5
Status Lesi
Lesi sudah sembuh dan tidak meninggalkan jaringan parut
Gambar 2.2 Kondisi ulser setelah kontrol
14
Lesi
: Ptechiae
Lokasi
: mukosa bukal kanan
Jumlah
: 2 buah
Diameter : ± 0,5mm
Gambar 2.3 ptechiae pada mukosa bukal bagian kanan
Warna
: hitam
Bentuk
: bulat, regular
Tepi
: eritem
Kedalaman: datar. 2.2.6 Hasil Pemeriksaan Penunjang Radiologi : tidak dilakukan Darah : tidak dilakukan Patologi Anatomi : tidak dilakukan Mikrobiologi : tidak dilakukan 2.2.7
Diagnosis
D/ Cheekbiting a/r bukal sinistra dan bukal dextra DD/ Linea alba D/ Crenated tongue D/ Reccurent Apthous Stomatitis (RAS)
2.2.8
Sudah sembuh
Rencana Perawatan dan Perawatan
Pro KIE (menghindari menggigit pipi)
15
BAB III TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Definisi RAS merupakan kelainan yang ditandai oleh adanya ulser yang berulang pada mukosa mulut pasien tanpa adanya tanda-tanda lain dari penyakit. Banyak spesialis dan peneliti menyebutkan bahwa RAS bukan lagi merupakan penyakit tunggal, tetapi merupakan beberapa kelaianan patologis dengan manifestasi klinis yang hampir sama. Kelainan imun, gangguan hematologi, alergi atau kelainan psikologikal merupakan suatu hal yang diyakini terlibat akan terjadinya RAS (Greenberg dan Glick, 2003). RAS diperkirakan terjadi sebanyak 20% populasi secara umum. Pada 80% pasien, RAS terjadi pada usia di bawah 30 tahun, di mulai pada usia 5 tahun dan terus berlanjut hingga mencapai puncaknya pada usia 10-19 tahun. Apabila RAS terjadi pada usia di bawah 5 tahun atau di atas 30 tahun, maka hal ini menjadi patut diwaspadai RAS menjadi suatu bagian dari kelainan yang lebih kompleks seperti Behcet’s Syndrome (Vivek and Bindu, 2011). 3.2 Etiologi Tidak ada satu teori pasti mengenai etiologi terjadinya RAS. Banyak faktor yang diyakini dapat menjadi suatu penyebab terjadinya RAS. RAS merupakan suatu penyakit dengan etiologi multi-faktor dan dapat berkaitan dengan penyakit lainnya. Beberapa hal yang dapat menjadi penyebab atau faktor predisposisi RAS antara lain: 1. Herediter atau genetik
16
RAS terbukti menjadi penyakit yang berkaitan erat dengan genetik, di mana menurut penelitian oleh Ship, et.al menunjukkan bahwa pasien dengan orang tua positif memiliki RAS, 90% nya juga memiliki potensi terkena RAS (Scully, et. al, 2003). Faktor genetik SAR diduga berhubungan dengan peningkatan jumlah human leucocyte antigen (HLA), namun beberapa ahli masih menolak hal tersebut. HLA menyerang sel-sel melalui mekanisme sitotoksik dengan jalan mengaktifkan sel mononukleus ke epitelium, khususnya lapisan prickle sel sehingga terjadi kontak dengan apoptosis prickle sel yeng kemudian di fagosit oleh neutrofil.. HLA yang dianggap berkaitan erat dengan RAS adalah HLA B51, B52, B44, DRW10, dan DQW1 (Ananthakrishnan,et all, 2014) . 2. Defisiensi Hematologi Kekurangan zat besi, asam folat, atau vitamin B12 diyakini dapat memicu terjadinya RAS. Zat besi merupakan pembawa oksigen, menghasilkan hemoglobin yang mampu meningkatkan sistem imun sehingga apabila kekurangan zat besi dapat menurunkan sistem imun. Sedangkan kekurangan vitamin B12 dapat menyebabkan berkurangnya sekresi mukosa yang dapat menyebabkan lebih mudah terjadinya iritasi pada mukosa (Greenberg dan Glick, 2008). 3. Kelainan imunologi Salah satu penelitian menjelaskan bahwa terdapat respon imun yang berlebihan pada pasien RAS, sehingga menyebabkan ulserasi lokal mukosa oral. Respon imun tersebut berupa aksi sitotoksin dari limfosit dan monosit pada mukosa dimana pemicunya tidak diketahui. Ulser dalam ukuran besar dapat ditemui dalam kasus di mana jumlah CD4 limfosit T kurang dari 100 sel
17
per milliliter, pasien yang positif HIV, atau pasien non-HIV yang memiliki kelainan imun lainnya, myelodysplastic syndromes, benign neutropenia (Greenberg dan Glick, 2008). Pada pasien yang memiliki kelainan sistem imun, terdapat ketidakseimbangan produksi sitokin proinflamasi dan sitokin antiinflamasi. Pada saat ini, terdapat usaha pertahanan tubuh berlebih yang menyebabkan sekresi sitokin Th 1 seperti IL-2, IFN- γ and TNF-α meningkat. Sementara itu, sekresi sitokin antiinflamasi, yaitu
TGF-β dan IL-10 secara signifikan menurun. Oleh sebab
itu, akan mudah terjadi ulser pada mukosa oral (Slebioda, et al, 2013). 4. Trauma Trauma dapat mengawali terjadinya RAS pada pasien yang telah memiliki kelainan ini sebelumnya. Umumnya ulser terjadi karena tergigit, kebiasaan buruk (bruksism), saat mengunyah, akibat perawatan gigi, makanan atau minuman yang terlalu panas. Trauma bukan merupakan faktor yang berhubungan dengan berkembangnya RAS pada semua penderita, tetapi trauma dapat dipertimbangkan sebagai faktor pendukung. 5. Stress, kecemasan Stress akan memicu hypothalamus pituitary adrenal cortex yang akan mengeluarkan vasopressin dan CRH (Corticotropin Relasing Hormones) yang akan meningkatkan hormon kortisol. Hormon kortisol ini dapat menghambat proliferasi T-mast cell (berperan sebagai pertahanan terhadap pathogen dan untuk penyembuhan luka) dan mencegah sinyal interluikin IL-6 dan IL 2R (mediator respon imun) sehingga menurunkan sistem imun pasien. Ketika sistem imun pasien menurun, trauma minimal pun dapat berubah menjadi gejala patologis. Perubahan yang terjadi dapat mengakibatkan adanya keadaan
18
patologis pada sel epitel rongga mulut, sehingga sel lebih peka terhadap rangsang. 6. Faktor hormonal Dilaporkan pasien dengan RAS berhubungan dengan alat kontrasepsi oral atau selama masa kehamilan. 7. Siklus menstruasi Dua hari sebelum menstruasi akan terjadi penurunan estrogen dan progesteron secara mendadak. Penurunan estrogen mengakibatkan terjadinya penurunan aliran darah sehingga suplai darah utama ke perifer menurun dan terjadinya gangguan keseimbangan sel-sel termasuk rongga mulut, memperlambat proses keratinisasi sehingga menimbulkan reaksi yang berlebihan terhadap jaringan mulut dan rentan terhadap iritasi lokal sehingga mudah terjadi SAR. Progesteron dianggap berperan dalam mengatur pergantian epitel mukosa mulut. 8. Merokok tembakau (tobacco smoking) Pasien yang menderita RAS biasanya bukan perokok. Terdapat laporan bahwa perokok berat yang berhenti merokok mengalami RAS. Tetapi dilaporkan merokok tembakau yang lebih sedikit menunjukkan adanya penurunan prevalensi RAS (Greenberg dan Glick, 2008). 9. Hipersensitif terhadap flora rongga mulut Hipersensitif terhadap flora rongga mulut seperti Streptococcus sanguis dapat menyebabkan terjadinya RAS (Greenberg dan Glick, 2008). 10. Alergi dan Sensitifitas RAS dapat terjadi karena sensitifitas jaringan mulut terhadap beberapa bahan pokok yang ada dalam pasta gigi, obat kumur, lipstik atau permen karet dan bahan gigi palsu atau bahan tambalan serta bahan makanan. Setelah berkontak dengan beberapa bahan yang sensitif, mukosa akan meradang dan edematous. Gejala ini disertai rasa panas, kadang-kadang timbul gatal-gatal, dapat juga
19
berbentuk vesikel kecil, tetapi sifatnya sementara dan akan pecah membentuk daerah erosi kecil dan ulser yang kemudian berkembang menjadi RAS (Little, et al, 2002). 11. Obat-obatan Penggunaan obat nonsteroidal anti-inflamatori (NSAID), beta blockers, agen kemoterapi dan nicorandil telah dinyatakan berkemungkinan menempatkan seseorang pada resiko yang lebih besar untuk terjadinya RAS (Little, et al, 2002). 12. Penyakit Sistemik Beberapa kondisi medis yang berbeda dapat dikaitkan dengan kehadiran RAS. Bagi pasien yang sering mengalami kesulitan terus-menerus dengan RAS harus dipertimbangkan adanya penyakit sistemik yang diderita dan perlu dilakukan evaluasi serta pengujian oleh dokter. Beberapa kondisi medis yang dikaitkan dengan keberadaan ulser di rongga mulut adalah penyakit Behcet’s, penyakit disfungsi neutrofil, penyakit gastrointestinal, HIV-AIDS, dan sindroma Sweet’s (Little, et al, 2002). 13. Pasta Gigi dan Obat Kumur SLS Penelitian menunjukkan bahwa produk yang mengandungi SLS yaitu agen berbusa paling banyak ditemukan dalam formulasi pasta gigi dan obat kumur, yang dapat berhubungan dengan peningkatan resiko terjadinya ulser, disebabkan karena efek dari SLS yang dapat menyebabkan epitel pada jaringan oral menjadi kering dan lebih rentan terhadap iritasi. Beberapa penelitian telah melaporkan bahwa peserta yang menggunakan pasta gigi yang bebas SLS mengalami sariawan yang lebih sedikit. Penurunan ini ditemukan setinggi 81% dalam satu penelitian. Studi yang sama juga melaporkan bahwa subjek penelitian merasa bahwa sariawan yang mereka alami kurang
20
menyakitkan daripada pada saat mereka menggunakan pasta gigi yang menggandung SLS (Little, et al, 2002; Greenberg dan Glick, 2008). 3.3 Gambaran Klinis dan Klasifikasi Ulser RAS memiliki ciri-ciri ulser berulang, sakit, dan biasanya dapat sembuh dengan sendirinya. Secara klinis, biasanya terlihat ulser dengan dasar kuning dan tepi dikelilingi dengan eritem (Laskaris, 2006). Kebanyakan pasien dengan RAS memiliki antara dua dan enam lesi pada setiap episode dan mengalami beberapa episode setahun.
Gambar 3.1 RAS pada lidah dan dasar mulut
3.3.1
Gambaran Klinis dan Patofisiologi Menurut Greenberg dan Glick, beberapa fase perkembangan ulser adalah: 1. Tahap prodromal Tahap ini merupakan suatu tahap yang jarang terjadi pada semua pasien. Tahap ini berlangsung 2-48 jam sebelum ulser muncul. Pasien merasakan tidak enak di dalam mulut, dapat disertai dengan gejala demam seperti malaise. Selama periode ini, terbentuk eritem pada daerah lokal. 2. Tahap pre-ulseratif
21
Pada tahap ini terdapat pembengkakan dan kemerahan pada mukosa. Dalam beberapa jam, akan terbentuk papula putih kecil, ulserasi, dan membesar dalam 48 – 72 jam. Lesi berbentuk bulat, simetris, dan dangkal (mirip dengan ulser karena virus), tetapi tidak ada lesi dari vesikel yang ruptur, yang membantu membedakan RAS dengan penyakit seperti pemphigus dan pemphigoid. 3. Tahap ulseratif Pada tahap ini pasien biasanya merasakan adanya nyeri lokal pada mukosa mulut. Terlihat pula adanya lesi cekung berbentuk bulat atau oval regular dengan margin tajam dan jelas serta dikeliling daerah yang eritem dan edema. Tahap ini merupakan tahap yang dominan, biasanya terjadi selama 3-4 hari. Lesi dapat muncul lebih dari satu, dengan ukuran dan frekuensi bervariasi. Mukosa bukal dan labial seringkali terlibat. Lesi jarang terjadi pada daerah yang berkeratin, seperti gingiva atau palatum. 4. Tahap penyembuhan Pada tahap ini pasien merasakan nyerinya sudah berkurang, dan terlihat adanya pseudomembran serta adanya gambaran granulasi. Penyembuhan tanpa jaringan parut biasanya terjadi pada 10-14 hari setelah ulser pertama kali muncul. 5. Tahap remisi Lama pasien melewati masa ini tergantung faktor etiologinya. 3.3.2
Klasifikasi Ulser RAS diklasifikasikan sesuai dengan karakter klinisnya, yaitu ulser minor,
ulser mayor (Sutton’s disease, periadenitis mucosa necrotica recurrens) dan ulser hepetiform. 1. Recurrent Aphtous Stomatitis Minor
22
Disebut juga minor aphthae atau mild aphthous ulcers atau Mikulicz’s aphthae. Ulser minor, yang terjadi pada lebih dari 80% kasus RAS, memiliki lesi dengan diameter kurang dari 1 cm dan sembuh tanpa meninggalkan bekas. Ulser minor muncul pada daerah tidak berkeratin pada kavitas oral seperti mukosa bukal, mukosa labial, ventral atau lateral lidah, atau dasar mulut. Pasien dengan ulser minor biasanya memiliki satu sampai lima ulser pada satu waktu dan biasanya akan sembuh dalam waktu 10 hingga 14 hari tanpa meninggalkan bekas luka atau jaringan parut (Greenberg and Glick, 2008; Vivek and Bindu, 2011). Karakteristik RAS minor berupa ulser kecil berbatas jelas, berbentuk bulat atau oval, menimbulkan rasa sakit, memiliki jaringan nekrosis pada bagian tengahnya dan dilapisi oleh pseudomembran berwarna kuning-keabuan. Tepi nya dikelilingi oleh jaringan eritem. Munculnya ulser ditandai oleh gejala prodromal, seperti rasa terbakar atau perih. Biasanya rasa sakit bertahan hingga 3-4 hari dan ketika proses re-epitelisasi dimulai rasa sakit akan mulai berkurang (Vivek and Bindu, 2011).
Gambar 3.2 Ulser aftosa minor 2. Recurrent Aphtous Stomatitis Mayor
23
Disebut juga periadenitis mucosa necrotica reccurens atau Sutton’s disease. Ulser mayor memiliki lesi dengan diameter lebih dari 1cm, seringkali membutuhkan waktu yang lama untuk sembuh dan terkadang menimbulkan bekas atau jaringan parut yang dapat mengakibatkan penurunan mobilitas dari uvula dan lidah (Scully, et. al, 2003). Ulser mayor biasanya muncul pada bagian posterior mulut dan daerah berkeratin, biasanya mengenai bibir, palatum lunak, dan kerongkongan. Lesinya lebih dalam, dan lebih menyakitkan dibandingkan RAS minor, mengganggu berbicara dan makan, dan pasien ini mungkin memerlukan rawat inap untuk makan melalui intravena dan diberi pengobatan kortikosteroid dengan dosis tinggi. (Greenberg dan Glick, 2008). Gejala prodromal lebih terlihat jelas dibandingkan RAS minor dan pasien seringkali disertai dengan adanya demam, malaise, dan dysphagia. Ulser dapat muncul selama 10-20 hari atau bahkan sampai beberapa bulan. Pada beberapa tahun terakhir, ulser mayor dianggap sebagai kondisi oral yang dapat mengindikasikan adanya infeksi HIV (Lamey dan Lewis, 1991). Terkadang lesi ini sulit dibandingkan dengan karsinoma sel skuamosa, granulomatosa kronis, atau pemfigoid (Greenberg dan Glick, 2008).
Gambar 3.3 Ulser aftosa mayor pada bibir bawah
24
Gambar 3.4 RAS mayor pada pasien HIV positif
3. Recurrent Aphtous Stomatitis Herpetiform RAS herpetiform sangat jarang terjadi hanya sekitar 5-10% dari keseluruhan RAS. Berdasarkan namanya, RAS herpetiform ini memiliki karakteristik jumlah yang multipel (dapat mencapai 5-100 buah) dengan masingmasing ulser memiliki diameter kurang dari 1-2mm, sakit, dan dangkal. Ulser ini berwarna abu-abu, tanpa adanya batas eritem (Field dan Longman, 2003). Kadang memiliki penampakan hampir sama dengan ulser herpes simpleks. Walaupun sangat kecil, lesi ini biasanya sangat menyakitkan dan membuat sulit makan dan berbicara. Tidak seperti RAS minor dan RAS mayor, RAS herpetiform ini dapat terjadi di mana saja dan tidak memiliki area spesifik. Dalam jumlah banyak ulser kecil ini dapat bergabung menjadi ulser yang besar, irregular, dan dapat bertahan hingga 2 minggu. Penyembuhan biasanya dan terjadi tanpa meninggalkan bekas luka atau jaringan parut (Laskaris, 2006). Ulser hepetiform ini masa penyembuhannya sama dengan ulser mayor (Greenberg dan Glick, 2003).
25
Gambar 3.5 Ulser herpetiform pada lidah
3.4 Diagnosis RAS didiagnosis karena adanya ulser berulang tanpa adanya penyakit lain. Biasanya adanya riwayat penyakit ini pada keluarga dapat memperkuat diagnosis. (Scully, 2006). Riwayat penyakit dan pemeriksaan oleh dokter dapat membedakan RAS dari lesi akut primer, seperti stomatitis virus atau dari lesi multiple kronis seperti pemfigoid, serta sebagai kemungkinan penyebab lain dari ulkus berulang, seperti reaksi obat, dan gangguan dermatologi. Pemeriksaan laboratorium harus digunakan bila lesi bertambah buruk atau mulai diatas usia 25 tahun. Biopsi hanya diindikasikan apabila diperlukan untuk mengeliminasi kemungkinan penyakit lain, terutama penyakit granulomatosa seperti Crohn disease dan sarcoidosis, atau penyakit blistering seperti pemphigus dan pemphigoid (Greenberg dan Glick, 2008). Pada pemeriksaan biopsi, terlihat adanya ulser superfisial yang diselubungi oleh eksudat fibrin dengan jaringan granulasi pada dasar ulser dan campuran infiltrat inflamasi akut dan kronis. Studi terhadap lesi awal RAS menunjukkan
26
infiltrasi limfosit granular yang besar dan limfosit CD-4 helper-induced dengan degenerasi sel basal dan formasi vesikel intraepitelia kecil (Greenberg dan Glick, 2008). Pasien dengan aftosa minor parah atau aftosa mayor harus menginvestigasi faktor
terkait,
meliputi
penyakit
jaringan
ikat
dan
tingkat
abnormal
besi serum, folat, vitamin B12, dan feritin. Pasien dengan kelainan tersebut harus dirujuk kepada ahli penyakit dalam untuk menghilangkan sindrom malabsorpsi dan untuk memulai terapi yang tepat. Pasien dengan infeksi HIV, terutama yang memiliki jumlah CD4 di bawah 100 / mm 3, dapat memiliki ulser aftosa mayor (Greenberg dan Glick, 2003).
3.5 Diagnosis Banding 1. Ulser traumatik Ulser traumatik merupakan ulser yang muncul akibat suatu trauma. Berbagai macam trauma seperti trauma gigitan, trauma fisik akibat makanan yang keras atau tajam, sikat gigi atau dapat karena kecelakaan, trauma kimia, trauma termal (makanan atau minuman yang panas), maupun trauma akibat perawatan oleh dokter gigi. Selain itu trauma mekanis yang menyebabkan ulser traumatik juga dapat berasal dari gigi tiruan / denture, gesekan dari restorasi yang kurang baik, alat ortodonti, dan cusp gigi yang tajam (Ariyawardana. 2014). Tepi ulser pada awalnya eritem yang akan semakin memudar karena adanya proses keratinisasi. Bagian tengah ulser biasanya berwarna abu-abu kekuningan karena dilapisi oleh membran fibrin yang berwarna kekuningan (Langlais, 2000; Regezi, 2003).
27
Ulser traumatik dapat akut maupun kronis. Ulser traumatik akut memiliki gambaran lesi cekung (depressed lesion), dengan tepi eritem dapat regular atau irregular berwarna putih kekuningan berupa gumpalan fibrin. Dapat menimbulkan rasa sakit yang beragam bergantung pada penyebab trauma dan keparahan lesi. Lesi ini dapat sembuh dengan sendirinya dalam 10-14 hari dan akan lebih cepat sembuh ketika sumber trauma dihilangkan. Proses penyembuhan dapat atau tidak dapat meninggalkan jaringan parut bergantung pada seberapa luas trauma terjadi. Ulser kronis tidak begitu menyebabkan rasa sakit atau bahkan tidak menimbulkan rasa sakit. Ulser berwarna kuning dan dikelilingi oleh batas menonjol yang menunjukkan adanya hiperkeratosis. Indurasi terjadi karena pembentukan jaringan parut dan infiltrasi sel kronis inflammatori (Regezi, 2003). Bentuk ulser yang tidak biasa yaitu granuloma traumatik (traumatic ulcerative granuloma with stromal eosinophilia) biasanya dikaitkan dengan luka mukosa yang dalam (pada otot). Ulser berbentuk kawah ini berdiameter 1-2 cm, dan sembuh dalam beberapa minggu. Ulser ini biasanya terjadi pada lidah dan merupakan lesi kronis, dengan batas jelas dan mirip seperti karsinoma sel squamosal (Regezi, 2003; Soames, 2005). Perbedaan ulser traumatik dengan RAS adalah lesi RAS berbentuk bulat atau oval, sedangkan ulser traumatik lebih banyak berbentuk irregular. RAS biasanya mengenai mukosa non keratin seperti mukosa bukal dan labial, sedangkan ulser traumatik bisa mengenai palatum, gingiva, dan lidah.
28
Gambar 3.6 Ulser Traumatik dengan bentuk irregular.
Perawatan pada ulser traumatik hampir sama dengan perawatan pada RAS. Prinsipnya, perawatan ini bersifat paliatif atau mengurangi rasa sakit dan mencegah perbesaran lesi dengan menghilangkan faktor penyebab. Sebagai contoh adalah dengan penggunaan wax pada kasus trauma akibat alat ortodonti. Apabila dicurigai terjadinya suatu infeksi akibat trauma maka dapat dilakukan pemberian antibiotik (Ariyawardana, 2014).
2. Behcet Syndrome Behçet’s syndrome merupakan peradangan multisistem yang bersifat kronis. Behçet’s syndrome disebabkan oleh imunokompleks yang mengarah pada vasculitis dari pembuluh darah kecil dan sedang, serta inflamasi dari epitel yang disebabkan oleh limfosit T dan plasma sel yang imunokompeten. Kriteria diagnosis klinis penyakit ini adalah (Laskaris, 2012): 1) Ulkus dalam mulut bersifat rekuren 2) Ulkus genital bersifat rekuren 3) Adanya lesi ocular (konjungtivitis, iritis, uveitis, vaskulitis retina, akuitas visual berkurang) 4) Lesi kulit (Papula, pustula, folikulitis, eritema nodosum, ulserasi) 5) Pemeriksaan pathergi yang memberikan hasil positif
29
Ulser oral pada Behçet’s syndrome tidak dapat dibedakan dengan ulser pada umumnya. Ulser oral merupakan tanda yang selalu ada dan merupakan manifestasi pertama penyakit ini. Diagnosis penyakit ini juga dapat ditegakkan dengan tes patergi yang positif. Behçet’s syndromeberhubungan erat dengan HLAB51. Untuk mendapatkan diagnosis yang tepat,maka ulserasi mulut yang bersifat rekuren dan dua dari empat kriteria utama harus ada. Selain itu, sindrom ini biasanya disertai juga dengan gejala pada sistem saraf pusat (pusing, paralisis meningoensefalitis), masalah gastrointestinal (diare, inflammatory bowel disease), thrombosis vascular, dan manifestasi sistem organ lainnya (Laskaris, 2012). Perawatan Behçet’s syndrome tergantung pada keparahan dan area yang terkena. Lesi oral dapat ditangani dengan steroid topikal untuk kasus ringan. Steroid sistemik, ciclosporin, dan obat imunosupresif lainnya, thalidomide, colchicne, dapsone untuk kasus yang parah (Greenberg and Glick, 2008).
Gambar 3.7 Ulser oral pada penderita Behçet’s syndrome 3. Herpes simpleks virus (HSV) Herpes simplex adalah penyakit yang disebabkan oleh virus herpes simplex. Terbagi menjadi dua jenis, yaitu herpes simplex virus 1 (HSV-1) dan herpes simplex virus 2 (HSV-2). Serupa dengan herpes zoster, gejala pertama biasanya gatal-gatal dan kesemutan, diikuti dengan benjolan yang membuka dan
30
menjadi sangat sakit. Infeksi ini dapat menjadi dorman (tidak aktif) selama beberapa waktu, kemudian tiba-tiba menjadi aktif kembali tanpa alasan jelas. Perbedaannya dengan RAS adalah lesi RAS terbentuk dari papul yang ruptur, sedangkan infeksi HSV lesi awalnya adalah vesikel. Infeksi HSV disertai dengan keluhan sakit, rasa terbakar, gatal, dan bisa melibatkan mukosa berkeratin sedangkan RAS tidak disertai gatal dan hanya mengenai mukosa non keratin. (Greenberg and Glick, 2008). 3.6 Perawatan Obat yang diresepkan harus berhubungan dengan tingkat keparahan penyakit. Sebagian besar kasus RAS tidak memerlukan terapi spesifik. Pada kasus ringan dengan dua atau tiga lesi, hanya diperlukan emollient protektif seperti Orabase atau anestesi topikal seperti Zilactin. Untuk menghilangkan rasa sakit dari lesi minor, dapat digunakan anestesi topikal atau topikal diklofenak. Obat kumur yang mengandung antiseptik Chlorhexidine gluconate dapat mengurangi keparahan dan durasi ulkus RAS. Selain itu, untuk kasus yang terjadi karena adanya infeksi, dapat digunakan obat kumur antibiotik, yaitu tetracycline (250mg dalam 5-10mL air). Pada kasus yang lebih parah, penggunaan topikal steroid seperti fluocinonide, betamethasone, atau clobetasol yang diaplikasikan langsung pada lesi dapat mempercepat waktu penyembuhan dan dapat memperkecil ukuran ulser. Gel steroid dapat diaplikasikan langsung ke lesi setelah makan dan sebelum tidur sebanyak dua atau tiga kali sehari. Lesi yang lebih besar dapat diobati dengan menempatkan kapas kasa yang telah diaplikasiakn topikal steroid pada ulser dan
31
ditinggalkan selama lima belas sampai tiga puluh menit. Obat topikal lain yang dapat mempercepat waktu penyembuhan adalah pasta amlexanox dan tetracycline topikal, yang dapat digunakan dalam bentuk obat kumur atau diaplikasikan pada kapas kasa.
Steroid intralesional seperti triamcinolone acetonide 0,1% dapat
digunakan untuk mengobati lesi RAS mayor yang berukuran besar. Ketika pasien penderita kasus RAS yang parah tidak mengalami kemajuan dengan penggunaan obat topikal, perlu dilakukan terapi sistemik. Obat yang dilaporkan dapat mengurangi jumlah ulser pada kasus RAS mayor antara lain colchicine, pentoxifylline, dapsone, dan thalidomide. Akan tetapi, penggunaan thalidomide untuk mengobati RAS hanya boleh dilakukan apabila obat lainnya tidak dapat menyembuhkan RAS (Greenberg and Glick, 2008).
BAB IV PEMBAHASAN
Pada kunjungan pertama tanggal 8 Oktober 2015, pasien datang dengan keluhan terdapat sariawan pada bibir bawah kiri depan bagian dalam dan terasa sakit sejak empat hari sebelumnya. Sariawan ini muncul karena tergigit pada satu minggu sebelumnya. Awalnya sariawan tersebut kecil, makin hari semakin membesar, terutama karena makan pedas. Pasien mengeluhkan sempat adanya rasa sakit dan bengkak pada daerah tersebut. Pasien sering sering sariawan ratarata
tiga
bulan
sekali.
Pasien
biasanya
menggunakan
kenalog
untuk
menyembuhkan sariawannya. Tidak ada gejala lain yang menyertai, pasien tidak demam dan tidak sedang memiliki gangguan pencernaan. Pasien tidak dalam kondisi stres, tetapi pasien sedang dalam masa menstruasi. Pasien mengaku tidak sedang mengkonsumsi obat-obatan tertentu beberapa tahun ini. Pasien tidak memiliki riwayat penyakit sistemik. Ayah pasien sering mengalami sariawan juga. Pasien mengaku minum air putih yang cukup setiap harinya, mengkonsumsi buahbuahan dan sayur-sayuran yang cukup. Pasien ingin sariawannya disembuhkan. Saat kunjungan pertama, pada pemeriksaan ekstraoral tidak ditemukan adanya kelainan, hanya ada permasalahan pada bibir kering saja. Namun, hal ini tidak terlalu parah dan tidak menimbulkan keluhan yang berarti. Pada pemeriksaan intraoral didapatkan dua buah ulser di mukosa labial bagian kanan.
32
Ulser ini memiliki diameter ±3mm dan ±2mm dengan bentuk bulat dan reguler, dasarnya
33
34
berwarna putih dan sedikit cekung dengan kedalaman dangkal. Lesi ini dikelilingi dengan tepi eritem dan indurasi positif. Selain itu, terdapat pula teraan gigitan di lateral kiri dan kanan, yaitu pada regio gigi 36-37 dan 46-47. Berdasarkan anamnesa dan pemeriksaan klinis yang telah dilakukan, pasien didiagnosis
menderita
Reccurent
Apthous
Stomatitis
(RAS).
Diagnosis
disimpulkan dari adanya pengakuan pasien mengenai sariawan yang seringkali dialaminya, yaitu kurang lebih setiap tiga bulan sekali yang memperlihatkan adanya lesi yang berulang yang diderita oleh pasien. Pasien juga mengaku bahwa ayah pasien juga sering mengalami sariwan. Adanya riwayat penyakit ini pada keluarga dapat memperkuat diagnosis karena faktor genetik merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap RAS (Scully, 2006). Sesuai dengan penelitian Scully, et. al, 2003, Pasien dengan orang tua positif memiliki RAS, 90% nya juga memiliki potensi terkena RAS. Selain itu, dilihat dari karakteristik lesinya yang berwarna putih disertai dengan eritem di tepinya, cekung, serta memiliki bentuk yang reguler memperlihatkan ciri khas lesi yang terjadi pada RAS. Ulser yang diderita pasien memiliki diameter 2 dan 3mm dan lokasi lesi terdapat pada mukosa tidak berkeratin, yaitu mukosa labial. Hal ini menunjukkan bahwa pasien menderita RAS tipe minor. RAS tipe mayor memiliki diameter lebih dari 1cm dan terjadi pada daerah berkeratin (Greenberg and Glick, 2008; Vivek and Bindu, 2011). Lesinya yang hanya berjumlah dua buah juga menunjukkan bahwa ini bukan RAS herpetiformis. Hasil anamnesis pasien menunjukkan bahwa pasien mengalami RAS yang dipicu oleh adanya trauma karena tergigit. Selain itu, kondisi pasien yang sedang
35
dalam masa menstruasi juga menjadi faktor yang mendorong RAS ini lebih mudah terjadi pada pasien. Adanya penurunan estrogen pada masa menstruasi mengakibatkan terjadinya penurunan aliran darah sehingga suplai darah utama ke perifer menurun dan terjadi gangguan keseimbangan sel-sel termasuk rongga mulut, keratinisasi mukosa mulut melambat, stratum corneum terus menipis sedangkan pembelahan sel di stratum basale terganggu, sehingga mukosa lebih rentan terhadap trauma yang mengakibatkan terbentuknya ulser (Nolan, et. al. 1991). Stomatitis aftosa rekuren memiliki beberapa diagnosis banding yaitu ulser traumatik, sindrom Behcet, infeksi Herpes Simpleks Virus. Pada kasus ini, ulser pada pasien memang disebabkan karena trauma. Namun, riwayat pasien yang sering mengalami sariawan menyebabkan diagnosis bukan merupakan ulser traumatik. Ulser traumatik cenderung memiliki bentuk yang ireguler dan biasanya ulser langsung muncul setelah trauma, tetapi pada pasien tersebut ulser baru muncul 4 hari setelah trauma terjadi. Sindrom Behcet memiliki trias gejala, yaitu ulser pada mulut, uveitis, dan ulser pada daerah genital (Laskaris, 2012). Kedua gejala terakhir tidak ditemukan pada pasien ini, sehingga dapat disimpulkan bahwa ulser pada pasien ini juga bukan merupakan gejala dari sindrom Behcet. Infeksi virus Herpes Simpleks dapat bermanifestasi sebagai lesi ulser pada rongga mulut. Ulser yang terjadi merupakan vesikel yang kemudian ruptur, disertai dengan rasa sakit seperti terbakar dan gatal (Greenberg and Glick, 2008). Pada kasus ini, ulser pasien tidak didahului dengan vesikel. Pasien juga tidak
36
mengeluhkan rasa terbakar dan gatal yang meununjukkan bahwa ulser ini bukan merupakan manifestasi dari infeksi virus Herpes Simpleks . Pada kunjungan pertama, pasien diberikan perawatan farmakologis berupa triamcinolone acetonide pasta 0,1% untuk meredakan inflamasi dan mempercebat penyembuhan pada pasien. Kortikosteroid memicu adanya glukokortikoid dan mineralkortikoid.
Glokokortikoid
berperan
sebagai
anti-inflamasi
yang
menghambat migrasi ke daerah inflamasi, meningkatkan kadar hemoglobin dan sel darah merah yang mampu mempercepat penyembuhan. Pasien juga diresepkan Chlorhexidine gluconat 0,2% sebagai antiseptik yang dapat mengurangi keparahan dan durasi ulkus RAS (Greenberg and Glick, 2008), serta vitamin B12. Pada perawatan non-farmakologis, pasien diberikan penjelasan diagnosis dan instruksi cara pemakaian obat. Selain itu, pasien juga diinstruksikan untuk minum air putih lebih dari delapan gelas per hari, memperbanyak makan buahbuahan dan sayuran, serta kontrol 1 minggu setelah kunjungan Pada kunjungan kedua, pasien datang 20 hari setelah kunjungan pertama untuk kontrol. Saat kontrol, ulser pada bagian bibir bawah kiri telah hilang tanpa meninggalkan bekas luka atau jaringan parut. Pasien mengaku sariawan sembuh setelah delapan hari semenjak kunjungan pertama. Hal ini dikarenakan pasien telah melakukan instruksi yang dianjurkan, mengaplikasikan kortikosteroid topikal dan mengkonsumsi vitamin B12 secara teratur. Pasien sudah memperbanyak konsumsi sayur dan buah-buahan, serta minum air putih delapan gelas perhari. Namun, ditemukan adanya ptechie pada mukosa bukal bilateral
37
yang disebabkan karena tergigit. Pasien hanya diberikan instruksi untuk menghindari menggigit pipi. Setelah dilakukan berbagai kontrol dan perawatan, pasien dapat dipastikan menderita RAS. Pasien diberikan instruksi agar terus menjaga pola makan, asupan nutrusi terutama vitamin, dan istirahat cukup. Pasien harus mampu menerapkan gaya hidup sehat untuk mengurangi rekurensi terjadinya sariawan.
BAB V KESIMPULAN
Berdasarkan hasil anamnesa dan pemeriksaan klinis, ditemukan bahwa pasien menderita Recurrent Apthous Stomatitis (RAS) tipe minor. Frekuensi rekurensi RAS pada pasien berkisar 2-3bulan sekali, terutama pada masa menstruasi. RAS yang terjadi pada pasien dipicu karena adanya trauma, ketidakseimbangan hormon pada masa menstruasi, serta adanya faktor genetik dari orang tua pasien. Pemberian kortikosteroid topikal, antiseptik, vitamin B12, serta instruksi untuk meningkatkan asupan gizi terbukti mampu meredakan dan menyembuhkan ulser pada pasien. Tujuan perawatan pada RAS adalah mengurangi rasa sakit, mengurangi ukuran dan jumlah lesi, serta mengurangi tingkat rekurensi terjadinya ulserasi. Pemberian Oral hygine instruction dan gaya hidup sehat sangat diperlukan pada pasien yang menderita RAS karena tujuan utama perawatan RAS ini adalah mengurangi tingkat rekurensi agar pasien memiliki kualitas hidup yang lebih baik. Pemberian instruksi untuk menjaga pola makan, minum air putih yang cukup dan istirahat yang cukup terus dilakukan sebagai usaha mencegah terjadinya lesi sehingga diharapkan rekurensi terjadinya lesi berkurang.
38
39
DAFTAR PUSTAKA
Ananthakrishnan, V., Arun K.M, Jaisri G. 2014. Etiology and Pathophysiology of Recurrent Apthous Stomatitis: A Review. IJCRCR 6(10): 16-22.
Ariyawardana. 2014. Traumatic Oral Mucosal Lesions: A Mini Review and Clinical Update. OHDM Vol. 13
Field, A. dan L. Longman. 2003. Tyldesley’s Oral Medicine. 5th Ed. Oxford University Press.
Greenberg, M. S. dan M. Glick. 2003. Burket’s Oral Medicine Diagnosis and Treatment. 10th Ed. Ontario: BC Decker Inc.
Greenberg, M.S. and M. Glick. 2008. Burket’s Oral Medicine: Diagnosis and Treatment. 11th Ed. Ontario : BC Decker Inc.
Langlais, R.P and C.S Miller. 2000. Atlas Berwarna Kelainan Rongga Mulut Yang Lazim. Alih Bahasa oleh Budi Setyo.Jakarta : Hipokrates.
40
Lamey, P.J. dan M.A.O. Lewis. 1991. Oral Medicine in Practice. Glasgow: Department of Oral Medicine and Pathology, Glasgow Dental Hospital and School.
Laskaris, G. 2006. Pocket Atlas of Oral Disease. New York: Thieme.
Laskaris, G. 2012. Atlas Saku Penyakit Mulut. Jakarta: Penerbit buku kedokteran ECG.
Lawrence and Adina, 1998. Diagnosis of Oral Ulcers. Department of Oral Pathology University of Medicine and Dentistry of New Jersey. Vol. 65.
Mcnally, I.M. Recurrent Aphthous Stomatitis and Perceived Stress: A Preliminary Study. (http://aphthous.stressstudy.tripod.com)
Nolan, et. al. 1991. Reccurent Aphtous Ulcerations and food sensitivity. J Oral Pathol Med 20: 473-5
Regezi, J.A. ; Sciubba, J.J. ; and Jordan, R.C.K. 2003. Oral Pathology : Clinical Pathologic Correlations 4th Ed. USA : Saunders Elsevier Science.
Scully, et. al, 2003. The Diagnosis and Management of Reccurent Aphtous Stomatitis. JADA Vol. 134
41
Scully, C. 2006. Aphthous Ulceration. The New England Journal of Medicine 355(2): 165-172. Available from URL: http://www.nejm.org/doi/pdf/10.1056/NEJMcp054630
Slebioda, Z., Elzbieta S., Amna K. 2013. Etiopathogenesis of Recurrent Aphthous Stomatitis and the Role of Immunologic Aspects: Literature Review. Arch. Immunol. Ther 62: 205-2015.
Soames, J.V. and Sotham, J.C. 2005. Oral Pathology 4th ed. New York: Oxford University Press Inc.
Vivek and Bindu. 2011. Reccurent Aphtous Stomatitis: Current Concepts in Diagnosis and Management. Journal of Indian Academy of Oral Medicine and Radiology 23(3): 232-236
View more...
Comments