Radiografi Dental
March 28, 2018 | Author: Madherisa Paulita | Category: N/A
Short Description
Radiografi Dental...
Description
LAPORAN HASIL BELAJAR MANDIRI BLOK 5 SISTEM STOMATOGNATHY 1 MODUL 1 DENTAL RADIOLOGI
Madherisa Paulita Nim 1310015099
TUTOR drg. Imran Irsal
PROGRAM STUDI KEDOKTERAN GIGI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MULAWARMAN SAMARINDA TAHUN 2017 1
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Radiografi merupakan gambaran bayangan nyata yang dihasilkan saat sinar-X melewati sebuah objek dengan berbagai opasitas. Sinar mengenai film fotografi pada sisi yang berlawanan. Sinar-X melewati struktur padat seperti enamel gigi, tulang secara radiografis akan tampak sebagai gambaran bayangan putih karena berkas cahaya dari sinar-X banyak diserap saat melewati material tersebut. Struktur yang tidak padat seperti kavitas, membran, dan otot, akan memberikan gambaran berupa bayangan gelap karena struktur tersebut sedikit merintangi datangnya sinar-X. Absorbsi sinar-X yang berbeda oleh material pembentuk gigi yang berbeda juga akan memberikan bayangan radiografis yang berbeda (Johnson, 1998). Radiografi kedokteran gigi merupakan perangkat yang sering digunakan dalam perawatan kedokteran gigi. Pemeriksaan radiografi berperan penting dalam menentukan diagnosa, prognosa dan memantau beberapa hasil perawatan yang dilakukan. Pemeriksaan radiografi merupakan salah satu pemeriksaan identifikasi struktur anatomi tubuh, karena pemeriksaan radiografi dapat memberikan gambaran dari struktur anatomis secara visual (Dewi, 2009). Radiografi dapat menjadi dasar rencana perawatan dan mengevaluasi perawatan yang telah dilakukan. Radiografi dapat digunakan untuk memeriksa struktur yang tidak terlihat pada pemeriksaan klinis. Kegunaan foto radiografi gigi yaitu untuk mendeteksi lesi, lokasi lesi atau benda asing yang terdapat pada rongga mulut, untuk membuktikan suatu diagnose penyakit serta menyediakan informasi yang menunjang prosedur perawatan, dan untuk mengevaluasi pertumbuhan dan perkembangan gigi, adanya karies, penyakit periodontal dan trauma pada gigi geligi (Haring, 2000). Prosedur penggunaan radiografi kedokteran gigi harus dikelola dengan hati-hati, karena radiasi sinar-X berpotensi mengganggu kesehatan sel dan jaringan. Pengelolaan yang hati-hati dalam penggunaaan sinar-X ini dilakukan dengan cara proteksi radiasi terhadap pasien, operator, dokter gigi dan masyarakat di lingkungan sekitar (Arpansa, 2005). Sinar-X mempunyai efek biologi, apabila terpapar pada tubuh akan menimbulkan perubahan biologi pada jaringan. Efek biologi ini dapat dipergunakan pada pengobatan radioterapi, akan tetapi apabila dosis pemberian sinar-X terlalu besar maka akan berpengaruh negatif pada tubuh. 2
Pengaruh radiasi pada organ tubuh manusia bergantung pada jumlah dosis dan luas lapangan radiasi yang diterima. Efek biologi yang sering terjadi apabila tubuh terlalu banyak menerima radiasi adalah terjadi kerusakan kulit (skin damage), kerusakan hemoepoetik, induksi keganasan (induction of malignancy), karsinoma kulit, sarkoma, aberasi genetik (genetic aberrations), mutasi gen langsung dan perubahan kromosom (Margono, 1998). 1.2 Tujuan 1.2.1 Tujuan Umum Untuk mengetahui dan memahami pembelajaran tentang Radiologi pada Kedokteran Gigi lebih baik lagi yang akan menjadi acuan dalam mencapai Standar Kompetensi Dokter Gigi. 1.2.2 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Tujuan Khusus Untuk dapat memahami dasar-dasar radiologi dan efek-efek biologi radiasi. Untuk mengetahui keamanaan dan perlindungan yang diperlukan terhadap radiasi. Untuk mengetahui dan memahami prinsip dan teknik rontgen foto. Untuk mengetahui dan memahami kelebihan dan kekurangan teknnik-teknik radiografi. Untuk mengetahui teknik processing foto rotgen. Untuk dapat mengetahui dan memahami cara menginterpretasikan hasil foto rotgen yang normal dan kelainan-kelainan yang ada pada foto rotgen intraoral dan ekstraoral.
1.3 Manfaat Dari penyusunan laporan ini akan didapatkan informasi baru yang akan semakin memperkaya khasanah ilmu pengetahuan Indonesia dan sebagai bahan bacaan bagi para mahasiswa untuk menunjang masa pendidikannya.
3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Dasar-dasar Radiologi a. Radiografi Dental Radiografi pertama kali dikemukakan oleh Wilhelm Conrad Roentgen, seorang professor fisika dari Universitas Wurzburg, Jerman pada November 1895. Pada Januari 1896, Dr. Otto Walkoff, seorang dokter gigi berkebangsaan Jerman mencoba untuk membuat radiografi dental yang pertama. Pada percobaan pertama Dr. Otto Walkoff menggunakan teknik bitewing sederhana dan memasukan lempeng kaca fotografi yang di bungkus dengan kertas hitam kedalam mulutnya sendiri dan kemudian diberi paparan sinar radiografi selama 25 menit. Perkembangan alat radiografi di bidang kedokteran gigi dimulai pada tahun 1913, dimana William D. Coolidge membuat sebuah tabung katoda sinar-x yang berisi kawat pijar. Pada tahun 1923, miniatur yang lebih kecil dari versi yang pertama dimunculkan dan kemudian berkembang hingga 1966 dimana pada tahun ini muncul penggunaan sinar-x untuk intraoral dengan long beam yang digunakan sampai saat ini. Pada tahun 1987, Francis Mouyen memperkenalkan radiografi digital yang pertama dan kemudian berkembang menjadi cone-beam computed tomography yang dapat menampilkan gambaran hasil radiografi dalam bentuk dua dimensi (2D) ataupun tiga dimensi (3D) pada layar komputer. Radiografi dental merupakan sarana pemeriksaan untuk melihat manifetasi oral di rongga mulut yang tidak dapat dilihat dari pemeriksaan klinis namun dapat dengan jelas terlihat gambaran seperti perluasaan dari penyakit periodontal, karies pada gigi serta kelainan patologis rongga mulut lainnya. Radiografi dental menjadi pedoman untuk memaksimalkan hasil diagnosis yang terlihat dari interpretasi gambar. Prinsip dasar radiografi dental adalah suatu sistem yang meliputi pembentukan gambaran radiografis yang dapat langusng ditayangkan hasilnya dilayar monitor, terjemahan inilah yang
4
memungkinkan penggalian data hasil foto radiografis lebih mendalam, sehingga onformasi yang diperoleh menjadi lebih rinci guna membantu menegakkan diagnosa. Kegunaan radiologi dalam bidang kedokteran gigi : 1. Radiodiagnosa mengetahui kelainan pada gigi, contohnya: adanya kelainan apikal dan 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
periapikal Untuk mengetahui adanya kelainan pada rahang Untuk mengetahui adanya fraktur rahang atau akar gigi Untuk mengetahui karies yang tersembunyi, karies sekunder, kedalaman karies, dll Untuk melihat lokasi lesi / massa / benda asing pada rongga mulut Untuk mengevaluasi pertumbuhan dan perkembangan gigi geligi Untuk melihat adanya penyakit periodontal dan trauma Evaluasi hasil perawatan, yaitu untuk melihat keberhasilan perawatan yang telah dilakukan, contohnya: mengetahui apakah apeks gigi telah menutup setelah dilakukan perawatan
apeksifikasi 9. Untuk keperluan prosedur eksodonsi, contohnya : melihat hubungan gigi dengan sinus maksilaris atau kanalis mandibularis sebelum dilakukan eksodonsi 10. Pada bidang forensik, untuk mengidentifikasi korba, baik korban kecelakaan maupun pembunuhan. Dokumen foto radiogrfic tersebut dicocokkan dengan kondisi korban 11. Perencanaan suatu perawatan kuratif dan rehabilatif
b. Efek-efek Radiasi Seorang dokter gigi harus mempersiapkan atau mempertimbangkan keuntungan radiasi dan kemungkinan bahaya yang mempengaruhi pasien. Walaupun energi yang ditumpuk sinar radioaktif pada mahluk hidup relatif kecil tetapi dapat menimbulkan pengaruh yang serius. Pengaruh radiasi pada manusia atau mahluk hidup juga bergantung pada waktu paparan. Suatu dosis yang diterima pada sekali paparan akan lebih berbahaya daripada bila dosis yang sama diterima pada waktu yang lebih lama.Orang yang tinggal disekitar instalasi nuklir juga mendapat radiasi lebih banyak, tetapi masih dalam batas aman.
5
Dosis (Sv) 0,25 0,25-1,0 1-2
Efek pada tubuh Menaikan sel darah putih. Muntah dalam 3 jam, kelelahan, kehilangan nafsu makan, perubahan materi darah ( pemulihan
2-6
beberapa mingu). Muntah dalm 2 jam, perubahan darah yang parah, kerontokan rambut dalam 2 minggu, pemulihan
6-10
dalam 1 bulan-1 tahun. Muntah dalam 1 jam, pencernaan,
perubahan
kerusakan
darah
yang
organ parah,
kematian dalam 2 minggu. >10 Kerusakan otak, koma, kematian. Dosis radiasi pada tubuh yang menimbulkan efek akut
Efek Radiasi dalam Rongga Mulut yaitu : 1. Efek Radiasi pada Membran Mukosa Mulut Radiasi pada daerah kepala dan leher khususnya nasofaring akan mengikut sertakan sebagian besar mukosa mulut. Akibatnya dalam keadaan akut akan terjadi efek samping pada mukosa mulut berupa mukositis yang dirasa pasien sebagai nyeri pada saat menelan, mulut kering dan hilangnya cita rasa (taste). Keadaan ini seringkali diperparah oleh timbulnya infeksi jamur pada mukosa lidah serta palatum. 2. Efek Radiasi pada Glandula Salivarius Terapi radiasi pada daerah leher dan kepala untuk perawatan kanker telah terbukiti dapat mengakibatkan rusaknya struktur kelenjar saliva dengan berbagai drajat kerusakan pada kelenjar saliva yang terkena radioterapi. Hal ini ditunjukkan dengan berkurangnya volume saliva. Jumlah dan keparahan kerusakan jaringan kelenjar saliva tergantung dosis dan lamanya penyinaran.. Mulut akan menjadi kering (Xerostomia) dan sakit, serta pembengkakan dan nyeri karena berkurangnya saliva sehingga menyebabkan hilangnya fungsi lubrikasi. 3. Efek Radiasi pada Gigi 6
Gigi yang telah erupsi cenderung mengalami kerukan akibat radiasi daerah rongga mulut, meskipun kerusakannya baru tampak setelah beberapa tahun setelah radiasi. Manifestasi kerusakan berupa destruksi substansi gigi yang disebut karies radiasi dan dimulai pada servikal gigi. Lesi berupa demineralisasi yang lebih daripada karies pada umumnya, dengan pola melintas gigi dan menyebabkan kerusakan mahkota gigi pada daerah servikal. Kerusakan jaringan keras gigi (email, dentin, sementum) mengakibatkan karies gigi. Secara radiografi daerah karies bersifat radiolusen bila dibandingkan dengan email atau dentin. Hal ini penting bagi pendiagnosa untuk melihat radiografi dalam situasi pengamatan yang tepat dengan pandangan yang jelas agar dapat membedakan antara restorasi dan anatomi gigi yang normal. Pada gigi terjadi dua efek radiasi yaitu efek radiasi secara langsung dan tidak langsung. Efek Radiasi Langsung Efek radiasi ini terjadi paling dini dari benih gigi, berupa gangguan kalsifikasi benih gigi, gangguan perkembangan benih gigi dan gangguan erupsi gigi. Efek Radiasi tidak Langsung Efek radiasi tidak langsung terjadi setelah pembentukan gigi dan erupsi gigi normal berada dalam rongga mulut, kemudian terkena radiasi ionosasi, maka akan terlihat kelainan gigi tersebut misalnya adanya karies radiasi. Biasanya karies radiasi pada beberapa gigi bahkan seluruh region yang terkena pancaran sinar radiasi, keadaan ini disebut rampan karies radiasi. Radiasi karies merupakan bentuk rampan dari kerusakan gigi yang dapat terjadi pada tiap individu yang mendapatkan radioterapi termasuk penyinaran dari glandula saliva. Lesi karies dihasilkan dari perubahan glandula salivarius. Penurunan arus, peningkatan pH, penurunan kapasitas buffer karena adanya perubahan elektrolit dan peningkatan viskositas. Saliva normal dapat menurun dan akumulasi debris yang cepat karena tidak adanya tindakan pembersihan. Karies sekunder yang disebabkan radiasi memiliki bentuk jelas yang merata pada cement enamel junction (CEJ) dari permukaan bukolabial, merupakan lokasi yang biasanya tahan terhadap karies. Permukaan bukal dan lingual sering Nampak warna putih atau opak karena terjadi demineralisasi dari email. Daerah ini terjadi demineralisasi bila saliva menjadi asam dan kehilangan suplai mineral yang secara normal mengisi ion negative berubah, permukaan 7
lembut, kehailangan translusensi dan sering fraktur, menyebabkan erosi, membuat dentin menjadi terbuka. 4. Efek Radiasi pada Tulang Perawatan kanker pada daerah mulut sering dialkukan penyinaran termasuk pada mandibula. Kerusakan primer pada tulang disebabkan oleh penyinaran yan mengakibatkan rusaknya pembuluh darah periosteum dan tulang kortikal, yang dalam keadaan normalnya sudah tipis. Radiasi juga dapat merusak osteoblas dan osteoklas. Jaringan sumsusm tulang menjadi hipovaskular, hipoxik, dan hiposelular. Sebagai tambahan, endosteum menjadi terjadi atrofi pada endosteum menunjukkan berkurangnya aktifitas osteoblas dan osteoklas, dan beberapa lacuna pada tulang yang kompak tampak kosong, hal tersebut merupakan indikasi terjadinya nekrosis. Derajat mineralisasi menjadi berkurang, memicu terjadinya kerapuhan, aytau perubahandari tulang yang normal. Jika keadaan ini bertambah parah tulang akan mangalami kematian, kondisi seperti ini disebut osteoradionecrosis. 5. Efek Radiasi pada Pulpa
Apoptosis adalah mekanisme biologis yang merupakan jenis kematian sel yang terprogram, yang dapat terjadi pada kondisi fisiologis maupun patologis. Apoptosis digunakan oleh organism multi sel untuk membuang sel yang sudah tidak diperlukan oleh tubuh. Apoptosis umumnya berlangsung seumur hidup dan bersifat menguntungkan bagi tubuh. Apoptosis dapat terjadi selama selama perkembangan, sebagai mekanisme homeostatis untuk menjaga atau memelihara populasi sel dalam jaringan, sebagai mekanisme pertahanan jika sel rusak oleh suatu penyakit atau bahan racun pada proses penuaan. Apoptosis pada jaringan fibroral pulpa dapat terjadi akibat dosis radiasi yang diterima selama terapi radiasi adalah ± 200 rad sehingga apoptosis pada sel fibrolas pulpa meningkat pulpa sehingga selain sel sel fibrolas, sel-sel lain juga turut mati akibat efek radiasi. Dikarenakan sel fibrolas merupakan sel terbanyak yang ada di pulpa dengan fungsi sebagai menjaga integritas dan vitalitas pulpa berupa membentuk dan mempertahankan matriks jaringan pulpa dengan membentuk ground substance dan serat kolagen sehingga apoptosis pada sel fibrolas pulpa menjadi proses awal terjadinya karies radiasi. 8
Selain itu, interaksi radiasi pengion dengan meteri biologi diawali dengan interaksdi fisika yaitu, proses ionisasi. Elektron yang dihasilkan dari proses ionisasi akan berinteraksi secara langsung maupun tidak langsung. Secara langsung bila penyerapan energi langsung terjadi pada molekul organik dalam sel yang mempunyai arti penting, seperti DNA. Sedangkan interaksi secara tidak langsung bila terlebih dahulu terjadi interaksi radiasi dengan molekul air dalam sel yang efeknya kemudian akan mengenai molekul organik penting. Mengingat sekitar 80% dari tubuh manusia terdiri dari air, maka sebagian besar interaksi radiasi dalam tubuh terjadi secara tidak langsung. Adapun efek dari radiografi dapat terjadi secara : A. Efek non stokastik (Deterministik) Efek non stokastik adalah dimana tingkat keparahan akibat radiasi tergantung pada dosis yang diterima oleh sebab itu diperlukan suatu nilai ambang. Contohnya adalah Erythema, kerontokan rambut, pembentukan katarak dan berkurangnya kesuburan. B. Efek stokastik Efek stokastik terjadinya suatu efek karena fungsi dan dosis radiasi yang diterima oleh seseorang tanpa suatu nilai ambang yang termasuk dalam kelompok ini kanker. Efek stokastik akibat dari perubahan sel-sel individual subletal dalam DNA. Konsekuensi yang paling penting dari kerusakan tersebut adalah karsinogenesis. Efek yang ditimbulkan meskipun sangat kecil kemungkinannya juga dapat terjadi.
2.2 Keamanan dan Proteksi terhadap Radiasi a. Prosedur Keamanan Kerja
Tidak boleh mengenai orang lain selain orang yang ingin di foto Film harus dipasang pada posisinya Petugas berdiri sejauh mungkin minimal 3 meter Pasien harus dilindungi menggunakan apron 9
Ukuran sinarnya harus dibatasi Harus ada indikasi klinis yang jelas Tahap-tahapnya berupa : Menerangkan cara kerja kepada pasien Memakaikan apron pada pasien Pasien melepaskan benda-benda penghalang radiograf Perhatikan kepala pasien dan letakkan kepala pasien pada posisi yang tepat Memposisikan sesuai dengan yang mau diperiksa Meletakkan film pada area yang mau diperiksa Operator harus berdiri sejauh 3 meter dibelakang dinding dengan memakai apron khusus Mengarahkan sinar X Dilakukan pemotretan Radiografnya digantung dan dikeringkan b. Proteksi terhadap Radiasi Proteksi radiasi merupakan prosedur penting yang harus dilakukan sebelum melakukan radiografi. Dasar perlindungan radiasi dari prinsip ALARA (as low as reasonable achievable) menyebutkan bahwa tidak perduli sekecil apapun dosis efek merusak tetap ada. Persiapan terhadap proteksi radiografi harus dilakukan terhadap semua yang berhubungan dengan pelaksanaan radiografi antara lain pasien, operator dan lingkungan kerja radiologi. Proteksi
radiasi
peralatan
Roentgen
dan
dinding
ruangan
harus
dapat
dipertanggungjawabkan untuk menjamin keamanan pasien, radiographer, pegawai, dokter dan masyarakat umum. a. Proteksi Radiasi terhadap Pasien Untuk proteksi pada pasien ini, perlu diperhatikan : 1. Pasien harus memakai apron pelindung untuk seluruh badan. 2. Pemeriksaan sinar-X hanya atas permintaan seorang dokter. 3. Waktu penyinaran dilakukan sesingkat mungkin. 4. Daerah yang disinari harus sekecil mungkin, misalnya dengan menggunakan konus (untuk radiografi) atau diafragma (untuk sinar tembus). 5. Pasien hamil, terutam trisemester pertama dan trisemester ketiga dipertimbangkan untuk tidak melakukan pemeriksaan radiografi. b. Proteksi Radiasi terhadap Operator Untuk proteksi ini perlu diperhatikan : 1. Pemakaian sarung tangan, apron atau gaun pelindung yang berlapis Pb dengan ketebalan maksimum 0,5 mm. 10
2. Operator tidak harus memegang film radiografi selama penyinaran. 3. Operator tidak berada didalam ruangan atau berada dibelakang penghalang yang cocok atau dinding selama penyinaran. 4. Berdiri minimal 2 meter dari pasien dan di lokasi yang bebas dari jalur sinar X selama penyinaran. c. Proteksi Radiasi terhadap Lingkungan (Ruang Radiasi) Untuk proteksi ini perlu diperhatikan : 1. Tempat dan lokasi ruangan radiasi harus memenuhi syarat Internasional, yaitu diharapkan sinar radiasi tidak menembus ruangan lain, dengan demikian ruangan radiasi tidak menembus ruangan lain, dengan demikian ruangan radiasi tersebut sebaiknya soliter atau dikelilingi oleh halaman/jalan bebas dan jangan berada di tingkat atas (sebaiknya di ruang bawah tanah/paling bawah bangunan) agar radiasi cepat hilang ke tanah. 2. Bila terdapat koridor ruang radiasi harus dilapisi lembaran atau lempengan timah hitam setebal 2 mm, dengan harapan agar radiasi primer dan radiasi skunder dapat diserap sehingga andaikan tertembus sinar radiasi sinarnya lemah atau kurang berbahaya. 3. Bila terdapat koridor atau sisi ruangan radiasi, maka harus ditulis dilarang berdiri, dilarang duduk/menunggu di koridor ini agar tidak terkena radiasi skunder. 4. Penempatan pesawat rontgen diatur sedemikian rupa agar arah sinar radiasi ke tempat yang aman yaitu ke halaman yang bebas penghuni. 5. Menggunakan protective barrier atau sekat proteksi yang dapat berupa dinding yang dapat digeser-geser atau dipindah-pindahkan di dalam ruangan radiasi, dinding sekat ini dilapisi lempengan timah hitam setebal 2 mm, untuk menyerap sinar primer dan sekunder pada setiap eksposi. 6. Harus ada lampu peringatan di depan pintu yang menandakan adanya proses pengambilan foto rontgen. 7. Kamar gelap yang dipakai minimal 3x2x2,8 m dan jga dibuat bak-bak pencucian film dengan porselen putih bagi yang menggunakan pencucian dengan cara manual. Harus ada air yang bersih dan mengalir, kipas angin/exhauster atau air-conditioner agar udara dalam kamar gelap selalu bersih dan cukup nyaman bagi petugas yang bekerja di dalamnya selama berjam-jam. Untuk masuk ke kamar gelap dapat dipakai sistem lorong yang melingkar tanpa pintu atau sistem dua pintu untuk menjamin supaya cahaya tidak masuk. Warna dinding kamar gelap tidak perlu hitam, sebaiknya dipakai warna cerah, kecuali lorong lingkar ke kamar gelap dicat hitam untuk mengabsorpsi cahaya sebanyak mungkin. 11
8. Ruang operator dan tempat pesawat sinar x sebaiknya dibuat terpisah atau bila berada dalam satu ruangan maka disediakan tabir yang berlapis Pb dan dilengkapi dengan kaca intip dari Pb. 9. Pintu ruang pesawat sinar x harus diberi penahan radiasi yang cukup sehingga terproteksi dengan baik. Pintu tersebut biasanya terbuat dari tripleks dengan tebal tertentu yang ditambah lempengan Pb setebal 1 – 1,5 mm. 10. Tanda radiasi berupa lampu merah harus dipasang di atas pintu yang dapat menyala pada saat pesawat digunakan. Tanda peringatan radiasi hendaknya dibuat dengan ukuran.
12
2.3 Prinsip dan Teknik Foto Rontgen Kedokteran Gigi A. Teknik Intra-oral 1. Teknik Periapikal Radiografi periapikal merupakan jenis proyeksi intraoral radiography yang secara rutin digunakan dalam praktek dokter gigi. Proyeksi ini menggunkan film ukuran standart (4x3 cm) yang dapat memuat gambar serta jaringan pendukungnya. Teknik yang digunakan Teknik periapikal terdiri dari teknik paralel dan biseksi. Namun lebih banyak digunakan teknik paralel karena menghasilkan gambar dengan distorsi yang lebih sedikit. A. Teknik Paralel a. Film Holder Terdiri dari 3 bagian utama: - Pemegang film - Bite block - Lingkaran penentu arah cone b. Teknik menempatkan - Pemilihan holder dan ukuran film yang sesuai. Untuk gigi incisivus dan kaninus digunakan paket film kecil. Sedangkan untuk premolar dan molar, digunakan -
paket film besar. Pasien diposisikan dengan bidang oklusal sejajar horizontal Holder dan film diletakkan pada mulut sesuai dengan gigi yang ingin diambil
gambarnya. - Holder diputar sehingga gigi yang diperiksa menggigit block - Cone diarahkan dengan lingkaran penentu arah sinar X c. Keuntungan Keuntungan dari penggunaan teknik paralel ini adalah : - Gambar lebih geometris dan sedikit kemungkinan terjadi pembesaran gambar - Tulang zygomatic berada tampak di atas apex gigi molar RA - Alveolar crest dapat terlihat jelas - Jaringan periapikal dapat tampak dengan jelas - Mahkota gigi dapat tampak dengan jelas sehingga karies proximal dapat -
terdeteksi Sudut vertikal dan horizontal, sudah ditentukan oleh lingkaran penentu posisi
-
cone pada film holder. Arah sinar x sudah ditentukan pada pertengahan film, sehingga dapat menghindari cone cutting 13
-
Dapat membuat foto radiografis dengan posisi dan kondisi yang sama dengan
waktu yang berbeda d. Kerugian Kerugian dalam melakukan teknik paralel ini adalah : - Penggunaan film holder dapat menyebabkan rasa tak nyaman, terutama regio -
posterior Penggunaan film holder butuh tenaga ahli Kondisi anatomis dapat menyulitkan teknik paralel Apex gigi kadang tampak sangak dekat dengan tepi film Sulit menggunakan film holder untuk regio M3 RB
14
B. Teknik Biseksi a. Teori dasar - Film diletakkan sedekat mungkin dengan gigi yang diperiksa tanpa tertekuk. Jarak -
yang ada kurang lebih 2 mm diatas oklusal Sudut yang dibentuk anatara sumbu panjang gigi dan sumbu panjang film dan
-
dibagi 2 sama besar akan membentuk garis bagi Tabung sinar tegak lurus pada garis bagi, dengan titik pusat sinar X diarahkan ke
-
daerah apical gigi. Ukuran gigi asli sama dengan ukuran hasil gambar pada film Penentuan sudut vertikal dilakukan dengan cara menarik garis lurus titik pusat
-
sinar X terhadap bidang oklusal Penentuan sudut horizontal dilakukan dengan cara mengarahkan melalui titik kontak interproksimal. Sudut ini ditentukan oleh bentuk lengukung rahang dan posisi gigi.
b. Teknik Menempatkan Dengan
menggunakan holder film
-
Film yang sesuai diletakkan sehingga gigi yang diperiksa terletak pada
tengah film Tabung sinar X diarahkan menggunakan perangkatnya Dengan menggunakan jari pasien Untuk pemotretan a. Gigi anterior RA, ditahan dengan ibu jari
15
b. Gigi anterior RB, Gigi posterior kiri RA & RB, ditahan dengan
-
telunjuk kanan c. Gigi posterior kanan RA & RB, ditahan dengan telunjuk jari Pasien diminta menahan film tanpa menekan, dan tidak bergerak selama
pemotretan. c. Keuntungan Keuntungan dari teknik paralel ini adalah : - Relatif lebih nyama terhadap pasien karena hanya menggunakan film - Penentuan posisi lebih sederhana dan cepat - Bila penentuan sudut horizontal dan vertical benar, maka gambaran akan sama -
besar dengan gigi asli Tidak perlu sterilisasi khusus, karena tidak ada alat tambahan.
d. Kerugian - Kemungkinan distrosi gambaran radiografis besar - Kesalahan sudut vertikal mengakibatkan pemanjangan atau pemenekkan gambar - Tinggi tulang alveolar tidak dapat dilihat dan dinilai dengan baik - Bayangan tulang zygomatic sering tampak menutupi regio akar gigi molar - Sudut vertikal dan horizontal setiap pasie berbeda - Tidak dapat mendapat posisi dan kondisi gambaran yang sama pada waktu yang -
berbeda karena tidak alat bantu Dapat terjadi cone cutting bila titik pusat sinar X tidak tepat dipertengan film Kesalahan sudut horizontal mengakibatkan tumpang tindih mahkota dan akar gigi
-
yang berdekatan Sulit mendeteksi karies proximal, pada gambar yang mengalami distorsi Gambaran radiografis akar bukal gigi posterior RA sering terjadi pemendekkan
2. Teknik Bite Wing Radiografi dengan teknik bitewing berasal dari teknik asalnya yaitu pasien menggigit (bite) s e b u a h s a ya p ( wing ) kecil yang diletakkan pada film intraoral. Teknik ini digunakan untuk melihat mahkota gigi rahang atas dan rahang bawah daerah anterior dan posterior sehingga dapat digunakan untuk melihat permukan gigi yang berdekatan dan puncak tulang alveolar. Teknik foto ini awal mulanya ditemukan oleh Raper pada tahun 1925. Teknik pemotretan bitewing dilakukan dengan cara pasien menggigit sayap dari film yang berfungsi sebagai stabilisasi film dalam rongga mulut. Dasar Teknik Bite Wing merupakan suatu teknik kesejajaran yang telah mengalami sedikit modifikasi yakni sudut antara bidang vertikaldengan konus adalah 0-10 derajat.. Bitewing dapat berfungsi dalam melakukan 16
evaluasi puncak tulang interproksimalketika pemeriksaan periodontal dan rencana perawatan. Selain itu juga berfungsi dalam mengetahui status periodontal pasien.
17
Pelaksanaan Teknik Foto Bite Wing Pada teknik bitewing bidang yang perlu diperhatikan adalah :1.Bidang vertikal (bidang sagital) harus tegak lurus dengan bidang horisontal.2.Bidang oklusal harus sejajar dengan bidang horisontal. Pada teknik bite wing digunakanfilm berukuran 3,2x4,1 cm. Apabila film yang dipergunakan ukuran nya lebih besar makaharus hati-hati memasukkan kedalam mulut agar penderita tidak merasa sakit. Film yang sudah diberikan tabs atau loops dimasukkan kedalam mulut penderita. Film dipegang operator dengan jari telunjuk yang di letakkan pada tabs, sehingga tabs menyentuh permukaan oklusal dari gigi. Penderita diminta menutup mulutnya perlahan lahan, operator melepaskan jari telunjuk dan penderita diminta menggigit gigi-gigi atasdan bawah sehingga berkontak. Ukuran dari film menentukan hasil dari radiogramnya. Yang terpenting adalah mendapatkan hasil sampai pada bagian proksimalnya tanpa terlihat gambaran rahang.Pada pembuatan teknik bite wing dipakai alat bite tabs dan bite loops.Film yang digunakan adalah film khusus untuk dental radiography, yang merupakan singleemulsi. Untuk mempermudah positioning film dental, biasanya digunakan sebuah alat yangdisebut "Bitewing". Dan sudut proyeksi yang diberikan pada setiap objek berbeda-beda tergantung objek apa yang diperiksa (apakah rahang atas atau bawah).
18
3. Teknik Oklusal Semua teknik yang yang filmnya diletakkan pada bidang oklusal adalah Teknik Oklusal, film yang digunakan adalah film oklusal dimana pasien akan diminta untuk menggigit film. Teknik ini memperlihatkan mahkota gigi pada aspek oklusal dari semua gigi (anterior dan posterior) pada rahang atas saja atau rahang bawah saja dalam satu film. Teknik oklusal juga dapat dibagi menjadi Pada RA : - Topografi RA, menghasilkan gambaran gigi anterior rahang atas beserta bagian anterior dari maxilla. Cross section RA, untuk melihat RA pada potongan melintang. -Oblique RA, untuk melihat satu sisi RA daerah posterior beserta gigi posterior. Pada RB : - Topografi RB, melihat gigi anterior RB dan mandibula bagian anterior. -Cross section RB, untuk melihat potongan melintang RB dan dasar mulut. -Oblique RB, untuk gambaran radiografis satu sisi RB, terutama kelenjar submandibula.
19
B. Teknik Ekstra-oral Foto Rontgen ekstra oral digunakan untuk melihat area yang luas pada rahang dan tengkorak, film yang digunakan diletakkan di luar mulut. Foto Rontgen ekstra oral yang paling umum dan paling sering digunakan adalah foto Rontgen panoramic dan sepalometri. 1. Teknik Rontgen Panoramik Foto panoramik merupakan foto Rontgen ekstra oral yang menghasilkan gambaran yang memperlihatkan struktur facial termasuk mandibula dan maksila beserta struktur pendukungnya. Foto Rontgen ini dapat digunakan untuk mengevaluasi gigi impaksi, pola erupsi, pertumbuhan dan perkembangan gigi geligi, mendeteksi penyakit dan mengevaluasi trauma. Foto panoramik juga disarankan kepada pasien pediatrik, pasien cacat jasmani atau pasien dengan gag refleks.Salah satu kelebihan panoramik adalah dosis radiasi yang relatif kecil dimana dosis radiasi yang diterima pasien untuk satu kali foto panoramik hampir sama dengan dosis empat kali foto intra oral. Foto panoramik dikenal juga dengan panorex atau orthopantomogram dan menjadi sangat popular di kedokteran gigi karena teknik yang simple, gambaran mencakup seluruh gigi dan rahang dengan dosis radiasi yang rendah. Gambaran panoramik adalah sebuah teknik untuk menghasilkan sebuah gambaran tomografi yang memperlihatkan struktur fasial mencakup rahang maksila dan mandibula beserta struktur pendukungnya. Radiografi panoramik adalah sebuah teknik dimana gambaran seluruh jaringan gigi ditemukan dalam satu film. Foto panoramik dapat menunjukkan hasil yang buruk dikarenakan kesalahan posisi pasien yang dapat menyebabkan distorsi. Adapun seleksi kasus yang memerlukaan gambaran panoramik dalam penegakan diagnosa diantaranya seperti: a. Adanya lesi tulang atau ukuran dari posisi gigi terpendam yang menghalangi gambaran pada intra-oral. b. Melihat tulang alveolar dimana terjadi poket lebih dari 6 mm.
20
c. Untuk melihat kondisi gigi sebelum dilakukan rencana pembedahan. Foto rutin untuk melihat perkembangan erupsi gigi molar tiga tidak disarankan. 2.
Teknik Rontegn Shepalometri Radiografi sefalometri biasanya digunakan oleh bidang orthodonti untuk melihat hubungan gigi rahang atas dan rahang bawah, hubungan gigi dan rahangnya, juga hubungan rahang dan tulang facial disekitarnya. Pada radiografi sefalometri terlihat seluruha bagian kepala dari satu sisi kanan/kiri dengan pandangan lateral.
21
2.4 Kelebihan dan Kekurangan Teknik Radiografi KG Radiografi ekstraoral adalah gambaran yang dihasilkan dari gigi geligi tetapi fokusnya terletak pada rahang dan tengkorak. Sinar-x pada radiografi ekstraoral tidak memberikan 22
detail yang baik seperti pada radiografi intraoral. Hal ini mengakibatkan radiografi ekstraoral tidak digunakan untuk mendeteksi masalah pada gigi secara individual. Sebaliknya radiografi ekstraoral digunakan untuk melihat gigi yang impaksi, memantau pertumbuhan dan perkembangan rahang dan hubungannya dengan gigi, serta mengidentifikasi masalah antara gigi, rahang dan sendi temporomandibular atau tulang wajah yang lain. Radiografi intraoral adalah radiografi yang member gambaran kondisi gigi dan jaringan sekitar secara detail. Gambaran radiografi intraoral diperoleh dengan cara menempatkan film ke dalam rongga mulut pasien dan kemudian dilakukan penyinaran. Terdiri atas rongen periapikal, oklusal dan bitewing. 1. Rontgen Periapikal Kelebihan proyeksi periapikal antara lain dapat digunakan untuk :
Mengetahui kondisi elemen gigi dan jaringan pendukungnya Untuk mengetahui besar, panjang, dan bentuk gigi Untuk mengetahui keadaan anatomis dari akar gigi dan saluran akar Untuk keperluan perawatan Endodontik Untuk mengetahui kelainan periapikal pada gigi dan jaringan pendunkungnya yang
secara klinis sulit terdeteksi seperti kista, tumor, abses, granuloma dll. Deteksi infeksi/inflamasi apikal Penilaian pra-operasi dan pasca operasi pada operasi apikal Evaluasi detail kista apikal dan lesi lainnya dalam tulang alveolar
Kerugian rontgen periapikal Penggunaan film holder dapat menyebabkan rasa tak nyaman, terutama region
posterior Penggunaan film holder butuk tenaga ahli Kondisi anatomis dapat menyulitkan teknik paralel Apex gigi kadang tampak sangak dekat dengan tepi film Sulit menggunakan film holder untuk regio M3 RB 2. Rontgen Bitewing a. Kelebihan Apabila radiograf periapikal tidak dapat menunjukkan kelainan, dicurigai terjadi kematian jaringan yang awal, tambalan yang cukup dalam dan adanya pulp caping pada gigi maka radiograf bite wing dapat digunakan. Selain itu dalam teknik bitewing satu film dapat di 23
gunakan untuk memeriksa gigi pada rahang atas dan bawah sekaligus. Sebelum teknik ini di temukan, pemeriksaan bagian proksimal di pakai teknik bidang bagi atau kesejajaran..Teknik bitewing juga dipakai pada pemeriksaan berkala jika diperkirakan penderita memiliki insiden karies yang cukup tinggi dan di gunakan untuk menunjukkan karies sekunder yang berada di bawah tumpatan. Dalam mendiagnosis karies, di buat radiograf periapikal dan bitewing dari daerah di mana yang terdapat keluhan utama dari penderita. Apabila suatu diagnosis dapat ditegakkan dengan menggunakan satu film, sedangkan dengan teknik bidang bagi tidak dapat menunjukkan kelainannya, maka teknik bitewing dapat menolong. b. Kerugian Pada teknik bitewing, pasien sering sulit mengoklusikan kedua rahang sehingga puncak alveolar tidak terlihat selain itu tidak dapat melihat hasil rotgen sampai pada bagian apical gigi melainkan kita hanya bisa melihat bagian korona sampai cementum enamel junction (CEJ) saja. 3. Teknik Oklusal Dapat mendeteksi gigi yang impaksi Mengetahui lokasi benda asing di dalam tulang rahang Melihat batas tengah, depan dan pinggir dari sinus maxilla Melihat segmen yang luas pada rahang, contohnya palatum atau dasar mulut Dapat memeriksa pasien yang tidak dapat membuka mulutnya terlalu lebar (trismus) untuk dilakukan teknik periapikal, karena memasukkan film ke dalam mulut pasien yang mengharuskan pasien membuka mulutnya dengan lebar akan membuat pasien
merasa kesakitan. Menunjukkan letak fraktur pada maxilla atau mandibula. Mengevaluasi perluasan lateral atau medial dari penyakit rahang.
2.5 Prosesing Film Film radiografi merupakan suatu lembaran tipis selulosa yang peka terhadap sinar-X. Prinsip pembentukan bayangan radiografi diperoleh melalui radiasi yang melewati suatu obyek dan akan diserap obyek, dimana banyaknya penyerapan di suatu titik tergantung pada tebal dan kerapatan material obyek dititik tersebut. Perbedaan penyerapan radiasi dideteksi dan direkam pada film radiografi sebagai perbedaan tingkat kehitaman (densitas) (Sudaryo, 2004). 24
Pembentukan gambar radiografi dimulai dari emulsi perak halida (AgBr) film radiografi yang sangat peka terhadap sinar-X akan membentuk bintik sensitif. Ion Br- apabila terkena radiasi sinar-x akan terbentuk atom Br dan elektron dan merubah muatan positif Ag + menjadi atom Ag. Kristal dengan atom Ag pada permukaanya disebut bayangan laten melalui proses pembangkitan bayangan oleh larutan pembangkit yang mengandung larutan alkali bersifat basa. Tahap selanjutnya gambar dicuci dan difiksasi di dalam cairan penetap yang bersifat asam untuk melarutkan kristal yang tidak mengandung bayangan laten (Hanna dan Wayne, 2008). Metode prosesing film adalah prosedur yang dilakukan setelah film mendapat exposure dari dental x-ray untuk mendapat gambaran struktur anatomis dan jaringan yang akan diamati. Film radiografi dibuka dan diproses di dalam ruang gelap (dark room/light save)(Supriyadi dkk, 2009). Film radiografi harus dilakukan pengembangan sebelum dapat dilihat hasilnya. Prosesing merupakan suatu cara untuk mendapatkan gambar yang permanen dalam pembuatannya dengan menggunakan cairan kimia tertentu. Pengembangan film radiografi dilakukan dalam ruang gelap dimana cahaya yang normal telah dikurangi. Cahaya yang digunakan bisa berupa lampu warna kuning atau merah dengan kekuatan kurang dari 15 watt dan diletakkan lebih dari 3 kaki dari area kerja. Lampu yang sinarnya bocor, terlalu terang atau terlalu dekat dengan area kerja dapat mengakibatkan gambaran gelap pada film yang mengurangi kualitas gambaran hasil foto (Margono, 1999). Bahan prosesing film terdiri dari larutan developer dan larutan fixer. Larutan developer (larutan pengembang) komposisinya terdiri dari hidroquinone yang bertujuan mengatur kontras film dan menjadikan developer lebih tahan lama, metal (elon) sebagai zat pereduksi agar gambar cepat muncul, natrium karbonat untuk mempertahankan derajat kebasahan agar larutan pengembang dapat berfungsi menghaluskan emulsi, kalium bromide berfungsi mereduksi kristal halida yang tidak tertembus sinar dan mencegah gambaran kabut pada film, natrium sulfite mencegah zat pereduksi teroksidasi oleh oksigen yang ada di dalam air atau oksigen yang berasal dari udara dan air sebagai zat pelarut media yang cocok untuk pencampuran obat. Fungsi dari larutan developer adalah untuk mengendapkan emulsi perak halide yang tertembus sinar-X sehingga berwarna hitam. Proses developing berjalan sekitar 8-10 detik bergantung pada jenis larutan pengembang baru atau lama dan suhu dalam ruangan yang bisa mempercepat timbulnya gambar (Margono, 1999). 25
Larutan Fixer berfungsi sebagai larutan penstabil dimana larutan ini melarutkan kristal yang tidak tembus sinar-X sehingga film tersebut bersih dari larutan emulsi perak halida dan larutan pengembang yang tertinggal. Komposisi larutan fixer adalah, natrium tiosulfat, asam asetat, natrium sulfite, kalium alum (boraks) dan air. Proses fixing memerlukan waktu kurang lebih 4-15 menit untuk mencegah perubahan pada film dan membuat film tampak jelas dan tahan lama. Proses rinsing dan washing yaitu pembilasan dalam air mengalir dilakukan sekitar 10 menit untuk menghilangkan semua bahan kimia film. Proses terakhir adalah drying yaitu pengeringan gambar radiografi sebelum siap dibaca oleh dokter gigi (Margono,1999). Teknik Processing Foto Rontgen terbagi menjadi dua antara lain : 1. Automatic Prosessing Dalam processing automatic hampir sama dengan processing manual hanya perbedaannya pada prosesnya tidak mengalami proses rinsing ( pembilasan ), menggunakan tenaga mesin
Daylight processing Ada beberapa macam mesin pencuci film rontgen dipasaran. Beberapa diantaranya harus dilakukan dengan tangan, tapi dilengkapi dengan tempat terbuka untuk memasukan film, mirip sarung tangan, yang tidak tembus cahaya, sehingga tangan kita bisa dimasukan, juga ada filter tahan cahaya. Tangan dimasukan kedalam developer, ke pembilas kemudian ke fixer. Cara bekerjanya sama seperti cara kerja dikamar gelap konvesional. Alat ini menggantikan kamar gelap, bila fasilitas kamar gelap tidak tersedia. Menggunakan mesin pencuci ini, bila hanya sedikit foto rontgen yang dicuci.
True automatic processing Alat ini juga memiliki bagian yang terbuka seperti sarung tangan untuk membuka film dan menempatkannya dalam roller system, untuk selanjutnya menjalani proses pencucian yang lengkap secara otomatis. Idealnya dilakukan didalam kamar gelap. Disana film dengan ukuran yang berbed-beda, dengan mudah dapat dikeluarkan dari pembungkusnya dan langsung ditempatkan pada roller.
2. Manual Prosessing Dengan menggunakan tenaga manusia yang melalui beberapa proses yaitu : Developer ( pembangkitan ), Rinsing ( pembilasan ), Fixing ( penetapan), Washing (pencucian ), dan Drying ( pengeringan ). 26
Meja basah, untuk bak pencuci film yang terdiri dari : Developer, dilengkapi dengan termometer untuk mengukur suhu developer. Cairan developer yang temperaturnya lebih besar dari 24oC, akan mempengaruhi emulsi AgBr menjadi lumer, dan gambaran pada foto berupa noda-noda sehingga akan mempengruhi interpretasi foto tersebut dengan baik. Pada bak developer terdiri dari larutan Hydroquinone, ini adalah suatu bahan pereduksi yang menghasilkan kontras tinggi. 1. Mentol, ini adalah suatu bahan pereduksi yang menghasilkan detail dari foto rontgen 2. Sodium karbonat (NaCO3), bahan ini dipergunakan untuk mengaktifkan larutan developer dalam mempercepat reaksi perubahan kimia emulsi garam AgBr yang terkena sinar X 3. Sodium sulfat (NaSO3), bahan ini dipergunakan untuk menghalangi kerusakan larutan developer yang mengalami oksidasi dengan udara. Jadi bahan ini bertindak sebagai suatu perlindungan dan menjaga keaktifan developer 4. Potasium bromida (KBr), bahan ini dipergunakan untuk mencegah reduksi kristal-kristal yang tidak disinari oleh sinar X, berarti bahan ini mencegah terjadinya kabut 5. Air dipergunakan sebagai pelarut Rinsing untuk menghilangkan semua larutan developer yang ikut mempengaruhi keasaman larutan fixer. Oleh sebab itu pencucian dalam air harus bersih betul, kemudian dimasukan ke dalam larutan fixer. Fixing : untuk melarutkan semua emulsi AgBr yang tidak mengalami ionisasi oleh sinar X pada waktu penyinaran atau tidak dilarutkan oleh developer. Pada bak fixing terdiri dari larutan 1. Natrium tiosulfat, larutan ini merupakan bahan fixasi dan bahan pelarut AgBr 2. Natrium sulfat, larutan ini dipergunkan untuk mencegah dekomposisi bahan fixasi dalam asam acetat. Jadi larutan ini bertindak sebagai pengawet 3. Asam asetat, larutan ini dipergunakan untuk menetralisir larutan developer yang terbawa serta oleh film agar fixer bersifat asam. 4. Potasium alumunium, larutan ini merupakan bahan pengeras yang mengeraskan gelatin dalam emulsi film 5. Air, digunakan sebagai bahan pelarut Washing : film harus direndam dalam bak air selama 10 menit, kemudian di cuci dengan air kran, untuk membersihkan semua sisa-sisa zat kimia pada film. Mencuci dalam bak air saja tanpa dibilas pada air kran, akan menimbulkan noda-noda pada foto rontgennya.
27
Drying : mengeringkan film pada temperatur yang terlalu tinggi akan menyebabkan film akan hangus atau foto yang dihasilkan akan timbul noda-noda kuning. Sebaiknya mengeringkan film pada suhu ruangan. Meja kering, untuk tempat mengisi dan mengeluarkan film dari kaset yang sudah dan akan digunakan. Pengetahuan akan pekerjaan dan pemahaman teori pemrosesan perlu sehingga kesalahan dapat diidentifikasi dan diperbaiki.
28
2.6 Interpretasi Hasil Rontgen Normal dan Kelainan Foto Intra-oral dan Ekstra-oral a. Interpretasi Hasil Rontgen Normal
29
30
b. Kelainan pertumbuhan dan perkembangan gigi dan mulut serta manifestasinya dalam foto ronsen. 1. Agenisi
a. Lokasi
: bisa terjadi di rahang atas maupun rahang bawah di regio
posterior maupun anterior. Merupakan kelainan dimana tidak terdapat benih gigi. Dapat terjadi pada gigi sulung maupun gigi permanen. Umumnya disebabkan karena herediter atau keturunan. b. Ukuran :31
c. Jumlah : tidak menentu, bisa hanya satu gigi bisa juga banyak. d. Bentuk :e. Gambar ronsen: tidak terdapat gambar bentukan benih gigi di dalam rahang. 2. Dilaserasi
a. Lokasi
: bisa terjadi pada gigi manapun. Kelainan ini merupakan
pembengkokan / lengkungan dari akar-akar gigi yang lain dari biasanya. Etiologi dihubungkan dengan trauma ketika terjadi pertumbuhan akar. Faktor herediter b. c. d. e.
juga dapat terlibat pada beberapa kasus. Ukuran : bisa ujung ajar saja, tengah dan seluruh panjang akar. Jumlah :Bentuk : struktur akar atau apikal gigi yang bengkok. Gambar ronsen: gambaran struktur gigi normal yang bengkok.
3. Crowded dan Maloklusi Kelas 2 Divisi 1.
32
4.
Taurodonsia
a. Lokasi
: gigi-gigi mempunyai mahkota yang panjang, menyebabkan ruang
pulpa bertambah tinggi dalam arah apiko-oklusal. Lebih sering mengenai gigi permanen daripada gigi susu. Dapat terjadi pada pasien dengan Down Syndrome, b. c. d. e.
Klinefelter Syndrome, amilogenesis imperfecta. Ukuran : menyesuaikan bentuk gigi tersebut. Jumlah : 1 pada 1 gigi, bisa terjadi pada lebih dari 1 gigi. Bentuk : seperti ruang pulpa hanya lebih besar dan lebih tinggi puncaknya. Gambar ronsen: gambaran ronsen pulpa yang radiolusen tetapi lebih luas dari pada ukuran ruang pulpa normal.
5. Sialolithiasis Mandibula.
33
BAB 3
PENUTUP 3.1 Kesimpulan Pemeriksaan radiografi berperan penting dalam menentukan diagnosa, rencana dan evaluasi perawatan. Pengambilan film radiografi dengan kualitas gambar yang baik harus memenuhi salah satu faktor yaitu densitas. Densitas adalah nilai derajat kehitaman film yang ditentukan oleh banyaknya sinar-X yang dapat mencapai film setelah melalui jaringan tubuh dan berinteraksi dengan komponen bahan film radiografi. Sinar-X yang keluar dari alat radiografi gigi memiliki efek biologi. Radiasi dari sinar-X dapat menyebabkan perubahan biologi, menganggu kesehatan sel dan jaringan. 3.2 Saran Saya penyusun sangat menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari sempurna, sehingga kami selaku penyusun sangat mengharapkan kritik dan saran dari pembaca yang bersifat membangun.
34
DAFTAR PUSTAKA 1. Jeni S., Amalia. 2009. Abnormalitas pada gigi. Jakarta: Departemen Gigi dan Mulut FKUI. 2. Langlais, Robert P. 1996. Latihan membaca foto rongga mulut. Jakarta: Hipokrates. 3. Lukman, D., ( 1995). Dasar-Dasar Radiologi Dalam Ilmu Kedokteran Gigi. Jakarta : Widya Medika. 4. Lukman, D., ( 1995). Radiografi Ekstraoral. Jakarta : Widya Medika. 5. Margono, G., (1998). Radiografi Intraoral. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.
35
View more...
Comments