pterigium

August 16, 2017 | Author: Fika Khulma Sofia | Category: N/A
Share Embed Donate


Short Description

pterigium...

Description

Presentasi Kasus

ILMU KESEHATAN MATA

Oleh: Anindhito Kurnia P

G99122014

Dhiandra Dwi H

G99122034

Elanda Rahmat A

G99122038

Fitri Prawitasari

G99122047

Junita Ayu

G99122063

Pembimbing : , dr., Sp.M

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN MATA FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/RSUD DR. MOEWARDI SURAKARTA 2013

1

STATUS PENDERITA

I.

IDENTITAS Nama

: Tn S

Umur

: 47 Tahun

Jenis Kelamin

: Laki-laki

Suku

: Jawa

Kewarganegaraan

: Indonesia

Agama

: Islam

Pekerjaan

: Petani

Alamat

: Gombelan Rt 13, Tegalrejo

Tgl pemeriksaan

: 3 Agustus 2013

No. CM

: 01209794

II. ANAMNESIS A. Keluhan utama

: pandangan mata kabur

B. Riwayat Penyakit Sekarang

:

Pasien datang dengan keluhan pandangan kabur pada mata kanan dan kiri. Pasien mengakui pandangan matanya kabur semenjak 15 tahun yang lalu karena terdapat benda asing yang mengenai matanya saat mengendarai sepeda. Pasien pernah memeriksakan kejadian tersebut ke dokter, namun tidak mengikuti saran dokter untuk operasi dan hanya melakukan rawat jalan dengan mengunakan obat tetes mata. Pasien juga sering merasakan rasa peri di mata namun membaik setelah diberikan obat tetes mata C. Riwayat Penyakit Dahulu 1.

Riwayat hipertensi

: disangkal

2.

Riwayat kencing manis

: disangkal

3.

Riwayat alergi obat dan makanan : disangkal

4.

Riwayat trauma mata

: disangkal

5.

Riwayat kacamata

: disangkal

2

D. Riwayat Penyakit Keluarga 1.

Riwayat hipertensi

: disangkal

2.

Riwayat kencing manis

: disangkal

3.

Riwayat sakit serupa

: disangkal

D. Kesimpulan Anamnesis

Proses Lokalisasi Sebab Perjalanan Komplikasi

OD

OS

-

Peradangan, infeksi Konjungtiva Akut

III. PEMERIKSAAN FISIK A. Kesan umum 1.

Keadaan umum baik, compos mentis, gizi kesan cukup

B. Pemeriksaan subyektif OD A. Visus Sentralis 1. Visus sentralis jauh a. pinhole b. koreksi 2. Visus sentralis dekat B. Visus Perifer 1. Konfrontasi tes 2. Proyeksi sinar 3. Persepsi warna

OS

6/20 Tidak dilakukan Tidak dilakukan Tidak dilakukan

6/15 Tidak dilakukan Tidak dilakukan Tidak dilakukan

Tidak dilakukan Tidak dilakukan Tidak dilakukan

Tidak dilakukan Baik Baik

C. Pemeriksaan Obyektif 1. Sekitar mata a. tanda radang b. luka c. parut d. kelainan warna e. kelainan bentuk 2. Supercilia a. warna b. tumbuhnya c. kulit

OD Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada

OS Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada

Hitam Normal Sawo matang

Hitam Normal Sawo matang 3

d. gerakan

Dalam batas normal

Dalam batas normal

Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada

Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada

Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada

Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada

Tidak terhambat Tidak terhambat Tidak terhambat Tidak terhambat Tidak terhambat Tidak terhambat

Tidak terhambat Tidak terhambat Tidak terhambat Tidak terhambat Tidak terhambat Tidak terhambat

Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada

Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada

Tidak tertinggal Tidak tertinggal

Tidak tertinggal Tidak tertinggal

10 mm Tidak ada Tidak ada

10 mm Tidak ada Tidak ada

Tidak ada Sawo matang Tidak ada Tidak ada

Tidak ada Sawo matang Tidak ada Tidak ada

Tidak ada Tidak ada Tidak ada Dalam batas normal

Tidak ada Tidak ada Tidak ada Dalam batas normal

Tidak ada

Tidak ada

3. Pasangan bola mata dalam orbita

a. heteroforia b. strabismus c. pseudostrabismus d. exophtalmus e. enophtalmus 4. Ukuran bola mata a. mikroftalmus b. makroftalmus c. ptisis bulbi d. atrofi bulbi 5. Gerakan bola mata a. temporal b. temporal superior c. temporal inferior d. nasal e. nasal superior f. nasal inferior 6. Kelopak mata a. pasangannya 1.) edema 2.) hiperemi 3.) blefaroptosis 4.) blefarospasme b. gerakannya 1.) membuka 2.) menutup c. rima 1.) lebar 2.) ankiloblefaron 3.) blefarofimosis d. kulit 1.) tanda radang 2.) warna 3.) epiblepharon 4.) blepharochalasis e. tepi kelopak mata 1.) enteropion 2.) ekteropion 3.) koloboma 4.) bulu mata 7. sekitar glandula lakrimalis a. tanda radang

4

b. benjolan c. tulang margo tarsalis 8. Sekitar saccus lakrimalis a. tanda radang b. benjolan 9. Tekanan intraocular a. palpasi b. tonometri schiotz 10. Konjungtiva a. konjungtiva palpebra superior 1.) edema 2.) hiperemi 3.) sekret 4.) sikatrik b. konjungtiva palpebra inferior 1.) edema 2.) hiperemi 3.) sekret 4.) sikatrik c. konjungtiva fornix 1.) edema 2.) hiperemi 3.) sekret 4.) benjolan d. konjungtiva bulbi 1.) edema 2.) hiperemis 3.) sekret 4.) injeksi konjungtiva 5.) injeksi siliar e. caruncula dan plika semilunaris 1.) edema 2.) hiperemis 3.) sikatrik 11. Sclera a. warna b. tanda radang c. penonjolan 12. Kornea a. ukuran b. limbus c. permukaan d. sensibilitas e. keratoskop ( placido )

Tidak ada Tidak ada kelainan

Tidak ada Tidak ada kelainan

Tidak ada Tidak ada

Tidak ada Tidak ada

Kesan normal Tidak dilakukan

Kesan normal Tidak dilakukan

Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada

Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada

Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada

Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada

Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada

Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada

Tidak ada Ada Tidak ada Ada Tidak ada

Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada

Tidak ada Tidak ada Tidak ada

Tidak ada Tidak ada Tidak ada

Putih Tidak ada Tidak ada

Putih Tidak ada Tidak ada

12 mm Jernih Keruh sebagian Tidak dilakukan Tidak dilakukan

12 mm Jernih Rata, mengkilap Tidak dilakukan Tidak dilakukan 5

f. fluorecsin tes g. arcus senilis 13. Kamera okuli anterior a. kejernihan b. kedalaman 14. Iris a. warna b. bentuk c. sinekia anterior d. sinekia posterior 15. Pupil a. ukuran b. bentuk c. letak d. reaksi cahaya langsung e. tepi pupil 16. Lensa a. ada/tidak b. kejernihan c. letak e. shadow test 17. Corpus vitreum a. Kejernihan b. Reflek fundus

Tidak dilakukan Tidak ada

Tidak dilakukan Tidak ada

Jernih Dalam

Jernih Dalam

Cokelat Tampak lempengan Tidak tampak Tidak tampak

Cokelat Tampak lempengan Tidak tampak Tidak tampak

3 mm Bulat Sentral Positif Tidak ada kelainan

3 mm Bulat Sentral Positif Tidak ada kelainan

Ada Jernih Sentral Tidak dilakukan

Ada Jernih Sentral Tidak dilakukan

Tidak dilakukan Tidak dilakukan

Tidak dilakukan Tidak dilakukan

IV. KESIMPULAN PEMERIKSAAN A. Visus sentralis jauh B. Visus perifer Konfrontasi tes Proyeksi sinar Persepsi warna C. Sekitar mata D. Supercilium E. Pasangan bola mata dalam orbita F. Ukuran bola mata G. Gerakan bola mata H. Kelopak mata I. Sekitar saccus lakrimalis J. Sekitar glandula lakrimalis

OD 6/20

OS 6/15

Tidak dilakukan

Tidak dilakukan

Baik Baik Dalam batas normal Dalam batas normal Dalam batas normal

Baik Baik Dalam batas normal Dalam batas normal Dalam batas normal

Dalam batas normal Dalam batas normal Dalam batas normal Dalam batas normal

Dalam batas normal Dalam batas normal Dalam batas normal Dalam batas normal

Dalam batas normal

Dalam batas normal

6

K. L. M. N. O. P. Q. R. S.

Tekanan intarokular Konjungtiva palpebra Konjungtiva bulbi Konjungtiva fornix Sklera Kornea Camera okuli anterior Iris Pupil

T. Lensa U. Corpus vitreum

Dalam batas normal Dalam batas normal injeksi konjungtiva(+) Dalam batas normal Dalam batas normal Dalam batas normal Kesan normal Bulat, warna coklat Diameter 3 mm, bulat, sentral Kesan normal

Dalam batas normal Dalam batas normal Dalam batas normal Dalam batas normal Dalam batas normal Dalam batas normal Kesan normal Bulat, warna coklat Diameter 3 mm, bulat, sentral Kesan normal

Tidak dilakukan

Tidak dilakukan

V. DIAGNOSIS BANDING OD Pinguekula OD Pseudopterigium

7

VI. TERAPI Genoint E.D 4 dd gtt 1 Na diclofenac tab No. X 2 dd 1

VII. PLANNING Eksisi apabila menggangu pergerakan bola mata, mengganggu visus, ketidaknyamanan yang menetap, progresif, dan ukuran 3 – 4 mm. VIII. PROGNOSIS 1. Ad vitam 2. Ad fungsionam 3. Ad sanam 4. Ad kosmetikum

OD Dubia et bonam Dubia et bonam Dubia et bonam Dubia et bonam

OS Dubia et bonam Dubia et bonam Dubia et bonam Dubia et bonam

8

TINJAUAN PUSTAKA PTERYGIUM

A. LATAR BELAKANG Pterygium adalah suatu jaringan yang berbentuk segitiga atau sayap pada permukaan basement membrane sebagai akibat dari pertumbuhan epitel limbus yang masuk ke kornea secara sentripetal (Saerang, 2013). Etiologi pterygium bersifat multifaktorial seperti paparan sinar matahari, debu, udara kering.Faktor risiko untuk terjadinya pterygium adalah komponen genetik, mekanisme anti apoptotic, sitokin, growth factor, factor angiogenik, ekstraseluler matrix remodelling, mekanisme imunologik, dan infeksi virus semua terlibat sebagai pathogenesis. Studi epidemiologik menunjukkan paparan kronis sinar matahari, kemungkinan besar Ultraviolet B (UVB) iradiasi, sebagai faktor penting pada pertumbuhan pterygium (Saerang, 2011). Di daerah tropis seperti Indonesia, dengan paparan sinar matahari tinggi, risiko timbulnya pterigium 44× lebih tinggi dibandingkan daerah non-tropis, dengan prevalensi untuk orang dewasa > 40 tahun adalah 16,8%; laki-laki 16,1% dan perempuan 17,6%. Hasil survei morbiditas oleh Departemen Kesehatan Republik Indonesia pada tahun 1993– 1996, angka kejadian pterigium sebesar 13,9% dan menempati urutan kedua penyakit mata. (Chyntia, 2010).

B. ANATOMI Secara anatomis konjungtiva adalah membran mukosa yang transparan dan tipis yang membungkus permukaan posterior kelopak mata (konjungtiva palpebralis) dan permukaan anterior sklera (konjungtiva bulbaris). Konjungtiva palpebralis melapisi permukaan posterior kelopak mata dan melekat erat ke tarsus. Di tepi superior dan inferior tarsus, konjungtiva melipat ke posterior (pada forniks superior dan inferior) dan membungkus jaringan episklera menjadi konjungtiva bulbaris. Konjungtiva bulbaris melekat longgar ke septum orbital di forniks dan melipat berkali-kali. Adanya lipatan-lipatan ini memungkinkan bola mata bergerak dan memperbesar permukaan konjungtiva sekretorik (Vaughan, 2010).

9

Konjungtiva adalah selaput lendir atau disebut lapisan mukosa. Konjungtiva melapisi permukaan sebelah dalam kelopak mulai tepi kelopak (margo palpebralis), melekat pada sisi dalam tarsus, menuju ke pangkal kelopak menjadi konjuntiva forniks yang melekat pada jaringan longgar dan melipat balik melapisi bola mata hingga tepi kornea. Konjungtiva dibagi menjadi 3 bagian : 1) Konjungtiva palpebra, 2) Konjungtiva forniks, dan 3) Konjungtiva bulbi (Al Ghozie, 2002).

Gambar 1. Anatomi konjungtiva Secara histologis, lapisan sel konjungtiva terdiri atas dua hingga lima lapisan sel epitel silindris bertingkat, superfisial dan basal (Junqueira, 2007). Sel-sel epitel superfisial mengandung sel-sel goblet bulat atau oval yang mensekresi mukus yang diperlukan untuk dispersi air mata. Sel-sel epitel basal berwarna lebih pekat dibandingkan sel-sel superfisial dan dapat mengandung pigmen (Vaughan, 2010). Stroma konjungtiva dibagi menjadi satu lapisan adenoid (superfisialis) dan satu lapisan fibrosa (profundus). Lapisan adenoid mengandung jaringan limfoid dan tidak berkembang sampai setelah bayi berumur 2 atau 3 bulan. Lapisan fibrosa tersusun dari jaringan penyambung yang melekat pada lempeng tarsus dan tersusun longgar pada mata (Vaughan, 2010).

10

Gambar 2. Histologi Konjungtiva

Konjungtiva dibasahi oleh air mata yang saluran sekresinya bermuara di forniks atas. Air mata mengalir dipermukaan belakang kelopak mata dan tertahan pada bangunan lekukan di belakang kelopak mata tertahan di belakang tepi kelopak. Air mata yang mengalir ke bawah menuju forniks dan mengalir ke tepi nasal menuju punctum lakrimalis (Al Ghozie, 2002). Kedudukan konjungtiva mempunyai resiko mudah terkena mikroorganisme atau benda lain. Air mata akan melarutkan materi infektius atau mendorong debu keluar. Alat pertahanan ini menyebabkan peradangan menjadi self-limited disease. Selain air mata, alat pertahanan berupa elemen limfoid, mekanisme eksfoliasi epitel dan gerakan memompa kantong air mata. Hal ini dapat dilihat pada kehidupan mikroorganisme patogen untuk saluran genitourinaria yang dapat tumbuh di daerah hidung tetapi tidak berkembang di daerah mata (Al Ghozie, 2002). Arteri-arteri konjungtiva berasal dari arteria siliaris anterior dan arteria palpebralis. Kedua arteri ini beranastomosis dengan bebas dan bersama dengan banyak vena konjungtiva membentuk jaringan vaskular konjungtiva yang sangat banyak (Vaughan, 2010). Konjungtiva juga menerima persarafan dari percabangan pertama nervus V dengan serabut nyeri yang relatif sedikit (Tortora, 2009).

11

C. DEFINISI Pterygium berasal dari bahasa Yunani yaitu “Pteron” yang artinya sayap (wing). Pterygium didefinisikan sebagai pertumbuhan jaringan fibrovaskuler pada subkonjungtiva dan tumbuh menginfiltrasi permukaan kornea, umumnya bilateral di sisi nasal, biasanya berbentuk segitiga dengan kepala/apex menghadap ke sentral kornea dan basis menghadap lipatan semilunar pada cantus (Ardalan, 2010; Vaughan, 2010) Pterygium

adalah

kelainan

pada

konjungtiva

bulbi,

pertumbuhan

fibrovaskular konjungtiva yang bersifat degeneratif dan invasif. Pertumbuhan ini biasanya terdapat pada celah kelopak bagian nasal ataupun temporal konjungtiva yang meluas ke daerah kornea. Pterygium berbentuk segitiga dengan puncak di bagian sentral atau di daerah kornea. Pterygium mudah meradang dan bila terjadi iritasi, maka bagian pterygium akan berwarna merah. Pterygium sering mengenai kedua mata (Ilyas, 2009; Pope, 2009). Pterygium adalah suatu timbunan atau benjolan pada selaput lendir atau konjungtiva yang bentuknya seperti segitiga dengan puncak berada di arah kornea. Timbunan atau benjolan ini membuat penderitanya agak kurang nyaman karena biasanya akan berkembang dan semakin membesar dan mengarah ke daerah kornea, sehingga bisa menjadi menutup kornea dari arah nasal dan sampai ke pupil, jika sampai menutup pupil maka penglihatan akan terganggu. Suatu pterygium merupakan massa occular eksternal superficial yang mengalami elevasi yang sering kali terbentuk diatas konjungtiva perilimbal dan akan meluas ke permukaan kornea. Pterygium ini bisa sangat bervariasi, mulai dari yang kecil, jejas atrofik yang tidak begitu jelas sampai yang besar sekali, dan juga jejas fibrofaskular yang tumbuhnya sangat cepat yang bisa merusakkan topografi kornea dan dalam kasus yang sudah lanjut, jejas ini kadangkala bisa menutupi pusat optik dari kornea (Ilyas, 2009). Kondisi pterygium akan terlihat dengan pembesaran bagian putih mata, menjadi merah dan meradang. Dalam beberapa kasus, pertumbuhan bisa mengganggu proses cairan mata atau yang disebut dry eye syndrome. Sekalipun

12

jarang terjadi, namun pada kondisi lanjut atau apabila kelainan ini didiamkan lama akan menyebabkan hilangnya penglihatan (Ilyas, 2009).

D. ETIOLOGI Hingga saat ini etiologi pterygium masih belum diketahui secara pasti. Beberapa faktor resiko pterygium antara lain adalah paparan ultraviolet, mikro trauma kronis pada mata, infeksi mikroba atau virus. Selain itu beberapa kondisi kekurangan fungsi lakrimal film baik secara kuantitas maupun kualitas, konjungtivitis kronis dan defisiensi vitamin A juga berpotensi menimbulkan pterygium. Selain itu ada juga yang mengatakan bahwa etiologi pterygium merupakan suatu fenomena iritatif akibat pengeringan dan lingkungan dengan banyak angin karena sering terdapat pada orang yang sebagian besar hidupnya berada di lingkungan yang berangin, penuh sinar matahari, berdebu dan berpasir. Beberapa kasus dilaporkan sekelompok anggota keluarga dengan pterygium dan berdasarkan penelitian menunjukkan riwayat keluarga dengan pterygium, kemungkinan diturunkan autosom dominan (Caldwell, 2011; Laszuarni, 2009). Terdapat banyak perdebatan mengenai etiologi atau penyebab pterygium. Disebutkan bahwa radiasi sinar Ultra violet B sebagai salah satu penyebabnya. Sinar UV-B merupakan sinar yang dapat menyebabkan mutasi pada gen suppressor tumor p53 pada sel-sel benih embrional di basal limbus kornea. Tanpa adanya apoptosis (program kematian sel), perubahan pertumbuhan faktor Beta akan menjadi berlebihan dan menyebabkan pengaturan berlebihan pula pada sistem kolagenase, migrasi seluler dan angiogenesis. Perubahan patologis tersebut termasuk juga degenerasi elastoid kolagen dan timbulnya jaringan fibrovesikular, seringkali disertai dengan inflamasi. Lapisan epitel dapat saja normal, menebal atau menipis dan biasanya menunjukkan dysplasia (Anonimus, 2009). Terdapat teori bahwa mikrotrauma oleh pasir, debu, angin, inflamasi, bahan iritan lainnya atau kekeringan juga berfungsi sebagai faktor resiko pterygium. Orang yang banyak menghabiskan waktunya dengan melakukan aktivitas di luar ruangan lebih sering mengalami pterygium dan pinguekula dibandingkan dengan orang yang melakukan aktivitas di dalam ruangan. Kelompok masyarakat yang

13

sering terkena pterygium adalah petani, nelayan atau olahragawan (golf) dan tukang kebun. Kebanyakan timbulnya pterygium memang multifaktorial dan termasuk kemungkinan adanya keturunan (faktor herediter) (Anonimus, 2009). Pterygium banyak terdapat di nasal daripada temporal. Penyebab dominannya pterygium terdapat di bagian nasal juga belum jelas diketahui namun kemungkinan disebabkan meningkatnya kerusakan akibat sinar ultra violet di area tersebut. Sebuah penelitian menyebutkan bahwa kornea sendiri dapat bekerja seperti lensa menyamping (side-on) yang dapat memfokuskan sinar ultra violet ke area nasal tersebut (Anonimus, 2009). Teori lainnya menyebutkan bahwa pterygium memiliki bentuk yang menyerupai tumor. Karakteristik ini disebabkan karena adanya kekambuhan setelah dilakukannya reseksi dan jenis terapi yang diikuti selanjutnya (radiasi, antimetabolit). Gen p53 yang merupakan penanda neoplasia dan apoptosis ditemukan pada pterygium. Peningkatan ini merupakan kelainan pertumbuhan yang mengacu pada proliferasi sel yang tidak terkontrol daripada kelainan degenerative (Skuta, 2008). 1.

Paparan sinar matahari (UV) Paparan sinar matahari merupakan faktor yang penting dalam perkembangan terjadinya pterygium. Hal ini menjelaskan mengapa insidennya sangat tinggi pada populasi yang berada pada daerah dekat equator dan pada orang –orang yang menghabiskan banyak waktu di lapangan.

2.

Iritasi kronik dari lingkungan (udara, angin, debu) Faktor lainnya yang berperan dalam terbentuknya pterygium adalah alergen, bahan kimia berbahaya, dan bahan iritan (angin, debu, polutan). UV-B merupakan mutagenik untuk p53 tumor supressor gen pada stem sel limbal. Tanpa apoptosis, transforming growth factor-beta over produksi dan memicu terjadinya peningkatan kolagenasi, migrasi seluler, dan angiogenesis. Selanjutnya perubahan patologis yang terjadi adalah degenerasi elastoid kolagen

dan

timbulnya

jaringan

fibrovaskuler

subepitelial.

Kornea

menunjukkan destruksi membran Bowman akibat pertumbuhan jaringan fibrovaskuler.

14

Faktor risiko yang mempengaruhi antara lain : 1.

Usia Prevalensi pterygium meningkat dengan pertambahan usia banyak ditemui pada usia dewasa tetapi dapat juga ditemui pada usia anak-anak. Tan berpendapat pterygium terbanyak pada usia dekade dua dan tiga.

2.

Pekerjaan Pertumbuhan pterygium berhubungan dengan paparan yang sering dengan sinar UV.

3.

Tempat tinggal Gambaran yang paling mencolok dari pterygium adalah distribusi geografisnya. Distribusi ini meliputi seluruh dunia tapi banyak survei yang dilakukan setengah abad terakhir menunjukkan bahwa negara di khatulistiwa memiliki angka kejadian pterygium yang lebih tinggi. Survei lain juga menyatakan orang yang menghabiskan 5 tahun pertama kehidupannya pada garis lintang kurang dari 300 memiliki risiko penderita pterygium 36 kali lebih besar dibandingkan daerah yang lebih selatan.

4.

Jenis kelamin Tidak terdapat perbedaan risiko antara laki-laki dan perempuan.

5.

Herediter Pterygium diperengaruhi faktor herediter yang diturunkan secara autosomal dominan.

6.

Infeksi Human Papiloma Virus (HPV) dinyatakan sebagai faktor penyebab pterygium.

7.

Faktor risiko lainnya Kelembaban yang rendah dan mikrotrauma karena partikel-partikel tertentu seperti asap rokok , pasir merupakan salah satu faktor risiko terjadinya pterygium (Skuta, 2008).

15

E. EPIDEMIOLOGI Pterygium tersebar di seluruh dunia, tetapi lebih banyak di daerah iklim panas dan kering. Prevalensi juga tinggi di daerah berdebu dan kering. Faktor yang sering mempengaruhi adalah daerah dekat dengan ekuator yaitu daerah
View more...

Comments

Copyright ©2017 KUPDF Inc.
SUPPORT KUPDF