Program Preventif Kesehatan Gigi Dan Mulut
December 3, 2017 | Author: Rifka Zahrotun Nisa | Category: N/A
Short Description
Program Preventif Kesehatan Gigi Dan Mulut...
Description
MAKALAH TUGAS EPIDEMIOLOGI UMUM DAN ORAL
Disusun Oleh : LISA PRIHASTARI (1406505140)
PROGRAM MAGISTER ILMU KESEHATAN GIGI KOMUNITAS FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI UNIVERSITAS INDONESIA 2014
Tindakan Preventif untuk Kesehatan gigi dan Mulut Rakyat Indonesia A. Gambaran kesehatan gigi dan mulut di Indonesia (Riskesdas) Berdasarkan data Riskesdas tahun 2007 disebutkan bahwa prevalensi Nasional masalah Gigi-Mulut adalah 23,5%. Sebanyak 19 provinsi dari 33 provinsi (57,6 %) atau separuh dari seluruh provinsi di indonesia mempunyai prevalensi Masalah Gigi dan Mulut diatas prevalensi nasional, yaitu Nanggroe Aceh Darusalam, Jambi, Bengkulu, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Gorontalo, Sulawesi Barat, Maluku, Maluku Utara, dan Papua Barat. Sedangkan berdasarkan data Riskesdas tahun 2013 Prevalensi Nasional Masalah GigiMulut adalah 25,9% atau meningkat dari data riskesdas tahun 2007. Terdapat 16 provinsi yang memiliki prevalensi diatas prevalensi nasional yaitu Nanggroe Aceh Darusalam, DKI Jakarta, Jawa Barat, DIY Yogyakarta, jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Selatan, Sulawesi Utara, Sulawesi tengah, Sulawesi selatan, Sulawesi tenggara, Gorontalo, Sulawesi Barat, Maluku dan Maluku Utara. Prevalensi nasional Karies Aktif berdasarkan Riskesdas 2007 adalah 43,4%. Sebanyak 14 provinsi dari 33 provinsi (42%) memiliki prevalensi Karies Aktif diatas prevalensi nasional, yaitu Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Bangka Belitung, Di Yogyakarta, Jawa Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, dan Maluku. Angka DMF-T Nasional berdasarkan Riskesdas tahun 2007 sebesar 4,85 Ini berarti ratarata kerusakan gigi pada penduduk Indonesia 5 buah gigi per orang. Komponen yang terbesar adalah gigi yang dicabut/M-T sebesar 3,86 artinya dapat dikatakan rata-rata penduduk Indonesia mempunyai 4 gigi yang sudah dicabut atau indikasi untuk pencabutan. Terdapat 12 provinsi yang DMFT nya berada diatas rata-rata Nasional yaitu Sumatera Barat, Jambi, Jawa Tengah, DIY Yogyakarta, Jawa Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, Sulawesi Tenggara dan Maluku.
Gambar penyebaran indeks DMFT nasional (Kemenkes 2012, Rencana program pelayanan kesehatan gigi dan mulut)
Angka DMFT berdasarkan Riskesdas tahun 2013 sebesar 4,6 hanya mengalami sedikit penurunan dari tahun 2007. Terdapat 15 provinsi yang DMFT nya berada di atas rata- rata nasional yaitu Sumatera Barat, Jambi, Sumatera Selatan, Bangka Belitung, Kepulauan Riau, DIY Yogyakarta, Jawa Timur, Kalimantan barat, Kalimantan Tengah, kalimanatan Selatan, Kalimantan timur, Sulawesi Utara, Sulawesi tengah, Sulawesi selatan, dan Sulawesi barat. Dari data- data diatas kita dapat menarik beberapa kesimpulan yaitu pertama, untuk data prevelensi masalah kesehatan gigi dan mulut yang diketahui di peroleh dari hasil wawancara dengan masyarakat menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia tidak sampai seperempat populasi yang merasa bahwa kesehatan gigi dan mulut mereka bermasalah sedangkan hal ini bertentangan dengan data prevalensi karies aktif (D>0) yang menunjukkan hampir separuh populasi mempunyai karies aktif dengan rata-rata indeks DMFT yang masih diatas 4 yaitu masih masuk kategori tinggi berdasarkan kriteria WHO. Rendahnya angka keluhan masyarakat terhadap kesehatan gigi dan mulut bisa disebabkan karena beberapa faktor yaitu karena masyarakat masih mengabaikan kesehatan gigi dan mulutnya yaitu hanya berkunjung ke dokter gigi jika sudah merasakan sakit dan jarang memeriksakan kesehatan gigi dan mulutnya secara rutin, faktor penyebab lainnya yaitu masih rendahnya pengetahuan dan tingkat pendidikan masyarakat Indonesia tentang penyakit gigi dan mulut, banyak penelitian yang menunjukkan bahwa adanya hubungan yang signifikan antara pendidikan dengan karies gigi dan penyakit periodontal. ( Khamrco, 1999;PE Petersen, 2005; A Kumar,2009) Masyarakat dengan pendidikan yang lebih tinggi lebih perduli dan lebih sering memeriksakan kesehatan gigi dan mulutnya dibandingkan masyarakat dengan tingkat pendidikan yang rendah.( Egri M,2004; Kristina S,2014). Faktor lain yang ikut berpengaruh adalah kurangnya program deteksi dini penyakit kesehatan gigi dan mulut yang dilakukan
oleh pusat pelayanan kesehatan masyarakat (Puskesmas). Dokter gigi atau perawat gigi yang ada di Puskesmas selama ini jarang menjemput bola dengan melakukan survey atau skrining data kesehatan gigi dan mulut di wilayah kerjanya dan cenderung menunggu secara pasif kunjungan masyarakat. Akibatnya banyak keluhan kesehatan masyarakat terhadap penyakit gigi dan mulut yang tidak tersalurkan dan seolah-seolah seperti gunung es, yaitu yang muncul dipermukaan lebih sedikit dibandingkan kenyataan yang ada dilapangan. Kesimpulan lain yang bisa diambil dari data diatas adalah bahwa permasalahan kesehatan gigi dan mulut telah meluas hingga separuh dari seluruh provinsi yang ada di Indonesia dan terlihat adanya provinsi-provinsi yang perlu mendapatkan perhatian lebih dari pemerintah karena memiliki prevalensi karies aktif dan indeks DMFT yang tetap tinggi dari tahun 20072013. Provinsi-provinsi tersebut untuk daerah sumatera yaitu provinsi jambi dan sumatera Barat, untuk daerah jawa yaitu provinsi DIY Yogyakarta dan Jawa Timur, hampir seluruh provinsi di Kalimantan dan provinsi di Sulawesi memiliki permasalahan kesehatan gigi dan mulut yang kompleks. Untuk mencapai target WHO tahun 2020 yaitu terutama target untuk menurunkan indeks DMFT diperlukan program preventif dibidang kesehatan gigi dan mulut yang komprehensif yaitu program yang dapat memutus faktor-faktor penyebab penyakit kesehatan gigi dan mulut terutama karies gigi, program yang dapat mengendalikan faktor-faktor yang berpengaruh pada penyakit kesehatan gigi dan mulut, program preventif yang sesuai dan dapat diterapkan dengan demografi, kebudayaan dan sistem yang ada di Indonesia serta mampu menyentuh ke berbagai lapisan masyarakat terutama masyarakat kelas bawah. Daftar pustaka: 1. A Kumar, M virdi, K Veeresha, V Bansal. Oral health status & treatment needs of rural population of Ambala, Haryana, India. The Internet Journal of Epidemiology. 2009 Volume 8 Number 2. 2. Egri M, Gunay O. Association between some educational indicators an dental caries experience of 12 year old children in developing countries : an ecological approach. Community Dent Health 2004. Sep,21(3):227-9. 3. Kementerian Kesehatan RI. Litbang Dinkes. Riset kesehatan daerah 2007 4. Kementerian Kesehatan RI. Litbang Dinkes. Riset kesehatan daerah 2013 5. Khamrco TY. Assessment of periodontal disease using the CPITN index in a rural population in Ninevah. Iraq Eastern Mediterranean Health Journal 1999;5:3: 549-55 6. Kristina saldunaite et al. The role of parental education and socioeconomic statutes in dental caries prevention among Lithuania children. J.medici.2014.07.003 vol 50(3): 151161 7. P.E. Petersen. Sociobehavioral risk factors in dental caries-internaional perspective. Community Dent Oral epidemiol, Vol 33, 2005,pp. 274-279
B. Program dunia dan Asia Tenggara Target Dunia terbaru di bidang kesehatan gigi dan mulut dan program-program preventif untuk mencapainya diprakasai oleh organisasi kesehatan dunia yaitu terutama oleh WHO, FDI worl dental federation , dan IADR (International Association for Dental Research) pada tahun 2003 telah mencanangkan “Global Goals for oral Health 2020 yaitu dengan meminimalkan dampak dari penyakit mulut dan kraniofasial dengan menekankan pada upaya promotif dan mengurangi dampak penyakit sistemik yang bermanifestasi di rongga mulut dengan diagnosa dini, pencegahan dan manajemen yang efektif untuk penyakit sistemik. Disamping itu pada The Sixtieth World Health Assembly (WHA- 60) tahun 2007 disusun Resolusi WHA 60.17 tentang kesehatan gigi dan mulut yaitu: Rencana aksi promosi kesehatan dan pencegahan penyakit terintegrasi. Dimana target ini tidak lagi ditentukan kuantitas angkanya seperti pada tahun 1995 melainkan disesuaikan dengan kebijakan dan keadaan di setiap Negara atau wilayah.(kemenkes, 2012) Adapun target WHO tersebut terlampir dalam makalah tugas ini. Sedangkan target WHO sebelunya untuk tahun 2000 adalah sdibawah ini :
Gambar Target WHO untuk tahun 2000
Program pencegahan kesehatan gigi dan mulut yang di buat oleh WHO mengedepankan pentingnya pengendaliaan faktor-faktor sosio-environmental karena kesehatan gigi dan mulut merupakan penyakit multifaktorial. Bagan mengenai faktor-faktor modifikasi resiko menurut WHO ada di bawah ini. (Petersen, 2003)
Gambar Pendekatan Faktor Resiko dalam upaya Promosi Oral health
Resiko relative yang tinggi dari penyakit rongga mulut berhubungan dengan determinan sosiokultural seperti kondisi kemiskinan, pendidikan yang rendah, ikatan tradisi, keyakinan dan budaya yang mendukung kesehatan mulut. Selain juga faktor akses dan fasilitas dari sistem pelayanan kesehatan yang dapat mengkontrol penyakit mulut. Selain itu faktor perilaku juga sangat berpengaruh seperti praktek oral Hygiene sehari-hari, konsumsi gula (jumlah, frekuensi intake dan jenis), juga kebiasaan penggunaan tembakau dan konsumsi alkohol. Beberapa perilaku tersebut bahkan bukan hanya memberikan efek pada status kesehataan mulut tetapi juga berpengaruh terhadap kualitas hidup. WHO Oral Health Programme menngunakan filosofi "think globally - act locally". Pengembangan program untuk promosi oral health dalam Negara-negara target berfokus pada : 1. Identification of health determinants; mechanisms in place to improve capacity to design and implement interventions that promote oral health. 2. Implementation of community-based demonstration projects for oral health promotion, with special reference to poor and disadvantaged population groups. 3. Building capacity in planning and evaluation of national programmes for oral health promotion and evaluation of oral health promotion interventions in operation. 4. Development of methods and tools to analyse the processes and outcomes of oral health promotion interventions as part of national health programmes. 5. Establishment of networks and alliances to strengthen national and international actions for oral health promotion. Emphasis is also placed on the development of networks for exchange of experiences within the context of the WHO Mega Country Programme.
WHO menyebutkan beberapa aplikasi pencegahan penyakit mulut terutama karies dengan cara penggunaan fluoride bisa melalui ar minum, garam, susu, obat kumur atau pasta gigi, pemberian dari ahli professional, atau kombinasi pasta gigi berfluoride dengan sumber yang lain. Khususnya untuk Negara-negara berkembang, WHO menekankan pentingnya pemakaian dan pemakaian luas dari pasta gigi berfluoride.WHO juga menekankan pentingnya program kontrol diet dan nutrisi terutama konsumsi gula dan pemanis buatan. Program kontrol diet ini harus dilakukan dimulai dari fasilitas kesehatan, sekolah-sekolah, industry makanan, supermarket, dan tentunya lewat legislative (peraturan perundangan) dan kebijakan-kebijakan dengan selalu melakukan monitoring, surveilens dan penelitian. Program lainnya yaitu tentang pengontrolan tembakau terhadap penyakit mulut terutama kanker dan efek sampingnya dan penekanan program ini harus dilakukan oleh para dokter gigi sebagai oral health professional yang senantiasa berhadapan langsung dengan masyarakat di berbagai umur. Pada Negara-negara berkembang harus diimplementasikan program pencegahan kanker yang salah satu caranya dengan memperbanyak skrining dan program deteksi dini. Sedangkan dalam naskah Strategy for oral health in South East Asia 2013-2020, WHO menyebutkan bahwa prevalensi karies gigi pada anak-anak usia sekolah di Asia Tenggara mencapai 70-95%, untuk penyakit periodontal yang severe dan advance pada kelompok umur 35-44tahun prevelensinya mencapai 45% dan insidens Squamous Cell Carcinoma sebagai urutan nomer delapan kanker terbanyak di dunia di Asia Tenggara merupakan insidens tertinggi dibandingkan region WHO lainnya. Oleh karena itu diperlukan suatu strategi peningkatan status kesehatan mulut yang dapat mengatasi permasalahan tersebut namun juga sesuai dengan ciri khas dari Negara-negara anggota di Asia Tenggara. Di beberapa wilayah di Asia tenggara disebutkan memiliki kadar fluoride tinggi di air minumnya, di daerah ini insindens dan prevalensi fluorosis justru meningkat dan berbagai gejala fluorosis ditemukan sesuai dengan exposure dan individual intake. Kebijakan kesehatan masyarakat tentunya harus melakukan pengukuran dan mapping kadar fluor disetiap are di negaranya, dan kemudia melakuka defluoridasi untuk wilayah yang kadar fluornya tinggi. Berdasarkan konferensi Oral Health through Fluoride for China and Southeast Asia, jointly convened by WHO, FDI, IADR and the Chinese Stomatological Association in 2007, konsesus final memformulasikan di the Beijing Declaration bahwa “fluoride toothpaste remains the most widespread and significant form of fluoride used globally and the most rigorously evaluated vehicle for fluoride use. […] Fluoride toothpaste is safe to use irrespective of low, normal or high fluoride exposure from other sources.” Artinya untuk wilayah asia pemakaian pasta gigi berfluoride diutamakan dan menjadi tanggug jawab pemerintah untuk mensosialisasikan manfaat dan pemakaiannya pada warga negaranya. Dalam naskah ini juga disarankan perlunya menambah jumlah dan menyebarkan tenaga kesehatan gigi di wilayah-wilayah perkotaan dan pedesaan dalam Negara dan harus menjadikan hal ini sebagai rencana kesehatan nasional. Peningkatan jumlah tenaga kesehatan
gigi baik dokter gigi maupun perawat gigi juga harus disertai dengan pelatihan-pelatihan yang berkesinambungan dan terintegrasi oleh pemerintah atau organisasi yang terkait. Program lainnya yaitu memasukkan program promosi dan pencegahan di sekolah-sekolah seperti lewat kurikulum dan pola-pola kebiasaan sehat, contoh program ini telah diterapkan di Negara Filipina melalui program fit for school dimana siswa setiap hari diminta mencuci tangan bersama dan sikat gigi bersama, program-program I sekolah ini harus terintegrasi dengan sistem pusat kesehatan masyarakat yang ada agar lebih efektif dan efisien, selain itu sekolah juga harus menyediakan lingkungan yang sehat dan bersih untuk mencerminkan dari pelaksanaan sistem kesehatan yang utuh. Jika melihat program-program pencegahan yang ada di Negara-negara asia tenggara memiliki perbedaan dan ciri khas masing-masing. Singapura adalah Negara asia tenggara pertama yang menerapkan sistem water fluoridasi sejak tahun 1960-an dan sudah 100% wilayahnya terpenuhi, hal ini tentunya dikarenakan Singapura termasuk Negara maju dengan sistem perekonomian yang kuat dan luas Negara yang terbatas, sehingga menggunakan water fluoridation merupakan pilihan tepat, negara lainnya yang telah menggunakan 100% water fluoridation adalah Brunei Darussalam. Berbeda halnya dengan Malaysia yang menerapkan fluoridasi air minum sejak tahun 1972 dan sudah 50% wilayahnya mendapatkan fluoridasi air, Vietnam sudah menerapkan 20% wilayahnya sedangkan Thailand sejak tahun 1992 sudah menerapkan milk fluoridation . Filipina tidak menggunakan water fluoridation karena banyak wilayahnya yang memiliki kadar fluor yang tinggi sehingga negara ini menggunakan metode yang berbeda yaitu masih menggunakan pasta gigi berfluoride seperti halnya di Indonesia, namun pemerintah Philipina sedang merencanakan program fluoridasi air minum untuk kedepannya.
Gambar Tabel status karies gigi Negara Asean.
Daftar Pustaka : 1. World Health Organization. Global Oral Health Data Bank. Geneva: World Health Organization, 2002. 2. World Health Organization. WHO Oral Health Country/Area Profile. (Available from the Internet on the Internet from: http://www.whocollab.od.mah.se/index.html). 3. Poul Erick Petersen, World Health Organization. 2003. The world Oral Health Report : Continuous improvement of oral health in the 21st century- the approach of the WHO Global Oral Health Programme) 4. www.fluoridealert.org 5. Oral health division, Ministry of Health Malaysia. www.ohd.moh.gov.my 6. Departemen of Health of Ministry of public health Thailand. www.eng.anamai.moph.go.th 7. Departemen of health Philippines. www.doh.gov.ph
C. Program Kesehatan Gigi dan Mulut Pemerintah Indonesia Berdasarkan data dari Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 2001 skor DMFT mencapai rata-rata 5,26 dengan Performance treatment index (PTI) yang menunjukkan tingkat perawatan gigi yang mengalami karies gigi pada kelompok umur 12-18 tahun terlihat sangat rendah yaitu hanya mencapai sekitar 4-5% sedangkan secara keseluruhan kasus yang memerlukan penumpatan dan atau pencabutan pada usia ini sebesar 72,4%-82,5%. Sedangkan dari data Risksesdas 2007 memperlihatkan komponen D (decay atau lubang) 1,41,7; komponen M (Missing atau hilang karena karies) 3,2-3,8; dan komponen F (Filling atau Tumpatan) 0,2-0,1. Ini berarti bahwa gigi karies yang seharusnya ditumpat jauh lebih kecil yaitu rata-rata 0,2 gigi di kota dan rata-rata 0,1 gigi dipedesaan. Sebaliknya, gigi yang mengalami karies rata-rata 3,2 dan 3,8 gigi untuk kota dan desa, dan bila dibiarkan tanpa adanya perawatan akan berdampak pada terjadinya infeksi pulpa dan infeksi dentoalveolar yang menyebabkan gigi kehilangan gigi dalam keadaan gangrene radiks yang masih tertinggal di dalam mulut maupun yang sudah di ekstraksi yaitu rat-rata 3,2-3,8 gigi. Skor rata-rata komponen D (Decay) yang belum dirawat adalah 1,4 dan 1,7 untuk kota dan desa, serta berpotensi untuk menjadi komponen M atau Missing. Ini berarti effective demand sangat rendah (6,9%) dan kesejangan antara need (kebutuhan) dan demand ini terjadi pada semua golongan umur. Sangat tingginya komponen M menandakan terlambat penanganan. Dari uraian diatas menunjukkan bahwa sebagian besar kasus karies gigi belum memeproleh perawatan dan dapat diasumsikan adanya kesenjangan antara kebutuhan masyarakat dengan perawatan yang berhasil diperoleh. Hal ini dapat disimpulkan bahwa upaya pelayanan kesehatan gigi di Indonesia belum efektif dalam menanggulangi masalah kesehatan gigi dan mulut di Indonesia.(Rini Zaura, 2009) Selama ini upaya kesehatan gigi dikenal sebagai upaya yang mahal namun efektivitasnya dalam menurunkan masalah kesehatan gigi di masyarakat masih diragukan. Berbeda dengan upaya pencegahan penyakit gigi dan mulut yang murah dan relative mudah. Penyakit gigi
dan mulut bila dibiarkan akan menjadi mahal dan merupakan salah satu penyakit yang paling mahal untuk dirawat dan disembuhkan yang kemudian akan menjadi beban Negara dalam biang ekonomi. (kandelman, 2012) Oleh karena itu upaya penanggulangan dan pencegahan semakin penting untuk dilakukan dengan efektif dan efeisien mengingat Indonesia merupakan Negara berkembang dengan jumlah penduduk yang besar namun finansialnya terbatas. Di Indonesia, pelayanan kesehatan gigi dan mulut belum merata dan belum sepenuhnya dapat diakses oleh sebagian besar penduduk terutama di daerah terpencil. Departemen Kesehatan dalam Dokumen Kebijakan Nasonal Kesehatan Gigi dan Mulut 2010-2025 menjelaskan bahwa, pada kurun waktu 2000-2009 terjadi struktur pengorganisasian upaya kesehatan gigi mulut yang tidak jelas yang menyebabkan perencanaan program pelayanan kesehatan gigi tidak tercantum pada strategi nasional departemen kesehatan. hal ini tentunya berdampak pada tidak adanya catatan masalah kesehatan gigi di Indonesia sehingga keadaan kesehatan gigi di Indonesia belum dapat digambarkan secara utuh, sehingga yang dilaporkan pada dokumen profil Kesehtan Indonesia 2007 hanya satu variable yaitu prosentase penduduk yang mengeluh sakit gigi sebesar 5,9% sebagai rata-rata Nasional. Hal ini memperlihatkan bahwa hingga saat ini upaya pembangunan kesehatan gig dan mulut belum mendapatkan prioritas yang memadai. Data terakhir berdasarkan hasil Rifaskes tahun 2011 mengenai Jumlah sarana pelayanan kesehatan gigi dan mulut menunjukkan masih belum memadai yaitu Persentase Puskesmas yang mempunyai 60 – 79 persen jenis alat poliklinik gigi yang di gunakan adalah 33,8 persen; Persentase Puskesmas yang mempunyai 40 – 59 persen jenis alat poliklinik gigi adalah 23,5 persen; Persentase Puskesmas yang mempunyai 20 – 39 persen jenis alat poliklinik gigi adalah 7,8 persen; Persentase Puskesmas yang mempunyai kurang dari 20 persen jenis alat poliklinik gigi adalah 19 persen. Sedangkan sumber daya pelaksana pelayanan kesehatan gigi dan mulut berdasarkan hasil rekapitulasi tenaga dokter gigi/dokter gigi spesialissejak 2005 sampai September 2012 oleh Konsil Kedokteran Gigi Indonesia yaitu 22.941 dokter gigi dan 1.924 dokter spesialis (KKI, 2012). Dengan Rasio dokter gigi saat ini 8 : 100.000 penduduk, menurut Kementerian Kesehatan 11 : 100.000 penduduk (target 2010), sedangkan rasio ideal dokter gigi di luar negeri yaitu 1 : 5.000 penduduk. Untuk dokter gigi spesialis saat ini 1 : 154.000 penduduk sedangkan rasio ideal di luar negeri (negara-negara maju) 1 : 20.000 penduduk. Jumlah perawat gigi yang tercatat di Persatuan Perawat Gigi Indonesia (PPGI) sebanyak 15.129 orang (PPGI, 2009). Rasio perawat gigi terhadap jumlah penduduk adalah 1 : 23.000, sedangkan target 2010 perawat gigi per 100.000 penduduk 1 perawat gigi 16.000 penduduk. Jumlah tehnisi gigi yang tercatatat di Persatuan Teknisi Gigi Indonesia (PTGI) berjumlah sebanyak 3.423. (PTGI, 2009). Berdasarkan hasil Riset Fasilitas Kesehatan tahun 2011, Dokter Gigi bekerja di Puskesmas, yang dikaji dari 8980 Puskesmas terdapat 60,6 persen Puskesmas memiliki tenaga Dokter Gigi, dan masih terdapat 39,4 persen Puskesmas yang tidak memiliki tenaga Dokter Gigi. Sementara untuk keberadaan perawat gigi, jumlahnya adalah 9599 orang dari
8980 puskesmas. Secara nasional, ada 48,2 persen dari Puskesmas yang ada dokter gigi dan perawat gigi, dan 17,6 persen Puskesmas yang tidak ada kedua tenaga ini; selebihnya adalah variasi dari 12,4 persen Puskesmas ada dokter gigi, tapi tidak ada perawat gigi, serta 21,8 persen Puskesmas ada perawat gigi, tapi tidak ada dokter gigi Dalam buku Rencana Pelayanan program kesehatan gigi dan mulut yang dibuat oleh Kemenkes tahun 2012 digambarkan perencanaan program beserta target indikator pencapaiannya untuk tahun 2020. Adapun program promosi dan pencegahan yang dibuat kementerian kesehatan terlampir dalam makalah ini. Program, kegiatan serta sasaran pelayanan kesehatan gigi dan mulut dilakukan melalui :
D. Program yang cocok untuk Indonesia Jika saya diminta ibu menteri kesehatan untuk membuat program promotif dan preventif bagi kesehatan gigi dan mulut yang sesuai dengan kondisi bangsa Indonesia, maka saya akan melakukan : 1. Dari aspek promotif Promotif Kesehatan dapat kita lihat dalam konteks Pendekatan Individual maupun Pendekatan Komunitas. Promotif Kesehatan dalam konteks Pendekatan Individual dapat dilihat dari aspek Pasien itu sendiri sebagai individu maupun dari segi Dental Profesional dimana Dokter Gigi maupun Perawat Gigi sebagai pelaksana. Promosi Kesehatan bagi Pasien berupa Rencana Diet, Kebutuhan Pasien akan Pelayanan Preventif dan Kunjungan Pemeriksaan Kesehatan Gigi berkala. Sedangkan Upaya Promotif dari Dental Profesional berupa Edukasi Pasien, Program Kontrol Plak, Konseling Diet, Recall Reinfocement, Test Aktivitas Karies. Sedangkan Upaya Promotif dalam konteks Pendekatan Komunitas berupa Program DHE, Penelitian Promotif, Kebijakan dan Undang-undang. Upaya Promotif dalam Konteks Pendekatan Komunitas membutuhkan interaksi aktif antara beberapa level dan beberapa organisasi dan organisasi professional kesehatan sebagai komponen penting. Kampanye kesehatan yang dilakukan sering melibatkan promosi kesehatan dan hubungan masyarakat contohnya kampanye lewat mass media (televisi). Dilaporkan juga, meningkatnya penerimaan publik dari nilai kesehatan mulut yang baik dapat meningkatnya pemanfaatan layanan kesehatan gigi. Agar dapat mudah diterima seyogyanya promosi kesehatan gigi dan mulut harus mengambil pendekatan yang lebih luas untuk menutup kesenjangan kesehatan gigi antara strata sosial. Promosi kesehatan gigi dan mulut harus mencakup pendekatan faktor risiko umum, yang membawa kesehatan gigi dan mulut ke mainstream kesehatan umum (misalnya, tentang penggunaan tembakau, diet, dan kebersihan) juga terkait untuk kesehatan gigi dan mulut. Dental Health Education atau Pendidikan Kesehatan Gigi dan Mulut menerapkan prinsip-prinsip bahwa masyarakat penerima pesan pendidikan kesehatan harus dapat menafsirkan pesan-pesan tersebut melalui nilai, keyakinan dan sikap dari mereka sendiri. Agar Pendidikan Kesehatan Gigi dan Mulut sukses perlu memaksimalkan keterlibatan dari peserta. Program pendidikan kesehatan gigi dapat meningkatkan pengetahuan dan untuk sementara meningkatkan kebersihan mulut tetapi belum menunjukkan efek langsung pada karies. Perubahan sikap ditunjukkan ketika terjadi keterlibatan peserta dalam pendidikan kesehatan, dan apa yang diajarkan harus kompatibel dengan adat dan budaya lokal serta dengan pengetahuan ilmiah. Aspek dari penerima pendidikan untuk mempertimbangkan program pendidikan kesehatan: Faktor Sociodemografi (misalnya, usia, jenis kelamin, ras / budaya, pendapatan)
Nilai, sikap, keyakinan Kesiapan untuk mengubah perilaku Pendidikan Aspek lingkungan sosial untuk mempertimbangkan Program Pendidikan kesehatan: Norma-norma budaya (misalnya, berapa banyak penduduk merokok, berapa banyak orang menggunakan dental floss) Nilai-nilai budaya / harapan (misalnya, keyakinan bahwa gigi anak-anak selalumemiliki bintik-bintik coklat / karies) Bagaimana lingkungan mendukung untuk perubahan perilaku Cara yang mungkin untuk menawarkan pendidikan / informasi Program pendidikan kesehatan tidak hanya terbatas pada peristiwa tetapi aspek pendidikan saat kegiatan kuratif, preventif, atau promosi kesehatan. Pemahaman multifaktorial penyebab mengenai penyakit gigi dan interaksinya mereka telah meningkatkan penekanan proses pendidikan untuk membantu dalam mencapai hasil kesehatan yang diinginkan. Telah didokumentasikan dalam kedokteran gigi dan kesehatan lainnya informasi atau pengetahuan kesehatanyang benar saja tidak selalu mengarah pada perilaku kesehatan yang diinginkan.19 Proses perubahan tingkah laku menekankan pada pendidikan dengan menggunan pendekatan persuasif dan sugestif. Pendekatan persuasif dan sugestif dalam proses penyuluhan kesehatan gigi merupakan salah satu alternatif untuk mencapai hasil yang memuaskan. Pendekatan Sugestif berupa Pemberian penjelasan tidak secara logis, cenderung memberi penekanan dan arahan melalui perasaan dan emosi dengan cara membujuk orang lain secara langsung/tidak langsung dengan suatu ide atau kepercayaan yang meyakinkan. Penyuluhan secara sugestif relatif cepat, sangat berhasil pada masyarakat yang pendidikan dan ekonominya kurang baik. Kelemahannya : mudah melupakan hasil penyuluhan yang telah dilaksanakan. Agar dapat berhasil dengan baik, perlu dibantu dengan alat peraga edukatif yang merangsang emosi manusia. Pendekatan Persuasif menurut Simon,1976 menyatakan persuasif adalah rancangan komunikasi yang berkaitan dengan pendidikan pada manusia untuk mempengaruhi orang lain dengan memodifikasi kepercayaan, nilai-nilai atau perilaku secara fakta dan logika. Pendekatan Persuasif menurut Gondhoyoewono, 1991 dasar pendekatan persuasif adalah menunjukkan suatu fakta, menguraikan sebab akibat, menunjukkan konsekwensi suatu masalah, menjelaskan mengapa harus melakukan perubahan perilaku yang berkaitan dengan topik masalah dengan peninjauan dari berbagai segi pandang. Keunggulan pendekatan persuasif adalah perubahan perilaku menetap, lebih berhasil dalam mengatasi masalah yang berkaitan dengan logika dan perasaan, merasa puas karena ikut berpartisipasi dalam pemecahan masalah Kelemahannya adalah memerlukan waktu yang terlalu banyak, pada masyarakat
dengan pendidikan dan sosial ekonomi rendah sulit untuk berdialog dan mengerti, dan pada masyarakat dengan emosional tinggi sulit berhasil. Program pendidikan kesehatan mulut berbasis sekolah, menurut definisi, ditujukan untuk kelompok yang lebih kohesif daripada di masyarakat luas. Apapun pendekatan yang akan diadopsi, itu akan memerlukan rencana aksi, dengan keterlibatan yang tepat semua pihak yang berkepentingan dan batas yang jelas tanggung jawab. Komponen dasar dari program berbasis sekolah untuk promosi kesehatan mulut telah digambarkan sebagai berikut: - Pelayanan kesehatan mulut, berarti prosedur pencegahan, pemeriksaan kesehatan dan pengobatan, rujukan, dan tindak lanjut. - Instruksi Kesehatan, untuk mencakup topik-topik kesehatan pribadi dan masyarakat. - Lingkungan yang sehat, dengan memperhatikan semua aspek dari lingkungan sekolah yang dapat mempengaruhi kesehatan siswa. Berdasarkan Penelitian Blake et all, mengenai Intervensi Edukasi yang berbasis Sekolah menunjukkan Pengetahuan gigi anak-anak meningkat secara signifikan setelah intervensi, dengan perbaikan jelas pada langsung tindak lanjut dan dibertahan 6 minggu kemudian. Penelitian telah menunjukkan bahwa fundamental kesalahan dalam banyak kegiatan pendidikan kesehatan gigi dan mulut adalah asumsi bahwa peningkatan suatu pengetahuan kesehatan gigi dan mulut pasien akan membantu mengubah perilaku perawatan gigi. Pendekatan ini, didasarkan pada model hanya kognitif, mengasumsikan: Pengetahuan Sikap Perubahan perilaku. Jika hubungan ini benar, setiap Program pendidikan kesehatan yang meningkatkan Tingkat pengetahuan gigi peserta dan akan menghasilkan perubahan perilaku yang meningkatkan status kesehatan mulut atas jangka waktu yang panjang. Sampai saat ini, tidak ada evaluasi program pendidikan kesehatan mulut dengan hasil tersebut. Untuk mengembangkan pendidikan kesehatan mulut yang efektif, pendidik harus menyadari kekuatan interaksi pada peserta didik. Pendidik harus terlebih dahulu menilai pelajar atau peserta didik untuk mengembangkan dan menerapkan rasional program pendidikan yang akan menghasilkan perubahan perilaku yang berkelanjutan. Upaya Promotif dari Dental Profesional berupa Edukasi Pasien. Dental Health Education Pada Pasien dapat dilakukan dengan cara berikut ini: - Menunjukkan adanya plak dengan larutan disklosing Pada tahap ini, gigi-gigi dapat diulasi dengan larutan disklosing dan plak yang melekat pada gigi diperlihatkan pada pasien. Dengan cara ini, daerah-daerah yang terlewat dapat diperlihatkan. Plak dibuang dari gigi dengan sisi probe untuk menunjukkan betapa mudah untuk menghilangkan plak secara mekanis. - Memotivasi pasien melalui penjelasan Sifat plak dan gaya perlekatannya pada gigi. Peranan plak pada keries dan penyakit periodontal juga harus diterangkan.
Dengan penjelasan tersebut, pasien tanpa diterangkan cara menyikat gigi, tetap akan dapat diperbesar motivasinya. - Mengurangi pembentukan plak Setelah memperlihatkan adanya plak, maka dokter gigi bertanggung jawab untuk menghilangkannya, meyakinkan pasien bahwa ia dapat menghilangkannya dan mencegah terbentuknya plak dan memperbaiki anatomi mulut dan gigi, untuk menghalangi pertumbuhan dan penimbunan bakteri. - Meng-edukasi Pasien tentang sikat gigi dan manfaatnya, bagaimana pemilihan sikat gigi, metode penyikatan (Teknik roll, Teknik bass, Teknik charter). Pasta gigi, Alat-alat pembersih yang lain (Dental floss dan teknik penggunaan floss), Sikat interdental , Cara membersihkan lidah. melarang pengunaan tusuk gigi, - Pemeriksaan. Setelah dilkakukan pengajaran, pasien diminta untuk menyikat giginya dengan cara tersebut, dan dokter gigi atay hygienist dapat membantu dengan menempatkan sikat pada posisi yang tepat dan menuntut gerak tangan atau lengan. Setelah ini, dapat digunakan larutan disklosing dan diperlihatkan jumlah plak yang masih tersisa. - Prosedur yang sama juga harus dilakukan pada kunjungan berikut kira-kira 1 minggu kemudian, dengan menggunakan discklosing plak untuk menunjukkan daerah-daerah yang terlewatkan. Harus tetap diberikan penjelasan lebih lanjut, diperlukan waktu 3 – 4 kunjungan agar pasien benar-benar menguasai cara pengkontrolan plak. Tabel . Faktor yang berkontribusi pada penilaian resiko karies. Caries disease indicators Clinical o Cavitations into dentin on clinical or radiographic examination o White spots on smooth enamel surfaces o Restorations placed in the last 3 years due to caries activity Radiographic o Radiographic enamel interproximal lesions Caries Risk Factors Clinical o Deep pits and fissures o Root exposure o Orthodontic appliances Behavioral o Visible heavy plaque on teeth o Frequent (>3× daily) snacking between meals o Diet high in fermentable carbohydrates o Recreational drug use Salivary
o Salivary hypofunction (< 1 mg/mL unstimulated) o Saliva-reducing factors (medications/radiation/systemic) Microbiological o Medium or high Mutans streptococci and Lactobacillus species bacteria counts by culture Caries Protective Factors Sealants o Sealants present on permanent molar teeth Fluoride o Lives/works/school in a fluoridated community o Fluoride toothpaste at least once daily Topical supplements o Fluoride mouth rinse (0.05% NaF) daily o 5,000 ppm F fluoride toothpaste daily o Fluoride varnish in last 6–12 months o Office fluoride topical in last 6–12 months o Calcium and phosphate supplement paste daily during the last 6–12 months Antimicrobial agents o Chlorhexidine prescribed/used daily for 1 week in the last 6–12 months o Xylitol gum/lozenges 4 times daily in the last 6–12 months Salivary o Adequate saliva flow (≥ 1 mL/min unstimulated)
Selain mengedukasi mengenai cara pengkontrolan plak dengan sikat gigi, pasien juga harus diingatkan bahwa penyebab karies adalah multifaktorial, sehingga diperlukan Kunjungan pemeriksaan gigi yang berkala. Dokter gigi juga harus mampu melakukan Konseling Diet bagi pasiennya, Pemanggilan berkala untuk penguatan (Recall Reinfocement) dan Test Aktivitas/ Resiko Karies. Test Resiko Karies dilakukan untuk mengetahui factor resiko apa yang dominan pada pasien. Faktor yang berkontribusi pada Pemeriksaan Resiko Karies dapat dilihat pada tabel. Pemeriksaan Faktor Resiko Karies dapat berupa pemeriksaan intra oral dengan melihat banyaknya karies yang ada dan resiko karies yang akan datang dari anatomi gigi dengan pit dan fissure yang dalam, adanya akar yang terekspos, atau pemakaian alat orthodontik. Perilaku menjaga kebersihan gigi terlihat dari plak yang banyak pada permukaan gigi. Evaluasi pH saliva melalui pengukuran pH saliva, laju aliran saliva dan pen ggunaan obat yang dapat mempengaruhi sekresi saliva. Evaluasi Frekuensi ngemil diantara jam makan dan konsumsi makanan manis. Evaluasi dengan kultur bakteri streptococcus mutan dan Lactobacilus juga dapat dilakukan. Edukasi kepada Pasien sebaiknya dilakukan menurut dengan faktor resiko yang ada pada pasien tersebut,
sehingga rencana promotif dan preventif dapat tepat dilaksanakan sesuai dengan kebutuhan pasien. 2. Dari aspek preventif Preventif dentistry adalah sebagai keseluruhan tindakan pelayanan kedokteran gigi yang di dalam tindakan pelayanan tersebut melibatkan peran perorangan maupun komunitas dalam upaya untuk meningkatkan status kesehatan gigi dan mulut. Adapun program preventif yang cocok untuk Indonesia adalah 1. Melakukan pendataan kadar fluor di seluruh Indonesia kemudian melakukan ujicoba water fluridasi pada beberapa wilayah dengan kadar dibawah standar 2. Program pasta gigi berfluoride untuk daerah-daerah pedalaman yang masih menggunakan bahan-bahan alam untuk menyikat gigi, jika dianggap pasta gigi bertentangan dengan keyakinan dapat menggunakan siwak yang juga mengandung fluoride atau bahan alam lain yang mengandung fluorie 3. Milk fluoridation di sekolah-sekolah seperti yang dilakukan oleh Negara Thailand 4. Aplikasi topical fluor oleh dokter gigi pada kasus dengan indikasi tertentu 5. Menjalankan program konseling dan kontrol diet terutama makanan yang mengandung gula, pemakaian tembakau dan jenis2 makanan lain yang merusak kesehatan mulut baik serta penerapan pola makan yang sehat dan seimbang terutama makanan- makanan yang baik untuk kesehatan mulut lewat PUSKESMAS maupun lewat sekolah dengan UKGS. Salah satu program ungulan yang ingin saya terapkan adalah program kunya wortel. Yaitu program untuk meningkatkan kesehatan jaringan periodontal pada anak-anak dan usia remaja di sekolah dengan membiasakan mengunyak wortel sebagai salah satu jenis sayuran yang berserat dan bervitamin yang baik untuk kesehata gusi. Program ini dapat dilakukan di sekolah lewat monitoring dokter gigi puskesmas dan para guru setiap bulannya dilakukan seminggu dua kali pertemuan. Hal ini juga bertujuan untuk mebangun kebiasaan yang positif untuk mencintai makanan sehat. 6. Pelaksanaan program UKGS yang berkesinambungan untuk melakukan kontrol kesehatan gigi dan mulut pada siswa-siswa sekolah. UKGS di Indonesia belum berjalan dengan optimal terutama di sekolah-sekolah tingkat lanjut seperti SMP dan SMA. 7. Program kesehatan gigi dan mulut harus berintegrasi dengan program-program lain di puskesmas misalnya program KIA dan gizi. Dengan demikian aspek kesehatan gigi dan mulut dapat dengan lebih mudah diterima oleh masyarakat karena menyagkut aspek kesehtan yang lain. Misalnya program preventif BBLR pada ibu hamil dengan pemeriksaan rutin kesehatan jaringan periodontal di buku KIA.
8. Kegiatan-kegiatan Pelatihan dan pemberdayaan masyarakat untuk ikut serta melakukan tindakan preventif seperti training Camp untuk para ibu-ibu kader tentang cara membuat daftar makanan dan pola makan yang benar untuk bayi, balita dan anak-anak yang bukan hanya memperbaiki tumbuh kembang dan mencegah malnutrisi namun juga menurunkan resiko karies dari pola makan yang salah.
Daftar Pustaka : 1. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Rencana Program pelayanan kesehatan gigi dan mulut.2012 2. George M.Gluck, Warren M. Morganstein. Jong’s Community Dental Health. 5th edition. 3. Blake H, Dawett B, Leighton P, Rose-Brady L, Deery C. School-Based Educational Intervention to Improve Children's Oral Health-Related Knowledge. Health Promotion Practice. December. 2014. 4. Jong, Anthony. Dental Public Health and Community Dentitsry.St. Louis: CV Mosby. 1981: 85-102 5. Dena J. Fischer, Nathaniel S. Treister, Andres Pinto. Risk Assessment and Oral Diagnostics in Clinical Dentistry. Wiley-Blackwell. 2013.
View more...
Comments