Proceeding Book PIKAB XIII

December 21, 2017 | Author: yudha | Category: N/A
Share Embed Donate


Short Description

pikab...

Description

Proceeding Book PIKAB XIII

Improving Knowledge and Skill in Pediatric Health Care

Bandung, 26–27 November 2016

Editor: Prof. Herry Garna, dr., Sp.A(K), Ph.D

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN ANAK FK UNPAD/RSUP Dr. HASAN SADIKIN BANDUNG

Proceeding Book PIKAB XIII

Improving Knowledge and Skill in Pediatric Health Care Bandung, 26–27 November 2016 ISBN: 978-602-71594-5-7 Editor: Prof. Herry Garna, dr., Sp.A(K), Ph.D

Diterbitkan oleh Departemen/SMF Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung Jl. Pasteur No. 38 Bandung 40161 Telp. & Faks. 022–2035957; E-mail: [email protected]

Cetakan pertama, November 2016

Hak Cipta dilindungi oleh undang-undang. Dilarang memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit

SAMBUTAN KETUA PANITIA

Anak adalah investasi masa depan yang perlu dijaga dan dipersiapkan potensinya dari sejak dini. Oleh karena itu, Ilmu Kesehatan Anak memiliki tujuan untuk dapat mengembangkan potensi dari setiap anak sampai semaksimal mungkin. Ilmu kedokteran sendiri selalu berkembang dari masa ke masa dan menghasilkan ilmu pengetahuan baru, baik dari sisi etiologi penyakit, pemeriksaan maupun tata laksananya. Long life study menjadi suatu kewajiban yang harus diterapkan bagi semua pihak, terutama para dokter dan tenaga kesehatan. Seorang spesialis anak wajib mempelajari secara berkesinambungan setiap pembaharuan yang terjadi dalam ilmu pengetahuan kedokteran demi meningkatkan kualitas penanganan pasien terutama dalam era jaminan kesehatan nasional BPJS sekarang ini. Kegiatan dalam Pendidikan Ilmu Kedokteran Berkelanjutan kali ini berupa kuliah umum, simposium, dan workshop. Proceeding book ini memuat semua materi yang disampaikan pada kuliah umum PIKAB XIII yang bertujuan agar peserta dokter dan dokter spesialis anak dapat meningkatkan kemampuan dan keahliannya dalam menghadapi dan menangani masalah kesehatan anak. Di dalam proses penyusunannya, buku ini tentu tidak luput dari berbagai kesalahan, namun kami mengharapkan hal tersebut tidak akan mengurangi makna buku ini. Kami berharap buku ini bermanfaat dan dapat menjadi rujukan sejawat sekalian dalam praktik sehari-hari. Akhir kata, selamat mengikuti kegiatan Pendidikan Ilmu Kedokteran Anak Berkelanjutan.

Ketua Panitia, Dr. Dwi Prasetyo, dr., SpA(K)., MKes.

Bandung, 26–27 November 2016

iii

SAMBUTAN KEPALA DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN ANAK FK UNIVERSITAS PADJADJARAN/ RSUP Dr. HASAN SADIKIN BANDUNG

Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh, Ilmu kedokteran adalah ilmu yang selalu berkembang dari masa ke masa dan menghasilkan penemuan baru baik dari sisi etiologi penyakit maupun pengobatannya. Dalam praktik sehari-hari dokter dan dokter spesialis anak diharapkan selalu dapat meningkatkan kompetensi dalam keilmuan dan keahlian seiring dengan ilmu kedokteran yang selalu berkembang. Untuk dapat mencapai tujuan tersebut, dokter dan dokter spesialis anak dituntut untuk mengikuti perkembangan muktahir dalam bidang Ilmu Kesehatan Anak. Tantangan global yang dihadapi oleh dokter anak Indonesia adalah berlakunya masyarakat ekonomi ASEAN sejak tahun 2015 sehingga kualitas dokter anak Indonesia harus ditingkatkan agar memiliki daya saing yang tinggi. Saat ini Departemen Ilmu Kesehatan Anak FK Unpad/RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung menyelenggarakan acara PIKAB XIII dengan mengambil tema "Improving Knowledge and Skill in Pediatric Health Care". Para dokter spesialis anak diharapkan dapat selalu meningkatkan keilmuan mereka dalam praktik sehari-hari sehingga dapat memberikan pelayanan kesehatan yang berkualitas dan bermutu. Akhir kata, kami mengucapkan terima kasih kepada para pembicara dan penghargaan kepada panitia penyelenggara serta semua pihak yang telah membantu dan memberikan dukungan sehingga PIKAB XIII dapat terlaksana dengan baik. Wassalamu'alaikum warahmatullohi wabarakatuh.

Kepala Departemen Ilmu Kesehatan Anak FK Unpad/RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung Dr. H. Djatnika Setiabudi, dr., Sp.A(K)., MCTM(Trop.Ped.)

iv

Pendidikan Ilmu Kesehatan Anak Berkelanjutan (PIKAB) XIII

DAFTAR ISI

Sambutan Ketua Panitia

iii

Sambutan Kepala Departemen Ilmu Kesehatan Anak FK Universitas Padjadjaran/RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung

iv

Daftar Isi

v

Susunan Panitia

vi

Daftar Kontributor Susunan Acara

viii ix

Simposium Hari Pertama Basic Concept of Critical Congenital Heart Diseases

1

Deteksi Dini Penyakit Jantung Bawaan Kritis dalam Praktik Sehari-hari

19

Endokarditis Infektif pada Anak: Etiologi dan Tata Laksana Pemberian Antimikrob

36

Asma pada Anak

49

Diagnostik dan Tata Laksana Kolestasis pada Bayi

68

Diagnostik Penyakit Autoimun dalam Fasilitas KesehatanTerbatas

85

Simposium Hari Kedua Tuberkulosis pada Anak: Update 2016

97

Diagnosis dan Tata Laksana Alergi Makanan pada Anak

119

Pitfall dalam Terapi Antibiotik

145

Masalah yang Sering Ditemukan dalam Tata Laksana Diabetes Melitus pada Anak (Diabetes Melitus Tipe-1 dan Ketoasidosis Diabetikum)

165

Pendekatan Komprehensif Nyeri Perut pada Anak

186

Children Living with Human Immunodeficiency Virus (HIV)

207

Bandung, 26–27 November 2016

v

SUSUNAN PANITIA Pelindung

Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran Direktur Utama RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung

Penasihat Panitia Pengarah

Prof. Dr. Nanan Sekarwana, dr., Sp.A(K)., MARS Kepala Departemen/SMF Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran/RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung

Ketua

Dr. Dwi Prasetyo, dr., Sp.A(K), MKes.

Wakil Ketua

Aris Primadi, dr., Sp.A(K)

Sekretaris

Anggraini Alam, dr., Sp.A(K) Mia Milanti Dewi, dr., Sp.A, MKes.

Bendahara

Diah Asri Wulandari, dr., Sp.A(K)

Seksi Ilmiah Koordinator

Dr. Sri Endah Rahayuningsih, dr., Sp.A(K)

Anggota

Seksi Dana Koordinator

Prof. Herry Garna, dr., Sp.A(K., Ph.D Sri Sudarwati, dr., Sp.A(K) Rd. Reni Ghrahani, dr., Sp.A(K), MKes. Rahmat Budi Kuswiyanto, dr., Sp.A(K), MKes. Novina, dr., Sp.A, MKes. Yudith Setiati Ermaya, dr., Sp.A, MKes. Nur Melani Sari, dr., Sp.A, MKes. Dr. Nelly Amalia Risan, dr., Sp.A(K)

Anggota

Prof. Cissy B. Kartasasmita, dr., Sp.A(K), MSc., Ph.D Prof. Dr. Sjarief Hidajat Effendi, dr., Sp.A(K) Prof. Dr. Kusnandi Rusmil, dr., Sp.A(K), MM Prof. Dr. Budi Setiabudiawan, dr., Sp.A(K), MKes. Viramitha Kusnandi Rusmil, dr., Sp.A, MKes.

Seksi Pameran

Stanza Uga Peryoga, dr., Sp.A, MKes.

vi

Pendidikan Ilmu Kesehatan Anak Berkelanjutan (PIKAB) XIII

Seksi Sidang dan Acara Koordinator Nur Suryawan, dr., Sp.A, MKes. Anggota Putria Rayani Apandi, dr., Sp.A, MKes. Seksi Publikasi, Dokumentasi & Dekorasi

Ahmedz Widiasta, dr, Sp.A, MKes. Fina Meilyana, dr., Sp.A, MKes.

Seksi Konsumsi

Dewi Hawani, dr., Sp.A(K)

Seksi Logistik & Perlengkapan

Riyadi, dr., Sp.A, MKes.

Seksi Akomodasi

Gartika Sapartini, dr., Sp.A, MKes. Rini Rossanti, dr., Sp.A, MKes.

Seksi Keamanan & Kesehatan

Rodman Tarigan, dr., Sp.A, MKes.

Bandung, 26–27 November 2016

vii

DAFTAR KONTRIBUTOR Prof. Alex Chairulfatah, dr., Sp.A(K) Divisi Infeksi dan Penyakit Tropis

Prof. Dr. Heda Melinda N. Nataprawira, dr., Sp.A(K), MKes. Divisi Respirologi

Anggraini Alam, dr., Sp.A(K) Divisi Infeksi dan Penyakit Tropis

Novina, dr., Sp.A, MKes. Divisi Endokrinologi

Prof. Dr. Budi Setiabudiawan, dr., Sp.A(K), MKes. Divisi Alergi dan Imunologi

Rahmat Budi Kuswiyanto, dr., Sp.A(K), MKes. Divisi Kardiologi

Prof. Cissy B. Kartasasmita, dr., Sp.A(K), MSc., Ph.D Divisi Respirologi

Rd. Reni Ghrahani, dr., Sp.A(K), MKes. Divisi Alergi dan Imunologi

Dr. Djatnika Setiabudi, dr., Sp.A(K)., MCTM(Trop.Ped.) Divisi Infeksi dan Penyakit Tropis

Dr. Sri Endah Rahayuningsih, dr., Sp.A(K) Divisi Kardiologi

Dr. Dwi Prasetyo, dr., SpA(K)., MKes. Divisi Gastroenterohepatologi

Yudith Setiati Ermaya, dr., Sp.A, MKes. Divisi Gastroenterohepatologi

viii

Pendidikan Ilmu Kesehatan Anak Berkelanjutan (PIKAB) XIII

SUSUNAN ACARA Sabtu, 26 November 2016 07.30–08.30 Registrasi 08.30–08.45 Pembukaan: Sambutan Ketua Panitia Sambutan Kepala Departemen Sesi 1: Moderator: Prof. Dr. Kusnandi Rusmil, dr., Sp.A(K), MM 08.45–09.05 Basic Concept of Critical Congenital Heart Diseases Dr. Sri Endah Rahayuningsih, dr., Sp.A(K) 09.05–09.25 Deteksi Dini Penyakit Jantung Bawaan Kritis dalam Praktik Sehari-hari Rahmat Budi Kuswiyanto, dr., Sp.A(K), MKes. 09.25–09.45 Endokarditis Infektif pada Anak: Etiologi dan Tata Laksana Pemberian Antimikrob Dr. Djatnika Setiabudi, dr., Sp.A(K), MCTM(Trop.Ped.) 09.45–10.15 Diskusi 10.15–10.45 Coffee Break Meeting Sesi 2: Moderator: Prof. Azhali M. S., dr., Sp.A(K) 10.45–11.05 Asma pada Anak Prof. Cissy B. Kartasasmita, dr., Sp.A(K), MSc., Ph.D 11.05–11.25 Diagnostik dan Tata Laksana Kolestasis pada Bayi Dr. Dwi Prasetyo, dr., Sp.A(K), MKes. 11.25–11.45 Diagnostik Penyakit Autoimun dalam Fasilitas Kesehatan Terbatas Rd. Reni Ghrahani, dr., Sp.A(K), MKes. 11.45–12.15 Diskusi 12.15–13.15 Lunch Symposium 13.15–14.00 ISHOMA 14.00–17.00 Workshop WORKSHOP Alergi Imunologi Endokrinologi Gastrohepatologi Infeksi & Penyakit Tropis Kardiologi Respirologi Bandung, 26–27 November 2016

: Henoch Schonlein Purpura Management : Skrining Hipotiroid Kongenital : Cholestatic Jaundice : Common Problems of Infectious Disease in Outpatient Care : Screening for Critical Congenital Heart Diseases in Newborn : Asma pada Anak ix

Minggu, 27 November 2016 Sesi 3: Moderator: Prof. Dr. Dedi Rachmadi Sambas, dr., Sp.A(K), MKes. 08.30–08.50 Tuberkulosis pada Anak: Update 2016 Prof. Dr. Heda Melinda N. Nataprawira, dr., Sp.A(K), MKes. 08.50–09.10 Diagnosis dan Tata Laksana Alergi Makanan pada Anak Prof. Dr. Budi Setiabudiawan, dr., Sp.A(K), MKes. 09.10–09.30 Pitfall dalam Terapi Antibiotik Prof. Alex Chairulfatah, dr., Sp.A(K) Diskusi Rehat kopi

09.30–10.00 10.00–10.30 Sesi 4: Moderator: Prof. Dr. Dida A. Gurnida, dr., Sp.A(K), MKes. 10.30–10.50 Masalah yang Sering Ditemukan dalam Tata Laksana Diabetes Melitus pada Anak (Diabetes Melitus Tipe-1 dan Ketoasidosis Diabetikum) Novina, dr., Sp.A, MKes. 10.50–11.10 Pendekatan Komprehensif Nyeri Perut pada Anak Yudith Ermaya, dr., Sp.A, MKes. 11.10–11.30 Children Living with Human Immunodeficiency Virus (HIV) Anggraini Alam, dr., Sp.A(K) 11.30–12.00 Diskusi 12.00–13.00 Lunch Symposium 13.00–14.00 ISHOMA 14.00–17.00 Workshop

WORKSHOP Alergi Imunologi Endokrinologi Neonatologi Gastrohepatologi Infeksi & Penyakit Tropis Kardiologi Respirologi

x

: Cow’s Milk Allergy Prevention and Management : Neonatal Hypoglicemia Management : Recurrent Abdominal Pain: Diagnostic and Management : Common Problem in Infectious Disease in Outpatients : Screening for Critical Congenital Heart Diseases in Newborn : Tuberculosis Update: the Role of Pediatrician in Ambulatory Care Setting

Pendidikan Ilmu Kesehatan Anak Berkelanjutan (PIKAB) XIII

Basic Concept of Critical Congenital Heart Diseases Sri Endah Rahayuningsih

Pendahuluan Penyakit jantung bawaan (PJB) kritis merupakan bagian dari penyakit jantung bawaan yang menyebabkan gejala yang berat dan mengancam jiwa yang memerlukan intervensi dalam tahun pertama kehidupan.1 Insidensi penyakit jantung bawaan di Amerika Serikat dan Eropa berkisar antara 7 hingga 9 kasus tiap 1.000 kelahiran hidup. Dua puluh lima hingga 30% di antaranya merupakan penyakit jantung bawaan kritis. Penyakit jantung bawaan merupakan penyebab kematian terbanyak pada tahun pertama kehidupan dengan prevalensi 3% dari total kematian pada bayi dan lebih dari 40% total kematian akibat malformasi kongenital.1 Angka kelahiran di Indonesia menurut profil kependudukan dan pembangunan BKKBN tahun 2013 adalah 4.242.300 jiwa,2 dengan insidensi PJB sebesar 8−10% kelahiran hidup maka jumlah penderita PJB Indonesia tahun 2013 diperkirakan sekitar 339.384 hingga 424.230 kasus. Angka kelahiran di Jawa Barat pada tahun 2013 menurut Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat sebesar 850.000 kelahiran tiap tahun 3 sehingga diperkirakan terdapat 68.000 hingga 85.000 kasus PJB tiap tahunnya di Jawa Barat. Dengan perkiraan prevalensi PJB kritis sebesar 25% dari seluruh PJB maka dapat diperkirakan pevalensi PJB kritis di Indonesia sebesar 84.846 hingga 106.057 kasus pada tahun 2013, sementara di Jawa Barat sekitar 17.000−21.250 kasus tiap tahunnya. Angka kematian akibat PJB kritis di Amerika Serikat mencapai 29% dari seluruh kematian akibat kelainan kongenital dan sekitar 5,7% seluruh kematian pada bayi. 4 Di Eropa Barat prevalensinya 45% dari seluruh kematian yang disebabkan oleh kelainan kongenital, sementara di Amerika Latin, Amerika Utara, Eropa Timur, dan Asia Pasifik (termasuk Jepang) proporsinya sekitar 35%, 37%, 42%, dan 48%. 5 Penyakit jantung bawaan kritis memiliki onset gejala dan derajat keparahan yang beragam. Gejala dapat timbul beberapa jam, hari bahkan minggu setelah kelahiran Bandung, 26–27 November 2016

1

dengan gambaran klinis yang tidak begitu jelas, sementara pada keadaan lain dapat menimbulkan kebiruan, penurunan perfusi jaringan, serta sesak secara mendadak. Keadaan ini disebabkan oleh sirkulasi transisi pada 6−8 minggu pertama kehidupan serta mekanisme kompensasi tubuh untuk mempertahankan keseimbangan normal. Gejala baru jelas muncul setelah tubuh gagal mengompensasi proses kegawatan yang terus berlanjut atau pada kelainan yang sangat berat.4 Penyakit jantung bawaan kritis mencakup 7 kelainan primer yang menjadi target utama untuk skrining oksimetri karena hampir selalu menyebabkan hipoksemia. Penyakit jantung bawaan kritis primer meliputi sindrom hipoplasia jantung kiri, atresia pulmonal, tetralogi Fallot, anomali total aliran vena pulmonal, transposisi arteri besar, atresia trikuspidalis, dan trunkus arteriosus.1 Keterlambatan diagnosis penyakit jantung bawaan kritis akan menyebabkan komplikasi serius termasuk kejang serta kegagalan organ vital termasuk henti jantung dan kematian. Deteksi dini merupakan kunci untuk dapat menegakkan diagnosis sebelum terjadi komplikasi serius pada PJB kritis.4 Untuk dapat melakukan deteksi dini diperlukan pengetahuan mengenai sirkulasi pada masa janin dan perinatal merupakan bagian terpenting dalam memahami patofisiologi, manifestasi klinis, dan perjalanan penyakit penyakit jantung bawaan kritis.

Sirkulasi Janin Terdapat perbedaan antara sirkulasi janin dan sirkulasi dewasa dalam beberapa hal. Hampir keseluruhan perbedaan terkait pada perbedaan lokasi pertukaran gas. Pada sirkulasi dewasa pertukaran gas terjadi di paru-paru, sedangkan pada janin pertukaran gas dan nutrisi terjadi di plasenta.6 Terdapat empat pirau pada sirkulasi janin, yaitu plasenta, duktus venosus, foramen ovale, dan duktus arteriosus. Hal-hal yang perlu diketahui pada sirkulasi janin. 6 1. Plasenta menerima darah terbanyak dari keluaran ventrikel (55% dari kiri dan kanan) dan memiliki tahanan terendah pada janin. 2

Pendidikan Ilmu Kesehatan Anak Berkelanjutan (PIKAB) XIII

2. Vena kava superior menerima aliran darah yang berasal dari bagian atas tubuh, termasuk aliran darah yang berasal dari otak (15% dari luaran ventrikel), vena kava inferior menerima aliran darah dari bagian bawah tubuh dan plasenta (70% dari total luaran ventrikel). Oleh karena oksigenasi darah terjadi di plasenta, saturasi oksigen di vena kava inferior (70%) lebih tinggi dibanding dengan vena kava superior (40%). Kadar tekanan oksigen tertinggi didapat dari vena umbilikalis (32 mmHg). 3. Sebagian besar aliran darah dari vena kava superior akan kembali ke ventrikel kanan. Sepertiga (⅓) darah dari vena kava inferior dengan kadar oksigen yang lebih tinggi akan kembali ke atrium kanan melalui foramen ovale dan ⅔-nya kembali ke ventrikel kanan dan arteri pulmonal. Dampak dari sirkulasi ini adalah otak dan sirkulasi koroner akan menerima darah dengan kadar oksigen yang tinggi (PO2: 28 mmHg) dibanding dengan bagian tubuh bawah (PO2: 24 mmHg). 4. Darah dengan kadar oksigen rendah pada arteri pulmonal akan mengalir melalui duktus arteriosus menuju aorta desenden dan selanjutnya ke plasenta untuk dioksigenasi.

Dimensi Ruang Jantung Perbandingan gabungan luaran ventrikel yang melewati ruang jantung dan pembuluh darah utama digambarkan pada dimensi relatif ruang jantung dan pembuluh darah. Oleh karena paru-paru hanya menerima 15% dari luaran ventrikel, percabangan dari arteri pulmonal sangat kecil yang akan menimbulkan terdengarnya murmur pada bayi baru lahir yang diaikbatkan oleh aliran darah yang melalui arteri pulmonal percabangan penting dalam pembentukan murmur pulmonalis pada bayi baru lahir. Ventrikel kanan memiliki ukuran yang lebih besar dan dominan dibanding dengan ventrikel kiri. Ventrikel kanan menerima 55% dari luaran ventrikel gabungan, sedangkan ventikel kiri menerima 45% dan luaran ventrikel gabungan. Sebagai tambahan, tekanan pada ventrikel kanan sama dengan tekanan ventrikel kiri (tidak seperti pada sirkulasi dewasa). Hal ini dapat tertangkap pada gambaran EKG bayi baru

Bandung, 26–27 November 2016

3

lahir

yang

ventrikel

memperlihatkan

kanan

yang

lebih

tekanan tinggi

dibanding dengan EKG pada orang dewasa.6

Gambar 1 Diagram Sirkulasi Janin yang menunjukkan 4 pirau: plasenta, duktus venosus, foramen ovale, dan duktus arteriosus. Arsiran pada gambar menunjukkan kadar saturasi oksigen, dengan arsiran terang menunjukkan kadar PO2 tinggi. Angka pada ruang bilik dan kamar menunjukkan kadar PO2 dalam mmHg. IVC, inferior vena cava; LA, left atrium; LV, left ventricle; PV, pulmonary vein; RA, right atrium; RV, right ventricle; SVC, superiorvena cava; v, vein. Curah Jantung Janin Tidak seperti jantung orang dewasa yang mampu menambah isi sekuncup apabila terjadi penurunan denyut jantung, jantung bayi tidak mampu meningkatkan isi sekuncup apabila terjadi penurunan denyut jantung karena komplians jantung yang rendah. Oleh karena itu, curah jantung bayi sangat bergantung pada denyut jantung, apabila denyut jantung turun seperti pada keadaan tertekan, dampak bahaya muncul sebagai akibat penurunan curah jantung.6

Perubahan pada Sirkulasi Darah Setelah Lahir Perubahan utama yang terjadi pada sirkulasi darah setelah lahir adalah perpindahan tempat pertukaran gas dan nutrisi dari plasenta ke paru-paru. Sirkulasi plasenta berangsur-angsur menghilang dan sirkulasi paru-paru menetap.6

4

Pendidikan Ilmu Kesehatan Anak Berkelanjutan (PIKAB) XIII

1. Pemotongan

tali pusat yang

akan menghentikan sirkulasi ke plasenta

mengakibatkan hal-hal sebagai berikut: a. terjadi peningkatan tahanan sirkulasi sistemik (karena plasenta memiliki tahanan vaskular sistemik terendah pada janin); b. berhentinya aliran darah pada vena umbilikal menyebabkan penutupan duktus arteriosus. 2. Pengembangan paru-paru akan menyebabkan: a. penurunan tahanan vaskular pulmonal, peningkatan aliran darah pulmonal, dan penurunan tekanan arteri pulmonal (Gambar 2); b. penutupan foramen ovale secara fungsional akibat tekanan atrium kiri lebih tinggi daripada atrium kanan. Tekanan atrium kanan menurun akibat penutupan duktus venosus; c. penutupan duktus arteriosus persisten akibat peningkatan saturasi oksigen arteri pulmonalis. Perubahan tekanan vaskular pumonal dan penutupan duktus arterious persisten sangat penting dalam memahami berbagai jenis penyakit jantung bawaan.

Tahanan Vaskular Paru Tahanan vaskular pulmonal hampir sama tinggi dengan tahanan vaskular sistemik menjelang atau pada saat lahir. Tahanan vaskular pulmonal yang tinggi dipertahankan oleh peningkatan jumlah otot polos dinding pembuluh darah arteriol dan hipoksia alveoli yang disebabkan oleh kolaps paru. Pengembangan paru yang mengakibatkan peningkatan tekanan oksigen dalam alveoli menyebabkan penurunan cepat tahanan pembuluh darah paru. Penurunan yang cepat ini juga disebabkan oleh efek vasodilatasi dari oksigen pada pembuluh darah paru. Pada usia minggu ke-6 dan ke-8 terjadi penurunan yang lambat tahanan vaskular pulmonal dan tahanan sistemik. Penurunan ini berhubungan dengan penipisan lapisan tengah pembuluh darah pulmonal. Penurunan tahanan vaskular pulmonal akan berlangsung hingga usia

Bandung, 26–27 November 2016

5

setelah 2 tahun. Hal ini disebabkan oleh peningkatan jumlah alveoli dan pembuluh darah sekitarnya.6 Kondisi pada neonatus yang menyebabkan oksigenasi inadekuat dapat mengganggu proses pematangan (contoh: penipisan) arteri pulmonalis, menyebabkan pulmonal hipertensi atau penurunan tahanan vaskular pulmonal menjadi terlambat. 6 Contoh kasus adalah sebagai berikut: 1. Bayi dengan defek septum ventrikel besar (DSV) dapat tidak mengalami gagal jantung kongestif bila tinggal di dataran tinggi, tetapi dapat berkembang menjadi gagal jantung kongestif bila pindah ke daerah permukaan laut. Hal ini disebabkan oleh penurunan yang terlambat tahanan vaskular pulmonal di daerah dataran tinggi. 2. Bayi prematur dengan penyakit membran hialin berat biasanya tidak berkembang menjadi gagal jantung kongestif karena tahanan vaskular pulmonal yang tinggi yang menyebabkan aliran pirau dari kiri ke kanan terbatas. Asidosis yang biasanya muncul pada bayi dengan penyakit ini dapat berkontribusi dalam mempertahankan tingginya tekanan vaskular paru. Gagal jantung kongestif dapat muncul jika penyakit membran hialinnya perbaikan karena terjadi peningkatan tekanan oksigen arteri yang menyebabkan dilatasi pembuluh darah paru 3. Pada bayi dengan DSV besar disebabkan oleh aliran darah melalui pirau langsung menuju ke arteri pulmonalis yang menyebabkan tekanan arteri pulmonalis tetap tinggi. Gagal jantung terjadi bila terjadi penurunan tahanan pembuluh darah paru sehingga, gagal jantung kongestif tidak akan terjadi sebelum usia usia 6–8 minggu. Keadaan neonatus yang dapat mengganggu proses pematangan arteri pulmonalis. Peningkatan tekanan atrium kiri atau vena pulmonalis disebabkan oleh 1. hipoksia atau ketinggian; 2. penyakit paru (contoh: penyakit membran hialin); 3. asidemia; 4. peningkatan tekanan arteri pulmonal akibat dari defek septum ventrikel besar atau patent ductus arteriosus. 6

Pendidikan Ilmu Kesehatan Anak Berkelanjutan (PIKAB) XIII

Penutupan Duktus Arteriosus Penutupan duktus arteriosus secara fungsional terjadi dalam 10–15 jam setelah proses persalinan yang terjadi akibat konstriksi otot polos bagian medial duktus. Penutupan anatomi terjadi secara sempurna pada usia 2–3 minggu dengan perubahan secara permanen pada lapisan endotelium dan subintimal duktus. Oksigen, kadar prostaglandin E2 (PGE2), dan maturitas neonatus merupakan faktor yang berperan dalam penutupan duktus tersebut. Asetilkolin dan bradikinin juga memiliki pengaruh pada konstriksi duktus.6 Oksigen dan Duktus. Pada kondisi pascapersalinan terjadi peningkatan saturasi oksigen dalam sirkulasi sistemik (dari PO2 25 mmHg di dalam uterus menjadi 50 mmHg setelah terjadi pengembangan paru). Hal ini merupakan stimulus terkuat untuk terjadi konstriksi pada otot polos duktus sehingga pada akhirnya terjadi penutupan duktus. Respons otot polos duktus terhadap oksigen berhubungan dengan usia gestasi; jaringan duktus pada bayi prematur kurang berespons terhadap oksigen dibanding dengan bayi cukup bulan. Penurunan respons duktus bayi prematur terhadap oksigen disebabkan oleh penurun sensitivitas konstriksi yang diinduksi oleh oksigen; hal ini bukan akibat perkembangan otot polos yang kurang karena duktus bayi prematur memiliki respons konstriksi yang baik terhadap asetilkolin. Hal ini juga dapat disebabkan oleh kadar PGE2 yang tetap tinggi pada bayi kurang bulan.6

Peran Prostaglandin E pada Duktus Arteriousus Beberapa keadaan klinis yang memperlihatkan kadar prostaglandin penting dalam menjaga patensi duktus arteriosus pada janin.6 1. Penurunan kadar PGE2 setelah persalinan akan menyebabkan konstriksi duktus. Penurunan kadar tersebut terjadi karena hilangnya plasenta yang menghasilkan PGE2 pada saat persalinan dan juga karena peningkatan aliran darah pulmonal yang menyebabkan pembuangan PGE2 oleh pulmonal.

Bandung, 26–27 November 2016

7

2. Efek konstriksi indometasin atau ibuprofen serta efek dilatasi dari PGE 2 dan PGI2 lebih besar pada jaringan duktus bayi kurang bulan dibanding dengan bayi cukup bulan. 3. Pertahanan patensi duktus dapat dijaga dengan pemberian sintentik PGE 1 intravena yang dapat diberikan pada bayi atresia pulmonal yang kehidupannya bergantung pada patensi duktus. 4. Indometasin atau ibuprofen, suatu inhibitor siklooksigenase (inhibitor sintesis PG) dapat digunakan untuk menutup PDA pada bayi kurang bulan. 5. Konsumsi aspirin, inhibitor sintesis PG oleh ibu dalam jumlah cukup banyak, dapat membahayakan janin. Aspirin dapat menyebabkan konstriksi duktus pada masa fetus dan dapat menyebabkan hipertensi pulmonal persisten pada bayi.

Pembukaan Duktus yang Berkonstriksi Duktus arteriousus yang telah berkonstriksi dan tertutup secara fungsional masih dapat berdilatasi akibat penurunan PO2 arteri atau peningkatan konsentrasi PGE2. Pembukaan kembali duktus yang berkonstriksi dapat terjadi pada penderita asfiksia atau dengan berbagai penyakit pulmonal (hipoksia dan asidosis jaringan duktus). Penutupan duktus dapat terjadi terlambat pada penderita yang tinggal di dataran tinggi. Insidensi PDA lebih tinggi di daerah dengan dataran tinggi lebih tinggi dibanding dengan pada permukaan laut. Pada beberapa neonatus (contoh: pada penderita koartasio aorta), pemberian PGE1 secara intravena dapat membuka duktus yang mengalami konstriksi baik secara parsial dan komplet. 6

Respons Arteri Pulmonal dan Duktus Arteriosus terhadap Berbagai Rangsangan Respons arteri pulmonal terhadap oksigen dan asidosis berlawanan terhadap duktus arteriosus. Hipoksia dan asidosis menyebabkan efek dilatasi pada duktus arteriosus, namun dapat menyebabkan konstriksi pada arteri pulmonalis. Arteri pulmonalis juga dapat mengalami konstriksi akibat stimulasi simpatis dan stimulasi α-adrenergik

8

Pendidikan Ilmu Kesehatan Anak Berkelanjutan (PIKAB) XIII

(epinefrin, nor-epinefrin). Stimulasi vagal, stimulasi β-adrenergik (isoproterenol), dan bradikinin menyebabkan dilatasi arteri pulmonalis.6

Klasifikasi Penderita PJB kritis dapat dibagi dalam 4 kelompok:7,8 1. PJB kritis dengan sirkulasi pulmonal yang kurang (inadequate pulmonary blood flow)/ductal dependent pulmonary circulation/right sided obtructive lesions Pada PJB ini aliran pembuluh darah paru untuk oksigenasi disediakan oleh sirkulasi sistemik (aorta) melalui duktus arteriosus (yang berasal dari aorta ke arteri pulmonalis). Lesi ini biasanya disertai dengan sianosis berat. Contoh lesi PJB pada kelompok ini antara lain: - tetralogy of Fallot (TOF) dengan atresia pulmonal; - atresia pulmonal; - atresia pulmonal dengan septum ventrikular intak; - stenosis pulmonal berat; - Ebstein’s anomaly berat; - transposition of great arteries (TGA) komplet dengan septum ventrikular intak. 2. PJB kritis dengan sirkulasi sistemik yang kurang (inadequate systemic blood flow)/ductal dependent systemic circulation/left sided obtructive lesions Pada PJB ini output sistemik disediakan oleh sistem arteri pulmonalis melalui duktus arteriosus (mengalir dari arteri pulmonalis utama ke aorta). Lesi ini biasanya bergejala hipotensi sistemik, syok, atau kolaps seiring dengan penutupan duktus ateriosus setelah proses kelahiran. Kelompok ini adalah: - hypoplastic left heart syndrome (HLHS); - stenosis aorta berat; - koarktasio aorta; - interrupted aortic arch (IAA).

Bandung, 26–27 November 2016

9

3. PJB kritis dengan pencampuran darah yang tidak memadai (inadequate mixing)/ductal independent mixing lesions Pada PJB ini didapatkan sianosis dan gagal jantung kongestif atau edema paru dan terjadi peningkatan aliran darah menuju paru. Contoh lesi jantung pada kelompok ini adalah TGA. Pada TGA terdapat sirkulasi yang bersifat paralel antara sirkulasi sistemik dan pulmonal, sedangkan untuk dapat bertahan hidup harus terjadi pencampuran darah (mixing) antara kedua sistem sirkulasi tersebut melalui PFO (persistent foramen ovale) atau PDA (persistent ductus arteriosus). 4. PJB kritis dengan pertukaran gas/udara yang tidak memadai (inadequate gas exchange) Lesi PJBK pada kelompok ini adalah TAPVR (total anomalous pulmonary venous return). Pada lesi ini semua aliran darah vena pulmonalis kembali ke atrium kanan melalui berbagai koneksi antara vena pulmonalis dan sistem jantung kanan (vena innominata, vena kava superor, sinus koronarius, sistem porta atau vena kava inferior). Akibatnya, terjadi pencampuran darah (mixing) di level atrium kanan (menimbulkan sianosis) dan oversirkulasi paru (menimbulkan edema paru). Sirkulasi sistemik dipertahankan dengan pirau kanan ke kiri melalui PFO atau ASD (atrial septal defek).6 Berdasarkan target utama skrining PJB kritis, terdapat 7 kelainan primer yang menjadi target utama untuk skrining oksimetri karena hampir selalu menyebabkan hipoksemia. Penyakit jantung bawaan kritis primer meliputi sindrom hipoplasia jantung kiri, atresia pulmonal, tetralogi Fallot, anomali total aliran vena pulmonal, transposisi arteri besar, atresia trikuspidalis, dan trunkus arteriosus. 1

Sindrom Hipoplasia Jantung Kiri (Hypoplastic Left Heart Syndrome, HLHS) Sindrom hipoplasia jantung kiri (hypoplastic left heart syndrome, HLHS) merupakan sekelompok kelainan anatomi jantung berspektrum luas yang pada umumnya berupa hipoplasia pada ventrikel kiri disertai hipoplasia aorta asenden. 6,7 Spektrum ini bervariasi dari hanya berupa hipoplasia ringan ventrikel kiri, stenosis ringan katup 10

Pendidikan Ilmu Kesehatan Anak Berkelanjutan (PIKAB) XIII

aorta dan koartasio aorta, hingga berupa tidak terbentuknya ventrikel kiri sama sekali, atresia aorta disertai terputusnya arkus aorta (interrupted aortic arch).7 Tanpa intervensi dini kelainan ini berakibat fatal.1,6,9,10

Gambar 2 Anatomi dan Patofisiologi Hypoplastic Left Heart Syndrome I. Tetralogy of Fallot Tetralogy of Fallot (TOF) merupakan kelainan jantung bawaan sianotik yang pada umumnya terdiri atas 4 kelainan: defek septum ventrikel (VSD) perimembran, aorta overriding terhadap VSD, stenosis pulmonalis infundibular dengan atau tanpa stenosis valvar atau supravalvar, dan hipertrofi ventrikel kanan (Gambar 2).6,11

Gambar 3 Anatomi dan Patofisiologi Tetralogi Fallot Bandung, 26–27 November 2016

11

II. Atresia Katup Pulmonal dengan Septum Ventrikel Utuh (Pulmonary Atresia with Intact Septum, PA-IVS) Pada jantung dengan PA-IVS tidak ditemukan katup pulmonalis, ventrikel kanan yang kecil dan katup trikuspidalis yang paten, serta tidak disertai dengan defek pada septum ventrikel (VSD). Prevalensi PA-IVS 20%, atau PEFR >15%.

Sumber: GINA

1

Pada keadaan diagnosis sulit ditegakkan dan fasilitas tersedia, lakukan pemeriksaan untuk mencari kemungkinan diagnosis banding, misalnya uji tuberkulin, foto sinus paranasalis, foto toraks, uji refluks gastro-esofagus, uji keringat, uji gerakan silia, uji defisiensi imun, CT-scan toraks, dan endoskopi respiratori (rinoskopi, laringoskopi, bronkoskopi).

Bandung, 26–27 November 2016

51

Berikan β-agonis* Selama 3–5 hari

Tata laksana sesuai diagnosis

Tambah steroid sistemik (3–5 hari)

Gambar 1 Alur Diagnosis Asma 7

Sumber: PNAA Keterangan gambar: *) β-agonis sebaiknya diberikan dalam bentuk inhalasi **) Uji fungsi paru diulangi setelah 4 minggu dari uji fungsi paru sebelumnya

Klasifikasi Derajat Asma Derajat asma berdasarkan kekerapan serangan dapat dikelompokkan menjadi intermiten, persisten ringan, persisten sedang, dan persisten berat. 52

Pendidikan Ilmu Kesehatan Anak Berkelanjutan (PIKAB) XIII

Tabel 2 Kriteria Derajat Asma bedasarkan Kekerapan Serangan Derajat Asma

Uraian Kekerapan Gejala Asma

Intermiten.

Episode gejala asma1×/bulan, 1×/minggu, namun tidak setiap hari.

Persisten berat.

Episode gejala asma terjadi hampir tiap hari.

Jika ada keraguan dalam menentukan derajat kekerapan, masukkan ke dalam derajat yang lebih berat.

Klasifikasi asma berdasarkan derajat beratnya serangan Asma merupakan penyakit kronik yang dapat mengalami episode gejala akut yang memberat dengan progresif yang disebut sebagai serangan asma. Klasifikasi berdasarkan beratnya serangan adalah asma serangan ringan, asma serangan sedang, dan asma serangan berat. Klasifikasi asma berdasarkan derajat kendali Tujuan utama tata laksana asma adalah terkendalinya penyakit. Asma terkendali adalah asma yang tidak bergejala, dengan atau tanpa obat pengendali dan kualitas hidup pasien baik.

- Asma terkendali penuh (well controlled). - Asma terkendali sebagian (partly controlled). - Asma tidak terkendali (uncontrolled). Klasifikasi derajat kendali dipakai untuk menilai keberhasilan tata laksana yang tengah dijalankan dan untuk penentuan peningkatan (step-up), pemeliharaan (maintenance), atau penurunan (step-down) tata laksana yang akan diberikan.

Tata Laksana Asma Tujuan tata laksana asma anak secara umum adalah untuk mencapai kendali asma sehingga menjamin tercapainya potensi tumbuh kembang anak secara optimal. Secara

Bandung, 26–27 November 2016

53

lebih rinci, tujuan yang ingin dicapai adalah 1. aktivitas pasien berjalan normal, termasuk bermain dan berolahraga; 2. gejala tidak timbul pada siang maupun malam hari; 3. kebutuhan obat seminimal-minimalnya dan tidak ada serangan; 4. efek samping obat dapat dicegah untuk tidak atau sesedikit-sedikitnya terjadi, terutama yang memengaruhi tumbuh kembang anak. Apabila tujuan ini belum tercapai maka tata laksananya perlu dievaluasi kembali.

Tata Laksana Serangan Asma Serangan asma adalah episode peningkatan yang progresif (perburukan) dari gejalagejala batuk, sesak napas, wheezing, rasa dada tertekan, atau berbagai kombinasi dari gejala-gejala tersebut. Serangan asma biasanya mencerminkan gagalnya tata laksana asma jangka panjang atau terdapat pajanan dengan pencetus. Derajat serangan asma bermacam-macam, mulai dari serangan ringan hingga serangan berat yang dapat mengancam nyawa. Serangan asma akut merupakan kegawatan medis yang lazim dijumpai dan perlu ditekankan bahwa serangan asma berat dapat dicegah. Serangan asma dapat ringan– sedang, berat, atau ancaman henti napas. Tujuan tata laksana serangan asma antara lain sebagai berikut: 1) mengatasi penyempitan saluran respiratori secepat-cepatnya; 2) mengurangi hipoksemia; 3) mengembalikan fungsi paru ke keadaan normal secepatnya; dan 4) mengevaluasi dan memperbarui tata laksana jangka panjang untuk mencegah kekambuhan. Semua pasien/orangtua pasien asma seharusnya diberikan edukasi tentang bagaimana memonitor gejala asma, gejala-gejala serangan asma, dan rencana tata laksana asma yang diberikan tertulis (asthma action plan). Orangtua perlu diberikan edukasi untuk memberikan pertolongan pertama serangan asma di rumah. Tata laksana serangan asma di rumah ini penting agar pasien dapat segera mendapatkan pertolongan dan mencegah serangan yang lebih berat. Tenaga medis/dokter juga harus menilai seberapa baik pemahaman dan ketaatan pasien/orangtua tentang tata 54

Pendidikan Ilmu Kesehatan Anak Berkelanjutan (PIKAB) XIII

laksana serangan asma di rumah untuk memastikan pasien mendapatkan tata laksana yang adekuat di rumah. Pada beberapa kondisi pasien harus segera dibawa ke fasilitas pelayanan kesehatan terdekat jika pasien mempunyai satu atau lebih faktor risiko seperti: riwayat serangan asma yang mengancam nyawa, pernah intubasi karena serangan asma, pneumotoraks dan atau pneumomediastinum, serangan asma berlangsung dalam waktu yang lama, penggunaan steroid sistemik (saat ini atau baru berhenti), kunjungan ke UGD atau perawatan rumah sakit (RS) karena asma dalam setahun terakhir, tidak teratur berobat sesuai rencana terapi, berkurangnya persepsi tentang sesak napas, penyakit psikiatrik atau masalah psikososial, atau pasien tiba-tiba dalam kondisi distres respirasi. Tabel 3 Penilaian Derajat Serangan Asma Asma Serangan Ringan–Sedang - Bicara dalam kalimat - Lebih senang duduk daripada berbaring - Tidak gelisah - Frekuensi napas meningkat - Frekuensi nadi meningkat - Retraksi minimal - SpO2 (udara kamar): 90–95% - PEF >50% prediksi atau terbaik

Asma Serangan Berat -

Bicara dalam kata Duduk bertopang lengan Gelisah Frekuensi napas meningkat Frekuensi nadi meningkat Retraksi jelas SpO2 (udara kamar) 2 kali/minggu

Tiga atau lebih kriteria terkendali sebagian*†

Aktivitas terbatas

Tidak ada

Ada

Gejala malam hari

Tidak ada

Ada

Pemakaian pereda

Tidak ada (≥2 kali/minggu)

>2 kali/minggu

B. Penilaian Risiko Perjalanan Asma (Risiko Eksaserbasi, Ketidakstabilan, Penurunan Fungsi Paru, Efek Samping) Asma yang tidak terkendali, sering eksaserbasi, pernah masuk ICU karena asma, FEV 1 yang rendah, paparan terhadap asap rokok, mendapat pengobatan dosis tinggi.

Pengendalian asma senantiasa dilakukan berdasarkan derajat kendali asma. Apabila asma belum terkendali maka dilakukan pemberian obat sesuai langkah selanjutnya 58

Pendidikan Ilmu Kesehatan Anak Berkelanjutan (PIKAB) XIII

(step up). Sebelumnya, perlu dicermati apakah dosis, cara pemberian obat yang diberikan sudah tepat, apakah penghindaran faktor pencetus telah dilaksanakan dengan benar. Pada asma persisten yang belum pernah mendapatkan obat pengendali maka pemberian obat dimulai sesuai dengan langkah 2, apabila asma sangat tidak terkendali mulai dengan langkah 3. Pada setiap langkah pengendalian apabila terjadi serangan/eksaserbasi asma, pasien harus mendapatkan obat pereda asma, yaitu obat inhalasi kerja cepat. Langkah 1: Pasien pada kondisi terkendali hanya mengalami gejala ringan ≤2 kali/minggu dan di antara serangan pasien tidak mengala mi gangguan tidur maupun aktivitas sehari- hari. Pada saat ini pasien hanya mendapatkan obat pereda berupa bronkodilator  2-agonis hirupan kerja pendek apabila mengalami serangan asma. Sebagai alternatif dapat diberikan obat inhalasi antikolinergik,  2-agonis kerja pendek oral, teofilin oral. Pengendalian asma dihubungkan dengan tingkat pemakaian obat pereda asma. Bila pemakaian obat pereda asma melebihi dua kanister setiap bulannya, menandakan anak memerlukan obat pengendali asma. Pada tata laksana jangka panjang langkah 2, 3, 4, dan 5 pemilihan obat dinilai berdasarkan pengurangan gejala asma, perbaikan fungsi paru, dan penurunan frekuensi eksaserbasi asma. Pada pasien yang memiliki faktor risiko dapat dipertimbangkan pemberian kortikosteroid inhalasi dosis rendah.1 Langkah 2: Pasien mendapatkan obat pengendali asma berupa kortikosteroid inhalasi dosis rendah atau antileukotrien. Antileukotrien diberikan pada pasien asma yang tidak memungkinkan menggunakan kortikosteroid inhalasi atau pada pasien yang menderita asma disertai rinitis alergi. Teofilin dan kromolin kurang disarankan karena efikasinya lebih rendah dan lebih sering menimbulkan efek samping. 1 Langkah 3: Pilihan utama pada langkah 3 untuk anak berusia di atas 5 tahun ialah kombinasi steroid–LABA. Alternatif lain adalah dengan menaikkan dosis steroid inhalasi pada Bandung, 26–27 November 2016

59

dosis medium. Pemberian melalui inhalasi dosis terukur dengan spacer akan memperbaiki deposisi obat di paru, mengurangi impaksi obat di orofaring, dan mengurangi efek sistemik. Selain itu, dapat diberikan kombinasi steroid inhalasi dosis rendah dan antileukotrien atau kombinasi steroid–teofilin lepas lambat. Pada pasien asma dewasa, pemberian budesonid/formoterol sebagai pengobatan pada serangan asma selain penggunaannya sebagai pengendali asma, memberikan hasil yang cukup baik. Pasien asma dewasa yang memakai budesonid/formoterol untuk meredakan gejala asma harus dievaluasi setiap hari. Langkah 4: Pasien asma yang tidak berhasil dikendalikan pada langkah 3 sebaiknya dirujuk kepada dokter spesialis respirologi anak untuk pemeriksaan lebih lanjut. Pada saat ini pasien asma dikategorikan sebagai asma sulit (difficult-to-treat asthma). Pilihan pertama pada langkah 4 ialah kombinasi steroid inhalasi dosis sedang-LABA atau kortikosteroid inhalasi dosis tinggi. Menaikkan dosis steroid inhalasi dari dosis sedang ke dosis tinggi hanya memberikan sedikit perbaikan. Keputusan ini dapat dilaksanakan setelah pemberian steroid inhalasi dosis sedang-LABA diberikan selama 3 bulan sampai 6 bulan. Pilihan lain pada langkah 4 ialah kombinasi steroid inhalasi dosis sedangantileukotrin atau kombinasi steroid inhalasi dosis sedang-teofilin lepas lambat. Langkah 5: Pemberian kortikosteroid oral sebagai obat pengendali asma dapat diberikan hanya apabila pada langkah 4 pasien tidak memperolah perbaikan gejala dan sering mengalami kekambuhan. Pasien harus dijelaskan tentang kemungkinan efek samping yang timbul akibat pemberian steroid oral jangka panjang dan berbagai alternatif pilihan pengobatan. Penambahan

anti-imunoglobulin E (omalizumab) dapat

memperbaiki pengendalian asma yang disebabkan oleh alergi.

60

Pendidikan Ilmu Kesehatan Anak Berkelanjutan (PIKAB) XIII

Obat Pengendali Asma Obat pengendali asma adalah obat yang dapat mencegah terjadi serangan asma. Obat ini digunakan untuk mengatasi masalah dasar asma, yaitu inflamasi respiratorik kronik sehingga tidak timbul serangan atau gejala asma. Dengan demikian, pemakaian obat ini secara terus-menerus dalam jangka waktu yang relatif lama bergantung pada kekerapan gejala asma dan responsnya terhadap pengobatan/penanggulangan. Termasuk obat pengendali asma adalah anti-inflamasi kortikosteroid inhalasi atau sistemik, antileukotrien, kombinasi steroid-long acting ß2-agonist (LABA), teofilin lepas lambat, sodium kromoglikat, nedokromil, dan anti-imunoglobulin E.

Kortikosteroid Inhalasi Kortikosteroid inhalasi dapat menekan inflamasi saluran respiratori dan berperan penting dalam tata laksana asma jangka panjang.4 Kortikosteroid inhalasi merupakan obat pengendali asma yang paling efektif. Pemberian kortikosteroid inhalasi setara dosis budesonid 100–200 ųg per hari dapat menurunkan angka kekambuhan asma dan memperbaiki fungsi paru pada pasien asma.1 Beberapa pasien asma memerlukan dosis kortikosteroid inhalasi 400 ųg per hari untuk mengendalikan asma dan mencegah timbulnya serangan asma setelah berolahraga. Pada anak yang berusia di atas 5 tahun, steroid inhalasi dapat mengendalikan asma, menurunkan angka kekambuhan, mengurangi risiko masuk

Bandung, 26–27 November 2016

61

rumah sakit, memperbaiki kualitas hidup, memperbaiki fungsi paru, dan menurunkan serangan asma akibat berolahraga. Pemakaian kortikosteroid inhalasi atau sistemik pada asma episodik jarang dan wheezing akibat infeksi virus masih kontroversial. Kortikosteroid inhalasi sebagai obat pengendali asma tidak memengaruhi tinggi badan dan densitas tulang. Steroid inhalasi dapat memengaruhi kecepatan pertumbuhan, tetapi tidak memengaruhi tinggi badan secara keseluruhan. Kandidiasis oral, suara parau sebagai efek samping dapat dicegah dengan cara berkumur setiap selesai pemberian kortikosteroid inhalasi. Pada anak asma yang mendapatkan kortikosteroid inhalasi harus dipantau pertumbuhan (persentil tinggi badan dan berat badan) setiap tahun. Kortikosteroid inhalasi umumnya diberikan dua kali dalam sehari, kecuali ciclesonide

yang

diberikan

sekali

sehari.

Ciclesonide

merupakan

preparat

kortikosteroid inhalasi yang baru, efek sistemik minimal, dan deposisi obat di orofaring lebih sedikit dibanding dengan preparat kortikosteroid inhalasi yang lain. Efikasi dan keamanannya dibanding dengan preparat yang lain masih memerlukan penelitian lebih lanjut.

Long Acting ß2-agonist (LABA) Sebagai pengendali asma, LABA selalu digunakan bersama kortikosteroid inhalasi. Kombinasi steroid–LABA terbukti memperbaiki fungsi paru dan menurunkan angka kekambuhan asma. Pemberian preparat kombinasi steroid-LABA banyak diteliti pada anak asma yang berusia di atas 5 tahun, pada saat pemberian kortikosteroid inhalasi dosis rendah tidak menghasilkan perbaikan. Pemberian kombinasi steroid-LABA dalam satu kemasan memberikan hasil pengobatan yang lebih baik dibanding dengan kortikosteroid inhalasi dan LABA dalam sediaan terpisah. Penelitian penggunaan kombinasi steroid-LABA pada anak yang berusia di bawah 5 tahun masih terbatas. Kombinasi LABA-steroid inhalasi juga dapat digunakan untuk mencegah spasme bronkus yang dipicu olahraga dan mampu memproteksi lebih lama dibanding dengan β2 agonis inhalasi kerja cepat. Formoterol memiliki kerja yang lebih cepat daripada salmeterol sehingga formoterol lebih cocok untuk mengurangi gejala dan mencegah timbulnya gejala. 62

Pendidikan Ilmu Kesehatan Anak Berkelanjutan (PIKAB) XIII

Antileukotrien Antileukotrien terdiri atas antagonis reseptor cysteinyl-leukotrien 1 (CysLT1) seperti montelukast, pranlukast, zafirlukast, dan inhibitor 5-lipoxygenase seperti zileuton. Studi klinik menunjukkan antileukotrien memiliki efek bronkodilatasi kecil dan bervariasi, mengurangi gejala termasuk batuk, memperbaiki fungsi paru, serta mengurangi inflamasi jalan napas dan eksaserbasi. Antileukotrien dapat menurunkan gejala asma, namun secara umum tidak lebih unggul dibanding dengan kortikosteroid inhalasi. Jika digunakan sebagai obat pengendali tunggal, efeknya lebih rendah dibanding dengan kortikosteroid inhalasi. Kombinasi kortikosteroid inhalasi dan antileukotrien dapat menurunkan angka kekambuhan asma dan menurunkan kebutuhan dosis kortikosteroid inhalasi. Antileukotrien dapat mencegah serangan asma akibat berolahraga. Antileukotrien juga dapat mencegah kekambuhan asma akibat infeksi virus pada anak usia di bawah 5 tahun. Pemberian kombinasi kortikosteroid inhalasi dan antileukotrien pada asma persisten episodik sering dan asma persisten kurang efektif dibanding dengan kortikosteroid inhalasi dosis sedang. Pemberian antileukotrien tunggal dapat diberikan sebagai alternatif dari pemberian steroid inhalasi.

Teofilin Lepas Lambat Sebagai obat pengendali asma teofilin lepas lambat dapat diberikan sebagai preparat tunggal atau diberikan sebagai kombinasi dengan kortikosteroid inhalasi pada anak usia di atas 5 tahun. Kombinasi steroid inhalasi dan teofilin akan memperbaiki kontrol asma dan dapat menurunkan dosis steroid inhalasi pada anak dengan asma persisten. Preparat teofilin lepas lambat lebih dianjurkan untuk pengendalian asma karena kemampuan absorbsi dan bioavaibilitas yang lebih baik. Eliminasi teofilin bervariasi antarindividu sehingga pada penggunaan jangka lama kadar teofilin dalam plasma harus dimonitor. Efek samping teofilin dapat berupa mual, muntah, anoreksia, sakit kepala, palpitasi, takikardia, aritmia, nyeri perut, dan diare. Efek samping teofilin terutama timbul pada pemberian dosis tinggi di atas 10 mg/kgBB/hari. Bandung, 26–27 November 2016

63

Anti Ig-E Anti Ig-E (omalizumab) adalah antibodi monoklonal mampu mengurangi kadar IgE bebas dalam serum. Pada orang dewasa dan anak di atas usia 6 tahun, omalizumab boleh diberikan pada pasien asma yang mendapat kortikosteroid inhalasi dosis tinggi dan LABA yang masih sering mengalami eksaserbasi dan terbukti disebabkan oleh alergi. Omalizumab diberikan sebagai injeksi subkutan setiap dua sampai empat minggu. Reaksi anafilaksis dapat terjadi dini ketika pemberian dosis pertama, tetapi juga dapat terjadi setelah pemberian selama satu tahun. Karena risiko anafilaksis, omalizumab seharusnya di bawah pengawasan dokter spesialis. Anti Ig-E (omalizumab) terbukti memperbaiki gejala asma pada asma persisten sedang dan berat yang disebabkan oleh alergi. Pemberian omalizumab akan menurunkan kebutuhan kortikosteroid inhalasi dan menurunkan angka kekambuhan asma. Pemberian anti Ig-E membutuhkan beberapa kali dosis penyuntikan dan relatif mahal. Efek samping yang pernah dilaporkan antara lain urtikaria, kemerahan, dan gatal. Belum dilakukan penelitian jangka panjang (di atas satu tahun) untuk efikasi anti Ig-E.

64

Pendidikan Ilmu Kesehatan Anak Berkelanjutan (PIKAB) XIII

Pasien dengan serangan asma  Nilai derajat serangan asma  Cari riwayat asma risiko tinggi RINGAN–SEDANG  Bicara dalam kalimat  Lebih senang duduk daripada berbaring  Tidak gelisah  Frekuensi napas meningkat  Frekuensi nadi meningkat  Retraksi minimal  SpO2 (udara kamar): 90–95%  PEF >50% prediksi terbaik*

BERAT  Bicara dalam kata  Duduk bertopang lengan  Gelisah  Frekuensi napas meningkat  Frekuensi nadi meningkat  Retraksi jelas  SpO2 (udara kamar) 50% prediksi terbaik*

SIAPKAN PERAWATAN ICU  Inhalasi 2 agonis kerja pendek  Oksigen  Siapkan intubasi jika perlu

MULAI TERAPI  Inhalasi 2 agonis kerja pendek + ipratropium bromida  Kortikosteroid oral atau i.v.  Oksigen untuk menjaga SpO2 94–98%  Berikan aminofilin i.v.

Jika memburuk, kelola sebagai SERANGAN BERAT dan pertimbangkan rawat ICU

Nilai kondisi klinis secara berkala Periksa spirometri/PEF* (satu jam setelah terapi awal)

FEV1 atau PEF 60–80% dan terdapat perbaikan gejala

SEDANG

Pertimbangkan rawat jalan

FEV1 atau PEF 5 mg/L. Ikterik terjadi pada 60% bayi cukup bulan dan 80% bayi kurang bulan pada minggu pertama kehidupan. Pada sebagian besar bayi kondisi ini merupakan hal yang fisiologis.1,2 Bila ikterik menetap hingga melebihi dua minggu pada bayi cukup bulan dan tiga minggu pada bayi kurang bulan maka disebut prolonged jaundice yang terdiri atas prehepatik, hepatik, dan poshepatik.2–6 Hal ini dapat terjadi pada kurang lebih 15% bayi baru lahir. Membedakan jaundice fisiologis dengan kelainan hepatobilier merupakan hal yang tidak mudah.7 Data epidemiologi menunjukkan bahwa 1 dari 2.500 bayi lahir hidup mengalami kelainan hepatobilier, oleh sebab itu setiap prolonged jaundice harus mendapatkan perhatian khusus dan pemeriksaan lebih lanjut.6 Etiologi jaundice menurut peningkatan kadar bilirubin dapat dibagi menjadi karena peningkatan bilirubin tidak terkonjugasi (unconjugated hyperbilirubinemia) dan bilirubin terkonjugasi (conjugated hyperbilirubinemia).8 Ditinjau dari letak jaundice, penyebab utama conjugated hyperbilirubinemia atau kolestasis secara umum dibagi menjadi dua golongan besar, yaitu kelainan intrahepatik (hepatoseluler) serta kelainan ekstrahepatik (obstruktif).9 Kolestasis ialah terjadi hambatan aliran empedu dengan manifestasi conjugated hyperbilirubinemia,9–11 disertai kadar bilirubin direk >1 mg/dL bila bilirubin total kurang dari 5 mg, sedangkan bila kadar bilirubin total lebih dari 5 mg/dL, kadar bilirubin direk lebih dari 20% kadar bilirubin total dan biasanya terjadi pada usia 90 hari kehidupan. 68

Pendidikan Ilmu Kesehatan Anak Berkelanjutan (PIKAB) XIII

Akibat penumpukan empedu di sel hati, secara klinis bayi terlihat ikterik, urin berwarna lebih gelap, dan tinja berwarna lebih pucat sampai seperti dempul. Kolestasis harus dipikirkan sebagai salah satu penyebab ikterus pada bayi baru lahir bila ikterus menetap setelah bayi berusia 2 minggu. 9–12 Diagnosis dini kolestasis sangat diperlukan untuk mencegah progesivitas dan prognosis penyakit terutama pada atresia biliaris.9,13,14

Patofisiologi Secara umum tidak ada bayi yang jaundice sejak lahir. Jaundice harus diwaspadai sebagai tanda penyakit dan tidak secara rutin dianggap fisiologis, tetapi jaundice fisiologis pun tetap merupakan suatu tanda gangguan metabolisme bilirubin. Prolonged jaundice seharusnya tidak dianggap sebagai kondisi fisiologis sampai terbukti sebaliknya.4 Ikterus dapat terjadi karena15 1. pembentukan bilirubin yang berlebihan; 2. defek pengambilan bilirubin oleh sel hati; 3. defek konjugasi bilirubin; 4. penurunan ekskresi bilirubin; 5. gabungan antara peningkatan kadar bilirubin yang terjadi karena produksi yang berlebihan dan penurunan sekresi. Gangguan berupa pembentukan bilirubin yang berlebihan, defek pengambilan, dan konjugasi bilirubin akan menghasilkan peningkatan biliribin tidak terkonjugasi. Penurunan ekskresi bilirubin akan meningkatkan kadar bilirubin terkonjugasi atau disebut juga kolestasis. Bila mekanismenya bersifat campuran, akan terjadi peningkatan bilirubin terkonjugasi maupun tidak terkonjugasi. 15

Etiologi Ditinjau dari letaknya, penyebab utama conjugated hyperbilirubinemia atau kolestasis secara umum diklasifikasikan menjadi 2 golongan besar, yaitu kelainan intrahepatik serta kelainan ekstrahepatik9 Bandung, 26–27 November 2016

69

Ekstrahepatik - Atresia biliaris. - Hipoplasia biliaris. - Stenosis duktus biliaris. - Anomalies choledochopancreaticoductal junction. - Perforasi spontan duktus biliaris. - Massa (neoplasma, batu). Intrahepatik Idiopatik - Hepatitis neonatal idiopatik. - Kolestasis intrahepatik persisten. - Displasia arteriohepatik (sindrom Allagile). - Byler’s disease. - Trihydroxycoprostanic acidemia. - Sindrom Zellweger (sindrom serebrohepatorenal). - Nonsyndromic paucity of intrahepatic ducts. - Disfungsi mikrofilamen. - Kolestasis intrahepatik rekurens. - Familiar benign recurent kolestasis. - Kolestasis herediter dengan limfedema. Anatomi - Fibrosis hepatik kongenital/polikistik infantil pada hati dan ginjal. - Caroli’s disease (dilatasi kistik duktus intrahepatik). Gangguan Metabolisme 1. Gangguan metabolisme asam amino, tirosin, dan hipermetionin 2. Gangguan metabolisme lemak - Wolman’s disease - Niemann-Pick disease 70

Pendidikan Ilmu Kesehatan Anak Berkelanjutan (PIKAB) XIII

- Gauchers’s disease 3. Gangguan metabolisme karbohidrat - Galaktosemia. - Fruktosemia. - Glikogenosis IV. 4. Gangguan metabolisme asam empedu - 3β-hidroksisteroid dehidrogenase/isomerase. - 4-3 oksosteroid 5β-reduktase. 5. Gangguan metabolik yang tidak khas - Defisensi alfa-1 antitripsin. - Fibrosis kistik. - Hipopituarisme idiopatik. - Hipotiroid. - Neonatal iron storage disease. - Infantile copper overload. - Multiple acyl-coA dehydrogenation deficiency. - Familiar erytrophagocytic lymphohistiocytosis. Hepatitis 1. Infeksi (hepatitis pada neonatus) - Cytomegalovirus (CMV). - Hepatitis B virus. - Rubella virus. - Reovirus tipe 3. - Herpes virus. - Varicella virus. - Coxsackievirus. - Echovirus. - Parvovirus B19. - Toksoplasmosis. Bandung, 26–27 November 2016

71

- Sifilis. - Tuberkulosis. - Listeriosis. 2. Toksik - Kolestasis akibat nutrisi perenteral. - Sepsis. Gangguan genetik atau kromosom 1. Trisomi E. 2. Sindrom Down. 3. Sindrom Donahue. Lain-lain 1. Histiositosis X. 2. Syok atau hiperperfusi. 3. Obstruksi intestinal. 4. Sindrom polisplenia. 5. Lupus neonatal.

Diagnosis Membedakan kolestasis intrahepatik tidaklah mudah karena semua bentuk kolestasis menimbulkan sindrom klinis ikterik yang sama, yaitu disertai pruritus, peningkatan transaminase dan alkali fosfatase, serta gangguan ekskresi zat warna kolesistografi. 10,12 Beberapa pemeriksaan dapat dilakukan untuk membedakan kolestasis intrahepatik dengan ekstrahepatik, namun tidak ada cara yang dapat digunakan secara tunggal dengan akurasi diagnostik 100%. Oleh karena itu, memerlukan anamnesis dan pemeriksaan fisis yang cermat serta pemeriksaan penunjang yang memadai. 9,10 1. Pada anamnesis harus ditanyakan tentang riwayat prenatal, perinatal dan riwayat mulai timbulnya sindrom kolestasis, ras serta riwayat keluarga yang menyeluruh, dan bagaimana perjalanan penyakitnya pada saudara kandung untuk menyingkirkan

72

Pendidikan Ilmu Kesehatan Anak Berkelanjutan (PIKAB) XIII

kolestasis hepatik akibat kelainan genetik atau metabolik. Demikian pula mengenai riwayat morbiditas ibu selama kehamilan, misalnya infeksi Toksoplasma, others, rubela, cytomegalovirus dan Herpes (TORCH), hepatitis B serta infeksi lainnya, dan riwayat kelahiran (infeksi intrapartum, berat lahir), riwayat pemberian nutrisi parenteral, transfusi darah, serta penggunaan obat hepatotoksik. 10 2. Pemeriksaan fisis penderita kolestasis harus mencakup berat badan, tinggi badan, dan lingkar kepala selain pemeriksaan abdomen yang mencakup lingkar perut, hati, limpa, serta terdapat massa atau asites. Walaupun etiologi kolestasis sangat beragam, terdapat beberapa gambaran klinis yang dapat memberi petunjuk kolestasis tersebut, apakah suatu kelainan intrahepatik atau ekstrahepatik. Misalnya, bayi kolestasis yang disertai gejala muntah dan riwayat hipoglikemia harus dicurigai kemungkinan sepsis, galaktosemia, intoleransi fruktosa, atau tirosinemia. Contoh lainnya adalah kecurigaan sindrom paucity duktus biliaris intrahepatik (sindrom Alagille) sebagai penyebab kolestasis bila ditemukan defek vertebra dan kardiovaskular serta peningkatan trigliserida. Selain itu, keadaan umum penderita kolestasis intrahepatik biasanya lebih berat dan mungkin disertai dengan kelainan nonhepatik seperti katarak, kalsifikasi intrakranial, wajah dismorfik, hipotoni atau gejala perinatal lainnya, sedangkan penderita kolestasis ekstrahepatik bisanya memiliki keadaan umum yang baik. Atresia biliaris juga dapat disertai dengan levokardia, atresia intestinal, dan sindrom Turner.11 3. Selain pengamatan di atas, juga dapat dilakukan pengamatan warna tinja harian dengan mengumpulkan tinja 3 porsi (porsi pertama jam 06.00–14.00, porsi kedua jam 14.00–22.00, dan porsi ketiga jam 22.00–06.00) dalam wadah yang transparan dan disimpan di dalam kantong plastik yang berwarna gelap. Tindakan ini dapat digunakan sebagai penyaring tahap pertama karena kolestasis ekstrahepatik terutama atresia biliaris hampir selalu menyebabkan tinja yang akolis pada semua porsi tinja. Bila ketiga porsi tinja tetap berwarna dempul selama beberapa hari maka kemungkinan besar adalah kolestasis ekstrahepatik (atresia biliaris). Pada kolestasis intrahepatik, warna tinja kuning atau dempul berfluktuasi dan pada keadaan lanjut tinja dapat pula seperti dempul terus-menerus.16,17 Bandung, 26–27 November 2016

73

Pemeriksaaan Penunjang 1. Pemeriksaan laboratorium. 2. Pencitraan. 3. Biopsi hati.

Pemeriksaan Laboratorium 1. Kadar bilirubin. 2. Darah lengkap: jumlah trombosit dan retikulosit bila ada anemia. 3. Fungsi hati: transaminase (SGOT, SGPT), gama glutamil transpeptidase (γGT), alkali fosfatase (AF), waktu protrombin, dan tromboplastin. 4. Elektroforesis protein, gula darah, elektrolit, ureum, kreatinin, kolesterol, asam empedu serum, dan urin serta asam empedu dalam tinja. Whitington menyampaikan beberapa pemeriksaan laboratorium awal yang dapat mendukung diagnosis kolestasi ekstrahepatik atau intrahepatik.

Tabel 1 Data Laboratorium Awal Kolestasis Bayi Uji Fungsi Hati Bilirubin total (mg/dL) Bilirubin direk (mg/dL) SGOT SGPT γ-GT Sumber: Whitington

Kolestasi Ekstrahepatik

Kolestasis Intrahepatik

10,2±4,5 6,2±2,6 800 U/L >10x normal/>800 U/L

>5 x normal/>600 U/L

800 U/L terutama yang disertai peningkatan γ-GT yang kurang dari 5x normal lebih mendukung kelainan hepatoseluler (kolestasis intrahepatik). Sebaliknya, bila peningkatan SGOT atau SGPT kurang dari 5x nilai normal dengan peningkatan γ-GT lebih dari 5x normal atau >600 U/L, lebih mengarah pada atresia biliaris atau obstruksi duktus biliaris lainnya.19

74

Pendidikan Ilmu Kesehatan Anak Berkelanjutan (PIKAB) XIII

Bila AF tinggi dan γ-GT rendah (20 mg/dL. Satu minggu sebelum pemeriksaan, penderita diberikan fenobarbital oral dengan dosis 5–10 mg/kg/hari dibagi menjadi 2 dosis. Bila terdapat ekskresi isotop pada usus halus dalam 24 jam setelah pemeriksaan, menunjukkan patensi sistem duktus biliaris. Hasil scan yang negatif belum pasti dapat menyingkirkan penyebab kolestatsis jaundice lainnya, karena sekitar 40% penderita hepatitis neonatal yang lanjut menunjukkan hasil scan yang negatif akibat terjadi disfungsi hepar, oleh karena itu pemeriksaan scintigraphy dapat diulang 2 minggu kemudian. Hasil penelitian menunjukkan penggunaan dicida untuk diagnosis atresia biliaris menghasilkan sensitivitas 100% dan spesifisitas 43%. 22

Cholangiography Cholangiography dilakukan setelah dengan semua pemeriksaan di atas diagnosis masih meragukan. Terdapat 3 pemeriksaan cholangiography yang dapat dilakukan untuk memastikan diagnosis kolestasis, terutama untuk memastikan atresia biliaris. 76

Pendidikan Ilmu Kesehatan Anak Berkelanjutan (PIKAB) XIII

1. Endoscopic Retrograde Cholangiopancreatography (ERCP) Endoscopic retrograde cholangiopancreatography adalah endoskopi ke duktus biliaris melalui ampula vateri dengan cara memasukkan kontras untuk memvisualisasikan duktus biliaris. Sensitivitas dan spesifisitasnya 100%. Namun, ERCP memerlukan general anestesia dan merupakan pemeriksaan operator dependen yang membutuhkan keahlihan dan pengalaman klinis. Karena itu, pemeriksaan ini tidak direkomendasikan sebagai pemeriksaan rutin. 23 2. Magnetic Resonance Cholangiopancreatography (MRCP) Saat ini MRCP merupakan gold standar untuk atresia biliaris dengan akurasi 100%. Namun, pemeriksaan ini memerlukan sedasi dalam atau general anestesia. Diperlukan keahlian dan pengalaman klinis khusus untuk menerapkan MRCP pada anak. Karena itu, pemeriksaan ini tidak direkomendasikan sebagai pemeriksaan rutin.23 3. Intraoperative Cholangiography (IOC) Langkah akhir untuk menegakkan diagnosis adalah dengan melakukan laparotomi diagnostik dengan persiapan intraoperative cholangiography (IOC), wedge biopsy hepar, dan jika atresia biliaris ditemukan maka dilakukan Prosedur Kasai (portoenterostomi).23

Biopsi Hepar Terdapat beberapa parameter yang dapat membedakan kolestasis antara intrahepatik dan ekstrahepatik. Parameter yang merupakan tanda kolestasis ekstrahepatik walaupun tidak terdapat patognomoni, tetapi spesifik terhadap atresia biliaris adalah proliferasi duktus pada porta hepatis, trombus di daerah porta hepatis, proses inflamasi, serta fibrosis pada porta hepatis dan limfedema. Biopsi hepar memiliki sensitivitas 85% dan spesifisitas 95%. 22

Penatalaksanaan Penatalaksanaan kolestasis terdiri atas tindakan operatif dan pemberian obat-obatan dengan tujuan mengatasi etiologi, meningkatkan aliran empedu, melindungi hepatosit, Bandung, 26–27 November 2016

77

mengurangi absorpsi lemak, mencegah dan mengatasi komplikasi di luar sistem hepatobilier, serta mempertahankan tumbuh kembang bayi seoptimal-optimalnya dengan pemberian nutrisi dan suplemen/vitamin yang larut dalam lemak. 9,24 Terapi operatif dilakukan pada kolestasis ekstrahepatik, misalnya portoenterostomi pada atresia biliaris ekstrahepatik. Penggunaan obat-obatan pada kolestasis terbagi menjadi 2, yaitu sebagai terapi spesifik pada tipe intrahepatik dan terapi suportif pada semua jenis kolestasis.16,19

Obat-obatan untuk Mengatasi Etiologi Kolestasis 1. Obat-obatan yang sering digunakan adalah untuk infeksi toksoplasma, yaitu pirimetamin, sulfadiazin, asam folinik, dan spiramisin. a. Pirimetamin Dosis yang diberikan 2 mg/kgBB/hari (maksimum 50 mg/hr) diberikan selama 2 hari pertama, selanjutnya dosis pemeliharaan 1 mg/kgBB/hr selama 6 bulan, kemudian 1 mg/kgBB/hari diberikan selang sehari sampai 1 tahun. Efek samping yang sering terjadi adalah anemia defisiensi asam folat. 25 b. Sulfadiazin Dosis yang diberikan 100 mg/kgBB/hari dibagi 2 dosis selama 1 tahun. Sulfadiazin diekskresikan dengan cepat melalui ginjal dan dapat menimbulkan kristaluria sehingga pada pemberian sulfadiazin harus selalu dilakukan pemantauan terhadap diuresis. Pemberian sulfadiazin dan pirimetamin mempunyai efek sinergisme. 26 c. Asam folat Dosis 5–10 mg/kgBB/hari, 3x per minggu untuk mencegah toksisitas pirimetamin. 2. Obat yang digunakan adalah untuk infeksi cytomegalovirus adalah gansiklovir. Gansiklovir ialah obat antiviral yang banyak mempunyai kesamaan dengan asiklovir, hanya berbeda dengan terdapat gugus hidroksimetil tambahan. Cara pemberian terbagi menjadi terapi induksi dan pemeliharaan. Pada dosis induksi 78

Pendidikan Ilmu Kesehatan Anak Berkelanjutan (PIKAB) XIII

diberikan 5 mg/kgBB/hari setiap 12 jam intravena dalam 3 minggu. Dosis pemeliharaan diberikan 5 mg/kgBB/hari intravena sehari sekali selama 3 minggu.27,28 Efek samping obat ini adalah supresi sumsum tulang, neutropenia terjadi pada sekitar 15–40% kasus dan trombositopenia terjadi pada sekitar 5–20%. Neutropenia sering terjadi pada minggu kedua terapi dan biasanya reversibel dalam 1 minggu setelah obat dihentikan. Efek samping lain adalah gangguan fungsi ginjal dan pada sistem saraf pusat sekitar 5–15%. Gejalanya dapat berupa sakit kepala, perubahan tingkah laku, kejang, sampai koma.27–30

Obat-obatan Suportif Akhir-akhir ini obat yang sering digunakan untuk terapi suportif adalah ursodeoxycholic acid (UDCA). Ursodeoxycholic acid (3α, 7β-dihydroxi-5β-cholanic acid) merupakan asam empedu yang terbentuk secara alami dan secara normal terdapat pada 1–2% asam empedu manusia. Ursodeoxycholic acid merupakan asam empedu tersier endogen yang disintesis di hepar dari 7 ketolithicolic acid yang merupakan hasil produk dari oksigenasi asam kenodeoksikolat (AKDK) oleh bakteri usus. Asam ursodeoksikolat bekerja dengan beberapa cara. 1. Mengubah pool asam empedu Pada manusia, asam empedu terutama terdiri atas 38–54% AKDK, 26–39% asam kolat (AK), dan 16–33% asam deoksikolat; UDCA dan asam litokolat (LK) didapatkan hanya dalam jumlah kecil (0,1–5%). Kecuali UDCA, semua asam empedu bersifat toksis terhadap hati. Pada keadaan kolestasis karena terjadi hambatan aliran empedu ke dalam usus maka asam empedu tersebut akan merusak hati yang bila berlangsung lama akan menyebabkan sirosis hati. Selama pengobatan dengan UDCA terdapat perubahan komposisi asam empedu yang utama, sementara AKDK dan asam deoksikolat berkurang. Hal ini menyebabkan UDCA memegang peranan penting dalam pengobatan kolestasis.30–32

Bandung, 26–27 November 2016

79

2. Proteksi hepatosit dan kolangiosit Asam empedu toksik mempunyai efek merusak membran sel dengan cara meningkatkan polaritas pada bagian apolar membran hepatosit dan kolangiosit. Ursodeoxycholic acid secara kompetitif akan berikatan dengan bagian apolar membran tersebut sehingga efek yang ditimbulkan oleh asam empedu toksik dapat dikurangi. Asam empedu toksik juga merusak sel dengan cara membuka pori-pori protein pada membran mitokondria bagian dalam dan meningkatkan permeabilitas mitokondria sehingga terjadi kerusakan membran potensial dan pembengkakan mitokondria. Ursodeoxycholic acid akan mengubah stuktur dan komposisi miscelles yang terbentuk ini bersifat protektif terhadap hepatosit maupun kolangiosit. 33,34 3. Efek imunomodulator Pada kolestasis terjadi peningkatan ekspresi major histocompability complex (MHC) kelas I dan II yang berakibat dekstrusi sel oleh limfosit sitotoksik. Ursodeoxycholic acid bekerja mengurangi ekspresi kelas I dan II tersebut.34,35 4. Meningkatkan Sekresi Hepatobilier Mekanisme retensi asam empedu antara lain disebabkan oleh gangguan sekresi bikarbonat di kolangiosit. Pemberian UDCA akan meningkatkan kalsium intraseluler yang akan mengaktifkan kanal klorida ini, kemudian akan meningkatkan sekresi bikarbonat ke dalam saluran biliaris.33,35 Dosis pemberian UDCA bervariasi, 10–16 mg/kgBB/hari dibagi 3 dosis.31,33,34 Efek samping UDCA yang pernah dilaporkan adalah diare, mual, dan muntah. 32,33

Nutrisi Kekurangan energi protein (KEP) sering terjadi sebagai akibat dari kolestasis (lebih dari 60%). Penurunan ekskresi asam empedu menyebabkan gangguan pada lipolisis intraluminal, solubilisasi, dan absorbsi trigliserid rantai panjang. Oleh karena itu, pada bayi dengan kolestasis diperlukan kalori yang lebih tinggi untuk menjaga tumbuh kembang bayi, serta vitamin, mineral, dan trace element:

80

Pendidikan Ilmu Kesehatan Anak Berkelanjutan (PIKAB) XIII

a. formula medium chain triglyceride (MCT) karena relatif larut dalam air sehingga tidak memerlukan garam empedu untuk absorbsi; b. kebutuhan kalori 125% dari normal dan protein 2–3 g/kgBB/hari; c. vitamin yang larut dalam lemak: - A: 5.000–25.000 U/hari; - D3: calcitriol 0,05–0,2 ug/kgBB/hari; - E : 25–50 IU/kgBB/hari; - K1: 2,5–5 mg/2–7x/minggu. d. Mineral dan trace element: Ca, P, Mn, Selenium, dan Fe.

Simpulan Ikterik menetap hingga melebihi 2 minggu pada bayi cukup bulan dan 3 minggu pada bayi kurang bulan maka disebut prolonged jaundice yang terdiri atas prehepatik, hepatik, dan poshepatik. Etiologi jaundice menurut peningkatan kadar bilirubin dapat dibagi atas peningkatan bilirubin tidak terkonjugasi (unconjugated hyperbilirubinemia) dan bilirubin terkonjugasi (conjugated hyperbilirubinemia). Ditinjau dari letaknya, penyebab utama conjugated hyperbilirubinemia atau kolestasis secara umum dibagi menjadi 2 golongan besar, yaitu kelainan intrahepatik (hepatoseluler) serta kelainan ekstrahepatik (obstruktif). Dalam menentukan diagnostik kolestasis yang paling penting adalah menetapkan apakah intrahepatik atau ekstrahepatik, terutama atresia biliar yang prognosisnya bergantung usia pada saat dioperasi. Pada usia kurang 8 minggu angka keberhasilan dapat mencapai 80%, sedangkan setelah 12 minggu angka keberhasilan tinggal 20% karena telah terjadi sirosis.

Daftar Pustaka 1.

Elias E. Jaundice and cholestasis. Dalam: Dooley JS, Lok ASF, Burroughs AK, Heathcote EJ, penyunting. Sherlock's diseases of the liver and biliary system. Edisi ke-12. Chichester: Wiley-Blackwell; 2011. hlm. 234−56.

Bandung, 26–27 November 2016

81

2.

Gomella TC, Cunningham MD, Eyal FG. Neonatology: management, procedures, on-call problems, diseases, and drug. Edisi ke-6. Columbus: The McGraw-Hill Companies Inc.; 2009. hlm. 288−93.

3.

Martin CR, Cloherty JP. Neonatal hyperbilirubinemia. Dalam: Cloherty JP, Stark AR, Eichenwald EC, penyunting. Manual of neonatal care. Edisi ke-6. Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkins; 2004. hlm. 81−212.

4.

American Academy of Pediatrics Subcommittee on Hyperbilirubinemia,. Management of hyperbilirubinemia in the newborn infant 35 or more weeks of gestation. Pediatrics. 2004;114(1):297−316.

5.

Gilmour SM. Prolong neonatal jaundice: when to worry and what to do. Pediatr Child Health. 2004;9(10):700−4.

6.

Tyler W, Mckiernan PJ. Prolonged jaundice in the preterm infant—what to do, when and why. Curr Paediatr. 2006;16(1):43−50.

7.

D'Agata ID, Balistreri WF. Evaluation of liver disease in the pediatric patient. Pediatr Rev. 1999;20(11):376−90.

8.

Omer M, Khattak TA, Shah SHA. Etiological spectrum of persistent neonatal jaundice. JMRC. 2010;14(2):87−9.

9.

Suchy FJ. Approach to the infant with kolestasis. Dalam: Suchy FJ, Sokol RJ, Balistreri WF, penyunting. Liver disease in children. Edisi ke-2. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2001. hlm. 187−94.

10. Moyer MS, Balistreri WF. Prolonged neonatal obstructive jaundice. Dalam: Walker WA, Durie PR, Hamilton JR, Walker-Smith JA, Watkins JB, penyunting. Pediatric gastrointestinal disease. Philadelphia: BC Dekker Inc; 1991. hlm. 835−48. 11. Mews C, Sinatra FR. Cholestasis in infancy. Pediatr Rev. 1994;15(6):233−40. 12. Balistreri WF. Neonatal cholestasis. J Pediatr. 1985;106(2):171−84. 13. Ryckman FC, Alonso MH, Bucuvalas JC, Balistreri WF. Liver transplantation in children. Dalam: Suchy FJ, Sokol RJ, Balistreri WF, penyunting. Liver disease in children. Edisi ke-2. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2001. hlm. 949−73. 82

Pendidikan Ilmu Kesehatan Anak Berkelanjutan (PIKAB) XIII

14. Mieli-Vergani G, Howard ER, Portman B, Mowat AP. Late referral for biliary atresia-missed oportunity for effective surgery. Lancet. 1989;1(8635):421−3. 15. Billing BH. Bilirubin metabolism. Postgrad Med J. 1963;39(450):176−87. 16. Mowat AP, penyunting. Liver disorders in childhood. Oxford: ButtenworthHeinemann; 1994. 17. D'Agata ID, Balistreri WF. Evaluation of liver disease in pediatric patient. Pediatr Rev. 1999;20(11):376−89. 18. Whitington PF. Chronic cholestasis of infancy. Pediatr Clin North Am. 1996;43(1):1−26. 19. Lai MW, Chang MW, Hsu CS, Hsu CH, Su CT, Kao CL, dkk. Differential diagnosis of extrahepatic biliary atresia from neonatal hepatitis; a prospective study. J Pediatr Gastroenterol Nutr. 1994;18(2):122−6. 20. Suharyono, Ghazali V, Sunoto, Adnan SW. DAT (duodenal aspiration test) as a diagnostic tool for obstructive jaundice. Paediatr Indones. 1986;26(7–8):152−5. 21. Prasetyo D, Ermaya YS, Martiza I. Perbedaan manifestasi klinis dan laboratorium kolestasis intrahepatal dengan ekstrahepatal pada bayi. MKB. 2016;48(1):45−50. 22. Cauduro SM. Extra-hepatic biliary atresia: diagnostic methods. J Pediatr (Rio J). 2003;79(2):107−14. 23. Moyer V, Freese D, Whitington PF, Olson AD, Brewer F, Colletti RB, dkk. Guideline for the evaluation of cholestatic jaundice in infants: recommendation of the North American Society for Pediatric Gastroenterology, Hepatology and Nutrition. J Pediatr Gastroenterol Nutr. 2004;39(2):115−28. 24. Tracy JW, Webster LT. Drugs used in the chemotherapy of protozoal infections malaria. Dalam: Hardman J, Limbird L, Gilman A, penyunting. Goodman & Gilman's the pharmacological basis of therapeutics. New York: McGraw-Hill; 2001. hlm. 1080−1. 25. Petri WA. Antimicrobial agents sulfonamides, trimethoprime-sulfamethoxazole, quinolones and agents for urinary tract infections. Dalam: Hardman J, Limbird L, Gilman A, penyunting. Goodman & Gilman's the phamacological basis of theurapeutics. New York: McGraw-Hill; 2001. hlm. 1171−6.

Bandung, 26–27 November 2016

83

26. Hayden FG. Antimicrobial agents: antiviral agents (nonretroviral). Dalam: Hardman JG, Limbird LE, Gilman AG, penyunting. Goodman & Gilman's the pharmacological basis of theurapeutics. Edisi ke-10. New York: McGraw-Hill; 2001. hlm. 1325−6. 27. Schimdt GM, Horak DA, Niland JC, Duncan SR, Forman SJ. A randomized controlled trial of prophylactic ganciclovir for cytomegalovirus pulmonary infection of allogeneic bone marrow transplant; The City of Hope-Stanford-Syntex CMV Study Group. N Engl J Med. 1991;324(15):1005−11. 28. Crumpacker CS. Ganciclovir. N Engl J Med. 1996:335(10):721−9. 29. Fischler B, Casswall TH, Malmborg P, Nemeth A. Ganciclovir treatment in infants with cytomegalovirus infections and cholestasis. J Pediatr Gastroenterol Nutr. 2002;34(2):154−7. 30. Feranchak AP, Ramirez RO, Sokol RJ. Medical and nutritional management of kolestasis. Dalam: Suchy FJ, Sokol RJ, Balistreri WF, penyunting. Liver disease in children. Edisi ke-2. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2001. hlm. 195−225. 31. Biro Pengawasan Farmaseutikal Kebangsaan Kementerian Kesihatan Malaysia. Ursodeoxycholic acid. Petaling Jaya: 2000. 32. Kumar D, Tandon RK. Use of ursodeoxycholic in liver disease. J Gatroenterol Hepatol. 2001;16(1):3−14. 33. Paumgartner G, Beuers U. Ursodeoxycholic acid in cholestatic liver disease: mechanisms of actions and teurapeutic use revisited. Hepatology. 2002;36(3): 525−31. 34. McNamara JO. Drugs effective`in the therapy of epilepsies. Dalam: Hardman JG, Limbird LE, Gilman AG, penyunting. Goodman & Gilman's the pharmacologycal basis of theurapeutics. Edisi ke-10. New York: McGraw-Hill; 2001. hlm. 531−2. 35. Berg CL, Gollan JL. Pharmacotherapy of hepatobiliary disease. Dalam: Wolfe MM, penyunting. Gastrointestinal pharmacotherapy. Philadelphia: WB Saunders Company; 1993. hlm. 245−59.

84

Pendidikan Ilmu Kesehatan Anak Berkelanjutan (PIKAB) XIII

Diagnostik Penyakit Autoimun dalam Fasilitas KesehatanTerbatas Rd. Reni Ghrahani

Pendahuluan Prevalensi penyakit autoimun di dunia cenderung meningkat meskipun frekuensinya berbeda untuk setiap negara.1–3 Penyakit autoimun belum dikenal luas di masyarakat. National Institute of Health (NIH) melaporkan 23,5 juta penduduk Amerika Serikat menderita penyakit autoimun, dan hanya 15% penduduk Amerika yang mengenal penyakit autoimun, sebagaimana dinyatakan oleh Americam Autoimmune Diseases Related Association (AARDA).4 Peningkatan prevalensi penyakit autoimun ini memerlukan penanganan berupa peningkatan proses diagnostik dan tata laksana yang lebih baik. Penyakit autoimun yang tersering ditemukan di beberapa senter pelayanan di Indonesia adalah systemic lupus erythemathosus (SLE), Henoch Schonlein purpura (HSP), dan juvenile idiopathic arthritis (JIA). Penyakit lain yang lebih jarang antara lain juvenile dermatomyositis (JDM), scleroderma, dan poly arteritis nodosa (PAN). Sering kali ditemukan kasus rujukan penyakit autoimun yang berat sehingga memerlukan tindakan yang lebih kompleks serta prognosis yang buruk. Hal ini terjadi umumnya karena kesulitan geografis selama rujukan, proses diagnostik yang sulit, atau tata laksana yang terbatas di rumah sakit asal. Kesulitan geografis masih sering terjadi pada saat pasien tidak dapat ditangani di fasilitas kesehatan tahap primer (FKTP) sehingga perlu dirujuk ke fasilitas kesehatan tahap 2 atau bahkan tahap 3, namun terkendala jarak geografis yang jauh, sarana transportasi yang tidak memadai, dan juga mahal. Transportasi ini tentunya tidak termasuk dalam pelayanan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Hambatan pada proses diagnosis dapat disebabkan oleh pengenalan penyakit autoimun yang tergolong jarang sehingga dirasakan sulit dan fasilitas pemeriksaan penunjang yang terbatas. Rumah sakit asal umumnya hanya memiliki pemeriksaan penunjang dasar sementara dalam diagnosis penyakit autoimun memerlukan pemeriksaan laboratorium dan pencitraan yang lebih maju. Bandung, 26–27 November 2016

85

Hambatan dalam tata laksana dapat terjadi baik di rumah sakit asal maupun rumah sakit rujukan, umumnya karena ketersediaan obat-obatan yang terbatas. Tata laksana penyakit autoimun tertentu seharusnya dapat diberikan di rumah sakit asal, pasien tidak perlu dirujuk selama proses pengobatan tidak memerlukan evaluasi khusus ataupun penanganan dokter konsultan setiap saat, namun obat-obatan tertentu hanya tersedia di rumah sakit rujukan tersier. Pada makalah ini akan dibahas bagaimana mengedepankan pengenalan dini dalam penyakit autoimun, khususnya meningkatkan anamnesis dan pemeriksaan fisis yang lengkap, serta memanfaatkan pemeriksaan penunjang yang tersedia di rumah sakit asal seoptimal-optimalnya. Penyakit Autoimun yang Sering pada Anak Penyakit autoimun merupakan kumpulan gejala dan kelainan kompleks yang terjadi akibat respons imun terhadap jaringan tubuh sendiri yang diidentifikasi sebagai benda asing atau self-antigen. Penyakit autoimun diklasifikasikan sebagai berikut: 5 1. penyakit autoimun sistemik yang dapat melibatkan seluruh organ seperti SLE; 2. penyakit autoimun spesifik organ seperti diabetes melitus tipe 1 yang mengenai sel B pankreas. Insidensi tertinggi penyakit autoimun pada anak di Amerika Serikat adalah JIA. 5 Di beberapa senter di Indonesia prevalensi penyakit autoimun yang tersering adalah SLE, sedangkan JIA di urutan kedua. Di RS Dr. Hasan Sadikin Bandung sebagai pusat rujukan, prevalensi penyakit autoimun terlihat pada tabel di bawah ini. Tabel 1 Persentase Rawat Inap Penyakit Autoimun Tersering pada Anak Dibanding dengan Seluruh Penyakit di Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung Penyakit

2012 1,28%

Tahun 2013 1,54%

2014 1,40%

2015 1,67%

1

Systemic Lupus Erythematosus

2011 1,25%

2

Henoch Schonlein Purpura

0,90%

0,76%

0,76%

0,75%

1,07%

3

Juvenile Idiopatic Arthritis

0,16%

0,14%

0,16%

0,20%

0,28%

Sumber: Data Divisi Alergi Imunologi Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung

86

Pendidikan Ilmu Kesehatan Anak Berkelanjutan (PIKAB) XIII

Peran Dokter Umum dan Dokter Spesialis Anak Penyakit autoimun memiliki prevalensi yang relatif rendah dibanding dengan penyakit lain seperti penyakit infeksi sehingga dokter dan tenaga kesehatan lain jarang menjumpai penyakit ini. Namun, pengenalan dini seharusnya dapat dilakukan dengan melakukan anamnesis, pemeriksaan fisis, dan pemeriksaan penunjang sesuai ketersediaan di tempat bekerja masing-masing.

Peran Dokter Umum Dalam menghadapi penyakit autoimun, dokter umum diharapkan dapat mengenali sesuai dengan anamnesis, pemeriksaan fisis, dan pemeriksaan penunjang sesuai ketersediaan di tempat bekerja masing-masing. Terdapat tingkatan kompetensi berbeda yang diharapkan dari seorang dokter umum sesuai dengan Standar Kompetensi Dokter Indonesia. Untuk penyakit SLE, seorang dokter umum diharapkan dapat melakukan diagnosis klinis dan memberi terapi pendahuluan pada keadaan bukan gawat darurat (tingkat kemampuan 3A). Untuk penyakit HSP dan JIA seorang dokter umum diharapkan dapat mendiagnosis dan merujuk (tingkat kemampuan 2). 6

Peran Dokter Spesialis Anak Dokter spesialis anak diharapkan dapat mengenali penyakit autoimun dengan anamnesis, pemeriksaan fisis, dan pemeriksaan penunjang sesuai ketersediaan di tempat bekerja masing-masing. Terdapat tingkatan kompetensi berbeda yang diharapkan dari seorang dokter spesialis anak untuk setiap penyakit sesuai dengan Standar Pendidikan Profesi Dokter Spesialis Anak (Kolegium Ilmu Kesehatan Anak Indonesia, 2007). Untuk penyakit SLE, HSP, dan JIA, seorang dokter spesialis anak diharapkan kompeten dalam menatalaksana (level kompetensi B), tentunya sesuai dengan ketersediaan fasilitas di tempat bekerja masing-masing.7 Jumlah dokter yang masih sedikit dibanding dengan jumlah penduduk juga merupakan salah satu masalah penyebab keterlambatan diagnosis penyakit autoimun. Menurut American Academy of Pediatric, proporsi dokter anak dibanding dengan

Bandung, 26–27 November 2016

87

jumlah anak yang ideal adalah 885⎼1750:1.7 Pada tahun 2012, jumlah anak di Indonesia sekitar 82,5 juta jiwa sehingga menurut rasio ideal untuk tercapainya pelayanan kesehatan yang optimal maka dibutuhkan sekitar 8.250 dokter anak. Sayangnya, saat ini Indonesia hanya memiliki 2.700 dokter anak dengan sebaran yang tidak merata. Di Jakarta terdapat 670 dokter spesialis anak, Jawa Barat 312 orang, Jawa Timur 283 orang, Jawa Tengah 222 orang, dan Sumatera Utara 142 orang, sementara daerah lain seperti Jambi dan Kalimantan Barat hanya memiliki belasan dokter anak.8 Jumlah dokter subspesialis atau konsultan yang sedikit di bidang alergi-imunologi juga merupakan salah satu tantangan di Indonesia. Dokter spesialis anak yang bekerja di bidang alergi-imunologi dan terhimpun di UKK Alergi Imunologi hingga saat ini yang tercatat adalah 51 orang, sedangkan yang sudah memperoleh gelar konsultan alergi dan imunologi sebanyak 29 orang dan hanya tersebar di 11 provinsi, yaitu Daerah Istimewa Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Sumatra Selatan, Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, dan Sulawesi Utara.

Pemeriksaan Penunjang yang Tersedia di Rumah Sakit Perujuk dan Tempat Rujukan Pemeriksaan Laboratorium dan Pencitraan yang Tersedia di Rumah Sakit Perujuk di Jawa Barat Di beberapa rumah sakit perujuk di Jawa Barat yang umumnya merupakan RS tipe D, C, dan B (fasilitas kesehatan sekunder), sedangkan fasilitas pemeriksaan laboratorium yang tersedia adalah yang dasar, tidak menyediakan pemeriksaan yang lebih canggih seperti pemeriksaan imunoserologis. Pemeriksaan imunoserologis dirujuk ke rumah sakit rujukan tersier seperti RSUP Dr. Hasan Sadikin. Pemeriksaan pencitraan juga terbatas pada jenis pencitraan dasar (foto rontgen dan USG), untuk pencitraan yang lebih canggihpun seperti ekokardiografi dan CT-scan pasien harus dirujuk ke RS rujukan tersier. Hal ini merupakan tantangan bagi dokter yang bekerja di fasilitas kesehatan sekunder/perujuk untuk memanfaatkan fasilitas pemeriksaan penunjang yang ada semaksimal-maksimalnya. 88

Pendidikan Ilmu Kesehatan Anak Berkelanjutan (PIKAB) XIII

Pemeriksaan Laboratorium dan Pencitraan yang Tersedia di Rumah Sakit Pusat Rujukan Khususnya di RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung sebagai pusat rujukan tersier dengan menggunakan fasilitas BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial), pemeriksaan yang dilakukan dapat lebih canggih daripada pemeriksaan laboratorium dasar. Pemeriksaan imunoserologis tertentu dapat dilakukan sehingga cukup membantu proses diagnosis. Pemeriksaan pencitraan yang lebih mendetil juga dapat dilakukan, seperti CT-scan, MRI, dan angiografi. Namun, bukan berarti di pusat rujukan tersier tidak terdapat masalah dalam diagnostik. Hambatan terjadi karena pada pasien rawat jalan tidak semua pemeriksaan imunoserologis dapat dilakukan pada sekali kunjungan yang terkait dengan pagu jaminan sehingga pasien harus melakukan kunjungan berulang kali untuk beberapa pemeriksaan imunoserologis yang diperlukan. Hal ini menimbulkan kesulitan bagi pasien yang terkendala faktor geografis. Untuk pemeriksaan pencitraan canggih seperti CT/MRI angiografi, pasien dihadapkan dengan antrian pelayanan yang panjang. Hal ini sering menghambat proses diagnostik, padahal bila diagnostik dapat segera ditegakkan, tata laksana definitif dapat segera dilakukan, masa perawatan lebih singkat, dan prognosis akan lebih baik.

Menyiasati Keterbatasan Pemeriksaan Penunjang Peran Anamnesis dan Pemeriksaan Fisis dalam Diagnostik Penyakit Autoimun Anamnesis memegang peranan penting dalam proses diagnostik penyakit autoimun pada anak. Namun, tidak semua anak dapat mengungkapkan keluhannya atau memberikan informasi yang diperlukan, dapat karena usianya yang belum memungkinkan atau karena keterbatasan dan sakitnya. Sering kali terdapat keadaan dokter sangat bergantung kepada orangtua pasien untuk mendaparkan informasi mengenai keluhan utama maupun keluhan penyerta, juga riwayat penyakit dan pengobatannya. Di samping itu orangtua sering berada dalam kondisi cemas sehingga tidak dapat optimal memberikan informasi kepada dokter. Dokter diharapkan dapat

Bandung, 26–27 November 2016

89

membangun komunikasi dengan pasien dan orangtuanya untuk mendapatkan informasi yang diperlukan terlebih untuk penyakit kronik. Hal yang dapat diperoleh dari anamnesis antara lain menentukan rencana pemeriksaan selanjutnya, menentukan diagnosis banding untuk kemudian menentukan diagnosis pasti, menentukan kondisi yang mendasari penyakit pasien anak (psikologi, keluarga atau sosial), menjaga hubungan yang baik dengan orangtua dan anak, serta interaksi dengan anak dan orangtuanya sebagai bagian dari proses terapi. 10 Pada anamnesis kita mungkin dapat memperoleh beberapa keluhan yang secara umum berkaitan dengan penyakit autoimun seperti panas badan hilang timbul yang tidak terlalu tinggi (low grade fever), rasa cepat lelah (fatigue), pusing (dizziness), berat badan turun, ruam kulit, kaku sendi, bengkak sendi rambut rontok, dan anak tampak tidak sehat secara umum. Diupayakan informasi yang didapat juga meliputi keluhankeluhan sebelum timbulnya keluhan utama saat datang. 10 Pemeriksaan fisis akan mengonfirmasi keluhan yang didapatkan dari anamnesis. Pemeriksaan fisis dilakukan secara lengkap dari kepala hingga ekstremitas bawah. Bila diperlukan dapat dilakukan pemeriksaan fisis sendi (Pediatric Gait Arm Leg Spine). Terkadang harus dilakukan pemeriksaan fisis pada organ yang mungkin tidak dikeluhkan oleh pasien.10

Peran Pemeriksaan Laboratorium Sederhana dalam Diagnostik Penyakit Autoimun Evaluasi umum pada dugaan kasus penyakit autoimun yang pertama dilakukan antara lain: pemeriksaan hematologi lengkap, urinalisis, panel metabolik seperti laju endap darah (LED), C-reactive protein (CRP), serta enzim otot seperti creatine phosphokinase (CPK), aldolase, dan lactat dehydrogenase (LDH).11

Pemeriksaan Hematologi Lengkap Pada penderita penyakit autoimun ditemukannya hemoglobin dan hematokrit yang rendah dapat merupakan tanda anemia kronik (misalnya pada JIA atau SLE), tanda

90

Pendidikan Ilmu Kesehatan Anak Berkelanjutan (PIKAB) XIII

anemia akut (misalnya pada JIA sistemik, atau tanda anemia hemolitik (contohnya pada kasus SLE yang didukung uji Coombs).11-13 Terdapat leukositosis menunjukkan respons inflamasi pada JIA, efek terapi kortikosteroid, atau infeksi. Leukopenia merupakan akibat terdapat anti sel darah putih, sebagai contoh pada SLE dan skleroderma sistemik (SS) berkaitan dengan terdapat anti-SS-A dan anti-SS-B. Dengan hitung jenis leukosit mungkin dapat ditemukan limfopenia yang dapat berkaitan dengan SLE. Salah satu kriteria diagnostik SLE menurut ACR 1997 adalah terdapat limfopenia tambahkan makanan dalam diet

Lanjutkan hindari makanan Pertimbangkan reevaluasi berkala/provokasi ulang (kecuali untuk celiac disease)

Gambar 4 Diagnosis dan Tata Laksana Alergi Makanan pada Anak Sumber: Konsensus IDAI

Bandung, 26–27 November 2016

16

135

Rekomendasi Diagnosis dan Tata Laksana Alergi Susu Sapi 1. Untuk bayi dengan ASI eksklusif Diagnosis ditegakkan dengan cara eliminasi protein susu sapi pada diet ibu selama 2–4 minggu. Lama eliminasi bergantung pada berat ringannya reaksi alergi. Bila gejala menghilang setelah eliminasi, ibu dapat konsumsi kembali nutrisi yang mengandung protein susu sapi. Bila gejala muncul kembali maka dapat ditegakkan diagnosis susu sapi. Bila gejala tidak menghilang setelah eliminasi maka perlu dipertimbangkan diagnosis lain. Tata laksana alergi susu sapi pada kelompok ini adalah pemberian ASI dapat diteruskan dan Ibu harus menghindari susu sapi dan produk turunannya pada makanan sehari-harinya sampai usia bayi 9–12 bulan atau minimal selama 6 bulan. Setelah kurun waktu tersebut, uji provokasi dapat diulang kembali, bila gejala tidak timbul kembali berarti anak sudah toleran dan susu sapi dapat dicoba diberikan kembali. Bila gejala timbul kembali maka eliminasi dilanjutkan kembali selama 6 bulan dan seterusnya.20

136

Pendidikan Ilmu Kesehatan Anak Berkelanjutan (PIKAB) XIII

Diagram 1 Alur Tata Laksana Alergi Susu Sapi pada Bayi dengan ASI Eksklusif Sumber: UKK Imunologi IDAI dan Vandenplas

20

2. Untuk bayi yang mengonsumsi susu formula Diagnosis ditegakkan dengan cara eliminasi protein susu sapi, yaitu dengan mengganti susu formula berbahan dasar susu sapi dengan susu formula hidrolisat

Bandung, 26–27 November 2016

137

ekstensif (untuk kelompok dengan gejala klinis ringan atau sedang) atau susu formula asam amino (untuk kelompok dengan gejala klinis berat). Eliminasi dilakukan selama 2–4 minggu.20 Bila gejala menghilang setelah eliminasi, perkenalkan kembali dengan protein susu sapi. Bila gejala muncul kembali maka dapat ditegakkan diagnosis susu sapi. Bila gejala tidak menghilang setelah eliminasi maka perlu dipertimbangkan diagnosis lain.20 Tata laksana alergi susu sapi pada kelompok ini adalah pemberian susu formula berbahan dasar susu sapi dengan susu formula terhidrolisat ekstensif (untuk kelompok dengan gejala klinis ringan atau sedang) atau susu formula asam amino (untuk kelompok dengan gejala klinis berat). Penggunaan formula khusus ini dilakukan sampai usia bayi 9–12 bulan atau minimal 6 bulan. Setelah kurun waktu tersebut, uji provokasi dapat diulang kembali, bila gejala tidak timbul kembali berarti anak sudah toleran dan susu sapi dapat diberikan kembali. Bila gejala timbul kembali maka eliminasi dilanjutkan kembali selama 6 bulan dan seterusnya. Pada bayi yang sudah mendapatkan makanan padat maka perlu penghindaran protein susu sapi dalam bubur atau biskuit bayi.20

138

Pendidikan Ilmu Kesehatan Anak Berkelanjutan (PIKAB) XIII

Diagram 2 Alur Tata Laksana Alergi Susu Sapi pada Bayi dengan Susu Formula Sumber: UKK Imunologi IDAI dan Vandenplas

20

3. Apabila susu formula terhidrolisat ekstensif tidak tersedia atau terdapat kendala biaya maka sebagai alternatif bayi dapat diberikan susu formula yang mengandung isolat protein kedelai dengan penjelasan kepada orangtua kemungkinan reaksi

Bandung, 26–27 November 2016

139

silang alergi terhadap protein kedelai pada bayi. Formula kedelai yang dapat digunakan adalah formula kedelai yang sudah diformulasikan untuk anak dan tidak boleh menggunakan susu kedelai segar/murni atau yang dibuat untuk dewasa karena kandungan nutrisinya tidak sesuai untuk anak.20 4. Pemeriksaan IgE spesifik (uji tusuk kulit/IgE RAST) untuk mendukung penegakan diagnosis dapat dilakukan pada alergi susu sapi yang diperantarai IgE.20

Infant Feeding Practice (Penyapihan pada Anak) Pada umumnya setelah usia 6 bulan kebutuhan nutrisi bayi baik makronutrien maupun mikronutrien tidak dapat terpenuhi hanya oleh ASI. Selain itu, keterampilan makan (oromotor skills) terus berkembang dan bayi mulai memperlihatkan minat akan makanan lain selain susu (ASI atau susu formula).21 Oleh karena itu, memulai pemberian MPASI pada saat yang tepat akan sangat bermanfaat bagi pemenuhan kebutuhan nutrisi dan tumbuh kembang bayi. Periode ini dikenal pula sebagai masa penyapihan (weaning) yang merupakan suatu proses dimulainya pemberian makanan khusus selain ASI secara bertahap jenis, jumlah, frekuensi maupun tekstur dan konsistensinya sampai seluruh kebutuhan nutrisi anak dipenuhi oleh makanan. Masa peralihan ini yang berlangsung antara 6 bulan sampai 23 bulan merupakan masa rawan pertumbuhan anak karena bila tidak diberi makanan yang tepat, baik kualitas maupun kuantitasnya, dapat terjadi malnutrisi.21

Ciri-Ciri Bayi Siap Mendapat MPASI Kesiapan Fisik Bayi akan menunjukkan tanda-tanda siap untuk menerima makanan selain ASI, yaitu makannya. 21 1. Refleks ekstrusi (menjulurkan lidah) telah sangat berkurang atau sudah menghilang. 2. Mampu menahan kepala tetap tegak.

140

Pendidikan Ilmu Kesehatan Anak Berkelanjutan (PIKAB) XIII

3. Duduk

tanpa/hanya

dengan

sedikit

bantuan

dan

mampu

menjaga

keseimbangan badan ketika tangannya meraih benda di dekatnya. Kesiapan Psikologis Bayi akan memperlihatkan perilaku makan lanjutan. 21 1. Dari reflektif ke imitatif. 2. Lebih mandiri dan eksploratif. 3. Pada usia enam bulan, bayi mampu menunjukkan - keinginan makan dengan cara membuka mulutnya; - rasa lapar dengan memajukan tubuhnya ke depan/ke arah makanan; - tidak beminat atau kenyang dengan menarik tubuh ke belakang/menjauh. Telaah sistematik WHO pada tahun 2002 yang bertujuan mengevaluasi apakah terdapat hasil yang berbeda antara bayi dengan ASI eksklusif selama 4 bulan versus 6 bulan menyatakan bahwa tidak ada studi yang menunjukkan bahwa bayi yang mendapat ASI eksklusif selama 6 bulan mengalami defisit pertumbuhan dalam hal berat badan maupun panjang badan sehingga WHO merekomendasikan pemberian ASI eksklusif sampai usia 6 bulan dan MPASI dimulai pada usia 6 bulan. MPASI yang diberikan sebelum usia 4 bulan diklasifikasikan sebagai MPASI dini, sedangkan bila diberikan setelah usia 6 bulan diklasifikasikan sebagai MPASI terlambat. Usia 6–9 bulan adalah masa kritis untuk mengenalkan makanan padat secara bertahap sebagai stimulasi keterampilan oromotor. Jika pada usia di atas 9 bulan belum pernah dikenalkan makanan padat maka kemungkinan untuk mengalami masalah makan di usia batita meningkat. Oleh karena itu, konsistensi makanan yang diberikan sebaiknya ditingkatkan seiring bertambahnya usia. Mula-mula diberikan makanan padat berupa bubur halus pada usia 6 bulan. Makanan keluarga dengan tekstur yang lebih lunak (modified family food) dapat diperkenalkan sebelum usia 12 bulan. Pada usia 12 bulan anak dapat diberikan makanan yang sama dengan makanan yang dimakan anggota keluarga lain (family food). 21

Bandung, 26–27 November 2016

141

Prognosis Pada prinsipnya alergi tidak dapat disembuhkan. Anak dengan alergi terhadap susu sapi, telur, kacang kedelai, atau gandum memiliki prognosis yang baik. Sebagian besar penderita bayi atau anak usia ≤3 tahun yang alergi susu sapi dan telur mengalami remisi bersama bertambahnya usia (outgrow). Sekitar separuhnya sembuh dalam 2–3 tahun. Sekitar 80% penderita alergi kacang tanah, biji pepohonan, dan makanan laut akan menetap seumur hidup. Namun, data terakhir menunjukkan sekitar 20% anak usia dini mengalami “outgrow” alergi kacang tanah pada usia sekolah.5 Sebaliknya, bayi dengan alergi susu sapi yang dimulai sejak tahun pertama kehidupan, 80% di antaranya toleran (remisi) pada usia 5 tahun. Enam puluh persen bayi alergi susu sapi di Amerika mengalami alergi yang diperantarai oleh IgE, 25% di antaranya bertahan sampai 2 dekade kehidupan, 35% selanjutnya disertai alergi makanan lain. Beberapa penelitian sebelumnya menyatakan alergi makanan menghilang pada usia 3 tahun. Penelitian terbaru menunjukkan hanya 11% alergi telur dan 19% alergi susu menghilang pada usia 4 tahun, dan 80% alergi makanan tersebut baru menghilang pada usia 16 tahun.6,22

Simpulan Alergi makanan adalah reaksi imunologik yang menyimpang. Alergi makanan pada anak menyebabkan berbagai manifestasi klinis yang mengganggu kualitas hidup dan gangguan nutrisi. Manifestasi klinis yang muncul pada alergi makanan dapat menyerang seluruh sistem organ. Penegakan diangnosis alergi makanan dapat menggunakan uji provokasi, uji kulit, darah tepi, serta IgE total dan spesifik. Prinsip penatalaksanaan pada alergi makanan, yaitu alergen yang sudah ditemukan harus dihindari sebaik-baiknya dan perlu diingat alergi tidak dapat disembuhkan.

Daftar Pustaka 1. Boyce JA, dkk. NIAID-sponsored 2010 guidelines for managing food allergy: application in the pediatrics population. Pediatrics. 2011;128(5):955–8. 142

Pendidikan Ilmu Kesehatan Anak Berkelanjutan (PIKAB) XIII

2. Cianferoni A, Spergel JM. Food allergy: review, classification and diagnosis. Allergol Int. 2009;58(4):457–66. 3. Parrish CR. Food allergies: dietary management. Practical Gastroenterol. 2013;123: 46–54. 4. Comberiati P, dkk. Diagnosis and treatment of pediatric food allergy: an update. Italian J Pediatr. 2015:1–8. 5. Davis CM. Food allergies: clinical manifestations, diagnosis, and management. Current problems pediatrics adolelescen health care. Houston: Baylor College Medicine; 2009. 6. Sampson HA. Update on food allergy. J Allergy Clin Immunol. 2004;113:805–19. 7. Toit GD, Lack G. Can food allergy be prevented? The current evidence. Pediatr Clin Am. 2011;58::481–509. 8. Butt C, Macdougall C. Diagnosing and managing food allergy in children. Paediatr Child Health. 2008;17:317–22. 9. Fleischer DM, Walker MK, Christie L, Burks AW, Wood RA. Peanut allergy: recurrence and its management. J Allergy Clin Immunol. 2004;114 1195–201. 10. Herz U. Immunological basis and management of food of allergy. J Pediatr Gastroenterol Nutr. 2008;47:S54–7. 11. Abbas A, Lichtman A. Cellular and molecular immunology. Philadelphia: Elseviers Saunders; 2005. 12. Valenta R. The future of antigen specific immunotherapy of allergy. Nature Rev Immunol. 2002:446–53. 13. Baratawidjaja KG. Imunologi dasar. Edisi ke-7. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2006. 14. Munasir Z, Suyoko EMD. Reaksi hipersensitivitas. Dalam Akib AAP, Munasir Z, Kurniati N, penyunting. Buku ajar alergi-imunologi anak. Edisi kedua. Jakarta: Balai Penerbit IDAI; 2008. hlm. 115–31. 15. Murphy K, Travers P, Walport M. Janeway’s Immunobiology. Edisi ke-7. New York: Garland Science; 2008.

Bandung, 26–27 November 2016

143

16. UKK Imunologi, UKK Gastrohepatologi, UKK Nutrisi dan Penyakit Metabolik Ikatan Dokter Anak Indonesia. Diagnosis dan tatalaksana alergi makanan pada anak. Jakarta: Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2015. 17. Kim JS, Sicherer. Living with food allergy: allergen avoidance. Pediatr Clin N Am. 2011;58:459–70. 18. Niggemann B, Beyer K. Diagnosis of food allergy in children: toward a standardization of food challenge. J Pediatr Gastroenterol Nutr. 2007;45:399–404. 19. Sicherer SH, Sampson HA. Food allergy. J Allergy Clin Immunol. 2010;125(2):116– 25. 20. UKK Imunologi, UKK Gastrohepatologi, UKK Nutrisi dan Penyakit Metabolik. Rekomendasi ikatan dokter anak indonesia: diagnosis dan tatalaksana alergi susu sapi. Edisi ke-2. Jakarta: Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2014. 21. Unit Kerja Koordinasi Nutrisi dan Penyakit Metabolik Ikatan Dokter Anak Indonesia. Rekomendasi Praktik Pemberian Makan Berbasis Bukti pada Bayi dan Batita di Indonesia untuk Mencegah Malnutrisi. Jakarta: Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2015. 22. Waserman S, Watson W. Food allergy. Allergy, Asthma Clin Immunol. 2011:S1–7.

144

Pendidikan Ilmu Kesehatan Anak Berkelanjutan (PIKAB) XIII

Pitfall dalam Terapi Antibiotik Alex Chairulfatah

Tujuan: Memahami masalah pitfall dalam pemberian antibiotik dan diharapkan dapat diperoleh wawasan sehingga pada praktik sehari-hari dalam pemberian antibiotik dapat dihindari kerugian akibat masalah tersebut.

Secara terminologi obat antimikrobial atau anti-infektif meliputi obat-obat antibakteri, antijamur, antivirus, dan antiparasit. Obat-obat antibakteri secara khusus dipakai istilah antibiotik. Pitfall secara harfiah berarti jebakan atau perangkap. Dalam konteks dengan pemberian antibiotik. Pitfall diartikan sebagai suatu kondisi baik keadaan sakit pasien atau pola pengelolaan yang apabila tidak diwaspadai dapat menimbulkan efek merugikan dari pemberian antibiotik. Pemberian antibiotik yang tidak hati-hati dapat menimbulkan berbagai kerugian antara lain reaksi alergi, toksisitas (misal depresi sumsum tulang), superinfeksi (misal pertumbuhan berlebih Clostridium difficile dan Candida sp. pada pemakaian antibiotik yang lama), biaya, penyakit yang tidak sembuh bahkan menimbulkan kematian, dan tumbuhnya bakteri yang resisten terhadap antibiotik (antibiotic resistant bacteria/ABRB). Penggunaan antibiotik dalam klinis dibagi dalam tiga kategori, yaitu profilaksis, empiris, dan definitif. Dengan demikian, pitfall dalam pemberian antibiotik dapat terjadi di semua kategori tersebut.

Terapi Antibiotik Profilaksis Antibiotik diberikan untuk mencegah penyakit infeksi yang belum terjadi, namun mempunyai potensi untuk menimbulkan penyakit tersebut. Dengan perkataan lain, terapi profilaksis ditujukkan untuk melindungi seseorang yang memiliki risiko untuk terkena infeksi, baik tertular dari penderita, diturunkan dari ibu hamil ke janin, akibat status imunologi yang tidak baik, trauma, profilaksis terhadap wisatawan, maupun

Bandung, 26–27 November 2016

145

akibat tindakan pembedahan. Prinsip pemberian antibiotik profilaksis adalah dengan mempertimbangkan: - risiko bila antibiotik tidak diberikan; - lama pemberian: pada umumnya harus sesingkat-singkatnya; - fungsi status imunologi; - kuman penyebab: efektivitas antibiotik terhadap bakteri yang diperkirakan sebagai penyebab; - organ yang dituju; dan - keamanan antibiotik yang diberikan; - kemungkinan terjadi resistensi bakteri; - biaya dan ketersediaan obat; - tepat waktu: misal pemberian antibiotik yang terlalu awal sebelum dilakukan tindakan pembedahan tanpa dosis pemeliharaan akan menyebabkan konsentrasi antibiotik yang rendah pada saat dilakukan pembedahan. Beberapa macam pemberian antibiotik profilaksis dapat dilihat pada Tabel 4 sampai Tabel 10.

Tabel 1 Pitfall dalam Terapi Profilaksis Prinsip

Pitfall

Diberikan bila ada evidence-based indication.

Hanya sedikit bahkan tanpa bukti seperti pemberian antibiotik pada operasi hernia inguinalis tanpa penyulit. Diberikan sefalosporin generasi ke-3 dengan potensi untuk terjadi MRSA, vancomycin resistant enterococci. Terlambat memberikan atau tidak tepat waktu untuk pemberian dosis berikut pada operasi yang lama. Pemberian pascaoperasi yang lama.

Pilih antibiotik dengan spektrum sempit.

Waktu pemberian antibiotik harus tepat waktu. Pemberian pascaoperasi yang sesingkatsingkatnya.

146

Pendidikan Ilmu Kesehatan Anak Berkelanjutan (PIKAB) XIII

Pemberian Antibiotik Secara Empiris/Terapi Empiris Berbeda dengan terapi profilaksis, terapi empiris diberikan pada pasien yang telah terbukti terkena infeksi, namun bakteri penyebab belum dapat diidentifikasi. Jenis terapi ini paling banyak diberikan baik di sarana rawat jalan maupun rawat inap. Setelah dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisis, dan laboratorium tertentu seorang klinisi menentukan ada tidaknya suatu infeksi. Kemudian, dilakukan pemeriksaan kultur serta uji kepekaan untuk menentukan jenis bakteri penyebab, namun hasilnya memerlukan waktu beberapa hari. Oleh karena itu, klinisi memberi antibiotik sebelum hasil kultur dan uji kepekaan datang. Perlu diingat bahwa terapi empiris tidak ditujukan terhadap setiap jenis bakteri, hanya ditujukan terhadap bakteri yang diperkirakan sebagai penyebab. Dengan perkataan lain, antibiotik dengan spektrum luas bukan merupakan pengganti dari nalar yang sehat. Beberapa pertimbangan dalam pemberian terapi empiris adalah sebagai berikut: - diagnosis klinis; - mikrobiologi: kemungkinan bakteri penyebab tersering dan pola antibiogram bakteri di rumah sakit setempat; - farmakodinamik antibiotik yang dipilih: apakah terapi antibiotik akan memberikan khasiat yang kita harapkan? Apakah perlu dilakukan penyesuaian dosis? Apakah perlu pemberian antibiotik kombinasi atau cukup tunggal (monoterapi)? - farmakokinetik: bagaimana distribusi obat, waktu pemberian dan dosis yang tepat? Bagaimana kompatibilitasnya dengan cairan infus/obat lain? (ceftazidime tidak kompatibel dengan cairan yang mengandung vancomycine dan aminoglikosida); - penderita: bila sakit berat i.v. bila sudah membaik usahakan per oral; - efek samping antibiotik; - resistensi bakteri: misal, ceftazidime merupakan antibiotik yang dapat menginduksi timbulnya bakteri Klebsiella sp., Enterobacter sp., dan E. coli yang resisten terhadap berbagai betalaktam. Berbagai pilihan terapi empiris dapat dilihat pada Tabel 11 sampai Tabel 13.

Bandung, 26–27 November 2016

147

Tabel 2 Pitfall dalam Terapi Empiris Prinsip

Pitfall

Nilai pasien dengan saksama. Obati infeksi bakteri, bukan kontaminan.

Diagnosis tidak tepat. Antibiotik diberikan pada kontaminan atau infeksi virus. Antibiotik ditujukan pada isolat urin pada pasien yang asimtomatis apapun hasil urinalisis. Tidak diambil kultur sebelum pemberian antibiotik. Stabilitas antibiotik tidak diperhatikan.

Obati infeksi bukan kolonisasi.

Tujukan antibiotik pada patogen yang paling mungkin (data lokal/guideline). Ambil dulu kultur. Dosis-cara pemberian-penyimpanan obat harus tepat. Jangan memakai vancomycin sembarangan.

Nilai penderita tiap 24–48 jam: Bukan infeksi bakteri: setop Bukti pemeriksaan mikrobiologi tersedia: ganti pada terapi definitif. Re-asses penyebab pada demam yang menetap. Monoterapi lebih dipilih karena mengurangi interaksi obat, kesalahan dosis, efek samping, dan biaya. Penetrasi antibiotik harus baik.

Vancomycin diberikan pada penderita dengan kultur negatif atau gram (+) sensitif betalaktam. Tidak dilakukan pemeriksaan mikrobiologi.

Menambah antibiotik, mengobati leukositosis. Kombinasi antibiotik.

Abses, osteomielitis tidak dilakukan tindakan bedah. Materi yang dipasang (implanted material) yang diduga berhubungan dengan infeksi, tidak diangkat.

Terapi Definitif Setelah hasil kultur dan uji kepekaan diterima, fase pengobatan empiris beralih menjadi terapi definitif. Pada fase ini sangat penting pemilihan antibiotik dengan mempertimbangkan efektivitas, spektrum yang sempit, keamanan, dan biaya. Pada umumnya perpindahan dari terapi empiris ke terapi definitif meliputi pemilihan antibiotik dengan spektrum yang lebih sempit/terarah dan sedapat-dapatnya diberikan per oral.

148

Pendidikan Ilmu Kesehatan Anak Berkelanjutan (PIKAB) XIII

Tabel 3 Pitfall dalam Terapi Definitif Sering: lama pemberian bila memungkinkan pilih lama pemberian yang pendek. Terlalu lama memberikan antibiotik intravena. Pasien yang mendapat terapi i.v. bila mampu meminum obat p.o./harus segera dilakukan switching. Pada umumnya sekitar 3 hari setelah didapat perbaikan klinis. Pemilihan obat p.o. yang tidak setara dengan i.v.

Tabel 4 Antibiotik Profilaksis pada Tindakan Operasi Tindakan

Organisme

Pemasangan vp-shunt, kraniotomi, trauma CNS Bedah toraks

S. epidermidis S. aureus

Operasi jantung

S. epidermidis S. aureus Enterobacter

Tindakan operasi bypass (CABG)

S. aureus

Kandung empedu

E. coli Klebsiella E. faecalis

Operasi hati

E. coli Klebsiella E. faecalis B. fragilis S. aureus Grup A streptokokus

Operasi usus halus

S. aureus (MSSA)

Bandung, 26–27 November 2016

Antibiotik Profilaksis MRSA Seftriakson i.v. 1 dosis

Alternatif

Keterangan

Sefotaksim 1 dosis Pemberian secepatnya atau sebelum tindakan Vankomisin 1 dosis

Sefazolin i.v. 1 dosis atau Seftriakson i.v. 1 dosis Vankomisin i.v. 1 dosis ditambah Gentamisin i.v. 1 dosis Sefazolin i.v. 1 dosis atau Seftriakson i.v. 1 dosis

Sefoaksim i.v. 1 dosis

Pemberian secepatnya sebelum tindakan

Linezolid i.v. 1 dosis ditambah Gentamisin i.v. 1 dosis Sefotaksim i.v 1 dosis

Pemberian vankomisin dan gentamisin diberikan perlahan lebih dari 1 jam sebelum tindakan

Sefazolin i.v. 1 dosis atau Meropenem i.v. 1 dosis Ampisilin Sulbaktam 1 dosis atau Sefazolin Seftriakson i.v. 1 dosis

Ampisilin sulbaktam i.v. 1 dosis

Pemberian dilakukan sebelum tindakan. Untuk Seftriakson dosis diulang pada saat intraoperatif pada operasi yang lebih dari 3 jam Diberikan segera sebelum tindakan

Meropenem i.v. 1 dosis

Diberikan segera sebelum tindakan

Sefotaksim i.v. 1 dosis

Diberikan segera sebelum tindakan

149

Operasi usus bagian bawah, kolon

E. coli Klebsiella B. fragilis

Metronidazol i.v. ditambah Seftriakson i.v. atau Levofloksasin i.v. atau Gentamisin i.v.

Diberikan segera sebelum tindakan

S. epidermidis S. aureus

Per oral: Neomisin ditambah Eritromisin atau Metronidazol Parenteral: Etrapenem i.v. 1 dosis Sefazolin i.v Vankomisin i.v

Operasi ortopedi, pemasangan implan Ortopedi (fraktur terbuka) Operasi urologi

Seftriakson i.v.

Diberikan segera sebelum tindakan

S. aureus

Seftriakson i.v

Diberikan lebih awal, bukan sebagai profilaksis

S. aureus Aerobik GNBs

Seftriakson i.v.

Klindamisin i.v. ditambah Gentamisin i.v. Sefotaksim i.v.

Diberikan segera sebelum tindakan

Sumber: Gardner dkk.

Tabel 5 Antibiotik Profilaksis Setelah Terpapar Suatu Penyakit Terpapar

Organisme

Profilaksis

Alternatif

Keterangan

Meningitis

N. meningitidis

Kuinolon per oral 1 kali

H. influenzae

Rifampin per oral 1 kali selama 3 hari Oseltamivir (tamiflu) per oral sekali selama 7 hari Oseltamivir

Minosilin per oral 2 kali sehari selama 2 hari Quinolon per oral selama 3 hari

Diberikan segera kurang dari 24 jam. Observasi dan dilakukan terapi definitif jika infeksi timbul Diberikan segera kurang dari 24 jam.

Rimantadin per oral selama 7–10 hari

Diberikan kepada penderita risiko tinggi dan penderita yang belum dilakukan imunisasi

Virus Influenza

Influenza virus A dan B

Avian Influenza Swine Influenza Pertusis

Influenza A (H5N1) Influenza A (H1N1) B. pertussis

Diptheria

C. diphtheriae

Oseltamivir Eritromisin per oral tiap 6 jam, selama 14 hari

Eritromisin per oral tiap 6 jam selama 1 minggu Tuberculosis M. tuberculosis INH tiap 24 jam selama 9 bulan

150

Rimantadin atau Amantadin Amantadin atau Rimantadin Trimetropinsulfametoksazol per oral tiap 12 jam selama 14 hari Azitromisin per oral tiap 24 jam selam 3 hari Rifamfin tiap 24 jam selama 4 bulan

Dilanjutkan 10 hari setelah kontak Segera setelah kontak dengan penderita pertusis

Segera setelah kontak dengan penderita difteria Pemberian INH harus dimonitor SGOT/SGPT tiap 4 minggu. Setop terapi jika fungsi hati >5 kali

Pendidikan Ilmu Kesehatan Anak Berkelanjutan (PIKAB) XIII

Varicella

VZV

Hepatitis B

Hepatitis B virus

Hepatitis A

Hepatitis A virus

Kurang 72 jam, diberikan imunisasi varicella-zoster (VZIG) i.m. 1 kali Alternatif: Vaksin varisella 0,5 mL s.c. 1 kali, diulang 4 minggu kemudian Status imunisasi (−) Hepatitis immune globulin (HBIG) 0,06 mg/kgBB i.m. satu kali ditambah HBV vaksin HAV vaksin 1 mL Immune serum globulin (IG) 0,02 mL/kgBB 1 kali

Diberikan segera sebelum 72 jam. Jika infeksi timbul berikan terapi dengan asiklovir

Jika titer HbsAg ≥10 IU/mL, tidak diterapi Titer ≤10 terapi sebagai status imunologi (–) Diberikan sebelum 14 hari

Sumber: Gardner dkk.

Tabel 6 Antibiotik Profilaksis yang Diberikan Lama (Terapi Supresi) Kelainan Asplenia

Organisme Penyebab S. pneumoniae H. influenzae N. meningitidis

Rekuren UTI

Gram negatif bacilli Enterococci

Profilaksis CMV pada organ transplantasi

CMV

Profilaksis infeksi jamur pada penderita neutropenia

Candida albicans Non albican candida Aspergilus S. pneumoniae H. influenzae M. catarrhalis

Eksaserbasi Bronkitis kronik

Bandung, 26–27 November 2016

Profilaksis

Alternatif

Keterangan

Amoksisilin per oral Untuk jangka waktu tidak terbatas Nitrofurantoin satu kali sehari selama 6 bulan

Quinolon

Pemberian dalam jangka waktu lama akan efektif.

Amoksisilin satu kali sehari selama 6 bulan atau trimetropimsulfametoksazol 1 kali sehari selama 6 bulan

Profilaksis reinfeksi UTI diberikan lebih dari 3 tahun. Kasus kambuh kembali harus dievaluasi kelainan struktur ginjal atu terdapat batu. Valgansiklovir setiap hari atau valasiklovir Profilaksis dimulai ketika sampai level CMV antigen menurun antigen CMV ↑

Posaconazol tiap 8 jam per oral atau Itraconazol tiap 12 jam per oral

Profilaksis diberikan sampai neutropenia perbaikan (ANC 3 >500/mm

Maksilofloksasin atau levofloksasin tiap 24 jam selama 5 hari atau Amoksisilin/asam klavulanat tiap 12 jam selama 5 hari atau Klaritomisin per oral tiap 24 jam selama 5 hari atau Azitromisin per oral tiap 24 jam selama 3 hari

Pengobatan disesuaikan secara individu.

151

Demam rematik Streptokokus akut grup A

Benzatin penisin setiap bulan sampai usia 30 tahun

Infeksi neonatal Streptokokus disebabkan grup B streptokokus Grup B

Ampisilin i.v. 4 jam setelah lahir

Amoksisillin per oral tiap 24 jam atau Azitromisin per oral tiap 72 jam sampai usia 30 tahun Klindamisin i.v. 8 jam setelah lahir atau Vankomisin i.v. 12 jam setelah lahir

Ibu terbukti terdapat kolonisasi GBS dari vagina atau rektal kultur, ketuban pecah dini ≥12 jam, suhu o ibu ≥38,5 C.

Sumber: Gardner dkk.

Tabel 7 Pemberian Antibiotik Profilaksis Endokarditis pada Tindakan di Atas Pinggang (Pencabutan Gigi, Tindakan pada Mulut, Esofagus, dan Saluran Pernapasan) Profilaksis Oral

i.v.

Reaksi terhadap Penisilin Tidak ada Reaksi anafilaksis (−) Reaksi anafilaksis (+) Tidak ada Reaksi anafilaksis (−) Reaksi anafilaksis (+)

Antibiotik Amoksisilin 1 jam sebelum tindakan Sefaleksin 1 jam sebelum tindakan Klindamisin 1 jam sebelum tindakan Ampisilin 30 menit sebelum tindakan Sefazolin 15 menit sebelum tindakan Klindamisin 30 menit sebelum tindakan

Sumber: Gardner dkk.

Tabel 8 Pemberian Antibiotik Profilaksis Endokarditis pada Tindakan di Bawah Pinggang (Genitouria, Gastrointestinal) Profilaksis

Reaksi terhadap Penisilin

Antibiotik

Oral

Tidak ada Reaksi anafilaksis (−) Reaksi anafilaksis (+) Tidak ada Reaksi anafilaksis (−)

Amoksisilin 1 jam sebelum tindakan

i.v.

Reaksi anafilaksis (+)

Linezolid 1 jam sebelum tindakan Ampisilin 30 menit sebelum tindakan ditambah Gentamisin i.m. atau i.v. 1 jam sebelum tindakan Vankomisin lebih dari 60 menit sebelum tindakan ditambah Gentamisin i.v dan i.m. lebih dari 60 menit sebelum tindakan

Sumber: Gardner dkk.

152

Pendidikan Ilmu Kesehatan Anak Berkelanjutan (PIKAB) XIII

Tabel 9 Terapi Profilaksis pada Wisatawan Paparan

Bakteri

Regimen

Keterangan

Diare

E. coli Salmonela Shigella V. cholera Rotavirus Amebiasis Giardia lamblia

Pemberian antibiotik ketika datang dan 1 hari setelah sampai di rumah.

Meningoccal meningitis

N. meningitidis

Hepatitis

Hepatitis virus

Tifoid

Salmonella typhi

Tetanus Diftheria Pertusis Malaria

C. tetani C.diptheriae B. pertusis P. vivax P. ovale P. malariae P. falciparum (sensitif klorokuin)

Doksisilin 24 jam setelah terpapar atau Kuinolon per oral atau Trimetroprimsulfametoksazol per oral. Sebelum pergi ≥1 bulan diberikan imunisasi meningokokus. Vaksin hepatitis A sebelum pergi dan booster pada 3 dan 6 bulan kemudian. Vaksin ViCPS dilakukan booster tiap 2 tahun atau vaksin oral tiap 48 jam diberikan selama 4 kali. Booster tiap 5 tahun. Vaksin Tidap.

Klorokuin fosfat atau Meflokuin per oral atau Doksisiklin per oral.

Klorokuin atau meflokuin diberikan 1 minggu sebelum perjalanan dan diteruskan sampai 4 minggu setelah datang di rumah.

P. falciparum (resisten klorokuin)

Doksisiklin atau meflokuin.

Sumber: Gardner dkk.

Bandung, 26–27 November 2016

153

Tabel 10 Pemberian Antibiotik Profilaksis pada Imunokompromais Infeksi

Antimikrob

Efikasi

Pneumocystic jerovecii

Trimetoprimsulfametoksazol. Rifabutin, Azitromisin, Klaritomisin. Penisilin, Amoksisilin.

Telah digunakan

Trimetoprimsulfametoksazol. Eritromisin.

Diajukan

Mycobacterium avium complex Bakteremia fulminan (asplenia) Infeksi bakteri pada kronik granulomatosis Mycoplasma pneumoniae pada penderita sikle cell hemoglobinopathy

Telah digunakan Telah digunakan

Diajukan

Sumber: Reed Book 2006

Tabel 11 Terapi Kombinasi dan Resistensi Antibiotik Kombinasi antibiotik yang mencegah resistensi Penisilin antipseudomonas + aminoglikosida Rifampin + obat TB lain 5-flucytosin + amphotericin Kombinasi antibiotik yang tidak mencegah resistensi Seftazidim + azteronam Sefepim + siprofloksasin Imipenem + aminoglikosida Sumber: Cunha dkk.

Tabel 12 Bioavaibilitas Antibiotik Oral Biovaibilitas

Antibiotik

Sangat baik (>90%)

Amoksisilin Sefaleksin Sefadroksil Klindamisin Kuinolon Beta-laktam Sefpodoksim Sefaklor Vankomisin

Baik (60–90%)

Buruk (
View more...

Comments

Copyright ©2017 KUPDF Inc.
SUPPORT KUPDF