Problem Filsafat Jilid I
April 11, 2020 | Author: Anonymous | Category: N/A
Short Description
Download Problem Filsafat Jilid I...
Description
PROBLEM FILSAFAT Bulletin Komunitas Marx STF Driyarkara No. 1 / 2009
Apa Perlunya Membaca Das Kapital? No. 1 / Tahun I / November 2009
Problem Filsafat
Orasi Pembukaan Serial Diskusi Membaca Kapital
berderapnya anak zaman menyongsong rebahnya kesadaran inlander oleh: I Gusti Anom Astika
Yang Terhormat, para calon peserta serial diskusi Membaca Das Kapital, kawan kawan Komunitas Marx, Komunitas Hegel, dan Senat Mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Yang Terhormat, para Pengajar dan Civitas Akademik Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Yang Terhormat, para pelajar filsafat di seluruh Indonesia, Pertama-tama, saya ucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada berbagai pihak yang telah membantu dan mendukung segala persiapan penyelenggaraan serial diskusi ini. Baik kepada Pembantu Ketua III STF Driyarkara, Romo Setyo Wibowo yang telah berperan banyak membimbing persiapan penyelenggaran acara ini, maupun kepada kawan-kawan pengurus Senat Mahasiswa STF Driyarkara yang tak henti-hentinya memberikan saran perihal bagaimana seharusnya sebuah komunitas diskusi berperan di dalam kehidupan mahasiswa STF Driyarkara. Eksklusivitas di dalam hal ini merupakan isu penting sehubungan dengan komposisi mahasiswa STF yang beragam asal usul dan latar belakang. Karenanya terdapat banyak upaya untuk melumerkan batas batas eksklusivitas
Problem Filsafat
di dalam berbagai bidang kehidupan masyarakat akademik, dan salah satunya adalah melalui penyelenggaraan/ pembentukan komunitas studi ilmiah. Sebagai bagian dari program Senat Mahasiswa, seharusnya komunitas memiliki kemampuan untuk menjaring partisipasi baik dari berbagai komunitas kerohaniawanan, maupun dari kalangan awam. Pada titik ini problem eksklusivitas dari sebuah komunitas diskusi perlu dilihat secara kritis sebagai cara untuk mempererat persaudaraan maupun sebagai cara untuk memperluas pengetahuan filsafat. Mungkin karakter eksklusif ini tampil mengedepan pada komunitas komunitas diskusi yang terdahulu. Kendati demikian, belum selalu eksklusivitas dapat dianggap sebagai problem dasar dari keberadaan sebuah komunitas studi filsafat di tengah ruang belajar yang dihuni oleh banyak orang dengan berbagai macam latar belakang. Bagi kami, eksklusivitas di sini lebih serupa bahasa lain dari problem pergaulan di antara mereka yang berada di dalam komunitas dan yang di luar komunitas, walaupun problem pergaulan itu sendiri juga tak selalu dapat dianggap sebagai sebuah problem, dan lebih serupa fenomena sosial. Apa yang perlu dipikirkan lebih jauh adalah pada
No. 1 / Tahun I / November 2009
bagaimana membentuk sebuah komunitas studi filsafat yang berkemampuan mendorong para peserta komunitas untuk menghasilkan gagasan gagasan yang kreatif sebagai konsekuensi logis dari diskusi diskusi yang berlangsung di dalam komunitas. Artinya kemudian, yang lebih penting adalah bagaimana menciptakan sebuah ruang bagi berlibatnya berbagai individu di dalam komunitas studi filsafat, dan bagaimana ruang itu dapat melahirkan kerja sama kerja sama ilmiah di antara para mahasiswa STF Driyarkara. Boleh-bolehlah sekali waktu diskusi Komunitas Marx berlanjut di Lapo Ni Tondongta demi segelas bir dan dua porsi babi panggang agar lahir sebuah karya ilmiah tentang pemikiran Karl Marx. Anggaplah itu seperti ujaran puitik Saut Sitompul, “Ada daun jatuh, Tulis. Ada bau babi panggang, Tulis. Tulis, tulis dan Tulis!”. Banyak juga yang beranggapan bahwa persoalan eksklusivitas ini berkait dengan cara berbahasa dari mereka yang berada di dalam komunitas terhadap mereka yang baru mencoba berpartisipasi di dalam komunitas. Peristilahan yang tidak lazim, perbincangan yang berlarutlarut untuk topik yang tidak renyah dicerna oleh rata-rata mahasiswa STF boleh jadi berperan di dalam membentuk eksklusifitas itu. Lebih-lebih apabila wajahwajah dari mereka yang berbicara aktif di dalam komunitas itu lebih memancarkan kesuraman ketimbang pengharapan. “Pantaslah, sudah bahasanya aneh, yang diomongin aneh, apalagi orang-orangnya: Autis!”, demikian kata seorang mahasiswi UI yang sekali waktu dua-tiga tahun lalu hadir dalam sebuah diskusi komunitas. Anggapan itu belum selalu benar, lantaran kami beranggapan bahwa “aneh” adalah sesuatu yang memang dan harus lekat pada setiap insan pelajar filsafat, sebagaimana manusia pada umumnya. Bukan dari “sana” nya aneh, tapi memutuskan untuk
No. 1 / Tahun I / November 2009
belajar filsafat di alam yang serba instan dan serba butuh modal seperti sekarang ini, sesungguhnya adalah ide yang ‘aneh’. “Buat apa belajar filsafat? Gak ada untungnya!”, demikian kata ayah seorang mahasiswa STF. Adanya keanehan tidak selalu bermakna negatif, tetapi sungguh positif ketika itu dilihat sebagai sikap kritis terhadap segala sesuatu yang penuh dengan tipuan optik, segala sesuatu yang tidak membebaskan manusia, dan sebagainya. Toh keanehan-keanehan yang berlangsung di STF Driyarkara baru sebatas gesture, diksi, dan bentuk bentuk kebahasaan lainnya, dan belum serupa anak buah Noordin M Top yang harus memasuki rumah lewat jendela lantaran memasang bom pertahanan diri di pintu masuk rumahnya. Problemnya justru pada apa yang dapat dihasilkan dari segala keanehan itu sendiri. Apabila segala bentuk keanehan dari sebuah komunitas itu hanya menghasilkan orang orang yang banyak membaca buku, dan pandai bicara filsafat tapi begitu sulit melahirkan karya karya filsafat berdasarkan riset boleh jadi ada tendensi anti sosial dalam komunitas itu. Boleh jadi juga komunitas itu, seperti kata Mbah Surip, sedang begitu sibuk menggendong dirinya sendiri, kemanamana mendapatkan jalan buntu kreativitas. Entahlah, masih banyak kemungkinan yang lain. Yang jelas persoalannya bukan pada keanehan itu sendiri, tetapi lebih pada bagaimana keanehan itu berinteraksi dengan lingkungan sosialnya. Jangan berharap lebih jauh akan keberadaan sebuah komunitas, apabila publik STF sendiri lalu berpendapat seumpama dua bait terakhir sajak Sia-Sia Chairil Anwar di tahun 1943: “Ah ternyata hatimu yang tak memberi. Mampus kau dimakan sepi”. Eksklusivitas menjadi permasalahan ketika eksklusivitas itu justru melahirkan erotisme perdebatan intelektual. Artinya bahwa problemproblem yang dibicarakan di dalam
Problem Filsafat
sebuah perdebatan dapat dan hanya dapat diperbincangkan oleh mereka yang berlibat di dalam komunitas dan belum selalu dipikirkan perihal keterlibatan orang di luar komunitas sebagai bagian dari perdebatan. Oleh sebab perbincangan yang berlangsung di dalam komunitas sudah sedemikian canggihnya, sehingga orang di luar komunitas perlu berpikir dua kali dua puluh empat jam tanpa harus lapor RT untuk berlibat di dalam komunitas. Oleh sebab, perdebatan yang berlangsung sudah demikian luas cakup pemahamannya; oleh sebab problemproblem di dalam perdebatan itu dibicarakan dengan diksi filosofis yang tak terurai segera penjelasan ataupun terjemahannya; langsung dalam waktu sekejap keengganan menyapu semangat untuk berlibat. Apa sebenarnya yang diperdebatkan dan apa-apa saja yang dibahasakan secara filosofis? Pembentukan sebuah komunitas pada dasarnya tidaklah sama dengan pembentukan perkumpulan suporter sepakbola dan atau perkumpulan pemuja arwah gentayangan. Adanya sebuah komunitas di dalam lingkup masyarakat akademik pun sudah pasti bukan perkumpulan pesta pora dan orgy. Melainkan berdasarkan kebutuhan mempelajari kekhususan pemikiran seorang filsuf misalnya, dan boleh jadi juga sebuah ekskursus (studi banding) ke berbagai pemikiran tentang modernisme, misalnya. Pendek kata, di dalam proses pembentukan sebuah komunitas problem pertama yang harus dijawab adalah “persoalan apa di dalam filsafat yang perlu dipelajari secara serius”. Apakah itu serupa pemikiran-pemikiran dari seorang tokoh filsafat, ataukah itu isu-isu penting di dalam filsafat, seluruhnya dapat dianggap sebagai awal dari pembentukan sebuah komunitas. Problem kedua yang perlu dijawab adalah pada bagaimana
Problem Filsafat
mempersiapkan proses belajar di dalam komunitas. Bagi kami dari Komunitas Marx dasar dari problem kedua ini lebih merujuk pada pemikiran Marx tentang komunitas sebagaimana yang dituangkannya dalam Economic and Philosophical Manuscript, bahwa: “Dengan hakekat kemanusiaan yang menciptakan komunitas sejati manusia, di sana manusia menciptakan komunitas kemanusiaan melalui aktivasi dari hakekatnya. Hakekat manusia adalah hakekat sosial yang bukan merupakan kekuasaan abstrak umum terhadap individu, tetapi hakekat dari setiap individu, yang berkait dengan aktivitas, kehidupan, pikiran dan kesejahteraan dari individu itu sendiri... Manusia bukanlah abstraksi, tetapi sungguh individuindividu yang nyata, hidup dan unik dari hakekat (komunal) ini”.1 Artinya, proses belajar ini perlu mempertimbangkan kepentingan dari setiap individu untuk dapat berlibat di dalam komunitas. Bukan sekedar mobilisasi rasa ingin tahu yang dapat dijadikan dasar untuk mempersiapkan proses belajar, tetapi justru pemahaman terhadap problem-problem filsafat dan problem-problem realitas sosial yang dapat direfleksikan secara filosofis. Penting karenanya memperhatikan bagaimana Antonio Gramsci mendefinisikan filsafat sebagai sebuah materi pendidikan: “Konsepsi seseorang tentang dunia adalah tanggapan atas sejumlah problem spesifik tertentu yang diletakkan oleh realitas, yang cukup spesifik dan ‘orisinal’ oleh karena kemendesakan dari relevansinya”.2 Beberapa alinea sebelumnya Antonio Gramsci menulis dengan begitu lugas: “Adalah penting untuk menghancurkan prasangka meluas
No. 1 / Tahun I / November 2009
bahwa filsafat adalah sesuatu yang aneh dan sulit hanya karena filsafat merupakan aktivitas intelektual yang spesifik yang secara sosial menjadi kategori khusus kaum spesialis atau para filsuf sistematik dan profesional. Sudah saatnya ditunjukkan bahwa semua orang adalah “filsuf” dengan membuat batasan-batasan maupun karakteristik ‘filsafat spontan’ yang sesuai bagi semua orang”.3 Arti pentingnya bukan pada bagaimana Gramsci mendefinisikan filsafat sebagai sebuah konseptualisasi dunia, tetapi justru pada bagaimana melihat filsafat sebagai sebuah upaya untuk memperluas pemahaman tentang dunia dengan melihat bahasa, kemasukakalan dan kebijakan, serta folklor sebagai bagian-bagiannya. Akan tetapi apa yang dikemukakan oleh Gramsci di muka agak bermasalah lantaran terjadi pemisahan antara filsafat profesional dan filsafat spontan, antara realitas yang dipahami oleh para filsuf dengan realitas yang dipahami oleh orang biasa. Ketika dua pemahaman terhadap realitas itu dipertemukan di ranah praktis menjadi sulit untuk mencari rumusan rumusan filosofisnya. Dalam artian apabila pendidikan dibayangkan sebagai sebuah proses pembentukan pemikiran filsafat, dan oleh karenanya perlu memperhitungkan keterkaitan antara teori dan praktek; pencerapan pengetahuan dan ketrampilan menulis lalu bagaimana meletakkan filsafat dalam dimensi praksis? Lefebvre kemudian menjawabnya sebagai berikut: “Praksis bagaimana pun dibentuknya tetap merupakan sesuatu yang terbuka: praksis selalu menunjuk pada ranah kemungkinan. Secara dialektis, inilah tepatnya makna dari determinasi: yang negatif mengandung yang positif, menegasi masa lalu dalam makna yang
No. 1 / Tahun I / November 2009
mungkin, dan memanifestasikannya sebagai totalitas. Setiap praksis memiliki dua koordinat historis: yang pertama menujuk masa lalu, yang sudah dan sedang diselesaikan, sedang yang lain pada masa depan pada hal mana praksis menjadi terbuka dan memungkinkan untuk diciptakan.”4 Pemaknaannya di sini lebih berkait dengan filsafat sebagai sebuah media pendidikan, sebagai sarana yang terus mendorong lahirnya pemaknaan pemaknaan baru terhadap pengalaman-pengalaman hidup manusia. Bahasa memang selalu mengandung nilai filosofis, tetapi baru memiliki penjelasan filosofis ketika dihubungkan dengan aktivitas manusia yang lain. Adanya filsafat bukan oleh karena kebiasaan membaca buku, dan berdiskusi sepanjang hari demi lahirnya gagasan-gagasan filosofis. Melainkan ia lahir melalui riset, melalui penyelidikan terhadap berbagai macam problem filsafat, baik yang sudah ditulis oleh para filsuf maupun terhadap problem-problem kongkret. Artinya kebutuhan untuk mempelajari filsafat di sini tidak hanya didasarkan pada ketertarikan terhadap problem problem filsafat, tetapi juga tujuan maupun kepentingan individu di dalam mempelajari filsafat. Apakah itu untuk menempa kemahirannya di dalam menelisik gagasan filosofis di balik fenomena realitas sosial, ataukah itu untuk merancang sebuah direktori pemikiran dari perspektif Marxis, seluruhnya coba diwadahi dalam proses diskusi dalam rangka praksis ini. Menarik jika kemudian kita memperhatikan perkembangan yang paling belakangan dalam studi studi filsafat dari garis Marxian, yang kini sudah mencakup bidang bidang kehidupan yang spesifik seperti problem emansipasi kaum peranakan sebagaimana yang diadvokasi oleh Cornel West, problem
Problem Filsafat
estetika counterpoint dalam bidang musik sebagaimana yang sudah diinisiasi oleh Theodor Adorno, maupun problem feminisme dalam filsafat seiring dengan munculnya sejumlah filsuf perempuan di akhir abad ke 20 seperti Judith Butler, dan Toril Moi. Secara praktis-filosofis gagasan Marxisme juga berpengaruh dalam pemikiran di bidang kesenian dan kesusasteraan. Mungkin yang diketahui oleh mahasiswa STF baru sebatas debat antara Lukacs, Brecht, dan Bloch tentang estetika marxis. Tetapi di belahan Amerika Latin tercatat nama Augusto Boal yang bereksperimen teater pembebasan, sebagaimana juga Tadeusz Kantor di pinggiran desa desa di Polandia. Sudah tidak jamannya lagi kita masih berpikir dalam perspektif ortodoksi marxisme dan lingkar marxisme Barat. Sebab itulah pembagian yang kerap bernuansa Perang Dingin, dan tidak dapat melihat secara komparatif bagaimana studi filsafat di Yugoslavia bisa menghasilkan filsuf semacam Slavoj Zizek sebelum melihat secara historis bagaimana relasi diantara intelektual Eropa di masa Perang Dingin. Dengan demikian, problem pendidikan filsafat di sini belum selalu bermakna pembacaan sebuah teks seorang filsuf, lalu diselidiki paragraf demi paragraf untuk kemudian dicari logika sang filsuf di dalam mempersepsikan sesuatu dan atau mendefinisikan sesuatu. Tetapi juga melihat konsekuensi logis dari pemikiran tersebut baik dalam pengembangan studi studi filsafat maupun dalam realitas sosial. Oleh karenanya, dalam konteks pembacaan terhadap Das Kapital yang menjadi titik tekan adalah pada bagaimana mempelajari pemikiran Marx secara filosofis, dan bagaimana realitas sosial dipersepsi oleh Marx sebagai cara untuk melihat relasi di antara teori dan realitas dalam kerangka praksis. Sudah pasti sulit mempersiapkan
Problem Filsafat
proses belajar yang demikian, oleh karena persoalan-persoalan yang dibahas tidak sekedar mencari makna di balik sebuah istilah, dan juga bukan sekedar membuat artikulasi logis dari kalimat-kalimat yang tertuang di dalam teks Das Kapital. Apa yang lebih penting adalah membuat pembacaan itu dapat dipersepsikan sebagai sebuah studi ilmiah. Oleh sebab, pembacaan secara harafiah, dan bahkan reduksionis, sudah bermula sejak Friedrich Engels membuat karya Sinopsis terhadap Kapital, dan seterusnya ketika Engels melanjutkan Jilid II dan III Das Kapital dengan berdasar fragmen-fragmen catatan Marx.5 Berdasarkan pembacaan terhadap Kapital jilid II dan III yang cenderung lebih praktis dan tidak mengandung perdebatan filosofis seperti dalam Kapital jilid I, segala pemikiran Marx di dalam proyek Das Kapital disederhanakan oleh banyak intelektual Kiri, termasuk Lenin, sebagai Ekonomi Politik. Gunanya sebatas bahan agitasi propaganda kepada kelas proletar untuk mulai melancarkan pemogokanpemogokan demi pengambilalihan alat-alat produksi. Sementara Harry Cleaver mencatat munculnya berbagai macam tradisi membaca Das Kapital dan kemudian membaginya ke dalam dua aras besar yang saling bersilangan: Pembacaan berdasarkan bidang kajian dan pembacaan berdasarkan tujuan politik.6 Dari sana Cleaver, menjabarkan pembacaan berdasarkan perspektif Ekonomi Politik Internasional Kedua, dengan tokohtokohnya Eduard Bernstein, Karl Kautsky, dan Rosa Luxemburg; pembacaan Komunis Marxis, dengan tokoh-tokohnya Lenin, Stalin, Mao Tse Tung; pembacaan Neo Marxis Keynesianisme dan Kiri Baru dengan tokoh-tokohnya Paul Sweezy, Joan Robinson, dan Paul Baran; pembacaan Ortodoksi Baru dengan tokoh-tokohnya Ernest Mandel dan Paul Mattick. Pembacaan secara Filosofis memiliki ragam
No. 1 / Tahun I / November 2009
tendensi yang begitu luas, mulai dari lingkar Marxisme Barat (Western Marxism), dengan tokoh tokohnya seperti Lukacs, Gramsci dan Karl Korsch yang semuanya menekankan pengaruh Hegel atas Marx; Neo Kantianisme Galvano Delavolpe dan Lucio Colleti; Marxis Hegelianisme Jean Hyppolite dan Alexandre Kojeve; Eksistensialisme Jean Paul Sartre, Simone de Beauvoir, dan Maurice Merleau Ponty; Marxisme fenomenologis Tran Duc Thao dan Karel Kosik; teori Kritis mazhab Frankfurt dengan tokoh tokohnya Marcuse, Horkheimer, Adorno dan Habermas; mazhab ortodoksi baru Louis Althusser; tendensi Johnson Forrest dengan tokoh tokohnya C.L.R. James dan Raya Dunayevskaya; mazhab Socialism ou Barbarie dengan tokoh tokohnya Cornelius Castoriadis dan Claude Lefort, serta mazhab Kiri Baru Italia dengan tokoh tokohnya, Raniero Panzieri, Tronti dan Antonio Negri.7 Pembagian ini belum sepenuhnya benar dan lengkap karena belum memasukkan tendensi dari pemikiran Zizek dan Badiou misalnya, dan belum juga memasukkan unsur tendensi feminis Marxis, ataupun Geografi Marxisme David Harvey yang dipengaruhi oleh mazhab anales (spasial) Fernand Braudel. Lebih lebih ketika Cleaver secara sembrono memasukkan Althusser sebagai pemikir ortodoksi Marxisme dalam bentuk yang baru, dan tendensi Birmingham Cultural Studies dengan tokoh tokohnya, Raymond Williams, dan EP Thompson sekedar sebagai bagian dari Western Marxism. Tetapi sebagai sebuah peta sederhana tentang pembacaan terhadap Das Kapital, Cleaver menyediakan basis bibliografik untuk pembacaan Das Kapital di STF Driyarkara. Oleh karenanya di dalam proses belajar nantinya diupayakan beberapa macam pembahasan. Pertama pembahasan secara literer tekstual yang berdasarkan atas pemaknaan terhadap teks
No. 1 / Tahun I / November 2009
Das Kapital, dan yang kedua pembahasan secara interpretatif dan elaboratif yang merujuk pada silang referensi antara karya karya Marx sebelum Das Kapital dan Das Kapital, maupun Das Kapital dengan karya karya para penafsirnya. Barangkali hanya mereka yang kurang kerjaan mau berpikir tentang Das Kapital dalam cara yang begitu rumit ini. Pembahasan yang elaboratif dan interpretatif sebenarnya juga bukan sesuatu yang baru, karena sudah banyak tersedia karya karya tulis ilmiah yang mempelajari satu atau beberapa gagasan dalam Das Kapital. Ambil contoh studi studi yang dilakukan oleh Walter Benjamin mengenai fetisisme komoditi, reproduksi modal dan reproduksi budaya sebagai yang tertuang dalam karyanya The Work of Art in the Age of Mechanical Reproduction. Kemudian studi Georg Simmel tentang kehidupan kota besar yang meletakkan unsur ekonomi uang sebagai relasi sosial yang membentuk sosio-psikologi masyarakat kota, tertuang dalam tulisannya, Metropolis. Dalam bidang sejarah, pemaknaan atas ruang studi sejarah yang tidak hanya berbatas pada urut urutan waktu tetapi sebagai rangkaian peristiwa yang berserakan tanpa narasi tunggal telah melahirkan pemahaman tentang demokratisasi sejarah yang berangkat dari pengalaman hidup mereka yang dipinggirkan. Sejarawan Inggris EP Thompson sudah memulainya, dan kemudian diformulasikan secara filosofis oleh Alain Badiou, menginterpretasikan kembali sejarah yang dipikirkan oleh Karl Marx sebagai sejarah aktivitas manusia. Semuanya ini menunjukkan bahwa yang ditulis oleh Marx dalam Das Kapital telah menjadi sumber yang inspiratif bagi proyek proyek pembebasan manusia maupun bagi pengembangan studi filsafat. Sebagai cara untuk mempelajari
Problem Filsafat
Das Kapital, kami mempersiapkan sejumlah teks pendukung yang memungkinkan para peserta diskusi membaca dalam makna yang interpretatif. Pertama kami mengupayakan agar setiap peserta bisa mendapatkan buku Das Kapital yang diterbitkan oleh Penguin Publisher. Kedua kami juga mengupayakan adanya pendataan atas buku buku studi Das Kapital baik yang tersedia di perpustakaan STF Driyarkara maupun di perpustakaan lain. Sebagai contoh, buku Dictionary of Marxist Thought yang ditulis oleh Tom Bottomore sejauh yang kami ketahui tersedia di perpustakaan Freedom Institute. Kemudian kami juga mengupayakan adanya sebuah perpustakaan file digital dalam bentuk CD/DVD yang berisi karya karya lengkap Karl Marx beserta para penafsirnya. CD/DVD ini sebenarnya dapat dipesan secara gratis ataupun diunduh secara gratis pula via internet. Perpustakaan ini juga menyediakan adanya buku buku pendukung studi Das Kapital ataupun artikel-artikel jurnal internasional dalam bentuk file digital, dan kuliah 12 kali pertemuan membaca Das Kapital yang diampu oleh David Harvey dalam format file Audio dan Video. Pendeknya, kami berusaha mempersiapkan proses belajar ini dari segi ketersediaan materi, yang mana akan dapat dipenuhi selambatlambatnya pada diskusi pertama buku Das Kapital. Karenanya kami berharap nantinya agar peserta diskusi dapat berpartisipasi aktif di dalam proses belajar, tidak sekedar melewatkan waktu demi membuang ludah-ludah keresahan tetapi juga mempersiapkan gagasan gagasan yang dapat diartikulasikan secara ilmiah ke hadapan publik; merencanakan sesuatu untuk ditulis tepatnya. Problem proses belajar, sekali lagi bukan sesuatu yang mudah. Bagi kami yang belum selesai menuntaskan
Problem Filsafat
kuliah problem waktu dan tenaga, serta latar belakang pendidikan yang beragam di antara kami kerap membuat kami kurang begitu yakin apakah kami cukup memiliki kemampuan untuk menyelenggarakan serial diskusi ini. Lebih-lebih kekurangyakinan ini diwarnai juga oleh sejumlah pertanyaan yang penuh prasangka dari kalangan mahasiswa STF Driyarkara, yang membuat kami penat berpikir perihal relasi sosial di dalam lingkup masyarakat akademik. “Apakah acara ini bermuatan politis?”, “Apakah acara ini didanai oleh organisasi di luar STF Driyarkara?”, “Apakah acara ini bertujuan memperburuk citra STF Driyarkara di hadapan publik?”, “Apakah acara ini bertujuan membentuk embrio Partai Komunis yang baru?”, dan sebagainya, ini semua yang kami tangkap sebagai sesuatu yang penuh kewajaran. Bahkan sehari sebelum acara ini dimulai masih ada yang berpesan agar acara ini sebaiknya dilangsungkan di Gedung Juang ‘45 dan bukan di STF Driyarkara. Sesungguhnya kami di sini perlu meminta maaf kepada berbagai pihak apabila keberadaan kami yang ingin mempelajari buku Das Kapital di STF Driyarkara sebagai sesuatu yang salah dan tidak dapat dibenarkan sama sekali. Sungguh, kami pun bersedia mengundurkan diri sebagai mahasiswa STF Driyarkara apabila di dalam proses belajar nantinya terjadi usaha-usaha pembentukan embrio partai Komunis. Bahkan di dalam pikiran pun kami mencoba memperhitungkan agar segala sesuatu yang berbau ‘politis’ dalam arti agitasi dan propaganda dapat diminimalisasi selama proses belajar. Selebihnya kami hanya dapat bersyukur kepada Allah Yang Maha Kuasa karena ternyata hegemoni Orde Baru jauh lebih berpengaruh dibanding segala macam pengajaran maupun fasilitas perpustakaan
No. 1 / Tahun I / November 2009
filsafat di STF Driyarkara. Oleh karena ternyata filsafat jauh lebih tidak berharga ketimbang doktrin Rejim Orde Baru: bahwa belajar Marxisme sama dengan menyebarluaskan ideologi Marxisme Leninisme. Seperti sebuah pemenjaraan intelektual yang dikemukakan oleh mereka yang berpikir seperti Rejim Orde Baru tetapi sesungguhnya tidak memiliki kepribadian. Seperti inlander di masa kolonial Hindia Belanda yang begitu rupa memuja muja stabilitas, tetapi sesungguhnya itulah kedok dari sikap suka menjilat ke atas dan nginjek ke bawah! Akhirnya mungkin akan semakin benar yang dikemukakan oleh Karl Marx dalam Theses on Feuerbach, bahwa filsafat hanya mampu menggambarkan dunia, yang kemudian kami baca sebagai filsafat hanya mampu menjadi pembenar dari ideologi kelas berkuasa. “Padahal yang lebih penting adalah bagaimana mengubahnya”, demikian lanjut Marx, yang lalu kami baca sebagai kritik terhadap ideologi kelas berkuasa. Problematik proses pendidikan lebih berkenaan dengan problem penciptaan sebuah proses belajar bersama yang tidak mendefinisikan kemampuan seseorang sebagai yang paling menguasai dibanding yang lain. Kebetulan saja beberapa di antara kami pernah membaca beberapa karya Karl Marx, tetapi itu tidak mengandaikan bahwa kami lah yang paling menguasai pemikiran Karl Marx. Banyak hal yang belum kami pahami dari pemikiran Karl Marx dan oleh karenanya kami mengundang teman teman sekalian untuk dapat berpartisipasi di dalam serial diskusi ini. Oleh karenanya juga kami berharap di dalam proses diskusi nantinya dapat dibentangkan sebuah panorama kegembiraan intelektual yang tiada habishabisnya seperti yang digambarkan oleh Buyung Saleh Puradisastra dalam puisinya
No. 1 / Tahun I / November 2009
di tahun 1945: SEKEDAR PERMINTAAN8 Tidak terlampau aku meminta dari hidupku kini di sini dan tak kutolak beban derita yang merusakkan ruh dan jasmani Aku sekadar meminta Cinta penuh dan padu, mutlak dan murni mengisi hati semua kita keturunan Adam di bumi ini. Aku ingin yang segala mahluk penuh kasih antara sesama bagia hidup setimbang tenang. Aku yakin segala yang buruk bukannya sifat untuk selama: pasti nanti Kebajikan kembang Demikian orasi ini kami sampaikan, dan semoga segala yang hadir di sini dapat tetap menatap awan di dalam gelap Catatan Akhir 1. Karl Marx, Economic and Philosphical Manuscript 1844, diambil dari Kenneth A. Megill, The Community in Marx’s Philosophy, dalam Philosophy and Phenomenological Research, Vol. 30, No. 3. (Mar., 1970), pp. 382-393. h. 388, melalui situs web http:// links.jstor.org/sici?sici=0031-8205%281970 03%2930%3A3%3C382%3ATCIMP%3E2.0 .CO%3B2-Z. 2. Antonio Gramsci, The Study of Philosophy, diambil dari situs web www.marxists.org 3. Ibid. 4. Henri Lefebvre, Sociology of Marx, diterjemahkan dari bahasa Prancis oleh Norbert Gutterman, Columbia University Press, 1968, hlm. 55. 5. Bdk. Harry Cleaver, Reading Capital Politically, Texas University Press, h. 31 6. Ibid. Figure 1. 7. Ibid. hlm. 46. 8. H.B. Jassin (ed.), Gema Tanah Air, Prosa dan Puisi 1942-1948, Dinas Penerbitan Balai Pustaka Jakarta, 1959. hlm. 67.
Problem Filsafat
Editorial:
Pada orasi yang kami sampaikan sepekan yang lalu telah kami paparkan dengan ringkas perihal berbagai macam persiapan di dalam penyelenggaraan serial diskusi Membaca Kapital. Baru pada kesempatan ini kami sampaikan dengan lebih lapang perihal keberadaan buku Kapital, beserta metodologi pembacaan buku Kapital secara lebih programatik dan terinci. Dua artikel pertama berkait dengan keberadaan buku Kapital, sedangkan selebihnya adalah yang berkait dengan metodologi pembacaan Kapital. Oleh karenanya, lebih kurangnya kami berharap banyak masukan bergulir seiring dengan perkembangan penyelenggaraan serial diskusi ini.
Artikel 1
Adanya Buku Das Kapital oleh: I Gusti Anom Astika Sebenarnya bukanlah sesuatu yang cukup sederhana untuk membeberkan lahir dari mana gagasan Karl Marx di dalam membuat buku Das Kapital. Ada banyak perkembangan situasi yang begitu berpengaruh terhadap pemikiran Marx, dan begitu banyak juga pekerjaan yang harus diselesaikan oleh Marx baik sebagai jurnalis, intelektual, maupun sebagai aktivis politik. Oleh sebab itu di dalam hal ini kami coba mendekati asal-usul pemikirannya lewat sebuah rekonstruksi rasional dari keberadaan buku Das Kapital. Pemikiran Marx tentang ekonomi, sebenarnya perlu dicermati sebagai kepedulian terhadap perkembangan kesadaran politik, dan bukan sekedar kepedulian terhadap perkembangan
Problem Filsafat
10
ekonomi kapitalis. Walaupun dirinya sendiri mengatakan bahwa buku Das Kapital adalah penggambaran tentang proses produksi kapitalisme, dalam arti hukumhukum yang mengatur gerak ekonomi kapitalis1, tetapi perlu diperhatikan bahwa apa yang dikemukakan oleh Marx selalu berada dalam pemikiran tentang dua aras perkembangan kesadaran manusia yang bergerak dan berubah-ubahnya selalu dipengaruhi oleh relasi-relasi sosial dan bangunan ekonomi politik. Apa yang tampak dalam keseharian sebagai fenomena kesadaran dan tindakan sosial merupakan aras yang pertama, sementara pemikiran yang sistematis dan praktek yang terencana lebih serupa fenomena untuk aras yang kedua. Dasar dari pemikiran tentang dua aras ini dikemukakan oleh
No. 1 / Tahun I / November 2009
Marx dalam Kemiskinan Filsafat (The Poverty of Philosophy): “Jadi, apakah metode mutlak ini? Yalah abstraksinya gerak. Apakah abstaksinya gerak itu? Yalah gerak dalam kondisi abstrak. Apakah gerak dalam kondisi abstrak itu? Yalah perumusan logis semurninya dari gerak atau gerak nalar semurninya. Terdiri atas apakah gerak nalar semurninya itu? Dalam memajukan diri sendiri, dalam melawan diri sendiri, dalam menggubah diri sendiri; dalam merumuskan dirinya sendiri sebagai tesis, antitesis, sintesis; atau lagi-lagi, dalam mengafirmasi/menegaskan diri sendiri, menegasi diri sendiri dan menegasi negasinya.”2 Beberapa tahun sebelumnya di dalam The German Ideology, Marx menegaskan: “Berangkat dari pembagian kerja, di dalam mana semua kontradiksi ini menjadi implisit, dan yang sebaliknya berdasar pada pembagian kerja alami di dalam keluarga dan pemisahan masyarakat ke dalam keluarga keluarga individual yang saling bertentangan satu dengan yang lain, secara simultan diberikan distribusi dan sesungguhnya distribusi yang tidak adil baik secara kuantitatif maupun kualitatif atas kerja dan produk-produknya, sehingga kepemilikan adalah keluarga inti, bentuk pertama yang berada di dalam keluarga, di mana anak-anak dan istri adalah budak budak dari sang suami.” (With the division of labour, in which all these contradictions are implicit, and which in its turn is based on the natural division of labour in the family and the separation of society into individual
No. 1 / Tahun I / November 2009
families opposed to one another, is given simultaneously the distribution, and indeed the unequal distribution, both quantitative and qualitative, of labour and its products, hence property: the nucleus, the first form, of which lies in the family, where wife and children are the slaves of the husband.)3 Kedua kutipan di muka sebenarnya merefleksikan dialektika di dalam kedua aras di muka. Apa yang tampak dalam kutipan pertama lebih serupa pemikiran tentang nalar. Tetapi jika nalar itu diletakkan dalam relasi sosial maka makna dari nalar tersebut serupa dengan pembagian kerja di dalam masyarakat. Artinya di sini Marx mencoba menyusun sebuah kerangka berpikir bahwa di dalam berbagai bidang kehidupan, di dalam mana individuindividu manusia berkembang satu dengan yang lain, problem keberadaan diri manusia dibangun melalui dialektika diantara ‘pikiran’ dan ‘menjadi’ serta di antara ‘kesadaran’ dan ‘tindakan’ di dalam bentuk kerja, yang juga berdialektika dengan relasi-relasi sosial di dalam masyarakat. Sehingga bukan sesuatu yang biasa-biasa saja ketika Marx berpendapat bahwa : “Di atas segalanya penting untuk menghindari mempostulasikan ‘masyarakat’ sekali lagi sebagai abstraksi yang berlawanan dengan individu. Sebab individu adalah ada sosial. Manifestasi dari kehidupannya, --bahkan jika manifestasi itu tidak muncul langsung dalam bentuk manifestasi komunal, yang diselesaikan melalui kerjasama dengan manusia-manusia yang lain-- oleh karenanya adalah sebuah manifestasi dan penegasan akan kehidupan sosial. Dalam kesadaran spesiesnya, manusia menegaskan kehidupan 11
Problem Filsafat
sosial sejatinya, dan mereproduksi eksistensi sejatinya di dalam pemikiran.... Manusia mengada (exists) dalam realitas sebagai representasi dan pemikiran sejati tentang eksistensi sosial dan sebagai kesatuan manifestasi manusia akan kehidupan.“4 Oleh sebab itu di dalam pembahasan terhadap buku Das Kapital, perspektif Kerja sebagai bagian dari perkembangan kesadaran manusia dan Kerja itu sendiri sebagai manifestasi dari kehidupan manusia yang selalu lekat di dalam lingkup relasi sosial, pembagian kerja dan pertukaran sosial berperan penting di dalamnya. Keberadaan manusia di dalam lingkup relasi sosial boleh dianggap sebagai sesuatu yang perlu dipersoalkan selalu. Apa sebabnya? Karena keberadaan manusia di sini bukan sebagai sesuatu yang otonom dan begitu saja berperan di dalam kehidupan sosial lepas dari pengaruh kehidupan sosial itu sendiri. Sementara relasi sosial adalah sesuatu yang bergerak di luar kemampuan pemikiran maupun kesadaran manusia, di mana di dalamnya terdapat pertarungan kepentingan di antara kelompokkelompok sosial, pertarungan kepemilikan di antara kelompok-kelompok sosial, dan berbagai pertarungan lain yang semuanya menyediakan ruang bagi beradanya manusia dengan aras-aras yang sudah disebutkan di muka. Problem kedua di dalam pembahasan terhadap buku Das Kapital adalah pada keberadaan dari kelas-kelas sosial yang berlaku di masyarakat. Dalam banyak tulisannya, terutama dalam Perang Sipil di Prancis, Marx secara lugas dengan berdasar pada narasi sejarah menyatakan: “Dan (Rakyat) Paris sekarang perlu memutuskan apakah harus meletakkan senjatanya pada instruksi
Problem Filsafat
12
yang menghina yang diajukan oleh para pemilik budak dari Bordeaux, dan mengakui bahwa Revolusi rakyat Paris di tanggal 4 September tidak bermakna apapun kecuali sekedar alih kekuasaan dari Louis Bonaparte kepada para pesaing kerajaannya; atau rakyat Paris harus berdiri di depan mengorbankan diri sebagai pejuang Prancis, yang bisa diselamatkan dari kehancuran dan regenerasinya dimungkinkan hanya dengan penggulingan revolusioner terhadap kondisi sosial dan politik yang mendukung Kekaisaran Kedua, ...Rakyat Paris yang sudah dikuruskan oleh kelaparan selama lima bulan, tidak ragu ragu untuk memilih satu kalipun. Rakyat Paris secara heroik memutuskan untuk melancarkan semua serangan perlawanan terhadap para konspirator Perancis, dan bahkan terhadap meriam meriam Prussia ...” (And Paris was now either to lay down her arms at the insulting behest of the rebellious slaveholders of Bordeaux, and acknowledge that her Revolution of September 4 meant nothing but a simple transfer of power from Louis Bonaparte to his royal rivals; or she had to stand forward as the self-sacrificing champion of France, whose salvation from ruin and who regeneration were impossible without the revolutionary overthrow of the political and social conditions that had engendered the Second Empire, ... Paris, emaciated by a five-months’ famine, did not hesitate one moment. She heroically resolved to run all the hazards of a resistance against French conspirators, even with Prussian cannon...)5 Apa yang dikemukakan oleh Marx melalui kutipan di muka sebenarnya adalah gambaran tentang realitas relasi antar kelas-kelas sosial. Ada kelas sosial yang
No. 1 / Tahun I / November 2009
tetap memperjuangkan kepentingannya sebagai penguasa negeri, sebagai yang tetap berkehendak memiliki budakbudak, dan ada kelas sosial yang berupaya mengubah sistem politik yang menindas mereka, kelas rakyat jelata. Apakah sebenarnya yang ingin dikemukakan oleh Marx melalui penggal paragraf 5 itu? Praktis di dalam berbagai tulisannya Marx tidak pernah membuat definisi yang baku tentang apa itu kelas. Sekalipun banyak dari para pendukung maupun penafsirnya berusaha membuat definisi yang baku tentang kelas, namun upaya pendefinisian tersebut justru akan memiliki kemungkinan banyak kerumitan di dalam relasi sosial yang berkembang dan berubah-ubah menurut ruang dan waktu. Apa yang mungkin dijawab oleh Marx atas pertanyaan di muka adalah seperti yang terdapat dalam tulisannya The Eighteenth Brumaire of Louis Bonaparte.6 Diceritakan oleh Marx bahwa ada satu masa di dalam pemerintahan Louis Bonaparte, di mana berbagai faksi kelas borjuasi Prancis berperang politik di dalam memperjuangkan gagasan gagasan mereka tentang kebebasan hingga mewujud dalam bentuk Undang-Undang Dasar yang baru. Seperti misalnya gagasan bahwa warga negara memiliki hak untuk berkumpul secara damai dan tidak bersenjata, untuk mengeluarkan petisi dan mengungkapkan pendapat, baik melalui pers atau melalui cara lain, yang pelaksanaannya secara tanpa batas akan mengamankan hak hak yang setara dari yang lain dan keamanan publik; Kebebasan pendidikan harus dilaksanakan di bawah syarat syarat yang ditetapkan oleh hukum dan dibawa kontrol tertinggi negara. Education is free. Freedom of education shall be enjoyed under the conditions fixed by law and under the supreme control of the state. Akan tetapi Marx lalu mengajukan kritik bahwa segala hal yang disebutkan sebagai
No. 1 / Tahun I / November 2009
kebebasan di dalam konstitusi tersebut pada dasarnya justru mengkhianati kebebasan itu sendiri oleh sebab penambahan ide ‘yang lain’, ‘keamanan publik’ dan ‘ditetapkan oleh hukum’ sebagai sesuatu yang “mengamankan” kebebasan.7 Artinya kemudian, kelaskelas yang memperjuangkan kebebasan tidak paham dengan hakekat kebebasan itu sendiri, dan lebih jauh lagi tidak paham dengan keberadaannya sebagai kelas yang mampu mewujudkan kebebasan. Sehingga menjadi begitu sulit untuk mendefinisikan keberadaan kelas dalam relasi relasi sosial. Andaikata ditarik lebih rampat dan longgar lagi pendefinisiannya maka kelas adalah sebatas entitas sosial yang keberadaannya ditentukan oleh relasi relasinya pada proses produksi, seperti yang pernah dikemukakan oleh Lenin. Tetapi pendefinisian yang longgar ini pun cenderung mereduksi keberadaan kelas sebagai sesuatu yang hanya bermakna politik praktis, dan tidak melihat kelas sebagai bagian dari produksi sosial masyarakat. Pendek kata definisi Lenin tersebut mengenyahkan karakter kultural dari sebuah kelas sosial sebagai bagian dari produksi sosial. Hal ketiga berkait dengan problem problem ekonomi politik. Sebagaimana yang tampak dalam tulisan tulisan awal Marx, ekonomi-politik sebagai realitas yang melingkupi relasirelasi sosial dapat dilihat dalam diksi pemikiran sebagai berikut: “Pekerja tidak selalu mendapatkan apa yang dihasilkan oleh kapitalis, tetapi sudah pasti akan turut jatuh ketika kapitalis mengalami kerugian. Sehingga pekerja tidak mendapatkan apapun ketika kapitalis menjaga harga barang di atas harga alaminya baik itu melalui jasa perdagangan atau produksi rahasia, ataupun melalui monopoli.... 13
Problem Filsafat
Harga kerja dari berbagai macam pekerja menunjukkan adanya berbagai perbedaan yang begitu lebar dibanding keuntungan yang dicapai oleh berbagai macam usaha di mana kapital berjalan. Dalam kerja semua keragaman alami, spiritual, dan sosial dari aktivitas individual dimanifestasikan dan diberikan penghargaan secara berbeda beda, sementara kapital justru memperlakukan sama dan mengabaikan kesejatian dari aktivitas individual”.8 Apa yang dikemukakan oleh Marx dalam dua alinea dari Manuskrip Ekonomi dan Politik 1844 di muka sebenarnya merepresentasikan bagaimana pekerjaan yang sesungguhnya merupakan hakekat dari aktivitas individual di dalam realitas sosial adalah sesuatu yang mampu dipertukarkan, dalam arti diperjualbelikan. Apabila dikembalikan pada konteks relasi relasi sosial sebagaimana yang sudah disampaikan di muka maka relasi pekerja dengan obyek kerjanya, hubungan antara pengrajin sepatu dengan sepatu yang dikerjakan olehnya, dalam hal ini tidak bermakna apa-apa ketika keberadaan dari si pengrajin itu tak lebih dari pekerja dari industri sepatu. Pola hubungan di antara pekerja pabrik sepatu dan pemilik pabrik sepatu diperantarai oleh sesuatu yang belum dapat dimaknakan apapun kecuali alat pertukaran, yaitu uang. Di dalam penjelasannya tentang uang, Marx berpendapat bahwa uang merupakan alat tukar yang tidak dapat dipertanggungjawabkan; pengabstraksian kerja dalam bentuk uang mengandaikan dialektika di antara pekerjaan/kerja yang secara sosial dibutuhkan untuk membuat barang dagangan/komoditi, dengan proses produksi kapitalisme yang justru meniadakan kerja manusia itu sendiri. Sehingga proses produksi kapitalisme
Problem Filsafat
14
dalam kelanjutannya hanya menempatkan manusia sebagai bagian dari proses akumulasi modal. Walaupun begitu, Marx melihat bahwa proses produksi kapitalisme bukan lah sesuatu yang kekal dan tetap, melainkan sesuatu yang sangat mungkin berubah dan bahkan mengalami kehancuran oleh karena kontradiksi kontradiksi yang terjadi di dalam proses produksi tersebut. Mirip dengan contoh alinea yang diberikan di muka, maka sudah seperti kewajaran bahwa proses produksi kapitalisme tidak akan pernah menurunkan harga barang dagangan/ komoditi, sementara penghargaan terhadap kerja manusia akan selalu direndahkan, demi mencapai keuntungan yang sebesar besarnya. Sebagai akibatnya daya beli masyarakat menjadi melemah, dan inflasi merajalela seperti yang kerap terjadi di Indonesia belakangan ini. Dari tiga hal yang sudah di sampaikan di muka setidaknya di dalam pembahasan terhadap buku Das Kapital dapat bergerak melalui sisi sisi ekonomi, politik, dan filsafat, oleh karena dari sanalah Marx lalu secara serius melakukan riset di British Museum untuk menghasilkan Das Kapital.
web www.marxists.org 6. Bdk. Karl Marx, Eighteenth Brumaire of Louis Bonaparte, Bab II, diambil dari situs web www.marxists.org 7. Ibid. 8. Karl Marx, Economic and Political Manuscript, op.cit.
Catatan Akhir 1. Preface to Capital. 2. Karl Marx, Kemiskinan Filsafat, diterjemahkan oleh Oey Hay Djoen, Penerbit Hasta Mitra, hlm. 78. 3. Karl Marx, The German Ideology, Chapter II, Private Property and Communism, diambil dari situs web www.marxists.org 4. Karl Marx, Economic and Political Manuscript, di dalam Shlomo Avineri, The Social and Political Thought of Karl Marx, Cambridge University Press, 1968, hlm. 87. 5. Karl Marx, The Civil War in France, bab Paris Workers’ Revolution and Thiers’ Reactionary Massacres, diambil dari situs
No. 1 / Tahun I / November 2009
No. 1 / Tahun I / November 2009
15
Problem Filsafat
Artikel 2
Apa
Perlunya Membaca Kapital?
Das
oleh: I Gusti Anom Astika
Di dalam berbagai perbincangan tentang perkembangan ekonomi politik sebagaimana yang berlangsung selama satu hingga dua dekade terakhir di Indonesia, problematik kelaparan, dan kesengsaraan akibat kemiskinan seperti sesuatu yang berada di luar perkembangan itu. Ia serupa perbincangan tentang kepedulian sosial, dan bukan bagian dari ekonomi politik. Apakah kemiskinan atau kelaparan itu merupakan hasil dari penerapan kebijakan ekonomi tertentu, ataukah itu merupakan problem yang berlangsung bersama dengan penerapan kebijakan tersebut, semuanya seperti tidak ingin dihubungkan. Seperti yang tampak dalam perbincangan seputar korupsi yang marak belakangan ini, hampir tidak ada satu pun gagasan tentang “kepedulian sosial” tercakup di dalamnya. Seluruhnya berkutat pada proses hukum, dan tentang si A bicara apa dan kemudian dibantah oleh si B yang menganggap perbincangan si B tidak benar. Lebih-lebih ketika semua dimensi dalam perbincangan tersebut seperti disekap di dalam ruang isi penyadapan telepon yang dilakukan oleh sejumlah orang yang diduga terlibat dalam satu kasus korupsi tertentu. Tak satu pun gagasan tentang kaitan antara korupsi dan kemiskinan/pemiskinan masyarakat dapat berkembang di dalam perbincangan tersebut. Seolah-olah antara tindak korupsi dan fenomena kemiskinan adalah sesuatu yang tak mungkin dihubungkan oleh karena pemahaman terhadap fenomena korupsi dan fenomena kemiskinan/
Problem Filsafat
16
pemiskinan masyarakat kerap terjebak dalam partikularitas salah kaprah, yang tidak menghubungkan antara satu pengetahuan dengan pengetahuan yang lain. Demikian juga dengan filsafat yang pada awalnya berusaha menjawab problem-problem irasionalitas dalam kehidupan manusia, baik itu dalam kerangka mempertanyakan berbagai fenomena alam maupun fenomena kehidupan sosial, pada perkembangannya kemudian menjadi semacam lembaga pembenar perilaku ataupun lembaga etik sebagaimana yang diinginkan oleh para pemilik modal. “Berusahalah sepenuh hidupmu, maka di sana kan tampak dunia bahagia mendapatkanmu”, demikian kata seorang motivator di sebuah acara stasiun televisi. Sementara bagaimana sebuah pemikiran berkemampuan menggelontorkan segala macam bentuk kritisisme di dalam masyarakat, seperti tidak pernah dipelajari dan seperti tidak pernah dianggap sebagai sesuatu yang filosofis. Pada titik ini pemikiran Marx tentang ekonomi, politik dan filsafat justru memberikan banyak pertanyaan terhadap filsafat. Salah satu contohnya adalah ketika Marx mempersoalkan pembreidelan pers yang dilakukan oleh pemerintah Prusia, dengan menyatakan bahwa “Kebebasan adalah bagian esensial dari hakekat manusia sekalipun musuh musuh kebebasan berusaha merealisasikan kebebasan dengan melawan realitas kebebasan; musuh musuh kebebasan ini ingin merampas
No. 1 / Tahun I / November 2009
bagi dirinya sendiri permata agung kemanusian ini yang mereka tolak sebagai permata hakekat manusia... karenanya bahaya yang paling mematikan bagi setiap manusia adalah kehilangan kebebasannya... “Dalam rangka melawan kebebasan pers, seseorang harus mempertahankan titik pijak bahwa ras manusia tidak memiliki kemampuan untuk mencapai kedewasaan... Jika ketidakdewasaan manusia merupakan alasan mistik yang dipergunakan sebagai ungkapan untuk melawan kebebasan pers, maka tindak pembredelan pers sebenarnya di dalam banyak hal adalah sarana yang paling rasional untuk meyakini bahwa manusia tidak pernah dewasa.”1 Gagasan Marx yang tertuang pada dua alinea di muka setidaknya menggambarkan bagaimana peran filsafat seharusnya di dalam menjawab persoalan persoalan sosial. Bukan dalam arti filsafat harus terjun ke dalam politik praktis tetapi filsafat sebagai cara untuk membangun kritik terhadap keberadaan manusia yang filosofis, seperti yang tampak dalam gagasan tentang kebebasan. Bagaimana jika kemudian filsafat justru menjadi pembenar bagi gagasan kebebasan yang diajukan oleh kelas yang berkuasa? Dalam hal ini Marx menjawab pertanyaan di muka secara eksplisit dalam tulisan The Poverty of Philosophy bahwa: “Di Inggris, pemogokan-pemogokan telah secara teratur telah melahirkan penemuan baru dan penerapan mesin mesin baru. Mesin-mesin adalah, boleh dikatakan, senjata yang dipakai oleh kaum kapitalis untuk menindas pemberontakan kerja yang dispesialisasikan. Keledai yang berswa-laku, penemuan terbesar dari industri modern, telah
No. 1 / Tahun I / November 2009
melumpuhkan kaum pemintal yang sedang memberontak. Jika kombinasi-kombinasi (tindakan) dan pemogokan-pemogokan tidak berakibat lain daripada membuat usaha usaha sang jenius mekanikal bertindak terhadap mereka, maka mereka akan tetap mempengaruhi pengaruh luar biasa terhadap industri.”2 Memang, Marx memang menunjukkan tentang perlunya perlawanan terhadap pemikiran yang justru membelenggu kebebasan manusia walaupun sepertinya membebaskan manusia. Tetapi yang lebih penting di sini adalah pemahaman terhadap logika filosofis yang membenarkan pembelengguan atas kebebasan manusia. Seperti itulah bentuk perlawanan yang perlu dilakukan, mengambil posisi kritis terhadap segala hal yang membelenggu kebebasan manusia. Henri Lefebvre kemudian memperjelas pemikiran Marx dengan menyatakan bahwa: “...Setiap kemungkinan yang menghadirkan manusia selalu berhadapan dengan dua alternatif –yaitu alienasi yang lebih besar, dan akan disalienasi. Alienasi, seperti proses lainnya, akan cenderung menjadi nyata. Disalienasi dihasilkan melalui perjuangan yang sadar yang bergerak maju lebih sadar ketika kelas pekerja muncul di dalam tahapan sejarah-- melawan alienasi. Di manapun dan selalu manusia yang sosial, adalah yang memperbaharui, yang kreatif, sebagaimana juga dimanapun dan selalu manusia terbelenggu oleh pencapaiannya sendiri.”3 Penjelasan yang diberikan oleh Lefebvre mungkin bisa menjadi satu daya bagi kita para pelajar filsafat, yang kerap bertanya tanya tentang bagaimana masa depan lulusan filsafat. Pun realitas menunjukkan 17
Problem Filsafat
Artikel 3
bahwa di berbagai perguruan tinggi di Indonesia, jurusan filsafat adalah jurusan yang tidak menjanjikan masa depan. Bagi kami dari komunitas Marx, mempelajari filsafat adalah cara untuk mempertanyakan semua yang tampaknya tersedia tapi nyatanya irasional, cara untuk bersikap kritis terhadap segala sesuatu yang tampak indah tapi justru membelenggu kehidupan manusia. Demikian juga dengan buku Das Kapital yang menunjukkan dengan jelas bagaimana segala sesuatu yang dihasilkan oleh manusia seperti tidak memiliki nilai apapun ketika masuk di dalam relasi relasi sosial yang bersifat ekonomis, dan bagaimana relasi relasi sosial yang bersifat ekonomis itu dibentuk oleh kapitalisme.
Berpikir dengan Pendekatan Materialisme Dialektis dan Historis oleh: Martin Suryajaya
“Materialisme adalah konsepsi filsafat Marxis, sedang dialektika adalah metodenya” sedangkan “materialisme historis adalah penerapan atau pengenaan materialisme dialektik ke alam sejarah manusia”—demikian tutur Njoto dalam kuliahnya di tahun 1961.1 Kedua pernyataan tersebut dapat kita uraikan dalam tiga pokok pengertian: materialisme, dialektika dan historisitas. Melalui uraian atas pokok-pokok ini kita akan mengerti apa yang dimaksud sebagai “berpikir dengan pendekatan materialisme dialektis dan historis”.
Catatan Akhir 1. Karl Marx dalam Marx-Engels Werke jilid 1 hlm. 48-49, 51, 60 sebagaimana yang dikutip oleh Maximillien Rubel dalam Marx Without Myth, Basil Blackwell, 1975, hlm. 24-25. 2. Karl Marx, Kemiskinan Filsafat, diterjemahkan oleh Oey Hay Djoen, Penerbit Hasta Mitra, 2004, hlm. 175. 3. Henry Lefebvre, Sociology of Marx, diterjemahkan oleh Norbert Gutterman, Random House 1968, hlm. 54.
Problem Filsafat
18
1. Materialisme Seperti kita ketahui secara umum, materialisme pada mulanya merupakan gugus pengertian bahwa materi (ikhwal indrawi) adalah hakikat dari realitas. Marx merubah pandangan umum ini. Baginya, materialisme macam itu hanya benar untuk materialisme klasik hingga abad ke-18. Dalam Tesis pertamanya tentang Feuerbach, Marx menunjukkan pengertian baru dari materialisme: “Kekeliruan mendasar dari materialisme yang ada sampai saat ini— termasuk juga Feuerbach—adalah bahwa benda [Gegenstand], realitas, keindrawian, dimengerti hanya dalam bentuk obyek [Objekt] atau kontemplasi [Anschauung], tetapi ti-
No. 1 / Tahun I / November 2009
No. 1 / Tahun I / November 2009
dak sebagai aktivitas indrawi manusia, praktik, [atau dengan kata lain] tidak secara subyektif.”2 Materialisme sebelum Marx hanya memahami materi sebagai obyek indrawi belaka. Pengertian ini tak mampu menyadari bahwa obyek-obyek material itu adalah juga hasil dari aktivitas subyektif manusia. Sentralitas pada obyek ini dibalikkan oleh Marx dengan menunjukkan peran sentral subyek, manusia, dalam konstitusi materialitas hal-ikhwal. Dengan pendekatan yang dapat disebut sebagai “materialisme subyektif” inilah Marx lantas dapat menunjukkan sesuatu, selain obyek material, yang konstitutif terhadap realitas. Sesuatu itu tak lain adalah kerja. Pengertian Marx tentang materialisme ini merupakan sesuatu yang baru dalam sejarah pemikiran. Pengertian ini pulalah yang, dalam tafsir Etienne Balibar, untuk pertama kalinya mampu melepaskan materialisme dari idealisme.3 Selama materialisme hanya berhenti pada primasi pada materi sebagai esensi realitas, maka materialisme itu tak akan lebih dari “idealisme terselubung” (disguised idealism). Berdasarkan konseptualisasi Marx yang baru, kini materialisme menjadi subyektif dan terekspresikan dalam praktik konkret. Pembaharuan ini juga, bagi Balibar, menghasilkan konsepsi baru tentang subyek, yakni persamaan “subyek = praktik”.4 Ma19
Problem Filsafat
terialisme Marx adalah pengertian bahwa keseluruhan obyek yang menyusun realitas ini tak lain adalah efek dari aktivitas subyek. Dipahami dalam kerangka ini, tak ada yang sepenuhnya natural dalam realitas keseharian, tak ada nostalgia akan kemurnian azali. Kenaikan harga sembako tidaklah alami, begitu juga hutan-hutan yang jadi gundul di Kalimantan, pemanasan global dan matinya seorang buruh pabrik. Semuanya adalah efek dari konfigurasi aktivitas manusia yang tertentu. Sikap kritis yang menolak untuk memandang realitas secara natural dan mengakui adanya intervensi subyektif yang justru mengkonstitusi kenyataan sehari-hari inilah yang disebut Njoto sebagai konsepsi materialis. 2. Dialektika Kita juga tahu bukan Marx yang pertama kali berbicara mengenai dialektika. Sejak Platon, pemikiran filosofis senantiasa dicirikan dengan sifat dialektis. Sokrates, junjungan Platon, sendiri berfilsafat dengan dialektika, dengan dialog (ingat: asal kata Yunani dari dialektika adalah dialegesthai yang artinya “dialog”). Namun dari Hegel lah Marx menimba pelajaran mengenai dialektika. Pengandaian dasar dialektika Hegel adalah relasionalisme internal, yakni pengertian bahwa keseluruhan kenyataan, dipahami sebagai manifestasi-diri Roh, senantiasi terhubung satu sama lain dalam jejalin yang tak putus. Secara logis, term A hanya bisa dimengerti sejauh ada juga term non-A yang darinya A ditentukan sifatnya. Secara ontologis, Ada dapat dimengerti sejauh ia koeksis dengan Ketiadaan: Ketiadaan internal dalam definisi Ada dan Ada internal dalam definisi Ketiadaan. Relasionalisme internal segala hal-ikhwal inilah yang memungkinkan terwujudnya determinasi resiprokal antar elemen dari realitas. Dengan berlandaskan pengertian Spinoza bahwa “omnis determinatio est ne-
Problem Filsafat
20
gatio” (semua determinasi adalah negasi), bagi Hegel, relasi determinasi resiprokal ini adalah pula relasi negasi resiprokal: afirmasi (A), negasi (non-A) dan afirmasi pada tataran yang lebih tinggi atau “negasi atas negasi” (non-non-A yang mencakup intisari A dan non-A). Inilah yang biasanya kita kenal sebagai dialektika antara tesis-antitesis-sintesis. Dialektika inilah yang dimengerti Hegel sebagai dinamika internal dari realitas dan pikiran. Lantas bagaimana posisi Marx pada fase penggarapan Kapital terhadap dialektika Hegel itu? Pertanyaan ini sulit dijawab. Marx sendiri hanya mengomentari hal ini secara eksplisit satu kali, yakni dalam Kata Pengantar untuk Edisi Kedua dari Das Kapital jilid satu. Konteksnya adalah tuduhan yang dilayangkan peresensi Jerman dan Russia atas buku Kapital. Dalam resensinya mereka menyebut bahwa traktat tersebut dipenuhi oleh “sofisme Hegelian”.5 Terhadap tuduhan ini, Marx menjawab: “Metode dialektis saya, pada fondasinya, tidak hanya berbeda dari kaum Hegelian melainkan tepatnya beroposisi dengannya. Bagi Hegel, proses pemikiran, yang ia transformasikan menjadi subyek independen di bawah nama ‘Idea’, merupakan pencipta dunia riil, dan dunia riil hanyalah penampakan eksternal dari idea. Dengan saya, kebalikannya menjadi benar: yang-ideal tidak lain dari dunia material yang direfleksikan dalam pikiran manusia dan diterjemahkan ke dalam bentuk pemikiran.”6 Dari pernyataan ini, seolah Marx sepenuhnya memisahkan pengertian dialektikanya dari pengertian Hegel atasnya. Namun ini tidak sejelas yang kita kira. Dalam paragraf selanjutnya, Marx mendeklarasikan bahwa—berhadapan dengan fakta bahwa banyak intelektual Jerman pada masanya yang memperlakukan Hegel ibarat Moses
No. 1 / Tahun I / November 2009
Mendelssohn memperlakukan Spinoza sebagai “anjing mati”—ia sendiri merupakan murid dari “pemikir besar itu”. Namun deklarasi kesetiaan ini kembali dilanjutkan dengan distansiasi kritis. “Mistifikasi yang diderita dialektika di tangan Hegel tidak membatalkan Hegel sebagai yang pertama yang mempresentasikan bentuk gerakan umumnya dalam cara yang komprehensif dan sadar. Dengannya dialektika berjalan pada kepalanya. Ia mesti dibalik, untuk menyingkapkan inti rasional dalam cangkang mistis. Dalam bentuk mistisnya, dialektika digemari di Jerman sebab ia seolah mentransfigurasi dan mengagung-agungkan apa yang eksis. Dalam bentuknya yang rasional, ia merupakan skandal dan ancaman bagi borjuasi dan para jurubicaranya sebab ia mengikutsertakan dalam pemahaman positifnya tentang apa yang eksis sebuah pengakuan secara bersamaan akan negasinya, akan kehancurannya yang tak terelakkan, sebab ia memandang segala bentuk perkembangan historis sebagai apa yang ada dalam kondisi cair, dalam gerakan, dan karenanya memandang aspek kesementaraannya pula, dan sebab ia tak membiarkan dirinya dikesankan oleh apapun, [sehingga] pada esensinya bersifat kritis dan revolusioner.”7 Dalam pernyataan tersebut dikatakan bahwa dialektika Marx adalah saripati rasional dari cangkang mistis dialektika Hegel. Bagaimana deskripsi metaforis ini diterangkan? Dari pernyataan itu pula dijelaskan bahwa ia menolak dialektika Hegel sejauh itu dipahami sebagai glorifikasi atas apa yang eksis, alias suatu justifikasi atas status quo. Dengan demikian, selama dialektika Hegel masih dipahami dalam pengertian bahwa segala yang riil (situasi penghisapan, sistem yang merep-
No. 1 / Tahun I / November 2009
resentasi rakyat dalam parlemen borjuis) niscaya rasional dan dengannya menjadi sah untuk eksis dan terus eksis, maka dialektika Marx bukanlah dialektika Hegel. Namun, dari penjelasan Marx ini saja, tidak ada pengertian yang lengkap tentang relasi dialektika Marx dan Hegel. Para komentator Marx sendiri tak pernah memberikan jawaban yang seragam atas problem ini. Komentator seperti Magnis-Suseno, mengikuti tafsiran Jean-Yves Calvez SJ., cenderung menekankan kontinyuitas pemikiran Marx.8 Implikasinya, tak ada distingsi yang ketat atau patahan dalam pemikiran Marx “muda” yang masih Hegelian dan Marx pada fase lanjut (termasuk fase penggarapan Kapital). Sebaliknya, komentator seperti Louis Althusser justru menekankan adanya patahan (coupure) radikal yang mengantarai pemikiran Marx muda yang masih Hegelian dan pemikiran Marx lanjut yang samasekali non-Hegelian.9 Oleh karena kerumitan ini, maka dalam kurikulum ini kita tidak akan memastikan makna yang tepat dari relasi Marx-Hegel. Biarlah problematika ini kita kupas bersama lewat diskusi-diskusi yang intens. Di sini cukup dimengerti bahwa Marx berhutang budi pada pemikiran Hegel tentang dialektika sebab dengannya realitas dapat dilihat sebagai sesuatu yang senantiasa berubah, cair dan bergerak terus menerus. Realitas, dengan demikian, adalah efek dari aktivitas subyektif yang, pada gilirannya, mendeterminasi aktivitas subyektif itu sendiri. Gerak determinasi resiprokal atau gerak dialektis inilah yang juga ditekankan oleh Marx. Dialektika, sesuai dengan pendapat Njoto, merupakan metode dari materialisme Marxis. Artinya, filsafat Marx yang bertumpu pada konsepsi materialis—bahwa yang terselubung pada jantung realitas sesungguhnya tak lain adalah praxis subyektif yang jadi material—hanya dapat diekspresikan oleh satu-satunya metode yang cocok den21
Problem Filsafat
gan karakter materialis ini, yakni metode dialektika—sebuah modus di mana bendanya itu sendiri tidak hadir dalam stabilitas yang diam, melainkan telah selalu dalam gerak determinasi bolak-balik yang tak berkesudahan. 3. Historisitas Kesejarahan merupakan tema sentral dalam diskursus Marx. Kita sering mendengar tentang ramalan Marx mengenai tatanan komunis dunia sebagai hasil evolusi dialektika sejarah. Seolah-olah Malaikat Sejarah yang bekerja dari balik layar realitas tengah merancang suatu Penyelenggaraan Ilahi bagi kaum proletar sedunia. Seolah-oleh sejarah akan berpuncak pada suatu konflagrasi final antara yang-Baik dan yang-Jahat, antara proletar dan borjuasi, dan akan berakhir dalam suatu surga dunia komunis. Pandangan inilah yang dikenal sebagai historisisme, atau pengertian bahwa sejarah dipimpin oleh suatu teleologi internal. Ada komentator yang menyatakan bahwa historisisme Marx ini merupakan ekses dari ketergantungannya pada filsafat Hegel.10 Memang kita dapat menafsirkan filsafat sejarah Hegel sebagai konsepsi sejarah yang dipimpin oleh suatu teleologi internal sebab sejarah, bagi Hegel, pada dasarnya merupakan evolusi-diri Roh menuju pada kesadarannya yang paripurna. Inilah salah satu alasan mengapa Althusser bersusah payah membersihkan pemikiran Marx lanjut dari pengaruh Hegel. Althusser adalah alah seorang dari komentator kontemporer yang menekankan segi antihistorisis dari pemikiran Marx. Baginya tafsiran historisis atas Marx merupakan pembacaan yang bersifat voluntaristik, yakni pemahaman humanis tentang proletar sebagai “misionaris esensi manusia” (missionary of the human essence).11 Padahal, bagi Althusser, jika kita baca sungguhsungguh Kapital dan bahkan karya-karya awal Marx, kita akan mengerti bahwa historisisme adalah problem yang asing ter-
Problem Filsafat
22
hadap filsafat Marx.12 Memang benar bahwa konsepsi materialis Marx yang bersifat subyektif, atau menekankan pada praxis, dapat mengarah pada pengertian bahwa sejarah pun merupakan hasil bentukan manusia dan, oleh karenanya, Marx terjatuh dalam historisisme. Apalagi skema Marx yang terkenal tentang infrastruktur (Unterbau) dan suprastruktur (Überbau) dapat menjurus pada historisisme: karena infrastruktur ekonomis mendeterminasi suprastruktur ideologis, maka perkembangan realitas ekonomi lah yang menentukan pembebasan politik dari kelas proletar yang terhisap. Pada akhirnya, tafsiran semacam ini akan berujung pada suatu iman pada “keniscayaan historis” bahwa kapitalisme akan tumbang dengan sendirinya karena kontradiksi internalnya seperti dianalisis Marx dan kelas proletar akan menjadi satu-satunya kelas sosial dunia. Namun pembacaan seperti ini abai terhadap relasi determinasi timbal-balik yang menstruktur relasi antara subyek dan sejarah dunia yang melingkupinya. Pembacaan historisis itu berpegang pada sebaris frase kunci yang tidak berasal dari Marx melainkan dari Engels, yakni “determinasi pada pokok terakhir”.13 Artinya, determinasi pada pokok terakhir ada pada infrastruktur ekonomi. Terhadap tafsiran historisis ini, Althusser juga mengajukan sanggahan. Ini dilancarkannya melalui elaborasi konsep overdeterminasi (surdétermination), yakni relasi determinasi resiprokal di mana pokok yang mendeterminasi ikut terdeterminasi oleh apa yang ia determinasikan sendiri.14 Relasi overdeterminasi inilah yang bagi Althusser dimengerti Marx dalam konteks relasi antara infrastruktur dan suprastruktur. Itulah sebabnya Althusser dapat menulis: “Dari momen pertama hingga terakhir, jam sepi ‘pokok terakhir’ tak pernah datang [the lonely hour of the ‘last instance’ never comes].”15 Dengan demikian, tak ada historisisme yang esensial dalam pemikiran Marx.
No. 1 / Tahun I / November 2009
4. Materialisme Dialektis dan Materialisme Historis Setelah kita mencapai pengertian tentang materialisme, dialektika dan historisitas dalam pemikiran Marx, kini kita dapat beranjak menuju pemahaman akan materialisme dialektis dan historis—atau apa yang kerap disebut sebagai MDH. Kita akan mulai dengan uraian tentang asal-usul term.16 Tentang materialisme dialektis, term ini sendiri tidak ada dalam corpus Marx-Engels: Marx hanya bicara tentang “metode dialektis” sementara Engels tentang “dialektika materialis”. Ekspresi “materialisme dialektis” pertama kali dipakai oleh Joseph Dietzgen di tahun 1887, salah seorang kawan koresponden Marx. Lenin lah yang mempergunakan term ini secara sistematis—sesuatu yang, dalam Materialism and Empirio-Criticism (1908), ia elaborasi dari karya-karya Engels. Sesudah Lenin, wacana Marxisme Soviet terbagi oleh dua orientasi pemikiran: “dialektis” (Deborin) dan “mekanis” (Bukharin). Untuk mengatasi perdebatan yang tak kunjung selesai di antara kedua kubu ini, Sekretaris Jendral Partai Stalin mengeluarkan dekrit di tahun 1931 yang memutuskan bahwa materialisme dialektis adalah sama dengan Marxisme-Leninisme. Lantas, pada tahun 1938, Stalin menjalankan kodifikasi atas ajaran tersebut secara lebih lanjut di dalam pamfletnya, Dialectical and Historical Materialism. Kodifikasi Stalin inilah yang dikenal sebagai sistem diamat (singkatan dari dialectical materialism) dan diterapkan di sebagian besar negara Komunis. Koreksi penting atas kodifikasi Stalin ini datang dari Mao Tse-Tung. Dalam esainya dari tahun 1937, On Contradiction, Mao menolak ide Stalin tentang “hukum-hukum dialektika” dan justru memberikan penekanan pada kompleksitas kontradiksi. Kontradiksi, dalam pandangan Mao, tidak tunggal melainkan memiliki struktur ganda: di satu sisi ter-
No. 1 / Tahun I / November 2009
dapat kontradiksi pokok, yakni kontradiksi yang tak dapat diperdamaikan (misalnya, kontradiksi antara borjuis dengan proletar), dan di sisi lain terdapat kontradiksi tidak pokok yang dapat diselesaikan dengan negosiasi (misalnya, kontradiksi antara buruh dan petani). Dari penafsiran Mao atas kontradiksi inilah nantinya Althusser mengelaborasi konsep overdeterminasi yang tadi telah kita bahas secara singkat sebagai kritik atas pembacaan historisis tentang Marx. Apapun penafsiran para komentator tentang materialisme dialektis dan historis, ada satu yang tetap, yakni bahwa semuanya mengakui bahwa materialisme dialektis dan materialisme historis merupakan ajaran yang internal dalam pemikiran Marx sendiri walaupun Marx tak pernah menggunakan term-term tersebut secara sistematis. Oleh karena pembahasan mengenai materialisme dialektis dan historis ini mengandaikan rekonstruksi atas keseluruhan teks Marx, maka kami di sini hanya akan membatasi pada pengertian tentang kedua term tersebut berangkat dari klarifikasi yang telah kita lakukan atas term materialisme, dialektika dan historisitas. Materialisme dialektis merupakan cara berpikir Marx tentang realitas, yakni pengertian bahwa realitas tersusun oleh materi yang memiliki relasi langsung dengan subyektivitas dan relasi ini pun bergerak dalam untaian determinasi resiprokal. Dalam pengertian yang lebih sederhana, realitas adalah efek dari mekanisme perjuangan kelas. Jika, mengikuti Njoto, materialisme historis merupakan penerapan materialisme dialektis kepada kenyataan yang menyejarah, maka materialisme historis dapat kita mengerti sebagai gugus pemahaman tentang sejarah sebagai ikhwal yang tersusun oleh determinasi resiprokal antar subyek dan antara subyek dengan materi obyektif. Atau dalam arti yang dipermudah, sejarah adalah efek perjuangan kelas—sebuah 23
Problem Filsafat
efek yang bergerak dalam arah ganda, kepada sejarah dan kepada kelas itu sendiri.
15. Ibid., hlm. 113. 16. Uraian berikut kami dasarkan pada Etienne Balibar, The Philosophy of Marx, op.cit., hlm. 3.
Catatan Akhir
1. Njoto, Marxisme: Ilmu dan Amalnya (Jakarta: Penerbit Harian Rajat), 1962, hlm. 18 & 27. 2. Karl Marx, Theses On Feuerbach dalam Karl Marx dan Frederick Engels, Selected Works: Vol II (Moscow: Foreign Languages Publishing House), 1958, hlm. 403 3. Lih. Etienne Balibar, The Philosophy of Marx diterjemahkan oleh Chris Turner (London: Verso), 2007, hlm. 24. 4. “[T]he subject is nothing other than practice which has always already begun and continues indefinitely.” Ibid., hlm. 25. 5. Karl Marx, Capital: Volume I diterjemahkan oleh Ben Fowkes (Middlesex: Penguin Books), 1979, hlm. 100. 6. Ibid., hlm. 102. 7. Ibid., hlm. 103. 8. Franz Magnis-Suseno, Pemikiran Karl Marx: Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme (Jakarta: Gramedia), 1999, hlm. 8. 9. Althusser menggambarkan transisi ini dalam beberapa fase: “there is the transition from neo-Hegelian rationalist idealism […] to, initially, the humanist materialism of Feuerbach (1842), then the historicist empiricism of The German Ideology (1845-1846), and finally, in 1857-1867, when Marx wrote the works that were to culminate in Capital, a radically new philosophy (what we call dialectical materialism). Louis Althusser, The Humanist Controversy and Other Essays diterjemahkan oleh GM Goshgarian (London: Verso), 2003, hlm. 231. 10. Andrew Levine, A Future for Marxism? Althusser, The Analytical Turn and The Revival of Socialist Theory (London:Pluto Press), 2003, hlm. 66. 11. Lih. Louis Althusser dan Etienne Balibar, Reading Capital diterjemahkan oleh Ben Brewster (London: Verso), 1979, hlm. 140-141. 12. Lih. Ibid., hlm. 143. 13. Engels sendiri sebetulnya tidak menuliskan seperti itu. Ia menulis: “elemen determinatif dalam sejarah adalah, pada pokok terakhir, produksi dan reproduksi kehidupan riil”. Seperti dikutip dari Etienne Balibar, The Philosophy of Marx, op.cit., hlm. 93. 14. Lih. Louis Althusser, For Marx diterjemahkan oleh Ben Brewster (London: Verso), 1997, hlm. 111.
Problem Filsafat
24
Artikel 4
Survei atas Pemikiran Marx dalam Karya-Karya Sebelum Kapital oleh: Martin Suryajaya (Berikut adalah daftar tiga jilid kumpulan karya politik Marx. Ketiganya tersedia dalam bahasa Inggris terjemahan Ben Fowkes, et.al. (dan juga terdapat di perpustakaan STF Driyarkara): o Political Writings Volume I: The Revolution of 1848 o Political Writings Volume II: Surveys from Exile o Political Writings Volume III: The First International and After Dalam ketiganya terangkum sejumlah karya politik Marx meliputi: Manifesto of the Communist Party, The Class Struggles in France, The Eighteenth Brumaire of Louis Bonaparte, The Civil War in France dan Critique of the Gotha Programme. Selain ketiga jilid ini periksa juga Early Writings terjemahan Gregor Benton dan Rodney Livingstone karena di sana juga terdapat karya-karya politik awal Marx seperti Manuskrip Paris, kritik atas konsepsi Hegel tentang negara dan hukum, serta kata pengantar untuk Kontribusi terhadap Kritik Ekonomi Politik. Buku antologi lain yang merangkum secara umum tulisan Marx adalah The Marx-Engels Reader yang diedit oleh Robert C Tucker.) Pada bagian ini kita akan melakukan survei umum atas pemikiran politik Marx sebagaimana tertuang dalam karya-karyanya sebelum Das Kapital. Pertama-tama kita akan mengklarifikasi terlebih dahulu apa yang terkenal sebagai “tiga sumber” pemikiran Marx: filsafat Jerman, sosialisme Prancis dan ekonomi politik
No. 1 / Tahun I / November 2009
No. 1 / Tahun I / November 2009
Inggris.1 Klasifikasi tentang tiga sumber ini dapat diasalkan pada pembagian Bab dalam buku Engels, Anti-Dühring. Di tahun 1907, pengertian ini diskematisasi oleh Karl Kautsky dalam kuliahnya berjudul, Tiga Sumber Marxisme, yang kemudian dielaborasi lebih lanjut oleh Lenin di tahun 1913. Tiga sumber tersebut tentu saja dapat ditebak: filsafat Idealisme Hegel, aktvisme Prancis (semisal Proudhon) dan ilmu ekonomi modern Adam Smith.2 Untuk dapat secara lebih mendalam memahami problematika filsafat dalam karya-karya Marx, kita mesti mulai dengan melacaknya sejak pada teks-teksnya yang paling awal. Salah satu dari naskah-naskah awal itu adalah surat Marx kepada ayahnya yang ditulisnya menjelang akhir semester pertama kuliahnya di jurusan hukum Universitas Berlin, yakni ketika Marx baru berumur 19 tahun. Melalui surat bertanggal 10 November 1837 ini kita dapat menyaksikan bagaimana problem yang digeluti Marx remaja ini tak lain adalah problematika yang khas Hegel. Di sana Marx berkisah pada sang ayah bagaimana ia terserap dalam pembacaannya atas Hegel dan berlibat aktif dalam klub diskusi yang dijalankan oleh kaum Hegelian Muda. Ia bahkan telah menulis dialog sepanjang 24 halaman dengan judul “Kleanthes, atau Titik Tolak dan Kemajuan yang Niscaya dari Filsafat” di mana Marx memaparkan, dengan gaya yang khas Hegel, bagaimana sains dan seni yang pada mulanya ter25
Problem Filsafat
pisah dapat mencapai sintesis.3 Namun Marx tidak membaca Hegel untuk kemudian berhenti sebagai pengagum Hegel belaka; ia melancarkan kritik atasnya dan mengelaborasikan posisi pemikiran yang independen bertolak dari problematika Hegelian itu. Dalam catatan dari disertasinya tentang “Perbedaan antara Filsafat Alam Demokritos dan Epikuros”, Marx mulai menunjukkan posisi kritisnya atas filsafat refleksi Hegel. “Selama filsafat berjalan berlawanan arah dengan dunia penampakan, sistemnya akan terdegradasi menjadi sebuah totalitas abstrak, yakni menjadi satu sisi dunia dengan sisi yang lain meletak di seberangnya. Relasinya dengan dunia menjadi sebuah refleksi.”4 Di momen ini filsafat hanya dimungkinkan sebagai ikhwal yang sepenuhnya terpisah dari dunia, yang merupakan obyek refleksinya belaka. Filsafat menjadi interioritas murni yang berlawanan dan berseberangan dengan dunia eksterior. Maka itu, “konsekuensinya, menjadi filosofisnya dunia berkoinsidensi dengan mendunianya filsafat, realisasi filsafat berkoinsidensi dengan kelenyapannya sendiri,” demikian Marx.5 Artinya, Marx menunjukkan konsekuensi final dari filsafat refleksi: memuncaknya refleksi eksternal dari filsafat atas dunia, sebagai obyektivitas yang meletak di luar sana, pada refleksi internal antara filsafat dan dunia, sebagai obyektivitas non-filosofis yang telah disadari secara filosofis. Pada akhirnya, filsafat menjadi ikhwal duniawi—ikhwal yang pada-dirinya non-filosofis—atau dengan kata lain, filsafat memuncak pada disolusinya sendiri, pada dunia yang non-filosofis dan persis karena itu pula filsafat mengalami realisasinya yang tertinggi, yakni dunia yang menjadi filosofis. Tugas filsuf, dengan demikian, adalah menyelesaikan rangkaian momen tersebut, yakni dengan tidak berhenti pada refleksi eksternal tentang dunia, melainkan
Problem Filsafat
26
dengan merefleksikannya secara internal sehingga dunia mesti menjadi filosofis. Mengubah dunia menjadi filosofis, menjadi Prometheus6 bagi bumi manusia—inilah tugas filsuf sebagaimana dipersepsi Marx sejak mula dan ia teruskan, dalam satu atau lain cara, hingga akhir. Visi transformasi filosofis atas dunia dijalankan Marx, pada masa mudanya, melalui radikalisasi fungsi kritik. Seperti juga bagi kaum Hegelian Muda, kritik menjadi kata kunci Marx. Ini sudah terlihat dalam suratnya kepada Arnold Ruge di tahun 1843. Dalam surat itu, Marx menekankan perlunya ”sebuah kritisisme tanpa ampun terhadap segala yang ada” yang ia pahami dalam dua makna: “kritisisme tak boleh takut akan konsekuensinya sendiri maupun terhadap konflik dengan kekuasaan yang berlaku.”7 Kritisisme Marx ini berbeda dari prosedur kritik Kant. Sementara Kant memfungsikan kritik dengan reservasi, yakni dengan membiarkan postulat-postulat a priori tak terjamah oleh kritik,8 Marx justru berpegang pada kritisisme yang “tanpa ampun”, pada kritisisme total tanpa reservasi. Aparatus kritik inilah yang oleh Marx diarahkan pada agama sebagai ideologi yang menopang struktur masyarakat yang eksploitatif. Untuk mentransformasi dunia secara filosofis, untuk mengkritik tatanan sosial konkret, kritik pertama-tama mesti dilancarkan terhadap pengandaian ideologis yang mendasarinya. Dalam arti inilah Marx menulis, dalam pengantar bagi Kontribusi bagi Kritik atas Filsafat Hukum Hegel yang terbit di tahun 1844, bahwa “kritisisme atas agama adalah premis dari segala bentuk kritisisme.”9 Di sana Marx memaparkan logika dasar dari kritiknya atas agama: Agama merupakan kesadaran diri manusia sejauh ia belum menemukan dirinya atau telah kehilangan dirinya. Namun manusia bukanlah entitas abstrak yang tergeletak di luar dunia.
No. 1 / Tahun I / November 2009
Manusia adalah bumi manusia, negara, masyarakat. Negara ini, masyarakat ini, memproduksi agama yang merupakan sebuah kesadaran dunia yang terbalik, sebab ia merupakan sebuah dunia yang terbalik. […] Perlawanan melawan agama, karenanya, secara tidak langsung merupakan sebuah perjuangan melawan dunia tersebut yang mana aroma spiritualnya adalah agama. Penderitaan religius adalah pada saat yang bersamaan sebuah ekpresi dari penderitaan riil dan protes atas penderitaan riil. […] Penghapusan agama sebagai kebahagiaan ilusif umat manusia adalah sebuah tuntutan untuk kebahagiaan riil mereka. Seruan untuk meninggalkan ilusi tentang kondisi mereka adalah seruan untuk meninggalkan kondisi yang membutuhkan ilusi. Kritisisme atas agama, karenanya, adalah embrio dari kritisisme atas lembah air mata yang mana agama merupakan aura-nya.10 Kritisisme atas lembah air mata—inilah yang ditempuh Marx, yakni kritik atas dunia yang sebegitu murungnya sehingga membutuhkan limpahan cahaya agama. Agama, bagi Marx, adalah simtom atau gejala dari masyarakat tertindas. Bayangan ideal tentang sepotong surga yang transenden terhadap dunia tak lain adalah simtom dari penyakit yang ada dalam dunia itu sendiri. Pembacaan simtomatik inilah yang menjadikan kritik agama Marx lebih maju ketimbang Feuerbach yang hanya berhenti pada pengertian tentang Tuhan sebagai hasil proyeksi-reflektif dari manusia. Feuerbach belum mampu mendorong filsafat refleksi sampai pada ujungnya; ia hanya berhenti pada refleksi eksternal tentang Tuhan dan belum sampai ke pengertian bahwa Tuhan adalah refleksi yang internal dalam diri manusia yang tersituasikan dalam kon-
No. 1 / Tahun I / November 2009
figurasi sosio-politik yang konkret-material.11 Marx mampu menunjukkan, jauh sebelum Nietzsche, bahwa Tuhan adalah simtom yang internal dalam masyarakat dan direfleksikan keluar berdasarkan sesuatu yang internal tadi. Transendensi, dengan demikian, tak lain adalah simtom dari imanensi yang sakit, dari ranah sosial yang tak ubahnya seperti lembah air mata. Masyarakat konkret yang menjadi locus simtomatik adalah masyarakat yang terstratifikasi, yang terstruktur oleh hierarki. Agama membuat hierarki ini menjadi natural, seolah merupakan “konsesi dari surga”.12 Dalam metafor Marx, agama menyediakan bunga-bungaan imajiner yang disematkan di rantai yang membelenggu kita sehingga kita jadi sedikit lebih betah dalam kondisi dirantai, padahal yang penting adalah mematahkan rantai itu dan memetik bunga hidup yang sesungguhnya. Dari pengertian inilah Marx membentangkan orientasi dasar dari proyek pemikirannya: Adalah tugas sejarah, karenanya, ketika dunia-lain kebenaran telah lenyap, untuk mewujudkan kebenaran dari dunia ini. Tugas filsafat yang mendesak, dalam pengabdiannya pada sejarah, adalah untuk menyingkapkan alienasi-diri manusia dalam bentuk sekuler-nya setelah bentuk suci-nya tersingkap. Dengan demikian, kritik surga ditransformasi menjadi kritik dunia, kritik agama menjadi kritik hukum, dan kritik teologi menjadi kritik politik.13 Yang jadi problem bagi Marx bukan lagi eksistensi Tuhan di luar sana, pada otoritas religius yang meletak dalam dunia obyektif, sebab semua itu hanyalah simtom dari kesadaran yang tertentu. Itulah sebabnya Marx menulis: “Ini bukan lagi soal pertanyaan tentang perjuangan kaum awal melawan para rahib di luar dirinya, melainkan perjuangannya melawan rahib internal-nya sendiri, melawan sifat kera27
Problem Filsafat
hiban-nya sendiri.”14 Kesadaran yang sakit inilah yang menginginkan jaminan eksternal-transenden bagi sesuatu yang internal, yakni diri sendiri. Tuhan dipanggil hanya untuk mengkonfirmasi atau merestui kesadaran yang tak berani mengambil sikap independen ini. Itulah kesadaran borjuis. Menghadapi konstelasi ini, Marx menggagas dalam tulisan itu sebuah konsepsi tentang subyek emansipatoris. Baginya, subyek ini hanya mungkin disebut sungguh-sungguh emansipatoris apabila ia memegang kunci dari masyarakat secara umum, artinya, sejauh eksistensinya adalah manifestasi esensi dari masyarakat tersebut. Ia mestilah bukan sebuah kelas di antara kelas-kelas sosial lain, dan sejauh ia emansipatoris maka ia mesti menandai pula kehancuran dari segala kelas dan hierarki sosial.15 Subyek ini tentunya dicirikan oleh karakter universal sejauh apa yang ia suarakan, sejauh ia adalah esensi dari masyarakat itu sendiri, senantiasa mengekspresikan kondisi masyarakat secara umum, yakni totalitas kondisi masyarakat. Subyek inilah yang dimaksud Marx dengan proletariat. Melalui subyek inilah transformasi dunia secara filosofis dapat diwujudkan sebab “sebagaimana filsafat menemukan senjata material-nya dalam proletariat, demikian pula proletariat menemukan senjata intelektual-nya dalam filsafat.”16 Marx mengelaborasi titik pijak komunisme tersebut secara ekstensif untuk pertama kalinya pada tulisan yang tak ia terbitkan semasa hidup, yakni apa yang dikenal sebagai “Manuskrip Paris” atau yang di kemudian hari dijuduli sebagai Economic and Philosophic Manuscripts of 1848. Dalam manuskrip inilah untuk pertama kalinya Marx berbicara tentang alienasi atau keterasingan (Entäusserung). Titik tolak pemaparan Marx tentang keterasingan adalah konsepsi Hegel mengenai kerja (labour). Bagi Hegel, kerja adalah momen yang melaluinya superioritas ke-
Problem Filsafat
28
sadaran-diri manusia ditegakkan, atau dalam pengertian yang lebih sederhana, kerja adalah realisasi-diri manusia.17 Relevansinya bagi Marx adalah pengertian bahwa melalui kerja lah manusia menjadi intim dengan dirinya sendiri. Namun keintiman ini, sebagaimana dianalisis Marx, kini berubah menjadi sesuatu yang asing. Ketika pekerja semakin banyak memproduksi kemakmuran, ia sendiri justru makin melarat. Marx menulis: “peningkatan nilai dunia benda-benda berjalan dengan proporsi yang sama dengan penurunan nilai dunia manusia. Pekerja tidak hanya memproduksi komoditas; ia juga memproduksi dirinya sendiri sebagai sebuah komoditas”.18 Situasi ini ditopang oleh empat bentuk keterasingan yang mendasari realitas kerja manusia: 1. Keterasingan dalam relasi antara pekerja dan obyek hasil kerjanya. Barang produksi yang dihasilkan pekerja adalah sesuatu yang asing bagi sang pekerja sendiri. Tidak seperti orang yang melinting rokok untuk kemudian menikmati hasil lintingannya sendiri, pekerja pabrik rokok, misalnya, melinting ribuan rokok per hari tanpa dapat memiliki hasil lintingannya sendiri. Seperti juga kaum intelektual yang bekerja menteorikan berbagai pembenaran bagi kekuasaan tetapi tak pernah bisa menikmati hasil kerjanya, yakni teorinya sendiri lepas dari kegunaan untuk membenarkan kekuasaan, sebagaimana mereka inginkan. Dengan demikian, hasil kerja menjadi sesuatu yang sepenuhnya eksternal dan independen terhadap pekerjanya. Hasil kerja itulah yang disebut Marx sebagai obyektifikasi kerja, yakni kerja yang menjadi obyektif dalam benda yang sepenuhnya terlepas dari pekerjanya sendiri. 2. Keterasingan dalam relasi antara pekerja dan aktivitas pekerjaannya sendiri. Ini adalah taraf keterasingan lebih mendasar ketimbang yang pertama. Di
No. 1 / Tahun I / November 2009
sini alienasi terjadi dalam aktivitas kerja itu sendiri karena kerja yang dilakukan sang pekerja tidak muncul dari aspirasi dasar dirinya, yakni eksternal terhadap ada-nya sang pekerja. Marx menulis, “Pekerja merasa dirinya di luar pekerjaannya dan pekerjaannya terasa di luar dirinya. Ia merasa kerasan (at home) ketika ia tak bekerja dan ketika ia bekerja ia tidak kerasan. Kerjanya oleh karenanya tidak bersifat sekehendak diri, melainkan dipaksakan, kerja yang dipaksakan.”19 Aktivitas kerja ini mengasingkan pekerja karena kerja yang dilakukan bukan lagi untuk pemuasan kebutuhan, yakni kebutuhan untuk realisasi-diri melalui kerja itu sendiri, melainkan sekedar untuk memuaskan kebutuhan yang eksternal terhadap aktivitas kerja itu sendiri, misalnya kebutuhan hidup sehari-hari (sandang, pangan, papan). Karena kerja tak lagi menjadi realisasidiri, maka bagi Marx dalam kerja yang terjadi justru “hilangnya diri”. 3. Keterasingan hidup spesies manusia atau alam. Manusia adalah bagian dari alam yang melingkupinya. Alam adalah ranah yang melaluinya manusia hidup, yang melaluinya manusia mendapatkan cara untuk mempertahankan eksistensinya sebagai spesies. Karena keterasingan yang terjadi dalam kerja, manusia kehilangan bentuk kolektifnya sebagai spesies yang senantiasa berkait dengan alam secara keseluruhan. Sejatinya aktivitas kerja adalah bagian dari aktivitas alam yang spontan dan bebas. Namun bentuk kerja yang terasing membuat kerja tak lagi menjadi bagian dari aktivitas alam. Dalam dimensi keterasingan inilah tercakup keterasingan manusia terhadap tubuh alaminya sendiri, seperti pekerja tambang yang rusak organ pernafasannya. 4. Keterasingan manusia dari manusia lainnya. Dalam dimensi keterasin-
No. 1 / Tahun I / November 2009
gan ini seorang pekerja melihat pekerja lain, melihat hasil kerja pekerja lain, sebagai sesuatu yang asing dari dirinya sendiri. Seorang buruh yang bekerja memproduksi sekrup tiap hari akan merasa asing terhadap pemilik pabrik mobil yang mana pabrik sekrup hanyalah salah satu pabriknya. Kesusahan seorang buruh dalam memproduksi sekrup adalah kebahagiaan seorang pemilik pabrik mobil yang ingin produksinya jalan terus. Apa yang dihasilkan oleh keempat bentuk keterasingan ini adalah kepemilikan pribadi (private property).20 Kepemilikan ini adalah produk dari kerja yang terasing karena alasan berikut. Pertama-tama Marx menunjukkan kesamaan antara kepemilikan pribadi dan upah (wages).21 Bentuk abstrak dari kepemilikan pribadi paling dasar yang ada dalam masyarakat kapitalis adalah upah sebab ia menjadi kunci bagi pekerja untuk mendapatkan kepemilikan pribadi yang lain. Lantas Marx menunjukkan bahwa upah ini tak lain adalah konkretisasi dari kerja yang telah dijalankan oleh pekerja. Kerja apa? Kerja yang terasing. Jika kerja itu sungguh merupakan sebuah realisasi-diri, maka tak perlu ada upah—kerja itu sendiri adalah upahnya (baik dari segi aktivitas kerja itu sendiri maupun obyek yang dihasilkannya). Adanya upah menandakan bahwa kerja itu tidak bernilai pada dirinya sendiri, bahwa kerja itu hanya bernilai untuk menghasilkan suatu tujuan yang eksternal terhadap kerja itu sendiri, yakni uang untuk mencukupi kebutuhan hidup. Maka dari keterasingan dalam pekerjaan lah muncul kepemilikan pribadi. Dalam masyarakat borjuis yang dianalisis Marx, abstraksi puncak dari keterasingan pekerja itu adalah konsep tentang uang. Ini adalah abstraksi lanjut dari konsep upah. Uang menjembatani keinginan dan hasrat manusia dengan obyek hasratnya. Ia adalah prinsip rekonsiliasi 29
Problem Filsafat
atas seluruh kontradiksi. Ia membuat apa yang tak mungkin menjadi mungkin, apa yang hanya diharapkan menjadi sungguh ada. Dalam hal ini, Marx dekat dengan intuisi Rousseau dalam Kontrak Sosial tentang kritik atas fungsi representasi: Begitu kekuasaan legislatif bukan lagi urusan utama bagi warga, dan mereka lebih suka membantu dengan uang daripada dengan pribadinya, negara mendekati ke arah kehancurannya. Harus bertempur? Mereka cukup membayar pasukan dan boleh tinggal di rumah. Harus rapat ke dewan? Bayar saja utusan dan mereka bisa tinggal di rumah. Karena malas dan punya uang, akhirnya mereka membayar tentara untuk memperbudak tanah air dan membayar para wakil untuk menjualnya.22 Uang berfungsi merepresentasikan apa yang tak dapat dipresentasikan secara langsung. Ia adalah germo, mucikari. “Uang adalah mucikari antara kebutuhan manusia dan obyeknya, antara hidupnya dan sarana hidupnya,” demikian Marx menulis.23 Uang, dengan demikian, adalah nama lain dari prinsip mediasi. Ia menjadi mediator antara hasrat dan obyek hasrat. Sebagai prinsip mediasi atau mucikari, uang mesti dilihat dalam konteks yang lebih besar. Konteks luas itu adalah situasi keterasingan manusia dalam kerja. Situasi inilah yang juga disebut Marx sebagai kondisi pelacuran universal (universal prostitution).24 Pekerja melacurkan kerjanya kepada kaum pemodal untuk kemudian diupah seturut hasil kerjanya. Sebagai perlawanan terhadap kondisi keterasingan itu, Marx menggariskan ide dasar dari komunisme, yakni penghapusan kepemilikan pribadi. Dalam manuskrip ini ia juga memeriksa tiga bentuk komunisme: pertama, komunisme klasik di mana segala benda dimiliki bersama seperti dalam visi para pengarang utopis (bagi Marx, ini justru meradikalisasi kepe-
Problem Filsafat
30
milikan pribadi dengan membuatnya jadi universal); kedua, komunisme dengan pembubaran negara namun, menurut Marx, masih belum menangkap esensi dari manusia; terakhir, komunisme sebagai pelampauan atas keterasingan manusia yang telah mampu menangkap esensi manusia, yakni hakikat sosial-nya (bagi Marx, pada taraf ini komunisme sama dengan humanisme).25 Pengertian tentang komunisme yang digelarkan Marx di sini belum sistematis. Sistematisasi atasnya berhasil ia wujudkan empat tahun sesudahnya, kali ini bersama Friedrich Engels. Manifesto Partai Komunis (1848) ditulis oleh Marx dan Engels atas permintaan Liga Komunis. Di sinilah dikatakan bahwa sesosok momok (spectre) tengah menghantui Eropa, momok komunisme yang ditakuti oleh berbagai partai di berbagai bangsa. Pada masa itu istilah “komunis” kerapkali disematkan kepada segala posisi oposan terhadap kekuasaan yang berlaku. Beredarnya gosip atau dongengan tentang momok komunisme inilah yang coba diklarifikasi oleh Marx dan Engels dengan manifesto tentang komunisme itu sendiri, sehingga orang menjadi jelas tentang duduk perkara komunisme dan tidak lagi percaya pada gosip. Ada dua pokok yang akan kita angkat dari sana: konsepsi tentang sejarah dan karakter-karakter utama komunisme. Kita mulai dari yang pertama. “Sejarah masyarakat yang ada sampai kini adalah sejarah perjuangan kelas.”26 Wajah sejarah peradaban dibentuk oleh konflik antar kelas sosial yang tatkala meruncing dapat mengubah konstelasi masyarakat secara umum. Pada zaman kita, kata Marx, perjuangan kelas yang dimaksud adalah perjuangan kelas tertindas, kaum proletar, melawan kelas borjuasi. Namun pertarungan kelas melawan borjuasi ini tidak didasari oleh pengertian bahwa borjuasi itu jahat, tidak bermoral, ataupun kejam. Argumentasi Marx mela-
No. 1 / Tahun I / November 2009
wan borjuasi tak pernah diartikulasikannya dalam tataran moral. Bahkan Marx sendiri yang menunjukkan, dalam Manifesto ini, bahwa borjuasi juga memiliki peran yang revolusioner pada masanya. Siapakah yang untuk pertama kalinya berani keluar dari pakem feodal Abad Pertengahan? Kaum borjuis. Siapakah subyek revolusioner yang menumbangkan kolusi antara monarki dan agama seperti dalam Revolusi Prancis 1789? Kaum borjuis. Adalah kaum borjuis pula yang pertama kali menjalankan desakralisasi dunia: “Kaum borjuis telah menelanjangi aura setiap pekerjaan yang sampai suatu masa masih sangat dihormati dan ditatap dengan penuh ketakjuban. Ia telah mengubah fisikawan, pengacara, pendeta, penyair, ilmuwan, menjadi buruh bayarannya.”27 Marx sadar betul akan peran borjuasi ini; ia tak sekedar mencercanya. Marx menunjukkan bahwa borjuasi telah mengembangkan revolusinya sendiri, yakni pertama-tama sebagai revolusi atas instrumen produksi (melalui mesin uap Di era Revolusi Industri, misalnya), yang lalu mengubah pula relasi produksi (antara buruh, pemilik dan mesin). Borjuasi lah kelas pertama dalam sejarah yang memegang kunci transgresi dan memaksimalkannya untuk keuntungannya. “Revolusionerisasi produksi secara terus-menerus, gangguan atas kondisi sosial tanpa henti, ketakpastian yang terus menerus dan agitasi membedakan era borjuasi dari seluruh era sebelumnya,” demikian disadari Marx.28 Itulah sebabnya, samudra-samudra luas dilayari, pantai-pantai asing disusuri dan suku-suku primitf ditundukkan, untuk kemudian membuka lahan produktif di sana. Borjuasi telah menjalani perjuangan kelasnya sendiri dan berhasil tampil keluar sebagai pemenang di zaman modern. Ia menang dan menghancurkan seluruh kelas lama selain dirinya dan hambanya, yakni kaum proletar. Dengan demikian, pada zaman
No. 1 / Tahun I / November 2009
ketika borjuasi berkuasa seperti saat ini, hanya ada dua kelas yang efektif dalam masyarakat: kelas borjuis dan kelas proletar. Krisis datang menerpa struktur eksistensi borjuasi. Krisis itu adalah over-produksi. Masyarakat dibanjiri oleh terlalu banyak komoditas yang tak lagi mampu dibeli semuanya oleh konsumen. Artinya terdapat sisa atau ekses yang tak tertutup yang makin lama makin membebani proses produksi. Strategi kaum borjuis untuk mengatasi ekses ini adalah, menurut Marx, dengan destruksi atas sisa produksi itu (misalnya pembakaran kopi ketika harga kopi sedang jatuh) dan dengan membuka pasar baru. Dengan ditempuhnya kedua jalan tersebut krisis tetap tak terhindarkan karena pemerasan, atas nama efektivitas dan efisiensi, atas para pekerja makin mencapai titik puncaknya. Hal ini diperparah lagi dengan suatu hal lain. Semakin menguatnya peran borjuasi di masyarakat berbanding lurus dengan semakin banyaknya jumlah proletar. Kelas menengah yang berdagang secara tradisional seperti pemilik toko, pedagang kecil, pengrajin, semuanya lebur ke dalam proletariat ketika borjuasi memegang peran dagang yang semakin besar. Kaum proletar ini terbentuk dari seluruh kelas selain borjuis. Dengan demikian, semakin maju kaum borjuis, semakin tinggi pula potensi kehancurannya sendiri. Itulah yang dimaksud Marx dan Engels ketika keduanya menulis: “Apa yang diproduksi oleh kaum borjuis, paling utama, adalah penggali kuburnya sendiri. Keruntuhannya dan kemenangan kaum proletar sama-sama tak terhindarkan.”29 Artinya, kini Malaikat Sejarah tengah berada di pihak proletariat: sejarah perjuangan kelas di masa kini adalah sejarah perjuangan kelas pekerja (mulai dari buruh, guru, karyawan, hingga kaum intelektual, yang di era kapitalis ini tidak bisa tidak hanyalah pekerja bayaran kapitalisme). 31
Problem Filsafat
Setelah memaparkan visi sejarahnya secara umum, Marx dan Engels memberikan karakteristik dasar dari komunisme. Pertama-tama keduanya menunjukkan watak internasionalis dari komunisme. Kaum komunis tidak mengelompokkan diri pada kelas buruh pada suatu negara tertentu melainkan mengekspresikan kebutuhan dasar dari seluruh pekerja di segala negara. Kaum komunis adalah “anak semua bangsa”. Yang ia perjuangkan bukanlah kenaikan gaji buruh di pabrik A atau C, melainkan emansipasi universal dari seluruh buruh di dunia. Karakter kedua dari komunisme berkenaan dengan hak milik pribadi. Kaum komunis tidak serta merta menuntut penghapusan hak milik pribadi tanpa alasan historis yang jelas. Tuntutan untuk menghapuskan kepemilikan pribadi oleh kaum komunis, menurut Marx dan Engels, merupakan ekspresi dari perjuangan kelas yang telah menyejarah dalam era sebelumnya. Artinya, penghapusan hak milik bukanlah ide yang pertama kali muncul dalam komunisme melainkan sudah dijalankan oleh kelas borjuis dalam menghadapi kelas feodal. Marx dan Engels memberi contoh: Revolusi Prancis menghapuskan kepemilikan feodal dan menggantinya dengan kepemilikan borjuis. Jadi ada konsep kepemilikan atau hak milik yang berubah seturut dengan konfigurasi historis-materialnya. Apa yang dihapuskan oleh kaum komunis, sebangun dengan yang sebelumnya, adalah konsep kepemilikan borjuis. Namun karena kepemilikan borjuis adalah puncak dari kepemilikan pribadi, maka penghapusan atas kepemilikan borjuis adalah penghapusan atas kepemilikan pribadi. Sebagai seorang filsuf politik, Marx cukup beruntung karena ia sempat menyaksikan sendiri eksperimentasi yang dijalankan berdasarkan ide komunismenya. Ini ia saksikan di Prancis, dua kali:
Problem Filsafat
32
di tahun 1848 dan 1870. Dalam cakupan rentang waktu tersebut Marx menulis trilogi tentang percobaan revolusi proletar di Prancis, dan kegagalannya. Ketiga buku tersebut adalah The Class Struggles in France 1848-1850, The Eighteenth Brumaire of Louis Napoleon dan terakhir The Civil War in France. Ketiganya merupakan historiografi filosofis yang unik yang tak mungkin kita kupas satu persatu pada kesempatan ini. Cukup dikatakan, pada saat ini, bahwa karya yang pertama membahas tentang awal gerakan buruh modern di Prancis yang memuncak pada kekalahannya, yang dikupas dalam buku kedua, dengan naiknya keponakan Napoleon Bonaparte, yakni Louis Bonaparte, sebagai Kaisar Prancis dengan sokongan kaum borjuasi yang merasa terancam oleh revolusi buruh. Barangkali buku ketiga perlu sedikit kita urai di sini—walaupun buku ini ditulis sesudah Das Kapital—sebab di sana Marx menunjukkan contoh historis dari apa yang ia mengerti sebagai “kediktatoran proletariat”. The Civil War in France berbicara mengenai komune Paris antara tahun 1870-1871. Konteks dari komune Paris adalah kebijakan Napoleon III (atau Louis Napoleon) untuk melibatkan Prancis dalam perang Prancis-Prusia yang berakhir dengan kekalahan Prancis. Eksploitasi habis-habisan atas kaum buruh Paris ditambah dengan pemboman bertubi-tubi oleh Jerman membuat kaum buruh mengkonsolidasikan diri dalam semangat komunis, bersama kelompok republikan Prancis yang anti-royalis (antiNapoleon), dan membentuk Pertahanan Nasional. Pada momen ini administrasi Paris dipimpin oleh Adolphe Thiers. Ketika Jerman telah meninggalkan kota itu, Thiers mencoba melucuti senjata milisi Pertahanan Nasional—sebuah aksi yang sudah diantisipasi oleh kaum komunis dengan mengonsolidasikan diri dengan tentara. Thiers pun terusir dari Paris dan
No. 1 / Tahun I / November 2009
Komite Sentral Pertahanan Nasional, di bawah kendali kaum komunis, menetapkan pembentukan komune-komune di Paris. Pada momen inilah bermula pemerintahan otonom kaum buruh di Paris. Di dalam momen komune Paris inilah bertemu seluruh tendensi gerakan kiri modern, mulai dari Marxis, Blanquis, hingga anarkhis. Yang menguntungkan adalah pada masa itu, perpecahan antara kaum Marxis dan anarkhis belumlah terjadi. Semuanya bersatu padu, berdebat dan mempraktekkan apa yang diinginkan bersama sebagai pemerintahan rakyat yang otonom. Di sinilah separasi antara agama dan negara diartikulasikan secara jelas untuk pertama kalinya dalam sejarah. Di sini pulalah ide-ide politik egalitarian diuji-cobakan dalam intensitas yang begitu tinggi, mulai dari prinsip kesetaraan komunis hingga emansipasi perempuan yang dimotori oleh para feminis komune. Seluruh pemerintahan Paris diatur oleh badan-badan rakyat (komune) di mana seluruh rakyat dapat terlibat secara setara. Melihat eksperimentasi komunis ini pantaslah Engels berkata, di akhir pengantarnya untuk The Civil War in France: “kaum farisi Sosial-Demokrat lagi-lagi ketakutan terhadap frase ‘kediktatoran proletariat’. Baiklah, Tuan-Tuan sekalian, apakah Anda ingin tahu seperti apakah kediktatoran itu? Lihatlah Komune Paris. Itulah kediktatoran proletariat.”30 Namun barikade jalanan di Paris runtuh oleh serbuan tentara Prancis dari luar ibukota. Eksekusi massal atas para communard dijalankan. Di atas ribuan mayat pejuang komune, di puncak bukti Montmartre, dibangunlah basilika SacréCoeur dengan inskripsi besar di langitlangitnya: Gallia Poenitens—Bertobatlah Prancis.31 Kegagalan eksperimentasi historis atas pemikiran Marx, baik pada masa hidupnya ataupun sesudahnya, tidak dapat begitu saja menggugurkan tesis
No. 1 / Tahun I / November 2009
dasar Marx, yakni bahwa kesetaraan hanya mungkin diwujudkan melalui otonomi rakyat pekerja. Ini cocok dengan kritik dasar Marx atas masyarakat borjuis yang telah meresapi pemikirannya sejak mula, yaitu kritik atas mediasi. Ini telah kita lihat dalam kritiknya atas konsep uang. Kritik tersebut dapat diartikulasikan secara konstruktif sebagai tesis tentang pengutamaan peran imediasi atau kelangsungan, yang terwujud dalam konsepsinya tentang tatanan komunis dunia di mana rakyat pekerja dapat mempresentasikan dirinya secara langsung sebagai pemerintah tanpa mediasi Kaisar ataupun parlemen. Tentu saja, pengutamaan pada imediasi ini tak boleh terjatuh pada nostalgia tentang masyarakat primitif sebelum adanya diferensiasi kelas—sesuatu yang disadari Marx sendiri. Akhirnya, pemikiran Marx dapat dimengerti sebagai suatu upaya menemukan formula tentang imediasi yang sama sekali baru yang menjadi kondisi bagi lahirnya kesetaraan konkret antar umat manusia. Ini adalah sebuah proyek pemikiran yang masih relevan hingga kini. Catatan Akhir 1. Uraian tentang sumber dan figur yang melandasi formulasi pemikiran Marx ini kami dasarkan pada Etienne Balibar, The Philosophy of Marx, op.cit., hlm. 7. 2. Berkait dengan tiga sumber ini, Constanzo Preve, masih sebagaimana dipaparkan oleh Balibar dalam buku di atas, menunjukkan adanya “empat guru” Marx: Epikuros, untuk intuisi dasar yang diolah Marx dalam disertasinya sebagai “materialisme kebebasan” dengan konsep klinamen—gerak acak dari atom-atom—sebagai konsep kunci kebebasan materialis; Rousseau, untuk pengertian yang ia ajukan tentang demokrasi egaliter atau asosiasi yang didasarkan pada asosiasi langsung seluruh rakyat; Adam Smith, yang darinya ide tentang kerja sebagai basis dari hak milik berasal; Hegel, untuk modus filsafat dialektisnya. Ibid. 3. Ia juga menulis bahwa kalimat terakhir dalam dialog tersebut itu adalah permulaan dari Sistem Hegel. Lih. Karl Marx, Letter to His Father dalam Early Texts diedit dan diterjemah-
33
Problem Filsafat
kan oleh David McLellan (Oxford: Basil Blackwell), 1972, hlm. 7. 4. Karl Marx, Dissertation and Preliminary Notes on the Difference between Democritus’ and Epicurus’ Philosophy of Nature dalam ibid., hlm. 15. 5. “As a consequence, the world’s becoming philosophical coincides with philosophy’s becoming worldly, the realization of philosophy coincides with its disappearance” Ibid. 6. Marx sendiri, dalam pengantar disertasinya, menjunjung laku Prometheus mencuri api pengetahuan dari para dewa dan memberikannya pada pikiran manusia. Karl Marx, To Make the World Philosophical dalam Robert C Tucker (ed.), The Marx-Engels Reader (New York: WW Norton & Company), 1978, hlm. 9. 7. Karl Marx, For a Ruthless Criticism of Everything Existing dalam ibid., hlm. 13. 8. Dalam kata pengantar untuk edisi kedua Kritik atas Rasio Murni-nya Kant menulis bahwa kritik yang ia maksudkan “tidak berlawanan dengan prosedur dogmatik rasio dalam pengetahuannya yang murni sebagai sains, sebab ia selalu bersifat dogmatik, yakni berpegang pada bukti prinsip-prinsip a priori yang pasti.” Immanuel Kant, Critique of Pure Reason diterjemahkan oleh Norman Kemp Smith (London: Macmillan & Co Ltd), 1964, hlm. 32. 9. Karl Marx, Contribution to the Critique of Hegel’s Philosophy of Right: Introduction dalam Robert C Tucker (ed.), op.cit., hlm. 53. 10. Ibid., hlm. 53-54. 11. Perbedaan antara kritik agamanya dan kritik agama Feuerbach dengan jelas Marx paparkan dalam Tesis-Tesis tentang Feuerbach. Di dalam Tesis VII, misalnya, Marx menulis bahwa Feuerbach “tidak melihat bahwa ‘sentimen religius’ itu sendiri adalah sebuah produk sosial, dan bahwa individu abstrak yang ia analisis nyatanya termasuk dalam bentuk masyarakat yang partikular.” Lalu juga Tesis VIII: “Segala Misteri yang menyasarkan teori kepada mistisisme menemukan solusi rasionalnya dalam praktik manusia dan dalam pemahaman akan praktik ini.” Karl Marx, Theses on Feuerbach dalam Karl Marx and Frederick Engels: Selected Works Volume II (Moscow: Foreign Languages Publishing House), 1958, hlm. 405. 12. Ibid., hlm. 56. 13. Ibid., hlm. 54. 14. Ibid., hlm. 60. 15. “A class in civil society which is not a class of civil society, a class which is the dissolution of
Problem Filsafat
34
all classes”. Ibid., hlm. 64. 16. Ibid., hlm. 65. 17. Pengertian ini dengan jelas Hegel tunjukkan dalam Bab Independensi dan Ketergantungan Kesadaran-Diri: Tuan dan Budak dari bukunya, Fenomenologi Roh. Di sana dijelaskan bagaimana kesadaran seorang Tuan justru dilampaui oleh kesadaran budaknya karena sang budak dapat merealisasikan independensi kesadarannya melalui kerja, sementara sang Tuang hanya bersantai. Akhirnya sang Tuan yang awalnya terihat seolah independen justru tergantung pada (kerja) budaknya, sementara sang budak yang awalnya terlihat tergantung justru independen terhadap sang Tuan yang tak bekerja. Lih. GWF Hegel, Phenomenology of Spirit diterjemahkan oleh AV Miller (Oxford: Clarendon Press), 1977, hlm. 111-119. 18. Karl Marx, Economic and Philosophic Manuscripts of 1844 dalam Robert C Tucker (ed.), op.cit., hlm. 71. 19. Ibid., hlm. 74. 20. “Private property is thus the product, the result, the necessary consequence, of alienated labour, of the external relation of the worker to nature and to himself.” Ibid., hlm. 79. 21. “We also understand, therefore, that wages and private property are identical: where the product, the object of labour pays for labour itself, the wage is but a necessary consequence of labour’s estrangement, for after all in the wage of labour, labour does not appear as an end in itself but as the servant of wage.” Ibid. 22. Jean-Jacques Rousseau, Perihal Kontrak Sosial, atau Prinsip-Prinsip Hukum Politik (edisi dwibahasa Indonesia-Prancis) diterjemahkan oleh Ida Sundari Husen dan Rahayu Hidayat (Jakarta: Dian Rakyat), 1989, hlm. 90 (Buku III, Bab 15). 23. Robert C Tucker (ed.), op.cit., hlm. 102. 24. Ibid., hlm. 82 (terutama catatan kaki nomor 7). 25. Lih. Ibid., hlm. 84. 26. Karl Marx dan Friedrich Engels, Manifesto of the Communist Party dalam ibid., hlm. 473. 27. Ibid., hlm. 476. 28. Ibid. 29. Ibid., hlm. 483. 30. Karl Marx, The Civil War in France dalam Robert C Tucker (ed.), op.cit., hlm. 629. 31. Bdk. Investigasi sejarah spasial David Harvey atas hal ini dalam Paris, Capital of Modernity (New York: Routledge), 2003, terutama hlm. 303-333.
No. 1 / Tahun I / November 2009
Artikel 5
Perbedaan Pendapat di Seputar Pembacaan Terhadap Kapital oleh: Martin Suryajaya Setelah mensurvei pemikiran Marx secara umum pada Bab sebelumnya, kini kita akan maju selangkah menuju teks Kapital itu sendiri. Namun sebelum masuk langsung ke dalam pokok-pokok utama Kapital, terlebih dahulu kita mesti memahami peta penafsiran yang telah terbentang dalam jangka waktu satu setengah abad sejak buku itu ditulis. Kita tak bisa membaca Kapital tanpa mengabaikan begitu saja sejarah penafsiran setengah abad itu. Dalam memaparkan tradisi penafsiran atas Kapital ini kami akan berpegang pada kajian historiografis Harry Cleaver dalam bukunya, Reading Capital Politically. Seluruh paparan kami berikut adalah rangkuman atas kajian tersebut. Harry Cleaver membagi tradisi penafsiran menjadi tiga perspektif: perspektif ekonomi politik, perspektif filsafat dan perspektif politik. Kita akan mulai dari yang pertama. Dari segi ekonomi politik, penafsiran awal tentang Kapital mesti ditempatkan pada konteks Internasional Kedua (1889-1916). Problemnya berkisar pada persoalan determinasi ekonomi dan teks acuannya, tentu saja, adalah Contribution to a Critique of Political Economy, di mana Marx berbicara tentang relasi ekonomi sebagai basis masyarakat “yang darinya muncul suprastruktur legal dan politis.”1 Dari dasar pengandaian ini lantas muncul perdebatan di kalangan Marxis Internasional Kedua tentang apakah krisis ekonomi yang akan menumbangkan kapitalisme itu niscaya. Tokoh seperti Eduard Bernstein, dalam bukunya Evolution-
No. 1 / Tahun I / November 2009
ary Socialism, berpendapat bahwa krisis itu tidak niscaya menghancurkan kapitalisme, bahwa krisis itu hanya akan memperlambat akumulasi kapital sementara kaum kapitalis akan dapat mengkonsolidasikan diri menghindari krisis ini. Maka itu bagi Bernstein perjuangan yang mesti dilancarkan melawan kaum kapitalis adalah perjuangan ekonomi seraya menggabungkan diri ke dalam parlemen. Hasil pembacaan Bernstein atas Kapital ini segera dilawan oleh Rosa Luxemburg dalam Reformasi atau Revolusi (1900) dan Akumulasi Kapital (1913). Luxemburg menyatakan bahwa krisis kapitalisme tak terhindarkan justru, berkebalikan dengan Bernstein, karena akumulasi kapital akan memuncak dalam konflik antar negara. Berdasarkan pengertian ini, Luxembur memberikan solusi yang berbeda, yakni persiapan revolusi dan penolakan atas sekedar reformasi. Keduanya mewakili posisi dasar pembacaan ekonomi politik atas Kapital yang akan membayangi para penafsir selanjutnya. Penekanan Bernstein pada reformasi gradual melalui jalur intra-parlementer (dan karenanya lebih dekat dengan tendensi sosial-demokrat) akan diteruskan oleh Karl Kautsky, Rudolf Hilderling, Otto Bauer, Fritz Sternberg, sementara ketidakpercayaan Luxemburg pada perjuangan ekonomi-parlementer dan penekanannya pada revolusi atau jalur ekstra-parlementer akan diteruskan oleh Lenin, Anton Pannekoek dan Paul Mattick. Di luar konteks Internasional Kedua terdapat sebuah tradisi tafsir lain yang 35
Problem Filsafat
berkembang di dunia Anglo-Amerika, yakni Neo-Marxis Keynesian. Tokoh-tokohnya adalah Michael Kalecki, Joan Robinson, Paul Sweezy dan Paul Baran. Tradisi tafsir ini berkembang di sekitar tahun 40/50-an. Dalam Essay on Marxian Economic (1942), misalnya, Joan Robinson menekankan bahwa teori ekonomi politik Marx memiliki keterbatasan yang hanya dapat diatasi dengan menambahkan teori JM Keynes ke dalamnya. Tendensi yang berkembang dari tradisi ini, seperti pada Sweezy dan Baran, justru bergerak semakin jauh dari ekonomi politik Marx sendiri, yakni dengan hanya mencomoti bagian-bagian dari Kapital yang dapat dipakai untuk melihat fenomena pada masanya dan membuang sisanya (misalnya teori tentang nilai dan nilai-lebih) atau menggantikannya dengan teori Keynes yang lebih baru. Intuisi ekonomi politik mazhab Neo-Marxis Keynesian inilah yang ada di balik gerakan Kiri Baru (New Left) di Amerika tahun 60-an.2 Oleh karena fenomena yang dihadapi jauh berbeda dari gambaran Marx—fenomena multi-faksi dalam masyarakat yang samasama mengkritik pemerintah namun tidak memiliki kesamaan ideologis seperti Black Panther, aktivis feminis, gerakan anti-perang—maka kaum Kiri Baru cenderung berpegang pada versi heterodoks dari Marxisme, seperti Neo-Marxis Keynesian. Melawan kecenderungan pencampur-adukan dari kaum Neo-Marxis ini, bangkitlah sebuah gerakan kembali ke ortodoksi ekonomi politik Marx. Dalam rekonstruksi Cleaver, “kebangkitan ortodoksi” ini dipimpin oleh Althusser dan diteruskan oleh seluruh muridnya.3 Frase “ortodoksi” yang dipakai di sini mesti dipahami dalam konteks teori ekonomi politik Marx. Althusser dapat digolongkan ke dalam kelompok ini sejauh ia berupaya untuk kembali mengakui kebenaran pengertian Marx tentang sirkuit ekonomi dalam Kapital. Berlawanan dengan para eksponen Neo-Marxis Keynesian yang
Problem Filsafat
36
begitu saja mencomot teori Keynes untuk menambal kekurangan teori Marx, Althusser dan murid-muridnya (yang tergabung dalam proyek pembacaan bersama atas Kapital seperti Balibar dan Rancière) justru berupaya memberikan bukti filosofis bagi kebenaran analisis Marx dalam Kapital, misalnya dengan berangkat dari pengakuan atas teori nilai-lebih untuk lantas mengelaborasinya sedemikian sehingga dapat menggambarkan situasi sekarang tanpa keluar dari wilayah analisis Marx. Cara baca yang “ortodoks”—dalam pengertian yang sudah kami terangkan di atas—ini juga meresapi penafsir besar seperti Ernest Mandel, seorang Trotskyis dari Internasional Keempat (1938-sekarang). Kini kita akan masuk dalam pembacaan Kapital dari perspektif filsafat. Harry Cleaver membagi perspektif ini ke dalam dua kubu besar: ortodoks dan revisionis. Kubu ortodoks mencakup Marxisme Soviet (dalam kontradistingsinya terhadap Marxisme Barat atau Western Marxism) seperti Lenin, Stalin dan Mao, sekaligus formulasi baru atas Marxisme ortodoks oleh Althusser dan para muridnya. Kubu revisionis mencakup berbagai posisi dengan latar belakang yang berbeda. Frase “revisionis” di sini mesti dipahami secara luas, tidak sekedar menunjuk pada perselisihan revisionisme awal abad ke-20 dengan Bernstein sebagai tokoh utamanya melainkan lebih kepada pengembangan intuisi Marx ke dalam berbagai segi kehidupan. Menurut Cleaver, kubu ini diwakili oleh para tokoh dengan latar belakang seperti: o Marxisme Barat (Western Marxism): György Lukács, Antonio Gramsci, Karl Korsch—semuanya menekankan pengaruh Hegel dalam Marx. o Marxis Neo-Kantian: Galvano Delavolpe dan Lucio Colletti. o Marxis-Hegelianisme: Alexandre Kojéve dan Jean Hyppolite. o Marxis-eksistensialisme: Jean-
No. 1 / Tahun I / November 2009
Paul Sartre, Simone de Beauvoir dan Maurice Merleau-Ponty. o Marxisme fenomenologis: Tran Duc Thao dan Karel Kosik. o Teori Kritis Mazhab Frankfurt: Herbert Marcuse, Theodor Adorno, Max Horkheimer, Walter Benjamin dan Jürgen Habermas. Oleh Cleaver, pembagian kubu ortodoks dan revisionis ini dijelaskan melalui dua tendensi yang berbeda: sementara Althusser mencoba menghidupkan kembali doktrin diamat (dialectical materialism) melalui pembacaan atas Kapital, Mazhab Frankfurt dan tendensi Marxisme Barat justru mengutamakan peran kebudayaan dalam analisis Marxis. Diamat versus kulturalisme—pertentangan inilah yang menerangkan dasar perbedaan posisi antara Marxis ortodoks dan Marxis revisionis. “Adalah patut disayangkan namun benar bahwa satu di antara pembacaan filosofis atas Kapital yang paling penting secara politis pada periode ini adalah pembacaan Louis Althusser,” demikian Harry Cleaver menulis.4 Alasan mengapa Althusser menjadi sedemikian penting tak lain adalah karena ia berhasil menjalankan revitalisasi atas doktrin diamat. Doktrin ini sendiri, seperti telah kami uraikan dalam Bab I Kurikulum ini, berasal dari frase Engels, dialectical materialism. Kita juga telah melihat problem terbesar dari doktrin ini, yakni persoalan determinasi struktur basis terhadap struktur atas, dengan kata lain, persoalan determinisme ekonomi. Walaupun Engels sendiri pernah mengklarifikasi, dalam suratnya kepada Joseph Bloch, bahwa ia tak pernah memaksudkan determinasi sebagai determinasi satu arah, namun pengertian tentang ketimbal-balikan determinasi antara basis dan suprastruktur tak pernah bisa ia jelaskan secara memadai. Celakanya, Stalin nantinya membakukan doktrin diamat ini dan menjadikannya, seperti ditulis Cleaver, sebagai “justifikasi teoretis bagi
No. 1 / Tahun I / November 2009
eksploitasi atas pekerja Soviet.”5 Kondisi ini berlangsung terus hingga tahun 50an. Althusser lah yang berani memasuki kembali medan perdebatan ini dengan menarik kesimpulan baru dari doktrin diamat—itulah yang membuatnya penting. Dalam kuliah seminarnya yang dijadikan buku, Membaca Kapital, Althusser dan murid-muridnya berupaya menunjukkan adanya suatu “sains tentang sejarah” di dalam Kapital. Sains ini sama sekali tidak berurusan dengan sejarah konkret melainkan sains tentang struktur teoretis yang ahistoris: sebuah sains Marxis yang sepenuhnya berbeda dengan segala ideologi. Proyek Althusserian ini adalah kelanjutan dari pembuktian atas keilmiahan Marxisme, atas suatu Marxisme yang saintifik. Untuk itu Althusser membagi fase pemikiran Marx menjadi dua: fase pra-Kapital yang masih Hegelian, humanis, ideologis, dan fase pasca-Kapital yang non-Hegelian, anti-humanis dan ilmiah. Namun Harry Cleaver—yang berasal dari tradisi Marxis Anglo-Amerika, sebuah tradisi yang ditopang oleh EB Thompson, musuh kontemporer Althusser—menganggap bahwa teori Althusser tidak lebih dari sekedar justifikasi untuk PCF (Partai Komunis Prancis).6 Menurut Cleaver, Althusser tidak memberikan pemecahan baru atas doktrin diamat-histomat sejak masa Engels sampai Stalin dan teorinya tentang overdeterminasi bersifat ambigu. Tentang tendensi kultural yang meresapi Mazhab Frankfurt sebagai eksponen revisionis, Cleaver menunjukkan peran sentral Friedrich Pollock. Ia merupakan pendiri Institut Penelitian Sosial di Frankfurt. Pollock lah yang menurut Cleaver menjelaskan mengapa terdapat tendensi kultural yang kuat di Mazhab Frankfurt. Hal ini ditunjukkan dalam buku Pollock berjudul, Automation. Di dalamnya ia menggambarkan fenomena akumulasi modal yang tersentralisasi sebagai esensi dari “kapitalisme negara” 37
Problem Filsafat
dan “negara otoritarian”.7 Penyebab dari sentralisasi akumulasi ini, menurut Pollock, adalah perluasan relasi kuasa dalam pabrik menuju ranah sosial secara umum. Konsekuensi dari pemikiran Pollock: dibutuhkan sebuah teori Marxis yang mampu menggambarkan kinerja kapitalisme dalam ikhwal kemasyarakatan. Dari sinilah tendensi analisis kultural itu muncul. Perspektif pembacaan ketiga adalah pembacaan politis atas Kapital. Dalam perspektif ini pokok yang diutamakan adalah strategi-taktik perjuangan proletariat. Figur awal yang memegang peranan sentral dalam pembacaan ini adalah Lenin. Dalam What Is to Be Done? ia menggagas pentingnya membentuk sebuah “partai garis depan” (vanguard party) yang merangkum seluruh pekerja dalam satu garis organisasi yang terdisiplinkan. Hanya dengan cara inilah, menurut Lenin, revolusi dapat terjadi. Ini adalah sebuah posisi klasik yang dipraktikkan oleh Marxis di seluruh dunia. Seiring dengan itu, yakni dalam State and Revolution, Lenin juga menekankan konsep badan rakyat, atau soviet, dan merumuskannya dalam sebaris kalimat: “Seluruh kuasa bagi soviet-soviet.” Namun di kemudian hari soviet-soviet yang independen ini dijadikan obyek dari kebijakan “birokratisasi soviet” yang membuat otonomi mereka hilang terlebur dalam garis komando Moskow. Untuk memperjuangkan kembali otonomi kelompok-kelompok pekerja, maka pada tahun 1941 berkembanglah dalam lingkaran Trotskyis apa yang disebut sebagai Tendensi Johnson-Forrest (The Johnson-Forrest Tendency). Ini merupakan kelompok yang dibentuk oleh J.R. Johnson dan F. Forrest—keduanya tak lain adalah nama samaran dari C.L.R. James dan Raya Dunayevskaya. Mereka yang tergabung dalam Tendensi ini melawan konsep Lenin tentang partai pemersatu. Kaum “otonomis” ini bahkan menolak serikat buruh
Problem Filsafat
38
sebab kerapkali justru serikat itulah yang dijadikan kaki-tangan kapitalis untuk meredam aksi buruh. Mereka mengkritik Uni Soviet sebagai dilandasi oleh “kapitalisme-negara” sebab bagi mereka sentralisasi yang dijalankan melalui birokratisasi soviet tak ubahnya akumulasi kapital di tangan negara. Orang-orang yang tergabung dalam Tendensi ini memfokuskan diri pada organisasi kecil di tingkat lokal8 dengan asumsi bahwa setiap pekerja memiliki kesadarannya sendiri untuk melawan tanpa perlu diajari dan diatur oleh partai. Berdekatan dengan Tendensi Johnson-Forrest, terdapatlah kelompok Trotskyis yang memisahkan diri dari Internasional Keempat di tahun 40-an. Mulanya mereka adalah seksi Prancis dari Internasional tersebut. Mereka lalu mendirikan jurnal yang terkenal, Socialisme ou Barbarie (Sosialisme atau Kebiadaban). Jurubicara dari kelompok para mantan-Trotskyis ini adalah Cornelius Castoriadis dan Claude Lefort. Mereka mengartikulasikan kritik yang keras terhadap Leninisme. Tak heran, oleh karenanya, jika Althusser—yang memang memegang garis Marxisme-Leninisme—beserta seluruh muridnya (mulai dari Balibar hingga Badiou) senantiasa menjaga jarak terhadap mereka.9 Bahkan, menurut Cleaver, kelompok Socialisme ou Barbarie ini, melalui kedua jurubicaranya, tidak hanya menolak ortodoksi di dalam Marxisme melainkan lebih jauh menolak Marxisme itu sendiri.10 Mereka mengelaborasi sendiri pemikiran tentang perlawanan pekerja dan pada akhirnya berhenti di sekitar posisi sosial-demokrat dengan sentralitas konsep demokrasi (seperti pada Lefort). Para Marxis Italia memiliki caranya sendiri untuk turun dalam perdebatan kontemporer tentang strategi-taktik perjuangan kiri. Mereka yang tumbuh dalam iklim penuh gejolak tahun 60-an menghidupkan kembali strategi ekstra-
No. 1 / Tahun I / November 2009
parlementer Rosa Luxemburg seraya menolak Partai Komunis Italia yang resmi dan diakui negara sebagai bagian dari parlemen. Oleh karenanya, mereka, seperti juga kaum kiri Prancis di tahun ’68, bermusuhan terhadap dua pihak: negara dengan segala aparatus represinya dan partai komunis resmi. Salah satu kelompok mereka adalah Potere Operaio yang melahirkan prinsip perjuangan Operaismo (Workerism) dengan tokoh seperti Antonio Negri, Raniero Panzieri dan Mario Tronti. Mereka ini mengambil garis otonomis, dalam arti independen terhadap partai komunis dan serikat buruh yang jelas-jelas telah menjadi instrumen kapital—sebuah fenomena yang jamak terjadi di Eropa Barat sejak tahun 60-an. Namun ada yang berbeda dari kecenderungan umum gerakan kiri Eropa pada masa itu. Sementara peristiwa Mei ’68 di Prancis meledak dan mendapatkan sorotan pers yang luar biasa walaupun hanya berlangsung sekejap, perlawanan kiri Italia yang bermula di tahun 60-an masih terus berlanjut hingga tahun 80-an. Tidak seperti gerakan kiri Prancis tahun 60-an yang tersusun oleh aksi massa biasa yang berakhir menjadi huru-hara biasa, gerakan kiri Italia di masa yang sama tidak berhenti pada aksi massa melainkan juga perjuangan bersenjata. Antonio Negri, dalam menegaskan watak otonomis perjuangan kiri Italia, menyatakan: “Di Prancis, ketika peristiwa Mei ’68, adalah para intelektual yang memimpin gerakan pemberontakan, bukan para pekerja. Di Itali yang sebaliknya lah yang terjadi: para pekerja yang menolak kompromi historis lah yang memimpin perjuangan, bukan kaum intelektual.”11 Negri sendiri pernah dipenjara atas dakwaan menjadi “otak intelektual” dari gerakan milisi Brigate Rosse (Brigade Merah). Karena perpaduan antara gerakan aksi massa buruh, mahasiswa, kaum intelektual dan milisi sipil inilah pada masa itu dikenal istilah “laboratorium politik Italia”. Di Itali lah
No. 1 / Tahun I / November 2009
kita menjumpai, secara sekaligus, gerakan perlawanan kiri yang kuat dan represi pemerintah yang keras. Itulah sebabnya, gerakan kiri Italia mendapatkan simpati luas dari kalangan intelektual kiri Eropa, seperti misalnya pada musim semi tahun 1977, ketika berderet-deret tank masuk ke halaman universitas dan para intelektual kiri Prancis seperti Foucault, Deleuze dan Guattari angkat bicara mendukung perjuangan kiri Italia.12 Dengan demikian kita telah mendapatkan gambaran tentang berbagai tradisi pembacaan terhadap Kapital. Paparan ringkas ini, tentu saja, kurang memadai. Ada lebih banyak lagi alternatif pembacaan apabila kita masuk ke dalam detail. Namun, karena keterbatasan ruang, kami harap pemetaan sederhana ini sudah memadai untuk memberikan kita pemahaman tentang orientasi-orientasi dasar dalam membaca Kapital. Catatan Akhir
1. Karl Marx, Contribution to a Critique of Political Economy seperti dikutip dalam Harry Cleaver, Reading Capital Politically (Texas University Press), 1980, hlm. 31. 2. Lih. Ibid., hlm. 39. 3. Lih. Ibid., hlm. 41. 4. Ibid., hlm. 47. 5. Ibid., hlm. 49. 6. Lih. Ibid., hlm. 50. 7. Ibid., hlm. 53. 8. Dalam deskripsi C.L.R. James tentang aktivitas mereka: “However high they soar they build upon shop floor organization and action on the job.” Seperti dikutip dalam ibid., hlm. 62. 9. Slavoj Žižek pernah mencatat bahwa setiap Althusserian kontra terhadap Lefort. “Rancière […] belongs to the field one is tempted to define as ‘post-Althusserian’: authors like Balibar, Alain Badiou, up to Ernesto Laclau, whose starting point was close to Althusser. The first thing to note here is how they are all opposed to the most elaborated ‘formal’ theory of democracy in contemporary French thought, that of Claude Lefort.” Slavoj Žižek, The Lesson of Rancière dalam Jacques Rancière, The Politics of Aesthetic diterjemahkan oleh Gabriel Rockhill (London:
39
Problem Filsafat
Continuum), 2004, hlm. 73. 10. Harry Cleaver, op.cit., hlm. 64. 11. Antonio Negri dan Anne Dufourmantelle, Negri on Negri diterjemahkan oleh M.B. DeBevoise (New York: Routledge), 2004, hlm. 35. 12. Lih. Ibid., hlm. 4.
Pertanyaan-Pertanyaan Pemandu Pembacaan Terhadap Kapital
bagi
Rangkaian pertanyaan yang disampaikan di sini adalah upaya penggalian makna dalam arti literer, baik itu menyangkut peristilahan maupun rangkaian gagasan. Pertanyaan-pertanyaan yang sifatnya elaboratif akan dikembangkan sesuai dengan perjalanan serial diskusi Membaca Kapital. Sebagian besar dari pertanyaan ini dikembangkan dari yang sudah ditulis oleh John Fox dan William Johnston dalam buku Understanding Capital, Progress Book, Toronto 1978. Chapter I 1. Apa makna dan perbedaan di antara nilai guna, nilai tukar dan nilai? 2. Apa makna dan perbedaan di antara kerja kongkret dan kerja abstrak 3. Mengapa di dalam masyarakat kapitalis, nilai guna merupakan cadangan material bagi nilai tukar 4. Bagaimana hubungan di antara nilai dan nilai guna? Dapatkah keduanya berada di dalam sebuah komoditi tanpa kehadiran dari salah satunya? 5. Bagaimana makna kata “secara sosial” sebagaimana yang terungkap dalam peristilahan “kerja yang diperlukan secara sosial”? 6. Apa yang dimaksud dengan dua aspek kerja? Apakah terdapat kontradiksi di antara dua aspek tersebut 7. Mengapa pembagian kerja sosial merupakan prasyarat bagi produksi komoditi? Apakah setiap pembagian kerja sosial selalu membawa hasil pada produksi komoditi? 8. Apakah akan terdapat peningkatan kesejahteraan material ketika pembesaran nilai mengalami penurunan? 9. Apa yang disebut sebagai ragam bentuk nilai sebagaimana yang dipikirkan oleh Marx? 10. Bagaimana keterkaitan di antara relasi sosial dan kerja di dalam masyarakat feodal dan masyarakat kapitalis? 11. Apakah yang dimaksud dengan fetisisme komoditi dan bagaimana asal usul dari karakter fetish itu? Chapter II 1. Mengapa pertukaran nilai guna berkembang di dalam pertukaran produk kerja sebagai nilai, dan mengapa komoditi harus direalisasikan dahulu sebagai nilai sebelum sebagai nilai guna? 2. Apakah tahap tahap di dalam pengkonversian produk kerja ke dalam komoditi? 3. Pada titik mana di dalam pengkonversian itu fetisisme kemudian muncul dan bagaimana manifestasinya untuk pertama kalinya? Chapter III 1. Relasi apa yang diekspresikan melalui pembesaran nilai? 2. Apa keterkaitan di antara nilai dan harga jual? 3. Apa ragam fungsi fungsi yang ditampilkan oleh uang?
Problem Filsafat
40
No. 1 / Tahun I / November 2009
No. 1 / Tahun I / November 2009
41
Problem Filsafat
Chapter IV 1. Apa batasan batasan inheren di dalam sirkulasi komoditi yang sederhana? 2. Apakah landasan obyekti dari sirkuit C-M-C dan M-C-M? Apakah tujuan subyektif yang dilekatkan pada masing masing dari sirkuit ini? Chapter V 1. Apakah kontradiksi yang terdapat di dalam formula kapital? 2. Mengapa sirkulasi kapital tidak dapat menjadi dasar bagi nilai lebih? 3. Apa kesahan mendasar yang terletak di balik usaha usaha un tuk merepresetasikan sirkulasi komoditi sebagai sumber nilai lebih? Chapter VI 1. Mengapa Marx mengatakan bahwa nilai dari tenaga-kerja mencakup faktor historis dan moral? Apa yang menentukan nilai dari tenaga kerja? 2. Apa kondisi kondisi yang dibutuhkan untuk membeli dan menjual kekuatan kerja untuk menjadi generalisasi proses sosial 3. Apakah kekhususan dari tenaga kerja sebagai komoditi? 4. Mengapa Marx membedakan antara kerja dan tenaga kerja? Chapter VII 1. Mengapa Marx mengasosiasikan proses kerja dengan produksi nilai guna? Apakah faktor faktor mendasar dari proses kerja? 2. Apa karakteristik yang spesifik dari proses kerja kapitalistik 3. Bagaimana nilai komoditas ditentukan? 4. Bagaimana perbedaan di antara nilai guna dan nilai dari komoditi tenaga kerja membawa hasil pada penciptaan nilai lebih? Chapter VIII 1. Apakah yang dimaksud dengan Kapital konstan dan kapital Variabel dalam pemikiran Marx? 2. Bagaimana pembedaan di antara kerja abstrak dan kerja kongkret berhubungan dengan pembedaan di antara kapital konstan dan kapital variabel? Chapter IX 1. Apa yang dimaksud dengan waktu kerja yang diperlukan dan waktu kerja yang berlebih? Chapter X 1. Bagaimana legislasi/perundang undangan yang mengatur waktu kerja di Inggris terbagi ke dalam dua periode yang berbeda? Apa dasar pemikiran dari pembagian ini? 2. Apakah macam macam hak yang dilibatkan di dalam perjuangan menuntut penyesuaian jam kerja? 3. Bagaimana penjelasan Marx tentang Undang undang Kepabrikan? Chapter XI
Problem Filsafat
42
No. 1 / Tahun I / November 2009
1. Apa hubungan di antara nilai lebih rata rata dan nilai lebih massif? 2. Apa faktor faktor yang menentukan batas minimal kapital yang dibutuhkan untuk investasi di dalam lingkup produksi yang khusus? Chapter XII 1. Apa perbedaan diantara nilai lebih absolut dan nilai lebih relatif? 2. Mengapa kapitalis individual termotivasi untuk meningkatkan produktivitas para pekerja melalui inovasi? 3. Apa hubungan diantara nilai tenaga kerja seorang pekerja dengan produktivitasnya? Bagaimana relasi ini masuk kedalam formasi nilai lebih relatif? Chapter XIII 1. Apa yang dimaksud oleh Marx dengan istilah ‘koperasi sederhana’ 2. Bagaimana koperasi sederhana berakibat dalam peningkatan nilai lebih relatif? 3. Apakah dua aspek yang berbeda dari kontrol kapitalis terhadap produksi, dan bagaimana aspek aspek tersebut muncul? 4. Bagaimana peningkatan dalam produktivitas yang bersesuaian dengan koperasi muncul menjadi fungsi dari kapital? Chapter XIV 1. Bagaimana usaha manufaktur mengembangkan nilai lebih relatif? 2. Bagaimana karakter teknis dari manufaktur menyebabkan jumlah kapital menjadi minimum bagi kapitalis untuk bangkit? 3. Apa halangan halangan yang menghambat perkembangan penuh dari tendensi usaha manufaktur? 4. Bagaimana perbedaan di antara pembagian kerja di dalam masyarakat dan pembagian kerja di dalam pabrik? Chapter XV 1. Bagaimana perubahan sosial dan ekonomi yang dihasilkan dari peralihan dari industri manufaktur ke industri modern? 2. Bagaimana koperasi sederhana manufaktur muncul kembali di dalam pabrik dan bagaimana pembagian kerja manufaktur muncul kembali di pabrik? 3. Apa pertimbangan pertimbangan yang membatasi penggunaan mesin di dalam kapitalisme? 4. Apa beda di antara nilai mesin dan nilai yang dialihkan oleh mesin ke produk? 5. Apa kontradiksi inheren yang terdapat dalam penggunaan mesin untuk produksi nilai lebih relatif, dan bagaimana kontradiksi ini dimanifestasikan? 6. Apa hakekat perbedaan di antara peningkatan produktivitas dan peningkatan intensitas kerja? Chapter XVI 1. Apa yang dimaksud dengan corak produksi kapitalis yang spesifik? Chapter XVII 1. Bagaimana panjang waktu kerja, intensitas kerja, dan produktivitas kerja menentukan
No. 1 / Tahun I / November 2009
43
Problem Filsafat
nilai lebih dan nilai tenaga kerja? Chapter XVIII 1. Mengapa penting memahami tingkat nilai lebih dari rasio nilai lebih untuk nilai yang diciptakan? Chapter XIX 1. Apa dilema dari teori teori ekonomi politik klasik sehubungan dengan persoalan upah?
perkembangan usaha manufaktur? 2. Apa maksud dari sarana subsistensi telah diubah menjadi elemen material kapital variabel? Chapter XXXII 1. Apa tendensi historis dari akumulasi kapital? 2. Bagaimana corak produksi yang sederhana memajukan perkembangan kapitalis?
Chapter XX 1. Apa hubungan di antara harga kerja dan nilai tenaga kerja? Chapter XXI 1. Apakah karya mulia yang sesuai bagai corak produksi kapitalis? Chapter XXII 1. Apakah konsekuensi dari variasi internasional di dalam produktivitas dan intensitas kerja? Chapter XXIII 1. Bagaimana kita memahami bahwa kapitalisme adalah sebuah sistem yang mereproduksi dirinya sendiri? Apakah itu memudahkan kita untuk memahami produksi kapitalis? 2. Apa yang dimaksud oleh Marx dengan “reproduksi sederhana” Chapter XXIV 1. Bagaimana kapital menchasilkan kapital? Apa yang memungkinkan terjadinya reproduksi kapital? 2. Bagaimana hubungan pertukaran di antara kapital dan kerja hanya sekedar pelengkap? Chapter XXV 1. Bagaimana hukum umum dari akumulasi kapitalis? Chapter XXVI dan XXVII 1. Apa yang disebut sebagai akumulasi primitif? 2. Bagaimana perampasan populasi pertanian menciptakan prakondisi bagi kesejahteraan kapitalis Chapter XXVIII 1. Mengapa legislasi diperlukan untuk kapitalisme di dalam periode awal perkembangannya? Chapter XXX dan XXXI 1. Bagaimana pemisahan produsen pertanian dari sarana produksinya mempengaruhi
Problem Filsafat
44
No. 1 / Tahun I / November 2009
No. 1 / Tahun I / November 2009
45
Problem Filsafat
Perihal Komunitas Marx
1. Profil Komunitas Marx Komunitas ini didirikan pada paruh pertama tahun 2009. Pada mulanya ia digagas tidak sebagai komunitas tersendiri melainkan sebagai divisi dalam Komunitas Hegel. Namun oleh berbagai alasan, lantas dicapai kesepakatan untuk dihadirkan dalam format yang terpisah. Gagasan dasar pembentukan Komunitas Marx, tentu saja, adalah agar menjadi wadah mendiskusikan teks-teks Karl Marx—seorang filsuf yang namanya tak pernah surut diperdebatkan di sepanjang perjalanan filsafat hingga kini. Marx menjadi figur penting sebab segala diskursus tentang emansipasi niscaya menimba inspirasi darinya. Saat ini namanya kian berkibar lagi terutama jika kita periksa teks-teks pemikir kontemporer seperti Žižek dan Badiou yang secara eksplisit hendak merevitalisasi Marxisme (dan bahkan Leninisme) dan menguatkan kembali peran Marx sebagai pemikir politik utama—sesuatu yang memiliki sejarahnya pada upaya teoretik Mazhab Frankfurt (dengan tokoh-tokoh besar seperti Adorno dan Benjamin). Jika kita menengok ke dua abad sebelum abad 21, kita menyaksikan berbagai eksperimentasi historis atas ajaran Marx yang dijalankan hampir tanpa putus, semenjak Internasional pertama di era Marx sendiri hingga gerakan Zapatista di Meksiko akhir abad ke-20. Tak hanya itu, Marx juga memberikan tulang punggung ontologis bagi filsafat politiknya, yakni pengertian baru tentang materialisme yang diolahnya dalam dialog kritis dengan filsafat Hegel yang telah ia kuasai secara fasih. Pemikirannya, dengan demikian,
Problem Filsafat
46
merentang dari domain ontologi hingga politik. Kekayaan wacana inilah yang membuat kita tak bisa memalingkan muka begitu saja dari Marx apabila kita sungguh ingin belajar filsafat pada hari ini. Atas dasar pengertian tentang peran sentral Marx inilah Komunitas Marx dibentuk. Komunitas ini akan membantu kita untuk lebih memahami pemikiran Marx karena di dalam diskusi nantinya, kita akan saling-bantu memperdalam pengertian melalui presentasi dari masingmasing peserta tentang pokok teks yang dipilih. Dengan kerja kolektif inilah, kita akan mencapai pengertian secara lebih mudah dibandingkan dengan secara individual membaca keseluruhan teks. Buku Marx yang akan dibahas pada kesempatan pertama ini adalah Das Kapital. Ini merupakan buku yang dianggap karya utama Marx dan oleh karenanya ia tergolong cukup sulit apalagi untuk dipelajari sendirian. Namun kesulitan ini akan kita patahkan dengan pembacaan bersama yang telaten dan sebisa mungkin merujuk kembali pada karya-karya Marx yang lain. Kita tak perlu ragu untuk mencobanya sebab tak ada yang mustahil untuk kita pahami jika kita bahu-membahu mengkajinya. Komunitas Marx terbuka untuk siapa saja, tanpa memandang latar belakang pendidikan (entah mahasiswa semester awal ataupun akhir), sebab di dalamnya kita hadir sebagai kawan yang sama-sama belajar untuk mengerti. 2. Organisasi Kerja Komunitas Marx Komunitas Marx pada tahun pertama, 2009-2010, dikoordinatori oleh Berto Tukan. Di dalam penyelenggaraan
No. 1 / Tahun I / November 2009
serial diskusi “Membaca Kapital” ini secara organisasional Komunitas dibagi dalam empat divisi kerja: 1. Divisi Materi: bertanggung jawab atas pengadaan materi bagi peserta diskusi, baik materi primer maupun sekunder. Termasuk juga bertanggung jawab atas notulensi hasil diskusi. Divisi ini dipegang oleh Anom Astika. 2. Divisi Kepesertaan: bertanggung jawab untuk mengorganisasikan peserta berdasarkan formulir kepesertaan yang sudah dibagikan ke biara-biara maupun peserta dari kalangan awam. Divisi ini dipegang oleh Togap Jaya Alam. 3. Divisi Presentasi: bertanggung jawab atas presentasi dan presentator diskusi. Divisi ini dipegang oleh Martin Suryajaya. 4. Divisi Publikasi: bertanggung jawab a tas pengundangan peserta, pe ngumuman acara diskusi dan publikasi hasil-hasil diskusi. Divisi ini dipegang oleh Priscilia Hanu. 3. Metode Diskusi Membaca Kapital Buku Kapital terdiri atas 8 bagian dan 32 bab. Berdasarkan pembagian ini kami merencanakan akan menyelenggarakan diskusi sebanyak 16 kali pertemuan, setiap dua minggu sekali. Serial diskusi yang seluruhnya berjumlah 16 pertemuan ini akan kita bagi ke dalam dua bentuk pertemuan. Pertemuan pertama adalah presentasi pembacaan teks Kapital (dengan corak tekstual), sementara pertemuan jenis kedua adalah presentasi dan diskusi atas elaborasi lebih lanjut (dengan acuan teks ekstra-Kapital) atas tema yang didiskusikan dalam pertemuan pertama. Jad manakala dalam pertemuan minggu pertama kita membahas bagian teks Kapital yang berjudul “Transformasi Uang Menjadi Kapital” maka pada pertemuan berikutnya dua minggu kemudian kita akan masuk ke dalam elaborasi lebih lanjut tentang tema tersebut, misalnya
No. 1 / Tahun I / November 2009
dengan mengkomparasikannya terhadap pemikiran Marx pada teks sebelum Kapital atau dengan membaca tradisi penafsiran atas tema tersebut oleh para komentator Marx. 4. Kepesertaan dan Presentasi Diskusi Peserta diskusi adalah mahasiswa S1/S2 STF Driyarkara yang mengisi formulir kepesertaan. Peserta diskusi diharapkan membaca teks-teks yang dibagikan dan membuat teks presentasi (dalam pertemuan pertama) maupun teks komentar (dalam pertemuan kedua). Peserta yang berhalangan hadir diharap melaporkan ketakhadirannya pada Divisi Kepesertaan. Peserta presentator yang berhalangan hadir sesuai dengan jadwal yang sudah ditentukan harap berkoordinasi dengan Divisi Presentasi. 5. Publikasi Hasil Diskusi Publikasi yang akan dikeluarkan oleh Komunitas Marx sepanjang perjalanan serial diskusi “Membaca Kapital” ialah Bulletin Komunitas Marx yang akan terbit setiap dua minggu sekali berselingan dengan jadwal diskusi (jadi apabila minggu ini adalah jadwal diskusi, maka Bulletin akan diterbitkan pada minggu antara minggu ini dan diskusi selanjutnya pada dua minggu kemudian). Rubrik yang menyusun Bulletin tersebut adalah sebagai berikut: 1. Editorial 2. Paper presentasi 3. Notulensi diskusi 4. Paper ringkasan terjemahan 5. Pertanyaan-pertanyaan yang belum terjawab dalam diskusi Selain Bulletin dwi-mingguan, Komunitas Marx juga berencana akan menerbitkan hasil diskusi, setelah dirumuskan ke dalam proposal riset, sebagai buku hasil riset bersama atas teks Kapital. Catatan: Silahkan mendaftar pada formulir yang telah diedarkan. 47
Problem Filsafat
Daftar Isi
.
Orasi Pembukaan Serial Diskusi Membaca Kapital...............................................................2 Editorial.......................................................................................................................................10 Artikel I: Adanya Buku Das Kapital........................................................................................10 Artikel II: Apa Perlunya Membaca Das Kapital....................................................................16 Artikel III:Berpikir dengan Pendekatan Materialisme Dialektis dan Historis..................19 Artikel IV: Survei atas Pemikiran Marx dalam Karya-Karya Sebelum Kapital................25 Artikel V: Perbedaan Pendapat di Seputar Pembacaan Terhadap Kapital........................35 Pertanyaan-Pertanyaan Pemandu bagi Pembacaan Terhadap Kapital..............................41 Perihal Komunitas Marx...........................................................................................................46
Problem Filsafat
48
No. 1 / Tahun I / November 2009
View more...
Comments