Presbes - Dr. Wahyu, Sp.pd - Tumor Marker - Sufiya Lisnawati
July 10, 2019 | Author: Meulana Fajariadi Vicadimas | Category: N/A
Short Description
presbes dr wahyu tumor marker...
Description
1
PRESENTASI KASUS BESAR Tumor Marker
Pembimbing:
dr. Wahyu Djatmiko, Sp. PD, FINASIM
Disusun oleh:
Sufiya Lisnawati
G4A016097
SMF ILMU PENYAKIT DALAM RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN PURWOKERTO 2017
2
LEMBAR PENGESAHAN
PRESENTASI KASUS BESAR TUMOR MARKER
Diajukan sebagai salah satu syarat mengikuti ujian pada Program Profesi Dokter Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo.
Disusun oleh:
Sufiya Lisnawati
G4A016097
Pada tanggal, 17 Mei 2017 Mengetahui,
Pembimbing,
dr. Wahyu Djatmiko, Sp. PD, FINASIM
3
TUMOR MARKER
Tumor Marker atau penanda tumor adalah zat yang dihasilkan oleh sel kanker atau sel-sel tubuh lainnya dalam merespon adanya kanker atau kondisi tertentu (bukan kanker). Penanda tumor dapat dibuat oleh sel-sel normal maupun oleh sel-sel kanker. Namun , pada kondisi adanya kanker diproduksi pada tingkat yang jauh lebih tinggi. Penanda Tumor dapat ditemukan dalam cairan tubuh (ekstrasel) dan sel/jaringan tumor penderita kanker. Penanda tumor umumnya adalah protein (antigen). Beberapa penanda tumor dapat berhubungan dengan hanya satu jenis kanker, tetapi ada pula yang berhubungan dengan dua atau lebih jenis kanker. Kadang-kadang kondisi non kanker dapat pula menyebabkan tingkat penanda tumor tertentu meningkat. Meskipun tingkat yang lebih tinggi dari penanda tumor dapat menunjukkan adanya kanker, ini saja tidak cukup untuk mendiagnosa kanker. Oleh karena itu, pengukuran penanda tumor biasanya dikombinasikan dengan tes lain, seperti biopsi, untuk mendiagnosa kanker (Setiaputri, 2016). Penanda tumor yang idealn adalah PT yang sangat spesifik arti nya dia hanya CAmendeteksi tumor pada kondisi pra kanker. Akan tetapi sampai saat ini belum ada satupun PT yang ideal. Berdasarkan aspek klinisnya maka PT dapat dibedakan menjadi screening, prognosis, predictive, dan monitoring markers (Bakta dan Suega, 2009). 1. Penanda Tumor Payudara CA 15-3 (Cancer Antigen 15-3)
Cancer Antigen 15-3 pertama kali digunakan pada kanker payudara. Kadarnya hanya meningkat kurang lebih 10% pada kasus yang dini tapi akan meningkat sampai 75% pada kanker yang sudah lanjut. Kadar normal serum CA 15-3 adalah kurang dari 30 U/ml. Batas rentang normal bervariasi, tergantung pada laboratorium dan kit yang digunakan untuk pengujian (Suega dan Bakta, 2009). Nilai yang diperoleh dengan alat pengujian, metode, atau laboratorium yang berbeda tidak dapat digunakan secara bergantian untuk memonitor perkembangan penyakit (Thaker, 2014).
4
a. Penggunaan CA 15-3 untuk skrining, diagnosis, dan menentukan stadium kanker payudara. Saat ini belum ada data yang merekomendasikan pengukuran CA 153 digunakan untuk skrining, diagnosis, dan penentuan stadium kanker payudara. Kadar CA 15-3 jarang meningkat pada kanker payudara stadium awal, sehingga akan sulit untuk mendeteksi adanya perkembangan dini dari suatu kanker. Selain itu, kadar CA 15-3 juga dapat tidak terdeteksi sama sekali pada beberapa jenis kasus kanker payudara, karena beberapa tumor tidak mengekspresikan antigen ini. Maka marker ini tidak memiliki nilai klinis pada kanker payudara yang tidak mengekspresikan CA 15-3 (Harris et al ., 2007) Beberapa penelitian melaporkan nilai prognostik CA 15-3 pada tahap awal kanker payudara. Ditemukannya marker CA 15-3 pada tahap awal kanker payudara dapat memprediksi hasil yang lebih buruk, namun implikasi pada pengelolaan kanker payudara stadium awal masih belum jelas. CA 15-3 juga dapat meningkat pada beberapa kondisi benign (jinak) maupun malignant (keganasan) (Ebeling et al ., 2002). b. Penggunaan CA 13-5 untuk mendeteksi adanya rekurensi setelah pengobatan kanker payudara primer. Saat ini belum ada data yang memadai untuk merekomendasikan pengukuran CA 15-3 untuk memantau kekambuhan kanker payudara setelah pengobatan primer dan atau adjuvant pada kanker payudara primer. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa peningkatan kadar CA 15-3 dapat memprediksi kekambuhan sekitar 5-6 bulan sebelum onset tanda dan gejala, dan hasil positif dari beberapa pemeriksaan penunjang lainnya. Namun, belum ada uji klinis teracak yang menunjukkan bahwa deteksi dini dan pengobatan pada pasien asimptomatik dapat meningkatkan kelangsungan dan kualitas hidup pasien. Selain itu, efektivitas biaya dan peningkatan dampak toksisitas pengobatan dengan adanya deteksi dini masih belum jelas (Thaker, 2014).
5
c. Penggunaan CA 15-3 untuk pengelolaan klinis kanker payudara yang telah bermetastase. CA 15-3 memiliki sensitifitas dan spesifitas yang rendah untuk semua jenis kanker payudara. Namun, sensitifitas dan spesifitasnya meningkat pada keadaan metastatik dan terjadinya rekurensi. Suatu penelitian menunjukkan bahwa kadar CA 15-3 meningkat pada tumor yang berukuran lebih besar dan pada kanker dengan stadium lanjut (Duffy et al ., 2000). Pengukuran CA 153 yang dilakukan bersamaan dengan temuan riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan pencitraan diagnostik, dapat digunakan untuk memantau respon kanker terhadap terapi aktif. Pengukuran CA 15-3 tidak boleh digunakan sendiri untuk memantau respon pengobatan (Harris et al ., 2007). 2. Penanda Tumor serviks SCC-Ag (Squamous Cell Carcinoma Antigen)
Pada wanita yang tampak sehat, dapat ditemukan SCC-Ag dalam sirkulasi darah dengan konsentrasi 1,9 µg/L. Beberapa penelitian telah menentukan cutt off point antara 2,0 dan 2,5 µg/L masih dianggap normal. SCCAg bukanlah penanda spesifik adanya seuatu keganasan di serviks, karena peningkatan konsentrasi SCC-Ag juga dapat ditemukan pada pasien dengan karsinoma vulva, vagina, esophagus, dan paru-paru, bahkan pada pasien yang mengalami lesi jinak pada kulit seperti psoriasis. Tingginya kadar SCC-Ag (mencapai 18 µg/L) juga ditemukan pada pasien dengan gagal ginjal dan penyakit paru (Sturgeon dan Diamandis, 2010). a. Kegunaan klinis SCC-Ag pada skrining dan diagnosis kanker serviks. SCC-Ag tidak cukup sensitif (terutama pada tahap awal penyakit) dan tidak spesifik untuk skrining kanker serviks. Diagnosis adanya kanker serviks didasarkan dengan temuan histopatologi. Peningkatan konsentrasi serum SCCA pada tahap awal diagnosis ditemukan pada 60% pasien kanker serviks. Kadar SCC-Ag serum meningkat pada 24-53% pasien dengan stadium IB atau IA, dan kadarnya semakin meningkat pada 75-90% pasien stadium lanjut (FIGO IIB dan stadium yang lebih tinggi). Konsentrasi SCC-
6
Ag serum berkorelasi secara signifikan dengan stadium tumor dan ukuran tumor (Sturgeon dan Diamandis, 2010). b. Kegunaan Klinis SCC-Ag untuk memprediksi adanya metastase tumor ke limfe nodi dan untuk perencanaan perawatan/terapi. Pada pasien kanker serviks stadium IB atau IIA yang belum mendapatkan terapi, SCC-Ag memiliki sensitivitas sebesar 60-87% dan spesifitas 41-91% untuk mendeteksi adanya metastase ke kelenjar getah bening. Penelitian pada 414 pasien kanker serviks stadium awal menunjukkan bahwa peningkatan konsentrasi SCC-Ag dan besarnya ukuran tumor menjadi faktor risiko independen adanya metastasis ke li mfe nodi (Du et al ., 1997). Pada penelitian lain (401 pasien), hanya SCC-Ag dengan konsentrasi yang sangat tinggi (>10 µg/L) berkorelasi dengan pembesaran kelenjar getah bening yang ditunjukkan menggunakan CT scan (Hong et al ., 1998). Konsentrasi
SCC-Ag
pretreatment dapat
digunakan
untuk
mengidentifikasi pasien yang membutuhkan perencanaan terpai intensif atau tambahan. Frekuensi pemberian radioterapi adjuvant post operasi dapat ditentukan berdasarkan stadium FIGO, ukuran tumor, dan kadar SCC-Ag pre-operasi. Frekuensi pemberian radioterapi adjuvant berbanding lurus dengan semakin tingginya kadar SCC-Ag pre operasi (Sturgeon dan Diamandis, 2010). c. Kegunaan Klinis SCC-Ag berkaitan dengan prognosis kanker serviks Berbagai studi menyebutkan bahwa peningkatan kadar SCC-Ag menjadi faktor risiko independen untuk prognosis buruk. d. Kegunaan Klinis SCC-Ag dalam memonitor respon terapi dan deteksi dini terjadinya rekurensi (kekambuhan). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kadar SCC-Ag dapat digunakan untuk memonitoring perkembangan kanker serviks setelah dilakukan terapi primer. Kenaikan dan tingginya kadar SCC-Ag yang persisten setelah pemberian terapi menunjukkan perkembangan penyakit yang semakin progresif. Sebuah penelitian membuktikan bahwa konsentrasi SCC-Ag yang diukur setelah 1 bulan pengobatan primer dengan kemoradiasi
7
lebih baik dibandingkan konsentrasi SCC-Ag pretreatment dalam memprediksi outcome klinis. Konsentrasi SCC-Ag yang normal pada 1 bulan setelah terapi berkorelasi dengan remisi lengkap dalam 3 bulan. Penelitian lain menyatakan bahwa konsentrasi SCC-Ag yang meningkat terus menerus pada 2-3 bulan setelah radioterapi berhubungan secara signifikan dengan peningkatan kejadian kegagalan terapi. Pasien yang tidak respon terhadap kemoterapi secara signifikan memiliki konsentrasi SCC-Ag yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang menunjukkan respon terapi lengkap maupun parsial (Sturgeon dan Diamandis, 2010). SCC-Ag memiliki sensitivitas sebesar 56%-86% dan spesifitas 83100% untuk mendeteksi adanya rekurensi (kekambuhan) kanker serviks. Meskipun SCC-Ag dapat digunakan untuk memonitor perjalanan penyakit kanker serviks dan berkolerasi kuat dengan outcome klinisnya, namun belum diketahui apakah dengan mendeteksi secara dini adanya rekurensi akan memengaruhi hasil terapi dan prognosis. Paling banyak hanya 10% pasien dengan penyakit rekuren dapat disembuhkan (Sturgeon dan Diamandis, 2010). 3. Penanda Tumor Ovarium CA 125 (Cancer Antigen 125)
Tumor marker yang diterima secara klinis untuk kanker epithelial ovarium adalah CA-125 (Cancer Antigen-125), yang ditemukan meningkat pada hampir semua kasus kanker ovarium (80%), tetapi hanya meningkat pada 50% kasus stadium I, 70% kasus stadium II, 90% pada stadium III, dan > 95% pada stadium IV. Walaupun secara keseluruhan CA-125 memiliki sensitivitas yang tinggi, tetapi diikuti juga dengan spesifisitas yang rendah, karena sering ditemukan meningkat pada berbagai macam kondisi, terutama pada kelompok premenopause
(endometriosis,
kehamilan,
infeksi,
dan
mioma
uteri)
(Mulawardhana et al., 2011). CA-125 atau disebut juga Cancer Antigen 125 atau Carbohydrate Antigen 125 pertama kali ditemukan oleh Bast dkk pada tahun 1981. CA-125 terdapat pada semua jaringan yang berasal dari derivat sel mesotel dan epitel coelomik, diantaranya pleura, perikardium, peritoneum, tuba, endometrium dan
8
endoserviks. CA-125 digunakan secara rutin sampai saat ini untuk diagnosis preoperatif dan monitoring pasien kanker epithelial ovarium. Kadar normal CA 125 yang banyak dianut adalah 0-35 unit/mL (kU/L) (Aggarwal, 2010; Suega dan Bakta, 2009). a. CA-125 untuk Deteksi Dini Kanker Ovarium Tingginya angka mortalitas kanker ovarium disebabkan oleh kurang efektifnya strategi untuk deteksi dini penyakit tersebut, padahal jika ditemukan pada stadium awal angka harapan hidup penderita kanker ovarium akan jauh meningkat. Belum adanya tes diagnosis yang efektif menjadi permasalahan utama untuk deteksi dini kanker ovarium. Saat ini CA-125 secara luas telah digunakan untuk skrining kanker ovarium, namun CA-125 belum dianggap sebagai marker yang ideal karena rendahnya spesitifitas akibat tingginya angka positif palsu (Winata, 2014). Pada penelitian yang dilakukan oleh Rarung (2008) angka sensitifitas CA-125 untuk diagnosis kanker ovarium adalah sebesar 78,3% dan spesitifitas 82% dengan menggunakan nilai batas kadar CA-125 sebesar 35U/mL. Pada kanker ovarium stadium II, III, dan IV CA-125 meningkat pada 90% kasus, namun hanya 50% dari kanker ovarium stadium I yang mengalami peningkatan kadar CA-125. CA-125 tidak direkomendasikan untuk skrining kanker ovarium pada populasi umum, karena biaya pemeriksaan yang cukup mahal,. Namun, pada beberapa kelompok dengan risiko tinggi terkena kanker ovarium seperti dengan riwayat adanya keluarga menderita kanker ovarium, CA-125 dapat berguna untuk deteksi dini. Karena rendahnya angka spesitifitas CA-125 untuk marker deteksi dini kanker ovarium, maka peneliti mengkombinasikan CA-125 dengan pemeriksaan lain, seperti USG, HE4, dan marker lainnya namun sampai saat ini belum didapatkan hasil yang memuaskan dari kombinasi pemeriksaan tersebut (Winata, 2014). b. CA-125 untuk Diagnosis Kanker Ovarium Untuk membedakan apakan kanker ovarium merupakan kanker yang berasal dari ovarium atau akibat dari metastasis ke ovarium saat ini masih merupakan tantangan bagi para klinisi. Salah satu kanker tersering yang
9
bermetastasis ke ovarium adalah kanker kolorektal. Yedema dkk meneliti kombinasi CA-125 dan CEA untuk membedakan apakah kanker berasal dari ovarium atau dari kolorektal untuk menegakkan diagnosis sebelum dilakukannya terapi operatif. Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa sensitifitas dan spesitifitas untuk diagnosis kanker ovarium meningkat pada pasien dengan kadar CA-125 diatas 35U/mL serta kadar CEA < 5ng/mL. Lebih lanjut perbandingan kadar CA-125/CEA diatas 25 memiliki sensitifitas 91% dan spesitifitas 100% untuk diagnosis kanker ovarium. Penelitian lain yang dilakukan oleh Sorensen dan Mosgaard juga mendukung penggunaan kombinasi CA-125 dan CEA untuk diagnosis kanker ovarium. Pada pasien dengan kadar CEA > 5ng/mL 68% ditemukan keganasan diluar ovarium. Dari hasil penelitian-penelitian tersebut dapat dipertimbangkan penggunaan kadar CA-125 dan CEA untuk mendiagnosis kanker ovarium primer (Winata, 2014). c. CA-125 untuk Monitoring Terapi Kanker Ovarium Salah satu fungsi CA-125 yang sering digunakan adalah untuk memonitor respon terhadap terapi pada kanker ovarium. Pada pasien dengan kanker ovarium yang telah dilakukan terapi operatif, Zivanovic et al. (2009) menemukan adanya penurunan kadar CA-125 setelah operasi. Besarnya penurunan kadar CA-125 ini berhubungan dengan volume tumor yang tersisa setelah operasi dan kadar CA-125 sebelum operasi. Pasien dengan volume residu tumor minimal setelah operasi memiliki penurunan kadar CA-125 yang lebih signifikan dibandingkan dengan pasien dengan operasi debulking suboptimal, sehingga dapat dikatakan bahwa kadar CA-125 setelah operasi mencerminkan besarnya residu penyakit tersebut. d. CA-125 untuk Monitoring Rekurensi Kanker Ovarium US Food and Drug administration (FDA) hanya mengindikasikan CA-125 sebagai marker untuk memonitor rekurensi kanker ovarium. Nilai kadar CA-125 dapat menjadi faktor prognosis untuk terjadinya rekurensi kanker ovarium karena adanya peningkatan CA-125 meskipun hanya sedikit dapat menunjukkan terjadinya rekurensi (Bristow, 2013). Peningkatan kadar CA-125 ditemukan pada 56-94% kasus kanker ovarium yang mengalami
10
rekurensi. Waktu rata-rata terjadinya tanda dan gejala kanker ovarium setelah ditemukannya peningkatan kadar CA-125 saat follow up adalah 3-5 bulan. Sebaliknya, pada 50% pasien dengan nilai kadar CA-125 yang normal setelah dilakukan kemoterapi ternyata ditemukan kanker ovarium persisten dalam jumlah yang sedikit setelah dilakukan second look surgery (Pignata, 2011). 4. Penanda Tumor Prostat PSA (Prostat Spesific Antigen)
Dalam kondisi normal kadar PSA
View more...
Comments