Portofolio - Tetanus 2
March 27, 2017 | Author: Fleija Veriselle | Category: N/A
Short Description
Portofolio Tetanus...
Description
PORTOFOLIO LAPORAN KASUS TETANUS PADA ANAK DI RSUD INDRAMAYU
DISUSUN OLEH dr. Tiffany Pelealu
INDRAMAYU 2015 IDENTITAS PASIEN PASIEN Nama Umur Jenis Kelamin Alamat Suku bangsa
: An. WJ (Tanggal Masuk RS: 2 Juli 2015, pukul 05.25) : 3 tahun : Laki-Laki : Lamaran Tarung : jawa 1
Agama Pendidikan
: Islam : Belum Sekolah
RIWAYAT PENYAKIT Alloanamnesis : Ibu pasien, 2 Juli 2015 Keluhan Utama : Kejang-Kejang sebanyak dua kali, masing-masing selama 5 menit Keluhan Tambahan : Demam, mual, batuk Riwayat perjalanan penyakit : Kurang lebih 1 jam SMRS, Pasien mengalami kejang-kejang selama kurang lebih 5 menit, sifat kejang kaku, frekuensi terjadi dua kali . Sehabis kejang pasien tidak tertidur, ibu pasien tidak ingat apakah sebelum kejang pasien sempat terdiam untuk beberapa waktu, sebelum kejang pasien sedang tidur. Saat bangun pasien tidak mengeluhkan apa-apa, namun tidak lama timbul kejang yang ke-dua Sebelumnya pasien menderita demam 1 hari SMRS, disertai batuk dan mual, tidak ada mencret. BAK menurut ibu pasien normal, jumlah biasa, frekuensi sekitar 4-5x/hari, ibu pasien tidak tahu warna air kencing, namun menurut ibu pasien tidak ada keluhan nyeri atau susah kencing dari pasien. BAB normal, 1x/hari, terakhir kali sehari sebelum kejadian. Riwayat kejang sebelumnya disangkal, riwayat kejang demam tidak ada, riwayat epilepsi tidak ada, riwayat epilepsi pada keluarga tidak ada, riwayat jatuh atau cedera pada kepala tidak ada, saat ini pasien tidak sedang mengkonsumsi obat-obatan tertentu. Menurut ibu pasien, saat ini tidak ada masalah berarti dalam keluarga atau lingkungan yang dapat membuat pasien merasa tertekan. Karena kejadian kejang terjadi hingga dua kali dalam waktu yang berdekatan, maka pasien kemudian dibawa ke rumah sakit. Saat di rumah sakit pasien masih dalam keadaan sadar, tampak sakit ringan, masih bisa berkomunikasi dengan orang tuanya. PEMERIKSAAN FISIK Tanggal : 2 Juli 2015
PEMERIKSAAN UMUM Keadaan umum : tampak sakit sedang Kesadaran : Compos Mentis Tanda Vital: • Frekuensi nadi : 100 x/menit • Tekanan darah : 100/60 mmHg • Frekuensi napas : 28 x/menit • Suhu tubuh : 38,6°C Pemeriksaan neurologis: gerak normal, refleks fisiologis normal, kaku kuduk (+), lockjaw (+) refleks patologis (-). 2
LAB Leukosit Eritrosit Hemoglobin Hematokrit Trombosit
: 24100 : 4,8 : 12,7 : 38 : 446000
RINGKASAN Anak laki-laki, dengan keluhan kejang berulang sejak 1 jam SMRS. Sebelumnya ada demam, batuk (+), pilek (-), mencret (-), mual (+), muntah (-). Tidak ada riwayat kejang sebelumnya, tidak ada riwayat kejang demam, tidak ada riwayat epilepsi dalam keluarga, tidak ada riwayat trauma. Durasi kejang ± 5 menit, kejang kaku, setelah kejang pasien lemas. Frekuensi kejang dua kali, ibu pasien tidak ingat apa pasien sempat terdiam beberapa saat sebelum kejang. Pada pemeriksaan fisik ditemukan nadi : 100x/menit, TD: 100/60 mmHg, RR : 28x/menit, suhu: 38,6ºC. Berat badan: 13 kg. Kaku kuduk (+), lockjaw (+). Kadar leukosit: 24100/mm3. Pemeriksaan EEG belum dilakukan, pemeriksaan radiologi belum dilakukan.
DIAGNOSIS KERJA Suspect Tetanus DIAGNOSIS BANDING Kejang Demam Kompleks Meningo-Encephalitis
ANJURAN PEMERIKSAAN PENUNJANG EEG CT-Scan / MRI
PENATALAKSANAAN NonMedikamentosa : 1. Anjurkan untuk bed rest 2. Diet seperti biasa 3. Cek Darah Lengkap, Hitung Jenis, GDS Medikamentosa : 1. Infus KAEN 3B = 15 tpm makro 2. Cefotaxim 2x650mg IV 3. PCT 4x150mg IV 4. OMZ 2x150mg IV Jika kejang loading Cybital 250 mg --> 2x15mg IV (maintenance) 3
PROGNOSIS Ad vitam Ad fungtionam Ad sanationam
: malam : dubia : dubia
FOLLOW UP 2 Juli 2015 pukul 19.10 oleh dokter IGD Pasien apnoe pada pukul 19.10. Dilakukan RJP 5 siklus. Nadi tidak teraba. Pupil midriasis maksimal (+/+) Pasien dinyatakan meninggal pada pukul 19.15 di hadapan keluarga.
TINJAUAN PUSTAKA Pendahuluan Tetanus yang juga dikenal dengan lockjaw, merupakan penyakit yang disebakan oleh tetanospasmin, yaitu sejenis neurotoksin yang diproduksi oleh Clostridium tetani yang menginfeksi sistem urat saraf dan otot sehingga saraf dan otot menjadi kaku (rigid). Tetanus adalah suatu penyakit toksemik akut dengan tanda utama kekakuan otot (spasme), tanpa disertai gangguan kesadaran. Tetanus neonatorum menyebabkan 50% kematian perinatal dan menyumbangkan 20% kematian bayi. Kata tetanus diambil dari bahasa Yunani yaitu tetanos dari teinein yang berarti menegang. Penyakit ini adalah penyakit infeksi di saat spasme otot tonik dan hiperefleksia menyebabkan trismus (lockjaw), spasme otot umum, melengkungnya punggung (opistotonus), spasme glotal, kejang, dan paralisis pernapasan. Tetanus pertama kali dijelaskan oleh orang Mesir kuno di Edwin Smith Papirus sekitar SM 3000. Tetanus juga muncul dalam dokumen medis militer sepanjang zaman. Menampar kotoran pada tali pusar bayi baru lahir yaitu, sebagai bagian dari upacara ritual yang disebabkan merajalelanya tetanus neonatorum atau nascentium trismus di Hindia Barat dan di Afrika. Buku teks Osler menggambarkan “penyakit delapan hari” yang disebabkan oleh sepsis pusar, yang menewaskan 84 dari 125 anak-anak dalam dua minggu lahir di St. Kilda, Skotlandia. Selama Perang Dunia I, tetanus terjadi di 1,47 per 1000 terluka di Inggris dan 12,5 per 1000 orang yang terlibat dalam kampanye Semenanjung. Pada tahun 1884, Arthur 4
Nicolaier menemukan basil anaerob Clostridium tetani. Pada tahun 1889, Shibasaburo Kitasato merupakan orang pertama yang berhasil mengisolasi organisme dari korban manusia yang terkena tetanus dan juga melaporkan bahwa toksinnya dapat dinetralisasi dengan antibodi yang spesifik. Vaksin toksoid tetanus ditemukan oleh P. Descombey pada tahun 1924 selama Perang Dunia II. Hingga sekarang penyakit ini belum dapat diberantas. Diagnosis dini dan intervensi dini dapat menyelamatkan nyawa. Pencegahan adalah strategi manajemen utama untuk tetanus. Para 4 jenis klinis tetanus umum, lokal, kepala, dan neonatorum.
Epidemiologi Angka kejadian tetanus telah menurun drastis dengan munculnya imunisasi aktif. Laporan menunjukkan bahwa 560 kasus terjadi pada tahun 1947; 101 kasus terjadi pada tahun 1974; 60-80 kasus terjadi setiap tahun selama tahun 1980; 47 kasus terjadi di California pada tahun 1997, dan selama 1998-2000, rata-rata 43 kasus tetanus terjadi setiap tahun. Hampir semua kasus terjadi pada orang-orang yang sebagian diimunisasi atau nonimmunized. Insiden pasien yang tetanus meskipun imunisasi penuh sangat jarang (yaitu, ~ 4 setiap 100 juta orang yang imunokompeten dan divaksinasi). Laporan internasional menunjukkan hingga 1 juta kasus per tahun, terutama di negara-negara terbelakang. Tetanus neonatorum menyumbang 50% dari tetanus kematian terkait di negara berkembang. Tetanus mengakibatkan sekitar 5 kematian per tahun di Amerika Serikat. Mortalitas di Amerika Serikat yang dihasilkan dari tetanus umum adalah 30% secara keseluruhan, 52% pada pasien yang lebih tua dari 60 tahun, dan 13% pada pasien yang lebih muda dari 60 tahun. Gejala sisa neurologis jarang terjadi. Kematian biasanya hasil dari disfungsi otonom (misalnya, tekanan darah ekstrem, disritmia, atau gagal jantung). Tetanus mempengaruhi semua ras dan mempengaruhi kedua jenis kelamin. usia Di Amerika Serikat, 59% kasus dan 75% kematian terjadi pada orang berusia 60 tahun atau lebih. Angka kejadian 6-7/100 kelahiran hidup di perkotaan dan 11-23/100 kelahiran hidup di pedesaan. Sedangkan angka kejadian tetanus pada anak di rumah sakit 7-40 kasus/tahun, 50% terjadi pada kelompok 5-9 tahun, 30% kelompok 1-4 tahun, 18% kelompok > 10 tahun, dan sisanya pada bayi < 12 bulan. Angka kematian keseluruhan antara 6,7-30%. Tetanus neonatorum merupakan penyebab utama kematian bayi di negara-negara terbelakang, tapi jarang terjadi di Amerika Serikat. Infeksi hasil dari kontaminasi tali pusat pada saat persalinan tidak sehat, ditambah dengan kurangnya imunisasi ibu. Pada akhir minggu pertama kehidupan, bayi yang terinfeksi menjadi mudah marah, makan buruk, dan mengembangkan kekakuan dengan kejang. Tetanus neonatorum memiliki prognosis yang sangat buruk Cephalic tetanus jarang dan biasanya terjadi trauma kepala berikut atau otitis media. Pasien datan dengan kelumpuhan saraf kranial. Infeksi dapat dilokalisasi atau mungkin menjadi umum. Pasien dengan tetanus lokal dengan kekakuan terus-menerus dalam kelompok otot dekat lokasi cedera. Kekakuan otot disebabkan oleh disfungsi dalam interneuron yang menghambat neuron motorik alpha dari otot yang terkena. Tidak ada keterlibatan SSP lebih lanjut terjadi, dan bentuk ini memiliki tingkat kematian sangat rendah. Sekitar 50-75% pasien dengan tetanus umum dengan trismus (“lockjaw”) atau ketidakmampuan untuk membuka mulut sekunder terhadap spasme otot masseter. Kaku kuduk dan disfagia juga keluhan awal yang menyebabkan sardonicus risus, senyum mengejek tetanus, hasil dari keterlibatan otot wajah 5
Pasien juga memiliki kekakuan otot umum dengan kejang refleks intermiten dalam menanggapi rangsangan misalnya kebisingan, cahaya, atau sentuhan. Kontraksi tonik menyebabkan opisthotonus yaitu, fleksi dan adduksi lengan, mengepalkan dari tinju, perpanjangan dari ekstremitas bawah. Selama episode ini, pasien memiliki sensorium utuh dan merasa sakit parah. Gangguan kejang pada penderita dapat menyebabkan patah tulang, tendon robek, dan kegagalan pernafasan akut. Clostridium tetani Clostridium tetani termasuk dalam bakteri Gram positif, anaerob obligat, dapat membentuk spora, dan berbentuk drumstick. Spora yang dibentuk oleh C. tetani ini sangat resisten terhadap panas dan antiseptik. Ia dapat tahan walaupun telah diautoklaf (1210C, 10-15 menit) dan juga resisten terhadap fenol dan agen kimia lainnya. Bakteri Clostridium tetani ini banyak ditemukan di tanah, kotoran manusia dan hewan peliharaan dan di daerah pertanian. Umumnya, spora bakteri ini terdistribusi pada tanah dan saluran penceranaan serta feses dari kuda, domba, anjing, kucing, tikus, babi, dan ayam. Ketika bakteri tersebut berada di dalam tubuh, ia akan menghasilkan neurotoksin (sejenis protein yang bertindak sebagai racun yang menyerang bagian sistem saraf).C. tetani menghasilkan dua buah eksotoksin, yaitu tetanolysin dan tetanospasmin. Fungsi dari tetanoysin tidak diketahui dengan pasti, namun juga dapat mempengaruhi tetanus.
Patogenesis Tetanus disebabkan neurotoksin (tetanospasmin) dari bakteri Gram positif anaerob, Clostridium tetani, dengan mula-mula 1 hingga 2 minggu setelah inokulasi bentuk spora ke dalam darah tubuh yang mengalami cedera (periode inkubasi). Penyakit ini merupakan 1 dari 4 penyakit penting yang manifestasi klinis utamanya adalah hasil dari pengaruh kekuatan eksotoksin (tetanus, gas ganggren, dipteri, botulisme). Tempat masuknya kuman penyakit ini bisa berupa luka yang dalam yang berhubungan dengan kerusakan jaringan lokal, tertanamnya benda asing atau sepsis dengan kontaminasi tanah, lecet yang dangkal dan kecil atau luka geser yang terkontaminasi tanah, trauma pada jari tangan atau jari kaki yang berhubungan dengan patah tulang jari dan luka pada pembedahan. Pada keadaan anaerobik, spora bakteri ini akan bergerminasi menjadi sel vegetatif. Selanjutnya, toksin akan diproduksi dan menyebar ke seluruh bagian tubuh melalui peredaran darah dan sistem limpa. Toksin tersebut akan beraktivitas pada tempat-tempat tertentu seperti pusat sistem saraf termasuk otak. Gejala klonis yang ditimbulkan dari toksin tersebut adalah dengan memblok pelepasan dari neurotransmiter sehingga terjadi kontraksi otot yang tidak terkontrol. Spora kuman tetanus yang ada di lingkungan dapat berubah menjadi bentuk vegetatif bila ada dalam lingkungan anaerob, dengan tekanan oksigen jaringan yang rendah. Kuman ini dapat membentuk metalo-exotosin tetanus, yang terpenting untuk manusia adalah tetanospasmin. Gejala klinis timbul sebagai dampak eksotoksin pada sinaps ganglion spinal dan neuromuscular junction serta syaraf otonom. Toksin dari tempat luka menyebar ke motor endplate dan setelah masuk lewat ganglioside dijalarkan secara intraaxonal kedalam sel saraf tepi, kemudian ke kornu anterior sumsum tulang belakang, akhirnya menyebar ke SSP. Manifestasi klinis terutama disebabkan oleh pengaruh eksotoksin terhadap susunan saraf 6
tepi dan pusat. Pengaruh tersebut berupa gangguan terhadap inhibisi presinaptik sehingga mencegah keluarnya neurotransmiter inhibisi yaitu GABA dan glisin, sehingga terjadi eksitasi terus-menerus dan spasme. Kekakuan dimulai pada tempat masuk kuman atau pada otot masseter (trismus), pada saat toxin masuk ke sumsum belakang terjadi kekakuan yang makin berat, pada extremitas, otot-otot bergaris pada dada, perut dan mulia timbul kejang. Bilamana toksin mencapai korteks cerebri, penderita akan mulai mengalami kejang umum yang spontan. Tetanospasmin pada sistem saraf otonom juga berpengaruh, sehingga terjadi gangguan pada pernafasan, metabolisme, hemodinamika, hormonal, saluran cerna, saluran kemih, dan neuromuskular. Spame larynx, hipertensi, gangguan irama jantung, hiperpirexia, hyperhydrosis merupakan penyulit akibat gangguan saraf otonom, yang dulu jarang dilaporkan karena penderita sudah meninggal sebelum gejala timbul. Dengan penggunaan diazepam dosis tinggi dan pernafasan mekanik, kejang dapat diatasi namun gangguan saraf otonom harus dikenali dan dikelola dengan teliti. Akibat dari tetanus adalah rigid paralysis (kehilangan kemampuan untuk bergerak) pada voluntary muscles (otot yang geraknya dapat dikontrol), sering disebut lockjaw karena biasanya pertama kali muncul pada otot rahang dan wajah.Kematian biasanya disebabkan oleh kegagalan pernapasan dan rasio kematian sangatlah tinggi.
Manifestasi Klinis Gejala klinik yang dominan adalah kekakuan otot bergaris yang disusul dengan kejang tonik dan klonik. Masa inkubasi 5-14 hari, period of onset yang pendek dapat dijadikan indikator tetanus berat dengan berbagai penyulit. Kebanyakan kasus di Amerika Serikat terjadi pada pasien dengan riwayat imunisasi hanya parsial. Orang yang menyuntikkan narkoba juga merupakan kelompok berisiko tinggi. Gejala biasanya dimulai 8 hari setelah infeksi, tetapi serangan bisa berkisar dari 3 hari sampai 3 minggu. Pasien mengeluhkan sakit tenggorokan dengan disfagia sebagai tanda awal. Tetanus lokal menyebabkan kekakuan otot pada tempat inokulasi spora. Manifestasi awal mungkin tetanus lokal, di mana kekakuan hanya mempengaruhi 1 atau anggota tubuh area tubuh mana luka clostridium mengandung berada. Tanda-tanda pertama umum dari tetanus adalah sakit kepala dan kekakuan otot di rahang (lockjaw), diikuti oleh kekakuan leher, kesulitan menelan, kekakuan otot perut, kejang, dan berkeringat. Pasien sering tanpa demam Tetanus berat menyebabkan opistotonus, fleksi pada lengan, ekstensi pada tungkai, periode apnea akibat spasme otot-otot interkostal dan diafragma, dan kekakuan dinding perut. Perjalanan akhir penyakit terjadi disfungsi otonom, hipertensi dan takikardi bergantian dengan hipotensi dan bradikardi.
7
Pasien mungkin memiliki kejang refleks dari otot-otot masseters ketika dinding faring posterior dirangsang yang menyebabkan mereka menggigit sebagai lawan muntah (uji spatula). Gejala awal adalah trismus; pada neonatus tidak dapat/sulit menetek, mulut mencucu. Pada anak besar berupa trismus, akibat kekakuan otot masseter. Disertai dengan kaku kuduk, risus sardonikus (karena kekakuan otot mimik, opistotonus, perut papan. Selanjutnya dapat diikuti kejang apabila dirangsang atau menjadi makin berat dengan kejang spontan, bahkan pada kasus berat terjadi status konvulsi. Spasme larynx merupakan penyebab kematian yang sering dijumpai, bronchopneumonia akibat kekakuan rongga dada, gagal nafas nafas dan status konvulsivus. Perubahan derajat berat penyakit dapat terjadi sangat cepat, sehingga seringkali memerlukan perubahan dosis antikonvulsan yang sesuai dengan perjalanan klinik. Digunakan kriteria berat penyakit Surabaya yang lebih sederhana dibanding cara penilaian dari Abblet, skor Phillips, skor Dakar atau modifikasi Patel dan Joag. Penelitian Rizal menunjukkan adanya kesetaraan kuat antara kriteria Surabaya dan Kriteria Abblet. Penilaian klinis yang menitik beratkan pada perbedaan jenis kejang, dapat dilakukan oleh paramedik, sehingga perubahan dosis dapat dilakukan lebih cepat dan tepat.
Derajat penyakit tetanus Derajat I (tetanus ringan) Trismus (lebar antar gigi sama atau lebih 2 cm) Kekakuan umum Tidak dijumpai kejang Tidak dijumpai gangguan respirasi Derajat II (tetanus sedang) Trismus (lebar kurang dari 1 cm) Kekakuan umum makin jelas Dijumpai kejang rangsang, tidak ada kejang spontan Derajat III a. (tetanus berat) Trismus berat (kedua baris gigi rapat) Otot sangat spastis, timbul kejang spontan Takipnea, takikardia Apneic spell (spasme laryng) Derajat III b. (tetanus dengan gangguan saraf otonom) Gangguan otonom berat Hipertensi berat dan takikardi, atau Hipotensi dan bradikardi Hipertensi berat atau hipotensi berat 8
Diagnosis Riwayat mendapat trauma (terutama luka tusuk), pemotongan dan perawatan tali pusat yang tidak steril, riwayat menderita otitis media supurativa kronik (OMSK), atau gangren gigi. Riwayat anak tidak diimunisasi/tidak lengkap imunisasi tetanus/BUMIL/WUS Adanya kekakuan lokal atau trismus. Adanya kaku kuduk, risus sardonicus, opisthotonus, perut papan. Kekakuan extremitas yang khas : flexi tangan, extensi kaki. Adanya penyulit Anamnesis : partus non steril, status imunisasi, masa inkubasi, period of onset, luka tusuk, otitis media Pemeriksaan fsik : kekakuan otot, kejang, kesadaran baik. Diagnosis berdasarkan data klinik, tidak ada pemeriksaan penunjang yang membantu Pemeriksaan penunjang laboratorium tidak terlalu informatif sebagai diagnosis, tetapi dapat membantu menyingkirkan diagnosis keracunan. Hitung jenis darah dan temuan darah kimia biasanaya dalam keadaan normal Pungsi lumbal tidak diperlukan. Cairan serebrospinal (CSF) biasanaya normal, kecuali untuk tekanan pembukaan meningkat, terutama selama kejang. Tingkat serum antitoksin lebih dari 0,01 U / mL biasanya pelindung, membuat diagnosis kecil kemungkinannya. Studi pencitraan kepala dan tulang belakang biasanya tidak ada kelainan.
Diagnosa banding Trismus akibat abses gigi, abses parafaring/retrofaring/peritonsiler Sepsis neonatorum, meningitis bakterialis, ensefalitis, rabies keracunan striknin, efek simpang fenotiazin, tetani, epilepsi.
Komplikasi Dystonia, Gangguan ventilasi paru, Aspirasi pneumonia, Bronkopneumonia, atelektasis Emfisema mediastinal, pneumotoraks, Sepsis, Fraktur vertebra atau fraktur tulang paha.
Penanganan Untuk menetralisir racun, diberikan immunoglobulin tetanus. Antibiotik tetrasiklin dan penisilin diberikan untuk mencegah pembentukan racun lebih lanjut, supaya racun yang ada mati. Obat lainnya bisa diberikan untuk menenangkan penderita, mengendalikan kejang dan mengendurkan otot-otot.Penderita biasanya dirawat di rumah sakit dan 9
ditempatkan dalam ruangan yang tenang.Untuk infeksi menengah sampai berat, mungkin perlu dipasang ventilator untuk membantu pernapasan. Imunisasi pasif dengan globulin imun tetanus manusia (TIG) lebih pendek jalannya tetanus dan dapat mengurangi beratnya manifestasi klinis. Dosis 500 U mungkin sama efektifnya dengan dosis yang lebih besar. Terapi TIG (3,000-6,000 sebagai unit 1 dosis) juga telah direkomendasikan untuk tetanus umum. Perawatan ICU dan terapi suportif mungkin termasuk bantuan ventilasi dan tinggi kalori dukungan nutrisi, dan agen farmakologis yang mengobati kejang otot refleks, kaku, kejang berhubung dgn tetanus dan infeksi. Diet. Makanan diberikan melalui infus atau selang nasogastrik.Untuk membuang kotoran, dipasang kateter.Penderita sebaiknya berbaring bergantian miring ke kiri atau ke kanan dan dipaksa untuk batuk guna mencegah terjadinya pneumonia.Untuk mengurangi nyeri diberikan kodein.Obat lainnya bisa diberikan untuk mengendalikan tekanan darah dan denyut jantung. Setelah sembuh, harus diberikan vaksinasi lengkap karena infeksi tetanus tidak memberikan kekebalan terhadap infeksi berikutnya. Terapi dasar tetanus Antibiotik diberikan selama 10 hari, 2 minggu bila ada komplikasi Penisillin prokain 50.000 IU/kg BB/kali i.m, tiap 12 jam, atau Metronidazol loading dose 15 mg/kg BB/jam, selanjutnya 7,5 mg/kg BB tiap 6 jam Bila ada sepsis/pneumonia dapat ditambahkan antibiotika yang sesuai. Benzodiazepin sebagai terapi utama untuk gejala tetanus. Untuk mencegah kejang yang berlangsung lebih lama dari 5-10 detik, diazepam intravena, biasanya 10-40 mg setiap 1-8 jam. Vecuronium (dengan infus kontinu) atau pankuronium (melalui suntikan intermiten) alternatif yang memadai. Magnesium sulfat dengan dosis loading 40 mg / kg, diikuti dengan infus intravena terus menerus dari 1,5 g / jam jika pasien memiliki berat kurang dari 45 kg atau 2 g / jam jika pasien memiliki berat lebih dari 45 kg, dapat digunakan untuk membantu kontrol otot kejang dan tetanus-terkait disfungsi otonom Penisilin G, yang telah digunakan secara luas selama bertahun-tahun, bukan obat pilihan. Metronidazol (misalnya, 0,5 g setiap 6 jam) memiliki aktivitas antimikroba yang sebanding atau lebih baik, dan penisilin merupakan antagonis GABA dikenal, seperti toksin tetanus. Dokter juga menggunakan hipnotik sedatif, narkotika, anestesi hirup, agen memblokir neuromuskuler, dan relaksan otot yang bekerja sentral (misalnya, intratekal baclofen). Sampai saat ini, laporan menunjukkan bahwa lebih dari 26 orang dewasa dengan tetanus berat telah diobati dengan baclofen intratekal untuk mengelola kekakuan otot dan kejang. Dosis wakil dari infus kontinu adalah 1750 mcg per hari. Kasus laporan dan seri kasus kecil menguraikan kemanjuran baclofen intratekal dalam mengontrol kekakuan otot. Efek dari baclofen dimulai dalam 1-2 jam dan bertahan 12-48 jam. Penghapusan paruh baclofen dalam CSF berkisar 0,9-5 jam. Setelah pemberian intratekal lumbal, rasio konsentrasi serviks-ke-lumbal adalah 1:4. Efek samping utama dari baclofen adalah tingkat depresi kesadaran (LOC) dan kompromi pernapasan.
10
Terapi Bedah Dalam kebanyakan kasus, luka yang bertanggung jawab terhadap berbagai gejala dan komplikasi tetanus. Debridement tidak memiliki manfaat untuk tetanus. Jika debridement diindikasikan, harus dilakukan setelah pasien telah stabil. Imunisasi aktif-pasif Anti tetanus serum (ATS) 5.000-10.000 IU, diberikan intramuskular. Untuk neonatus bisa diberikan iv; apabila tersedia dapat diberikan Human tetanus immunoglobulin (HTIG) 3000-6000 IU i.m. Dilakukan imunisasi DT/TT/DTP pada sisi yang lain, pada saat bersamaan. Anti konvulsi Pada dasarnya kejang diatasi dengan diazepam, dosis disesuaikan dengan respon klinik (titrasi). Bila datang dengan kejang diberi diazepam : neonatus bolus 5 mg iv atau anak bolus 10 mg iv Dosis rumatan maximal : anak 240 mg/hari dan pada neonatus 120 mg/hari Bila dengan dosis 240 mg/hari masih kejang (tetanus sangat berat), harus dilanjutkan dengan bantuan ventilasi mekanik, dosis diazepam dapat ditingkatkan sampai 480 mg/hari, dengan atau tanpa kurarisasi. Diazepam sebaiknya diberikan dengan syringe pump, jangan dicampur dalam botol cairan infus. Bilamana tidak ada syringe pump, diberikan bolus tiap 2 jam (12 x/hari) Dapat dipertimbangkan penggunaan anti konvulsan lain, seperti magnesium sulfat, bilamana ada gangguan saraf otonom. Perawatan luka atau port d’entree yang dicurigai, dilakukan sekaligus dengan pembuangan jaringan yang diduga mengandung kuman dan spora (debridemant), sebaiknya dilakukan setelah diberi antitoksin dan anti-konvulsi. Terapi suportif Bebaskan jalan nafas Hindarkan aspirasi dengan menghisap lendir perlahan-lahan dan memindahmindahkan posisi pasien Pemberian oksigen Perawatan dengan stimulasi minimal Pemberian cairan dan nutrisi adekuat, bila perlu dapat dipasang sonde nasogastrik, asal tidak memperkuat kejang Bantuan nafas pada tetanus berat atau tetanus neonatorum Pemantauan/monitoring kejang dan tanda penyulit Tetanus ringan dan sedang Diberikan pengobatan tetanus dasar Tetanus sedang Terapi dasar tetanus Perhatian khusus pada keadaan jalan nafas (akibat kejang dan aspirasi) Pemberian cairan parenteral, bila perlu nutrisi secara parenteral. Tetanus berat/sangat berat Terapi dasar seperti di atas 11
Perawatan dilakukan di ICU, diperlukan intubasi atau tracheostomi Balans cairan dimonitor secara ketat. Apabila spasme sangat hebat (tetanus berat), perlu ventilasi mekanik dengan pankuronium bromida 0,02 mg/kg bb intravena, diikuti 0,05 mg/kg bb/kali, diberikan tiap 2-3 jam. Apabila terjadi aktifitas simpatis yang berlebihan, berikan b-blocker seperti propanolol/a dan b- blocker labetalol.
Farmakoterapi Tujuan dari farmakoterapi adalah untuk mencegah komplikasi dan mengurangi morbiditas. Antimikroba Terapi harus mencakup semua patogen mungkin dalam konteks pengaturan klinis. Metronidazole (Flagyl) Sebuah studi membandingkan metronidazole oral untuk intramuskular penisilin menunjukkan kelangsungan hidup yang lebih baik, rawat inap lebih pendek, dan kurang perkembangan penyakit pada kelompok metronidazole (dosis sebesar 0,5 g setiap 6 jam atau 1 g q12h IV untuk 7-10 d). Penisilin G (Pfizerpen) Mengganggu sintesis dinding sel mucopeptide selama multiplikasi aktif, sehingga aktivitas bakterisida terhadap mikroorganisme rentan. Doxycycline (Vibramycin) Menghambat sintesis protein dan pertumbuhan sehingga bakteri dengan mengikat 30S dan kemungkinan 50S subunit ribosom bakteri yang rentan. benzodiazepin Agen ini dapat bertindak dalam sistem saraf pusat untuk merangsang relaksasi otot. Diazepam (Valium, Diastat, Intensol Diazepam) Memodulasi efek postsynaptic dari transmisi GABA-A, mengakibatkan peningkatan hambatan presinaptik. Muncul untuk bertindak atas bagian dari sistem limbik, thalamus, dan hypothalamus, menginduksi efek menenangkan. Juga telah ditemukan untuk menjadi tambahan efektif untuk menghilangkan kejang otot rangka disebabkan oleh gangguan atas neuron motor. Cepat mendistribusikan ke lemak tubuh lainnya. Dua puluh menit setelah infus IV awal, konsentrasi serum turun menjadi 20% dari Cmaks. Individualize dosis dan meningkatkan hati-hati untuk menghindari efek samping.
Pencegahan Imunisasi aktif Imunisasi dasar DPT diberikan tiga kali sejak usia 2 bulan dengan interval 4-6 minggu, ulangan pada umur 18 bulan dan 5 tahun (lihat Bab Jadwal Imunisasi). Eliminasi tetanus neonatorum dilakukan dengan imunisasi TT pada ibu hamil, wanita usia subur, minimal 5 x suntikan toksoid. (untuk mencapai tingkat TT lifelong-card). Pencegahan pada luka Luka dibersihkan, jaringan nekrotik dan benda asing dibuang Luka ringan dan bersih: Bila Imunisasi lengkap : tidak perlu ATS atau tetanus imunoglobulin, Bila Imunisasi tidak lengkap : imunisasi aktif DPT/DT. 12
Luka sedang/berat dan kotor: Bila Imunisasi (-)/tidak jelas : ATS 3000-5000 U, atau tetanus imunoglobulin 250-500 U. Toksoid tetanus pada sisi lain. Bila Imunisasi (+), lamanya sudah > 5 tahun : ulangan toksoid, ATS 3000-5000 U, tetanus imunoglobulin 250-500 U. Monitoring Sekuele Spasme berkurang setelah 2-3 minggu, namun kekakuan dapat terus berlangsung lebih lama. Kekakuan dapat tetap berlangsung sampai 6-8 minggu pada kasus yang berat. Gangguan otonom biasanya dimulai beberapa hari setelah kejang dan berlangsung selama 1-2 minggu. Tumbuh Kembang Infeksi tetanus pada anak merupakan infeksi yang akut sehingga relatif tidak mengganggu tumbuh kembang anak. Sedangkan pada tetanus neonatorum, dapat terjadi gangguan tumbuh kembang oleh karena hipoksia yang berat.
Daftar Pustaka 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Arnon SS. Tetanus In Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB (eds) Nelson Textbook of pediatrics, 17 ed. Philadelphia, Saunders, 2004 : 951. Brook I, tetanus In Long SS, Pickering LK, Preber CG. Churchill livingstone, New York, 2nded, 2003 : 981. Bizzini B, 1979. Tetanus toxin. Microbiol Rev. 43 (2) : 224-40. Cristie AB, 1987. Tetanus In infectious disease : Epi demiology and clinical practice. 4thed. Churchill living stone, Edenburgh, hal. 759-786. Khoo BH, Lee EL, Lam KL, 1978. neonatorum tetanus treated with high dozage diazepam. Arch Dis Childhood, 53 : 737-79. Laurence DR, Webster RA, 1986. Pathologic physiology, pharmacology and therapeutic of tetanus. Clin pharm therap 4 : 36-61. Glezen WP. Prevention of neonatorum tetanus. Am J Public Health. Jun 1998;88(6):8712. Prevots DR. neonatorum tetanus. MMWR Morb Mortal Wkly Rep. Dec 31 1999;48 Suppl:176-7. Pearce JM. Notes on tetanus (lockjaw). J Neurol Neurosurg Psychiatry. Mar 1996;60(3):332. 13
10. Bleck TP. Clostridium tetani. In: Mandell GL, Bennett JE, Dolin R, eds. Bennett’s Principles and Practice of Infectious Diseases. Philadelphia, Pa: Churchill Livingstone; 1995:2373-8. 11. Yeh FL, Dong M, Yao J, Tepp WH, Lin G, et al. 2010 SV2 Mediates Entry of Tetanus Neurotoxin into Central Neurons. PLoS Pathog 6(11): e1001207. doi:10.1371/journal.ppat.1001207. PLoS Pathogens [serial online]. 11/10/2010;6(11):e1001207. Available athttp://www.plospathogens.org/article/info %3Adoi%2F10.1371%2Fjournal.ppat.1001207. 12. Pascual FB, McGinley EL, Zanardi LR, et al. Tetanus surveillance–United States, 1998– 2000. MMWR Surveillance Summaries [serial online]. 2003;52(SS03):1-8. Available from: CDC. Available at http://www.cdc.gov/mmwr/preview/mmwrhtml/ss5203a1.htm. 13. Apte NM, and Karnad DR. Short report: The spatula test: a simple bedside test to diagnose tetanus. Am. J. Trop. Med. Hyg. 1995;53(4):386-7. 14. Tetanus–Puerto Rico, 2002. MMWR Morb Mortal Wkly Rep. Jul 19 2002;51(28):613-5. 15. Thwaites CL, Yen LM, Loan HT, et al. Magnesium sulphate for treatment of severe tetanus: a randomised controlled trial. Lancet. Oct 2006;368(9545):1398-9. 16. Boots RJ, Lipman J, O’Callaghan J, Scott P, Fraser J. The treatment of tetanus with intrathecal baclofen. Anaesth Intensive Care. Aug 2000;28(4):438-42. 17. Engrand N, Guerot E, Rouamba A, et al. The efficacy of intrathecal baclofen in severe tetanus. Anesthesiology. Jun 1999;90(6):1773-6. 18. Zimmerman RK. Adult vaccination, part 1: vaccines indicated by age. Teaching Immunization for Medical Education (TIME) Project. J Fam Pract. Sep 2000;49(9 Suppl):S41-50. 19. Zimmerman RK, Burns IT. Child vaccination, part 2: childhood vaccination procedures. J Fam Pract. Sep 2000;49(9 Suppl):S34-9; quiz S40. 20. Bowie C. Tetanus toxoid for adults–too much of a good thing. Lancet. Nov 2 1996;348(9036):1185-6. 21. Brabin L, Fazio-Tirrozzo G, Shahid S, et al. Tetanus antibody levels among adolescent girls in developing countries. Trans R Soc Trop Med Hyg. Jul-Aug 2000;94(4):455-9. 22. Brabin L, Kemp J, Maxwell SM, et al. Protecting adolescent girls against tetanus [editorial]. BMJ. Jul 8 1995;311(6997):73-4. 23. Centers for Disease Control and Prevention. Shortage of tetanus and diphtheria toxoids.MMWR Morb Mortal Wkly Rep. Nov 17 2000;49(45):1029-30. 24. Centers for Disease Control and Prevention. Tetanus among injecting-drug users– California, 1997. MMWR Morb Mortal Wkly Rep. Mar 6 1998;47(8):149-51. 25. Diez-Domingo J, Delgado JD, Ballester A, et al. Immunogenicity and reactogenicity of a combined adsorbed tetanus toxoid, low dose diphtheria toxoid, five component acellular pertussis and inactivated polio vaccine in six-year-old children. Pediatr Infect Dis J. Mar 2005;24(3):219-24. 26. Farrar JJ, Yen LM, Cook T, et al. Tetanus. Journal of Neurology, Neurosurgery, and Psychiatry. Sept 2000;69(3):292-301. 27. Lee HC, Ko WC, Chuang YC. Tetanus of the elderly. J Microbiol Immunol Infect. Sep 2000;33(3):191-6. 28. Nishanian E. Can epidural anesthesia change the mortality rate of tetanus?. Crit Care Med. Sep 1999;27(9):2025-6. 29. Sanford JP. Tetanus–forgotten but not gone. N Engl J Med. Mar 23 1995;332(12):812-3. 30. Sheffield JS, Ramin SM. Tetanus in pregnancy. Am J Perinatol. May 2004;21(4):173-82. 31. Shimoni Z, Dobrousin A, Cohen J, et al. Tetanus in an immunised patient. BMJ. Oct 16 1999;319(7216):1049. 32. Thwaites CL, Yen LM, Cordon SM, et al. Urinary catecholamine excretion in tetanus.Anaesthesia. Mar 2006;61:355-59. 14
33. Turnbull FM, Heath TC, Jalaludin BB, et al. A randomized trial of two acellular pertussis vaccines (dTpa and pa) and a licensed diphtheria-tetanus vaccine (Td) in adults. Vaccine. Nov 8 2000;19(6):628-36. 34. Gergen PJ, McQuillan GM, Kiely M, et al. A population-based serologic survey of immunity to tetanus in the United States. N Engl J Med. Mar 23 1995;332(12):761-6. 35. Hanslik T, Wechsler B, Vaillant JN, Audrain L, Prinseau J, Baglin A, et al. A survey of physicians’ vaccine risk perception and immunization practices for subjects with immunological diseases. Vaccine. Nov 22 2000;19(7-8):908-15. 36. Johansen P, Estevez F, Zurbriggen R, et al. Towards clinical testing of a singleadministration tetanus vaccine based on PLA/PLGA microspheres. Vaccine. Dec 8 2000;19(9-10):1047-54. 37. Keller MA, Stiehm ER. Passive immunity in prevention and treatment of infectious diseases. Clin Microbiol Rev. Oct 2000;13(4):602-14. 38. Kristensen I, Aaby P, Jensen H. Routine vaccinations and child survival: follow up study in Guinea-Bissau, West Africa. BMJ. Dec 9 2000;321(7274):1435-8. 39. Langkamp DL, Hoshaw-Woodard S, Boye ME, Lemeshow S. Delays in receipt of immunizations in low-birth-weight children: a nationally representative sample. Arch Pediatr Adolesc Med. Feb 2001;155(2):167-72. 40. Lowburry Ejl, 1971. Tetanus : Bacteriology, prophylaxis and treatment. Folia traumatologica, Geigy, hal. 1-16.
15
View more...
Comments