POLITIK HUKUM PERTANAHAN

March 20, 2019 | Author: widemade | Category: N/A
Share Embed Donate


Short Description

Download POLITIK HUKUM PERTANAHAN...

Description

Pengertian Politik Hukum

1. Padm Padmo o Wa Wahj hjon ono o meng mengat ataka akan n bahw bahwaa poli politi tik k huku hukum m adal adalah ah kebi kebijak jakan an dasa dasarr yang yang menentukan arah, bentuk maupun isi hukum yang akan dibentuk. 2.

Teuku Mohammad Radhie mendefinisikan politik hukum sebagai suatu pernyataan kehe kehend ndak ak peng pengua uasa sa nega negara ra meng mengen enai ai huku hukum m yang yang berla berlaku ku di wila wilaya yahn hnya ya dan dan mengenai arah perkembangan hukum yang dibangun.

3.

Satjipto Raharjo mendefinisikan politik hukum sebagai aktivitas memilih dan cara yang hendak dipakai untuk mencapai suatu tujuan sosial dengan hukum tertentu di dalam dalam masyar masyaraka akatt yang yang cakupa cakupanny nnyaa melipu meliputi ti jawaban jawaban atas atas beberap beberapaa pertan pertanyaa yaan n mendasar, mendasar, yaitu 1) tujuan tujuan apa yang hendak dicapai dicapai melalui melalui sistem yang ada, 2) caracara apa yang mana yang dirasa paling baik untuk dipakai dalam mencapai tujuan tersebut, tersebut, 3) kapan waktunya waktunya dan melalui melalui cara bagaimana hukum itu perlu diubah, diubah, 4) dapatk dapatkah ah suatu suatu pola pola yang yang baku baku dan mapan mapan dirumu dirumuska skan n untuk untuk memban membantu tu dalam dalam memutuska memutuskan n proses pemilihan pemilihan tujuan tujuan serta cara-cara untuk mencapai mencapai tujuan tujuan tersebut tersebut dengan baik.

4. Menurut Menurut Moh Mahfud Mahfud MD, MD, politik politik hukum hukum adalah adalah legal policy policy atau garis garis (kebijaka (kebijakan) n) resmi tentang hukum yang akan diberlakukan baik dengan pembuatan hukum baru maupun dengan penggantian hukum lama, dalam rangka mencapai tujuan negara. Dengan demikian politik hukum merupakan pilihan tentang hukum-hukum yang akan diberlakukan sekaligus pilihan tentang hukum-hukum yang akan dicabut atau tidak  diberlakukan yang kesemuanya dimaksudkan untuk mencapai tujuan negara seperti yang tercantum di dalam pembukaan UUD 1945.

Hukum Sebagai Alat

Berbagai pengertian atau definisi tersebut mempunyai substansi makna yakni bahwa  politi hukum itu merupakan legal policy tentang hukum yang akan diberlakukan atau tidak  diberlakukan untuk mencapai tujuan negara. Di sini hukum diposisikan sebagai alat untuk  mencap mencapai ai tujuan tujuan negara. negara. Terkai Terkaitt dengan dengan ini Sunary Sunaryati ati Harton Hartono o mengem mengemuka ukakan kan tentan tentang g “hukum sebagai alat” sehingga secara praktis politik hukum juga merupakan alat atau sarana 1

dan langka langkah h yang yang dapat dapat diguna digunakan kan oleh oleh pemerin pemerintah tah untuk untuk mencip menciptak takan an sistem sistem hukum hukum nasional guna mencapai cita-cita bangsa dan tujuan negara.

Hukum Sebagai Produk Politik 

Pernyataan bahwa “hukum adalah produk politik” adalah benar jika didasarkan pada

das sein dengan mengkonsepkan hukum sebagai undang-undang. Dalam faktanya jika hukum dikonsepkan sebagai undang-undang yang dibuat oleh lembaga legislatif maka tak seorang  pun dapat membantah bahwa hukum hukum adalah produk politik sebab ia merupakan merupakan kristalisasi, kristalisasi, formal formalisa isasi si atau legali legalisas sasii dari dari kehend kehendak-k ak-kehe ehenda ndak k politi politik k yang yang saling saling bersai bersainga ngan n baik  baik  melalui kompromi politik maupun melalui dominasi oleh kekuatan politik yang terbesar. Dalam konsep dan konteks konteks inilah terletak kebenaran kebenaran pernyataan pernyataan bahwa “hukum “hukum merupakan merupakan  produk politik”. Hukum merupakan produk politik, maka karakter produk hukum berubah  jika konfigurasi politik yang melahirkannya berubah. Siapa yang dapat membantah bahwa hukum dalam arti undang-undang merupakan produk dari pergulatan politik. Itulah sebabnya von von Kric Krichm hman an meng mengat atak akan an bahw bahwaa kare karena na huku hukum m meru merupa paka kan n prod produk uk poli politi tik k maka maka kepustakaan hukum yang ribuan jumlahnya bisa menjadi sampah yang tak berguna jika lembaga legislatif mengetokkan palu pencabutan atau pembatalannya.

Politik Hukum Pertanahan (Agraria).

Berdas Berdasark arkan an bebera beberapa pa penger pengertia tian n atau defini definisi si di atas, atas, maka maka dapat dapat dikemu dikemukak kakan an   penge pengerti rtian an atau atau defini definisi si politi politik k hukum hukum tanah tanah atau atau agrari agrariaa adalah adalah legal legal policy policy atau atau garis garis (kebijakan) resmi tentang hukum yang akan diberlakukan baik dengan pembuatan hukum  baru maupun dengan penggantian hukum lama, dalam rangka mencapai tujuan negara dalam  bidang pertanahan atau agraria. Politi Politik k agraria agraria adalah adalah garis garis besar besar kebija kebijaksa ksanaan naan yang yang dianut dianut oleh oleh negara negara dalam dalam meme memelih lihar ara, a,

meng mengaw awet etka kan, n,

memp memperu erunt ntuk ukka kan, n,

meng mengus usah ahak akan an,,

meng mengam ambi bill

manf manfaa aat, t,

mengurus dan membagi tanah dan sumber alam lainnya termasuk hasilnya untuk kepentingan kesejah kesejahtera teraan an rakyat rakyat dan negara negara,, yang yang bagi bagi negara negara Indone Indonesia sia berdas berdasark arkan an Pancas Pancasila ila dan Undang-undang Dasar (UUD) 1945.

2

Politik agraria dapat dilaksanakan, dijelmakan dalam sebuah undang-undang yang mengatur agraria yang memuat asas-asas, dasar-dasar, dan soal-soal agraria dalam garis  besarnya, dilengkapai dengan peraturan pelaksananya. Dengan demikian, ada hubungan erat antara politik dan hukum.

Perkembangan Politik Hukum Pertanahan (Agraria) Di Indonesia

Perkembangan politik hukum agraria di Indonesia terdiri atas beberapa fase : 1.

Pada masa kolonial / penjajahan

2.

Pada masa orde lama, periode demokrasi liberal (1945-1959)

3.

Pada masa orde lama, periode demokrasi terpimpin (1959-1966)

4.

Pada masa orde baru (1966-1998)

5.

Pada era reformasi (1998-saat ini)

Politik Hukum Pertanahan (Agraria) Pada Masa Kolonial / Penjajahan

Hukum agraria kolonial mempunyai 3 ciri : 1. Tersusun berdasarkan tujuan dan sendi-sendi dari pemerintahan jajahan. 2.

Hukum agraria tersebut mempunyai sifat dualisme, dengan berlakunya hukum adat, di samping hukum agraria yang berdasarkan atas hukum barat.

3.

Hukum agraria penjajah tidak menjamin kepastian hukum bagi rakyat asli (pribumi).

Beberapa ketentuan yang menunjukkan bahwa hukum dan kebijaksanaan agraria yang   berlaku sebelum

Indonesia

merdeka

disusun

berdasarkan

tujuan dan

sendi-sendi

Pemerintahan Hindia belanda, dapat dijelaskan sebagai berikut : 3

1.

Pada masa terbentuknya VOC (Verenigde Oost Indische Compagnie) Beberapa kebijaksanaan politik pertanian yang sangat menindas rakyat Indonesia yang ditetapkan oleh VOC, antara lain :

a. Contingenten Pajak atas hasil tanah pertanian harus diserahkan kepada penguasa kolonial (kompeni). Petani harus menyerahkan sebagian hasil pertaniannya kepada kompeni tanpa dibayar sepeser pun.

b. Verplichte leveranten Ketentuan yang diputuskan oleh kompeni dengan raja tentang kewajiban menyerahkan seluruh hasil panen dengan pembayaran yang harganya juga sudah ditetapkan secara sepihak. Dengan ketentuan ini, rakyat tani benar benar tidak bisa berbuat apa-apa. Mereka tidak berkuasa atas apa yang mereka hasilakn.

c. Roerendiensten Kebijaksanaan ini dikenal denga kerja rodi, yang dibebankan kepada rakyat Indonesia yang tidak mempunyai tanah pertanian. 2. Pada masa pemerintahan Gubernur Herman Willem Daendles (1800-1811) Kebijaksanaan yang ditetapkan oleh Gubernur Herman Willem Daendles adalan menjual tanah-tanah rakyat Indonesia kepada orang-orang Cina, Arab maupun  bangsa Belanda sendiri. Tanah-tanah yang dijual itu dikenal dengan sebutan tanah  partikelir. 3. Pada masa pemerintahan Gubernur Thomas Stamford Raffles (1811-1816) Kebijakan yang ditetapkan oleh Gubernur Thomas Stamford Raffles adalah

landrent  atau pajak tanah. Tanah-tanah di daerah swapraja di Jawa adalah milik  raja, sedang rakyat hanya sekedar memakai dan menggarapnya. Karena kekuasaan telah beralih kepada Pemerintah Inggris, maka sebagai akibat hukumnya adalah hak kepemilikan atas tanah-tanah tersebut dengan sendirinya beralih pula kepada Raja Inggris. Dengan demikian, tanah-tanah yang dikuasai dan digunakan oleh 4

rakyat itu bukan miliknya, melainkan milik Raja Inggris. Oleh karena itu, mereka wajib memberikan pajak tanah kepada Raja Inggris, sebagaimana sebelumnya diberikan kepada raja mereka sendiri. 4. Pada masa pemerintahan Gubernur Johanes van de Bosch Pada tahun 1830 Gubernur Johanes van de Bosch menetapkan kebijakan  pertanahan yang dikenal dengan Tanam Paksa atau Cultuur Stelsel . Dalam sistem tanam paksa ini, petani dipaksa untuk menanam suatu jenis tanaman tertentu yang secara langsung maupun tidak langsung dibutuhkan pasar internasional pada waktu itu. Hasil pertanian tersebut diserahkan kepada pemerintah kolonial tanpa mendapat imbalan apa pun, sedangkan bagi rakyat yang tidak mempunyai tanah  pertanian wajib menyerahkan tenaga kerjanya yaitu seperlima bagian dari masa kerjanya atau 66 hari untuk waktu satu tahunnya. 5.

Pada masa berlakunya Agrarische Wet Stb. 1870 No.55 Dengan berlakunya   Agrarische Wet, politik

monopoli

(politik kolonial

konservatif) dihapuskan dan digantikan dengan politik liberal yaitu pemerintah tidak ikut mencampuri di bidang usaha, pengusaha diberikan kesempatan dan kebebasan mengembangkan usaha dan modalnya di bidang pertanian di Indonesia. 6.

Pada masa berlakunya Agrarische Besluit Stb. 1870 No.118 Pada masa berlakunya  Agrarische Besluit , di Kesultanan Yogyakarta juga terdapat ketentuan semacam Domein Verklaring , yang dimuat dalam  Rijksblad  Yogyakarta tahun 1918 No.16. Dengan berlakunya   Domein Verklaring , kedudukan rakyat Indonesia yang memiliki tanah berada pada pihak yang lemah karena hampir  semua tanah tersebut tidak mempunyai tanda bukti pemilikan sertifikat, sehingga secara yuridis formal tanah-tanah tersebut menjadi domein (milik) negara. Rakyat Indonesia yang memiliki tanah dianggap sebagai penyewa atau penggarap saja dengan membayar pajak atas tanah.

Politik Pertanahan (Agraria) Kolonial / Penjajah

5

Dasar politik agraria kolonial adalah prinsip dagang, yaitu mendapatkan hasil  bumi/bahan mentah dengan harga yang serendah mungkin, kemudian dijual dengan harga setinggi-tingginya. Tujuannya ialah tidak lain mencari keuntungan yang sebesar-besarnya  bagi diri pribadi penguasa kolonial yang merangkap sebagai penguasa. Keuntungan ini juga dinikmati oleh pengusaha Belanda dan penguasa Eropa. Sebaliknya bagi rakyat Indonesia menimbulkan penderitaan yang sangat mendalam. Sistem kolonial ditandai oleh 4 ciri pokok, yaitu dominasi, eksploitasi, diskriminasi, dan dependensi. Prinsip dominasi terwujud dalam kekuasaan golongan penjajah yang minoritas terhadap penduduk pribumi yang mayoritas. Dominasi ini ditopang oleh keunggulan militer kaum penjajah dalam menguasai dan memerintah penduduk pribumi. Eksploitasi atau pemerasan sumber kekayaan tanah jajahan untuk kepentingan negara  penjajah. Penduduk pribumi diperas tenaga dan hasil produksinya untuk diserahkan kepada  pihak penjajah, yang kemudian oleh pihak penjajah itu dikirim ke negara induknya untuk  kemakmuran mereka sendiri. Diskriminasi atau perbedaan ras dan etnis. Golongan penjajah dianggap sebagai bangsa superior, sedangkan penduduk pribumi yang dijajah dipandang sebagai bangsa yang rendah atau hina. Dependensi atau ketergantungan masyarakat jajahan terhadap penjajah. Masyarakat terjajah menjadi makin tergantung kepada penjajah dalam hal modal, teknologi, pengetahuan dan keterampilan karena mereka semakin lemah dan miskin.

Politik Hukum Pertanahan (Agraria) Pada Masa Orde Lama, Periode Demokrasi Liberal (1945-1959)

Hukum agraria pada zaman Hindia Belanda telah menunjukkan bahwa hukum agraria zaman kolonial sangat eksploitatif, dualistik, feodalistik. Dengan asas   Domein Verklraing  yang menyertainya, jelas sangat bertentangan dengan kesadaran hukum dan rasa keadilan dalam masyarakat. Oleh sebab itu, wajar jika setelah proklamasi kemerdekaan timbul tuntutan agar segera diadakan pembaruan terhadap hukum agraria. Untuk menanggapi  berbagai tuntutan itu pada tanggal 6 Maret 1948, presiden membentuk sebuah komisi yang dikenal dengan Panitia Tanah Konversi. Dari komisi ini disampaikan rancangan UU untuk  memperbaiki Peraturan Sewa Tanah atas tanah milik pangeran melalui sepucuk surat tanggal 28 Maret 1948 kepada Presiden Soekarno. Akhirnya keluarlah UU No. 13 Tahun 1948 yang menghapus hak konversi. 6

Pada periode 1945-1959 pemerintah belum berhasil membuat UU Agraria nasional yang bulat sebagai pengganti   Agrarische Wet  1870. Sejak awal kemerdekaan pemerintah telah mengambil langkah-langkah konkret untuk mengalhiri berlakunya UU produk  kolonialisme, meskipun kenyataannya UU agraria nasional yang “bulat” baru dapat diundangkan pada tahun 1960. Diantara berbagai pertauran perundang-undangan yang penting yang dilahirkan sebagai kebijaksanaan dan tafsir baru menyangkut hal-hal sebagai berikut : 1. Penghapusan Hak Konversi dengan UU No.13 Tahun 1948 yang kemudian dilengkapi UU No.5 Tahun 1950. 2. Penghapusan Tanah Partikelir dengan UU No.1 Tahun 1958. 3. Perubahan Peraturan Persewaan Tanah Rakyat dengan UU Darurat No.6 Tahun 1951 yang kemudian dikukuhkan menjadi UU biasa dengan UU No. 6 Tahun 1952. 4. Penambahan Peraturan dalam Pengawasan Pemindahan Hak atas Tanah dengan UU Darurat No.1 Tahun 1952 yang kemudian dikukuhkan menjadi UU No.24 Tahun 1954. 5.

Penaikan Besarnya Canon dan Cijns dengan UU No.78 Tahun 1957.

6. Larangan dan Penyesuaian Pemakaina Tanah Tanpa Izin dengan UU Darurat No.8 Tahun 1954, kemudian dirubah dan ditambah dengan UU Darurat No.1 Tahun 1956. 7. Pengaturan Perjanjian Bagi Hasil dengan UU No.2 Tahun 1960. 8. Pengalihhan Tugas-tugas Wewenang Agraria dengan Keppres No.55 Tahun 1955 dan UU No.7 Tahun 1958. Untuk menyusun UU Agraria yang bercorak nasional dan bulat (menyeluruh) guna menggantikan UU Agraria peninggalan kolonial, maka sejak awal kemerdekaan telah dibentuk komisi atau panitia yang diberi tugas menyusun dasar-dasar hukum agraria baru.  Namun, hasil akhir dan kerja-kerja berbagai panitia baru mengkristal dalam bentuk UU pada tahun 1960, artinya setelah terlampuinya periode 1945-1959. Ada beberapa panitia yang terbentuk dalam usaha menyusun UU agraria nasional, yaitu : 7

1. Panitia Agraria Yogya. Panitia ini dibentuk pada tahun 1948 di ibukota Republik Indonesia, Yogyakarta. Pembentukannya dilakukan dengan Penetapan Presiden No.16 Tahun 1948. 2. Panitia Agraria Jakarta Setelah Indonesia kembali menjadi negara kesatuan dan ibu kota negara berpindah lagi ke Jakarta, dirasakan perlunya pembentukan Panitia Agraria yang baru yang dapat bekerja sesuai dengan perkembangan keadaan. Pada tanggal 19 Maret 1951, dengan Keppres No.36 Tahun 1951, Panitia Agraria Yogyakarta dibubarkan dan digantikan dengan panitia baru, yakni Panitia Agraria Jakarta. 3. Panitia Soewahjo Panitia ini dibentuk untuk melangkah lebih lanjut dalam upaya pembentukan hukum agraria yang baru sesuai dengan pasal 26, pasal 37 (1) dan pasal 38 (3) UUDS 1950. Dibentuk dengan Keppres No.1 Tahun 1956 panitia ini diketuai oleh Soewahjo Soemodilogo dengan tugas utama menyusun rancangan UU Pokok  Agraria Nasional yang sedapat mungkin sudah dapat menyelesaikan tugasnya dalam waktu 1 tahun. 4. Rancangan Soenarjo Hasil RUU yang disusun Panitia Soewahjo, dengan beberapa penambahan atas sistematika dan beberapa pasalnya, disetujui oleh pemerintah untuk diajukan kepada DPR. Rancangan yang diajukan kepada DPR tanggal 24 April 1958 disebut Rancangan Soenarjo karena pada waktu itu menteri agraria yang mewakili  pemerintah mengajukan RUU itu kepada DPR adalah Soenarjo. Sejak RUU Soenarjo diserahkan kepada Panitia ad hoc yang dibentuk DPR, dan dilengkapi bahan-bahan baru agar lebih sempurna, pembahasannya di dalam sidang pleno menjadi tertunda. Ketika pada tahun 1959 terjadi perubahan konfigurasi politik dengan Dekrit 5 Juli 1959 RUU tersebut ditarik kembali oleh   pemerintah pada tanggal 23 Mei 1960. Alasan penarikan itu secara yuridis konstitusional dapat dimengerti, sebab RUU itu disususn berdasarkan UUDS 1950, sedangkan UUD yang berlaku berdasar Dekrit 5 Juli 1959 adalah UUD 1945. 8

Rangkaian langkah-langkah dalam membuat peraturan perundang-undangan secara   parsial dan membentuk berbagai panitia agraria, bahkan sampai menggajukan RUU-nya, menunjukkan bahwa pada periode ini pemerintah bersungguh-sungguh untuk membuat hukum agrraria yang responsif atau sesuai denggan rasa keadilan dalam masyarakat. Meskipun belum pada hukum agraria nasional yang komprehensif, tetapi dari produk  produknya yang parsial itu, dapat dilihat dengan jelas, hukum agraria pada periode ini  berkarakter sangat responsif. Watak responsif terlihat dari respons pemerintah pada aspirasi seluruh masyarakat Indonesia yang menuntut secara keras dibentuknya UU agraria nasional. Tindakan pemerintah dalam member respons tersebut, terlihat dari dibuatnya berbagai UU secara parsial, sama sekali tidak bersifat  positivis-instrumentalis , melainkan menyerap aspirasi masyarakat pada umumnya. Tanpa harus membuat rincian kewenangan interpretasi  pemerintah atas berbagai produk hukum agaraia yang parsial, (karena pada periode ini belum ada produk hukum agraria nasional yang komprehensif), pemberian kualifikasi responsif atas  bentuk-bentuk respons pemerintah sudah menunjukkan signifikansi yang proposional.

Politik Hukum Pertanahan (Agraria) Pada Masa Orde Lama, Periode Demokrasi Terpimpin (1959-1966)

Menteri Agraria yang baru Sadjarwo, tidak lupa untuk terus mengusahakan terciptanya hukum agraria nasional yang baru. Sebuah rancangan UU baru, yang disesuaikan dengan UUD 1945 dan Manifesto Politik, diajukan kepada DPR-GR oleh pemerintah dengan sebuah amanat presiden tanggal 1 Agustus 1960. Pada tanggal 14 September 1960 DPR-GR  dengan suara bulat menerima RUU agraria yang diajukan oleh pemerintah. RUU yang telah disetujui tersebut disahkan 24 September 1960 sebagai UU No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria yang menurut diktum kelimanya dapat disebut sebagai Undang-undang Pokok Agraria (UUPA). Beberapa peraturan yang dicabut secara eksplisit oleh UUPA : 1.

  Agrarische Wet  (S.1870-55), sebagai yang termuat dalam pasal 51 Wet op de Staatsinrichting van Nederlands Indie (S.1925-447) dan ketentuan dalam ayatayat lainnya dari pasal itu ;

2.

 Domein Verklaring , tersebut dalam pasal 1  Agrarische Besluit S.1870-118. 9

  Algemene Domeinverklaring , tersebut dalam pasal 1 dalam s.1875-119a.  Domeinverklaring  untuk Sumatera, tersebut dalam pasal dari S.1874-94 f.  Domeinverklaring  untuk Keresidenan Menado, tersebut dalam pasal I dari S.187755.

 Domeinverklaring  untuk    Residentie Zuider en Qoster-afdeling van Borneo, tersebut dalam pasal 1 dari S.1888-58. 3.

  Koninklijk Besluit  tangggal 16 April 1872 No.29 (S.1872-117) dan peraturan  pelaksanaannya.

4.

Buku II Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) sepanjang yang mengenai bumi, air serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, kecuali ketentuan-ketentuan mengenai hipotek yang masih berlaku pada mulai  berlakunya UUPA.

Disamping pencabutan secra tegas (eksplisit) terdapat juga pencabutan yang sifatnya tidak langsung (implisit), yakni terhadap semua peraturan perundang-undangan yang  bertentangan dengan jiwa UUPA. Dalam kaitan ini dapat disebutkan sebagai contoh bahwa S.1875-179 menjadi tidak berlaku (tercabut) karena memuat ketentuan-ketentuan yang  bertentangan jiwa UUPA. S.1875-179 berisi “larangan pengasingan tanah” dari penduduk asli Indonesia (golongan Bumi Putra) terhadap orang asing. Dari

sudut

materinya

yang

bukan  positivis-instrumentalis

tersebut

UUPA

memperlihatkan karakter responsifnya dengan merombak seluruh sistem yang dianut oleh

 Agrarische Wet  1870, menghapus domeinverklaring , menghilangkan feodalisme dan segala hak konversinya, menghilangkan dualism hukum sehinggga tercipta unifikasi hukum, serta  penegasan tentang melekatnya “fungsi sosial” atas hak atas tanah. Adanya hak menguasai oleh negara justru memberi jalan bagi tindakan responsif lainnya karena dari hak tersebut  pemerintah dapat melakukan tindakan-tindakan yang berpihak bagi kepentingan masyarakat.

Politik Hukum Pertanahan (Agraria) Pada Masa Orde Baru (1966-1998)

Pemerintah Orde Baru tidak lagi mengahadapi tuntutan untuk membuat hukum agraria nasional, sebab tugas itu sudah selesai ketika UUPA diundangkan pada tanggal 24 10

september 1960. Berkenaan dengan pelaksanaan UUPA pada periode Orde baru ini ada tiga masalah pokok yang dihadapi oleh pemerintah, yaitu pembuatan peraturan pelaksana,   penyesuaian kembali isi peraturan-peraturana tertentu di bidang agraria, dan pelaksanaan  proses pembebasan tanah untuk keperluan pembangunan. Salah satu hal yang sering menjadi masalah publik adalah masalah pembebasan tanah untuk keperluan pembangunan. Seperti diketahui, UUPA memberi legitimasi kepada   pemerintah untuk melakukan pencabutan hak atas tanah demi kepentingan umum yang  pedomannya diatur dalam UU No.20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak atas Tanah. Pada masa orde baru tuntutan pembangunan nasional semakin memperbesar kapasitas tuntutan atas tanah dan volume pengambilan tanah dari masyarakat. Hal ini menjadi masalah karena kreteria kepentingan umum sebagai alasan pencabutan belum diatur dalam peraturan   perundang-undangan yang proporsional. Pada tahun 1973 presiden mengeluarkan Inpres   No.9 Tahun 1973 yang berisi pedoman jenis-jenis kegiatan yang dapat dikategorikan kepentingan umum. Meskipun secara materiil Inpres tersebut dapat dipakai, tetapi secara formal, seharusnya materi yang begitu penting tidak hanya diatur dengan sebuah Inpres yang  biasanya bersifat teknis dan einmalig . Materi Inpres tersebut seharusnya diatur dengan UU, karena menyangkut hak rakyat banyak. Pemberian bentuk Inpres atas kriteria “kepentingan umum” lebih merupakan tindakan pragmatis pemerintah dalam melancarkan program progrmnya. Pada era orde baru ini tidak ada lagi produk baru hukum agraria nasional karena  produk periode sebelumnya yang memiliki karakter responsif masih terus diberlakukan. Ada kecendrungan untuk keperluan pragmatis pada era orde baru ini dibuat beberapa paraturan   perundangan agraria secara parsial dengan watak konservatif. Kecendrungan ini terlihat, misalnya dengan adanya PMDN No.15 tahun 1957 dan Inpres No.9 tahun 1973. Kedua   peraturan perundang-undangan ini jika dilihat dari materinya lebih proporsional untuk  dituangkan dalam bentuk UU. Akan tetapi, tuntutan pragmatis telah membawa pemerintah untuk melahirkannya hanya dalam bentuk Peraturan Menteri dan Instruksi Presiden. Kedua  bentuk peraturan perundang-undangan tersebut jelas sangat tidak partisipatif karena secara formal hanya dilakukan secara sepihak oleh pemerintah, dan dengan sendirinya tidak aspiratif  karena tidak membuka saluran secara wajar bagi masuknya aspirasi masyarakat. Memang sebagai produk hukum yang tidak menyangkut  gezagverhouding  dan yang mencakup hukum publik dan privat, UUPA berkarakter responsif, tetapi interpretasi 11

  pemerintah dalam bentuk peraturan perundang-undangan secara parsial untuk keperluan  pragmatis dalam rangka pelaksanaan program-program pembangunan memperlihatkan watak  yang konservatif. Adanya Kepres No.55 Tahun 1993, meskipun membawa sedikit kemajuan, namun bentuk peraturannya tetap tidak proporsional. Materinya yang prinsip seharusnya menjadi materi UU yang tidak dapat dibuat sepihak oleh eksekutif.

Politik Pertanahan (Agraria) Pada Era Reformasi (1998-Saat ini)

Seiring dengan perubahan konstelasi politik, alam demokrasi yang semakin menguat, dan dilaksanakannya sistem desentralisasi, maka semangat pembaruan agraria juga menggema dan kemudian melahirkan Ketetapan MPR Nomor IX Tahun 2001 yang merekomendasikan dilakukannya pembaruan atau revisi terhadap UUPA. Beberapa peraturan   perundang-undangan tentang pengelolaan sumber daya alam (agraria) dikeluarkan sejak  dilakukannya reformasi pemerintahan di tahun 1998. Baik itu yang kemudian dinilai merupakan langkah maju maupun yang justru dinilai mundur dari substansi peraturan peraturan sebelumnya.

 Landreform kembali masuk dalam program penting pembaruan agraria, yaitu disebutkan dalam Pasal 5 TAP MPR RI No.IX/MPR/2001 bahwa salah satu arah kebijakan  pembaruan agraria adalah: 1.

Melaksanakan   pemanfaatan

penataan tanah

kembali

(landreform )

penguasaan, yang

pemilikan,

berkeadilan

penggunaan

dengan

dan

memperhatikan

kepemilikan tanah oleh rakyat; 2.

Menyelenggarakan pendataan pertanahan melalui inventarisasi dan registrasi  penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah secara komprehensif dan sisematis dalam rangka pelaksanaan landreform . Dalam rancangan Undang-Undang tentang Sumber Daya Agraria disebutkan Tanah

dan sumberdaya agraria selain tanah yang penguasaan dan pemilikannya melebihi batas maksimum, dikuasai oleh Pemerintah dan ditetapkan sebagai objek  landreform untuk  dibagikan kepada warga masyarakat yang termasuk dalam kelompok yang memperoleh hak  utama. Selanjutnya pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, redistribusi tanah  pun kembali diagendakan. Pembagian 8,15 juta hektar lahan ini akan dilakukan pemerintah tahun 2007 hingga 2014. Diperkirakan, 6 juta hektar lahan akan dibagikan pada masyarakat 12

miskin. Sisanya 2,15 juta hektar diberikan kepada pengusaha untuk usaha produktif yang melibatkan petani perkebunan. Tanah yang di bagian ini tersebar di Indonesia, dengan  prioritas di Pulau Jawa, Sumatera, dan Sulawesi Selatan. Tanah itu berasal dari lahan kritis, hutan produksi konversi, tanah telantar, tanah milik negara yang hak guna usahanya habis, maupun tanah bekas swapraja (Kompas, tanggal 30 Januari 2007). Bahwa kebijakan pembaharuan agraria dan sumber daya alam tersebut dilaksanakan antara lain dengan melakukan pengkajian ulang terhadap berbagai peraturan perundangundangan yang berkaitan dengan agraria dalam rangka sinkronisasi kebijakan antar sektor  serta menyelesaikan konflik-konflik berkenaan dengan sumber daya agraria yang timbul selama ini sekaligus dapat mengantisipasi potensi konflik dimasa mendatang guna menjamin terlaksananya penegakan hukum dengan didasarkan pada prinsip-prinsip berkeadilan. Bahwa hal tersebut dimandatkan secara tegas dalam ketentuan Pasal 6 dan Pasal 7 TAP-MPR No.IX Tahun 2001 dimana DPR RI bersama Presiden ditugaskan untuk segera mengatur lebih lanjut pelaksanaan pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam, serta mencabut, mengubah dan/atau mengganti semua undang-undang dan peraturan  pelaksanaannya yang tidak sejalan dengan Ketetapan ini, serta untuk segera melaksanakan Ketetapan tersebut dan melaporkan pelaksanaannya pada Sidang Tahunan MPR RI. Bahwa dengan disahkannya peraturan perundang-undangan di bidang pengelolaan sumber daya alam1 telah merusak politik pembaharuan hukum

pengelolaan agraria dan

sumber daya alam yang telah dimandatkan secara tegas dalam TAP-MPR No.IX Tahun 2001, sehingga berpotensi kembali melanggengkan pola pengelolaan sumber daya alam yang  berorientasi pada eksploitasi (use oriented ) yang mengabaikan kepentingan konservasi dan keberlanjutan fungsi sumber daya alam, karena semata-mata digunakan sebagai perangkat hukum ( legal instrument ) untuk mendukung pertumbuhan ekonomi, orientasi pengelolaan sumber daya alam yang lebih berpihak pada pemodal-pemodal besar (capital oriented ), dimana hal tersebut akan mengabaikan kepentingan dan akses atas sumber daya alam serta mematikan potensi-potensi pengelolaan perekonomian masyarakat lokal.

1

Misalnya, antara lain: UU No.22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi.; UU No.27 Tahun 2003 tentang Panas Bumi.; UU No.7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air.; UU No.18 Tahun 2004 tentang Perkebunan.; UU No.19 Tahun 2004 tentang Penetapan Perpu No.1 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas UU  No.41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan Menjadi Undang-Undang.; UU No.31 Tahun 2004 tentang Perikanan.; UU No.4 Tahun 2006 tentang Pengesahan   International Treaty On Plant Genetic Resources For Food And   Agriculture (Perjanjian Mengenai Sumber Daya Genetik Tanaman Untuk Pangan Dan Pertanian).; UU No.25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal.; UU No.26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.; UU No.27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil.; UU No.30 Tahun 2007 tentang Energi dan UU No.4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral Dan Batubara. 13

Implementasi pengelolaan yang dilakukan Pemerintah akhirnya bersifat sangat sektoral, sehingga sumber daya alam tidak dilihat sebagai sistem ekologi yang terintegrasi dan tidak terkoordinasi serta berpotensi melanggar hak asasi manusia berkaitan dengan  penguasaan, pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya alam. Hal ini bertentangan dengan Pembukaan alinea IV UUD 1945 yang menyatakan: “..... untuk membentuk suatu Pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap   bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial .....”. Hal ini sejalan dengan tujuan dan politik hukum pertanahan/agraria, yaitu antara lain: 1.

Untuk mengatur keselarasan dan keseimbangan dalam pemanfaatan bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan yang terkandung di dalamnya dalam hubungannya dengan kepentingan manusia menuju masyarakat yang adil dan makmur.

2.

Untuk menjamin ketertiban, kepastian hukum dan keadilan dalam hubungannya dengan hak-hak seseorang atau masyarakat atas tanah (bumi), air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.

3.

Untuk penyederhanaan hukum dan kesatuan hukum dalam mengatur halhal yang  berkaitan dengan agraria atau pertanahan dengan memperhatikan hukum adat.

4.

Untuk mengatur dan sekaligus membatasi hak dan kewajiban seseorang atau badan hukum, dan masyarakat serta negara dalam hubungannya dengan kepemilikan,   penguasaan, penggunaan atau pemanfaatan, pengusahaan, pemakaian, penatagunaan dan pengelolaan atas bumi (tanah), air, ruang angkasa dan kekayaan yang terkandung di dalamnya.

5.

Untuk memberikan atau menetapkan kekuasaan dan kewenangan kepada pemerintah dalam mengatur hubungan hukum antara seseorang atau badan hukum tertentu dengan tanah yang dimiliki, dikuasai, digunakan, dimanfaatkan, dipakai, dikelola, baik oleh seseorang, masyarakat, badan hukum maupun instansi pemerintah lainnya. Hal ini harus disesuaikan dengan Pasal 5 ayat 2 Ketetapan MPR RI No.IX/MPR/2001

tentang Pembaruan Agraria Dan Pengelolaan Sumber Daya Alam yang menyebutkan bahwa arah kebijakan dalam pengelolaan sumber daya alam adalah: 1.

Melakukan pengkajian ulang terhadap berbagai peraturan perundangundangan yang  berkaitan dengan pengelolaan sumber daya alam dalam rangka sinkronisasi kebijakan

14

antarsektor yang berdasarkan prinsip-prinsip sebagaimana dimaksud Pasal 4 Ketetapan ini; 2.

Mewujudkan optimalisasi pemanfaatan berbagai sumber daya alam melalui identifikasi dan inventarisasi kualitas dan kuantitas sumber daya alam sebagai potensi  pembangunan nasional;

3.

Memperluas pemberian akses informasi kepada masyarakat mengenai potensi sumber  daya alam di daerahnya dan mendorong terwujudnya tanggung jawab sosial untuk  menggunakan teknologi ramah lingkungan termasuk teknologi tradisional;

4.

Memperhatikan sifat dan karakteristik dari berbagai jenis sumber daya alam dan melakukan upaya-upaya meningkatkan nilai tambah dari produk sumber daya alam tersebut;

5.

Menyelesaikan konflik-konflik pemanfaatan sumber daya alam yang timbul selama ini sekaligus dapat mengantisipasi potensi konflik di masa mendatang guna menjamin terlaksananya penegakan hukum;

6.

Mengupayakan pemulihan ekosistem yang telah rusak akibat eksploitasi sumber daya alam secara berlebihan;

7.

Menyusun strategi pemanfaatan sumber daya alam yang didasarkan pada optimalisasi manfaat dengan memperhatikan potensi, kontribusi, kepentingan masyarakat dan kondisi daerah maupun nasional. Bahwa dengan berbagai indikasi penyimpangan atas beberapa prinsip yang disebut di

atas telah terjadi pembelokan prinsip negara hukum, dimana hukum telah dipakai menjadi alat (instrument ) untuk kepentingan kekuasaan semata, sehingga masyarakat menganggap  perlu untuk mengajukan uji materil ke Mahkamah Konstitusi, karena Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia mempunyai kewenangan mengadili pada tingkat pertama dan terakhir  yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-undang terhadap UUD 1945, seperti dinyatakan dalam Pasal 24C UUD 1945 dan Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-undang Republik Indonesia No.24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Para Pemohon yang hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan, misalnya: 1.

Putusan MK No.01-21-22/PUU-I/2003, menyatakan UU No.20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

2.

Putusan MK No.002/PUU-I/2003 tentang menyatakan Pasal 12 ayat (3) sepanjang mengenai kata-kata “diberi wewenang”, Pasal 22 ayat (1) sepanjang mengenai kata-

15

kata “paling banyak”, dan Pasal 28 ayat (2) dan ayat (3) UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat; 3.

Putusan

MK

No.58-59-60-63/PUU-II/2004

dan

No.08/PUU-III/2005

tentang

Pengujian UU No.7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, yang walaupun ditolak, namun dalam pertimbangan hukumnya majelis menganggap bahwa alasan-alasan  permohonan dapat dimaklumi. 4.

Putusan MK No.03/PUU-III/2005 tentang Pengujian UU No.19 Tahun 2004 tentang Perubahan UU No.41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, menyatakan menolak  Permohonan Pemohon.

5.

Putusan MK No.13/PUU-III/2005 tentang Pengujian UU No.41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.; permohonan Pemohon tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard);

6.

Putusan MK No.21/PUU-III/2005 tentang Pengujian UU No.19 Tahun 2004 tentang Perubahan UU No.41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, menyatakan permohonan Pemohon ditolak untuk seluruhnya.

7.

Putusan MK No.11/PUU-V/2007 tentang Pengujian UU No.56 Prp Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian, menyatakan permohonan pemohon ditolak.

8.

Putusan MK No.20/PUU-V/2007 tentang Pengujian UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, menyatakan Permohonan para Pemohon tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard );

9.

Putusan MK No.21-22/PUU-V/2007 tentang Pengujian UU No.25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, menyetakan Pasal 22 ayat (1) dan ayat (2) sepanjang menyangkut kata-kata “di muka sekaligus ” dan “sekaligus di muka”; tidak 

mempunyai kekuatan hukum mengikat; Dengan adanya berbagai permohonan uji materil atas peraturan perundang-undangan yang menyangkut pertanahan, maka perlu diterapkan sistem pengelolaan pertanahan yang efisien, efektif, serta melaksanakan penegakan hukum terhadap hak atas tanah dengan menerapkan prinsip-prinsip keadilan, transparansi, dan demokrasi. Selain itu, perlu dilakukan   penyempurnaan penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah melalui   perumusan berbagai aturan pelaksanaan land reform serta penciptaan insentif/disinsentif   perpajakan yang sesuai dengan luas, lokasi, dan penggunaan tanah agar masyarakat golongan ekonomi lemah dapat lebih mudah mendapatkan hak atas tanah. Selain itu, menyempurnakan sistem hukum dan produk hukum pertanahan melalui inventarisasi dan penyempurnaan   peraturan perundang-undangan pertanahan dengan mempertimbangkan aturan masyarakat 16

adat, serta peningkatan upaya penyelesaian baik melalui kewenangan administrasi, peradilan, maupun alternative dispute resolution . Selain itu, akan dilakukan penyempurnaan kelembagaan pertanahan sesuai dengan semangat otonomi daerah dan dalam kerangka  Negara Kesatuan Republik Indonesia, terutama yang berkaitan dengan peningkatan kapasitas sumber daya manusia bidang pertanahan di daerah. Salah satu peraturan perundang-undangan yang menimbulkan banyak tanggapan dari masyarakat adalan Peraturan Presiden No.36 Tahun 2005 Tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. Berbagai tanggapan tersebut menjadi lebih mendasar ketika masyarakat melihat bahwa substansi atau materi yang diatur dalam Peraturan Presiden sangat kental dengan pencabutan hak atas tanah, bangunan, tanaman, serta   benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah oleh negara dengan pemberian ganti rugi senilai Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) untuk tanah, atau berdasarkan perhitungan dari instansi   pemerintah yang bersangkutan dengan benda-benda selain tanah. Hal tersebut sangat meresahkan masyarakat dan menjadi masalah sosial yang timbul di masyarakat. Permasalahan utamanya adalah hak masyarakat atas hak atas tanah, bangunan, tanaman, serta  benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah menjadi terganggu. Pemerintah dapat saja “ seolah-olah “ dalam rangka kepentingan umum yang sebenarnya adalah akses memperlancar  “bisnis“ segelintir orang mencabut hak masyarakat tersebut, terlebih yang dimaksud dengan kepentingan umum dalam Peraturan Presiden No. 36 tahun 2005 tersebut telah mengalami   perluasan kriteria jika dibandingkan dengan Keputusan Presiden No. 55 tahun 1993. Sekalipun diatur mengenai musyawarah dalam Peraturan Presiden No. 36 tahun 2005, akan tetapi jika musyawarah gagal ditempuh kemudian terdapat uang pengganti dari pemerintah yang dititipkan ke pengadilan, hingga presiden sendiri yang mencabut hak atas tanah itu. Hal tersebut menunjukan diperlemahnya akses masyarakat akan hak atas tanah dan dilanggarnya hak sipil-politik dan hak ekonomi, sosial, budaya oleh masyarakat oleh  pemerintah. Tetapi mungkin saja justru para pemodal yang diuntungkan, termasuk investor  asing. Sahala Sianipar, Direktur Golin/Haris Internasional Pte Ltd Singapura, perusahan  publik relation yang bermarkas di AS, mengungkapkan, bahwa beberapa investor asing memang belum mau meneken persetujuan investasi di proyek infarstruktur karena belum ada  jaminan soal pertanahan di Indonesia. Investor asing tidak mungkin berhadapan langsung dengan masyarakat di Indonesia. Sebab itu, investor menginginkan agar pemerintah mengatur  soal tanah (Jawa Pos Online, 08/05/2005). Dan nampaknya bahwa pemerintah ingin menguasai tanah masyarakatnya dengan harga murah. Pada kenyataan – seperti yang 17

disampaikan Abdul Haris Kepala Subdit Pertanahan Bappenas Jakarta - bahwa berdasarkan hasil pemantauan proyek-proyek pemerintah yang berupa pinjaman luar negeri diperoleh   bahwa salah satu faktor penghambat pelaksanaan proyek tersebut adalah kurangnya dana  pengadaan tanah, adanya hambatan dalam proses pembebasan tanah, maupun hambatan dalam permukiman kembali (Media Indonesia Kamis, 26 Mei 2005). Peraturan Presiden No.36 Tahun 2005 memiliki kecendrungan untuk keperluan   pragmatis pada era ini yang dibuat secara parsial dengan watak konservatif. Peraturan Presiden tersebut jika dilihat dari materinya lebih proporsional untuk dituangkan dalam  bentuk UU. Akan tetapi, tuntutan pragmatis telah membawa pemerintah untuk melahirkannya hanya dalam bentuk Peraturan Presiden. Peraturan Presiden tersebut jelas sangat tidak   partisipatif karena secara formal hanya dilakukan secara sepihak oleh presiden (pemerintah), dan dengan sendirinya tidak aspiratif karena tidak membuka saluran secara wajar bagi masuknya aspirasi masyarakat. Peraturan Presiden itu juga tidak memberikan rasa keadilan   bagi masyarakat sehingga dalam pelaksanaannya banyak mendapat perlawanan dari masyarakat. Pada tahun 2006 diadakan perubahan terhadap PP No.36 tahun 2005 yang dilakukan melalui Peraturan Presiden No. 65 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas PP No.36 tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. Hal ini semakin membuktikan bahwa PP No.36 tahun 2005 tidak berwatak responsif  dan tidak mampu mengakomodir kepentingan dan aspirasi masyarakat Indonesia dalam  bidang pertanahan (agraria).

18

DAFTAR ISI

1.

Pengertian Politik Hukum ………………………….……………...…………………...1

2.

Hukum Sebagai Alat …………………………………………..………………………..1

3.

Hukum Sebagai Produk Politik ……………………………………………...…...........2

4.

Politik Hukum Pertanahan (Agraria) ……………………………………………..…..2

5.

Perkembangan Politik Hukum Pertanahan (Agraria) Di Indonesia ………………..3

6.

Politik Hukum Pertanahan (Agraria) Pada Masa Kolonial / Penjajahan ……....….3

7.

Politik Pertanahan (Agraria) Kolonial / Penjajah …………………………………...5

8.

Politik Hukum Pertanahan (Agraria) Pada Masa Orde Lama, Periode Demokrasi Liberal (1945-1959) …………………...………………………….5

9.

Politik Hukum Pertanahan (Agraria) Pada Masa Orde Lama, Periode Demokrasi Terpimpin (1959-1966) …………………………………...…...…8

10.

Politik Hukum Pertanahan (Agraria) Pada Masa Orde Baru (1966-1998) ……...…9

19

11.

Politik Hukum Pada Era Orde Baru (1998-Saat ini) ………………..………………11

DAFTAR PUSTAKA

Harsono, Boedi, Hukum Agraria Indonesia; Himpunan Peraturan-Peraturan Hukum Tanah, Cet.XVII, Djambatan, Jakarta, 2006.

20

Mahfud MD, Moh., Politik Hukum Di Indonesia, Cet.I, Raja Garafindo Persada, Jakarta, 2009. Parlindungan, AP., Komentar Atas Undang Undang Pokok Agraria, Cet.IX, Mandar Maju, Bandung, 2008. Santoso, Urip, Hukum Agraria & Hak-Hak Atas Tanah, Cet.VI, Prenada Media Group, Jakarta, 2010.

Peraturan Perundang-undangan :

Kitab Undang-Undang Agraria Dan Pertanahan, Fokusmedia, Bandung, 2009.

Sumber Media Internet :

Lilis Nur Faizah, Landreform : Sejarah Dari Masa Ke Masa , www.zeilla.wordpress.com Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia (PBHI), Tanggapan Terhadap Perpres  No. 36 Tahun 2005, http://www.pbhi.or.id.

21

TUGAS HUKUM AGRARIA I

POLITIK HUKUM PERTANAHAN (AGRARIA) DI INDONESIA

22

I MADE WIDANA PUTRA, S.H. NIM. 1092461024

PROGRAM MAGISTER KENOTARIATAN UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR  2010

23

View more...

Comments

Copyright ©2017 KUPDF Inc.
SUPPORT KUPDF