pneumothorax .pdf
November 6, 2017 | Author: Fionna Pohan | Category: N/A
Short Description
Download pneumothorax .pdf...
Description
1
TUGAS GRAND REMEDIAL PNEUMOTHORAX
OLEH: FIONNA MASITAH 1008260019
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SUMATERA UTARA MEDAN 2013
ii
KATA PENGANTAR Puji syukur kehadirat Allah SWT Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat dan atas segala limpahan rahmat, taufik, serta hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas grand remedial yang telah direncanakan. Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurahkan kepada baginda Nabi Besar Muhammad SAW beserta seluruh keluarga dan sahabatnya yang selalu eksis membantu perjuangan beliau dalam menegakkan Dinullah di muka bumi ini. Penyusunan tugas makalah adalah merupakan salah satu syarat untuk proses Grand Remedial di Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara. Dalam penulisan tugas ini, tentunya banyak pihak yang telah memberikan bantuan baik moril maupun materil. Oleh karena itu penulis ingin menyampaikan ucapan terimakasih yang tiada hingganya kepada : 1. Kepada pada Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara Medan, yang telah membantu dalam grand remedial ini dimana tugas makalah ini sebagai membantu dalam penilaian grand remedial. 2. Kepada teman-teman yang telah membantu dan memberikan masukan dalam proses tugas ini Penulis menyadari bahwa tugas ini masih jauh dari kesempurnaan, maka saran dan kritik yang konstruktif dari semua pihak sangat diharapkan demi penyempurnaan selanjutnya. Akhirnya hanya kepada Allah SWT kita kembalikan semua urusan dan semoga tugas makalah ini dapat bermanfaat bagi semua pihak, khususnya bagi penulis dan para pembaca pada umumnya, semoga Allah SWT meridhoi dan dicatat sebagai ibadah disisi-Nya, amin. Medan, 02 September 2013
Penulis,
iii
DAFTAR ISI COVER .......................................................................................................... i KATA PENGANTAR ................................................................................... ii DAFTAR ISI ............................................................................................... iii DAFTAR GAMBAR .....................................................................................v BAB 1 PENDAHULUAN ..............................................................................1 1.1.Latar Belakang .....................................................................................1 1.2.Tujuan ..................................................................................................2 BAB 2 TELAAH PUSTAKA .........................................................................3 2.1. Definisi Pneumothorax ........................................................................3 2.2. Anatomi dan Fisiologi Pleura ...............................................................4 2.2.1. Anatomi Pleura ............................................................................4 2.2.2 Fisiologi Pleura .............................................................................5 2.3. Patofisiologi Pneumothorax .................................................................6 2.4. Klasifikasi Pneumothorax ....................................................................7 2.4.1. Pneumothorax Spontan ................................................................7 2.4.1.1 Pneumothorax Spontan Primer ..................................................7 2.4.1.2.Pneumothorax Spontan Sekunder ..............................................7 2.4.2. Pneumothorax Traumatik ............................................................8 2.4.2.1. Pneumothorax Traumatik bukan Iatrogenik .............................8 2.4.2.2. Pneumothorax Traumatik Iatrogenik .......................................8 2.4.3. Pneumothorax Tension .................................................................8 2.4.4. Pneumothorax Tertutup ................................................................9 2.4.5. Pneumothorax Terbuka ................................................................9 2.5. Manifestasi Klinis .................................................................................9 2.5.1. Keluhan Subyektif .........................................................................9 2.5.2. Pemeriksaan Fisik ...................................................................... 10 2.5.3. Pemeriksaan Penunjang .............................................................. 10 2.6. Diagnosa Banding .............................................................................. 12 2.7. Penatalaksaanaan ............................................................................... 12 2.7.1. Observasi dan Pemberian Tambahan Oksigen ............................. 12
iiii
iv
2.7.2. Aspirasi dengan Jarum dan Tube Torakostomi ............................ 12 2.7.3. Toraskopi ................................................................................... 14 2.7.4. Torakotomi ................................................................................ 15 2.8. Komplikasi ......................................................................................... 15 2.9. Prognosis ............................................................................................ 15 BAB 3 Penutup ............................................................................................ 16 3.1. Kesimpulan ....................................................................................... 16 3.2. Saran .................................................................................................. 16 DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 17
DAFTAR GAMBAR Gambar 1. Pneumothorax ................................................................................ 3 Gambar 2. Anatomi Paru-paru dan Pleura ....................................................... 4 Gambar 3. Pneumtororax Tension pada pemeriksaan foto thorkas ................. 11 Gambar 4. Penanganan dengan Melakukan Water Sealed Drainage ............... 13
v
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Kejadian cedera dada merupakan salah satu trauma yang sering terjadi, jika tidak ditangani dengan benar akan menyebabkan kematian, kejadian trauma dada terjadi sekitar seperempat dari jumlah kematian akinat trauma yang terjadi, serta sekitar sepertiga dari kematian yang terjadi berbagai rumah sakit. Beberapa cedera dada yang dapat terjadi antara lain, tension pneumthorax, pneumthorax terbuka, flail chest, hematotoraks, tamponade jantung. Kecelakaan kendaraan bermotor paling sering menyebabkan terjadinya trauma pada toraks. Tingkat morbiditas mortalitas akan meningkat dan menjadi penyebab kematian kedua didunia pada tahun 2020 menurut WHO (World Health Organization) (Punarwaba dan Suarjaya, 2013). Sebuah penelitian mengatakan 5,4% dari seluruh pasien menderita trauma, merupakan pasien yang mengalami pneumthorax. Kurangnya pengetahuan untuk mengetahui tanda dan gejala dari pneumthorax terdesak menyebabkan banyak penderita meninggal setelah atau dalam perjalanan menuju ke rumah sakit (Punarwaba dan Suarjaya, 2013). Pneumothorax adalah keadaan terdapatnya udara atau gas dalam rongga pleura. Pada keadaan normal rongga pleura tidak berisi udara, supaya paru-paru leluasa mengembang terhadap rongga dada. Pneumothorax dapat terjadi secara spontan dan traumatik (Hisyam dan Budiono, 2009). Paru-paru dibungkus oleh pleura parietalis dan pleura visceralis. Diantara pleura parietalis dan visceralis terdapat cavum pleura. Cavum pleura normal berisi sedikit cairan sereous jaringan. Tekanan intrapleura selalu berupa tekanan negatif. Tekanan negatif intrapleural membantu dalam proses respirasi (Amita,2008). Insidens pneumothorax sulit diketahui karena episodenya banyaknya yang tidak diketahui, pria lebih banyak dari wanita dengan perbandingan 5:1. Pneumothorax spontan primer sering dijumpai pada individu sehat, tanpa riwayat 1
2
penyakit paru sebelumnya. Pneumothorax spontan primer banyak dijumpai pada pria dengan usia antara dekade 3 dan 4. Salah satu penelitian menyebutkan sekitar 81% kasus pneumthorax spontan primer berusia kurang dari 45 tahun (Hisyam dan Budiono, 2009). Tidak ada mendasari penyakit paru pada pasien pneumothorax primer, bleb subpleura dan bula terjadi secara patogenesis sebab terjadi 90% kasus pneumothorax primer melalui torakoskopi atau dilakukan torakotomi terjadi pada sampai 80% (Henry et al, 2003) Dalam penelitian di Israel pneumothorax spontan terjadi pada 723 (60,3%) dari 1199 kasus, pneumothorax spontan primer 218 dan pneumthorax spontan sekunder 505. Pneumothorax traumatik terjadi 403 (33,6%) pasien, 73 (18,1%) diantaranya memiliki pneumthorax iatrogenic. Dalam penelitian terbaru, 12% pasien dengan gejala menusuk dada luka memiliki hemo-pneumthorax (Sharma dan Jidal, 2008). Berdasarkan latar belakang diatas, maka tugas pemakalah tertarik dengan judul “PNEUMOTHORAX”.
1.2.Tujuan 1.2.1. Untuk mengetahui Definisi Pneumothorax 1.2.2. Untuk mengetahui anatomi dan fisiologi Pleura 1.2.3. Untuk mengetahui Patofisiologi Pneumothorax 1.2.4. Untuk mengetahui Klasifikasi Pneumothorax 1.2.5. Untuk mengetahui Manifestasi Klinik Pneumothorax 1.2.6. Untuk mengetahui Diagnosa Banding Pneumothorax 1.2.7. Untuk mengetahui Penatalaksanaan Pneumothorax 1.2.8. Untuk mengetahui Komplikasi Pneumothorax 1.2.9. Untuk mengetahui Prognosis Pneumthorax
BAB 2 TELAAH PUSTAKA 2.1. Definisi Pneumothorax Pneumothorax adalah suatu keadaan dimana terdapatnya udara pada rongga potensial diantara pleura visceral dan pleura parietal (Punarwaba dan Suarjaya, 2013). Pneumothorax adalah suatu keadaan terdapatnya udara atau gas di dalam pleura yang menyebabkan kolapsnya paru (Amita, 2012).
Gambar 1. Pneumothorax
3
4
2.2. Anatomi dan Fisiologi Pleura
Gambar 2. Anatomi paru-paru dan pleura (Amita, 2012) 2.2.1. Anatomi Pleura Pleura merupakan lapisan pembungkus paru (pulmo). Dimana antara pleura yang membungkus pulmo dextra et sinistra dipisahkan oleh adanya mediastinum. Pleura dari interna ke externa terbagi atas 2 bagian: a. Pleura visceralis/ pulmonis, yaitu pleura yang langsung melekat pada permukaan pulmo. b. Pleura parietalis, yaitu bagian pleura yang beratasan dengan dinding thorax. Kedua lapisan ini saling berhubungan pada hilus pulmonale sebagai ligamentum pulmonale (pleura penghubung). Diantara kedua lapisan pleura terdapat sebuah rongga yang disebut dengan cavum pleura ini terdapat sedikit cairan pleura yang berfungsi agar tidak terjadi gesekan antar pleura ketika proses pernafasan (Amita, 2012). Pleura parietal berdasarkan letaknya terbagi atas: a. Cupula pleura (pleura cervicalis):
5
Merupakan pleura parietalis yang terletak diatas costa I namun tidak melebihi dari collum costaenya. Cupula pleura terletak setinggi 1-1,5 inchi diatas 1/3 medial os.clavicula b. Pleura parietalis pars diafraghmatica: Pleura yang menghadap ke diafragma permukaan thoracal yang dipisahkan oleh fascia endothoracica c. Pleura parietalis pars mediastinalis (medialis): Pleura yang menghadap ke mediastinum/terletak di bagian medial dan membentuk bagian lateral dari mediastinum Vaskularisasi pleura Pleura parietal divaskularisasi oleh Aa. Intercostalis, a.mammaria, a.musculophrenica. Dan vena-venanya bermuara pada sistem vena dinding thorax. Sedangkan pleura visceralisnya mendapatkan vaskularisasi dari Aa. Bronchiales (Amita, 2012). 2.2.2. Fisiologi Pleura Paru-paru merupakan struktur elastis yang akan mengempis seperti balon dan mengeluarkan semua udaranya melalui trakea bila tidak ada kekuatan untuk mempertahankan pengembangannya. Juga, tidak dapat perlekatan antara paruparu dan dinding rangka dada kecuali pada bagian paru yang tergantung pada hilumnya mediastinum. Bahkan, paru-paru sebetulnya “mengapung” dalam rongga toraks, dikelilingi oleh suatu lapisan tipis cairan pleura yang menjadi pelumas bagi gerakan paru di dalam rongga. Selanjutnya, cairan yang berlebihan akan diisap terus menerus ke dalam saluran limfatik untuk menjaga agar terdapat sedikit isapan antara permukaan viseral dari pleura paru dan permukaan parietal pleura dari rongga toraks (Guyton dan Hall, 2007). Fungsi mekanis pleura adalah meneruskan tekanan negatif thorax ke dalam paru-paru yang elastis dapat mengembang. Tekanan pleura pada waktu istirahat (restting pressure) dalam posisi tiduran adalah -2 sampai -5 H2O, sedikit bertambah negatif di apex sewaktu posisi berdiri. Sewaktu inspirasi tekanan negatif meningkat menjadi -25 sampai -35 cm H2O (Amita, 2012).
6
Selain fungsi mekanis, cavum pleura steril karena mesothelial bekerja melakukan fagositosis benda asing, dan cairan yang diproduksinya bertindak sebagai lubrikasi (Amita, 2012) Cairan cavum pleura sangat sedikit, sekitar 0,3 ml/kg, bersifat hipoonkotik dengan konsentrasi protein 1gr/dl. Gerakan pernafasan dan gravitasi kemungkinan besar ikut mengatur jumlah produksi dan resorbsi cairan cavum pleura. Resobsi terjadi terutama pada pembuluh limfe pleura parietalis, dengan kecepatan 0,1 sampai 0,15 ml/kg/jam (Amita, 2012). 2.3. Patofisiologi Pneumothorax Rongga dada mempunyai dua struktur yang penting dan digunakan untuk melakukan proses ventilasi dan oksigenasi, yaitu pertama tulang, tulang-tulang yang menyususn struktur pernapasan seprti tulang clavicula, sternum, scapula. Kemudian yang kedua adalah otot-otot pernapasan yang sangat berperan pada proses inspirasi dan ekspirasi (Punarwaba dan Suarjaya, 2013). Jika salah satu dari dua struktur tersebut mengalami kerusakan, akan berpengaruh pada proses ventilasi dan oksigenasi. Contoh kasusnya, adanya fraktur pada tulang iga atau tulang rangka akibat kecelakaan, sehingga bisa terjadi keadaan flail chets atau kerusakan pada otot pernapasan akibat trauma tumpul, serta adanya kerusakan pada organ visceral pernapasan seperti, paru-paru, jantung, pembuluh darah dan organ lainnya diabdominal bagian atas, baik itu disebabkan oleh trauma tumpul, tajam, akibat senapan atau gunshot (Punarwaba dan Suarjaya, 2013). Tekanan intrapleura adalah negatif, pada proses respirasi, udara tidak akan dapat masuk kedalam rongga pleura. Jumlah dari keseluruhan tekanan parsial dari udara pada kapiler pembuluh darah ke rongga pleura, memerlukan tekanan pleura lebih rendah dari -54 mmHg (-36 cmH2O) yang sulit terjadi pada keadaan normal. Jadi yang menyebabkan masuknya udara pada rongga pleura adalah akibat trauma yang mengenai dinding dada dan merobek pleura parietal atau visceral, atau disebabkan kelainan congenital adanya bula pada subpleura yang akan pecah jika terjadi peningkatan tekanan pleura (Punarwaba dan Suarjaya, 2013).
7
2.4. Klasifikasi Penumothorax Klasifikasi pneumothorax berdasarkan dengan penyebabnya adalah sebagai berikut: 2.4.1. Pneumothorax Spontan Pneumothorax spontan adalaha setiap pneumthorax yang terjadi tiba-tiba tanpa adanya suatu penyebab (trauma ataupun iatrogenik), ada 2 jenis yaitu: 2.4.1.1. Pneumothorax Spontan Primer Keadaan ini disebabkan oleh ruptur kista kecil udara subpleura di apeks (“bleb”) tetapi jarang menyebabkan gangguan fisiologis yang signifikan. Biasanya menyerang laki-laki (L:P 5:1) muda (20-40 tahun) bertubuh tinggi tanpa penyakit paru penyebab. Pneumothorax spontan primer merupakan jenis paling sering pada pneumothorax (prevalensi 8/105/tahun, meningkat sampai 200/105/tahun pada orang dengan tinggi badan >1,9 m). Setelah Pneumothorax spontan primer kedua, mungkin terjadi rekurensi (>60%). Pleurodesis untuk menyebabkan fusi pleura viseralis dan parietalis yang menggunakan tindakan medis (misalnya insersi bleomisin atau talcum ke dalam pleura) atau pembedahan (misalnya abrasi lapisan pleura ) dianjurkan (Ward et al, 2007). 2.4.1.2. Pneumothorax Spontan Sekunder Pneumothorax spontan sekunder dihubungkan dengan penyakit respirasi yang merusak arsitektur paru, paling sering bersifat obstruktif (misalnya penyakit paru obstruktif kronik/PPOK, asma) fibrotik atau infektif (misalnya pneumonia) dan kadang-kadang gangguan langka atau herediter (misalnya sindrom Marfan, Fibrosis kistik). Insidensi SPP meningkat seiring bertambahnya usia dan memberatnya penyakit paru penyebab. Pasien tersebut biasanya perlu dirawat di rumah sakit karena meskipun pneumothorax sekunder kecil, pada pasien dengan cadangan respirasi yang berkurang, dapat terjadi komplikasi yang lebih serius daripada pneumothorax spontan primer besar. Pasien ICU dengan penyakit paru sangat berisiko mengalami pneumothorax primer karena tekanan tinggi (“barotraumas”) dan distensi pada alveolar (“volutrauma”) akibat ventilasi mekanis. Strategis ventilasi “protektif” yang menggunakan ventilasi bertekanan renah, dengan volume terbatas mengurangi risiko tersebut(Ward et al, 2007).
8
2.4.2. Pneumothorax Traumatik Pneumothorax tersebut terjadi setelah trauma toraks tumpul (misalnya kecelakaan lalu lintas) atau tajam (misalnya fraktur iga, luka tusuk) (Ward et al, 2007). Berdasarkan kejadiannya pneumothorax traumatik dibagi 2 jenis yaitu: 2.4.2.1. Pneumothorax traumatik bukan iatrogenik Adalah pneumthorax yang terjadi karena jejas kecelakaan, misalnya jejas pada dinding dada baik terbuka maupun tertutup (Hisyam dan Budiono, 2009). 2.4.2.2. Pneumothorax traumatik iatrogenik Adalah pneumthorax yang terjadi akibat komplikasi dari tindakan medis, pneumthorax jenis inipun masih dibedakan menjadi 2 yaitu:
Pneumothorax
traumatik
iatrogenik
pneumothorax yang terjadi akibat
aksidental,
adalah
tindakan medis karena
kesalahan/komplikasi tindakan tersebut, misalnya pada tindakan parasintesis
dada,
biopsi
pleura,
biopsi
transbronkial,
biopsi/aspirasi paru perkutaneus, kanulasi vena sentral, barotrauma (ventilasi mekanik) (Hisyam dan Budiono, 2009).
Pneumothorax traumatik iatrogenik artifisial (deliberate), adalah pneumothorax yang sengaja dilakukan dengan cara mengisi udara ke dalam rongga pleura melalui jarum dengan suatu alat Maxwell box. Biasanya untuk terapi tuberkulosis (Hisyam dan Budiono, 2009).
Berdasarkan jenis fistulnya pneumothorax dapat dibagi menjadi 3 yaitu: 2.4.3. Pneumothorax Tension Pneumothorax
tension
dapat
menyulitkan
(menjadi
komplikasi)
pneumothorax spontan primer atau pneumothorax sekunder tetapi paling sering terjadi selama
ventilasi
mekanis dan setelah pneumothorax traumatik.
Pneumtohorax tersebut terjadi bila udara menumpuk dalam rongga pleura lebih cepat daripada yang dapat dikeluarkan. Peningkatan tekanan intratoraks
9
menyebabkan aliran balik vena, dan syok yang disebabkan oleh penurunan curah jantung. Keadaan tersebut merupakan kegawatan medis dan fatal jika tidak dihilangkan secara cepat dengan drainase. Deteksi merupakan suatu diagnosis klinis, menunggu konfirmasi foto torkas dapat mengancam jiwa. Drainase segera dengan jarum 14G pada ruang interkosta II di garis mediklavikularis penting dilakukan. “Desis” khas akibat keluarnya gas mengkonfirmasi diagnosis. Drain toraks kemudian dimasukkan (Ward et al, 2007). 2.4.4. Pneumothorax Tertutup (Simple Pneumothorax) Pneumthorax tertutup yaitu suatu pneumthorax dengan tekanan udara di rongga pleura yang sedikit lebih tinggi dibandingkan tekanan pleura pada sisi hemitoraks kontralateral tetapi tekanannya masih lebih rendah dan tekanan atmosfir. Pada jenis ini tidak didapatkan defek atau luka terbuka dari dinding dada (Hisyam dan Budiono, 2009). 2.4.5. Pneumothorax Terbuka (Open Pneumothorax) Pneumothorax terbuka terjadi karena luka terbuka pada dinding dada sehingga pada saat inspirasi udara dapat keluar melalui luka tersebut. Pada saat inspirasi, mediastinum dalam keadaan normal tetapi pada saat ekspirasi mediastinum bergeser kearah sisi dinding dada yang terluka (sucking wound) (Hisyam dan Budiono, 2009). 2.5. Manifestasi Klinis 2.5.1. Keluhan Subyektif Berdasarkan anamnesis, gejala-gejala yang sering muncul adalah: a. Sesak napas, yang didapatkan pada 80-100% pasien b. Nyeri dada, yang didapatkan pada 75-90% pasien c. Lindskog dan Halasz menemukan 69% dari 72 pasien mengalami nyeri dada d. Batuk-batuk, yang didapatkan pada 25-35% pasien
10
e. Tidak menunjukkan gejala (silent) yang terdapat sekitar 5-10% dan biasanya pada pneumthorax sekunder spontan (Hisyam dan Budiono, 2009). Gejala-gejala tersebut dapat berdiri sendiri maupun kombinasi dan menurut Mills dan Luce deajat gangguannya bisa mulai dari asimtomatik atau menimbulkan gangguan ringan sampai berat (Hisyam dan Budiono, 2009). 2.5.2. Pemeriksaan Fisik Suara napas melemah sampai menghilang, fremitus melemah sampai menghilang, resonansi perkusi dapat normal atau meningkat/hipersonor. Pneumothorax ukuran kecil biasanya hanya menimbulkan takikardia ringan dan gejala yang tidak khas. Pada pneumothorax ukuran besar biasanya didapatkan suara napas melemah bahkan sampai menghilang pada aukultasi, fremitus raba menurun dan perkusi hipersonor. Pneumothorax tension dicurigai apabila didapatkan adanya takikardia berat, hipotensi dan pergeseran mediastinum dan trakea (Hisyam dan Budiono, 2009). 2.5.3. Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan foto dada garis pleura viseralis tampak putih, lurus atau cembung terhadap dinding dada dan terpisah dari garis pleura parietalis. Celah antara kedua garis pleura tersebut tampak lusens karena berisi kumpulan udara dan tidak didapatkan corakan vascular pada daerah tersebut. Tension pneumothorax gambaran foto dadanya tampak jumlah udara pada hemitoraks yang cukup besar dan susunan mediastinum yang bergeser ke arah kontralateral (Hisyam dan Budiono, 2009).
11
Gambar 3. Pneumothorax tension pada pemeriksaan foto thoraks Pemeriksaan Computed Tomography (CT-Scan) mungkin diperlukan apabila dengan pemeriksaan foto dada diagnosis belum dapat ditegakkan. Pemeriksaan ini lebih spesifik untuk membedakan antara emfisema bullosa dengan pneumothorax, batas antara udara dengan cairan intra dan ekstrapulmoner serta untuk membedakan antara pneumothorax spontan primer dan sekunder. Sensitivitas pemeriksaan CT-Scan untuk mendiagnosis emfisema subpleura yang bisa menimbulkan pneumothorax spontan primer antara 80-90% (Hisyam dan Budiono, 2009). Pemeriksaan endoskopi (torakoskopi) merupakan pemeriksaan invasive, tetapi memiliki sensitivitas yang lebih besar dibandingkan pemeriksaan CT-Scan. Menurut Swierenga dan Vanderschueren, berdasarkan analisa dari 126 kasus pada tahun 1990, hasil pemeriksaan endoskopi dapat dibagi menjadi 4 derajat yaitu: Derajat I : Pneumothorax dengan gambaran paru yang mendekati normal (40%) Derajat II: Pneumothorax dengan perlengketan diserati hemotorak (12%) Derajat III : Pneumothorax dengan diameter bleb atau bulla 2cm (17%) (Hisyam dan Budiono, 2009). 2.6. Diagnosa Banding Pneumothorax dapat member gejala seperti infark miokard, emboli paru dan pneumonia. Pada pasien muda, tinggi, pria dan perokok jika setelah difoto diketahui ada pneumothorax, umumnya diagnosis kita menjurus ke pneumothorax spontan primer. Pneumothorax spontan sekunder kadang-kadang sulit dibedakan dengan pneumothorax yang terlokalisasi dari suatu bleb atau bulla subpleura (Hisyam dan Budiono, 2009). 2.7. Penatalaksanaan Berdasarkan British Thoracic Society dan American College of Chest Physicians telah memberikan rekomendasi untuk penanganan pnenumothorax. Prinsip-prinsip penanganan pneumothorax: 2.7.1. Observasi dan Pemberian Tambahan Oksigen Observasi dilakukan dalam beberapa hari (minggu) dengan foto dada serial tiap 12-24 jam selama 2 hari bisa dilakukan dengan atau tanpa harus dirawat rumah sakit. Jika pasien dirawat di rumah sakit dianjurkan untuk memberikan tambahan oksigen. Pasien dengan luas pneumothorax kecil unilateral dan stabil, tanpa gejala diperbolehkan berobat jalan dan dalam 2-3 hari pasien harus kontrol lagi (Hisyam dan Budiono, 2009). 2.7.2. Aspirasi dengan Jarum dan Tube Torakostomi Tindakan ini dilakukan seawal mungkin pada pasien pneumothorax yang luasnya >15%. Tindakan ini bertujuan mengeluarkan udara dari rongga pleura (dekompresi). Tindakan dekompresi dapat dilakukan dengan cara : 1). Menusukkan jarum melalui dinding dada sampai masuk rongga pleura, sehingga tekanan udara positif akan keluar melalui jarum tersebut. 2). Membuat hubungan dengan udara luar melalui saluran kontra ventil, yaitu dengan: a. Jarum infus set ditusukkan ke dinding dada sampai masuk rongga pleura, kemudian ujuang pipa plastic di pangkal saringan tetesan dipotong dan dimasukkan ke dalam botol berisi air kemudian klem
13
dibuka, maka akan timbul gelembung-gelembung udara didalam botol b. Jarum abbocath no.14 ditusukkan ke rongga pleura dan setelah mandarin dicabut, dihubungkan dengan pipa infus set, selanjutnya dikerjakan seperti (a) c. Water Sealed Drainage (WSD): pipa khusus (kateter urine) yang steril dimasukkan ke rongga pleura dengan perantaraan trokar atau klem penjepit (Hisyam dan Budiono, 2009).
Gambar 4. Penanganan dengan melakukan Water Sealed Drainage (WSD) Menurut Asril penatalaksaan pneumothorax spontan dibagi dalam:
Pneumothorax spontan primer, terjadi pada usia muda dengan fungsi paru normal, maka akan sembuh sendiri. Evaluasi selanjutnya
perlu
berhati-hati
sampai
pengembangan
paru
sempurna. Pneumothorax spontan primer ukuran besar, bila pada aspirasi pipa kecil tidak mengembang dalam 24-48 jam, perlu dipasang pipa interkostal besar, dengan Water Sealed Drainage
14
(WSD) atau pengisapan secara perlahan-lahan memakai katup flutter (continuous suction). Bila paru sudah mengembang, biarkan pipa rongga pleura di tempatnya dengan diklem alirannya dan dievaluasi selama 24 jam. Apabila udara masih menetap dalam rongga pleura selama 1 minggu, perlu dilakukan torakotomi (Hisyam dan Budiono, 2009).
Pneumothorax spontan sekunder: sebelum melakukan pemasangan pipa rongga pleura, perlu diyakini lagi adanya pneumothorax pada pasien-pasien emfisema, karena tindakan tersebut dapat berakibat fatal. Pengeluaran udara biasanya secara terus-menerus (continuous suction) sampai beberapa hari hingga fistula bronkopleura (Broncho
Pleural
Fistel=BPF)
menghilang.
Bila
gagal
mengembang sempurna, dapat dipasang pipa rongga pleura kedua dan bila gagal juga mengembang setelah 1 minggu, perlu operasi torakotomi (Hisyam dan Budiono, 2009). 2.7.3. Torakoskopi Torakoskopi adalah suatu tindakan untuk melihat langsung ke dalam rongga toraks dengan alat bantu torakoskop (Hisyam dan Budiono, 2009). Torakoskopi yang dipandu dengan video (Video Assited Thoracoscopy Surgery = VATS) memberikan kenyamanan dan keamanan baik bagi operator maupun pasiennya karena akan diperoleh lapangan pandang yang lebih luas dan gambar yang lebih bagus. Tindakan ini sangat efektif dalam penangan Pneumothorax spontan primer dan mencegah berulangnya kembali. Dengan prosedur ini dapat dilakukan untuk pleurodesis (Hisyam dan Budiono, 2009). Tindakan ini dilakukan apabila:
Tindakan aspirasi maupun WSD gagal
Paru tidak mengembang setelah 3 hari pemasangan tube torakostomi
Terjadinya fistula bronkopleura
Timbulnya kembali pneumothorax setelah tindakan pleurodesis
15
Pada pasien yang berkaitan dengan pekerjaannya agar tidak mudah kambuh kembali seperti pada pilot dan penyelam (Hisyam dan Budiono, 2009).
2.7.4. Torakotomi Tindakan pembedahan ini indikasinya hampir sama dengan torakoskopi. Tindakan ini dilakukan jika dengan torakoskopi gagal atau jika bleb atau bulla terdapat di apek paru, maka tindakan torakotomi ini efektif untuk reseksi bleb atau bulla tersebut (Hisyam dan Budiono, 2009). 2.8.
Komplikasi Pneumothorax tension (terjadi pada 3-5% pasien pneumothorax), dapat
mengakibatkan
kegagalan
respirasi
akut,
pio-pneumothorax,
hidro-
pneumothorax/hemo-pneumothorax, henti jantung paru dan kematian (sangat jarang terjadi); pneumomediastinum dan emfisema subkutan sebagai akibat komplikasi pneumthorax spontan, biasanya karena pecahnya esophagus atau bronkus, sehingga kelainan tersebut ditegakkan (insidensinya sekitar 1%), pneumothorax simultan bilateral, insidensinya sekitar 2%, pneumothorax kronik, bila tetap ada selama waktu lebih dari 3 bulan, insidensinya sekitar 5% (Hisyam dan Budiono, 2009). 2.9.
Prognosis Pasien dengan pneumothorax spontan hampir separuhnya akan mengalami
kekambuhan, setelah sembuh dari observasi maupun setelah pemasangan tube thoracostomy. Kekambuhan jarang terjadi pada pasien-pasien pneumthorax yang dilakukan torakotomi terbuka. Pasien-pasien yang penatalaksanaanya cukup baik, umumnya tidak dijumpai komplikasi (Hisyam dan Budiono, 2009).
BAB 3 PENUTUP 3.1. Kesimpulan Pneumothorax adalah suatu keadaan terdapatnya udara atau gas di dalam pleura yang menyebabkan kolapsnya paru. Pneumothorax memiliki beberapa klasifikasi baik berdasarkan dari penyebab dan berdasarkan jenis fistulanya. Diagnosa pneumothorax berdasarkan manifestasi klinik dilihat dari gejalagejala
yang dikeluhkan pasien pneumothorax, pemeriksaan klinik dan
pemeriksaan penunjang yang dilihat dari pemeriksaan foto toraks, CT-scan dan pemeriksaaan lainnya yang dinilai adalah terdapat bulla dan luas permukaan terjadi pneumthorax. Pentalaksaan peneumthorax adalah dengan observasi dengan memberikan oksigen dan pemasangan WSD,torakoskopi dan torakotomi. Sehingga pasien tidak terjadi komplikasi dan memiliki prognosis yang baik. 3.2. Saran Pneumothorax harus ditangani lebih serius, dimana harus mengetahui gejala-gejala, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang pneumothorax baik berdasarkan penyebabnya, dan fistulanya. Penanganan harus memiliki terampil untuk melakukan pemasangan WSD. Pneumothorax jika tidak ditangani lebih serius akan terjadi komplikasi sehingga akan memperberat pasien itu sendiri, terutama pada kasus kecelakaan. Umumnya pneumothorax terjadi setelah pasien mengalami kecelakaan. Dan paling sering terjadi adalah pneumothorax tension yang merupakan kasus paling banyak yang terjadi. Oleh karena itu, sebagai dokter umum juga harus terampil dalam penanganan untuk pemasangan WSD karena untuk menyelamatkan jiwa pasien.
16
DAFTAR PUSTAKA Amita, R.A., 2012. Pneumothorax. Referat.Makassar.Bagian Radiologi Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Makassar. Guyton,A.C.,Hall,J.E.,2007.Buku 11.Jakarta:EGC.hal 495-496
Ajar
Fisiologi
Kedokteran.Edisi
Henry,M.,et al.,2003. BTS guidelines for the management of spontaneous pneumothorax.Thorax 2003;58(Suppl II):ii39-ii52.Available from: www.thoraxjnl.com {Accesed 30 Agustus 2013} Hisyam,Barmawi., dan Budiono, Eko., 2009. Pneumotoraks Spontan. in Sudoyo AW,Setiyohadi B, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 3. Edisi ke-4. internal publising FK UI. hal.,: internal publising FK UI. hal. 2339-2346 (Jakarta 2009). Punarwarba,I.W.A., dan Suarjaya,P.P., 2013. Identifikasi Awal dan Bantuan Hidup Dasar Pada Pneumothoraks. Bagian/SMF Ilmu Anestesiologi dan Terapi Intensif, Fakultas Kedokteran,Universitas Udayana/Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar. Sharma,Anita., Jindal, Parul., 2008. Principles of Diagnosis and Management of Traumatic Pneumothorax. Journal of Emergencies, Trauma and Shock,1:1,January-June 2008. Avalaible from: www.onlinejets.org {Accesed 30 Agustus 2013} Ward, J.P.T.,Ward ,J., Leach, R.M., Wiener, C.M., 2007. At a Glance Sistem Respirasi. Edisi ke-2. Jakarta:EGC.
17
View more...
Comments