PJB Tetralogi Of Fallot
November 8, 2018 | Author: Nisia Rinayu | Category: N/A
Short Description
PJB sianotik Tetralogi of Fallot...
Description
Tinjauan Pustaka
TETRALOGI OF FALLOT
Oleh: Nisia Putri Rinayu (H1A007046)
Pembimbing: dr. H. Abdul Razak Dalimunthe, Sp.A
DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA DI BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN ANAK RSU PROPINSI NTB FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MATARAM 2013
TINJAUAN PUSTAKA
A. Penyakit Jantung Bawaan 1. Definisi
Penyakit jantung bawaan (PJB) adalah: Kelainan struktural jantung yang kemungkinan terjadi sejak lahir atau beberapa waktu setelah bayi dilahirkan (Wishnu,W. 2006). Secara garis besar penyakit jantung bawaan dibagi 2 kelompok, yaitu penyakit jantung bawaan sianotik dan penyakit jantung bawaan nonsianotik. Penyakit jantung bawaan sianotik ditandai oleh adanya sianosis sentral akibat adanya pirau kanan ke kiri, sebagai contoh tetralogi Fallot, transposisi arteri besar, atresia tricuspid (Djer,M, 2000). Penyakit jantung bawaan asianotik adalah penyakit jantung bawaan dengan tidak ditemukan gejala atau tanda sianosis. Bergantung ada dan tidaknya pirau, kelompok ini dapat dibagi menjadi (Wishnu,W. 2006) :
Penyakit jantung bawaan asianotik dengan pirau kiri ke kanan, yakni defek septum ventrikel,defek septum atrium,
defek septum atrioventrikularis, duktus arteriosus
persisten.
Penyakit jantung bawaan asianotik tanpa pirau, yaitu stenosis pulmonal, stenosis aorta, serta koarktasio aorta.
2. Epidemiologi
Pada 3069 orang bayi baru lahir yang dipelajari terdiri dari 55,7% laki- laki dan 44,3% perempuan, 28 (9,1 per-1000) bayi mempun yai PJB. Patent Ductus Arteriosus (PDA) ditemukan pada 12 orang bayi (42,9%), 6 diantaranya bayi prematur. Ventricular Septal Defect (VSD) ditemukan pada 8 bayi (28,6%), Atrial Septal Defect (ASD) pada 3 bayi (19,7%), Complete Atrio Ventricular Septal Defect (CAVSD) pada 3,6 % bayi, dan kelainan katup jantung pada bayi yang mempunyai penyakit jantung sianotik (10,7%), satu bayi Transposition of Great Arteries (TGA), dua lain dengan kelainan jantung kompleks sindrom sianotik. Insiden retardasi pertumbuhan pada PJB pertama kali dilaporkan oleh Mehrizi dan Drash pada tahun 1962 dikutip oleh Sastroasmoro dan Soeroso. Analisa yang dilakukan terhadap 890
penderita PJB menunjukkan bahwa 52 % penderita berada dibawah 16 persentil untuk tinggi badan dan 55 % dibawah 16 persentil untuk berat badan.Sebanyak 27 % PJB berada dibawah 3 persentil untuk tinggi badan dan berat badan (Wishnu,W. 2006). Penelitian di Surabaya tahun 2001 pada 96 anak PJB berdasarkan baku median WHO NCHS, pada kelompok PJB asianotik didapatkan 23 % gizi buruk, 56 % gizi kurang, dan 21 % gizi baik. Perbandingan status gizi antara PJB asianotik disertai dan tanpa disertai gagal jantung: berdasarkan BB/U, PB/U dan BB/PB: didapatkan hasil berbeda bermakna (Wishnu,W. 2006).
3. Etiologi
Pada sebagian besar kasus, penyebab PJB tidak diketahui. Berbagai jenis obat, penyakit ibu, pajanan terhadap sinar Rontgen, diduga merupakan penyebab eksogen penyakit jantung bawaan. Penyakit rubela yang diderita ibu pada awal kehamilan dapat menyebabkan PJB pada bayi. Di samping faktor eksogen terdapat pula faktor endogen yang berhubungan dengan kejadian PJB. Berbagai jenis penyakit genetik dan sindrom tertentu erat berkaitan dengan kejadian PJB seperti sindrom Down, Turner, dan lain-lain (Djer,M, 2000).
4. Manifestasi Klinik
Gangguan hemodinamik akibat kelainan jantung dapat memberikan gejala yang menggambarkan derajat kelainan. Adanya gangguan pertumbuhan, sianosis, berkurangnya toleransi latihan, kekerapan infeksi saluran napas berulang, dan terdengarnya bising jantung, dapat merupakan petunjuk awal terdapatnya kelainan jantung pada seorang bayi atau anak (Djer,M, 2000). a. Gangguan pertumbuhan. Pada PJB nonsianotik dengan pirau kiri ke kanan, gangguan pertumbuhan timbul akibat berkurangnya curah jantung. Pada PJB sianotik, gangguan pertumbuhan timbul akibat hipoksemia kronis. Gangguan pertumbuhan ini juga dapat timbul akibat gagal jantung kronis pada pasien PJB.
b. Sianosis Sianosis timbul akibat saturasi darah yang menuju sistemik rendah. Sianosis mudah dilihat pada selaput lendir
mulut, bukan di sekitar mulut. Sianosis akibat kelainan
jantung ini (sianosis sentral) perlu dibedakan pada sianosis perifer yang sering didapatkan pada anak yang kedinginan. Sianosis perifer lebih jelas terlihat pada ujung ujung jari. c. Toleransi latihan Toleransi latihan merupakan petunjuk klinis yang baik untuk menggambarkan status kompensasi jantung ataupun derajat kelainan jantung. Pasien gagal jantung selalu menunjukkan toleransi latihan berkurang. Gangguan toleransi latihan dapat ditanyakan pada orangtua dengan membandingkan pasien dengan anak sebaya, apakah pasien cepat lelah, napas menjadi cepat setelah melakukan aktivitas yang biasa, atau sesak napas dalam keadaan istirahat. Pada bayi dapat ditanyakan saat bayi menetek. Apakah ia hanya mampu minum dalam jumlah sedikit, sering beristirahat, sesak waktu mengisap, dan berkeringat banyak. Pada anak yang lebih besar ditanyakan kemampuannya berjalan, berlari atau naik tangga. Pada pasien tertentu seperti pada tetralogi Fallot anak sering jongkok setelah lelah berjalan. d. Infeksi saluran napas berulang Gejala ini timbul akibat meningkatnya aliran darah ke paru sehingga mengganggu sistem pertahanan paru. Sering pasien dirujuk ke ahli jantung anak karena anak sering menderita demam, batuk dan pilek. Sebaliknya tidak sedikit pasien PJB yang sebelumnya sudah diobati sebagai tuberkulosis sebelum dirujuk ke ahli jantung an ak. e. Bising jantung Terdengarnya bising jantung merupakan tanda penting dalam menentukan penyakit jantung bawaan. Bahkan kadang-kadang tanda ini yang merupakan alasan anak dirujuk untuk dilakukan pemeriksaan lebih lanjut. Lokasi bising, derajat serta penjalarannya dapat menentukan jenis kelainan jantung. Namun tidak terdengarnya bising jantung pada pemeriksaan fisis, tidak menyingkirkan adanya kelainan jantung bawaan. Jika pasien diduga menderita kelainan jantung, sebaiknya dilakukan pemeriksaan penunjang untuk memastikan diagnosis.
5. Diagnosis
Diagnosis
penyakit
jantung
bawaan
ditegakkan
berdasarkan
pada
anamnesis,
pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang dasar serta lanjutan. Pemeriksaan penunjang dasar yang penting untuk penyakit jantung bawaan adalah foto rontgen dada, elektrokardiografi, dan pemeriksaan laboratorium rutin. Pemeriksaan lanjutan (untuk penyakit jantung bawaan) mencakup ekokardiografi dan kateterisasi jantung (Djer,M, 2000). Kombinasi ke dua pemeriksaan lanjutan tersebut untuk visualisasi dan konfirmasi morfologi dan patologi anatomi masing-masing jenis penyakit jantung bawaan memungkinkan ketepatan diagnosis mendekati seratus persen. Kemajuan teknologi di bidang diagnostik kardiovaskular dalam dekade terakhir menyebabkan pergeseran persentase angka kejadian beberapa jenis penyakit jantung bawaan tertentu. Hal ini tampak jelas pada defek septum atrium dan transposisi arteri besar yang makin sering dideteksi lebih awal (Djer,M, 2000). Tingginya akurasi pemeriksaan ekokardiografi, membuat pemeriksaan kateterisasi pada tahun 1980 menurun drastis. Sarana diagnostik lain terus berkembang, misalnya digital substraction angiocardiography, ekokardiografi transesofageal, dan ekokardiografi intravaskular. Sarana diagnostik utama yang baru adalah magnetic resonance imaging, sarana pemeriksaan ini akan merupakan andalan di masa mendatang (Djer,M, 2000).
6. Tatalaksana Penyakit Jantung Bawaan
Dengan berkembangnya ilmu kardiologi anak, banyak pasien dengan penyakit jantung bawaan dapat diselamatkan dan mempunyai nilai harapan hidup yang lebih panjang. Umumnya tata laksana penyakit jantung bawaan meliputi tata laksana non-bedah dan tata laksana bedah. Tata laksana non-bedah meliputi tata laksana medikamentosa dan kardiologi intervensi (Djer,M, 2000). Tata laksana medikamentosa umumnya bersifat sekunder sebagai akibat komplikasi dari penyakit jantungnya sendiri atau akibat adanya kelainan lain yang menyertai. Dalam hal ini tujuan terapi medikamentosa untuk menghilangkan gejala dan tanda disamping untuk
mempersiapkan operasi. Lama dan cara pemberian obat-obatan tergantung pada jenis penyakit yang dihadapi (Djer,M, 2000).
7. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada penyakit jantung bawaan antara lain (Djer,M, 2000): a. Sindrom Eisenmenger Komplikasi ini terjadi pada PJB non-sianotik yang menyebabkan aliran darah ke paru yang meningkat. Akibatnya lama kelamaan pembuluh kapiler di paru akan bereaksi dengan meningkatkan resistensinya sehingga tekanan di arteri pulmonal dan di ventrikel kanan meningkat. Jika tekanan di ventrikel kanan melebihi tekanan di ventrikel kiri maka terjadi pirau terbalik dari kanan ke kiri sehingga anak mulai sianosis. Tindakan bedah sebaiknya dilakukan sebelum timbul komplikasi ini. b. Serangan sianotik Komplikasi ini terjadi pada PJB sianotik. Pada saat serangan anak menjadi lebih biru dari kondisi sebelumnya, tampak sesak bahkan dapat timbul kejang. Kalau tidak cepat ditanggulangi dapat menimbulkan kematian. c. Abses otak Abses otak biasanya terjadi pada PJB sianotik. Biasanya abses otak terjadi pada anak yang berusia di atas 2 tahun. Kelainan ini diakibatkan adanya hipoksia dan melambatnya aliran darah di otak. Anak biasanya datang dengan kejang dan terdapat defisit neurologis.
B. Tetralogi Of Fallot 1. Definisi
Tetralogi Fallot adalah penyakit jantung bawaan tipe sianotik. Kelainan yang terjadi adalah kelainan pertumbuhan dimana terjadi defek atau lubang dari bagian infundibulum septum intraventrikular (sekat antara rongga ventrikel) dengan syarat defek tersebut paling sedikit sama besar dengan lubang aorta. Sebagai konsekuensinya, didapatkan adanya empat kelainan anatomi sebagai berikut (Sadler, 2000) : a. Defek Septum Ventrikel (VSD) yaitu lubang pada sekat antara kedua rongga ventrikel
Gambar 1. VSD b. Stenosis pulmonal terjadi karena penyempitan klep pembuluh darah yang keluar dari bilik kanan menuju paru, bagian otot dibawah klep juga menebal dan menimbulkan penyempitan
Gambar 2. Stenosis Pulmonal
c. Aorta overriding dimana pembuluh darah utama yang keluar dari ventrikel kiri mengangkang sekat bilik, sehingga seolah-olah sebagian aorta keluar dari bilik kanan d. Hipertrofi ventrikel kanan atau penebalan otot di ventrikel kanan karena peningkatan tekanan di ventrikel kanan akibat dari stenosis pulmonal
Gambar 3. Tetralogi of fallot
2. Patofisiologi
Mulai akhir minggu ketiga sampai minggu keempat kehidupan intrauterine, trunkus arteriosus terbagi menjadi aorta dan arteri pulmonalis. Pembagian berlangsung sedemikian, sehingga terjadi perputaran seperti spiral, dan akhirnya aorta akan berasal dari posterolateral sedangkan pangkal arteri pulmonalis terletak antero-medial. Septum yang membagi trunkus menjadi aorta dan arteri pulmonalis kelak akan bersama sama dengan endokardial cushion serta bagian membrane septum ventrikel, menutup foramen interventrikel. Pembagian ventrikel tunggal menjadi ventrikel kanan dan kiri terjadi antara minggu ke 4 dan minggu ke 8 (Underwood, J. C. E. 2000). Kesalahan dalam pembagian trunkus dapat berakibat letak aorta yang abnormal (over riding), timbulnya infundibulum yang berlebihan pada jalan keluar ventrikel kanan, serta terdapatnya defek septum ventrikel karena septum dari trunkus yang gagal berpartisipasi dalam
penutupan foramen interventrikel. Dengan demikian dalam bentuknya yang klasik, akan terdapat 4 kelainan, yaitu defek septum ventrikel yang besar, stenosis infundibular, dekstroposisi pangkal aorta dan hipertrofi ventrikel kanan (Underwood, J. C. E. 2000). Kelainan anatomi ini bervariasi luas, sehingga menyebabkan luasnya variasi patofisiologi penyakit. Secara anatomis tetralogi fallot terdiri dari septum ventrikel subaortik yang besar dan stenosis pulmonal infundibular. Terdapatnya dekstroposisi aorta dan hipertrofi ventrikel kanan adalah akibat dari kedua kelainan terdahulu. Derajat hipertrofi ventrikel kanan yang timbul bergantung pada derajat stenosis pulmonal. Pada 50% kasus stenosis pulmonal hanya infundibular, pada 10-25% kasus kombinasi infundibular dan valvular, dan 10% kasus hanya stenosis valvular. Selebihnya ialah stenosis pulmonal perifer (Underwood, J. C. E. 2000). Dekstroposisi pangkal aorta (overriding aorta) bukan merupakan condition sine qua non untuk penyakit ini. Hubungan letak aorta dan arteri pulmonalis masih di tempat yang normal, over riding aorta terjadi karena pangkal aorta berpindah kearah anterior mengarah ke septum. Derajat over riding ini lebih mudah ditentukan secara angiografis daripada waktu pembedahan atau autopsy. Klasifikasi over riding menurut Kjellberg : (Staf IKA, 2007) 1. Tidak terdapat over riding aorta bila sumbu aorta desenden mengarah ke belakang ventrikel kiri 2. Pada over riding 25% sumbu aorta ascenden kea rah ventrikel sehingga lebih kurang 25% orifisium aorta menghadap ke ventrikel kanan 3. Pada over riding 50% sumbu aorta mengarah ke septum sehingga 50% orifisium aorta menghadap ventrikel kanan 4. Pada over riding 75% sumbu aorta asdenden mengarah ke depan ventrikel kanan, septum sering berbentuk konveks ke arah ventrikel kiri, aorta sangat melebar, sedangkan ventrikel kanan berongga sempit Derajat over riding ini bersama dengan defek septum ventrikel dan derajat stenosis menentukan besarnya pirau kanan ke kiri. Juga sangat menentukan sikap pada waktu pembedahan. Arkus aorta yang berada di sebelah kanan disertai knob aorta dan aorta descenden di kanan terdapat pada 25% kasus. Pada keadaan ini arteria subklavia kiri yang berpangkal di hemithorax kanan biasanya menyilang di depan esophagus, kadang disertai arkus ganda. Pada tetralogi fallot dapat terjadi kelainan arteri koronaria. Arteri koronaria yang letaknya tidak
normal ini bila terpotong waktu operasi dapat berakibat fatal. Sirkulasi kolateral di paru pada tetralogi fallot yang terbentuk tergantung pada kurangnya aliran darah ke paru. Pembuluh kolateral berasal dari cabang cabang arteria bronkialis. Pada keadaan tertentu jumlah kolateral sedemikian hebat sehingga menyulitkan tindakan bedah. Pembuluh kolateral tersebut harus diikat sebelum dilakukan pintasan kardiopulmonal (Underwood, J. C. E. 2000).
Gambar 4. Patofisiologi Tetralogy of Fallot
Pengembalian vena sistemik ke atrium kanan dan ventrikel kanan berlangsung normal. Ketika ventrikel kanan menguncup, dan menghadapi stenosis pulmonalis, maka darah akan dipintaskan melewati cacat septum ventrikel tersebut ke dalam aorta. Akibatnya terjadi ketidak jenuhan darah arteri dan sianosis menetap. Aliran darah paru paru, jika dibatasi hebat oleh obstruksi aliran keluar ventrikel kanan, dapat memperoleh pertambahan dari sirkulasi kolateral bronkus dan kadang dari duktus arteriosus menetap (Underwood, J. C. E. 2000).
3. Manifestasi Klinis
Gambaran klinis sering khas. Karena aorta menerima darah yang kaya oksigen dari ventrikel kiri dan yang tanpa oksigen dari ventrikel kanan, maka terjadilah sianosis. Stenosis pulmonalis membatasi aliran darah dari ventrikel kanan ke dalam paru-paru dan apabila ini berat, untuk kelangsungan hidupnya hanya mungkin apabila duktus arteriosus tetap terbuka. Bising sistolik diakibatkan baik oleh defek septum ventrikuler atau, bila berat, stenosis pulmonalis. Seperti juga pada seluruh penderita yang hipoksia, konsentrasi hemoglobin menunjukkan kenaikan. Gagal jantung kanan tidak dapat dihindari dan endokarditis bakterialis akan terjadi. Anak yang menderita dispnea akibat tetralogi fallot kadang-kadang mempunyai posisi tubuh yang khas akibat penyesuaian, dimana kedua kaki diletakkan berdekatan dengan sendi paha, atau duduk dengan posisi “kaki-dada”. Keadaan ini akan meningkatkan aliran balik vena dari tungkai bawah atau, lebih spekulatif, untuk mengurangi perfusi arteri perifer, yang karenanya akan meningkatkan aliran melalui duktus arteriosus atau defek septum ventrikuler ke sirkulasi sebelah kanan. Sebelum ada pengobatan operasi yang maju, sebagian besar penderita akan meninggal dunia (Underwood, 2000). Serangan serangan dispnea paroksismal (serangan serangan anoksia “biru”) terutama merupakan masalah selama 2 tahun pertama kehidupan penderita. Bayi tersebut menjadi dispneis dan gelisah, sianosis yang terjadi bertambah hebat, penderita mulai sulit bernapas dan disusul dengan terjadinya sinkop. Serangan serangan demikian paling sering terjadi pada pagi hari. Serangan serangan tersebut dapat berlangsung dari beberapa menit hingga beberapa jam dan kadang kadang berakibat fatal. Episode serangan pendek diikuti oleh kelemahan menyeluruh dan penderita akan tertidur. Sedangkan serangan serangan berat dapat berkembang menuju ketidaksadaran dan kadang kadang menuju kejang kejang atau hemiparesis. Awitan serangan
biasanya terjadi secara spontan dan tidak terduga. Serangan yang terjadi itu mempunyai kaitan dengan penurunan aliran darah pulmonal yang memang mengalami gangguan sebelumnya, yang berakibat terjadinya hipoksia dan asidosis metabolis (Mansjoer, 2000).
4. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaaan penunjang untuk penyakit tetralogi fallot adalah sebagai berikut: (Mansjoer, 2000)
Pemeriksaan laboratorium Ditemukan adanya peningkatan hemoglobin (Hb) dan hematokrit (Ht) akibat saturasi oksigen yang rendah. Pada umumnya hemoglobin dipertahankan 16-18 gr/dl dan hematokrit antara 50-65 %. Nilai BGA menunjukkan peningkatan tekanan partial karbondioksida (PCO2), penurunan tekanan parsial oksigen (PO2) dan penurunan PH. Pasien dengan Hb dan Ht normal atau rendah mungkin menderita defisiensi besi.
Radiologis Sinar X pada thoraks menunjukkan penurunan aliran darah pulmonal, tidak ada pembesaran jantung. Gambaran khas jantung tampak apeks jantung terangkat sehingga seperti sepatu.
Elektrokardiogram Pada EKG sumbu QRS hampir selalu berdeviasi ke kanan. Tampak pula hipertrofi ventrikel kanan. Pada anak besar dijumpai P pulmonal.
Ekokardiografi Memperlihatkan dilatasi aorta, overriding aorta dengan dilatasi ventrikel kanan,penurunan ukuran arteri pulmonalis & penurunan aliran darah ke paru-paru.
Kateterisasi Diperlukan sebelum tindakan pembedahan
untuk mengetahui defek septum ventrikel
multiple, mendeteksi kelainan arteri koronari dan mendeteksi stenosis pulmonal perifer. Mendeteksi adanya penurunan saturasi oksigen, peningkatan tekanan ventrikel kanan, dengan tekanan pulmonalis normal atau rendah.
5. Pengobatan
Walaupun hampir semua pasien tetralogi memerlukan tindakan bedah, namun terapi konservatif
tidak
boleh
diabaikan
sebelum
pembedahan
dilakukan.
Pencegahan
dan
penanggulangan dehidrasi sangat penting untuk menghindari hemokonsentrasi yang berlebihan serta trombosis. Pengobatan akut serangan sianotik meliputi: (Staf IKA, 2007)
Meletakan pasien dalam posisi menungging (knee chest position), sambil mengamati bahwa pakaian yang melekat tidak sempit
Pemberian O2
Koreksi asidosis metabolik dengan NaHCO3
Pemberian propanolol 0,1 mg/kgBB intra vena
Pemberian morfin subkutan atau IV 0,1 mg/kgBB
Pemulihan akan berlangsung dengan cepat, demikian pula pH nya kembali kepada keadaan normal. Pengukuran pH darah yang berulang diperlukan, karena kekambuhan asidosis sering ditemukan. Untuk mencegah terulangnya serangan sianotik diberikan propanolol per oral 1-2 mg/kgBB/hari dibagi dalam 2 dosis, dengan hasil yang sangat baik pada beberapa penderita dengan serangan hebat, terutama yang disertai takikardi. Serangan sianotik lebih sering terjadi pada pasien dengan anemia, maka bila terdapat anemia relatif akibat defisiensi besi perlu diberikan preparat besi sampai kadar hemoglobin mencapai 16-18 g/dl dan hematokrit 55-65% (Staf IKA, 2007). Tindakan Bedah Merupakan suatu keharusan bagi semua penderita tetralogi fallot. Pada bayi dengan sianosis yang jelas, sering pertama-tama dilakukan operasi pintasan (BTS=Blalock-Taussig Shunt) (Bhimjir, 2012). Koleksi total dengan menutup VSD seluruhnya dan melebarkan stenosis pulmonal pada waktu ini sudah mungkin dilakukan. Umur optimal untuk koreksi total pada saat ini adalah 7-10 tahun. Walaupun kemajuan telah banyak dicapai, namun sampai sekarang operasi semacam ini lalu disertai resiko besar (Staf IKA, 2007).
Gambar 5. BT Shunt
6. Prognosis
Tanpa operasi prognosis tidak baik. Rata-rata mencapai umur 15 tahun, tetapi semua ini bergantung kepada besar kelainan. Ancaman pada anak dengan tetralogi fallot adalah abses otak pada umur sekitar 2-3 tahun. Gejala neurologis disertai demam dan leukositosis memberikan kecurigaan akan adanya abses otak. Jika pada bayi dengan tetralogi fallot terdapat gangguan neurologis, maka cenderung untuk diagnosis trombosis pembuluh darah otak daripada abses otak. Anak dengan tetralogi fallot cenderung untuk menderita perdarahan banyak,
karena
mengurangnya
trombosit
dan
endokarditis bakterialis selalu ada (Staf IKA, 2007).
fibrinogen.
Kemungkinan
timbulnya
DAFTAR PUSTAKA
Bhimjir,
Shabir.
2012.
Tetralogy
Of
Fallot .
Diunduh
dari
http://emedicine.medscape.com/article/2035949. Djer,M, Madiyono, B. 2000. Tatalaksana Penyakit Jantung Bawaan, Sari Pediatri, Vol. 2, No. 3, Desember P 155 – 162 Leitch CA. 2000. Growth, nutrition and energy expenditure in pediatric heart failure. Progres in pediatric cardiology. 195-202. Sadler, T.W. 2000. Embriologi Kedokteran Langman. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Sastrosubroto H, Soeroso S, Priyatno A.Kardiologi. 2000 Dalam:Hartantyo I, Susanto R, Tamam M, Kosim HMS, Irawan PW, Wastoro D (penyunting). Pedoman pelayanan medik anak. Edisi kedua. Semarang: Bagian IKA FK UNDIP/SMF kesehatan anak RSDK, P 107-12. Soeroso S. 1999. Tumbuh kembang anak dengan penyakit jantung bawaan. Dalam Firmansyah A,Sastroasmoro S, Trihono PP, Pujiadi A, Tridjaja B, Mulya GP dkk (penyunting). Buku naskah lengkap KONIKA IX.Jakarta :IDAI Pusat, P 445 -59. Soetjiningsih. 1995. Tumbuh Kembang Anak . Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FK UI. 2007. Ilmu Kesehatan Anak jilid 2. Jakarta: Infomedika.
View more...
Comments