Perspektif Teori Postmodern Terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer

April 8, 2017 | Author: Umi Salamah | Category: N/A
Share Embed Donate


Short Description

Download Perspektif Teori Postmodern Terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer...

Description

PERSPEKTIF TEORI POSTMODERN TERHADAP PROBLEMA SOSIAL POLITIK KONTEMPORER Penulis : Umi Salamah Pengantar: 1. Prof. Dr. Wahyudi Winaryo, M.Si 2. Prof. Dr. Wahyudi Siswanto, M.Pd Ilustrasi Gambar dan Sampul : Wibisono Diterbitkan oleh : Penerbit KAFNUN Anggota IKAPI No. ………................. Alamat : ……………………………………… ………………………………………. ………………………………………. Cetakan Pertama, November 2015 Ukuran : 15 x 21 cm Jumlah : xvii + 175 halaman ISBN : …………………………………………. Ketentuan Sanksi Pelanggaran Pasal 72: Undang-Undang Nomer 19 Tahun 2002 tentang Perubahan Undang-Undang Nomer 12 Tahun 1997 tentang Hak Cipta

Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer

2

Moto: Bukan ilmu pengetahuan yang membuat kerusakan

dan

ketidakseimbangan

kemiskinan,

tetapi

akal

dalam

budi

menerapkannya. Untuk

mencapai

perdamaian

dan

kemakmuran akal budi harus seimbang. Jangan mendidik dengan akal saja, nanti hanya bisa akal-akalan, bekali juga budi pekerti yang sesuai agar menjadi pribadi arif, pencerah peradaban.

Kuwariskan buku ini kepada: Generasiku, mahasiswaku, dan pembaca yang mencintai ilmu dan kebenaran.

Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer

3

SEKAPUR SIRIH Promotor

Puji syukur kepada Tuhan Yang Mahakuasa dan Mahakasih,

yang

telah

memberikan

spirit

bagi

diterbitkannya buku yang berjudul: Perspektif Teori Posmodern

terhadap

Problema

Sosial-Politik

Kontemporer. Perasaan bangga dan bahagia tercurahkan kepada Ibu Umi, yang dalam kesibukan penulisan penelitian disertasi, masih mampu menuangkan hasrat akademiknya ke dalam karya tulisan ilmiah ini. Meskipun harus diakui masih terdapat

beberapa

epistemologis,

kelemahan

dalam

penjelasan

namun karya ini tetap saja mempunyai

makna akademik yang signifikan. Lebih baik pernah menuliskan gagasannya ke dalam karya tulisan meski belum sempurna, daripada tidak pernah berbuat sama sekali. Tidak ada sesuatu yang sempurna di dunia ini, no one perfect, termasuk di dalamnya karya buku ini. Buku yang bergenre posmo ini merupakan hasil dekonstruksi dan rekonstruksi Sang Penulis terhadap beberapa perspektif posmodern yang dikontekstualisasikan dengan realita di Indonesia. Meskipun buku ini tidak mewakili seluruh gagasan posmodern, namun karya ilmiah Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer

4

ini patut menjadi dukungan bacaan bagi siapa saja yang bermaksud mendalami pemikiran-pemikiran posmodernism, khususnya yang ditautkan dengan dinamika persoalan sosial politik kontemporer di Indonesia. Mempelajari, mengkaji, mendalami, dan merenungi teori posmodern adalah sesuaatu yang menggairahkana. Kita akan terbuai mimpi, terbawa obsesi, dan terdorong untuk bersikap dan/atau berperilaku yang praksis-emansipatoris sebagaimana digagas oleh Karl Marx ataupun kaum Marxian umumnya. Namun lacur apa yang mau dikata, arena kehidupan modern seperti yang kita alami bersama ini, telah menggurita habis-habis-an sisi humanitas kita. Seolah tiada lagi lubang sekecil apapun untuk kita bisa keluar dari jebakan modernitas si biang persoalan kehidupan itu. Sang Powerless tidak pernah bisa menjadi aktor bagi dirinya. Mereka tersubordinasi, terkooptasi, tereksploitasi, terhegemoni, terkomodifikasi, teralienasi, dan terjajah oleh Sang Strong Power, yang bisa mengejawantah dalam wujud kapitalisme dengan segala derivasinya yang embeded pada market, global impersonal system, demokrasi, serta tata sistem kehidupan lainnya. Memperhatikan nasib Sang Powerless yang terpuruk sebagaimana

digambarkan

di

atas,

teori

posmodern

Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer

5

bermaksud membangkitkan kembali visi-misi pencerahan yang semula diembankan amanahnya pada peran fungsional ilmu pengetahuan. Teori-teori posmo bergandengan tangan untuk menagih ikrar suci ilmu pengetahuan yang dulunya hendak

menjadi

bagian

dari

cara

manusia

dalam

memecahkan persoalan nyata kehidupannya. Teori-teori posmo ingin membawa kembali agar rasio benar-benar dapat membebaskan manusia, bukan malah menghamba pada ‘kekuasaan’ yang senantiasa menghisap darah Sang Powerless. Teori-teori posmo bertekad mendorong setiap subyek menjadi otonom, independen atas dirinya sendiri, serta atas keyakinan dan perspektif sendiri. Teori-teori posmo menggugah kesadaran humanis terdalam setiap subyek agar menggunakannya secara optimal sehingga tidak menjadi sosok lemah yang selalu dipaksa, terpaksa, dan dibuat terbiasa oleh hasrat penjajang Sang impersonal systems yang tidak manusiawi itu. Dalam

keyakinan

posmodern,

setiap

ilmu

pengetahuan mengemban misi yang mulia, dan tidak sekedar selebar perspektif grand narative sebagaimana kita jumpai dalam naskah-naskah agama, filsafat, serta teoriteori besar di abad modern ini. Eksemplar yang terpapar dalam narasi besar tersebut telah terkontaminasi oleh vested Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer

6

interest Sang Penyampai yang absurd. Banalitas ilmu pengetahuan tersebut telah menjadi materi inti gugatan teori-teori posmodern. Teori-teori posmo menolak keras industrialisasi ilmu pengetahuan yang sejauh ini telah mencampakkan sisi humanitas Sang Pewaris Sah Pemimpin di muka bumi, manusia. Semoga buku ini, mampu menjadi salah satu pilar visi-misi teori posmodern.

Malang, Nopember 2015 Promotor,

Prof. Dr. Wahyudi Winarjo, M.Si Email: [email protected]

Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer

7

Pengantar Buku Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial-Politik Kontemporer Guru Besar Universitas Negeri Malang Saat manusia berada dalam kungkungan alam, pemikirannya sangat sederhana. Kebiasaan dan peralatan yang mereka gunakan pun hanya untuk mempertahankan diri agar biasa hidup dari alam. Begitu mereka bisa mengelola alam, kebiasaan mengelola benda-benda yang mereka hasilkan menjadi tidak sederhana lagi. Pola pikir mereka dalam mengelola alam menjadi semakin teratur dan lebih bijak. Keselarasan dengan alam pun dijaga dengan baik, hingga tiba masa revolusi industri. Munculnya revolusi industri membuat manusia berpikir efektif dan efisien. Kecepatan menjadi obsesi. Kendaraan berlomba adu cepat, produksi, pengiriman, dan penjualan barang harus serba cepat, bekerja pun dituntut harus cepat. Revolusi industri berpengaruh pada cara pandang manusia di berbagai sisi kehidupan: ilmu pengetahuan, mata pencarian, teknologi, seni kerajinan, arsitektur, bahkan sistem pemerintahan. Rasionalitas menjadi tumpuan. Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer

8

Kapitalisme dan industrialisme tidak bisa dihindarkan. Semuanya diukur dengan uang, semuanya menjadi lahan industri. Kelas sosial antara pemilik modal dan buruh semakin nyata terbelah.Tidak hanya melirik milik tetangga, mereka juga ekspansi ke negara tetangga. Hingga menyuburkan niat dan hasrat untuk menjajah. Hal inilah yang memunculkan pemikiran modern. Dalam alam pikiran modern, semua yang bersifat tradisional, pelan, harmonis, emosional, irasional, ditinggalkan. Mereka beralih pada hal-hal yang bersifat praktis dan pragmatis. Baik disadari maupun tidak, kebudayaan lama mulai ditinggalkan dan berubah bentuk. Penghancuran dan kehancuran nilai-nilai budaya luhur, situs kebudayaan, kearifan lokal, adat istiadat, norma, kebiasaan, pola kebiasan, benda budaya, seni, kerajinan, arsitektur, tatanan bermasyarakat, tatanan keluarga, terjadi pada semua negara. Hal inilah yang menimbulkan keprihatinan tokohtokoh pascamodernisme. Munculnya penikiran pascamodernisme ini cukup beragam. Bahkan, ada pemikiran dalam pascamodernisme yang sulit dipertemukan, misalnya Lyotard dan Geldner, berpendapat bahwa pascamodernisme merupakan pemutusan secara total dari modernisme. Derrida, Foucault Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer

9

dan Baudrillard menyatakan bahwa pemikiran ini merupakan bentuk radikal dari kemodernan yang akhirnya mengarah ke teori yang sulit diseragamkan. David Graffin berpendapat bahwa pascamodernisme adalah hubungan beberapa aspek dari moderinisme. Sementara itu, bagi Giddens, pascamodernisme adalah bentuk modernisme yang sudah sadar diri dan menjadi bijak. Habermas berpendapat bahwa pemikiran ini merupakan satu tahap dari modernisme yang belum selesai. Sudah ada beberapa buku yang ditulis tentang pascamodernisme baik dalam bahasa asing maupun dalam bahasa Indonesia. Sayangnya, pemikiran pascamodernisme yang lumayan perlu perenungan ini sering sulit dipahami karena disampaikan dengan bahasa yang tidak lugas dan contoh yang tidak akrab dengan pembacanya di Indonesia. Di tengah keingintahuan orang tentang pascamodernisme, buku Umi Salamah ini juga menyajikan pascamodernisme mulai dari pengertian, sejarah; tokoh tokoh pascamodernisme beserta pemikiran mereka; hubungan pascamodernisme dengan strukturalisme dan poststrukturalisme; postmodern sebagai kerangka berpikir kajian sosiologis. Yang membedakan dengan buku lain adalah cara penyajiannya. Buku ini dikemas dengan bahasa Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer

10

yang mengalir dan mudah untuk dipahami. Buku ini semakin menarik karena menggunakan contoh-contoh yang digunakan untuk menjelaskan konsep pemikiran dengan contoh konkret berupa puisi dan peristiwa nyata yang bisa kita pahami dalam keseharian kita. Saya banyak belajar dari buku ini karena peristiwa yang selama ini remang-remang ternyata bisa dijelaskan dengan gamblang dalam buku ini. Buku ini menyajikan pemikiran pascamodernisme dengan rasa Indonesia.

Prof. Dr. Wahyudi Siswanto, M.Pd Email: wahyudisiswantofsum@gmail,com

Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer

11

PENGANTAR DARI PENULIS Fenomena masalah sosial yang terjadi di zaman kontemporer saat ini sangat unik dan beragam.Teori modernis yang mengandalkan rasio tidak akan mampu memecahkan masalah sosial yang sangat unik, seperti makin maraknya dunia pencitraan dalam media masa, makin pesatnya teknologi dalam menampilkan film dunia fantasi, ilusi, dan intuisi, dan hubungan sek dengan produktivitas karya. Teori modernis yang bersifat universal juga tidak mampu menjelaskan berbagai fenomena sosial yang sangat beragam,

di

antaranya

perbedaan

persepsi

terhadap

peristiwa sosial, perbedaan sudut pandang konteks historis dan sosial, serta berbagai temuan rekayasa teknologi. Sehubungan dengan itu, prinsip homologi (kesatuan ontologis) dalam teori modernisme harus didelegitimasi oleh paralogi (pluralisme) yang menjadi substansi teori Postmo dengan tujuan agar kekuasaan, termasuk kekuasaan oleh ilmu pengetahuan, tidak lagi jatuh pada sistem totaliter yang biasanya bersifat hegemonik dan pro status-quo. Dalam disiplin sosiologi terdapat nama Norman Denzin dengan kajian film dan Pierre Bourdieu dengan theatrum politicum. Dan dalam wilayah filsafat terdapat Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer

12

nama Jean Francois Lyotard dengan konsep paralogi, disensus

dan

delegitimasi,

Jacques

Derrida

dengan

dekonstruksi, Michel Foucault dengan kajian tentang arkeologi pengetahuan, genealogi sejarah seksualitas dan teknologi kekuasaan, serta Jean Baudrillard dengan kajian budaya tentang dunia simulasi, hiperrealitas, simulacra dan dominasi nilai-tanda dan nilai-simbol dalam realitas kebudayaan dewasa ini (Featherstone, 1988:196). Kesemarakan

dan

kegairahan

kepada

tema

postmodernisme ini bukanlah tanpa alasan. Sebagai sebuah pemikiran, postmodernisme pada awalnya lahir sebagai reaksi kritis dan reflektif terhadap paradigma modernisme yang dipandang gagal menuntaskan proyek Pencerahan dan menyebabkan munculnya berbagai patologi modernitas (Rosenau, 1992:10). Alhamdulillah,

akhirnya

buku

kecil

tentang

Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema SosialPolitik Kontemporer, ini dapat diwujudkan. Ucapan terima kasih dan penghargaan yang setingi-tingginya disampaikan kepada

Bapak

Prof.

Dr.

Wahyudi

Winarjo,

M.Si,

pembimbing matakuliah pendalaman Teori Disertasi yang dengan sabar dan runtut memberikan arahan penulisan ini. Semoga Allah selalu memberikan kesehatan, kesejahteraan, Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer

13

dan kebahagiaan kepada Beliau dan keluarga. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepaad Prof. Dr. H. Wahyudi Siswanto,

M.Pd

yang

telah

ikhlas

membaca

dan

memberikan pengantar buku ini, semoga Allah juga selalu memberikan rahmat dan ridla-Nya kepada Beliau dan keluarga. Dalam buku kecil ini, dibahas Perspektif Posmo dalam kajian Sosial-Politik saat ini dengan bahasa yang sederhana, sehingga mudah dipahami. Sebutan istilah postmodern (posmo) dalam buku ini menyiratkan adanya perkembangan

pasca

teori

modern.

Gagasan

ini

menggambarkan sesuatu yang paling akhir dan yang paling baru. Hal ini disebabkan oleh pergeseran teori yang dianggap ada masalah dengan modernitas. Inilah yang ingin ditunjukkan dan dijelaskan oleh pakar postmo. Meskipun demikian, dalam teori sosiologi, teori modern dan teori klasik masih tetap penting dalam disiplin ini. Akan tetapi postmo makin besar pengaruhnya atas teori sosiologi, karena teori posmo paling dekat dengan kemanusiaan dan dapat menjawab berbagai fenomena keunikan dan keragaman di bidang sains, budaya, ilmu pengetahuan dan tekologi saat ini. Diharapkan oleh teoretisi Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer

14

sosiologi, teori posmo

akan menjadi teori yang paling

terbuka terhadap kajian masalah sosial kontemporer saat ini. Untuk mengetahui teori posmo lebih lanjut, dalam buku kecil ini akan dibahas enam halyang berkaitan dengan ihwal posmo. Yang pertama dibahas sejarah postmo, kedua dibahas huhungan pandangan strukturalis, poststrukturalis, dan posmo, ketiga dibahas postmo sebagai kerangka berpikir kajian sosiologis, keempat tokoh-tokoh postmo dan pemikirannya, kelima dibahas kekuatan teori Postmo, dan keenam dibahas epilog penulis sebagai penutup buku ini. Semoga buku kecil yang disampaikan dengan bahasa yang lantur dan sederhana ini dapat menambah pemahaman terhadap teori Postmo, khususnya dalam ilmu sosial dan politik. Ibarat tidak ada gading yag tak retak, kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan dari para pembaca yang bijak untuk perbaikan tulisan ini.

Malang, November 2015 Penulis,

Umi Salamah Email: [email protected]

Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer

15

DAFTAR ISI HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN ........ PENGANTAR PROMOTOR .................................... PENGANTAR GURU BESAR UNIVERSITAS NEGERI MALANG .................................................... PENGANTAR PENULIS ........................................... DAFTAR ISI ............................................................... DAFTAR TABEL ....................................................... DAFTAR GAMBAR .................................................. BAB I SEJARAH POSTMODERN .............. BAB II HUBUNGAN PANDANGAN STRUKTURALIS, POSTSTRUKTURALIS, DAN POSTMODERN …............................. A. Strukturalisme ………………..… B. Post – Strukturalisme ………....... C. Hubungan konseptual antara Strukturalis dengan Post – Strukturalis ………………...…… D. Perbedaan Modern dan Postmodern (Posmo) ……........… BAB III POSTMODERN SEBAGAI KERANGKA BERPIKIR KAJIAN SOSIOLOGIS ..................... BAB IV TOKOH-TOKOH POSTMODERN DAN PEMIKIRANNYA ................... A. JACQUES DERRIDA ………….. 1. Biografi Jacques Derrida .............. 2. Pemikiran Jacques Derrida tentang Postmodern ...................... 3. Skema Pemikiran Jacques Derrida ....................................... B. JEAN FRANCOIS LYOTARD ... Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer

ii iii vii xi xv xvii xvii 1

14 14 20

28 33

40 61 61 61 64 75 76

16

1. Biografi Jean-François Lyotard.... 2. Pemikiran Jean-François Lyotard tentang Postmodern ..................... 3. Skema Pemikiran Jean-François Lyotard ......................................... C. MICHEL FOUCAULT ………… 1. Biografi Michel Foucault ............. 2. Pemikiran Michel Foucault tentang Postmodern ...................... 3. Skema Pemikiran Michel Foucault ........................................ D. BAUDRILLARD ………..…....... 1. Biografi Baudrillard ..................... 2. Pemikiran Baudrillard tentang Postmodern ................................... 3. Skema Pemikiran .......................... E. PIERRE BOURDIEU .………….. 1. Biografi Bourdieu ......................... 2. Pemikiran Bourdieu tentang Postmodern ................................... 3. Skema Pemikiran Baourdieu ........ F. JACQUES MARIE ÉMILE LACAN ………………................ 1. Biografi Jacques Marie Émile Lacan ............................................ 2. Pemikiran Jacques Marie Émile Lacan tentang Postmodern .......... 3. Skema Pemikiran Jacques Marie Émile Lacan .................................. BAB V KEKUATAN POSTMODERN .......... BAB VI EPILOG .............................................. REFERENSI ……………...…….................................

Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer

76 77 88 89 89 90 98 99 99 101 116 118 118 120 132 134 134 137 150 155 160 169

17

DAFTAR TABEL TABEL 2.1 Perbedaan Strukturalis dengan Poststrukturalis .........................................

33

TABEL 2.2 Perbedaan Modernisme dengan Postmodernisme .......................................

38

TABEL 4.1 Pemikiran Modernism versus Pemikiran Postmo Lyotard

87

DAFTAR GAMBAR GAMBAR 4.1 Skema Pemaknaan Teks Dekonstruksi Derrida ………...........

75

GAMBAR 4.2 Skema Pemikiran Lyotard ………...

88

GAMBAR 4.3 Skema Pemikiran Foucault ……….

98

GAMBAR 4.4 Skema Pemikiran Baudrillard ...........

116

GAMBAR 4.5 Skema Pemikiran Bourdieu .............

132

GAMBAR 4.6 Skema Pemikiran Lacan ...................

150

Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer

18

BAB I SEJARAH POSTMODERN Turner (2010) menjelaskan sejarah teori Postmodern berawal dari Miletos, kota kecil di gugusan kepulauan Yunani abad ke-6 SM yang merupakan tempat bermulanya cerita besar tentang penaklukan alam oleh manusia. Di kota itulah bermula runtuhnya mitos-mitos arkhaik tentang alam yang berupa dongeng, fabel dan kepercayaan. Sejak saat itu manusia melakukan pemberontakan dari kungkungan kebudayaan mitologis dan mulai menggunakan akalnya untuk menjelaskan dunia. Sejarah

penaklukan

alam

yang

berdasarkan

pandangan akal pikiran kemudian bergulir. Sokrates, filsuf besar Yunani, mempertegas usaha ini dengan semboyannya yang sangat terkenal, “Kenalilah dirimu sendiri”. Salah seorang murid Sokrates, Plato, seraya menggemakan pemikiran sang guru, menarik garis lebih tajam mengenai konsep manusia. Menurut Plato, manusia terdiri atas tiga tingkatan fungsi yakni, tubuh (epithymia), kehendak (thymos) dan rasio (logos). Rasio adalah tingkatan tertinggi, sekaligus mengatur dan melingkupi fungsi-fungsi yang lain. Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer

19

Pandangan Plato tentang manusia ini membawanya pada konsepsi negara ideal yang dianalogkan dengan tingkatan fungsi dalam diri manusia. Pertama, para pemimpin (analog dengan rasio), kedua, para prajurit (analog dengan kehendak), dan ketiga, para petani dan tukang (analog dengan tubuh) (Santoso, 2009:43-44). Dengan konsepsi seperti ini Plato memperteguh keyakinan subjektivitas manusia dengan konstruksi kebudayaan (negara) yang berpijak pada rasio. Sejarah filsafat berikutnya bergulir sampai pada satu titik yang memiliki makna penting bagi kelahiran era modernitas. Dipicu oleh gerakan humanisme Italia abad ke14 M, Renaisans lahir sebagai jawaban terhadap kebekuan pemi-kiran

abad

pertengahan. Renaisans

yang

berarti

kelahiran kembali, membawa semangat pembebasan dari dogma agama yang beku selama abad pertengahan. Semangat

pembebasan

yang

dibawa

Renaisansyaitu

keberanian menerima dan menghadapi dunia nyata; keyakinan menemukan kebenaran dengan kemampuan sendiri; kebangkitan mempelajari kembali sastra dan budaya klasik; serta keinginan mengangkat harkat dan martabat manusia (Santoso, 2009:11-12). Makna penting Renaisans dalam sejarah filsafat Barat adalah peranannya sebagai Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer

20

tempat persemaian benih pencerahan abad ke-18 M yang menjadi embrio kebudayaan modern. Seorang filsuf besar yang menjejakkan pengaruhnya pada masa ini adalah Rene Descartes, Bapak Rasionalisme, sekaligus

arsitek

utama

filsafat

modern.

Dengan

mengadopsi dan mensintesiskan pemikiran filsuf-filsuf sebelumnya, Descartes membangun metode pengetahuan yang berlaku untuk setiap bentuk pengetahuan. Menurutnya, kepastian kebenaran dapat diperoleh melalui strategi kesangsian metodis. Dengan meragukan segala sesuatu, Descartes ingin menemukan adanya hal yang tetap yang tidak dapat diragukan. Itulah kepastian bahwa “Aku sedang ragu-ragu tentang segala sesuatu”. Rumusan terkenal dari pemikiran Descartes ini adalah diktum, “Cogito ergo sum” artinya “Aku berpikir maka aku ada”. Dengan diktum ini, rasio diyakini mampu mengatasi kekuatan metafisis dan transendental. Kemampuan rasio inilah yang menjadi kunci kebenaran pengetahuan dan kebudayaan modern. Sejarah kematangan kebudayaan modern selanjutnya ditunjukkan oleh pemikiran dua filsuf Jerman, yaitu Immanuel Kant dan Frederich Hegel. Melalui kedua pemikir inilah nilai-nilai modernisme ditancapkan dalam alur sejarah dunia, yakni Kant dengan ide-ide absolut yang sudah terberi Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer

21

(kategori) dan Hegel dengan filsafat identitas (idealisme absolut) (Sugiharto, 2007). Konstruksi kebudayaan modern kemudian tegak berdiri dengan prinsip-prinsip rasio, subjek, identitas, ego, totalitas, ide-ide absolut, kemajuan linear, objektivitas, otonomi, emansipasi serta oposisi biner. Sejarah pemikiran dan kebudayaan yang dibangun di atas prinsip-prinsip modernitas selanjutnya masuk ke berbagai bidang kehidupan. Seni modern hadir sebagai kekuatan emansipatoris yang mengantar manusia pada realitas baru (Turner, 2003). Sementara itu dalam dunia ilmu dan kebudayaan, modernitas ditandai dengan berkembangnya teknologi yang sangat pesat, penemuan teori-teori fisika kontemporer, kejayaan kapitalisme lanjut, konsumerisme, merebaknya budaya massa, budaya populer, maraknya industri informasi, televisi, koran, iklan, film, internet, dan berkembangnya konsep nation-state (negara-bangsa), demokratisasi, dan pluralisme. Meskipun demikian, dalam penampilannya yang mutakhir

tersebut,

modernisme

kekurangan-kekurangannya, ideologis

dan

modernisme.

justru

Sejak

mulai

yakni

melahirkan

kemenangan

menampakkan

penuh

kontradiksi

berbagai Amerika

patologi dan

para

sekutunya dalam Perang Dunia II (Heryanto, 1994:80), Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer

22

modernisme bercorak monoton, positivistik, teknosentris dan rasionalistik; fanatik pada kemajuan sejarah linear, kebenaran ilmiah yang mutlak, kecanggihan rekayasa masyarakat yang diidealkan, serta pembakuan secara ketat pengetahuan dan sistem produksi, sehingga tidak lagi kaya watak seperti saat awal kelahirannya. Unsur-unsur utama modernisme adalah rasio, ilmu, dan antropo-morphisme, yang justru menyebabkan reduksi hakekat manusia. Memang benar, di satu sisi modernisme telah

memberikan

sumbangannya

terhadap

bangunan

kebudayaan manusia dengan paham otonomi subjek, kemajuan teknologi, industrialisasi, penyebaran informasi, penegakan HAM serta demokratisasi. Akan tetapi, di sisi lain modernisme juga telah menyebabkan lahirnya berbagai patologi,

yakni

dehumanisasi,

alienasi,

deskriminasi,

rasisme, pengangguran, jurang perbedaan kaya dan miskin, materialisme, dan konsumerisme. Berbagai patologi inilah yang menjadi alasan penting gugatan pemikiran postmo terhadap modernisme. Dengan demikian, Posmo lahir sebagai bentuk jawaban terhadap kekurangan-kekurangan teori modern. Jejak-jejak pemikiran yang bernaung di bawah payung postmo dalam banyak bidang kehidupan, yakni seni, Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer

23

sastra, politik, ekonomi, arsitektur, sosiologi, antropologi dan filsafat sebenarnya sudah dapat dilacak jauh ke alur sejarah modernisme. Adapun lahirnya beragam bentuk realitas baru, seperti seni bumi, seni video, sastra marjinal, sastra yang terdiam, arsitektur dekonstruksi, antropologi kesadaran, paradigma Thomas Kuhn dan pemberontakan terhadap filsafat modern semenjak Nietzsche, Husserl, Heidegger, hingga Mahzab Frankfrut adalah benih-benih lahirnya pemikiran postmo. Dalam

dunia

filsafat,

Posmo

mendapatkan

pendasaran ontologis dan epistemologis, melalui pemikiran Jean Francois Lyotard seorang filsuf Perancis. Melalui bukunya yang merupakan laporan penelitian kondisi masyarakat

komputerisasi

di

Quebec,

Kanada,

The

Postmodern Condition: A Report on Knowledge (1984), Lyotard secara radikal menolak ide dasar filsafat modern semenjak

era

Renaisans

hingga

sekarang

yang

dilegitimasikan oleh prinsip kesatuan ontologis (Benyamin, 1989 dan Lyotard, 2009). Menurut Lyotard, dalam dunia yang sangat dipengaruhi oleh kemajuan teknologi, prinsip kesatuan ontologis sudah tidak relevan lagi. Kekuasaan telah dibagi-bagi dan tersebar berkat demokratisasi teknologi. Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer

24

Oleh

karena

itu,

prinsip

kesatuan

ontologis

harus

didelegitimasi dengan prinsip paralogi. Paralogi berarti prinsip yang menerima keberagaman realitas, unsur, permainan dengan logikanya masing-masing tanpa harus saling menindas atau menguasai (Turner, 2003:161). Persis permainan catur, di mana setiap bidak memiliki aturan dan langkah tersendiri, tanpa harus mengganggu langkah bidak lain. Kondisi ini, menurut Sontag seorang kritikus seni, merupakan indikasi lahirnya sensibilitas

baru,

yakni

sebuah

kesadaran

akan

kemajemukan, bermain dan menikmati realitas secara bersama-sama, tanpa ngotot untuk menang atau menaklukan realitas lain (Sugiharto, 2007:234). Lebih jauh Lyotard menyatakan prinsip-prinsip yang menegakkan modern-isme adalah rasio, ego, ide absolut, totalitas,

oposisi

biner,

subjek,

kemajuan

sejarah

linear yang disebutnya Grand Narrative (narasi besar) telah kehilangan legitimasi (Turner, 2003:158-161). Cerita-cerita besar modernisme tersebut lebih bersifat mistifikasi, ideologis, eksploitatif, dominatif dan semu.Dari arah yang berbeda dengan fokus filsafat bahasa Derrida, seorang filsuf Perancis yang lain, bersepakat dengan Lyotard. Derrida mengajukan

strategi

pemeriksaan

asumsi-asumsi

Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer

25

modernisme yang seolah-olah sudah terberi itu dengan dekonstruksi. Dekonstruksi adalah strategi untuk memeriksa struktur-struktur

yang

terbentuk

dalam

paradigma

modernisme yang senantiasa dimapankan batas-batasnya dan ditunggalkan pengertiannya (Coker, 2003). Dengan dekonstruksi, cerita-cerita besar modernitas dipertanyakan, dirongrong dan disingkap sifat paradoksnya. Lebih jauh, dekonstruksi hendak memunculkan dimensi-dimensi yang tertindas di bawah totalitas modernisme. Implikasi logis strategi ini adalah melumernya batas-batas yang selama ini dipertahankan

antara

konsep-metafor,

kebenaran-fiksi,

filsafat-puisi, serta keseriusan-permainan. Wacana-wacana yang sebelumnya tertindas, seperti kelompok etnis, kaum feminis, dunia ketiga, ras kulit hitam, kelompok gay, hippies, punk, atau gerakan peduli lingkungan kini mulai diperhatikan. Dengan dekonstruksi, sejarah modernisme hendak ditampilkan tanpa kedok, apa adanya. Strategi yang sarat emansipasi ini pula yang mendorong seorang filsuf sejarawan Perancis Foucault untuk menyingkap mistifikasi hubungan pengetahuan dan kekuasaan yang disodorkan modernisme. Berbeda dengan pandangan modernisme yang menyatakan adanya distingsi Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer

26

antara

pengetahuan

ideologis,

Foucault

murni menyatakan

dan

pengetahuan

pengetahuan

dan

kekuasaan adalah dua sisi mata uang yang sama. Tidak ada pengetahuan tanpa kekuasaan, dan sebaliknya tidak ada kekuasaan tanpa pengetahuan. Selanjutnya menurut Foucault kekuasaan tidaklah seperti yang dipahami kaum Weberian atau Marxian. Kaum Weberian memahami

kekuasaan sebagai

kemampuan

subjektif untuk mempengaruhi orang lain. Sementara kaum Marxian memahami kekuasaan sebagai artefak material yang bisa dikuasai dan digunakan untuk menindas kelas lain. Secara cerdas Foucault menyatakan bahwa di era yang dihidupi oleh perkembangan ilmu dan teknologi seperti saat ini, kekuasaan bukan lagi institusi, struktur atau kekuatan yang menundukkan. Kekuasaan tidak dimiliki, melainkan merupakan relasi kompleks yang menyebar dan hadir di mana-mana

(Sugiharto,

2002).

Pandangan

tentang

kuasa/pengetahuan yang tidak berpusat, tidak mendominasi dan menyebar ini kemudian membawa Foucault untuk menolak asumsi rasio-kritis yang universal ala Kantian. Baginya rasio tidak universal, karena seperti disuarakan Baudelaire, seorang penyair Perancis, ada tanggapan lain terhadap modernisme yakni, ironi. Oleh karena itu, Foucault Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer

27

sama sekali tidak berambisi membangun teori-teori yang universal. Ia memilih membaca realitas pada ukuran mikro. Tema-tema tidak jamak, misalnya penjara, orang gila, rumah sakit, barak-barak tentara, pabrik, seks, pasien dan kriminal adalah pilihan yang disadarinya. Dan dengan pilihan ini, Foucault meneguhkan semangat emansipasi kaum tertindas yang telah diawali oleh Lyotard dan Derrida. Posmo secara umum dikenal sebagai antitesis dari modernisme. Sementara itu modernisme itu diartikan oleh Lyotard (Berstens, 1996) sebagai proyek intelektual dalam sejarah dan kebudayaan Barat yang mencari kesatuan di bawah bimbingan suatu ide pokok yang terarah kepada kemajuan, ketika Aufklarung (masa pencerahan) pada abad ke-18 menandai proyek besar ini. Sebagai

gerakan

pemikiran,

Posmo

‘berhasil’

menawarkan opini, melon-tarkan apresiasi dan memberikan kritik yang tajam terhadap wacana modernitas dan kapitalisme (global) mutakhir. Di tengah kemapanan dan pesona yang ditawarkan oleh proyek modernisasi dengan rasionalitasnya, postmo justru ditampilkan dengan sejumlah evaluasi

kritis

dan

tajam

terhadap

impian-impian

masyarakat modern. Kritik tersebut, tidak saja mengagetkan dunia publik intelektualitas Barat yang sejak beberapa abad Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer

28

terbuaikan oleh modernisme yang membius melalui ciptaan sains dan teknologinya. Istilah Posmo diketahui muncul pada tahun 1917 ketika seorang filsuf Jerman, Pannwitz menggunakan istilah itu untuk menangkap adanya gejala nihilisme kebudayaan Barat modern. Federico de Onis sekitar tahun 1930-an menggunakan dalam sebuah karyanya untuk menunjukkan reaksi yang muncul dari modernisme. Kemudian di bidang historiografi digunakan oleh Arnold Toynbee dalam A Study of History tahun 1947, dan sekitar tahun 1970, Ilhab Hasan menerapkan istilah ini dalam dunia seni dan arsitektur. Pada akhirnya istilah Posmo menjadi lebih populer ketika digunakan oleh para seniman, pelukis dan kritikus. Dengan demikian ada banyak ragam dan terminologi serta makna dalam istilah Posmo tergantung pada wilayah pendekatan yang berbeda sebagai berikut: (1) “Kian berkembangnya kecenderungan-kecenderungan yang saling bertolak belakang, yang bersamaan dengan semakin bebasnya daya instingual dan kian membubungnya kesenangan dan keinginan” (Daniel Bell dalam Beyond Modernism; Beyond Self) dan (2) “Logika kultural yang membawa

transformasi

dalam

suasana

kebudayaan

Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer

29

umumnya” (Frederic Jameson dalam “New Left Review” tahun 1984) Pada perkembangan selanjutnya, istilah Posmo dilembagakan dalam konstelasi filsafat oleh Lyotard dalam bukunya The Postmodern Condition: A Report on Knowledge tahun 1984. Lyotard menjelaskan bahwa akibat pengaruh teknologi informasi, maka prinsip kesatuan ontologis yang selama ini mendasari ide dasar filsafat modern

sudah

tidak

lagi

relevan

dengan

realitas

kontemporer (Anderson, 1998). Sehubungan dengan itu, prinsip homologi (kesatuan ontologis) harus didelegitimasi oleh paralogi (pluralisme) dengan tujuan agar kekuasaan, termasuk kekuasaan oleh ilmu pengetahuan, tidak lagi jatuh pada sistem totaliter yang biasanya bersifat hegemonik dan pro status-quo. Dengan meminjam terminologi Ibrahim Ali Fauzi bahwa Posmo adalah sebuah gerakan global renaissans atas renaissans yang diartikan sebagai ketidakpercayaan atas segala bentuk narasi besar, penolakan filsafat metafisis, filsafat sejarah dan segala

bentuk

Hegelianisme,

pemikiran Kapitalisme,

yang

mentotalisasi

Liberalisme,

seperti

Marxisme,

Nasionalisme, Komunisme, Sosialisme dan lainnya (dalam Sugiharto. 2002) Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer

30

Cukup banyak peristiwa yang bisa dikumpulkan akibat ide narasi besar (meta-narasi) yang menandai kegagalan dari modernisme seperti kekejaman pasukan Nazi pada perang dunia kedua yang menandai kegagalan nasionalisme. Pemberontakan kaum buruh terhadap partai komunis yang terjadi di Berlin (1953), Budapest (1956) dan Polandia (1980) yang menunjukkan betapa komunisme sebagai ideologi totaliter mengandung banyak kotradiksi, yaitu bahwa pekerja memberontak terhadap partai yang memperjuangkan nasib mereka sendiri. Dan banyak kejadian lainnya seperti aneksasi neo-liberalisme dan neokapitalisme Amerika Serikat terhadap Irak. Dalam konteks ini tidak berlebihan apabila janji modernitas,

yang

dibangun

oleh

rasionalitas,

untuk

mencapai emansipasi manusia dari kemiskinan, kebodohan, prasangka dan tidak adanya rasa aman dianggap gagal dan tidak masuk akal. Modernisme disamping menciptakan kemajuan teknologi juga menciptakan totalitarianisme, pembunuhan yang lebih massif (genosida) dan aneksasi kolonialisme yang membabi buta. Dengan demikian, Lyotard menolak segala macam bentuk metanarasi, yang ada bukan kebenaran universal tetapi kebenaran-plural yaitu kebenaran majemuk dan lokal (mini-narasi). Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer

31

BAB II HUBUNGAN TEORI STRUKTURALIS, POST STRUKTURALIS, DAN POSTMODERN A. Strukturalisme Bahasan

dalam

topik

ini

berkaitan

dengan

kemunculan pemikiran setelah adanya teori sosial modern yang diawali oleh strukturalisme hingga post-strukturalisme yang

akhirnya

dikenal

sebagai

teori

Postmodern

(Posmo).Strukturalisme merupakan praktik signifikansi yang membangun makna sebagai hasil struktur atau regularitas yang dapat diperkirakan dan berada diluar diri individu. Bersifat antihumanis karena mengesampingkan agen manusia dari inti penyelidikannya. Fenomena hanya memiliki

makna

ketika

dikaitkan

dengan

sutruktur

sistematis yang sumbernya bukan terletak pada individu. Pemahaman strukturtalis terhadap kebudayaan memusatkan perhatian pada sistem relasi struktur yang mendasarinya (Barker, 2004:17) Strukturalisme memusatkan perhatian pada struktur, namun tidak sepenuhnya sama dengan struktur yang menjadi sasaran perhatian teori fungsionalisme struktural. Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer

32

Strukturalisme lebih memusatkan perthatian pada struktur linguistik. Terjadi pergeseran dari struktur linguistik ke struktur

sosial.

Saussure

yang

merupakan

tokoh

strukturalisme, memberikan pembedaan antara langue dan parole. Menurutnya, Langue adalah sistem tata bahasa formal, sistem elemen phonic yang hubungannya ditentukan oleh hukum yang tetap. Langue memungkinkan adanya parole yang merupakan percakapan sebenarnya, cara pembicara menggunakan bahasa untuk mengatakan dirinya sendiri(Ritzer dan Goodman, 2004:604) Strukturalisme muncul di tahun 1960-an berbasis karya Saussure yang diorientasikan untuk memahami struktur-struktur yang mendasari bahasa. Basis teorinya berasal dari linguistik. Menurut aliran ini, setiap orang di masyarakat mengetahui bagaimana caranya menggunakan bahasa meskipun mereka tidak peduli akan aturan-aturan berkenaan dengan tata bahasa. Strukturalisme didasarkan pada kepercayaan bahwa objek budaya itu seperti literatur, seni dan arsitektur, harus dipahami dalam konteks-konteks yang lebih besar di tempat berada dan berkembang. Tujuan yang ingin dicapai adalah untuk mengemukakan prinsipprinsip universal dari pikiran manusia yang menjadi dasar Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer

33

karakter budaya dan kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan manusia (Haryanto, 2010). Dengan

demikian

dapat

disimpulkan

bahwa

strukturalisme melihat makna sebagai hasil struktur atau regularitas, bersifat anti humanis dan berada diluar individu. Hal ini dapat ditelusuri dari penggunaan bahasa berdasarkan prinsip-prinsip universal dari pikiran manusia yang menjadi dasar karakter budaya dan kebiasaankebiasaan yang dilakukan manusia. Sebagai contoh, penggunaan sistem tanda pengaturan lampu lalu lintas. Ada peraturan yang dimaknai bersama, bahwa warna merah kendaraan harus berhenti, kuning harus hati-hati dan hijau boleh jalan. Hal tersebut dimaknai secara konsisten dan hampir semua masyarakat mengetahuinya. Bahasa manusia disini merupakan hasil rancangan dari pemikiran dan tindakan-tindakannya yang membentuk pola universal yang menghasilkan realitas sosial.

Contoh Pemaknaan Strukturalis Pemaknaan

berdasarkan

strukturalis

digunakan

untuk

mendapatkan satu penafsiran yang universal. Oleh karena itu, pemaknaan dimulai dengan pembacaan secara heruistik (berdasarkan kaidah bahasa yang lengkap dan benar) kemudian ditafsirkan secara Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer

34

hermeneutis (berdasarkan konteks sejarah yang melatarbelakangi diciptakannya puisi). Perhatikan puisi berikut ini yang akan dimaknai berdasarkan perspektif strukturalis. Aku Memberi Kesaksian Karya W.S. Rendra Aku memberi kesaksian bahwa di dalam peradaban pejabat dan pegawai Filsafat mati dan penghayatan kenyataan dikekang diganti dengan bimbingan dan pedoman resmi. Kepatuhan diutamakan, kesangsian dianggap durhaka. Dan pertanyaan-pertanyaan dianggap pembangkangan. Pembodohan bangsa akan terjadi karena nalar dicurigai dan diawasi

Puisi di atas jika dimanai berdasaran pandangan strukturalis, dapat dibaca secara heuristik dengan kaidah bahasa baku, seperti berikut ini: Aku memberi (kan) kesaksian bahwa di dalam (negara yang dikuasai oleh) peradaban pejabat dan pegawai, Filsafat (di)mati(kan) dan penghayatan (terhadap)kenyataan dikekang diganti dengan bimbingan dan pedoman resmi(dari negara). Kepatuhan (menjadi) diutamakan (dan kebebasan berpikir dikekang), kesangsian dianggap durhaka (kepada pemerintah). Dan pertanyaan-pertanyaan (kritis) dianggap pembangkangan (kepada pemerintah). Pembodohan bangsa akan terjadi(di negara yang dikuasai oleh peradaban pejabat dan pegawai seperti itu) karena nalar dicurigai dan diawasi(oleh aparatus negara).

Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer

35

Berdasarkan pembacaan heuristik, maka pemaknaan puisi di atas menjadi: Aku memberikan kesaksian, bahwa di dalam negara yang dikuasai oleh peradaban pejabat dan pegawai, filsafat dimatikan, dan penghayatan terhadap kenyataan dikekang, diganti dengan bimbingan dan pedoman resmi dari negara. Kepatuhan menjadi diutamakan, kebebasan berpikir danberpendapat menjadi dmenjadi pengekangan. Artinya semua lapisan masyaraat hanya boleh menjalankan peerjaan sesuai dengan aturan pemeritah dan lembaganya tida boleh bertanya apalagi berpendapat. Kesangsian dianggap durhaka kepada pemerintah, dan pertanyaanpertanyaan kritis terhadap pemerintah dianggap pembangkangan kepada pemerintah. Pembangkangan berarti harus menerima konsekuensi hukuman. Hukuman yang diberikan sangat tergantung pada penguasa bukan hukum yang berlaku. Dengan demikian, pembodohan bangsa akan terjadi di negara yang dikuasai oleh peradaban pejabat dan pegawai seperti ini, karena nalar dicurigai dan diawasi oleh aparatus negara. Setelah dilakukan pembacaan secara heruistik kemudian ditafsirkan

secara

hermeneutis.

Pemaknaan

secara

hermeneutis

disesuaikan dengan sudut pandang tertentu, pengetahuan, pengalaman, historis, dan konteks penulisan. Pembacaan secara hermeneutis pada teks di atas, dapat ditafsirkan sebagai berikut: apakah yang melatarbelakangi W.S. Rendra menulis puisi “Aku Memberi Kesaksian Mastodon-mastodon” di atas terjadi pada tahun 1973? Bagaimanakah peradaban pejabat dan pegawai (birokrat) pada saat itu? Apakah di negeri ini sedang dalam titik kritis, menuju kematian filsafat pada saat itu? Pertanyaan-pertanyaan di atas dapat membantu memahami latar

Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer

36

belakang puisi ini diciptakan untuk memperoleh pemahaman makna puisi secara hermeneutis. Berdasarkan historisnya, peradaban birokrat pada masa itu, eselonisasi, strukturisasi, hierarki, dan doktrinasi dikemas dalam bentuk petunjuk pelaksanaan dan istilah formal lainnya, mengindikasikan bahwa kebudayaan/peradaban birokrat bersifat kaku, instruksi topbottom, loyalitas dinomorsatukan dan struktur adalah segala-galanya. Seorang Pejabat Eselon II, misalnya, memiliki beberapa bawahan Eselon III, Eselon IV dan Pelaksana. Institusi birokrasi yang dikuasai oleh pejabat umumnya menganut sistem semi militer, maka apa yang dikatakan Pejabat Eselon II harus dilaksanakan oleh Pejabat dan Pelaksana di bawahnya. Tidak boleh ada yang mengkritik apalagi mencela. Bahkan masyarakat sering menyaksikan tingkah laku para Pejabat yang menyebalkan dan merepotkan anak buahnya. Akan tetapi, karena ketakutan memberikan kritik dan saran, akhirnya mereka hanya bisa kasak kusuk sesama pelaksana atau pejabat selevel tanpa berani mengritik pejabat dengan level di atasnya. Gagasan kreatif terbelenggu oleh aturan kepatuhan, sehingga tidak ada kreativitas dan inovasi dalam layanan publik. Menurut W.S. Rendra, semua kebobrokan itu bermula ketika birokrat berhenti menghidupkan filsafat. Filsafat berasal dari bahasa Yunani yaitu philosophia yang bermakna orang yang mencintai kebijaksanaan.Filsafat

menekankan

pada

cara

berpikir

kritis;

menimbang-nimbang segala sesuatu dari benar atau salah, melihat segala permasalahan dari perspektif yang lebih luas, meninggalkan taklid (tunduk buta) terhadap sebuah doktrin, baik dari ideologi maupun agama. Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer

37

Dengan demikian, menurut W.S. Rendra apabila dalam demokrasi dihidupkan budaya berfilsafat maka dalam kebudayaan birokrasi akan muncul birokrat-birokrat yang berjuang di jalan kebenaran, birokrat-birokrat yang selalu kreatif dan inovatif dalam melaksanakan layanan publik; bukan birokrat-birokrat yang membela atasannya, seperti anjing membela tuannya. Konsekuensinya, menurut W.S. Rendra, institusi birokrasi harus berani menerima kritik dan konsekuensi apabila ada salah satu anggotanya melaporkan kebobrokan institusinya kepada pihak yang berwewenang, seperti institusi pengawasan (KPK dan Inspektorat Jenderal). Institusi birokrasi harus bersifat terbuka terhadap kritik, saran, dan inovasi, agar birokrasi dapat berkembang dalam melayani masyarakat dan membangun negara dengan penuh tanggung jawab. Untuk itu diperlukan revolusi birokrasi secara menyeluruh dan mengakar dengan menghidupkan filsafat. Dengan menghidupkan kembali filsafat di institusi masingmasing, W.S. Rendra yakin bahwa birokrat-birokrat yang berfilsafatakan mengembalikan rusaknya peradaban yang cenderung dehumanisasi di negeri ini menjadi peradaban yang humanis dan berpihak pada kebenaran.

B. Post-Strukturalisme Bila strukturalis melihat keteraturan dan stabilitas dalam

sistem

bahasa,

maka

Derrida,

tokoh

utama

pendekatan post-strukturalisme melihat bahasa tidak teratur Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer

38

dan tidak stabil. Derrida menurunkan peran bahasa yang menurutnya hanya sekedar “tulisan” yang tidak memaksa penggunanya. Dia juga melihat bahwa lembaga sosial tidak lain hanya sebagai tulisan, karena itu tidak mampu memaksa orang/pembacanya. Konteks yang berlainan memberikan kata-kata dengan arti yang berlainan pula. Akibatnya sistem bahasa tidak mempunyai kekuatan memaksa terhadap orang, yang menurut pandangan teoretisi strukturalis justru memaksa. Lebih lanjut, menurut Derrida mustahil bagi ilmuwan untuk menemukan hukum umum yang mendasari bahasa. Ia mengkritik masyarakat pada umumnya yang diperbudak oleh logosentrisme (pencarian sistem berpikir universal yang mengungkapkan apa yang benar, tepat, indah dan seterusnya) (Ritzer dan Goodman, 2004:607-608) Post-strukturalisme mengandung pengertian kritik maupun penyerapan. Menyerap berbagai aspek linguistik struktural sekaligus menjadikannya sebagai kritik yang dianggap mampu melampaui strukturalisme. Singkatnya, post-strukturalisme menolak ide tentang struktur stabil yang melandasi makna melalui pasangan biner (hitam-putih, baikburuk). Makna adalah sesuatu yang tidak stabil, yang selalu tergelincir dalam prosesnya, tidak hanya dibatasi pada kata, Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer

39

kalimat atau teks tertentu yang bersifat tunggal, namun hasil hubungan antarteks. (Barker, 2004:20) Foucault adalah ahli sosiologi tubuh dan sekaligus ahli

teori

post-strukturalisme.

Karya-karyanya

yang

berkaitan erat dengan teori-teori post-strukturalime untuk menjelaskan bahwa faktor sosial budaya berpengaruh dalam mendefinisikan tubuh dengan karakter ilmiah, universal, yang tergantung pada waktu dan tempat. Bahwa ciri-ciri alamiah tubuh (laki-laki dan perempuan) bisa bermakna berbeda dalam tataran kebudayaan yang berbeda. Sebagai seorang post-strukturalis Foucoult tertarik pada cara berbagai bentuk ilmu pengetahuan menghasilkan cara-cara hidup.

Menurutnya,

aspek

masyarakat

yang

paling

signifikan untuk menjadi modern bukanlah fakta bahwa masyarakat itu ekonomi kapitalis (Marx), atau suatu bentuk baru solidaritas (Weber) atau bersikap rasional (Weber), melainkan

cara

hidup

dimana

bentuk-bentuk

baru

pengetahuan yang tidak dikenal pada masa pramodernitas itu muncul dan dapat mendefinisikan kehidupan modern (Suharnadji, 2009:373) Salah satu karya Foucoult adalah Archeology of Knowledge yang merupakan tujuan dari studinya mencari struktur pengetahuan, ide-ide dan modus dari wacana. Ia Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer

40

mempertentangkan arekeologinya itu dengan sejarah atau sejarah ide-ide. Dalam karyanya itu, Foucoult juga ingin mempelajari pernyataan-pernyataan baik lisan maupun tertulis sehinga ia dapat menemukan kondisi dasar yang memungkinkan sebuah wacana bisa berlangsung. Konsep kunci dari Foucoult adalah arkeologi, geneologi dan kekuasaan. Bila arkeologi memfokuskan pada kondisi historis

yang

ada,

sementara

geneologi

lebih

mempermasalahkan tentang proses historis yang merupakan proses

tentang

jaringan-jaringan

wacana

(Suhrnadji,

2009:377--378). Pemahaman kekuasaan, menurut Foucoult bertolak belakang dengan pemahaman Karl Marx yang melihat kekuasaan hanya menjadi milik masyarakat kelas atas, dominasi

dan

monopoli

kaum

borjuis

menentukan

kehidupan seluruh masyarakat. Juga berbeda dengan gagasan Hobbes yang mengartikan kekuasaan

hanya

menjadi milik lembaga yang disebut negaradan negara memiliki kuasa mutlak untuk menentukan kehidupan masyarakat tetapi kekuasaan menyangkut relasi antara subjek dan peran dari lembaga-lembaga yang menjalankan fungsi tertentu dalam masyarakat. Sumbangan kekuatan dari Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer

41

setiap subjek dan lembaga-lembaga yang menjalankan peran sebaik-baiknya, itulah yang menunjukan arti kekuasaan. Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa Post-strukturalis berpandangan bahwa

sistem bahasa itu

tidak stabil dan tidak universal. Makna ditentukan oleh konteks sosial budaya dan penggunanya (subjek), makna bersifat

khusus,

sehingga

memungkinkan

terciptanya

bermacam-macam makna.Terdapat hubungan timbal balik antara kekuasaan, bahasa, dan ilmu pengetahuan. Dengan bahasa orang dapat mengembangan ilmu pengetahuan. Dengan ilmu pengetahuan, orang dapat menggunakan wacana pembangunan untuk melanggengkan kekuasaan. Sebaliknya dengan kekuasaan bahasa dan ilmu pengetahuan dapat berkembang.

Contoh Pemaknaan Post-strukturalis Aku Memberi Kesaksian Karya W.S. Rendra Aku memberi kesaksian bahwa di dalam peradaban pejabat dan pegawai Filsafat mati dan penghayatan kenyataan dikekang diganti dengan bimbingan dan pedoman resmi. Kepatuhan diutamakan, kesangsian dianggap durhaka. Dan pertanyaan-pertanyaan dianggap pembangkangan. Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer

42

Pembodohan bangsa akan terjadi karena nalar dicurigai dan diawasi

Pemaknaan post-strukturalis memiliki keragaman penafsiran. Setiap subjek sangat dimungkinkan memiliki hasil penafsiran yang berbeda. Perbedaan itu bisa disebabkan oleh pengetahuan, pengalaman, pendekatan, dan sudut pandang, kontradiktif, paradoks, dan ironiironinya yang digunakan oleh pembaca dalam memaknai. Membaca kembali puisi W.S. Rendra di atas, jika dimaknai berdasarkan sudur pandang Michel Foucault (salah seorang tokoh Post Strukturalis), maka puisi di atas tidaklah dipahami sebagai serangkaian kata atau proposisi dalam teks, melainkan penggunaan bahasa dalam praktek budaya secara umum dilihat sebagai sesuatu yang bersifat dialogis, yakni dalam dialog dan konflik potensial dalampenggunaan bahasa tesebut. Dalam pengertian ini maka wacana tidak bisa dipisahkan dengan kekuasaan. Wacana adalah alat untuk mendapatkan dan melanggengkan kekuasaannya. Kekuasaan terlaksana melalui wacana dan wacana selalu berakar pada kekuasaan. Pemikiran Foucault yang utama adalah penggunaan analisis wacana untuk memahami kekuasaan yang tersembunyi di balik pengetahuan.

Analisisnya

terhadap

kekuasaan

dan

pengetahuan

memberikan pemahaman bahwa peran pengetahuan pembangunan telah mampu

melanggengkan

dominasi

terhadap

kaum

marjinal.

Ia

mencontohkan bahwa pembangunan di negara Dunia Ketiga merupakan tempat berbagai kekuasaan dunia sekaligus adanya hubungan penting tentang berperanannya kekuasaan di negara-negara tersebut. Dalam karyanya tentang A Critique of Our Historical Era (dalam Wahyudi, Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer

43

2006), Foucault melihat ada problematika dalam bentuk modern pengetahuan, rasionalitas, institusi sosial, dan subjektivitas. Semua itu, menurutnya terkesan given and natural, tetapi dalam faktanya semua itu adalah konstruk sosiokultural tentang kekuasaan dan dominasi. Lebih lanjut, menurut argumentasinya bahwa hubungan antara bentuk kekuasaan modern dan pengetahuan modern telah menciptakan bentuk dominasi baru. Bagi Foucault, selain eksploitasi dan dominasi, ada satu bentuk yang diakibatkan oleh suatu wacana, yakni subjection (bentuk penyerahan seseorang pada orang lain sebagai individu). Oleh karena itu, yang perlu dipelajari adalah upaya untuk membangkitkan kembali local centres dari power knowledge, pola transformasinya, dan upaya untuk

masukkan ke

dalam strategi dan akhirnya

menjadikan

pengetahuan mampu mensupport kekuasaan. Menurut

pemikirannya,

bahwa

setiap

strategi

yang

mengabaikan berbagai bentuk powerakan terjadi kegagalan. Untuk melipatgandakan power, harus berusaha bertahan dan melawan dengan jalan melipatgandakan resistensi dan kontra-ofensif. Localize-resistence tersebut haruslah bersifat radikal dan tanpa kompromi untuk melawan totalitas kekuasaan (daripada memakai cara revolusi massa), dengan strategi

yang

ditujukan

untuk

mengembangkan

jaringan

kerja

perjuangan, kantong-kantong resistensi dan popular base. Yang perlu mendapatkan perhatian adalah analisis power tertentu (antar individu, kelompok, kegiatan dan lain-lain) dalam rangka mengembangkan knowledge strategies dan membawa skema baru politisi, intelektual, buruh dan kelompok tertindas lainnya, ketika kekuasaan tersebut akan digugat. Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer

44

Berdasarkan pandangan Foucault di atas, maka wacana “Aku Memberi Kesaksian” merupakan strategi kekuasaan Orde Baru pada masa itu untuk melanggenggkan kekuasaan. Dengan menciptakan wacana neraga pejabat dan mematikan filsafat, maka para birokrasi dimanfaatkan sebagai stake holder-stake holder kekuasaan yang patuh, tunduk, takut, dan harus melakukan semua perintah atasan tanpa perlawanan. Untuk mencapai tujuan tersebut, sebelum memasuki jajaran birokrasi, diadakan pelatihan Kesamaptaan (bina fisik dan LKD) sebagai pengetahuan, wawasan, dan dotrin yang harus dilakukan oleh para birokrat sebagai stake holder untuk melanggenggkan kekuasaan. Dalam pelatihan kesemaptaan itu, birokrat ditempa dan didoktrin arti pentingnya

korsa

(kekompakan/penyeragaman)

dan

loyalitas.

Bagaimana mematuhi perintah dengan cepat dan tepat, bagaimana menunjukan sikap hormat di depan atasan dan bagaimana merasakan penderitaan secara kolektif adalah menusehar-hari dalam Diklat Kesamaptaan. Hasilnya adalah birokrat-birokrat yang patuh, tunduk dan enggan untuk berinovasi. Hal itu disebabkan oleh tudingan bahwa inovasi,

kreativitas,

pertanyaan-pertanyaan

terhadap

kebijakan

pemerintah dianggap sebagai pembangkangan. Lebih tragis lagi bahwa jawaban atas tudingan pembangkangan adalah ancaman mutasi ke daerah terpencil atau dipindahkan ke bagian lain yang tidak sesuai dengan kompetensinya dan sanksi sosial berupa bullying (pelecehan). Dengan demikian wacana pembangunan yang diterapkan oleh Orde Baru dalam membentuk Negara pejabat dan mematikan filsafat dapat digunakan untuk melanggenggakan kekuasaan status quo tanpa Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer

45

perlawanan, serta berhasil membangun budaya subjection (bentuk penyerahan para birokrat pada epada penguasa Orde Baru). Pemaknaan itu akan berbeda jika dimaknai dari sudut pandang Derrida. Menurut Derrida, pemahaman teks wacana di atas tidak bersifat final tetapi bersifat perspektivis. Derrida dengan dekonstruksinya tidak hanya menggambarkan teks, melainkan juga mengungkap kontradiksi yang terletak di dalam detil teks, sehingga pemaknaan dan arti baru yang sebelumnya tidak terpikirkan justru bisa tampil menjadi dominan dan mengubahnya ke arah yang sama sekali tidak terduga. Menurut Derrida, tidak ada bagian teks yang sifatnya stagnan atau permanen. Apabila tidak ada yang sifatnya permanen di dalam teks, maka teks selalu bisa dibaca dan dimengerti dengan cara yang selalu berbeda. Tidak ada tafsiran dominan yang sifatnya otoritatif. Dengan demikian dimungkinkan dalam kurun waktu yang berbeda atau oleh pembaca yang berbeda ditemukan makna yang berbeda pula, misalnya makna kekuasaan bagi seorang eksekutif akan berbeda jika ditafsirkan oleh rakyat biasa. Makna Negara pejabat bagi eksekutif akan berbeda dengan birokrat pelaksana, apalagi bagi rakyat biasa.

C. Hubungan Konseptual antara Strukturalis dan Posstrukturalis Berdasarkan namanya, post-strukturalisme dibangun diatas gagasan strukturalisme, namun bergerak keluar dan menciptakan model berpikir yang berbeda dari strukturalis. Apabila Strukturalisme dipengaruhi oleh ilmu bahasa yang Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer

46

diteorikan oleh Ferdinan de Saussure, bahwa bahasa sebagai simbol dapat menciptakan makna yang berlaku secara stabil dan universal, maka pos-strukturalisme tidak melihat adanya kestabilan dan universalitas makna dalam bahasa. Bahkan Derrida

berupaya

untuk

melakukan

“dekonstruksi

logosentrisme”. Dia ingin melihat masyarakat terbebas dari gagasan semua penguasa intelektual yang telah menciptakan pemikiran dominan. Adapun Foucault mengemukakan pandangannya tentang pengetahuan dan kekuasaan. Pengetahuan dan kekuasaan saling berkaitan, artinya bahwa orang yang memiliki pengetahuan maka dia yang akan berkuasa. Hubungan antara pengetahuan dan kekuasaan secara sederhana dapat dilihat pada hubungan manusia dan kartu kredit sebagai berikut:

Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer

47

Gambar 2.1: Hubungan Pengetahuan dan Kekuasaan Kenyataan empiris yang terjadi saat ini, dapat diambil contoh penggunaan kartu kredit sebagai sarana untuk pembayaran dan pembelian suatu produk barang atau jasa. Pendekatan Strukturalis melihat bahwa ada pemaknaan bahasa dalam kartu kredit yang dikeluarkan oleh sistem perbankan dan berlaku universal. Pemohon kartu kredit harus memiliki persyaratan tertentu untuk mendapatkannya. Simbol yang ada di kartu dimaknai bersama, baik oleh pembeli maupun penjual, bahwa penggunaannya hanya dengan “menggesekkan” kartu ke alat terentu dan bank akan mengeluarkan kredit pinjaman kepada pemegang kartu. Kata-kata dalam bahasa “tinggal gesek” dimaknai secara strukturalis sebagai alat kemudahan membayar.

Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer

48

Sementara itu, post-strukturalis melihatnya bahwa kartu kredit tersebut kurang atau tidak bermanfaat. Simbol kartu yang dimaknai sebagai alat tukar bergengsi justru dimaknai oleh post-strukturalis sebagai penciptaan masalah baru. Ada unsur ketidakstabilan, makna “kewajiban” membayar berbeda pemakna-annya oleh pemakai kartu, karena

ketidakmampuannya

untuk

membayar

atau

karena

ketidakdisiplinannya dalam membayar cicilan. Bila kewajiban yang harus dipenuhi oleh pemegang kartu kredit untuk melunasi atau mencicil hutang tidak dijalankan, maka ada sanksi tertentu terhadap pemegang kartu, baik denda maupun sanksi hukum, bila tidak sanggup membayar. Bila dilihat dari sudut pandang pengetahuan/kekuasaan, maka orang-orang yang mengetahui kebaikan dan keburukan kartu kredit, tentu akan “menguasai” kartu tersebut, dalam arti dapat memanfaatkan sebaik-baiknya. Dia akan mempelajari, berapa beban bunganya dalam sebulan atau setahun, berapa biaya adiministrasinya, berapa dendanya bila terlambat, berapa iuran anggotanya pertahun, dan setiap tanggal berapa dia harus membayar tagihan serta berapa yang harus dibayar. Pengetahuan ini yang menurut pandangan Foucoult berkaitan dengan kekuasaan. Bila nasabah/pemegang kartu memiliki pengetahuan, maka dia akan berkuasa/menguasai kartu (kartu tersebut bermanfaat) namun bila tidak, maka pihak bank yang akan berkuasa (beruntung). Hubungan digunakan pengetahuan,

oleh

antara dunia

mereka

melanggengkan

pengetahuan

kekuasaan

pertama/Negara-negara

menciptakan

kekuasaan

dan

terhadap

maju.

banyak Dengan

wacana

pembangunan untuk

dunia

ketiga/Negara-negara

berkembang. Di Indonesia, Soeharto dengan menggunakan wacana

Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer

49

pembangunan dapat melanggengkan kekuasaan Orde Baru sampai 32 tahun.

Gambar 2.2: Hubungan Pengetahuan dan Kekuasaan (penggunaan wacana pembangunan untuk melanggengkan kekuasaan)

Berdasarkan uraian di atas, hubungan antara strukturalis dan post strukturalis terletak pada pandangannya terhadap sistem bahasa dan keberadaan subjek. Strukturalis berpandangan bahwa sistem bahasa itu stabil, teratur, makna ditentukan oleh aturan, berada di luar subjek, dan bersifat universal; sedangkan Post-strukturalis berpandangan bahwa sistem bahasa itu tidak stabil, makna ditentukan oleh konteks dan penggunanya (subjek), makna bersifat khusus/ bermacam-macam makna. Perbedaan

penafsiran

antara

strukturalis

dan

poststrukturalis dapat dilihat pada tabel sebagai berikut: Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer

50

Tabel 2.1: Perbedaan Strukturalis dan Poststrukturalis Strukturalis

Post Strukturalis

1. Dibangun dipengaruhi oleh ilmu bahasa yang diteorikan oleh F.de Saussure, bahwa bahasa sebagai simbol dapat menciptakan makna yang berlaku secara stabil dan universal.

1. Dibangun oleh teori Derrida bahwa bahasa hanya sekedar tulisan, maka makna bahasa itu tidak stabil dan tidak universal. Makna ditentukan oleh konteks sosial budaya dan penggunanya, maka makna bersifat khusus, dan bermacam-macam. 2. Makna teks lepas dari otoritas penulis. Otoritas makna terletak pada pembaca/pemberi makna. 3. Masyarakat terbebas dari gagasan semua penguasa intelektual bahasa, karena bahasa dianggap sekedar “tulisan”, sehingga sistem bahasa tidak mempunyai kekuatan memak-sa terhadap orang. 4. Ilmuwan tidak bisa menemukan hu-kum umum yang mendasari bahasa.

2. Makna ditentukan oleh aturan dan otoritas penulis.

3. Masyarakat pembaca terikat atau dipaksa oleh kaidah yang diciptakan oleh penguasa intelektual yang telah menciptakan pemikiran dominan dalam menciptakan makna. 4. Ilmuwan menemukan hukum umum yang mendasari bahasa.

D. Perbedaan Modern dan Postmodern (Postmo) Saat ini kita sudah memasuki epos sosial baru yaitu postmodern (Dunn, 1991). Ada banyak cara untuk mengkarakterisasikan perbedaan-perbedaan antara dunia modern dan postmodern (postmo). Sebagai suatu ilustrasi, Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer

51

salah satunya adalah perbedaanya dari sudut pandang. Pertama, apakah ada kemungkinan menemukan suatu solusi rasional (rasionalitas merupakan konsep yang secara dekat diasosiasikan dengan modernitas) (Dahrendorf, 1979) terhadap

solusi

persoalan-persoalan

masyarakat

yang

kontemporer dan cenderung unik dan beragam ini. Sebagian besar tokoh modernis kesulitan dan bahkan enggan membicarakan transisi historis dari modernitas ke postmo. Kedua, postmo tidak dapat dipisahkan dari domain kultural ketika harus menguraikan bahwa produk postmo cenderung menggantikan produk modern. berhubungan

dengan

Ketiga, yang langsung

pembahasan

postmo

adalah

kemunculan teori sosial postmo dan perbedaannya dengan teori modern. Secara umum, teori sosial modern cenderung menjadi

absolut,

rasional,

dan menerima

posibilitas

penemuan kebenaran. Sebaliknya teori sosial postmo cenderung menjadi relatifistik dan terbuka kemungkinan irrasionalitas. Mulanya, Rosenau mendefinisikan teori postmo secara

gamblang

dalam

istilah

yang

berlawanan.

Postmodiartikan sebagai kritik kepada teoretisi modern atas kegagalannya memenuhi janji-janjinya. Hal itu disebabkan oleh peristiwa yang mengerikan selama abad ke dua puluh, Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer

52

di antaranya terjadinya perang dunia II dengan bom nuklir, terjadinya kesenjangan yang sangat dalam antara kapitalis dan buruh, makin memudarnya nilai-nilai kemanusiaan dan makin

suburnya

dehumanisasi.

Postmo

menanyakan

bagaimana seorang dapat percaya bahwa modernitas dapat membawa kemajuan dan harapan bagi masa depan yang lebih cemerlang. Oleh karena itu, postmo cenderung mengkritik segala sesuatu yang diasosiasikan sebagai modernitas. Kedua, teoretisi postmo cenderung menolak apa yang biasa dikenal dengan pandangan dunia (world view), totalitas dan sebagainya. Pada umumnya teoretis postmo menolak teoretis Marxian, dan akibatnya mereka selalu berusaha

mengambil

jarak

menyifatkan posisi tersebut.

dari

narasi

besar

yang

Postmo lebih konsen untuk

mengisi kehidupan dengan penjelasan yang sangat spesifik, sehingga masing-masing teoretisi menghasilkan narasi yang berbeda-beda. Hal ini disebabkan oleh beberapa teoretisi postmo menciptakan narasi masing-masing. Ketiga, pemikir postmodern juga tidak apatis terhadap pandangan pramodern seperti “emosi, perasaan, intuisi, refleksi, spekulasi, pengalaman personal, kebiasaan, kekerasan, metafisika, tradisi, kosmologi, magis, mitos, Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer

53

sentiment keagamaan, dan pengalaman mistik”. Oleh karena itu, postmo dapat memasuki wilayah kajian yang unik, spesifik, dan pluralistik. Keempat,

teoretisi

postmodern

menolak

kecenderungan modern yang meletakkan batas-batas antara hal-hal tertentu seperti disiplin akademis, “budaya dan kehidupan, fiksi dan teori, image dan realitas”, maka, kajian sebagian besar pemikir postmo cenderung mengembangkan lebih dari itu. Dengan demikian fenomena yang terjadi di luar realitas seperti yang marak saat ini–sebagai hiperealitas dan simulacra dapat dikaji dari teori postmo. Kelima, banyak postmo menolak gaya wacana akademis modern yang teliti dan bernalar. Tujuan utama postmo adalah mengejutkan dan mengagetkan pembaca untuk membantu pembaca dengan suatu logika dan alasan argumentatif yang beragam. Hal ini juga cenderung lebih literal daripada gaya akademis. Dengan demikian, postmo bukannya memfokuskan pada inti masyarakat modern. Akan tetapi teoretisi postmo justru mengkhususkan perhatian mereka pada bagian yang termarginalkan, yaitu “Perihal apa yang telah diambil begitu saja, apa yang telah diabaikan, daerah-daerah resistensi, kealpaan,

ketidak-rasionalan,

ketidaksignifikasian,

Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer

54

penindasan, batas garis, klasik, kerahasiaan, ketradisionalan, kesintingan, kesublimasian, penolakan, ketidaksensian, kemarjinalan, kediaman,

keperiferian, kecelakaan,

ketiadaan,

pembubaran,

kelemahan, diskualifikasi,

penundaan, dan ketidakikutan” (Rosenau, 1992:8 dalam Ritzer 2010:20). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa, teoretisi postmo menawarkan intermediasi daripada determinasi, perbedaan (diversity) daripada persatuan (unity), analitis daripada sintesis, dan kompleksitas daripada simplifikasi. Dengan begitu modernisme dan posmo memiliki sudut pandang dan bidang kajian yang berbeda. Sementara itu hubungan antara strukturalis, post strukturalis, dan postmo adalah (a) hubungan antara strukturalis dan post strukturalis terletak pada pandangannya terhadap sistem bahasa dan keberadaan subjek. Strukturalis berpandangan bahwa

sistem bahasa itu stabil, teratur,

makna ditentukan oleh aturan, makna berada di luar subjek, dan

bersifat

universal;

sedangkan

Post-strukturalis

berpandangan bahwa sistem bahasa itu tidak stabil, makna ditentukan oleh konteks dan penggunanya (subjek), makna bersifat khusus/bermacam-macam makna. Dengan demikian pandangan Modernisme cenderung bersifat strukturalis, Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer

55

sedangkan Postmo cenderung bersifat poststrukturalis. Perbedaan antara Modernisme dengan Postmodern dapat dilihat pada tabel berikut ini:

Tabel 2.2: Perbedaan Modernisme dan Postmodernisme Modern

Postmodern

1. Mengutamakan rasionalitas dengan logika yang sama (tunggal)berdasarkan wacana akademis modern yang teliti dan bernalar; dan menafikkan emosi, perasaan, intuisi, refleksi, spekulasi, pengalaman personal, kebiasaan, kekeras-an, metafisika, tradisi, kosmologi, magis, mitos, sentiment keagamaan, dan penga-laman mistik.

1. Menggunakan rasionalitas logika dan alasan argumentatif yang beragamdan tidak menafikkan terhadap pandangan pramodern seperti emosi, perasaan, intuisi, refleksi, spekulasi, pengalaman personal, kebiasaan, kekerasan, metafisika, tradisi, kosmologi, magis, mitos, sentiment keagamaan, dan pengalaman mistik.

2. Memfokuskan pada inti masyarakat modern untuk menciptakan kesatuan/unity makna yang bersifat universal dan final, sehingga mengabaikan yang kecilkecil/marginal.

2. Lebih memfokuskan pada bagian yang termarginalkan, dan yang telah diabaikan, seperti daerah-daerah resistensi, kealpaan, ketidakrasionalan, ketidaksignifikansian, penindasan, batas garis, klasik, kerahasiaan, ketradisionalan, kesintingan, kesublimasian, penolakan, ketidaksensian, kemarjinalan, keperiferian, ketiadaan, kelemahan, kediaman, kecelakaan, pembubaran, diskualifikasi,penundaan, dan ketidakikutan untuk menciptakan makna yang

Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer

56

3. Modern cenderung meletakkan batas-batas antardisiplin akademis, seperti batas antara budaya dan kehidupan, fiksi dan teori, image dan realitas, sehingga potensi kreativitas dan inovasi terabaikan. 4. Mengedepankan pembuatan sintesis terhadap realitas. 5. Pola pikir Modern bersifat simplifikasi teori untuk menghasilkan generalisasi teori besar (grand narative) 6. Cenderung ke arah dehumanisasi karena bersifat determinasi ke pandangan dunia (word view).

beragam karena makna bersifat relatif. 3. Postmo cenderung mengembang-kan lebih dari, sehingga potensi kreativitas dan inovasi memiliki peluang yang besar untuk berkembang.

4. Mengedepankan analisis terhadap berbagai fenomena dalam realitas. 5. Pola pikir Postmo lebih bersifat kompleksitas teori untuk mendapatkan paralogi/pluralitas teori yang kasuistis 6. Cenderung ke arah humanisasi karena bersifat intermediasi ke pandangan yang beragam.

Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer

57

BAB III POSTMODERN SEBAGAI KERANGKA BERPIKIR KAJIAN SOSIOLOGIS

Mengenai Postmo, Eagleton (1996), mengungkapkan dalam The Illusions of Postmodernism bahwa dibedakan antara Postmodern dan postmodernitas. Akan tetapi, dia sendiri lebih senang menggunakan istilah Posmodern, sebab istilah ini dapat mencakup keduanya. Postmodernitas biasanya dimengerti sebagai gaya berpikir yang curiga terhadap pengertian klasik tentang kebenaran-rasionalitasidentitas-objektivitas,

curiga

terhadap

ide

kemajuan

universal atau emansipasi, curiga akan satu kerangka kerja, grand narrative atau dasar-dasar terdalam dalam penjelasan. Berlawanan

dengan

norma-norma

pencerahan

ini,

postmodernitas melihat dunia sebagai yang kontigen, tidak berdasar, tidak seragam, tidak stabil, tidak dapat ditentukan, seperangkat kebudayaan yang plural atau penafsiran yang melahirkan skeptisisme terhadap objektivitas kebenaran, sejarah dan norma-norma, kodrat yang terberikan serta koherensi identitas. Sementara itu,Postmodern dimengerti sebagai gaya kebudayaan yang merefleksikan sesuatu dalam perubahan zaman ini ke dalam suatu seni yang diwarnai Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer

58

oleh seni yang self-reflexive, penuh permainan, ekletik, serta pluralistik. Seni semacam ini mengaburkan batas antara budaya ‘tinggi’ dan budaya ‘pop’, antara seni dan hidup harian (Eagleton, 1996:vii-viii). Lebih lanjut, Anderson (1998) menjelaskan bahwa Postmodern (Postmo) adalah paham yang berkembang setelah era modern dengan modernismenya. Postmo bukanlah paham tunggal sebuah teori, namun justru menghargai teori-teori yang bertebaran dan sulit dicari titik temu yang tunggal. Banyak tokoh-tokoh yang memberikan arti Postmo sebagai kelanjutan dari modernisme. Meskipun demikian, kelanjutan itu menjadi sangat beragam. Bagi

Lyotard

dan

Geldner,

Postmo

adalah

pemutusan secara total dari modernisme. Pernyataan ini mengisyaratkan

adanya

antitesa

antara

prinsip

teori

Modernisme yang bersifat unity, universal, dan menolak hal-hal yang di luar rasio. Sebaliknya Postmo lebih menekankan

pada

paralogi/keberagaman

logika

dan

mengakomodasi hal-hal yang di luar rasio dalam memaknai suatu fenomena kontemporer, di antaranya ilusi, intuisi, mistis, dan sebagainya. Perhatikan contoh di bawah ini:

Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer

59

Tadi siang berbincang-bicang dengan salah satu rekan peneliti dari Papua. Beliau menceritakan kondisi mantan mahasiswa yang sudah lama membantu mengambil data penelitiannya di Papua. Saat ini, mantan mahasiswa itu dalam kondisi lumpuh. Menurut penjelasan Beliau, kejadian lumpuh itu bermula ketika Kepala Suku mengingatkan agar tidak mengambil data penelitian di daerah mereka. Jika itu dilanggar, dia tidak akan pernah bisa berjalan. Lumpuhnya si mantan mahasiswasebagai pengambil data penelitian ini tidak dapat diditeksi secara medis, sehingga tidak bisa disembuhkan secara medis. Menurut Kepala Suku, mantan mahasiswanya itu akan sembuh jika Sang Kepala Suku berenan memaafkan dan mengambil kutukannya. Kejadian seperti ini tidak akan pernah bisa dijelaskan dengan teori Modern dengan analisis rasional dan metanarasinya. Akan tetapi Postmo dengan memasukkan unsur di luar rasio dapat menjelaskan fenomena ini.

Sementara itu, bagi Derrida, Foucault dan Baudrillard, Postmo adalah bentuk radikal dari kemodernan yang akhirnya bunuh diri karena sulit menyeragamkan teori-teori. Pernyataan Derrida, Foucault dan Baudrillard tersebut mengindikasikan bahwa,bahwa Postmo memang tidak memiliki tujuan sama sekali untuk menyeragamkan teori dengan sudut pandang rasional sebagaimana yang dilakukan oleh kaum modernis. Akan tetapi Postmo sangat menghargai Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer

60

pluralitas logika atau paralogi, sehingga akan diperoleh makna yang sangat banyak dan beragam. Hal ini sesuai dengan hakikat jiwa manusia tidak ada yang sama. Perhatikan contoh di bawah ini. Derrida dengan metode dekonstruksinya

menolak

pandangan

bahwa

bahasa

memiliki makna yang pasti, tertentu, dan konstan. Tidak ada ungakapan atau bentuk-bentuk kebahasaan yang bermakana tertentu

dan

pasti.

Dengan

menggunakan

metode

dekonstruksi dalam membaca teks diharapkan pembaca dapat melihat fakta-fakta lain dalam teks karya sastra, sehingga tidak ada kemutlakan dalam memaknai karya sastra dan menghilangkan anggapan-anggapan yang absolut serta menemukan hal-hal baru yang pada awalnya terabaikan. Caranya dengan dua prinsip, yaitu (1) melacak unsur-unsur aporia (makna paradoks, makna kontradiktif, dan makna ironi) dan (2) membalikkan atau merubah makna-makna yang sudah dikonvensionalkan (Culler, 1983:86-87). Perhatikan contoh sebagai berikut: Cara pembacaan dengan dekonstruksi dapat digunakan terhadap novel-novel pada umumnya. Disini penulis mengambil contoh cara pembacaan dengan dekonstruksi pada novel Siti Nurbaya.

Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer

61

Pada umumnya pembaca beranggapan bahwa Samsul Bahri merupakan tokoh protagonis pemuda yang hero, tokoh putih, sedang Datuk Maringgih merupakan tokoh antagonis yang serba jahat dan tokoh hitam. Melalui cara dekonstruksi, keadaan itu justru akan terbalik. Samsul Bahri bukanlah seorang pemuda hero, melainkan seorang pemuda cengeng dan berperasaan nasionalisme sempit. Hanya karena kegagalan cintanya terhadap seorang gadis (yang kemudian ternyata sudah janda), ia lupa akan dirinya, dia putus asa dan bunuh diri. Hal itu menunjukkan secara mental, ia bukanlah seorang pemuda yang kuat. Setelah ternyata usaha bunuh dirinya gagal juga, ia memutuskan untuk masuk serdadu kompeni. Pada akhirnya, ketika di daerah Sumatra Barat, yang merupakan tanah kelahirannya terjadi pemberontakan karena masalah blasting, ia ditugaskan untuk menumpas pemberontakan itu. Dengan bersemangat, ia berangkat ke medan tempur karena sekaligus bermaksud membalas dendam terhadap Datuk Maringgih yang menjadi biang keladi kegagalan cintanya. Apapun alasannya hal itu berarti ia memerangi bangsanya sendiri dan justru berdiri di pihak membela kepentingan penjajah. Dilihat dari dekonstruksi Jaus, yaitu yang mempertimbangkan aspek historis yang berwujud “sejarah” tanggapan pembaca dari masa ke masa, perbuatan Samsul Bahri dewasa ini, sesuai dengan konteks sosial yang ada, justru dapat ditanggapai sebagai perbuatan menghianati bangsa. Terhadap bangsa sendiri ia sampai hati untuk memeranginya, semata-mata hanya didorong oleh motivasi yang bersifat pribadi. Ia sama sekali bukan seorang pahlawan, bahkan bukan pahlawan cinta sekalipun.

Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer

62

Datuk Maringgih, di pihak lain, walau dia diakui banyak orang sebagai tokoh jahat, bandot tua yang doyan perempuan namun hal ini pun yang menganggapnya baik, misalnya ia justru dipandang sebagai pahlawan cinta seperti dalam nyanyian kelompok bimbo justru dapat dipandang sebagai tokoh yang kuat dan berdimensi baik. Dialah yang menjadi salah seorang tokoh yang menggerakkan pemberontakan terhadap penjajah Belanda itu, walau hal itu dilakukan terutama juga karena motivasi pribadi: dia yang paling banyak kena pajak. Apapun motivasinya, ia menjadi tokoh pemberontak. Artinya, dia adalah tokoh pejuang bangsa, yang seberapa pun kecil andilnya, bermaksud mengenyahkan penjajah dari bumi Indonesia. Dengan demikian, justru dialah yang “berhak” disebut pahlawan dan bukannya Samsul Bahri. Ahmad Maulana dan Halimah, dalam novel Siti Nurbaya itu, hanya merupakan tokoh pinggiran yang umumnya dianggap kurang penting. Namun, jika dipahami betul pesan-pesan penting

yang ingin

disampaikan lewat novel itu, akan terlihat kedua tokoh itu sebenarnya amat berperan. Dengan perbincangannya dengan Nurbaya, Ahmad Maulana inilah yang mengungkapkan kejelekan-kejelekan perkawinan poligami yang sebenarnya lebih baik menyengsarakan wanita dan anakanaknya. Sikap dan pandangan hidup Nurbaya, sebenarnya, banyak dipengaruhi oleh sikap dan pandangan hidup kedua tokoh tersebut. Inila contoh pembacaan sastra dengan dekonstruksi. Pemahaman dan keyakinan yang telah dikonvensional selama ini diruntuhkan dengan teori ini, dimana posisi dan kondisi yang telah dikonvensionalkan itu berubah menjadi bertolak belakang. Sumber: http://susdamitasyaridomo.blogspot.com. Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer

63

Lebih lanjut bagi David Graffin (Ritzer, 2004), Postmo adalah koreksi beberapa aspek dari modernisme. Lalu bagi Giddens, Postmo adalah bentuk modernisme yang sudah sadar diri dan menjadi bijak. Dikatakan sadar diri dan lebih bijak karena tidak ada pemaksaan terhadap kesatuan logika, tetapi mengakomogasi pluralitas logika atau paralogi. Bagian ini merupakan pengantar bagi pembaca untuk masuk ke dalam diskusi yang lebih detail dan mendalam seputar teori sosial Postmo. Bagian ini sekaligus juga merupakan sketsa yang sangat selektif tentang teori sosial postmodern yang dimaksudkan untuk memperkenalkan pembaca pada gagasan-gagasan atau pemikir-pemikir lain seperti: Sontag, Venturi, Jencks, Nietzsche, Rorty, Freud, Saussure, dan Levi-Strauss. Dalam pembahasan ini, diasumsikan bahwa pembaca sudah cukup mengenal pemikiran para teoretikus sosial yang memainkan peranan penting, baik positif maupun negatif dalam pembentukan teori sosial postmodern seperti Marx, Durkheim dan Weber.

Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer

64

Secara garis besar pemikiran Marx, Durkheim, dan Weber serta kontribusinya terhadap lahirnya teori Postmodern sebagai berikut: A. KARL MARX (1818-1883) Ia lahir di Trier, Jerman tahun 1818. Tahun 1841 tamat dari perguruan tinggi. Ia mengawali karirernya sebagai editor surat kabar di Jerman. Pandanganya amat kritis terhadap penindasan yang hadir bersama sistem kapitalisme yang mewarnai peradaban Eropa Barat. Pemkiran-Pemikiran Marx Ada dua teori yang berkontribusi terhadap lahirnya teori postmo dari Marx, yaitu teori tentang Fakta Sosial dan teori tentang Solidaritas Sosial. 1. Teori Pertentangan Kelas Pertama

kali,

Marx

mendefinisikan

kelas-kelas

sosial

melaluiteori hubungan produksi. Marx mengategorikan tiga stratifikasi sosial dalam hubungan produksi, yaitu borjuis, borjuis kecil, dan proletar. Kaum borjuis adalah kelompok pemilik modal, sedangkan para ‘borjuis kecil’ terdiri atas para tukang/pengrajin, pedagang, notaris, pengacara dan seluruh birokrat. Adapun kaum proletar adalah mereka yang menjual tenaga dalam bekerja. Yang terpenting bagi Marx bukanlah membuat deskripsi tentang stratifikasi sosial tetapi dinamika sebuah masyarakat yang menurut pendapatnya bergerak dalam satu konflik sentral yaitu perjuangan kelas, antara kelas borjuis dengan kelas proletar. Kaum borjuis yang didorong oleh persaingan dan haus akan keuntungan yang sebanyak-banyaknya

bergerak

semaksimal

mungkinuntuk

mengeksploitasi kaum proletar. Sementara itu, kaum proletar yang disebabkan oleh kemelaratan dan pengangguran yang bersifat endemik Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer

65

hanya memiliki satu-satunya jalan keluar yaitu pemberontakan sporadis atau

melakukan

menyebabkan

revolusi.

terjadinya

Pergulatan perubahan

antar dalam

kelas

inilah

masyarakat

yang maka

pemberontakan haruslah bertransformasi dalam bentuk revolusi. Pergulatan antarkelas inilah yang berkontribusi terhadap lahirnya teori Postmodern. 2. Teori Perjuangan Kelas (sejarah manusia adalah sejarah perjuangan kelas) “Historis Matrealisme” bergerak pada wilayah yang oleh marx disebut the mode of economic productionsebagaimana terdapat dalam pemikiran “Marx tua”. Pemikiran Marx terbagi menjadi dua: Marx muda dan Marx tua. Marx muda, berfikiran filosofis (yang kemudian banyak melahirkan teori kritis).Pemikiran Marx muda banyak terdapat dalam karyanya berjudul The Poverty of philosophy. Sementara itu, Marx tua, adalah Marx yang berfikiran ekonomi diterministik dan kemudian menjadi ideologi. Keberpihakan Marx pada kaum tertindas bersifat diterministik. Inilah yang menjadi embrio lahirnya teori Postmodern. Dalam teori itu dijelaskan bahwa, gerak kehidupan manusia ada dua hal yang tidak bisa pisahkan, yaitu superstructures dan infrastructure. Superstructuresmeliputi politik, agama, pendidikan, pengetahuan, keluarga, dan sebagaianya, sedangkan infrastructure meliputi ekonomi. Ekonomi adalah elemen dasar atau fondasi yang menopang superstructures. Hubungan sosial yang melembagakan sifat ketergantungan dan mengontrol atau menguasai sumber ekonomi oleh Marx disebut the mode of economic production. Dengan demikian, the mode of economic production tidak lebih merupakan upaya Marx untuk Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer

66

membalik teori idealis Hegel (Mind-Matter) menjadi matrialisme (Matter-Mind).

B. EMILE DURKHEIM (1858-1917) Pemikiran-Pemikiran Durkheim Durkheim mengembangkan teori sosial yang melihat pada perilaku sosial manusia sebagai individu yang merupakan bagian dari suatu system sosial dan berorientasi kepada lingkungan si pelaku. Dalam melihat perilaku sosial manusia, Durkheim melihatnya sebagai fenomena sosial dengan memperlihatkan pada 2 asumsi dasar, yaitu: 1. Bersifat riil dan mempengaruhi kesadaran individu serta perilakunya yang berbeda dari karakteristik psikologi, biologi atau karakteristik individu lainnya. 2. Dapat dipelajari dengan metode empiric yang memungkinkan ilmu sejati tentang masyarakat yang harus dikembangkan. Ada dua teori yang berkontribusi terhadap lahirnya teori postmo dari Durkheim, yaitu teori tentang Fakta Sosial dan teori tentang Solidaritas Sosial.

1. Teori Fakta Sosial Menurut Durkheim, fenomena sosial terdiri atasfakta Sosial dan solidaritas sosial. Fakta sosial merupakan objek penyelidikan sosiologi yang membedakan dengan ilmu lainnya terutama psikologi dan filsafat. Fakta sosial adalah seluruh cara bertindak, baik baku maupun tidak baku yang memiliki ciri-ciri sebagai berikut:(1) bersifat eksternal terhadap individu artinya fakta sosial berada di luar individu;

Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer

67

(2) bersifat memaksa individu; dan (3) bersifat umum atau tersebar secara meluas dalam satu masyarakat. Berdasarkan konsep fakta sosial tersebut, muncullah konsep tetang “Kesadaran kolektif”. Hal itu disebabkan oleh keberadaan manusia sebagai individu yang hidup dalam sebuah komunitas yang bernama Masyarakat, yang di dalamnya terdapat norma-norma, nilainilai, dan pegangan hidup yang harus ditaati dan dilaksanakan oleh setiap individu sebagai proses adaptasi. Dari rasa kebersamaan untuk menjalani aturan yang sudah disepakati maka timbullah kesadaran kolektif pada sesama anggota masyarakat yang melampaui kesadarankesadaran individualnya. Kesadaran kolektif itu terdiri atas sejumlah kepercayaan, perasaan, norma dan tekad yang dibagi bersama. Ada 3 argumentasi untuk membuktikan adanya kesadaran kolektif, yaitu (a) adanya kejadian-kejadian ketika

orang bertindak atas cara yang

sebenarnya tidak sesuai dengan pikiran individual mereka; (b) kesadaran kolektif yang berlainan dari kesadaran individual yang tampak pada tingkah laku grup yang berlainan dengan tingkah laku individu; dan (c) gejala sosialdapat dilihat secara nyata dari individu-individu yang melakukannya berdasarkan kemauan individu dan kesadaran kolektif.

2. Teori Solidaritas Sosial Durkheim mengelompokkan solidaritas sosial menjadi 2, yaitu (1) solidaritas mekanis dan solidaritas organis. Solidaritas mekanis yaitu anggota-anggota yang ada secara spontan mempunyai kecenderungan kepada suatu pola hidup bersama. Ini merupakan ciri khas masyarakat kuno. Adapun solidaritas organis, yaitu perbedaan-perbedaan yang timbul antar individu dalam hidup bermasyarakat, sehingga berkembang Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer

68

prinsip saling membutuhkan dan ketergantungan. Ciri ini dapat ditemui pada masyarakat modern.Untuk lebih jelasnya mengenai perbedaan kedua solidaritas sosial ini, dapat dilihat dalam tabel di bawah ini:

No

Solidritas Mekanik

Solidaritas Organik

1

Pembagian kerja rendah

Pembagian kerja Tinggi

2

Kesadaran kolektif kuat

Kesadaran kolektif lemah

3

Hukum represif (pidana) dominan

Hukum restitutif (perdata) dominan

4

Individualitasnya rendah

Individualitasnya tinggi

5

Konsensus terhadap polapola normative penting

Konsensus pada nilai-nilai abstrak dan umum itu penting

6

Keterlibatan komunitas dalam menghukum orang yang menyimpang

Badan-badan control sosial yang menghukum orang yang menyimpang

C. MAX WEBER (1864-1920) Max Weber lahir di Erfurt pada tahun 1864. Menyelesaikan studi di bidang hukum, ekonomi, sejarah, filsafat, teologi dan mengajar disiplin ilmu-ilmu tersebut di berbagai universitas di Jerman. Weber jejak muda sudah menyebarluaskan terbentuknya ilmu sosiologi secara kontinu. Weber sangat berminat terhadap bidang politik tetapi tidak pernah terlibat benar-benar dalam aksi politik. Ia Banyak melakukan riset dan menulis buku dan esei. Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer

69

Pemikiran-pemikiran Weber Ada dua teori yang berkontribusi terhadap lahirnya teori postmo dari Weber, yaitu teori tentang Perilaku Sosial dan teori tentang Kharisma dan Retuniasasi

1. Teori Perilaku Sosial Pada mulanya, Weber menjelaskan bahwa sosiologi adalah ilmu pengetahuan tentang tindakan sosial. Masyarakat adalah produk dari tindakan individu-individu yang berbuat dalam kerangka fungsi nilai, motif, dan kalkulasi rasional. Hanya individu-individu yang riil secara objektif dan masyarakat adalah salah satu nama yang menunjuk pada sekumpulan individu yang menjalin hubungan. Dengan demikian, Sosiologi menurut Weber adalah ilmu pengetahuan yang berusaha memahami dengan cara melakukan interprestasi atas aktivitas sosial. Bertolak dari konsep dasar tentang tindakan sosial, Weber menyebutkan ada lima ciri pokok yang menjadi sasaran penelitian ilmu sosiologi: (1) tindakan manusia yang menurut si aktor mengandung makna yang subjektif; (2) tindakan nyata dan yang bersifat membatin sepenuhnya dan bersifat subjektif; (3) tindakan yang meliputi pengaruh positif dari suatu situasi, tindakan yang sengaja diulang serta tindakan dalam bentuk persetujuan secara diam-diam; (4) tindakan itu diarahkan kepada seseorang atau kepada beberapa individu; dan (5) tindakan itu memperhatikan tindakan orang lain dan terarah kepada orang lain itu.

2. Kharisma dan retuniasasi Kharisma adalah kekuasaan yang dimiliki oleh orang tertentu, sedangkan rutinisasi adalah struktur aktivitas yang berjalan karena ada Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer

70

kharisma. Tiga ciri utama kharisma adalah luar biasa, spontan, dan sebagai sumber dari bentuk gerakan baru. Adapun fungsi kharisma bagi masyarakat sebagai sumber kegoncangan dan pembaharuan. Dengan begitu, kharisma dapat melahirkan panggilan bagi pengikutnya. Ada kewajiban mereka yang terpanggil pada misi kharismatik untuk mengakui kualitasnya dan bertindak sesuai dengan tokoh yang kharismatik.

Beberapa kalangan modern menganggap golongan Postmo tidak pernah dapat memberikan satu solusi yang pasti,

mereka

seolah

menghamparkannya

mengurai

dalam

lantai

satu

masalah

dialektika

dan

wacana,

akhirnya merangkai dan membuat satu solusi kongkrit dari masalah yang telah dibedahnya. Hal ini menurut MacKenzie bukan karena Postmo tidak dapat menjawab berbagai pertanyaan ini akan tetapi karena terdapat berbagai kemungkinan

jawaban

yang

berbeda-beda

yang

kemungkinan bertentangan antara teori yang satu dengan teori yang lainnya (Ahmed, 1992). Berbagai nilai dan ide dasar dalam teori Postmo seperti relativitas dan pluralisme serta kesepakatannya untuk menerima emosi dan intuisi adalah salah satu cara memperoleh ilmu pengetahuan. Dengan begitu, Postmo adalah suatu dimensi dalam ilmu politik yang didalamnya Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer

71

terdapat berbagai aliran pemikiran yang satu sama lainnya bisa saling bertentangan. Pendekatan seperti ini dapat memperbaiki cara pandang dalam melihat suatu fenomena masyarakat yang semakin

kontemporer

dan

unik

dan

bahkan

dapat

menemukan berbagai solusi yang relevan terhadap realita sosial saat ini, ketika masyarakat modern menjadi lebih apatis, konsumtif, antisosial, dan opresif dalam usahanya melakukan homogenisasi dengan menolak keberagaman atau pluralitas. Walaupun pada akhirnya penggunaan bahasa yang ambigu dan multi intrepretatif dalam aliran ini menjadi salah satu kendala dalam memaknai apa yang sebenarnya dikandung dalam teori ini. Ahmed (1992) dalam bukunya Postmodernisme dan Islam menyebutkan delapan karakter sosiologis Postmo yang menonjol, yaitu: Satu, timbulnya pemberontakan secara kritis terhadap proyek modernitas; memudarnya kepercayaan pada agama yang bersifat transenden (metanarasi); dan diterimanya pandangan pluralisme relativisme kebenaran.

Dua, meledaknya industri

media massa,

sehingga Postmo bagaikan perpanjangan dari sistem indera, organ dan saraf kita, yang pada urutannya menjadikan dunia menjadi terasa kecil. Lebih dari itu, kekuatan media massa Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer

72

telah menjelma bagaikan “agama” atau “tuhan” sekuler, dalam arti perilaku orang tidak lagi ditentukan oleh agamaagama tradisional, tetapi tanpa disadari telah diatur oleh media massa, seperti program televisi. Tiga, munculnya radikalisme etnis dan keagamaan. Fenomena ini muncul diduga sebagai reaksi atau alternatif ketika orang semakin meragukan terhadap kebenaran sains, teknologi dan filsafat yang dinilai gagal memenuhi janjinya untuk membebaskan manusia, tetapi sebaliknya, yang terjadi adalah penindasan. Empat, munculnya kecenderungan baru untuk menemukan identitas dan apresiasi serta keterikatan rasionalisme dengan masa lalu. Lima, semakin menguatnya wilayah perkotaan (urban) sebagai pusat kebudayaan, dan wilayah pedesaan sebagai daerah pinggiran. Pola ini juga berlaku bagi menguatnya dominasi negara maju atas negara berkembang. Ibaratnya

negara

maju

sebagai

“titik

pusat”

yang

menentukan gerak pada “lingkaran pinggir”. Enam, semakin terbukanya peluang bagi kelas-kelas sosial atau kelompok untuk mengemukakan pendapat secara lebih bebas. Dengan kata lain, era Postmo telah ikut mendorong bagi proses demokratisasi. Tujuh, era Postmo juga ditandai dengan munculnya kecenderungan bagi tumbuhnya eklektisisme dan pencampuradukan

dari berbagai

wacana, potret

Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer

73

serpihan-serpihan realitas, sehingga seseorang sulit untuk ditempatkan secara ketat pada kelompok budaya secara eksklusif. Delapan, bahasa yang digunakan dalam wacana Postmo seringkali mengesankan ketidakjelasan makna dan inkonsistensi sehingga apa yang disebut “era Postmo” banyak mengandung paradoks. Sementara itu, menurut Pauline Rosenau dalam (Norris, 1982:99), Postmo menganggap modernisme telah gagal dalam beberapa hal penting antara lain sebagai berikut.

Pertama,

modernisme

gagal

mewujudkan

perbaikan-perbaikan dramatis sebagaimana diinginkan para pedukung fanatiknya. Perbaikan-perbaikan yang dimaksud berupa keinginan untuk menyejahterakan seluruh umat manusia, tetapi justru sebaliknya bahwa aliran modernisme dianggap merusak tatanan kehidupan masyarakat menjadi individualistik, yakni yang kaya memiskinkan yang miskin, yang pintar membodohi yang bodoh, dan yang kuat menjajah negara yang lemah. Yang lebih fatal, ketika bom atom diledakan di Hiroshima dan Nagasaki, ribuan umat manusia mati dan alam semesta rusak diakibatkan oleh ledakan tersebut. Kedua, ilmu pengetahuan modern tidak mampu melepaskan diri dari kesewenang-wenangan dan penyalahgunaan otoritas seperti tampak pada preferensiPerspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer

74

preferensi yang sering mendahului hasil penelitian. Ketiga, ada kontradiksi antara teori dan fakta dalam perkembangan ilmu-ilmu

modern.

Keempat,

ada

keyakinan

yang

sesungguhnya tidak berdasar, bahwa ilmu pengetahuan modern mampu memecahkan segala persoalan yang dihadapi manusia dan lingkungannya. Ternyata keyakinan ini keliru ketika kita menyaksikan bahwa kelaparan, kemiskinan, dan kerusakan

lingkungan terus

terjadi

menyertai perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dan Kelima, ilmu-ilmu modern kurang memperhatikan dimensi-dimensi mistis dan metafisik eksistensi manusia karena terlalu menekankan pada atribut fisik individu. Postmo

muncul

untuk

“meluruskan”

kembali

interpretasi sejarah yang dianggap otoriter. Untuk itu Postmo menghimbau agar kita semua berusaha keras untuk mengakui adanya identitas lain (the other) yang berada di luar wacana hegemoni.Postmo mencoba mengingatkan kita untuk tidak terjerumus pada kesalahan fatal dengan menawarkan pemahaman perkembangan kapitalisme dalam kerangka genealogi (pengakuan bahwa proses sejarah tidak pernah melalui jalur tunggal, tetapi mempunyai banyak “sentral”) Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer

75

Postmo mengajak kaum kapitalis untuk tidak hanya memikirkan hal-hal yang berkaitan dengan peningkatan produktivitas dan keuntungan saja, tetapi juga melihat pada hal-hal yang berada pada alur vulgarmaterial yang selama ini dianggap sebagai penyakit dan objek pelecehan saja. Postmo sebagai suatu gerakan budaya sesungguhnya merupakan sebuah oto-kritik dalam filsafat Barat yang mengajak untuk melakukan perombakan filosofis secara total agar tidak lagi melihat hubungan antarparadigma maupun antarwacana sebagai suatu “dialektika” seperti yang diajarkan Hegel. Postmo menyangkal bahwa kemunculan suatu wacana baru pasti meniadakan wacana sebelumnya. Sebaliknya gerakan baru ini mengajak kita untuk melihat hubungan antar wacana sebagai hubungan “dialogis” yang saling memperkuat satu sama lain. Berkaitan dengan kapitalisme dunia misalnya, Postmo menyatakan bahwa krisis yang terjadi saat ini adalah akibat keteledoran ekonomi modern dalam beberapa hal, yaitu: (1) kapitalisme modern terlalu tergantung pada otoritas teoretisi sosial-ekonomi seperti Adam Smith, J.S.Mill, Max Weber, Keynes, Samuelson, dan lain-lain yang menciptakan postulasi teoretis untuk secara sewenangwenang merancang skenario bagi berlangsungnya prinsip Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer

76

kapitalisme; (2) modernisme memahami perkembangan sejarah secara keliru ketika menganggap sejarah sebagai suatu gerakan linear menuju suatu titik yang sudah pasti. Postmo muncul dengan gagasan bahwa sejarah merupakan suatu genealogi, yakni proses yang polivalen, dan (3) erat kaitannya

dengan

kekeliruan

dalam

menginterpretasi

perkembangan sejarah, ekonomi modern cenderung untuk hanya meperhitungkan aspek-aspek noble material dan mengesampingkan vulgarmaterial sehingga berbagai upaya penyelesaian krisis seringkali justru berubah menjadi pelecehan.

Inkonsistensi

yang

terjadi

adalah

akibat

rendahnya empati para pembuat keputusan terhadap persoalan-persoalan yang mereka hadapi. Postmo bukanlah suatu gerakan homogen atau suatu kebulatan yang utuh. Heterogenitas inilah yang menyebabkan sulitnya pemahaman orang awam terhadap Postmo. Dalam wujudnya yang bukan merupakan suatu kebulatan, Postmo tidak dapat dianggap

sebagai

suatu

paradigma

alternatif

yang

berpretensi untuk menawarkan solusi bagi persoalanpersoalan yang ditimbulkan oleh modernisme, melainkan lebih merupakan sebuah kritik permanen yang selalu mengingatkan kita untuk lebih mengenali esensi segala sesuatu dan mengurangi kecenderungan untuk secara Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer

77

sewenang-wenang membuat suatu standar interpretasi yang belum tentu benar.

Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer

78

BAB IV TOKOH-TOKOH POSTMODERN DAN PEMIKIRANNYA

A. JACQUES DERRIDA 1. Biografi Singkat Jacques Derrida Coker, John C (2003) menjelaskan Jacques Derrida adalah seorang filosof Prancis sebagai tokoh penting poststrukturalis dan Postmodernis. Ia lahir dalam lingkungan keluarga Yahudi pada 15 Juli 1930 di Aljazair. Pada tahun 1949 ia pindah ke Prancis sampai akhir hayatnya. Ia kuliah sambil di École Normale Supérieure di Paris Prancis dalam rangka melaksanakan tugas militernya bersama Hegel dan Jean Hyppolite. Dia menghabiskan waktu satu tahun di Harvard untuk menyelesaikan kesarjanaannya, dari tahun 1956-1957. Dari

tahun

1960-1964,

Derrida

mengajar

di

Sorbonne dan sejak tahun 1965 Derrida mengajar sejarah filsafat di Ecole Normale Superieure.Setiap tahun Derrida mengajar sebagai dosen tamu di Yale University, Amerika serikat. Pada masa muda, Derrida pernah menjadi anggota Partai komunis Prancis.Sejak tahun 1974 Derrida ikut aktif Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer

79

dalam kegiatan-kegiatan himpunan dosen filsafat yang memperjuangkan agar filsafat dapa diajarkan mulai sekolah menengah. Kelompok ini merupakan kelompok penelitian pengajaran filsafat yang didirikan dalam rangka rencana pembaharuan pendidikan peranan filsafat pada sekolah menengah mulai dipersoalkan.Pada tahun 1962, Derrida memenangkan hadiah Prix Cavilles atas karya perdananya, dengan

menerbtkan

terjemahan

karangan

Husserl

yakniAsal-Usul Ilmu Ukur. Derrida muda dibesarkan dalam lingkungan yang agak bersikap deskriminatif. Ia dipaksa mundur sedikitnya dari dua sekolah, yaitu ketika ia masih anak-anak. Pemaksaan itu semata-mata karena ia seorang Yahudi. Ia dipaksa keluar dari sebuah sekolah, karena ada batas kuota 7 persen bagi warga Yahudi. Meskipun Derrida tidak suka, jika dikatakan bahwa karyanya diwarnai oleh latar belakang kehidupannya, tetapi pengalaman kehidupannya tampak berperan besar pada sikap Derrida yang begitu menekankan pentingnya kaum marginal dalam pemikirannya kemudian. Karya awal Derrida di bidang filsafat sebagian besar berkaitan dengan fenomenologi. Latihan awalnya sebagai filsuf dilakukan melalui kacamata Edmund Husserl. Inspirasi penting lain bagi pemikiran awalnya berasal dari Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer

80

Nietzsche, Heidegger, De Saussure, Levinas, dan Freud. Derrida mengakui bahwa gagasan-gagasannya terinspirasi dari para pemikir itu dalam pengembangan pendekatannya terhadap

teks,

yang

kemudian

dikenal

sebagai

'dekonstruksi'. Pada 1967, Derrida sudah menjadi filsuf penting kelas dunia. Ia menerbitkan tiga karya utama (Of Grammatology, Writing and Differance, dan Speech and Phenomena). Seluruh karyanya ini memberi pengaruh yang berbeda-beda, namun Of Grammatology tetap karyanya yang paling terkenal. Pada Of Grammatology, Derrida mengungkapkan dan kemudian merusak oposisi ujarantulisan, yang menurut Derrida telah menjadi faktor yang begitu berpengaruh pada pemikiran Barat. Keasyikan Derrida dengan bahasa dalam teks ini menjadi ciri khas sebagian besar karya awalnya. Sejak penerbitan karya-karya tersebut serta teks-teks penting lainnya (termasuk Dissemination, Glass, The Postcard, Spectres of Marx, The Gift of Death, dan Politics of Friendship), dekonstruksi secara bertahap meningkat, dari memainkan peran utama di benua Eropa, kemudian juga berperan penting dalam konteks filosofis Anglo-Amerika. Peran ini khususnya terasa di bidang kritik sastra, dan kajian Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer

81

budaya, yakni ketika metode analisis tekstual dekonstruksi memberi inspirasi kepada ahli teori, seperti Paul de Man. Dekonstruksi sering menjadi subjek kontroversi. Ketika Derrida diberi gelar Doctor Honoris Causa di Cambridge pada 1992, banyak protes bermunculan dari kalangan

filsuf

“analitis.”

Sejak

itu,

Derrida

juga

mengadakan banyak dialog dengan filsuf-filsuf seperti John Searle, salah satu filsuf yang sering mengritiknya. Bagaimanapun, dari banyaknya antipati tersebut, tampak bahwa dekon-struksi memang telah menantang filsafat tradisional melalui berbagai cara penting. Derrida dianggap sebagai salah satu filsuf terpenting abad ke-20 dan ke-21. Istilah-istilah falsafinya yang terpenting adalah différance dan dekonstruksi.

2. Pemikiran-pemikiran Jacques Derrida 1) Derrida

memulai

pemikirannya

mendekonstruksi pandangan

dari

bahasa.

Ia

Noam Chomsky tentang

strukturalis bahasa ke pandangan tindak tutur bahasa yang dipelopori oleh Austin. Menurut Derrida struktur bahasa itu bersifat kaku dalam membentuk makna. Derrida keluar dari strukturalis ke post strukturalis dengan kerangka pemikiran bahwa teks adalah tanda, Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer

82

sedangkan tandabukan sarana untuk menghadirkan makna tetapi tanda sama nilainya dengan kehadiran makna, maka makna hakikatnya adalah teks itu sendiri. Dengan

demikian,

Derrida

menolak

pandangan

strukturalis yang menyatakan bahwa makna hanya ditentukan oleh kaidah/sistem yang berada di luar subjek. Menurutnya makna ditentukan oleh teks itu sendiri (konteks) dan subjek (pembaca). 2) Pemikiran Derrida tentang Dekonstruksi dan Defferance adalah pembong-karan makna. Pembongkaran makna itu menampakkan aneka ragam aturan yang sebelumnya tersembunyi

untuk

menentukan

teks.

Derrida

menyebutnya dengan istilah dekonstruksi. Satu hal yangdapat ditampakkan melalui proses pembongkaran makna yang mendapat perhatian khusus dalam filsafat Derrida adalah “yang tak dipikirkan” dan “yang tak terpikir”. Metode dekonstruksi Jacques Derrida tentang “yang tak dipikirkan” dan “yang tak terpikir” inilah yang kemudian membuat Derrida melakukan kritik terhadap pemikiran dipikirkan”

para

penganut

maksudnya

metafisika. adalah

“Yang

“yang

tak

mustahil

dipikirkan”, menurut Derrida, hal itu merupakan hal yang belum dapat dipikirkan oleh para penganut metafisika Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer

83

(mungkin teks-teks tersebut dianggap suci, jadi tidak ada yang berani untuk menyentuhnya), sedangkan “yang tak terpikir”, maksudnya adalah hal-hal yang bisa dipikirkan kembali dari pemikiran filosofis penganut metafisika. Dengan demikian, penafsiran yang dianggap mustahil atau tabu karena dianggap suci bagi kaum metafisika atau agamawan,

menjadi

sesuatu

yang

wajar

untuk

ditafsirkan. 3) Dekonstruksi juga tidak hanya bergerak di tataran filsafat, melainkan juga menyentuh literatur, politik, seni, arsitektur, dan bahkan ilmu-ilmu alam. Di dalam kajian lintas ilmu, dekonstruksi dapat digambarkan sebagai suatu

kekuatan

untuk

mengubah

dan

membelah

kepastian, serta pakem-pakem lama yang tidak lagi dipertanyakan. Di dalam tulisan-tulisannya, Derrida berulang kali

menuliskan

bahwa

kekuatan

untuk

mengubah dan membelah makna itu sebenarnya sudah terkandung di dalam teks itu sendiri. Yang dilakukan hanyalah mengaktifkan kekuatan itu, dan kemudian menyebarkannya ke keseluruhan teks. Derrida mau melakukan desedimentasi terhadap teks, dan membuka kemungkinan-kemungkinan baru yang sebelumnya tidak terpikirkan. Dalam arti ini ia mau menciptakan gempa di Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer

84

dalam teks, maksudnya bahwa makna tidak bersifat tunggal melainkan plural. 4) Dekonstruksi Derrida tidak hanya menggambarkan teks, melainkan juga mengungkap kontradiksi yang terletak di dalam detil teks, sehingga pemaknaan dan arti baru yang sebelumnya tidak terpikirkan justru bisa tampil menjadi dominan dan mengubahnya ke arah yang sama sekali tidak terduga. Tidak ada bagian teks yang sifatnya stagnan atau permanen. Apabila tidak ada yang sifatnya permanen di dalam teks, maka teks selalu bisa dibaca dan dimengerti dengan cara yang selalu berbeda. Tidak ada tafsiran dominan yang sifatnya otoritatif. Dengan demikian dimungkinkan dalam kurun waktu yang berbeda atau oleh pembaca yang berbeda ditemukan makna yang berbeda pula, misalnya makna kekuasaan bagi seorang eksekutif akan berbeda jika ditafsirkan oleh rakyat biasa. 5) Di dalam kajian lintas ilmu, dekonstruksi dapat digambarkan sebagai suatu kekuatan untuk mengubah dan membelah kepastian dan pakem-pakem lama yang tidak lagi dipertanyakan. Konsep dekonstruksi dapat dipahami dengan konsep differance, jejak-jejak makna (trace), dan iterabilitas.Kata differance terdiri atas dua Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer

85

kata yakni membedakan (to differ), dan menunda kepastian (to defer). Jadi kebenaran dan makna di dalam teks

harus

terus

dibedakan

dan

ditangguhkan

kepastiannya, karena kebenaran harusditangguhkan dan dibedakan terus menerus, maka kebenaran mutlak itu pada dasarnya tidak ada. Menurut Derrida, yang bisa ditemukan

dan

diketahui

adalah

jejak-jejak

dari

kebenaran, dan bukan kebenaran mutlak. Inilah yang dimaksud dengan konsep jejak (trace) di dalam pemikiran

Derrida.

Sementara

iterabilitas

adalah

kemampuan suatu teks untuk selalu dimaknai terus menerus di dalam konteks yang berbeda-beda. Teks adalah sesuatu yang lentur dan lincah. Teks adalah tanda yang bisa terus diulang dan dibedakan sesuai dengan horison pembaca dan penafsirnya.

3. Kelemahan Kelemahan mengantarkan

kita

metode pada

dekonstruksi sebuah

model

adalah semiotika

ketidakberaturan atau semiotics of chaos, sehingga era dekontruktivisme dianggap era matinya makna. Makna menjadi tidak berarti lagi, maksudnya tidak ada satu makna yang mengandung kebenaran mutlak. Kebebasan tanpa Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer

86

batas menjadikan makna kehilangan ‘roh’. Yang ada adalah massalisasi makna yang dapat mengurangi nilai dan objek tidak lagi memiliki kemewahan ruang pemaknaan untuk ditelaah. Ketidakbernilaian makna, ke-chaos-an makna dapat

menimbulkan

apatisme

dan

ketidakpercayaan

terhadap makna. Dekonstruksi tidak menyediakan sheltershelter untuk persinggahan khusus dalam proses perjalanan pemaknaan, sehingga tidak ada upaya untuk menghargai puing-puing hasil penghancuran makna karena maknamakna baru dianggap lebih bernilai. Padahal, makna-makna lama ada kemungkinan memberi nilai tambah bagi maknamakna baru.

4. Kelebihan Kelebihan metode Dekonstruksi yaitu menolak kemapanan, menolak objektivitas tunggal dan menolak kestabilan makna sehingga membuka ruang kreatif seluasluasnya

dalam

proses

pemaknaan

dan

penafsiran.

Dekonstruksi membuat penghancuran terhadap suatu makna oleh makna baru, sehingga melahirkan makna-makna lain. Setiap orang bebas memberi makna dan menafsiri suatu objek tanpa batas, sehingga ruang makna terbuka luas. Tafsiran-tafsiran makna berkembang biak secara terusPerspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer

87

menerus. Ibarat pepatah, mati satu tumbuh seribu. Pemikiran Derrida ini memberikan ekses yang sangat besar terhadap perkembangan ilmu dan teknologi saat ini. Terbukanya pemaknaan terhadap teks mendorong para pembaca untuk menciptakan makna yang seluas-luasnya sesuai dengan konteks dan subjek pembaca, sehingga pemaknaan terhadap teks tidak lagi tunggal dan sakral tetapi beragam dan sangat kaya wawasan.

Perhatikan contoh di bawah ini: Bersatulah Pelacur-Pelacur Kota Jakarta Pelacur-pelacur Kota Jakarta Dari kelas tinggi dan kelas rendah Telah diganyang diharu-biru Mereka kecut Keder Terhina dan tersipu-sipu Sesalkan mana yang mesti kau sesalkan Tapi jangan kau lewat putus asa Dan kaurelakan dirimu dibikin korban Wahai pelacur-pelacur kota Jakarta Sekarang bangkitlah Sanggul kembali rambutmu Karena setelah menyesal Datanglah kini giliranmu Bukan untuk membela diri melulu Tapi untuk lancarkan serangan Karena Sesalkan mana yang mesti kau sesalkan Tapi jangan kaurela dibikin korban Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer

88

Sarinah Katakan kepada mereka Bagaimana kau dipanggil ke kantor menteri Bagaimana ia bicara panjang lebar kepadamu Tentang perjuangan nusa bangsa Dan tiba-tiba tanpa ujung pangkal Ia sebut kau inspirasi revolusi Sambil ia buka kutangmu Dan kau Dasima Khabarkan pada rakyat Bagaimana para pemimpin revolusi Secara bergiliran memelukmu Bicara tentang kemakmuran rakyat dan api revolusi Sambil celananya basah Dan tubuhnya lemas Terkapai disampingmu Ototnya keburu tak berdaya Politisi dan pegawai tinggi Adalah caluk yang rapi Kongres-kongres dan konferensi Tak pernah berjalan tanpa kalian Kalian tak pernah bisa bilang ‘tidak’ Lantaran kelaparan yang menakutkan Kemiskinan yang mengekang Dan telah lama sia-sia cari kerja Ijazah sekolah tanpa guna Para kepala jawatan Akan membuka kesempatan Kalau kau membuka paha Sedang diluar pemerintahan Perusahaan-perusahaan macet Lapangan kerja tak ada Revolusi para pemimpin Adalah revolusi dewa-dewa Mereka berjuang untuk syurga Dan tidak untuk bumi Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer

89

Revolusi dewa-dewa Tak pernah menghasilkan Lebih banyak lapangan kerja Bagi rakyatnya Kalian adalah sebagian kaum penganggur yang mereka ciptakan Namun Sesalkan mana yang kau kausesalkan Tapi jangan kau lewat putus asa Dan kau rela dibikin korban Pelacur-pelacur kota Jakarta Berhentilah tersipu-sipu Ketika kubaca di koran Bagaimana badut-badut mengganyang kalian Menuduh kalian sumber bencana negara Aku jadi murka Kalian adalah temanku Ini tak bisa dibiarkan Astaga Mulut-mulut badut Mulut-mulut yang latah bahkan seks mereka politikkan Saudari-saudariku Membubarkan kalian Tidak semudah membubarkan partai politik Mereka harus beri kalian kerja Mereka harus pulihkan darjat kalian Mereka harus ikut memikul kesalahan Saudari-saudariku. Bersatulah Ambillah galah Kibarkan kutang-kutangmu dihujungnya Araklah keliling kota Sebagai panji yang telah mereka nodai Kinilah giliranmu menuntut Katakanlah kepada mereka Menganjurkan mengganyang pelacuran Tanpa menganjurkan Mengawini para bekas pelacur Adalah omong kosong Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer

90

Pelacur-pelacur kota Jakarta Saudari-saudariku Jangan melulur keder pada lelaki Dengan mudah Kalian bisa telanjangi kaum palsu Naikkan tarifmu dua kali Dan mereka akan klabakan Mogoklah satu bulan Dan mereka akan puyeng Lalu mereka akan berzina Dengan isteri saudaranya. Pandangan W.S. Rendra dalam konteks wacana di atas sangat bertolak belakang dari pandangan pakem masyarakat terhadap pelacur. Apabila masyarakat pada umumnya memandang pelacur sebagai wanita yang memiliki moralitas rendah ‘bejat’, sebagai penggoda para laki-laki sekaligus sebagai aib, baik bagi keluarga maupun bagi masyarakat, maka W.S. Rendra memandang dari sudut pandang humanis terhadap sesama manusia dan menafikkan kemunafikan masyarakat kelompok lain yang memandang dirinya lebih terhormat (para politisi, pejabat dan birokrat) serta menempatkan para pelacur pada kelas “sampah” di masyarakat. Rendra melihat sebaliknya, dari kacamata humanis, dia memandang

pelacur

sebagai

korban

kebiadaban

dan

ketidakmanusiawian para birorat dan politisi. Menurut Rendra, pekerjaan pelajur merupakan korban keserakahan para penguasa yang menjadikan mereka kelaparan dan sulit mendapatkan pekerjaan. Itu sebabnya, Rendra menyebut mereka sebagai teman sesame rakyat yang menjadi korban kebiadaban, keserakahan, dan kemunafikan para birokrat. Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer

91

Sementara itu, di pihak para politisi dan birokrat, untuk memenuhi kebutuhan biologisnya, para birokrat sangat membutuhkan kehadiran para pelacur /sebagai inspirasi revolusi, kekuatan perjuangan pembangunan/, namun di sisi lain, untuk menunjukkan kehormatannya di masyarakat, dia berteriak pelacur sebagai sampah masyarakat. Itu sebabnya, Rendra menyebut mereka sebagai /Politisi dan pegawai tinggi adalah caluk yang rapi. Kongres-kongres dan konferensi tak pernah berjalan tanpa kalian/. Derrida mengatakan, pembaca bebas memaknai teks ketika sudah menjadi milik masyarakat pembaca. Perbedaan dan pemekaran makna tersebut menurut Derrida dapat dilakukan dengan cara (1) melacak unsur makna paradoks, makna kontradiktif, dan makna ironi dan

(2)

membalikkan

atau

mengubah

makna

yang

sudah

dikonvensionalkan. Dengan demikian, puisi di atas juga dapat ditafsirkan menjadi berbagai macam makna, misalnya paradoks dari sudut pandang si pelacur, pejabat, politisi, masyarakat awam, ustadz, pendidik, sosiolog, psikolog, dan sebagainya. Masing-masing sudut pandang akan menghasilkan penafsiran yang berbeda dari masingmasing persepsi pembaca, sehingga satu teks wacana puisi dia atas dapat menghasilkan jutaan penafsiran makna oleh subjek pembaca yang berbeda dari sudut pandang yang berbeda pula. Dari berbagai penafsiran tersebut semua mengandung kebenaran dan tidak ada satu penafsiran pun yang dinilai paling benar.

Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer

92

Pemikiran Derrida dapat digambarkan melalui skema/bagan sebagai berikut:

ITERABILITAS TEKS PROSES PEMAKNAAN DEKONSTRUKSI  KONTEKS  PENGETAHUAN  PENGALAMAN

1. OPOSISI BINNER 2. DIFFERENCE 3. DIFFERANCE

HASIL DEKONSTRUKSI

TRACE 1

TRACE 2

TRACE 3

TRACE N

Gambar 4.1 : Skema Pemaknaan Teks Dekonstruksi Derrida

Berdasarkan skema di atas dapat dijelaskan bahwa iterabilitas teks (kemampuan suatu teks untuk selalu dimaknai terus-menerus di dalam konteks yang berbedabeda) menurut Derrida didasarkan pada 3 hal yaitu (1) Oposisi Binner (makna yang berlawanan); (2) Difference (makna yang belum terpikirkan); (3) Defferance (makna Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer

93

yang tidak terpikirkan). Untuk memperoleh makna tersebut penafsir dipengaruhi oleh (1) konteks (sejarah dan tempat teks

itu

ditafsirkan);

(2)

pengalaman

penafsir;

(3)

pengetahuan penafsir. Artinya banyaknya pengalaman dan dalamnya pengetahuan penafsir akan berpengaruh terhadap hasil dekonstruksi makna. Dengan demikian akan diperoleh jenis makna yang berbeda antara penafsir yang satu dengan penafsir yang lain dalam konteks yang berbeda. Inilah yang disebut Derrida sebagai trace (jejak-jejak makna).

B. JEAN FRANCOIS LYOTARD 1. Biografi Singkat Jean-François Lyotard Jean-François Lyotard dilahirkan di Versailles pada tahun 1924. Setelah Perang Dunia II, ia diterima di Universitas Sorbonne dan mengambil filsafat sebagai pokok studinya. Setelah itu, ia menjadi dosen di beberapa universitas.Sepuluh tahun mengajar di Universitas Paris VIII Saint Denisd dari tahun 1956 sampai 1966. Lyotard menjadi anggota dewan redaksi jurnal sosialis, Socialisme ou Barbarie dan surat kabar sosialis Pouvoir Ouvrier. Di samping itu, dia menjadi perserta aktif dalam upaya menentang pemerintahan Perancis saat berlangsungnya Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer

94

perang di Aljazair. Pemikiran filsafatnya dipengaruhi oleh Marx dan Kant. Meskipun demikian pengaruh Marx dalam politiknya hanya disetujuinya pada tahun 1950-an, sebab pada tahun 1960-an dia sudah menjadi seorang filsuf postmodernitas non-Marxis. Ia meninggal pada tahun 1998 dalam usia yang ke-74.

2. Pemikiran Jean-François Lyotard tentang Postmo Jean-Francois

Lyotard,

dalam

bukunya

The

Postmodernt Condition: A Report on Knowledge (1979), adalah salah satu pemikir pertama yang menulis secara lengkap mengenai postmo sebagai fenomena budaya yang lebih luas, diantaranya adalah gerakan perpindahan dari fondasionalisme

menuju anti-fondasionalisme,

dari

teori besar (grand theory) menuju teori spesifik, dari sesuatu yang universal menuju sesuatu yang sebagian dan lokal, dari kebenaran yang tunggal menuju kebenaran yang beragam. Semua gerakan tersebut adalah mencerminkan tantangan postmo kepada modernis. Pemahaman pemikiran postmo menjadi penting untuk memahami berbagai perkembangan ilmu pengetahuan dan budaya yang tidak lagi memadai untuk dianalisis

hanya berdasarkan

paradigma ilmiah

Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer

95

modern yang lebih menekankan kesatuan, homogenitas, objektivitas, dan universalitas. Sementara ilmu pengetahuan dalam pandangan postmo lebih menekankan pada pluralitas, perbedaan,

heterogenitas,

budaya

lokal/etnis,

dan

pengalaman hidup sehari-hari. Menurut Lyotard (1979), bahwa awalan post pada postmo, merupakan upaya untuk memutus hubungan masa lalu dengan tradisi modern dengan cara memunculkan pemikiran baru. Pemutusan dengan masa lalu (zaman modern) merupakan jalan untuk melupakan dan merepresi masa

lalu.

Dalam

pandang-an modernisme,

ilmu

pengetahuan berkembang sebagai pemenuhan keinginan untuk keluar dari mitos-mitos yang digunakan masyarakat primitif dalam menjelaskan fenomena alam, sedangkan modernitas adalah proyek intelektual yang mencari kesatuan berdasarkan fondasi sebagai jalan menuju kemajuan. Dalam pandangan modernisme, sains dianggap sebagai iderasionalitas dan humanisasi yang merupakan konstruk metanarasi. Sementara dalam pandangan postmo, ide rasionalitas dan humanisme merupakan konstruksi historis dan konstruksi sosial budaya yang tidak universal, sehingga kedua hal tersebut tidak dapat diseragamkan tanpa mempertimbangkan

kondisi

sosial-historis

serta

Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer

96

budaya lokal. Keanekaragaman pemikiran menurut Lyotard hanya dapat dicapai dengan melakukan penolakan terhadap kesatuan

(unity ),

dengan

mencari

disensus

(ketidaksepakatan) secara radikal. Lyotard merupakan pemikir postmo yang penting karena memberikan fondasi filosofis pada gerakan postmo. Pemikiran-pemikirannya dijelaskan sebagai berikut:

1) Penolakan terhadap Grand Narative (Meta Narasi) Bagi Lyotard (1979), penolakan postmo terhadap metanarasi merupakan salah satu ciri utama dari postmo, dan menjadi dasar baginya untuk melepaskan diri dari Grand-Narative. Baginya ilmu pengetahuan pra-modern dan modern

mempunyai

didasarkan menjadi

pada

bentuk

metanarasi

kerangka

untuk

kesatuan

(unity)

yang

(Grand-Naratives)

yang

menjelaskan

berbagai

permasalahan penelitian dalam skala mikro bahkan terpencil sekalipun. Metanarasi itu menjadi kerangka penelitian ilmiah dan sekaligus sebagai justifikasi keilmiahan. Grand Naratives (Metanarasi) adalah teori-teori atau konstruksi dunia yang mencakup segala hal dan menetapkan kriteria kebenaran dan objektivias ilmu pengetahuan sebagai satusatunya yang ilmiah/benar. Dengan konsekuensi bahwa Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer

97

narasi-narasi

lain

di

luar

narasi

besar

dianggap

sebagai narasi non-ilmiah. Penolakan terhadap metanarasi berarti menolak penjelasan yang sifatnya universal/global tentang realitas. Lyotard

(1979)

tidak bersifat

juga menyatakan

metafisis,

universal,

bahwa pengetahuan atau

transendental

(esensialis), melainkan bersifat spesifik, terkait dengan ruang-waktu

(historis).

Bagi

pemikir

postmo,

ilmu

pengetahuan memiliki sifat perspektifal, posisional dan tidak mungkin ada satu perspektif yang dapat menjangkau karakter dunia secara objektif-universal. Pandangan Lyotard menumbuhkembangkan

ilmuwan-ilmuwan

kreatif

dan

inovatif di segala bidang keilmuan. Memudarnya kepercayaan terhadap metanarasi disebabkan oleh proses delegitimasi atau krisis legitimasi, yakni ketika fungsi legitimasi metanarasi

mendapatkan

tantangan berat. Pengetahuan sains tidak lagi dihasilkan demi pengetahuan melainkan demi profit di mana kriterium yang berlaku bukan lagi benar/salah, melainkan kriterium performatif:

maximum

out

put

with

a

minimum

input (menghasilkan semaksimal mungkin dengan biaya sekecil mungkin). Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer

98

Lyotard yakin bahwa kita memasuki fase ketika logika tunggal yang diyakini kaum modernis sudah mati digantikan

oleh

pluralitas

logika

atau

paralogi.

Perspektivisme tentang ilmu pengetahuan yang berasal dari Nietzche digunakan Lyotard untuk menolak pandangan ilmu pengetahuan yang universal dan total. Menurutnya tidak ada perspektif tunggal tentang realitas objektif yang universal, yang ada adalah bermacam-macam perspektif sesuai dengan konteks dan cara pandang terhadap ilmu pengetahuan.Pada situasi postmo ini, ilmu pengetahuan dan filsafat bertujuan untuk

penemuan

bermacam-macam

kebenaran

dan

performatif, serta nilai-nilai pragmatis. Dalam pandangan Lyotard (1979), relativisme dan kebenaran absolut sama-sama memiliki kelemahan. Kelemahan

pandangan

adalah pada

kenyataannya

kebenaran absolut-universal parailmuwan

memiliki

keterbatasan ketika menghadapi (meneliti) realitas. Apalagi kebenaran teori juga bersifat tentatif (percobaan). Dengan demikian pandangan yang menyatakan bahwa teori bersifat benar secara absolut-universal tidak ada dan tidak dapat dibenarkan. Di sisi lain perspektivisme mengarahkan pada relativisme ilmiah yang mengakui kebenaran ilmu yang Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer

99

relatif, yaitu kebenaran sesuai dengan perspektif/paradigma yang digunakan. Artinya, bisa jadi perspektif tertentu dianggap lebih memilki kesempurnaan dibanding perspektif yang lain karena metode dan hasilnya lebih akurat, lebih mendekati kebenaran, dan lebih berguna

2) Language Games Menurut Lyotard (1979), sains adalah permainan bahasa yang di dalamnya terkandung aturan-aturan normatif (misalnya pihak pertama sebagai pembuat proposisi yang harus menyediakan bukti yang memperkuat proposisinya, sedangkan

pihak

persetujuan

atau

kedua

hanya

boleh

memberikan

penolakannya).

Sains

dihadapkan

pada kenyataan bahwa ia tidak bisa memberlakukan aturan mainnya secara universal sehingga berhak menilai mana pengetahuan absah dan mana yang tidak. Menurut Lyotard, sains setelah mengalami krisis legitimasi terbukti bukan lagi pemonopoli kebenaran tunggal, karena dihadapkan pada kenyataan sekedar satu dari sekian banyak permainan bahasa. Permainan bahasa sains adalah permainan bahasa denotatif. Aturan main permainan bahasa denotatif adalah sebuah pernyataan untuk meyakinkan pihak kedua sebagai pihak yang wajib Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer

100

memberikan persetujuan atau penolakan berdasarkan bukti yang diajukan pihak pertama. Terjadinya pergantian paradigma ilmiah dari monoparadigma menjadi multi-paradigma ini dianggap sebagai terjadinya

keterputusan

epistimologis.

Ia

kemudian

membatasi ilmu pengetahuan sebagai permainan bahasa dan mengungkapkan konsep Language Games yang mengacu pada keanekaragaman penggunaan bahasa dalam kehidupan sehari-hari. Konsep permainan bahasa merupakan pergeseran dari bahasa sebagai cermin realitas kepada bahasa sebagai suatu permainan, yang memiliki aturan sebagai berikut: (a) pernyataan atau proposisi

ilmiah

adalah pernyataan

denotatif; (b) proposisi ilmiah berbeda dengan proposisi yang menekankan ikatan sosial atau yang terkait dengan asal-usul; (c) kompetensi hanya diperlukan pada pengirim bukan pada

penerima;

(d)

proposisi

ilmiah

adalah

sekumpulan pertanyaan yang dapat diuji oleh bukti dan argumen; (e) berkaitan dengan empat poin tersebut, konsep ini

mengharuskan

pemahaman

tentang situasi

pengetahuan ilmiah yang sedang berlangsung. Untuk legitimasi ilmiah, ilmu pengetahuan tidak memerlukan satu narasi karena aturan-aturan ilmiah bersifat imanen dalam Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer

101

permainannya (paradigmanya sendiri) (Leche,1994 dan Lubis, 2006).Dalam pandangan Lyotard, sains dianalogikan sebagai permainan bahasa. Sebagai permainan bahasa, sains tidak memiliki aturan tunggal yang permanen tetapi disesuaikan dengan kebutuhan permainan (perspektif dan historis). Dengan demikian, kebenaran dalam sains bersifat relatif dan pluralistik. 3) Anti-Fondasionalisme Menurut Lyotard anti fondasionalisme dalam teori sosial budaya dan filsafat menegaskan bahwa metanarasi (metode, humanisme, sosialisme, dan universalisme) yang dijadikan fondasi dalam modernitas barat dan hak-hak istimewanya

adalah

cacat,

maka

harus

ada

model

pengetahuan yang lebih sensitif terhadap perbedaan (Bertens, 2006).

Pandangan ini sejalan dengan Perry (1998) yang

mengemukakan bahwa ciri kaum postmo adalah tidak adanya kemutlakan dalam ilmu pengetahuan dan budaya, namun justru mendukung pluralisme dengan menyatakan bahwa setiap ilmuwan harus berhadapan dengan yang lainnya sebagai peneliti/penemu dengan informasi, cerita dan visi-visi yang berbeda Pemikiran Lyotard sebagai postmo secara umum sejalan dengan pemikiran para postmo lainnya yaitu Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer

102

menawarkan dan perbedaan

intermediasi (diversity)

daripada

daripada

determinasi

persatuan

(unity).

Antifondasionalis dalam filsafat dan ilmu pengetahuan sosial budaya menegaskan bahwa metanarasi yang dijadikan fondasi ilmu pengetahuan, humanisme, sosialisme dan lainlain, adalah cacat. Untuk itu metode pengetahuan harus lebih sensitif terhadap berbagai perbedaan. Peran para intelektual sebagai legislator kepercayaan digantikan dengan interpreter. Konsep perbedaan, perspektif, multi vokalitas, language game dan hal-hal yang bersifat lokal lainnya menjadi perhatian khusus dalam pemikiran postmo menurut Lyotard

(Perry,1998).

Pandangan

esensialisme

yang

didukung oleh paradigma positivisme dianggap tidak realistis dan tidak mampu menjelaskan fenomena sosial budaya yang begitu beraneka ragam. Sehingga pemikiran dan konsep-konsep tersebut mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan kajian sosial-budaya. Kelemahan pandangan Lyotard adalah bahwa teori yang dibangun tidak bertahan lama/jangka pendek karena bersifat pragmatis dan historis sehingga teori ini tidak dapat berlanjut ke tahap transendental. Munculnya banyak teori yang bersifat spesifik, pragmatis, perspektif menyebabkan Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer

103

kesulitan bagi peneliti pemula. Dengan demikian, oleh para pengikut Modernis, budaya postmo diangap sebagai budaya dangkal karena tidak bertujuan menemukan esensi realitas (kebenaran objektif universal). Adapun kekuatan atau kelebihan pandangan ini adalah munculnya banyak teori baru yang lebih spesifik dan pragmatis, sehingga teori-teori yang diciptakan menurut pandangan ini bersifat dinamis sesuai dengan perspektif dan konteks

masing-masing

lokal.

Pemikiran

Lyotardini

memberikan sumbangan yang sangat besar terhadap perkembangan ilmu dan teknologi terutama munculnya teori-teori baru yang sesuai dengan konteks dan pragmatis. Dengan penolakannya terhadap metanarasi berarti tidak ada lagi universalisasi teori, sehingga dunia pengetahuan makin marak berkembang, eksperimen-eksperimen makin banyak dilakukan untuk menemukan teori baru sesuai dengan bidang, konteks, dan kebutuhan, di antaranya makin meningkatnya rekayasa di bidang pertanian, rekayasa perikanan dan peternakan, juga rekayasa di bidang teknologi.

Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer

104

Tabel 4.1: Pemikiran Modernis versus Pemikiran Posmo Lyotard Modernism `1.

Fondasionalisme Metanarasi

2.

Grand Theory

3.

Mono Paradigma

4.

Kebenaran Tunggal

5.

Realitas Universal

6.

Makna Transendental

7. 8.

Pengetahuan bersifat makro Kriteria benar-salah

9. 10. 11.

Bersifat Determinasi Menekankan Unity Menghasilkan ilmuwan besar

Post Modernism Lyotard Anti Fondasionalime Metanarasi cacat yang ada spesifik dan multinarasi Grand theory tidak ada, yang ada paralogi theory Mono Paradigma itu tidak ada yang ada multi Paradigma Kebenaran universal itu tidak ada yang ada kebenaran relative dan pluralistik karena ilmu bersifat eksperimen Realitas universal itu tidak ada yang ada realitas itu spesifik, perspektif, dan pragmatis Tidak ada makna transenden yang ada makna bersifat dinamis sesuai dengan konteks dan historis Pengetahuan bersifat mikro Kriteria maksimum dan minimum Bersifat Intermediasi Menekankan Deversifikasi Menghasilkan ilmuwanilmuwan kreatif dan inovatif di segala bidang keilmuan.

Tabel 4.1 di atas dapat disederhanakan dalam gambar berikut ini:

Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer

105

FONDASIONALISM

METANARA

KEBENARA N TUNGGAL

LANGUAGE GAMES

ANTI FONDASIONAL PARALO

Gambar 4.2 : Pemikiran Modernis versus Pemikiran Posmo Lyotard

Berdasarkan gambar 4.2 di atas dapat dijelaskan bahwa pemikiran Lyotard tentang posmo merupakan pemikiran besar dalam aliran Modernism. Menurut Lyotard, memudarnya kepercayaan terhadap metanarasi disebabkan oleh krisis legitimasi,

yakni ketika fungsi legitimasi

metanarasi mendapatkan tantangan berat. Pengetahuan sains tidak lagi dihasilkan demi pengetahuan melainkan demi profit dan kriterium yang berlaku bukan lagi benar/salah, melainkan kriterium performatif: maximum out put with a minimum input (menghasilkan semaksimal mungkin dengan biaya sekecil mungkin). Lyotard yakin bahwa logika tunggal yang diyakini kaum modernis sudah mati digantikan oleh Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer

106

pluralitas logika atau paralogi. Sementara itu, language game (permainan bahasa) merupakan langkah untuk menjembatani krisis legitimasi monopoli kebenaran di bidang sains. Adapun anti fondasionalisme, menurut Lyotard dalam teori sosial budaya dan filsafat menegaskan bahwa metanarasi (metode, humanisme, sosialisme, dan universalisme) yang dijadikan fondasi dalam modernitas barat a adalah cacat, maka harus ada model pengetahuan yang lebih sensitif terhadap perbedaan yang disebut dengan antifondasionalisme.

C. PAUL MICHEL FOUCAULT 1. Biografi Singkat Paul Michel Foucault Paul Michel Foucault (Poitiers, 15 Oktober 1926– Paris, 25 Juni 1984) adalah seorang filsuf asal Perancis. Ia salah satu pemikir paling berpengaruh pada zaman pasca Perang Dunia II. Foucault dikenal akan penelaahannya yang kritis terhadap berbagai institusi sosial, terutama psikiatri, kedokteran, dan sistem penjara, serta akan karya-karyanya tentang

riwayat

kekuasaan

dan

seksualitas. hubungan

Karyanya antara

yang

kekuasaan

terkait dengan

pengetahuan telah banyak didiskusikan dan diterapkan, selain pemikirannya yang terkait dengan “wacana” dalam Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer

107

konteks sejarah filsafat Barat.Pada tahun 1980, Foucault diidentikkan dengan gerakan Postmodernisme, yaitu ketika ia menuangkan pemikirannya dalam beberapa tulisan, yaitu diantaranya The Order of Things, The Archeology of Knowledge, Dicipline and Punish, Language, Counter Memory, Practise, The History of Sexuality dan Power Knowledge. Analisisnya yang terkait dengan discourse, power dan knowledge merupakan sumbangan yang besar terhadap kritik pembangunan.Michel Foucault merupakan salah satu tokoh yang paling berpengaruh dalam gerakan Postmodernisme, yang menyumbangkan perkembangan teori kritik terhadap teori pembangunan dan modernisasi dari perspektif yang sangat berbeda dengan teori-teori kritik lainnya (Sarup, 1993; Berten, 2002; Fakih, 2002).

2. Pemikiran Paul Michel Foucault 1) Menurut Foucault (Sarup 1993 dan Berten 2002), wacana pembangunan merupakan alat untuk

mendominasi

kekuasaan. Pemikiran Foucault yang utama adalah penggunaan analisis wacana untuk memahami kekuasaan yang tersembunyi di balik pengetahuan. Analisisnya terhadap

hubungan

kekuasaan

dan

pengetahuan

memberikan pemahaman bahwa peran pengetahuan Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer

108

tentang pembangunan telah mampu melanggengkan dominasi terhadap kaum marjinal. Pandangan tersebut dimasukkan dalam karyanya tentang A Critique of Our Historical Era (dalam Wahyudi, 2006). Foucault melihat ada problematika dalam bentuk modern pengetahuan, rasionalitas, institusi sosial, dan subjektivitas. Semua itu, menurutnya terkesan given and natural, tetapi dalam faktanya semua itu adalah “serangkaian konstruk sosiokultural tentang kekuasaan dan dominasi”. Pendapat ini didasarkan pada studi tentang dominasi kekuasaan (penjajahan/kolonialisme) negara-negara dunia pertama (Negara Maju) terhadap negara-negara dunia ketiga (negara berkembang). Melalui pengetahuan, negaranegara maju menciptakan konsep pembangunan yang digunakan sebagai alasan dan strategi untuk memecahkan masalah

“keterbelakangan”

di

negara-negara

berkembang. Akan tetapi, faktanya alasan dan strategi membangun “keterbelakangan masyarakat” di negaranegara berkembang tersebut justru digunakan sebagai kedok untuk melanggengkan penjajahan, eksploitasi, dan dominasi kekuasaan terhadap negara-negara berkembang. Konsep

pembangunan

tersebut

tidak

hanya

melanggengkan dominasi dan ekploitasi pada negaraPerspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer

109

negara berkembang tetapi juga untuk menghancurkan ideologi-ideologi

negara-negara

berkembang

dan

menggan-tikannya dengan ideologi kapitalis. Pemikiran Foucault tentang kontrol penciptaan wacana dan bekerjanya kekuasaan pada pengetahuan sangat membantu para teoretisi dan praktisi perubahan sosial untuk melakukan pembongkaran terhadap teori dan praktek pembangunan. Hal ini perlu diperhatikan karena tanpa menganalisis pembangunan sebagai suatu wacana, maka akan sulit untuk memahami bagaimana Negara Barat mampu melanggengkan kontrol secara

sistematik

dan

bahkan

menciptakan

ketergantungan negara Dunia Ketiga secara politik, budaya dan sosiologi kepada Negara Barat tersebut. 2) Sejarah dominasi tersebut telah terjadi sejak abad penaklukan “dunia baru” hingga saat ini. Sebelum tahun 1945, strategi dominasi dilakukan dengan menggunakan wacana “dunia terbelakang”. Selanjutnya, pada era pasca kolonialisme, negara-negara maju mendirikan IBRD (bank dunia) tahun 1940-an dan 1950-an dengan wacana pembangunan untuk melakukan dominasi terhadap negara-negara berkembang. Negara-negara maju atau negara-negara kaya, dengan kekayaan dan teknologinya, Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer

110

merasa mampu untuk menyelamatkan kemajuan dunia dengan menciptakan Marshall Plan, yang ditujukan untuk menjadikan negara miskin menjadi kaya dan keterbelakangan

berubah

menjadi

pembangunan.

Organisasi internasional diciptakan untuk tujuan tersebut, yang diperkuat dengan pengetahuan ekonomi baru dan diperkaya dengan desain sistem manajemen yang canggih, sehingga membuat negara-negara berkembang menjadi yakin akan keberhasilannya (Berten, 2002). 3) Selanjutnya, menurut argumentasinya bahwa hubungan antara bentuk kekuasaan modern dan pengetahuan modern telah menciptakan bentuk dominasi baru. Bagi Foucault, selain eksploitasi dan dominasi, ada satu bentuk

yang

diakibatkan

oleh

suatu

wacana

pembangunan, yakni subjection (bentuk penyerahan seseorang pada orang lain sebagai individu, seperti pasien pada psikiater). Oleh karena itu, yang perlu dipelajari adalah upaya untuk membangkitkan kembali local

centres

dari

power

knowledge,

pola

transformasinya, dan upaya untuk masukkan ke dalam strategi dan akhirnya menjadikan pengetahuan mampu men-support kekuasaan (Sarup, 1993). Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer

111

4) Menurut pemikiran Foucault (Sarup,1993), bahwa setiap strategi yang mengabaikan berbagai bentuk power akan mengalami kegagalan. Untuk melipatgandakan power, harus berusaha bertahan dan melawan dengan jalan melipatgandakan resistensi dan kontra-ofensif. Localizeresistence tersebut haruslah bersifat radikal dan tanpa kompromi untuk melawan totalitas kekuasaan (daripada memakai cara revolusi massa), dengan strategi yang ditujukan

untuk

mengembangkan

jaringan

kerja

perjuangan, kantong-kantong resistensi dan popular base. 5) Yang perlu mendapatkan perhatian adalah analisis power tertentu (antar individu, kelompok, kegiatan dan lainlain) dalam rangka mengembangkan strategi pengetahuan dan membawa skema baru politisi, intelektual, buruh dan kelompok tertindas lainnya, maka power tersebut akan digugat. Apabila umumnya kekuasaan hanya tertuju pada negara dan kelas elit, pemikiran Foucault membuka kemungkinan untuk membongkar semua dominasi dan relasi kekuasaan, seperti kekuasaan dalam pengetahuan antara para pencipta wacana, seperti birokrat dan akademisi terhadap rakyat miskin dan siswa yang dianggap “tidak beradab” dan harus didisiplinkan, diregulasi dan “dibina”. Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer

112

6) Bila

dalam

paradigma

modern,

kesadaran

dan

objektivitas adalah dua unsur yang membentuk subjek rasional-otonom, bagi Foucault konsep diri manusia sebenarnya hanyalah produk bentukan wacana, praktikpraktik,

institusi,

hukum

ataupun

sistem-sistem

administrasi, yang anonim dan impersonal itu sebenarnya sangat kuat mengontrol (Madness and Civilization (1988); The Order of Things dan The Archeology of Knowledge, (1982). Bahkan, Iebih dalam lagi, Foucault ingin membongkar keterkaitan yang biasanya dianggap niscaya antara kesadaran, refleksi-diri dan kebebasan. Skeptisisme epistemologis yang ekstrim telah membuat Foucault

menyejajarkan

pengetahuan,

subjektivitas

dengan kekuasaan, dan karenanya menganggap segala bentuk kemajuan/pencerahan, baik di bidang psikiatri, perilaku seksual, maupun pembaharuan hukum–selalu saja sebagai tanda-tanda kian meningkatnya bentuk kontrol atas kesadaran dan perilaku individu. Bukan oleh agen atau rezim tertentu, melainkan oleh jaringan relasirelasi

semiotis,

diskursif

dan

administratif,

yang

sebetulnya anonim-impersonal tadi (Sarup, 1993). 7) Salah satu hal yang paling inspiratif bagi Postmo adalah sikapnya dalam memahami fenomena modern yang Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer

113

bernama “pengetahuan”, terutama Pengetahuan sosial. Ia membahas tentang “Apa itu pengetahuan”, secara genealogis dan arkeologis; artinya, dengan melacak bagaimana

pengetahuan

itu

telah

beroperasi

dan

mengembangkan diri selama ini. Kategori-kategori konseptual seperti “kegilaan”, “seksualitas”, “manusia”, dan sebagainya yang biasanya dianggap “natural” itu sebetulnya adalah situs-situs produksi pengetahuan, yang membawa

mekanisme-mekanisme

dan

aparatus

kekuasaan, yakni kekuasaan untuk “mendefinisikan” siapa kita. Ilmu-ilmu sosial dan ilmu kemanusiaan adalah agen-agen kekuasaan itu. Meskipun demikian, kekuasaan itu tidak selalu negatif-repressif melainkan juga positifproduktif (menciptakan kemampuan dan peluang baru), karena mehamami kemodernan bukan lagi sebagai pembebasan, melainkan sebagai proses kian intensif dan ekstensifnya

pengawasan

(surveillance),

melalui

“penormalan”, regulasi dan disiplin (Berten, 2002). 8) Sementara itu menurut Foucault (1979), sejarah adalah permainan dominasi dan resistensi yang bergeser-geser, grouping dan regrouping. Dalam sejarah, manusia memang sempat terbebas dari rantai kontrol eksternalfisik, tetapi hanya untuk dibelenggu oleh rantai kontrol Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer

114

internal-mental oleh diri sendiri ( Madness and Civilization, 1988). Berdasarkan pemikiran Foucault di atas dapat diketahui bahwa berbagai macam pengetahuan yang digunakan sebagai jargon pembangunan dan demokrasi seperti kesederajatan, kebebasan, dan keadilan, serta diciptakannya

Marshall

Plan,

yang

ditujukan

untuk

menjadikan negara miskin menjadi kaya, keterbelakangan menjadi pembangunan adalah alat-alat permainan dalam relasi kekuasaan untuk mendapatkan kekuasaan terhadap orang-orang yang tertindas. Dalam aplikasi dan kenyataan yang ada di negara Dunia Ketiga, telah terjadi intervensi yang mendalam atau terbentuk kekuasaan dan kontrol baru yang sangat halus, baik Dalam bidang ekonomi, politik, sosial dan bidang lainnya. Dengan kata lain, Dunia Ketiga menjadi target dari kekuasaan dalam berbagai bentuk dari lembaga kekuasaan baru Amerika dan Eropa, lembaga internasional, pemodal besar (perusahaan transnasional) sehingga dalam beberapa tahun telah mencapai ke semua lapisan masyarakat. Selanjutnya, ketika pembangunan mengalami krisis, wacana baru telah dilontarkan, yaitu globalisasi, untuk melanggengkan subjection, dominasi dan eksploitasi yang dilakukan oleh Negara Barat terhadap Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer

115

Dunia Ketiga. Di ASEAN juga dilontarkan wacana baru tentang MEA 2015 oleh pemilik modal besar yang dikontrol oleh lembaga kekuasaan baru di regional ASEAN yaitu Singapura dan Malaysia.

Secara skematis pemikiran Michel Foucault dapat dijelaskan sebagai berikut: KEKUASAAN MODERN

PENGETAHUAN MODERN

WACANA PEMBANGUNAN

DOMINASI BARU

MELANGGENGKAN KEKUASAAN

MARJINALISASI KAUM TERTINDAS

PEMISKINAN NEGARA BERKEMBANG

KETERGANTUNGAN PADA NEGARA MAJU

RESISTENSI Gambar : 4.3 : Skema Pemikiran Foucault Berdasarkan skema diatas dapat diketahui bahwa kekuasaan modern menggunakan pengetahuan modern untuk menciptakan wacana pembangunan yang digunakan sebagai alat dominasi kekuasaan. Selanjutnya dominasi Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer

116

kekuasaan digunakan oleh kekuasaan modern untuk melanggengkan kekuasaan, memarjinalisasi kaum tertindas. Adapun oleh negara-negara maju dominasi kekuasaan digunakan untuk memiskinkan negara-negara berkembang, menguasai

kekayaan

negara-negara

berkembang

dan

membuat ketergantungan serta penyerahan diri negara berkembang kepada negara maju/imperialis. Akibat dari dominasi kekuasaan tersebut akan menimbulkan resistensi oleh rakyat yang tertindas dan termarjinalisasi serta negaranegara yang termiskinkan.

D. BAUDRILLARD 1. Biografi Singkat Baudrillard Baudrillard lahir di Reims, Perancis Timur Laut, pada 27 Juli 1929. Pada Tahun 1956-1966, ia menjadi guru sekolah menengah; mengkhususkan pada teori sosial Jerman dan kesusasteraan. Baudrillard adalah seorang filsuf sekaligus nabi postmodern. Tulisan-tulisannya memiliki gaya yang khas dan orisinal deklaratif, hiperbolik, aforistik, skeptis, fatalis, nihilis, namun tajam dan cerdas. Tulisan-tulisan

Baudrillard

seperti

bom

yang

meledakkan suasana, dan menyajikan cara pandang baru terhadap realitas sosial postmodern. Pada tahun 1962-1963, Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer

117

ia mengulas tulisan-tulisan di Les Temps Moderne, termasuk sebuah esai tentang Italo Calvino. Pada tahun 1964-1968, ia menerjemahkan naskah-naskah Jerman kedalam

bahasa

Perancis,

termasuk

beberapa

karya

dramawan Peter Weiss (Marat/Sade, The German Ideologynya Marx dan Engels, Messianisme revolutionairre du tiers monde

dari

Muhlmann)

dan

Bertold

Brecht.

Pada Maret 1965, ia mempertahankan disertasinya Thèse

de

Troisème

Cycle

dalam

bidang

sosiologi,

Universitas Paris X – Nanterre yang diterbitkan menjadi Le systèm des objets. Pada Mei 1968 berperan aktif sebagai intelektual dalam demonstrasi mahasiswa di Paris. Pada tahun 1970-1976, ia menjadi maître-assistant di Nanterre. Pada tahun 1977-1978, ia meluncurkan serial provokatif tentang esai antisosialis dan anti strukturalis dalam bentuknya yang sangat atraktif, publikasi gaya pamplet yang menutup kariernya sebagai akademisi dan political outsider. Pada tahun 1995 ia mulai mengundurkan diri dari kehidupan kampus, tetapi tetap aktif sebagai jurnalis, esais, dan intelektual profesional bête noir. Berikut essai-essai yang diterbitkan dari Baudrillard: Understanding Media, Marshall-McLuhan dalam jurnal Marxis humanis L’homme et la société (1966); Le système des objets (1967); De la Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer

118

séduction

(1980);

Simulacres

et

simulation

(1981);

menerbitkan Les stratégies fatales (1982); Amérique (1986); À l’ombre des majorités silencieuses, ou la fin du social (1978) / In the Shadow of Silent Majorities or, The End of the Social and Other Essays (1983); L’autre par luimême (1987); La Guerre du Golfe n’a pas eu lieu (1991); La transparence du mal (1990), Cool Memories II (1990), dan L’illusion de la fin (1992) Baudrillard banyak dipengaruhi oleh tokoh-tokoh diantaranya Karl Marx, Frederich Nietzsche, Claude leviStrauss, Louis Althusser, Georges Batalille, Marel Mauss, Henri Lafebvre, Jacques Lacan, Roger Caillois, Gilles Deleuze, filsuf Madzhab Frankfurt, dan Marshall McLuhan.

2. Pokok-pokok pikiran Baudrillard Baudrillard mengembangkan teori yang berusaha memahami

sifat

dan

pengaruh

komunikasi

massa.

Pemikirannya yang paling terkenal adalah tentang simulasi, simulacra, dan hiperealitas.

1) Pikiran Baudrillard terhadap Simulasi Baudrillard mendefinisikan simulasi sebagai proses penciptaan bentuk nyata melalui model-model yang tidak Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer

119

ada

asal-usul

atau

referensi

realtitasnya,

sehingga

memampukan manusia membuat yang supernatural, ilusi, fantasi, khayali menjadi tampak nyata. Model ini menjadi faktor penentu pandangan kita tentang kenyataan. Segala yang dapat menarik minat manusia–seperti seni, rumah, kebutuhan rumah tangga dan lainnya–ditayangkan melalui berbagai media dengan model-model yang ideal, disinilah batas antara simulasi dan kenyataan menjadi bias sehingga menciptakan hyperreality dimana yang nyata dan yang tidak nyata menjadi tidak jelas. Paul Virilio (Ritzer, 2003), bahkan melihat lebih jauh lagi, bahwa trik-trik tertentu dalam produksi (terutama di dalam media massa, film, dan video) telah memampukan manusia kini hidup di dalam dua dunia. Sebagaimana yang “trik,

dikemukakannya

bahwa,

diterapkan,

memampukan

kini

yang kita

secara

cerdik

membuat

yang

supernatural, khayali, bahkan yang tidak mungkin tampak menjadi seakan-akan nyata. Kebudayaan industri menyamarkan jarak antara fakta dan informasi, antara informasi dan entertainment, antara entertainment dan ekses-ekses politik. Masyarakat tidak sadar akan pengaruh simulasi dan tanda, hal ini membuat mereka kerap kali berani dan ingin mencoba hal Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer

120

yang baru yang ditawarkan oleh keadaan simulasi membeli, memilih, bekerja dan sebagainya. Baudrillard

membantah

bahwa

kebudayaan

postmoadalah dunia tanda-tanda yang membuat hal yang fondamental–mengacu pada kenyataan–menjadi kabur atau tidak jelas. Dalam semiotika, bila segala sesuatu yang dalam terminologi semiotika disebut sebagai tanda (sign), semata alat untuk berdusta, maka setiap tanda akan selalu mengandung muatan dusta; setiap makna (meaning) adalah dusta; setiap pengguna tanda adalah para pendusta; setiap proses pertandaan (signification) adalah kedustaan.Lebih lanjut, Baudillard menjelaskan bahwa simulasi adalah proses/strategi intelektual untuk menciptakan simulacra.

2) Pikiran Baudrillard terhadap Simulacra Baudrillard mengatakan bahwa “The simulacrum is never what hides the truth - it is truth that hides the fact that there is none. The simulacrum is true. ”(Baudrillard, 1994). Pemahaman mengenai simulakra menurut Baudrillard ialah sebuah duplikasi, yang aslinya tidak pernah ada, sehingga perbedaan antara duplikasi dan asli menjadi kabur. Simulakra menunjukkan sebuah kondisi simulasi yang sudah demikian akut. Artinya bahwa sebuah tanda, ikon, Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer

121

simbol dan citra yang ditampakkan bukan saja tidak memiliki referensi dalam realitas, tetapi justru dianggap sebagai representasi dari tanda, ikon, simbol dan citra yang juga merupakan hasil dari simulasi. Di tengah kemajuan teknologi informasi dan komunikasi yang dahsyat, realitas telah hilang dan manguap. Kini kita hidup di zaman simulasi, di mana realitas tidak hanya diceritakan, direpresentasikan, dan disebarluaskan, tetapi kini dapat direkayasa, dibuat, dan disimulasi. Realitas buatan ini bercampur-baur, menandakan datangnya era kebudayaan postmo. Simulasi mengaburkan dan mengikis perbedaan antara yang nyata dengan yang imajiner, yang benar dengan yang palsu. Proses simulasi inilah yang menghasilkan simulacra yang kemudian mendorong lahirnya term ‘hiperrealitas’, di mana tidak ada lagi yang lebih realistis sebab yang nyata tidak lagi menjadi rujukan. Simulakra bekerja dalam sebuah proses sosial yang disebutnya

sebagai

proses

diseminasi

sosial

(social

dissemination). Proses diseminasi sosial merupakan proses pelipatgandaan dan penyebaran secara sosial, tanda, citra, informasi dan tanda-tanda komoditas yang berkembang Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer

122

secara seketika (instant neousness), mengikuti model pertumbuhan kode genetika.

Contoh: Proses pembuatan trik-trik tertentu dalam sinema, video klip, iklan, pencitraaan tokoh-tokoh, dan sebagainya. Hal itu, di antaranya dapat dilihat pada iklan parfum. Setelah model menggunakan parfum seolah-olah tokoh mandi bunga dan ke mana-mana bertabur bunga sehingga menarik perhatian lawan jenis untuk mendekatinya. Dalam film horror, hantu seakan-akan mudah sekali dilihat dan berinteraksi dengan manusia. Hantu bisa adu kesaktian dengan manusia atau bahkan bisa bermesraan dengan manusia. Padahal realitaanya, hantu tida bisa dijangkau oleh indra manusia. Dalam film action, spiderman seolah-olah dapat terbang dan melompat dari gedung tinggi yang satu ke gedung tinggi lainnya dengan dengan mudah. Superman dan Batman bisa terbang dan memiliki kekuatan super melampaui manusia biasa. Manusia bias dengan mudah berubah menjadi manusia super.

3) Pikiran Baudrillard tentang Hiperealitas Bagi Baudrillard, sebagaimana yang telah dibahas sebelumnya, simulasi adalah proses atau strategi intelektual, sedangkan

hiperealitas

adalah

efek,

keadaan,

atau

pengalaman kebendaan atau ruang yang dihasilkan dari proses tersebut. Awal dari era hiperealitas, menurut Baudrillard, ditandai dengan lenyapnya petanda, dan Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer

123

metafisika representasi; runtuhnya ideologi, kebangkrutan realitas yang kemudian diambil alih oleh duplikasi dari dunia nostalgia dan fantasi. Tanda kemudian tidak lagi merepresentasikan sesuatu. Oleh karena petanda sudah mati, maka satu-satunya referensi dari tanda yang ada adalah massa. Massa menurut Baudrillard adalah mayoritas konsumen yang diam. Massa ini menyerap informasi, tanda, pesan-pesan maupun norma akan tetapi tidak pernah merefleksikan tanda, pesan, makna atau gaya-gaya yang diambil dari berbagai sumber mitologi, ideologi, kebudayaan masa lalu atau masa kini. Massa bercampur aduk, berinteraksi, saling silang, saling tumpang tindih membentuk jaringan skizofrenik (dunianya sendiri). Sebelum Baudrillard (Ritzer, 2002), Umberto Eco juga pernah menulis tentang hiperealitas dalam bukunya Travels in Hyperreality. Eco dan Baudrillard sama-sama menyatakan bahwa apa yang direproduksi dalam dunia hiperealitas tidak saja realitas yang hilang, akan tetapi juga dunia yang tidak nyata, seperti fantasi, mimpi, ilusi, halusinasi, danscience fiction. Menurut Eco, ada dua jenis hiperealitas, yakni: (1) Museum Lilin (Monalisa, Eiffel, Menara Pisa) dan (2) Kota Hantu (Science Fiction seperti Cinderella,

Batman,

dll).

Dalam

“Simulacra

Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer

and

124

Simulation”, Baudrillard mencontohkan Disneyland sebagai suatu yang hiperealitas. Disneyland ini lebih hiperealistis daripada Kota Hantu yang disebutkan oleh Eco.

Berikut ini contoh hiperealitas di zaman potmo adalah makin maraknya film fantasi yang seperti benar-benar terjadi, seperti Disneyland, Walking with Dynosaurus, The Mummy Action Adventure, The Legend of Red Reaper, Harry Potter, Super Man, Spider Man, dan lain-lain merupakan simulakra yag menyebabkan penonton benar-benar sulit membedakan yang asli dan yang fantastik. Di samping itu juga makin maraknya iklan tokoh politik yang membuat masyarakat bias membedakan yang asli dan yang pencitraan. Di Disneyland kita tidak lagi sadar bahwa apa yang kita saksikan adalah fantasi. Ini tidak lain karena pengaruh dari unsur-unsur fiksi yang bekerja dengan bantuan kecanggihan teknologi science fiction yang kemudian menciptakan sebuah halusinasi yang menggiring para pengunjung mengambil bagian dalam teater total. Dalam dunia hiperealitas tidak hanya seni dan realitas sejarah (yang hilang) yang direproduksi, namun alam yang musnah pun bisa direproduksi. Dalam hal ini di Amerika ada Taman Satwa Liar, Marine Land, Dunia Bawah Laut, Taman Dinosaurus, game online, dan lain lain.

Menurut Baudrillard, tidak ada tempat yang lebih hiperealistis selain dari padang pasir, yakni Amerika. Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer

125

Amerika dianalogikan seperti itu karena banyaknya aspekaspek halusinasi dan fatamorgana yang telah menguasai kebudayaan Amerika. Ini adalah padang pasir yang gersang ketika seseorang yang berada di dalam kegersangannya akan kehilangan identitas. Di tengah padang pasir, seseorang bisa menyaksikan citra fatamorgana. Hal ini layaknya jika seseorang berada di depan televisi dan video game. Totalitas hidup seseorang (kegembiraan, kesedihan, kemarahan, harapan, dan lain-lainnya) secara tidak sadar terperangkap di dalam dunia hiperealisme media. Meskipun demikian, jika orang tersebut mencoba melihat media dengan kesadaran, maka ia akan menyadari bahwa itu semua hanyalah fiksi atau fatamorgana belaka. Sulit dibedakan antara dunia realitas dan dunia hiperealitas dalam

media/televisi. Televisi bahkan lebih

nyata dari dunia realitas, sebab tidak saja realitas yang telah terserap secara total dalam citraan televisi, tetapi juga karena televisi mampu membuat pemirsanya tenggelam dalam citra simulakranya. Di dalam televisi, realitas, fantasi, halusinasi, ilusi dan fatamorgana telah melebur menjadi satu. Bahkan di Amerika hampir semua sisi kehidupan disimulakrakan, seperti simulasi penyakit,

simulasi

kebutuhan; dan simulasi spiritual. Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer

126

4) Hubungan

antara

Simulasi,

Simulacra,

dan

Hiperrealitas Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa hubungan antara simulasi, simulacra, dan hiperealitas dijelaskan

sebagai

proses/strategi

berikut.

Simulasi

merupakan

intelektual untuk menciptakan simulacra.

Simulacra merupakan hasil simulasi yang berupa realitas buatan/duplikasi/imitasi, yang aslinya tidak pernah ada, sehingga perbedaan antara duplikasi dan asli menjadi kabur. Adapun hiperealitas merupakan efek atau akibat yang ditimbulkan oleh adanya simulacra, yaitu hilangnya realitas dan munculnya

dunia yang tidak nyata, seperti fantasi,

mimpi, ilusi, halusinasi, dan science fiction. Berdasarkan uraian di atas, berikut dijelaskan perkembangan simulacra sejak zaman Renaissance hingga kini telah terjadi tiga kali revolusi simulacra, yaitu counterfeit, production, dan simulation, yang merupakan nama yang berbeda untuk arti yang sama yaitu, imitasi atau reproduksi dari image atau objek. Pertama, image merupakan

representasi

dari

realitas.

Kedua,

image

menutupi realitas. Ketiga, image menggantikan realitas yang telah sirna, menjadi simulacrum murni. Baudrillard (Sarup, Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer

127

1993) kemudian menambahkan tahapan keempat yang disebut fractal atau viral. Kini kita pada tahapan fractal, yaitu image mengubah secara radikal cara pandang.

Pembuatan film Rambo yang mengubah secara radikal cara pandang terhadap realitas yang sebenarnya merupakan contoh tahapan simulacra tahap keempat, yaitu fractal/viral. Dalam flm tersebut, Rambo sebagai simbol keperkasaan tentara Amerika digambarkan sebagai superhero yang gagah perkasa, banyak akal, dan tidak pernah kalah. Dalam film tersebut juga dicitrakan Rambo berhasil mengalahkan tentara Vietnam. Padahal realitas yang sebenarnya adalah justru tentara Vietnam yang berhasil membuat tentara Amerika kalang kabut porak poranda lari tunggang langgang pulang ke negaranya, dan berhasil mengusir tentara Amerika dari negaranya. Contoh yang lain adalah fenomena teroris dan ISIS yang dicitrakan sebagai gerakan Islam garis keras untuk memperburuk citra Islam dimata dunia agar Islam tidak berkembang pesat terutama di Barat. Cara itu juga digunakan sebagai upaya untuk mengubah cara pandang secara radikal konsep jihad dalam Islam sebagai suatu kejahatan. Padahal Islam adalah agama yang rahmatan lil alamin yang berarti agama yang menebarkan kasih saying kepada semua amat, sehingga di mana pun Islam berkembang maka tempat tersebut menjadi aman sentosa sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW dan Umar Bin Hatab.

Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer

128

Berikut ini digambarkan tahapan simulacra mulai zaman Renaisanse sampai tahapan terkiti yaitu (1) image merupakan representasi dari realitas, (2) image menutupi realitas, (3) image menggantikan realitas yang telah sirna, menjadi simulacrum murni, dan (4) image mengubah secara radikal cara pandang terhadap dunia yang disebut fractal atau viral. Manusia abad kontemporer hidup dalam dunia simulacra. Manusia postmo hidup dalam dunia yang penuh dengan simulasi, tidak ada yang nyata di luar simulasi, tidak ada yang asli yang dapat ditiru. Baudrillard menguraikan bahwa pada zaman kini "masyarakat" sudah sirna dan digantikan oleh massa. Massa tidak mempunyai predikat, atribut, kualitas maupun reference. Pendeknya, massa tidak mempunyai realitas sosiologikal (Baudrillard:1978). Di zaman ini konsumsi telah menjadi basis pokok dalam tatanan sosial (Baudrillard, 1967). Objek konsumen menata perilaku melalui suatu sign function (fungsi tanda) secara linguistik. Iklan (advertising) telah mengambil alih tanggungjawab moral atau moralitas puritan masyarakat dan menggantikannya dengan moralitas hedonistik yang hanya mengacu pada kesenangan. Parahnya lagi, hedonistik itu Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer

129

telah dijadikan sebagai barometer dari hyper-civilization (peradaban hiper). Kebebasan dan kemerdekaan pun akhirnya diperoleh dari sistem komoditas: "bebas menjadi diri-sendiri" pun lantas diterjemahkan sebagai "bebas untuk memproyeksikan keinginan seseorang pada barang-barang industri"; bebas menikmati hidup berarti bebas menjadi orang yang irasional. Mentalitas ini pun merasuki masyarakat, dan seolah-olah tidak dapat dihindarkan, bahkan telah menjadi keutamaan dalam moralitas masyarakat, maka wajarapabila individu secara simultan menyelaraskan kebutuhan dirinya dengan kelompok di sekitarnya. Menurut komoditas

Baudrillard

adalah

(Ritzer,

tindakan

yang

2009), sudah

membeli direkayasa

sebelumnya dan terjadi pada persilangan dua sistem. Pertama, relasi individual yang bersifat cair, tidak saling berhubungan dengan individu lainnya. Kedua relasi produksi, yang dikodifikasi, berkelanjutan dan merupakan sebuah kesatuan. Pada masyarakat (konsumen) objek menandai status sosial dan meng-gantikan segala macam perbedaan hirarki sosial

yang

ada.

Pengenalan

suatu

kode

universal

memberitahukan kepada kita bahwa orang yang memakai Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer

130

jam Rolex berada pada status sosial yang tinggi dan pemakai ponsel buatan China sebagai orang biasa-biasa saja. Demikianlah keberadaan objek telah mendahului masyarakat. Objek hadir di luar dan di atas aspek kegunaaan dan pertukaran. Baudrillard menyebutnya sebagai symbolic exchange, sesuatu yang menempatkan objek sebagai cermin dari subjek sebagaimana halnya cermin dan adegan. Cermin dan adegan kini sudah digantikan oleh monitor dan jaringan (network). Tidak ada lagi transendensi dan kedalaman, yang ada hanyalah permukaan fungsional dari komunikasi. Dalam televisi, prototipe objek adalah yang paling indah pada zaman ini. Alam dan tubuh kita pun kini telah berubah menjadi layar monitor. Dalam sistem kapitalis hubungan manusia telah ditransformasikan dalam hubungan objek yang dikontrol oleh kode atau tanda tertentu. Perbedaan status dimaknai sebagai perbedaan konsumsi tanda, sehingga kekayaan diukur

dari

banyaknya

tanda

yang

dikonsumsi.

Mengkonsumsi objek tertentu menandakan perbedaan atau persamaan dengan kelompok sosial tertentu. Bagi Baudrillard, dunia dewasa ini tidak ada lagi adegan cermin, yang ada hanyalah layar dan jaringan. Periode produksi dan konsumsi telah membanjiri jalanan. Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer

131

Manusia abad kontemporer hidup dalam ekstasi komunikasi yang karut marut, sejalan dengan lenyapnya ruang privat. Ruang publik pun tak lagi menjadi tontonan dan ruang privat pun tidak lagi menjadi rahasia. Hapusnya perbedaan antara bagian dalam dan bagian luar, sejalan dengan rancunya batas antara ruang publik dan ruang privat. Kehidupan yang paling intim, sekarang menjadi penopang hidup virtual media. Akhirnya menjadi mustahil membedakan yang nyata dari suatu tontonan. Dalam kehidupan nyata masyarakat pemirsa reality show, kejadian-kejadian nyata semakin mengambil ciri hiperriil (hyperreal). Tidak ada lagi realitas yang ada hanyalah hiper-realitas. Dampak yang dihasilkan dari hiperreality adalah adanya kepercayaan masyarakat terhadap kenyataan yang sebenarnya bukan kenyataan. Pembodohan atas realitas ini dapat menghasilkan pola budaya yang mudah meniru (imitasi) apa yang dilihatnya sebagai sebuah kenyataan di media televisi direalisasikan dalam kehidupan keseharian. Serta terbentuknya pola pikir yang serba instans, membentuk manusia yang segala sesuatunya ingin cepat saji (Baudrillard, 2004). Fokus utama Baudrillad dalam kajian kebudayaan postmodern didasarkan pada beberapa asumsi hubungan Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer

132

antara manusia dengan media. Media massa menyimbolkan zaman baru, di mana bentuk produksi dan konsumsi telah memberi jalan bagi semesta komunikasi yang baru. Fungsi media massa adalah membentuk institusi-institusi baru masyarakat yang disebut budaya massa dan budaya populer. Tujuan utama pembentukan budaya massa tentu saja untuk memperoleh keuntungan yang besar melalui penciptaan produk-produk budaya massa untuk dikonsumsi secara massal pula (Sarup, 2003). Membicarakan ‘media’ berarti melibatkan kata ‘massa’, dan memang media massa memiliki fungsi penting dalam perjalanan kebudayaan postmo. Media massa telah menginvasi ruang publik dan privat, dan mengaburkan batas-batasnya, dan pada akhirnya media massa menjadi ukuran baru moral masyarakat mengantikan institusi tradisional seperti agama.

Contoh, sebagai ukuran baik buruk dalam bersikap, berbusana, berpenampilan, maupun berkomunikasi tidak lagi didasarkan pada ajaran agama atau nilai moral yang berlaku di masyarakat melainkan berdasarkan model iklan atau pun artis yang dilihat di layar kaca atau pun media massa lainnya. Padahal apa yang dilihat dalam layar kaca maupun media massa lainnya bukanlah realitas tetapi sebuah simulacra ( hasil rekayasa teknologi dari realitas menjadi duplikasi yang Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer

133

mengganti realitas tetapi dipercaya oleh masyarakat sebagai kenyataan yang sebenarnya). Fatalnya, masyarakat menjadi kurang kritis dan cenderung meniru (imitasi) terhadap apa yang dilihatnya di media televisi/film/media masa lainnya sebagai sebuah kenyataan dan direalisasikan dalam kehidupan keseharian. Hal itu mengakibatkan terbentuknya pola pikir yang serba instans dan membentuk manusia yang segala sesuatunya ingin cepat saji. Inilah yang disebut sebagai hiper-reality

Pemikiran Baudrillard dapatdijelaskan dalam skema dibawah ini ;

REALITA SIMULASI

   

SIMULACRA

COUNTERFIT PRODUCTION SIMULATION FRACTAL/VIRAL

MEDIA MASSA

HIPER-REALITAS Gambar 4.4: Skema pemikiran Baudrilard Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer

134

Berdasarkan skema 4.4 di atas dapat dijelaskan bahwa hubungan antara simulasi, simulacra, dan hiperealitas dijelaskan

sebagai

berikut.

Simulasi

merupakan

proses/strategi intelektual untuk menciptakan simulacra yang terdiri

atas

4

tahapan

yaitu

(1)

Counterfeit

(menciptakan images yang merepresentasikan realitas, misalnya mesin fotocopy yang menduplikasi dokumen asli, kamera yang memproduksi gambar sesuai dengan aslinya); (2) Production (penciptaan images yang menutupi realitas, misalnya pembuatan video clip untuk produk kosmetika dan alat-alat kesehatan; (3) simulation (penciptaan images yang menggantikan realitas yang telah sirna sebagai simulacrum murni, misalnya pencitraan terhadap tokoh, dalam iklan calon legislative, calon kepala daerah hingga calon kepala negara); dan (4) Fractal/Viral (tahapan yang mengubah cara pandang secara radikal terhadap dunia, seperti pembuatan film Ramboo, film G-30-S PKI). Simulacra merupakan hasil simulasi yang berupa realitas buatan/duplikasi/imitasi, yang aslinya tidak pernah ada, sehingga perbedaan antara duplikasi dan asli menjadi kabur. Simulacra yang paling radikal mampu mengubah cara pandang dunia. Simulacra sebaga

hasil

proses

simulasi

itu

digunakan

untuk

menginvasi publik dengan menggunakan media massa baik Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer

135

cetak, elektronik maupun internet/jaringan agar memperoleh efek ekonomis dan kepercayaan masyarakat terhadap simulacra tersebut. Efek itulah yang disebut sebagai Hiperrealitas.

E. PIERRE BOURDIEU 1. Biografi singkat Pierre Bourdieu Pierre Bourdieu, lahir pada tahun 1930 di Denguin, Pyrenia Atlantik (Prancis). Ia berasal dari keluarga sederhana, ayahnya adalah pegawai kantor pos. Bourdieu muda mulai belajar di lycee Pau, kemudian lycee Louis-le Grand (Paris), lalu melanjutkan ke Fakultas Sastra di Paris, Ecole Normale Superieure. Pada tahun 1951, Ia mendapat Agregasi Filsafat. Ia menolak menulis tesis, karena keberatan dengan kualitas pendidikannya yang di bawah rata-rata disebabkan oleh struktur otoriter sekolah. Ia merasa muak dengan kuatnya orientasi komunis, khususnya Stalinis di sekolah tersebut. Padahal kampus itu merupakan tempat pemikir-pemikir besar, seperti Sartre, Levinas, Foucault, yang pernah melewatkan masa studi mereka. Pada tahun 1955 Bourdieu diangkat menjadi pengajar di lycee Maulins,

kemudian dipanggil mengikuti wajib

militer pada tahun 1956 dan menghabiskan waktu dua tahun Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer

136

di Aljazair dengan Angkatan Barsenjata Prancis. Ia menulis buku tentang pengalaman-pengalamannya dan tetap berada di Aljazair dua tahun setelah masa wajib kemiliterannya usai. Kembali ke Prancis pada tahun 1960 dan bekerja selama satu tahun sebagai asisten di Universitas Paris. Ia mengikuti kuliah antropolog Levi-Strauss di College de France dan bekerja sebagai asisten sosiolog Raymond Aron. Tahun 1962, Bourdieu menikah dan kemudian dikarunai tiga orang anak laki-laki. Ia berpindah-pindah mengajar di Fakultas Sastra di Alger 1958-1960, di Lille 1961-1964, dan sejak tahun 1964 di Ecole des Hautes Etudes en Sciences Sociales (EHESS). Pada

tahun-tahun

berikutnya

Bourdieu

menjadi

tokoh utama dalam lingkungan intelektual Paris, Prancis. Karyanya

mempengaruhi

sejumlah

bidang

berbeda,

termasuk pendidikan, antropologi dan sosiologi. Pada tahun 1968 Center de Sosiologie Europeene didirikan, dan Bourdieu menjadi direktur sampai Ia wafat. Ia juga menjadi direktur pada majalah Actes de la Recherche en Sciences Sociales (ARSS) yang didirikannya pada tahun 1975. Pada tahun 1981, ketika Raymond Aron meninggal dunia, Bourdieu dipercayakan untuk menduduki jabatan prestisius Jurusan Sosiologi College de France, dan pada periode ini Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer

137

pula didaulat menjadi pakar sosiologi. Tahun 1993, pusat penelitiannya menerima medali emas dari CNRS (Pusat Riset Ilmiah Nasional), Pierre Bourdieu meninggal pada tanggal 23 Januari 2002.

2. Pemikiran-pemikiran Pierre Bourdieu 1) Pemikiran Pierre Bourdieu tentang Habitus Habitus adalah kebiasaan masyarakat yang melekat pada diri seseorang dalam bentuk disposisi abadi, atau kapasitas terlatih dan kecenderungan terstruktur untuk berpikir, merasa, dan bertindak dengan cara determinan, yang kemudian membimbing mereka(Bourdieu, 1996). Sementara

itu,

menurut

Sektiyanto

(2011),

habitus

merupakan hasil ketrampilan yang menjadi tindakan praktis (tidak

selalu

disadari)

yang

diterjemahkan

menjadi

kemampuan yang terlihat secara alamiah. Jadi Habitus tumbuh dalam masyarakat secara alami melalui proses sosial yang sangat panjang, terinternalisasi dan terakulturasi dalam diri di masyarakat menjadi kebiasaan yang terstruktur secara sendirinya. Habitus dibuat melalui proses sosial, bukan individu yang mengarah ke pola yang abadi dan ditransfer dari satu konteks ke konteks lainnya, tetapi yang bisa bergeser dalam Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer

138

kaitannya dengan konteks tertentu dari waktu ke waktu. Dengan demikian, habitus tidak tetap atau permanen, dan dapat berubah di bawah situasi yang tidak terduga atau selama periode sejarah panjang (Navano, 2006). Lebih lajut Bourdieu menyatakan bahwa “The habitus is not only a structuring structure, which organizes practices and the perception of practices, but also a structured structure: the principle of division into logical classes which organizes the perception of the social world is itself the products of internalization of the division into social classes (1984,:170).

Aplikasi dari konsep habitus yang dikemukakan oleh Bourdieu itu bisa dilihat dari beberapa contoh kasus dimasyarakat, misalnya dalam budaya Jawa. Di masyarakat Jawa, dikenal budaya patrimonial, yaitu ketundukan seorang rakyat pada raja (penguasa). Tabu bagi masyarakat Jawa untuk menentang apa pun titah raja. Kebiasaan ini sudah melekat dalam tradisi masyarakat Jawa, yakni sejak para raja dianggap sebagai titisan Tuhan dimuka bumi. Budaya patrimonial ini bisa dilihat pada masa pemerintahan Orde Baru dengan sistem pemerintahan yang otoriter. Semua struktur pemerintahan terpusat dibawah tampuk komando Presiden Soeharto. Hal itu membuat segala titah Presiden Soeharto harus dilaksanakan. Budaya “ABS” atau asal bapak senang juga sudah terinternalisasi dalam sebagian besar masyarakat Indonesia selama 32 Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer

139

tahun masa pemerintahan Soeharto, terutama dalam tubuh birokrasi di Indonesia, yang sampai saat ini masih bisa dirasakan. Selain itu, contoh lainnya adalah adanya budaya “Patriarki” atau kedudukan perempuan dalam struktur sosial masyarakat sebagai subordinat dari laki-laki. Dalam adat budaya timur, khususnya Indonesia, perempuan selalu menjadi subordinat dari laki–laki dalam berbagai hal. Posisi subordinat dalam masyarakat ini terbentuk secara alami dan terinternalisasi dalam waktu yang lama, sehingga sudah menjadi asumsi umum bahwa perempuan berada dibawah laki–laki. Seaktif apapun peranan perempuan diluar (publik), baik dalam berbagai ranah seperti politik, bisnis, hukum, maupun ekonomi, saat kembali ke rumahnya tetap berkedudukan sebagai istri dan anggota keluarga, sedangkan laki–laki sebagai pemimpin keluarga. Perilaku ini menjadi kebiasaan dalam kultur sebagian besar masyarakat Indonesia, sehingga tabu bagi perempuan untuk melakukan fungsi laki–laki sebagai pemimpin keluarga. Sebagian besar masih mengikuti ungkapan “Suarga nunut neraka katut”, yang artinya baik-buruknya keluarga tergantung pada suami. Seiring dengan perkembangan teknologi informasi, perilaku ini sedikit bergeser. Sebagian masyarakat Timur sudah mengubah sudut pandang yang memandang laki-laki dan perempuan memiliki keseteraan jender. Sudut pandang inilah yang menuntun perilaku perempuan dan laki-laki memiliki kesederajatan. Hak dan kewajiban diatu secara seimbang. Tidak ada lagi dominasi laki-laki dalam suatu keluarga.

Dalam pengertian ini habitus dibuat dan direproduksi melalui internalisasi dan proses yang panjang dalam suatu Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer

140

masyarakat,

sehingga

menciptakan

kebiasaan

yang

dilakukan dalam bawah sadar pelaku. Habitus bisa berubah jika sudut pandang masyarakat terhadap nilai-nilai yang berlaku di masyarakat juga berubah.

2) Pierre Bourdieu tentang Capital (Modal) Selain konsep habitus, kelanjutan dari pemikiran Bourdieu adalah mengenai capital (modal). Modal adalah hal

yang memungkinkan

orang

untuk

mendapatkan

kesempatan-kesempatan di dalam hidup. Ada banyak jenis modal, antara lainmodal intelektual (pendidikan), modal ekonomi

(uang),

modal

budaya

dan

modal

jaringan/networking. Modal bisa mudah diperoleh, jika orang memiliki habitus yang baik dalam hidupnya (Wattimena,2012). Modal memainkan peran yang cukup sentral dalam hubungan kekuatan sosial, sebab modal dapat menyediakan sarana dalam berbagai bentuk, baik ekonomi maupun nonekonomi, seperti dominasi dan hierarkis. Modal merupakan simbolik yang bisa menyebabkan adanya ketimpangan dalam masyarakat, karena masyarakat terstratifikasi dari kepemilikan modal. Contoh peranan modal dalam konsep Bourdieu dapat dijelaskan melalui contoh sebagai berikut: Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer

141

Contoh

pentingnya

peranan

modal

oleh

seseorang

di

masyarakat adalah adanya kelas miskin dan kaya, adanya pengusaha dan buruh. Hal itu mencerminkan adanya ketimpangan dalam hal kepemilikan modal. Barang siapa yang memiliki modal, maka dia akan menguasai arena, atau mudah menyesuaikan diri dengan arena yang ada. Demikian juga dalam konteks politik, saat seseorang memiliki modal politik (sumber daya politik), maka ia akan berperan aktif dalam ranah atau arena politik untuk mendaptkan sumber–sumber kekuasaan dalam politik, baik itu jabatan, kedudukan, maupun kewenangan lainnya dalam ranah politk.

3) Pierre Bourdieu tentang Arena Arena adalah ruang khusus yang ada di dalam masyarakat. Ada beragam arena, seperti arena pendidikan, arena bisnis, arena seniman, dan arena politik. Jika orang ingin berhasil di dalam suatu arena, maka ia harus mempunyai habitus dan modal yang tepat (Bourdieu, 1996). Sementara itu, Sektiyanto (2011) mengemukakan bahwa arena merupakan ruang yang terstruktur dengan aturan keberfungsiannya yang khas, namun tidak secara kaku terpisah dari arena-arena lainnya dalam sebuah dunia sosial. Arena membentuk habitus yang sesuai dengan struktur dan cara kerjanya secara otonomi, namun habitus Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer

142

juga membentuk dan mengubah arena sesuai dengan strukturnya. Otonomisasi arena mensyaratkan agen yang menempati berbagai posisi yang tersedia dalam arena apapun, terlibat dalam usaha perjuangan memperebutkan sumber daya atau modal yang diperlukan guna memperoleh akses terhadap kekuasaan dan posisi dalam sebuah arena.

Aplikasi dari konsep habitus, kapital (modal) dan arena ini dapat dianalisis

dari realitas yang ada di Indonesia. Pada masa

runtuhnya rezim orde lama, sentiment masyarakat Indonesia sangatlah besar kepada Partai Komunis. Paham komunis dianggap sebagai paham yang negatif, identik dengan kekerasan, dan anti Tuhan. Dari stigma negatif tersebut, muncul persepsi dalam masyarakat yang menolak paham komunisme berkembang di tengah–tengah masyarakat. Soeharto saat memulai rezimnya memanfaatkan habitus masyarakat saat itu yang membenci komunisme, untuk menguasai arena politik pada saat itu. Soeharto pun memainkan peranannya sebagai sosok protagonis yang memiliki modal (capital) sebagai dewa penyelamat dari pemberontakan G30S/PKI untuk menggantikan Soekarno menjadi Presiden Indonesia. Saat sumber kekuasaan telah dimiliki, modal politik sebagai presiden sudah ditangan, selanjutnya Soeharto memanfaatkan modal yang dimilikinya untuk membentuk habitus masyarakat Indonesia yang anti komunis dan pro pembangunan untuk melanggengkan kekuasaannya. Soeharto mampu melakukan permainannya dengan sangat baik. Dengan dilandasi kultur budaya masyarakat Indonesia yang bersifat Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer

143

patrimonial, Soeharto menerapkan sistem pemerintahan sentralistik dalam

gaya

kepemimpinannya.

Menjadikan

kekuasaan

terpusat

ditangannya. Dengan cara demikian, Soeharto dijadikan satu-satunya panutan bagi seluruh rakyat Indonesia. Budaya sentralistik dan Patrimonial yang diterapkan Soeharto dalam gaya kepemimpinannya mampu menginternalisasi dalam masyarakat dengan sendirinya, sehingga Soeharto mampu bertahan menjadi Presiden selama 32 tahun.

4) Pierre Bourdieu tentang Distinction Pierre Bourdieu menuangkan pemikirannya dalam sebuah buku yakni “Distinction: a social critique of the Judgement of Taste”. Dalam bukunya itu dijelaskan bagaimana usaha kelompok individu dalam ruang sosial masing-masing mengembangkan kekhasan budayanya untuk menandai perbedaan antara yang satu dengan yang lainnya (1996). Usaha kelompok individu dalam ruang sosial masing-masing untuk mengembangkan kekhasan budayanya dalam upaya menandai perbedaan antara kelompok yang satu dengan yang lainnya itulah yang disebut dengan distingsi (distinction). Perbedaan ini dapat menjadi fokus perjuangan simbolik (perjuangan untuk pembedaan),yakni usaha anggota suatu kelompok berusaha untuk membangun keunggulan dari kelompok lainnya. Perjuangan simbolis ini pada dasarnya adalah aspek perjuangan kelas, sebagai Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer

144

kontrol atas pengetahuan yang dimiliki oleh setiap kelompok. Lebih

lanjut,

dalam

'Distinction'

Bourdieu

jugamemperluas konsep distingsi untuk menjelaskan konsep bentuk dominan penghakiman rasa. Contoh konsep bentuk dominan rasa itu adalah munculnya konsep budaya populer seperti musik pop, budaya pop, mode pop, yaitu konsumen berada dalam oposisi yang konstan dengan industri budaya, karena mereka memanfaatkan teknologi untuk memproduksi atau menghasilkan budaya yang mereka sukai.

Contoh dari konsep distinction ini sangat beragam dari berbagai arena yang ada,baik arena politik, ekonomi, sosial, maupun budaya. Misalnya dalam konteks gaya hidup (life style) pembedaan ini bisa dilihat dengan adanya si kaya dan si miskin. Si kaya memiliki gaya hidup mewah, seperti memakai pakaian bermerek impor, memakai mobil, berdandan fashion, dan sering makan di restaurant mahal. Berbeda dengan gaya hidup si miskin yang sederhana, dengan pakaian, rumah, dan gaya segala hal yang serba terbatas. Pembedaan ini adalah upaya dari salah satu kelompok untuk mendominasi kelompok lain dengan menunjukkan strata sosialnya, dan berdampak pada kesenjangan sosial dalam masyarakat.

Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer

145

Dengan demikian, konsep distinction ini bukan hanya untuk memunculkan ciri khas yang membedakan salah satu golongan atau kelompok sosial, namun juga sebagai upaya perjuangan simbolik dari salah satu kelompok, misalnya adanya aktivis feminisme di Amerika Serikat, yang terus berjuang menjunjung tinggi kesetaraan gender. Dengan segala perjuangan sosial politiknya, mereka melakukan

aktivitas–aktivitas

yang

berbeda

dengan

kelompok lainnya. Perjuangan sosial ini merupakan cara untuk memperjuangkan kepentingan kelompoknya.

5) Pierre Bourdieu tentang Dominasi Simbolik Dominasi simbolik adalah penindasan dengan menggunakan simbol-simbol. Penindasan ini tidak dirasakan sebagai penindasan, tetapi sebagai sesuatu yang secara normal perlu dilakukan. Artinya, penindasan tersebut telah mendapatkan

persetujuan

dari

pihak

yang

ditindas

(Bourdieu, 1996).

Contoh dominasi simbolik dalam keluarga, misalnya seorang istri yang tidak dapat membela diri, walaupun telah dirugikan oleh suaminya, karena ia, secara tidak sadar, telah menerima statusnya

Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer

146

sebagai yang tertindas oleh suaminya, ia menerima semua perlakuan dari suaminya meskipun perlakuan suaminya itu merugikan dirinya. Contoh dominasi simbolik dalam masyarakat, misalnya seorang buruh yang di-PHK oleh pihak perusahaan dan tidak dapat membela haknya, walaupun ia sadar telah dirugikan oleh pihak perusahaan. Ia secara tidak sadar telah menerima statusnya sebagai yang teraianya oleh pemilik perusahaan. Ia menerima semua keputusan perusahaan tanpa melakukan perlawanan, meskipun ia sadar hal itu keluarganya

ikut

menanggung

efek

dari

menyebabkan

kesewenang-wenangan

perusahaan.

Konsep dominasi simbolik (penindasan simbolik) juga dapat dengan mudah dilihat dalam konsep sensor panopticon.

Sensor

panopticon

adalah konsep

yang

menjelaskan mekanisme kekuasaan yang tetap dirasakan dan dilakukan oleh orang-orang yang dikuasai, walaupun sang penguasa tidak lagi mencurahkan perhatiannya untuk melakukan kontrol kekuasaan secara nyata terhadap mereka (Ritzser, 2002).

Contoh yang bisa diambil konsep sensor panopticon adalah kekuasaan

Keraton

Yogyakarta

dengan

sosok

Sri

Sultan

Hamengkubuwono sebagai simbol kekuasaan di masyarakat daerah Yogyakarta. Tanpa menyentuh langsung rakyatnya, Sri Sultan sebagai simbol kekuasaan kerajaan sangat dikagumi dan diakui kharismanya Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer

147

oleh masyarakat Yogyakarta. Sri Sultan menjadi panutan dalam kehidupan masyarakat Yogyakarta. Oleh karena itu, walaupun tanpa memberikan perintah, masyarakat Yogyakarta dengan sendirinya hidup tertib, aman, nyaman sebagai imbas kewibawaan kekuasaan Sri Sultan.

Mekanisme

dominasi

simbolik

pada

akhirnya

mengacu pada pemikiran Bourdieu tentang doxa. Secara singkat, doxa adalah pandangan penguasa yang dianggap sebagai pandangan seluruh masyarakat. Masyarakat tidak lagi memiliki sikap kritis pada pandangan penguasa. Pandangan penguasa itu biasanya bersifat sloganistik, sederhana, populer, dan amat mudah dicerna oleh rakyat banyak, walaupun secara konseptual, bisa jadi pandangan tersebut mengandung banyak kesesatan. Doxa menunjukkan, bagaimana penguasa bisa meraih,

mempertahankan,

dan

mengembangkan

kekuasaannya dengan mempermainkan simbol yang berhasil memasuki

pikiran

yang

dikuasai,

sehingga

mereka

kehilangan sikap kritisnya pada penguasa. Pihak yang dikuasai melihat dirinya sama dengan penguasa. Mereka ditindas, tetapi tidak pernah merasa ditindas, karena mereka hidup dalam doxa.

Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer

148

Dengan konsep ini, dapat diketahui bahwa Bourdieu ingin memperlihatkan bentuk yang tersembunyi dalam kegiatan sehari-hari. Kekerasan dalam bentuk yang sangat halus, kekerasan yang dikenakan pada agen-agen sosial tanpa

mengandung

resistensi,

sebaliknya

malah

mengandung konformitas sebab sudah terlegitimasi secara sosial karena bentuknya yang sangat halus. Bahasa, makna, dan sistem simbolik para pemilik kekuasaan ditanamkan dalam benak individu-individu melalui suatu mekanisme yang tersembunyi dari kesadaran. Dalam konteks ini, tawaran habitus and field menjadi bermakna untuk mengungkap realitas empirik kekerasan simbolik yang tidak disadari itu. Pemikiran Bourdieu dapat digambarkan dalam skema sebagai berikut:

Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer

149

HABITUS-HABITUS BAIK CAPITAL (MODAL)    

INTELEKTUAL EKONOMI BUDAYA NETWORKING

Distinction KARAKTER (CIRI KHAS)

PERJUANGAN KELAS

Dominasi Simbolik

Doxa

Konformitas

Gambar 4.5: Skema Pemikiran Bourdieu

Berdasarkan skema 4.5 di atas dapat dijelaskan bahwa dalam suatu arena terdapat berbagai habitus. Habitus adalah kebiasaan masyarakat yang melekat pada diri seseorang yang dibentuk dari proses sosial yang panjang melalui internalisasi dari nilai-nilai sosial masyarakatnya (arena). Arena adalah ruang khusus dalam suatu masyaraat, misalnya arena pendidikan, arena bisnis, arena politik, arena Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer

150

seni, dan sebagainya. Arena dapat membentuk habitus sesuai dengan struktur dan cara kerjanya secara otonom, sebaliknya habitus yang kuat juga dapat membentuk dan mengubah arena sesuai dengan strukturnya. Seseorang yang memiliki habitus yang baik dapat memiliki modal untuk menguasai

suatu arena. Terdapat 4 modal yang dapat

digunakan oleh seseorang yang memiliki habitus yang baik untuk menguasai suatu arena, yaitu modal intelektual, modal ekonomi, modal budaya, dan modal networking (jaringan). Perjuangan seseorang dan kelompok sosial yang memiliki capital (modal) untuk memperjuangkan kelas sosial maupun karakter yang has sebagai penguasa itu disebut distiction. Distiction dilakukan melalui dominasi simbolis, sehingga terbentuk doxa. Dominasi simbolik adalah penindasan yang dilakukan oleh penguasa melalui simbol-simbol sebagai sesuatu yang normal. Doxa adalah pandangan penguasa yang bersifat sloganistik, populer, dan sederhana yang diterima sebagai pandangan seluruh masyarakat, sehingga masyarakat tidak memiliki sikap kritis terhadap pandangan tersebut meskipun secara konseptual pandangan tersebut mengandung kesesatan. Masyakat yang hidup dalam doxa adalah masyarakat yang ditindas oleh penguasa namun tidak merasa tertindas, sehingga mereka Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer

151

cenderung menerima penindasan tersebut sebagai kewajaran (konfirmitas).

E. JACQUES MARIE ÉMILE LACAN 1. Biografi Singkat Jacques Marie Émile Lacan Jacques Marie Émile Lacan lahir tahun 1901 dari keluarga Katolik borjuis. Dia adalah seorang mahasiswa yang mengagumkan, dan unggul terutama pada penguasaan bahasa Latin dan filsafat. Dia melanjutkan ke sekolah kedokteran, dan mulai belajar psikoanalisis pada tahun 1920 dengan psikiater Gaitan de Clérambault. Ia belajar di Faculté de Medecine de Paris, dan bekerja dengan pasien yang menderita délires deux Ý, atau "otomatisme," kondisi di mana pasien percaya bahwa tindakannya, tulisanya, dan bicaranya, dikendalikan oleh kekuatan luar dan yang Mahakuasa. Sebuah gerakan psikoanalitis tumbuh di Perancis telah menunjukkan minat tertentu pada pasien yang sama. Lacan menulis disertasi untuk doctoratnya d'état tahun 1932 berjudul De La Psychose Paranoïaque Dans Ses Rapports Avec La Personnalité, yakni menarik hubungan antara obat phsychiatric dan psikoanalisis. Itu adalah kombinasi dari teoritis dan klinis yang akan menjadi praktek Lacan dan Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer

152

menginformasikan apa yang disebutnya "kembali ke Freud." Dalam

masa

hidupnya,

Lacan

memperluas

bidang

psikoanalisis ke dalam filsafat, linguistik, sastra, dan matematika, melalui pengujian ulang Freud dan praktek klinis lanjutan. Jacques

Lacan

adalah

tokoh

yang

sangat

berpengaruh dalam psikoanalis dengan teorinya yang menafsirkan ulang karya-karya Freud. Selain dianggap memberikan terobosan di dalam psikoanalis,Lacan juga dianggap mengacaukan teori psikoanalis konvensional. Lacan juga seorang terapis Perancis yang memiliki latar belakang filsafat dan surealisme. Ia menganggap psikoanalis khususnya Amerika sudah bergeser dari konsep awal yang dicetuskan oleh Freud karena Lacan menganggap para terapis telah menjadikan pasien-pasiennya sebagai objek penelitian. Lacan beranggapan bahwa psikoanalis adalah ilmu pengobatan yang didalam prakteknya seorang terapis tidak boleh ikut campur dalam perkembangan pasiennya, kecuali hanya membuka jalan kepada wilayah tidak sadar pasiennya, dan membiarkan pasiennya untuk menemukan

jalan

keluar

permasalahannya

sendiri.

Lacan juga menyadari bahwa pemikiran Freud yang dipelajarinya selama ini adalah pemikiran yang keliru, Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer

153

karena yang dipelajarinya adalah Freud berdasarkan pemahaman

Freudian

Perancis

dan

Freud

yang

mendominasi Amerika. Kemudian ia memutuskan untuk membaca ulang karya Freud dan berusaha untuk memahami pemikiran Freud yang sesungguhnya. Secara garis besar pengaruh yang dominan dalam teori Lacan adalah pemikiran Freud, filsafat Hegel dan filsafat

strukturalis

dan

post

strukturalis.

Lacan dengan mengacu pada teori Freud melakukan beberapa terobosan dalam pandangannya mengenai wilayah bawah sadar yang menurut pandangannya bukan sebagai penyebab neurosis. Penjelasannya ini sekaligus meluruskan kesalahpahaman terhadap teori Freud yang selama ini menyatakan bahwa wilayah bawah sadar adalah penyebab neurosis.

Lacan

menyatakan

“wilayah

bawah

sadar

merupakan diskursus dari yang lain” wilayah bawah-sadar adalah yang lain itu sendiri, asing dan tidak terpahami, kemudian peranan terapis berfungsi sebagai sarana bagi wilayah bawah sadar itu untuk menampilkan dirinya. Di dalam wilayah tidak sadar sendiri terdapat hasrat yang menurut Freud merupakan harapan atau keinginan yang bersifat tidak disadari dan menjadi pendorong

bagi

tindakan

seseorang

untuk

mencari

Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer

154

pemenuhan

akan

hasratnya.

AdapunLacan

dengan

memadukan pengaruh filsafat Hegel memandang hasrat sebagai pengakuan atau perjuangan untuk mendapatkan pengakuan

dari

sesamanya

agar

mendapatkan

kepastian/status akan dirinya. Lacan juga menyebutkan bahwa subjek terletak dalam wilayah tidak sadar, dan hasrat adalah

kebenaran

merealisasikan

sang

dirinya

subjek,

melalui

sedangkan

bahasa.

Jadi

subjek bahasa

merupakan cara untuk menyampaikan kebenaran bagi sang subjek.

2. Pemikiran Jacques Marie Émile Lacan Pembahasan terhadap pemikiran Lacan, tidak bisa dipisahkan daripemikiran Freud mengenai Id, Ego, dan Superego (Lacan, 1977:155-156). Lacan menyinggung tiga konsep penting, yaitu kebutuhan (need), permintaan (demand), dan hasrat (desire). Perkembangan ketiga konsep itu dihubungkan dengan tiga fase perkembangan manusia yaitu: yang real, imajiner, dan simbolik. (Hill, 2002: 8-11). Pada ketiga tahapan itu, tatanan simbolik merupakan tahapan terpenting dalam psikoanalisa. Konsep tatanan simbolik diilhami dari pemikiran Lévi-Strauss tentang hubungan kekeluargaan dalam dunia sosial. Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer

155

1) Pemikiran tentang FaseThe Real Fase the real adalah masa ketika seorang subjek berada didalam suatu keadaan yang serba berkecukupan dalam arti segala sesuatu yang dibutuhkan sudah terpenuhi dengan sendirinya, contohnya adalah bayi yang berada didalam rahim ibuhingga lahir sampai berumur kurang dari 6 bulan. Ketika dalam kandungan, sang bayi berada dalam keadaan nyaman dan serba terpenuhisemua yang dibutuhkan karena selalu disuplai secara otomatis oleh tubuh ibunya. Hal ini disebabkan oleh menyatunya ibu dan anak didalam satu tubuh. Sang bayi hidup digerakkan oleh kebutuhan (need) akan makanan, minuman, kenyamanan, dan lain-lain. Bayi itu selalu mendapatkan kebutuhannya, dalam arti ia mendapatkan kepuasan dari konsumsi objek itu (http:// escape.freud. diunduh 2 Desember 2014) Sang bayi dengan kata lain berada dalam situasi ‘keterpenuhan’. Belum ada konsep ‘pribadi’ yang muncul pada tahapan ini, relasi yang terjadi hanyalah keinginan bayi dan objek pemuas yang didapatkan bayi itu. Keterpenuhan dapat terjadi tanpa adanya ketiadaan. Perlu digarisbawahi bahwa the real bukanlah realitas. Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer

156

The real adalah gagasan realitas yang dibentuk dari konstruksi sosial yang ada di masyarakat. Bayi tidak mengenal konsep keterpisahan dengan ibunya (“The Other”). Bayi adalah individu yang tidak memiliki pemahaman atas ‘kediriannya’ dengan kata lain sang bayi tidak memiliki subjektivitas tentang konsep diri sebagai individu. Tahapan the real akan terhenti ketika sang bayi menyadari ia berbeda dengan ibunya (The Other). Ketika dirinya adalah sesuatu yang berdiri sendiri selain sesuatu di luar dirinya, tepat pada saat itulah kebutuhan (need) sang bayi menjadi permintaan (demand). Kesadarannya akan keterpisahan dengan sang ibu, mengenal The Other, secara langsung menjadikan ia kehilangan sesuatu dan tidak merasa penuh. Terjadinya ketidakpenuhan yang diakibatkan dari timbulnya permintaan ini menjadi awal mula tahapan imajiner atau le stade de mirroir (Lacan, 2004).

2) Pemikiran tentang Fase Imajiner Fase imajiner ini terjadi antara usia 6-18 bulan. Fase ini ditandai dengan kesadaran bayi bahwa ia merupakan individu yang terpisah dari ibunya, yaitu satu kondisi ketika subjek telah menyadari bahwa ia terpisah dari tubuh ibunya Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer

157

dan memiliki satu kebutuhan yang berbeda dari ibunya. Pembentukkan ilusi ego yang terjadi disebabkan oleh adanya identifikasi imajiner atas pantulan diri di cermin yang menjadi ‘pembenaran’ bagi sang bayi sebagai identitas yang terpisah dari ibunya. Hal inilah yang disebut Lacan saat

sang

bayi

mengalami

méconnaisance

atau

kesalahpahaman sang bayi mengenali pantulannya. Sang bayi berpikir pantulan itu adalah dirinya namun sebenarnya pantulan itu bukanlah dirinya, kemudian sang bayi merepresentasikan pantulan dirinya di cermin sebagai ‘diri’ dan darisanalah tercipta ‘ego’. Selain itu,menurut Lacan dalam fase cermin, telah terjadi alienasi didalam diri subjek yaitu

citra yang

dipantulkan dan diidentifikasikan oleh subjek sebagai sebuah pengharapan “the other” terhadap diri subjek. Jadi alienasi

didalam

pemikiran

Lacan

adalah

masuknya

pengharapan “the other” kedalam diri seorang anak, misalnyaapakah memilih makanan, minuman, dan pakaian merupakan keinginan murni dari anak tersebut? Apakah tidak ada kontribusi keinginan “the other” terhadap si anak yang kemudian ia memutuskan untuk makanan, minuman, dan pakaian yang disukai sesuai dengan keterpenuhan dan kenyamannannya? The other dalam Lacan adalah orang lain Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer

158

yang ada disekeliling subjek, yaitu bisa keluarga, saudara, tetangga dan lain-lain (Lacan, 2004). Dalam proses inilah pemahaman ‘keakuan’ sang bayi terbentuk seperti konsep kompleks Oedipus pada teori Freud, yakni ketika sang anak merasakan adanya gangguan atas hubungannya dengan The other terhadap identifikasi yang dilakukannya melalui pantulan cermin, sehingga menimbulkan konflik dengan ‘ketidakpenuhan’ yang terjadi dalam

dirinya.

Perpecahan

dalam

diri

itulah

yang

menyebabkan sang anak lalu membuat gambaran tentang ego ideal yang diperolah dari keadaan “The other” dan akan berusaha terus menerus mencapai kepenuhan itu dengan mencapai ideal ego.

3) Pemikiran tentang Fase Symbolik Fase simbolik ditandai dengan adanya konsep hasrat (desire). Simbolik juga merupakan struktur bahasa yang menjadikan manusia sebagai subjek yang berbicara untuk menjadi ‘aku’ dan berkata sebagai ‘aku’ untuk mencapai suatu kondisi yang stabil sebagai individu. Sang anak mulai masuk ke dalam fase simbolik ketika ia mengetahui konsep “The other” yang teridentifikasi dari gambaran pantulan cermin (Lacan, 2004). Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer

159

Lebih lanjut Lacan menjelaskan bahwa fase imajiner dan

simbolik

merupakan

fase

yang

bersinggungan.

Kebersinggungan ini terjadi pada saat anak menyadari ‘keakuannya’ ketika melihat pantulan cermin dan melihat gambar ‘yang lain’ dalam cermin itu. Anak sebagai subjek dapat dikatakan mulai masuk ke dalam tatanan simbolik pada saat ia mengikuti hal-hal yang ada dalam tatanan simbolik, sama seperti yang dirasakan dalam tahapan imajiner. Meskipun demikian, perasaan akan keinginan untuk mencapai keterpenuhan diri tidak akan pernah ditemukan dalam individu, dan disanalah ironi kehidupan manusia mulai terjadi. Lacan menyebutkan tatanan simbolik sebagai perubahan ke arah‘The Other’. Ketidaksadaran adalah wacana atas ‘The Other’. Tatanan simbolik berisikan hukum dan peraturan yang mengatur keinginan/hasrat (desire) yang bertentangan dalam dunia imajiner. Dengan demikian fase simbolik adalah faktor yang menentukan subjektivitas, yakni subjek selalu berada dalam fase imajiner dan simbolik, tetapi imajiner hanyalah fatamorgana dari apa yang terjadi pada fase simbolik. Bentuk lain dari hasrat (desire) adalah “keinginan untuk menjadi” sebuah subjek yang utuh, tidak terbelah, Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer

160

tanpa kekurangan, dan penuh dengan pemenuhan. Dengan begitu, timbulnya hasrat pada fase simbolik berarti kembalinya individu pada the real, yang telah menghilang saat dikenakan bahasa. Jadi hasrat pada fase ini adalah kembalinya pada sesuatu yang tidak mungkin lagi dijelajahi oleh bahasa dan simbol. Dengan demikian, identitas sebenarnya hanyalah kesemuan yang disebabkan adanya efek penandaan. Keterjebakan dalam bahasa membuat manusia secara tidak sadar masuk dalam lingkaran penanda (circle of signifiers) ini. Konsekuensi logisnya, hasrat tidak dapat menunggangi bahasa, dan bahasalah yang memanipulasi hasrat (Lacan, 2004).

4) Pemikiran tentang Phallus (nom-du-père) Konsep Lacan (2004) mengenai nom-du-père berasal dari kompleks Oedipus Freud yang dikembangkan secara sosial-budaya. Nom-du-père adalah konsep inti dari fase simbolik. Ketika Freud menyatakan penis sebagai sebuah simbol ‘utuh’ dari sisi biologis dan pembeda antara laki-laki dan perempuan, Lacan menyatakan nom-du-pere adalah “The Other” atau sering juga disebut sebagai phallus. Phallus yang dimaksud Lacan bukanlah penis secara Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer

161

biologis tetapi sesuatu yang secara simbolik mengisyaratkan adanya‘keterpenuhan’ dan menjadi inti dari pusat tatanan simbolik. Phallus menjadi representasi sistem nilai, norma, dan kekuasaan partriarkal yang menjadi dasar fase simbolik. Sama halnya dengan bahasa, phallus merupakan struktur dari bahasa itu sendiri, sebagai pusat yang mengatur ke’ajeg’an simbolik. Phallus adalah penanda yang berada dalam tataran ketidaksadaran yang bersifat tidak stagnan. Oleh karena itu, phallus dapat menjadikan sebuah makna menjadi tegas. Dalam memahami pengertian phallus, harus dipahami juga peran kastrasi. Definisi mengenai perbedaan laki-laki dan perempuan dapat dijelaskan dari ketakutan akan kastrasi, yakni ketika Lacan menggambarkan individu takut kehilangan sesuatu (dalam hal ini penis), seperti dijelaskan di atas, Lacan mengandaikan phallus pada perempuan sama halnya dengan vagina, payudara, dan klitoris. Konsep penis merupakan simbol keutuhan, yang diperlukan oleh semua orang. Phallus is what no one can have but everyone wants: a belief in bodily unity wholeness perfect(Robertus, 2008:3). Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer

162

Sebagaimana dikatakan Lacan sebelumnya bahwa bahasa menjadi penting karena adanya rantai penanda dan petanda yang terikat satu dengan yang lain dan tidak pernah terputus, maka konsep ini pun diadaptasi dari Saussurean. Sungguhpun demikian, Lacan mengoreksi Saussure, dengan menyatakan bahwa petanda bukan merupakan sesuatu yang ‘ajeg’melainkan merupakan sesuatu yang cair atau tidak tetap.

6) Pemikiran tentang Jouissance dan desire Jouissance adalah suatu ‘kenikmatan’. Dalam hal ini, Lacan menjelaskan Jouissance merupakan kenikmatan yang melebihi kenikmatan itu sendiri, namun kenikmatan ini hanyalah berada pada satu titik dan dari kenikmatan itu juga dirasakan penderitaan dan kesakitan yang tidak berujung. Jouissance bukan merupakan pengalaman ‘kenikmatan’ murni. Sama seperti dua keping mata uang, kenikmatan akan didapatkan karena adanya sensasi dari ‘kesakitan’ tertentu.

Lacan

menjelaskan

adanya

perasaan

ingin

mencapai jouissance diakibatkan adanya situasi ‘la manque’ terhadap hal tertentu, bersamaan ketika kita meniadakan rasa itulah, kita mendapatkan kenikmatan dalam tanda-tanda pada tataran simbolik the real (Robertus, 2008:6). Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer

163

Jouissance dapat dikaitkan dengan konsep masokis, yakni ketika individu menyakiti dirinya untuk mencapai kepuasan tertentu, hal ini tidak hanya berada pada ranah seksual, tapi juga dalam ranah sosial, seseorang merepresi keinginannya untuk menemukan sebuah kepuasan dari rasa sakit atas penekanannya pada keinginannya itu. Jouissance menjadi alasan dari keinginan sehingga kenikmatan dari mengingini sesuatu akan terus terjadi demi proses pencapaian

keinginan

itu

sendiri,

karena

individu

menemukan kepuasan dalam mengingini di dalam ketiadaan kepuasan.

Dalam budaya Jawa upaya untuk mencapai kenikmatan hidup atau terkabulnya semua yang diinginkan dilakukan dengan melakukan prihatin dan tirakat. Kenikmatan hidup dalam persepsi budaya Jawa setara dengan yang disebut sebagai Jouissance, sedangkan laku prihatin dan tirakat setara masokis dalam konsep Lacan. Prihatin adalah sikap menahan diri, menjauhi perilaku bersenang-senang, dan enak-enakan. Tirakat adalah usaha-usaha tertentu untuk terkabulnya suatu keinginan. Hakekat dan tujuan dari laku prihatin dan tirakat adalah usaha untuk menjaga agar kehidupan manusia selalu mendapat kebahagiaan, selamat, dan sejahtera dalam lindungan Tuhan, agar dihindarkan dari kesulitan-kesulitan dan terkabul keinginan-keinginannya. Proses laku prihatin dan tirakat ini mendorong dan mengarahkan perilaku seseorang agar selalu bersikap positif dan Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer

164

menjauhi hal-hal yang bersifat negatif dan tidak bijaksana, demi tercapainya tujuan hidup. Laku prihatin pada prinsipnya adalah perbuatan sengaja untuk

menahan diri

terhadap kesenangan-kesenangan, keinginan-

keinginan, dan nafsu/hasrat yang tidak baik dan tidak bijaksana dalam kehidupan.

Laku

prihatin

juga

dimaksudkan

sebagai

upaya

menggembleng diri untuk mendapatkan kekuatan jiwa dan raga dalam menghadapi gelombang-gelombang dan kesulitan hidup. Orang yang tidak biasa laku prihatin, tidak biasa menahan diri, dan akan merasakan beratnya menjalani laku prihatin. Laku prihatin dapat dilihat dari sikap seseorang yang menjalani hidup ini secara tidak berlebih-lebihan. Idealnya, hidup ini dijalani secara proporsional, selaras dengan apa yang benar-benar menjadi kebutuhan hidup, dan tidak melebihi batas nilai kepantasan atau kewajaran (tidak berlebihan dan tidak pamer). Walaupun kepemilikan kebendaan seringkali dianggap sebagai ukuran kualitas dan keberhasilan hidup seseorang, dan sekalipun seseorang sudah jaya dan berkecukupan. Laku prihatin juga dapat dilihat dari sikapnya yang menahan diri dari perbuatan-perbuatan tidak baik, tidak pantas, tidak bijaksana, dan dari perilaku konsumtif berlebihan. Menjalani laku prihatin juga tidak sama dengan menahan diri karena hidup yang serba kekurangan. Orang Jawa mengatakan bahwa hidup harus selalu eling lan waspada. Artinya selalu ingat Tuhan. Tetapi biasanya manusia hanya mengejar kesuksesan saja, keberhasilan, keberuntungan, dan sebagainya, tetapi tidak tahu pengapesannya (saat kesialannya tiba). Orang Jawa menyakini bahwa orang-orang yang selalu ingat kepada

Tuhan dan menjaga moralitas, seringkali hidupnya banyak Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer

165

godaan dan banyak kesusahan. Kalau eling ya harus tulus, jangan ada rasa sombong, jangan merasa lebih baik atau lebih benar dibanding orang lain, jangan ada pikiran jelek tentang orang lain, karena kalau bersikap begitu sama saja bersikap negatif dan menumbuhkan aura negatif dalam diri sendiri. Aura negatif akan menarik hal-hal yang negatif juga, sehingga kehidupan akan berisi hal-hal yang negatif. Di sisi lain orang Jawa juga harus sadar, bahwa orang-orang yang terlalu banyak menahan diri, membatasi perbuatan-perbuatannya, sering menjadi kurang kreatif. Oleh karena itu, agar dapat berkembang optimal, kreatif, dan inovatif harus menyadari dan mengembangkan kemampuan, potensi diri, dan peluang-peluangnya dengan tindakan nyata agar dapat menghasilkan banyak hal yang bermanfaat untuk kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi tanpa harus melupakan Tuhan dan merusak moralitasnya. Sebaliknya, orang Jawa meyakini bahwa orang-orang yang tidak ingat Tuhan atau tidak menjaga moralitas, hidupnya terlihat lebih bebas, dapat bersenang-senang tanpa beban moral, dan dapat melakukan apa saja walaupun tidak baik dan tercela. Beban hidupnya lebih ringan daripada yang menahan diri. Mereka bisa mendapatkan kesenangan dan kebebasan lebih banyak, karena mereka tidak banyak menahan diri. Dalam tradisi Jawa, laku prihatin dan tirakat adalah bentuk upaya spiritual/kerohanian seseorang dalam bentuk keprihatinan jiwa dan raga, ditambah dengan laku-laku tertentu, untuk tujuan mendapatkan kebahagiaan dan keselamatan hidup, kesejahteraan lahiriah maupun batin, atau juga untuk mendapatkan keberkahan tertentu, suatu ilmu tertentu, kekayaan, kesaktian, pangkat atau kemuliaan hidup. Laku prihatin dan tirakat ini, selain merupakan bagian Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer

166

dari usaha dan doa kepada Tuhan, juga merupakan suatu ‘keharusan’ yang sudah menjadi tradisi, yang diajarkan oleh para pendahulu orang Jawa.Ada beberapa bentuk formal laku prihatin dan tirakat, dilakukan dengan cara: 1. Membersihkan hati dan batin dan membentuk hati yang tulus dan iklas. 2. Hidup sederhana dan tidak tamak, selalu bersyukur atas apa yang dimiliki. 3. Mengurangi makan dan tidur. 4. Tidak melulu mengejar kesenangan hidup. 5. Menjaga sikap eling lan waspada.

Dari pemikiran-pemikiran Lacan di atas dapat disimpulkan bahwa pemikiran Lacan dalam Postmo adalah bahwa keinginan tertinggi manusia itu adalah mencapai identitas dengan bahasa (Phalus/inti simbol) yang oleh Saussure disebut makna. Sementara identitas itu hakikatnya semu, maka tidak ada suatu identitas/makna yang sifatnya stagnan/tegas/selesai. Jadi pencarian kebutuhan tertinggi oleh manusia hakikatnya tidak pernah selesai. Selain itu, kenikmatan hidup tertinggi manusia hanya bisa dicapai dengan cara menahan berbagai kesenangan atau menjalani berbagai jerih payah dan penderitaan (masokis yang dalam konsep Jawa prihatin dan tirakat). Ini berarti kenikmatan Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer

167

hidup tidak bisa dicapai hanya dengan rasio tetapi juga melalui usaha tradisi dan metafisis. Pemikiran Lacan secara skematis dapat digambarkan berikut ini:

Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer

168

Berdasarkan skema 4.6 di atas dapat dijelaskan bahwa pemikiran Lacan, menyinggung tiga konsep penting, yaitu kebutuhan (need), permintaan (demand), dan hasrat (desire). Perkembangan ketiga konsep itu dihubungkan dengan tiga fase perkembangan manusia yaitu: yang real, imajiner, dan simbolik. Setiap fase memuat tidak konsep penting, yakni kebutuhan (need), permintaan (demand), dan hasrat (desire). Dari ketiga tahapan itu, tatanan simbolik merupakan tahapan terpenting dalam psikoanalisa yang di dalamnya terdapat phallus yang merupakan inti dari pusat tatanan simbolik. Oleh karena itu, untuk menguatkan phallus diperlukan satu konsep lagi yang disebut Jouissance Fase the real adalah masa ketika seorang subjek berada didalam suatu keadaan yang serba berkecukupan dalam arti segala sesuatu yang dibutuhkan sudah terpenuhi dengan sendirinya, seperti bayi yang berada didalam rahim sang ibuhingga lahir sampai berumur kurang dari 6 bulan. Dalam konsep sosial, The real adalah gagasan realitas yang dibentuk dari konstruksi sosial yang ada di masyarakat. Tahapan the real akan terhenti ketika dirinya merasa sebagai sesuatu yang berdiri sendiri, tepat pada saat itulah kebutuhan (need) menjadi permintaan (demand). Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer

169

Fase imaginer ini ditandai dengan kesadaran bahwa ia merupakan individu yang memiliki satu kebutuhan yang berbeda dari the other. Dalam proses inilah pemahaman ‘keakuan’ seperti konsep kompleks Oedipus pada teori Freud, yakni ketika dia merasakan adanya gangguan atas hubungannya dengan the other terhadap identifikasi yang dilakukannya, sehingga menimbulkan konflik dengan ‘ketidakpenuhan’ yang terjadi dalam dirinya. Perpecahan dalam diri itulah yang menyebabkan seseorang akan membuat gambaran tentang ego ideal yang diperoleh dari keadaan “The other” dan akan berusaha terus menerus mencapai kepenuhan itu dengan mencapai ideal ego. Fase symbolik merupakan struktur bahasa yang menjadikan manusia sebagai subjek yang berbicara untuk menjadi ‘aku’ dan berkata sebagai ‘aku’ untuk mencapai suatu kondisi yang stabil sebagai individu. Seseorang dikatakan mulai masuk ke dalam tatanan simbolik pada saat ia mengikuti hal-hal yang ada dalam tatanan simbolik. Tatanan simbolik berisikan hukum dan peraturan yang mengatur keinginan/hasrat (desire) yang bertentangan dalam dunia imajiner. Dengan demikian fase simbolik adalah faktor yang menentukan subjektivitas menjadi sebuah Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer

170

subjek yang utuh, tidak terbelah, tanpa kekurangan, dan penuh dengan pemenuhan. Phallus yang dimaksud Lacan adalah sesuatu yang secara simbolik mengisyaratkan adanya ‘keterpenuhan’ dan menjadi inti dari pusat tatanan simbolik. Phallus menjadi representasi sistem nilai, norma, dan kekuasaan partriarkal yang menjadi dasar fase simbolik. Sama halnya dengan bahasa, phallus merupakan struktur dari bahasa itu sendiri, sebagai pusat yang mengatur ke’ajeg’an simbolik. Phallus adalah penanda yang berada dalam tataran ketidaksadaran yang bersifat tidak stagnan. Oleh karena itu, phallus dapat menjadikan sebuah makna menjadi tegas. Jouissance adalah suatu ‘kenikmatan’ yang melebihi kenikmatan itu sendiri, namun kenikmatan ini hanyalah berada pada satu titik dan dari kenikmatan itu juga dirasakan penderitaan dan kesakitan yang tidak berujung. Jouissance bukan merupakan pengalaman ‘kenikmatan’ murni. Sama seperti dua keping mata uang, kenikmatan akan didapatkan karena adanya sensasi dari ‘kesakitan’ tertentu. Jouissance dapat dikaitkan dengan konsep masokis (prihatin dan tirakat dalam konsep budaya Jawa). Prihatin adalah sikap menahan diri dan menjauhi perilaku bersenangsenang, sedangkan tirakat adalah usaha-usaha tertentu Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer

171

sebagai tambahan untuk terkabulnya suatu keinginan. Berdasarkan konsep tersebut, Jouissance merupakan sikap dan perilaku untuk menahan diri dan menjauhi perilaku bersenang-senang serta melakukan usaha-usaha tertentu sebagai tambahan untuk tercapainya suatu keinginan. Dengan demikian, Jouissance menjadi alasan untuk mencapai suatu keinginan dalam memperoleh kenikmatan hingga menemukan kepuasan hidup.

Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer

172

BAB V KEKUATAN TEORI SOSIOLOGI POSTMODERN

Postmodernisme kembali

interpretasi

Postmodernisme

muncul sejarah

mencoba

untuk

“meluruskan”

yang dianggap

mengingatkan

otoriter.

untuk

tidak

terjerumus pada kesalahan yang fatal dengan menawarkan pemahaman perkembangan sejarah peradaban dunia dalam kerangka genealogi (pengakuan bahwa proses sejarah tidak pernah melalui jalur tunggal, tetapi mempunyai banyak “sentral”). Para Postmodern melihat proyek pendemokrasian sebagai akibat dari modernisme. Sebab dalam modernism terdapat satu ciri penting, yaitu universalisme dalam segala bidang. Selain universalisme, ada juga karakter penting dari modernism yaitu Oposisi Biner (jika A benar, maka B pasti salah). Modernism beranggapan bahwa demokrasi Amerika Serikat sudah benar, maka sesuai dengan prinsip oposisi biner, semua sistem di luar itu dianggap salah. Postmodern lahir untuk mengkritik semua ambisi dan proyek mahabesar modernism tersebut. Universalisme Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer

173

yang ditawarkan oleh modernism tidak mungkin bisa tercapai, sebab dunia ini dipenuhi oleh perbedaan dan keanekaragaman

baik

dalam

hal

ekonomi,

sosial,

politik dan terlebih lagi budaya. Merupakan sesuatu yang mustahil jika modernisme ingin membuat semua negara yang penuh dengan warna dan perbedaan tersebut hidup dengan satu cara yang sama. Selain hal tersebut di atas, satu karakter penting modernism yang dikritik oleh Postmodern adalah Oposisi biner. Tidak ada yang salah dan benar dalam dunia ini. Akan tetapi

semuanya

memiliki

kebenaran

masing-masing.

Contoh yang paling sering diangkat oleh para Postmodern adalah masalah budaya dan agama. Semua budaya yang terdapat di muka bumi ini memiliki cerita dan makna masing-masing. Demikian juga halnya dengan agama, semua agama mempunyai kebenaran tersendiri. Tidak ada agama yang salah dan agama yang paling benar, namun semua agama memiliki dan membawa kebenarannya masing-masing. Puisi sebagai salah satu produk budaya juga tidak memiliki universalitas makna. Tidak ada satu makna puisi yang paling benar dan tidak ada makna puisi yang salah. Semua penafsiran memiliki kebenaran dan perspektif masing-masing. Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer

174

Demikian juga, dengan sistem politik yang akan dianut oleh setiap negara. Postmodern memandang bahwa demokrasi yang dianut oleh Amerika serikat mempunyai kebenaran, tetapi sistem kerajaan yang dianut oleh Inggris dan negara lainnya juga mempunyai kebenarannya sendiri. Begitu juga dengan sistem politik di suatu negara atau daerah lain yang tidak mengacu pada demokrasi ala Amerika juga mempunyai kebenaran tersendiri.

Contoh: Jika dilihat dan ditelaah dari konteks politik hari ini, masalah Postmodern sering menjadi topik yang menarik untuk dikaji. Modernisme dengan konsep universalismenya menghendaki semua Negara satu model. Demokrasi Amerika dianggap sebagian besar negara paling demokratis. Amerika serikat juga didaulat sebagai negara penjunjung tinggi HAM. Berdasarkan karakter Modernisme yang bersifat oposisi biner, maka negara yang dianggap menjunjung tinggi HAM adalah negara yang menganut sistem demokrasi ala Amerika. Jadi, Negara manapun yang ingin menghargai Hak Azasi warganya harus menerapkan sistem demokrasi ala Amerika Serikat. Hal itu disebabkan oleh anggapan sebagaian besar negara bahwa Amerika Serikat sebagai Negara terdepan yang mengimplementasi demokrasi. Hal tersebut kemudian diperkuat dalam peraturan lembaga internasional (United Nation), bahwa semua negara yang menjadi anggota United Nation (PBB) diwajibkan untuk menjunjung tinggi HAM. Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer

175

Sebenarnya tidak ada masalah jika negara anggota United Nation diwajibkan menjunjung tinggi HAM, sebaliknya yang menjadi masalah adalah ketika demokrasi ala Amerika yang dianggap sebagai satu-satunya jalan untuk menjunjung tinggi HAM. Secara tidak langsung, anggapan sebagian besar negara itu telah menafikan sistem lain seperti Kerajaan dan sistem politik lokal. Oleh karena itu, demokrasi merupakan satu-satunya jalan, maka negara yang ingin menjunjung tinggi HAM harus pula menganut sistem demokrasi. Barang siapa (negara) yang tidak mau menjunjung tinggi HAM (menganut demokrasi), maka akan dikenai sanksi oleh lembaga tertinggi dunia tersebut. Sanksi dapat beraneka ragam, mulai dari embargo sampai penjajahan yang berkedok penyelamatan umat manusia. Berkaitan dengan masalah HAM juga demikian halnya, Amerika serikat mengaku sebagai penjunjung tinggi Ham, tetapi mereka pulalah yang membunuh puluhan bahkan ratusan ribu rakyat sipil di Irak. Amerika pulalah yang membuat dan menghidupkan penjara Guantanamo, yang sebenarnya merupakan bentuk pelanggaran besar terhadap HAM. Dengan label menjunjung tinggi HAM pulalah, Amerika Serikat kerap melakukan genosida (pembunuhan secara massal). Pertanyaan yang kemudian muncul adalah, apa artinya HAM yang dijunjung tinggi tersebut? Inilah salah satu pertanyaan yang merupakan kesangsian teoretisi Postmodern terhadap universalitas Modernism, yang kemudian dibongkar dengan dengan teori paralogi Postmodern, sehingga mampu menjawab berbagai fenomena sosialpolitik, keilmuan, dan teknologi kontemporer (yang berkembang saat ini). (http://ahmadhariantosilaban.blogspot.com/postmodernisme.html) Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer

176

Untuk dapat menjelaskan berbagai perbedaan dan keberagaman kebenaran tersebut, maka kajian Postmodern menawarkan satu prinsip baru, yaitu Paralogi. Yang dimaksud paralogi adalah bahwa semua bisa hidup dalam keberagaman,

yang

dibingkai

dalam

prinsip

multikulturalisme dan pluralisme. Penghargaan terhadap keberagaman dan pemaknaan kebenaran yang beragam inilah yang menjadi penekanan kajian Postmodern. Dengan demikian, hanya kajian Postmodern yang menjelaskan terjadinya keberagaman di muka bumi ini.

Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer

177

BAB VI EPILOG

Postmodern (Postmo) secara umum dikenal sebagai antitesis dari modernisme (Silalaban, 2011). Postmodern melihat fakta bahwa ternyata Modernisme, di samping menciptakan

kemajuan

teknologi

juga

menciptakan

totalitarianisme yang menyebabkan pembunuhan yang lebih massif, marjinalisasi, (genosida) dan aneksasi kolonialisme yang membabi buta sepanjang sejarah. Dalam konteks inilah, Postmodern menganggap janji modernisme yang dibangun oleh rasionalitas, untuk mencapai emansipasi manusia dari kemiskinan, kebodohan, prasangka dan tidak adanya rasa aman gagal dan tidak masuk akal. Munculnya

Postmodern

merupakan

gugatan

terhadap teori modernism yang menganggap unsur-unsur utama modernisme berupa rasio, ilmu, dan antropomorphisme yang merupakan reduksi dan totalisasi hakekat manusia justru menyebabkan lahirnya berbagai patologi, yakni

dehumanisasi,

pengangguran,

jurang

alienasi,

deskriminasi,

perbedaan

kaya

dan

rasisme, miskin,

materialisme, konsumerisme, kolonialisme, ancaman nuklir, Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer

178

dan hegemoni budaya serta ekonomi. Berbagai patologi inilah yang menjadi alasan penting gugatan pemikiran Postmodern terhadap modernisme. Di samping itu karakter Modernisme yang selalu universal dan oposisi biner tidak dapat menjelaskan fenomena-fenomena kecil-kecil, unik, dan yang termarjinalkan. Bagi modernisme yang diakui hanya yang besar, padahal yang memberikan makna pada dunia justru yang kecil-kecil, yang unik-unik, dan yang termarjinalkan.

Contoh yang lagi menjadi trending topik saat ini adalah gaya komunikasi Ahok (yang nama aslinya Basuki Tjahaya Purnama saat Gubernur DKI Jakarta saat ini). Sebagai Gubernur, dia dinilai oleh para ahli komunikasi dan anggota Dewan sebagai cara komunikasi pemimpin yang melanggar prinsip sopan santun. Tentu saja penilaian ini didasarkan pada satu teori modernisme yang universal. Akan tetapi kasus Ahok berbeda dengan ilustrasi dari teori universal. Ahok menggunakan teori Postmodern, bahwa komunikasi yang efektif itu adalah komunikasi yang cepat dapat dipahami oleh lawan bicara, apa pun caranya. Lawan bicara Ahok adalah Anggota Dewan yang kebal rasa malu. Mereka tidak akan pernah malu dengan perbuatannya. Dengan komunikasi yang santun mereka tidak pernah Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer

179

merasa malu dan pura-pura tidak paham kalau mereka telah merampok uang rakyat 12 trilyun lebih. Akan tetapi dengan gaya komunikasi Ahok yang langsung menohok pada karakter mereka, justru berhasil membuat mereka merasa malu dan berusaha menyelamatkan perbuatannya. Jadi itu menurut Ahok adalah cara komunikasi yang efektif dengan anggota Dewan DKI yang bermental “maling” tetapi berkedok pembela rakyat.

Prinsip homologi (kesatuan ontologis) yang dianut oleh Modernisme menurut Postmodern harus didelegitimasi oleh paralogi (pluralisme) dengan tujuan agar kekuasaan, termasuk kekuasaan ilmu pengetahuan, tidak lagi jatuh pada sistem totaliter yang biasanya bersifat hegemonik dan pro status-quo. Postmodern adalah sebuah gerakan global yang diartikan sebagai ketidakpercayaan atas segala bentuk narasi besar,

penolakan

segala

mentotalisasi

seperti

Liberalisme,

Marxisme,

bentuk

pemikiran

Hegelianisme, Komunisme,

yang

Kapitalisme, Sosialisme

dan

lainnya. Penolakan itu disebabkan oleh akibat yang ditimbukan ide narasi besar (metanarasi) yang menandai kegagalan dari modernisme seperti kekejaman pasukan Nazi pada perang dunia kedua yang menandai kegagalan nasionalisme; pemberontakan kaum buruh terhadap partai komunis yang terjadi di Berlin (1953), Budapest (1956) dan Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer

180

Polandia (1980). Pemberontakan buruh itu menunjukkan betapa komunisme sebagai ideologi totaliter mengandung banyak kotradiksi. Masih banyak kejadian lainnya yang bisa disebutkan termasuk aneksasi neo-liberalisme dan neokapitalisme Amerika Serikat terhadap Irak. Di

sisi

lain,

Postmodern

merupakan

sebuah

pemikiran yang unik, plural, dan parsial yang berusaha untuk mengkaji kembali sesuatu yang dinilai kurang dari dan belum dapat dijelaskan dalam teori-teori sebelumnya. Postmodern

dapat

menjelaskan

fenomena-fenomena

kontemporer yang tidak dapat dijelaskan oleh teori modernis, seperti faktor yang menyebabkan pemberontakan buruh di berbagai perusahaaan, akibat eksplorasi tambang dan hutan secara besar-besaran, akibat kejiwaan terhadap penjajahan, munculnya fenomena hiperalitas, seperti dunia fantasi, Disneyland, pencitraan (baik dalam iklan maupun politik),

pertarungan

simbolik

kekuasaan,

penyebab

terjadinya perang, perlawanan sosial, dan revolusi sosial. Dari beberapa pendapat di atas, dapat dipahami bahwa teoretisi Postmodern lebih memusatkan kajiannya pada

intermediasi

daripada

determinasi,

perbedaan

(diversity) daripada persatuan (unity), dan paralogi daripada homologi. Penulis sepakat dengan berbagai nilai dan ide Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer

181

dasar dalam teori Postmodern seperti relativitas dan pluralitas sebagai salah satu cara memperoleh ilmu pengetahuan.

Sebagaimana

menciptakan

metode

pendapat

dekonstruksi

Derrida

yang

menolak

teori

kemapanan, objektivitas tunggal, dan kestabilan makna sehingga membuka ruang kreatif seluas-luasnya dalam proses pemaknaan dan penafsiran terhadap suatu teks. Dengan demikian makna teks bersifat plural dan imanen tidak bersifat permanen dan tunggal, maka pemaknaan teks tidak lagi ditentukan oleh kaidah yang berada di luar subjek melainkan oleh konteks dan subjek yang memaknai dan dimaknai. Demikian juga dengan penolakan Lyotard terhadap narasi besar/metanarasi. Universalitas, transendentalitas, dan esensialiatas sebagai inti dari metanarasi merupakan suatu kemustahilan dalam menjawab perkembangan sains dan teknologi. Perkembangan sains dan teknologi itu bersifat spesifik karena perkembangan pengetahuan dan teknologi itu bersifat eksperimen selalu terikat oleh konteks pragmatis, ruang, dan waktu. Lebih lanjut, Lyotard juga menyatakan bahwa sains merupakan permainan bahasa. Aturan mainnya tidak lagi merupakan pernyataan untuk meyakinkan pihak kedua Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer

182

sebagai pihak yang wajib memberikan persetujuan atau penolakan berdasarkan bukti yang diajukan pihak pertama tetapi memberikan keterbukaan untuk mengubah aturan sehingga permainan menjadi lebih bermakna, karena akan diperoleh banyak model pengetahuan yang lebih sensitif terhadap konteks, inovasi, dan kreativitas perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi seperti yang ada saat saat ini. Munculnya

dominasi

pengetahuan,

membuat

Foucault menolak penggunaan ilmu pengetahuan sebagai instrumen

pembangunan

dan

dijadikan

alat

untuk

mendominasi kekuasaan. Pemikiran Foucault melakukan analisis

wacana

untuk

memahami

kekuasaan

yang

tersembunyi di balik pengetahuan. Analisisnya terhadap hubungan pemahaman

kekuasaan bahwa

dan peran

pengetahuan

memberikan

pengetahuan

tentang

pembangunan digunakan oleh negara dunia pertama untuk melanggengkan dominasi terhadap negara dunia ketiga, termasuk ide/konsep globalisasi yang diciptakan oleh negara maju (kelompok modernis) hakikatnya tetap digunakan agar dapat melanggengkan kekuasaannya terhadap negara dunia ketiga. Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer

183

Sementara itu, Bodillard menciptakan tiga buah pikiran tentang simulasi, simulacra, dan hiperealitas untuk menjelaskan hilangnya realitas yang menjadi andalan kaum modernis di zaman kontemporer saat ini dan makin maraknya dunia ilusi, khayali, serta science fiction seperti dalam berbagai dunia fantasi (seperti: dysneyland, komik, game, dunia Dinosaurus), wacana iklan, film, arsitektur, dan berbagai macam permainan simulasi saat ini. Selanjutnya, Pierre Bourdieu memandang kekuasaan dalam konteks teori masyarakat. Ia melihat kekuasaan sebagai budaya simbolis yang dibuat dan dilegitimasi secara terus-menerus melalui interaksi agen dan struktur dengan konsep relasi antara habitus, modal, dan arena. Habitus merupakan kebiasaan yang tumbuh dalam masyarakat secara alami melalui proses sosial yang sangat panjang, terinternalisasi dan terakulturasi dalam masyarakat yang terstruktur secara sendirinya. Modal yang memungkinkan untuk mendapatkan kesempatan-kesempatan di dalam hidup akibat dibentuk oleh habitus. Kedua kombinasi ini akan ditempatkan di sebuah arena yaitu ruang khusus yang ada di dalam masyarakat. Arena membentuk habitus yang sesuai dengan struktur dan cara kerjanya, namun habitus juga membentuk dan mengubah arena sesuai dengan strukturnya. Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer

184

Konsep relasi ini bersifat kontekstual, sehingga akan diperoleh berbagai ragam model relasi. Sementara itu Lacan yang terkenal dengan teori wilayah tak sadar dengan mengombinasi pemikiran Freud, filsafat Hegel, filsafat strukturalis dan post strukturalis, mengembangan sekaligus menentang teori Freud dengan menciptakan tiga fase kebutuhan manusia yaitu fase The Real, Imajiner, dan Symbolik. Ketiga fase ini adalah tahapan pencarian jadi diri manusia demi tercapainya rasio dan logika dari setiap individu untuk mencari identitas. Lacan beranggapan bahwa kebutuhan tertinggi manusia itu adalah mencapai

identitas

dengan

bahasa/simbol.

Sementara

identitas itu hakikatnya semu. Jadi tidak ada suatu identitas/simbol/ makna yang sifatnya stagnan atau tegas. Dengan demikian, hakikatnya pencarian kebutuhan oleh manusia itu tidak pernah selesai. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Postmodern menjadi solusi yang tepat untuk memecahkan masalah-masalah di zaman kontemporer saat ini yang tidak mampu dipecahkan melalui teori modernisme. Hal itu disebabkan oleh pemikiran-pemikiran Postmodern yang sangat menghargai perbedaan dan memberikan ruang yang seluas-luasnya untuk menciptakan makna baru. Postmodern Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer

185

juga memberikan ruang yang seluas-luasnya bagi subjek untuk tumbuh kembangnya inovasi dan kreativitas sesuai dengan tantangan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi saat ini.

Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer

186

DAFTAR REFERENSI

Anderson, Perry. 1998. The Origins of Postmodernity. Diterjemahkan oleh Robby H. Abror. 2008. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Andrew,Chtor. A Critical Review Of Pierre Bourdieus Distinction A Social Critique Of The Judgement Of Taste. (online) diakses dari http://andrewchatora.wordpress.com/2010/03/26/acritical-review-of-pierre-bourdieus-distinction-asocial-critique-of-the-judgement-of-taste/tanggal 24 April 2013. Agger, Ben. 2003. Teori Sosial kritis: Kritik, Penerapan dan Implikasinya. Kreasi Wacana: Yogyakarta Ahmed, Akbar S. 1992. Postmo: Bahaya dan Harapan Bagi Islam. Mizan: Bandung Barker, Chris.2004.Cultural Studies:Teori & Praktik. Yogyakarta. Kreasi Wacana. Benjamin, Andrew (ed.). 1989.

The Lyotard Reader.

Oxford: Blackwell. Bertens, K. 2002. Sejarah Filsafat Kontemporer. Yogyakarta: Kanisius

Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer

187

Bourdieu, Pierre. 1996. Distinction : a social critique of the judgement of taste. Cetakan ke-8, translated by Richard Nice. Cambridge. Harvard University Press. Coker, John C, 2003. Derrida dalam The World’s Great Philosophers oleh Robert L Arrington (ed). Oxford: Blackwell Cutrofello, Andrew. 1998.Jaques Derrida dalam Routledge Encyclopedia of Philosophy oleh Edward Craig, dkk (eds) Vol. II, London: Routledge Finlayson, Alan. 2003.Contemporary Political Thought. Edinburgh: Edinburgh University Press.Ltd Foucault, Michel. 1992. The Archaeology of Knowledge& the Discourse on Language. Amazon: Vintage. Haryanto, Sindung. 2010. Teori Strukturalisme, dalam Anatomi dan Perkembangan Ilmu Sosial. Bagong Suyanto dan M Khusna Amal (ed) Aditya Media Jones, Pip. 2009. Pengantar Teori-Teori Sosial: Dari Teori Fungsionalisme Hingga Post-Modernisme. Yayasan Obor Indonesia: Jakarta Lacan, Jacques. 1977. Écrits: A Selection, terj. Alan Sheridan. London: Tavistock. Lyotard, Jean-Francois. (2009). Kondisi Postmodern: Suatu laporan mengenai Pengetahuan (Edisi Terjemahan). Surabaya: Selasar Surabaya Publishing. Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer

188

Navano,2006. Hal :16 diakses dari http://www.powercube.net/other-forms-ofpower/bourdieu-and-habitus/ tanggal 24 April 2013. Ritzer, George. (2003). Teori Sosial Postmodern (Edisi Terjemahan). Yogyakarta: Juxtapose-Kreasi Wacana. Ritzer, George. 2004. Teori Sosial Postmodern. Juxtapose bekerjasama dengan Kreasi Wacana: Yogyakarta. Ritzer, George dan Goodman, Douglas J. 2004.Teori Sosiologi Modern. Kencana Ritzer, George. 2009. Modern Sociological Theory. Mc Graw Hill. Santoso, Listiyono. 2009. Posmmodern: Kritik atas Epistemologi Modern (dalam “Epistemologi Kiri”). Ar Ruzz Media Cetakan Ke-VI. Sarup, Madan. 1993. An Introductory Guide to Post Structuralism and Pos Modernsm. Diterjemahkan oleh Medhy Aginta Hidayat.Yogyakarta: Jalasutra

Silalaban, Ahmad Herianto. http://ahmadhariantosilaban.blogspot. com/2011/06/makalah-postmodernisme.html Spivak, Gayatri Chakravorty. 1999. A Critique of Postcoloni al Reason: Toward A History of The Vanishing Present. Harvard: Harvard University Press, Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer

189

Sugiharto, I Bambang. 1996 . Postmodernisme Tantangan bagi Filsafat. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. Sugiharto, I. Bambang. Foucault dan Postmodernisme. http://www.geocities. com/kajianbudaya/index.html diakses pada tanggal 8 September 2007 Sugiharto, I Bambang. Percah-Percah Postmodernisme, yang diakses dari http://neumann.f2o.org/filsafat/post1.htm pada tanggal 26 April 2007 Suyanto , Bagong dan Amal, M Khusna (ed) 2010. Teori Strukturalisme. Dalam Anatomi dan Perkembangan Ilmu Sosial. Aditya Media Turner, Bryan S. 2000.Teori-teori Sosiologi ModernitasPostmodernitas. Yogyakarta. Pustidaka Pelajar. http://librarianship-umir.blogspot.com/2010/08/pendekatanpostmodernisme-dalam.html#uds-search-results diakses pada tanggal 27 Agustus 2010 http://umum.mpasiana.com/2009/07/07/postmodernisme101/ko diakses pada tanggal 27 Agustus 2014 http://learning-of.slametwidodo.com/?s=modernisme diakses pada tanggal 27 Agustus 2010. Wattimena, Reza AA. 2012. Berpikir Kritis bersama Pierre Bourdieu. (online). (diakses dari Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer

190

http://rumahfilsafat.com/2012/04/14/sosiologi-kritisdan-sosiologi-reflektif-pemikiran-pierre-bourdieu/ tanggal 24 April 2013).

Perspektif Teori Postmodern terhadap Problema Sosial Politik Kontemporer

191

View more...

Comments

Copyright ©2017 KUPDF Inc.
SUPPORT KUPDF