Permasalahan dalam Desentralisasi Fiskal

September 11, 2017 | Author: Bayu Ardhiansyah | Category: N/A
Share Embed Donate


Short Description

This Paper...

Description

Abstract Indonesia’s 2001 decentralization was a “Big Bang,” indeed. Much of the apparatus of government was transferred to the regions in the course of the year, the regional share in government spending jumped steeply, and a completely new intergovernmental fiscal system was put in place. Surprisingly little went wrong in the logistics of this radical, hastily prepared move born amidst the political turmoil in the aftermath of the New Order government. But now Decentralization has bring some problems, one of the biggest problem is implementation of fiscal decentralization in some regional. This Paper is intended to find the problems in fiscal decentralization during the implementation. Keywords: Decentralization,Fiscal Decentralization,Intergovermental fiscal relation, Decentralization Problem, Intergovermental relation

Definisi Desentralisasi dan otonomi daerah

Desentralisasi secara umum dapat didefinisikan sebagai suatu pelimpahan kewenangan pusat kepada daerah untuk membuat dan melaksanakan suatu kebiajakan. Menurut UndangUndang No.32 Tahun 2004 dalam pasal 1 Desentralisasi adalah “Penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurusurusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.” Sedangkan yang dimaksud otonomi menurut Undang-Undang No 32 Tahun 2004 Pasal 1 adalah “hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundangundangan.” Menurut kamus Webster’s Third New International Dictionary, otonomi dapat diartikan sebagai “The quality state being independent,free and self-directing”. Dari beberapa penjelasan diatas kita dapat melihat bahwa otonomi daerah dapat dilaksanakan apabila adanya suatu pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah,dalam arti lain adanya otonomi daerah disebabkan adanya desentralisasi. Dengan demikian otonomi daerah dan desentralisasi merupakan sesuatu yang tidak dapat dipisahkan karena saling berkaitan. Kondisi Desentralisasi dan Otonomi Daerah di Indonesia Di Indonesia definisi Desentralisasi dan Otonomi daerah dalam penjelasan diatas masih diterapkan sampai sekarang . Dalam penerapan konsepnya, desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia menekankan adanya keputusan politik yang ditempuh guna meningkatkan efektiftas penyelenggaraan pemerintan,pelayanan publik dan pembangunan, dalam arti lain desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia tidak datang begitu saja tetapi harus melalui suatu prosedural1.

1 Juli Panglima Saragih,”Desentralisasi Fiskal dan Keuangan Daerah dalam Otonomi”,Jakarta;Ghalia Indonesia , 2003hlm 40

Menurut Bhenyamin Hoessein roda desentralisasi di Indonesia telah mengalamai suatu pergeseran sebanyak lima kali2. Dan pada tahun 1999 roda desentralisai telah kembali kepada jalan demokrasi. Di era orde baru selama kurang lebih 32 tahun Soeharto berkuasa, Indonesia dalam sistem pemerintahannya menekankan pada sistem yang sentralistik. Namun pada tahun 1974, sistem pemerintah tersebut sedikit diubah menjadi lebih terdesentralisasi. Salah satu bukti nyata dari adanya perubahan sistem tersebut adalah disahkannya Undang-Undang No.5 tahun 1974. Undang-undang ini bertujuan untuk menciptakan pemerintahan yang terdesentralisasi guna mengurangi biaya pengeluaran pemerintah yaitu dengan cara-cara sebagai berikut: 1. Desentralisasi, penyerahan urusan pemerintah dari Pemerintah atau Daerah tingkat

atasnya kepada Daerah menjadi urusan rumah tangganya 2. Dekonsentrasi, pelimpahan wewenang dari Pemerintah atau Kepala Wilayah atau

Kepala Instansi Vertikal tingkat atasnya kepada Pejabat-pejabat di daerah dan 3. Tugas Pembantuan (medebewind), tugas untuk turut serta dalam melaksanakan urusan

pemerintahan yang ditugaskan kepada Pemerintah Daerah oleh Pemerintah oleh Pemerintah Daerah atau Pemerintah Daerah tingkat atasnya dengan kewajiban mempertanggungjawabkan kepada yang menugaskannya Tujuan dilakukan ketiga hal tersebut adalah untuk melakukan effisiensi struktural. Dalam perjalanannya hal tersebut tidak mampu mengurangi beban pemerintah justru malah menambah permasalah baru di tingkat lokal. Dan pada akhirnya pemerintahan orde baru kembali menjadi sentralistik. Sentralistik dalam sistem pemerintahan Indonesia terus berlanjut, hingga pada tahun 1999, pasca runtuhnya rezim Soeharto. Beberapa daerah seperti Aceh dan Irian jaya kembali mewacanakan isu desentralisasi dalam sistem pemerintahan. Desakan beberapa daerah tersebut disebabkan pada era Orde baru sistem pemerintahan sentralistik telah membuat daerah mereka menjadi daerah yang tertinggal padahal sumber daya alam mereka merupakan penyumbang terbesar dalam pendapatan negara. Guna menjawab permasalahan tersebut, presiden Habibie mengesahkan Undang-undang No.22 tahun 1999 dalam rangka melakukan desentralisasi. 2 Bhenyamin Hoessein,”Desentralisasi dan Otonomi Daerah di Negara Kesatuan Republik Indonesia . Akan berputarkah Roda desentraliasi dari efisiensi ke demokrasi,Pidato Pengukuhan Guru Besar Universitas Indonesia,Depok,1995

Disahkannya Undang-Undang No.22 tahun 1999 secara langsung menggantikan UndangUndang No.5 tahun 1974 Secara umum Pada masa ini, pemerintahan Habibie selain memberlakukan dasar hukum desentralisasi yang baru untuk menggantikan Undang-Undang No. 5 Tahun 1974, yaitu dengan memberlakukan Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah juga membuat Undang yang mengatur Hubungan keuangan pusat dan daerah yaitu melaui UndangUndang No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah3. Pada tahun 2001, dua tahun pasca di sahkannya Undang-Undang No.22 Tahun 1999, Indonesia menjadi salah satu negara yang terbanyak dalam melakukan pemekaran daerah dan tercepat dalam perubahan sistem pemerintah dari sentralistik menjadi desentralistik4. Pada tahun pertama yaitu tahun 2000, pengeluaran pemerintah naik ke tingkat regional naik dari 17% menjadi 30%, dalam perkembanggannya hal tersebut juga meningkatkan pembelanjaan pemerintah terutama dalam belanjang pegawai negeri di tingkat lokal. Menurut para ahli banyaknya pemekaran daerah/desentralisasi yang dilakukan di Indonesia dapat dikatakan sebagi suatu fenomena “Big Bang Decentralization”. Adapun penyebab fenomena tersebut adalah adanya keinginan dari daerah yang sudah lama ingin diberikan otonomi namun hal tersebut belum dapat dipenuhi hingga pada akhirnya pada era reformasi sekarang keinginan tersebut dapat dipenuhi. Dalam perjalannya Desentralisasi di Indonesia pada era reformasi pada tahun pertama dan kedua yaitu pada tahun 2001 dan 2002 mendapat pujian dari World Bank, “There were no mayor disruptions of services, civil servants got paid by and large, and with the exception of some teachers striking for the pay-out of the retroactive wageincreases, little of the feared unrest substantiated. And although a significant part of theregulatory framework is still outstanding, regional governments did by and large muddlethrough, and service delivery units

3 http://id.wikipedia.org/wiki/Otonomi_daerah#cite_note-5 diunduh pada tanggal 16 May 2010 pada pukul 9:31

4 Bert Hofman dan Kai Kaiser,” The Making of the Big Bang and its Aftermath A Political Economy Perspective”, Georgia,World Bank 2002 hlm 4

did what they used to do before decentralization—good or bad. And many regions have already started to pursue the possibility forexperimentation that decentralization offers.”5 Adanya Pujian tersebut merupakan sinyalmen bahwa desentralisasi di Indonesia berjalan sukses. Namun sayangnya hal tersebut tidak bertahan lama. Pada tahun-tahun berikutnya permasalahan baru akibat desentralisasi terus bermunculan. Permasalahan tersebut menurut salah seorang peneliti di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yaitu Tri Ratnawati timbul akibat tidak adanya penjelasan pembagian kewenanga antar unit-unit di tingkat daerah menurut Undang-Undang

No.22 Tahun 1999, permasalahan lainnya adalah banyaknya peraturan

pemerintah pusat yang tidak sejalan dengan peraturan pemerintah daerah. Akhirnya untuk mengatasi permasalahan tersebut pemerintah melakukan amandemen Undang-undang dengan membuat Undang-undang baru tentang pemerintahan daerah yaitu Undang-undang No.32 tahun 2004. Disahkannya Undang-Undang ini diharapkan mampu memberikan penyelesaian permasalahan tentang hubungan pusat dan daerah dan dapat menyelesaikan masalah secara komprhensif. Dalam Undang-undang ini perubahan yang paling signifikan adalah adanya Pemilihan Kepala Daerah (PILKADA) dan adanya pengurangan wewenang pemerintah pusat di tingkat daerah6. Permasalahan dalam Desentralisasi dan Otonomi daerah di Indonesia Dalam impelementasinya Undang-Undang No.32 tahun 2004,masih memberikan permasalahan dan bahkan menimbulkan permasalahan baru. Menurut Eko Prasojo,Teguh Kurniawan

dan

Defny

Holidin

dalam

bukunya

yang

berjudul

“State

Reform

In

Indonesia”.permasalahan desentralisasi akan terus muncul apabila pemerintah pusat tidak tegas dalam mengatur hubungan pemerintah pusat dan daerah. Menurut mereka dampak negatif dari “Big Bang Decentralization” adalah sebagai berikut: 1. Kurangnya Kordinasi antar lembaga terutama dalam pembangunan : Otonomi daerah

telah menyebabkan kurangnya kordinasi antar lembaga di tingkat lokal. Kurangnya kordinasi tersebut telah mengakibatkan konflik kepentingan antar lembaga terutama

5 Ibid 6 Eko Prasojo, Irfan Ridwan Maksum dan Teguh Kurniawan,”Desentralisasi dan Pemerintahan Daerah: Antara Model Demokrasi Lokal dan efisiensi struktural,Depok, Departemen Ilmu Administrasi FISIP UI,2006 hlm 121

lemabaga vertikal,sebagai contoh adanya kewenangan yang seharusnya dilakukan di tingkat provinsi tetapi kewenangan tersebut di lakukan di tingkat kabupaten/kota. 2. Penggemukan Struktur: adanya desentralisasi yang diharapkan mampu menciptakan

effisiensi dalam pemerintahan terutama dalam hal struktural justru menimbulkan permasalahan baru yaitu penggemukan struktur, permasalahan ini timbul akibat adanya peraturan pemerintah No. 84 tahun 2000 3. Ketidak serasian peraturan pemerintah daerah dengan pemerintah pusat: salah satu

permasalahan akibat adanya desentralisasi dalam pemberian wewenang pembuatan keputusan dari pemerintah pusat kepada daerah di tingkat daerah adalah adanya regulasi yang bertentangan.sebagai contoh aturan dalam penetapan tarif perizinan pendirian usaha,hal senada juga diungkapkan oleh hasil survey Asian Foundation pada tahun 2008 yang mengunkapkan bahwa di beberapa daerah telah terjadi pelanggaran terutama dalam penetapan tarif,hasil survey ini bisa kita lihat dibawah:

4. Permasalahan dalam sumber daya manusia: permasalahan ini terjadi akibat proses implementasi desentralisasi yang terburu-buru,permasalahan dalam SDM sering

berkaitan tentang buruknya kualitas SDM yang dimiliki daerah tersebut,adanya KKN dalam perekrutan SDM dan kurangnya jumlah SDM yang dibutuhkan akibat pemekaran. 5. Kurangya transparansi, akuntabilitas dan keterlibatan masyarakat di tingkat lokal: secara teoritis desentralisasi menimbulkan transparansi dan akuntabilitas di tingkat lokal adanya kedua hal tersebut secara otomatis meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pembangunan. Namun di Indonesia hal ini dalam proses implementasinya justru memberikan hasil sebaliknya dan akhirnya menimbulkan korupsi di tingkat daerah 6. Permasalahan dalam hubungan keuangan pusat dan daerah: permasalahan ini merupakan

salah satu permasalahan yang cukup kompleks. Dan dapat dikatakan berbahaya, dapat dikatakan demikian karena dalam beberapa dekade terakhir munculnya gerakan separatisme secara tidak langsung disebabkan adanya ketiakadilan terutama dalam hubungan keuangan pusat dan daerah terutama dalam permasalahan desentralisasi fiskal.

Diantara permasalahan tersebut permasalahan tentang hubungan keuangan pusat dan daerah merupakan permasalahan yang paling vital. Permasalahan tersebut harus segera diselesaikan karena menyangkut tentang integrasi nasional.dalam bagian berikutnya akan dikupas lebih dalam tentang permasalahan apa saja yang timbul dalam desentralisasi fiskal tentang hubungan keuangan antara pusat dan daerah. Desentralisasi Fiskal Desentralisasi Fiskal merupakan suatu konsekuensi dari pelimpahan sebagian wewenang pemerintahan pusat kepada pemerintah daerah. Desentralisasi Fiskal secara teroritis dapat didefinisikan sebagai pelimpahan kewenangan di bidang penerimaan yang sebelumnya tersentralisasi baik secara administrasi dan pemanfaatannya diatur atau dilakukan oleh pemerintah pusat7. Dengan adanya desentralisasi fiskal pemerintah daerah diharapkan dapat meningkatkan pendapatannya dan menciptakan investasi yang produktif di daerahnnya. Di dalam desentralisasi fiskal menurut Roy.W Bahl dalam artikelnya yang berjudul “Impelementation Rules For Fiscal Decentralization” terdapat satu prinsip yang harus dilakukan 7 Bachrul Elmi “Keuangan Pemerintah Daerah otonom di Indonesia”,Jakarta,UI-Press,2002;Hlm 26

yaitu prinsip “Money Should Follow Function”. Prinsip tersebut dapat didefinsikan sebagai setiap penyerahan atau pelimpahan wewenang

pemerintahan membawa konsekuensi pada

anggaran yang diperlukan untuk melaksanakan kewenangan tersebut. Menurut Roy.W Bahl desentralisasi fiskal secara umum juga dapat memberikan pemicu untuk menciptakan pelayan publik yang lebih baik di tingkat daerah. Menurut Desentralisasi fiskal merupakan varian dari pelaksanaan desentralisasi yang ditempuh suatu negara. Menurut Hamid Desentralisasi fiskal dapat didefinisikan sebagai devolusi (penyerahan) tanggung jawab fiskal dari pemerintahan pusat kepada tingkatan pemerintahan yang ada di bawahnya, sub-national levels of government, seperti negara bagian, daerah, distrik, dan kota8. Desentralisasi Fiskal di Indonesia Desentralisasi fiskal di Indonesia pada era awal Reformasi memang tidak dinyatakan secara jelas. Namun dalam Undang-Undang No 25 tahun 1999, terdapat komponen dana perimbangan, dalam kebijakan fiskal, dana perimbangan merupakan inti dari desentralisasi fiskal. Di Indonesia hubungan Desentralisasi dengan desentralisasi fiskal dapat menurut Bachrul Elmi dapat digambarkan sebagai berikut9:

Urusan/Pekerjaan DESENTRALISASI

Dekonsentrasi Pembantuan Tugas PAD+PKPD

Sistem pembiayaan Fiskal pemerintahan dalam rangka Negara Dari gambaran diatas kita dapat melihat bahawa desentralisasi fiskal berkaitan erat dengan Kesatuan RI,yang desentralisasi, dan dari gambar diatas kita dapat mengambil kesimpulan bahwa mencakup desentralisasi didalmnya pembagian fiskal di Indonesia di wujudukan dengan adanya dana perimbangan adanya

Dana Perimbangan Pusat dan daerah di Indonesia

8 Hamid R. Davaodi, Http://www.imf.org/external.Pubs/FT/irb/2001/eng/02/indeks.htm#sum2. Diunduh 16 May 2010 pada pukul 12:00 9 Bachrul Elmi,Op Cit,hlm 12

Dana Perimbangan Dana perimbangan adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Dana perimbangan tersebut dibentuk untuk mendukung pendanaan program otonomi. Dana perimbangan meliputi dana alokasi umum (DAU), dana alokasi khusus (DAK), dan dana bagi hasil (DBH). DAU bertujuan untuk pemerataan kemampuan keuangan antar daerah yang dimaksudkan untuk mengurangi ketimpangan kemampuan keuangan antar daerah memalui penerapan formula yang mempertimbangkan kebutuhan dan potensi daerah10. Kebijakan perimbangan keuangan pusat dan daerah merupakan derivatif dari kebijakan otonomi daerah yang artinya semakin banyak daerah yang diberikan otonom maka akan semakin banyak pula anggaran yang diperlukan,namun dalam prinsip desentralisasi yang mengedepankan effisiensi, prinsip tersebut juga harus di laksanakan di dalam dana perimbangan pusat dan daerah. Pengaturan dana perimbangan di Indonesia sekarang diatur oleh Undang-undang No.33 tahun 2004 yang menggantikan Undang-Undang No.25 /1999. Pengaturan tersebut berada di dalam pasal 10, Undang-undang No.33 tahun 2004 memberikan proporsi DAU sebesar 26% dari Penerimaan dalam negeri. Pembagian proporsi provinsi dan kabupaten/kota didasarkan pada perimbangan kewenangan provinsi dan kabupaten/kota. Dalam penetapannya DAU berdasarkan perumusan celah fiskal. Celah fiskal merupakan kebutuhan fiskal dikurangi dengan kapasitas fiskal daerah. Daerah yang menerima DAU menurut Undang-undang No.33 tahun 2004 wajib menyediakan Dana Alokasi Khusu sebesar 10% namun apabila tidak mempunyai kemampuan finansial untuk menyediakannya maka tidak diwajibkan menyediakan. Dalam perkembangannya implementasi biaya trasfer pusat ke daerah dalam pelaksanaan desentraliasi fiskal di Indonesia terus meningkat akibat adanya pemekaran. Hal ini bisa dilihat dalam nota keuangan 2010 yaitu sebagai berikut

10 Juli Panglima Saragaih, Op Cit ,hlm 85

Dari grafik tersebut kita dapat melihat adanya Dana alokasi umum yang seharusnya berkurang setiap tahun justru malah semakin meningkat,hal ini menunjukan adanya ketidak seimbangan antara wewenang dan sumber pebiayaan pemerintah daerah. Tentunya ketidakawajaran tersebut menujukan adanya permasalahan dalam implementasi desentralisasi fiskal.

Permasalahan dalam Desentrlisasi Fiskal di Indonesia

Munculnya permasalahan dalam desentralisasi fiskal terutama dalam DAU merupakan permasalahan yang terjadi sudah lama. Pada tahun 2001 menurut Harian bisnis Indonesia edisi 8 Mei 2002, menyatakana bahwa hampir 40% DAU mengalami penyimpangan penggunaan dalam arti lain penggunaan dana tersebut dikorupsi. Beberapa permasalahan lainnya yang terjadi dalam DAU adalah ada nya perbedaan persepsi antar pusat dengan daerah tentang definisi DAU, menurut daerah DAU merupakan suatu bantuan/hibah yang tidak perlu dikembalikan yang pada akhirnya mayoritas daerah tergantung pada DAU. Dari grafik diatas kita dapat melihat bahwa dari tahun ke tahun anggaran alokasi DAU selalu meningkat,hal ini secara tidak langsung membuktikan bahwa daerah bergantung pada DAU sebagai sumber pendapat asli daerahnnya Menurut Roy W Bahl dalam laporan penelitiannya yang berjudul “Fiscal Decentralization in Indonesia: The First Year in Review and the Challenges Ahead” dalam desentralisasi fiskal di Indonesia ada beberapa masalah yang harus segera diperbaiki yaitu antara lain sebagi berikut: 1. Kapasitas Untuk Menyerap DAU di daerah masih lemah : di Daerah penyerapa DAU

cenderung tidak maksimal menurut ekonomi UI Bambang PS Brodjonegoro

11

, sisa

anggaran DAU pada tahun 2008 sekitar 45 trilliun, hal ini merupakan suatu bukti bahwa daerah belum mampu membuat grand design dalam pembangunannya yang akhirnya anggaran tersebut cenderung dihambur-hamburkan bahkan sering di korupsi 2.

Montoring dan Evaluasi: adanya desentralisasi di Indonesia tidak diimbangi dengan sistem pengawasan yang baik dan tidak adanya evaluasi berkala yang pada akhirnya menimbulkan permasalahan baru yaitu korupsi di tingkat lokal

3. Kordinasi dengan pemerintah Pusat : Kordinasi merupakan alat keberhasilan dari desentralisasi, namun sayangya hal tersebut tidak berlaku di Indonesia, kordinasi yang dilakukan hanya sebatas wacana saja sehingga mengakibatkan hubungan antara pemerintah pusat dan daerah renggang

11 http://www.antara.co.id/view/?i=1229035039&c=EKB&s= diunduh pada tanggal 16 May 2010 pukul 13:00

Permasalahan-permasalahan lainnya yang tidak kalah penting adalah adanya isu perimbangan keuangan antara pusat dan daerah kemudian perimbangan keuangan antar daerah. Permasalahan ini merupakan isu yang sangat sensitif karena menyangkut kepentingan ekonomi politik daerah. Isu dalam perimbangan keuangan antara pusat dan daerah meliputi isu kelangkaan (Scarcity) pemerintah pusat dalam menyediakan DAU kepada pemerintah daerah. Pembahasan isu ini tidak akan pernah berakhir selama desentralisasi berjalan. Permasalahan ini juga diperburuk dengan permsalahan potensi pendapatan daerah. Secara garis bersar penyebab utam dari timbulnya permasalahan ini adalah adanya perbedaan tafsir antar pemerintah pusat dan pemerintah daerh tentang DAU. Perbedaan Pendapat tentang DAU mengakibatkan berberapa daerah mengklaim bahwa DAU merupakan suatu hal yang wajib dipenuhi pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Isu dalam perimbangan antar daerah merupakan isu yang muncul didasarkan latar belakang kondisi ekonomi,geografis,demografi antar daerah yang berbeda. Secara teori perbedaan tersebut dapat dijadikan suatu harmonisasi, yaitu dengna menciptakana kerja sama antar daerah. Namun isu tersebut juga bisa menjadi suatu bumerang,seperti menimbulkan kecemburuan antar daerah seperti dalam hal pembangunan atau tidak adilnya dalam pembagian DAU. Yang akhirnya menimbulkan kerenggangan antar daerah. Dari beberapa penjelasan tersebut kita dapat melihat adanya desentralisasi fiskal memang dapat memberikan dampak yang positif terutama dalam efisiensi pengelolaan negara, namun di negara berkembang seperti Indonesia hal tersebut malah memberikan permasalahan baru di tingkat lokal.oleh karena itu perlu adanya suatu kordinasi yang baik antar pemerintah pusat dan daerah. Kesimpulan Dilaksanaknnya desentralisasi pada tahun 1999,memang memberikan nilai baru terutama dalam pluralisme dan liberalisme dalam kebebasan politik. Namun adanya desentralisasi yang secara teoritis dapat menciptakan transparansi dan akuntabilitas malah memberikan hal yang sebaliknya yaitu tingginya korupsi di tingkat daerah. Adanya Desentralisasi secara langsung juga menciptkaan

Desentralisasi fiskal, tujuan desentralisasi fiskal secara umum adalah untuk

meningkatkan iklim investasi di daerah. Namun sayangnya hal tersebut malah disalah artikan

oleh pemerintah daerah. Desentraliasasi fiskal justru memberikan biaya transaksi yang tinggi di daerah. Permasalahan lainnya yang timbul akibat adanya desentralisasi fiskal adalah tidak adanya kordinasi yang baik antara pemerintah daerah dan pemerintah pusat yang akhirnya menimbulkan permasalahan baru, di sisi lain desentralisasi fiskal terutama DAU yang diharapkan dapat menciptakan keseimbangan antara pusat dan daerah justru menimbulkan konflik baru yaitu potensi separatisme. Banyaknya konflik tersebut menunjukan bahwa pemerintah dalam melakukan impelementasi desentralisasi terlalu terburu-buru, semoga dalam perkembangannya hal tersebut bisa diperbaiki terutama dalam hal kordinasi dan pengawasan.

.

DAFTAR PUSTAKA

Asia Foundation, 2008, Indonesia Rapid Decentralization Appraisal (IRDA) 4Th Report. Jakarta:Asia Foundation, Bahl,Roy, 2002, Fiscal Decentralization in Indonesia: The First Year in Review and the Challenges Ahead, USAID Indonesia Bahl.Royh,1999,Implementation Rules For Fiscal Decentralization,World Bank Hoessein,Bhenyamin ,”Desentralisasi dan Otonomi Daerah di Negara Kesatuan Republik Indonesia . Akan berputarkah Roda desentraliasi dari efisiensi ke demokrasi,Pidato Pengukuhan Guru Besar Universitas Indonesia,Depok,1995 Prasojo,Eko, Irfan Ridwan Maksum ,Teguh Kurniawan,2006,Desentralisasi dan Pemerintahan Daerah; Antara Model Demokrasi Lokal dan Efisiensi Struktural, Departemen Ilmu Administrasi FISIP UI, Depok Ratnawati,Tri, 2003,Problematika Implementasi UU No.22 1999 Yani,Ahmad , 2008, Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah di Indonesia, Raja Grafindo, Jakarta Saragih, Juli Panglima, 2003, Desentralisasi Fiskal dan Keuangan Daerah Dalam Otonomi, Ghalia Indonesia, Jakarta Prasojo,Eko, Teguh Kurniawan, Defny Holidin , 2007 , State Reform in Indonesia, Departemen Ilmu Administrasi FISIP UI, Depok Hofman, Bert, Kai Kaiser, 2002 ” The Making of the Big Bang and its Aftermath A Political Economy Perspective”, World Bank Georgia Republik Indonesia,2010, Nota Keuangan 2010 UU RI No. 22/1999 UU RI No. 32/2004 UU RI No. 33/2004 http://www.antara.co.id/view/?i=1229035039&c=EKB&s http://id.wikipedia.org/wiki/Otonomi_daerah#cite_note-5 Http://www.imf.org/external.Pubs/FT/irb/2001/eng/02/indeks.htm#sum2.

View more...

Comments

Copyright ©2017 KUPDF Inc.
SUPPORT KUPDF