PERLINDUNGAN KONSUMEN TERHADAP PRODUK pANGAN iMPOR HASIL REKAYASA GENETIKA DALAM KONTEKS PERDAGANGAN BEBAS

May 10, 2019 | Author: Fatimah Nadir | Category: N/A
Share Embed Donate


Short Description

AFTA (ASEAN Free Trade Area) mulai diberlakukan sejak 1 Januari 2003 menandai perdagangan bebas se-kawasan Asia Tenggara...

Description

BAB 1 PENDAHULUAN

A. Latar Latar Bela Belakan kang g Masal Masalah ah

AFTA AFTA (ASEAN (ASEAN Free Free Trade Trade Area) mulai diberlak diberlakuka ukan n sejak sejak 1 Januar Januarii 2003 2003 menand menandai ai perdag perdagang angan an bebas bebas se-kawa se-kawasan san Asia Asia Tengga Tenggara. ra. Dengan Dengan demiki demikian an kont kontes es perd perdag agan anga gan n sepe sepert rtii semua semua hamb hambat atan an perd perdag agan anga gan n non non tari tariff akan akan dihapuskan di Indonesia. Menjelang era globalisasi, di mana batas-batas antar  negara menjadi luluh, menyebabkan produk manca negara akan berlomba masuk  ke Indonesia. Produk-produk ini akan meliputi bidang industri, termasuk industri  pangan. Produk pangan impor akan mengalir menembus pangsa pasar Indonesia yang yang memang memang sangat sangat luas luas jika ditinjau ditinjau dari dari segi segi jumlah jumlah pendud penduduk. uk. Dengan Dengan demiki demikian an beraga beragam m produ produk k pangan pangan impor impor akan akan bereda beredarr di pasaran pasaran,, termas termasuk  uk   produk

pangan

impor

hasil

rekayasa

genetika

(Geneti Genetical cally ly

Modifi Modified  ed 

Organism/GMO). Organism/GMO). Perdagangan bebas ( free trading ) merupa merupakan kan dampak dampak dari dari era global globalisas isasi, i, di mana mana bata batass-ba bata tass nega negara ra suda sudah h hamp hampir ir tanp tanpaa bata batas. s. Perd Perdag agan anga gan n beba bebass merupakan merupakan darah dalam kehidupan kehidupan masyarakat global, global, masalah masalah perlindung perlindungan an kons konsum umen en menj menjad adii semak semakin in pent pentin ing g untu untuk k dika dikaji. ji. Pent Pentin ingn gny ya kajia kajian n ini ini didasarkan pada pemikiran bagaimana pemberian perlindungan terhadap hak-hak  univer universal sal konsum konsumen en secara secara luas luas oleh oleh masyarak masyarakat at khususn khususnya ya terhad terhadap ap produk  produk   pangan impor hasil rekayasa genetika (pangan transgenik) yang diduga berisiko tinggi terhadap kesehatan. Hal Hal lain lain yang ang juga juga menj menjad adii masa masala lah h adal adalah ah masy masyar arak akat at umum umum sang sangat at menggandrungi produk impor karena prestise masyarakat. Namun kecenderungan ini ini keli keliru ru,, merek merekaa memi memili lih h prod produk uk pang pangan an tanp tanpaa memp memper erha hatik tikan an damp dampak  ak  terhad terhadap ap keseha kesehatan tan atas atas kandun kandungan gan atau atau substan substansi si suatu suatu produk produk,, termasuk  termasuk  memastikan produk yang dikonsumsinya itu merupakan produk pangan impor  hasil hasil rekay rekayasa asa geneti genetika. ka. Kekeli Kekelirua ruan n ini tidak tidak sematasemata-mat mataa lahir lahir dari dari gengsi gengsi

1

konsum konsumen en tetapi tetapi kesalah kesalahan an produs produsen en atau atau pelaku pelaku usaha usaha yang yang mengab mengabaika aikan n  pencantuman perihal yang selengkap-lengkapnya dari suatu produk sebagaimana termuat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 69 tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan. Tindakan produsen yang demikian itu menyebabkan konsumen sulit mengenali dan membedakan produk pangan impor hasil rekayasa genetika/GMO (pangan transgenik) dan produk pangan impor non transgenik. Pada sisi lain konsumen tetap tetap mengko mengkonsu nsumsi msi produk produk pangan pangan impor impor transgen transgenik ik karena karena tidak tidak adany adanyaa informasi informasi terhad terhadap ap ihwal ihwal

atau keterangan keterangan suatu suatu produk. produk.

Padahal Padahal konsum konsumen en

 berhak mendapatkan informasi yang sebenar-benarnya dan selengkap-lengkapnya sebagaimana diisyaratkan dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Pelanggaran serius terhadap hak-hak konsumen merupakan hal yang tidak boleh dibiarkan berlarut-larut, sehingga pemerintah perlu menempuh langkah-langkah sistem sistematis atis untuk untuk menega menegakka kkan n hak-ha hak-hak k konsum konsumen. en. Selain Selain itu masyarak masyarakat at juga juga  perlu aktif memperjuangkan hak-haknya sebagai konsumen. Dengan demikian konsumen dapat terlindungi dari risiko gangguan kesehatan dan risiko lainnya atas penggunaan produk pangan impor hasil rekayasa genetika. Upaya menuju penegakan hukum terhadap hak-hak konsumen dengan berbagai sarana sarana hukum hukum yang yang ada perlu perlu diopti dioptimal malkan kan,, mengin mengingat gat pelang pelanggar garan an hukum hukum terhadap konsumen berarti pelanggaran hukum terhadap semua umat manusia karena karena semua manusia di dunia adalah konsumen. konsumen. Semua pihak perlu bersinergi bersinergi dan berperan berperan secara aktif

sehingga sehingga perlindunga perlindungan n hukum terhadap terhadap konsumen konsumen

dapat diwujudkan.

B. Rumusan Masalah

Perdagangan Perdagangan bebas mengisyarat mengisyaratkan kan dimulainya dimulainya tingkat persaingan persaingan yang sangat kompetitif. Terbukanya akses yang secara bebas bagi produsen luar negeri harus diwa diwasp spad adai ai,,

khus khusus usny nyaa

terh terhad adap ap prod produk uk indu indust stri ri pang pangan an dala dalam m

nege negeri ri..

2

Pemerintah dan semua pihak terkait harus aktif mencegah terjadinya hal-hal yang dapat merugikan konsumen di Indonesia, maka kajian ini lebih difokuskan pada : 1.

Bagai agaima mana na model odel pen pengawa gawasa san n pemer emerin inta tah h terh terhad adap ap prod produk  uk 

 pangan impor hasil rekayasa genetika 2.

Siap Siapaa yang yang bert bertan angg ggun ung g jawab jawab terh terhad adap ap keru kerugi gian an yan yang g dialam dialamii

konsumen dalam mengkonsumsi produk pangan tersebut. 3.

Seja Sejau uh mana ana Und Undang ang-un -undang dang Panga angan n melin elindu dung ngii hak hak-hak  -hak 

konsumen terhadap produk pangan impor hasil rekayasa genetika.

C. Tujuan dan dan Kegunaan Kegunaan Penulisan Penulisan

Tujuan Penulisan : 1.

Menguraikan sejauh mana pengawasan pemerintah terhadap

 produk pangan impor hasil rekayasa genetika sebelum dilempar di pasar  Indonesia. 2.

Meng Mengur urai aika kan n alur alur per perta tang nggu gung ngja jawa waba ban n piha pihak k yan yang g meni menimb mbul ulka kan n

kerugian pada konsumen 3.

Mem Memberi eri gamba ambara ran n akan akan eksi eksist sten ensi si dari dari Und Undangang-u undan ndang g Pang Pangan

dalam dalam member memberika ikan n perlin perlindun dungan gan konsum konsumen en terhada terhadap p produk produk pangan pangan impor rekayasa genetika. Kegunaan Penulisan : 1. Diha Dihara rapk pkan an dapa dapatt berm berman anfa faat at bagi bagi upay upayaa-up upay ayaa mena menata ta model odel  pengawasan pemerintah terhadap masuknya produk pangan impor hasil rekayasa genetika. 2. Dihara Diharapka pkan n dapat dapat memberika memberikan n konstr konstribu ibusi si bagi upaya upaya mencari mencari solusi solusi terhadap masalah yang dihadapi konsumen dalam era perdagangan bebas.

3

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Perlindungan Konsumen dalam Tinjauan Hukum Indonesia

Konsep Perlindungan Konsumen diperkenalkan untuk menjamin terwujudnya  penegakan hukum terhadap hak-hak konsumen secara menyeluruh. Peraturan  perundang-undangan Indonesia yang menjadi acuan dalam Perlindungan Konsumen adalah

Undang-Undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan

Konsumen yang selanjutnya disebut Undang-undang Perlindungan Konsumen (UUPK). Beberapa instrumen hukum lain yang sangat mendukung terwujudnya  perlindungan konsumen adalah: - Undang-undang Nomor 23 tahun 1992 tentang Kesehatan - Undang-undang Nomor 7 tahun 1996 tentang Pangan - Peraturan Pemerintah Nomor 69 tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan Perlindungan Konsumen terdiri dari berbagai elemen penting lain yang saling mendukung seperti berbagai peristilahan teknis tentang kesehatan, pangan yang  juga diatur dengan Undang-Undang. Undang-undang Perlindungan Konsumen menentukan bahwa Perlidungan Konsumen adalah Segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberikan perlindungan kepada konsumen. Definisi di atas menekankan adanya

perlindungan

terhadap

konsumen.

Pengertian konsumen berdasarkan Undang-undang Perlindungan Konsumen adalah setiap orang pemakai barang atau jasa yang tersedia dalam masyarakat  baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, makhluk hidup lain yang tidak diperdagangkan. Di Amerika Serikat pengertian konsumen meliputi “korban produk” yang cacat yang bukan hanya meliputi pembeli tetapi pemakai, bahkan korban yang bukan  pemakai memperoleh perlindungan yang sama dengan pemakai. Sedangkan di Eropa berdasarkan  Produk Liability Directive selanjutnya disebut ( Directive)

4

sebagai pedoman bagi negara MEE dalam menyusun ketentuan mengenai hukum  perlindungan konsumen, yang berhak menuntut ganti kerugian a dalah pihak yang menderita kerugian berupa kerusakan benda selain produk yang cacat itu sendiri. Konsumen adalah pemakai barang atau jasa yang diperolehnya dari pelaku usaha. Pelaku usaha yang dimaksudkan berdasarkan rumusan dari Undang-undang Perlindungan Konsumen Pasal 1 angka 2 adalah Setiap orang-perseorangan atau badan usaha yang didirikan dan  berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum RI, baik  sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan berusaha di berbagai bidang ekonomi. B. Pangan Rekayasa genetika dan Perdagangan Bebas

a. Pangan Rekayasa genetika Barang dan jasa yang dikonsumsi oleh konsumen dapat berupa barang atau jasa dengan jenis apapun, termasuk produk pangan, baik produk pangan impor  maupun produk pangan dalam negeri. Secara umum pangan dapat diartikan sebagai konsumsi makanan ataupun minuman. Pengertian lebih rinci dapat dilihat  pada UU No. 7 tahun 1996 tentang Pangan Pasal 1 angka 1, yang menyebutkan  bahwa : Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air,  baik yang diolah maupun yang tidak diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan pengolahan, dan atau pembuatan makanan atau minuman. Jelas bahwa bahan tambahan, bahan baku, dan bahan lainnya yang ditambahkan dalam makanan atau minuman yang dikonsumsi juga dapat digolongkan dalam kategori pangan. Dengan demikian penulis mendefinisikan pangan impor yaitu segala bahan  pangan

yang diproduksi di luar negeri, baik itu berupa bahan baku, bahan

tambahan, dan bahan lainnya yang digunakan dalam proses penyiapan  pengolahan, dan atau pembuatan makanan atau minuman.

5

Rekayasa genetik yang juga dikenal dengan istilah biotekhnologi modern, transfer gen atau modifikasi gen merupakan teknik memasukkan/menyisipkan gen dari spesies yang berbeda seperti manusia, bakteri, hewan, virus, jamur, dan tanaman. Gen tersebut dapat berasal dari hewan yang dimasukkan ke genom tanaman atau gen dari bakteri disisipkan ke hewan ataupun gen dari virus dimasukkan ke manusia. Teknik ini dapat diandaikan sebagai mengocok satu set kartu yang berupa gen-gen untuk menciptakan makhluk hidup yang tidak pernah ada sebelumnya.1 Rekayasa genetika dilakukan dengan mengubah DNA ( deoksiribonukleat Acid ) atau susunan genetik makhluk hidup yang merupakan kode kehidupan. Pengubahan ini dilakukan dengan memotong dan menggabungkan sekuen/bagian DNA dengan cara memotong gen tertentu dan menyisipkannya ke DNA makhluk  lain. Rekayasa genetika lazim dikenal dengan sebutan pengubahan cetak biru keturunan organisme. Teknik rekombinasi genetika yang dilakukan dengan mengganti atau menambahkan DNA dari luar kepada susunan DNA asli dalam sel, dikenal dengan rekayasa genetika atau manipulasi genetika/ DNA rekombinant . Terminologi Pangan Rekayasa genetika atau Genetically Modified Organism (GMO atau GM  Food ) dapat diartikan tanaman yang secara genetika diubah dengan menambahkan gen asing melalui teknik biologi molekuler modern atau  bioteknologi guna memperoleh karakter yang dikehendaki. Pangan rekayasa genetika adalah pangan atau produk pangan yang diturunkan dari tanaman, atau hewan yang dihasilkan melalui proses rekayasa genetika. Pengertian rekayasa genetika pangan juga dapat dijumpai dalam UU Pangan Pasal 1 angka 12 yaitu suatu proses yang melibatkan pemindahan gen (pembawa sifat) dari suatu  jenis hayati ke jenis hayati lain yang berbeda atau sama untuk  mendapatkan jenis baru yang mampu menghasilkan produk pangan yang lebih unggul.

1

T.A.Brown, 1991, Pengantar Kloning Gena, Yayasan Essentia Medica, Yogyakarta.

6

UU Pangan lebih lanjut mempertegas aturan mengenai penggunaan hasil rekayasa genetika yang terdapat dalam pasal 13 ayat (1) dan (2) yaitu : (1)

Setiap

orang

yang

memproduksi

pangan

atau

menggunakan bahan baku, bahan tambahan pangan dan atau bahan bantu lain dalam kegiatan atau proses produksi pangan yang dihasilkan dari proses rekayasa genetika wajib terlebih dahulu memeriksakan keamanan pangan  bagi kesehatan manusia sebelum diedarkan. (2) Pemerintah menetapkan persyaratan dan prinsip penelitian, pengembangan, dan pemanfaatan metode rekayasa genetika dalam kegiatan atau proses  produksi pangan, serta menetapkan persyaratan bagi pengujian pangan yang dihasilkan dari proses rekayasa genetika. Pangan yang dimaksudkan tidak dibatasi apakah itu produk pangan lokal ataupun  produk pangan impor. Berdasarkan definisi dari Undang-undang Perlindungan Konsumen, impor adalah barang yang dimasukkan dari luar negeri ke dalam daerah pabean di dalam negeri. Produk pangan impor adalah produk pangan yang  berasal dari luar negeri yang dipasarkan di Indonesia. Produk pangan yang  beredar di pasaran Indonesia inilah yang harus dikaji kelayakannya untuk  dipasarkan di Indonesia. Standar baku suatu produk pangan yang akan beredar  harus memenuhi ketentuan-ketentuan yang diamanatkan dalam Undang-Undang  No. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan yang selanjutnya disebut UU Kesehatan. Peran UU kesehatan terhadap perlindungan konsumen sangat besar khususnya dalam bidang pengamanan makanan dan minuman sebagaimana tercantum dalam Pasal 21 sebagai berikut: 1. Pengamanan makanan dan minuman diselenggarakan untuk melindungi makanan dan minuman yang tidak memenuhi ketentuan mengenai standar atau persyaratan kesehatan. 2. Setiap makanan dan minuman yang dikemas wajib diberi tanda atau label yang berisi: a. Bahan yang dipakai  b. Komposisi setiap bahan

7

c. Tanggal, bulan dan tahun kadaluwarsa d. Ketentuan lainnya 3. Makanan dan minuman yang tidak memenuhi ketentuan standar atau  persyaratan kesehatan

atau membahayakan kesehatan sebagaimana

dimaksud dalam ayat (1) dilarang untuk diedarkan, ditarik dari  peredaran dan disita untuk dimusnahkan sesuai dengan ketentuan  peraturan perundang-undangan yang berlaku. 4. Ketentuan

mengenai

pengamanan

makanan

dan

minuman

sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), (2), dan (3) ditetapkan dengan  peraturan pemerintah .  b. Perdagangan Bebas Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi termasuk teknologi industri merupakan peluang besar dalam memulai sistem perdagangan bebas, tidak  terkecuali

kehadiran globalisasai ekonomi yang telah dilakukan melalui

kesepakatan WTO, AFTA maupun APEC 2010 dan 2020. Dengan pandangan  bahwa perdagangan bebas tak lain adalah bagian dari globalisasi. Sementara arti globalisasi sangat luas berdasarkan dari sudut pandang mana seorang pemikir, “Albrow” menekankan kepada seluruh proses dimana manusia dibumi ini dikorporasikan ke dalam masyarakat dunia yang tunggal dan  prosesnya bersifat majemuk .2 Sementara salah satu isi dari definisi yang dikemukakan oleh Robertson dengan merumuskan globalisasai sebagai, ”The compression of the world and the intensification of consciousness of the world as a whole”. Hal yang dikandung adalah terjadinya divergensi antara struktur  integritas dipandang dari perspektif global ataukah dari perspektif lokal. Globalisasi menyebabkan semakin meningkatnya sifat saling ketergantungan antara pelaku-pelaku ekonomi yang ada di dunia termasuk di dalamnya pelaku  perdagangan, manufaktur, dan investasi yang melewati batas-batas negara. Terdapat anggapan bahwa perdagangan bebas kelak akan membawa keuntungan 2

Shidarta, 2000, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Gramedia,2000, hal.15

8

ekonomi bagi negara-negara pesertanya dan dianggap dapat mengurangi kesenjangan antar negara di dunia. “Free Trade” akan meningkatkan “economic  growth” yang selanjutnya akan membawa perbaikan standar kehidupan. Hal tersebut ditandai dengan kenaikan GNP. 3 Namun kenyataannya tidak demikian,  perdagangan bebas hanyalah suatu gerakan perluasan pasar semata dan layaknya suatu persaingan dalam pasar pasti ada yang menang dan yang kalah. Dan hal ini akan semakin memperlebar jurang kesenjangan antara negara-negara maju dan negara-negara berkembang. Perdagangan bebas adalah situasi dimana batas-batas negara sudah hampir luluh. Hubungan tanpa batas dalam perdagangan antar negara, lalu lintas transnasional yang tak lagi menjadi hal yang sulit dilakukan karena adanya prinsip “open access”

saling

terbuka

bagi

negara-negara

di

dunia.Namun

demikian

 perdagangan bebas tidak bisa lepas dari prinsip awalnya yakni memajukan  perdagangan antar negara.Demikian gambaran mengenai sistem perdagangan  bebas. Perlindungan konsumen memang harus mendapatkan perhatian yang lebih, satu dan lain hal karena investasi asing telah menjadi bagian pembangunan ekonomi Indonesia, dimana ekonomi Indonesia juga berkait dengan ekonomi dunia. Persaingan perdagangan internasional dapat membawa implikasi negatif bagi  perlindungan konsumen. 4

BAB 3 3

Husni Syawali dan Neni Sri Imaniyati, Hukum Perlindungan Konsumen, Bandung:CV. Mandar  Maju, 2000, hal. 3 4 Ibid hal. 2

9

METODE PENULISAN

A. Teknik Penulisan

Penulis menggunakan metode deskriptif kualitatif dengan maksud menjelaskan  perlindungan konsumen terhadap produk pangan impor yang merupakan hasil rekayasa genetika dengan menggunakan literatur-literatur yang sesuai dengan masalah yang dibahas.

B. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan karya tulis ilmiah ini disusun sebagai berikut: BAB 1 : Pendahuluan, yang menguaraikan latar belakang masalah, rumusan masalah serta tujuan dan kegunaan penulisan BAB 2 : Tinjauan Pustaka, yang menyajikan pengertian-pengertian dasar yang diperoleh dari literatur-literatur yang telah dikumpulkan BAB 3 : Metode Penulisan, disajikan dengan menggunakan teknik   penulisan, sistematika penulisan, teknik pengumpulan dan pengolahan data. BAB 4 : Pembahasan, yang berisi analisis permasalahan berdasarkan data dan telaah pustaka yang diurakan secara runtut. BAB 5 : Penutup, berisi kesimpulan dan saran yang diselaraskan dengan kerangka pemikiran sebelumnya.

C. Teknik Pengumpulan dan Pengolahan Data

Penulis menggunakan teknik pengumpulan data melalui pengamatan langsung. Penulis juga menggunakan metode penelitian kepustakaan melalui buku-buku, media massa, dan jurnal-jurnal ilmiah. Data diolah dan dianalisis dengan teknik  content analysis untuk menghasilkan kesimpulan.

BAB 4

10

PEMBAHASAN

A. Perlindungan Konsumen di Indonesia

Konsep perdagangan bebas, ekspor impor sudah terjalin dalam bentuk kerjasama ekonomi negara-negara sejak dahulu. Seiring perkembangan perekonomian dunia, lahirlah konsep-konsep yang lebih maju dalam bidang ekonomi, yang dimulai dengan kerjasama ekonomi regional sampai kerja sama ekonomi global. Perjanjian demi perjanjian dalam bidang ekonomi lahir dan tumbuh, sehingga negara Indonesia yang sejak dulu terlibat dalam ekspor impor antar negara meratifikasi perjanjian AFTA. Ratifikasi ini menandai perdagangan bebas sekawasan Asia Tenggara segera dimulai, semua hambatan-hambatan non tarif  dalam perdagangan antar negara sudah dilarang. Dalam konteks ini batas-batas antar negara luluh. Berdasarkan hal tersebut produk-produk impor termasuk   produk pangan akan berlomba-lomba menembus pasar Indonesia. Persaingan  pasar semakin kompetitif. Produk-produk lokal jika tak segera berbenah dengan meningkatkan kualitas produksi akan segera terdepak dari persaingan pasar. Masuknya produk-produk impor ini merupakan suatu layanan pasar yang lebih maju dan menguntungkan konsumen karena tersedianya berbagai produk barang dan jasa yang lebih beragam. Bahan pangan dari tanaman transgenik sudah barang tentu masuk pula ke Indonesia, terutama kedelai dan jagung transgenik. Hingga saat ini pemerintah  belum melakukan kajian untuk menetapkan jenis kedelai, jagung, dan bahan  pangan transgenik apa yang boleh masuk di Indonesia. Negara-negara lain seperti Jepang, Uni Eropa, Korea, Taiwan, Australia, Singapura, beberapa negara Timur  Tengah, serta Eropa Timur, menetapkan standar dan melakukan sendiri analisis keamanan pangan terhadap produk-produk transgenik impor. 5 Masuknya produk-produk impor menimbulkan masalah khususnya produk yang tidak mempunyai label. Kondisi seperti ini harus betul-betul dicermati  pemerintah, karena merupakan pelanggaran yang serius terhadap hak-hak  5

Harian Kompas, Senin, 11 Februari 2002, hal.10

11

konsumen. Konsumen Indonesia cenderung sangat menyukai produk impor. Angka penjualan yang tinggi pada produk makanan impor baik yang terkemas dalam kotak maupun kalengan ataupun produk makanan impor yang tersaji dalam kemasan khusus tampak pada perhatian yang besar dari konsumen. Sebagai contoh beberapa supermarket di daerah Makassar pada bagian stand makanan yang menjual produk makanan impor dalam berbagai merek dan cita rasa makanan sangat laris dan menarik konsumen. Makanan dan minuman yang beredar dipasaran ini tidak menutup kemungkinan mengandung bahan dari hasil rekayasa genetika. Karena ketidakjelasan dari label yang tercantum pada setiap produk mengakibatkan konsumen kesulitan dalam mengidentifikasi yang mana termasuk pangan hasil rekayasa genetika dan yang mana tidak. Namun pada umumnya ada tiga kategori yang termasuk pangan hasil rekayasa genetika. Pertama, pangan yang baru atau berbeda dari rekan alaminya seperti beras yang diperkaya vitamin A atau strawberi anti-beku. Makanan atau  bahan

hasil rekayasa genetika yang telah mengalami pengolahan, yaitu susu

kedelai, tahu dan tempe. Pangan tersebut mengandung protein atau DNA yang dimodifikasi dari tanaman hasil rekayasa genetika. Hal yang terakhir, produk  olahan yang berasal dari tanaman transgenik, seperti gula dari tebu transgenik. Produk ini tidak mengandung atau hanya mengandung protein atau DNA transgenik pada tingkat sangat rendah sehingga sulit dideteksi. 6 Dengan demikian bukan hanya produk impor dalam bentuk kemasan yang dapat dikategorikan sebagai pangan transgenik, tetapi juga termasuk bahan baku yang dihasilkan dari proses rekayasa genetika. Produk yang telah mengalami  pengolahan maupun yang belum diolah yang merupakan bahan impor luar negeri dapat dikategorikan pangan hasil rekayasa genetika. Peran pemerintah

untuk 

melindungi konsumen dari timbulnya dampak buruk akibat beredarnya produk   pangan impor transgenik sangat diperlukan. Pemerintah Indonesia hingga kini  belum mempunyai instrumen yang jelas untuk melacak suatu produk pangan hasil 6

YLKI, 2002, Yang Perlu Anda Ketahui Tentang Makanan Hasil Rekayasa Genetika, Jakarta, hal. 41

12

rekayasa genetika. Oleh sebab itu pemerintah belum mampu melakukan  pengawasan terhadap produk yang diidentifikasi sebagai pangan transgenik. Persoalan berikutnya, yang lebih rumit bagaimana jika tindakan konsumen mengkonsumsi produk sudah menimbulkan risiko, misal gangguan kesehatan seperti alergi, keracunan, dan lain-lain. Bagian-bagian ini merupakan elemen yang tak terpisahkan dari upaya perlindungan terhadap konsumen . Perlindungan Konsumen di Indonesia memang masih mempunyai banyak   problem, khususnya terhadap produk pangan impor hasil rekayasa genetika. Sulitnya pelacakan, masyarakat yang sangat senang terhadap produk–produk  impor, sampai pada masalah alur pertanggung jawaban yang rumit

bagi

konsumen yang mengalami kerugian akibat mengkonsumsi pangan hasil rekayasa genetika. Penegakan hukum terhadap perlindungan konsumen diwujudkan dengan  penegakan hak-hak dasar konsumen. Hak dasar konsumen dirumuskan dalam UUPK, sebagaimana diatur dalam pasal 4, sebagai berikut : a.  b.

c. d. e. f. g. h.

i.

hak atas keamanan, kenyamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang, dan/atau jasa hak untuk memilih barang dan/ atau jasa serta mendapatkan barang dan/ atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta  jaminan yang dijanjikan hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan  jaminan barang dan/ atau jasa hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/ atau  jasa yang digunakan hak untuk mendapatkan advokasi,perlindungan, dan upaya  penyelesaian sengketa konsumen secara patut hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif  hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/ atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan  perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

13

Masalah pertanggung jawaban terhadap konsumen atas kerugian yang timbul sebagai akibat dari mengkonsumsi suatu produk memang masih membingungkan. Hal ini belum dijelaskan secara pasti dalam UUPK mengenai pihak yang akan melakukan ganti rugi jika sekiranya produk tersebut terbukti membawa dampak   buruk bagi konsumen. Misal A selaku produsen awal menggunakan bahan dasar  yang merupakan hasil rekayasa genetika, lalu pihak B yang berperan sebagai satu  perusahaan memproduksinya dan menjadikan bahan dasar tersebut produk   pangan dalam kemasan impor. Rumitnya alur pertanggung jawaban terhadap kerugian konsumen juga tergambar dalam UUPK. Rumusan pelaku usaha dalam UUPK cukup luas yaitu meliputi orang atau badan baik yang berbentuk badan hukum maupun yang bukan badan hukum, yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah RI. Di lain pihak UUPK yang juga menggolongkan importir sebagai pembuat barang atau penyedia jasa, dalam hal ini ikut bertanggung jawab atas kerugian konsumen. Berdasarkan hal tersebut konsumen akan merasa ringan jika mengalami kerugian akibat mengkonsumsi  produk pangan tersebut sehingga meskipun importir tidak terlibat langsung dalam  proses produksi pangan transgenik, tapi berperan dalam mengedarkan produk  tersebut. Importir, distributor ataupun pengecer tidak bisa disalahkan karena mengingat mereka tak berperan secara langsung dalam proses produksi pangan transgenik  Peran mereka hanya sebatas menyampaikan produk tersebut ke tangan konsumen. Sehingga yang dituntut oleh konsumen atas kerugian dari penggunaan produk   pangan transgenik itu adalah pihak produsen awal yang memproduksi pangan transgenik tersebut. Masalahnya kemudian, konsumen dalam hal ini konsumen yang berdiam di wilayah Indonesia tidak dapat menggugat langsung produsen yang memproduksi pangan hasil rekayasa genetika yang berada diluar negeri. Misalnya produk pangan transgenik itu berasal dari negara Amerika, maka konsumen di Indonesia yang dirugikan tidak dapat menggugat langsung produsen tetapi hanya bisa menggugat importir produk tersebut.

14

Rumitnya

alur

pertanggungjawaban

terhadap

konsumen

tersebut

dapat

dipecahkan dengan adanya model pertanggung jawaban yang dikenal dengan istilah “tanggung jawab renteng”. Tanggung jawab renteng

memungkinkan

konsumen untuk melakukan penuntutan terhadap importir, distributor, ataupun  pengecer produk pangan transgenik tersebut. Hal ini lebih memudahkan konsumen dalam memperoleh hak- haknya. Pihak yang bertanggung jawab terhadap konsumen seperti yang termuat dalam UUPK Pasal 7 yaitu memberi kompensasi/ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan atau jasa yang diperdagangkan. Dalam hal ini konsumen dapat langsung meminta  pertanggung jawaban atas kerugian yang dialami kepada toko/pedagang eceran tempat ia membeli produk tersebut. Pedagang eceran juga memiliki kewenangan untuk meminta ganti rugi kepada distributor yang mensuplai produk tersebut. Demikian seterusnya sampai tuntutan atas kerugian tersebut sampai kepada  produsen awal. Dengan adanya model tanggung jawab renteng memudahkan konsumen dalam meminta pertanggung jawaban produsen dan konsumen tidak  harus menuntut langsung ke tempat dimana barang tersebut diproduksi. Menurut ‘teori kontrak’ hubungan produsen dan konsumen sebaiknya dipandang sebagai sebuah kontrak dimana kewajiban produsen terhadap konsumen didasarkan atas kontrak. Apabila konsumen membeli sebuah produk, maka ia seolah-olah mengadakan kontrak dengan perusahaan yang menjual atau memproduksinya. Dalam konteks demikian, secara langsung hukum memberikan  perlindungan karena antara pembeli/konsumen dengan produsen seolah-olah  berada dalam sebuah ikatan kontrak yang memungkinkan pihak lainnya mudah menuntut perlindungan melalui upaya- upaya tertentu termasuk upaya hukum. 7 Teori ini secara praktis yuridis sebenarnya masing-masing mengandung risiko  pembuktian yang agak sulit karena hanya berpatokan pada pengandaian seolaholah telah terjadi kontrak. Akan tetapi, bagaimanapun lemahnya kontrak tersebut, 7

K. Bartens, Pengantar Etika Bisnis, Yogyakarta: Kanisius, 2000, hal.233-235

15

 pihak produsen tidak dapat lepas tangan atas produk pangan yang telah dihasilkannya, produsen asing tetap bertanggung jawab penuh atas segala tindakan hingga mampu memproduksi produk. 8 Langkah kongkrit yang harus ditempuh pemerintah guna mencegah semakin meluasnya pelanggaran terhadap hak-hak konsumen adalah menetapkan batasan tegas produk pangan impor yang boleh dipasarkan di Indonesia. Pemerintah melalui badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) perlu merumuskan mekanisme yang jelas terhadap alur suplai produk-produk pangan impor, misalnya uji sertifikasi yang ketat terhadap produk-produk pangan impor. Hal yang fenomenal bagi konsumen adalah gengsi yang tinggi manakala mereka mampu membeli dan mencicipi produk impor. Tanpa disadari konsumen tidak  memikirkan bahwa produk yang mereka konsumsi terdiri dari komposisi dan  bahan yang beragam. Keadaan ini diperparah dengan tidak adanya informasi yang jelas atas suatu produk yang dipasarkan. Akibatnya konsumen main asal  beli saja. Pengawasan pemerintah Indonesia terhadap peredaran produk impor, khususnya makanan hingga saat ini memang masih lemah. Keluhan konsumen akibat mengkonsumsi produk pangan impor sering terjadi. Hal ini perlu diantisipasi dengan menerapkan instrumen-instrumen hukum yang ada. Instrumen hukum tersebut seperti PP Nomor 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan pada Pasal 2 menyatakan bahwa “setiap orang yang memproduksi atau menghasilkan  pangan yang dikemas ke dalam wilayah RI untuk diperdagangkan wajib mencantumkan mencantumkan label, di dalam, dan atau di kemasan pangan”, Label yang dicantumkan berisikan keterangan yang menurut Pasal 3 ayat (2) sekurang-kurangnya mencakup: nama produk, daftar bahan yang digunakan,  berat bersih atau isi bersih, nama dan alamat pihak yang memasukkan pangan ke dalam wilayah Indonesia hingga tanggal, bulan, dan tahun kadaluwarsa. Masih dalam

PP No. 69/99 Pasal 35 menyebutkan bahwa pangan hasil rekayasa

8

M. Arfin Hamid, Pengantar Hukum Ekonomi Indonesia, Materi Perkuliahan Hukum Ekonomi, Makassar, 2000, hal. 151

16

genetika wajib mencantumkan tulisan Pangan Rekayasa genetika dan dalam  bentuk logo. Selanjutnya dalam Undang-undang Pangan Pasal 13 ayat (1) dan (2) memuat  pengaturan tentang kegiatan produksi pangan dan penggunaan bahan baku, bahan tambahan pangan, dan atau bahan bantu lain

yang dihasilkan dari proses

rekayasa genetika dan juga mengatur persyaratan dan prinsip penelitian,  pengembangan, dan pemanfaatan metode rekayasa genetika yang ditetapkan oleh  pemerintah. Sebuah kesepakatan di tingkat Internasional yang sadar akan potensi bahaya rekayasa genetika adalah Protokol Kartagena tentang Keamanan Hayati yang  berada dibawah Konvensi PBB. Protokol tersebut memuat pengendalian yang memadai dalam hal transfer, penanganan, dan penggunaan yang aman dari organisme hasil rekayasa genetika yang mungkin berpengaruh merugikan terhadap kelestarian dan pemanfaatan berkelanjutan keanekaragaman hayati, dengan juga mempertimbangkan risiko terhadap kesehatan manusia, dan khususnya berfokus pada pergerakan lintas batas.

Protokol Kartagena juga

mensyaratkan pelabelan, dan memperbolehkan negara-negara pengimpor untuk  melarang dan membatasi masuknya produk hasil rekayasa genetika, jika terdapat ketidakpastian ilmiah tentang risiko yang ditimbulkan. Upaya perlindungan konsumen harus disadari bukan hal yang mudah dalam  penegakan hukum bagi perlindungan konsumen di Indonesia. Khusus terhadap  pelabelan produk pangan hasil rekayasa genetika terletak pada belum adanya  petunjuk pelaksanaan (Juklak) yang dapat dijadikan pegangan bagi pemerintah dan produsen. Petunjuk Pelaksanaan yang dimaksud adalah Petunjuk pelaksanaan terhadap pada PP RI No. 69 tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan pada Pasal 35. Pemerintah dalam hal ini BPPOM (Badan Pemerintah Pengawasan Obat dan Makanan) menyatakan bahwa peraturan pelabelan belum ada pada  pangan rekayasa genetika karena belum adanya Petunjuk Pelaksanaan (Juklak) yang dapat menjadi pegangan bagi pemerintah dan produsen. Badan POM, yang

17

diwakili oleh Dedi Fardiaz menyatakan bahwa pihaknya akan mengeluarkan Juklak tersebut bulan Maret 2002, tetapi hingga saat ini juklak tersebut belum diterbitkan. Proses pengujian izin pelepasan produk hasil rekayasa genetika berdasarkan Tim Keanekaragam Hayati Departemen Pertanian dapat digambarkan sebagai berikut. Pemohon Badan POM Komisi Keamanan Hayati dan Keamanan Pangan

Tdk Lengkap Pengujian Lab Penambahan Data Disetujui dengan syarat

Gambar 1.

Lengkap Tim Teknis Kemanan Hayati dan Keamanan Pangan

Diterima

Ditolak  

Proses pengajuan izin pelepasan produk hasil rekayasa genetika

Kendala lain adalah sulitnya menerapkan suatu ketentuan hukum, untuk  mengefektifkan berlakunya tersebut

suatu produk peraturan perundang-undangan. Hal

membutuhkan sosialisasi dengan jangka waktu yang sangat lama.

Apalagi tipe ketaaatan

dan kesadaran hukum

masyarakat Indonesia yang

memang masih rendah. Aturan dan kesepakatan bahwa pelanggaran terhadap hak-hak konsumen harus diterapkan

secara

 bertanggungjawab

berkelanjutan/konsisten.

Para

stakeholder 

harus

dalam mewujudkan law enforcement  terhadap hak-hak 

konsumen. Secara yuridis pemerintah Indonesia dalam mewujudkan perlindungan hukum terhadap konsumen, telah dilengkapi dengan instrumen-instrumen hukum, antara lain: 1). Undang-undang. RI. Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen 2). Undang-undang RI. Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan

18

3). Undang-undang RI. No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan 4). Peraturan Pemerintah RI Nomor

69 tahun 1999 tentang Label dan Iklan

Pangan Instrumen-instrumen hukum ini sebenarnya sudah sangat memadai untuk  melindungi hak-hak konsumen, hanya saja terbentur pada masalah penegakannya. Solusi atas masalah ini tentu saja dengan mengefektifkan berlakunya kesemua instrumen-instrumen hukum itu, misalnya dengan pemberlakuan sanksi secara tegas atas pelanggaran ketentuan-ketentuan hukum tersebut. Bentuk sanksi dapat berupa menarik izin peredaran pasar suatu produk yang  bermasalah atau tidak memenuhi ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. Produk yang dibiarkan beredar di pasaran hanyalah produk yang  betul-betul menjamin keselamatan konsumen. Sesuai dengan standar mutu kesehatan, dan dengan melewati proses uji sertifikasi yang bisa menjamin keamanan dan mutu. Upaya lain yang dapat ditempuh adalah dengan meningkatkan kesadaran hukum utamanya bagi pelaku usaha/produsen. Pelaku usaha juga harus mengutamakan  prinsip persaingan yang jujur sehingga tak perlu menghalalkan segala cara untuk  meraup keuntungan yang sebesar-besarnya. Pelaku usaha harus menjalankan metode perusahaan yang fair. Selain upaya-upaya tersebut di atas yang tak kalah pentingnya adalah dengan membangun kerja sama, koordinasi antara pihak-pihak yang berkepentingan, seperti pengawasan dan pemberlakuan UU Pangan, PP tentang Label dan Iklan Pangan serta UU Perlindungan Konsumen, yang utama adalah pengaplikasiannya dalam

memperlancar

arus

pasar

perekonomian

guna

menghindari

 penyalahgunaan UU tersebut. Peran serta pemerintah tidak hanya terbatas pada  pengecekan dan pengawasan ketika produk pangan impor tersebut siap di lempar  ke pasar lokal, namun dengan penelusuran lebih lanjut dengan mencari data di lapangan misal menjajaki keluhan-keluhan konsumen. Pelaku usaha harus jujur,

19

mengutamakan peningkatan

kualitas produksi, dan menjalankan metode

 perusahaan yang fair, serta konsumen juga harus aktif memperjuangkan hakhaknya sebagai konsumen. Dengan demikian penegakan hukum terhadap konsumen dapat diwujudkan.

B. Peredaran Pangan Impor Hasil Rekayasa genetika

Indonesia sebagai negara berkembang harus mengakui keunggulan negara-negara maju dalam bidang mutu dan kualitas produksi. Namun kenyataan ini bukannya merupakan akhir dari perjuangan bangsa kita untuk mensejajarkan diri dengan  bangsa–bangsa lain. Bangsa kita punya potensi yang cukup besar untuk maju dan  berkembang asal saja kita mau berusaha dengan keras. Keunggulan produksi negara-negara lain khususnya negara-negara anggota AFTA yang masih mengungguli Indonesia sangat berpengaruh terhadap kondisi pasar Indonesia. Konsumen-konsumen lebih cenderung memilih produk–produk impor ketimbang  produk lokal. Selain karena memang mutunya lebih bagus juga merupakan ukuran gengsi/prestise bagi sebagian konsumen di Indonesia. Hadirnya pangan transgenik di pasar Indonesia jika hanya didasarkan pada  produk-produk impor sangat sulit. Mengingat belum ada informasi yang jelas tentang pangan hasil rekayasa genetika. Hal ini dapat dilihat dari berbagai macam  produk makanan yang ada di pasaran, tidak satu pun mencantumkan informasi keberadaan pangan hasil rekayasa genetika sehingga konsumen tidak memiliki  jaminan keamanan ketika mengkonsumsi produk makanan tersebut. Kondisi/hal ini memberi peluang bagi peredaran produk pangan transgenik impor yang akan dikonsumsi oleh sebagian besar masyarakat tanpa mengetahui dampak dari  produk tersebut bagi kesehatan. Karakter konsumen di Indonesia dalam memilih produk pada dasarnya terbagi atas dua kecenderungan. Pembagian ini berdasarkan strata atau daya beli masyarakat. Pertama, konsumen cenderung lebih memilih produk impor tanpa informasi atau label yang dapat berisiko produk transgenik yang harganya relatif 

20

murah

dan bergengsi. Kedua, konsumen tetap

memilih produk lokal.

Kecenderungan pertama pada konsumen strata menegah ke bawah dan kecenderungan kedua pada konsumen strata atas. Konsumen dengan daya beli tinggi risiko atas pemakaian produk pangan transgenik impor lebih rendah dibandingkan dengan konsumen berdaya beli rendah. Konsumen yang daya  belinya rendah lebih sering mengkonsumsi produk impor transgenik yang harganya relatif murah. Jumlah/kuantitas produk lokal lebih tinggi daripada produk impor di pasaran, dan masih lebih disukai oleh konsumen. Produk impor yang jumlahnya masih terbatas  belum mengungguli jumlah produk lokal. Kecenderungan konsumen dalam memilih produk lokal masih lebih besar. Namun, risiko timbulnya dampak atas  pemakaian produk pangan impor masih sangat memungkinkan di kalangan masyarakat. Kekhawatiran pakar kesehatan semakin tinggi terhadap konsumen yang mengkonsumsi produk pangan impor seiring dengan

terbukanya era

 perdagangan bebas. Perdagangan lintas negara sangat memungkinkan masuknya  produk pangan impor hasil rekayasa genetika

ke Indonesia

tanpa proses

 pelabelan dan deteksi keamanan pangan. Hal ini tentu saja sangat merugikan konsumen, dimana pihak konsumen tidak diberikan informasi tentang produk  yang mereka konsumsi. Konsumen juga belum mendapat informasi tentang  pangan hasil rekayasa genetika secara terbuka. Kekhawatiran

ini

sangatlah

wajar

mengingat

pangan

hasil

rekayasa

genetika/Genetically Modified Organism (GMO) mengintroduksi unsur toksin,  bahan-bahan asing dan berbagai sifat yang belum dapat dipastikan dan berbagai karakteristik lainnya. Pada produk pangan hasil rekayasa genetika terkandung gen yang membawa ketahanan terhadap antibiotik (antibiotik resisten) yang diduga dapat menimbulkan resistensi terhadap antibiotik yang digunakan untuk  merakit organisme transgenik. Menurut Yuliawati (2003), gen penanda antibiotik  yang disisipkan pada tanaman kedelai herbisida resisten masih terdeteksi pada  produk turunan kedelai seperti tempe, tahu, kecap, susu, dan biskuit yang terbuat dari tanaman transgenik”. Lebih lanjut YLKI (2002) telah melakukan deteksi

21

terhadap beberapa produk pangan yang diduga mengandung gen dari tanaman transgenik yaitu: kecap ABC, kecap Bango, kecap Indofood, Corn Flake Simba, Isomil Soy dan Pringleys. Masyarakat awam yang belum mengerti tentang dampak

pangan

hasil

rekayasa

genetika

terhadap

kesehatan

belum

mempermasalahkan hal ini. Hal ini menimbulkan kekhawatiran bagi praktisi  perlindungan konsumen terhadap GMO. Mereka mengkhawatirkan adanya eksploitasi terhadap GMO untuk kepentingan bisnis tanpa melihat potensi keamanan pangan yang mungkin terjadi pada masa yang akan datang. Berikut akan diuraikan bahaya potensial yang dikhawatirkan para kritisi GMO. 9 1. Bahaya terhadap keseimbangan lingkungan. -

Kematian yang tidak dikehendaki pada organisme lain

Pengembangan  B-t corn ternyata mempengaruhi keseimbangan alam. Kenyataan B-t corn tidak saja kebal terhadap serangga bor jagung tetapi polen  B-t corn yang terbang menghinggapi bunga-bungaan telah termakan oleh kupu-kupu, akibatnya kupu-kupu juga mati. -

Mengurangi efektifitas pestisida

Kemampuan serangga beradaptasi terhadap lingkungan sangat cepat, sebagai contoh nyamuk generasi baru yang resisten terhadap DDT. Fenomena ini sangat dikhawatirkan pemerhati lingkungan yaitu apabila terjadi mutasi gen serangga menjadi antibiotik yang terkandung dalam B-t corn. -

Transfer gen pada pestisida lain

Kekhawatiran

terhadap mutasi gen menimbulkan dugaan akan timbulnya

gulma/tanaman penganggu. Dugaan ini dikhawatirkan karena adanya  persilangan polen antar spesies tanaman yang terserap oleh gulma. 2. Bahaya terhadap kesehatan -

Timbulnya alergi

Banyak anak-anak Amerika dan Eropa rentan terhadap alergen kacang tanah. Oleh sebab itu pengembangan variasi kedele dengan transplantasi gen kacang Brazil mendapatkan tantangan keras para ahli kesehatan. Penelitian mendalam terhadap efek tanaman terhadap alergen harus dilakukan 9

pangan Rekayasa genetika dalam perspektif filsafat teknologi, Makalah PPP S3 IPB, Oktober  2000

22

-

Timbulnya efek yang belum diketahui akibat modifikasi gen

Para ahli kesehatan Eropa banyak mempertentangkan kemungkinankemungkinan dampak negatif yang terjadi akibat introduksi DNA asing pada rantai pangan. Percobaan terakhir yang dilakukan pada tikus, seperti yang dilansir majalah Lancet, memaparkan bahwa kentang yang diberikan pada tikus telah menyebabkan gangguan pada sistem pencernaan tikus. Ketika dikonfirmasikan ternyata GM kentang tersebut dibuat dengan transplantasi gen Lectin yang memang berbahaya bagi kesehatan manusia maupun hewan. 3. Pertimbangan sosio-ekonomi Mengingat riset GMO banyak dilakukan negara maju, ada kekhawatiran timbulnya monopoli dan ketergantungan. Hukum Supply-Demand  tidak lagi  bersifat fertil. Oleh sebab itu pemerhati sosio-ekonomi mengusulkan agar  akses informasi terhadap paten dipermudah sehingga peneliti di negara  berkembang mampu mngembangkan dan menyesuaikannya dengan kondisi negara yang bersangkutan. Selain menimbulkan kerugian, ternyata pangan rekayasa genetika dianggap sebagai alternatif dalam memenuhi tantangan dimana kita dituntut untuk  mencukupi permintaan yang beraneka ragam jenis dan mutunya, melalui : 1.

Tanaman pangan yang tahan terhadap pestisida

Kehilangan hasil panen akibat hama sangat merugikan petani dan mengurangi cadangan pangan khususnya di negara dunia ke tiga. Petani menggunakan  pestisida dalam jumlah yang banyak, padahal disisi lain konsumen menghendaki  pangan yang aman. Belum lagi penggunaan pestisida yang potensial mencemari lingkungan. Penemuan  B-t corn sangat berarti dalam menjawab kegundahan diatas. 2.

Tanaman pangan yang tahan terhadap herbisida

Dalam produksi tanaman pangan, disamping tanaman yang dikehendaki, gulma  juga tumbuh. Untuk mengatasi gulma, herbisida selektif harus digunakan. Seperti halnya problem pertama, herbisida berlebih akan mencemari lingkungan dan

23

 berbahaya bagi manusia. penemuan kedele varietas tahan herbisida mampu menjawab tantangan. 3.

Tanaman pangan yang tahan terhadap penyakit

4.

Tanaman pangan yang tahan terhadap pergantian musim

5.

Tanaman pangan yang tahan terhadap musim panas kering

6.

Tanaman pangan yang tahan terhadap tanah bergaram tinggi

Melalui teknologi rekayasa genetika mampu dihasilkan tanaman dengan karakter  yang dikehendaki. 7.

Tanaman dengan kandungan zat gizi tertentu

Masalah gizi yang tidak kunjung reda yang menimpa negara dunia ketiga, diperparah dengan kenyataan umumnya mereka mengkonsumsi sereal yang notabene miskin zat gizi mikro seperti vit.A dan zat besi (Fe). Dengan GM  Food, sangat dimungkinkan untuk memanipulasi gen beras guna menghasilkan beras kaya vit.A dan kedele kaya omega 3. Sayangnya isu negatif GMO yang beredar  akhir-akhir ini menyebabkan pengembangan beras kaya vit.A dan kedele kaya omega 3 tersendat. 8.

Tanaman pangan dengan karakter yang diinginkan

Berbagai masalah produksi yang berkaitan dengan teknologi pengawetan pasca  panen juga lebih dapat diatasi melalui teknologi rekayasa genetika. Sebagai contoh pengembangan tomat yang dapat matang seragam dan mengandung licopen warna merah yang stabil terhadap panas sehingga  pulp tomat yang diawetkan dapat tetap berwarna merah. Contoh kasus pada tahun 1989, sebuah epidemi penyakit baru yang aneh menyerang AS. Para korban menderita nyeri otot yang parah dan tingginya sel darah putih. Selain itu, mereka mengalami kelumpuhan, masalah syaraf dan  jantung kronis, kulit bengkak yang menyakitkan dan pecah-pecah, gangguan kekebalan diri, kepekaan terhadap cahaya. Dalam beberapa bulan, 5000 orang di rawat di rumah sakit, 37 orang meninggal dunia, dan 1.500 orang cacat tetap. Para dokter menyebut gangguan darah yang menyakitkan dan bahkan fatal ini  sindroma

eosinophilia

myalgia,

namun

mereka

bingung

hingga

pusat

24

 pengendalian penyakit menemukan bahwa semua korban pernah mengkonsumsi makanan tambahan yang di jual oleh toko makanan kesehatan yaitu asam amino yang di sebut  L-tryptophan. Riset selanjutnya mempersempit kemungkinan dan mengarah kesejumlah tryptophan transgenik yang dibuat oleh satu perusahaan Jepang yaitu Showa Denko, yang pada saat itu merupakan perusahan kimia terbesar ketiga di Jepang.10 Dampak dari risiko yang timbul dari pemakaian produk pangan impor transgenik  hendaknya dijadikan pelajaran berharga bagi pemerintah untuk meningkatkan  pengawasan terhadap masuknya produk-produk impor khususnya pangan. Hal tersebut untuk menghindari masuknya produk pangan hasil rekayasa genetika yang tidak berlabel. Hasil susuran menunjukkan bahwa di Indonesia Corn Flakes impor dideteksi mengandung gen transgenik yang telah dibeli di Carrefour (nama swalayan besar  di daerah Jabotabek) positif mengandung gen transgenik. Data lain adalah Kasus ‘Starlink’ di AS

dimana jagung yang khusus untuk ternak

dan potensial

menimbulkan dampak negatif bagi manusia, justru dikonsumsi oleh manusia. Akhirnya FDA ( Food and Drug Administration = Badan Pengawasan Obat dan Makanan AS) menarik produk Starlink. Meskipun korbannya belum ada tetapi masyarakat di AS yang mengkonsumsi jagung tersebut sempat panik. Implementasi UU pangan dalam melindungi hak-hak konsumen yang secara umum masih lemah segera diefektifkan berlakunya. Peredaran produk pangan yang sudah positif merupakan hasil rekayasa genetika di pasaran harus ditindak  tegas. Produk pangan transgenik yang menurut hasil uji YLKI (Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia) positif mengandung Genetically Modified  Organism (GMO) adalah Kecap ABC produksi PT. Heinz ABC Indonesia.. 11 Produk impor misalnya terdapat beberapa produk pangan yang tidak diketahui  bahan dasar dari produk tersebut yang disebabkan oleh keterangan mengenai komposisi dan bahan dasar yang tercantum dalam label menggunakan bahasa 10 11

YLKI, 2002, Yang Perlu Anda Ketahui tentang Rekayasa genetika, Jakarta, hal.20 Ibid, hal. 39

25

asing sehingga masyarakat tidak mengerti kandungan dari produk tersebut. Akibatnya konsumen diluar pengetahuannya tetap mengkonsumsi produk pangan impor tersebut tanpa mengenali apakah produk pangan itu merupakan produk   pangan transgenik atau bukan. Konsumen pada dasarnya tidak peduli akan dampak buruk dari makanan (produk   pangan)

yang

mereka

terimplementasikannya

konsumsi.

Hal

ini

disebabkan

oleh

belum

UU Pangan dan PP tentang Label dan Iklan Pangan

secara maksimal. UU Pangan yang mengatur tentang pangan rekayasa genetika masih bersifat umum dan belum mencantumkan secara detail pengaturan pangan rekayasa genetika. PP Nomor 69/1999 juga belum memuat petunjuk lengkap tentang pelabelan suatu produk pangan impor hasil rekayasa genetika. Belum adanya aturan yang lebih spesifik tersebut membuat pihak produsen masih setengah hati untuk mencantumkan secara jelas bahan indikator dalam pembuatan  produknya serta bagaimana aturan dalam mengkonsumsi. Pelanggaran lain yang juga kita temui adalah beredarnya produk-produk pangan impor di pasaran Indonesia yang tidak menggunakan bahasa Indonesia. Padahal dalam PP No.69/1999 menekankan bahwa semua produk harus menggunakan  bahasa Indonesia, angka arab, dan huruf latin diperbolehkan sepanjang tidak ada  padanan katanya. Setiap produk yang ingin dipasarkan di Indonesia harus mengikuti aturan pelabelan yang terdapat pada PP No.69/1999, oleh karena itu  produk pangan impor juga harus mengikuti aturan penggunaan bahasa Indonesia  pada labelnya. Hasil advokasi YLKI selama tahun (2000-2002) untuk penerapan label rekayasa genetika pada pangan menyatakan respon pemerintah sangat lambat. Akibatnya  produk impor hasil rekayasa genetika dipastikan masuk ke Indonesia tanpa kontrol dan uji keamanan hayati.

26

Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia

(YLKI) pada bulan Desember 2002 diketahui beberapa produk 

makanan turunan kedelai, jagung, dan kentang mengandung rekayasa genetika. Tabel 1  N

Jenis

Produk yang positif mengandung rekayasa genetika Merk 

O Prooduk  Produk  1 Kecap ABC

 No. batch 3/07.11.03

No. Depkes RI Md 245409009002

Nama Produsen

Alamat

PT

Produsen PO.Box

Heinz

ABC

Indonesia

4608/

JKT

10001 2 Kecap

Indo food

08FICII6/

MD 245410011226

PTCakrapangan

PO Box NO.

08 Jun 03

Sejati U/ Indosentra

4520 11045 Telp.

JKTF

3 Kecap

Bango

100804

MD 245409004172

Pelangi PT Sakura

4 Jagung

Corn

060902

MD 862210056365

Food Jakarta 5480376 PT S imba Indosnack   Gunung

5 Susu Formula 6

Kentang

Aneka

Flake

Makmur 

Simba Isomil soy

72086NR/

16964 PT Abbot Indonesia Po

Infant

12 2003

Formula Pringleys

L1180166

ML 510502001060

ML 362204004321

200 0113

Putri Bogor  Box

Jakarta

2387/

Jkt

The Protect &

10001 Jakarta

Gamble Co, INA

/Nov-02 (Sumber : Warta Konsumen, Maret 2002)

Deteksi produk pangan hasil rekayasa genetika yang dilakukan YLKI tersebut tidak berhenti sampai pada uji kandungan GMO saja. Pihak YLKI kemudian melakukan kontak produsen kepada produsen yang produknya dinyatakan mengandung rekayasa genetika. Namun hasilnya, tidak semua produsen memberikan jawaban atas kontak produsen yang dilakukan oleh YLKI tersebut, termasuk diantaranya produsen dari produk kecap merek Indofood dan ABC serta kentang impor merk ‘Pringley’ (P&G). Produsen yang menanggapi secara serius hasil uji YLKI yang produknya positif  mengandung rekayasa genetika adalah PT Unilever (kecap merek Bango), PT Simba (Simba Corn Flakes) dan PT Abbot (Isomil Soy Infant Formula).12 Salah 12

Warta Konsumen, Maret 2002, hal.23

27

satu produsen yang melakukan pembelaan yaitu PT Abbot, yang dalam  pembelaannya mengungkapkan bahwa produknya telah lolos uji keamanan  pangan Uni Eropa. Menurut Indah Sukmaningsih ketua YLKI, “Kadang produsen  juga menerapkan standar ganda, di negara asalnya tidak menggunakan produk  rekayasa genetika, tetapi karena di Indonesia tidak ada perlindungan yang ketat, sehingga mereka menggunakan produk rekayasa genetika tanpa dilabel”. 13 Hal tersebut merupakan salah satu kendala bagi penegakan hukum dalam melindungi hak-hak konsumen. Penerapan standar ganda ini merupakan

ketidakjujuran

 produsen dalam usaha memasarkan produknya kepada masyarakat .

Guna melengkapi pembahasan ini dijelaskan pula cara-cara penyelesaian sengketa dalam perlindungan konsumen. Aturan mengenai masalah sengketa ini dimuat dalam UUPK pada pasal 45-58. Penyelesaian sengketa konsumen dapat ditempuh melalui jalur pengadilan dan di luar jalur pengadilan. Jalur pengadilan yakni di Pengadilan Negeri dan di luar pengadilan yakni Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen atau BPSK. Namun perlu diketahui bahwa apabila telah dipilih upaya penyelesaian sengketa di luar pengadilan maka gugatan melalui  pengadilan hanya dapat diterima jika upaya tersebut dianggap tidak berhasil oleh salah satu atau para pihak. Penyelesaian sengketa konsumen melalui pengadilan tetap mengacu pada ketentuan peradilan umum, sedangkan menurut BPSK, dijelaskan sebagai berikut : Sebagaimana disebutkan dalam pasal 54 UUPk bahwa untuk penanganan dan  penyelesaian sengketa BPSK membentuk majelis yang jumlahnya disebutkan harus ganjil dan terdiri sekurang-kurangnya dari 3 (tiga) orang. Ditentukan pula  bahwa putusan BPSK ini bersifat final dan mengikat.

13

Suara Merdeka, 20 April 2002

28

BAB 5 PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan point-point yang telah dipaparkan sebelumnya dapat ditarik  kesimpulan : 1. Pengawasan pemerintah terhadap produk pangan impor dilakukan berdasarkan  berbagai perangkat hukum antara lain Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan tapi dalam pelaksanaannya

belum

dilakukan sesuai dengan aturan pelabelan, sehingga konsumen belum mendapat informasi tentang jenis-jenis produk pangan hasil rekayasa

29

genetika/GMO.

Hal

ini

disebabkan karena belum

adanya

Petunjuk 

Pelaksanaan (Juklak) tentang peraturan pelabelan pada produk pangan rekayasa genetika. 2. Pihak yang harus bertanggung jawab terhadap kerugian yang dialami konsumen adalah pelaku usaha. Namun konsumen dalam hal meminta ganti rugi tidak harus menuntut ke negara tempat produsen suatu produk rekayasa genetika. Konsumen dapat langsung meminta ganti rugi kepada toko tempat di mana ia membeli barang tersebut, atau rangkaian pelaku usaha lainnya sampai kepada importir pangan rekayasa genetika tersebut. 3.

Untuk melindungi hak-hak konsumen utamanya hak terhadap

kesehatan, pemerintah telah mengeluarkan UU Pangan, dan UU Kesehatan dimana produsen wajib memeriksakan keamanan pangan dan melakukan uji  pangan terhadap suatu produk rekayasa genetika. Pemerintah juga telah menjelaskan bahwa suatu penelitian harus mengikuti syarat-syarat dan  prinsip-prinsip penelitian.

B. Saran

Berdasarkan kesimpulan sebelumnya, penulis memberikan beberapa saran, antara lain sebagai berikut : 1. Perlunya pelaksanaan pelabelan produk pangan dari luar negeri khususnya  pangan hasil rekayasa genetika, mengenai komposisi bahan dan persentase kandungan GMO produk tersebut. 2. Pemerintah seharusnya membuat Petunjuk Pelaksanaan (juklak) Pasal 35 Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 pasal 35 dan pembentukan lembaga yang berwenang untuk mendeteksi produk pangan dari luar negeri khususnya hasil rekayasa genetika dengan memanfaatkan teknologi tinggi yang dapat mendeteksi GMO.

30

View more...

Comments

Copyright ©2017 KUPDF Inc.
SUPPORT KUPDF