Pada dasarnya, untuk penentuan geoid di Indonesia diperlukan data gaya berat di seluruh permukaan Indonesia. Tahun 1923 – 1924, Vening Meinesz melakukan survei pengukuran gaya berat di palung Jawa. Tahun 1976 – 1977 berdasarkan kerjasama pemerintah Indonesia dengan pemerintah Australia dilakukan pengukuran gaya berat di Jawa dan Bali. Kedua data tersebut dijadikan sebagai acuan penentuan geoid di Indonesia. Namun pada hakikatnya, untuk penentuan geoid di Indonesia data tersebut masih dapat dikatakan minim sehingga tidak dapat mewakili geoid seluruh Indonesia.
Keperluan geoid di Indonesia zaman dulu adalah sebatas untuk keperluan reduksi jarak ke ellipsoid pada jaringan triangulasi. Dengan adanya peluncuran satelit altimetri GEOS-3 di tahun 1975 maka geoid global di laut dengan ketelitian sekitar ± 1 meter telah dihasilkan. Selain itu, Marsh dan Chang pun juga telah menentukan geoid gravimetri global dengan ketelitian ± 3 meter berdasarkan data yang tersedia di seluruh permukaan bumi (sebagian besar). Oleh sebab itu, penentuan geoid di Indonesia menggunakan kombinasi dua macam geoid global tersebut yang hasil kombinasinya dinamakan geoid altimetrik-gravimetrik Indonesia dengan teknik kolokasi kuadrat terkecil. Penggunaan kombinasi ini dikarenakan pada prakteknya di Indonesia hanya memiliki data gaya berat di pulau jawa saja tidak di pulau-pulau lainnya. Oleh sebab itu tidak realistis jika penentuan geoid di Indonesia menggunakan data gaya berat hanya di pulau jawa saja. Hasil geoid dari kombinasi 2 model geoid global tersebut memiliki ketelitian yang tergantung pada jarak terhadap pantai yaitu ± 3,7 meter di tengah daerah Kalimantan, ± 3,4 meter di Sumatera dan ± 3,3 meter di daerah lainnya. Namun perbedaan ketelitian tersebut tidak terlalu berpengaruh dikarenakan ketelitian sebesar itu sudah memadai untuk keperluan pada zamannya yaitu reduksi jarak dalam triangulasi.
Seiring berjalannya waktu, keperluan geoid pun semakin berkembang. Penenentuan geoid bukan lagi untuk keperluan reduksi jarak dalam triangulasi melainkan untuk penentuan tinggi atau beda tinggi orthometrik. Oleh sebab keperluan geoid yang semakin kompleks tersebut maka dibutuhkan suatu geoid yang teliti dengan ketelitian yang kecil dan dapat mewakili seluruh wilayah Indonesia. Oleh sebab itu, model geoid di Indonesia yang semual geoid altimetrik-gravimetrik Indonesia diganti menjadi INDGED96. INDGED96 merupakan geoid yang dibuat menggunakan data kombinasi antara data koefisien peotensial OSU 91 A dengan data gaya berat nasional-Basokurtanal yang telah diukur pada tahun 1994 dan disusun sekitar 135000 grid yang berukuran 5’ x 5’ dengan setiap grid memuat satu nilai anomali gaya berat. Berdasarkan analisis perbandingan dengan GPS, INDGED96 memiliki ketelitian sekitar 1 m di daerah Jawa dan 1,5 meter di daerah Sumatera. Oleh karena itu, INDGED96 belum dapat digunakan untuk keperluan penentuan beda tinggi orthometrik karena dibutuhkan keperluan geoid dengan keteltian
pada tingkat desimeter.
Dari tahun 1996 hingga sekarang, penggunaan model geoid global di Indonesia terus dikembangkan. Mulai dari penggunaan EGM1996 hingga EGM2008. Dimana penggunaan kedua model geoid global tersebut telah mencapai tingkat desimeter dan penggunaan terbaik dari kedua model tersebut ditentukan dari wilayah yang akan ditentukan geoidnya. Namun pada tahun 2010 an, penentuan geoid di Indonesia dengan pemanfaatan data dari satelit GRACE mulai dikembangkan.
Jika dibandingkan dengan geoid di negara Kanada, maka dapat disimpulkan bahwa geoid di negara Indonesia lebih kurang teliti. Hal ini dapat dibuktikan dari perbandingan ketelitian yang diperoleh dari kedua model geoid untuk masing-masing negara. Di Kanada, model geoid yang diterapkan saat ini adalah CGG2013 dengan ketelitian 2,6 cm untuk wilayah Kanada. Sedangkan di Indonesia, model geoid yang diterapkan saat ini adalah EGM2008 dengan ketelitian 8,7 dm dan EGM1996 dengan ketelitian 8,9 dm untuk wilayah Jawa. Perbedaan ini umumnya disebabkan karena di Indonesia masih menggunakan model geoid global untuk seluruh negara sedangkan Kanada telah menggunakan model geoid sendiri yang cocok di wilayah mereka. Oleh sebab itu penggunaan model geoid global untuk beberapa wilayah di Indonesia masih menunjukkan ketidakpresisian yang tinggi dari geoid yang sebenarnya (terutama untuk wilayah yang data gaya beratnya belum ada). Selain itu, penggunaan data pengamatan gaya berat dari satelit GRACE dan data DEM yang presisi menjadikan model geoid di Kanada lebih presisi dibandingkan dengan model geoid di Indonesia yang umumnya saat ini masih belum memanfaatkan data dari satelit GRACE secara penuh.
Thank you for interesting in our services. We are a non-profit group that run this website to share documents. We need your help to maintenance this website.