Perkara Mengirim Senja - first draft

February 12, 2017 | Author: Putra Perdana Kusuma | Category: N/A
Share Embed Donate


Short Description

Download Perkara Mengirim Senja - first draft...

Description

PERKARA MENGIRIM SENJA Sebuah Persembahan untuk Seno Gumira Ajidarma

© 2012 by Jia Effendie & Friends Dilarang memproduksi atau memperbanyak seluruh maupun sebagian dari buku ini dalam bentuk atau cara apa pun tanpa izin tertulis dari penerbit. Penyelaras: Pewajah Isi: Aniza Pujiati Ilustrasi: Lala Bohang Penerbit PT Serambi Ilmu Semesta Jln. Kemang Timur Raya No. 16, Jakarta 12730 www.serambi.co.id Telp. 021-7199621 Cetakan I: April 2012 ISBN: 978-979-024-

Daftar Isi Gadis Kembang Valiant Budi Yogi

1

Perkara Mengirim Senja Jia Effendie

11

Selepas Membaca Sebuah Pertanyaan untuk Cinta, Alina Menulis Dua Cerita Pendek Sambil Membayangkan Lelaki Bajingan yang Baru Meninggalkannya M Aan Mansyur

23

Kuman Lala Bohang

41

Ulang Putra Perdana

49

Akulah Pendukungmu Sundea

63

Empat Manusia Faizal Reza

73

Saputangan Merah Utami Diah Kusumawati

84

Senja Dalam Pertemuan Hujan Mudin Em Kirana Ketinggalan Kereta Maradilla Syahridar Gadis Tidak Bernama Theoresia Rumthe Guru Omong Kosong Arnellis Surat Ke-93 Feby Indirani Bahasa Sunyi Rita Achdris Satu Sepatu, Dua Kecoak... Sundea

Gadis Kembang Valiant Budi Yogi

T

aya mendongakkan wajahnya menghadap langit. Sudah lama dia tidak menikmati pagi. Perempuan itu menggoyangkan kepala hingga rambut panjangnya berkilauan laksana gadis bintang iklan sampo. Taya lalu menghirup udara yang tidak lagi sepenuhnya segar akibat tercampur timbal motor ojek yang siap berkelana ke kota dan kumpulan kentut pagi para warga kampung. Kenikmatan kadang menghilangkan kewaspadaan. Kebahagiaannya terpaksa sirna kala kakinya tersandung batu kerikil hingga dia jatuh tersungkur. Enam butir telur berhamburan hingga pecah, bertumbukan bersama beberapa buah buncis. Seorang perempuan gemuk dengan rambut berhias rol lari keluar dari warung yang terletak tidak jauh dari Tempat Kejadian Perkara. Dia segera menolong Taya yang kini pasrah tiarap di atas tanah yang penuh kotoran ayam. “Bu Taya, nggak pingsan kan?” Tanya si wanita penuh rol itu sambil menggoyang-goyangkan pundak Taya. “Bu? Bu Taya?” Setelah gagal di daerah pundak, tangannya kini menepuk-nepuk kepala Taya bagai gendang. Belasan pasang kaki berhamburan mengelilingi Taya yang terbujur. Sinar matahari meredup, seolah menyadari sang pengagumnya telah cedera. Gadis bintang iklan sampo itu resign secara tak terduga.



*** Sebuah kamar berukuran lima kali tiga meter, cukup luas untuk sekadar tempat tidur pribadi. Namun, itu ruangan yang sungguh sesak jika diisi belasan tubuh yang mengelilingi orang baru pura-pura pingsan. Iya. Ternyata pura-pura. Taya menunduk sambil menggenggam gelas besar berisi teh manis hangat. “Jadi tadi pingsannya bo’ongan?” sentak si perempuan penuh rol. “Udah kita gotong sampai capek-capek ke sini sambil nahan bau tai, ternyata pura-pura tiduran?” hardik yang lain. “Maaf, saya malu. Kalo tadi tidak ada yang lihat, pasti saya langsung berdiri dan pulang.” Taya menatap beberapa pasang mata yang mendakwanya, lalu kembali menunduk. “Buang-buang waktu saja. Mentang-mentang ditinggalin suami, bukan berarti mesti cari perhatian kayak gini.” Tiba-tiba salah satu pendakwa bersuara lantang. “Maaf, apa? Siapa yang ditinggal suami?” Mata Taya terbelalak. Sorotnya kini menghadang si pengarang. “Halah, Bu Taya, maaf ya, kita semua juga sudah tau, kalo suami situ lagi main gila ama si gadis kembang kampung sebelah.”



Taya tersentak. Tehnya sampai terhambur keluar gelas. “Gadis kembang? Gadis bertato kembang kali maksudnya! Tato jelek gitu dipamer-pamerin. Kita ama dia cuma kalah susunya aja!” “Pacarannya juga edan, gak liat tempat! Dari wisma sampai warung ditongkrongin! Warungnya Minah lagi! Iya kan, Minah?” Sang tertunjuk, Minah, yang rambutnya dipenuhi rol itu mengangguk-angguk sambil melotot. “Kamu harus segera bertindak, sebelum kampung kita ini kena bencana akibat ulah suami kamu!” Salah satu dari mereka menunjuk Taya bagai terpidana yang akan diberikan hukuman mati. Taya merasa sekeliling kamar berputar-putar. Perutnya mual. Gelas terempas dari tangannya hingga pecah di lantai. Dia kemudian tergolek pingsan. Kali ini tanpa kepura-puraan. Kali ini, tidak ada satu pun yang menggotong.

*** Setelah siuman dalam kesendirian, Taya melangkah terseok-seok di antara pepohonan pepaya. Setiap langkahnya terhiasi pandangan-pandangan setajam kaktus dan bisik-bisik ketus. Atau mungkin ini cuma perasaan Taya saja. Memang ada beberapa hal yang sebaiknya tidak diketahui. Begitu tahu satu, semua tampak bau.



“Mang, ke gang Senggol 3 ya.” Taya menyerah, dia memutuskan bersembunyi dengan naik becak. Setelah gulungan plastik penutup kursi penumpang becak diturunkan, hati Taya mulai merasa tenang. Dia mengunci bagian ujung rambutnya di belakang pundak seakan ingin mengikat, tapi kemudian kembali membiarkannya terurai. Taya merebahkan tubuhnya ke sandaran, lalu memejamkan mata. Dia mengatur napasnya hingga merasa lebih santai. Sayang, kenyamanannya tidak berlangsung lama. “Neng, kenapa gak pernah ngelabrak suaminya, sih?” Ketenangan Taya terkoyak. Tak pernah terduga si abang becak rumpi juga. “Saya kemarin nganter suami si Neng sama simpenannya itu. Saya gemes, pengen ngejuntrungin becak, tapi nanti kalo rusak, saya juga kan yang gak bisa kerja!” Racau si tukang becak penuh emosi. Taya mendengus kesal. “Ya udah saya turun di sini aja, sebelum becaknya saya jungkir-balikin.” Taya menyimpan uang dua ribu rupiah di kursi, lalu menyelonong pergi. “Lah, si Eneng kenapa marah? Kan saya mah cuma kasihan aja ...,” gumam si Abang Becak. Kasihan memang seringkali menyakitkan.

***



Sungguh berat perjuangan Taya hari ini. Kakinya melangkah gontai di tepi lapangan sepi. Rumah beratap biru dan berpagar hijau mulai tampak di antara pepohonan bambu. Angin kencang menyibak rambutnya. Awan mulai gelap. Segerombolan anak kecil yang saling bergandengan tangan berputar-putar di tengah lapangan sambil menyanyikan irama bernada acak, “Istri banting tulang, suami kelayapan.” Taya memegangi dadanya. Napasnya sempat tertahan beberapa detik. Lagu anak macam apa bisa laknat begitu? Taya mempercepat langkahnya. Bulir air dari langit mulai membasahi tubuhnya. Tepat saat Taya membuka pagar, terdengar suara geledek yang sontak membuat bumi sunyi.

*** Rumah memiliki kekuatan magis bagi penghuninya. Penat Taya hilang sekejap saat aroma teh menyeruak ke seluruh ruangan. Sambil menggenggam secangkir besar, Taya menaiki tangga sempit melingkar menuju loteng yang penampakannya lebih menyerupai gudang. Di ujung ruangan, seorang pria meringkuk di balik selimut. Saat langkah Taya mendekat, si pria menurunkan selimut hingga tersembul wajah kuyunya. Si Pria Berselimut menekuk bibir bawahnya, mencoba tersenyum.



Taya menyimpan segelas teh di meja sebelah tempat tidur. “Muka kamu kok kayak lagi nahan ngamuk?” “Udah ngamuk duluan malah,” ujar Taya sambil memegang kening Si Pria Berselimut. “Orang-orang udah makin usil. Dari tukang becak sampai anak kecil.” Si Pria Berselimut mengambil handuk putih kusam lembap di sebelah kasur, menyimpannya di atas pelipis. “Aku sih terserah kesiapan kamu aja buat bilang ke semua orang.” Taya mendengus. “Kita bisa saja siap. Tapi kalau mereka?”

*** Inilah pertama kalinya Taya berjalan di atas jembatan goyang tanpa berdendang. Kaosnya kusut. Pikirannya kalut. Sungai di bawah kering kerontang, tapi tetap ada yang nekat mencuci pakaian. Langkah Taya terhenti di depan sebuah rumah mungil bercat hijau. Kala telunjuk Taya akan menuju tombol bel, pintu keburu dibukakan seorang wanita berkaos singlet putih. “Taya ...” ia tersenyum sambil menyapa perlahan. “Kebetulan sekali, ada kabar baik yang ingin saya sampaikan,” sambung wanita itu sambil menyalami Taya penuh kehangatan.



Dia membalikkan badan, berjalan ke dalam ruangan. Sebuah tato bunga mawar tampak terselinap di antara tali belakang singlet. Setelah Taya membuka sepuluh halaman sebuah majalah lusuh yang terbit tahun lalu, Si Wanita Bertato Kembang kembali ke ruangan membawa secangkir minum dan sebuah amplop. “Foto USG bayi kita ...” Kita .... Taya menyambut amplop, berusaha antusias. Matanya memandang foto klise itu tanpa fokus. Pikirannya berusaha menyusun kata-kata yang tadi telah tersusun namun kini mendadak buyar. Taya berdeham, mencoba menguatkan hati dan pita suara. “Aku ingin pernikahan kalian diumumkan.” Rentetan kata panjang yang sebelumnya lebih deskriptif kini terucap langsung pada intinya. Bibir Si Wanita Bertato Kembang sedikit menganga. Dia mencoba mencerna ucapan Taya dan meyakinkan indra pendengarannya. “Euh, buat apa diumumkan? Kan setelah anak



ini lahir, kita telah sepakat bila perkawinan bakal berakhir?” “Tak perlu berakhir. Teruskan saja.” Si Wanita Bertato Kembang terkesiap. Tangannya perlahan menekan-nekan perut.

*** Bisik-bisik ketus makin berembus, dari utara hingga barat daya. “Sekarang suami Taya yang hidung belang itu udah kawin sama Si Wanita Bertato Kembang!” “Iya yaa? Jadi poligami gitu? Kasihan Taya ya?” “Udah dicerai, kok?” “Kejam sekali!” “Loh, lebih kejam mana buat Taya? Dipoligami atau diceraikan?”

*** Taya menaiki tangga sempit melingkar dengan dada berdebar. Tangannya ber­ usaha keras memegang mangkuk berisi sup ayam. Pintu terbuka, ada pemandangan luar biasa. Si pria yang biasa meringkuk di balik



selimut, kini berdiri tegak, merapikan rambutnya sambil bercermin. “Aku tak perlu lagi menunggu tengah malam dan keluar lewat pintu belakang, kan? Taya menggeleng sambil tersenyum. “Tapi aku senang mengendap-endap.” “Yah kalo masih mau begitu sih, terserah.” Taya terbahak. Tawa lepas nan bebas pertamanya dalam beberapa bulan terakhir. “Oh ya,” intonasi suara si pria berubah. Pasti akan ada pertanyaan atau pernyataan serius setelah ini. “Seandainya ... Seandainya saja, suatu saat, suamimu ... maaf, mantan suamimu tahu bahwa sebenarnya kau bisa mengandung. Bagaimana?” Taya terdiam sejenak. “Aku tidak tahu. Yang aku tahu saat ini, aku cuma ingin sama kamu.” Jemari mereka saling bergenggaman. Beradu pandang penuh harapan.

*** Bisik-bisik membuas luas. Ada yang teperdaya, sebagian terlena, sisanya hanya bisa menerka. Selamat merekayasa cinta...

10

P e r k a ra Mengirim Senja Jia Effendie

11

K

etika aku tiba di pesisir ini, senja baru saja melangkah. Aku dan senja saling menatap, saling menyapa. Betapa ayu senja kala itu. Ribuan keluang betebangan keluar dari gua-gua mereka di balik pohon-pohon yang rapat di Hutan Sancang di sebelah kiriku. Bena menampar-nampar karang. Matahari memantai dan hanya menyisakan semburat indigo. Ada ungu keemasan beraduk garis-garis horizontal merah bercampur hitam dan biru. Tak ada nyiur melambai dalam rangkaian tarian laut. Semata sunyi. Tetapi jika kau memasang telingamu dengan waspada, tentu kau bisa menangkap debur ombak pasang. Tapi detik ini, hanya mata yang hirau akan senja itu. Jika kalong-kalong pada senja itu bercericau, atau peri-peri yang berupa kirana-kirana putih cerlang di lautan yang hitam itu menggumamkan senandung, aku abai. Karena kini, hanya lanskap senja saja yang menarik perhatianku. Tentunya, ini bukanlah sepotong senja yang

12

dimasukkan ke dalam amplop untuk seorang pacar bernama Alina. Memang, ada angin dan debur ombak di senja yang kulihat kini. Tapi seperti sudah kubilang tadi, tak ada lagi mentari, karena ia telah tergelincir jatuh dalam lekapan malam. Langit pun tak sepenuhnya berwarna keemasan seperti senja milik Sukab, tapi nila. Tak ada burung atau perahu seperti senja yang dikirimkan Sukab pada Alina. Ah, menatap senja seistimewa ini tiba-tiba saja aku ingin mengerat senja itu jadi seukuran kartu pos dan mengirimkannya buat pacarku. Aku ingin ia memiliki lempengan senja yang ini, sebelum langit sepenuhnya hitam dan satu-satunya petunjuk bahwa kau tengah berada di tubir pantai hanyalah dari suara air memukul-mukul daratan dan menyeret serta pasir-pasir basah. Sayang sekali aku tak siap. Aku kan tidak tahu kalau aku akan bertemu dengan senja seperti ini. *

Sepotong Senja Buat Pacarku, Seno Gumira Ajidarma, 1991. Dari kumpulan cerpen berjudul sama, diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama, 2002.

13

Mana aku ingat untuk menyiapkan pisau serta amplop dan prangko untuk selempeng senja yang langitnya penuh codot, yang di hutan-hutan yang menjadi kawan setianya tinggal harimau jadi-jadian yang jika pagi tiba kau dapat melihat jejak-jejaknya di pasir putih. Aku tak siap dengan amplop dan prangko, sementara kantor pos pun tak kutemui ada dekat sini. Aku harus segera mengambil keputusan. Lima menit lagi, belum tentu langitnya tetap seperti ini. Aku tak mau mengirimkan senja yang hitam karena nantinya dia takkan bisa menatap semburat warna marun itu di antara dominasi violet dan biru. Dia juga takkan dapat melihat buih bergulung kembali ke pelukan samudra. Dia takkan mendapatkan semua visual itu jika langit telah gelap. Dia harus mendapatkannya utuh. Dia harus melihatnya sama seperti apa yang sedang kulihat saat ini; begitu memukauku. Namun, ketika aku akhirnya menemukan sesuatu untuk memotong senja itu, aku teringat hal yang paling penting: tidak ada pacar untuk dikirimi senja. Pertanyaan paling menganggu berdengung-dengung di kepalaku, menyengat-nyengat sel-sel kelabu otakku. Jika aku berhasil memotong senja ini, kepada siapa aku akan mengirimkannya? Senja begini tak boleh dinikmati sendirian. Menatapnya seorang diri akan membuatmu depresi. 14

Seperti ada jaring sepi yang dilempar dari langit dan merungkupimu dalam perangkapnya. Kau jadi seperti tersayat-sayat sendiri. Dipenjara kesunyian, digantung keheningan. Jadi, senja ini harus kukirim­ kan secepatnya, agar efek dari senja ini tak membunuhku. *** Bibirnya adalah bibir paling manis yang pernah saya kecup. Yang paling menawan yang pernah saya sentuh. Saya hendak menyesapnya lagi, sedikit, sedikit, sedikit lagi ... hingga telepon genggam di atas meja kaca itu bergetar memekakkan sebuah ringtone polyphonic. Telingaku pengang. Bibir saya kering dan dahaga. Saya ingin melempar benda itu jauh-jauh, tapi siapa tahu ini panggilan penting. Perempuan saya terduduk kaku, menyentuh bibirnya canggung. Matanya galak, menatap saya tajam bergantian dengan bergantian dengan ponsel yang merajuk-rajuk ingin dicemplungkan ke dalam bak mandi. “Halo?” Saya menyapa setelah menekan tombol berlampu hijau itu. “Selamat petang, Pak. Apakah Anda tinggal di kota tempat tumbuhnya pohon-pohon beton yang menjulang lebih tinggi dari pohon sesungguhnya? Apakah Anda sudah penat merasakan kemacetan dan menginginkan ketenangan? Apakah ruangan kerja Anda mencuri senja dari keseharian Bapak? Apakah Anda rindu menatap

15

senja yang tidak dihalangi pucuk-pucuk gedung? Saya di sini menawarkan solusinya untuk Anda!” “Tunggu!” selaku, tetapi suara perempuan dari dalam telepon genggamku terus menyanyah tak terhentikan. “Ini adalah produk baru yang tak akan Anda temukan di mana pun! Jika Anda menginginkan sesuatu yang lain dalam keseharian Anda, menambah produktivitas kerja maupun vitalitas, ini adalah produk yang tepat untuk Anda.” “Maaf, tapi saya tidak ....” “Benar, pilihan tepat jika Anda membeli produk yang saya tawarkan ini. Saya menjual sepotong senja dalam amplop. Anda tidak pernah dengar? Saya akan menceritakan sebuah kisah inspiratif. Saya yakin Anda akan tergugah dan tak sabar ingin memilikinya juga.” “Saya tidak tertar—” “Produk ini muncul setelah dipandang penting bagi manusia-manusia perkotaan seperti kita untuk berlibur tanpa perlu beranjak dari meja kerja! Ini adalah produk unggulan.” Saya menutup telepon karena perempuan berbibir mengerucut seksi di hadapan saya sudah mulai tidak seksi lagi karena manyunnya semakin galak. Saya menatapnya, ingin mencubit-cubit bibir itu dengan bibirku. Saya mendekatkan wajah saya ke wajahnya. Tetapi telepon saya kembali meraung-raung. Saya ingin sekali mengabaikannya, tetapi tangan saya malah meraihnya dan lagi-lagi menekan tombol terima.

16

“Anda belum mendapatkan penjelasan sejelasjelasnya tentang produk yang kami tawarkan. Sebaiknya Anda tidak menutup telepon sebelum paham mengenai produk kami,” ancam suara perempuan itu. “Ini tidak akan memakan banyak waktu Anda, Anda tak perlu mengatakan apa pun, cukup dengarkan suara saya. Produk ini berawal dari sepotong senja yang dicuri seorang pemuda untuk pacarnya. Karena kebodohan, dia menjadi buronan polisi. Karena dia mengerat senja itu untuk urusan-urusan romantis. Anda tahu, cinta dan romantisme itu omong kosong. Seorang genius dari laboratorium kami terinspirasi dari kisah pemuda bodoh itu dan mengembangkan sebuah produk unggulan, yang lain daripada yang lain. Kecerdasan, dan bukan romantisme, yang membuat senja yang kami tawarkan. Jika Anda tertarik, kami bisa mengirimkan contoh gratis dan Anda dapat menikmatinya selama seminggu. “Senja ini terdiri dari semburat langit ungu, suara debur ombak serta sayap kelelawar, wangi garam, pasir pantai, semua bisa Anda dapatkan tanpa perlu mendatangi tempatnya. Semua sensasi itu, mengikuti gambaran senja paling indah yang ada dalam pikiran Anda.” Saya mulai tertarik, tetapi saya juga tahu kalau perempuan ini gila. “Hebatnya lagi, Anda bisa menikmati senja ini kapan pun. KAPAN PUN!” ujarnya menekankan katakata terakhirnya. “Anda tak perlu menunggu senja

17

untuk menikmati senja. Anda tinggal membuka amplopnya dan semua sensasi senja di tepi pantai akan terbaca oleh semua indra tubuh Anda.” “Maaf, saya tidak tertarik.” Pacar saya menatap saya, matanya bertanya, ingin tahu apa yang kami bicarakan di telepon. Saya menutup telepon genggam saya dengan tangan dan berkata pada pacar saya, “dia orang gila yang menawarkan sepotong senja.” Mata perempuan saya berbinar. “Seperti senja Sukab untuk Alina?” tanyanya. Saya mengangkat bahu. Dia merebut telepon dari tangan saya dan mulai mencerocos menanyakan harga, garansi, pemasangan, juga ongkos kirim. Ketika selesai mendapatkan semua informasi yang dibutuhkannya, pacar saya memberikan teleponnya kembali untuk saya. “Ayang, kamu beliin yah ....” ujarnya manja. Saya menerima telepon itu enggan dan meletakkannya di telingaku. “Apakah saya bisa membayar dengan kartu kredit?” tanya saya. “Saya akan segera mengirimkannya kepada Anda, saya sendiri yang akan mengirimkannya. Itu garansi dari saya. Segera setelah Anda menyatakan kalau Anda mencintai saya,” ujarnya. Baiklah, saya memutuskan. Sales girl, perempuan ini, siapa pun dia, jelas-jelas sinting. Saya menutup telepon.

*** 18

Aku menutup telepon. Ada cengiran selebar seringai kucing Chesire di wajahku, terentang dari telinga ke telinga. Senang rasanya menemukan seseorang yang bisa kukirimi senja. Aku memilih dari rak-rak yang sudah dilabeli di hadapanku: Pantai Sancang, Pantai Kuta, Pantai Sawarna, Pantai Kiluan, Dream Land .... Rak-rak yang berkilauan gelimang senja. Aku mengambil senja yang bersemburat ungu. Senja pertama yang membuatku terpesona. Aku mendekatkan senja seukuran kartu pos itu ke mataku dan melihat beberapa ekor kelelawar keluar dari hutan lebat di sebelah kiri. Dominasi warna ungu itu dihiasi titik-titik cahaya; para peri senja yang baru terjaga. Aku masih belum berhenti tersenyum. Sambil bersenandung, kumasukkan senja itu ke dalam amplop, berhati-hati agar tidak tumpah. Aku siap mengirimkannya.

*** Telepon dari sales promotion girl sinting itu mengganggu pikiran saya, juga membuat kekasih saya tidak waras. Setiap hari, dia terus menerus menanyakan apakah senja Sukab untuk Alina itu sudah sampai atau belum. Padahal, sales promotion girl di telepon kemarin dulu mengatakan kalau senja itu baru akan dikirim dalam waktu tiga kali dua puluh empat jam. Seperti ketentuan wajib lapor RT. Lagi pula, bagaimana

19

caranya membayar dengan cinta? Dengan apa cinta diukur? Sejak hari itu saya menjadi lebih sering memperhatikan senja. Setiap pukul lima sore, saya menyengajakan diri berdiri di depan jendela kantor saya di lantai 22, menghadap barat, hanya untuk menatap senja sambil bertanya-tanya, bagaimana cara mengerat senja menjadi seukuran kartu pos, lalu memperbanyak dan menjualnya? Diam-diam, saya juga menanti-nantikan saat contoh sepotong senja itu datang. “Aku akan memajang senja itu di ruang tamu. Biar semua orang yang datang ke rumahku iri,” ujar kekasih saya berkhayal.

*** Aku berdiri di depan pintu rumahnya, merapikan rambutku, memeriksa pantulan wajahku di depan kaca jendelanya. Dengan gugup, aku kembali melihat paket senja yang kupegang. Begitu dia menerimanya, dia akan membayarku dengan cintanya. Lalu, penantianku selama sepuluh tahun ini tidak lagi sia-sia. Aku sudah mengenalnya sejak belia. Sejak kami masih mengenakan seragam putih biru.

20

Sejak pertama menatap cokelat madu bola matanya, sudah ada alien bersarang di dada­ ku. Awalnya hanya sebesar telur kecoak. Sekecil itu. Kemudian seperti telur kecoak, perasaanku menetas dan beranak pinak berbau kecoak di dadaku. Sudah ada jutaan kecoak di dadaku. Menginginkannya. Mencintainya dengan gila. Mencintainya dengan giat. Dia tidak pernah balik melirikku. Dia tak pernah tahu warna mataku seperti halnya aku tahu di bagian tubuhnya yang terbuka di mana saja yang terdapat tahi lalat. Aku menyaksikannya berganti kekasih tetapi tak pernah aku. Aku yang paling tahu bagaimana mencintainya, tetapi dia tak pernah cukup tahu aku untuk memilihku. Kutatap senja di hadapanku dengan senyum masih lebar. Kuhirup aromanya. Aroma angin yang agak amis. Ombak yang mencolek-colek pantai seperti sedang mengajak bermain. Hanya untuk mempermainkan, karena ombak tak pernah berencana menetap di pantai, ia selalu kembali bergulung ke lautan. Aku mencelupkan jariku ke ombak mini dalam kartu pos itu.

*** 21

Saya menemukan paket berisi senja di atas keset selamat datang di pintu rumah saya petang itu. Awalnya, tentu saja saya tidak tahu bahwa paket tersebut berisi senja. Sebentuk senja paling indah dengan semburat ungu menyeruak menyilaukan netra. Saya berlama-lama menatapnya tanpa berkedip. Ada yang menarik perhatian saya selain keanehan senja yang ternyata bisa diperangkap menjadi seukuran kartu pos. Seperti ada yang berguncang-guncang di atas pasir. Seperti manusia. Seperti ada suara isak lirih. Saya mendekatkan senja itu ke mata. Saya seperti mengenalinya. Dua orang gadis. Suara tangisnya sayup di antara debur ombak. Di senja yang manis dan memancang mataku itu, saya melihat sales girl penjual senja itu menangis. Saya juga melihat kekasih saya. Keduanya sedang berpeluk-pelukan sambil menangis.

22

Selepas Membaca Sebuah Pertanyaan untuk Cinta, Alina Menulis Dua Cerita Pendek Sambil Membayangkan Lelaki Bajingan yang Baru Meninggalkannya M Aan Mansyur 23

1 Celana Dalam Rahasia Terbuat dari Besi

H

IDUP adalah sembunyi. Jika kau miskin, kau harus tahu bagaimana menyembunyikan papa. Jika kau kaya, kau harus tahu bagaimana menyembunyikan harta. Jelek atau cantik, kau harus tahu bagaimana menyembunyikan rupa. Belajarlah seni menyembunyikan! Ia masih ingat, kalimat-kalimat itu selalu diulangulang ayahnya di meja makan, setiap malam. Barangkali itulah sebabnya ia bernama Rahasia. Ada lebih banyak kata-kata dalam diam. Diam dan diamlah di depan suamimu! Sehari sebelum ia dibawa suaminya ke kota ini, ayahnya sekali lagi mengulang kalimat itu padanya, seperti mantra-mantra. Rahasia ingat betul semua kata-kata ayahnya dan ia tak mau durhaka dengan melanggarnya. Suaminya seorang cerdas—tetapi kolot, wartawan sebuah majalah wanita. Suaminya, namanya Tiran, memberlakukan sesuatu yang sangat aneh dan kolot di rumahnya. Rahasia harus memakai celana besi setiap hari. Ia tidak pernah betul-betul mengerti kenapa harus mengenakan celana besi. Barangkali karena Tiran takut ia main serong dengan lelaki lain. Tetapi ini

24

dunia modern bukan zaman batu, pikirnya—hanya dalam pikiran, sebab ia harus diam. Kenapa celana harus terbuat dari besi? Barangkali karena majalah tempat Tiran bekerja terlalu sering memuat berita perselingkuhan. Setiap pagi, sebelum berangkat ke kantor, Tiran selalu bertanya: Apakah kau sudah buang air? Pertanyaan itu sudah dia hapal luar kepala. Kalau Rahasia mengangguk, Tiran akan menyuruhnya memasang celana besi itu lalu menguncinya. Kunci celana besi itu dibawa Tiran ke kantor dan tak ada kunci cadangan. Celana besi—tentu saja celana dalam—yang ia kenakan setiap hari—pagi sampai sore—di kunci dengan gembok paling kuat. Gembok nomor satu, yang paling jempolan. Gembok itu dibeli dengan harga mahal. Kalau Rahasia menggeleng, Tiran akan menyuruhnya ke toilet dan menunggu sampai Rahasia selesai. Itulah ritual pagi di keluarganya. Ritual aneh. Setiap hari Rahasia setia melakoni hal itu. Tak pernah ada kata penolakan pernah mengendarai lidahnya. Rahasia diam dan melakukannya, ia selalu ingat pesan ayah—ada lebih banyak kata-kata dalam diam. Untuk menghindari buang air besar saat Tiran berada di kantor, Rahasia tak boleh makan banyak makanan berserat sebab ia hanya boleh buang air besar setiap pagi dan malam. Ia juga tak boleh minum banyak air agar tidak buang air kecil di siang hari. Saat Tiran di kantor, ia sama sekali tak bisa ke toilet untuk urusan membuang air kecil apalagi buang air

25

besar. Ia harus menunggu Tiran pulang. Sudah bertahun-tahun Rahasia menjalani hal aneh itu. Tetapi ia tak pernah boleh membantah, Rahasia adalah istri yang memilih berkata-kata dalam diam. Setiap pulang kerja, Tiran akan membuka gembok itu dan membiarkan ‘barang’ istrinya menghirup udara segar. Itulah kesempatan bagi Rahasia untuk ke wc dan membuang ‘air-air’ yang ditahannya seharian. Rahasia memang tak pernah bisa mengerti kenapa Tiran jadi begitu tidak percaya kepadanya. Ia tak pernah mau bertanya kepada Tiran tentang hal itu. Ia pernah berniat mengirim surat kepada ayah dan mertuanya, untuk mengadukan Tiran, tetapi setiap keinginan itu ada, ia selalu ingat kalimat-kalimat ayah. Diamlah! Rahasia sebenarnya kesal diperlakukan seperti itu, tetapi ia hanyalah seorang istri. Ia harus menyembunyikan

26

perasaan itu. Setelah sekian lama hidup berdua, ia sudah tahu bagaimana menyembunyikan kesal: tersenyum. Setiap malam, di meja makan ia tersenyum menemani Tiran makan. Ia tersenyum menjawab ajakan Tiran bercinta. Ia tersenyum mencuci dan menyetrika baju dan celana Tiran. Ia tersenyum dan tersenyum—dan tentunya diam. Bagi para tetangga, keluarga mereka adalah keluarga yang amat bahagia. Tak pernah terdengar suara orang bertengkar dari rumahnya. Tak pernah ada suara-suara piring atau kaca pecah karena perkelahian suamiistri, damai sekali. Kadang ibuibu di lingkungan tempat tinggalnya datang minta saran pada Rahasia: bagaimana membina rumah tangga agar bisa tetap rukun? Rahasia tersenyum dan tentu saja merahasiakan celana besi di balik roknya. Ia hanya mengulang kata-kata ayahnya: Ada lebih banyak kata-kata dalam diam. Sekiranya di lingkungan tempatnya tinggal pernah atau akan diadakan lomba keluarga damai pasti keluarga-

27

nyalah yang menang. Ia dan Tiran akan mendapatkan piala. Tiran yang selalu tiba di rumah sore hari, tak juga pernah bertanya apakah istrinya senang atau tidak diperlakukan seperti itu. Barangkali diam dan senyum Rahasia telah berkata cukup jelas bahwa istrinya tidak keberatan dan senang-senang saja, no problem, tak perlu ada cross-check. Rahasia betul-betul telah menguasai seni hidup, seni menyembunyikan. Ia sungguh tahu arti hidup, bahwa hidup adalah sembunyi. Sebelum tidur, seusai bercinta seperlunya, Tiran selalu memuja istrinya yang baik hati itu. Rahasia tersenyum dan memeluk Tiran. Lalu mereka tidur menyembunyikan segala apa-apa dalam dada masing-masing sampai pagi tiba dan celana besi harus dipasang lalu dikunci kembali.

*** RAHASIA tahu Tiran selingkuh dengan wanita lain, rekannya sesama wartawan. Tetapi ia menyembunyikan cemburu dengan senyum dan diam. Belajarlah menyembunyikan sesuatu! Setiap Rahasia ingin bertanya atau protes kepada Tiran, ia selalu ingat katakata ayah. Sekiranya ayah adalah guru dan apa yang Rahasia lakukan itu adalah latihan maka ia pantas mendapatkan nilai paling tinggi. Ia adalah murid yang mendapatkan juara satu di kelas. Rahasia tak lagi perlu belajar, ia sudah pintar.

28

Tak pernah ada satu keluhan berbunyi dari pita suara di lehernya. Tentang celana besi atau tentang perselingkuhan suami. Rahasia diam, sebab ada lebih banyak kata-kata dalam diam. Rahasia membersihkan rumah. Rahasia mencuci dan menyetrika pakaian. Rahasia memasak. Rahasia harus teratur buang air setiap pagi dan malam saja. Rahasia menghidangkan makan malam. Rahasia memijat dan melayani birahi suami. Semuanya ia lakukan dalam senyum. Sementara Tiran selingkuh di kantor dan kunci gembok di saku celananya. Suatu hari, Rahasia melihat Tiran di mall bersama wanita lain. Tangan suaminya melilit serupa ular di pinggang wanita itu. Tetapi seperti biasa, saat suami tiba di rumah dan menyerahkan kunci. Rahasia masuk ke toilet. Membuat kopi untuk suami dan mengajaknya duduk di beranda menikmati bunga-bunga dan udara sore, berbincang-bincang. Rahasia sama sekali tidak bertanya tentang siapa perempuan yang Tiran peluk tadi siang. Ia malah bertanya tentang berita apa yang akan diangkat majalahnya bulan ini atau apakah sebentar malam suaminya mau dipijat untuk menghilangkan penat. Saat berbincang di beranda, Tiran selalu bersemangat bercerita tentang berita-berita terbaru di majalahnya atau tentang salah satu rekannya yang kedapatan main serong. Rahasia tahu Tiran selalu bohong, tetapi ia terlalu pintar menyembunyikan perasaannya. Rahasia manggut-manggut dan terus mendengar. Tiran terus

29

berbicara sampai pada perihal macet atau pemintapeminta yang menyebalkan di lampu merah. Tiran tidak terlalu lihai menyembunyikan rahasia. Rahasia selalu menemukan kebohongan itu menari-nari di mata Tiran. Tetapi Rahasia hanya diam dan tersenyum.

*** SUATU malam di tempat tidur, Tiran bercerita kepadanya tentang seorang artis cantik yang tertangkap basah selingkuh dengan suami orang. Selalu saja tentang selingkuh. Begitulah. Tiran berpikir dengan selalu bercerita tentang perselingkuhan orang lain, istrinya akan berpikir ia tidak suka selingkuh, setia. Tiran mengatakan rencana tentang menulis sebuah artikel panjang tentang celana besi. Bahwa celana besi adalah cara paling ampuh untuk menjaga keabadian rumah tangga. Celana besi adalah metode paling baik agar angka perselingkuhan bisa ditekan. “Bagaimana menurutmu?” tanya Tiran. Rahasia menjawab dengan senyum. “Bagus sekali. Kau bisa mengatakan bahwa keluarga kita telah mempraktekkan metode itu dan berhasil. Hal itu bisa meyakinkan pembaca. Iya, kan?” Beberapa minggu kemudian, seusai makan malam, Tiran melemparkan sebuah majalah ke pangkuan Rahasia. “Buka halaman 78!” Rahasia menuruti perintah

30

Tiran. Ia membaca sehalaman tulisan dan nama Tiran tertulis di bawah judulnya. Rahasia membaca tulisan tentang celana besi. Ia tersenyum dan perasaan-perasaannya bersembunyi dengan aman di dadanya. Betul, Tiran menulis bahwa celana besi telah berhasil mereka terapkan dalam rumah tangganya seperti yang ia sarankan. Hasilnya, keluarga bahagia, rukun dan damai. Bebas selingkuh. Tiran menyarankan agar orang-orang yang sudah berkeluarga meniru cara yang diterapkan keluarganya. Bahkan Tiran menyarankan agar orang tua yang memiliki anak gadis juga menerapkan hal tersebut untuk menjaga anak agar tidak melakukan seks bebas. “Tunggu beberapa hari lagi aku pasti akan diwawancarai beberapa stasiun televisi karena metode baru itu. Karena aku telah berhasil mengurangi angka perselingkuhan di kota ini, di negara ini. Karena aku telah memperbaiki moral bangsa.” Rahasia tersenyum. ”Penerbit-penerbit juga akan berlomba meminta aku menulis buku tentang itu. Buku itu tentu akan laris, aku akan jadi orang terkenal!” Tiran tertawa seperti penjahat di film-film. Rahasia cuma tersenyum. Di tempat tidur, Rahasia kembali mengingat kalimat-kalimat ayahnya. Hidup adalah sembunyi. Belajarlah seni menyembunyikan! Sembunyikan rupamu! Sembunyikan hatimu! Ada lebih banyak kata-kata dalam diam.

31

Seusai birahinya rampung, Tiran bertanya tentang bagaimana tulisannya di majalah itu. Rahasia tersenyum dan diam. Diam itu berkata: Alangkah bodohnya suamiku tidak pernah memikirkan satu hal! Sudah lama aku selingkuh dengan tukang duplikat kunci.

32

2 Sehari Setelah Istrinya Dimakamkan

D

ENGAN kedua tangan menutupi wajah, ia meraung-raung serupa anak kecil menginginkan sesuatu dari ibunya. Tas berwarna merah milik istrinya tergeletak di depannya, di atas meja bertaplak abu-abu. Itulah barang terakhir yang dipegang istrinya sebelum meninggal, tas itu, yang terlempar sejauh lebih lima meter saat sebuah taksi yang melaju tinggi menghantam pinggangnya. Ia sedih memikirkan bukan tangan atau wajahnya yang dipegang perempuan itu terakhir kali. Ia membuka tas itu untuk melihat barang apa saja yang ada di dalamnya. Ia menemukan sebatang cokelat dengan banyak gambar kacang mete di bungkusnya bersama barang-barang lain di sana. Ia membuka cokelat itu dan memakannya di sela tangis yang sesekali masih meraung. Alangkah sedih ia. Sebagai seorang lelaki yang tak mungkin mendapatkan anak, karena mandul, ia betulbetul kehilangan satu-satunya orang yang ia harapkan akan menemani sisa hidupnya. Ia tak mungkin bisa menemukan lagi wanita seperti istrinya itu, dan me-

33

mang ia tak menginginkan ada yang menggantikannya. Istrinya adalah wanita yang sangat baik. Para tetangga menyukai istrinya yang tak pernah lupa menaruh sebaris senyum di sela bibirnya. Teman kantor memanggil istrinya dengan Lady Diana. Kemarin di acara pemakaman istrinya banyak benar orang yang datang. Bahkan banyak dari mereka yang sama sekali tidak ia kenal datang mengenakan pakaian serba hitam sekadar mengucap belasungkawa atau menepuk bahunya. Bergantian orang menaburkan bunga berwarna-warni di atas peti mayat istrinya. Liang tempat berbaring peti itu seperti tak bisa menampung banyaknya bunga-bunga yang dijatuhkan orang yang membawa kesedihan dan rasa kehilangan di wajahnya masing-masing. Itulah bukti baginya bahwa memang istrinya disayangi oleh orang-orang. Ia jadi ingat tayangan TV beberapa waktu lalu tentang acara pemakaman Lady Diana yang penuh dengan bunga. Istrinya adalah Lady Diana, betul. Hari ini ia tidak masuk kantor. Oleh pimpinannya, ia diberi izin untuk tidak masuk kerja selama tiga hari terhitung mulai hari ini. Tetapi justru itulah yang malah membuat hari ini sangat berat untuk ia lalui. Ia semakin didera rasa kehilangan dan kenangan tentang hari-hari bersama istrinya. Dan tak ada yang bisa menghiburnya, tidak oleh berita kemenangan Tim

34

Istrinya adalah wanita yang sangat baik ...

35

Sepakbola Indonesia di koran harian yang datang terlalu pagi, tidak oleh kicau burung tetangga, tidak oleh suara tergesa-gesa kendaraan di depan rumah, tidak juga oleh kopi yang untuk pertama kalinya ia buat sendiri. Tidak ada yang bisa membawanya pergi dari sedih. Tidak ada. Ia mencoba menghibur diri dengan mengingat kata seorang temannya kemarin. “Sebab Tuhan mencintai orang yang baik hati makanya ia dipanggil pulang lebih lekas.” Tetapi beberapa detik kemudian ia menyadari bahwa kalimat itu tak punya kuasa untuk meluruhkan sedihnya. Rasa cokelat samar-samar masih lekat di lidahnya seperti air mata yang masih juga jatuh satu-satu. Ia melanjutkan membuka tas istrinya untuk melihat barang-barang terakhir yang dibawa istrinya. Ada lipstik berwarna sama dengan warna tas itu. Sebenarnya ia lebih suka melihat istrinya tidak memakai pewarna bibir. Tetapi orang lain selalu mengatakan padanya bahwa istrinya selalu bisa memakai warna di bibirnya yang serasi dengan pakaian dan suasana hatinya sehingga setiap senyumnya selalu saja membuat hati yang melihatnya segar seperti rasa permen mint di mulut. Tetapi kadang-kadang ia bersyukur atas komentar dari orang-orang itu sebab dengan begitu ia tidak merasa telah menjadi seorang suami yang suka mengatur-ngatur istrinya.

36

Kembali ia menemukan sebatang cokelat yang sama. Dan dengan alasan yang belum juga ia mengerti, ia kembali membuka bungkusnya lalu memakannya. Rasa cokelat di lidahnya kembali membuat bendungan di matanya jebol. Ia memang sedikit heran, sejak kapan istrinya suka makan cokelat. Ia ingat suatu hari, waktu itu beberapa minggu setelah menikah, ia pulang dari kantor membawa sebatang cokelat untuk istrinya tetapi istrinya hanya menyimpannya di lemari es dan tidak memakannya sampai bermingguminggu. Waktu ia tanya, istrinya dengan jujur mengatakan bahwa selain karena takut sakit giginya kambuh dan takut gemuk ia memang pada dasarnya tidak suka makan cokelat. Cokelat itu kemudian ujung-ujungnya menjadi hadiah untuk dirinya sendiri sebab suatu hari ia sendirilah yang memakannya. Memang agak mengherankan kalau tiba-tiba di tas istrinya ia menemukan dua batang cokelat. Tetapi rasa ganjil itu tak berdaya di tengah kesedihan dan kehilangan yang ruah serupa bah. Ia menjilati sisa cokelat yang lekat di telunjuknya lalu melanjutkan membuka tas. Di sana ia juga menemukan alat-alat kosmetik selain lipstik. Ia tidak tahu apa saja namanya. Ia berhenti sejenak lalu tersenyum. Ia berpikir bahwa alangkah cantik hati istrinya sebab di usia yang sudah tidak muda lagi ia masih ingin selalu tampil cantik di depan suaminya. Istrinya tetap merawat diri, tentu saja karena ingin tetap tampil

37

cantik di hadapan suaminya. Ah, sekiranya ia bisa kembali sesaat saja. Ia akan mengatakan sebuah kalimat yang selalu ia lupa ucapkan setiap pulang dari kantor. “Kamu cantik sekali hari ini, Sayang!” Benda berikutnya yang ia temukan di tas itu adalah ponsel yang menyisakan setengah baterai dan sebuah gambar amplop di sudut kiri atas menandakan ada pesan yang belum terbaca. Ia menekan tombol pembuka pesan lalu membaca kalimat yang tertulis di layarnya: Papa tunggu pukul 7! Kembali ia menangis melihat pesan itu. Pesan yang ia kirim ternyata belum sempat dibaca istrinya. Barangkali saat ia mau membuka tas karena mendengar nada tanda ada pesan masuk, saat itulah taksi berwarna biru itu menabraknya. Ia menduga-duga. Ia kembali menangis. Ia merasa bersalah, kenapa tidak ia jemput saja istrinya di rumah lalu mereka bersamasama makan malam di sana, sekalian ia bisa mandi sore dan ganti baju. Ia letakkan ponsel itu lalu kembali mencari bendabenda lain. Ada kacamata. Ada sebotol kecil pil obat sakit kepala. Istrinya memang pengidap migraine akut, ia tahu itu. Ada pulpen dan buku catatan kecil. Ia berhenti mencari. Ia membuka buku kecil itu dan menemukan di halaman pertama Things to do today! Belanja (jangan lupa beli anggrek)—BL—ketemu teman lama—makan malam dengan suami, lengkap dengan jamnya masing-masing. Istrinya memang

38

seorang perfeksionis dan pintar mengatur waktu. Itu membuatnya semakin merasa kehilangan seseorang yang nyaris sempurna sebagai manusia, atau sempurna sebagai istri. Ia meletakkan notebook dan beralih pada sebuah sapu tangan berwarna peach dengan sulaman nama istrinya di salah satu sudutnya. Dan itulah yang membuat tangisnya yang sudah reda itu kembali meledak. Ia kembali terlempar jauh ke belakang mengenang masa-masa indah di waktu remaja dulu, saat mereka belum menikah. Sapu tangan itu adalah hadiah yang ia berikan pada saat Valentine Day bersama sebuah kaset bergambar hati warna merah. Istrinya masih menyimpan sapu tangan itu, bahkan membawanya ke mana-mana. Begitu juga cintanya padaku, begitu pikirnya. Ia telungkup di atas meja tak tahan dengan dera sedih dan kopi tumpah mengotori taplak meja pula lantai yang berwarna putih. Alangkah sedihnya ia. Setelah yakin badai kesedihan mulai reda, meski masih ada isak yang sesekali terdengar, ia kembali mencari apa-apa dalam tas istrinya. Benda terakhir yang ia temukan di tas itu adalah sebuah kotak yang membuatnya tiba-tiba berhenti menangis. Sekotak benda yang tidak ia percaya ada di sana. Sekotak benda yang sungguh tidak ia harap berada dalam tas istrinya. Sekotak kondom. Ya, sekotak kondom dengan isi yang tak lagi lengkap. Ia bertanya-tanya da-

39

lam hati, apakah istrinya memiliki kehidupan lain di luar yang tidak ia ketahui. Apakah istrinya ...? Rasa cokelat di lidahnya masih terasa dan itu yang membuatnya kembali menutup wajah dengan tangan dan kembali meraung-raung. Jakarta, 29 Januari 2012

40

Kuman Lala Bohang

41



Apa kurangnya dia?” “Tidak ada.” “Lalu kenapa sekarang kamu ada di sini?” “Karena aku juga cinta sama kamu.”

*** BAHWA cinta memiliki kemampuan menggandakan diri untuk dua orang berbeda dalam kadar yang sama, baru saja terkuak. Aku sempat mengira jatuh cinta itu semata-mata aksi menyelamatkan diri dari hal-hal yang tidak perlu. One night stand yang diikuti sesal di pagi hari, atau flirting sia-sia setiap Sabtu malam. Jika ternyata kesakralan cinta pun sekusut ini, lebih baik aku menghabiskan malam bersama lelaki berbeda untuk menikmati rentetan nafsu yang tidak mengenal rasa. Pertemuan dengan seorang bartender kurang ajar mengawali semuanya. Setiap malam, dia mencampur cinta pada minuman yang diraciknya untukku. Meludahinya, mengencinginya, dan memberakinya dengan cinta. Bukannya aku tak tahu itu, hanya saja tubuh ini sudah terlalu lelah dan dikuasai dahaga untuk peduli. Tiga puluh tahun mencicipi hidup, belum pernah sekalipun aku dijenguk cinta. Jadi, tidak salah bukan jika aku merasa hati kedaluarsa ini tidak perlu takut teracuni? Perasaan intim hanya muncul saat mendengar lenguhan panjang para lelaki. Ada rasa hangat aneh yang men-

42

jadi candu, ingin lagi dan lagi. Terkadang aku membalas dengan rintihan singkat, atas nama sopan santun. Ibu pernah bilang kalau cinta seorang pria dapat diukur dari kadar lenguhannya, semakin panjang sebuah lenguhan maka akan semakin banyak cinta yang dikucurkan malam itu. Ya, satu malam saja. Bartender kurang ajar itu bahkan tidak mendekati sedikit pun kriteria lelaki yang sering kuhadiahi lenguhan. Setengah wajahnya dihiasi bekas luka bakar dan kakinya pendek sebelah, Aku tidak pernah peduli apa yang menyebabkannya. Setiap malam, aku dibuat risih dengan tatapannya yang siap menelan saat aku bernyanyi dan bergoyang di atas panggung. Dia akan berdiri mematung di belakang meja bar, di balik kabut kepulan asap rokok, memandang diam-diam tanpa terselip secuil pun hasrat. Dan aku selalu berhasil mengabaikannya tanpa usaha berarti. Pada satu sore yang biasa saat bersiap untuk bekerja, bongkahan di balik dadaku berdetak cepat dalam irama yang tidak dapat kuikuti. Begitu kencangnya, seolah-olah ia siap meloncat keluar. Aku begitu gentar karena tidak siap mati. Dengan bibir yang ter­ oles gincu merah menyala, dalam becak aku mengubah haluanku menuju rumah sakit terdekat. ”Kamu bukan sakit jantung, ini jatuh cinta.” “Tapi aku tidak sedang jatuh cinta, Dok.” “Jadi kamu lebih pilih sakit jantung?” “Pilih yang tidak mahal, Dok.”

43

Aku pulang masih dengan jantung yang berdetak lincah. Keringat dingin membasahi seluruh tubuhku dalam gigil yang menyiksa. Ternyata jatuh cinta hanyalah semacam penyakit demam kurang ajar yang melonjaklonjakkan jantungku seperti ingin melarikan diri dari rongga dada. Tak ada kupu-kupu cantik beterbangan dalam perut. Aku tak mengerti orangorang berbahagia karena jatuh cinta.

*** Dia mendekap tanpa jarak, seakan tubuh ini terbuat dari porselen yang mudah pecah. Malam itu dia berbaring tenang di sebelahku. Matanya sesekali menatap langit yang sedang dibanjiri bintang. Kasar wajahnya akibat bekas luka yang bau apak menempel rapat

44

pada pipiku yang merah muda. Aku merasa jijik sekaligus menikmatinya. Sebelah kakinya yang lebih pendek mendekap erat betisku yang mulus. Kepalaku pening karena mual, tapi tidak ingin lepas Seharusnya aku cukup kuat untuk membunuh kuman cinta yang tidak berguna ini. Aku menciumnya. Aku tidak mau tahu, kuman cinta ini harus mampu menghidupi dan memberiku makan setiap hari. Oh, dan tentu saja membelikan gincu merah. Aku menciumnya sekali lagi dengan penuh hasrat. Oh, kumanmu ini sungguh tidak berguna! Kami bergumul hingga mentari mengintip malu-malu.

*** “Kamu cinta sama dia?” “Cinta setengah mati.” “Katanya kamu jijik sama wajah cacat dia?” “Iya jijik, tapi cinta setengah mati.”

*** Setiap malam, si bartender kurang ajar setia melayangkan tatapan yang sama ketika aku bernyanyi dan bergoyang di atas panggung. Hanya saja sekarang aku juga bernyanyi dan bergoyang untuknya. Beberapa waktu sekelompok lelaki pelenguh yang patah hati menatap nanar pada getaran tubuhku, memohon untuk dikasihani. Aku hanya menginginkan malam ber-

45

sama bartender kurang ajar. Selalu terbayang lenguhan pendeknya dan jeritan panjangku yang tidak pernah gagal memecah malam. Kala siang dan malam, hujan dan kemarau, aku menghabiskan hidup dengannya tanpa keluh dan tuntutan. “Kalau kamu ingin menghabiskan malam dengan yang lain aku tak mengapa.” Hatiku hancur seperti sedang dirajam. “Kenapa kamu bilang begitu?” Dia mengusap bekas lukanya yang berminyak karena peluh. Titik-titik keringat sebesar kacang tanah bermunculan di tengkuknya. “Kamu cantik seperti bidadari, dan itu tidak berlangsung selamanya. Sudah semestinya bidadari menikmati waktunya dengan dewa yang gagah.” Dia diam. “Ketika waktumu menjadi bidadari telah usai, kamu akan terus bersamaku sampai kita berdua habis dimakan usia.”

*** Bartender kurang ajar itu sudah tahu sejak awal. Sang dewa gagah menampakkan sosoknya pada hari berikutnya, ketika senja tengah bersiap mencumbu malam. Tubuhnya memendarkan cahaya oranye memabukkan. Aku mengejang dalam diam sampai melupakan kalimat yang kusenandungkan setiap hari, berharap mata tajam itu singgah

46

dan menelanjangi tubuhku. Seisi bar dibuat terpesona olehnya hingga menciptakan hening yang menggelitik. Lelaki dan perempuan menatap tanpa kedip. Konon, dewa gagah adalah putra seorang raja di negeri yang tidak mengenal istilah waktu dan kematian. Dia datang untuk membawa pulang seorang mempelai yang akan menyempurnakan keabadiannya. Bartender kurang ajar menatap dari balik meja bar dan kepulan asap rokok. Matanya tetap sama, dengan setitik rasa kehilangan di sana. Dadaku berdegup kencang, jauh lebih kencang dan tidak berirama daripada yang pertama kali. Aku menggelengkan kepala. Bukankah cinta hanya terjadi satu kali? Setidaknya itulah yang diajarkan dongeng picisan dengan akhir cerita bahagia. Aku sudah bahagia dengan si bartender kurang ajar, kenapa mesti berdetak tanpa aku suruh? Dasar organ bodoh! “Kamu jatuh cinta lagi.” ”Tapi aku sudah jatuh cinta, Dok ... waktu itu.” “Iya, tapi sekarang kamu jatuh cinta lagi.” “Tapi kenapa cinta yang sebelumnya tetap ada?” “Begitulah cinta.” Marah sekali dengan cinta. Aku meninggalkan rumah sakit yang sumpek beraroma orang mati dengan rasa penat yang tidak dapat kutahan. Barangkali 

Dari cerpen Seno Gumira Ajidarma: Hujan, Senja, dan Cinta (2001). Karakter bartender dan penyanyinya terinspirasi dari karakter di cerita pendek Seno Gumira Ajidarma: Lipstick, Atas Nama Malam (1999)

47

mereka semua tewas karena kelelahan harus jatuh cinta berkali-kali dalam kehidupan yang begitu singkat. Hanya dua kali, dan aku sudah seperti mayat hidup. Aku ingin sekali kembali ke rentetan malam yang cuma dipenuhi lenguhan.

*** “Kamu lebih cinta aku atau dia?” ”Kalian berdua.” ”Tidak boleh harus memilih.” ”Aku mau dua-duanya.”

*** Bartender kurang ajar berdiri diam di balik jendela berembun, sabar menunggu sang waktu merenggut so­ sok bidadari yang menyelimutiku. Aku menatap wajah buruknya penuh cinta dan kasih, lalu merangkul dewa gagah yang telah menghadiahiku keabadian. Jakarta, 23-24 Januari 2012.

48

Ulang Putra Perdana

49

A

kan kuceritakan kisah misteri paling pendek. Seseorang mengetuk pintu rumah manusia terakhir di dunia. Dia membuka mata dan terkejut ketika mendengar ketukan itu. “Ini tidak mungkin terjadi. Bukankah seharusnya aku berada di puncak gunung Everest, memakan supermi mentah yang kutemukan dalam perahu hanyut, ketika dunia banjir saat aku membuka amplop berisi senja yang dikirimkan Sukab melalui pos?” Namun ternyata, di sinilah dia berada: dalam sebuah rumah petak beratap bocor yang temboknya saja tidak dicat. Suara ketukan di pintunya itu masih saja menuntut perhatian, memperdengarkan suara ritmis ke telinganya. Dengan langkah digantungi jutaan rantai dan bola besi berbahan keraguan dan rasa takut, Alina mendekati pintu; satu-satunya bagian rumah yang dicat. Dia mengulurkan tangannya yang gemetar, memutar gagangnya, lalu membukanya. Seorang pria mengenakan jaket bertudung berdiri di hadapannya. Jantung Alina berlomba. Belum rampung keheranannya akan kenyataan bahwa kini dia berada di sebuah tempat yang sama sekali tidak dikenalnya, ditambah lagi kondisi bumi yang masih penuh dengan dataran kering, kini harus ditimpa oleh kehadiran seorang lelaki misterius. Sang laki-laki mengangkat kedua tangannya, menjangkau tepian kerudung jaketnya. Jantung Alina hampir memenangkan

50

lomba seraya dia melakukan itu, sebentar lagi akan loncat dari jeruji rerusuknya. Lelaki itu menyingkap kerudungnya. Ekspresi kaget bercampur ngeri mewarnai wajah Alina yang mulai digerogoti usia. Kini tampak jelas muka yang barusan ditutupi kerudung itu. Jelas wajah itu dikenalnya. Alina memagari mulut dengan jari-jarinya dan memekik. “Ka-kamu ... tidak mungkin!” seru Alina. Butuh usaha yang besar baginya untuk menyelesaikan kalimat itu. Beberapa patah kata barusan saja sudah membuatnya terengah-engah. Setelah menjauhkan tangan kiri dari dagunya, Alina melanjutkan kalimatnya, “Kamu ... Sarman?” Muka pria itu memang aneh. Sepotong trotoar tercekat di dahinya. Tapi justru itu yang membuat Alina mengenalinya. Ketika dia merespons pertanyaan Alina dengan anggukan, kepingan aspal kering yang telah mengelupas tergelincir dari permukaannya. “Tapi ... bagaimana mungkin?” Perlahan matanya menggerayangi penampilan lakilaki itu. Tangan kanannya adalah sebuah paving konblok yang dipenuhi gelandangan dan pedagang kaki lima, tak menyisakan ruang untuk pejalan kaki. Tangan kirinya petak bidang beton lebar dan luas yang dijaga sepasang satpam, dengan hiasan tegel marmer dan pembatas jalanan dari besi berpelitur yang dilingkari dua garis kuning di dekat ujungnya. Badannya

51

jalan raya penuh lubang akibat erosi, sisa banjir besar lima tahun lalu. Laki-laki itu mengulurkan tangannya, meminta Alina memegangnya. “Ikut denganku.” Alina melakukan apa yang akan dilakukan perempuan manapun yang didatangi orang asing yang tak dikenalnya. Sebab, meskipun dia tahu nama laki-laki itu, Alina hanya mengenalinya dari ciri-ciri yang dijabarkan sang juru cerita. Alina tidak mengenal Sarman secara langsung. Perempuan itu menepis tangannya. “Apa-apaan ini? Aku tidak mengerti mengapa semua ini bisa terjadi. Seharusnya aku tidak berada di rumah ini, dan seharusnya, aku adalah manusia terakhir di muka bumi.” Alina berhenti sejenak untuk melihat pemandangan di belakang Sarman. Rumahrumah di kejauhan, lapangan tanah dengan tiang gawang tempat beberapa anak bermain bola. Burungburung gereja beterbangan. Belum lagi gembel dan pengemis yang berserakan di tangan kanan Sarman. “Dan kamu! Kamu seharusnya ... kejadian di kantor itu .... Kamu melompat dari jendela, lalu ... lalu ....”

52

Sarman menghirup segala rasa di sekelilingnya dalam-dalam, termasuk semua emosi yang ditumpahkan Alina kepadanya, lalu bicara. “Juru cerita menceritakan segalanya kembali dari awal.” Alina tertegun. Tentu saja dia tidak menerima jawaban itu bulat-bulat. “Jawaban macam apa itu? Kalaupun sejarah ditulis ulang, semua peristiwa itu telah terjadi. Menceritakan kembali dari awal tidak mengembalikan segalanya seperti sediakala. Suamiku tetap tiada! Anakku tetap tiada!” Air mata terbit dari sudut mata Alina. “Semua telah terjadi!” isaknya lirih. Lagi-lagi lelaki itu mengulurkan tangannya, meminta Alina memegangnya. “Ikut denganku,” ulangnya. Sambil megap-megap mengisi paru-parunya dengan udara untuk menenangkan diri, Alina mengusap air mata yang telah berlinang dengan punggung tangannya. Kini dia sudah tidak tersedan. Setelah pikirannya sedikit lebih jernih dari kabut ketidaktahuan, Alina menyerap kembali segala informasi dan berusaha menganalisa situasi. Dirinya masih sendiri, hanya berpindah tempat, artinya suami dan anaknya yang tewas ditelan banjir tetap tidak kembali. Sarman pun masih menyisakan sepotong trotoar di dahinya, dia memang

53

telah melompat. Memang semua peristiwa telah terjadi, namun lingkungan di sekelilingnya menyuratkan bahwa dunia belum berakhir, bahwa dia bukanlah manusia terakhir di bumi. Hal itu masih menjadi pertanyaan besar di benaknya. Laki-laki yang berdiri di hadapannya ini merupakan satu-satunya harapan untuk mendapatkan jawaban. Alina memutuskan untuk ikut dengan Sarman, walau dia ragu apakah dia ingin memegang tangan kanannya atau tangan kirinya. Apakah dia ingin melewati trotoar yang penuh sesak dengan jiwa-jiwa pengadu nasib, atau trotoar megah yang dijaga satpam agar tak seorang pun boleh lewat? Yang pasti, tanpa kendaraan dia tidak boleh lewat jalan raya. Perlahan Alina melepaskan diri dan keluar dari balik ambang pintu, tapi tetap tidak memegang tangan Sarman. “Mau kau bawa kemana aku?” tanya Alina defensif. “Menemui juru cerita,” jawab sang lelaki. Sebuah ledakan kecil terasa di dalam dada Alina, tepatnya di rongga antara rusuk dan jantungnya. Sepertinya benar, Sarman adalah jalan menuju jawaban yang dicarinya. Ikut dengannya merupakan keputusan yang tepat. “Apakah itu alasan mengapa kau datang kemari?” Laki-laki itu diam saja. Jidat Alina berkerut. Mereka berdua keluar dari halaman rumah petak sangat sederhana itu dan mulai menapaki jalan di

54

depannya. Jalan itu becek, penuh dengan genangan air. Sepertinya banjir besar memang benar-benar terjadi. Mereka berdua melewati sebuah gedung besar, gedung yang dikenali Alina sebagai kantor pos. Di depannya duduk seorang pria separuh baya. Alina mengenalinya sebagai pak pos yang mengantarkan amplop berisi senja dari Sukab. Dia sedang duduk di tangga menuju pintu masuk, memegang topi pak pos­ nya di tangan kiri dan menggaruk-garuk bagian belakang kepalanya dengan tangan kanan, sesekali menggeleng-gelengkan kepalanya masygul. Wajahnya tampak sendu, seperti habis kehilangan pekerjaan. Mungkin juga memang itu yang terjadi, karena adalah kesalahannya untuk tidak memeriksa isinya terlebih dahulu. Tapi itu juga tidak penting sekarang, karena kalaupun dia memeriksa isinya, apa yang terjadi kemudian tetap tak terhindarkan. Tidak mungkin tidak jika amplop itu dibuka maka kehancuran tetap melanda. Alina dan Sarman mendaki bukit kecil. Merasakan beceknya rerumputan yang mereka pijak, daki-daki endapan dengki dan keangkuhan manusia yang terhapus ketika banjir melanda kini terserap kembali oleh telapak kaki Alina melalui celah di sela sandalnya. Basah nan pekat, dingin dan licin. Banjir itu mungkin adalah satu-satunya yang dapat mencuci bersih penyakit manusia. Iri dan kecemburuan yang tergambar jelas di tangan kanan Sukab, atau kesombongan dan apatisme yang terlukis gamblang di tangan kirinya. Dari punggung bukit itu mereka dapat melihat pe-

55

mandangan gunung-gunung kapur yang telah banyak keropos akibat erosi dari air bah yang meluap dari dalam amlop berisi senja. Lagi-lagi Alina teringat akan si bodoh Sukab yang mengiriminya senja. “Masih jauh?” tanya Alina. Sarman terlalu sibuk menye­imbangkan antara trotoar kumuh yang sempit dan penuh sesak di tangan kanannya, dengan trotoar lowong dan lengang yang megah di tangan kirinya. Setiap sesekali air di genangan dalam lubang di badannya tumpah keluar. Alina menelan kembali pertanyaannya. Bukit yang dijajaki kedua insan itu membawa mereka semakin tinggi. Kini mereka bisa melihat sebuah kota kecil di sisi yang berlawanan dengan pegunungan kapur. Kota kecil itu terlihat ramai dan begitu hidup, seolah kiamat berupa tumpah ruahnya air bah yang menenggelamkan dunia hingga sebatas puncak gunung Himalaya itu tidak pernah terjadi. Jika benar peristiwa yang terjadi di alam semesta ini disebabkan oleh juru cerita yang menceritakan segalanya kembali dari awal, berarti pengaruhnya hanya parsial. Tidak segalanya kembali seperti sediakala.

56

Di ujung jalan setapak yang mereka lalui, terdapat sebuah danau besar. Di tengahnya, sebuah pulau yang hijau nan indah. Sebuah perahu kecil tertambat di tiang pancang tak jauh dari tempat mereka berdiri. Sarman menarik talinya agar perahu tersebut mendekat, lalu membantu Alina menaikinya. Rasa jijik jelas tergambar di wajahnya ketika melihat banyaknya bungkus supermi kosong di lantai perahu tersebut. Be­berapa bahkan menjadi tenda tempat tinggal kecoa. “Kita akan ke sana?” tanya Alina sembari menunjuk ke pulau tersebut. Sarman hanya mengangguk. Dia melanjutkan membuka ikatan talinya ketika mereka berdua telah berada di atas perahu, kemudian mulai mengayuh dengan dayung kayu yang tergeletak di dalamnya. Mereka melalui bagian danau yang airnya berwarna beda; cokelat kental dan berbuih, persis seperti capuccino. Anehnya lagi, permukaannya memantulkan bayangan rembulan, padahal langit terang benderang dan cerah, sama sekali tak menampakkan rembulan. Keisengan mulai merayapi tengkuk Alina. “Perjalanannya masih jauh juga,” pikirnya. Dia mencelupkan tangannya di air coklat itu lalu mengecapnya. “Rasanya ....” Betapa terkejutnya Alina ketika menyadari kalau air itu rasa capuccino.

57

Belum hilang isengnya dengan melakukan itu, Alina mengambil pasangan dayung yang tergeletak di lantai perahu. Sedari tadi, Sarman hanya mengayuh menggunakan satu dayung. Alina mengaduk danau rasa rasa capuccino yang terdapat bayangan rembulannya. Alih-alih mengaduknya, Alina malah menyodoknya, dan menemukan kalau itu ternyata bukanlah bayangan, tetapi benar-benar rembulan yang mengapung di permukaan danau. Sontak Alina kaget. Dengan suara “Ah!” Alina melepaskan dayung itu seketika. Terempaslah ke air, mengambang begitu saja di permukaan danau. Jeritan kecilnya mengundang perhatian Sarman, yang kemudian hanya menggeleng pelan melihat ulahnya. Alina tersenyum kecut. Menjelang senja, keduanya tiba di sebuah dermaga kecil di salah satu sisi pulau hijau itu. Sarman menambatkan perahu dan mengikat talinya ke salah satu tiang pancang sebelum membantu Alina turun. “Awas kepalamu,” Sarman memperingatkan seraya mereka memasuki lorong tanaman berdinding bambu beratap ilalang dan randu. Lorong tersebut seolah sebuah gerbang menuju dunia lain, karena di ujung lainnya, hari begitu gelap seperti sudah malam. Sama sekali tak tampak sisa keberadaan senja barusan, sedangkan mereka hanya berjalan beberapa menit melewati lorong tanaman itu. Mereka kini berada di sebuah padang rumput yang dinaungi langit berbintang. Sebuah bukit kecil berben-

58

tuk kubah berdiri tak jauh dari tempat mereka berada. Di tengah bukit tersebut terdapat sebuah gua, cahaya kuning kemerahan menari-nari di dalamnya. “Juru cerita ada di dalam,” jelas Sarman. Alina berhenti melangkah. Tangannya menarik sebelah tangan Sarman hingga dia terpaksa berhenti berjalan. “Kenapa kamu membawaku ke sini?” Kedua alis Sarman tampak merata. Potongan trotoar di dahinya merosot turun seolah akan jatuh ketika dia melakukan ini. “Aku bukan membawamu. Aku memang bertujuan kemari, hanya kupikir kau juga ingin ikut.” “Oh ya? Memangnya mau apa kau menemui sang juru cerita?” Alina mengangkat sebelah alisnya. “Aku mau mengajukan pertanyaan,” jawab Sarman sambil berbalik dan melanjutkan langkahnya. Butuh beberapa saat bagi Alina untuk menyerap dan mencerna jawaban barusan, sebelum mengejar Sarman yang sudah beberapa langkah di depannya. Mereka akhirnya tiba di mulut gua. Sarman berhenti berjalan dan menepi, memberikan ruang bagi Alina untuk lewat. “Dia ada di dalam.” “Kamu ... tidak masuk?” tanya Alina curiga. “Nanti, waktuku belum tiba.” Dengan langkah ragu, Alina melewati ambang gua. Tungkainya gemetar, merambat ke tulang kering, tertahan oleh tulang rawan di dengkulnya. Kakinya terasa seperti terbuat dari tanah liat. Sebuah tirai dari

59

temali yang menjalin serangkaian kerang berwarna merah dan jingga mengadang Alina, memaksa untuk disibakkan. Cahaya menari itu berasal dari balik tirai. Sesosok laki-laki berdiri dalam keremangan gua, menghalangi cahaya dari beberapa lilin besar yang menyala di belakangnya, menciptakan sebuah siluet dengan bayangan yang lebih panjang dari sosok itu sendiri. “Juru cerita?” Siluet itu tidak bergerak. Alina melangkah lebih dekat. Sosok itu seperti hendak mundur untuk mencegah Alina melihat wajahnya dari dekat, namun menyadari tidak ada ruangan di belakangnya, dia mengurungkan niat. Malah, dia melipir sedikit ke sisi kanan Alina. Tampaklah muka itu. Muka yang lekat tersalin dalam benak Alina, tak mungkin dilupa. “Sukab?” Sepasang mata—yang berusaha memberontak dari kegelapan yang menyelimuti wajah itu—mendelik, mengatakan jawaban yang jelas tak terucap kepada wanita cantik yang kini berdiri di hadapannya.

60

“Kamu ... si juru cerita?” Sukab mengangguk dengan gerakan mikroskopis yang hanya tertangkap oleh mata Alina yang telah mengenal betul gestur dan gerak-geriknya. Begitu lambat. “Apa artinya ini?” Sukab menghentikan kata-kata Alina dengan mengangkat telapak tangan kanannya. Dia mengerti betul perempuan itu hanya menginginkan jawaban, sebagaimana yang diinginkan oleh semua perempuan. Otak laki-laki dan perempuan dirancang berbeda. Laki-laki dapat mengosongkan pikirannya selama 15 menit, tanpa ada satu hal pun yang dipikirkan. Perempuan tidak bisa seperti itu, mereka selalu memikirkan sesuatu. Oleh karena itulah terjadi friksi antara perempuan—yang menganggap bahwa dalam benak sang pria ada sesuatu—dengan sang pria yang memang pikirannya kosong. Bagi pria, terkadang pertanyaan yang tak terjawab itu lebih baik dibiarkan sebuah misteri. Bagi perempuan, segalanya harus ada jawab-

61

annya. Tapi memang itulah yang akan diberikan Sukab kepada perempuan itu. Jawaban. Jawaban atas segalanya, itu yang dicari oleh Alina. Mengapa Sukab mengiriminya sepotong senja, mengapa Sarman melompat dari jendela kantornya, mengapa perempuan itu memesan rembulan dalam capuccino dan tak diminumnya, mengapa Sukab selalu berharap Alina akan menerima cintanya. Semua itu memang sudah merupakan rencananya sebagai sang juru cerita. Dia bercerita untuk memancing munculnya tanda tanya di akhir paragraf. Sukab pun menarik napas dan bersiap membuka mulutnya. “Akan kuceritakan kisah misteri paling pendek di dunia. Manusia terakhir di dunia ... mendapat ketukan di pintunya.” []

62

Akulah Pendukungmu* Sundea

*

dibacanya harus dinyanyiin. Itu bagian dari lagu “Garuda Pancasila”

Garuda pancasila Akulah pendukungmu. Patriot proklamasi Sedia berkorban untukmu. Pancasila dasar negara Rakyat adil makmur sentosa. Pribadi bangsaku Ayo maju maju. Ayo maju maju. Ayo maju maju

64



Selamat tanggal satu Oktober, Pancasila. Ini hari kesaktianmu,” sapa foto presiden yang masih Soeharto di dinding kelas. Saat itu tanggal 1 Oktober. Detik jam baru saja bergeser dari pukul dua belas tepat tengah malam. Garuda Pancasila menggeliat. Leher dan sayapnya pegal-pegal. Tuntutan profesi membuatnya harus menengok ke kanan dan merentang sepanjang tahun. “Mau kau gunakan bagaimana kesaktianmu kali ini? Berubah jadi Gatotkaca? Superman? Atau ... Barry Prima?” tanya foto wakil presiden yang masih Tri Sutrisno. Garuda Pancasila menoleh ke kiri. “Tidak satu pun,” sahutnya. Ia lalu terbang-terbang melemaskan otot, mengelilingi ruang kelas, dan bertengger di atas globe. “Tahun lalu kamu pulang ke desamu. Sekarang kau mau pulang lagi?” tanya foto Tri Sutrisno lagi. “Tidak. Aku ingin di sini saja tahun ini,” sahut Garuda Pancasila. Tahun sebelumnya, ia memanfaatkan kesaktiannya untuk menjadi bendungan. Desanya hampir saja kebanjiran karena ibunya terus menerus menangis dan air liur ayahnya terus menerus menetes. Baiklah. Sebelum bercerita lebih banyak, sebaiknya saya ceritakan dulu asal usul Garuda Pancasila yang bertengger di dinding kelas ini. Di masa yang lalu, Garuda Pancasila adalah se­ orang pemuda tampan bersayap bernama Joko Swiwi.

65

Ibunya kembang desa bernama Poniyem, sementara ayahnya ... nah, ini yang agak tidak jelas. Konon ayah Joko Swiwi adalah makhluk bersayap dan bercahaya yang masuk ke dalam mimpi-mimpi Poniyem. Lalu siapa laki-laki yang dipanggilnya ayah itu? Entahlah. Dia adalah pria tanpa nama yang selalu mengeluarkan air liur, mengarit, dan memberi makan sapi-sapi di desa mereka. Ketika Poniyem yang baru pulang dari luar negeri hamil tujuh bulan, masyarakat desa menikahkan Poniyem dengan laki-laki itu. Resmilah dia menjadi ayah Joko Swiwi. Joko Swiwi tumbuh menjadi anak yang baik dan berbudi. Dia periang dan mudah tertawa. Dia rajin di sekolah maupun di rumah. Tak hanya itu, dia sangat santun. Tak pernah sekali pun dia mengintip gadisgadis yang sedang mandi. Namun, hidup kerap bersikap tak adil pada yang berbeda. Ketika sebuah wabah melanda desa, tanpa alasan dan bukti yang jelas Joko Swiwi disalahkan. Sejak saat itu Poniyem terus menangis hingga membatu. Laki-laki tanpa nama yang dipanggil ayah oleh Joko Swiwi pun membatu sambil terus meneteskan air liur. Air mata dan air liur mereka bertemu dan menjadi sungai. Joko Swiwi sendiri dihukum dan diusir dari desa. Hal yang tidak banyak diketahui adalah bahwa Joko Swiwi tak dapat mati. Jika iblis tak pernah mati, maka malaikat yang mengimbanginya juga tak boleh mati.

66

Maka berpindahlah esensi Joko Swiwi ke tubuh Garuda Pancasila yang juga bersayap, tinggal di kelas Bu Tati untuk menjadi lambang negara yang dibanggakan. Setiap hari ia memperhatikan anak-anak di dalam kelas dan mendengar Bu Tati sekali-sekali bercerita tentang riwayatnya, baik sebagai Joko Swiwi maupun sebagai Garuda Pancasila. Ia menyukai kegembiraan dan kemerdekaan anak-anak di kelas Bu Tati yang memancar tak habis-habis. “Tadi siang cerita Joko Swiwi dijadiken soal ulangan,” kata foto presiden. “Ya. Aku tahu. Cuma satu soal: ‘Kenapa sungai di desa Joko Swiwi disebut Sungai Air Mata padahal sumber airnya bukan hanya air mata tapi juga air liur?’” sahut Garuda Pancasila. “Jawabannya apa?” tanya foto wakil presiden. “Aku juga tidak tahu,” sahut Garuda Pancasila. Ia jadi ingin tertawa. Sebetulnya tak semua pertanyaan harus ada jawabannya. Tapi ketika dijadikan soal ulangan, mau tak mau pertanyaan itu harus ada jawabannya. “Sandra bingung sekali waktu dikasihken soal begitu. Lha wong dia tanya kok pertanyaannya malah dijadiken soal ulangan,” kata foto presiden lagi. Garuda Pancasila terkesiap. Sandra.

*** Di antara empat puluh murid di kelas Bu Tati, Sandra adalah murid yang tampak jauh dari merdeka. Melalui

67

gosip ibu-ibu, Garuda Pancasila tahu Sandra dan Joko Swiwi mempunyai beberapa persamaan. Sandra tinggal bersama ibunya. Sandra tak pernah tahu siapa ayahnya. Ibu Joko Swiwi mengandung ketika sedang bekerja sebagai TKI di luar negeri, sementara Ibu Sandra mengandung ketika sedang bekerja juga sebagai ... pelacur. Ibu-ibu yang bergunjing sering menghakimi Sandra dan ibunya dengan cara yang paling kejam. Garuda Pancasila tak suka mendengarnya. Sandra dan ibunya hanya perlu dinilai dengan satuan ukuran yang lain, sama seperti Joko Swiwi dan Poniyem. Sandra manis dan pendiam. Dia selalu datang ke sekolah sendirian dan jarang bermain keluar kelas ketika istirahat. Dia sering terkantuk-kantuk di tengah jam pelajaran, karenanya sering dihukum oleh guruguru. Garuda Pancasila jadi ingat pengalamannya menjadi Joko Swiwi, dihukum karena alasan yang tidak jelas. Menurutnya Sandra tidak layak dihukum karena mengantuk. Anak seperti dia – anak yang berbeda – seharusnya dipahami dan diperlakukan dengan cara yang berbeda juga. Kadang-kadang Garuda Pancasila mendapati Sandra menangis karena kelelahan melawan arus. Garuda Pancasila jauh lebih beruntung daripada Sandra. Saat menjadi Joko Swiwi, ia yang bersayap dapat terbang ke angkasa untuk bersembunyi. Sementara Sandra, dia tak dapat terbang ke mana-mana.

68

69

Kemerdekaan dan keceriaan anak-anak di kelas Bu Tati memesona Garuda Pancasila. Namun ternyata keceriaan yang merdeka tak mutlak dimiliki oleh semua anak. “Garuda Pancasila, kenapa kamu jadi diam saja?” tegur foto wakil presiden. “Eh ... tidak apa-apa,” sahut Garuda Pancasila. “Kataken, tahun ini kesaktianmu akan kau manfaatken menjadi apa,” ujar foto presiden ingin tahu. “Rahasia. Lihat besok pagi ketika upacara, ya ....”

*** Jarum jam bergeser tekun dan perlahan. Akhirnya pukul tujuh tiba. Bel sekolah berbunyi dan BUFFFF ... Pancasila yang pada tanggal itu menjadi sakti berubah wujud. Murid-murid SD berjajar di lapangan, melakukan upacara bendera dalam rangka Hari Kesaktian Pancasila. Pagi itu matahari bersinar terik, anak-anak bertahan melawan panas dan naluri bermain mereka yang tinggi. Tiba-tiba seekor burung kecil berkicau. Warnanya merah, putih, kuning, hijau, dan matanya cerlang seperti bintang. Ia terbang di area lapangan, mampir di pagar, berhenti di paving block, lalu mematuki sisa nasi uduk yang bercecer di sana. Anak-anak yang perhatiannya mudah teralih menoleh. Lupa pada amanat pembina upacara yang sedang disampaikan. “Lihat, burung itu lucu sekali, ya ....”

70

“Iya, moga-moga pas kita istirahat dia masih ada, biar bisa kita ajak main ....” “Anak-anak!” suara pembina upacara tegas berwibawa. Anak-anak mengembalikan pandangannya ke depan. “Kita harus menjaga sikap kita dalam hormat. Bertahun-tahun yang lalu, tepat pada tanggal ini, Pancasila berhasil menunjukkan kesaktiannya,” kata sang pembina upacara. Anak-anak yang telah mendengar kisah ini berkalikali memperhatikan dengan setengah hati. Mata mereka menatap lurus ke depan, tapi pikiran mereka tidak berputar ke mana-mana. Hari itu Garuda Pancasila menggunakan kesaktiannya untuk menjadi burung kecil yang lucu. Sepanjang tahun ia berhadapan dengan anak-anak SD dan jatuh cinta pada kemerdekaan mereka. Khusus di hari kesaktiannya, ia ingin anak-anak memandangnya sebagai teman bermain, bukan sekadar lambang negara yang tergantung dingin di dinding. Sementara upacara berlangsung, ia mencari-cari Sandra. Ia ingin sekali menyapa Sandra. Jika Sandra tidak bermain keluar lagi pada jam istirahat nanti, Garuda Pancasila bertekad menemaninya, membuatnya sekali-sekali tersenyum merdeka seperti teman-temannya __ anak-anak seharusnya. Namun, pagi itu Sandra tidak ada di lapangan.

71

Garuda Pancasila jadi tak peduli lagi pada anakanak lain. Tidak seperti Sandra, anak-anak lain cukup sakti untuk menyentuh kebahagiaan kapan saja. Jadi Garuda Pancasila memutuskan untuk terbang mencari Sandra. Hari itu, sebelum harus kembali tergantung di dinding kelas, ia bertekad membuat Sandra senang. Di mana ia harus mencari Sandra? Dunia begitu luas dan perayaan Kesaktian Pancasila hanya satu hari. Walau begitu Garuda Pancasila tidak menyerah. Tak kenal lelah ia terbang memintas apa saja, melintas mana saja. Ia berusaha percaya bahwa hidup adalah sekumpulan misteri dan rahasia dengan kesaktiannya sendiri. Waktu adalah pesaing yang tidak kenal ampun. Ia tak mau bertoleransi sedikit pun dengan Garuda Pancasila. Waktu mengepakkan sayapnya cepat-cepat dan mengindikasikan pergerakannya melalui langit yang semakin lama semakin berang. Pagi sudah berlalu. Garuda Pancasila melirik matahari yang semakin lama semakin tinggi sambil bertanya ragu di dalam hati, “Apakah hari ini aku berhasil menemukan Sandra?” “Sandra masih memandang ke luar jendela. Ada langit yang biru di luar sana. Seekor burung terbang dengan kepakan sayap yang anggun ...” ** Bandung, 19 Januari 2012 **

kutipan dari cerpen “Pelajaran Mengarang”. Merespon cerpen “Joko Swiwi” dan “Pelajaran Mengarang”.

72

E M P A T M A N U S

I Faizal Reza 73

A

Satu “CANTIK. Tapi ini tidak seperti senyumku,” kata Yani sambil memandangi lukisan dari Purba. Ada gambar perempuan cantik berlatar belakang jendela dengan hamparan senja indah di atas lukisan itu. Dia merasa seperti sedang berada di Negeri Senja. Negeri tempat matahari tak pernah terbenam. Selalu berdiam di cakrawala dan menyemburatkan kilau jingga ke­emasan yang seindah-indahnya. Yani senang berada di sana. Namun, entah kenapa dia juga merasa ganjil dengan senyum perempuan dalam lukisan itu. “Kamu pasti meminta pelukisnya mengganti senyumku dengan senyum perempuan lain,” cetus Yani iseng. Matanya beralih dari lukisan ke sosok Purba yang baru selesai berpakaian dan berjalan mendekat ke arah jendela. “Anggap saja itu kado pernikahan,” ucap Purba tanpa menoleh. “Aku tak mungkin datang ke acaramu.” “Apa yang kamu takutkan?” “Takut? Tidak.” Purba menggeleng. “Aku hanya jengah dengan pandangan aneh orang-orang nantinya.” “Takut suamiku menghajarmu di tempat?” “Seharusnya aku yang menghajar dia di tempat.” “Kalian sama gilanya!” “Ya.” Purba mengangguk. “Dan aku masih tak percaya kamu akhirnya menikahi dia.”

74

“Alasan yang sama dengan kamu menikahi perempuan itu kan?” “Oh, ayolah.” Purba membalikkan badannya, mendekat ke sofa lalu duduk di samping Yani, “Itu tidak sama.” “Dulu kita saling menemukan, lalu saling meninggalkan. Apanya yang tidak sama?” “Aku tak pernah mencintai dia. Aku terjebak. Setelah semua urusanku selesai, aku akan menceraikan dia, lalu menikahi kamu.” “Tidak adil buatku dong.” “Tidak adil bagaimana?” “Kalau kita masih harus sama-sama menunggu, kenapa aku harus menunggumu sendirian sementara kamu menungguku bersama orang lain?” Purba terdiam. Jelas sekali dia sedang tak ingin berdebat dengan perempuan yang sangat dicintainya itu. Matanya kembali menatap lurus ke jendela dengan pemandangan senja yang sedang muram dan tak seperti biasanya. Yani mengambil sesuatu dari dalam tasnya di lantai. Secarik kertas bergambar janin yang belum berwujud itu disodorkannya ke tangan Purba. “Jadi kita akan menamainya siapa?” Purba kembali terdiam.

75

Dua “AKU bahkan bisa menceritakan lagi semuanya,” ujar Yani sambil tersenyum geli. Tangannya mengusap lembut wajah murung Hendar yang duduk di depannya. Kedai kopi itu tampak sepi. Selain mereka, hanya ada dua orang lagi yang duduk di sana. Dari jendela terlihat hujan yang tinggal menyisakan rintik-rintik. Beberapa pengendara motor yang berteduh tampak bersiap kembali melanjutkan perjalanannya. “Tentang laki-laki dari masa depan yang datang ke masa lalu untuk meyakinkan calon istrinya,” Yani memulai ceritanya. “Laki-laki itu datang saat senja yang cerah. Dia menghampiri seorang perempuan yang duduk sendirian di kedai kopi. Awalnya perempuan itu tidak mengacuhkan kehadirannya. Tapi setelah melihat senyumnya yang ramah dan sorot matanya yang hangat, akhirnya perempuan itu membiarkan si laki-laki duduk di sebelahnya, dan bercerita tentang mesin waktu itu.” Hendar tersenyum dalam hati. Tak terhitung sudah berapa kali dia menceritakan dongeng mesin waktu itu pada Yani. Tentang laki-laki dari masa depan itu. Ada banyak cerita yang sudah dia tulis. Tapi entah kenapa cerita inilah yang paling sering dibicarakannya bersama Yani. Baik dia maupun Yani mungkin sudah hafal di luar kepala dengan percakapan laki-laki dan perempuan dalam cerita itu. “Kelak di masa depan akan ada mesin waktu.”

76

“Apa gunanya?” “Menelusuri masa lalu, meminta maaf pada orangorang yang pernah kau sakiti. Atau mendatangi lagi cinta yang telah pergi.” “Tak bisakah kita melihat masa depan?” “Tidak bisa. Mesin waktu hanya bisa berjalan mundur.” “Kenapa?” “Masa depan biar tetap menjadi misteri. Tak ada yang tahu kapan kita mati kan? Bisa saja di zaman itu kita sudah mati. Nama kita sudah jadi nama pasar, nama jalan, nama gedung, atau nama bangunan bersejarah lainnya. Bisa juga kita sudah diabadikan dalam sewujud patung.” “Tapi masa lalu lebih tidak penting lagi untuk dilihat.” “Kenapa?” “Terlalu sering menengok ke belakang akan membuatmu sulit maju. Bahkan kaca spion pun dibuat lebih kecil dari kaca depan kan?” “Hahaha ....” “Tapi kamu belum juga mengerti. Kamu masih saja tak bisa memaafkan masa lalu. Kamu hidup di duniamu sendiri. Dunia penuh drama yang kamu buat sendiri. Kapan kamu sadar?” keluh Hendar. “Aku suka kalau kamu cemburu,” goda Yani. Tampaknya dia tak terpengaruh oleh perkataan Hendar. Sekarang Hendar yang tersenyum kecut. Dia dibakar cemburu, itu sudah pasti. Karena dia mencintai Yani,

77

itu juga sudah pasti. Bukankah cemburu selalu datang menyertai cinta yang teramat sangat? Dari informasi seseorang Hendar men­dengar bahwa Yani terlihat beberapa kali bersama pria asing di sebuah restoran saat jam makan siang. Orang yang lain bahkan mengatakan kalau pernah melihat Yani dan pria asing itu di pelataran sebuah hotel. Hendar sudah lelah mempermasalahkan semua itu. Hendar tahu kalau pria itu adalah mantan pacar Yani. Orang yang menyakiti Yani bertahun lalu dan meninggalkan Yani demi bersama perempuan lain. Sosok yang sampai sekarang mungkin masih berdiam di hati Yani.

78

Pada akhirnya Hendar memilih diam. Dia sudah sering menanyakan itu kepada Yani. Dan entah bagaimana caranya Yani selalu berhasil meyakinkan bahwa semuanya, bahwa hubungan mereka akan baik-baik saja. Hubungannya dengan sang mantan tak lebih dari sebatas hubungan rekan kerja. Benarbenar alasan mengada-ada. Tapi toh Hendar memilih berusaha percaya. Terdengar bodoh bagi sebagian besar orang memang. Tapi bukankah dalam cinta seringkali terjadi hal-hal di luar logika? Mungkin ini adalah salah satunya. Hendar tetap yakin pada kata hatinya. Bahwa Yani, perempuan yang sudah dipacarinya dua tahun dan bulan depan akan dinikahinya itu adalah pasangan terbaik untuknya.

79

Tiga HENDAR mematikan alarm di handphonenya. “Aku pulang sekarang,” bisiknya pada perempuan yang berbaring di sampingnya. Dari jendela apartemen lantai 18 kota terlihat gemerlap ditangkup gelap yang pekat. Susan, pemilik wajah cantik dan tubuh indah itu menggeleng manja. Pelukannya justru bertambah erat. Hendar menghela napas panjang. Lalu mengusap lembut rambut Susan dengan jari-jarinya. “Kamu sendiri yang tadi memintaku pulang jam sembilan.” “Jam sembilan waktu Indonesia bagian tengah,” rengek Susan. “Aku ingin memelukmu satu jam lagi.” Hendar tersenyum. “Aku masih kangen kamu,” bisik Susan. “Kenapa kamu selalu menawar rindu di saat yang tidak tepat?” “Sejak kapan kangen mengenal waktu?” Hendar kembali tersenyum. Dia lebih suka memakai kata rindu daripada kangen. Sedangkan Susan justru sebaliknya. Bagi Hendar rindu terdengar lebih romantis, tapi menurut Susan kangen terdengar lebih jujur dan tidak dibuat-buat. Entah mana pendapat yang lebih benar. Dia dan Susan memang punya cukup banyak perbedaan-perbedaan sepele namun unik jika dibahas. Selera akan pilihan minuman misalnya. Hendar menyukai minuman dingin, sementara Susan lebih suka minuman panas atau hangat. Perbedaan-

80

perbedaan itu tak jarang membuat mereka betah menghabiskan waktu berjam-jam hanya untuk membahasnya. “Kita sudah bersama sejak sore tadi,” ucap Hendar. “Masa belum cukup?” “Aku pikir, aku kecanduan kamu.” Hendar pasrah saat Susan kembali berbaring di atas tubuhnya. Dari iPod yang tergeletak di lantai, suara Ruth Sahanaya terdengar mengalun memenuhi ruangan. Aku cinta kepadamu ... aku rindu di pelukmu ... Namun ku keliru ... telah membunuh cinta dia dan dirimu ....

81

Empat MATAHARI sudah bersinar sepenggalah saat Susan memasuki ruang kerja Purba membawa secangkir kopi. Ini bukan kali pertama Purba tertidur di sini. Belakangan pekerjaan suaminya itu memang cukup menguras waktu dan pikiran. Purba selalu berangkat saat jam makan siang, menemui produser yang akan membiayai debut film layar lebarnya. Biasanya Purba baru pulang ke rumah menjelang pukul 10 malam. Setelah itu dia akan kembali meneruskan pekerjaan hariannya; menulis naskah serial TV kejar tayang itu. Sampai menjelang adzan subuh dan langit mulai merah, barulah Purba akan menghentikan pekerjaannya. “Mas...,” bisik Susan sambil mengusap lembut wajah Purba. “Kamu ada janji meeting sebentar lagi.” Purba hanya menggeleng malas. Lalu membalikkan badannya. Susan lantas memandangi gambargambar di kartu pos yang berserakan di sekitar tubuh Purba. Purba pernah bercerita bahwa kartu pos-kartu pos itu adalah sumber inspirasinya. Ada gambar salah satu sudut di kota tua, siluet menara jam dengan burung-burung yang melintasi langit jingga, dua sepeda berjajar di tepi danau, deretan kafe payung dengan warna keemasan, dermaga dan beberapa yacht tertambat, air mancur dikelilingi patung-patung malaikat kecil bersayap, dan gambar seorang perempuan cantik dengan latar belakang jendela dan matahari terbenam. Sungguh tempat-tempat itu tampak lebih indah di atas

82

kartu pos. Susan bisa memahami kenapa bahkan se­ orang pengarang bisa sangat terobsesi pada senja dan ingin memotongnya menjadi kartu pos buat pacarnya. Susan meletakkan cangkir kopi tubruk itu di meja kerja Purba, mencium lembut kening suaminya, kemudian meninggalkan Purba yang tetap tertidur dan menutup pintu ruangan itu perlahan. Berkilometer jauhnya dari rumah mungil itu, suara tepuk tengan, senyum bahagia dan tangis haru memenuhi ruangan gereja kecil di salah satu sudut Jakarta. Wajah-wajah itu menjadi saksi dua anak manusia yang baru saja mengikat janji sehidup semati. Yani dan Hendar. Harmoni, 18 Januari *

Terinspirasi dari ‘Empat Adegan Ranjang’

83

84

Saputangan Merah Utami Diah Kusumawati

85

10.10 Ketika pertama kali membuka kedua mata, rasa malas itu masih ada. Berat dan mengukung seperti tali yang diikatkan kencang pada tubuhnya. Ia menarik napas panjang seolah-olah kegiatan tersebut bisa menyuntikkan kekuatan untuk berdiri dari tidur. Tetapi, tidak ada yang terjadi. Tubuhnya masih telungkup seperti bintang laut merebahkan diri di atas pasir. Ia sadar sudah saatnya bangun sebab sekali ia membiarkan rasa malas itu menguasai, ia akan menjadi sulit untuk dilepaskan. Seharian ia bisabisa hanya berbaring. Lantai terasa seperti udara malam hari di lereng gunung di pipi, membangunkan rasa lapar yang ikut juga tertidur pulas. Semalam, belum sempat meletakkan sehelai kasur di atas lantai kamar ia sudah terburu terlelap. Malam tadi masih sama seperti malam-malam panjang lainnya dengan kegiatan rutin latihan teater hingga tengah malam. Usai latihan yang biasanya diakhiri pukul dua belas, ia akan menulis naskah di kamar sebelum mengizinkan diri tertidur. Tetapi, semalam hujan turun deras. Usai merokok di luar kamar, mengamati rasa dingin pelanpelan menjadi sahabat serta berpikir sesuatu, ia masuk ke kamar dan kalah oleh kuasa dingin yang menjadi di saat hujan turun. Ia tertidur di atas lantai. Kini, ia terbangun empat jam sebelum memulai latihan teater. Biasanya ia akan berdiri dengan cepat

86

usai membuka mata, terlebih saat menyadari matahari sudah naik nyaris di atas kepalanya. Lalu, ia akan melakukan olah tubuh dan pemanasan, merentangkan kedua tangan, menekuk tubuh, menggoyangkan kepala, merasakan seluruh otot tubuh tertarik dan darah mengalir lancar di tubuh mengusir rasa malas dan menyumbangkan kesegaran. Sementara, setibanya di tempat latihan, ia akan mengkordinir teman-teman teater untuk melakukan pemanasan setelah bincang-bincang singkat mengenai apapun di dalam ruang latihan. Mereka biasa melakukan latihan pemanasan gerak tubuh selama kurang lebih sejam sebelum berlatih akting dan peran. Untuk kali ini, mereka semua sedang mendalami naskah terjemahan Oscar Wilde yang berjudul The Importance of Being Earnest. Naskah itu merupakan sebuah satir atas kehidupan menggelikan masyarakat era Victorian seputar mentalitas mereka yang munafik serta pandangan mereka atas pernikahan serta cinta. Kegiatan latihan tersebut rutin ia lakukan nyaris setiap hari selama kurang lebih empat jam dan akan meningkat frekuensinya tatkala grup teater mereka akan melakukan pementasan. Dia tidak pernah merasa jenuh melakukannya setau yang ia sadari. Tetapi, tidak untuk beberapa hari ini. Seperti ada sesuatu yang menahannya. Sesuatu yang mengingatkan akan kekosongan ruang di kamarnya tidur setiap malam walaupun perkakas pementasan berserakan di sana. Naskah-naskah yang

87

88

ditumpuk di sebelah komputer, koleksi film pertunjukkan, sketsa-sketsa gambar yang ia pajang di tembok, serta piala pementasan yang berjejer di atas lemari, ternyata sudah dipenuhi debu waktu. Ia merasa upayanya sia-sia saja. Seperti ada palung dalam yang tiba-tiba ditemukan oleh radar dirinya dan ia terjatuh ke dalam kegelapan tanpa dasar. Selama ini, ia telah serius berlatih dan mengkordinir grup teater itu tetapi tak ada peningkatan yang signifikan. Teman-temannya terlalu lemah dan tidak memiliki ambisi yang sama seperti dirinya. Beberapa festival dilewatkan dengan tak satupun gelar juara diraih. Hanya ia yang mampu mendapatkan penghargaan individu. Ia memejamkan mata kembali. Terbayang olehnya pertemuan dengan perempuan itu di suatu pertunjukkan musikal. Ia sebenarnya tidak terlalu menyukai hadir ke acara musikal kecuali jika benarbenar terpaksa. Hari itu, ia datang karena temannya, salah satu produser film yang hendak memberikan peran utama di sebuah film major label, mengajak bertemu di acara tersebut. Maka, ia pun datang hanya dengan sebuah niat bertemu sang teman. Mengejar kebutuhan finansialnya yang semakin menipis hari demi hari, nyaris nihil dan membuatnya terpaksa mengirit dengan makan indomi serta meminjam uang ke beberapa teman. Ketika ia memilih menunggu di sebuah kafe yang letaknya cukup jauh dari keriuhan pengun-

89

jung musikal, di satu pojok ruangan yang arah pandangnya terhalang oleh rindang pepohonan berukuran besar, datanglah perempuan itu. Ia memiliki rambut panjang dan ikal kecil menyerupai jalinan mi instan yang umumnya ia santap setiap hari tergantung di kepala sang perempuan. Tidak ada yang istimewa dari perempuan itu. Tubuhnya kurus dan kecil seperti ranting pohon kering yang begitu mudah dipatahkan dengan satu tangan. Perempuan itu terlihat sangat sadar diri akan proporsi tubuhnya. Ada aura ketidakpercayaan diri terpancar dari gerak-gerik perempuan tersebut. Meski sebenarnya, lelaki itu menyukai pilihan baju yang dikenakan sang perempuan: sebuah setelah gaun selutut yang mengingatkannya akan Argentina era 1980an dengan motif bunga-bunga dan rok lebar dan kehidupan penuh gairah. Perempuan itu sadar kalau ia diamati. Berkali-kali ia mengintip dengan sudut matanya ke arah tempat duduk sang lelaki. Kadangkala tatapan mata mereka beradu dan perasaan yang muncul memberikan lelaki itu suatu kesenangan tersendiri. Sebuah peluang petualangan asmara singkat selama ia menunggu sang teman hadir di depan mata. Ia merasa hebat dan berkuasa seolah hidup lagi-lagi berada dalam geng­ gamannya malam itu. Ia mencondongkan tubuh untuk menunjukan ketertarikan. Namun, sang perempuan semakin bertambah kikuk dan percaya dirinya mengerucut ke dalam.

90

Jelas terlihat gelombang ketidakpercayaan diri menyerbu perempuan itu. Sekonyong-konyong sang lelaki membayangkan kesulitan-kesulitan yang di­ alami sang perempuan dalam hidupnya. Ketersiksaan untuk berada di tengah-tengah orang dan lingkungan asing yang menyulut rasa sadar kekurangan kepribadian pada diri sang perempuan. Bayangan akan kegagalan yang dialami perempuan tersebut meraih apa yang ia inginkan, ketidakmampuannya membuat orang lain memahami diri akibat sikapnya yang kikuk, terlihat sangat mengerikan baginya. Namun, malam itu entah mengapa perhatiannya sedang pula tertuju pada bulan dan langit di atas sana. Sejujurnya, ia bukan pria yang romantis. Ia tidak senang bermain-main imajinasi dari alam dan hanyut terbawa perasaan. Tetapi, malam itu terasa sedikit berbeda. Ada sebuah keinginan yang mendesak muncul secara alamiah untuk lebih merasakan alam. Ia menikmatinya. Keinginan awal untuk berpetualang telah tergantikan dengan gairah lain yang uniknya memberikan rasa ketenangan tersendiri. Ia bisa merasa­kan gamblang bagaimana udara bergerak lambat menyapu tubuh, melihat sinar bulan menembus awan dan membentuk bayangan bundar di atas danau dekat kafe, mendengar daun bergesekan terkena angin, serta rasa sejuk yang menjalar dari dalam tubuh. Semua keheningan itu, sensasi yang tercipta secara alamiah

91

saat ia menghayati, segera memunculkan sisi lain kepribadian dari sang perempuan. Di balik kekikukan yang tidak mempesona dan membuat perempuan itu sungguh membosankan, ia bisa merasakan sebuah kehangatan api menyala. Api yang tidak dimiliki oleh semua orang, hanya bagi mereka yang telah menerima pengalaman pengalaman terpahit dalam hidup tetapi terus bertahan dan maju. Ia yakin perempuan itu pernah berada dalam satu titik di mana ia berdiri pada ambang keyakinannya, nyaris terjungkal ke jurang. Tetapi, api itu menyelamatkannya, membawanya terus ada hingga waktu ini. Kekuatan itu seketika terpancar dan ia merasakan merasuki tubuhnya, mencuri perhatian dan juga membuatnya malu. Ketulusan perempuan itu akan keseluruhan diri, kekurangan-kekurangannya, penerimaannya dan sikapnya atas hidup membuat ia gerah. Perempuan itu memang tidak memiliki karakter yang menarik tetapi karisma personalnya sangatlah kuat. Perempuan itu menampilkan suara dirinya secara apa adanya. Rasa kurang percaya diri yang ditampilkan dalam sikap menarik diri dan mata yang selalu awas, penuh kehati-hatian atas dunia luar, kerapuhan dalam sikap punggung yang melengkung ke dalam, sampai kecemasan dalam tangan yang kuat menangkup. Perempuan itu tidak menutup-nutupi kekurangan itu sama sekali. Ia jelas-jelas menunjukkan pada dunia. Kekurangannya tidak akan membuatnya mati tetapi justru bertambah kuat.

92

Lelaki itu membayangkan seorang bayi yang baru terlahir secara mendadak di dunia penuh kelam. Putih bersih. Dan, seketika ia merasa ingin mencelupkan kepalanya ke dalam bak mandi berisi air dingin. Ia telah menguliti perempuan itu ke batas terdalam imajinasi atau instingnya? Semestinya ia menghampiri perempuan itu dan mengajaknya berkenalan. Tetapi ia hanya duduk di sana, menikmati malam sementara menunggu sang kawan, termangu dan memikirkan tindakannya. Ia tertarik pada perempuan itu tetapi lagak-lagaknya menunjukkan sebaliknya. Ia memainkan wajah lain. Keesokan pagi, ia menemukan saputangan sang perempuan diantara genggaman tangannya. Ia tidak yakin telah mengajak perempuan itu mampir. Hanya ada bayangan singkat mereka jadi mengobrol malam itu di tepian danau dan perempuan itu menggunakan saputangan merah itu untuk mengelap keringat yang bergulir di keningnya. Malam itu ia terdiam, menyadari momen-momen ketika perempuan itu dengan khusyu mengelap keringat perlahan-lahan membuatnya ekstasi. Ia begitu indah dengan semua penghayatannya seperti seorang penari Bedhoyo yang bergerak secara meditatif. Mungkin saat itulah saputangan sang perempuan tertinggal dan ia menyimpannya. Sapu tangan satin warna merah yang menguarkan aroma rempah kuat. Jantungnya berdegup kencang. Ia merindukan

93

perempuan itu, yang pergi dengan menyisakan hanya satu buah sapu tangan merah. Hari kelima setelah malam pertemuan itu. Ia belum pernah lagi bertemu dengan perempuan tersebut. Tubuhnya masih terasa lemas. Ia membalikkan badan dan telentang di atas lantai. Satu tangan diletakkan di belakang kepala, satu tangan lainnya memegang sapu tangan merah milik sang perempuan. Di satu titik pada ruang tempat ia berbaring dan kini terasa begitu sempit dan menyesakkan, sekonyong-konyong ia melihat perempuan mungil itu duduk menunggu seseorang. Lelaki itu merasa dirinyalah orang itu. Rasa malas yang mengikatnya seperti tali tiba-tiba melepaskan diri tergantikan dengan dorongan perasaan yang bergejolak.

12.45 Lelaki itu bangun dan bersiap-siap menuju tempat latihan teater dengan langkah ringan. Ia belum sempat sarapan ataupun makan siang hari itu tetapi perutnya terasa kenyang membayangkan wajah sang perempuan dan saputangan merahnya. Menggenggam saputangan tersebut, ia lantas berjanji akan berlatih naskah Oscar wilde dengan sepenuh hati. *

Terinspirasi dari cerpen Seno Gumira Ajidarma berjudul Lipstik dari buku Atas Nama Malam (1999, GPU)

94

Senja dalam Pertemuan Hujan Mudin EM

95



Karena ia bisa menciptakan hujan. Dan mereka menyukainya. Mereka terjebak di dalamnya.” Begitulah hujan turun. Tercipta tiba-tiba dan sering tanpa aba-aba. Tanpa persiapan, dikejutkannya orang-orang. Dibasuhnya yang kering dan disapunya yang basah. Menyejukkan juga menghanyutkan. Menghangatkan serta menjebak. Hanya cinta yang bisa menandingi kemisteriusannya. Bukankah tiada yang pernah tahu kapan dan di mana cinta akan datang? Siapa pula yang bisa menebak siapa yang hendak singgah? Demikian akhirnya aku mengenal mereka. Menyanjung hujan dan cinta. Setiap hari dan seperti hari ini .... Hujan datang dengan derasnya. Seakan-akan tanggul di langit sana bocor. Bersama angin, ia menguasai sore ini. Menerjang apa pun yang tersentuh lenganlengannya yang deras. Di luar, pohon-pohon, tiangtiang, dan semua yang tak terpayungi kewalahan menghadapi amarahnya. Satu pohon, dahannya tumbang. Pohon-pohon lain terlihat resah, meliuk-liuk diciumi air dan angin yang meliuk-liuk pula. Kemudian suara petir menakuti. Bergemuruh seperti gamelan yang dipukul tak beraturan. Di langit, kilat menarikan ancaman. Semua yang ada di permukaan bumi bagai diawasi. “Banjir,” ia berkata selepas gemuruh besar. Matanya menatap ke luar jendela. Tak ada aktivitas manusia di luar sana. Hanya air yang meluap deras di jalan.

96

Mobil-mobil tak bergerak. Motor-motor dan sepeda diparkir di pinggir jalan. Orang-orang berteduh. “Kamu akan tetap menjemput istrimu?” dia menanggapi kemudian menyeruput teh panas. Matanya ikut menatap ke jendela. Namun hanya hujan yang diperhatikannya. “Entahlah. Dia minta dijemput. Tapi hujan deras begini. Mobil pun tak berguna.” “Naik ojek!” “Naik ojek?” Ia balik bertanya dengan sarkastik. Mereka bertatapan beberapa detik, seiring dengan datangnya kilat yang membuat warna wajah mereka menjadi pucat sesaat. Ia menghela napas panjang lalu memainkan telepon genggam. Dia masih terdiam di kursinya. Hatinya berbungabunga. Jika kau mencintainya, mestinya apa pun akan kau lakukan demi menyenangkan hatinya. Kau memilihku akhirnya, dia berucap dalam hati. Dia merahasiakan perasaan senangnya dalam tegukan teh berikutnya berupa sungging senyum yang disembunyikan dalam bibir cangkir. “Kalau tidak hujan, kita bisa melihat senja dari sini,” dia memecah kebisuan. Ia tersenyum menanggapi. “Aku suka senja. Senja mengantarai terang dan gelap. Seperti ibu yang menemani anaknya hingga tidur. Hangat dan nyaman,” dia melanjutkan kalimatnya. “Kamu pernah bilang padaku.”

97

98

“Makanya sore ini kuajak kau bertemu di sini,” dia tak menggubris tanggapan ia. “Seharusnya tidak hujan. Kita bisa melihat matahari berganti warna. Kemerah-merahan, lalu berubah keemasan, kemudian menghilang.” Ia menarik dirinya lebih dalam ke sofa. Bersandar. Masih menatap keluar. Ia mainkan lagi telepon genggamnya. Kali ini sebuah pesan masuk. “Kalau begitu, tidak usah menjemputku. Tapi usahakan makan di rumah, Mas. Aku akan masakan tumis kangkung kesukaanmu :)” Ia tarik lagi badannya dari kursi. Menarik napas. Menatap mata dia sambil tersenyum memberi celah. “Aku akan di sini, tapi tidak bisa terlalu malam. Istriku membuatkan makanan kesukaanku.” Dia menyambut senyuman itu dingin. Matanya beralih ke jendela. Hujan mulai reda. Mobil-mobil nampak mulai bergerak. Motor-motor yang parkir di pinggir jalan, satu persatu melaju. Beberapa orang pergi dari tempatnya berteduh dengan payung. Masih gerimis. Rintik-rintik hujan kini hanya sebesar jarum jahit. Kecepatan tetesnya perlahan berkurang. Di kaca jendela, sisa air hujan masih menempel. Mereka memeluk kaca jendela bagai cicak, menggumpal seperti embun. “Kita mirip tetes-tetes air yang menempel di jendela itu, ya?” dia memecah keheningan lagi. “Kita bersama-sama, tapi tidak menyatu.” “Kamu terlalu sentimentil!” Ia berkata.

99

“Memang! Aku sentimentil!” dia berkata agak berteriak. Para pelayan kafe berbarengan menoleh ke arah meja mereka. Ia dan dia terdiam. Berdua menatap ke luar jendela. “Yah, kamu sentimentil,” ia mengucap pelan. Hampir tak terdengar. Ia tatap lagi dia yang ada di depannya. Lalu berpindah duduk di sampingnya. “Setidaknya aku setia,” kata dia pelan. “Maafkan aku ...” ia memohon. “Seandainya aku bisa memelukmu sekarang ....” “Kita sudah terlatih dengan ini bukan?” “Terlatih apa?” “Bersembunyi, setidaknya aku ....” Ia menarik tangan dia dan menggenggamnya. “Aku senang bisa bersamamu sore ini,” ditatapnya wajah itu lekat-lekat, mencoba melihat kekhawatiran yang dia rasakan, “juga sore-sore kemarin.” Dia balik menatapnya, membalas bincang mata itu dengan senyuman. “Aku sudah terbiasa, Mas ....” Hujan reda. Lebih tiga puluh menit sudah dari pukul lima. Senja hari ini terhalang oleh mendung, tak tampak keemasan. Dan ini bukan pertama kali aku melihat mereka. Pertemuan-pertemuan yang terekam oleh langit Jakarta. Kalau memungkinkan untuk pulang kerja lebih awal. Sore hari, ia dan dia bersua. Sekadar duduk di kafe sebuah mall yang dekat de-

100

ngan kantor. Atau nonton. Atau kalau sedang jenuh di rumah susun milik dia, berlanjut ke penginapan. Setiap pertemuan biasanya membawa cinta yang berkobar. Cinta yang mereka simpan rapat-rapat. Cinta yang dipertemukan oleh sore hari. Cinta yang hanya ia dan dia yang tahu cara menikmatinya. Cinta senja pada siang yang akan meninggalkannya. Sesekali ada keraguan yang datang membuat pertemuan penuh kekhawatiran. Menggoyang tiang cinta yang menancap di hati mereka. Seperti hari ini. Bukan pertama kali kulihat. Suara telepon genggam berbunyi. “Istriku,” Ia beranjak dari samping dia, menjauh. Di luar kafe mereka duduk, ia menjawab panggilan itu. Dia memperhatikan ia dari tempat duduknya. Menyeruput teh yang sudah dingin. Mengunyah kentang goreng yang sudah melempem. Kisah cintanya sama seperti teh dan kentang goreng itu. Dingin dan melempem, dan dia tak punya pilihan selain menikmatinya. Ia hafal benar gerak-gerik canggung laki-laki yang diperhatikannya dalam keadaan seperti sekarang ini.

101

“Iya ... aku mencintaimu ....” ucap ia menanggapi telepon. Ia balik tubuhnya menghadap ke dia. Melihat dia dari kejauhan sambil mendengarkan telepon. “Iya ... aku mencintaimu ....” ulangnya. Ia melirik lagi ke arah dia duduk. “Benar. Aku akan mencintaimu. Selalu ... Sampai Tuhan menghendakinya.” Beberapa orang melintas di depan ia. Ia mengecilkan suaranya dan berpindah posisi membelakangi dia. Bergerak sedikit hingga tak terlihat dari pandangan dia. “Kalau aku gombal, aku sudah meninggalkanmu. Lihat, sampai sekarang aku masih bersamamu.” Wajah ia mulai terlihat serius. Suaranya dimainkan, ditekan namun sedikit ditahan untuk meyakinkan si penelepon. Kemudian dia bergerak, kembali ke posisi di mana dia dapat melihatnya. “Buat apa aku bohong. Toh selama ini aku selalu bercerita tentang mereka yang dekat denganku, kan? Percayalah, aku lebih mencintaimu.” Beberapa orang keluar dari lift. Berjalan ke arah ia yang sedang serius berbicara dengan si penelepon. Ia segera bergerak ke pinggir namun satu orang tertabrak. “Maaf ....” pinta ia pada orang yang ditabraknya. Lalu melanjutkan pembicaraannya di telepon. “Sayang, nanti kita bicarakan lagi soal ini. Teleponannya udahan dulu ya ... Minggu depan kita bertemu. Kamu masih mau kan ketemu aku?”

102

Ia berbalik badan menghadap kursi yang diduduki dia. Mata mereka saling bertatapan. Dia mengedipkan matanya dan menghela napas bosan. “Aku nggak bisa kalau hari ini. Minggu ini pun banyak sekali pekerjaan. Kamu bisa mengerti aku, kan? Istriku pun bisa curiga kalau aku jarang di rumah kan ....” Ia melihat jam tangannya. “Aku tinggal bersama istriku. Tidak ada pilihan.” Ia bergerak lagi menghindari tatapan dia yang duduk di dalam kafe. “Aku telah menikahinya, yah aku harus men­ cintainya!” Wajah ia mulai nampak marah namun suaranya tetap ditahan agar tidak terlalu keras. “Terserah kamu!” Suara ia terdengar sedikit bergetar. “Sejak awal kamu sudah tahu kan aku beristri. Aku mencintai istriku. Aku mencintai kamu juga.” Ia sedikit gusar. Beberapa kata yang hendak ia lontarkan tertelan lagi karena tak mendapat kesempatan berbicara. Digosok kedua matanya dengan jempol dan telunjuk kanannya. Tangan kirinya masih menyangga telepon di telinga. “Pertanyaanmu banyak sekali. Aku bingung! Nanti saja kalau bertemu kita balas. Aku sedang bersama teman, tidak enak kutinggalkan dari tadi.” Telepon ditutup. Ia menatap layar telepon genggamnya. End Call. Ia tarik napas dan dikeluarkan

103

dengan menggembungkan pipinya. Diulangi beberapa kali. Setelah merasa tenang ia kembali ke tempat dia duduk. “Aku harus pulang,” ucap ia ke dia. Ia masukan beberapa kertas yang sempat ia keluarkan dari tasnya. Memanggil pelayan untuk membuatkan bill. “Aku yang bayar ya .... Maaf, aku nggak bisa lama sore ini. Anakku sakit. Jangan marah ya.” Dia menghela napas. Berusaha senyum walau terpaksa, “Aku di sini dulu. Kamu keluar mall sendiri aja ya.” “Gak mau bareng aja? Aku bisa mengantarmu pulang.” Dia menggeleng. “Oke. Besok sore, kita ketemu lagi. Aku akan mengabarimu.” Ia memainkan matanya memberi tanda hendak pergi. Ia beranjak dari kursi, lalu keluar dari kafe sambil menulis sebuah pesan. “Aku menuju rumahmu. Sekitar jam 8 sampai. Tunggu aku yah, sayang.” Pesan itu dikirim tepat saat pintu lift terbuka. Ia masuk dan menekan sebuah nomor telepon. “Ma, Papa pulang agak larut. Ada pekerjaan dadakan yang harus Papa selesaikan di kantor. Tumis kangkungnya simpan saja, nanti Papa sampai rumah, langsung Papa makan.”

104

Selama di dalam lift, ia mendengarkan pesan-pesan sang istri di telepon. Ketika lift berhenti, ia mematikan telepon. Sebuah pesan terkirim di telepon genggamnya. Dua buah.

Langit mulai gelap. Dia masih duduk menatap jendela. Lampu-lampu jalan dan gedung mulai menyala. Cantik sekali Jakarta kala malam. Seandainya kisah cintanya bisa secantik lampu-lampu ini. “Maaf, mau menambah pesanan?” sapa pelayan tiba-tiba. Setengah kaget, dia mengelap matanya dan berusaha senyum. “Enggak, Mas. Saya udah mau balik kok.” Dia mematikan laptop yang sedari tadi menyala tak tersentuh. Memasukkannya ke dalam tas selempang abu-abu. Menghela napas. Merapikan perasaannya yang sesemrawut jalanan Jakarta. Hujan dan senja, meski indah dan romantis seringkali melukai, keluhnya. Kemudian aku melihatnya beranjak dari kursi. Suara John Legend menyanyikan lagu Where Did My Baby Go diputar mengiringi kepergian dia dari kafe

105

itu. Perlahan ia langkahkan kakinya dengan hati melangut, mulutnya pelan ikut bernyanyi: Where did my baby go? I wonder where he ran off to... I miss my baby so I’m calling but I can’t get through Mata dia basah. Sebasah jalanan Jakarta yang akan dilaluinya. Bersamaan dengan pintu lift yang terbuka, disapunya air mata itu. Masuk dan turun, melepaskan semua yang berkecamuk dalam lift itu. Sekali lagi ingin kuberitahukan bahwa ini bukan pertama kali aku melihat tetes mata keluar untuk seorang ia. Cinta melimpah untuk ia seperti deras hujan hari ini. Sialnya, aku selalu melihat siapa yang terperangkap di deras arusnya. Dan kalau pada satu hari aku bisa berbicara pada ia, akan kubilang: “Aku adalah potongan senja yang kau ambil untuk pacarmu. Tinggal seperempat. Tiga perempatnya telah hancur oleh hujan yang kau ciptakan.”

*

ia dan dia adalah dua tokoh yang berbeda.

106

Kirana Ketinggalan Kereta Maradilla Syachridar

B

ibirnya bergetar. Tangannya bergetar. Berkalikali ia bilang kepalanya serasa berputar-putar. Tubuhnya mendadak bergemuruh. Lalu ia bergerak-gerak seperti seorang darwis yang sedang menari-nari, memutar-mutar tubuhnya berlawanan dengan arah jarum jam. Matanya dipejamkan, sesekali dapat kudengar suara isak tangisnya yang sepertinya tidak kuasa ditahan, lalu ia menengadahkan kepala dan mengangkat kedua tangannya. Entah ada apa denganmu hari ini. Kamu bilang, kamu hanya butuh ditemani untuk hari ini saja.

*** Hati-hati terhadap semesta. Ketika kamu memiliki permintaan yang sangat kuat dan kamu memikirkannya berulang-ulang, maka permintaan itu akan terkabul. Seperti saya yang tidak bisa berhenti memikirkan Kirana barang sedetik pun. Dalam seminggu terakhir ini, tiba-tiba saya diserang oleh rasa rindu yang terlalu berlebihan. Hanya karena melihat ikan asin yang tersedia di kantin kantor, bertengger manis dan me­ ngedipkan mata pada saya seraya berbisik: Hai Gupta, ingat saya? Saya adalah ikan favorit Kirana. Makan saya! Makan! Karena ikan asin itulah, saya dihantui rindu. Walaupun sudah berkali-kali menghubunginya, tetapi Kirana tetap tak terjangkau. Saya terus menerus me-

108

mikirkan untuk selalu bersamanya, memeluknya erat. Maka saya tidak pantang menyerah. Saya mengirim surat elektronik untuknya. Isinya hanya sepenggal pesan:

Kirana Willa, kangen luar biasa. Saya hampir binasa. Izinkan saya bertemu kamu!

Lalu akhirnya, dua hari setelah surat eletronik itu terkirim di tengah perjuangan melawan rindu, penantian itu membuahkan hasil. Surat balasan itu datang juga:

Dear Gupta, Ketemu yuk. Temani aku besok saja. Jangan kerja, aku jemput ke rumah jam sembilan pagi. Bawa mantel.

Semesta mengabulkan. Tanpa banyak bertanya, saya cari-cari alasan untuk bolos kerja. Saya tidak pergi ke kantor. Demam, saya berdalih. Kirana menjemput saya tepat jam sembilan pagi. Sesuai permintaannya, saya membawa mantel. Ia memang selalu mengingatkan saya untuk membawa mantel, karena dulu saya memiliki kebiasaan lupa untuk membawanya, bahkan ketika musim hujan.

109

Padahal, saya alergi dingin. Hal inilah yang membuatnya sering kesal. Ketika masuk mobilnya, Kirana langsung memeluk saya. Ia cantik sekali. Tidak seperti biasanya, rambutnya rapi. Ia juga memakai gaun panjang bermotif bunga-bunga. Saya bertanya-tanya, apakah ia sengaja mendandani dirinya sendiri karena mau bertemu saya? Ia memandangi saya lama sekali, lalu mulai menjalankan mobilnya. “Kita mau kemana?” tanya saya. “Jangan banyak tanya, ya. Temani saja aku,” pintanya sembari tersenyum. Saya akhirnya mengangguk. Tentu. Ke mana pun bersama Kirana.

*** Mungkin Kirana sedang stres. Tetapi yang saya tahu, manakala Kirana sedang stress, dia memang harus pergi mencari ketenangan. Sendiri. Tidak bersama siapa-siapa termasuk saya. Ini juga yang menjadi alasan kami tidak lagi bersama. Kirana bilang, dia tidak bisa memprioritaskan saya. Ah, memang sulit bersama seorang perempuan yang memiliki pemikiran rumit. Anehnya, dalam kerumitannya hari ini, ia tampak bahagia. Seperti sekarang, ketika kami makan siang bersama. Ia tampak lahap mengunyah nasi dengan suapan besar-besar. “Gak bosen makan ikan asin?” tanya saya.

110

“Enggak, aku udah lama kok gak makan ikan asin. Begitu ketemu kamu aja aku langsung inget ke sini,” jawabnya sambil terus mengunyah. Kirana adalah tipikal gadis Sunda yang setiap kali makan, setiap suapan nasi harus dibentuk membulat rapi dengan jari-jarinya yang lentik. Lalu nasi yang sudah dipadukan sambal terasi dan ikan asin tersebut, dikombinasikan dengan caranya melahap makanan akan membuat orang-orang yang hanya melihatnya pun ikut menikmatinya. “Gupta, aku mau pindah kota,” katanya tiba-tiba setelah selesai makan. Saya terkesiap mendengarnya. Lantas tersedak. “Kapan?” “Hari ini.” “Ke mana?” tanya saya setelah minum air putih dan menenangkan diri. “Kamu gak perlu tahu. Aku cuma mau pamit sama kamu, makanya aku ajak kamu pergi hari ini.”

111

Hoala. Dengan noraknya mata saya langsung berkaca-kaca. Sial. “Berapa lama?” “Pokoknya gak usah ditunggu, gak usah hubungi aku lagi ya,” pintanya dengan nada manja. Aneh-aneh saja Kirana. Memberi kabar perpisahan seperti ini tidak ada sedih-sedihnya. Mungkin ini alasan mengapa ia mau bertemu dengan saya, karena ia tidak tahan terus menerus diteror oleh saya yang memang dari kemarin ingin bertemu dengannya. “Kalau itu yang kamu inginkan.” Apa pun untuk Kirana. Hati saya langsung menjerit. “Oh ya, nanti sore kamu bisa antar aku ke stasiun kereta? Lalu tolong balikin mobilku ke rumah,” pintanya sekali lagi. Saya menghela napas. Ternyata ia tidak sedang main-main. “Memang keputusanmu sudah bulat ya?” tanya saya. “Bulat sempurna, tanpa bolong ataupun celah,” jawabnya mantap. “Lalu, kemana kita sekarang?” “Ke stasiun kereta.”

*** Saya tidak mengerti apa yang diinginkan Kirana. Setibanya kami di stasiun kereta, ia malah duduk termenung. Saya tanya apakah dia sudah membeli tiket,

112

eh dia malah bilang tidak perlu, hanya tinggal menunggu. Dengan tegas ia mengingatkan bahwa ia hanya minta ditemani, bukan minta ditanya-tanya. Lalu dia mengenggam sebuah pena, yang katanya buat tanda-tangan. Entah tanda-tangan apa. Beragam pertanyaan terus menerus muncul di otak saya, tapi semuanya harus saya simpan. Yang lebih menyebalkan lagi, kali ini muncul berbagai kekhawatiran, bagaimana dengan kehidupan Kirana di tempat barunya nanti? Apakah dia akan tetap membutuhkan saya sewaktuwaktu, dan alasan apa yang harus saya buat nanti kalau saya harus bolos bekerja? Jangan-jangan dia mau pindah ke Yogya, karena suatu hari dia pernah berkata ingin tinggal di sana. Ya, Kirana sepertinya mau ke Yogya. Kekhawatiran saya semakin memuncak, takut kalau-kalau dia nanti memiliki kekasih baru di sana. Atau jangan-jangan sudah? “Gupta, aku mau tanya-tanya dulu, kamu tunggu di sini ya. Jangan kemana-mana.“ Kirana pergi tanpa membawa tasnya. Saya mengangguk, lalu melirik tasnya. Tas yang ia bawa hanyalah tas kecil yang mungkin hanya berisi pakaian untuk tiga hari. Saya berkesimpulan, Kirana sudah mengirimkan barang-barangnya terlebih dahulu ke tempat tinggal barunya. Iseng-iseng saya buka tasnya. Ya Tuhan! Isinya hanyalah beberapa buku yang sudah sering ia baca, beberapa album foto, syal pemberian dari saya, sebuah

113

senter, dan sekotak plastik makanan yang berisi ikan asin dan sambal terasi. Apa-apaan ini? Setengah jam berlalu, dan Kirana akhirnya kembali padaku. Wajahnya tampak cemas. “Gupta ... aku ternyata ketinggalan kereta,” ujarnya. Ia lalu terduduk lemas. Kali ini giliran matanya yang berkaca-kaca. Sementara hati saya justru girang. Girang karena tidak perlu ditinggal Kirana ke tempat barunya entah di mana. Saya mengusap-usap punggungnya. “Lalu mau bagaimana?” tanya saya. Saya tidak tahu apakah semesta dapat membantu jika saya benarbenar meminta agar Kirana jangan pergi. “Mungkin besok ada kereta lagi,” jawabnya. “Kamu gak mau beli tiketnya dulu?” Ah, menyesal saya memberikan ide tersebut. “Tidak ada tiket, Gup. Kita hanya perlu tanda tangan.” “Bagaimana bisa ....” “Ingat, jangan banyak bertanya, cukup temani saja hari ini.” Itu dia. Saya tidak boleh banyak bertanya, walaupun kepala ini rasanya mau meledak. Lalu Kirana menggenggam tangan saya, mengajak saya pergi dari stasiun kereta. Acara perpisahan ini ditunda sehari. Jika besok ia meminta untuk diantar lagi, saya sudah siap berbohong kepada kantor bahwa saya masih sakit demam.

114

*** Setelah ketinggalan kereta, saya mengajaknya ke tempat favorit kami berdua, sebuah padang rumput yang cukup luas. Letaknya di pinggir tebing, dekat rumah saya. Semoga tidak hujan. Biasanya, kami menghabiskan waktu di sana dengan menggelar selimut tipis sebagai alas, membawa keranjang rotan berisi berbagai makanan ringan dan menghabiskan waktu melihat matahari tenggelam di tepi tebing sambil membaca buku, sambil sesekali berciuman. Kirana akhirnya setuju saya ajak ke tempat itu. Sesampainya di sana, ia mengaduk-aduk tasnya, dan mengeluarkan sebuah buku catatan yang sudah sedikit kumal. Waktu menunjukkan pukul tiga sore. Cuaca cukup cerah. Kami duduk berdua menghadap matahari yang bersahabat. Ingin sekali saya bertanya kepada Kirana, kenapa ia harus pergi. Apakah tidak cukup berpisah sejenak saja dengan saya dan lebih sering mengasingkan diri? Mengapa harus pergi jauh? “Kamu tahu aku sayang sekali sama kamu,” Kirana memulai percakapan. Hati saya langsung terenyuh, sejenak melupakan semua pertanyaan yang ada di pikiran ini. “Iya, tahu,” jawab saya pendek. “Aku lelah dengan perkataan orang-orang terhadapku. Keluargaku yang seharusnya mengenalku, sepertinya tidak pernah mengerti aku. Dan yang paling

115

menyebalkan, sebenarnya aku lelah dengan diriku sendiri. Sepertinya memang aku harus pergi.” Saya langsung sedih mendengarnya. Sedih karena sebenarnya tidak ada yang salah dari kehidupan Kirana. Ia memiliki banyak teman. Selama saya berhubungan dengannya, saya telah mengenal keluarganya yang menyenangkan. Kedua orang tuanya pegawai negeri. Profesi tersebut lantas menurun kepada Kirana yang akhirnya juga menjadi pegawai negeri. Tapi entahlah, saya kira manusia memang selalu mencari perkara. Ada sesuatu yang membuat saya selalu penasaran dengan otaknya. Emosinya yang terkadang meluapluap, ketakutan dan pemikiran yang dilebih-lebihkan serta kegemarannya mengasingkan diri membuatnya suatu hari memutuskan bahwa lebih baik ia meninggalkan pekerjaannya. Di lain sisi, Kirana menghanyutkan saya tanpa perlu menjadi penyair yang menjerat dengan kata-kata indah yang bombastis. Ia tidak perlu berpenampilan seperti bidadari rupawan yang membuat rahang pria jatuh dan tidak kembali lagi. Dari semua wanita yang pernah memiliki sejarah dengan saya, hanya dia yang berhasil membuat saya tidak pernah melirik orang lain. Dalam ketidaksederhanaan pemikirannya, berkalikali saya dapat mengendap-endap masuk ke dalam ruang terdalam di hatinya. Jika ia melakukan suatu hal yang tidak wajar, itu hanyalah sebuah bentuk penolakan. Ia hanya ingin menantang manusia-manusia di sekelilingnya, sejauh mana mereka dapat membuka

116

pikirannya terhadap sesuatu yang ada di luar sistem, itu saja. Karena manusia tidak boleh terus nyaman dalam sebuah keadaan, sesekali harus melakukan perubahan. “Tapi Kirana, bukankah kalau kamu lelah, kemana pun kamu pergi, kamu masih harus menghadapi dirimu sendiri?” Kirana tidak menjawab. Apa yang saya takutkan akhirnya terjadi juga. Tiba-tiba hujan mulai turun secara perlahan. Aku bersiap untuk mengajaknya pergi sebelum kami kebasahan, tiba-tiba Kirana berdiri. “Gupta, kamu dengar itu?” “Dengar apa?” Kirana tidak menjawabnya. Ia malah terdiam, seperti menunggu sesuatu. Lalu ia tersenyum-senyum sendiri. Aku semakin heran dibuatnya, dan mulai tidak nyaman dengan rintik-rintik hujan yang menyerang ubun-ubun kepala ini. “Katanya, tidak perlu memakai kereta. Suara itu datang, begitu jauh, namun begitu jernih. Sore ini, senja yang akan menjemputku. Kamu dengar? Sungai yang memberikan pesan padaku!” “Kirana, kamu ngomong apa?” Hujan mulai deras. Kirana tidak menjawab, ia melempar buku hariannya, lalu mengangkat tangan dan tengadah ke langit. Kemudian ia mulai berputarputar. Aku mulai ketakutan. “Kirana, hujannya semakin besar!” teriakku.

117

Kirana tidak peduli. Kirana!” teriakku sekali lagi.

Kirana seolah kesurupan. Saya bingung harus berbuat apa, melihat dia begitu bahagia, walaupun air mata bercerai-berai di pipinya. Tangis itu keluar tanpa suara. Ini gila. Putaran itu seperti gasing yang memiliki pola. Ia terlihat semakin cantik, dengan penampilannya yang tidak biasa. Seolah-olah ia sedang meng-

118

alami ekstase. Saya mulai berpikir bahwa bukan Kirana yang sedang menari di sana. Kirana yang lain mungkin. Kirana yang tidak pernah bisa saya mengerti. Kirana, apa maumu, terserah. Mungkin ini yang mem­­buat saya jatuh cinta. Lambat laun perputaran Kirana semakin melambat. Getaran pada bibirnya mulai hilang, isak tangis-

119

nya mereda, tubuhnya mulai tenang. Aku menghampiri dan memeluknya. “Gupta, aku ketinggalan kereta,” gumamnya ter­ engah-engah dalam pelukan saya. Lalu ia kembali menangis sesenggukan. Saya semakin memeluknya erat. “Sudah, sudah, besok kamu saya antar lagi,” sahut saya, mencoba menenangkan. Saya akhirnya berpikir, Kirana memang sudah seharusnya pergi. Sudah sepatutnya saya melepasnya dengan keikhlasan. Mungkin pada perjalanannya, jarak akan membuat saya mulai mengerti Kirana. Dan suatu hari kami akan terus bersama. Matahari perlahan mulai tenggelam. “Yuk pulang?” pintaku. “Ambilkan senter di tas, aku takut gelap.” Aku tersenyum, lalu mengambil tas Kirana di mobil. “Lupakan senternya. Kemarikan saja tasnya.” Saya menyodorkan apa yang diminta Kirana. Gadis itu memeriksa isi tasnya, menentengnya, memandangi saya sambil berdiri. “Aku rasa sore ini memang untukku, Gupta. Keretaku boleh pergi, tapi selalu ada jalan lain menuju tempat tinggal baruku. Aku harus ke sana sekarang juga. Aku tahu, ini adalah tawaran yang gila. Tetapi, apakah kamu mau ikut bersamaku? Kupikir kita akan bahagia bersama.” Kirana memandangiku lekat-lekat. Tawarannya mengejutkanku.

120

Apakah aku mau ikut dengannya? Butuh hanya dua menit untuk berpikir, lalu bersyukur. Pikiran Kirana akhirnya terbuka. Dan untuk saya, saya yakin pekerjaan bisa dicari di mana pun juga jika kita memiliki niat yang sungguh-sungguh. Cinta, apakah kita akan berhadapan dengan kesempatan lain? Apalagi jika tawaran untuk bersama datang dari orang yang benar-benar kita cintai. Jika saya mengatakan tidak, apakah ada orang lain yang bisa menggantikan posisi Kirana? Ketika ada seseorang menawarkan sebuah kehidupan untuk masa depan, apakah kita harus menolak niat baik itu? Saya mengangguk. Kalau jodoh, tidak kemana. “Ya, saya mau ikut kamu, Kirana,” jawab saya dengan penuh keyakinan. Kirana tersenyum bahagia. Saya rasa, ini adalah raut wajahnya yang paling bahagia selama hidupnya. “Kalau begitu, ikut saya!” Sekonyong-konyong, Kirana menarik tangan saya, berlari sekencang-kencangnya. Awalnya saya tidak siap dengan derap langkahnya yang sangat cepat, namun akhirnya saya mengikuti tarikan tangannya, dan kami berlari semakin cepat dan cepat hingga rasanya kami seperti terbang. Saya melihat ke bawah. Tidak ada tanah yang dapat saya pijak. Kirana membawa kami berdua loncat dari tebing, bersama-sama dengan tas yang digenggamnya.

121

Kirana ketinggalan kereta, namun ia telah mencari jalan lain, menuju tempat tinggal baru kami. Samarsamar dalam benakku ... terbayang wajah para anggota keluarga kami. Kirana, Kirana. Bandung, 24 Februari 2012

122

Gadis Tidak Bernama

Theoresia Rum the

S

ebagai perempuan, saya manipulatif. Saya mendambakan petualangan dalam hidup saya. Bisa dibilang, saya memang tidak terlalu peduli dengan sesuatu yang normatif. Anggap saja saya hidup hanya untuk hari ini. Menikmati segala sesuatu yang saya alami hari ini penuh-penuh. Besok, lain cerita. Hari kemarin apalagi, mereka hanya akan lewat begitu saja. Tidak ada romantisme tertentu. Seperti kata John Lennon, tidak perlu hidup dengan romantisme kemarin. Kita harus terus maju dan melihat ke depan. Begitu kalau tidak salah. Saya memilih untuk tinggal di Bandung. Hidup biasa-biasa saja. Dengan pekerjaan saya: meneliti senja. Mungkin kamu akan mengerutkan kening ketika mendengar profesi ini. Ya, betul. Saya tidak bohong. Ini memang pekerjaan saya. Yang telah saya geluti sekitar 6 bulan terakhir. Dan pekerjaan ini begitu menyenangkan. Ini adalah sebuah pekerjaan romantis. Bayangkan yang kamu lakukan adalah pergi ke sebuah tempat di mana kamu bisa melihat senja dengan luas. Lalu menghitung serat-serat jingganya. Semburat warna yang dikeluarkannya. Mengukur diameter senja: apakah lebih lebar atau bertambah sempit dibandingkan kemarin. Mengukur hangatnya. Dan kemudian mencatatnya sekaligus membuatkannya menjadi sebuah laporan lengkap. Laporan lengkap saya setiap harinya akan saya bawa kepada Dinas Penelitian Senja. Atau biasanya disingkat dengan DPS. Supaya mereka mendapatkan

124

laporan yang lebih detail. Dan ah ya, saya tidak berkantor. Saya orang yang bebas. Kebetulan mereka juga tidak memaksa saya untuk pergi ke kantor. Cukup dengan melakukan pekerjaan saya dengan detail. Dan juga tidak ada deadline. Bukankah ini yang diinginkan oleh kebanyakan orang. Pekerjaan menyenangkan, yang bisa kamu lakukan tanpa diburu-buru. Saya bisa pergi kemana saja untuk bertemu senja, menelitinya, dan mencatatnya. Demikian pekerjaan saya. Romantis bukan? Tapi bukan hanya menyoal romantis. Saya suka dengan petualangannya. Ini harap dicatat: pekerjaan romantis tidak membawamu kepada hubungan yang romantis. Dalam jangka waktu setahun ke belakang ini saya memacari dua orang sekaligus. Tak usah mengerutkan kening begitu. Pasti kamu kepengin tahu kenapa? karena saya orang yang mudah sekali bosan. Saya ingin mendapatkan sensasi yang berbeda dari dua orang sekaligus. Dan ini juga harap dicatat: saya tidak merasa diri saya hebat ketika memacari dua orang sekaligus. Sungguh, bukan itu maksud saya. Saya selalu berpedoman bahwa jika memang belum waktunya berkomitmen, silakan pacari orang sebanyak mungkin. Sesukamu. Kalau perlu tidurlah dengan mereka. Lakukan itu kalau memang kamu mau. Kalau kamu tidak mau ya tidak usah. Tak usah banyak mendengarkan orang lain. Ini hidupmu dan bukan hidup mereka. Lingkar namanya. Ia yang pertama. Pria gondrong tidak semampai. Saya bahkan lebih tinggi beberapa

125

senti darinya. Seorang dosen di sebuah Sekolah Tinggi Kesenian di Bandung. Sehari-harinya ia juga sibuk menjadi kurator pameran-pameran kecil yang sering diadakan di galeri-galeri di kota ini. Andreas yang ke dua. Ia seorang mahasiwa Theologia gila. Tidak terlalu bersemangat menyelesaikan kuliahnya. Malahan lebih sering aktif di kegiatan-kegiatan berbau filsafat. Diskusi sana-sini. Selalu mempertanyakan banyak hal. Dan percaya bahwa di dalam setiap diri manusia itu teradapat semacam kegelisahan. Anxious. Yang hanya bisa dijawab oleh manusia itu sendiri. Jika ia belum menemukan jawabannya, manusia itu akan mencari

126

di sepanjang jalan hidupnya. Bahkan matinya pun nanti tidak akan tenang. Lingkar dan Andreas saling mengenal. Hanya saja mereka berdua tidak tahu bahwa saya memacari keduanya. Untuk trick yang ini, saya tidak akan membukanya kepadamu. Psssttt. Silakan penasaran saja. Saya manipulatif. Yang satu ini saya yakini betul. Tapi sudahlah, akhirnya saya tahu bahwa belum saatnya juga saya memilih satu diantara keduanya. Atau malah tidak sama sekali. Saya sendiri tidak mau buru-buru menikah seperti orangorang kebanyakan. Bahkan saya tidak anti komitmen seperti yang dituduhkan oleh salah seorang sahabat saya Mandisa. Namanya yang selalu mengingatkan saya kepada seorang penyanyi kulit hitam. “Oke. Lempar dadu. Andreas atau Lingkar?” celetuknya pada sebuah jadwal makan siang kami yang random. Setelah sekian lama kami tidak pernah bertemu.

127

“Hm. Tak ada. Belum ada.” Jawab saya pendek. “Terus hubungan seperti ini mau sampai kapan?” kini pertanyaannya menyiratkan kegemasan sangat. Saya tidak menjawab. Hanya mengangkat bahu. Dan melanjutkan melahap spagheti carbonara yang ada di depan saya. Laos, rumah makan favorit kami. Siang itu tampak lengang-lengang saja. Hanya sepasang muda-mudi di meja sebelah ujung. Seorang pria paruh baya sendirian sederetan dengan meja kami. Matahari meluap semakin panas. Dan entah kenapa saya selalu yakin jika siang kini begitu panas. Senja nanti akan matang.

*** Saya adalah gadis tidak bernama. Unknown. Karena saya tidak ingin populer. Biarkan saja orang-orang mengagung-agungkan saya karena pekerjaan saya. Seperti yang saya telah katakan di awal bahwa saya adalah: peneliti senja. Kenapa senja? Karena senja tidak sama setiap hari. Seperti berevolusi ia berubah. Warna. Tekstur. Posisi. Kadang seperti telur mata sapi. Kadang mekar seperti bunga. Kadang seperti bayi sembunyi di salam selimut. Kadang seperti anak anjing dengan helai kuping yang panjang. Kadang seperti payung merah muda. Kadang berbentuk gaun anggun di tubuh perempuan. Di catatan harian saya, kamu bisa menemukan senja dalam beragai bentuk.

128

Saya suka dengan perubahan itu. Karena setiap hari saya pergi untuk meneliti mereka. Perkakas yang saya bawa di dalam tas saya tidak banyak. Hanya catatan harian kecil dan pensil. Serta termos, tempat saya menaruh kopi panas. Beberapa tempat yang biasanya saya pakai untuk meneliti senja juga be­ ragam. Kadang di Bandung bagian atas, jembatan layang, halaman belakang rumah Mandisa, lantai delapan kantor Dinas Penelitian Senja, bahkan di beberapa jalan utama tempat saya biasanya berkendaraan umum. Tapi dari beberapa tempat yang ada, favorit saya beberapa waktu terakhir ini untuk meneliti senja adalah Tanjung Latuhalat di kota Ambon. Karena saya sempat berlibur beberapa waktu di sana. Latuhalat adalah sebuah Kecamatan yang terletak di ujung kota Ambon. Kamu akan melewati Air Salobar, Tapal Kuda, Amahusu, Eri, sebelum akhirnya sampai di sini. Dalam perjalanan menuju pantai kamu akan menemukan pantai pasir putih sepanjang perjalan dengan ombak berbuih-buih di kejauhan. Bau asin khas pantai akan menyambutmu. Terdapat beberapa pantai yang biasanya dikunjungi oleh wisata­ wan yaitu Pantai Namalatu, Pintu Kota dan beberapa pantai di sekitarnya. Tetapi jika kamu memiliki pekerjaan seperti saya yaitu meneliti senja, saya sarankan kamu untuk pergi persis di bagian ujung Tanjung. Tanjung Latuhalat adalah bagian yang biasanya akan membuatmu bertemu langsung dengan senja. Beberapa laporan yang bisa saya ceritakan ke kamu adalah:

129

14 Februari rnya k pagi. Senja akhi ja se ng du en M . ne Valenti rbuih di kejauhan. be k ba m O r. da liseperti telur da jan menetes di pe hu ik nt ri n ia ud m kan Tidak lama ke tidak bisa melapor ya sa i in ri ha , uh D pis saya. apa-apa. nja 15 Februari gaun ke pesta. Se i rt pe Se li. ka se kitar Wow. Merah kit lebar kali ini, se di se a ny er et m ia merona. D a hangat. mping. Badan senj sa ke h ba am rt 6cm be erah, anya senja yang m rt be ya sa ti ha Dalam a? kamu mau keman se 16 Februari mpak lelap di balik ta a I r. du ti a nj Kali ini se ru saja meneteki ba ng ya yi ba i rt limut awan. Sepe saya mendekat, ka ti Ke . ya un ib su ma banyak dari su cil. Senja dingin sa ke h bi le di ja en m bentuknya sekali. 17 Februari a. Saya kangen. Hujan lagi. Oh senj 18 Februari di Ambon sebelum ya sa ir kh ra te Ah ini sore li ini senja jutan. Ternyata ka Ke g. un nd Ba ke pulang lam gelas belimbda di a ud m ah er n seperti sirup m kit. Karena Ambo di se um in m ku a URP. ing. Terpaks hausan. Permisi! SL ke ya sa n da s na begitu pa

130

Ya. Kurang lebih seperti itulah sedikit cerita dari catatan harian saya. Tentu saja yang saya katakan kepadamu tidak terlalu detail. Karena nanti saya dimarahi oleh Dinas Penelitian Senja membongkar rahasia mereka. Pekerjaan yang romantis. Yang dilakukan oleh saya perempuan tak bernama. Beberapa kali saya menolak diinterviyu oleh wartawan. Karena bagi saya ini adalah pekerjaan spesial. Saya tidak ingin populer dengan pekerjaan ini. Yang saya inginkan adalah ajeg. Terus menerus melakukan pekerjaan ini karena saya cinta. Bukan popularitas. Tetapi beberapa wartawan yang hendak mewawancarai saya kadang memaksa. Mereka pikir saya sombong untuk sekadar bercerita sedikit mengenai profesi saya. Selama enam bulan terakhir ini saya mulai diburu. Tidak hanya dari wartawan media cetak. Media televisi beberapa kali menelepon saya. Tapi saya menolak mereka semua. Hanya ada satu, yang menurut intuisi saya, mereka layak untuk mendapatkan waktu menginterviyu saya. Itupun tidak lama-lama. Saya hanya menyediakan waktu kepada mereka 30 menit saja. Bukan karena pelit. Sudah saya katakan saya tidak mau terkenal. W: Bisa sebutkan nama anda? S: Nama saya tak bernama. Unknown.

131

W: Baiklah Nona Unknown, bisa ceritakan kapan anda memulai pekerjaan meneliti senja ini dan awalnya seperti apa? apakah ada yang menawari anda? S: Kurang lebih enam bulan yang lalu saya melihat iklannya di koran. Dibutuhkan seorang peneliti senja. Perempuan. Mandiri ... begitu kira-kira bunyi iklannya. Saya lalu iseng mengirimkan lamaran saya. Eh, malah saya dipanggil wawancara. Dan diterima pula. Alasan mereka menerima saya, karena waktu itu saya tidak sengaja pakai oranye. Kata mereka: saya cocok sekali dengan sosok yang selama ini mereka cari. Begitulah. Sederhana saja prosesnya. W: Oh baiklah. Wow. Anda beruntung sekali. Lalu bisa ceritakan apa yang membuat anda tergila-gila dengan senja? Apakah ada yang menginspirasi anda secara khusus? S: Hm. Baiklah jika harus jujur saya ingin mengatakan bahwa saya pernah membaca tentang seorang perempuan yang bernama Alina. Katanya Alina ini dihadiahi “sepotong senja oleh pacarnya.” Padahal tahu-

132

kah anda, saya sendiri tidak percaya bahwa Alina ini punya pacar. Apalagi memangnya ada laki-laki yang berani-beraninya melukai senja hanya untuk pacarnya. Saya ragu. Apa itu memang benar permintaan Alina? Atau memang itu hanya usaha dari lelaki itu untuk hanya tidur dengan Alina? Beberapa saat pertanyaan-pertanyaan semacam ini mencuat di dalam kepala saya. Dan itulah yang membuat saya tertarik untuk menggeluti profesi ini. Pasti ada yang menarik dari senja. Sampai lelaki yang disebut-sebut sebagai pacar Alina berani mencurinya sepotong. Saya sendiri tidak langsung tergila-gila awalnya. Tapi saya pikir pekerjaan ini sensual. Siapa tahu suatu hari nanti saya bertemu dengan Alina sekaligus pacarnya itu. Hm, kalau memang mereka nyata. Si pewawancara menyiratkan wajah bingungnya dan selanjutnya wawancara itu dilanjutkan dengan obrolan-obrolan menyenangkan dari si pewawancara yang membuat saya tertarik. Selesai. Alina. Betul. Ia adalah tokoh dibalik kesukaan saya bekerja sebagai peneliti senja. Secara tidak langsung saya ingin berkenalan dengannya. Siapa tahu kami bisa mengobrol suatu hari nanti. Dan bagaimana rasanya

133

dibawakan sepotong senja oleh pacar. Kalau itu memang terjadi terhadap saya, saya akan menyimpan senja itu baik-baik. Hm, simpan dimana ya? saya juga tidak tahu. Mungkin saya akan meletakkannya dengan koleksi barang antik saya yang lain. Alina perempuan itu. Saya penasaran seperti apa tampangnya. Apa yang dia lakukan kepada pacarnya sampai-sampai pacarnya rela membawakan ia senja. Karena saya sendiri iri dengan hal tersebut. Saya tidak pernah dibawakan sesuatu oleh Andreas maupun Lingkar. Mereka akhir-akhir ini terlalu sibuk dengan urusannya masing-masing. Andreas kini mulai disibukkan dengan perihal kelulusannya. Kalau tidak ia akan berurusan dengan orang tuanya. Frekuensi bertemu kita juga saat ini menjadi berkurang. Tapi seperti biasa saya tidak kangen-kangen amat. Karena waktu saya kini lebih banyak bersama Lingkar. Malam-malam panjang kita habiskan bersama. Di kosku atau di rumahnya. Saya sendiri lebih leluasa. Lingkar juga tidak pernah membawakan saya sesuatu yang istimewa. Saya juga bosan dengan percintaan yang begitu-begitu saja. Tapi pada akhirnya saya sampai di suatu kesimpulan bahwa, bahkan jika kamu punya dua orang pun, itu tidak akan membuat kamu puas dalam kehidupan kamu. Seperti ada kekosongan. Jiwa dan hatimu, seperti selalu minta diisi. Entah oleh apa. Saya tidak merasa puas dengan apa yang Lingkar berikan kepada saya. Ataupun sebaliknya apa yang diberikan oleh Andreas

134

kepada saya. Tapi saya juga tidak tergantung dari mereka. Saya hanya ingin dibawakan sesuatu. Istimewa. Oleh pacar-pacar saya. Itu saja. Hubungan Alina dan pacarnya kerap membuat saya iri. Saya ingin diperlakukan seperti Alina. Alina pastinya perempuan yang istimewa di mata pacarnya. Mungkin juga tidak cantik-cantik amat. Dan bisa jadi Alina juga manipulatif seperti saya. Supaya pacarnya tidak hanya memberikan tubuh kepadanya melainkan juga memberikan Alina sepotong senja. Begitupun saya. Saya tidak hanya menginginkan tubuh. Saya menginginkan dibawakan sesuatu yang romantis oleh pacar-pacar saya. Kalau Alina bisa mendapatkan senja hanya sepotong. Mungkinkah saya bisa mendapatkan sepotong lainnya.

*** Akhir-akhir ini kota geger. Dari sebuah harian yang saya baca katanya senja beberapa hari ini tidak tampil sempurna lagi menjelang sore. Bahkan Dinas Penelitian Senja sendiri akhirnya mengkonfirmasikan bahwa senja yang timbul dalam dua hari terakhir ini hanya sepotong. Seperti

135

ada bekas tercerabut pada ujung-ujungnya. Saya sendiri masih tidak percaya. Karena akhir-akhir ini kota mendung. Saya harus menunggu beberapa hari lagi sampai mendung lewat dan ingin membuktikannya dengan mata kepala saya sendiri. Bahwa senja kini hanya tinggal sepotong. Kalau memang benar terjadi demikian, Alina itu adalah perempuan brengsek. Berarti mereka itu memang benar-benar ada. Dan ternyata kasus pencurian sepotong senja itu kini menjadi misterius. Entah siapa pencurinya. Dinas Penelitian Senja yang akhirnya bekerja dengan pihak Kepolisian tidak punya bukti yang cukup kuat. Ah, tapi saya masih tidak percaya. Saya ingin membuktikannya dengan mata saya sendiri, apa benar senja kini hanya tinggal sepotong. Siang ini tampak mendung mendung di pucuk-pucuk awan. Dalam hati saya berdoa supaya, nanti sore hujan tidak turun. Supaya saya bisa melihat sendiri senja yang hilang itu. Apakah sepotong? Seberapa besarkah ia terpotong. Keinginan saya untuk membuktikannya bergabung dengan pemikiran-pemikiran saya bahwa adakah orang yang tega melukai senja hanya demi pacarnya. Adakah orang yang berani melakukannya hanya untuk seorang perempuan. Bukan perkara perempuan itu begitu istimewa. Hanya saja kenapa ia tega melakukannya? saya menunggu waktu yang tepat untuk pergi melihat dan membuktikannya sendiri dengan mata kepala saya sendiri. Pada akhirnya memang se-

136

gala sesuatunya harus dibutikan. Iman pun harus dibutikan. Masalah pembuktiannya kapan saya tidak pernah tahu. Saya pergi menjemput senja. Pekerjaan yang selama enam bulan terakhir ini saya geluti. Masih dengan ransel yang sama. Isinya juga tidak berubah ada catatan harian, pensil, dan termos kecil berisi kopi. Saya tidak pintar meracik kopi. Hanya saja saya telah berjanji kepada diri saya sendiri bahwa saya hanya akan meminum kopi yang enak. Karena hidup ini berharga. Ini ada hubungannya dengan saya memacari dua orang sekaligus. Karena hidup ini berharga. Cinta bisa dinikmati dengan cara lain. Taruhlah kata komitmen di balik behamu. Jangan melakukannya dengan terburu-buru sebelum kamu tahu kamu akan berkomitmen dengan siapa. Seperti jangan menikah hanya karena orang tuamu mulai resah. Atau tetanggamu yang gelisah. Apakah pada akhirnya Alina menikah dengan pacarnya itu yang membawakan dia sepotong senja. Saya tidak tahu dan saya tidak

137

mau tahu. Biarkan itu menjadi misteri. Sekali lagi cinta itu misteri. Saya dengan pekerjaan yang romantis ini belum tentu juga punya hubungan yang romantis. Hanya saja saya sebal kalau memang ada yang mau melukai senja hanya untuk seorang perempuan. Menurut saya laki-laki itu tidak adil. Karena pasti laki-laki itu telah dimanipulasi. Seperti diberi gunaguna supaya menurut. Memenuhi semua kebutuhan perempuan itu. Saya memabayangkan Alina, perempuan itu berbicara kepada pacarnya. “Mas saya mau senja. Sepotong saja.” “Untukmu sayang, saya akan bawa seutuhnya jika perlu.” “Benar ya mas? Janji?” “Saya janji Alina. Apapun akan saya lakukan untukmu. Hanya karena engkau begitu manis.” Mungkin begitu percakapannya. Saya membayangkan pacar Alina melumat bibirnya diantara deburan ombak. Adegan menarik bukan. Walaupun kadangkala saya merajuk untuk mendapatkan percintaan yang mewah. Andreas si calon pendeta gila itu akan membawa saya ke hotel. Ia akan menggunakan semua fasilitas karrtu kredit kedua orang tuanya yang kaya untuk kami habiskan berdua. Saya yang puas. Karena saya mendapatkan tidak hanya tubuh. Lingkar lain soal, saya akan memanfaatkannya dengan cara lain. Sekali lagi saya manipulatif. Dan saya rasa Alina pun demikian.

138

Di kejauhan saya melihatnya. Senja yang merona di kejauhan. Warnanya masih sama seperti yang biasa saya kenal. Sulur-sulur keemasannya tampak seperti rajutan indah pada langit. Saya merasakan hangatnya semakin dekat di kepala saya. Jika saya bisa menggambarkan, sore itu senja seperti perempuan yang sedang kasmaran yang sedang berjalan dengan kakinya yang pincang sebelah. Tepat pada saat itu akhirnya saya melihat dengan mata kepala saya sendiri. Seperti yang dikatakan oleh orang-orang bawah senja kini tinggal sepotong. Brengsek! Umpat saya. Saya tidak tahan untuk memaki Alina. Karena pada saat ini entah di tempat bagian yang mana ia menikmati sepotong senja lainnya. Saya berjalan semakin dekat ke arah untuk melihat senja itu lebih rendah. Dan melihat garis tercerabut yang ada pada bagian tengah senja itu. Saya lalu mengambil senja itu, kini senja terlihat seperti arum manis di tangan saya. Dengan sulur-sulur keemasannya. Saya menjilati ujung senja. Lalu menggigit bagian lainnya. Mengunyah mereka perlahan-lahan. Menikmati senja yang hangat kini bercampur dengan air liur saya. Turun ke dalam tenggorokan saya. Lalu meluncur ke dalam usus saya. Diselesaikan dengan bunyi sendawa panjang. Senja yang hangat, kemerahan, juga kasmaran. Kini diam di dalam perut saya membuat hangat. Sepotong senja itu kini aman di dalam perut saya. Barangsiapa yang

139

hendak melukai senja, mereka harus melukai perut saya terlebih dahulu. Ada yang berani?

iselesaikan di Rumah Buku. 21 Februari 2012. pukul empat lebih tujuh menit.

140

Guru

Omong

Kosong Arnellis

141

Dikin gugup. Lampu redup. Namun, Dikin bisa melihat jelas anak-anak mengamatinya dengan tegas. Dia tidak ingin dilecehkan, meskipun dia tahu wajar saja jika murid-murid SMP kelas satu itu melakukannya. Siapalah dia, seorang penjaga sekolah yang kebetulan tertimpa tugas dadakan. Dikin menyeka kening walau tak ada bulir keringat di sana. Anak-anak mulai mendengus, menanti kalimat yang akan dikeluarkan orang yang sering mereka temui di warung itu. Dikin tidak tahu bahwa sebetulnya anak-anak penasaran juga, kenapa ia masuk ke dalam kelas sore itu. Dikin sudah maju sepuluh langkah dari pintu kelas dan ia membatu di sana. Dia sudah dibekali bahan berupa secarik kertas dan spidol hitam. Pak Hasan sudah memberitahunya tadi, dia hanya perlu menuliskan satu kalimat yang ada dalam kertas di papan tulis. Kemudian beri sedikit perintah kepada anak-anak: keluarkan buku dan alat tulis, kerjakan soal tersebut, lalu kumpulkan saat bel sekolah berbunyi. Hanya itu. Namun bagi Dikin tugas itu bukan sekadar hanya. Sebuah ide yang menurutnya hebat melintas setelah Pak Hasan tuntas memberinya perintah. Ia diminta menggantikan Pak Widi di kelas pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan. Ah, bukan menggantikan mengajar, melainkan hanya diminta menuliskan catatan yang ditulis Pak Hasan. Rupanya catatan itu hanya dipin-

142

dahkan dari tulisan SMS yang dikirim Pak Widi kepada Pak Hasan. Perintah tugas untuk murid-murid agar menggambar burung Garuda Pancasila dan menuliskan kalimat sila di bawah gambar itu. Kalimat pembuka SMS diberitahukan secara lisan kepada Dikin. Pak Widi mohon izin tidak masuk karena sakit. Pak Hasan juga menambahkan bahwa Bu Rina sang kepala sekolah juga berhalangan hadir sebab ada rapat di sekolah lain. Guru lain punya tugas di kelas masing-masing. Maka jadilah pemakluman tidak tertulis yang hadir di antara mereka yang menjelaskan mengapa Dikin si penjaga sekolah mesti mengisi kelas. Ini semacam berkah. Betapa ingin Dikin mengajar di sekolah. Sudah lima tahun ini ia menyaksikan lelaki seusianya atau lebih tua darinya mengajar di sekolah SMP itu. Dikin pun ingin mencobanya. Ia merasa bisa, karena tampaknya mudah saja menyuruh anak-anak itu membuka buku LKS dan memintanya mengerjakan sendiri. Jawaban ada di rangkuman teori halaman sebelumnya. Begitu yang biasa diucapkan para guru di sana. Lalu anak-anak tersebut akan semacam kerbau ngantuk membuka halaman untuk mencari jawaban. Si guru akan duduk manis di depan mengoreksi tugas murid-murid sekolah pagi. Yang pernah Dikin dengar, sekolah petang ini hanya sekolah penambah uang jajan bagi guru. Dikin mengambil napas, bersiap mengatakan sesuatu. Pandangannya menyapu ruangan kelas. Namun, hal itu urung dilakukannya. Ia berjalan ke arah papan

143

tulis putih yang bergelombang dan menuliskan satu kalimat di sana. Dia berusaha sekali membuat tulisan yang bagus lengkungnya. Titik. Satu kalimat tertulis. Gambarlah burung Garuda Pancasila dan tuliskan lima sila Pancasila! Dikin berbalik dan buru-buru berkata, “Pak Widi tidak masuk. Sakit. Kerjakan soal ini di buku tulis.” Tak ada yang tahu apa Pak Widi betul sakit atau tidak. Dikin mengarangnya karena itu pasti alasan yang paling mudah diterima anak-anak. “Di buku tulis atau buku gambar, Pak?” seorang anak bertanya lantang. Dikin tergeragap. Dia baru sadar bahwa perintah soal itu adalah menggambar. Namun, perintah yang diberikan Pak Hasan adalah kerjakan di buku tulis. “Di buku tulis ajah,” sahut Dikin. Anak itu merengut sedikit. Rupanya dia membawa buku gambar dan baginya tentu lebih asyik menggambar di kertas tidak bergaris. Dia kembali duduk dan berbisik-bisik kepada teman di sebelahnya. Mungkin mengomentari perawakan kurus Dikin dalam kemeja yang tidak harum lagi baunya. Kemudian, anak-anak lain ikut bertanya. “Diwarnai atau nggak, Pak?” “Yah, nggak bawa pensil warna tauk!” “Item putih aja!”

144

Dikin semakin bingung. Tak ada tadi disebutkan oleh Pak Hasan tentang peraturan teknis begini. Rupanya ada banyak kejutan di kelas yang tidak dia duga. Ia menghirup napas dan mencoba memutuskan. “Boleh diwarnai, boleh juga enggak.” Seorang anak menceletuk, “Ya udah, nggak usah aja, biar gampang.” Teman-teman yang lain rupanya mengiyakan. Kecuali si anak yang bertanya pertama kali. Anak itu justru mengeluarkan pensil warna dari dalam tas. Anak-anak lain mulai membuka buku tulis persis di halaman tengah sampai terlihat besi kecil di sana. Lalu mereka melakukan hal yang sama: merobek lembar kertas itu. Keramaian langsung tercipta sebab mereka tidak punya gambaran yang bagus tentang rupa garuda. Mereka perlu melihat contoh garuda Pancasila di karton yang menempel di dinding kelas. Dikin menanyakan, perlukah ia mencopot gambar itu lalu dipasang di papan tulis. Anak-anak itu serempak mengatakan iya. Lalu ia pun bergegas menuju ke dinding tempat gambar itu berada. Saat itu Dikin baru sadar bahwa sejak tadi ia memegang buku di tangan kiri. Buku itu yang akan membuatnya hebat sebentar lagi, setidaknya begitulah ia menduga. Poster gambar Garuda Pancasila sudah diturunkan dari singgasananya, sebuah dinding bercat minyak oranye terang. Dikin yang mengecat dinding itu dulu. Jadi ia tahu kalau selotip yang dipakai untuk merekat-

145

kan poster ke dinding dapat dilepas dengan mudah. Sekarang poster sudah menempel di papan tulis dan beberapa anak satu per satu datang melihatnya. Tentu saja untuk mencontek rupa si burung garuda. Dikin mengamati kesibukan anak-anak yang semakin lama kian meredup suaranya. Mungkin karena sedang serius bekerja. Apalagi ketika tadi ia menambahkan perintah bahwa tugas itu harus dikumpulkan sebelum bel pulang sekolah berbunyi. Rasanya ada wibawa yang tiba-tiba jatuh di bahunya. Mengamati anak-anak awal belasan itu bekerja adalah sebuah kegiatan yang ternyata sangat mendebarkan. Semua itu karena dilakukan di balik meja guru. Dikin mendeham sekali, tetapi suara yang terdengar hanya seperti gesekan angin. Murid-murid masih terlihat sibuk menggambar sisa ekor garuda. Namun ada pula sebagian murid yang mengobrol dengan teman sebelahnya. Dikin mendeham sekali lagi dan membesarkan suaranya. “Sudah selesai?” Ada koor kata ‘belum’ yang terdengar, dan ditingkahi dengan kata ‘sudah’ di beberapa pojok. Dikin menimbang apakah ia perlu sekali lagi mengingatkan bahwa tugas ini harus dikumpulkan hari ini. Urung hal itu dia lakukan. Ia kembali melangkahkan kaki ke meja guru. Di atas meja guru itulah Dikin meletakkan buku. Sebuah buku setebal Quran yang tiap bulan puasa saja dibaca. Baru kemarin dia menemukan buku itu

146

tergeletak di lantai di ruang guru. Senja sudah lama membayang dan semua guru sudah pulang. Itu waktunya Dikin membersihkan semua ruangan kelas yang jumlahnya tak seberapa. Sapu ijuk Dikin bersentuhan dengan sesuatu yang teronggok hampir masuk ke kolong lemari. Dipungutnya buku yang tidak tampak lapuk, tetapi tidak baru juga itu. Nama pemilik buku tidak ada. Aneh juga, tidak ada judul apa pun di sampul. Ia berpikir bahwa mungkin itu buku catatan. Siapa tahu milik bapak guru entah siapa. Maka dibukanya halaman pertama dengan niat mencari nama pemilik. Terbacalah sebuah judul di halaman pertama yang membuat Dikin langsung mengerutkan kening. Kitab Omong Kosong. Ditulis kata per kata secara vertikal. Judul yang tentu saja membuat Dikin bingung apa maksudnya. Sampai berhenti menyapu dia karena penasaran siapa pemilik buku itu. Dikin menengok ke kanan kiri. Padahal jelas tidak mungkin ada jawaban yang bisa didapat. Dibukanya halaman kedua dan ada separagraf tulisan begini bunyinya: “Tolong sampaikan agar cerita ini tidak usah dibaca karena membuang waktu, pikiran , dan tenaga. Sungguh hanya suatu omong kosong belaka. Mohon maaf sekali lagi untuk permintaan tolong ini. Maaf. Beribu-ribu mohon maaf.” Tertanda, Togog. Dikin tidak kenal siapa Togog. Tidak ada guru di sini yang bernama Togog. Murid juga tidak ada. Lagi pula siapa yang mau kasih nama anak aneh begitu.

147

Togog terdengar seperti blegug, bodoh. Jangan-jangan buku itu memang hanya catatan orang bodoh saja. Buktinya, tulisan di halaman pembuka seperti itu. Namun, justru dengan ditulis semacam itu, boleh dipastikan, pembaca justru akan berniat membuka lembar ketiga. Begitu pula dengan Dikin. Sayang, gagang sapu menahannya membaca. Dia kempit kitab itu dan diteruskannya menyapu. “Segera selesaikan sebelum bel. Pak Widi minta dikumpulkan hari ini.” Dikin menceplos. Anak-anak langsung ngebut mengerjakan. Tampaknya gaya mengancam memang selalu jitu untuk memaksa anak-anak konsetrasi mengerjakan tugas. Dikin menimang-nimang buku. Jika anakanak sudah selesai mengerjakan tugas, dan waktu masih tersisa, ingin dia maju ke depan kelas dan membahas buku di tangannya. Dia merasa ini akan sangat hebat. Berbicara di depan kelas dan memberikan pengetahuan kepada murid. Lima tahun dia bekerja di sekolah ini. Kenyang ia melihat guru-guru sekolah petang ini meng­ajar.

148

149

Dari pengamatannya itulah dia merasa bisa juga mengajar. Sering dia melihat dari luar kelas sambil menyapu teras sekolah yang hanya satu meter lebarnya. Guru-guru menyampaikan pelajaran dengan membaca kalimat dalam buku satu demi satu. Lalu anak-anak akan mencatat ucapan gurunya itu atau mungkin bengong saja. Jarang dia lihat murid yang bertanya. Sepertinya juga tidak pernah ada debat. Kalau ada anak yang menengok atau berbisik-bisik kepada temannya, si guru cukup berteriak dan kelas akan kembali tenang. Oh, guru itu begitu tampak berwibawa. Dikin pun ingin punya wibawa. Selama ini dia sering berhubungan dengan anak-anak sekolah itu, tetapi hanya di balik warung. Mereka akan menya­ panya riang dan mengambil sendiri camilan yang dijual berencengan. Beberapa anak lelaki akan menggodanya, mengambil lontong lalu mencoba berutang. Kadang-kadang Dikin merasa anak-anak bercelana pendek biru itu kurang ajar padanya. Berbeda sekali sikap mereka pada Pak Hasan atau Pak Widi. Tak akan berani mereka menggoda guru, meskipun Dikin tahu anak-anak itu telah menciptakan nama olok-olok untuk gurunya. Seharusnya Kitab Omong Kosong itu bisa membuatnya berwibawa. Semalam setelah selesai merapikan urusan sekolah, Dikin membuka buku itu diam-diam di bangku kayu reyot depan rumah. Buku itu ditulis dengan huruf cetakan buku pelajaran biasa. Ada judul di tiap bagian. Halaman sesudah bagian Togog me-

150

minta maaf berjudul “Dunia seperti adanya dunia”. Dikin membaca beberapa kalimat di bawahnya lalu ia tidak mengerti dengan segera. Dunia itu apa? Dunia Dikin adalah jendela warung dan ruang kelas dalam jangkauan sapu. Dunianya adalah mengumpulkan receh ribuan untuk makan lalu mengeluarkan puluhan ribu untuk membayar uang sekolah anak. Dunianya adalah ramai berita kriminal dalam tabung televisi buatan Cina. Cuma itu adanya dunia. Halaman berikutnya dibuka dan bertemulah ia dengan judul: “Dunia seperti dipandang manusia”. Dikin mencoba mencerna. Baginya, dunia itu fana. Itu yang dia ketahui dari guru ngaji di kampung dulu, juga penceramah di televisi. Karena fana itulah, ia tidak peduli seberapa banyak omong kosong yang dibualkan petinggi Negara. Ia hanya tahu makan, kerja, lalu berdoa. Sama seperti yang dilakukan kebanyakan manusia miskin di negeri ini. Judul-judul berikutnya adalah: “Dunia yang tidak ada” dan “Mengadakan dunia”. Dikin semakin mengkerut. Mungkin benar apa yang dikatakan si Togog ini. Kitab ini membuang waktu dan pikirannya. Mungkin karena istilahnya yang susah itu. Saat itulah istrinya berteriak. Rupanya makan malam yang tak mewah sudah memanggil.

***

151

Di meja guru sekarang Dikin kembali bertanya apa maksud dari semua judul tadi. Bahasanya susah dimengerti, tapi terasa begitu menarik hati. Semacam bahasa tinggi yang sering dia temukan di lembar buletin Jumat yang didapatnya di masjid. Bahasa yang tidak mudah dimengerti dirinya yang hanya tamat sekolah menengah pertama. Tentu saja guru di pengajian bisa membaca itu dengan mudah. Tampaknya guru-guru memang hebat dalam membaca tulisan yang rumit. Membaca buku yang susah akan membuatnya semakin berwibawa. Andai Dikin menemukan buku itu seminggu sebelumnya, mungkin ia akan lebih paham isinya. Lalu nanti ia bisa dengan mudah berbagi di kelas kepada anak-anak itu. Ia teringat sesuatu, ada halaman-halaman yang belum ditengoknya setelah judul bagian keempat. Buku itu kembali digamit. Dikin membukanya dengan kedua jempol hingga akhirnya menemukan halaman kosong. Dibaliknya lagi beberapa halaman sebelumnya dan kosong pula yang ia temui. Kosong. Kosong. Lalu ada sebuah judul bertuliskan “Kitab Keheningan”. Mengkerut lagilah kening Dikin. Hingga kemudian sebuah suara memecah kerut itu. “Pak, itu buku apa?” Seorang murid memberanikan diri bertanya. Ingin tahu dia mengapa buku itu sampai bisa membuat Dikin menganga. “Oh, ini ... kitab, eh, buku tentang lima sila.”

152

Tercetus begitu saja jawaban Dikin. Ada sedikit bungah karena ia sadar bisa mengaitkan buku dengan pelajaran jam itu. Sayang, dia tidak siap dengan binar yang muncul di mata si anak setelah mendengar jawabannya. “Wah, cerita dong Pak, buku itu isinya tentang apa!” Tiga detik Dikin menatap mata anak yang sungguh ingin tahu itu. Tiga detik berikutnya Dikin menatap halaman judul buku itu. Sebuah omong kosong. Apa mungkin dia mengarang omong kosong saja tentang lima sila kehidupan itu? Tapi ini kapan lagi dia bisa mengajar di depan kelas dengan murid yang antusias? Tapi bagaimana kalau nanti ada pertanyaan yang tidak bisa dia balas? Dikin buru-buru melangkah ke depan kelas walau di benaknya belum ada keputusan. Tentu ia bisa mengajar. Ah, semua orang toh bisa bicara. Dibukanya buku itu di depan kelas. Ditatapnya mata anak yang tadi bertanya. Kelas menjadi hening. Anak lain turut diam mengikuti semangat temannya yang menular. Dikin menarik napas dan meyakinkan dirinya bahwa dia bisa melakukan ini semua. “Judul buku ini: Kitab omong kosong.” Murid-murid melongo. “Saya akan jelaskan artinya. Meskipun Togog bilang buku ini tidak perlu dibaca karena membuang waktu, tapi saya malah ingin membacanya. Kamu

153

akan saya ceritakan. Tenang, saya bukan guru omong kosong.” Murid-murid makin melongo. Tiga detik kemudian bel pulang sekolah berbunyi.

154

Surat ke-93

Feby Indirani

1.

Ini adalah surat ke-93 yang kukirimkan kepadanya. Kulipat tepi-tepi kertasnya dengan saksama, menekannya licin-licin seperti sedang menyeterika baju pesta. Masih sempat kuhirup aroma kertas yang khas, kuraba permukaan yang sedikit bergelombang karena tekanan tinta. Ini lipatan terakhir sebelum kumasukkan ke dalam amplop yang akan menguncinya dalam lekat. Kupisahkan kembali tepi kertas yang telah berpadu, hingga terpampang lagi deretan huruf biru cerah yang ku­ torehkan, dengan tulisan tangan yang kecil dan rapi. Sayangku, begitulah suratku selalu kumulai. Inilah suratku yang ke-93 untukmu. Artinya untuk ke-93 kalinya aku membuktikan kerinduanku. Aku kangen. Aku kesepian di sini. Tak pernah sekalipun ia membalas surat-suratku. Dugaku, ia tak akan punya nyali bahkan untuk membukanya. Kubayangkan tangannya gemetar menggenggam suratku, sebelum merobeknya hingga kecil. Mungkin jika belum puas juga, ia akan mengambil pemantik lalu mulai menyulut apinya pada carikan kertas putih. Menghanguskannya. Tapi aku terus menulis surat, karena aku tahu jauh di dasar hatinya ia terus mengharapkan aku melakukannya. Aku kenal betul lelaki itu sam-

156

pai ke isi perutnya. Aku hapal betul kebiasaannya. Ia akan tetap mengenang dan membayang-bayangkan aku. Aku adalah mimpi-mimpinya. Ia boleh membakar remah suratku jadi abu, tapi panasnya bara dari jantungku akan terus menyala. Menghantuinya.

2.

Apakah lawan dari cinta? Bukanlah benci, melainkan ketidakpedulian. Sejak lahir manusia diciptakan untuk bersuara lantang. Menjerit dan mengentakkan kaki. Seperti suatu pernyataan jelas tegas: aku hadir di dunia untuk memberikan tanda. Dan dalam hal mendamba perhatian, nyaris tak ada bedanya apakah kau berusia sehari atau seribu satu kali lebih tua. Karenanya pengabaian adalah bentuk hukuman paling kejam. Tak ada yang lebih menyakitkan daripada keberadaan yang dinafikan, sehingga tak ada bedanya apakah kau itu dinding, pulpen kayu atau gembok besi. Dan tak ada yang paling menusuk ketimbang diabaikan oleh lelaki yang kaucintai. Tak pernah sekalipun ia membalas surat-suratku, yang kutulis dengan warna tinta biru cerah, kulipat

157

tepi-tepinya dengan saksama, lalu kutekan licin-licin bak menyeterika baju pesta. Aku menuliskan surat untuknya setelah sekian lama tak jumpa, air mata yang selama ini tertahan bak bisul akhirnya meletus juga. Konon ketika air mata pertama mengalir dari mata sebelah kiri, artinya kita menangis karena sesuatu yang menyakitkan. Sementara jika dari mata sebelah kanan, itu berarti sesuatu yang membahagiakan. Tapi air mataku terlahir sebagai anak kembar, dari sisi kiri dan kanan. Mungkin karena dialah sumber kebahagiaan sekaligus kedukaan. Bukankah duka cita adalah suka cita yang terbuka kedoknya? Suratku tak pernah tersesat. Ia tiba tepat di alamat, karena jika tidak ia akan berbalik kepadaku dengan catatan tertentu. Itu surat yang begitu mendamba, sehingga bila pun salah alamat, semua yang menerimanya pun tak akan tega mengabaikannya. Kubayangkan jika suratku tersesat ke tangan se­ orang wanita tua, ia akan menulis balik padaku dengan jemarinya yang keriput dan bergetar. Ia akan mengabarkan, suratku salah alamat, atau lelakiku sudah pindah tempat. Tapi tak lupa, ia akan berpesan: Maaf aku tak sengaja membaca suratmu sewaktu ingin mengirimkannya kembali. Namun bila lelaki ini telah berhenti memberikan kabar selama itu, percayalah ia memang tak ingin kaucari. Lalu ia akan menuliskan nasihat dengan jemari yang keriput dan bergetar, sesuatu yang sering dibisikkannya kepada orang-orang

158

muda yang ia tertukar sebagai cucunya, jangan biarkan hatimu buta karena cinta. Lalu jika suratku tiba di tangan seorang siswa SMP yang aktif di kerohanian agama, ia akan mengerutkan dahi dan berpikir. Perempuan yang menulis surat ini mungkin datang dari masa depan. Di masa kini ia adalah siswi kelas sebelah yang menaksirnya sejak semester lalu, menuliskan busa-busa cinta pada majalah dinding atau surat-surat tanpa nama yang ia temukan di laci mejanya. Si siswa SMP akan mengembalikan suratku, tapi tak kuasa menorehkan pesan singkat dengan tulisannya yang seperti sandi rumput: Kakak salah alamat. Tapi kata Pak Guru, pacaran itu tidak baik untuk anak sekolah. Daftar kemungkinan yang masih berderet panjang. Namun aku merasa pasti, surat itu terlalu mendamba untuk dianggap tiada. Kecuali di mata orang yang ditujunya. Hanya dia satu-satunya orang di dunia yang mampu mengabaikan suratku. Pada suratku yang ke-37 yang tak juga pernah dibalasnya, mataku seperti akan meledak akibat terlalu panas. Lahar yang mengalir telah melindas bukitbukit pipi, sejak menganak sungai hingga mengering sendiri. Selesai melipat tepi-tepinya dengan saksama, aku membuka kembali pinggir kertas yang sudah berpadu. Terhamparlah huruf-huruf berwarna biru cerah. Terpaparlah hidungku dengan aroma kertas yang khas.

159

Lalu tiba-tiba aku muntah. Mengeluarkan seluruh isi makan siangku hari ini, makan malamku kemarin, dan ketika tak bersisa lagi isi perutku, namun aku masih juga ingin muntah, aku tiba-tiba mengeluarkan sesuatu yang membuatku jijik. Aku memuntahkan cacing tanpa kepala. Atau sesuatu yang mirip seperti itu. Seluruh tubuhku gemetar menahan mual. Tak sanggup menatap, tapi tak kuat membunuh. Dia hidup, dan sejak hari itu menetap berkeliaran di sekitarku, bergerak antara ada dan tiada di batas-batas sadarku.

3.

Kita menamakan mereka hantu. Makhluk tak kasat mata yang berlalu lalang di sekitar kita. Tak jelas identitas dan asal muasalnya. Mereka sibuk dengan kehidupannya sendiri, sambil melirik sesekali. Konon mereka sering pula mengikuti kegiatan kita, entah untuk tujuan apa. Kita tahu mereka ada di sekitar kita, tanpa bisa menolak. Kita mesti puas berdamai, bahwa cukuplah mereka tak memperlihatkan rupa seram atau suara yang mendirikan bulu kuduk. Kita belajar hidup berdampingan, berupaya tak saling menganggu. Secara sadar kita memilih mengabaikan

160

mereka, antara bentuk penyangkalan dan ketakutan bahwa mereka benar-benar ada. Sambil dalam hati merutuki kenapa kita sedemikian pengecutnya terhadap makhluk yang muncul sesekali dalam batas-batas sadar tak sadar kita. Lelaki itu bersikap seolah suratku tak pernah tiba. Memilih mengabaikanku, perempuan yang muncul sesekali dalam batas-batas sadar tak sadarnya. Begitulah caranya ingin lepas dari masa lalunya. Memutuskan segala ikatan. Lenyap. Moksa. Ia berharap dirinya hilang. Tanpa masa depan. Tanpa masa lalu. Tanpa sejarah. Gentayangan. Bebas. Kapan kita menikah? Kapan kamu kembali? Pertanyaan itu terus terngiang di telinganya. Ia yang pernah berlutut sambil mengenggam tanganku dan mengucap janji bahwa ia pasti kembali. Ia mungkin saja tenggelam dalam kesibukannya. Orang-orang yang bekerja di ibukota selalu bersikap seolah diri mereka sangat penting dan sibuk. Lalu aku muncul sesekali memamerkan rupa seram dan mengeluarkan suara yang mendirikan bulu kuduknya. Ia mungkin saja meniduri penjaga warung, pelacur ataupun penyanyi bar yang mengesankan. Tapi ia tak akan pernah bisa menghilangkan bayangku. Yang muncul di antara mimpi junubnya dan batas-batas sadar-tak sadarnya. Aku tahu akan terus menghantuinya, seumur hidupnya.

161

4.

Kami berpisah di suatu senja. Ia memutuskan berangkat ke ibukota, meninggalkan kota kami. Tanah yang mengubur ari-ari dan merekam ribuan jejak kaki kami yang telanjang. “Aku tak bisa membayangkan tubuhku tak kunjung pergi dari sini, sejak lahir sampai mati,” ujarnya dengan sorot mata menerawang, menatap jauh ke barat, menembus cahaya matahari yang melesat-lesat. Lelaki itu memuja senja. Dia selalu punya seribu satu cara mengulas-ngulas senja, laksana hendak mengagungkan surga. Sedangkan aku, adalah perempuan yang membenci senja. Senja hanya membuatku gundah. Segala keindahan, warna keemasan di langit itu adalah tanda duka cita. Keemasan yang berubah menjadi keremangan, lalu gelap dan dengannya kita tahu telah berpisah dengan suatu hari. Senja adalah waktu perpisahan dan selamanya aku membenci kehilangan. Seperti lelaki itu. Aku sudah kehilangannya padahal jasadnya masih duduk bersisian denganku. Jiwa dan benaknya telah berangkat lebih dulu. Ia menyusul lelaki-lelaki kota kecil kami yang bertaruh nasib di ibukota. Ada sebagian yang kembali dengan

162

bangga, pakaian jelas baru, ucap berbuih syukur dan tak lupa membagikan kelebihan rezeki pada sanak kerabat. Kebanyakan dari mereka bekerja sebagai pegawai rendahan di kantor. Hanya sedikit sekali yang betul-betul bernasib baik, seperti menjadi supir pribadi bos. Nyaris tak ada yang menjadi pedagang, meski nabi yang mereka puja bersabda 80 persen rejeki diperoleh dari perniagaan. Sejumlah besar dari mereka tak pernah kembali. Mereka hanya memberi kabar untuk kalangan terbatas, sekadar mengelola rasa aman pihak keluarga. Tetap dengan pesan, jangan terlalu banyak bercerita pada tetangga. Kelompok yang ini bekerja mulai dari supir angkutan cabutan yang getol mengejar setoran harian hingga tukang bangunan dan portir angkat barang. Ia bisa saja mengelola toko kecil milik ayahnya atau membuka rumah makan seperti saudara-saudaranya. Membuka lapangan pekerjaan bagi orang-orang terdekat dan menggerakkan ekonomi setempat, Pilihan yang menurutku lebih bermartabat dibanding berangkat untuk siap hidup melarat. Tapi ia membenci pagi. Ia membenci udara yang bergegas dan tergesa. Pagi adalah waktu hidup orangorang yang sibuk ingin membuktikan diri. Lebih dari itu, lelakiku terlalu romantis untuk seorang pedagang yang melandaskan keputusannya pada untung dan rugi. Ia tak pernah nyata-nyata mengatakannya, tapi aku merasakan ia sebetulnya ingin menjadi wartawan.

163

Aku menangkap hasrat itu sejak lama, saat suatu hari seorang wartawan ibukota mampir ke SMA kami. Tepatnya warung di depan sekolah. Ia tampak keren dengan pulpen, notes dan kamera. Di lehernya tergantung kartu pengenal bertuliskan wartawan suatu media nasional. Si wartawan sempat menyapa kami dengan ramah. Sebuah pertanyaan basa basi yang tak pernah disadarinya, telah mengubah hidup sepasang remaja, selamanya. Lucu ketika perbuatan-perbuatan remeh untuk seseorang bisa berarti dunia bagi orang yang bahkan tak pernah diingatnya. Lelakiku yang saat itu sedang sibuk bergelut dengan badai testosteron terpesona. Mungkin kali pertama dalam hidupnya ia terpukau kepada sesuatu selain tubuh perempuan. Sejak itu aku menangkap binar berbeda di matanya saat melihat barisan huruf pada surat kabar. Ia telah jatuh cinta. Dan hidupku pun tak akan pernah sama. “Seorang lelaki suatu saat harus pergi dari rumahnya, mengembara.” Lelaki hanya melakukan apa yang harus dilakukannya. Saat itu aku tahu, tak ada yang dapat menghentikannya. Terlebih aku. Senja itu ia berangkat, meninggalkan kota tempat kami lahir, tumbuh bersama, dan bercinta untuk pertama dan terakhir kalinya.

164

5.

Di ibukota, aku berani bertaruh ia makin benci lagi kepada pagi. Dia membenci pagi. Dia membenci orang-orang yang bergegas karena takut terlambat. Ia menyebut orangorang itu bermental budak dan konyol. Sesungguhnya kurasa ia hanya malas sekaligus angkuh. Ia ingin menjadi tuan untuk dirinya sendiri, bangun dan tidur tanpa siapa pun mengingatkannya. Termasuk olehku perempuan pecinta pagi yang berhasrat menjadi istrinya. Aku mencintai pagi, terutama fajar pertama yang merekah setelah saat-saat paling gelap. Pagi mengingatkanku pada awal. Pagi adalah gerbang pada terang. Menurutku orang-orang yang membenci pagi sekadar terlalu pengecut menatap sinar matanya yang tajam. Pagi adalah cermin besar di hadapan hidungnya, dan dia tak sanggup menyaksikan kekalahannya sendiri. Pagi hanya ramah kepada orang-orang yang berani berharap. Mencintai pagi dan dirinya adalah sesuatu yang bertolak belakang. Namun bagiku, itu bukan pilihan meresahkan. Cintaku cukup terentang dari pagi hingga petang. Sedangkan jika ia harus memilih antara aku atau senja, ia pasti berpihak pada senja. Bukan karena ia tak mencintaiku, tapi karena ia malas sekaligus

165

angkuh. Aku memilih mencintainya. Atau mungkin cinta telah memilihku. Dan jika kau mencintai hingga terasa menyakitkan, kau akan menemukan tak ada lagi kebencian, yang ada hanyalah cinta yang lebih besar. Setelah surat ke-50, menjadi tak ada bedanya lagi apakah ia akan membacanya, membalasnya ataukah memusnahkannya dengan segera. Aku mengirimkan surat itu bukan untuk mendamba balasan. Aku melakukannya karena aku mesti melakukannya. Dan aku terus menulis surat kepadanya. Hingga sampai di hari ini, surat yang ke-93. Surat yang akan diselipkan di bawah pintunya, dan akan segera berakhir menjadi abu tanpa sempat mengucapkan kata-kata.

6.

Suatu hari nanti, manakala tiba waktunya, aku tahu kami akan berjumpa. Entah aku yang mendatanginya ke ibukota, atau ia yang bertandang kembali ke kota kecil kami merayakan kekalahan sekaligus keberanian mengembara. Aku telah mengulang-ngulang adegan itu di dalam kepalaku.

166

Kami bertemu di suatu pesta. Ia akan dengan cepat mengenaliku. Aku terlalu nyala di antara kerumunan, terlalu cantik untuk diabaikan. Ia yang kini bergaya ibukota, akan menatapku dengan ekspresi terkejut entah murni atau rekayasa. Ya, jauh lebih mudah tidak memedulikan sese­ orang bila ia tak nyata-nyata berdiri seruangan denganmu. Ia akan datang kepadaku lalu memberikan rangkulan hangat sambil menempelkan pipi kiri dan kanannya, sementara udara di sekitarku terasa hampa. Hal sama persis yang dilakukannya kepada semua perempuan yang dikenalnya dalam ruangan temaram padat orang itu. Tapi hanya aku, Tuhan, dan dia yang tahu bahwa kami berbeda. Dia kemudian berdiri tepat di hadapanku, seperti impian, menatapku dan bertanya “Bagaimana kehidupan?” Aku bisa saja mengguyurnya dengan minuman pada gelasku, sambil berkata, “Ini untuk segala pengabaian yang selama ini kau lakukan.” Lalu memecahkan gelas itu, menggenggam pecahannya sambil menusukkan pada perutnya, “Dan ini untuk menanyakan kehidupanku seolah kau tak tahu betapa sakitnya diabaikan ....” Tapi jika saat itu tiba, aku akan menjawab dengan mata yang bersinar, dengan kalimat yang sudah kulatih berulang-ulang. “Hidupku sangat baik,” nada bicaraku menggantung di udara, menelan semua kisah di baliknya dengan senyuman yang hanya bisa mem-

167

buatnya menduga-duga, apa yang sebenarnya berada di dalam benakku. Aku mengulang-ulang adegan itu, dari senja hingga pagi tiba. (tribute to Seno Gumira Ajidarma, Surat dalam Atas Nama Malam)

168

Bahasa Sunyi Rita Achdris

A

ngin berembus kilat mengacaukan rambutnya. Angin kencang itu menerbangkan kantung kresek merah dan hitam yang saling berbalapan mengikuti ekor kereta ekspres. Angin berdebu itu terasa panas dan lembap mendamprat wajahnya yang resah ketika kereta itu melesat di depan hidungnya saat ia sedang melamun. Ia terhenyak karena jalur tunggu kereta tempat ia berpijak mendadak berguncang. Getarannya tak cuma menjalar ke atas dengkulnya, tetapi juga menghajar jantungnya. Hatinya kacau, seperti ketika meletus balon hijau. Getaran di tepi jalur kereta api itu pada akhirnya mereda. Tetapi hatinya masih kacau. Mulutnya menggumamkan sumpah serapah. Dari mulut itu keluar gelembung-gelembung udara berbentuk monyet, anjing, dan babi sebesar gantungan kunci. Gelembung berbentuk binatang itu berkilatan terbias sisa matahari yang menerobos lubang atap stasiun yang bocor. Tapi gelembung-gelembung itu berumur singkat karena keburu pecah setengah meter dari mulutnya. Sambil menarik napas panjang ia menekan dadanya dengan telapak tangan. Jantungnya masih menyisakan debur gulungan ombak yang bertabrakan di tengah samudera. Ketika detak jantungnya mulai tertata seperti barisan pasukan Pramuka, ia melihat selembar kartu pos meliuk tertiup angin. Kartu pos itu jatuh tepat di dekat sepatunya. 

Dikutip bebas dari lirik lagu Balonku ciptaan A.T. Mahmud.

170

Ia meraihnya. Kartu pos itu bergambar gumpalan awan kelabu lengkap dengan halilintar yang menggelegar. Ia lalu memandang langit-langit. Seberkas cahaya sebesar uang logam menerobos stasiun dari atap yang berlubang. Nun di ujung jalur kereta yang tak beratap, langit membiaskan cahaya lembut kemerahmerahan yang membawanya pada perasaan sendu. Ia lalu mengalihkan pandangannya lagi pada kartu pos itu. Dipandanginya gumpalan awan yang serupa kantung hujan yang siap pecah. Ia berpikir, seseorang mungkin sedang mengunggah hujan untuk dikirim kepada kekasihnya. Kekasihnya yang tak terlihat telah mengirimkannya dari jauh atas nama cinta, hanya untuk dirinya saja. Dengan perasaan sendu, dibaliknya kartu pos itu. Di sebelah kanan kartu pos itu tertulis: Kepada Kekasihku di tempat. Pesan yang tertulis di sisi kiri kartu pos itu amat singkat, terdiri dari dua kalimat yang setiap aksaranya ditulis dengan huruf kecil. Begini bunyinya, “aku sampah di langit merah. senja itu kaukerat bukan untukku!” Nama, alamat maupun tanda tangan pengirim kartu pos itu tidak tercantum di sana. Hawa panas menjilat-jilat wajahnya ketika ia membaca kartu pos itu. Hatinya terbakar. Ia menduga-duga dari mana datangnya kartu pos itu. Mungkin angin kencang yang diembuskan kereta ekspres itu mener

Dari cerpen Hujan, Senja dan Cinta, Seno Gumira Ajidarma.

171

172

bangkannya dari tangan atau saku seseorang yang sedang menunggu kereta bersamanya. Mungkin juga kartu pos itu terlepas dari tangan seorang penumpang dari dalam kereta. Atau mungkin saja kartu pos itu sengaja dijatuhkan oleh penumpang dari dalam kereta lewat jendela. Tiba-tiba ia merasa bersalah karena sudah membaca kartu pos yang bukan dialamatkan padanya. Dipandanginya orang-orang di sekelilingnya, tapi tak seorang pun terlihat memperhatikannya. Matanya menyelidik siapa tahu ada orang yang sedang mencaricari sesuatu, tapi tak seorang pun tampak kehilangan sesuatu. Sekilas terpikir olehnya untuk memberikan kartu pos itu kepada petugas informasi. Tetapi di jalur tempat ia berpijak itu tak ada loket informasi. Semua informasi tentang keberangkatan dan kedatangan kereta berasal dari suara yang gemerisik dari pengeras suara berbentuk kerucut yang tergantung di langitlangit stasiun. Lagi pula, sepengetahuan ia, petugas informasi di stasiun itu adalah sekaligus penjaga loket, tukang sobek karcis, dan penjaga WC umum berbayar. Sedangkan penjaga loket, tukang sobek karcis, dan penjaga WC semua berada di lantai atas. Ia bisa membayangkan bagaimana ia harus berlari-lari turunnaik tangga untuk memberikan kartu pos itu supaya ia bisa kembali ke tepi jalur agar tak ketinggalan kereta.

173

Tepat pada saat ia berpikir tentang apa yang harus ia lakukan dengan kartu pos itu, ia melihat dari gumpalan-gumpalan awan kelam dalam kartu pos itu, rinai hujan mulai turun dan ia teringat pada kekasihnya. Hatinya mulai sibuk berkata-kata. Apakah kau mendengar desis gerimis di hatiku? Pernahkah kau berlari melawan rinai hujan yang melecuti pipimu? Ia menggigit bibir, lalu mulai berkata lagi, “Begitulah ketika aku merindukanmu,” dalam hati.

*** Pernah suatu masa, ia tak membutuhkan kata-kata. Bagi ia, apa gunanya kata-kata jika dia memahami apa yang ia maksud tanpa perlu berkata-kata dan begitu pula ia akan memahami apa yang dia maksud tanpa perlu berkata-kata. Kata-kata tidak ada gunanya dan selalu sia-sia.** Karena di negeri mereka, kata-kata adalah slogan yang tertulis di atas spanduk-spanduk. Kata-kata adalah tuntutan yang diteriakkan demonstrandemonstran bayaran. Kata-kata adalah peringatan “dilarang merokok” yang dipaku di dinding ruangan kerumunan orang yang mengepulkan asap rokok. Kata-kata adalah buih-buih yang ditampung dari sudut-sudut bibir para politisi. Kata-kata adalah kitab 

Ia dan dia adalah tokoh dalam cerpen Hujan, Senja dan Cinta, Seno Gumira Ajidarma. ** Dari cerpen Sepotong Senja Untuk Pacarku, Seno Gumira Ajidarma.

174

undang-undang yang berdiri di rak-rak buku sebagai pajangan. Mungkin, hanya tinggal pujangga saja yang masih memuja kata-kata di negerinya. Lagi pula kata-kata menjadi sangat tidak efisien untuk sebuah hubungan jarak jauh. Malah kata-kata seringkali menimbulkan salah paham. Untuk para pendongeng kesalahpahaman memang menjadi modal untuk melahirkan kisahkisah roman, tetapi ia dan dia tidak ingin kisah cinta mereka berakhir seperti Romeo dan Juliet yang abadi sebagai patung perunggu di Verona. Ketika itu senja menyisipkan cahaya di jendela ketika ia dan dia membuat kontrak untuk tidak berkata-kata. Untuk meresmikan kesepakatan itu, tak lupa mereka berfoto di dekat jendela. Setelah itu, jadilah mereka berdua saling berkirim emoticon untuk mengungkapkan perasaan masing-masing. Ia: PING!!! Ia:
View more...

Comments

Copyright ©2017 KUPDF Inc.
SUPPORT KUPDF