Perencanaan Disposal
January 31, 2019 | Author: rudi | Category: N/A
Short Description
dasar teori...
Description
I.
JUDUL ANALISIS GEOTEKNIK DALAM PERENCANAAN DISPOSAL PADA PT. AMMAN MINERAL NUSA TENGGARA DI DESA BENETE
KECAMATAN
MALUK
KABUPATEN
SUMBAWA
BARAT NUSA TENGGARA BARAT
II.
LATAR BELAKANG MASALAH
Indonesia memiliki banyak sumberdaya mineral yang bernilai ekonomis. Sumberdaya mineral tersebut membuat banyak investor membuka usaha pertambangan di berbagai wilayah di Indonesia. Untuk mendapatkan bahan galian tersebut maka dilakukan proses penggalian baik dengan metode tambang terbuka maupun tambang bawah tanah. Pada metode tambang terbuka agar mendapatkan bahan galian yang diinginkan, perlu melakukan pembongkaran over burden atau lapisan tanah penutup terlebih dahulu. PT. Amman Mineral Nusa Tenggara (AMNT) mengoperasikan 87.000 ha tambang tembaga dan emas yang terletak di Pulau Sumbawa, Nusa Tenggara Barat, Indonesia. Pada 2015, produksi dari Batu Hijau yang merupakan salah satu lokasi tambang di Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK) PT. AMNT menghasilkan 240 juta lbs tembaga dan 0,3 juta ons emas. Pada tingkat produksi saat ini, usia tambang Batu Hijau diperkirakan akan terus berlanjut sampai tahun 2023. PT. AMNT saat ini juga mengeksplorasi bagian-bagian lain di Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK) seperti prospek eksplorasi Blok Elang. Dalam kegiatan penambangan, perusahaan pasti memindahkan material overburden (overburden removal ) dan menimbun material overburden overburden di suatu lokasi yang aman dan efesien yang biasanya disebut dengan disposal atau waste dump. dump . Oleh sebab itu, maka direncanakan pembuatan disposal untuk menampung atau mengatur material overburden dari overburden dari Pit Pit tersebut. tersebut.
1
III.
RUMUSAN MASALAH
Dalam analisis geoteknik pada perencanaan kegiatan penimbunan material penutup (overburden) (overburden) perlu dilakukan dengan pengamatan terhadap beberapa faktor yang mempengaruhi dalam perencanaan disposal seperti rancangan timbunan, produksi bulldozer dalam penanganan penanganan disposal , sistem drainage, drainage, overburden management ( Potensial Potensial acid forming ( PAF PAF ) dan dan Neutralization Acid Forming ( NAF NAF )), )), dan analisa ekonomi dalam perencanaan disposal .
IV.
BATASAN MASALAH
Agar pembahasan terhadap masalah yang ada sesuai, maka masalah pokok yang akan dikaji dan dianalisa adalah faktor apa saja yang akan dianalisis pada analisa geoteknik dalam perencanaan disposal ini, bagaimana merencanakan disposal dengan geoteknik yang baik, dan bagaimana analisa ekonomi yang menguntungkan dalam perencanaan disposal.
V.
TUJUAN PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan pada area disposal dengan tujuan sebagai berikut: 1. Mengetahui faktor apa saja yang akan dianalisis pada analisa geoteknik dalam perencanaan disposal. 2. Mengetahui perencanaan disposal dengan geoteknik yang baik. 3. Mengetahui analisa ekonomi yang menguntungkan dalam perencanaan disposal.
VI.
METODE PENELITIAN
Metode yang digunakan dalam melaksanakan penelitian yaitu : 1. Studi literatur Untuk pelaksanaan penelitian studi literatur dilakukan dengan mencari bahan-bahan pustaka yang menunjang, baik yang bersifat sebagai dasar penelitian maupun yang bersifat sebagai pendukung dan referensi. ref erensi. Literatur diperoleh dari buku-buku, brosur-brosur, peta-peta, grafik dan tabel dari data perpustakaan maupun dari perusahaan terkait.
2
III.
RUMUSAN MASALAH
Dalam analisis geoteknik pada perencanaan kegiatan penimbunan material penutup (overburden) (overburden) perlu dilakukan dengan pengamatan terhadap beberapa faktor yang mempengaruhi dalam perencanaan disposal seperti rancangan timbunan, produksi bulldozer dalam penanganan penanganan disposal , sistem drainage, drainage, overburden management ( Potensial Potensial acid forming ( PAF PAF ) dan dan Neutralization Acid Forming ( NAF NAF )), )), dan analisa ekonomi dalam perencanaan disposal .
IV.
BATASAN MASALAH
Agar pembahasan terhadap masalah yang ada sesuai, maka masalah pokok yang akan dikaji dan dianalisa adalah faktor apa saja yang akan dianalisis pada analisa geoteknik dalam perencanaan disposal ini, bagaimana merencanakan disposal dengan geoteknik yang baik, dan bagaimana analisa ekonomi yang menguntungkan dalam perencanaan disposal.
V.
TUJUAN PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan pada area disposal dengan tujuan sebagai berikut: 1. Mengetahui faktor apa saja yang akan dianalisis pada analisa geoteknik dalam perencanaan disposal. 2. Mengetahui perencanaan disposal dengan geoteknik yang baik. 3. Mengetahui analisa ekonomi yang menguntungkan dalam perencanaan disposal.
VI.
METODE PENELITIAN
Metode yang digunakan dalam melaksanakan penelitian yaitu : 1. Studi literatur Untuk pelaksanaan penelitian studi literatur dilakukan dengan mencari bahan-bahan pustaka yang menunjang, baik yang bersifat sebagai dasar penelitian maupun yang bersifat sebagai pendukung dan referensi. ref erensi. Literatur diperoleh dari buku-buku, brosur-brosur, peta-peta, grafik dan tabel dari data perpustakaan maupun dari perusahaan terkait.
2
2. Observasi lapangan Dilakukan dengan pengamatan langsung tehadap kondisi lapangan mengenai rona wilayah yang akan dijadikan tempat penimbunan dan gambaran kondisi kerja alat angkut dan alat dorong (bulldozer) ( bulldozer) secara langsung dilapangan, foto dokumentasi dan lain-lain. Selama pengamatan lapangan, dilakukan diskusi dan wawancara yang berguna dalam melakukan pengolahan data lapangan dan analisis hasil pengolahan data. 3. Pengumpulan Data Data diperoleh dari pengamatan langsung di lapangan (data primer) dan literatur-literatur yang berhubungan dengan permasalahan yang ada (data sekunder). Pengambilan data tergantung dari jenis data yang dibutuhkan, yaitu : A. Data primer antara lain : a. Data Truck Data Truck Count Alat Angkut Data ini diperoleh dari data lapangan dengan menghitung trip-trip dari alat angkut yang melakukan aktivitas pengupasan overburden. overburden. b. Cycle Time Bulldozer Diperoleh dari data lapangan dengan menghitung waktu yang diperlukan Bulldozer untuk siklus kerja dengan data waktu dorong, ganti gigi mundur dan ganti gigi maju. B. Data Sekunder antara lain : a. Data geologi Diperoleh dari PT. Amman Mineral Nusa Tenggara berupa peta geologi dan jenis material dilapangan. b. Data curah hujan Data curah hujan diperoleh dari PT. Amman Mineral Nusa Tenggara. c. Data target produksi bulanan Data diperoleh dari PT. Amman Mineral Nusa Tenggara berupa target pembongkaran Ovenburden Ovenburden yang direncanakan untuk Batu Hijau. 3
d. Peta kontur areal penambangan Data diperoleh dari PT. Amman Mineral Nusa Tenggara berupa peta kontur. e. Data rekomendasi lereng timbunan Data diperoleh dari PT. Amman Mineral Nusa Tenggara berupa data rekomendasi geometri jenjang timbunan yang digunakan. f. Data rencana penambangan PT. Amman Mineral Nusa Tenggara Data diperoleh dari PT. Amman Mineral Nusa Tenggara berupa batas WIUPK Site Batu Hijau dan batas-batas rencana Batu Hijau. g. Design Pit Batu Hijau Data diperoleh dari PT. Amman Mineral Nusa Tenggara berupa gambar rencana Pit Batu Hijau. h. Spesifikasi Alat Data diperoleh dari Handbook Caterpillar berupa dimensi alat angkut dan bulldozer . 4. Analisis Data Penyusunan laporan disertai dengan penyajian data berupa peta, gambar dan tabel yang membantu dalam penyusunan laporan ini. Proses perancangan disposal dilakukan dengan menggunakan bantuan software Minescape. Minescape. Adapun penggunannya software Minescape software Minescape ini ini adalah sebagai berikut : A. Pembuatan Peta Kontur Diperoleh dengan mengolah data berupa koordinat koordinat UTM (universal transverse mercator). B. Perancangan Disposal Perancangan Disposal Data geometri timbunan yang akan direncanakan dimasukkan ke dalam software ini software ini untuk mendapatkan gambar timbunan secara 3 dimensi. C. Perhitungan Volume dan Luas Disposal Luas Disposal Data ini dapat didapatkan melalui perhitungan dari gambar perencanaan disposal dan dan topografi dalam bentuk triangle dan triangle dan garis polygon polygon antara pertemuan disposal dan dan topografi.
4
D. Pembuatan Section Gambar section dapat diperoleh dengan menggunakan software ini dari rancangan disposal yang disayat berupa garis. Hasil akhirya akan diperoleh penampang 2 dimensi dari hasil rancangan. E.
Luas Catchment area Data ini dapat diperoleh dengan membuat garis tertutup yang menutupi perkiraan catchment area.
F.
Sistem drainage Sistem drainage adalah usaha untuk mengatur air yang masuk secara langsung ke disposal, yaitu berupa pembuatan dimensi saluran, pembuatan
backslope
dan
drainage
yang
bertujuan
untuk
meminimalisir potensi terjadinya erosi pada disposal. Data ini di peroleh dari data curah hujan pada periode tertentu, daerah tangkapan hujan di disposal , serta parameter-parameter yang menunjang untuk perhitungan-perhitungan dimensi saluran pada disposal. G. Final Slope Disposal Data ini didapat dari kemajuan penimbunan material di disposal , dengan cara berkoordinasi bersama team survey disposal . Apabila kemajuan penimbunan sudah sesuai dengan design, maka akan dilakukan sloping sesuai dengan rekomendasi kemiringan slope yang sudah ditentukan berdasarkan acuan kemiringan dari batterpeg. H. Overburden Management ( PAF dan NAF ) untuk Overburden Management ini ditentukan dari material mana yang berpotensi membentuk air asam tambang dan mana yang tidak berpotensi membentuk air asam tambang. Material PAF akan membentuk air asam tambang jika terpapar langsung dengan udara bebas dan air hujan, sehingga cara penanganannya material PAF ditempatkan dibagian bawah kemudian diatasnya ditimbun material NAF . Data ini dari rekomendasi PT. Amman Mineral Nusa Tenggara, yaitu SOP penempatan material PAF dan NAF .
5
I.
Analisis Ekonomi perencanaan disposal Data analisis ekonomi ini mengacu pada setiap pilihan dalam perancangan disposal , dimana hal ini mengacu kepada semua aktivitas penambangan yang berhubungan dengan kegiatan pengupasan material penutup sampai dengan kegiatan penempatan atau penimbunan material penutup yang mengacu kepada standard operasional prosedur (SOP) yang berlaku pada perusahaan tersebut.
5. Penyusunan Penelitian Hasil yang didapat dari analisa data kemudian disajikan dalam bentuk satu laporan. 6. Kesimpulan Diperoleh setelah dilakukan korelasi antara hasil pengolahan dan analisa data yang dilakukan dengan permasalahan yang diteliti sehingga mencapai suatu usulan alternatif penyelesaian masalah.
VII. MANFAAT PENELITIAN
Manfaat yang dapat diambil dari penelitian ini adalah : 1. Bagi Mahasiswa Penelitian ini diharapkan membantu mahasiswa dalam proses untuk memperoleh data aktual yang berhubungan dengan penelitian yaitu mengenai perencanaan disposal , juga sebagai penerapan ilmu pertambangan yang terkait dengan ilmu yang didapatkan di perkuliahan. 2. Bagi Perusahaan Penelitian
ini
diharapkan
dapat
menjadikan
gambaran
dan
bahan
pertimbangan dalam perancangan disposal dalam penentuan konstruksi tempat timbunan, Sistem drainage dan pengendalian pada erosi disposal , geometri jalan angkut di disposal , produktvitas bulldozer, Overburden management (Potensial Acid Forming dan Neutralization Acid Forming),
6
dan kapasitas disposal yang dirancang serta analisa ekonomi dalam perencanaan disposal . 3. Bagi Pihak Lain Penelitian ini dapat menjadikan bahan pengetahuan bagi pembaca.
7
Mulai
Perumusan masalah
Pengambilan data
Data Primer 1. Data truck count alat angkut 2. Data cycle time bulldozer
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Data Sekunder 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Data geology Data curah hujan Data target produksi bulanan Peta kontur areal penambangan Data rencana penambangan Rekomendasi lereng timbunan Batas wilayah penambangan PT. Amman Mineral Nusa Tenggara 8. Peta design pit Batu Hijau 9. Spesifikasi alat
Pengolahan Data Perancangan disposal Perhitungan volume dan luas disposal Pembuatan section Luas catchment area Sistem drainage Final slope disposal Overburden management (PAF dan NAF ) Analisa ekonomi perencanaan disposal
Rancangan
Analisa ekonomi
Kesimpulan dan saran
Selesai
Gambar 7.1. Diagram Alir Penelitian
8
VIII. DASAR TEORI 8.1. Disposal
Disposal sering disebut juga sebagai dump site, spoil dump, spoil disposal , dan disposal dump. Disposal merupakan timbunan material tidak berharga, baik itu material dengan kadar rendah atau lapisan penutup (overburden) yang ditempatkan disuatu tempat dekat dengan lokasi penambangan. Disposal dibentuk berdasarkan jumlah material overburden yang akan dipindahkan. Dalam jumlah material ini ditentukan oleh nisbah pengupasan yang telah ditentukan. (Arif, I dan Gatut S. Adisoma, 2005) 8.7.1. Jenis-Jenis Disposal
Dalam perancangannya terdapat beberapa jenis disposal yang tergantung terhadap kondisi yang dihadapi dilapangan. Jenis-jenis disposal , yaitu : a.
Valley Fill/Crest Dumps Pada
jenis
disposal
Valley
Fill ,
material
overburden akan
ditumpahkan dari tebing dan akan diratakan dengan menggunakan bulldozer setelah tinggi material sama dengan tinggi tebing pembuangan. Pada jenis timbunan ini dapat diterapkan di daerah yang mempunyai topografi curam. Dalam prakteknya timbunan ini dapat menimbulkan terbentuknya lahan yang tidak stabil terutama material lunak apabila terjadi curah hujan yangtinggi dan membutuhkan usaha yang besar dalam memadatkan material.
Sumber : Anonim, 2000 Gambar 8.1. Penimbunan Valley Fill/Crest Dumps 9
b.
Terraced Dump Pada metode terraced dump, timbunan dibangun dari bawah ke atas
dengan
membentuk
beberapa
jenjang
penimbunan.
Jenjang-jenjang
berikutnya terletak lebih ke belakang sehingga sudut lereng keseluruhan (overall slope) mendekati yang dibutuhkan untuk reklamasi. Dalam perencanaannya, semua lapisan penimbunan paling ti dak terkena pemadatan dari beberapa truck yang membuat timbunan lebih stabil.
Sumber : Anonim, 2000 Gambar 8.2. Penimbunan Terraced Dump 8.7.2. Lokasi Penimbunan
Selama rancangan detail dapat dipertimbangkan beberapa lokasi yang berbeda untuk perbandingan faktor ekonomi. Pemili han lokasi untuk tempat penimbunan tergantung pada beberapa faktor yakni : a. Lokasi dan ukuran pit sebagai fungsi waktu b. Topografi rencana disposal c. Jenis material yang akan dipindahkan d. Batas WIUPK e. Jalur penirisan yang ada f. Persyaratan reklamasi g. Peralatan penanganan material Berdasarkan lokasi timbunan dapat dibagi menjadi dua, yaitu (Caldwell, Jack, 2006):
10
1.
Out pit dump, (lokasi buangan di luar bukaan tambang) Lokasi pembuangan material dilakukan di luar pit. Material diangkut
menggunakan dump truck menuju ke tempat penimbunan yang sudah ditetapkan. Tipe out pit dump pada umumnya : a. Head of valley fill (ujung lembah) Lembah akan diisi dengan material overburden dan pada permukaan disposal dirancang
untuk
mencegah
terkumpulnya
air
dengan
pembuatan gorong-gorong. b. Cross valley fill (pertemuan lembah) Merupakan variasi dari Head of valley fill dimana pembuatan disposal dilakukan dengan memanjang dari satu sisi lembah ke sisi lain lembah. Bagian hulu dari lembah tidak sepenuhnya dipenuhi, dan lereng diisi material overburden dengan menetapkan di kedua arah hulu dan hilir. c. Side hill dumps (lereng bukit) Dibangun di medan yang miring dan tidak memblokir drainage utama. Lereng Dump biasanya cenderung ke arah umum dan jari Sidehill yang terletak di lereng atau di medan datar di dasar lembah.
Sumber :Caldwell, Jack, 2006 Gambar 8.3. Tipe Disposal
11
d. Ridge Crest Fills Lereng ditimbun di kedua sisi dari garis punggungan atau puncak. e. Heaped Penimbunan material dilakukan pada daerah yang memiliki daerah yang datar. Pembuatan disposal ini dilakukan dengan membuat lift-lift dari bawah ke atas 2. In Pit dump, (lokasi buangan di area bekas bukaan tambang) Pada kegiatan penambangan, cara pembuangan in pit dump ini disebut metode backfilling . Sudut lereng timbunan pada umumnya mengacu kepada sudut jatuhan material (angle of repose), yaitu sudut yang terbentuk jika material ditumpuk secara alami. 8.7.3. Geometri Timbunan
Dalam pembentukan
disposal terdapat bagian-bagian geometri
timbunan yang harus diperhatikan, antara lain : 1.
Angle of Repose: Sudut maksimum yang diukur dari garis horizontal, agar material lepas yang membentuk lereng dapat bertahan tanpa meluncur. Adapun angle of repose yang disarankan berdasarkan jenis batuannya terdapat pada table 8.1. Tabel 8.1. Angle of Repose ANGLE OF REPOSE Type of Rock
Coal ( Batubara)
Angle of Repose (°) 34 - 40°
Dry Clay (Tanah lempung dalam kondisi kering)
37°
Solid Clay (Tanah lempung dalam kondisi padat)
40 - 45°
Loose Sand with Clay (pasiran dan tanah lempung dalam kondisi lepas)
37°
Loose Gravel with Clay (kerikil dan tanah lempung dalam kondisi lepas)
37°
12
Moist Clay (Tanah lempung dalam kondisi lembab)
20 - 25°
Wet Clay (Tanah lempung dalam kondisi basah)
16°
Wet Sand (Pasiran dalam kondisi basah)
22°
Sumber : Anonim, 2012 2.
Berm/Bund: Bubungan/gundukan yang terbuat dari tanah, biasanya dibuat di sepanjang crest tempat pembuangan.
Sumber : PT. AMNT Gambar 8.4. Berm/Bund 3.
Crest advance rate: tingkat kemajuan crest (kepala lereng) material timbunan yang akan menjadi pertimbangan dalam tingkat kecepatan penimbunan suatu disposal .
4.
Crest line (kepala lereng): Bagian pinggir atas suatu lereng, tempat dimana lereng bagian atas bertemu dengan bench.
5.
Toe line (kaki lereng): Bagian terendah dari lereng, titik dimana lerengan di arah bawah bertemu dengan bench.
Sumber : PT. AMNT Gambar 8.5. Crest line dan Toe line
13
6.
Cross fall : Sudut yang dibentuk oleh dua sisi permukaan jalan terhadap bidang horizontal. Pada umumnya jalan angkut mempunyai bentuk penampang melintang cembung.
Sumber : PT. AMNT Gambar 8.6. Cross fall
7.
Direct Dumping : Dumping di bagian ujung dari crest suatu dump, biasanya dibatasi berdasarkan tinggi dump yang tidak melebihi 30 meter.
8.
Indirect Dumping : Dumping di bagian sisi crest , yang kemudian material dumping akan di dorong oleh bulldozer .
9.
Ditch (saluran): sebuah paritan yang berfungsi untuk menyalirkan air limpasan dari permukaan.
10. Dump Dimension (dimensi timbunan): Tinggi, lebar dan kemiringan permukaan disposal. 11. Dumping sequence (tahapan penimbunan): Tahapan-tahapan dari penimbunan material di disposal itu sendiri, dimana tahapantahapanan
penimbunan
ini
disesuaikan
dari
tahapan-tahapan
penggalian yang ada di pit yang disesuaikan dengan target produksi overburden. 12. Dump Width : Jarak horizontal efektif di antara tanggul pada platform dump; lebar minimum dump yang diperlukan harus memenuhi kebutuhan lalu-lintas haul truck.
14
Sumber : Anonim, 2005 Gambar 8.7. Lebar Disposal
Sumber : Anonim, 2005 Gambar 8.8. Tinggi Disposal
13.
Gradien : pengukuran berapa banyak perubahan sesuatu pada saat bergerak dari satu bidang ke bidang lain.
14.
Grade jalan : Kemiringan pada jalan angkut tambang (tanjakan), dengan maksimal kemiringan antara 8 %. Tiap jarak 50 meter maka penurunan tinggi jalan pada tanjakan yaitu 4 meter.
15
Grade (α)
Sumber : PT. AMNT Gambar 8.9. Grade jalan
15. Back slope: Kemiringan slope balik dari kemiringan slope disposal yang berada pada sisi crest yang berfungsi untuk menyalirkan dan menahan air limpasan agar tidak langsung jatuh ke lereng disposal yang bisa menyebabkan erosi pada lereng disposal .
Sumber : PT. AMNT Gambar 8.10. Back slope
16.
Single slope : Kemiringan individual slope (kemiringan antara crest dan toe dalam satu slope di daerah penimbunan)
17.
Overall slope : Kemiringan total dari beberapa slope yaitu dari crest tertinggi sampai toe yang paling dalam.
16
Sumber : PT. AMNT Gambar 8.11. Single Slope dan Overall Slope
8.2. Sistem Drainage
Air
merupakan
suatu
sumber
permasalahan
yang
utama
didalam
perancangan disposal . Pentingnya sistem drainage ini disebabkan material disposal yang merupakan material bebas akan cepat mengalami perubahan apabila terkena limpasan air. Oleh karena itu, perlu adanya pembuatan saluran untuk mengalirkan air yang terdapat di disposal . 8.2.1. Curah Hujan
Curah Hujan adalah jumlah atau volume air hujan yang jatuh pada satu satuan luas, dinyatakan dalam satuan mm. Curah hujan merupakan salah satu faktor penting dalam suatu sistem penyaliran, karena besar kecilnya curah hujan akan mempengaruhi besar kecilnya air tambang yang harus diatasi. Curah hujan diukur dengan alat penakar hujan yang terdiri dari alat penakar hujan biasa dan alat penakar hujan otomatis.(Sumber :Budiarto, 1997)
8.2.2. Intensitas Hujan
Intensitas curah hujan adalah jumlah curah hujan dalam jangka waktu tertentu dan dinyatakan dengan satuan mm/jam. Intensitas curah hujan ditentukan berdasarkan rumus mononobe yaitu sebagai berikut: 17
Rumus mononobe :
24 I 24 t R24
2/3
......................................................................................(8.1.)
Keterangan : I
= Intensitas curah hujan (mm/jam)
t
= Lama waktu hujan atau durasi hujan (jam)
R 24
= Curah hujan maksimum (mm)
8.2.3. Daerah Tangkapan Hujan ( Catchment Area)
Daerah tangkapan hujan adalah luas permukaan yang apabila terjadi hujan, maka air hujan tersebut akan mengalir ke daerah yang lebih rendah menuju ke titik pengaliran. Air yang jatuh kepermukaan sebagian meresap kedalam tanah, sebagian ditahan oleh tumbuhan dan sebagian lagi akan mengisi liku-liku permukaan bumi, kemudian mengalir ketempat yang lebih rendah. Semua air yang mengalir dipermukaan belum tentu menjadi sumber air dari suatu sistem penyaliran. Kondisi ini tergantung dari daerah tangkapan hujan dan dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain kondisi topografi, rapat tidaknya vegetasi dan lain-lain. Daerah tangkapan hujan ini dibatasi oleh pegunungan dan bukit-bukit yang diperkirakan akan mengumpulkan air hujan sementara. Setelah daerah tangkapan hujan ditentukan, maka diukur luasnya pada peta kontur, yaitu dengan menarik hubungan dari titik-titik yang tertinggi disekeliling tambang membentuk poligon tertutup, dengan melihat kemungkinan arah mengalirnya air. (Suwandi, A, 2004)
8.2.4. Air Limpasan (run off ) dan I nfiltrasi
Air limpasan (run off) adalah bagian dari curah hujan yang mengalir di atas permukaan tanah menuju sungai, danau atau laut. Dalam neraca air digambarkan hubungan antara curah hujan, evapotranspirasi, air limpasan, infiltrasi, dan perubahan permukaan air tanah. Besarnya air limpasan
18
tergantung dari banyak faktor, sehingga tidak semua air yang berasal dari curah hujan akan menjadi sumber bagi sistem drainage. Dari banyak faktor, yang paling berpengaruh yaitu : a. Kondisi penggunaan lahan b. Kemiringan lahan c. Perbedaan ketinggian daerah Infiltrasi adalah proses meresapnya air dari permukaan tanah melalui pori-pori tanah. Dari siklus hidrologi, jelas bahwa air hujan yang jatuh di permukaan tanah sebagianakan meresap ke dalam tanah, sebagian juga akan mengisi cekungan permukaan. (Hakim, et al,1986).
8.2.5. Debit Limpasan
Dalam menentukan dimensi saluran air harus diperhitungkan debit air limpasan pada permukaan jalan, adapun penghitungan debit air limpasan dihitung dengan rumus : Q = 0,278 x C x I x A...............................................................................(8.2.) Dimana :
Q = debit air limpasan, m3 / detik C = Koefisien limpasan I = Intensitas curah hujan, mm/jam A = Luas daerah tangkapan hujan, km2 Tabel 8.2. Harga Koefisien Limpasan
Kemiringan
Kondisi Daerah Pengaliran
Kof. Limpasan
Sawah, Rawa
0,2
Hutan, Perkebunan
0,3
Perumahan
0,4
Hutan, Perkebunan
0,4
3 % - 15 %
Perumahan
0,5
(sedang)
Semak-semak agak jarang
0,6
Lahan terbuka
0,7
15 %
Perumahan
0,7
(curam)
Semak-semak agak jarang
0,8
Lahan terbuka daerah tambang
0,9
Sumber: Sayoga dalam Suwandhi, A, 2004 8.2.6. Saluran Terbuka
Setelah debit air yang mungkin terjadi diketahui, maka dimensi saluran terbuka yang akan digunakan dapat ditentukan. Rumus yang digunakan yaitu : Q = 1 n . R
2 3
. S
1 2
. A
...............................................................................(8.3.) Dimana : n
= koefisien kekasaran saluran (tabel 8.3)
A
= luas penampang saluran , m2
R
= jari-jari hidrolis, m
S
= kemiringan dasar saluran, % ( 0,1 – 0,25 %) Tabel 8.3. Harga Koefisien Manning Bahah
Koefisien Manning (n)
Besi tulang dilapis
0,014
Kaca
0,010
Saluran beton
0,013
Bata dilapis mortar
0,015
Pasangan batu disemen
0,025
Saluran tanah bersih
0,022
Saluran tanah
0,030
Saluran dengan dasar batu dan tebing rumput
0,040
Saluran pada galian batu cadas
0,040
20
Sumber: Anonim, 2012 Bentuk penampang saluran yang umum dipakai adalah bentuk trapesium sebab mudah dalam pembuatannya (karena pengaruh bentuk bucket excavator dalam pembuatan bentuk trapesium), efisien dan mudah dalam
perawatannya,
serta
stabilitas
kemiringan
dindingnya
dapat
disesuaikan menurut keadaan daerah. Tinggi jagaan (f) yang umum digunakan adalah 15% dari y. Penampang trapesium yang paling efisien adalah jika kemiringannya 60o. (Suripin,2003). Dalam sistem penyaliran terdapat beberapa bentuk penampang saluran yang dapat digunakan, seperti yang ditunjukkan pada Tabel 8.4. Tabel 8.4. Jenis Penampang Saluran Rectangle
Trapezoid
Circle
B
y
y
1 x
D
b
Area (A)
B
b
by
b xy y
1 2
Wetted
perimeter
(P)
d
Φ
b
y
2
b + 2y
1
x
2
1 2
sin D
2
D
sin D 2 Top width (B)
b b + 2xy
Hydraulics radius (R)
by
b 2 y
1 sin 1 D 4
(b + xy) y b 2 y
1
x 2
Sumber: Chow, 1996
21
8.2.7. Pengendalian Erosi
Pengendalian erosi dapat dilakukan dengan metode vegetatif dan metode teknik sipil, atau kombinasi dari kedua metode tersebut. Pemilihan metode yang akan digunakan tergantung dari kondisi dilapangan dan ketersediaan prasarana dan sarana penunjang yang ada. (Direktorat teknik dan minerba,2006) 1.
Metode vegetatif Metode vegetatif adalah penggunaan tanaman atau tumbuhan dan sisa-
sisanya untuk mengurangi daya rusak hujan yang jatuh ke permukaan bumi, mengurangi jumlah dan daya rusak aliran permukaan dan erosi. Metode vegetatif mempunyai fungsi : a. Melindungi tanah terhadap daya rusak butir-butir hujan yang jatuh. b. Melindungi tanah terhadap daya merusak aliran di atas permukaan tanah. c. Memperbaiki kapasitas infiltrasi tanah dan penahanan air yang langsung mempengaruhi besarnya aliran permukaan. 2.
Metode teknik sipil Metode teknik sipil adalah perlakuan mekanis yang diberikan terhadap
tanah dan pembuatan bangunan untuk mengurangi aliran permukaan dan erosi serta meningkatkan kemampuan penggunaan tanah. Metode teknik sipil mempunyai fungsi : a. Memperlambat aliran permukaan. b. Menampung dan menyalurkan aliran permukaan dengan kekuatan yang tidak merusak. c. Memperbesar infiltrasi air ke dalam tanah dan memperbaiki erosi tanah. d. Penyediaan air bagi tanaman.
22
8.3. Jalan Angkut 8.3.1. Lebar Jalan Angkut
Fungsi jalan adalah untuk menunjang operasi tambang terutama dalam kegiatan pengangkutan. Secara geometri yang perlu diperhatikan dan dipenuhi dalam penggunaan jalan angkut yaitu : 1.
Lebar jalan angkut pada jalan lurus Lebar jalan minimum pada jalan lurus dengan lajur ganda atau lebih,
menurut AASHO (American Association of State Highway Official) Manual Rural High Way Design, harus ditambah dengan setengah lebar alat angkut pada bagian tepi kiri, kanan jalan, dan jarak antar kendaraan (Gambar 8.12.). Dari ketentuan tersebut dapat digunakan cara sederhana untuk menentukan lebar jalan angkut minimum, yaitu menggunakan rule of thumb atau angka perkiraan. Tabel 8.5. Lebar Jalan Angkut Minimum JUMLAH JALUR TRUK
PERHITUNGAN
LEBAR JALAN ANGKUT MIN.
1
1 + (2 x ½ )
2
2
2 + (3 x ½ )
3,5
3
3 + (4 x ½ )
5
4
4 + (5 x ½ )
6,5
Sumber : Suwandhi, A, 2004 Dari kolom perhitungan pada Tabel 8.5 dapat ditetapkan rumus lebar jalan angkut minimum pada jalan lurus yang dirumuskan sebagai berikut: Lmin
n.Wt (n 1).(0,5.Wt ) ..............................................................(8.4.)
Keterangan:
Lmin
= lebar jalan angkut minimum (m)
Wt
= lebar alat (m)
n
= jumlah jalur
23
Sumber : Suwandhi, A, 2004 Gambar 8.12. Lebar Jalan Angkut
2.
Lebar jalan angkut pada tikungan Lebar jalan angkut pada tikungan selalu dibuat lebih besar dari pada
jalan
lurus.
Hal
ini
dimaksudkan
untuk
mengantisipasi
adanya
penyimpangan lebar alat angkut yang disebabkan oleh sudut yang dibentuk oleh roda depan dengan badan truk saat melintasi tikungan (Gambar 8.13). Pada jalur ganda, lebar jalan minimum pada tikungan dihitung dengan berdasarkan : a. Lebar jejak roda b. Lebar juntai atau tonjolan (overhang ) alat angkut bagian depan dan belakang pada saat membelok c. Jarak antar alat angkut saat bersimpangan d. Jarak alat angkut terhadap tepi jalan
24
Sumber: Suwandhi, A, 2004 Gambar 8.13. Lebar Jalan Angkut pada Tikungan
Persamaan yang digunakan untuk menghitung lebar jalan angkut minimum pada tikungan yaitu: W
n U
Fa Fb Z
C Z 0,5 U
Fa Fb
C
........................................................(8.5.)
Dimana : Wj
= lebar jalan angkut pada tikungan, (m)
U
= jarak jejak roda, (m)
Fa
= lebar juntai depan, (m)
Fb
= lebar juntai belakang, (m)
Z
= lebar bagian tepi jalan, (m)
C
= jarak antara alat angkut saat bersimpangan, (m)
8.3.2. Grade Resistance
Kemiringan jalan angkut berhubungan langsung dengan kemampuan alat angkut baik dalam pengereman ataupun dalam mengatasi tanjakan. Kemiringan jalan umumnya dinyatakan dalam persen (%). Kemiringan jalan angkut dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut :
25
Grade ( )
h x
x 100%
.................................................................(8.6.)
Keterangan : Δh = beda tinggi antara 2 titik yang diukur (m) Δx = jarak datar antara 2 titik yang diukur (m) Persamaan di atas dapat dari gambar di bawah ini:
h
x
Gambar 8.14. Kemiringan Jalan ( Ramp Grade)
Kemiringan jalan maksimum yang dapat dilalui dengan baik oleh alat angkut truck berkisar diantara 8% atau sekitar 4,6o. Akan tetapi untuk jalan naik atau pada lereng bukit lebih aman jika kemiringan jalan maksimum sekitar 8% (4,6o) (Suwandhi, A, 2004).
8.3.3. Cross F all
Cross fall adalah sudut yang dibentuk oleh dua sisi permukaan jalan terhadap bidang horizontal. Pada umumnya jalan angkut mempunyai bentuk penampang melintang cembung. Jalan angkut tambang dibuat demikian dengan tujuan untuk memperlancar penyaliran. Apabila turun hujan, maka air yang ada pada permukaan jalan akan segera mengalir ke tepi jalan angkut, tidak tergenang pada badan jalan. Hal ini penting karena air yang
26
menggenang pada permukaan jalan angkut akan membahayakan kendaraan yang lewat dan mempercepat kerusakan jalan.
Sumber : Suwandhi,A. 2004 Gambar 8.15. Cross fall
Nilai cross fall yang umum yang direkomendasikan 20 sampai 40 mm/m, diukur dari jarak bagian tepi jalan ke bagian tengah atau pusat jalan dan disesuaikan dengan kondisi yang ada. Permukaan tepi-tepi jalan dalam kondisi kering tidak terlalu miring dapat diwujudkan, maka pembebanan ban akan relatif datar dan tingkat kepenatan pengemudi dapat dikurangi.
8.3.4. Super E levasi
Super-elevasi merupakan kemiringan jalan pada tikungan yang terbentuk oleh batas antara tepi jalan terluar dengan tepi jalan terdalam karena perbedaan ketinggian. Fungsi super-elevasi untuk mengatasi gaya sentrifugal kendaraan pada saat membelok. Setiap kendaraan yang melewati tikungan akan mengalami gaya sentrifugal (gaya dorong keluar), gaya tersebut harus dapat diimbangi oleh gaya sentripetal agar dump truck tidak terbalik. Gaya sentripetal ditimbulkan oleh super-elevasi, semakin besar nilai super-elevasi yang dibuat akan semakin besar kecepatan kendaraan untuk melewati tikungan.
27
Sumber : Suwandhi,A. 2004 Gambar 8.16. Super-elevasi Kemiringan melintang atau kelandaian pada penampang jalan tepi perkerasan luar dan sumbu jalan sepanjang lengkung peralihan disebut landai relatif. Harga landai relatif disesuaikan dengan kecepatan rencana (VR) dan jumlah lajur yang tersedia (Suwandhi, A. 2004). Tabel 8.6. Kecepatan rencana terhadap super-elevasi VR (Km/jam)
20
30
40
50
60
80
e (mm/m)
1/50
1/75
1/100
1/115
1/125
1/150
Sumber: Direktorat Jenderal Bina Marga, 1997. (dalam Suwandhi, A. 2004)
8.3.5. Kriteria Bund Wall dan Windraw pada Disposal
Dalam perencanaan disposal, juga sangat perlu untuk direncakan design bund wall , yang berfungsi sebagai tanggul pengaman untuk alat berat yang melintas pada akses jalan ke disposal atau ke pit . Begitu juga sama halnya dengan Windraw yang berfungsi sebagai tanggul pengaman pada saat truck melakukan dumping . Perhitungan tinggi bund wall dan Windraw adalah sebagai berikut : Tinggi Bund Wall = ¾. Tinggi Ban Truck terbesar..................................(8.7.) Tinggi Windraw = ½. Tinggi Ban Truck terbesar....................................(8.8.)
28
Sumber : PT. AMNT Gambar 8.17. Berm/Bund/ Tanggul
Sumber : PT. AMNT Gambar 8.18. Windraw
8.3.6. Konstruksi Jalan Pengangkutan
Konstruksi jalan adalah suatu lapisan penyusun jalan yang tersusun dari bahan-bahan perkerasan dan diletakkan di atas tanah dasar atau “ subgrade”. Secara umum perkerasan jalan angkut harus cukup kuat untuk memenuhi dua syarat, yaitu :
29
a. Secara keseluruhan harus mampu untuk menahan berat atau beban kendaraan maksimum yang berada di atasnya. Sehingga apabila daya dukung jalan yang ada tidak dapat menahan beban yang diterima, maka kondisi jalan akan mengalami penurunan dan pergeseran jalan maupun tanah dasarnya yang selanjutnya berakibat jalan akan bergelombang dan banyak cekungan-cekungan. b. Permukaan jalan harus mampu untuk menahan gesekan roda kendaraan, pengaruh air dan hujan. Jika hal ini tidak terpenuhi untuk permukaan jalan akan mengalami kerusakan yang pada mulanya terjadi lubang-lubang kecil, semakin besar dan kemudian akan menjadi rusak berat. Tujuan utama dalam konstruksi perkerasan jalan angkut adalah membangun dasar jalan yang memungkinkan, dimana dalam pengangkutan muatan, pemindahan beban pada poros roda yang diteruskan melalui lapisan pondasi tidak melampaui daya dukung tanah dasar (Indonesianto, 2008). Lapisan perkerasan lentur terdiri dari 3 lapisan di atas tanah dasar, yaitu lapisan pondasi bawah, lapisan pondasi atas dan lapisan permukaan seperti terlihat pada Gambar 8.19. Dengan tiga susunan lapisan tersebut, maka jalan diharapkan memiliki karakteristik sebagai berikut: a. Bersifat elastis jika menerima beban, sehingga dapat memberi kenyamanan bagi pengguna jalan. b. Seluruh lapisan ikut menanggung beban. c. Penyebaran tegangan diupayakan tidak merusak lapisan tanah dasar. Selama usia tersebut diperlukan pemeliharaan secara berkala (routine maintenance). Jenis-jenis susunan lapisan perkerasan yang telah disebutkan di atas mempunyai fungsi yang berbeda-beda di dalam merespon beban yang diterimanya. Adapun fungsi dari masing-masing lapisan dapat diuraikan sebagai berikut:
30
Sumber : Suwandhi,2004 Gambar 8.19. Susunan Lapisan Perkerasan Lentur
1.
Lapisan Pondasi Atas ( Base Course) Lapisan Pondasi Atas merupakan bagian perkerasan untuk menahan
gaya melintang dari beban roda dan menyebarkannya ke lapisan dibawahnya. Fungsi lapisan pondasi atas adalah sebagai berikut : a. Sebagai lapis peresapan untuk lapisan dibawahnya. b. Sebagai bantalan bagi lapis permukaan. 2.
LapisanPondasi Bawah (Subbase Course) Lapisan
pondasi
bawah
merupakan
bagian
perkerasan
untuk
menyebarkan beban roda kendaraan ke tanah dasar. Fungsi lapisan pondasi bawah adalah sebagai berikut : a. Untuk mengurangi tebal lapisan diatasnya karena material atau bahan untuk fondasi bawah umumnya lebih murah dibanding perkerasan diatasnya, sehingga dapat mengefisiensikan penggunaan material. b. Sebagai lapis peresapan agar air tanah tidak berkumpul di fondasi. c. Merupakan lapis pertama yang harus dikerjakan cepat agar dapat menutup lapisan tanah dasar dari pengaruh cuaca, atau melemahkan daya dukung tanah dasar akibat selalu menahan roda alat berat. d. Mencegah partikel-partikel halus dari tanah dasar naik ke lapis fondasi.
31
3.
Tanah Dasar ( subgrade) Lapisan dasar digunakan untuk mendefinisikan tanah asli atau
timbunan yang langsung menerima beban dari perkerasan di atasnya. Oleh karena itu, lapisan permukaan atas dari lapis tanah dasar adalah formation (pembentukkan). Pada pekerasan baru, lapis penutup dibuat sebagai pelindung lapis tanah dasar dari kerusakan. a. Tanah asli yang dipadatkan dengan baik. b. Bahan material lain (lesected embankment) c. Tanah asli yang distabilisasi d. Sifat yang dikehendaki tanah dasar (perubahan bentuk tetap, tidak ada sifat pengembang dan menyusut, daya dukung merata, tidak ada perbedaan penurunan, perlu dipelajari daerah patahan atau kondisi geologis).
8.3.7. Metode CBR (California Bearing Ratio)
Metode
ini
awalnya
diciptakan
oleh
O.J
Poter
kemudian
dikembangkan oleh California State Highway Department , kemudian dimodifikasi oleh Corps insinyur-insinyur tentara Amerika Serikat (U.S Army Corps of Engineers). Metode ini mengkombinasikan percobaan pembebanan penetrasi di laboratorium atau di lapangan dengan rencana empiris untuk menentukan tebal lapisan perkerasan. Hal ini digunakan sebagai metode perencanaan perkerasan lentur ( flexible pavement ) suatu jalan. Tebal suatu bagian perkerasan ditentukan oleh nilai CBR. Definisi CBR merupakan suatu perbandingan antara beban percobaan (test load) dengan beban standar ( standard load ) dan dinyatakan dalam persentase. Harga CBR adalah nilai yang menyatakan kualitas tanah dasar dibandingkan dengan bahan standar berupa batu pecah yang mempunyai nilai CBR sebesar 100 % (Irawan, 2010). Untuk
mengetahui
ketebalan
konstruksi
perkerasan
dengan
menggunakan kurva CBR (lihat Gambar 8.20.) merupakan cara sederhana
32
dan paling mudah dilakukan. Data yang diperlukan yaitu nilai % CBR baik itu dari tanah dasar maupun material perkerasannya. Data lain yang diperlukan yaitu wheelload (beban roda) alat angkut yang digunakan. Kedua data tersebut dimasukkan ke dalam kurva CBR sehingga didapat ketebalan konstruksi perkerasan yang diperlukan. CALIFORNIA BEARING RATIO (CB R) at 0.1 in ches penetration 2
3
4
5
6
7
8
9 10
15
20
25
30
40
50
60
70 80
100
0
s bl 0 W
10
0
0 4 0 0
0, V 0 G
S
0 7 0 0
0 1 <
E
0 0 0 2 1
20
H C IN
s lb
S S
0 0
30
E
,0
0 0 0 0 4
IC G
0
N
W 0 V
K H T
4 0
40
0 1
A B
0 0 0 0 0 1
50
U
s lb
S
0 W 0 ,0 V
0 0 0 0 2 1
0 G
60
C : Clay F : Fines (material less than 0.1 mm) G : Gravel H : High compressibility L : Low to medium compressibility M : Mo very fine sand, silt, rock flour O : Organic P : Poorly graded Pt : Peat S : Sand W : Well graded
0 0 0 0 7
0
S
LEGEND FOR GROUP SYMBOLS
0 0,
E B
Wheel load, lbs
0 0 0 5 2
,
0 4 >
70 GP
GW
GRAVEL
GC GF
o
il n l
a
iot s
SF
ci
SAND
ai fi icf
SC SP
tir
s
SW
A
s la c
OH
CL CH
ML
CLAY & SILT
OL MH
Flexible pavement
V ery poor 2
3
P oor 4
5
F air 6 7
8
9 10
G ood 15
20
25
E x cellent 30
40
50
60
70 80
100
Sumber :Suwandhi,2004 Gambar 8.20. Kurva CBR
Sebagai contoh, sebuah jalan angkut akan dibangun di atas lapisan lempung dengan nilai CBR = 5. Beban roda maksimum yang melewati jalan tersebut yaitu 40,000 lb (18,144 ton). Pasir dengan nilai CBR 15 akan digunakan sebagai subbase material, sedangkan untuk lapisan base dan lapisan permukaan digunakan batu pecah dengan CBR = 80 (lihat Gambar 8.21).
33
a.
Langkah pertama Pada kurva CBR ditarik garis vertikal (garis warna merah) dari nilai
CBR = 5 (CBR subgrade) sampai bersinggungan dengan kurva wheelload 40,000 lb. Dari titik persinggungan tersebut ditarik garis horizontal sehingga didapat ketebalan yang diperlukan yaitu 28 inch. Ketebalan ini berarti ketebalan total perkerasan yang ada di atas lapisan subgrade sampai pada lapisan permukaan jalan. b.
Langkah kedua Ditarik garis sama seperti langkah pertama (lihat garis biru), nilai
CBR pasir = 15, pada kurva 40,000 lb akan didapat ketebalan 14 inch yang artinya bagian atas dari lapisan subbase yang menggunakan material ini harus berada pada kedalaman 14 inch dari permukaan jalan. c.
Langkah ketiga Dari persinggungan antara garis CBR = 80 dan kurva 40,000 lb (lihat
garis hijau), didapat ketebalan = 8 inch, ini berarti bagian atas lapisan base harus pada kedalaman 8 inch dari permukaan jalan. Sehingga total ketebalan perkerasan dari subgrade sampai base yaitu = 22 inch, sehingga masih tersisa 6 inch dari total ketebalan perkerasan harusnya. Pada bagian ini biasanya diisi dengan material yang sama dengan lapisan base hanya saja butirnya lebih halus. Untuk lebih jelas dan lengkapnya dari rancangan secara keseluruhan dapat dilihat pada Gambar 8.21.
34
Sumber : Haul Road Design Manual Gambar 8.21. Bagian Perkerasan untuk Caterpillar Truck
8.3.8. Pemadatan dan Kekerasan Tanah
Pemadatan dengan beban dinamis, proses bertambahnya berat volume kering
tanah
sebagai
akibat
pemadatan
partikel
yang
diikuti
oleh pengurangan volume air tetap tidak berubah. Jika tanah di lapangan membutuhkan perbaikan guna mendukung bangunan di atasnya, maka tanah akan digunakan sebagai bahan timbunan, maka pemadatan sering dilakukan. Tujuan dari pemadatan antara lain adalah : a. Memperkuat kuat geser tanah. b. Mengurangi sifat mudah mampat (kompresibilitas). c. Mengurangi permeabilitas. d. Mengurangi perubahan volume sebagai akibat perubahan kadar air. Maksud tersebut dapat tercapai dengan pemilihan tanah bahan timbunan, cara pemadatan, pemilihan mesin pemadat, dan jumlah lintasan yang sesuai. Tingkat kepadatan diukur dari nilai berat volume keringnya. Tanah lempung yang dipadatkan dengan cara yang benar akan dapat memberikan kuat geser tinggi. Stabilitas terhadap sifat kembang susut
35
tergantung dari jenis kandungan mineralnya (Hardityatmo, 2002 dalam Wulan, 2006). Pemadatan tanah adalah suatu proses dimana udara dalam pori-pori tanah dikeluarkan dengan salah satu cara mekanis. Berbeda prosesnya dengan konsolidasi tanah yaitu memadatkan karena berkurang kadar airnya karena berbagai sebab. Cara mekanis untuk memadatkan tanah di lapangan dipakai dengan cara menumbuk atau menggilas, sedangkan di laboratorium dengan cara menumbuk. Bila kadar air suatu tanah rendah, maka tanah itu keras atau kaku dan sukar dipadatkan. Bila kadar air ditambah, maka air itu akan berfungsi sebagai pelumas. Sehingga tanah tersebut lebih mudah dipadatkan dan ruang kosong antara butir menjadi lebih kecil (tanah memadat). Pada kadar air yang terlalu tinggi, kepadatannya akan turun lagi karena pori-pori tanah menjadi penuh terisi air yang tidak dapat dikeluarkan dengan cara memadatkan
(sulit
dipadatkan).
Jadi
untuk
memperoleh
kepadatan
maksimum maka diperlukan kadar air yang tertentu selam proses pemadatan. (Asiyanto, 2010dalam Asi, 2011).
8.4. Alat Dorong (Bulldozer )
Pada dasarnya bulldozer adalah alat yang menggunakan traktor sebagai penggerak utama. Kita menyebutnya bulldozer oleh karena biasanya traktor dilengkapi dengan dozer attachment , dalam hal ini adalah blade (Rochmanhadi, 1992). Dalam
menentukan
bulldozer yang
akan
digunakan
maka
harus
dipertimbangkan beberapa faktor-faktor sebagai berikut : a. Ukuran yang dibutuhkan b. Jenis pekerjaan yang akan dilakukan c. Kekompakan dari jalan lintas d. Kelicinan dari jalan lintas e. Kemiringan dari jalan lintas f.
Jarak dari jalan lintas
36
Fungsi dan kerja bulldozer adalah sebagai berikut : a. Mengupas top soil dan pembersihan lahan dari kayu-kayu, tonggaktonggak pohon dan batu-batuan. b. Pembukaan jalan kerja di daerah berbatu maupun pegunungan. c. Pemindahan material pada jarak pendek sampai dengan 100 m. d. Menyebarkan material. e. Menimbun kembali trencher f.
Membersihkan sites/medan
g. Pemeliharaan jalan kerja
8.4.1. Produktivitas B ulldozer
Dalam pekerjaan dozing , taksiran produksi bulldozer dihitung dengan menggunakan rumus : QBulldozer
=
60
× K BL× FKBladex [FK] x [F k ]
.................(8.9.)
Dimana: QBulldozer
= Produksi Bulldozer (Lcm /jam)
CT Bulldozer
= Cycle Time Bulldozer (menit)
KBL
= Kapasitas Blade, KBL = P x T 2................................(8.10.)
FKBlade
= Faktor Koreksi Blade, FKBlade = 1 ( Standard)
FK
= Faktor Koreksi (misal: Efisiensi Kerja, dan lain-lain)
Fk
= Faktor Konversi (misal: SF) Dalam perhitungan produksi per siklus bulldozer dapat menggunakan
persamaan dibawah ini : q = q1 × a
.................................................................................(8.11.)
dimana: q1
: Kapasitas blade (m3)
a
: Blade fill factor Jarak dumping berpengaruh terhadap waktu siklus dari bulldozer itu
sendiri. Maka, dapat menggunakan persamaan dibawah ini :
37
jarak dorong
Waktu mendorong maju
(kecepatan maju x 0.2778) ...............(8.12.)
Waktu mendorong mundur
jarak dorong (kecepatan mundur x 0,2778) .................(8.13.)
8.4.2. Perubahan Material
Material di alam diketemukan dalam keadaan padat dan terkonsolidasi dengan baik, sehingga hanya sedikit bagian-bagian yang kosong atau ruang yang terisi udara (voids) di antara butir-butir tanah, terutama untuk tanah yang berbutir halus. Jika tanah digali dari tempat aslinya, maka akan terjadi pengembangan volume ( swelling ) (Suratna GDE, dkk,2008). Rumus untuk menghitung swell factor (SF) ada dua, yaitu swell factor berdasarkan
volume
dan
dan
berdasarkan
densitas
(kerapatan)
(Indonesianto, 2008). a.
Rumus SF berdasarkan volume :
SF
bank volume
x100%
loose volume
b.
...................................................................(8.14.)
Rumus SF berdasarkan densitas (kerapatan) :
SF
Densitas loose
x100%
Densitas bank
Sedangkan
rumus
...............................................................(8.15.) untuk
menghitung shrinkage (penyusutan)
berdasarkan berat jenis tanah adalah (Rochmanhadi, 1992). Sh
C - B
C
x100%
...................................................................................(8.16.)
Dimana : Sh
= Shringkage = % penyusutan
B
= Berat Jenis tanah keadaan asli
C
= Berat Jenis dalam keadaan padat
38
8.5. Penjadwalan alat
Faktor yang sangat penting dalam melakukan penjadwalan suatu alat adalah factor availability dari setiap unit alat. Dengan mempertimbangkan “availability factor ” maka bisa bijaksana untuk menjadwalkan alat. Mesin yang lebih tua, yang memerlukan waktu perbaikan lebih lama harus dijadwalkan lebih sedikit dalam pekerjaan. Tingkat efisiensi tersebut dapat dipengaruhi oleh kondisi alat, pengolahan dan perawatan alat-alat mekanis ataupun operator alat-alat mekanis itu sendiri dimana: (Indonesianto, 2012) W = Waktu kerja alat/unit R = Jam perbaikan alat/unit S = Jam dimana alat/unit dalam keadaan siap tetapi tidak di operasikan 1.
Waktu kerja (working hours) Waktu Kerja di mulai dari operator berada di satu alat dan alat tersebut beradadalam kondisi operable (mesin dan bagian-bagian lain siap dipakai operasi). Waktu kerja meliputi: a.
Waktu efektif (We) yaitu waktu yang benar-benar digunakan oleh alat untuk berproduksi.
b.
Waktu delay (Wd) yaitu waktu hambatan yang terdiri dari kehilangan waktu saat dari dan menuju tempat kerja, moving time, waktu untuk lubrikasi, pengisian bensin, pemeliharaan alat, kehilangan waktu di karenakan kondisi cuaca, safety meeting dan lain sebagainya.
c.
Stand by hours (S): Stand by hours adalah waktu dimana alat siap pakai (tidak rusak), tetap karena satu dan lain hal tidak dipergunakan ketika operasi penambangan sedang berlangsung.
d.
Waktu repair (R); Waktu repair yaitu waktu perbaikan pada saat jam operasi berlangsung misalnya perawatan dan waktu menunggu suku cadang alat.
2.
Faktor untuk mengoreksi jam kerja alat yang sesungguhnya.
39
Efisiensi kerja alat tidak dapat di gambarkan secara lengkap hanya dengan satu factor availabilty saja. Tetapi dengan menggunakan tiga factor availability bisa memberikan gambaran tentang efisiensi kerja alat. Dengan mechanical availability dapat di ketahui operational availability sedangkan used of availability di pakai sebagai pelengkap untuk mengetahui suatu operation berlangsung efisien atau tidak. (Indonesianto,2012) a.
Kesediaan Fisik ( PhysicalAvailability) Apabila nilai stand by hours sama dengan nol maka akan di dapatkan nilai PA akan sama dengan nilai MA. PA selain tergantung pada kesiapan mesin ataupun non mesin juga tergantung pada kesiapan manusia yang akan menjalankan atau mengopersaikan alat mekanis tersebut. Pada kondisi ini apabila terjadi kerusakan atau adanya gangguan pada alat mekanis alat tersebut masih berada di tempat kerja, setelah itu dapat juga di bawa ke bengkel alat mekanis untuk segera di perbaiki. Untuk menghitung PA dengan menggunakan persamaan: (Indonesianto,2012) PA
b.
=
W W
S
R
S
x 100 %........................................(8.17.)
Kesediaan unit/alat (Used Of Availabilty) Apabila nilai stand by hours sama dengan nol maka nilai UA akan meningkat menjadi 100%. UA tergantung pada kesiapan manusia yang akan menjalankan atau mengoperasikan alat mekanis tersebut. Nilai UA tersebut dapat diketahui dengan persamaan sebagai berikut :(Indonesianto,2012) UA
c.
=
W W
S
x 100 %.............................................(8.18.)
Penggunaan efektif ( Effective Utilization) Apabila nilai stand by hours sama dengan nol maka nilai EU akan sama dengan nilai MA, EU tergantung pada ketiga faktor di atas (kesiapan alat, kesiapan waktu dan kesiapan manusia) Hal ini dapat diketahui dengan persamaan: (Indonesianto,2012)
40
EU
=
W W
R
x 100%................................................(8.19.)
S
Adapun hal-hal yang dapat mempengaruhi UA ( Used of availability) dan EU ( Effective utilization) di antaranya adalah W (working hours), R (repair hours) dan S ( standby hours). W (working hours) merupakan waktu kerja total dalam satu hari yang telah di kurang dengan waktu repair (breakdown) dan waktu standby. Waktu R ( Repair ) ada yang scheduled dan unscheduled , untuk Repair scheduled merupakan waktu perbaikan alat/unit yang telah dijadwalkan/sudah ada periode seperti service, ganti oli, dll. Sedangkan Repair Unscheduled adalah waktu perbaikan alat/unit yang tidak di jadwalkan seperti low power (alat/unit mengalami kurang tenaga) dan Overheat (alat/unit mesin mengalami masalah panas yang berlebih). Waktu S (Standby) merupakan waktu dimana unit/alat tidak dalam keadaan/kondisi bekerja, adapun hal-hal yang membuat unit/alat mengalami hal tersebut ialah Standby Scheduled dan Stanby Unscheduled . Untuk stanby scheduled adalah dimana alat/unit dalam kondisi tidak bekerja yang masih dapat dikontrol seperti adanya change shift (waktu pergantian shift kerja), meal (waktu untuk makan siang), refueling (waktu dimana alat/unit sedang mengisi bahan bakar), no operator (waktu dimana alat/unit sedang tidak beroprasi dikarenakan tidak ada operator ), Wait blasting (waktu dimana alat/unit tidak berkerja dikarenakan sedang menunggu waktu peledakan). Sedangkan waktu standby Unscheduled adalah dimana alat/unit dalam kondisi tidak bekerja yang tidak dapat dihindari seperti hujan, kabut, slippery (waktu perbaikan jalan yang licin dikarenakan oleh hujan) dan general .
8.6. Overburden Management Plan (PAF dan NA F )
Pengelolaan lapisan tanah penutup dilakukan dengan melakukan pemisahan antara material PAF dan NAF , pemisahan ini adalah upaya untuk mencegah terjadinya potensi terbentuknya air asam tambang. Pada prinsipnya pemisahan ini merupakan sebuah cara untuk memutus salah satu komponen dari proses
41
pembentukan air asam tambang yakni menghindari material sulfida untuk kontak langsung dengan udara atau air dengan memanfaatkan material NAF untuk mengisolasi material PAF. Material PAF ditimbun terlebih dahulu yang akan ditutup dengan lapisan NAF dengan ketebalan tertentu untuk memutus kontak udara atau air dengan material sulfida. Dengan mengetahui volume masingmasing material, maka akan mudah untuk merancang geometri daerah timbunan.
g Sumber : Anonim, 2013 Gambar 8.22. Diagram Pembentukan AAT
Sumber : PT. AMNT Gambar 8.23. Overburden Management
8.7. Analisa Ekonomi dalam Perencanaan Disposal
Didalam perencanaan disposal, evaluasi atau analisis ekonomi sangat berpengaruh terhadap perencanaan disposal itu sendiri. Karena biaya-biaya dalam suatu proyek harus diperhitungkan nilai-nilai pengeluaran dan pemasukan dalam
42
perkiraan biaya investasi, biaya operasi dan pemeliharaan serta perkiraan manfaat dari proyek yang direncakan.
8.7.1. Net Present Value (NPV)
Net present value merupakan selisih antara pengeluaran dan pemasukan yang telah didiskon dengan menggunakan social opportunity cost of capital sebagai diskon faktor, atau dengan kata lain merupakan arus kas yang diperkirakan pada masa yang akan datang yang didiskonkan pada saat ini. Untuk menghitung Net present value diperlukan data tentang perkiraan biaya investasi, biaya operasi, dan pemeliharaan serta perkiraan manfaat/benefit dari proyek yang direncanakan. Sehingga rumus yang digunakan untuk menghitung NPV adalah : (−)
NPV = ∑ =
(1+)
.................................................................................(8.20.)
Dimana : t = Umur proyek i = Tingkat bunga Bt
= Benefit (manfaat) proyek pada tahun t
Ct
= Cost (biaya) proyek pada tahun t Arus kas masuk dan keluar yang didiskonkan pada saat ini ( present
value ( PV )) yang dijumlahkan selama masa hidup dari proyek tersebut dihitung dengan rumus : PV =
(1+)
..............................................................................................(8.21.)
Dimana: t
= waktu arus kas
i
= suku bunga diskonto yang digunakan
Rt
= arus kas bersih (the net cash flow) dalam waktu t Arti perhitungan Net Present Value yaitu Pada tabel berikut
ditunjukkan arti perhitungan NPV terhadap keputusan investasi yang akan dilakukan.
43
Tabel 8.7. Perhitungan NPV terhadap keputusan investasi
8.7.2. I nternal R ate of R eturn (I RR)
Metode ini untuk membuat peringkat usulan investasi dengan menggunakan tingkat pengembalian atas investasi yang dihitung dengan mencari tingkat diskonto yang menyamakan nilai sekarang dari arus kas masuk proyek yang diharapkan terhadap nilai sekarang biaya proyek atau sama dengan tingkat diskonto yang membuat NPV sama dengan nol. IRR yang merupakan indikator tingkat efisiensi dari suatu investasi. Suatu proyek/investasi dapat dilakukan apabila laju pengembaliannya (rate of return) lebih besar dari pada laju pengembalian apabila melakukan investasi di tempat lain, IRR digunakan dalam menentukan apakah investasi dilaksanakan atau tidak. Sehingga rumus yang digunakan untuk menghitung IRR adalah : -
IRR = i + [
−
](i- - i+)...............................................................(8.22.)
Dimana :
44
IRR
= Internal rate of return
NPV +
= NPV positif
NPV -
= NPV negatif
i -
= Tingkat bunga pada NPV negatif
i+
= Tingkat bunga pada NPV positif
8.7.3. Sensitivity Analysis
Sensitivity Analysis secara umum merupakan suatu analisis untuk dapat melihat pengaruh-pengaruh yang akan terjadi akibat keadaan yang berubah-ubah. Tujuan Sensitivity Analysis adalah untuk menilai apa yang akan terjadi dengan dengan hasil analisis kelayakan suatu kegiatan perencanaan apabila terjadi perubahan didalam perhitungan biaya atau manfaat. Dalam evaluasi ekonomi perencanaan disposal, Sensitivity Analysis bertujuan untuk menganalisis atau mengevaluasi pengaruh dari perubahan perubahan biaya produksi yang di akibatkan oleh berbagai macam pengaruh teknis dilapangan, dengan cara melakukan analisa-analisa terhadap hal apa saja yang mempengaruhi biaya produksi.
45
IX.
WAKTU DAN RENCANA KEGIATAN TUGAS AKHIR II Tabel 8.8. Rencana Kegiatan Penyusunan Tugas Akhir II
Bulan No
Kegiatan
April-17
Mei-17
Juni-17
Juli-17
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1
Studi Pustaka
2
Observasi Lapangan
3
Pengambilan dan Pengumpulan Data
4
Pengolahan Data
5
Analisa Data
6
Bimbingan
7
Presentasi
8
Pendadaran
46
DAFTAR PUSTAKA
Arif, I dan Gatut S. Adisoma. 2005. Perencanaan Tambang (Buku Ajar). Bandung : Institut Teknologi Bandung, hal. VIII-2.
Budiarto, 1997, Diktat Kuliah Sistem Penirisan Tambang , Jurusan Teknik Pertambangan, Universitas Pembangunan Nasional ”Veteran”, Yogyakarta, hal 21.
Caldwell, Jack, 2006. Waste Rock Dumps. http://technology.infomine.com/ WasteRockDumps/.
Chow, 1996, Hidrolika Saluran Terbuka, Erlangga, Jakarta.
Indonesianto,
Y,
2008. Pemindahan
Tanah
Mekanis,
Jurusan
Teknik
Pertambangan UPN “Veteran”, Yogyakarta, hal. II. 7- 8, III. 107-111
Rochmanhadi, 1992. Alat-alat Berat dan Penggunaannya, Cetakan IV, Badan Penerbit Pekerjaan Umum, Jakarta, hal.28-32.
Suratna GDE, dkk. 2008. Pelatihan Geoteknik Terapan. PT Pama Persada Nusantara.Jakarta, hal.F-2.
Suripin, 2004, Sistem Drainase Perkotaan yang Berkelanjutan, Penerbit Andi Offset, Yogyakarta, hal 150.
Suwandhi, A., 2004, Perencanaan Jalan Tambang, Diklat Perencanaan Tambang Terbuka UNISBA, Bandung, hal. 2-13
47
View more...
Comments