Perempuan Si Pembawa Penyakit INA KABUKI; Riset Ethnografi Kesehatan 2014 BURU

March 12, 2018 | Author: Puslitbang Humaniora dan Manajemen Kesehatan | Category: N/A
Share Embed Donate


Short Description

Masyarakat Etnik Buru banyak menyimpan misteri tentang mitos penyembuhan penyakit. sakit pada seseorang dipahami tidak h...

Description

Perempuan Si Pembawa Penyakit Ina Kabuki

Rikke Sanggi Jayanti Muklas Aji Setiawan Erna Sani Nurlatu Suharmiati

i

Perempuan Si Pembawa Penyakit Ina Kabuki ©2014 Pusat Humaniora, Kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat Penulis Rikke Sanggi Jayanti Muklas Aji Setiawan Erna Sani Nurlatu Suharmiati Editor Suharmiati Desain Cover Agung Dwi Laksono

Cetakan 1, November 2014 Buku ini diterbitkan atas kerjasama PUSAT HUMANIORA, KEBIJAKAN KESEHATAN DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT Badan Penelitan dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Jl. Indrapura 17 Surabaya Telp. 031-3528748, Fax. 031-3528749 dan LEMBAGA PENERBITAN BALITBANGKES (Anggota IKAPI) Jl. Percetakan Negara 20 Jakarta Telepon: 021-4261088; Fax: 021-4243933 e mail: [email protected]

ISBN 978-602-1099-03-2 Hak cipta dilindungi undang-undang. Dilarang memperbanyak karya tulis ini dalam bentuk dan dengan cara apa pun, termasuk fotokopi, tanpa izin tertulis dari penerbit.

ii

Buku seri ini merupakan satu dari dua puluh buku hasil kegiatan Riset Etnografi Kesehatan Tahun 2014 di 20 etnik. Pelaksanaan riset dilakukan oleh tim sesuai Surat Keputusan Kepala Pusat Humaniora, Kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat Nomor HK.02.04/1/45/2014, tanggal 3 Januari 2014, dengan susunan tim sebagai berikut: Pembina

: Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI.

Penanggung Jawab

: Kepala Pusat Humaniora, Kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat

Wakil Penanggung Jawab : Dr. dr. Lestari H., MMed (PH) Ketua Pelaksana

: dr. Tri Juni Angkasawati, MSc

Ketua Tim Teknis

: dra. Suharmiati, M.Si

Anggota Tim Teknis

: drs. Setia Pranata, M.Si Agung Dwi Laksono, SKM., M.Kes drg. Made Asri Budisuari, M.Kes Sugeng Rahanto, MPH., MPHM dra.Rachmalina S.,MSc. PH drs. Kasno Dihardjo Aan Kurniawan, S.Ant Yunita Fitrianti, S.Ant Syarifah Nuraini, S.Sos Sri Handayani, S.Sos

iii

Koordinator wilayah

:

1. dra. Rachmalina Soerachman, MSc. PH : Kab. Boven Digoel dan Kab. Asmat 2. dr. Tri Juni Angkasawati, MSc : Kab. Kaimana dan Kab. Teluk Wondama 3. Sugeng Rahanto, MPH., MPHM : Kab. Aceh Barat, Kab. Kep. Mentawai 4. drs. Kasno Dihardjo : Kab. Lebak, Kab. Musi Banyuasin 5. Gurendro Putro : Kab. Kapuas, Kab. Landak 6. Dr. dr. Lestari Handayani, MMed (PH) : Kab. Kolaka Utara, Kab. Boalemo 7. Dr. drg. Niniek Lely Pratiwi, M.Kes : Kab. Jeneponto, Kab. Mamuju Utara 8. drg. Made Asri Budisuari, M.Kes : Kab. Sarolangun, Kab. Indragiri Hilir 9. dr. Betty Roosihermiatie, MSPH., Ph.D : Kab. Sumba Timur. Kab. Rote Ndao 10. dra. Suharmiati, M.Si : Kab. Buru, Kab. Cirebon

iv

KATA PENGANTAR

Mengapa Riset Etnografi Kesehatan 2014 perlu dilakukan ? Penyelesaian masalah dan situasi status kesehatan masyarakat di Indonesia saat ini masih dilandasi dengan pendekatan logika dan rasional, sehingga masalah kesehatan menjadi semakin komplek. Disaat pendekatan rasional yang sudah mentok dalam menangani masalah kesehatan, maka dirasa perlu dan penting untuk mengangkat kearifan lokal menjadi salah satu cara untuk menyelesaikan masalah kesehatan masyarakat. Untuk itulah maka dilakukan Riset Etnografi sebagai salah satu alternatif mengungkap berbagai fakta kehidupan sosial masyarakat terkait kesehatan. Dengan mempertemukan pandangan rasional dan indigenous knowledge (kaum humanis) diharapkan akan menimbulkan kreatifitas dan inovasi untuk mengembangkan cara-cara pemecahan masalah kesehatan masyarakat. Simbiose ini juga dapat menimbulkan rasa memiliki (sense of belonging) dan rasa kebersamaan (sense of togetherness) dalam menyelesaikan masalah untuk meningkatkan status kesehatan di Indonesia. Tulisan dalam buku seri ini merupakan bagian dari 20 buku seri hasil Riset Etnografi Kesehatan 2014 yang dilaksanakan di berbagai provinsi di Indonesia. Buku seri ini sangat penting guna menyingkap kembali dan menggali nilai-nilai yang sudah tertimbun agar dapat diuji dan dimanfaatkan bagi peningkatan upaya pelayanan kesehatan dengan memperhatikan kearifan lokal. Kami mengucapkan terima kasih kepada seluruh informan, partisipan dan penulis yang berkontribusi dalam

v

penyelesaian buku seri ini. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan KesehatanKementerian Kesehatan RI yang telah memberikan kesempatan pada Pusat Humaniora untuk melaksanakan Riset Etnografi Kesehatan 2014, sehingga dapat tersusun beberapa buku seri dari hasil riset ini.

Surabaya, Nopember 2014 Kepala Pusat Humaniora, Kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat Badan Litbang Kementerian Kesehatan RI.

drg. Agus Suprapto, M.Kes

vi

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR GRAFIK

v vii x xi xiv

BAB I MENGAPA RISET ETNOGRAFI KESEHATAN?

1

1.1. Gambaran Studi 1.1.1. Mengapa Etnografi? 1.1.2. Masalah Penelitian 1.1.3. Tujuan Penelitian 1.1.4. Pertanyaan Studi 1.1.5. Desain Studi 1.1.6. Wilayah Studi 1.1.7. Kelemahan Studi 1.2. KajianTerdahulu

1 1 7 8 8 8 9 10 10

BAB II GEBA BUPOLO, PENJAGA PULAU BURU

11

2.1. Sejarah Pendudukan Buru 2.1.1. Menuju ke Pulau Buru 2.1.2. Namlea: Pusat Pemerintahan dan Pintu masuk Kabupaten 2.1.3. Kayeli dan Pengaruh Ternate-Tidore- Portugis 2.1.4. Pengaruh Pendudukan Jepang 2.1.5. Pulau Buru di Era Kemerdekaan Indonesia 2.1.6. Pulau Buangan; yang Dibuang yang Dikenang 2.1.7. Pulau Buru Era Tahun 1980

13 13 14

vii

16 20 22 23 25

2.1.8. Reformasi dan Otonomi Daerah 2.2. Penjagaan; Sejarah Geba Bupolo 2.3. Penyebaran Permukiman Geba Bupolo: Air Kelahiran 2.4. Sistem Pemerintahan Adat 2.5. Organisasi Ruang dan Waktu Orang Bupolo 2.6. Religi Geba Bupolo : Hindu Adat 2.7. Sistem Kekerabatan dan Perkawinan 2.8. Titipan: Sistem Pewarisan Pengetahuan 2.9. Bahasa Buru 2.10. Pencarian Geba Bupolo

26 27 33 34 37 42 47 51 53 53

BAB III POTRET KESEHATAN

63

3.1. Pra Hamil 3.1.1. Remaja Usia 10 Sampai 24 tahun 3.1.2. Pasangan Suami Istri Belum Pernah Hamil 3.2. Hamil 3.2.1 Masa kehamilan 3.3. Persalinan dan Nifas 3.3.1. Menjelang Persalinan 3.3.2. Proses Persalinan 3.3.3. Setelah Persalinan 3.3.4. Masa Nifas 3.4. Menyusui 3.5. Neonatus dan Bayi 3.6. Anak dan Balita 3.7. Perilaku Hidup Bersih dan Sehat 3.7.1. Persalinan oleh Tenaga Kesehatan 3.7.2. Melakukan Penimbangan Bayi dan Balita 3.7.3. Memberikan ASI Ekslusif 3.7.4. Mencucu Tangan dengan Air Bersih dan Sabun 3.7.5. Memakai jamban Sehat viii

63 63 77 82 83 88 88 91 95 97 98 100 101 109 109 112 114 115 117

3.7.6. Melakukan Aktifitas Fisik Setiap Hari 3.7.7. Konsumsi Buah dan Sayur Setiap Hari 3.7.8. Tidak Merokok dalam Rumah 3.7.9. Penggunaan Air Bersih 3.7.10. Memberantas Jentik Nyamuk 3.8. Penyakit Menular dan Penyakit Tidak Menular 3.8.1. Program Penanggulangan Penyakit Malaria 3.8.2. Program Penanggulangan Penyakit TB Paru 3.8.3. Program Penanggulangan Penyakit Pneumoni 3.8.4. Program Penanggulangan Penyakit Kusta 3.8.5. Program Penanggulangan Penyakit Diare 3.8.6. Program Penanggulanaan HIV-AIDS 3.9. Kepercayaan terhadap Pelayanan Kesehatan 3.9.1 Sarana dan Tenaga Kesehatan 3.10. Health Seeking Behaviour

119 122 123 125 129 130 132 134 135 136 137 139 141 144 157

BAB IV PERSEPSI PENYAKIT MENURUT GEBA BUPOLO

163

4.1. Dari Permukiman Berpindah Menuju Menetap 4.2. Konsep Penyakit 4.2.1. Wabah Penyakit: Ina Kabuki 4.2.2. Soe: Tuntutan Leluhur 4.2.3. Kitam Mhane: Sumpahan Adat 4.2.4. Rine Buat Rine Hai: Kamu Berbuat Kamu Celaka 4.2.5. Sakit Karena Faktor Biologis 4.3. Pola Penyembuhan Geba Bupolo 4.3.1. Semake/Babeto 4.3.2. Mantra Fufu 4.3.3. Akar-Akaran, Daun dan Kulit Kayu

163 172 173 185 188 194 196 198 198 199 200

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

203

5.1. Kesimpulan

203

ix

5.2. Rekomendasi

213

INDEKS GLOSARIUM DAFTAR PUSTAKA

217 221 225

x

DAFTAR TABEL

Tabel 1. 1. Kondisi Kesehatan Kabupaten Buru Tahun 2012 Tabel 2. 1. Penyebutan kekerabatan Geba Bupolo dalam bahasa Buru Tabel 3. 1. 10 Penyakit Terbanyak Rawat Jalan di Kabupaten Buru Tabel 3. 2. 10 Penyakit Terbanyak Tahun 2013 Tabel 3. 3. Daftar Sarana dan Prasarana di Kabupaten Buru Tabel 4. 1. Nama-Nama Penyakit dalam Bahasa Buru

xi

4 47 131 131 145 183

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1. Peta Kepulauan Maluku Gambar 2.2. Pasar Namlea Gambar 2.3. Benteng Defencie atau Lebih Dikenal dengan Nama Benteng Kayeli Gambar 2.4. Kantor Satuan Pamong Praja Menempati Bangunan Belanda Gambar 2.5. Sumber Air Bersih di Kampung Jikumerasa Gambar 2.6. Peta kabupaten Buru Gambar 2.7. Penggolongan Penduduk Buru Gambar 2.8. Organisasi Waktu menurut Orang Bupolo Gambar 2.9. Tengkorak Keramat di Museum Sewalima Gambar 2.10. Persembahan untuk Orang yang Sudah Meninggal Gambar 2.11. Hasil Buruan dan Tombak untuk Berburu Gambar 2.12. Seorang Anak Membawa Jerat Gambar 2.13. Kandang Babi Gambar 2.14. Babi yang Diliarkan Gambar 2.15 Kebun dan Huwa Hawa Gambar 2.16. Proses Memanen Jagung dan Mangkausehan Gambar 2.17. Huma Kerja Gelan (Rumah Kerja Kayu Putih) dan Ketel Kayu Putih Gambar 3.1. Kegiatan Remaja Bermain “Bekel” dari Batu Kerikil Gambar 3.2. Pohon Kayu Putih yang Tumbuh di Pegunungan

xii

12 15 17 20 21 27 31 40 44 45 54 56 57 57 58 59 61 64 65

Gambar 3.3. Tumpukan Daun Kayu Putih Siap Masak Gambar 3.4. Tempat Penyulingan Minyak Kayu Putih yang Biasa Disebut Ketel Gambar 3.5. Minyak Kayu Putih Keluar dari Ketel Gambar 3.6. Remaja dan Anak-anak Bermain Sepak Bola Gambar 3.7. Papeda Kasbi Gambar 3.8. Mangkausehan (Ampas dari Perasan Singkong/Kasbi) Gambar 3.9. Remaja yang Sedang Berkumpul di Rumah Ibu Desa untuk Berjoget dan Berkumpul Gambar 3.10. Kegiatan Perempuan Etnik Buru Mencari Kutu Gambar 3.11. Aktivitas Ibu Hamil Gambar 3.12. Seorang Ibu Hamil 9 Bulan yang Sedang Membawa “Fodo” Berisi Kayu Bakar Gambar 3.13. Bambu yang Digunakan untuk Memotong Tali Pusat Gambar 3.14. Perlengkapan untuk Melakukan Babeto atau Semake Gambar 3.15. Kondisi Ibu Setelah Melahirkan Gambar 3.16. Anak-anak Sedang Menuju ke Sumber Air untuk Mencuci Peralatan Memasak Gambar 3.17. Anak Perempuan Kecil Disana Sedang Memasak untuk Keluarganya Gambar 3.18. Anak Kecil Sedang Mengasuh Adiknya Gambar 3.19. Seorang Anak Kecil Tidak Memakai Celana Sedang Bermain di Tanah dan Dibiarkan oleh Ibunya Gambar 3.20. Anak Kecil Tidak Memakai Baju dan Sedang Bermain Mobil-mobilan

xiii

66 67 68 71 74 74 76 79 84 85 91 94 96 102 103 104 105

105

Gambar 3.21. Anak Kecil Sedang Bermain Sendiri di Tanah Gambar 3.22. Anak Usia 7 Tahun Menggendong Adiknya yang Berusia 9 Bulan Gambar 3.23. Anak Kecil Berusia 7 Tahun Membantu Membawa Daun Kayu Putih Gambar 3.24. Salah Satu Kondisi Lingkungan Rumah Ketel di Desa Nafrua Gambar 3.25. Pemeriksaan Kehamilan oleh Bidan Saat Puskesmas Keliling Gambar 3.26. Seorang Ibu Sedang Memberikan ASI pada Anaknya Gambar 3.27. Seorang Anak Memanfaatkan Air Bersih untuk Membersihkan Kotoran Adiknya Setelah BAB Tanpa Menggunakan Sabun Gambar 3.28. Anak Sedang BAB di Tempat Terbuka Gambar 3.29. Seorang Ibu Mengangkat Daun Kayu Putih untuk Dimasak Gambar 3.30. Seorang Ibu Hamil Membawa Kayu dari Gunung Gambar 3.31. Sayur Pakis yang Biasa Dimakan Seharihari Gambar 3.32. Seorang Bapak Sedang Merokok di Dekat Anaknya yang Sedang Tidur Gambar 3.33. Sungai Dimanfaatkan sebagai Tempat Mencuci Peralatan Memasak, Mencuci Baju dan Mandi Gambar 3.34. Seorang Anak Kecil Membawa Air yang Diambil dari Tempat Penampungan

xiv

106 106 107 109 113 115 117

118 120 121 123 125 127

128

Gambar 3.35. Tempat Penampungan Air Bersih dari Gunung Melalui Pipa Kecil Gambar 3.36. Kelambu di Kamar Seorang Informan Penelitian Gambar 3.37. Kantor Kecamatan Lolong Guba Gambar 3.38. Puskesmas Waelo Gambar 4.1. Huma Bupolo: Rumah Orang Buru Gambar 4.2. Permukiman Orang Buru Gambar 4.3. Rumah Proyek Komuntas Adat Terpencil (KAT) Gambar 4.4. Kran Air di Permukiman KAT Gambar 4.5. Tim Pusling Puskesmas Waelo Melewati Sungai untuk Menuju ke Kampung Lokasi Pemeriksanaan Gambar 4.6. Rumah Koin (Pamali) Ina Kabuki di Gunung Jaga Anan Gambar 4.7. Petugas Kesehatan Memberikan Vitamin kepada Salah Satu Anak Bupolo Gambar 4.8. Pelat atau Daun Gatal

xv

128 130 162 162 164 165 167 168 171

181 197 201

DAFTAR GRAFIK

Grafik 3.1. Angka Kesakitan Malaria Kabupaten Buru 2012 Grafik 3.2. Angka Penemuan Kasus Baru TB Paru Kab. Buru 2012 Grafik 3.3. Angka Kesakitan Penyakit Pneumoni Balita Kab. Buru 2012 Grafik 3.4. Angka Kesakitan Kusta di Kab. Buru 2012 Grafik 3.5. Jumlah Penderita Diare di Kab. Buru 2012 Grafik 3.6. Kasus HIV-AIDS di Kab. Buru 2012 Grafik 3.7. Cakupan Pelayanan Ibu Hamil K1 dan K4 di Kabupaten Buru Grafik 3.8. Cakupan Pelayanan Ibu Bersalin oleh Tenaga Kesehatan dan Ibu Nifas di Kabupaten Buru tahun 2012 Grafik 3.9. Cakupan Kunjungan Neonatal Pertama (KN1) dan Kunjungan Neonatal Lengkap(KNL) Per Puskesmas Kabupaten Buru Tahun 2011 – 2012 Grafik 3.10. Cakupan Peserta KB Baru Per Puskesmas Kabupaten Buru Tahun 2011 -2012 Grafik 3.11. Cakupan Bayi Lahir Ditimbang & BBLR Per Puskesmas Kabupaten Buru Tahun 2011 - 2012

xvi

132 134 135 137 139 140 148 150

153

154 155

BAB 1 MENGAPA RISET ETNOGRAFI KESEHATAN?

1.1. Gambaran Studi Riset Etnografi Kesehatan (REK) Tahun 2014 ini merupakan lanjutan dari REK di tahun 2012. Pada bab ini akan menjelaskan tentang mengapa studi ini dilakukan, rumusan masalah, pertanyaan utama, untuk tujuan apa dan bagaimana metode, serta analisa yang dilakukan agar menemukan apa yang akan dicari dalam studi ini. 1.1.1. Mengapa Etnografi? Status kesehatan masyarakat Indonesia masih jauh dari target MDG’s1 yang diharapkan. Salah satu penyebabnya adalah penyelesaian masalah dan situasi status kesehatan masyarakat di Indonesia saat ini masih dilandasi dengan pendekatan logika dan rasional, sehingga masalah kesehatan menjadi semakin kompleks. Disaat pendekatan rasional belum memberikan hasil yang optimal dalam menangani masalah kesehatan maka dirasa perlu dan penting untuk mengangkat kearifan lokal sebagai salah satu cara menyelesaikan masalah kesehatan masyarakat

1

MDG’s (Milleneum Development Goals) merupakan deklarasi millennium hasil kesepakatan kepala Negara dan perwakilan dari 189 negara PBB yang mulai dijalankan pada September 2000, dengan target tercapainya kesejahteraan rakyat dan pembangunan masyarakat pada tahun 2015.

1

Etnik Buru, Kabupaten Buru, Provinsi Maluku

(Litbangkes, 20122). Inisiatif untuk mengidentifikasi kearifan lokal ini selaras dengan kondisi bangsa Indonesia yang terdiri dari beragam Etnik bangsa tersebar mulai dari Sabang sampai Merauke. Ahimsa Putra (2005: 15-16) mengungkapkan bahwa masalah kesehatan tidak pernah terlepas dari situasi dan kondisi masyarakat dan budayanya. Masalah kesehatan dalam suatu masyarakat sangat erat kaitannya dengan fasilitas kesehatan, sarana transportasi, dan komunikasi yang ada dalam suatu masyarakat, dengan kepercayaan, jenis mata pencaharian serta lingkungan fisik tempat masyarakat tersebut berada. Baik masalah kematian maupun kesakitan pada masyarakat sesungguhnya tidak terlepas dari faktor-faktor sosial budaya dan lingkungan di dalam masyarakat tempat mereka berada. Hal tersebut sering kali membawa dampak baik positif maupun negatif terhadap kesehatan. Pola pencarian pertolongan pada persalinan misalnya, pada beberapa masyarakat, kepercayaan terhadap dukun dan kebiasaan-kebiasaan dalam sudut pandang kesehatan dianggap berbahaya, namun hal tersebut masih ada. Dalam hal pola makan, meskipun pada dasarnya merupakan salah satu selera manusia, namun peran kebudayaan ternyata cukup besar. Hal ini terlihat bahwa setiap daerah mempunyai pola makan tertentu, termasuk pola makan ibu hamil dan anak yang disertai dengan kepercayaan akan pantangan, tabu, dan anjuran terhadap beberapa makanan tertentu. Menemukan kearifan lokal tentang cara, kebiasaan, konsep mengenai sehat dan sakit serta pola perilaku masyarakat dalam menjaga kesehatan menjadi penting untuk mendorong peningkatan status kesehatan. Pengetahuan mengenai kearifan lokal tersebut harus dimiliki oleh pemangku kepentingan 2

Kata sambutan dari Kepala Pusat Humaniora Surabaya

2

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

terutama tenaga kesehatan di masing-masing daerah untuk memahami dan melakukan pendekatan budaya terutama budaya kesehatan. Salah satu cara mendekati kearifan lokal ini adalah dengan metode etnografi. Etnografi mencoba mendalami masyarakat, menceritakan dengan detail setiap peristiwa yang terjadi, mencoba memahami pola dan mengaitkannya dengan konteks sosial, budaya dan ekonomi masyarakat sehingga bias menghasilkan deskripsi yang holistik. Studi etnografi memperpendek jarak antara peneliti dengan obyek penelitian, sehingga pendekatan yang dipakai untuk menangkap pola keseharian dan pola kesehatan masyarakat menjadi tidak berjarak. Penelitian Etnografi Kesehatan ini difokuskan untuk menangkap sisi budaya yang selama ini kurang diperhatikan. Tulisan ini akan membahas persepsi sehat dan sakit pada Etnik Buru di Kabupaten Buru Provinsi Maluku. Etnik Buru merupakan penduduk asli yang tersebar di Pulau Buru. Secara khusus tulisan dalam buku ini akan memfokuskan pada Etnik Buru yang tinggal di Petuanan Kayeli terutama Kayeli Kaku (pegunungan) yang masuk ke dalam wilayah Kabupaten Buru. Dari sisi kesehatan, ranking IPKM Kabupaten Buru tahun 2007 menduduki peringkat 415 dengan kategori wilayah Kabupaten bermasalah kesehatan berat (KaA). IPM kabupaten Buru di tahun 2012 sebesar 70,54. Kabupaten Buru menduduki peringkat ke tiga Daerah Bermasalah Kesehatan (DBK) di Provinsi Maluku. Kondisi kesehatan Kabupaten Buru secara umum bisa terlihat dari tabel 1.1.

3

Etnik Buru, Kabupaten Buru, Provinsi Maluku

Tabel 1. 1 Kondisi Kesehatan Kabupaten Buru Tahun 2012 No Kondisi Kesehatan Besaran 1

Kepadatan penduduk

23 jiwa/Km²

2

Rasio Puskesmas per 100.000 penduduk

7,65

3

Rasio Dokter umum per 100.000 penduduk

10,2

4

Rasio Dokter Gigi per 100.000 penduduk

0,9

5

Rasio perawat per 100.000 penduduk

346,9

6

Rasio Bidan per 100.000 penduduk

121,6

7

Daerah Bermasalah Kesehatan (DKB)

3

8

Indeks pembangunan Manusia (IPM)

70,54

9

Cakupan Kunjunan Ibu Hamil K4

61,51%

10

Cakupan persalinan ditolong Nakes

56,90%

11

Cakupan kunjungan neonates pertama (KN1)

88,14%

12

Cakupan Imunisasi Campak

68,88%

13

Drop out rate imunisasi DPT/HB1-campak 19,4% pada bayi

14

Cakupan Pelayanan Kesehatan Bayi

87,50%

15.

Cakupan pelayanan kesehatan Anak Balita

109.03%

16

Prosentase balita di timbang (D/S)

80,03%

Sumber: Ringkasan Eksekutif Data dan Informasi Kesehatan Provinsi Maluku diambil dari Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Tahun 2012

Secara umum gambaran kesehatan menunjukkan variasi yang kompleks. Namun berdasarkan keterangan Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Buru, kesenjangan kondisi kesehatan sangat terlihat antara bagian wilayah pantai, dataran rendah dengan wilayah pegunungan. Keterjangkauan wilayah menjadi salah satu permasalahan pokok yang masih dihadapi para petugas kesehatan di Kabupaten Buru. Selain itu ditengarai bahwa tenaga kesehatan banyak tertumpuk di wilayah ibu kota kabupaten. Kondisi ini diperparah dengan minimnya sarana dan 4

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

prasarana kesehatan untuk menjangkau daerah-daerah yang sulit terutama wilayah pegunungan yang merupakan tempat bermukimnya komunitas adat Buru. Permasalahan kesehatan di Kabupaten Buru tidak terlepas dari sejarah pembentukan kabupaten dan sejarah kehidupan warga di Buru. Masuknya sarana kesehatan dibarengi dengan pendudukan dan masuknya etnik lain kewilayah Kabupaten Buru. Mantan Menteri Kesehatan Achmad Sujudi yang mendapatkan tugas menjadi dokter praktek di Pulau Buru tahun 70-an, saat wilayah Buru menjadi lokasi Tefaat Tapol menuturkan: "Saat itu, banyak ibu yang tinggal di sekitar unit-unit Inrehab hampir tidak dapat diselamatkan jika ada kesulitan-kesulitan dalam persalinan, seperti pendarahan, sepsis, dan posisi tak normal dari bayi yang dikandung," kenang Sujudi4

Bahkan ia menuturkan kembali kondisi tersebut belum begitu banyak berubah setelah ia menjabat sebagai Menteri Kesehatan. Sujudi mengungkapnya dalam peluncuran memoir yang dituliskannya dengan judul “Dari Pulau Buru ke Cipinang” sebagai berikut: "Alangkah mengejutkan, dalam kurun waktu 30 tahun itu, saya mendapat kesan bahwa kemajuan yang terjadi dalam bidang kesehatan, khususnya di kawasan tersebut (Pulau Buru) belum lah berarti. Tak berlebihan jika ditarik kesimpulan bahwa Kawasan Timur Indonesia memang relatif tertinggal" tutur Sujudi.

4

http://www.tribunnews.com/nasional/2011/09/19/achmad-sujudi-darisalemba-ke-pulau-buru

5

Etnik Buru, Kabupaten Buru, Provinsi Maluku

Kondisi kesehatan warga di sekitar unit Inrehab adalah kondisi masyarakat Etnik Buru pada waktu itu masih sangat tertinggal.Bahkan kondisi kesehatan tersebut tidak mengalami kemajuan setelah 30 tahun kemudian. Hal tersebut sungguh ironis. Kondisi masyarakat Buru juga diceritakan sekilas oleh Pramudya AnantaToer dalam bukunya “Nyanyi Sunyi Seorang Bisu”, “Mereka bertombak dan berparang, berdestar, hanya cara mengenakannya berlainan gaya yang bisa kelihatan di Jawa, Madura, Bali atau Priangan. Kebanyakan kulit mereka bersisik karena kaskado5. Pakaiannya sangat sederhana, bercawat atau bercelana pendek. Yang diperbolehkan bercelana panjang hanya pembesarpembesar dalam soak. Sedang kepala keamanannya mengenakan selendang merah.Pertemuan-pertemuan mendadak di hutan menyebabkan dua dua pihak menghindar. Kami kuatir akan tombak dan parangnya. Mereka takut pada pendatang.” (Toer: 1995: 50).

Pramudya mengakui bahwa ia sangat subyektif melihat dan menceritakan kondisi Etnik Buru pada waktu itu. Dalam kacamata sebagai seorang tahanan, orang yang dibatasi gerak dan pertemuannya dengan Etnik Buru, Etnik asli penghuni Pulau Buru. Walaupun begitu pandangan sekilasnya cukup memberikan gambaran pada kita mengenai kondisi masyarakat Buru yang secara endemis mengidap kaskado. Melihat kondisi kesehatan di tahun 70-an tersebut membawa peneliti untuk lebih menyelami perkembangan kondisi kesehatan di Pulau Buru terutama masyarakat adat Etnik Buru. Kondisi kesehatan ini juga terkait dengan status kesehatan 5

Kaskado (tineaimbirkata): dermatofitosis disebabkanTrichophyton concentricum

6

kronik

rekuren

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

Kabupaten Buru yang masih berada dibawah standar kesehatan yang tertuang dalam kesepakatan MDG’s bidang kesehatan. Cakupan kondisi kesehatan yang ada di Kabupaten Buru ini belum tentu menggambarkan kondisi nyata yang terjadi di bagian pegunungan. Hal ini diakui oleh Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Buru, bahwa masalah keterjangkauan dan sulitnya medan membuat fasilitas kesehatan belum mampu menyasar warga yang tinggal di wilayah pegunungan. Kondisi ini diperparah dengan minimnya tenaga kesehatan dari etnik Buru yang bekerja di Dinas Kesehatan Kabupaten maupun di Puskesmas-Puskesmas sebagai ujung tombak pelayanan kesehatan masyarakat. 1.1.2. Masalah Penelitian Hingga kini, data-data kondisi kesehatan terutama di wilayah pegunungan sebagai tempat tinggal masyarakat adat Etnik Buru masih susah untuk didapatkan. Keterjangkauan Puskesmas dalam melayani dan mendata kondisi kesehatan di pegunungan merupakan sebab awal minimnya catatan mengenai kondisi kesehatan warga di pegunungan. Minimnya warga yang mengakses layanan kesehatan ini juga ditengara karena warga lebih percaya kepada pengobatan tradisional yang dikembangkan dan diwariskan secara turun temurun. Persoalan kesehatan di pegunungan yang tidak terjangkau layanan kesehatan, menjadi permasalahan utama yang akan diangkat dalam penelitian ini. Minimnya studi mengenai Etnik Buru merupakan salah satu tantangan yang harus dihadapi peneliti untuk mendapatkan gambaran yang menyeluruh dan komprehensif mengenai kondisi Etnik Buru terutama di pegunungan. Pemahaman warga terhadap kesehatan, pola hidup keseharian, persepsi warga pegunungan mengenai rasa sakit,

7

Etnik Buru, Kabupaten Buru, Provinsi Maluku

kondisi sakit dan proses mencari penyembuhan penyakit menjadi point penting dalam penelitian ini. 1.1.3. Tujuan Penelitian 1. 2. 3. 4.

Tujuan penelitian ini antara lain: Mengidentifikasi secara mendalam unsur-unsur budaya yang mempengaruhi kesehatan masyarakat Etnik Buru Mengidentifikasi dan memahami perspektif emik mengenai konsep sehat dan sakit Memahami persoalan Etnik Buru secara holistik sehingga bisa mempermudah masuknya layanan kesehatan Rekomendasi cara dan teknik masuk pelayanan kesehatan ke masyarakat Buru terutama yang tinggal di pegunungan.

1.1.4. Pertanyaan Studi Bagaimana Etnik Buru mempersepsikan mengenai penyakit, sakit, rasa sakit, dan upaya mencari penyembuhannya? 1.1.5. Desain Studi Riset ini di desain sebagai riset khusus kesehatan nasional dengan desain eksploratif dengan metode etnografi. Dimana peneliti langsung terjun kelapangan mencari data melalui informan (Ratna, 2010). Etnografi merupakan pekerjaan yang mendeskripsikan suatu kebudayaan.Tujuan utama aktifitas ini adalah memahami suatu pandangan hidup dari sudut pandang penduduk asli (Spradley, 2007). Cara penggalian data dengan observasi, observasi partisipatif, wawancara, simak (mendengarkan) dan studi pustaka. Dengan menggunakan metode observasi/pengamatan 8

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

terlibat dengan cara tinggal di lokasi penelitian diharapkan peneliti bisa menggambarkan secara detail kondisi lingkungan geografis dan menangkap fenomena budaya yang dilakukan masyarakat, khususnya yang berkaitan dengan kesehatan. Untuk memperoleh kedalaman informasi, peneliti melakukan wawancara secara mendalam (indepth interview). Agar terfokus pada masalah kesehatan dengan menggunakan bantuan pedoman wawancara sebagai panduan menggali informasi kepada para informan. Jenis data (primer, sekunder, dan visual) dan sebagai pelengkap dari penelitian ini, maka dilakukan pula penelusuran dokumen dan pustaka terkait dengan masalah kesehatan di Etnik Buru pada khususnya. Dengan menggunakan analisa komparatif interpretatif dengan triangulasi data dan penyajian data deskriptif. 1.1.6. Wilayah Studi Menjadi persoalan tersendiri ketika menentukan titik lokasi tempat penelitian. Setelah berkonsultasi dengan Dinas Kesehatan Kabupaten Buru dan mempertimbangkan masalah kesehatan berdasarkan data Dinas Kesehatan maka disepakati bahwa penelitian dilakukan di Etnik Buru petuanan Kayeli yang menetap di kepala air (hulu sungai) Waeapo dengan alasan: 1. Desa Nafrua merupakan desa pemekaran tahun 2014 2. Daerah tersebut termasuk wiilayah Komunitas Adat Terpencil menurut data Kementrian Sosial. 3. Intervensi layanan kesehatan di wilayah permukiman sangat minim 4. Ditemukan kasus gizi kurang

9

Etnik Buru, Kabupaten Buru, Provinsi Maluku

1.1.7. Kelemahan Studi 1. Pengetahuan peneliti mengenai bahasa daerah sangat minim 2. Pengetahuan lokal dianggap warisan dan titipan sehingga pamali untuk diceritakan kepada orang lain 3. Jarak antar dusun dalam satu desa cukup jauh dengan bentang alam pegunungan sehingga menghambat keterjangkauan wilayah studi 1.2. Kajian Terdahulu • • •

• • •

10

Direktorat Bina Masyarakat Terasing Dirjen Bina Kesejahteraan Sosial Depsos RI 1985 Balai Penelitian Nilai Budaya (BPNB) Maluku Max Pattinama; Les Bumi Lale de l’ile de Buru: Moluques – Indonesie (Gestion du milleu et exploitation du Melaleucaleucadendron L) Barbara Dix Grimes: Mapping Buru: The Politics of Territory and Settlement on an Eastern Indonesia Island Pramudya Ananta Toer: “Perawan Remaja Dalam Cengkraman Militer” dan“Nyanyi Sunyi Seorang Bisu” Hersri Setiawan: “Aku Eks-Tapol”

BAB 2 GEBA BUPOLO, PENJAGA PULAU BURU

Siapa yang tidak mengenal Pulau Buru? Pulau dengan luas 10.000 km², penghasil minyak kayu putih. Dimasa lalu pulau Buru dianggap sebagai pulau yang kurang berpenghuni, sehingga dijadikan lokasi tefaat dan inrehab10, bagi 12.000 warga tahanan politik (tapol). Pulau yang mengenangkan coretan kelam penindasan dan penghakiman tanpa pengadilan. Pulau di mana Bumi Manusia, Rumah Kaca, Jejak Langkah, Anak Semua Bangsa; ‘Tetralogi Buru’, disebarkan lewat mulut ke mulut kemudian di tulis kembali dan menjadi buku sastra monumental di dunia. Pada bab ini penulis akan mencoba mendeskripsikan pulau Buru terutama wilayah Petuanan Kayeli, lokasi Riset Etnografi Kesehatan 2014 diKabupaten Buru dan khususnya keberadaan Etnik Buru. Kabupaten Buru memiliki luas wilayah 7.595,58 km³, 69,42% dari luas keseluruhan Pulau Buru. Sisi Utara berbatasan dengan laut Seram, sisi Selatan berbatasan dengan Kabupaten Buru Selatan, sebelah Timur berbatasan dengan Selat Manipa dan sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Buru Selatan dan Laut Seram. Pulau Buru memiliki 28 sungai yang merupakan anak sungai dari 4 sungai besar di Pulau Buru yaitu Waetina, 10

Tefaat adalah kepanjangan dari tempat pemanfaatan untuk menampung tapol PKI di Pulau Buru yang selanjutnya istilah pemanfaatan diganti dengan instalasi rehabilitasi (inrehab)

11

Etnik Buru, Kabupaten Buru, Provinsi Maluku

Waemala, Waenibe dan Waeapo. Keempat sungai ini bersumber dari Danau Rana yang terletak di Kecamatan Air Buaya.Posisi Danau Rana dan Sungai yang berhulu di Danau Rana sangat penting dalam konteks penyebaranmasyarakat adat Buru.

Gambar 2. 1. Peta Kepulauan Maluku Sumber: http://en.wikipedia.org/wiki/Maluku_(province)

Kabupaten Buru memiliki 10 Kecamatan yaitu: 1) Kecamatan Namlea 2) Kecamatan Waeapo 3) Kecamatan Waplau 4) Kecamatan Batabual 5) Kecamatan Teluk Kayeli 6) Kecamatan Waelata 7) Kecamatan Lolong Guba 8) Kecamatan Lilialy 9) Kecamatan Air Buaya 10) Kecamatan Fena Lisela 12

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

Penduduk Kabupaten Buru pada tahun 2013 berjumlah 120.181 jiwa, terdiri dari 61.608 jiwa laki-laki dan 58.573 jiwa perempuan. Dengan kepadatan penduduk 15,82 jiwa/km². Tidak tersedianya data penduduk berdasarkan etnik di Kabupaten Buru menyulitkan peneliti untuk melihat dominasi wilayah dan sebaran Etnik Buru berdasarkan wilayah yang ada. Namun berdasarkan keterangan dari Kepala BPS Kabupaten Buru, Etnik Buru banyak menempati daerah-daerah pegunungan dan lereng pegunungan. Kondisi ini bisa dilihat dari data penduduk berdasarkan agama yang menempatkan penduduk beragama hindu12 lebih banyak tinggal di wilayah pegunungan. Agama Hindu atau dalam konteks masyarakat Buru menyebut agama Hindu Adat merupakan agama yang dianut oleh sebagian besar orang Buru pedalaman. 2.1. Sejarah Pendudukan Buru 2.1.1. Menuju ke Pulau Buru Hiruk pikuk keseharian warga Pulau Buru dimulai pada pukul 03.00 WIT, tepatnya di Dermaga Pelabuhan Namlea.Ojek motor, angkutan kota dan para penjemput penumpang kapal feri menyambut riuh di tepi dermaga. Setiap hari kapal feri, KM Wayangan dan KM Temi melayani pelayaran dari Pelabuhan Gelala Ambon ke Pulau Buru secara bergantian. Berangkat pukul 20.00 WIT dari Pelabuhan Galala Ambon, merapat ke pelabuhan Namlea pada pukul 3.30 WIT. Perjalanan dari Ambon ke Pulau Buru ditempuh selama 8 jam dalam kondisi normal. Jika pada musim ombak terutama bulan Juni-Juli jadwal pelayaran berubah sewaktu-waktu dan lama perjalanan mengikuti kondisi gelombang. 12

Dalam beberapa data di Kecamatan Dalam Angka BPS, disebut animisme

13

Etnik Buru, Kabupaten Buru, Provinsi Maluku

Jalur perhubungan laut antara Ambon-Pulau Buru bertambah lancar ketika ada tambahan kapal cepat yang beroperasi dua hari sekali mulai tahun 2011. Kapal cepat ini mampu memangkas 3-4 jam perjalanan laut dengan kapal feri biasa. Selain perhubungan laut, perhubungan udara juga dibuka oleh pesawat kecil dari Bandara Pattimura Ambon menuju ke Bandar udara yang ada di Namlea. Waktu tempuh perjalanan udara dari Ambon ke Namlea 45 menit. Namun penerbangan dari dan ke Pulau Buru dari Ambon hanya dilayani satu kali seminggu. Pada waktu menuruni kapal, kita akan disambut oleh tukang ojek maupun angkot yang akan mengantar kita menuju ke atas13, Kota Namlea, Unit maupun Air Buaya. Kota Namlea menyambut dengan gapura “Selamat Datang di Kabupaten Buru” yang melintang di jalan utama Kabupaten. Tugu Retemena Barasehe berdiri megah di tengah perempatan jalan menyambut setiap pengendara yang akan menuju ke Namlea. Ratemena Barasahe berarti maju terus pantang mundur merupakan slogan sekaligus gambaran dari sikap dan prinsip hidup warga Buru terutama di Kabupaten Buru. Bangunan baru kantor-kantor pemerintahan tampak berpencar di wilayah Namlea atas.Kota Namlea merupakan ibukota Kabupaten Buru. 2.1.2. Namlea: Pusat Pemerintahan dan Pintu masuk Kabupaten Kesibukan warga selanjutnya berada di Pasar Namlea, proses jual beli mulai ramai dari dini hingga sore hari. Pasar Namlea menjadi pusat perdagangan di Kabupaten Buru. Walaupun ada pasar baru yang dibangun oleh Pemerintah Kabupaten Buru di dekat Gunung Tetanggo, namun pasar Namlea masih menjadi pusat perdagangan warga. Barang yang dibawa 13

Atas merupakan istilah yang dipakai orang pelabuhan untuk mengantar penumpangnya ke daerah Namlea

14

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

dari Ambon dengan kapal masuk terlebih dahulu ke Pasar Namlea sebelum didistribusikan ke dataran rendah dan pegunungan. Beberapa kios, warung, swalayan dan pertokoan menjadi pusat penyalur kebutuhan pokok masyarakat, baik untuk kebutuhan pangan, sandang dan papan.

Gambar 2. 2.

Pasar Namlea Sumber: Dokumentasi Peneliti 2014

Di awal pembentukan kabupaten, pusat pemerintahan Kabupaten Buru berada di Namlea bawah. Setelah Kabupaten Buru dimekarkan dengan Kabupaten Buru Selatan barulah pembangunan kantor pemerintah dipusatkan di Namlea atas. Kantor-kantor pemerintah dibangun tersebar di wilayah Namlea yang dihubungkan oleh jalan lampu panjang. Pada malam hari lampu panjang menjadi tempat aktivitas anak muda di Kabupaten Buru. Posisi Namlea bawah berada di tepi pantai berhadapan langsung dengan Teluk Kayeli dan muara Sungai Waeapo atau daerah Kaki Air. Untuk menuju ke Kayeli terdapat perahu 15

Etnik Buru, Kabupaten Buru, Provinsi Maluku

motor/speed yang siap mengantar dari pagi hingga sore hari. Ongkos kapal cepat cukup dikenakan 60.000 rupiah untuk satu penumpang. Kapal feri juga melayani penyeberangan dari Namlea bawah ke Kayeli setiap 3 hari sekali. Perhubungan laut dari Namlea ke Kayeli semakin ramai semenjak Gunung Botak dijadikan lokasi tambang emas rakyat. Banyak para penambang yang lebih memilih menggunakan jalur penyeberangan dari pada harus memutar untuk menuju ke Gunung Botak di lokasi pencarian emas. 2.1.3. Kayeli Dan Pengaruh Ternate-Tidore- Portugis Datangnya orang Barat dalam spirit Gold, Glory dan Gospel ke pusat rempah-rempah di Kepulauan Maluku berimbas juga pada Pulau Buru. Pada masa kolonial, Kayeli dijadikan pusat pemerintahan Portugis. Benteng Defencie atau lebih dikenal sebagai Benteng Kayeli menjadi pertanda reruntuhan yang bisa dilihat hingga saat ini.Keberadaan Benteng VOC kemudian dikaitkan dengan kata Kayeli yang merupakan sebutan dari Koloni Portugis yang berasal dari kata Kayoue poetih olie, yang berarti daerah penghasil minyak kayu putih. Namun demikian penyebutan Kayeli adalah pemberian Portugis dibantah oleh Bapak Awad Wael, Raja Kayeli. Menurut beliau, kata Kayeli berasal dari bahasa Buru, Kai berarti kakak dan eli yang artinya pantai. Secara ringkas Kayeli merupakan sebutan dari orang Buru yang tinggal di gunung sekitar Danau Rana untuk kakak yang tinggal dan menetap di pesisir pantai. 14

14

Gold, Glory dan Gospel (kekayaan, kejayaan dan penyebaran agama) adalah sitilah yang digunakan bagi kampanye imperialism abad 15 yang dipelopori oleh Purtugis dan Spanyol

16

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

Gambar 2.3. Benteng Defencie atau Lebih Dikenal dengan Nama Benteng Kayeli Sumber: Dokumentasi Peneliti 2014

Hampir seluruh penduduk di Kayeli beragama Islam, termasuk bapak Raja Kayeli. Pada masa lalu terdapat masjid Kayeli dengan arsitektur tradisional, namun pada saat ini sudah tidak dimanfaatkan lagi dan berganti dengan bangunan masjid permanen. Banyaknya penduduk yang beragama Islam ini menunjukkan bahwa sentuhan dengan Kesultanan Tidore Ternate sudah berlangsung sejak lama, bahkan sebelum masa kejayaan VOC di Maluku. Pada saat pendudukan Kesultanan Ternate terdapat dua wilayah kekuasaan adat di Pulau Buru yaitu Masarete dan Lisella. Bukti lain ditunjukkan dari banyaknya orang Ternate yang tinggal dan menetap di daerah pesisir pantai Pulau Buru. Sebagai daerah yang strategis antara Provinsi Maluku dengan Maluku Utara, di masa lalu dijadikan tempat persinggahan bagi kapal-kapal besar masa kejayaan rempahrempah. Selain Ternate dan Tidore, kehadiran Etnik bangsa lain ke Pulau Buru juga bisa dilacak jejaknya hingga kini. Di pesisir Pantai 17

Etnik Buru, Kabupaten Buru, Provinsi Maluku

Jikumerasa terdapat kuburan Cina, hal ini menunjukkan bahwa ada komunitas orang Cina atau Tionghoa yang tinggal dan menetap di Pulau Buru. Selain itu beragam harta adat dan pusaka milik orang Buru yang berupa piring dan cawan keramik menunjukkan bahwa persentuhan orang Buru dengan pedagang dari Cina sudah berlangsung sejak lama. Adanya etnik keturunan Arab yang tinggal di pesisir pantai juga menunjukkan bahwa Buru sebagai sebuah pulau sangat terbuka terhadap kehadiran para pendatang untuk berdagang dan kemudian menetap di sana. Pada saat Portugis menancapkan kekuasaannya di Kayeli, kekuasaan wilayah adat dibagi menjadi 3 yaitu Masarete, Lisella dan Kayeli. Istilah Burro diberikan orang Portugis untuk menyebut Pulau Buru. Bukti ini ditemukan dalam peta yang dipublikasikan tahun 1613 oleh misi perdagangan Portugis. Kata Burro dalam bahasa Portugis berarti pantat, sementara dalam bahasa Spanyol berarti keledai kecil. Ada dua hipotesis yang dikemukakan oleh Prof. Max Pattinama dalam bukunya “Orang Bupolo dan Lingkungannya” mengenai kata Burro ini. Hipotesis pertama kata Burro untuk menamakan babi rusa (buru babirusa) karena untuk pertama kalinya orang Portugis melihatnya di pulau ini. Kedua kata Burro dialamatkan kepada masyarakat yang tinggal di Pulau ini karena mereka selalu menolak kehadiran Portugis di setiap kampung. Tindakan ini menurut pandangan orang Portugis selalu dianggap bodoh. Di masa penjajahan Belanda, kata Burro tidak digunakan dan ditulis Boeroe atau Buru dalam Bahasa Indonesia (Pattinama, 2005). Selanjutnya wilayah Pulau Buru dibagi menjadi 12 Regenschap15 yang dikuasai oleh 12 Raja Patih, yaitu : Raja Patih Kayeli, Raja Patih Liliali, Raja Patih Tagalisa, Raja Patih Lisella, Raja 15

Regenschap adalah istilah Belanda yang menunjukkan kepada pembagianpembagian wilayah kesatuan (dalam kekuasaan Belanda) yang dipimpin oleh seorang raja patih pilihan Belanda

18

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

Patih Hukumina, Raja Patih Polumata, Raja Patih Waesama, Raja Patih Lumaiti, Raja Patih Masarete, Raja Patih Fogi, Raja Patih Malulat dan Raja Patih Ambalau. Pada tahun 1935, untuk mempermudah mengatur pemerintahan Belanda di Pulau Buru B.J. Haga Residen Maluku mengeluarkan Surat Keputusan tertanggal 17 September 1935 No B. B. 120/2/20 yang berisi tentang penghapusan beberapa Raja Patih dan penguatan 8 Raja Patih di Pulau Buru dengan batas kekuasaannya: Regenschap Lisella, Regenschap Tagalisa, Regenschap Liliali, Regenschap Kayeli, Regenschap Waesama, Regenschap Masarette, Regenschaf Fogi, dan Regenschap Ambalau. Pusat pendudukan Belanda berpindah dari Kayeli ke Namlea, akibat banjir besar yang menghancurkan Kayeli. Sebelum pemindahan pusat pemerintahan, diselenggarakan pertemuan para raja dan patih16 untuk membahas pemindahan pusat pemerintahan Belanda. Pemindahan pusat kekuasaan dilangsungkanpada tanggal 31 Agustus 1919 bertepatan dengan hari ulang tahun Ratu Wilhelmina. Bukti-bukti pendudukan Belanda di Namlea masih bisa dilihat hingga sekarang. Dua bangunan Belanda masih digunakan untuk menunjang kegiatan pemerintahan Kabupaten Buru. Sebuah bangunan berarsitektur kolonial digunakan untuk kantor Polisi Pamong Praja (Pol PP) Kabupaten Buru yang berada didepan Pasar Namlea. Satu bangunan lagi sudah direnovasi sehingga tidak tampak bangunan aslinya, kini dijadikan kantor Polsek Namlea. Sementara itu terdapat juga satu buah bangunan peninggalan Belanda yang sudah tidak lagi difungsikan.

16

www.Burukab.go.id

19

Etnik Buru, Kabupaten Buru, Provinsi Maluku

Gambar 2.4. Kantor Satuan Pamong Praja Menempati Bangunan Belanda Sumber: Dokumentasi peneliti 2014

2.1.4. Pengaruh Pendudukan Jepang Masa pendudukan Jepang di Indonesia berlangsug singkat. Pada tahun 1942, Pulau Buru digunakan sebagai pangkalan transit pesawat-pesawat tempur Jepang yang terlibat dengan pasukan sekutu di Lautan Pasifik. Di daerah pesisir Pantai Jikumerasa ditemukan goa yang digunakan untuk perlindungan pada masa pendudukan Jepang, sehingga oleh warga sekitar dinamakan Goa Jepang. Selain goa, ditemukan juga sumber air di Kampung Jikumerasa dan menurut keterangan warga sekitar merupakan bekas ledakan bom yang dijatuhkan Sekutu untuk mengusir tentara Jepang di Pulau Buru pada Perang Dunia II.

20

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

Gambar 2.5. Sumber Air Bersih di Kampung Jikumerasa Sumber: Dokumentasi Peneliti 2014

Selain berupa situs, beredar pula cerita mengenai Jugunianfu17 yang ditinggalkan oleh bala tentara Jepang ketika dikalahkan oleh Sekutu. Para jugun ianfu itu dibawa ke pegunungan tempat tinggal orang asli untuk diperistri kepala soaatau kepala adat. Para perempuan tersebut disumpah bahwa ia tidak akan menceritakan asal usul keberadaan mereka.Kisah para jugun ianfu di Pulau Buru dituliskan oleh Pramudya Ananta Toer dalam bukunya “Perawan Remaja dalam Cengkraman Militer” (Gramedia, 2001). Walaupun demikian, penuturan kisah jugun ianfu di buku tersebut tidak terlalu detail karena keterbatasan dan keleluasaan yang dimiliki para tapol untuk bertemu orang asli Buru atau Alfuru. Keberadaan para jugun ianfu tersebut sangat diproteksi oleh suaminya untuk bertemu dengan orang pendatang terutama dari Jawa. Sebuah film 17

Jugun ianfu adalah istilah yang digunakan untuk merujuk kepada wanita (comfort women) yang menjadi korban dalam perbudakan seks selama perang dunia II di koloni Jepang dan wilayah Jepang.

21

Etnik Buru, Kabupaten Buru, Provinsi Maluku

dokumenter berjudul Mataoli18 yang dalam bahasa Buru berarti kematian berkali-kali, menggambarkan keberadaan jugun ianfu di pulau Buru. 2.1.5.Pulau Buru di Era Kemerdekaan Indonesia Ketika kemerdekaan Republik Indonesia dikumandangkan pada tanggal 17 Agustus 1945 dari Jakarta, Pulau Buru masih menjadi markas tentara Belanda. Pemerintah Republik Indonesia berusaha untuk mengusir pendukung NICA (Nederlandsch Indië Civil Administratie atau Netherlands-Indies Civil Administration atau "Pemerintahan Sipil Hindia Belanda") masih berada di Namlea. Peristiwa pengusiran Belanda di Namlea tersebut dikenal dengan sebutan peristiwa merah putih. Pada awal April 1946, ekspedisi Merah Putih dengan Kapal Sindoro dan Semeru mendarat di Desa Ubung. Pada tanggal 16 April 1946 terjadi penyerbuan dari Ubung ke tangsi Belanda di Namlea. Peninggalan dari peristiwa tersebut masih bisa terlihat dengan dibuatnya ”Tugu PendaratanTentara” di Desa Ubung dan Merah Putih diabadikan menjadi nama “Pantai Merah Putih” di Namlea. Setelah kemerdekaan Republik Indonesia dan Pulau Buru terbebas dari penguasaan Belanda, Pemerintah Indonesia mulai membentuk pemerintahan di daerah-daerah. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 60 tahun 1958, tentang pembentukan Daerah Swatantra19, Pulau Buru termasuk dalam Daerah Tingkat I Maluku dan Daerah Tingkat II Maluku Tengah, dengan ibukota 18

Jejerwadonsolo.wordpress.com

19

Daerah swantantra atau daerah otonom adalah daerah di dalam suatu negara yang memiliki kekuasaan otonom, atau kebebasan dari pemerintah di luar daerah tersebut. Biasanya suatu daerah diberi sistem ini karena keadaan geografinya yang unik atau penduduknya merupakan minoritas negara tersebut, sehingga diperlukan hukum-hukum yang khusus, yang hanya cocok diterapkan untuk daerah tersebut.

22

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

Masohi yang berada di Pulau Seram. Pada fase pemerintahan selanjutnya, secara administratif Pulau Buru dibagi menjadi dua Kecamatan yaitu Kecamatan Buru Utara dengan ibukota Namlea, dan Kecamatan Buru Selatan dengan ibukota Leksula. 2.1.6. Pulau Buangan; yang Dibuang yang Dikenang Pada tahun 1969, Pulau Buru dijadikan tempat pengasingan tahanan politik Orde Baru. Pemerintah waktu itu menamai sebagai tempat pemanfaatan para narapidana politik (napol) dan tahanan politik (tapol)20. Selanjutnya nama berganti menjadi Inrehab Buru, atau tempat rehabilitasi bagi para napol dan tapol yang dihukum tanpa proses pengadilan. Dipilihnya Pulau Buru karena pulau tersebut dianggap sebagai pulau besar dengan penduduk yang sangat sedikit. Berdasarkan catatan yang ada, sebelum kedatangan warga tapol, penduduk Pulau Buru hanya berjumlah 3.000 orang. Jauhnya jarak dari pulau-pulau besar yang lain juga merupakan salah satu sebab dipilihnya Pulau Buru sebagai pulau buangan para tapol dan napol tahun 1965. Kedatangan tapol terbagi menjadi tiga gelombang. Dari Jawa, tapol diangkut dengan menggunakan kapal dan bersandar di Jiku Kecil selanjutnya dibawa masuk dengan kapal-kapal kecil menelusuri Sungai Waepao menuju ke daerah Lembah Waeapo. Sebanyak 12.000 tapol ditempatkan di 21 unit yang ada di Dataran Waeapo dan satu unit isolasi di Jiku Kecil Namlea.Pada tahap awal tapol ditempatkan di 18 unit yang tersebar di Lembah Waepao, ditambah lagi 3 unit di tahun 1976. Masingmasing unit di huni oleh 500 orang tapol dan napol. Nama-nama unit yang menjadi lokasi tempat tinggal tapol adalah: Unit I Wanapura dan Unit II Wanareja, Unit III Wanayasa, Unit IV 20

Tahanan adalah seorang yang ditahan dan belum melalui proses peradilan, sedangkan narapidana telah melalui peradilan final.

23

Etnik Buru, Kabupaten Buru, Provinsi Maluku

Savana Jaya, Unit V Wanakarta, Unit VI Wanawangi, Unit VII Wanasurya, Unit VIII Wanakencana, Unit IX Wanamulya, Unit X Wanadharma, Unit XI Wanaasri, Unit XII Birawawanajaya, Unit XIII Giripura, Unit XIV Bantalareja, Unit XV Indrapura, Unit XVI Indrakarya, Unit XVII Indragiri dan Unit XVIII Arghabakti. Sementara kedatangan tapol gelombang terakhir di tahun 1976 ditempatkan di unit S (Sawunggaling), unit R (Ronggolawe) dan unit T (Trunojoyo). Nama-nama unit saat ini masih ada yang dipakai sebagai penanda lokasi desa. Nomer-nomer unit pun masih dikenal dan diingat warga, namun demikian tidak semua warga bisa hapal dan mengetahui nama-nama unit tersebut. Hanya Unit Savana Jaya yang sekarang menjadi nama sebuah desa. Sebab lain hilangnya ingatan warga terhadap nama-nama unit semisal Indrapura, Giripura dan sebagainya karena tapak atau bekas lokasi perumahan para tapol itu sekarang sudah banyak yang berubah menjadi lahan pertanian, kebun jati ataupun tanah kosong yang ditumbuhi semak belukar. Balai pertemuan warga di Savana Jaya merupakan satu-satunya bangunan yang masih bisa dilihat sampai sekarang. Selain itu beberapa batu nisan ‘warga’ juga bisa ditemukan tersebar di unit R, Unit S dan Unit X. Pada tahun 1973, seiring dengan pertambahan penduduk terjadi pemekaran Kecamatan Buru Utara menjadi Kecamatan BuruUtara Timur dengan ibukota Namlea dan Kecamatan Buru Utara Barat dengan ibukota Air Buaya. Nama-nama wilayah kecamatan ini masih lekat dalam ingatan warga asli Buru untuk menyebut pembagian wilayah pulau Buru hingga sekarang. Pada tahun 1979 terjadi pemulangan tapol ke daerah asalnya, sementara bagi tapol yang tidak ingin kembali ke daerahnya kemudian tinggal di Unit IV Savanajaya mendaftar sebagai transmigran. Keberadaan para tapol di Pulau Buru, telah membuka jalur perhubungan darat antara Unit dengan Namlea. 24

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

Ribuan hektar tanah dibuka menggantikan ilalang dan tanaman sagu yang terhampar di Dataran Waeapo. Keberadaan para tapol juga sangat membantu kehidupan warga penduduk asli Buru. Salah satu warga dari fam Besan menyebutkan jika para tapol itu tinggal lebih lama lagi, pastilah anak-anak adat Etnik Buru ini bisa menjadi orang-orang hebat yang bisa baca dan tulis. Hal ini karena warga, pada masa lalu sering melakukan kunjungan ke desa-desa sekitar lokasi inrehab untuk memberikan pembelajaran baca tulis, kesenian dan pengajaran ketrampilan berkebun dan bertani bagi penduduk asli Buru. Dari sisi kesehatan, beberapa tapol yang memiliki gelar dokter juga sering melakukan pengobatan dan penyembuhan kepada masyarakat sekitar unit. Selain itu juga terdapat rumah sakit khusus bedah di Mako yang sebagian besar dokternya berasal dari tapol dan napol di Pulau Buru. 2.1.7. Pulau Buru Era Tahun 1980 Pada tahun 1980, unit-unit yang ditinggalkan para tapol itu kemudian dibuka menjadi lokasi transmigrasi. Tidak hanyawarga dari Jawa, namun sebagian tapol serta warga asli Buru yang tinggal disekitar Waeapo juga mendaftar sebagai transmigran lokal. Nama beberapa unit-unit bekas warga tapol masih dipakai hingga sekarang. Di dalam kosa kata para transmigran menyebut para tapol dengan istilah warga. Istilah warga ini disematkan untuk menggantikan istilah tapol (tahanan politik) yang merupakan sebutan pemerintah sekaligus penghargaan bagi para warga yang telah membuka lahan dan membangun persawahan di lokasi unit tempat tinggal mereka. Kedatangan para transmigran sebenarnya tinggal menemukan daerah yang sudah dibuka oleh para warga penghuni unit. Beberapa instalasi bendungan, saluran air dan proyek sawah 25

Etnik Buru, Kabupaten Buru, Provinsi Maluku

dibuka untuk mencukupi kebutuhan para transmigran. Dari kamp pembuangan berubah menjadi lumbung beras, mungkin itu istilah tepat yang menggambarkan perubahan di Lembah Waeapo. Kedatangan para transmigran memicu pertumbuhan penduduk di Pulau Buru. Pertambahan penduduk mendorong perubahan juga dalam struktur pemerintahan. Pembentukan desa baru maupun kecamatan baru tidak bisa dihindari seiring dengan keinginan warga yang tinggal di Pulau Buru untuk menjadi kabupaten sendiri. Hal ini juga dipicu oleh arus gelombang reformasi yang melanda di negeri ini sehingga proses pemekaran tidak terkendali. Jauhnya kota Kabupaten Maluku Tengah di Masohi menjadi salah satu alasan utama pemekaran kabupaten. Tidak ditemukan data secara rinci perubahanperubahan pembagian wilayah pemerintahan di tingkat desa di Pulau Buru antara tahun 1958-1999 . 2.1.8. Reformasi dan Otonomi Daerah Berdasarkan Undang-Undang No. 46 Tahun 1999 terbentuk Kabupaten Buru sebagai pemekaran dari kabupaten Maluku Utara dan beribukota di Masohi. Namun demikian penetapansecara definif berdasarkan pada Undang-Undang 6 tahun 2000 menyebutkan pembentukan Kabupaten Buru dengan ibukota di Namlea. Pada tahun 2003 terjadi pemekaran kecamatan menjadi 10 kecamatan dari yang sebelumnya hanya 3 kecamatan. Pemekaran berlanjut di tahun 2008 seiring diterbitkannya UU No 32 tahun 2008 mengenai Kabupaten Buru Selatan, secara otomatis jumlah kecamatan di wilayah Kabupaten Buruberkurang menjadi 5 kecamatan yaitu Kecamatan Namlea, Kecamatan Waplau, Kecamatan Airbuaya, Kecamatan Waeapo dan Kecamatan Batabual. 26

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

Pada tahun 2012 dilakukan pemekaran di wilayah Waeapo untuk mendekatkan pelayanan pemerintah kepada masyarakat yaitu Kecamatan Waelata, Kecamatan Lolongguba dan Kecamatan Teluk Kayeli. Sementara itu Kecamatan Liliali merupakan pemekaran dari Kecamatan Namlea, dan Kecamatan Fena Lisela merupakan pemekaran dari Kecamatan Air Buaya, sehinggasekarangjumlah kecamatan yang ada di Kabupaten Buru berjumlah 10 buah. Wilayah Kabupaten Buru meliputi 4 wilayah petuaan adat yaitu Petuanan Leisela, Petuanan Tagalisa, Petuanan Liliali dan Petuanan Kayeli.

Gambar 2. 6. Peta Kabupaten Buru Sumber : www.Burukab.go.id

2.2. Penjagaan; Sejarah Geba Bupolo Interaksi orang Buru terhadap orang asing berlangsung cukup lama. Cerita mengenai pulau Buru banyak dideskripsikan terutama semenjak Tapol yang berisi orang-orang cedik pandai dan cendekia yang tersangkut peristiwa 30 September tahun 1965(G30 S PKI) ataupun cerita masa-masa setelahnya. Namun 27

Etnik Buru, Kabupaten Buru, Provinsi Maluku

deskripsi mengenai Etnik asli yang mendiami pulau masih jarang ditemukan dalam khasanah perbincangan Etnik bangsa di Indonesia.Dalam beberapa tulisan para Tapol seperti Pramudya Ananta Toer menyebut orang Buru asli sebagai Alfuru. Alfuru sendiri merupakan istilah luas yang digunakan orang melayu untuk semua orang non muslim yang tinggal di wilayah tak terakses dibagian Timur kepulauan nusantara. “Dan apabila generasi penduduk sebelumnya mengantongi dalam ingatannya invasi dari Loloda dan Patani dan Papua dengan busur panah, tombak dan parang, generasi penduduk sesudahnya akan mengantongi dalam ingatannya invasi peradaban baru: baca-tulis, angkul, perawatan medis, akupuntur, lembaga perkawinan, kedudukan anak dalam keluarga, arsitektur dengan paku dan siku penunjang, alat pertukangan dan cuisine. Invasi legendaris yang dibiayai oleh orang-orang buangan tanpa status (Nyanyi Sunyi seorang bisu; 209)”

Etnik Alifuru digambarkan oleh Pramudya sebagai Etnik pedalaman, Etnik asli yang masih memakai cawat, memegang tombak, parang dan memakai destar mirip dengan ikat kepala di Jawa. Kulit orang Buru asli terkena penyakit kaskado. Ia juga bercerita bahwa Etnik Buru yang hidup di pedalaman masih suka mengayau dan membunuh jika bertemu dengan orang pendatang. Cerita Pramudya mengenai Etnik Buru ini memberikan gambaran bahwa orang Buru masih sangat tertinggal. Banyak juga ditemukan kasus di warga Buru di sekitar unit tapol yang menderita filariasis atau kaki gajah. Wabah filariasis ini mulai menyerang para Tapol di Unit, sehingga membuat beberapa Tapol yang bekerja di bidang kesehatan mulai membentuk “Tim Micro Filaria”. Tim ini bekerja menyisir warga unit agar terbebas dari wabah filariasis dan juga menyasar 28

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

kampung-kampung di sekitar unit sebagai sumber wabah filariasis. Tahun 1985 Direktorat Bina Masyarakat Terasing Direktorat Jendral Bina Kesejahteraan Sosial Departemen Sosial R.I. melakukan penelitian dengan judul “Kehidupan dan Penghidupan Masyarakat Terasing Etnik Rana di Pulau Buru dan Usaha-usaha Pembinaannya”. Etnik Rana dalam buku ini dijelaskan sebagai permukiman adat yang tinggal di sekitar danau Rana yaitu di wilayah Kecamatan Buru Utara Barat yang termasuk dalam Kabupaten Maluku Utara. Hasil penelitian itu mendeskripsikan bahwa terdapat pengelompokan masyarakat terasing di Pulau Buru, yaitu : 1) Masyarakat Waelou dan Waetemun di Buru Selatan 2) Masyarakat Waiapu di dataran Wai Apu, Buru Utara Timur 3) Masyarkat Rana di Buru Utara Barat Kesatuan sosial dalam konteks Etnik selanjutnya dalam deskripsi penulisan, Dinas Sosial menyebut sebagai masyarakat Rana sebagai salah satu dari sejumlah masyarakat terasing di pedalaman Pulau Buru. Kelompok masyarakat pedalaman dan pegunungan ini dianggap terbelakang. Penduduk di pesisir pantai menyebut masyarakat pedalaman ini sebagai orang gunung atau dalam bahasa daerah setempat disebut ‘Geba Kaku’. Ditinjau dari sudut perkembangan dan percampuran penduduk, maka penduduk Pulau Buru secara umum dapat diklasifikasikan dalam 3 golongan penduduk yaitu: 1) Geba – Emlier- penduduk asli 2) Geba – Marakan – hasil kawin mawin antar penduduk asli dan pendatang 3) Geba – Malelir – para pendatang yang menetap di Pulau Buru

29

Etnik Buru, Kabupaten Buru, Provinsi Maluku

Selanjutnya tulisan ini menyebut bahwa masyarakat Rana adalah turunan asli dari Geba Emlier yaitu penduduk asli. Menurut mitologi penduduk setempat, rumpun Etnik Geba Emlier berasal dari dua orang manusia suami istri yaitu “Lawan Ditau” (laki-laki) dan “Pateria Ditan” (perempuan).Mereka berdua diciptakan oleh Oplastala atau Opoge Basnulat (Tuhan Yang Maha Esa) dan berdiam di sekitar hulu Sungai Waiapu dan Waikabo. Kedua makhluk tersebut kemudian menurunkan sepuluh jenis rumpun Etnik-Etnik kecil yaitu: Geka-Hain, Geka Waget, Waitenun, Wegida, Wahidi, Waeloa Gaeli (kayeli), Mocal Mesbait dan Maktita. Penelitian lanjutan mengenai Etnik Buru banyak dilakukan oleh para penginjil yang masuk di wilayah Buru Selatan (sekarang Kabupaten Buru Selatan). Berbagai studi dilakukan untuk dapat mempermudah masuknya agama Kristen ke Pulau Buru.Tulisan mengenai struktur adat, bahasa, kebiasaan dan aturan adat dimiliki oleh penginjil terutama Yayasan Misi Pedalaman untuk dapat lebih mudah memahami pola perilaku dan kehidupan sehari-hari Orang Buru. Etnik Buru dalam kajian Etnik-Etnik bangsa di Indonesia secara jelas disebut oleh Koentjaraningrat (1979). Koentjaraningrat menyebutkan George Alexander Wilken pernah membuat catatan pendek tentang etnografi Etnik Buru di Maluku pada tahun 1975 yang mendiskripsikan mengenai pola pernikahan Etnik Buru. Pulau Buru ditinggali oleh Etnik Buru yang memiliki sejarah dan kehidupan berbeda dengan Etnik lain di kepulauan Maluku. Studi-studi lanjutan mengenai -Etnik Buru lebih banyak dilakukan oleh Balai Sejarah dan Nilai Tradisi Provinsi Maluku. Hampir setiap tahun beragam penelitian dilakukan untuk mendalami kehidupan dan nilai-nilai keseharian Etnik Buru di Pulau Buru. 30

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

Dalam studi yang berkelanjutan semenjak tahun 1989 sekarang, Max Pattinama menyebutkan bahwa Orang Buru menyebut diri sendiri sebagai Orang Bupolo atau Geba Bupolo. Geba artinya orang, sementara Bupolo adalah nama awal pulau Buru menurut bahasa Buru. Geba Bupolo percaya bahwa dirinya dipercaya oleh generasi yang telah lalu untuk menjaga Pulau Buru. Menurut Geba Bupolo ada beberapa penggolongan penduduk Buru yaitu:

Gambar 2. 7. Penggolongan Penduduk Buru Sumber: Pattinama, 2005

Geba Buru adalah orang Buru keseluruhan, terbagi menjadi Geba Bupolo sebagai orang asli Buru dan Geba Misnit atau pendatang. Geba Bupolo yang tinggal dan menetap di pegunungan disebut sebagai Geba Fuka. Geba Fuka dibagi menjadi dua yaitu Geba Fuka Unen dan Geba Fuka Fafan. Geba 31

Etnik Buru, Kabupaten Buru, Provinsi Maluku

Fuka Unen adalah Geba Bupolo yang tinggal di wilayah-wilayah yang dianggap keramatatau sering disebut sebagai pusat pulau Buru yaitu di Danau Rana dan Gunung Date. Sementara Geba Fuka Fafan adalah mereka yang tingal di sekitar lereng-lereng pegunungan. Sedangkan Geba Masin adalah orang Buru yang tinggal di pesisir pantai atau dekat dengan air masin (asin). Dari berbagai sumber studi diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa orang Buru atau Geba Bupolo membagi secara tegas penduduk Buru berdasarkan lokasi dan ruang hidupnya. Penduduk pulau Buru tersebar di pesisir pantai, dataran rendah dan pegunungan. Sebaran penduduk ini disinyalir untuk menjaga daerah kekuasaan adat Etnik Buru yang masuk dalam masing-masing petuaan di setiap wilayah di Pulau Buru. Dalam studi ini akan difokuskan mendeskripsikan Etnik Buruyang berada di Petuanan Kayeli, lokasi dilakukan studi ini. Petuanan Kayeli sendiri dipimpin oleh seorang raja yang berdiam di Kayeli. Petuanan Kayeli memiliki daerah kekuasaan dari kepala Air Waeapo sampai dengan Kaki Air Waeapo.Geba Bupolo di Petuanan Kayeli membagi penduduknya menjadi tiga bagian berdasarkan ruang hidupnya. Dalam istilah lokal disebut Kayeli Peta Telo yaitu: 1) Kayeli Kaku adalah orangKayeli yang tinggal di pegunungan 2) Kayeli Rata Lalen adalah orang Kayeli yang tinggal di daratan rendah terutama di lembah Sungai Waeapo 3) Kayeli Sea Wait adalah orang Kayeli yang tinggal di pesisir pantai Secara Administratif Petuanan Kayeli meliputi Kecamatan Namlea, Waeapo, Waelata, Teluk Kayeli dan Lolong Guba.Secara khusus studi ini mengambil lokasi di salah satu desa di Kecamatan Lolong Guba untuk mendapatkan gambaran kondisi kehidupan Geba Bupolo yang tinggal di Pegunungan. 32

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

2.3. Penyebaran Permukiman Geba Bupolo :Air Kelahiran Pada awalnya permukiman asli orang Buru berada di sekitar Danau Rana, dan orang Bupolo menyebut dirinya sebagai orang dari Rana atau Fili Rana. Pendudukan Kesultanan Ternate, Portugis, Belanda, Jepang, datangnya Tapol, dan transmigrasi membuat orang-orang Rana tersebar ke beberapa wilayah untuk menjaga kekuasaan yang dititipkan kepada mereka. Di pegunungan Danau Rana sisi Selatan, Fili Rana turun mengikuti aliran sungai yang mengalir dari Danau Rana. Sementara itu orang-orang di pegunungan bagian Utara berdiam di kepala air22 disekitar pegunungan dan turun mengikuti aliran sungai tersebut. Ikatan warga dengan air cukup erat bagi orang Buru, dalam bahasa Buru sungai disebut dengan wae. Secara khusus orangorang Buru di Petuanan Kayeli tinggal di kepala air yang bermuara di Waeapo. Orang Buru menyebut daerah tempat tinggal di sekitar air tersebut sebagai Air Kelahiran. Hal ini membedakan istilah orang Maluku secara umum yang menyebut lokasi awal tempat tinggal teteh nenek moyang mereka sebagai mata rumah. Air kelahiran ini kemudian dikeramatkan oleh anak keturunannya. Air kelahiran juga disebut sebagai “air pamali/keramat” oleh salah satu fam atau Etnik tertentu yang berbeda air pamalinya dengan Etnik yang lain. Sehingga orang Buru akan menjaga titipan dari orang tuanya yang menyebut bahwa air kelahiran ini harus dijaga terus kelestariaannya. Wilayah di sekitar air kelahiran inilah yang kemudian dijadikan pusat permukiman dan wilayah berkebun dan berladang sehingga anak turunnya akan tinggal dan menetap di sekitar air

22

Kepala air adalah sebutan lokal untuk menyebut hulu-hulu sungai, sementara muara sungai disebut dengan istilah kaki air

33

Etnik Buru, Kabupaten Buru, Provinsi Maluku

kelahiran tersebut. Asal-usul Geba Buru bisa ditelusur dari air kelahiran mana dia berasal. LN menuturkan : “Eee waepertama, wae kitam lomon bani, wae pertama yang wae kitam lomon waeni. kitam lomon wae li wae. Itu disingkat kelahiran ini memang kita lahir di sini tapi karena disusun dari teteh nenek moyang kan lahir di situ makanya disebut kan air kelahiran. Jadi kita itu merantau kemanapun tetap ingat bahwa kita punya air keramat itu karena katong punya keturunan dari situ, pertama tinggal di situ makanya disebut itu air kelahiran. Katong terpancar ke ujung dunia pun, katong tahu bahwa katong punya kelahiran di sini di Waetet. maka katong semua tetap pulang ke Waetet.”

Di masa lalu, pola hidup orang pegunungan terutama di sekitar Danau Rana masih bersifat nomaden, berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Kondisi ini seperti dituturkan oleh salah satu informan bahwa pada awalnya orang Buru tinggal berkelompok-kelompok berdasarkan famnya. Perpindahan antara satu tempat ke tempat lain biasanya disebabkan oleh pertengkaran antar keluarga, peperangan antar kelompok dan umumnya karena wabah penyakit yang menyerang sebagian besar anggota kelompok atau ketua kelompok tersebut meninggal dunia. Perpindahan tempat tinggal pun masih tidak akan jauh dari air moyang mereka. 2.4. Sistem Pemerintahan Adat Masyarakat adat Buru menganggap bahwa seluruh lahan yang ada di Pulau Buru adalah milik masyarakat adat setempat secara komunal yang telah dibagi semenjak teteh nenek moyang mereka. Kepemilikan yang ada didasarkan pada kesamaan soa atau marga dan kesepahaman masyarakat adat tentang batas 34

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

hak ulayat masing-masing soa. Pengetahuan mengenai batasbatas ulayat ini diwariskan secara turun temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya. Berdasarkan beberapa catatan yang ada mengenai Etnik Buruada 36 noro yang menguasai wilayah Utara (Lisaboli Lisela) dan 21 noro di bagian Selatan (Masa Meserete). Soa merupakan kesatuan hidup tingkat pertama orang Bupolo. Soa juga disebut sebagai noro (Pattinama: 2008). Namun secara umum, Soa di masyarakat adat Buru berdasar penuturan salah satu warga di Petuanan Kayeli,terbagi dua yaitu noropito dan noropa (noro: marga, Pito: tujuh, pa: empat). Noropito merupakan soa yang pertama di Pulau Buru yang terdiri dari tujuh soa. Sedangkan noropa merupakan 4 soa pendatang berasal dari Ternate, Madura, Buton dan Tasijawa, dan terdiri dari 4 soa. Menurut kepercayaan masyarakat setempat, sejarah awal munculnya tujuh soa diawali oleh lahirnya 7 anak dari pasangan suami istri, yangi menjadi cikal bakal munculnya tujuh soa asli di Pulau Buru. Ketujuh soa tersebut yaitu 1) Waetemun/Nurlatu 2) Waelua / Latubual 3) Gewagit /Bhiku/ Ukunala 4) Waegeda / Tasane 5) Wanhedon /Latuwael 6) Wahidi / Wael 7) Gebahael / Saleke Dari ketujuh soa tersebut terdapat 4 soa yang merupakan soa asli di Teluk Kayeli yaitu Gewagit, Waegeda, Waetemun dan Waelua. Keempat Etnik memilih salah satu orang dari Etnik Wahidi untuk menjadi raja di Teluk Kayeli. Raja diangkat untuk menjadi pelindung bagi Etnik-Etnik yang ada di dataran rendah dan pegunungan. Noropa atau warga pendatang di pimpin oleh Hinolong dari fam Baman, sementara kepala adat untuk fam yang 35

Etnik Buru, Kabupaten Buru, Provinsi Maluku

berada di pegunungan dipimpin oleh Kaksodin dari fam Wael atau Etnik Wahidi. Hinolong disebut juga sebagai pintu masuk ke raja. Kaksodin sebagai pimpinan adat dijadikan tempat untuk konsultasi dan membantu penyelesaian masalah dengan kepala adat dan kepala soa di wilayah pegunungan. Selain Bapak Raja, Hinolong dan Kaksodin, kepala adat khusus Etnik Waetemun dipimpin oleh bapak Matetemun sebagai penengah jika terjadi perselisihan antar Etnik di Petuanan Kayeli. Struktur adat di wilayah Petuanan Kayeli mengikuti kewilayahan pesisir pantai bertahta Bapak Raja Kayeli, di dataran rendah terdapat Bapak Hinolong, dibantu oleh bapak Matetemun serta di pegunungan ada bapak Kaksodin. Sementara itu di masing-masing soa terdapat kepala soa dan kepala adat, di samping terdapat juga bapak Kuawasan sebagai pembantu kepala adat. Kepala Soa bertugas untuk mengurusi warga di tingkat soa yang secara langsung berkonsultasi dengan kepala adat. Sedangkan kepala adat bertugas untuk menyelenggarakan upacara adat, membantu perselisihan dan sengketa yang akan diselesaikan dengan hukum adat. Dalam satu soa ada kelompok pemukiman yang disebut dengan istilah lolit (n) atau dalam kelompok fam yang lain disebut dengan Bialahin. Kepala lolit disebut sebagai Basa fena atau Gebakuasan. Basa fena dalam humalolin ini yang akan membantu dalam proses penyelesaian masalah yang menimpa keluarganya, baik masalah perselisihan, perkawinan maupun kesehatan dan kematian. Kepala lolit selanjutnya berkoordinasi dengan kepala Soa dan kepala Adat jika terjadi permasalahan menyangkut keluargannya. Masuknya pemerintahan kampung dalam kelompok permukiman menyebabkan pembagian yang tegas antara tanggung jawab yang jelas antara kepala kampung dan kepala soa serta kepala adat. Kondisi ini dituturkan oleh salah satu kepala soa di Dusun Watempuli: 36

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

“Kepala dusun itu untuk menanggung jawab administrasi masyarakat ke pemerintah. Kalau untuk kepala soa itu menanggungjawab masalah persyaratan adat yang ada di kampung atau negeri begini. Khusus masalah apapun masalah adat dia harus kendalikan. Kalau kepala dusun itu dia atur ke kepemerintahan, administrasi masyarakat, kekurangan masyarakat, apa yang mau dimintakan dia harus bertanggung jawab, bikin proposal untuk permintaan ke pemerintah meskipun pemerintah tidak terima tetapi memperjuangkan dia kan seperti itu, kalau untuk kepala soa dan kepala adat, kepala adat itu bertanggungjawab juga besar, hampir sama dengan kepala soa, jadi berupa tanah-tanah adat begitu ada tantangan, tentangan, maupun kawin - kawin adat begitu, atau macam katong punya anak-anak perempuan begitu pak, kalau memang dia mau minta kawin dengan orang lain, kalau belum itu sahkan adat, diantara kepala soa dan kepala adat itu belum bisa dibawa pulang ke keluarga laki-laki, kepala soa kepala adat mengesahkan baru bisa bawa pulang dia, tuk selesaikan punya harta sekian, umpamanya katong minta harta sekian ya harus selesaikan dulu. kalau belum selesaikan ya belum bisa pulang.”23

2.5. Organisasi Ruang dan Waktu Orang Bupolo Masyarakat Buru secara umum memiliki konsep pembagian batas-batas lingkungan alam yang sangat tegas. Mereka memberikan tanda dan ciri tertentu, dan hanya dipahami oleh mereka sendiri, sedangkan orang pendatang memerlukan waktu yang cukup lama untuk memahaminya (Pattinama, 2007). 23

Catatan wawancara

37

Etnik Buru, Kabupaten Buru, Provinsi Maluku

Orang Bupolo membagi wilayah Pulau Buru atas tiga bagian. Pertama, kawasan yang dilindungi karena nilai kekeramatannya dan kesakralannya yaitu wilayah Gunung Date (Kaku Date), Danau Rana (Rana Waekolo) dan tempat keramat di hutan-hutan primer atau dalam bahasa buru disebut sebagai Koin Lalen. Kedua, kawasan yang digunakan orang Buru untuk melakukan pencarian dan diusahakan untuk kebun atau tanaman kayu putih, wilayahnya meliputi permukiman (humalolin dan fenalalen), kebun (hawa), hutan berburu atau meramu (neten emhaalit dan mua lalen), hutan kayu putih (gelan lalen) dan tempat memancing (wae lalen). Bagian ketiga adalah kawasan yang tidak diusahakan, meliputi bekas kebun (wasi lalen), dan padang alang-alang (mehet lalen). Pembagian ruang dimaksudkan untuk mendapatkan manfaat dan sekaligus mempertahankan nilai keberadaan dari suatu kawasan yang merupakan sebuah identitas yang harus dipertahankan. Berdasarkan penuturan LN, seorang kepala soa salah satu kampung di pegunungan Petuanaan Kayeli menceritakan bahwa dalam sebuah kawasan permukiman, warga membagi wilayah-wilayah berdasarkan peruntukannya.Ada wilayah yang digunakan untuk kebun, tanaman kayu putih dan wilayah-wilayah yang dianggap sebagai daerah pamali. Terkait dengan daerah pamali, informan menyebutkan bahwa penetapan salah satu wilayah seperti gunung, sungai, atau lembah sebagai daerah pamali bagi satu Etnik sudah ditetapkan sejak teteh nenek moyang mereka terdahulu. Dalam wilayah-wilayah pamali tersebut pada awalnya merupakan bekas teteh nenek moyang mereka beristirahat, atau lokasi terjadi pertengkaran ataupun air keramat yang harus dijaga oleh anak keturunannya hingga kapanpun juga. Di lokasi-lokasi pamali tersebut biasanya terdapat peninggalan berupa pecahan piring, tombak ataupun barang pusaka lainya. Menjaga wilayah pamali bagi orang Buru 38

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

adalah menjaga kepemilikan dan warisan yang harus diturunkan kepada generasi berikutnya. Dalam konteks organisasi waktu, orang Bupolo menjadikan patokan pada dua jenis pohon yaitu Kautefu (Pisonia umbellifera Fors & Soom, Nyctaginaceae) dan Emteda (Terminalia sp., Combretaceae). Jika buah Kautefu telah mengeluarkan cairan seperti lem, maka musim panas akan tiba atau dalam bahasa Buru sering disebut sebagai mena kautefupolo. Pada saat itu berarti kegiatan menebang pohon, membersihkan lahan dan pembakaran akan segera dilaksanakan. Sementara pohon emteda digunakan untuk menandai kegiatan mereka sepanjang tahun (Pattinama, 2005). Lebih lanjut Pattinama mendeskripsikan secara jeli bahwa, Efut ale adalah masa ketika daun mulai membesar dan bakal buah mulai keluar. Artinya musim panas dan hujan kecil pada sore hari. Pada musim ini kegiatan menyiang hanya dilakukan oleh kaum perempuan, sedangkan kaum lelaki memulai kegiatan penyulingan minyak kayu putih dan berburu rusa. Dua kegiatan ini hanya dilaksanakan pada masa Efut ale yang dilaksanakan di hutan kayu putih (mehet lalen). Akhir dari efut ale adalah masa panen yang dilaksanakan dengan upacara kematian nitu wasin. Selwala roit (buah kecil) artinya permulaan musim hujan khususnya di sore dimana hari hujan relatif besar. Pada masa ini diadakan upacara meta di Danau Rana dimana keluarnya morea dari danau menuju laut melalui Sungai Waenibe.

39

Etnik Buru, Kabupaten Buru, Provinsi Maluku

Gambar 2. 8. Organisasi Waktu Menurut Orang Bupolo Sumber: Pattinama, 2005

Orang Bupolo yakin bahwa leluhur mereka yang berdiam di dalam danau mengusir keluar morea-morea dengan cara kencing sehingga morea itu seolah mabuk. Dengan begitu pada upacara meta orang Bupolo dengan sangat mudah dapat menangkap morea mulai dari bagian hulu sungai hingga ke hilir. Menurut Keith Philippe (1999), sebenarnya morea tersebut pergi untuk melakukan reproduksi. Umumnya morea di Indonesia melakukan kegiatan reproduksi menuju ke Pulau Fiji di Pasifik Selatan. Kegiatan berikutnya orang Bupolo adalah berburu babi (babi hutan atau babi rusa) dan kusu (Phalanger dendrolagus) dan sumber makanan bagi kedua hewan buruan tersebut adalah buah pohon meranti sehingga pohon tersebut sekarang banyak 40

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

dibudidayakan. Lokasi berburu di hutan relatif jauh, yaitu di daerah Gunung Kakupalatmada. Selwala hat (buah besar) artinya akhir dari musim hujan. Pada masa ini kegiatan orang Bupolo adalah mengumpulkan damar dan rotan.Hal tersebut merupakan rangkaian dari kegiatan berburu. Bagi orang Bupolo berburu dan meramu damar atau rotan adalah sama dengan melakukan perang melawan roh-roh jahat yang bermukim di hutan yang senantiasa menghalangi kegiatan orang Bupolo. Pengetahuan mengenai ruang dan waktu bagi masyarakat Bupolo memang susah untuk didapatkan secara mudah oleh orang luar. Pembagian ruang bagi Kayeli Kaku berdasarkan huma atau rumah dimana menjadi tempat tinggal warga. Di permukiman yang selanjutnya disebut sebagai negeri sekarang namanya menjadi dusun/desa disebut Huma Fena. Bentuk perumahan di perkampungan biasanya sudah mulai permanen, menggantikan bangunan sebelumnya dari kulit kayu dan atap daun sagu. Di kebun tempat warga menebang pohon dan bercocok tanam warga mendirikan huma hawa (rumah kebun). Pada saat ini huma hawa sudah menggunakan terpal yang dibuat seperti bifak untuk tempat tidur dan tempat untuk memasak. Di tempat kerja tungku minyak kayu putih tersebut warga juga mendirikan rumah sementara yang sering disebut dengan istilah huma kerja gelan. Sementara di tempat perburuhan mereka juga membangun rumah untuk berburu yang diberinama huma karomah yang dibuat dari daun geloba. Peneliti mengalami kesulitan untuk mencari penanda waktu bagi warga Bupolo terutama di Kayeli Kaku, bahkan untuk menyebut usia diri sendiri dan anak yang telah dilahirkan. Ketika ditanyakan berapa usia anak tersebut, kebanyakan warga di pegunungan tidak begitu mengerti berapa usia anak tersebut. Kondisi ini tentu berbeda dengan masyarakat buru yang tinggal di dataran rendah maupun di dusun-dusun yang sudah terdapat 41

Etnik Buru, Kabupaten Buru, Provinsi Maluku

institusi pendidikan dan gereja. Anak yang lahir biasanya dicatatkan oleh guru atau pendeta yang tinggal dan menetap di dusun tersebut, seperti yang terjadi di Dusun Ukalahin maupun di Dusun Induk Nafrua.

2.6. Religi Geba Bupolo : Hindu Adat Orang Bupolo memandang kosmologi mereka dengan istilah bumilale. Istilah ini untuk menyebut Gunung Date dan Danau Rana sebagai pusat berdiamnya orang Bupolo.Bumilale sendiri berarti tanah besar atau tanah luas. Hal ini memunculkan kepercayaan diri yang kuat dan kebanggaan atas diri mereka sebagai orang bumilale diantara pulau-pulau di Kepulauan Maluku. Nilai sentral dan sakral dalam konteks bumilale membungkus empat unsur dasar kehidupan. Oplastala sebagai sumber dari kehidupan yang memberikan Date dan Rana sebagai sumber penghidupan, tanah dari Gunung Date, air dari Danau Rana dan manusia yang tinggal dan menetap disekitarnya.Oleh karena itu bumilale harus dijaga dari unsur luar yang masuk, sebab dapat merusak keseimbangan lingkungan dan keharmonisan yang harus dijaga dan dipelihara dengan baik di jiwa masing-masing orang Bupolo. Dalam perspektif orang Buru, Pulau Buru digambarkan sebagai seorang laki-laki yang terlentang, kepala perut, kaki dan tangan adalah gunung dan air. Bagian kepala adalah Gunung Kapalatmada sebagai gunung tertinggi di Pulau Buru.Tangan kiri diiBaratkan sebagai Waenibe yang bersumber dari Danau Rana. Tangan kanan adalah Sungai Waemala, sungai terbesar yang mengalir di Pulau Buru bagian Selatan. Punggung adalah hutan garam, perut dan alat kelamin adalah Danau Rana dan Gunung Date. Kaki kiri adalah Sungai Waeapo dan kaki kanan adalah Gunung Batabual. Kosmologi ini menunjukkan bahwa gunung, 42

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

hutan dan air merupakan bagian terpenting dari kehidupan manusia. Kepercayaan sebagian besar masyarakat Buru di Kayeli Kaku (pegunungan) menurut beberapa referensi masih menganut animisme atau kepercayaan kepada roh nenek moyang. Walaupun begitu warga sendiri menganggap bahwa kepercayaan yang dianutnya adalah agama hindu. Orang Bupolo menyebut sebagai agama Hindu Adat. Hindu Adat ada juga yang menyebut sebagai Hindu Adam, hal ini karena orang Bupolo yang meyakini bahwa manusia pertama kali tercipta di dunia adalah Adam. Walaupun begitu predikat Hindu ini pada awalnya disematkan oleh penduduk yang tinggal di pesisir untuk menyebut agama yang dianut oleh warga Buru di pegunungan. Dalam konteks masyarakat Buru di Kayeli Kaku mereka mengenal bahwa ada tiga agama besar yang ada di dunia ini yaitu agama Islam, Kristen dan Hindu. Hindu merupakan agama yang mereka sematkan dalam kartu identitas mereka. Penyamaan dengan agama Hindu memang tidak bisa serta merta dilakukan. Perbedaaan tentu ada, namun secara umum praktek kepercayaan orang Bupolo yang diwujudkan dalam keseharian menunjukkan kesamaan tersebut. Kepercayaan kepada Opalasta sebagai pencipta bumi dan segala sesuatu yang berdiam di Danau Rana dan Gunung Date. Dalam istilah orang Bupolo menyebut “Opolastala juane Ina ama ro, Kam fuka neten na la nim opo ro defuk tu muan modan” yang berarti Tuhan Pencipta langit dan bumi berdiam ditempat ini dengan kekayaan alam yang menghidupi anak cucu dengan sejuk dan damai. Selain percaya kepada Opalastala, kepercayaan kepada benda-benda di alam seperti sungai, gunung, air, pohon besar, batu dan sebagainya memiliki kekuatan ghaib dan berjiwa sebagai penjelmaan dari roh. Roh manusia yang telah meninggal menurut mereka masih terus hidup dan akan menemani setiap 43

Etnik Buru, Kabupaten Buru, Provinsi Maluku

langkah keseharian anak keturunannya. Oleh karena itu mereka selalu mengadakan pemujaan dan penghormatan kepada roh-roh maupun teteh nenek moyang yang sudah meninggal. Persembahan diberikan kepada teteh nenek moyang mereka yang sudah meninggal agar selalu diberikan kemudahan dan kebaikan dalam menjalani kehidupannya. Persembahan yang diberikan oleh warga biasanya memberikan sirih pinang, pisang, air dan tembakau di makam orang tuanya. Jika anak keturunannya melupakan mengirim sesuatu persembahan semisal lupa memberikan sirih pinang kepada orang tua yang sudah meninggal, dikawatirkan roh orang tua yang sudah meninggal akan melakukan tuntutan kepada anak keturunannya yang masih hidup.

Gambar 2. 9. Tengkorak Keramat Di Museum Sewalima Sumber : Dokumentasi Peneliti 2014

44

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

Pada masa lalu, kepercayaan terhadap roh-roh orang yang sudah meninggal tersebut membuat setiap ada keluarga yang meninggal berturut-turut dalam sebuah kampung, maka mereka harus meninggalkan kampung tersebut dan mencari tempat permukiman baru. Dengan meninggalkan orang yang sudah meninggal di perkampungan lama maka mereka meyakini bahwa hidupnya tidak akan diganggu oleh roh-roh jahat tersebut. Setelah jasad tinggal tulang belulang, keturunannya mengambil kembali tengkorak kepala untuk dibawa bersama keturunannya ditempat yang baru. Tujuan membawa tengkorak kepalanya agar roh dari teteh moyang yang meninggal tersebut dapat melindungi keturunannya di tempat yang baru.

Gambar 2. 10. Persembahan Untuk Orang Yang Sudah Meninggal Sumber : Dokumentasi Peneliti 2014

Komunikasi dengan roh-roh nenek moyang dalam istilah keseharian disebut semake atau secara umum di Maluku di kenal dengan istilah Babeto. Semake pada intinya adalah berdoa memohon kepada teteh nenek moyang untuk dimudahkan dalam 45

Etnik Buru, Kabupaten Buru, Provinsi Maluku

menjalani kehidupan. Semake juga dilaksanakan pada saat ada keluarga yang meninggal yang dilakukan oleh Gebamtuam atau Gepuji (tua-tua adat) untuk berkomunikasi dengan alam arwah dengan maksud menanyakan sebab-sebab kematian si korban. Gebamtuam memintakan maaf atas kesalahan-kesalahan orang yang meninggal, kalau misalnya ia dimarahi atau meniggal karena tuntutan nenek moyangnya maka Gemamtuam memintakan maaf kepada roh-roh teteh nenek moyang. Gebamtuam memohon pula agar roh orang yang telah meninggal tersebut nantinya tidak mengganggu sanak keluarga yang ditinggalkannya. Orang Bupolo di wilayah Kayeli Kaku menyelenggarakan upacara “bikin adat” untuk setiap kegiatan terkait dengan ekonomi, ritus hidup semisal kelahiran, besunat dan kematian. “Bikin adat” biasanya dilakukan oleh kepala adat dan kepala soa atas permintaan dari kepala rumah tangga. Upacara adat dimaksudkan agar proses kerja kayu putih, proses kerja kebun dan pencarian yang lain diberikan kelancaran dan tanpa gangguan yang berarti. Upacara “bikin adat” biasanya dilakukan dengan mengorbankan ayam atau babi untuk dimakan seluruh anggota soa. Selain kepercayaan kepada roh dan upacara bikin adat, disetiap pemukiman orang Bupolo dalam satu kampung memiliki satu rumah adat yang disebut sebagai rumah pamali. Rumah pamali ini berisi barang-barang pamali seperti kain putih, kain merah atau berang, parang, tombak yang digunakan pada waktu peperangan. Kepercayaan kepada rumah pamali sebagai rumah para roh dan leluhur yang sudah meninggal bersemayam juga digunakan untuk sumpahan adat. Sumpahan adat ini dilakukan dengan membawa ayam atau uang kepeng ke rumah pamali. Sumpahan adat dilakukan ketika salah satu warganya kehilangan barang yang dimilikinya ataupun direndahkan martabatnya oleh orang lain. Dengan melakukan sumpahan adat diharapkan roh 46

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

teteh nenek moyang mengembalikan barang yang hilang atau memberikan hukuman kepada orang yang telah membuat sakit hati kepada anak keturunannya. 2.7. Sistem Kekerabatan dan Perkawinan Sistem kekerabatan yang dianut masyarakat adat di Indonesia didasari oleh faktor genealogis atau keturunan dari moyang yang sama. Sistem kekerabatan masyarakat Buru menggunakan sistem kekerabatan patrilineal yaitu sistem kekerabatan yang anggotanya menarik garis keturunan dari pihak laki-laki saja. Berikut penyebutan kekerabatan Geba Bupolo dalam bahasa Buru: Tabel 2. 1. Penyebutan Kekerabatan Geba Bupolo Dalam Bahasa Buru 1. Ego : Diri 12. Istri kakak laki-laki ibu : Watelahi 2. Kakek : Teteh 13. Kakak perempuan ibu : 3. Nenek : Nenek 14. Suami kakak perempuan 4. Ayah : Ngama ibu : Wate 5. Ibu : Ngina 15. Kakek dan nenek dari 6. Kakak : Kaim(h)ana ibu : Opolahi 7. Adik : Wai 16. Kakek dari bapak : Bobo 8. Kakak perempuan : Kai 17. Nenek dari bapak : Fina 18. Buyut : Opo Osi 9. Adik Perempuan : Wai 19. Mama mantu : Ngina Fina Kete 10. Ipar laki-laki : Wali 20. Bapak Mantu : Ngama 11. Kakak laki-laki Ibu : Kete Memelahi Sumber: Data Primer

Dalam kepercayaan masyarakat Buru menyebut nama asli orang tua dan mertua baik laki-laki maupun perempuan dianggap sebagai pamali. Penyebutan harus menggunakan ngama dan 47

Etnik Buru, Kabupaten Buru, Provinsi Maluku

ngina untuk memanggil mereka berdua. Namun ketika terpaksa harus menyebutkan nama ayah dan ibu kandung, orang Buru harus meminta ijin dan maaf terlebih dahulu kepada leluhur. Hal ini menunjukkan bahwa penghargaan kepada orang tua baik lakilaki dan perempuan sebagai orang tua yang mengasuh dan membesarkan anak-anaknya. Proses perkawinan masyarakat Bupolo melalui persyaratan adat yang cukup ketat. Dalam membentuk sebuah keluarga, sangat terkait dengan sistem perkawinan yang dianut yaitu berdasarkan garis keturunan ayah (patrilineal). Di wilayah Kayeli Kaku, masih banyak ditemukan kepala keluarga yang memiliki istri lebih dari satu. Adat melarang perkawinan satu Etnik/fam. Lelaki dari satu fam harus mengambil perempuan dari fam lain atau dalam istilah antropologis berciri patrilokal dan bersifat eksogami. Sistem kekerabatan patrilineal mengharuskan istri masuk ke dalam klan suami. Proses masuknya calon istri ke klan suami ini mengharuskan pihak laki-laki untuk membayar sejumlah harta kawin. Dalam istilah orang Kayeli menyebut perkawinan mereka sebagai kawin harta. Lelaki harus menyediakan harta adat dan harta gandong atau dalam referensi yang lain menyebut sebagai ‘kupang’. Harta adat merupakan bagian yang diperuntukkan untuk membeli perempuan salah satu fam kepada kepala adat dan kepala soa. Sementara harta gandong adalah harta sebagai pengganti air susu dan keringat orang tuanya dalam mendidiknya hingga besar. Besaran harta kawin yang dikenakan kepada pihak laki-laki tergantung dari permintaan keluarga perempuan. Harta kawin ini antara lain: gong, piring makan, cangkir, kain putih, kain merah, kuali, parang, tombak dan babi. Jumlah harta kawin yang harus disetorkan ke pihak perempuan kadang sampai berjumlah ribuan, misalnya gong 100 buah, piring 1000 buah, tombak dan parang 1000 buah. Meskipun harta kawin itu cukup banyak 48

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

namun bagi seorang pria yang akan kawin tidak merasa berat karena semua ditanggung bersama-sama oleh keluarga satu fam. Proses perkawinan masyarakat Bupolo menunjukkan bahwa ada aliran harta antara satu kelompok fam ke fam yang lain. Jumlah harta kawin akan menentukan status seseorang dalam kelompok sosial tersebut. Adanya aliran harta yang relatif besar dari kelompok satu ke kelompok yang lain maka perkawinan juga karena negoisasi agar beban yang dipikul oleh anggota kerabat tidak begitu besar. Pihak keluarga laki-laki harus menunjuk negoisator yang ulung dalam proses penentuan jumlah harta yang akan diajukan oleh pihak perempuan. Perempuan yang sudah terbeli dengan harta kawin masuk ke klan suaminyadan ikatan perkawinan ini dalam istilah adat disebut safemati dan belimati artinya perempuan tersebut dikawini sampai mati. Besarnya harta yang harus ditanggung oleh lelaki ini mengakibatkan jarangnya kasus perceraian. Jika perempuan lari dari keluarga laki-laki maka suami bisa menuntut kepada keluarga pihak perempuan untuk mengembalikan harta yang telah diberikan oleh pihak laki-laki. Jika tuntutan tidak terpenuhi maka pilihan lainnya hanyalah mati di ujung tombak. Masyarakat Buru dikenal bentuk–bentuk perkawinan dan cara-cara perkawinan yang menentukan besaran harta kawin yang dikenakan. Bentuk perkawinan tersebut adalah sebagai berikut : 1. Kawin Himlau Bentuk perkawinan meminang gadis. Perkawinan didahului dengan lamaran oleh pihak laki-laki ke keluarga perempuan 2. Kawin Hakafina Bentuk perkawinan dengan cara melarikan gadis. Pemuda melarikan gadis dari soa lain karena sama-sama jatuh cinta sedangkan keluarga perempuan tidak menyetujuinya. Setelah itu pihak perempuan akan mencari anak gadisnya 49

Etnik Buru, Kabupaten Buru, Provinsi Maluku

3.

4.

5.

6.

dan kemudian terjadi negoisasi harta kawin yang dikenakan kepada pihak laki-laki yang telah melarikan anak gadisnya. Pihak laki-laki harus menyanggupi dan membayar berapapun harta yang diminta oleh pihak perempuan, selanjutnya baru proses pernikahan dilangsungkan. Kawin Bauta Bentuk perkawinan mengabdi. Laki-laki telah mengabdi terlebih dahulu kepada orang tua perempuan, umumnya hal ini dilakukan ketika usia perempuan masih kecil. Panjar harta kawin dan tenaga telah diberikan berdasarkan persetujuan orang tua perempuan. Dalam bentuk lain, pihak laki-laki telah membeli anak perempuan tersebut semenjak kecil dan bahkan ada juga pihak laki-laki yang menaruh harta kawin kepada pihak perempuan semenjak perempuan yang akan dinikahi masih berada di kandungan. Kawin Tukar Perkawinan saling tukar menukar saudara yang berbeda fam. Misalnya laki-laki dari fam a mengambil perempuan dari fam b, dan salah satu anggota kerabat fam b mengambil perempuan dari fam a. Kawin Osorono Perkawinan masuk ke fam tertentu hal ini dilakukan untuk mempertahankan keturunan dan jaminan hidup karena usia sudah tua. Kawin Folu Yaitu perkawinan antara seorang janda dengan saudara laki-laki mendiang suaminya.

Terkait dengan harta warisan, apabila seorang ayah meninggal dunia maka hartanya tidak langsung dibagikan kepada anak-anaknya. Harta warisan terutama harta adat harus diurus oleh anak laki-laki yang tertua atau anak laki-laki yang dipercaya untuk memegang titipan keluargannya. Anak laki-laki pemegang 50

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

harta adat berkewajiban untuk memelihara dan mengawinkan adik-adiknya sebagai pengganti kedudukan ayahnya yang sudah meninggal. 2.8. Titipan: Sistem Pewarisan Pengetahuan Sistem pewarisan pengetahuan antar generasi cukup unik terjadi pada etnik Buru. Geba Bupolo menyebut pengetahuan yang didapatkan dari pesan orang tua-tua sebagai sebuah titipan yang harus dipegangnya sampai akhir hayat dan kemudian diwariskan kelak kepada anak keturunannya yang bisa dipercaya memegang titipan tersebut. Bentuk titipan cukup beragam. Tidak saja mengenai kisah dan cerita masa lalu, sejarah asal usul, namun juga titipan lain semisal pengetahuan mereka mengenai proses penyembuhan, doa-doa untuk melahirkan, doa-doa untuk penyembuhan, pengetahuan mengenai akar, kulit, daun dan buah untuk penyembuhan dan lain sebagainya. Bagi orang yang banyak memegang titipan, secara sosial ia akan diposisikan lebih tinggi karena dianggap sebagai orang yang tahu akan segala sesuatu. Proses pewarisan pengetahuan juga berlangsung cukup unik. Anak muda yang sering melakukan ‘mata wana’ atau bergadang duduk-duduk bicara-bicara dengan para tetua untuk mendapatkan pengetahuan mengenai sejarah masa lalu dan pengetahuan serta ilmu-ilmu untuk mempertahankan hidup. Proses transfer pengetahuan menggunakan budaya lisan dan disebarkan berbeda porsinya antara satu dengan yang lain. Pemegang titipan pun tidak sembarangan untuk menceritakan kepada sembarang orang, hanya orang-orang yang dipandang memiliki kepribadian kuat, mampu diberikan titipan dan mau menjaga titipan tersebut baru pengetahuan itu diberikan.

51

Etnik Buru, Kabupaten Buru, Provinsi Maluku

Pengetahuan sejarah kehidupan, perpindahan dari fili rana ke permukiman baru hanya bisa diwariskan ke anak laki-laki. Demikian juga harta keluarga, baik itu berupa harta adat maupun ilmu-ilmu yang dimiliki hanya diberikan secara khusus kepada anak laki-laki. Hal tersebut karena anak laki-laki membawa nama marganya. Sementara perempuan nantinya akan menghidupkan tungku dapur orang lain. Pengetahuan perempuan terkait hal-hal yang menyangkut kebutuhan perempuan seperti tata cara melahirkan, doa-doa melahirkan, mendidik anak, dan memasak diwariskan oleh seorang ibu kepada anak perempuan ketika anak tersebut membutuhkannya. Pengetahuan terkait pencarian semisal berburu, memasang jerat, urut daun dan bekerja untuk mencukupi kebutuhan dapur diajarkan semenjak kecil. Sejak masih kecil anak-anak sudah membantu keluarganya berkebun dan mencari daun kayu putih dan membantu proses penyulingannya. Sehingga pengetahuan anak untuk dapat hidup mandiri sudah dilatih sejak kecil tanpa membedakan antara anak laki-laki dan perempuan. Masyarakat Bupolo sangat erat memegang titipan yang diberikan leluhur, mereka percaya jika orang yang memegang tititpan tidak menjaga apa yang menjadi titipannya maka para leluhur akan melakukan tuntutan kepada mereka sehingga mengakibatkan anak turunnya yang dititipi tersebut bisa meninggal seketika. Dalam satu fam misalnya hanya ada satu atau lebih orang yang mengetahui mengenai ilmu pengobatan. Kepemilikan pengetahuan pun harus ditutupi dari orang lain. Misal salah satu informan yang baru melahirkan diberikan ramuan daun-daun dan akar, maka ia tidak diperbolehkan menceritakan dari siapa ramuan tersebut diberikan. Jika ia menceritakan maka khasiat ramuan tersebut dipercaya akan luntur.

52

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

2.9. Bahasa Buru Geba Bupolo dalam kehidupan sehari-hari menggunakan bahasa Buru dan masuk dalam rumpun bahasa melayu-polenesia. Penelitian mengenai bahasa Buru secara khusus dilakukan pada tahun 1980 untuk kepentingan misionaris oleh Charkes E. Grimes dan Barbara Dix Grimes. Ada tiga dialek bahasa yang membedakan antara daerah pantai, dataran rendah dan pegunungan yaitu di Masarete, Wae Sama dan Rana. Bahasa Buru digunakan oleh hampir 14.000 penutur. Bahasa pegunungan dianggap sebagai bahasa tanah atau bahasa asli orang Rana yang sangat susah dimengerti oleh orang Buru di dataran rendah dan pantai. Dalam kehidupan keseharian di Kayeli Kaku ada dua macam bahasa daerah yang dipakai sehari-hari yaitu liamliamdan liam garam. Kedua bahasa ini merupakan cabang dari bahasa asli buru yang dikenal dengan istilah Lia Buru atau Lia Bupolo. Liam-liam merupakan bahasa rakyat yang dipakai seharihari. Sementara Liam garam merupakan bahasa yang dipergunakan pada waktu upacara-upacara adat dan upacara resmi dan dipakai oleh tokoh-tokoh masyarakat seperti raja, kepala soa, dan tua-tua adat. 2.10. Pencarian Geba Bupolo Kebutuhan sehari-hari orang Bupolo di Kayeli Kaku masih sangat tergantung kepada ketersediaan alam. Seiring waktu berjalan perubahan dari pemukiman yang berpindah-pindah ke permukiman yang menetap membuat beberapa warga semakin terdiferensiasi jenis pekerjaan yang dimiliki. Berburu merupakan salah satu mata pencaharian orang Buru sejak masa lalu sampai dengan sekarang. Berburu bertujuan untuk mendapatkan tambahan protein hewani bagi keluarganya. Hewan buruan 53

Etnik Buru, Kabupaten Buru, Provinsi Maluku

antara lain kusu (kus kus), fafu (babi) dan menjangan. Berkurangnya wilayah hutan karena hadirnya perusahaan kayu di Pulau Buru yang mengakibatkan proses perburuan semakin jarang dilakukan di samping karena semakin berkurangnya binatang buruan yang bisa didapatkan ketika dalam proses berburu. Demikian juga proses meramu hasil hutan seperti damar, rotan, kayu gaharu sudah semakin jarang dilakukan. Hanya buah-buahan seperti durian yang masih sering didapatkan untuk kebutuhan sendiri.

Gambar 2. 11. Hasil Buruan Dan Tombak Untuk Berburu Sumber: Dokumentasi Peneliti 2014

Warga lebih banyak memasang jerat di sekitar lahan kebun miliknya. Jika salah satu keluarga mendapatkan binatang hasil jerat, dagingnya langsung dibagi habis kepada semua keluarga di satu kampungnya. Namun jika babi yang terjerat masih kecil maka babi tersebut akan dijinakkan dan dibawa ke kampung untuk diternakkan. Berternak dari hasil menjerat ini sudah mulai dilakukan di kampung. Setiap keluarga menandai babi miliknya sendiri dengan memotong telinga babi untuk membedakan dengan babi milik anggota keluarga yang lain. Proses bertenak di permukiman pun tidak dikandangkan namun diliarkan di sekitar permukiman. Selain babi, ayam juga menjadi

54

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

salah satu binatang yang diternakan untuk kebutuhan upacaraupacara penting. Ranjau dan Jerat24 Terlihat asap mengepul di dapur rumah beratap sirap itu. Ada beberapa orang berkumpul di depan rumah. Matahari hampir condong ke Barat, tepat sejengkal dari punggung bukit di Barat dusun. Burungburung sudah mulai mengoceh riang di sebelah gunung pamali. Ya sore yang biasa. Orang-orang dari aktivitas ladang pulang ke rumah. Anakanak kecil mulai turun mandi sore, berkalungkan handuk, tanpa ada sebatang sabun pun dibawanya. Sementara orang-orang tua dengan para balitannya sudah naik dengan ember tumpukan pakaian. Sekilas, pelangi muncul di arah Barat Laut. Mendung berkelompok menggelantung diatas bukit. “Ada dapat rusa dua ekor, Pak Salim” kata Bang Yusuf. “Oya.. dari berburu kah?” tanyaku. “Ah seng (tidak)… dia dapat dari pasang jerat di kebun. Orang sini semua pasang jerat. Ada juga yang pasang jebakan dan ranjau di kebun. Mereka memasang dengan menggunakan bamboo halus untuk apa jaman dulu itu, ya bamboo runcing yang digunakan untuk perang. Biasanya mereka pasang berlapis, jadi jika rusa lewat pasti kena di ranjau tersebut” jelas Bang Yusuf “Orang sini masih rajin berburu kah?” tanyaku menimpali “Sudah jarang di sini berburu, lihat saja sudah tidak banyak anjing di permukiman warga. Kalau pasang jerat dan ranjau masih di lakukan. Namun orang di sini tidak boleh pasang jerat di kebun orang lain. Harus di kebun sendiri. Bahkan ketika orang lain buat gaduh di sekitar jerat dan membuat fafu (babi) terlepas orang yang memiliki jerat bisa menaruh denda kepada orang yang bikin gaduh tersebut. Pernah kejadian, istri saya bersama 6 orang temannya akan mencari bambu untuk membuat keranjang. Mereka tidak mengetahui kalau di kebun sebelah lokasi mencari bambu tersebut di pasangi jerat. Terlepaslah fafu yang sudah terkena jerat tersebut. Sehingga pemilik jerat 24

Catatan observasi

55

Etnik Buru, Kabupaten Buru, Provinsi Maluku

mengenakan denda satu botol minyak kayu putih kepada tujuh orang tersebut. Orang di sini memang seperti itu.” Bang Yusuf menjelaskan. “Namun di sini ada enaknya, jika satu orang mendapatkan hasil jerat, seperti rusa atau babi, ia akan membagi ke semua warga di rumahrumah, walaupun hanya dapat bagian sedikit-sedikit.” Kata Yusuf.

Gambar 2. 12. Seorang Anak Membawa Jerat Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2014

56

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

Gambar 2.13. Kandang Babi Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2014

Gambar 2.14. Babi yang Diliarkan Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2014

57

Etnik Buru, Kabupaten Buru, Provinsi Maluku

Berkebun merupakan aktivitas utama untuk mendapatkan bahan makanan pokok sehari hari. Warga di Kayeli Kaku masih menggunakan sistem ladang berpindah. Satu lahan kebun biasanya dimiliki oleh salah satu keluarga. Kegiatan berkebun dilakukan di lereng-lereng gunung yang terdapat aliran mata air. Proses diawali dengan menebang pohon-pohon besar di area lahan, setelah itu menebas semak belukar, setelah menunggu lahan kering maka dilakukan proses pembakaran. Pada masa lalu proses penebangan dilakukan selama satu bulan namun saat kini membutuhkan waktu selama satu minggu karena warga sudah menggunakan mesin pemotong kayu atau chainsaw. Setelah pembakaran maka dilakukan proses menanam. Pada saat menanam hampir semua warga dalam satu kampung membantu proses penanaman. Kerja komunal ini masih sangat terpelihara dengan baik, hal ini karena dalam satu kelompok permukiman dusun dihuni oleh satu fam saja. Warga menanam jagung, ketela pohon, petatas, dan cabe di lokasi kebun.Selama proses menanam dan saat memanen didirikan rumah di kebun untuk mencegah dari gangguan babi.

Gambar 2. 15. Kebun dan Huma Hawa Sumber: Dokumentasi Peneliti 2014

Hasil panenan kebun dibagi ke semua warga di kampung yang membantu saat proses penanaman. Pada saat petik semua 58

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

orang diundang ke kebun dan membawa pulang hasil kebun sesuai dengan kebutuhannya masing-masing.Baru sisanya dipanen oleh pemilik lahan. Ketela pohon hasil panen kebun diparut dan dibuat papeda untuk makan sehari-hari. Ampas dari ketela pohon hasil parutan dijadikan mangkausehan diawetkan di atas tungku api untuk persediaan makan sehari-hari.

Gambar 2. 16. Proses Memanen Jagung dan Mangkausehan Sumber: Dokumetasi Peneliti 2014

Selain tanaman untuk kebutuhan konsumsi, beberapa warga juga mengusahakan tanaman komoditas seperti kakao/coklat. Namun pohon yang dimiliki warga tidak begitu banyak hanya sekitar 15-20 batang. Warga hanya memanen setiap musim buah dan mengumpulkannya sedikit demi sedikit, selanjutnya menjemur dan setelah kering dijual ke pedagang yang datang ke kampung atau membawanya ke pasar di Unit. Harga perkilo coklat kering berkisar antara 27.000-28.000 rupiah. Pulau Buru sebagai penghasil kayu putih menyediakan daun yang bisa dimasak sepanjang tahun. Setiap orang bebas mengambil daun kayu putih di areal lahan milik famnya.Dalam satu kelompok pemukiman dusun, minimal ada 2 lokasi ketel atau tempat penyulingan minyak kayu putih. Satu lokasi ketel dikerjakan oleh 5-10 keluarga. Lokasi ketel pun terus berpindah mengikuti areal dimana pohon kayu putih terlihat lebat. Urut 59

Etnik Buru, Kabupaten Buru, Provinsi Maluku

daun untuk mengumpulkan daun kayu putih dikerjakan oleh semua keluarga baik laki-laki dan perempuan. Kerja urut daun untuk satu lokasi ketel bisanya membutuhkan waktu selama 2 bulan. Hal ini karena masing-masing keluarga saling membantu urut daun. Pada pagi hari, salah satu huma kerja gelan (rumah kerja kayu putih) mengundang anggota keluarga yang tinggal di satu lokasi ketel untuk membuat kopi dan makan kue. Maka dalam satu hari tersebut seluruh keluarga membantu mengumpulkan daun untuk keluarga tersebut dan berikutnya bergilir ke keluarga yang lain. Proses kerja komunal ini dapat berlangsung karena pada waktu urut daun seluruh keluarga tinggal sementara di rumah kerja gelan. Setelah semua bak milik setiap keluarga penuh maka proses memasak mulai dilakukan secara bergantian danproses memasak berlangsung sehari semalam. Namun sebelumnya keluarga yang mendapatkan giliran memasak harus menyiapkan kayu meranti putih untuk memasak di tungku api. Tahapan dilakukan sebagai berikut: pertama mengisi air dalam ketel kemudian api di tungku dinyalakan. Kayu bakar di dalam tungku selalu diperiksa dalam keadaan menyala, agar air dalam ketel mendidih. Setelah air dalam ketel mendidih, selanjutnya daun kayu putih dimasukkan ke ketel hingga penuh dan ditekantekan agar padat. Setelah itu ketel ditutup dengan rapat. Setelah waktu 2-3 jam maka uap air mengalir melalui cerobong di penutup ketel menuju ke pendingin, selanjutnya cairan yang berisi campuran minyak kayu putih dan air menetes ke jerigen. Proses penyulingan memakan waktu sampai kurang lebih 12 jam, dan tetap dijaga agar api tetap besar dan uap air terus menetes. Selama proses memasak, air didalam ketel diganti sebanyak dua kali. Setelah selesai memasak, selanjutnya hasil dalam gen dipisahkan antara minyak kayu putih dan air. Daun kayu putih di dalam ketel dibongkar setelah api padam dan ketel mulai dingin. 60

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

Setelah proses pembuatan minyak selesai, maka keluarga yang lain memulai penyulingan minyak kayu putih lagi.

Gambar 2. 17.

Huma Kerja Gelan (Rumah Kerja Kayu Putih) dan Ketel Kayu Putih Sumber: Dokumentasi penelitian 2014

Dalam satu kali memasak/menyuling, minyak kayu putih yang dihasilkan sebanyak 5 liter. Hasil tersebut masih dibagi dengan pemilik ketel dan pemilik chainsaw untuk memotong kayu masing-masing sebanyak satu liter, sehingga dalam satu kali memasak, satu keluarga hanya mendapatkan 3 liter minyak kayu putih. Selain berburu, berkebun dan memasak kayu putih, maka semenjak dibukanya penambangan emas rakyat Gunung Botak di tahun 2011 banyak warga pegunungan yang turut mencari penghidupan di tambang. Dari hasil tambang tersebut selain menambah penghasilan juga digunakan warga untuk mulai membangun rumah semi permanen. Walaupun tidak banyak yang berhasil, namun hampir semua orang baik perempuan lakilaki, besar dan kecil pernah merasakan hasil dari bekerja di pertambangan emas rakyat Gunung Botak.

61

Etnik Buru, Kabupaten Buru, Provinsi Maluku

62

BAB 3 POTRET KESEHATAN

3.1. Pra Hamil Kehidupan dimulai dari lahirnya seorang bayi kemudian tumbuh dan berkembang menjadi anak-anak, selanjutnya menjadi seorang remaja, kemudian dewasa, tua dan akhirnya meninggal dunia. Remaja merupakan keadaan di mana seseorang memiliki rasa ingin tahu yang tinggi dan mampu melakukan kegiatan yang baru. Pada fase remaja ditandai dengan berubahnya suara pada laki-laki, tumbuhnya rambut di bagian tubuh tertentu, tumbuhnya payudara pada wanita dll. Seorang wanita remaja memiliki peranan yang sangat penting dalam melahirkan generasi yang berkualitas. Apabila remaja wanita memiliki kondisi tubuh yang sehat, maka ia akan memiliki kesiapan untuk bereproduksi dan menghasilkan generasi yang berkualitas. Namun sebaliknya, apabila seorang remaja wanita dengan kondisi tubuh yang kurang sehat maka akan berpengaruh kurang baik kepada keturunan yang dilahirkannya. 3.1.1. Remaja Usia 10 Sampai 24 tahun Interaksi sosial remaja pada dasarnya beraneka ragam. Biasanya remaja putri akan berkelompok dengan remaja putri, sebaliknya remaja laki-laki akan berkelompok dengan remaja lakilaki. Di Desa Nafrua, Kecamatan Lolongguba, Kabupaten Buru sebagian besar remaja usia 10-24 tahun membantu orang tuanya 63

Etnik Buru, Kabupaten Buru, Provinsi Maluku

untuk bekerja mencari nafkah. Penghidupan sehari-hari orang Buru, sebenarnya sangat tergantung kepada minyak kayu putih. Mereka sejak kecil terbiasa membantu orang tuanya mencari daun kayu putih di hutan untuk dijadikan minyak kayu putih.

Gambar 3. 1. Kegiatan Remaja Bermain “Bekel” Dari Batu Kerikil Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2014

Masyarakat Buru menyebutnya “urut daun“, pekerjaan yang biasa dilakukan selama hampir 2 bulan di ketel, atau tempat penyulingan minyak kayu putih. Tidak hanya laki-laki saja yang bekerja tetapi juga perempuan dan anak-anak. Mereka membawa semua keluarga untuk pergi ke ketel dan biasanya membutuhkan waktu selama 4-5 hari, diselingi satu hari kembali ke kampung untuk belanja bekal di ketel . Banyaknya warga pergi ke ketel ini menjadikan lokasi permukiman di kampung sepi, tidak ada orang, hanya tertinggal perempuan dan anak-anak saja ataupun hanya keluarga yang sedang tidak beradadi ketel. Penghasilan yang diperoleh dari menjual satu liter minyak kayu putih bisa mencapai harga Rp. 160.000,-. Minyak kayu putih merupakan salah satu produk andalan Kabupaten Buru. Minyak 64

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

atsiri hasil destilasi atau penyulingan daun kayu putih (Melaleuca leucadendron Linn), ini memiliki bau dan khasiat yang sangat khas, sehingga banyak dipakai oleh setiap orang, terutama pada bayi. Minyak kayu putih dapat tumbuh di daerah tandus, tahan panas dan tumbuh kembali setelah dibakar pohonnya. Pohon kayu putih terdapat secara alami di Desa Nafrua, yang tumbuh di daerah pegunungan. Permukaan daun minyak kayu putih berambut, warna hijau kelabu sampai hijau kecoklatan. Jika daun dimemarkan berbau minyak kayu putih. Perbungaan majemuk bentuk bulir, bunga berbentuk seperti lonceng, daun mahkota warna putih, kepala putik berwarna putih kekuningan, keluar di ujung percabangan. Daunnya, melalui proses penyulingan, akan menghasilkan minyak atsiri yang disebut minyak kayu putih, yang warnanya kekuning-kuningan sampai kehijau-hijauan. Daun kayu putih perbanyakan dengan biji atau tunas akar.

Gambar 3. 2. Pohon Kayu Putih Yang Tumbuh Di Pegunungan Sumber: Dokumentasi Internet

65

Etnik Buru, Kabupaten Buru, Provinsi Maluku

Gambar 3. 3. Tumpukan Daun Kayu Putih Siap Masak Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2014

1) 2)

3)

4)

66

Berikut adalah tahapan membuat minyak kayu putih: Daun kayu putih di urut terlebih dahulu dari pohonnya kemudian baru dilakukan penyulingan secara sederhana Hal pertama yang dilakukan setelah urut daun yaitu mengisi air dalam ketel kemudian api di tungku dinyalakan. Kayu bakar di dalam tungku selalu diperiksa dalam keadaan menyala, agar air dalam ketel mendidih. Setelah air dalam ketel mendidih, selanjutnya daun kayu putih dimasukkan ke ketel hingga penuh dan ditekantekan agar padat. Setelah itu ketel ditutup dengan rapat. Setelah waktu 2-3 jam maka uap air mengalir melalui cerobong di penutup ketel menuju ke pendingin, selanjutnya cairan yang berisi campuran minyak kayu putih dan air menetes ke jerigen.

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

5) Proses penyulingan memakan waktu sampaikurang lebih 12 jam, dan tetap dijaga agar api tetap besar dan uap air terus menetes. 6) Selama proses memasak, air didalam ketel diganti sebanyak dua kali. Setelah selesai memasak, selanjutnya hasil dalam gen dipisahkan antara minyak kayu putih dan air. 7) Daun kayu putih di dalam ketel dibongkar setelah api padam dan ketel mulai dingin. Setelah proses pembuatan minyak selesai.

Gambar 3. 4. Tempat Penyulingan Minyak Kayu Putih Yang Biasa Disebut Ketel Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2014

67

Etnik Buru, Kabupaten Buru, Provinsi Maluku

Gambar 3. 5. Minyak Kayu Putih Keluar Dari Ketel Sumber: Dokumentasi Internet

Minyak kayu putih mempunyai sifat antiseptik dan antibakteri. Minyak kayu putih juga bermanfaat dalam kasus sakit gigi, membantu dalam mengendalikan kadar gula darah dan juga dapat sebagai bahan penyedap pada produk-produk makanan seperti pembuatan kembang gula atau makanan yang dipanggang (www.merdeka.com, 2014). Dari daun hingga batang kayu putih memiliki khasiat yang beragam dan mampu mengobati berbagai gangguan kesehatan antara lain: 1) Daun kayu putih yang masih segar memiliki khasiat dapat mengobati demam, flu, batuk dan radang kulit 2) Daun kayu putih yang sudah kering memiliki khasiat untuk sakit rematik dan nyeri tulang 3) Kulit kayu putih yang sudah kering dapat mengobati penyakit insomnia 4) Kulit kayu putih yang masih muda dapat mengobati luka yang bernanah (obatnaturals.blogspot.com). 68

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

Sosialisasi antar remaja biasanya terjadi pada kegiatan yang dilakukan di rumah ibu desa. Kegiatan yang dilakukan biasanya mendengarkan musik dengan suara yang nyaring, memutar video dan bernyanyi sambil berjoget bersama. Anak-anak remaja juga akan melakukan hal yang sama ketika ada acara pernikahan atau acara adat. Lagu yang selalu mereka bawakan berjudul “Pulau Buru Manise”, syairnya adalah sebagai berikut : “Pulau buru manise Tanah asal beta eyang beta cinta Lama beta pigi e tinggal negri manise sio asik nawange Biar jauh dimata tapi dalam hati e beta seng lupa sio mama deng bapa di pulai manise Hari hari rindue malam malammimpie ingat pulau buru manise Beta ingin pulange kumpul ba sudarae makan kasbi bakar pisang Air mata jatuh dipipi Mengapa beta membuang badan jauh disini e asinge...

Lagu tersebut merupakan lagu ungkapan bagi masyarakat Buru yang sedang merantau dan merindukan kampung halamannya. Biasanya lagu tersebut dinyanyikan menggunakan pengeras suara pada malam hari dengan suara yang nyaring yang mampu memecah keheningan malam di tanah Buru. Pergaulan antara laki-laki dan perempuan di Desa Nafrua memiliki batasan, mereka dilarang untuk berkumpul sampai larut malam. Tidak boleh berduaan di tempat yang sunyi, tidak boleh melakukan aktifitas seksual sebelum menikah. Namun demikian meskipun ada batasan tersebut, ada juga remaja yang melanggar. Apabila mereka berpacaran sampai sang wanita hamil maka 69

Etnik Buru, Kabupaten Buru, Provinsi Maluku

mereka akan dinikahkan. Di Desa Nafrua, wanita yang sudah menikah tidak mengenal alat kontrasepsi. Dari pengamatan peneliti selama pengumpulan data memang belum pernah ada penyuluhan tentang alat konstrasepsi dari Puskesmas keliling (Pusling) yang hanya memberikan pelayanan pengobatan setiap 2 tahun sekali ke Dusun Mesayang Desa Nafrua ini. Hal ini yang menyebabkan masyarakat Desa Nafrua memiliki lebih dari 2 anak, sehingga program keluarga berencana belum terlaksana dengan baik di desa ini. Pengetahuan remaja tentang kesehatan reproduksi juga kurang. Mereka tidak memahami dampak tentang Penyakit Menular Seksual. Remaja disana tidak memahami faktor penyebab terjadinya Penyakit Menular Seksual dan dampak yang terjadi apabila berganti-ganti pasangan. Dari hasil wawancara mengenai pengetahuan kesehatan reproduksi, semua informan tidak mengetahui apa itu AIDS, bagaimana penularannya, siapa yang berisiko terkena penyakit AIDS serta bagaimana cara mencegahnya. Di dusun Mesayang tidak terdapat sekolah.Sekolah satu atap hanya ada di Dusun Ukalahin dan letaknya cukup jauh untuk diakses oleh masyarakat Mesayang. Hal ini menyebabkan masyarakat Dusun Mesayang tidak ada yang sekolah. Namun hal tersebut tidak jauh berbeda dengan masyarakat Dusun Ukalahin yang memiliki sekolah satu atap namun tidak dimanfaatkan dengan baik oleh masyarakat disana seperti yang disampaikan oleh informan P berikut: “...kalau di bidang pendidikan, anak-anak itu supaya urus pergi ke sekolah, kalau di sini tidak, biar saja begitu, mau pergi ke sekolah atau tidak anak-anak tidak mau urus kasih mandi, urus makan minum teh. kalau sekolah ya sekolah. anak-anak itu berusaha sendiri kalau tidak masih juga begitu. dia menghilang kemana-kemana 70

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

tidak tahu anak ini siapa yang atur dia. tetapi kalau orang yang sudah pengalaman pagi-pagi urus anak, atur dia ke sekolah, baru mereka laksanakan aktivitas di kebun kah di tempat lain. tetapi di sini tidak. jadi ya tadi saya katakan kita setiap hari dari rumah cari anak-anak. kalau tidak begitu saja, karena orang tua tidak punya pemahaman mengenai pendidikan itu untuk maju... Anak-anak juga dalam pendidikan belum terlalu mereka perhatikan, jadi kalau mau sekolah ya sekolah, kalau seng sekolah ya kasih biar begitu. Jadi kita yang cari dari rumah ke rumah. Kalau orang tua belum mampu urus anak. Mereka juga belum mengerti mengenai pendidikan. Kalau anak itu tidak sekolah ya biar saja begitu saja. Dia tidak kasih tekan atau antar ke sekolahkah, bagaimana urus dia pagi-pagi, tidak, kalau malah ia mau ikut ke kebun ia mau lagi.. ikut. Jadi maklum kita punya keadaan begitu...”

Gambar 3. 6. Remaja Dan Anak-Anak Bermain Sepak Bola Sumber : Dokumentasi Peneliti, 2014

71

Etnik Buru, Kabupaten Buru, Provinsi Maluku

Remaja yang belum menikah yang ditemui peneliti berusia antara 10 sampai 15 tahun. Pada umumnya remaja didesa ini tidak mengenyam pendidikan formal.Hal ini sangat berpengaruh terhadap pengetahuan remaja tentang kesehatan. Usia pernikahan cenderung sangat muda, berkisar antara 13 tahun sampai 18 tahun. Biasanya mereka akan melakukan pertunangan terlebih dahulu sebelum mereka melangsungkan pernikahan. Karena tidak adanya sekolah di dusun ini maka pada umumnya remaja maupun penduduknya berpendidikan sangat rendah seperti yang dituturkan Kepala Desa Nafrua, “Latar belakang pendidikan rata-rata masyarakat disini masih sangat rendah sekali, rata-rata masyarakat Nafrua itu tidak memiliki latar pendidikan dasar yang cukup. Kemudian ada satu… apa itu ya?...dibilang… saya juga kurang memahami apa itu organisasi atau lembaga, tapi saya mengetahui Desa Nafrua ini ada pemberantasan buta aksara dari MISI itu disegala umur…”

Awal menstruasi merupakan tanda kedewasaan pada perempuan dan untuk laki-laki ditandai dengan telah mengalaminya mimpi basah. Ketika ditanyakan tentang pengetahuan seputar menstruasi, kebanyakan remaja putri tidak memiliki pengetahuan tentang apa itu mentruasi meskipun mereka telah mengalami menstruasi. Pada waktu ditanyakan tentang penggunaan pembalut saat menstruasi semua informan remaja putri mengaku menggunakan kain, hal ini disebabkan karena didesa ini tidak terdapat warung atau toko yang menjual pembalut yang biasa beredar di pasaran sesuai dengan pengamatan peneliti selama penelitian. Sedangkan untuk sunat perempuan dalam tradisi Etnik Buru memang terdapat sunat perempuan dan pada umumnya dilakukan pada saat anak perempuan berusia 3 sampai 4 tahun begitu juga dengan sunat 72

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

laki-laki sudah menjadi tradisi dalam Etnik ini secara turuntemurun. Pada saat ditanya tentang sunat perempuan, semua informan remaja putri mengaku telah mengalami sunat perempuan, seperti yang diungkapkan seorang informan remaja D, “3 sampai 4 tahun anak parampuan disunat atau kami hitung bulan no 3 sampai 4 tahun butun sia labe pe pi (lebih dari itu juga bisa)”

Tokoh masyarakat P juga menjelaskan tentang budaya sunat di Etnik Buru, “ Bahasa buru itu disebut besunat, laki-laki maupun perempuan baik Islam, Kristen, Hindu semua harus, karena itu budaya yang tidak bisa dihilangkan.....”

Tidak terdapat potensi wisata di dusun Mesayang Desa Nafrua ini, sehingga jarang sekali pendatang dari luar datang ke desa ini. Peneliti dari universitas ataupun dari instansi lainpun tidak pernah ada yang menjadikan desa ini sebagai lokasi penelitian. Di samping itu belum adanya sekolah didesa ini membuat hal-hal yang ingin diketahui peneliti seputar remaja, mengalami kendala karena dikalangan remaja pertanyaan seputar menstruasi maupun mimpi basah dianggap masih tabu dan remaja di sini pada umumnya merasa malu menjawab dan masih menutup diri. Didesa ini, ketersediaan pangan yang ada dan ditanam di ladang penduduk dari hasil observasi peneliti antara lain Papeda kasbi (singkong), pisang, jagung, pakis, Keladi (Ubi talas), kacang panjang, cabe rawit, kacang tanah, Petatas (ubi jalar), dan papaya. Makanan pokok masyarakat dan remaja khususnya adalah Papeda kasbi (singkong yang diolah menjadi sagu) dan Mangkausehan (ampas dari kasbi), terkadang lauk bila ada sayur bisa menjadi lauk mereka. Untuk sumber protein hewani seperti 73

Etnik Buru, Kabupaten Buru, Provinsi Maluku

ikan jarang dikonsumsi karena letak desa merupakan daerah pegunungan, jauh dari pantai serta akses transportasi dan jalan yang sulit. Daging hewan yang sering dikonsumsi dari hasil berburu dan beternak sendiri seperti babi hutan, rusa, Kusu (kelelawar) dan ayam.

Gambar 3. 7. Papeda Kasbi Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2014

Gambar 3. 8. Mangkausehan (Ampas dari Perasan Singkong/Kasbi) Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2014

74

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

Pola makan remaja disana pada umumnya, makan tiga kali dalam sehari yaitu di waktu pagi antara jam 08.00-09.00, siang sekitar jam 13.00 dan malam sekitar jam 19.00 setelah matahari terbenam. Untuk camilan yang biasa dikonsumsi remaja adalah pisang bakar dan singkong goreng yang ditaburi dengan gula merah. Untuk remaja putra pada umumnya memiliki kebiasaan meminum “Sopi” (minuman khas Etnik Buru yang terbuat dari pohon enau, mengandung alkohol sehingga tidak dapat dikonsumsi dalam jumlah banyak karena memabukkan), karena minuman tersebut dipercaya dapat menambah stamina. Ada aturan khusus yang mengatur norma waktu makan pada remaja Etnik Buru yaitu mereka tidak boleh makan sebelum orang tua mereka selesai makan baik makan pagi, siang maupun sore. Seperti yang dituturkan oleh informan P, “...sudah mulai atur makanan itu tiga kali ada minum pagi sore. Tetapi kalau asli, tidak teratur begitu, paling satu hari satu kali makan, disini bilang kasbi atau mangkausehan kita punya makan asli, itu ubi itu diolah diparut, dia punya santannya itu diolah, papeda namanya. Lalu dia punya ampasnya itu dikeringkan diatas api, kalau kering itu keras sekali, nah itu dia yang punya makanan khasnya. dia tumbuk atau seperti goreng itu tetapi tidak pakai minyak, mangkau sehan, mangkau itu ubi, sehan itu ampas, lalu dia makan itu santan jadi papeda. Itu makanan khas....”

Untuk menu makan remaja pada umumnya sama dalam sehari untuk makan pagi, siang sampai sore. Untuk makan siang kebiasaan mereka membawa bekal makanan dan dimakan di kebun tempat mereka bekerja membantu orang tua. Bekal yang biasa mereka bawa disimpan didalam wadah plastik dan terkadang dibungkus dengan daun pisang lalu dimasukkan kedalam “Fodo” (tas keranjang yang diletakkan di punggung 75

Etnik Buru, Kabupaten Buru, Provinsi Maluku

terbuat dari anyaman rotan) yang biasa dibawa remaja maupun masyarakat yang hendak pergi kekebun untuk membawa bekal makanan, atau hasil kebun seperti pisang, papeda kasbi, jagung, kayu bakar, daun kayu putih dll. Tidak ada aturan khusus yang mengatur pergaulan remaja di desa ini. Seperti yang disampaikan di atas bahwa pada kesehariannya kebiasaan remaja putra dan putri akan berkumpul bersama untuk sekedar bermain kartu ataupun bersantai sambil mendengarkan musik atau sambil berjoged. Kebiasaan lain yang sering dilakukan remaja didesa ini menonton film bersama di rumah Kepala Desa yang memiliki DVD player. CD film ini di peroleh oleh kepala desa dengan membeli di Unit (sebutan untuk Desa Wagernangan yang kondisi perekonomiannya lebih maju daripada Desa Nafrua).

Gambar 3. 9. Remaja yang Sedang Berkumpul di Rumah Ibu Desa untuk Berjoget dan Berkumpul Sumber : Dokumentasi Peneliti, 2014

76

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

3.1.2 Pasangan Suami Istri Belum Pernah Hamil Pada saat penelitian, peneliti tidak menemukan pasangan

suami istri yang belum pernah hamil, kebanyakan pasangan suami istri telah memiliki anak lebih dari 2. Sistem kekerabatan didesa ini menganut patrilinear (yaitu anak laki-laki meneruskan garis keturunan), sehingga pasangan suami istri didesa ini tidak akan berhenti hamil sebelum mendapatkan anak laki-laki. Seperti yang dituturkan oleh seorang informan Bapak P berikut, “Anak laki-lakilah... Seperti orang Jawa panggil mas, kalau orang Buru sini laki-laki itu, itu anak yang berharga itu. Kalau istilah mas itu kalau di Buru ini setuju dengan anak laki-laki kalau dipanggil mas, karena memang mas itu anak laki-laki. Seperti kawin tadi, walaupun dia punya anak perempuan terus walau dia sudah punya istri 3 atau 4 dia harus cari istri lain supaya ada anak laki-laki, itu salah satu faktornya. Kalau dia kawin perempuan itu dia cari perempuan lagi sampai dapat anak laki-laki, jadi bukan saja dari keinginan dia, tetapi yang perempuan juga.Karena mungkin musyawarah, kamu harus cari perempuan satu. Itu juga baik tetapi dia juga ada embelembel juga, harus diperbaiki, bukan diubah tetapi ya kawin banyak-banyak itu. Di gunung ini diatas sini ada orang punya istri tujuh, yang saya bilang kampung diatas ini...”

Hal serupa juga dituturkan oleh informan lainnya yaitu Ibu H, “Anak parampuan kalo sudah besar sudah menikah pindah ke rumah suami tapi kalo anak laki-laki nikah tetap tinggal dikeluarga dan hanya anak laki-laki yang meneruskan nama keluarga (marga)”

Karena yang akan meneruskan garis keturunan maka anak laki-laki dianggap lebih berharga daripada anak perempuan, selain itu anak laki-laki kelak dihari tua akan tinggal mengurus 77

Etnik Buru, Kabupaten Buru, Provinsi Maluku

harta dan orangtuanya. Sedangkan anak perempuan akan tinggal di rumah keluarga laki-laki yang menjadi suaminya dan menjaga orang tua suaminya. Seperti juga yang dituturkan oleh informan P, “...ya laki-laki, dan di Buru ini kalau perempuan dianggap tidak berhak itu warisan. Karena sebentar dia akan keluar dari rumah. sedangkan yang laki-laki itu membawa keluarga, marga, nama Etnik itu bertambah, jadi yang menerima warisan itu laki-laki...”

Bila tidak tinggal dalam satu huma (sebutan rumah di Etnik Buru) bersama orang tua laki-laki mereka akan membuat huma disekitar atau berdekatan dengan huma orang tua laki-laki. Perempuan yang tinggal bersama orang tua laki-laki dalam kesehariannya akan membantu ibu mertuanya memasak di dapur, mengurus huma maupun bekerja di kebun atau di ketel. Sepertiyang disampaikan oleh informan P, “...jadi harta warisnya tetap laki-laki seperti dusun, kalau usaha begitu. harus dimiliki olrh laki-laki, karena dianggap perempuan itu orang punya nantinya. Kalau istilah di sini bilang kawin keluar itu fhenwaet nake atau taga huma fenen.Fhenwaet artinya Etnik lain punya, perempuan itu Etnik lain punya.Taga huma fenen itu dia ikut di orang lain. nanti dia menghidupkan asap api di orang lain. Bukan dia punya Etnik sendiri...”

Anak laki-laki dan perempuan didesa ini pada umumnya bekerja di kebun atau di ketel membantu orang tua. Anak perempuan selain bekerja di kebun atau di ketel, mereka juga harus membantu ibu mereka memasak makanan, mencari kayu bakar dihutan atau digunung serta membersihkan rumah. Sedangkan anak laki-laki membantu ayahnya berburu babi atau

78

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

rusa dihutan dan membuat kandang dan mengurus ternak ayam atau babi. Di waktu senggang, perempuan Etnik Buru biasanya menghabiskan waktunya untuk bercengkerama di depan rumah tetangganya atau saudaranya dan juga kegiatan mencari kutu untuk menghabiskan waktu luang mereka.

Gambar 3. 10. Kegiatan Perempuan Etnik Buru Mencari Kutu Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2014

Bagi masyarakat yang belum pernah hamil karena sulit memiliki keturunan, masyarakat Buru memiliki keyakinan bahwa sang suami memiliki “doa panas” atau yang biasa disebut ilmu panas. Pemilik doa panas/ilmu panas menyebabkan bahwa seorang lelaki tidak bisa memiliki keturunan. Maka ia harus melepaskan ilmu panas jika ingin memiliki keturunan. Ada kasus satu orang warga di daerah unit yang menikah dengan 8 orang perempuan namun dari 8 orang perempuan itu ia tidak mendapatkan anak. Konteks mandul atau sperma laki-laki tidak 79

Etnik Buru, Kabupaten Buru, Provinsi Maluku

mampu membuahi ovum perempuan tidak dipahami atau tidak dimiliki oleh Etnik Buru. Kasus lain juga dialami oleh pak Y, suami ibu kepala desa. Berdasarkan cerita dari ibu kepala Desa, suaminya sebelumnya sudah menikah selama 12 tahun, namun tidak memiliki anak. Setelah ia menikah lagi dengan istri yang sekarang yaitu ibu kepala Desa Nafrua, satu setengah bulan kemudian perut ibu desa mulai terisi janin, namun mengalami keguguran ketika naik pesawat dari Manado ke Ambon, karena pendaratan yang sulit. Selanjutnyaia pergi ke dokter untuk konsultasi. Keluargasuami berkumpul di Ambon setelah mengetahui bahwa istrinya mengalami keguguran. Mereka menyarankan untuk tidak dikiret namun akan dibuatkan ramuan-ramuan untuk membersihkan kandungan agar kembali cepat hamil. Secara rinci ibu desa tidak mengetahui komposisi ramuan tersebut, namun setelah minum ramuan tersebut pagi harinya ketika ke kamar mandi gumpalan darah tersebut keluar selanjutnya gumpalan darah tersebut di buang di saluran pembuangan kamar mandi hotel. Beberapa bulan kemudian istri kepala desa kembali hamil, namun saat hamil tersebut ia merasakan sakit yang luar biasa. Sebelum menikah dengan Pak Y ibu desa sudah memiliki 3 orang anak yang tinggal di Jogja. Pengalaman hamil kedua dengan pak Y ini merupakan pengalaman yang menyakitkan bagi dirinya. Muntah-muntah dan merasakan sakit yang luar biasa. Mendengar ibu desa mengalami sakit yang sangat luar biasa, mama mantu akhirnya turun ke unit. Ia melakukan babeto atau meminta kepada “teteh nenek moyang” dan orang-orang yang meninggal sebelumnya agar tidak menggangu proses kehamilan ibu desa. Meskipun sudah dilakukan babeto, ibu desa masih mengalami kesakitan, selanjutnya mama mantu bertanya kepada ibu desa tentang tempat bakal janin yang sudah dikandungnya pertama tersebut apa dikuburkan. Ibu desa hanya menjawab 80

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

bahwa ia hanya melarutkannya ke lubang pembuangan di kamar mandi hotel, karena ketikdaktahuannya. Selanjutnya ia diminta untuk meminta maaf kepada bakal anaknya, sebagai berikut “Adik, maafkan mama ya, mama tidak tahu… maafkan mama ya. Bantu jaga mama dan adikmu ini agar kelak bisa besar dan lahir normal dan sehat”

Pagi harinya pak Y membeli pakaian bayi lengkap satu stel yang akan digunakan sebagai tempat bersemayamnya bakal anak bekas keguguran. Kepada baju anak tersebut ia mulai berdoa dan meminta maaf. Pagi hari berikutnya ketika akan melewati pintu bu desa mengatakan sebagai berikut, “Adik cukup sampai disini ya, kuatkan mama untuk bisa beraktivitas dan menjalankan kegiatan.” Setelah mengatakan hal tersebut, akhirnya rasa sakit itu menjadi hilang. Komunikasi dengan “teteh nenek moyang” dan orangorang yang sudah meninggal, bahkan bakal janin yang keguguran menjadi sarana untuk membuat orang hamil, atau orang sakit menjadi sehat. Proses komunikasi meminta maaf dan berkomunikasi dengan arwah orang yang meninggal adalah Babeto atau semake dalam konteks masyarakat Buru. Semake harus mengundang semua keluarga baik dari pihak istri maupun pihak suami. “Bicara-bicara” dilakukan oleh tetua/orang yang sudah tua, namun juga bisa dilakukan oleh perempuan.Pada upacara tersebut orang harus berbaju adat lengkap dengan selempang merah. Upacara penyembuhan ini merupakan upaya agar orang yang sakit tidak lagi diganggu serta dimaafkan sehingga kondisi si sakit bisa cepat pulih. Dalam proses babeto, jika tetua dan orang tua yang melakukan babeto menyatakan bahwa si sakit akan sembuh maka ia akan bisa sembuh apapun treatment kesehatan yang dilakukan. Namun jika sudah diputuskan bahwa orang yang sakit menurut teteh nenek moyang 81

Etnik Buru, Kabupaten Buru, Provinsi Maluku

akan segera meninggal maka upaya apapun yang dilakukan oleh keluarga si sakit ia pasti akan meninggal. Kekuatan babeto sebagai cara penyembuhan dan kepercayaan akan karma, bahwa orang akan diganjar sesuai dengan perbuatannya masing-masing. 3.2. Hamil Kehamilan adalah kondisi dimana seorang wanita memiliki janin yang sedang tumbuh di dalam tubuhnya (pada umumnya di dalam rahim). Kehamilan pada manusia berkisar 40 minggu atau 9 bulan, dihitung dari awal periode menstruasi terakhir sampai melahirkan. Kehamilan merupakan suatu proses reproduksi yang perlu perawatan khusus, agar dapat berlangsung dengan baik kehamilan mengandung kehidupan ibu maupun janin. Risiko kehamilan ini bersifat dinamis, karena ibu hamil yang pada mulanya normal, secara tiba-tiba dapat menjadi berrisiko tinggi. Faktor risiko pada ibu hamil seperti umur terlalu muda atau tua, banyak anak, dan beberapa faktor biologis lainnya adalah keadaan yang secara tidak langsung menambah risiko kesakitan dan kematian pada ibu hamil. Risiko tinggi adalah keadaan yang berbahaya dan mungkin terjadi penyebab langsung kematian ibu, misalnya pendarahan melalui jalan lahir, eklamsia, dan infeksi. Beberapa faktor risiko yang sekaligus terdapat pada seorang ibu dapat menjadikan kehamilan berisiko tinggi. Tanda dan gejala pada masing-masing wanita hamil berbeda-beda. Ada yang mengalami gejala-gejala kehamilan sejak awal, ada yang beberapa minggu kemudian, atau bahkan tidak memiliki gejala kehamilan dini. Namun, tanda yang pasti dari kehamilan adalah terlambatnya periode menstruasi. Ibu hamil di Desa Nafrua berusia antara 13 sampai 35 tahun. Ada yang baru hamil anak pertama, dan ada pula yang 82

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

sudah hamil anak ke 5. Namun meski demikian baik ibu yang baru pertama hamil maupun yang sudah hamil yang ke sekian kali tetap bekerja di kebun maupun di ketel selama masa kehamilan. 3.2.1 Masa kehamilan Masa kehamilan adalah masa ketika ibu hamil menjalani proses awal hamil hingga menjelang kehamilan. Pada umumnya ibu-ibu di desa ini menganggap masa kehamilan adalah hal yang biasa, pada saat hamil mereka tetap akan melakukan aktifitas yang sama dengan saat sebelum hamil. Menurut mereka, kehamilan merupakan hal seperti biasanyadan bukan sesuatu yang membutuhkan perawatan khusus dalam menjaga kehamilan tersebut. Faktor risiko tinggi dalam kehamilan tidak pernah mereka hiraukan. Seperti yang dialami oleh salah satu informan L, yang sedang hamil tua, beliau sudah terbiasa menggendong anaknya yang masih berusia 1 tahun menuju ketel, jarak dari tempat tinggal mereka sejauh 5 km dengan kondisi jalan naik turun gunung dan melewati sungai. Berikut penuturannya, “Suda biasa katong parampuang-parampuang di sini semua katong begitu. Iya rata rata parampuang begitu habis kalau pi kabong itu kang sapa tiap hari mau jaga se pung ana kalau di tinggal na tinggal kalau dia seng mau tinggal na bawa dia bagandeng dia kalau ada motor katong bisa gendong dia di atas motor kalau se nada motor ya suda berjalan”

Hal sama juga dituturkan oleh informan, Pieter Latbual pekerjaan perempuan disana lebih berat dibandingkan laki-laki, “...itu kalau sudah punya nak perempuan itu yang gendong anak pergi ke kebun ada gendong beban di belakang ada bawa kayu di sini sedangkan suami enak83

Etnik Buru, Kabupaten Buru, Provinsi Maluku

enak saja pegang parang, bawa tombak tas pinang, enak-enak saja. pagi-pagi perempuan mau timba air, mau urus anak, mau masak, laki itu duduk saja. Nah itu satu sifat yang tidak baik, tidak mau maju. Nanti hanya duduk makan pinang, hisab tembakau, kalau ada orang duduk-duduk cerita yang dulu-dulu. Itu saja. Dia punya sifat di sini, kalau di sini masih...”

Gambar 3. 11. Aktivitas Ibu Hamil Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2014

Pekerjaan mereka menuntut untuk selalu kuat dan bergerak cepat, karena pekerjaan perempuan-perempuan disana adalah urut daun kayu putih. Untuk menuju ketel tempat penyulingan kayu putih yang merupakan pekerjaan umumnya masyarakat desa ini, mereka harus berjalan sejauh kurang lebih 5 Km jarak dari rumah mereka menuju ketel dan lokasinya ada di pegunungan. Perempuan-perempuan hamil disana juga terbiasa mengambil kayu di gunung untuk memasak yang jaraknya cukup

84

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

jauh dari pemukiman mereka dan beban yang berada di kepala dan punggung mereka bisa mencapai 30 kg.

Gambar 3. 12. Seorang Ibu Hamil 9 Bulan yang Sedang Membawa “Fodo” Berisi Kayu Bakar. Sumber : Dokumentasi Peneliti, 2014

Dengan mengambil kayu diatas gunung dalam kehamilan yang sudah memasuki kehamilan tua sudah terbiasa dilakukan oleh perempuan-perempuan Etnik Buru yang di pegunungan. Mereka tidak menghiraukan faktor risiko tinggi pada kehamilan mereka. Pengetahuan yang kurang tentang kehamilanmembuat mereka mengganggap masa kehamilan sangatlah biasa dan tidak ada beda dengan masa sebelum hamil. Menurut informan ibu O mengatakan bahwa ketika hamil pertama kali mengetahui bahwa dirinya hamil setelah dia tidak mendapat menstruasi dan juga diberitahu orang tua yang dianggap berpengalaman mengetahui 85

Etnik Buru, Kabupaten Buru, Provinsi Maluku

ciri-ciri orang hamil bahwa terdapat tanda-tanda kehamilan di wajahnya, seperti yang dituturkannya, “Ada seorang nenek yang melihat raut wajah ku lalu dia mengatakan bahwa saya sedang hamil... ea kalau hitungannya (menstruasi) pas ya kita bisa tahu tetapi kalau kita salah hitung ya kita tidak tahu, anak pertama saya tidak tahu kalau saya hamil setelah anak ke 2, 3, dan 4 baru saya tahu saya hamil (kalo tidak mendapat menstruasi).”

Kemudahan di dalam menjangkau tempat pelayanan antenatal juga sangat menentukan seseorang untuk memanfaatkan pelayanan kesehatan dengan baik. Kawasan desadesa yang masih banyak terisolir, akses jalan rusak dan jarak yang jauh menyebabkan ibu hamil sulit memeriksakan kehamilannya ke petugas pelayanan antenatal. Oleh sebab itu, masyarakat Desa Nafrua lebih melakukan proses persalinan sendiri. Hal tersebut sudah menjadi suatu hal yang biasa di kalangan mereka. Pada umumnya saat hamil ibu-ibu di desa ini tidak memeriksakan kehamilannya sampai bayi lahir. Karena disana tidak ada fasilitas kesehatan maupun tenaga kesehatan seperti praktek bidan swasta maupun dukun bayi. Seperti yang dituturkan informan Ibu L berikut: “Iya habisnya mau periksa dimana soalnya tidak ada yang bisa kita minta periksa,kalau ada ya kita bisa periksa tiap hari, biarpun kita tidak tau hitung tetapi kalau ada bidan pasti kita di periksa ya kita tau, tapi kalau tidak ada bidan ya kita mau tahu gimana bulan saja kita tidak tahu”

Terdapat beberapa pantangan selama masa kehamilan, sebagian ibu mematuhi pantangan tersebut namun ada juga yang sudah tidak melakukan anjuran pantangan-pantangan selama 86

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

masa kehamilan tersebut. Pantangan makanan yang berlaku dalam adat budaya Etnik Buru antara lain: a) Tidak boleh makan makanan yang panas, karena dipercaya akan menyebabkan sakit pada bayi yang dikandung b) Tidak boleh makan daging babi karena dipercaya dapat menyebabkan bayi yang dikandung sakit, c) Tidak boleh makan sayur bayam, karena dipercaya dapat menyebabkan sakit pada bayi yang dikandung, d) Tidak boleh makan kacang nanti anaknya luka kulit bersisik e) Tidak boleh makan papeda panas, ditakutkan jangan sampai keguguran f) Tidak boleh makan enak ditakutkan nanti bayinya besar sehingga susah pada proses melahirkan Sedangkan pantangan perbuatan bagi ibu yang sedang hamil yaitu: a) Jika ada orang tua sedang duduk, ibu hamil tidak boleh lewat di belakangnya karena akan menyebabkan sang anak nantinya tidak patuh terhadap orang tuanya. b) Ibu hamil tidak boleh memegang kunci karena nanti bisa berakibat proses melahirkan menjadi sulit. c) Tidak boleh memotong tali fodo atau menyobek fodo karena bayi bisa lahir dengan bibir sumbing. d) Dilarang mandi pada malam hari di sungai sendiri karena ditakutkan akan diganggu oleh setan-setan penunggu. Obat tradisional yang dipercaya dapat menguatkan kandungan dan biasanya sering digunakan oleh ibu sedang hamil di Etnik Buru adalah akar lapit atau beringin. Akar tersebut diikatkan di perut bagian bawah, dan ada aturan saat

87

Etnik Buru, Kabupaten Buru, Provinsi Maluku

pengambilannya yaitu mengambilnya harus dari arah Timur dengan mantra-mantra. Pola makan ibu didesa ini pada saat hamil cenderung sama sepertiketika sebelum hamil. Mereka akan makan 3 kali sehari dengan makanan pokok papeda kasbi (sagu yang terbuat dari singkong yang diparut dan diperas diambil sari patinya lalu direbus). Lauk jarang terdapat dimenu makan mereka, hanya sesekali mereka makan dengan lauk sayur daun singkong atau pakis atau daun pepaya jika ada diladang mereka. Saat ibu sedang hamil mengalami sakit seperti terkena parang, ibu hamil akan merawat dirinya sendiri tanpa bantuan suami ataupun keluarga. Aktifitas sehari-hari pun tetap dilakukan oleh ibu hamil. Untuk pengobatan, pola pencarian pengobatan cenderung akan memilih mengobati sendiri (self treatment atau self medication) dengan meramu daun-daunan (obat tradisional). Berdasarkan hasil observasi dengan ibu hamil yang sedang sakit dikaki karena terkena parang dia menggunakan daun sunggahsunggah dan kapur untuk mengobati bengkak yang disebabkan karena terkena parang tersebut dan mengurangi pengeluaran darah yang banyak. Cara pemakaiannya dengancara sebagai berikut: daun tersebut diremas lalu dicampur kapur, setelah itu ditempel pada luka yang bengkak. 3.3. Persalinan dan Nifas 3.3.1. Menjelang Persalinan Menjelang persalinan dianggap hal yang biasa saja, ibu yang masa kehamilannya menjelang proses persalinan yaitu 9 bulan tetap melakukan aktifitas seperti biasa. Tidak ada persiapan sama sekali untuk menjelang persalinan baik oleh ibu hamil yang mendekati waktu melahirkan, suami maupun keluarganya. Perhatian suami terhadap istri yang akan 88

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

melahirkan kurang. Tidak ada persiapan untuk mempersiapkan perlengkapan persalinan karena proses persalinan dilakukan sendiri. Hal lain yang menjadi permasalahan di Desa Nafrua adalah semua ibu hamil yang dilakukan wawancara menyatakan bahwa ia tidak mengetahui usia kandungannya karena tidak pernah melakukan pemeriksaan kepada petugas kesehatan. Di Desa Nafrua tidak memiliki fasilitas kesehatan. Fasilitas kesehatan yaitu Puskesmas terdekat ada di Desa Waelo, sedangkan rumah sakit terdekat di pusat ibu kota kabupaten, yaitu di Namlea. Jarak dari Desa Nafrua ke Desa Waelo sekitar kurang lebih 80 Km, tidak ada transportasi umum yang melintas di dua desa ini. Sehingga untuk mencapai Desa Waelo, hanya penduduk yang memiliki kendaraan pribadi. Itupun jalan yang harus dilewati naik turun gunung, licin, ada yang berbatu, dan bila musim hujan sering longsor. Hal ini menjadi sulitnya masyarakat Desa Nafrua untuk mengakses pelayanan kesehatan. Seperti yang dituturkan informan ibu H berikut : “Tidak (periksa), karena tidak pernah periksa di bidan, baru kita tinggal di “Mesayang lama” (dusun di Desa Nafrua) jadi terlalu jauh untuk pergi periksa di bidan”

Informan ibu O, menceritakan pengalamannya saat mendapat tanda-tanda menjelang persalinan yaitu adanya sakit dipunggung, seperti yang dituturkannya, “Sakit perut seperti kita perempuan sakitnya di bagian punggung, waktu melahirkan semua orang di ketel tidak ada yang di rumah...”

Informan ibu yang lain H, mengatakan bahwa tanda bila hendak melahirkan adalah rasa sakit di pinggang, seperti yang diungkapkannya, “Kita duduk-duduk begini saja sudah merasa sakit, sakit pinggang...”

89

Etnik Buru, Kabupaten Buru, Provinsi Maluku

Sedangkan informan ibu yang melahirkan saat pengumpulan data menceritakan pengalamannya saat tandatanda menjelang persalinan yaitu dia rasakan sakit dibagian perut dan pinggang, seperti yang dituturkannya, “Sakit perut bagian bawah dan pinggang, sakit perut seperti mau BAB.” Menjelang persalinan untuk melancarkan bayi keluar, Etnik Buru di Desa Nafrua percaya bahwa dengan meminum dan dibuat mandi perasan daun “Geget” yang dicampur dengan air dapat melancarkan persalinan. Untuk persiapan hendak melahirkan, orang tua atau keluarga biasanya akan menyiapkan “Mnakut/netat” yaitu alat dari bambu untuk memotong tali pusar bayi. Seperti yang dituturkan oleh informan kami yang bernama mama M, “mmmm… netat kecil mereka menipiskan mnakut (bambu) terus digunakan untuk memotong tali pusar” Mnakut mereka ambil dari pinggir-pinggir sungai dan mereka akan memotong dibagian ruas bambu, kemudian mereka memotong lebih kecil lagi dan dibuat tipis untuk menajamkan bambu agar bisa dengan cepat memotong tali pusar. Bambu atau mnakut yang lebih kecil, biasa mereka sebut dengan netat. Hal ini memiliki risiko terjadinya infeksi bagi sang ibu maupun bayi.

90

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

Gambar 3. 13. Bambu Yang Digunakan Untuk Memotong Tali Pusat Sumber : Dokumentasi Peneliti, 2014

3.3.2. Proses Persalinan Proses melahirkan merupakan hal yang sangat penting untuk diperhatikan serta riskan terjadinya kematian ibu dan bayi. Perlu ada perhatian khusus bagi setiap ibu yang akan melakukan persalinan. Idealnya persalinan dilakukan oleh tenaga penolong persalinan yaitu Bidan atau Dokter di Fasilitas Kesehatan seperti Puskesmas dan Rumah sakit. Tetapi hal ini tidak ditemukan di Desa Nafrua. Seperti yang disampaikan informan berikut; “...Iyo kalo disana banyak bidan,disini tidak ada bidan, disini kalo ada 1 bidan saja itu sudahsenang jadi kita bisa periksa”

Proses persalinan dilakukan sendiri oleh ibu hamil. Ibu hamil yang merasakan tanda-tanda persalinan akan melakukan persalinan di mana ia berada. Pada umumnya tidak ada tempat khusus untuk melahirkan, ibu bisa melahirkan di kamar tidur, di 91

Etnik Buru, Kabupaten Buru, Provinsi Maluku

ruangan tengah huma ataupun di ketel dan kebun. Seperti yang dituturkan seorang informan, ibu H yang mengaku bahwa dirinya pernah melahirkan anak ke 4 di ketel. Saat itu ia sedang bekerja untuk memasak daun kayu putih untuk dijadikan minyak kayu putih sementara usia kandungan sang ibu sudah memasuki trimester ke tiga. Ibu L merasakan sakit di pinggang mencari tempat yang aman dan nyaman untuk melakukan proses persalinan. Tidak ada yang membantunya melakukan proses persalinan. Persalinan dilakukan sendiri oleh ibu L. Informan ibu lain, O menuturkan bahwa saat melahirkan dia tidak sempat memilih tempat melahirkan karena bayi yang didalam kandungannya terlanjur keluar sebelum dia melakukan persiapan tempat persalinan, berikut pernyataannya: “Tidak dialasi dengan apa-apa hanya seperti itu saja ketika bayi sudah keluar baru di alasi dengan kain tetapi yang si bungsu ini waktu saya melahirkan dia tidak sempat untuk mengalasinya dengan kain jadi ketika saat lahir langsung jatuh ke tanah, kalau Lento dan Susi waktu saya melahirkan mereka setelah saya selesai mandi lalu saya kembali ke kamar terus saya melahirkan”

Untuk pemilihan penolong persalinan ibu-ibu Etnik Buru di Desa Nafrua cenderung memilih melahirkan dengan pertolongan keluarga inti atau sendiri. Apa yang dilakukan oleh penolong persalinan pada saat proses persalinan hanya memberikan semangat dan melakukan pijatan di punggung ibu yang akan melahirkan. Ada mitos yang berkembang di masyarakat yaitu suami tidak boleh membantu persalinan karena jika melihat dan memegang bayi yang baru dilahirkan maka pamali (koin) karena setiap laki-laki di sana memiliki pegangan doa-doa. Apabila dilanggar maka dapat mengakibatkan sang bayi

92

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

sakit hingga meninggal dunia. Seperti yang dituturkan seorang informan Ibu H, “Kalau ada mertua biasanya mereka membantu dalam proses persalinan, tetapi kalau tidak ada orang yang membantu terpaksa melahirkan sendiri, waktu orang datang kita sudah selesai melahirkan, kalau orang datang belum selesai melahirkan kita minta syukur karena ada yang membantu, seandainya yang datang itu mertua, kakak, adik, kalau mereka tahu kita mau melahirkan tetapi kalau tidak tahu ya melahirkan sendiri. Potong pusar sendiri, kasih mandi sendiri, mencuci sendiri di sungai.”

Sedangkan informan ibu lain O, mengatakan bahwa dia melahirkan sendiri tanpa bantuan keluarga, “Tidak ada yang membantu, saya melahirkan sendiri... iya saya melahirkan sendiri tanpa ada satu orang pun yang membantu…”

Apabila ibu yang bersalin mengalami susah melahirkan, dalam tradisi adat Etnik Buru terdapat ritual khusus yang bernama “semake atau babeto” yaitu berdoa atau berkomunikasi dengan roh-roh leluhur untuk menanyakan faktor penyebab si ibu susah melahirkan. Tidak hanya bagi ibu yang susah melahirkan, babeto juga dilakukan pada saat ada masyarakat yang sedang sakit keras atau ada kejadian tertentu yang berkaitan dengan hal-hal mistis. Tujuannya agar para roh leluhur memberitahukan apa yang terjadi. Peralatan yang digunakan antara lain kapur, sirih, dan pinang. Seperti yang dijelaskan salah seorang tokoh masyarakat, P. Latubual,

93

Etnik Buru, Kabupaten Buru, Provinsi Maluku

“Semake dengan rama. Jadi semake itu dia panggil roh itu, kemudian rama itu roh itu sudah datang pada dia. Sehingga dia sudah bicara menerangkan bahwa ini begini begini, kalau semake itu masih panggil minta. Itu yang pertama yang kedua itu seperti cari tahu itu, kalau sesuatu yang hilang atau sesuatu yang susah orang sakit keras, mereka bisa tahu, orang ini mau sehat atau sembuh. Itu yang rama tadi itu yang panggil dia datang, ooo orang ini bisa mati pasti dia mati, kalau orang ini sembuh tetap bagaimana ia sakit tetap sembuh. Kemudian dia punya obat-obatan ramuan akar daun, kulit kayu“.

Gambar 3. 14. Perlengkapan untuk Melakukan Babeto atau Semake Sumber : Dokumentasi Peneliti, 2014

Selain itu ibu hamil di sana memanfaatkan obat tradisional yaitu mhenket yang bertujuan untuk mengecilkan bayi agar mudah keluar. Akar dan buah dari tanaman ini dianggap dapat mengecilkan bayi agar mudah keluar pada saat proses melahirkan. Biasanya akar tanaman mhenket akan dilingkarkan 94

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

dan di ikat di perut bagian bawah dan buah dari tanaman ini untuk di makan pada saat usia kehamilan memasuki trisemester 3. 3.3.3. Setelah Persalinan Setelah persalinan, perawatan terhadap ibu bersalin umumnya sama. Ibu bersalin biasanya membersihkan sisa darah di sungai. Penggunaan jamu untuk perawatan setelah persalinan biasanya menggunakan akar alang-alang atau re yang ditumbuk dan direbus untuk diminum. Hal ini diyakini dapat membersihkan perut setelah melahirkan dan melancarkan darah yang keluar. Bayi baru lahir dipotong tali pusatnya menggunakan mnakut atau netat kemudian tali pusat bayi diikat dengan benang dan dibalut dengan kain. Apabila melahirkan sendiri maka perawatan bayi dilakukan oleh ibunya tetapi apabila ada keluarga yang membantu maka keluarga yang akan memandikan sang bayi. Suami dilarang untuk merawat bayi dan istrinya selama minimal 8 hari. Berikut ini pernyataan seorang ibu tentang perawatan diri yang dilakukan setelah persalinan. “Anak kecil ini setelah dimandikan dipakaikan baju lalu di tidurkan di tempat tidur lalu saya menyuruh kakaknya untuk menjaga dia setelah itu baru saya pergi mandi, dari anak 1- 5 saya tidak pernah mandi menggunakan air hangat, anak 1-5 setelah melahirkan memotong tali pusar memandikan bayi saya langsung mengambil pakaian kotor untuk di cucikan di sungai tanpa ada yang membantu dan itu saya melakukan sendiri tidak seperti wanita-wanita yang lain setelah melahirkan mereka di bantu oleh mertua atau ibu mereka.”

95

Etnik Buru, Kabupaten Buru, Provinsi Maluku

Gambar 3. 15. Kondisi Ibu Setelah Melahirkan Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2014

Selanjutnya mereka melakukan asar atau pangi yaitu memberikan asap melalui kayu yang dibakar di dalam kamar untuk dimanfaatkan asapnya. Hal tersebut bertujuan untuk menghangatkan tubuh bayi dan ibunya agar tali pusat mengering. Tidak ada upacara atau ritual khusus setelah melahirkan di Desa Nafrua. Biasanya setelah melahirkan ada beberapa yang datang untuk melihat dan menjenguk. Tidak ada tradisi memberikan kado atau oleh–oleh untuk ibu bersalin. Seperti yang dituturkan oleh informan Ibu H, berikut: “Disini ni biasa dong asap sendiri dong pong angpi... (disini sudah biasa anak habis dilahirkan diasap sendiri dengan api…).”

96

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

Semua ibu bersalin tidak pernah memeriksakan diri kepada petugas kesehatan karena letaknya terlalu jauh yaitu sekitar 80 km. Letak geografis dan pengetahuan tentang kesehatan menjadi faktor utama masyarakat tidak memeriksakan diri ke petugas kesehatan. Setiap keluarga yang membantu melakukan persalinan dilarang untuk memasak di dapur, tidak boleh memegang peralatan dapur selama 10 hari. Setelah 10 hari ibu bersalin baru bisa ke dapur untuk memasak. Makanan yang dimakan oleh ibu bersalin biasanya dari keluarga yang memberikan makanan. Hal ini seperti yang di sampaikan informan ibu H berikut: “Mama yang membantu kita setelah melahirkan juga tidak bisa memasak di dapur buat orang lain maka, jadi kita hanya menunggu orang lain yang memasak baru kita makan selama 10 hari baru kita bisa keluar kamar dan memasak di dapur.”

Setelah melahirkan, sang ibu langsung melakukan aktifitas biasa seperti memasak, mencuci piring, mencuci pakaian, dan melakukan pekerjaan rumah lainnya. Tetapi untuk melakukan pekerjaan di kebun dan di ketel biasanya setelah minimal 2 minggu. 3.3.4. Masa Nifas Menurut para informan, tidak ada tradisi khusus yang dilakukan ibu pada saat nifas. Tidak ada obat-obatan yang diminum selama masa nifas. Tetapi apabila ibu melahirkan mengalami sakit maka suami berupaya untuk mendapatkan obat di unit (nama desa tetangga) dengan jarak sekitar 80 km. Menurut informan untuk melancarkan darah yang keluar pada saat nifas mereka meminum jamu berupa air rebusan terbuat dari kulit pohon mangga dan kulit pohon langsat. Selain itu 97

Etnik Buru, Kabupaten Buru, Provinsi Maluku

mereka juga mengkonsumsi air rebusan akar alang-alang. Makanan yang dikonsumsi ibu nifas dalam pengamatan peneliti kurang mengandung gizi yang cukup, terutama makanan atau minuman yang mengandung zat besi. Karena disaat ibu dalam masa nifas, zat besi sangat penting dikonsumsi agar ibu nifas tidak mengalami Anemia (kekurangan sel darah merah). Makanan pokok yang mereka konsumsi adalah papeda kasbi yang terbuat dari perasan singkong yang direbus, dari proses pengolahan dapat mengurangi kadar gizi yang dikandung selain itu singkong hanya sumber karbohidrat dan bukan sumber zat besi. 3.4. Menyusui Air susu ibu (ASI) merupakan makanan terbaik bagi bayi. Bayi sebaiknya diberikan ASI mulai dari 0 sampai usia 6 bulan. Di Desa Nafrua ibu melahirkan selalu memberikan ASI-nya kepada bayinya. Air susu yang pertama (kolostrum) juga diberikan pada sang bayi. Semua informan tidak mengetahui manfaat kolostrum tersebut tetapi karena kebiasaan turun temurun sehingga perilaku tersebut dilakukan. Informasi tentang ASI eksklusif tidak pernah mereka dapatkan sehingga selama 0 sampai 6 bulan sang bayi juga makan makanan tambahan seperti papeda kasbi yang dicampur dengan air. Lama bayi mendapatkan ASI berbeda-beda tiap ibu. Tidak ada batasan berapa lama harus diberikan. Berdasarkan informasi yang diberikan bahwa lama pemberian ASI bagi bayi sampai sang bayi sudah tidak mau lagi untuk mengkonsumsi ASI tersebut. Tetapi pemberian ASI ini telah mengalami kemunduran dengan berbagai alasan atau kondisi perekonomian mereka. Dengan adanya tambang emas di gunung Botak itu membuat mereka bisa membeli susu untuk anaknya dari usia 0 bulan supaya gemuk dan berisi. Hal ini juga 98

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

dikarenakan dengan masa kehamilan yang terlalu cepat dan produksi air susu ibu-ibu sedikit. Seperti yang di tuturkan oleh salah satu informan, yang mengatakan bahwa air susu beliau tidak keluar setelah memiliki anak banyak. Berikut penuturan ibu O, “Pertama ada, ke 2 ada, ke 3 ada, ke 4 ada semua ada, hanya anak yang terakhir ini yang tidak ada air susu yang keluar.”

Hal serupa juga dituturkan oleh ibu L yang mengatakan bahwa, “…dari anak pertama sampai anak ke 6, semua minum ASI saya. Tetapi anak ke 7 ini, saya bantu dengan susu formula atau susu toko karena air susu saya sudah sedikit. Ditambah saya sedang hamil anak ke 8 dan memasuki bulan ke 7.”

Kualitas ASI ditentukan oleh makanan yang dikonsumsi sang ibu. Umumnya pada saat menyusui, sang ibu harus banyak makan makanan yang bergizi guna memenuhi kebutuhan gizi sang ibu dan bayi. Lain halnya dengan kondisi masyarakat di Desa Nafrua. Ibu menyusui mengkonsumsi Papeda dengan sayur pakis atau singkong. Mereka baru akan membeli beras apabila mereka sudah memiliki uang. Kesadaran untuk memberikan ASI kepada bayinya terutama didasari oleh faktor ekonomi jika mereka tidak memiliki cukup uang untuk membeli makanan lain maupun susu formula, maka mereka akan tetap memberikan ASI mereka. Selain itu orang tua juga berpengaruh terhadap pengambilan keputusan dalam pemberian ASI. Orang tua selalu mengingatkan anaknya untuk memberikan ASI-nya. Bagi ibu yang memiliki uang untuk membeli susu formula maka selain memberikan ASI, mereka juga memberikan susu formula untuk bayinya tetapi

99

Etnik Buru, Kabupaten Buru, Provinsi Maluku

dengan takaran yang sangat encer dengan tujuan untuk menghemat. Pantangan makan tidak dikenal dalam masyarakat Etnik Buru Desa Nafrua. Untuk meningkatkan produksi ASI, masyarakat Etnik Buru biasanya mengkonsumsi daun pepaya, dan kulit pohon tertentu untuk di masak dan dimakan. Obat itu ia dapatkan dari perempuan tua yang mencari ramuan tersebut yang mereka sebut “Fina Tukang”. Seperti yang disampaikan oleh informan berikut yang pada saat itu air susunya tidak keluar dan berupaya agar air susunya keluar, “Selalu makan sayur agar menambah air susu, makan obat daun-daun kayu, semua sudah dicoba tapi sama saja.” Seorang informan ibu,L mengaku memberikan bayi kelimanya susu botolsejak berusia 2 bulan karena selain aktifitasnya yang mengharuskan dia segera kembali bekerja di ketel, juga dikarenakan ASI-nya tidak banyak keluar, seperti yang dituturkannya, “Waktu dia lahir hingga berusia 2 bulan saya sudah memberikan dia susu botol, jadi dia berusia 2 bulan dia sudah minum susu botol... Sebenarnya tidak apa-apa kalau saya memberinya susu botol, soalnya air susu saya kurang (sedikit) akhirnya saya memberikan susu botol agar bisa selang-seling, kita bilangnya susu toko jadi saya kasih susu toko dan dia juga nyusu saya. Badannya dia dulu gemuk tetapi saat saya hamil lagi akhirnya badannya dia turun kalau tidak badannya dia sangat gemuk saat nyusu saya di tambah susu botol badannya sangat gemuk.”

3.5. Neonatus Dan Bayi Perawatan terhadap neonatus dan bayi umumnya sama untuk semua masyarakat Desa Nafrua. Mereka kurang 100

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

memahami perilaku sehat sehingga perawatan terhadap bayi baru lahir untuk tali pusatnya hanya dibungkus dengan menggunakan kain. Bayi biasanya dimandikan dua kali sehari. Yakni pagi dan sore hari. Ada yang menggunakan air hangat dan ada yang menggunakan air dingin. Setelah memandikan bayinya, mereka merawat tali pusatnya hanya dengan mengeringkannya dan membungkus dengan kain kering. Untuk perlakuan terhadap ari-ari (anak nakai) ada yang membungkus dengan kain, selanjutnya dikubur di belakang rumah, ada juga yang memasukkan anak nakai ke dalam kantong kain lalu digantung diatas pohon dihutan. Tradisi sunat berlaku bagi anak laki-laki dan perempuan. Biasanya sunat dilakukan pada usia 3-4 tahun oleh Bapak Soa atau tetua adat Desa Nafrua. Pola asuh terhadap bayi dilakukan oleh ibunya sendiri, upaya dalam memberikan pengajaran tentang pola hidup bersih dan sehat bagi anak-anaknya sangat kurang. Semua masyarakat di Desa Nafrua tidak memiliki jamban. Mereka BAB di sungai atau di hutan. Anak-anak yang ada di Desa Nafrua sudah terbiasa dengan kondisi seperti itu sehingga menjadi kebiasaan untuk BAB di sembarang tempat. 3.6. Anak dan Balita Masa balita dan anak-anak merupakan masa pertumbuhan dimana pola asuh menjadi penting untuk pembentukan karakter sang anak. Dalam kesehariannya, anakanak di Desa Nafrua biasanya lebih sering bersama ibunya dari pada ayahnya. Tetapi bagi ibu yang bekerja di kebun atau di ketel untuk mencari daun kayu putih maka anak-anaknya juga ikut. Mereka juga ikut tinggal di tenda-tenda yang dibuat untuk tinggal selama beberapa hari. Apabila sang ibu memiliki anak usia 5 101

Etnik Buru, Kabupaten Buru, Provinsi Maluku

tahun maka yang mengasuh bayi atau balita adalah anak tersebut.

Gambar 3. 16. Anak-Anak Sedang Menuju Ke Sumber Air untuk Mencuci Memasak Sumber : Dokumentasi Peneliti, 2014

Sejak kecil mereka sudah dilatih untuk memiliki tanggung jawab mengasuh adiknya, melakukan pekerjaan rumah seperti mencuci piring, mencuci baju, serta memasak. Pekerjaan rumah sudah biasa mereka lakukan dari pagi hari mulaimencuci peralatan rumah tangga, mencuci baju, mengambil air dan memasak. Barulah setelah pekerjaan rumah terselesaikan, maka mereka akan mulai mengasuh adiknya dari memandikannya hingga menyuapinya. Tanggungjawab untuk menjaga bayi biasanya dibebankan kepada kakaknya yang masih berusia relatif muda. Sang kakak biasanya mengajak adiknya bermain, menggendong sang adik saat menangis, menyuapinya saat makan, serta memandikan adiknya ketika pagi maupun sore hari. Sedangkan untuk makanan yang diberikan pada balita umumnya dimasak oleh ibunya 102

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

sebelum berangkat kerja atau bila sang kakak sudah bisa memasak, maka dia yang membuatkan makanan untuk balita.

Gambar 3. 17. Anak Perempuan Kecil Sedang Memasak Untuk Keluarganya Sumber : Dokumentasi Peneliti, 2014

Menu makan balita biasanya bubur SUN atau papeda kasbi. Saat ada uang, yaitu semenjak pertambangan botak (pertambangan emas) para ibu di desa ini akan membelikan balita mereka susu formula Lactogen atau SGM (yang umum beredar di pasaran). Untuk anak balita atau anak yang sudah berusia 7 bulanan sudah terbiasa mengkonsumsi makanan papeda kasbi dan hanya diberi air putih saja. Hal ini dikarenakan perekonomian mereka yang serba kekurangan dan akses menuju pasar yang sangat sulit. Seperti yang dituturkan oleh informan Ibu L berikut: “Di sini tidak di beri makan sayur hanya papeda dan air garam, tetapi di sini kita tidak memperbiasakan anak kita menggunakan garam karena bisa terbiasa makan enak jadi hanya di beri air putih kalau tidak anak kita akan 103

Etnik Buru, Kabupaten Buru, Provinsi Maluku

menuntut makan dengan menggunakan garam jadi kita jangan memperbiasakan makan dengan menggunakan garam karena kita orang kekurangan.”

Gambar 3. 18. Anak Kecil Sedang Mengasuh Adiknya Sumber : Dokumentasi Peneliti, 2014

Karena perekonomian yang sulit membuat istri mereka juga membantu dalam perekonomian keluarga. Hal ini yang membuat istri tidak memiliki waktu yang cukup untuk merawat sang bayi. Kebiasaan bermain anak-anak Etnik Buru tidak bisa lepas dari tanah. Mereka sudah terbiasa duduk di atas tanah untuk bermain mobil-mobilan. Kebersihan pakaian dan badannya kurang diperhatikan. Terkadang anak kecil juga tidak memakai baju dan mereka juga sudah terbiasa bermain dan berkumpul dengan binatang peliharaannya seperti anjing yang selalu berada di sekitar lingkungannya.

104

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

Gambar 3.19. Seorang Anak Kecil Tidak Memakai Celana Sedang Bermain di Tanah dan Dibiarkan oleh Ibunya. Sumber : Dokumentasi Peneliti, 2014

Gambar 3. 20. Anak Kecil Tidak Memakai Baju dan Sedang Bermain Mobil-Mobilan Sumber : Dokumentasi Peneliti, 2014

105

Etnik Buru, Kabupaten Buru, Provinsi Maluku

Gambar 3. 21. Anak Kecil Sedang Bermain Sendiri Di Tanah Sumber : Dokumentasi Peneliti, 2014

Gambar 3. 22. Anak Usia 7 Tahun Menggendong Adiknya yang Berusia 9 Bulan Sumber : Dokumentasi Peneliti, 2014

106

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

Anak berusia 7 tahun juga sudah terbiasa membantu ibunya dalam urut daun kayu putih. Dengan berat daun kayu putih bisa mencapai 15-20 kg dan ditempatkan dalam “fodo” dan dengan beban yang berat tersebut mereka letakkan di atas kepala mereka. Keterampilan dalam pengolahan minyak kayu putih memang suatu tradisi yang sudah diwariskan dari orang tua kepada anak-anaknya. Berawal dari cara pengambilan/urut daun kayu putih, orang tua memberi bekal kepada anak-anaknya.

Gambar 3. 23. Anak Kecil Berusia 7 Tahun Membantu Membawa Daun Kayu Putih Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2014

Anak-anak Desa Nafrua tidak pernah mengenyam pendidikan karena tidak ada fasilitas pendidikan. Mereka hidup berdasarkan kebiasaan dari orang tuanya. Mereka dididik untuk menjadi pembuat minyak kayu putih. Kondisi ekonomi menyebabkan masyarakat Desa Nafrua lebih sering 107

Etnik Buru, Kabupaten Buru, Provinsi Maluku

mengkonsumsi papeda dari pada nasi. Kebiasaan buang air besar di tempat terbuka seperti sungai maupun hutan serta mandi di sungai dengan jarang mengganti pakaian. Hal inilah yang menyebabkan kondisi masyarakat Desa Nafrua masih belum memiliki upaya dalam meningkatkan perilaku hidup bersih dan sehatnya. Pengobatan penyakit bagi anak balita biasanya dilakukan dengan menggunakan obat-obatan tradisional. Mereka akan mencari fasilitas kesehatan apabila keadaannya sudah memburuk. Upaya untuk mendapatkan obat-obatan dari fasilitas kesehatan hanya dilakukan apabila ada kendaraan yang akan menuju ke fasilitas kesehatan terdekat dan itu sangat jarang ada. Untuk pelaksanaan imunisasi dan pemeriksaan kesehatan biasanya dilaksanakan oleh Puskesmas menggunakan ambulan Puskesmas keliling dan itu biasanya sangat jarang ada. Kebiasaan menggosok gigi anak-anak Desa Nafrua masih sangat rendah. Mereka tidak dibiasakan menggosok gigi setelah makan dan sebelum tidur. Hal ini terkait dengan pengetahuan orang tua tentang pola hidup bersih dan sehat. Anak-anak sudah terbiasa bermain tanah, orang tuanya tidak melarang atau mencegahnya. Konsumsi air bersih sangat sulit. Membutuhkan jarak beberapa kilometer untuk mengambilnya, sehingga kebanyakan air yang dikonsumsi adalah air mentah. Kekurangan nutrisi atau kurang gizi secara umum karena faktor kurangnya nilai gizi yang terkandung di dalam makanan yang dikonsumsi oleh anak-anak. Mereka hanya mengkonsumsi makanan yang minim akan variasi makanan. Mereka tidak menyadari bahwa kekurangan gizi dapat menyebabkan rendahnya daya tahan tubuh sehingga tubuh mudah sakit, dan dalam kondisi parah dapat berujung kematian. Hal ini terlihat kondisi anak-anak Desa Nafrua sangat kurus dengan perut membuncit. 108

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

Pengobatan menggunakan ramuan atau jamu adalah cara untuk mengobati balita yang sakit. Hal ini menjadi cara yang utama karena pengobatan secara medis sangat sulit didapatkan. Selain itu apabila ada hal-hal yang dianggap mistis maka upaya penyembuhan dilakukan dengan cara babeto seperti yang sudah dijelaskan di bab sebelumnya. 3.7. Perilaku Hidup Bersih dan Sehat Perilaku hidup bersih dan sehat di Desa Nafrua bisa dikatakan buruk. Faktor pendidikan, pengetahuan, dan fasilitas umum menjadi penyebab utama buruknya PHBS di desa ini.

Gambar 3. 24. Salah Satu Kondisi Lingkungan Rumah Ketel di Desa Nafrua Sumber : Dokumentasi Peneliti, 2014

3.7.1. Persalinan oleh Tenaga Kesehatan Persalinan yang dilakukan oleh masyarakat Etnik Buru semua dilakukan sendiri atau dengan bantuan keluarganya yaitu 109

Etnik Buru, Kabupaten Buru, Provinsi Maluku

orang tua perempuan atau mertuanya. Tidak ada yang melakukan persalinan di Puskesmas maupun dirumah bidan karena pada umumnya penduduk didesa ini berada pada status ekonomi lemah serta letak geografis yang sangat jauh, kemahalan bahan bakar bensin dan tidak ada transportasi umum. Masyarakat Buru hampir semua memiliki sepeda motor tetapi bagi ibu yang hamil dengan kondisi jalan yang sangat terjal dan licin tidak memungkinkan untuk memeriksakan kehamilan bahkan sampai melakukan persalinan di tenaga kesehatan. Aktifitas pada saat kehamilan sama dengan aktivitas yang biasa mereka lakukan sebelum atau saat tidak sedang dalam kondisi hamil. Mereka bekerja seperti saat tidak hamil. Mengumpulkan daun kayu putih untuk dijadikan minyak kayu putih dan dijual ke pedagang pengepul serta mencari kayu bakar di hutan. ` Namun dalam upaya menjangkau pelaksanaan pemeriksaan kehamilan di masyarakat Etnik Buru, Puskesmas Waelo melakukan kegiatan Puskesmas keliling agar masyarakat mendapatkan pelayanan kesehatan terutama ibu hamil. Kendala letak geografis mengakibatkan kegiatan Puskesmas keliling tersebut tidak bisa dilakukan setiap bulan. Hanya dilakukan beberapa bulan sekali dan itu harus bergiliran dengan desa yang lainnya. Kondisi ini menyebabkan pengetahuan tentang menjaga kehamilan, risiko kehamilan serta informasi terkait persalinan yang aman kurang begitu diketahui oleh ibu hamil di desa ini. Persiapan persalinan juga tidak disiapkan dengan baik. Saat usia kandungan sudah memasuki trimester ketiga, masih ada yang bekerja seperti biasanya. Tidak adanya persiapan bagi ibu menjelang persalinan dan juga perawatannya ini dibuktikan dengan masih adanya ibu hamil yang bersalin di ketel tempat ia bekerja memasak daun kayu putih. Seperti yang dituturkan oleh seorang informan ibu L berikut, “Banyak (ibu-ibu di Desa Nafrua) yang melahirkan di ketel dan di kebun.” 110

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

Seperti yang diUtarakan oleh Kepala Dinas Kesehatan bahwa minimnya petugas kesehatan yang bersedia ditempatkan di daerah sulit dan jika sudah menikah petugas atau bidan akan mengikuti suaminya dan berpindah tugas. Hal seperti yang dituturkannya, “Minimnya dukun terlatih dan tenaga kesehatan di desa membuat kontrol terhadap proses kelahiran tidak terkontrol dengan baik. Hal ini kadang terjadi juga karena bidan tidak berada di desa. Bidan-bidan yang dulunya ditempatkan di desa, setelah menikah ia harus mengikuti suami sehingga tidak lagi bertugas di daerahnya dan sering mengajukan untuk pindah. Bidan di tingkat desa sering kosong... persoalan akses yang sulit, jalan dan ongkos yang harus dikeluarkan warga untuk datang ke layanan kesehatan merupakan salah satu tantangan terbesar bagi Dinas Kesehatan. Pasien yang sudah dalam kondisi menghawatirkan baru di rujuk ke Puskesmas sehingga proses penanganannya menjadi terlambat”

Hal yang serupa diungkapkan oleh kepala Seksi Promosi Kesehatan dan Penelitian yang mengatakan bahwa, “Pemerataan tenaga kesehatan yang kesemuanya terpusat di kota kabupaten membuat daerah-daerah terpencil dan sulit akses tidak terdapat tenaga kesehatan seperti bidan. Saling iri pun masih muncul dari para bidan PTT Daerah dan PTT Provinsi terkait besaran gaji yang mereka terima”

Hal tersebut yang membuat masyarakat Buru yang berada di pegunungan atau di daerah terpencil sulit mendapatkan pelayanan kesehatan dan tidak adanya fasilitas kesehatan dan tenaga kesehatan yang tinggal di desa tersebut.

111

Etnik Buru, Kabupaten Buru, Provinsi Maluku

3.7.2. Melakukan Penimbangan Bayi dan Balita (0-59 bulan) Bayi yang baru lahir seharusnya dipantau tumbuh kembangnya dengan selalu mengikuti kegiatan Posyandu di wilayahnya. Hal ini bertujuan untuk melihat status kesehatan sang bayi dilihat dari pertumbuhan berat badannya. Tetapi kondisi itu tidak ditemukan di Etnik Buru. Tidak ada aktifitas Posyandu di Etnik tersebut. Bidan di desa tersebut juga tidak ada. Hal ini diungkapkan oleh seorang informan ibu L tentang tidak adanya tenaga kesehatan seperti bidan yang ditempatkan di desa ini, “Iya kalau disana (Desa Leksula) banyak bidan, dI sini (Desa Nafrua) yang tidak ada bidan, di sini kalau ada 1 bidan saja itu sudah senang jadi kita bisa periksa”

Anak balita di Etnik Buru tidak mendapatkan imunisasi lengkap. Puskesmas keliling untuk melakukan pemeriksaan kesehatan tidak tentu datangnya. Hal ini disebabkan karena kondisi geografis serta luasnya wilayah Puskesmas menyebabkan Puskesmas keliling yang harus beroperasi perlu diatur jadwalnya yaitu setiap tiga bulan sekali. Selain itu pekerjaan masyarakat yang semuanya adalah memproduksi minyak kayu putih menyebabkan masyarakat setiap hari akan pergi ke ketel untuk bekerja. Seringkali ketika Puskesmas keliling datang ke Etnik Buru di dusun Mesayang di Desa Nafrua mereka hanya mendapati sedikit saja warga yang ada disana. Kondisi ini menyebabkan anak-anak Etnik Buru tidak semua mendapatkan imunisasi. Namun apabila Puskesmas keliling ini sudah diketahui masyarakat maka, masyarakat khususnya ibu hamil akan sangat gembira dan berbondong-bondong mendatangi tempat atau lokasi pemeriksaan. Lokasi pemeriksaan biasanya menggunakan rumah kepala desa atau tokoh masyarakat setempat.

112

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

Gambar 3. 25. Pemeriksaan Kehamilan oleh Bidan Saat Puskesmas Keliling Sumber : Dokumentasi Peneliti, 2014

Kondisi masyarakat Etnik Buru sangat menggantungkan kehidupannya dengan membuat minyak kayu putih menyebabkan kondisi ekonomi yang tidak menentu. Hal ini menyebabkan asupan makanan bagi ibu dan bayi sangat kurang. Makanan pokok yang mereka makan adalah papeda kasbi dengan sayur pakis atau sayur singkong. Tidak jarang bayi yang berusia 1 bulan sudah diberi makan papeda kasbi yang di beri air. Bagi masyarakat Etnik Buru hal itu sudah biasa dilakukan. Upaya yang dilakukan orang tua untuk mencukupi gizi sang bayi biasanya dengan membelikan susu formula apabila sudah memiliki uang untuk membelinya di unit dengan mengendarai sepeda motor yang lokasinya sekitar 80 kilometer dengan kondisi jalan yang terjal, licin dan berbatu. Sedangkan untuk bahan bakar bensin dengan jarak 80 Km tersebut membutuhkan kurang lebih 6 liter bensin dengan harga Rp. 10.000,- per liternya.

113

Etnik Buru, Kabupaten Buru, Provinsi Maluku

3.7.3. Memberikan ASI Eksklusif Makanan yang terbaik bagi bayi usia 0 sampai 6 bulan adalah Air Susu Ibu (ASI). ASI mengandung zat gizi yang sesuai untuk bayi. Beberapa informan yang ditanya mengenai pengertian ASI eksklusif semua menjawab tidak tahu. Mereka tidak mengetahui bahwa pemberian ASI Eksklusif adalah memberikan hanya ASI saja mulai usia 0 sampai 6 bulan seperti yang diUtarakan oleh informan O berikut, “ASI eksklusif? Tidak tahu...” Pada prakteknya, pemberian ASI eksklusif pada masyarakat Etnik Buru sangat sedikit untuk dilakukan. Mereka tidak pernah memperhatikan berapa bulan anak harus di susui serta usia berapa anak harus di beri makanan tambahan. Selama masa menyusui bagi masyarakat kebanyakan, biasanya mereka hanya memberikan ASI saja sampai sang anak sudah tidak mau menyusu lagi dan air susu sudah mulai sedikit. Tetapi ada juga masyarakat yang memberikan makanan tambahan seperti papeda kasbi maupun susu formula sebelum anak usia 6 bulan. Hal ini dilakukan biasanya karena sang anak sering menangis dan sang ibu beranggapan bahwa sang anak sedang lapar.Seperti yang dituturkan informan ibu L, “Iya, hanya yang ini baru saya memberinya susu formula sekitar 2 bulan saya memberinya susu formula atau biasanya kita sebut dengan sebutan susu toko”

Upaya untuk meningkatkan produksi ASI bagi sang ibu biasanya dengan mengkonsumsi ramuan dari daun-daunan. Dari beberapa informan, ada seorang informan yang menyampaikan bahwa pada saat memiliki anak ke empat, air susunya tidak keluar. Ibu tersebut berupaya agar air susunya keluar dengan mengkonsumsi daun-daunan tertentu.

114

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

Gambar 3. 26. Seorang Ibu Sedang Memberikan ASI pada Anaknya Sumber : Dokumentasi Peneliti, 2014

Pada saat memberikan ASInya kepada sang bayi, umumnya masyarakat tidak memperhatikan kebersihan dirinya. Mereka tidak mencuci tangan terlebih dahulu serta tidak membersihkan puting susunya dengan air bersih sebelum mereka meneteki. Apabila sang bayi sudah ingin “menetek “ atau lapar maka sang ibu langsung menyusui bayi tersebut. 3.7.4. Mencuci Tangan dengan Air Bersih dan Sabun Kebiasaan mencuci tangan dengan air bersih menggunakan sabun sangat rendah. Pengamatan peneliti terlihat bahwa ketika masyarakat melakukan kegiatan cuci tangan setelah melakukan aktifitas, mereka menggunakan air seadanya. 115

Etnik Buru, Kabupaten Buru, Provinsi Maluku

Air bersih di desa tersebut ada, tetapi lokasinya cukup jauh dengan jalan yang curam menyebabkan masyarakat hanya mampu mengambil air untuk kebutuhan makan dan minum. Mereka harus menghemat air untuk keperluan tersebut. Apabila mereka berada di ketel untuk bekerja maka mereka akan memanfaatkan sumber air terdekat untuk kegiatan mencuci tangan tanpa menggunakan sabun. Umumnya air tersebut ditempatkan kedalam timba kecil dan digunakan untuk kegiatan mencuci tangan. Mereka tidak mengalirkan airnya tetapi langsung memasukkan tangannya ke dalam timba yang berisi air untuk mencuci tangan. Air tersebut digunakan beberapa kali sehingga airnya tidak bersih lagi dan terlihat keruh.

Gambar 3. 27. Seorang Anak Memanfaatkan Air Bersih untuk Membersihkan Kotoran Adiknya Setelah BAB Tanpa Menggunakan Sabun Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2014

116

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

Penggunaan sabun pada saat mencuci tangan tidak pernah ditemukan pada saat penelitian, bahkan untuk mencuci perlengkapan memasak di sungai mereka memanfaatkan pasir yang ada disekitar sungai untuk dijadikan alat membersihkan perlengkapan memasak tersebut. Namun apabila mereka sedang bekerja di ketel beberapa hari, mereka akan lebih dekat dengan air bersih, sumber air yang berasal dari gunung melalui pipa kecil berada di dekat ketel. Mereka bisa memanfaatkan air tersebut untuk keperluan selama di ketel. Untuk kegiatan BAB, terutama anak kecil biasanya mereka akan membersihkan kotorannya di sumber air terdekat saat berada di ketel. Hal ini terkait kebiasaan atau pola hidup bersih dan sehat masyarakat. 3.7.5. Memakai Jamban Sehat Salah satu faktor yang mempengaruhi kesehatan masyarakat terkait dengan perilaku kesehatan adalah kegiatan Buang Air Besar (BAB). Buang Air Besar seharusnya ditempat yang aman, tertutup dan tertampung untuk menghindari penyakit. Berdasarkan pengamatan peneliti tentang pemakaian jamban sehat, semua masyarakat Etnik Buru tidak memiliki jamban untuk aktifitas buang air besar. Mereka memanfaatkan sungai untuk BAB. Selain itu hutan atau tempat terbuka juga menjadi lokasi untuk BAB. Setelah dilakukan wawancara dengan salah satu informan menyebutkan bahwa kebiasaan yang sudah turun temurun melakukan itu membuat masyarakat tidak memiliki inisiatif untuk membuat jamban, selain itu kondisi ekonomi masyarakat yang kurang mampu hal ini berpengaruh terhadap biaya pembangunan jamban. Jika di ketel mereka akan buang air besar di sembarang tempat. Tetapi jika tinggal di kampung, mereka akan buang air besar di hutan atau di sungai. Seperti yang dituturkan ibu L, 117

Etnik Buru, Kabupaten Buru, Provinsi Maluku

“Di ketel kaya gini ya sembarangan tempat saja... di rumah sana tidak ada wc disana hanya di rumahnya ibu desa saja yang ada wc kalau yang lain lain semuanya tidak ada wc semuanya buang air di hutan dan di air (sungai)”

Gambar 3. 28. Anak Sedang BAB Di Tempat Terbuka Sumber : Dokumentasi Peneliti, 2014

Ketersediaan jamban sehat sangat bergantung pada keberadaan sumber air. Apabila sumber air bersih mudah di dapat dan ada disekitar masyarakat maka untuk merubah perilaku masyarakat untuk BAB di tempat yang aman, tertutup dan tertampung bisa dilakukan. Tetapi apabila sumber air masih jauh untuk dijangkau maka sangat kecil kemungkinan untuk merubah perilaku masyarakat untuk buang air besar di jamban. Peran tenaga kesehatan dalam memberikan informasi pentingnya penggunaan jamban masih kurang, penyuluhan 118

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

mengenai pola hidup bersih dan sehat sangat rendah. Kasus diare merupakan salah satu permasalahan kesehatan di Etnik Buru. Berdasarkan data dari Puskesmas Waelo menyebutkan bahwa ada 230 kasus di tahun 2013 untuk wilayah Puskesmas Waelo. 3.7.6. Melakukan Aktifitas Fisik Setiap Hari Aktifitas fisik seseorang mencerminkan upaya dari orang tersebut untuk menjaga kesehatannya. Disadari atau tidak, setiap orang telah melakukan aktifitas baik untuk bekerja, menyapu, memasak, bersepeda dll, setiap harinya. Dengan aktivitas fisik akanbermanfaat untuk mengatur berat badan dan menguatkan sistem jantung dan pembuluh darah serta membantu sistem metabolisme tubuh. Sehingga dengan aktivitas atau olahraga yang teratur dapat mencegah berbagai macam penyakit antara lain jantung koroner, stroke, diabetes mellitus dan sebagainya (Notoatmodjo, 2010). Sebagian besar masyarakat Etnik Buru melakukan aktifitas fisik setiap hari. Masyarakat Etnik Buru umumnya bekerja di ketel untuk membuat minyak kayu putih. Awalnya mereka mengumpulkan daun kayu putih di hutan dan ditempatkan di sebuah wadah besar terbuat dari kayu. Selanjutnya setelah daun kayu putih terkumpul dengan jumlah yang cukup untuk diolah,mereka akan memasukkan daun tersebut ke dalam semacam penggorengan yang sangat besar untuk dimasak sampai minyaknya keluar dan itu yang dimanfaatkan untuk dijual sebagai minyak kayu putih. Masyarakat yang mencari daun di hutan biasanya menempuh jarak yang cukup jauh dengan berjalan kaki. Mereka membawa tas atau keranjang yang bernama fodo yang ditempatkan di punggung dan dilingkarkan di kepala mereka sebagai tempat daun tersebut dan itu dilakukan hampir setiap 119

Etnik Buru, Kabupaten Buru, Provinsi Maluku

hari sampai pasokan daun sudah cukup untuk membuat beberapa botol minyak kayu putih.

Gambar 3. 29. Seorang Ibu Mengangkat Daun Kayu Putih Untuk Dimasak Sumber : Dokumentasi Peneliti, 2014

Selain itu aktifitas yang dilakukan adalah berkebun di ladang sendiri atau ladang orang lain atas permintaan si pemilik ladang. Mereka akan mencangkul tanah untuk ditanami umbiumbian seperti singkong maupun ketela. Mereka juga menanam pisang untuk dikonsumsi sendiri. Kegiatan berladang atau berkebun tidak sering dilakukan hanya sekedar apabila ada permintaan dari seorang pemilik ladang untuk dikerjakan. Apabila tidak ada permintaan untuk berladang mereka lebih banyak melakukan aktifitas di ketel untuk membuat minyak kayu putih. Kegiatan yang biasa dilakukan selain hal diatas biasanya mereka mengumpulkan batu dari sungai untuk di jual, namun 120

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

pekerjaan tersebut sangat jarang dilakukan. Hal ini akan dilakukan apabila ada permintaan untuk mengumpulkan batu sebagai bahan membangun sarana tertentu. Bagi kaum wanita dan remaja tidak jauh berbeda dalam aktifitas fisiknya. Selain memasak dan melakukan pekerjaan rumah, mereka juga membantu suaminya untuk bekerja di ketel. Mereka akan mencari daun kayu putih, memasukkan daun kayu putih menggunakan alat seperti cangkul, serta mencari kayu bakar di hutan untuk bahan bakar memasak dirumah.

Gambar 3. 30. Seorang Ibu Hamil Membawa Kayu Dari Gunung Sumber : Dokumentasi Peneliti, 2014

Peneliti juga pernah bertemu seorang wanita yang sedang hamil mencari kayu bakar dihutan untuk keperluan memasak di rumah. Hal ini menunjukkan bahwa aktifitas fisik masyarakat Etnik Buru sangat berat karena kondisi perekonomian yang kurang mampu dan kondisi geografis daerah yang berbukit-bukit. Melihat kondisi masyarakat seperti di atas maka aktifitas 121

Etnik Buru, Kabupaten Buru, Provinsi Maluku

tersebut dikategorikan menjadi aktifitas berat. Ukuran dari aktifitas berat yaitu apabila seorang individu melakukan kegiatan fisik secara terus menerus minimal 10 menit sampai meningkatnya denyut nadi dan nafas lebih cepat dari biasanya. 3.7.7. Konsumsi Buah dan Sayur Setiap Hari Keragaman makanan merupakan kunci dari pemenuhan gizi seseorang. Ditambah dengan asupan buah dan sayuran menjadikan kebutuhan nutrisi di dalam tubuh menjadi lengkap dan seimbang. Masyarakat Etnik Buru dalam pemenuhan buahbuahan dan sayuran terbilang cukup. Sebagian besar dari mereka memiliki halaman sendiri untuk ditanami buah-buahan serta sayuran. Namun demikian kebanyakan sayuran akan mereka dapatkan di hutan. Buah yang biasa dikonsumsi oleh masyarakat Buru adalah pisang dan pepaya. Kebiasaan makan buah-buahan tidak mereka konsumsi setiap hari. Hanya ketika ada buah yang masak barulah mereka mengkonsumsinya. Biasanya mereka mengkonsumsi buah setiap 3 hari sekali karena ketersediaan buah yang masak tidak setiap hari tersedia. Namun kebiasaan mencuci buah-buahan untuk kemudian dikonsumsi tidak ditemukan pada saat penelitian. Mereka biasanya langsung mengkonsumsi buah tersebut setelah diambil dari pohonnya tanpa dicuci terlebih dahulu. Berbeda halnya dengan sayuran, mereka biasanya akan mengkonsumsi sayuran setiap hari berupa daun pepaya, pakis serta daun singkong. Cara pengolahan pun cukup sederhana. Biasanya diolah dengan memasaknya menggunakan air yang ditambahi bumbu tertentu sehingga sayuran tersebut berkuah. Biasanya sayur yang telah mereka masak akan habis dalam waktu satu hari saja, mereka jarang menyimpan makanan sampai dua hari karena akan basi.

122

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

Gambar 3. 31. Sayur Pakis yang Biasa Dimakan Sehari-Hari Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2014

Sayuran merupakan makanan yang dimakan sehari-hari bersama dengan papeda kasbi atau beras jika ada. Alasan mereka mengkonsumsi buah-buahan serta sayuran adalah agar mereka bisa sehat seperti yang diungkapkan oleh seorang informan berikut, “Makan buah sama sayur biar badan sehat.” Kesadaran masyarakat untuk meningkatkan status kesehatannya melalui konsumsi buah dan sayur sudah ada meskipun frekuensi dan porsi yang dikonsumsi tidak setiap hari dan masih dalam jumlah yang sedikit. 3.7.8. Tidak Merokok dalam Rumah Merokok merupakan salah satu faktor risiko menyebabkan penyakit jantung. Orang yang terbiasa merokok 123

Etnik Buru, Kabupaten Buru, Provinsi Maluku

memiliki risiko lebih besar terkena penyakit jantung dari pada orang yang tidak merokok. Kebiasaan merokok masyarakat Etnik Buru sudah ada sejak dulu. Alasan mereka merokok karena sudah terbiasa sejak kecil. Mereka sudah terbiasa merokok mulai kecil karena melihat bapaknya merokok. Selain itu mereka juga beranggapan bahwa merokok adalah perilaku seorang laki-laki sejati. Seorang laki-laki yang tidak merokok dianggap kurang jantan. Rokok yang dimanfaatkan biasanya bermacam-macam. Bagi masyarakat yang memiliki rokok yang didapatkan dari unit biasanya rokok filter. Tetapi bagi orang tua yang telah lanjut usia biasanya mereka memanfaatkan daun jagung yang sudah kering untuk dibuat kulit rokok yang di isi dengan tembakau. Kebiasaan merokok ini sangat sulit dihilangkan. Mereka akan merokok setiap hari dengan jumlah rokok paling sedikit 8 batang rokok. Jumlah tersebut cukup besar dan berisiko menimbulkan penyakit. Ironisnya mereka tidak memahami bahaya merokok, mereka beranggapan bahwa merokok adalah aktifitas biasa. Tidak akan berdampak pada kesehatannya karena terbukti dari leluhur mereka yang juga perokok. Kebiasaan merokok ini juga dilakukan baik di dalam rumah maupun diluar rumah. Mereka tidak menghindar ketika ada anak kecil ataupun bayi yang ada disekitarnya. Pemahaman mengenai perokok pasif juga tidak mereka miliki. Anak kecil dan bayi tidak jarang terpapar oleh asap rokok yang dikeluarkan oleh bapaknya. Seperti yang dituturkan oleh ibu L berikut, “Iya merokok iya karna sudah biasa merokok dari belum nikah sampai menikah juga ya merokok...ya kalau mau merokok ya merokok saja seng hiraukan anak kecil”

124

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

Gambar 3. 32. Seorang Bapak Sedang Merokok Di Dekat Anaknya Yang Sedang Tidur Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2014

3.7.9. Penggunaan Air Bersih Air merupakan kebutuhan utama dalam kehidupan. Begitu

juga dalam kehidupan masyarakat pegunungan di Pulau Buru. Air berperan sangat vital dalam kehidupan warganya, tidak saja untuk kebutuhan sehari-hari, namun juga air menjadi pertanda asal dan lokasi sejarah permukiman warga masyarakat. Ketika masa berburu dan meramu serta ladang berpindah, tiap-tiap lokasi kebun, ketel dan rumah selalu berdekatan dengan sungai kecil. Dalam istilah sehari-hari di sebut alur. Pada tahap selanjutnya dalam proses penentuan lokasi menetap perkampungan, pertimbangan utama dalam penentuan lokasi untuk permukiman kampung itu harus berada didekat alur air. Keberadaan air sangat penting dalam keseharian penduduk pegunungan. Selain untuk kebutuhan mandi dan mencuci masyarakat juga mengambil air untuk minum dan makan. 125

Etnik Buru, Kabupaten Buru, Provinsi Maluku

Kebutuhan minum kebanyakan hanya minum air dingin, atau air mentah saja. Pada sore hari biasanya satu keluarga mengambil air sebanyak 15-20 liter untuk kebutuhan masak dan minum malam hingga pagi. Selain air mentah, warga menyebut air teh untuk menyebut air matang, atau air yang sudah dimasak. Teh dan kopi baru di kenal ketika warga sudah mulai tinggal mendekati pasar. Pengenalan warga pegunungan terhadap teh dan kopi terbilang masih baru. Teh dan kopi biasanya dihidangkan dalam perayaan atau saat ada acara berlangsung. Seperti yang dituturkan oleh ibu L berikut, “Iya sesekali seperti itu minum air mentah kalau air yang di masak buat anak anak kalua orang besar palingan mereka minum air mentah... tidak, kalau di rumah begini semuanya minum anak kecil besar kalau jalan siang siang hari kalau tidak bawa air masak ya minum air mentah”

Dalam proses pencarian air untuk kebutuhan sehari-hari, kebanyakan warga membawanya dengan menggunakan ember yang diletakkan di atas kepala. Pekerjaan mencari air untuk kebutuhan sehari-hari diakukan oleh anak-anak dan perempuan. Mencuci peralatan masak, mencuci baju sekaligus mengambil air untuk minum adalah potret keseharian warga di pegunungan. Di Dusun Mesayang, warga harus menuruni tebing untuk bisa mengambil air di alur sungai yang berada di bawah permukiman. Kondisi kebersihan sungai sangat dipengaruhi oleh air hujan dan beberapa hewan piaraan. Seringkali air berasa karena ada beberapa binatang peliharaan yang juga menggunakan air tersebut untuk minum atau mandi. Masalah yang sering timbul dari air yang dikonsumsi ini antara lain muntaber dan diare. Meminum air yang kadang tercampur dengan kotoran hewan dan kotoran manusia. Hal ini juga dipengaruhi oleh perilaku hidup yang memang tidak 126

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

memiliki wc khusus untuk buang air besar maupun kecil. Warga biasanya memanfaatkan rimbun ilalang yang ada disekitar rumah untuk buang air besar, sementara untuk buang air kecil biasanya hanya disekitar kanan kiri rumah. Perilaku ini dilakukan hampir oleh semua warga di pegunungan.

Gambar 3.33. Sungai Dimanfaatkan sebagai Tempat Mencuci Peralatan Memasak, Mencuci Baju dan Mandi Sumber : Dokumentasi Peneliti, 2014

Jauhnya lokasi air menjadikan warga jarang untuk mandi. Kebanyakan warga hanya mandi sore, itupun jika badan masih mau untuk diajak ke air karena telah lelah seharian kerja di kebun. Namun kadang bagi orang-orang tertentu terutama anak mudanya mandi sudah menjadi kebutuhan tersendiri. Bagi anakanak di Mesayang misalnya, dirinya tidak bisa masuk ke rumah kepala desa untuk melihat televisi pada malam hari jika kedapatan tidak mandi. Hal ini karena ada peraturan yang diterapkan oleh pemilik rumah yaitu tidak boleh duduk dan ikut menonton televisi bagi anak-anak yang tidak mandi. Peraturan ini

127

Etnik Buru, Kabupaten Buru, Provinsi Maluku

membuat terutama anak-anak kecil untuk mandi pada sore hari menjelang malam.

Gambar 3.34. Seorang Anak Kecil Membawa Air yang Diambil dari Tempat Penampungan Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2014

Gambar 3.35. Tempat Penampungan Air Bersih dari Gunung Melalui Pipa Kecil Sumber : Dokumentasi Peneliti, 2014

128

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

Penggunaan alas kaki pun sudah mulai dilakukan oleh beberapa anak-anak, walau memang belum seluruhnya memakai alas kaki. Mandi pagi bukan menjadi kebiasaan, karena anak-anak bangun pagi langsung bermain bersama teman-teman sepermainan. Sementara orang tua setiap pagi mengambil air mentah untuk minum kemudian mengambil rokok dan sirih pinang dan segera sarapan pagi. 3.7.10. Memberantas Jentik Nyamuk Malaria adalah masalah kesehatan yang menduduki peringkat ke 7 dari 10 penyakit terbanyak di Kabupaten Buru. Kesadaran untuk menguras dan menutup genangan air masih kurang diperhatikan. Kasus yang paling banyak terjadi disebabkan karena jentik nyamuk berada pada genangan tempat menyimpan air bersih di rumah penduduk. Namun ada sebagian masyarakat Etnik Buru yang sudah menyadari akan bahaya malaria. Mereka juga menutup tempat penyimpanan air bersihnya. Hal itu merupakan upaya agar mengurangi jentik nyamuk yang ada di rumahnya. Namun ada beberapa lokasi di hutan yang ada genangan airnya dan tidak bisa dihilangkan. Lokasi inilah yang menjadi sarang nyamuk yang membawa penyakit malaria yang menyerang masyarakat Desa Nafrua secara umum. Upaya untuk menghindari keluarganya dari gigitan nyamuk dengan memberikan kelambu di kamar tidurnya. Kelambu tersebut ditempatkan di kamar berbahan kain yang agak tebal agar nyamuk tidak bisa masuk. Demikian yang disampaikan oleh seorang informan, “Dikasih kelambu biar nyamuk tidak masuk.”

129

Etnik Buru, Kabupaten Buru, Provinsi Maluku

Gambar 3. 36. Kelambu di Kamar Seorang Informan Penelitian Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2014

3.8.

Penyakit Menular dan Penyakit Tidak Menular

Daftar sepuluh penyakit terbanyak Rawat Jalan di Kabupaten Buru Tahun 2012 disajikan pada tabel 3.1. Namun berbeda dengan data yang diperoleh dari Puskesmas Waelo, 10 penyakit terbanyak secara detail di tahun 2013 terpapar seperti pada Tabel 3.2.

130

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

Tabel 3. 1. Sepuluh Penyakit Terbanyak Rawat Jalan di Kabupaten Buru, 2012 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Nama Penyakit Infeksi akut lain pada saluran nafas bagian atas Penyakit pada sistem otot dan jaringan pengikat Infeksi penyakit usus yang lain Diare Penyakit Tekanan darah tinggi (hypertensi) Penyakit kulit infeksi Penyakit kulut alergi Malaria tanpa pemeriksaan laboratorium ASMA Kecelakaan pada ruda paksa

Penderita Jumlah % 11,270 38.92 2,854

9.86

23,854 2,202 1,706

82.37 7.60 5.89

1,042 993 798 610 432.00

3.60 3.43 2.76 2.11 1.49

Jumlah Kunjungan 28.959 Sumber : Profil Dinas Kesehatan Kabupaten Buru tahun 2012

Tabel 3. 2. Sepuluh Penyakit Terbanyak di Puskesmas Waelo, tahun 2013 No Nama Penyakit 1. Malaria Klinis 2. ISPA 3. RA 4. Gastritis 5. Diare 6. DKA 7. Malaria Positif 8. Hipertensi 9. Pulpa 10. Disentri Jumlah Kunjungan Sumber : laporan Tahunan Puskesmas Waelo 2013

Jumlah 1.425 1.016 318 265 230 178 149 133 88 80 3.882

131

Etnik Buru, Kabupaten Buru, Provinsi Maluku

Upaya Dinas Kesehatan Kabupaten Buru dalam menanggulangi penyakit menular dan penyakit tidak menular sebagai berikut: 3.8.1. Program Penanggulangan Penyakit Malaria Malaria merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang hingga saat ini belum dapat ditanggulangi. Penyakit malaria sangat mempengaruhi angka kesakitan dan kematian bayi, anak balita dan ibu melahirkan. Malaria juga dapat menurunkan produktivitas penduduk, karena penderita malaria tidak dapat beraktivitas dengan baik sehingga mengakibatkan pendapatannya menurun dan berdampak pada kemiskinan. Oleh karena itu malaria merupakan salah satu prioritas Dinas Kesehatan dalam upaya pengendalian penyakit menular.

Grafik 3. 1. Angka Kesakitan Malaria Kabupaten Buru 2012 Sumber : Profil Dinas Kesehatan Kabupaten Buru tahun 2012

132

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

Angka kesakitan malaria (Annualy Parasite Incidence) di Kabupaten Buru menunjukan penurunan dalam 3 tahun terakhir, yaitu 3,2 per 1000 penduduk pada tahun 2010, menjadi 2,1 per 1000 penduduk di tahun 2011, dan turun menjadi 1,7 per 1000 penduduk di tahun 2012. Data ini menunjukan bahwa Kabupaten Buru tergolong wilayah dengan endemisitas malaria sedang (API 1-5‰). Berdasarkan grafik diatas, sebagian besar Puskesmas tergolong dalam wilayah endemisitas malaria sedang, kecuali Puskesmas Namlea (API 0,1‰), Puskesmas Sawa (API 0,3‰), dan Puskesmas Waelo (API 0,9‰) tergolong wilayah dengan endemisitas malaria rendah. Kabupaten Buru merupakan wilayah kepulauan,sebagian besar wilayahnya terdiri dari pesisir pantai dan banyak terdapat rawa, sawah, pegunungan maupun perkebunan. Tempat ini merupakan media yang potensial bagi vektor penular malaria untuk hidup dan berkembang biak serta menularkan malaria kepada masyarakat disekitarnya. Upaya penemuan dan pengobatan penyakit malaria bagi masyarakat di wilayah ini belum maksimal, banyaknya wilayah terpencil dan transportasi serta komunikasi yang masih relatif sulit menyebabkan banyak penderita malaria tidak mendapatkan pelayanan maupun pengobatan secara maksimal. Untuk mengatasi masalah ini, Pemerintah Daerah telah berupaya menempatkan tenaga kesehatan dan melengkapi sarana prasarana kesehatan sampai ke desa terpencil agar seluruh masyarakat bisa mendapatkan pelayanan kesehatan secara maksimal.

133

Etnik Buru, Kabupaten Buru, Provinsi Maluku

3.8.2. Program Penanggulangan Penyakit TB Paru Penyakit TB merupakan masalah utama kesehatan masyarakat di Indonesia dan menduduki urutan ke-3 dunia setelah India & Cina. Tahun 1999 WHO memperkirakan setiap tahun terjadi 583.000 kasus baru TB dengan kematian sekitar 140.000 orang. Secara kasar diperkirakan setiap 100.000 penduduk Indonesia terdapat 130 penderita baru TB paru BTA (+). Gambaran situasi TB Paru di Kabupaten Buru dapat dilihat dalam Grafik 3.2. Berdasarkan gambar diatas, angka penemuan kasus baru TB Paru BTA (+) di Kabupaten Buru tertinggi di Puskesmas Namlea yaitu sebesar 60 %, di ikuti oleh Puskesmas Mako sebesar 59 %, Sedangkan Puskesmas yang lain masih jauh dibawah target nasional penemuan penderita BTA (+) yang ditetapkan oleh Kementerian Kesehatan RI, yaitu sebesar 70 %. Dengan demikian secara umum angka penemuan penderita baru TB Paru di Kabupaten Buru belum maksimal.

Grafik 3. 2. Angka Penemuan Kasus Baru TB Paru Kab. Buru 2012 Sumber : Profil Dinas Kesehatan Kabupaten Buru tahun 2012

134

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

3.8.3. Program Penanggulangan Penyakit Pneumoni Pneumonia adalah penyakit infeksi yang menyerang paruparu, ditandai dengan batuk disertai sulit bernapas dan napas cepat serta mungkin juga ditemukan adanya tarikan dinding dada kedalam. Di Kabupaten Buru diperkirakan ada sekitar 1.202 orang anak balita yang menderita pneumoni dan membutuhkan pengobatan dengan segera. Gambaran angka kesakitan pneumoni balita di Kabupaten Buru dapat dilihat pada Grafik 3.3.

Grafik 3.3. Angka Kesakitan Penyakit Pneumoni Balita Kab. Buru 2012 Sumber : Profil Dinas Kesehatan Kabupaten Buru 2012

Berdasarkan Grafik 3.3 target penemuan kasus pneumoni balita di Kabupaten Buru tahun 2012 sebanyak 1.202 anak, namun jumlah kasus yang berhasil ditemukan dan diobati sebanyak 66 kasus. Beberapa Puskesmas berhasil menemukan kasus pneumoni balita walaupun tidak mencapai target, yaitu Puskesmas Airbuaya (28 kasus), Puskesmas Namlea (23 kasus), Puskesmas Sawa (6 kasus), Puskesmas Wamlana (5 kasus), dan 135

Etnik Buru, Kabupaten Buru, Provinsi Maluku

Puskesmas Waelo serta Puskesmas Ilath masing-masing 2 kasus. Sedangkan Puskesmas Savanajaya, Puskesmas Mako, dan Puskesmas Kayeli tidak menemukan kasus pneumoni balita selama tahan 2012. 3.8.4.Program Penanggulangan Penyakit Kusta Indonesia sampai kini belum mencapai eliminasi kusta, karena masih ada beberapa provinsi dan kabupaten yang belum dapat mencapai eliminasi, dan Kabupaten Buru adalah salah satu di antaranya. Kompleksnya epidemiologi penyakit kusta dan kurangnya pemahaman masyarakat tentang penyakit ini menyebabkan banyak penderita yang terlambat mendapat pengobatan dan penularan yang terus berlanjut sehingga penderita baru banyak bermunculan. Angka kesakitan penyakit kusta (Prevalensi Rate) di Kabupaten Buru dalam tiga tahun terakhir menunjukkan penurunan yang signifikan. Tahun 2010 angka kesakitan kusta sebesar 10,2 per 10.000 penduduk turun menjadi 6,6 per 10.000 penduduk pada tahun 2011, dan tahun 2012 turun menjadi 4,4 per 10.000 penduduk. Puskesmas dengan kasus kusta tertinggi ada di Puskesmas Mako, Puskesmas Wamlana, Puskesmas Waelo, Puskesmas Airbuaya dan Puskesmas Namlea. Sedangkan Puskesmas Ilath, Kayeli dan Savanajaya tidak ada kasus kusta dalam 3 tahun terakhir. Jumlah kusta PB tahun 2010 sebanyk 28 orang, tahun 2011 sebanyak 8 orang, dan tahun 2012 sebanyak 5 orang. Sedangkan jumlah kusta MB tahun 2010 sebanyak 66 orang, tahun 2011 sebanyak 62 orang, dan tahun 2012 sebanyak 36 orang. Angka kesembuhan (RFT Rate) PB tahun 2010 sebesar 46%, tahun 2011 sebesar 32%, dan tahun 2012 sebesar 77%.

136

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

Sedangkan angka kesembuhan kusta MB tahun 2010 sebesar 67%, tahun 2011 88%, dan tahun 2012 sebesar 86%.

. Grafik 3.4. Angka Kesakitan Kusta di Kab. Buru 2012 Sumber : Profil Dinas Kesehatan Kabupaten Buru tahun 2012

3.8.5. Program Penanggulangan Penyakit Diare Diare merupakan salah satu penyebab angka kematian dan kesakitan tertinggi pada anak, terutama pada anak berumur 137

Etnik Buru, Kabupaten Buru, Provinsi Maluku

kurang dari 5 tahun (balita). Berdasarkan laporan WHO, kematian karena diare di negara berkembang diperkirakan sudah menurun dari 4,6 juta kematian pada tahun 1982 menjadi 2 juta kematian pada tahun 2003 (WHO, 2003). Di Indonesia, dilaporkan bahwa tiap anak mengalami diare sebanyak 1,3 episode per tahun (Depkes, 2003). Berdasarkan Survei Demografi Kesehatan Indonesia tahun 2002 – 2003, prevalensi diare pada anak-anak dengan usia kurang dari 5 tahun di Indonesia adalah: laki-laki 10,8 % dan perempuan 11,2 %. Berdasarkan umur, prevalensi tertinggi terjadi pada usia 6 – 11 bulan (19,4%), 12 – 23 bulan (14,8%), dan 24 – 35 bulan (12,0%) (Biro Pusat Statistik, 2003). Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar tahun 2007, diare merupakan penyebab kematian nomor 4 (13,2%) pada semua umur dalam kelompok penyakit menular. Proporsi diare sebagai penyebab kematian nomor 1 pada bayi postneonatal (31,4%) dan pada anak balita (25,2%). Kesakitan balita karena diare makin meningkat sehingga dikhawatirkan terjadi peningkatan kasus gizi buruk. Di Kabupaten Buru jumlah penderita diare berfluktuasi dalam 3 tahun terakhir. Pada tahun 2010 jumlah penderita diare sebanyak 1.933 kasus, 1.069 diantaranya adalah usia balita. Tahun 2011 jumlah penderita diare turun menjadi 1.888 kasus namun pada usia balita meningkat menjadi 1.206 kasus, sedangkan di tahun 2012 jumlah diare meningkat lagi menjadi 2.861 kasus dan 1.384 kasus diantaranya adalah balita. Gambaran penyebaran kasus diare berdasarkan wilayah di Kabupaten Buru dapat dilihat dalam Grafik 3.5.

138

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

Grafik 3. 5. Jumlah Penderita Diare di Kab. Buru 2012 Sumber : Profil Dinas Kesehatan Kabupaten Buru tahun 2012

3.8.6. Program Penanggulanaan HIV-AIDS Dewasa ini HIV/AIDS telah menjadi pandemi, menyerang jutaan penduduk didunia, baik pria, wanita bahkan anak-anak. WHO memperkirakan sekitar 15 juta orang diantaranya 14 juta remaja dan dewasa terinfeksi HIV, 1 juta bayi yang dilahirkan oleh ibu yang terinfeksi. Setiap hari sebanyak 5000 orang ketularan virus HIV. Berbicara tentang kasus HIV/AIDS, Indonesia tidak lagi sebagai negara dengan prevalensi rendah, tetapi sudah masuk ke epidemi terkonsentrasi dengan 5 % dari populasi tertentu yang mengidap HIV. Ini artinya Indonesia telah masuk dalam bahaya HIV/AIDS. Bahkan, UNAIDS pada Hari AIDS Sedunia 2003 menyoroti Indonesia sebagai salah satu dari empat negara di

139

Etnik Buru, Kabupaten Buru, Provinsi Maluku

dunia (Cina, India dan Rusia) yang menghadapi ledakan HIV/AIDS yang dahsyat. Meskipun upaya penanggulangan HIV-AIDS di Indonesia sudah dilakukan, namun data mengenai seberapa luas penyebarannya di masyarakat, siapa saja yang terlibat, faktorfaktor apa yang berpengaruh terhadap masalah tersebut, dan dampak yang ditimbulkan, belum tersedia baik di instansiinstansi resmi maupun yang bergerak di bidang penanggulangan narkoba. Penggunaan narkoba dengan jarum suntik yang tidak steril berdasarkan estimasi Kementerian Kesehatan mencapai 124.000-169.000 orang. Paling tidak 50% dari mereka telah terinfeksi HIV. Meningkatnya industri seks yang luas dengan minimnya penggunaan kondom oleh pelanggan, merupakan salah satu penyebab terjadinya ledakan epidemi AIDS di Indonesia.

Grafik 3. 6. Kasus HIV-AIDS di Kab. Buru 2012 Sumber : Profil Dinas Kesehatan Kabupaten Buru Tahun 2012

140

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

Kabupaten Buru secara geografis merupakan daerah strategis dansering digunakan sebagai tempat persinggahan kapal yang berasal dari dalam provinsi Maluku maupun antar provinsi. Akhir-akhir ini mobilitas penduduk di Kabupaten Buru cukup tinggi karena adanya tambang emas di beberapa lokasi.Kondisi ini dikhawatirkan akan menjadi faktor potensial dalam penularan penyakit-penyakit menular termasuk HIV-AIDS. Dilaporkan kasus HIV/AIDS yang ditemukan di RSU Namlea tahun 2006-2007 sebanyak 5 kasus, 2 kasus diantaranya ditemukan dari hasil skrining (mobile VCT) pada kelompok risiko tinggi. Pada bulan Oktober 2012 dilakukan skrining di beberapa penginapan dan karaoke oleh Tim Mobile VCT RSU Alfatah dan Puskesmas Rijal Ambon yang difasilitasi oleh Dinas Kesehatan Provinsi Maluku, ditemukan 4 orang pengidap HIV dari 83 orang yang diperiksa. Selama tahun 2012 telah ditemukan 8 orang penginap HIV-AIDS baik dari kegiatan mobile VCT maupun dari skrining pendonor di RSU Namlea. Berdasarkan data dari Komisi Penanggulangan AIDS Daerah (KPAD) Provinsi Maluku, tercatat 16 orang pengidap HIV-AIDS yang berasal dari Kabupaten Buru selama tahun 2006-2011. Walaupun belum diketahui jumlah pasti kasus HIV/AIDS di Kabupaten Buru, namum masalah HIV/AIDS perlu menjadi program prioritas dalam upaya pencegahan dan penanggulangan penyakit menular. Penderita HIV positif yang ditemukan adalah kasus yang terdeteksi di masyarakat, dan kemungkinan masih ada kasus lain yang tidak terdeteksi (Profil Dinkes Kab. Buru, 2012). 3.9. Kepercayaan Terhadap Pelayanan Kesehatan Kepercayaan masyarakat Buru secara khusus yang berada di pegunungan terhadap pelayanan kesehatan masih cukup 141

Etnik Buru, Kabupaten Buru, Provinsi Maluku

minim. Kondisi ini tercipta karena minimnya intervensi dari pelayanan kesehatan menjangkau daerah tersebut. Pemberi layanan di tingkat Puskesmas hanya hadir ketika ada kasus luar biasa (KLB) yang terjadi di kampung. Puskesmas keliling yang seharusnya rutin diselenggarakan Puskesmas untuk menyasar daerah-daerah yang susah terjangkau tidak dapat terlaksana dengan baik. Hal ini karena cakupan kerja yang cukup luas, harus menjangkau 14 desa di wilayah dengan kontur geografis yang cukup sulit, bergunung dan susah akses tranportasi. Kondisi kepercayaan kepada pelayan kesehatan bisa dilacak dari daftar kunjungan Puskesmas. Dalam satu hari maksimal dari 14 desa wilayah kerjanya, puskemas hanya didatangi 10-15 orang yang memeriksakan dirinya. Dari 15 orang yang periksa setiap harinya, hampir 70 persen pasien tersebut berasal dari etnik jawa yang menjadi transmigran di wilayah kerja Puskesmas Waelo. Kunjungan paling banyak terjadi ketika musim-musim penyakit yang biasanya jatuh pada musim penghujan dan pergantian antara musim panas dan penghujan. Pada waktu wabah penyakit tersebut dalam satu hari biasanya Puskesmas melayani 20-30 orang pasien yang berobat ke Puskesmas. Bagi warga Buru yang tinggal di wilayah kerja Puskesmas Waelo, bisanya warga akan datang berombongan, 5-8 orang bersama-sama untuk memeriksakan penyakitnya. Jarak yang cukup jauh antara kampung tempat tinggal mereka dengan Puskesmas menjadikan warga sering berombongan untuk memeriksakan diri ke Puskesmas dengan menyewa mobil. Cara ini adalah untuk meringankan ongkos transportasi yang harus warga tanggung untuk menuju ke pusat layanan. Misalnya saja dari Desa Nafrua ke Puskesmas Waelo, untuk ongkos ojek warga harus mengelurkan uang 200 ribu rupiah pulang pergi. Selain itu biasanya warga akan mendatangi pusat layanan jika sudah terjadi wabah penyakit yang menyerang anak-anak. 142

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

Kepercayaan terhadap pelayanan kesehatan juga dipicu oleh kepercayaan masyarakat Buru sendiri terhadap kesehatan modern. Orang Buru lebih percaya kepada kebiasaan dan pengobatan yang sudah dilakukan secara turun temurun diwarikan teteh nenek moyang mereka. Kehadiran bidan-bidan di kampung yang mayoritas ditinggali oleh masyarakat Buru kebanyakan mengalami banyak penolakan ketika akan membantu persalinan. Berbagai cerita mengenai penolakan warga terhadap kehadiran bidan saat proses kelahiran diungkapkan oleh beberapa bidan yang bertugas di Puskesmas Waelo. Bahkan pernah satu orang bidan ditampias tangannya oleh salah satu keluarga ketika akan membantu ibu-ibu yang akan melahirkan. Kehadiran bidan dianggap sebagai orang luar yang akan menggangu proses kelahiran bayi, bayi akan susah lahir dan akan mudah terkena penyakit. Kehadiran bidan pada waktu proses kelahiran juga akan membuat ibu hamil akan diganggu oleh roh-roh jahat dan memunculkan pamali naik sehingga ibu akan mengalami kesusahan saat proses melahirkan. Bahkan kepercayaan ini masih juga dipegang oleh masyarakat Buru yang tinggal di dataran rendah, dekat dengan orang-orang pendatang yang tinggal di lokasi transmigrasi. Berbagai upaya dilakukan bidan untuk bisa membantu setiap persalinan. Hal ini untuk menjaga agar bidan tidak hanya dipanggil ketika posisi bayi dan ibu hamil sudah kritis. Mulai dari menggratiskan semua keperluan pengobatan ibu hamil, visitasi ke rumah ibu hamil, dan meyakinkan suami saat persalinan bidan bisa menolong proses pesalinan. Namun upaya tersebut pun kadang gagal dilakukan. Bahkan selanjutnya bidan yang menjadi penanggungjawab satu kampung meminta suami untuk membuat surat pernyataan bermaterai jika pihak keluarga menolak bidan membantu proses kelahiran anak yang dikandung istrinya.

143

Etnik Buru, Kabupaten Buru, Provinsi Maluku

3.9.1 Sarana dan Tenaga Kesehatan 3.9.1.1. Sarana pelayanan Modern Tahun 2013 ini kabupaten Buru mengalami pemekaran daerah, dari 5 kecamatan menjadi 9 kecamatan pada tahun ini. Begitu pula terjadi perubahan wilayah kerja dalam Puskesmasnya. Untuk kecamatan Namlea hanya terdapat Puskesmas Namlea kemudian untuk kecamatan baru yaitu kecamatan Lilialy terdapat wilayah kerja Puskesmas Sawa. Kecamatan Waeapo mengalami pengurangan wilayah kerja Puskesmas, dari 4 Puskesmas menjadi 2 Puskesmas saja yaitu Puskesmas Mako dan Puskesmas Savana Jaya. Kecamatan pemekaran baru pada tahun ini yaitu Kecamatan Waelata terdapat 1 Puskesmas saja yaitu Puskesmas Waelo. Kecamatan baru lainnya yaitu Kecamatan Teluk Kaiely terdapat 1 Puskesmas yaitu Puskesmas Kayeli. Kemudian Puskesmas Waplau tetap berada di Kecamatan Waplau. Untuk Kecamatan Airbuaya kini hanya terdapat 1 Puskesmas saja yaitu Puskesmas Airbuaya sedangkan Puskesmas Wamlana yang dulunya ikut Kecamatan Airbuaya, kini sudah masuk kecamatan baru yaitu Kecamatan Fena Leisela. Yang terakhir yaitu Kecamatan Batabual, tetap 1 Puskesmas saja yaitu Puskesmas Ilath. Walaupun pada tahun ini terdapat pemekaran pada kecamatannya, namun tidak berdampak pada jumlah tenaga kerja kesehatan pada lingkup pemerintahan Kabupaten Buru. Bahkan mengalami pengurangan jumlah tenaga kerja pada tahun ini yang sebelumnya pada tahun 2012 jumlah tenaga kerja kesehatan di lingkup pemerintahan Kabupaten Buru sebanyak 480 orang sekarang mengalami penurunan menjadi 478 orang.

144

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

Tabel 3. 3.Daftar Sarana dan Prasarana di Kabupaten Buru, 2012 Kecamatan

Desa

Jumlah Puskesmas

Jumlah Jumlah Pustu Polindes

Jumlah Poskesdes

Air Buaya

Air Buaya

1

4

4

7

Fena Leisela

Wamlana

1

6

4

3

Waeapo

Mako

1

5

2

2

Savana Jaya

1

2

4

1

Teluk Kaiely

Kayeli

1

5

0

1

Waplau

Waplau

1

7

4

0

Namlea

Namlea

1

0

5

1

Lilialy

Sawa

1

2

2

0

Waelata

Waelo

1

8

2

5

Batabual

Ilath

1

4

2

2

43

29

22

Jumlah 10 Sumber : Profil Dinas Kesehatan Buru, 2012

Meskipun sarana pelayanan kesehatan dasar milik pemerintah, seperti Puskesmas, telah terdapat di semua kecamatan dan bahkan sudah ditunjang dengan beberapa Puskesmas pembantu, namun upaya menjaga kesehatan belum dapat dijangkau oleh seluruh masyarakat. Puskesmas Waelo terletak di ibukota kecamatan Waelata yaitu Desa Waelo. Desa ini berjarak kurang lebih 80 km dari Desa Nafrua. Wilayah kerja Puskesmas ini adalah 14 desa, dengan luas wilayah tahun 2013 kurang lebih 840 km2. Puskesmas ini melayani penduduk sebanyak 16.546 jiwa terdiri atas penduduk laki-laki 8.730 jiwa dan 7.816 jiwa penduduk perempuan, dengan rata-rata per rumah tangga minimal berjumlah 5 orang. Wilayah kerja Puskesmas dapat dilalui dengan kendaraan roda empat dan roda dua, tetapi masih ada beberapa desa yang hanya dapat dijangkau dengan berjalan kaki (Profil Puskesmas Waelo, 2013). Wilayah kerja Puskesmas Waelo pada saat ini di sebelah Utara berbatasan dengan wilayah kerja Puskesmas Mako, 145

Etnik Buru, Kabupaten Buru, Provinsi Maluku

disebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Buru Selatan, di sebelah Timur dengan Kecamatan Batabual dan di sebelah Barat dengan Kecamatan Buru Utara Barat. Visi Puskesmas Waelo adalah visi pembangunan kesehatan yang diselenggarakan oleh Puskesmas adalah tercapainya kecamatan sehat menuju Indonesia sehat. Misi Puskesmas adalah sebagai berikut : 1) Menggerakkan pembangunan berwawasan kesehatan di wilayah kerjanya 2) Mendorong kemandirian hidup sehat bagi keluarga dan masyarakat di wilayah kerjanya 3) Memelihara dan meningkatkan mutu, pemerataan dan keterjangkauan pelayanan kesehatan yang diselenggarakan 4) Memelihara dan meningkatkan kesehatan perorangan, keluarga, dan masyarakat beserta lingkungannya. Puskesmas Waelo mempunyai 63 tenaga kesehatan terdiri dari 1 orang dokter umum PTT, 1 orang Dokter Gigi PTT, 3 Orang sarjana keperawatan, 1 Orang Sarjana Kesehatan Masyarakat, 1 orang Sarjana Farmasi, 21 Orang D3 Keperawatan, 22 Orang D3 Kebidanan, 1 orang D3 Kesehatan lingkungan, 3 orang D3 gizi, 1 orang D1 kebidanan, 7 orang SPK, dan 1 orang SMA. Puskesmas ini memiliki tenaga yang terbatas, baik jumlah dan jenisnya. Puskesmas ini memiliki wilayah kerja yang sangat banyak yaitu 14 desa, oleh sebab itu, penyebaran tenaga kesehatan belum merata. 1. Pelayanan Antenatal (KI) dan (K4) Pelayanan Antenatal adalah pelayanan kesehatan yang diberikan oleh tenaga kesehatan untuk ibu selama masa kehamilannya yang, dilaksanakan sesuai dengan standar pelayanan antenatal yang ditetapkan dalam Standar Pelayanan 146

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

Kebidanan (SPK). Tujuan Pelayanan Antenatal adalah untuk memenuhi hak setiap ibu hamil memperoleh pelayanan yang berkualitas sehingga mampu menjalani kehamilan dengan sehat, bersalin dengan selamat, dan melahirkan bayi dengan sehat. Maka pelayanan antenatal sesuai standar meliputi sepuluh hal yang dikenal dengan 10T yaitu : 1) Timbang Berat badan dan Ukur Tinggi Badan 2) Ukur Tekanan darah 3) Nilai Status Gizi ( ukur lingkar lengan atas) 4) Ukur Tinggi Fundus Uteri 5) Tentukan presentasi janin dan denyut jantung janin (DJJ) 6) Skrining status Imunisasi Tetanus dan berikan Imunisasi Tetanus Toksoid (TT) bila diperlukan. 7) Pemberian Tablet Zat Besi minimal 90 tablet selama kehamilan. 8) Test laboratorium (rutin da khusus) 9) Tata Laksana Kasus 10) Temu wicara (konseling) termasuk Perencanaan Persalinan dan Pencegahan Komplikasi (P4K) serta KB pasca persalinan K1 adalah kunjungan pertama kali ibu hamil ke fasilitas pelayanan kesehatan untuk mendapatkan pelayanan antenatal yang dilakukan pada trimester pertama kehamilan. Sedangkan K4 adalah kunjungan ibu hamil untuk mendapatkan pelayanan antenatal minimal 4 kali, yaitu I kali pada triwulan pertama kehamilan, 1 kali pada triwulan kedua dan dua kali pada triwulan ketiga.

147

Etnik Buru, Kabupaten Buru, Provinsi Maluku

CAKUPAN PELAYANAN IBU HAMIL K1 DAN K4 DI KABUPATEN BURU TAHUN 2012 140.00 120.00 100.00 80.00 60.00 40.00 20.00 0.00

Na Sav Wa AirB Kab Saw Wa Mak Wa Kay Ilat mle ana mla uay upa a plau o elo eli h a Jaya na a ten

K1 110 91. 67. 106 89. 66. 108 126 76. 100 93. K4 99. 86. 65. 100 74. 51. 84. 92. 64. 93. 79.

Grafik 3. 7. Cakupan Pelayanan Ibu Hamil K1 dan K4 di Kabupaten Buru Sumber : Profil Dinas Kesehatan Kabupaten Buru 2012

Dari grafik yang ada terlihat bahwa cakupan pemeriksaan ibu hamil (K1) di Kabupaten Buru pada tahun 2012 mengalami penurunan. Pada tahun 2011 cakupan K1 adalah 99,3%, maka pada tahun 2012 cakupan K1 menurun menjadi 92,6%. Jika dibandingkan dengan target nasional, maka cakupan K1 pada tahun 2011 telah mencapai target, yaitu sebesar 96%. Sedangkan pada tahun 2012, cakupan KI belum mencapai target nasional yaitu 97%. Untuk cakupan kunjungan K4 ibu hamil mengalami penurunan pada tahun 2012. Cakupan K4 pada tahun 2011 adalah 83,2% yang menurun menjadi 79,3% pada tahun 2012. Jika dibandingkan dengan target nasional maka cakupan K4 belum mencapai target pada tahun 2011 dan 2012. Apabila dibandingkan pencapaian K1 dan K4 pada tahun 2011 terlihat kesenjangan sebesar 16,1% dan tahun 2012 kesenjangan K1 dan K4 sebesar 13,3% artinya masih terdapat 2,8% ibu hamil yang 148

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

tidak datang melakukan kunjungan K4 pada triwulan ke 3 sehingga kehamilannya tidak dapat dipantau oleh petugas kesehatan yang memiliki kompetensi kebidanan. Walaupun telah terlihat bahwa pencapaian kunjungan K1 dan K4 pada tahun 2012 belum mencapai target namun ada Puskesmas yang sudah mencapai target KI pada tahun 2011 yaitu Puskesmas Namlea sebesar 112% dan K4 94,6% namun demikian pencapaian K1 dari masing-masing Puskesmas mengalami peningkatan rata-rata diatas 90%. Untuk tahun 2012 Puskesmas Namlea masih memperoleh cakupan kunjungan K1 sebesar 110% dan K4 sebesar 99%, untuk pencapaian kunjungan KI dan K4 terendah pada tahun 2012 adalah Puskesmas Waelo. 2. Persalinan Nakes dan Kunjungan Nifas Pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan adalah pelayanan persalinan yang aman yang dilakukan oleh tenaga kesehatan yang kompeten. Tenaga kesehatan yang kompeten adalah dokter kebidanan, dokter umum dan bidan. Pada kenyataan di lapangan, masih terdapat penolong persalinan yang bukan tenaga kesehatan dan dilakukan di luar fasilitas pelayanan kesehatan. Pelayanan persalinan yang dilakukan oleh tenaga kesehatan di Kabupaten Buru pun masih dilakukan di luar fasilitas kesehatan oleh karena itu secara bertahap seluruh persalinan akan ditolong oleh tenaga kesehatan kompeten dan diarahkan ke fasilitas pelayanan kesehatan. Pelayanan nifas adalah pelayanan kesehatan sesuai standar pada ibu mulai 6 jam sampai 42 hari pasca persalinan oleh tenaga kesehatan.Untuk deteksi dini komplikasi pada ibu nifas diperlukan pemantauan pemeriksaan terhadap ibu nifas dengan melakukan kunjungan nifas minimal sebanyak 3 kali dengan distribusi waktu : kunjungan nifas pertama (KF1) pada 6 jam setelah persalinan sampai 7 hari, kunjungan kedua (KF2) 149

Etnik Buru, Kabupaten Buru, Provinsi Maluku

dilakukan pada minggu kedua setelah persalinan dan kunjungan nifas ketiga (KF3) dilakukan minggu keenam setelah persalinan.

CAKUPAN PELAYANAN IBU BERSALIN OLEH TENAGA KESEHATAN DAN IBU NIFAS DI KABUPATEN BURU TAHUN 2012

120.00 100.00 80.00 60.00 40.00 20.00 0.00

Sav Wa Ka Na Wa an Air Sa Ma Wa Ka ml Ilat bu ml pla a Bu wa ko elo yeli an h pat ea u Jay aya a en a

LINAKES 10 76 77 87 74 44 75 77 66 11 78 BUFAS

10 89 82 90 76 51 75 81 67 11 81

Grafik 3. 8. Cakupan Pelayanan Ibu Bersalin Oleh Tenaga Kesehatan dan Ibu Nifas di Kabupaten Buru tahun 2012 Sumber : Profil Dinas Kesehatan Kabupaten Buru 2012

Cakupan persalinan oleh tenaga kesehatan di Kabupaten Buru mengalami peningkatan pada tahun 2011 sebesar 66,8% dan tahun 2012 78%. Jika dibandingkan dengan target nasional maka cakupan persalinan oleh tenaga kesehatan di Kabupaten Buru belum mencapai target nasional yaitu 86% untuk tahun 2011 dan 88% untuk tahun 2012. Walaupun belum mencapai target, namun telah terjadi peningkatan cakupan persalinan oleh tenaga kesehatan (PN) di Kabupaten Buru secara perlahan-lahan. Dari data yang ada terlihat bahwa pada cakupan kunjungan nifas melebihi cakupan persalinan nakes, hal ini disebabkan karena persalinan yang ditolong oleh bukan tenaga kesehatan, dilakukan 150

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

kunjungan nifas pula oleh tenaga kesehatan. Untuk tahun 2012 cakupan persalinan sebesar 78% sedangkan cakupan kunjungan nifas 74,9%, ini menunjukan bahwa masih ada persalinan yang tidak dikunjungi oleh tenaga kesehatan sebesar 3,1%. Pada tahun 2011 cakupan persalinan oleh tenaga kesehatan yang telah mencapai target adalah Puskesmas Waplau yaitu 87,7%, sedangkan tahun 2012 ada beberapa Puskesmas yang telah mencapai target bahkan melebihi target antara lain Puskesmas Ilath, Namlea, Savanajaya, sedangkan pencapaian terendah adalah Puskesmas Waelo. Puskesmas adalah suatu organisasi kesehatan fungsional yang merupakan pusat pengembangan kesehatan masyarakat yang juga membina peran serta masyarakat di samping memberikan pelayanan secara menyeluruh dan terpadu kepada masyarakat di wilayah kerjanya dalam bentuk kegiatan pokok. Menurut Depkes RI (2004) Puskesmas merupakan unit pelaksana teknis dinas kesehatan kabupaten/kota yang bertanggung jawab menyelenggarakan pembangunan kesehatan di wilayah kerja. Puskesmas Waelo memiliki jangkauan wilayah kerja yang cukup luas. Ada 14 Desa di wilayah kecamatan Lolong Guba dan Waelata. Puskesmas Waelo ini merupakan pemekaran dari Puskesmas Mako semenjak 4 tahun lalu. Jangkauan yang cukup luas ini menyulitkan bagi managemen Puskesmas Waelo untuk dapat memberikan pelayanan kepada semua desa yang ada di wilayah kerjanya. Faktor geografis dan kondisi jalan, ketersediaan tenaga kesehatan yang hampir 80 persen perempuan menghambat keterjangkauan kerja. Dari 14 desa yang menjadi wilayah kerja Puskesmas Waelo hanya Desa Nafrua saja yang jarang dikunjungi oleh Puskesmas Keliling. Menurut salah satu informan ibu H mengatakan:

151

Etnik Buru, Kabupaten Buru, Provinsi Maluku

“Tidak karena tidak pernah periksa di bidan baru kita tinggal di Mesayang lama jadi terlalu jauh untuk pergi periksa di bidan” 3. Kunjungan Neonatal Pertama (KN1) Dan Kunjungan Neonatal Lengkap (KNL) Kunjungan neonatal bertujuan untuk meningkatkan akses neonatal terhadap pelayanan kesehatan dasar, mengetahui sedini mungkin bila terdapat kelainan/masalah kesehatan pada neonatal. Risiko terbesar kematian neonatal terjadi pada masa 24 jam pertama kehidupan, minggu pertama dan bulan pertama kehidupannya. Sehingga jika bayi lahir di fasilitas sangat dianjurkan untuk tetap tinggal di fasilitas kesehatan selama 24 jam pertama. Pelayanan kesehatan neonatal adalah pelayanan kesehatan sesuai standar yang diberikan oleh tenaga kesehatan yang kompeten kepada neonatal sedikitnya 3 kali, selama periode 0 sampai dengan28 hari setelah lahir, baik di fasilitas kesehatan maupun melalui kunjungan rumah. Pelaksanaan pelayanan kesehatan neonatal antara lain : 1) Kunjungan Neonatal ke-1 (KN 1) dilakukan pada kurun waktu 6-48 jam setelah lahir 2) Kunjungan Neonatal ke-2 (KN 2) dilakukan pada kurun waktu hari ke 3 sampai dengan hari ke 7 setelah lahir 3) Kunjungan Neonatal ke-3 (KN 3) dilakukan pada kurun waktu hari ke 8 sampai dengan hari ke 28 setelah lahir. Pada Grafik 3.9 terlihat bahwa cakupan Kunjungan Neonatal pertama (6 jam-48 jam) setelah lahir di Kabupaten Buru cenderung mengalami peningkatan. Jika pada tahun 2011 cakupan KNI di Kabupaten Buru adalah 80,8% maka pada tahun 2012 meningkat menjadi 85,1%. Untuk cakupan kunjungan neonatal pertama (KNI) Kabupaten Buru pada tahun 2011 dan 2012 belum mencapai target yaitu 86% untuk tahun 2011 dan 152

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

88% untuk tahun 2012. Walaupun belum mencapai target, namun terlihat bahwa telah terjadi peningkatan cakupan KNI di Kabupaten Buru. Pada cakupan Kunjungan Neonatal Lengkap (KNL) terlihat bahwa pada tahun 2011 dan 2012 masih terdapat bayi yang belum dikunjungi yakni pada kurun waktu hari ke 8sampai dengan hari ke 28 setelah lahir sebanyak 14,1%. Dilihat dari cakupan per Puskesmas pada cakupan kunjungan yang ada maka ada beberapa Puskesmas yang mengalami peningkatan dan adapula Puskesmas yang belum mengalami peningkatan. 140 120 100 80 60 40 20 0

KN 1 2011 KNL 2011 KN 1 2012 KNL 2012

Naml Sawa Wapl Sava ea au najay a 91,9 89,4 133, 90,1 88,9 87,1 94,2 87,9 106, 92,0 86,4 92,4 97,9 82,9 97,1 87,9

Mak o 74,9 71,6 78,6 74,7

Wael Kayel Wam Air o i lana Buay a 65,0 62,1 42,2 64,5 62,1 42,2 54,2 76,6 85,3 69,5 52,7 73,8 74,9 69,5

Ilath

Kab

69,9 69,9 119, 77,6

80,8 75,5 85,1 76,3

Grafik 3. 9. Cakupan Kunjungan Neonatal Pertama (KN1) dan Kunjungan Neonatal Lengkap(KNL)Per Puskesmas Kabupaten Buru Tahun 2011 – 2012 Sumber : Profil Dinas Kesehatan Kabupaten Buru 2012

4. Pelayanan KB Baru Peserta KB Baru adalah PUS yang baru pertama kali menggunakan metode kontrasepsi termasuk mereka yang pasca keguguran, sesudah melahirkan, atau yang pernah di drop out (DO).

153

Etnik Buru, Kabupaten Buru, Provinsi Maluku

Pelayanan KB bertujuan untuk menunda (merencanakan) kehamilan. Bagi pasangan usia subur yang ingin menjarangkan dan/atau menghentikan kehamilan, dapat menggunakan metode kontrasepsi meliputi : 1) KB ilmiah (system kalender, metode laktasi, coitus interuptus) 2) Metode KB hormonal (pil, suntik, susuk) 3) Metode KB non-hormonal (kondom, AKDR/IUD, vasektomi dan tubektomi)

90 80 70 60 50 40 30 20 10 0

KB Bau 2011 KB Aktif 2011 KB Baru 2012 KB Aktif 2012

Naml ea 2,6 58,39 24,29 72,15

Sawa Wapl au 6,17 0,36 73,82 59,85 14,27 6,71 53,18 57,49

Sava Mak najay o a 5,79 2,89 56,56 73,08 22,41 8,81 80,43 66,92

Wael Kayel Wam Air Ilath o i lana Buay a 0,89 0,92 1,43 5,55 66,21 46,55 49,94 51,88 5,22 15,03 5,21 3,67 7,12 55,55 43,56 18,01 13,5 27,34

Kab 2,52 60,23 11,71 53

Grafik 3. 10. Cakupan Peserta KB Baru Per Puskesmas Kabupaten Buru Tahun 2011 -2012 Sumber : Profil Dinas Kesehatan Kabupaten Buru 2012

Untuk mempertahankan dan meningkatkan cakupan peserta KB perlu diupayakan pengelolaan program yang berhubungan dengan peningkatan aspek kualitas, teknis dan aspek manajerial pelayanan KB. Dari aspek kualitas perlu diterapkan pelayanan yang sesuai standar dan variasi pilihan metode KB, sedangkan dari segi teknis perlu dilakukan pelatihan klinis dan non-klinis secara berkesinambungan. Selanjutnya aspek manajerial, pengelolaan program KB perlu melakukan revitasilasi 154

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

dalam segi analisis situasi program KB dan sistem pencatatan dan pelaporan pelayanan KB. Tenaga kesehatan yang dapat memberikan pelayanan KB kepada masyarakat adalah: dokter spesialis kebidanan, dokter, bidan dan perawat. 5. Bayi Lahir ditimbang dan Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) Bayi yang telah dilahirkan sebaiknya harus selalu dilakukan penimbangan agar supaya dapat mengetahui berat badan bayi yang dilahirkan. Apabila berat badan bayi kurang dari 2.500 gram pertama setelah lahir ditimbang pada saat lahir sampai dengan 24 jam maka bayi tersebut dikatakan bayi berat lahir rendah. Bayi berat badan lahir rendah (kurang dari 2.500 gram) merupakansalah satu faktor utama yang berpengaruh terhadapkematian perinatal dan neonatal. Angka BBLR secaranasioanal belum tersedia, walaupun demikian proporsi BBLR dapat diketahui berdasarkan hasil estimasi dari Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI). 140 120 100 80 60 40 20 0 Nam Saw Wap Sava lea a lau naja ya Lahir ditimbang 2011 91,9 89,4 133, 90,1 BBLR 2011 0,16 0 0,39 0 Lahir ditimbang 2012 106, 92,0 86,4 92,4 BBLR 2012 1,48 1,22 0,44 3,25

Mak Wae Kaye Wa o lo li mla na 74,9 65,0 62,1 0,37 0 0,56 78,6 54,2 76,6 85,3 0,38 0 1,21 0

Air Bua ya 42,2 2,19 69,5 0

Ilath

Kab

69,9 0 119, 1,65

80,8 0,28 85,1 0,94

Grafik 3. 11. Cakupan Bayi Lahir Ditimbang & BBLR Per Puskesmas Kabupaten Buru Tahun 2011 - 2012 Sumber : Profil Dinas Kesehatan Kabupaten Buru 2012

155

Etnik Buru, Kabupaten Buru, Provinsi Maluku

Dari data yang ada terlihat bahwa dari bayi yang lahir tahun 2011 terdapat 80,8% bayi yang ditimbang dan terdapat 0,28% bayi dengan BBLR, dan pada tahun 2012 dari bayi yang ditimbang terdapat 85,1% sedangkan bayi dengan BBLR sebesar 0,94%. Terjadi peningkatan bayi dengan BBLR di Kabupaten Buru sebesar 0,66%, dari 0,28% pada tahun 2011 menjadi 0,94% pada tahun 2012. 3.9.1.2.Pelayanan Tradisional Sekalipun pelayanan kesehatan modern telah berkembang di Indonesia, namun jumlah masyarakat yang memanfaatkan pengobatan tradisional tetap tinggi. Demikian halnya masyarakat Desa Nafrua yang lebih menggunakan pelayanan tradisional. Hal ini disebabkan karena di Desa Nafrua tidak ada fasilitas kesehatan sama sekali dan jarak menuju fasilitas kesehatan sangat jauh dengan kondisi jalanan di pegunungan yang belum beraspal. Menurut informan kami bapak L mengatakan bahwa: “Kalau untuk kondisi di sini pak, ya kita bisa cerita pak juga boleh tahu sendiri karena bapak sudah terjun ke medan, dan langsung terjun ke Desa Nafrua itu jarak jauh dari, orang bilang daerah yang layak dengan pendidikan, layak dengan kesehatan ya memang betul, jadi untuk kelayakan disini dari 100% kita baru dapat 1% ya begitu, kalau untuk masalah kesehatan dan kekuarangan di sini pak. Contoh kecil aja begini, jalan ini saja sudah begini, ini beruntung pak karena otto sudah bisa jalan, kalau tidak pak pakai motor, motor pun setengah mati, anak-anak di sini sampai kadang-kadang jatuh, motor rusak dan saya ini berterimakasih banyak dalam arti memperjuangkan pemerintah terhadap katong masyarakat adat yang ada di pegunungan, cukup 156

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

luar biasa. Dalam arti pak dong langsung terjun kondisi keadaan dan kekurangan masyarakat di dataran tinggi pegunungan, salah satu Desa Nafrua ini dapat tinjau langsung dari pusat untuk melihat kekurangan yang ada di sini dari segi kekurangannya dari hidup dan kesehatan, pengobatan ya jauh lah pak. Di sini kalau sakit, bisa diturunkan, bisa diturunkan kalau tidak jalan diturunkan, ya kadang bisa mati, katong orang adat ini bilang ini barang kali soe, katong teteh nenek moyang, padahal peyakit serang tidak tahu artinya kadang, ini malaria kah, penyakit apakah, kadang sampai mati katong tuduh bahwa ini soe ada katong punya teteh nenek moyang, katong begitu”.

3.10. Health Seeking Behaviour Manusia berperilaku atau beraktifitas karena adanya kebutuhan untuk mencapai suatu tujuan. Dengan adanya need atau kebutuhan dalam diri seseorang maka akan muncul motivasi atau penggerak. Definisi perilaku menurut kamus Besar Bahasa Indonesia adalah tanggapan atau reaksi individu yang terwujud gerakan (sikap), tidak saja badan atau ucapan. Perilaku diartikan sebagai suatu aksi reaksi organisme terhadap lingkungannya. Perilaku baru terjadi apabila sesuatu yang diperlukan untuk menimbulkan reaksi, yakni yang disebut rangsangan akan menghasilkan reaksi atau perilaku tertentu. Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa perilaku terbentuk melalui suatu proses tertentu, dan berlangsung dalam interaksi manusia dengan lingkungannya. Faktor-faktor yang memegang peranan didalam pembentukan perilaku dapat dibedakan menjadi 2 faktor yakni faktor intern dan faktor ekstern (Notoatmodjo, 2003). Perilaku kesehatan merupakan respon seseorang atau organisme terhadap stimulus atau objek yang berkaitan dengan sakit dan 157

Etnik Buru, Kabupaten Buru, Provinsi Maluku

penyakit, sistem pelayanan kesehatan, makanan dan minuman, serta lingkungan. Dalam hal pencarian pengobatan, sebagian besar masyarakat menyatakan bahwa ketika ada keluhan penyakit, mereka mencoba mengobati sendiri dengan obat tradisonal, yakni ramuan dari jenis daun-daunan dan akar-akaran atau membeli obat di warung. Jika penyakitnya belum sembuh, biasanya mereka akan melakukan babeto atau smake, dan terakhir barulah ke fasilitas kesehatan atau ke Puskesmas. Pemerintah telah membangun sarana kesehatan, antara lain Puskesmas sebagai ujung tombak pelayanan kesehatan bagi masyarakat. Namun pada kenyataannya, masih banyak warga masyarakat yang tidak memanfaatkan Puskesmas. Berbagai faktor menjadi alasan kurangnya pemanfaatan Puskesmas. Faktor penghambat pencarian upaya pengobatan ke Puskesmas berkaitan dengan lokasi tempat tinggal mereka yang relatif sulit/jauh untuk menjangkau pelayanan kesehatan. Faktor lain yang menyebabkan hal ini adalah tingkat pendidikan dan pengetahuan masyarakat yang masih rendah, masih rendahnya kemampuan ekonomi keluarga sehingga tidak dapat mengakses pelayanan kesehatan baik untuk biaya transportasi maupun untuk biaya pengobatan, di samping kesadaran masyarakat terhadap kesehatan juga masih kurang. Hal ini seperti yang disampaikan oleh salah satu informan yang bernama P sebagai berikut ini, “...tetapi kalau memang orang asli di sini itu punya kesehatan pak itu kalau dia sakit pertama itu dia bicara, minta roh-roh arwah-arwah itu dari orang mati orang tuanya, dari bapak ibu, teteh atau nenek, oyang-oyang gitu nah itu dia punya pandangan bahwa roh-roh itu bisa menolong dia dalam kesakitan itu. Lalu yang kedua untuk sembuh ada peninggalan dari orang tua disebut 158

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

seperti mantra fufu gitu, tiup-tiup lah itu yang bisa nolong dia untuk sembuh. Yang ketiga dia bantu ada orang tuanya tunjuk obat daun-daun akar-akar seperti kita dokter itu. Nah sekarang dengan kemajuan sekarang, itu orang sakit itu ke dokter. Tetapi kalau orang buru yang asli dia takut juga ke dokter, tetapi bagi yang sudah punya pengalaman sedikit dia bisa, dia tahu ada rumah sakit ada Puskesmas dia pergi ke sana. Tetapi orang asli itu dia takut ke dokter, sebagian orang asli ini sampai sekarang ini sebagian besar orang buru ini belum terdidik. Jadi sebagian besar juga belum ada pndidikan, kalau sebagian kecil mungkin sudah, tetapi mengenai kepercayaan masih animisme, kalau mengenai kepercayaan masih terbelakang. Memang sudah ada yang pintar-pintar juga dari tiap-tiap Etnik itu ada. Pengobatan dengan roh-roh”.

Faktor-faktor tersebut selain mempengaruhi perilaku pencarian pengobatan secara umum, juga berpengaruh terhadap pemeliharaan kesehatan. Meskipun pengobatan di Puskesmas sudah tidak dipungut bayaran (gratis). Puskesmas Waelo merupakan Puskesmas yang mempunyai cakupan bayi lahir yang ditimbang sangat rendah dan tidak ada data tentang bayi berat lahir rendah. Hal ini dikarenakan banyaknya masyarakat yang tidak melahirkan pada fasilitas kesehatan dan menimbangkan bayinya pada saat lahir. Puskesmas Waelo memiliki jangkauan wilayah kerja yang cukup luas. Ada 14 Desa di wilayah kecamatan Lolong Guba dan Waelata dan Desa Nafrua merupakan salah satu yang masuk wilayah kerja Puskesmas Waelo. Puskesmas Waelo ini baru pemekaran dari Puskesmas Mako semenjak 4 tahun yang lalu. Kebanyakan bidan dan tenaga kesehatan di jabat oleh orangorang dari Etnik Jawa, Batak dan Ambon. Hanya sedikit orang Buru yang bekerja di Puskesmas Waelo seperti Bu bidan Paulina, 159

Etnik Buru, Kabupaten Buru, Provinsi Maluku

Paulina Wael, Pak mantri Bobi Solisa dan Erna Nurlatu sebagai tenaga sukarela. Jangkauan yang cukup luas ini menyulitkan bagi management Puskesmas Waelo untuk dapat memberikan pelayanan kepada semua desa yang ada di wilayah kerjanya. Faktor geografis dan kondisi jalan, ketersediaan tenaga kesehatan yang hampir 80 persen perempuan menghambat keterjangkauan kerja. Dari 14 desa yang menjadi wilayah kerja Puskesmas Waelo hanya Desa Nafrua saja yang belum terjamah oleh Pusling. Di sisi kebijakan, menurut kepala Puskesmas Waelo, belum ada kebijakan secara khusus dari Dinas Kesehatan untuk memperhatikan status kesehatan di wilayah pegunungan. Selama ini hanya bersifat himbaun dalam rapat atau koordinasi saat di kabupaten agar memperhatikan lokasi pegunungan jika kondisi jalan sudah bisa ditempuh. Tahun 2010 ada Rakesda, kepala Puskesmas sudah mengusulkan untuk pengadaan mobil ambulan double gardan kepada Bupati untuk menjangkau wilayah pegunungan. Namun hingga sekarang belum ada kejelasan dari pengajuan tersebut. Dari sisi anggaran menurut beliau menyebut pas-pasan. Dana BOK 16,5 juta dan uang BPJS 65 juta perbulan digunakan untuk menjalankan kegiatan di Puskesmas. Dana itu dinilai cukup untuk menjalankan kegiatan Puskesmas sesuai dengan aturan dan tuntunan dari Dinas dan Kementerian. Diharapkan dari dana yang ada bisa memaksimalkan kegiatan Puskesmas Waelo untuk menjangkau wilayah dan warga yang tersebar di 14 wilayah desa. Beberapa strategi yang sudah dan akan ditempuh Puskesmas Waelo untuk meningkatkan jumlah kunjungan ke tenaga kesehatan dan perluasan cakupan warga yang memanfaatkan sarana kesehatan antara lain:

160

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

1. Pembagian zonasi kerja: a. Daerah yang bisa dijangkau dengan menempatkan bidan di pustu yang ada di desa b. Menyelenggarakan Pusling untuk ke dusun/desa satu kali dalam satu bulan untuk lokasi yang terjangkau. c. Melaksanakan Pusling 3 bulan sekali di desa/dusun dengan akses jalan sulit. d. Kondisional pusling ketika ada KLB ataupun supervisi program 2. Rapat lintas sektor dengan Bapak Camat, Kepala desa, kepala Soa dan kepala adat satu kali dalam 6 bulan 3. Memanfaatkan sumber keuangan yang didapatkan kecamatan a. Dana BOK setiap bulan mendapatkan 16,5 juta untuk dana operasional kegiatan Puskesmas, dengan perincian 60% untuk KIA, 40% untuk Gizi dan imunisasi. b. Dana dari BPJS sebesar 65 juta/bulan untuk kegiatan Puskesmas dan jasa bagi tenaga kesehatan. Jasa ini akan digunakan untuk biaya perjalanan pusling dan mengintensifkan kegiatan pusling. 4. Menggunakan Posyandu untuk kerjasama kader-kader yang ada di desa/dusun. Ketika Posyandu terbentuk maka kegiatan diawal akan didampingi oleh Puskesmas sekaligus untuk menyelenggarakan pelayanan kesehatan. 5. Kerjasama dengan aktor-aktor kesehatan di desa seperti dukun, guru/penyebar agama yang ada di dusun untuk menyelenggarakan layanan kesehatan. Puskesmas berusaha menjadi support sistem obat dan fasilitas kesehatan yang lain.

161

Etnik Buru, Kabupaten Buru, Provinsi Maluku

Gambar 3. 37. Kantor Kecamatan Lolong Guba Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2014

Gambar 3.38. Puskesmas Waelo Sumber : Dokumentasi Peneliti, 2014

162

BAB IV PERSEPSI PENYAKIT MENURUT GEBA BUPOLO

“Orang di sini kalau sakit itu bilang soe. Soe itu tuntutan

dari orang-orang mati dan dari barang-barang mati. Biasa disebut juga mesalan, soe, atau tuntutan” catatan wawancara 2014. Pada Bab ini penulis akan mendeskripikan mengenai persepsi orang Buru mengenai sakit, rasa sakit dan penyakit serta proses penyembuhannya. Pertanyaan dalam studi ini penulis anggap penting untuk melihat bagaimana kondisi kesehatan secara obyektif di masyarakat Buru pegunungan yang memulai tahap menetap. 4.1. Dari Permukiman Berpindah Menuju Menetap Kondisi kesehatan Geba Bupolo terutama di daerah pegunungan jika dilihat dari kaca mata kesehatan modern sangat mengkhawatirkan. Jarangnya kehadiran tenaga kesehatan ke daerah tersebut membuat warga bertahan dengan alam yang melingkupinya. Faktor kesehatan, terutama sakit dan kematian menjadi salah satu penyebab utama masyarakat Bupolo di pegunungan berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain. Sakit dan kematian merupakan pertanda bagi masyarakat Buru terutama di pegunungan bahwa kondisi lingkungan yang melingkupinya sudah tidak sehat lagi. Jika ditilik lebih jauh, 163

Etnik Buru, Kabupaten Buru, Provinsi Maluku

kondisi ini menunjukkan bahwa Geba Bupolo memiliki kearifan kultural yang baik dalam hal kesehatan. Berpindah dari satu tempat ke tempat lain, tidak saja didasarkan pada keberadaan binatang buruan, hasil hutan dan lokasi untuk berkebun namun kondisi lingkungan yang membuat kesehatan terganggu.

Gambar 4. 1. Huma Bupolo: Rumah Orang Buru Sumber : Dokumentasi Peneliti, 2014

Pengetahuan lokal mengenai kondisi lingkungan yang baik berdasarkan standart kesehatan sebenarnya melekat dalam keseharian kehidupan Geba Bupolo yang berlangsung dari jaman dulu hingga sekarang. Kondisi seperti ini sebenarnya umum bagi masyarkat yang masih menggunakan sistem ladang berpindah, tak terkecuali di Pulau Buru. Luas lahan, wilayah yang bergununggunung dan jumlah penduduk di masa lalu masih memungkinkan untuk berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Pola permukiman berpindah ini pun tergerus oleh waktu. Masuknya pemerintah dengan program permukiman kembali masyarakat terasing di Pulau Buru, pada tahun 80-an, menyebabkan kehidupan tradisional yang selama ini diwariskan secara terus 164

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

menerus dari generasi ke generasi semakin terkikis. Sebelumnya, masuknya Tapol dan Napol 65 di tahun 70-an di Pulau Buru mengakibatkan dataran Lembah Waeapo yang semula menjadi tumpuan wilayah berburu dan penghasil sagu bagi masyarakat pegunungan semakin berkurang. Lahan di sekitar Lembah Waeapo berangsur berubah menjadi lahan persawahan yang luas. Disusul dengan masuknya transmigrasi di tahun 80-an yang turut pula menyertakan masyarakat Buru asli sebagai bagian dari transmigran lokal yang diberi lahan dan perumahan. Pemerintah melalui Kementrian Sosial setelah tahun 2000-an mengusahakan kembali pembangunan perumahan dalam program perumahan Komunitas Adat Terpencil (KAT). Pembangunan perumahanperumahan baru di pegunungan yang diinisiasi oleh pemerintah lewat rumah KAT inilah yang memulai babak baru permukiman menetap di hampir seluruh wilayah pegunungan di Pulau Buru.

Gambar 4.2. Permukiman Orang Buru Sumber : Dokumentasi Peneliti, 2014

165

Etnik Buru, Kabupaten Buru, Provinsi Maluku

Seorang Informan menuturkan bahwa penduduk belum cukup lama mulai menetap di kampung yang sekarang ditempati. “Tradisi orang sini dulu itu dimana disitu bikin kebun ya sudah di situ bikin rumah. Pindah di lokasi baru tahun 2006. Mendapatkan bantuan dari rumah KAT tahun 2009. Dibangun sekolah SD tahun 2006. Awalnya akan dibangun 25 rumah KAT, tetapi kemudian ada konflik antar keluarga lalu, ada yang dicabut, pindah ke kampung sebelah. Disini hanya dapat 10 rumah KAT. KAT dibangun dari kementrian social, langsung dari kontraktor. Ada juga 50 buah rumah KAT dibangun di dusun yang lain.”

Senada dengan ungkapan informan diatas, informan yang lain menuturkan bahwa permukiman yang ditinggalinya sudah final dan tidak akan berpindah-pindah tempat lagi. “…ya di sini menetap, tidak bisa dipindahkan lagi, ini sudah final, walau apapun yang terjadi tidak bisa dipindahkan lagi, pindah bagaimana, sekolah sudah berdiri, sudah masuk air bersih, kita mau pindah kemana lagi kalau sudah begini. Kalau waktu dulu, kita (orang Buru), masih teteh nenek moyang itu mereka tidak betah pak. mereka tidak berkampung seperti begini, paling dalam satu teteh itu dong keluarga itu 3 orang itu satu kampung, 3 orang lagi satu tempat lagi, pokoknya mereka tinggal pisah-pisah, mereka tidak pernah berkampung. itu di rumah kebun, di rumah kebun, anggap saja situ rumah kebun itu mereka punya kampung, itu kalau dulu. Kalau sekarang sudah tidak lagi. Itu memang prinsip itu dan pengalaman teteh nenek moyang kan katong anak-anak sekarang itu sudah mulai tiru, ya sudah mulai teliti ya dunia sekarang punya kemajuan peningkatan dan perubahan kita sudah bisa merasakan bahwa kalau kita tinggal satu tempat atau 166

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

masing-masing, atur kita punya tempat di kebun-kebun, ya kita tidak bisa maju dan tidak bisa layak. Tapi kalau memang kita berkampung seperti ini itu ya pemerintah bisa perhatikan kita, tuk buka jalan, sekolah kesehatan dan lain-lain, jadi kalau memang kampung ini sudah tidak bisa dipindahkan lagi.”

Gambar 4. 3. Rumah Proyek Komuntas Adat Terpencil (KAT) Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2014

Perubahan dari pola hidup berpindah ini membawa konsekuensi yang cukup besar bagi kehidupan masyarakat Buru terutama yang tinggal di daerah pegunungan. Memulai dari kelompok kecil dalam satu kerabat dengan 3-4 rumah, kemudian berangsur menetap berkumpul menjadi wilayah permukiman kecil dalam wilayah administratif dusun atau kampung berkumpul lebih dari 20 rumah.Tentu kondisi ini sangat berpengaruh terhadap kondisi lingkungan fisik maupun lingkungan alam yang menjadi tumpuan kehidupan warga. Kehidupan tradisional masih cukup sulit untuk ditinggalkan. Mulai dari bentuk rumah yang masih bertahan dengan kulit kayu dan atap ilalang, sumber air yang dijadikan kebutuhan utama pun harus diambil cukup jauh dari permukiman, serta kehidupan 167

Etnik Buru, Kabupaten Buru, Provinsi Maluku

komunal yang masih terasa kuat dalam keseharian. Konteks kehidupan ini tentu sangat berpengaruh terhadap kondisi kesehatan masyarakat. Berdasarkan penuturan salah satu informan diperoleh keterangan bahwa salah satu rumah KAT yang dibuat oleh pemerintah di tahun 2006 sudah mulai ditinggalkan oleh penghuninya, kemudian pindah ke kampung lain. Perpindahan warga dari lokasi permukiman KAT disebabkan karena di lokasi permukiman tersebut sering terjadi wabah penyakit. Bahkan ada beberapa orang warga yang meninggal di tempat tersebut. Kondisi kesehatan ini dijadikan alasan utama warga untuk meninggalkan rumah KAT yang dibangun pemerintah. Secara umum bangunan rumah KAT terbuat dari papan dan beratap seng.

Gambar 4.4. Kran Air di Permukiman KAT Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2014

Di wilayah permukiman KAT juga dibangun aliran sumber air, namun di dua lokasi yang ada di wilayah penelitian, saranan 168

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

air minum yang dibangun tidak berfungsi. Kesalahan konstruksi pembangunan saluran air oleh pemegang proyek menjadi penyebab utama tidak tersedianya air di wilayah permukiman. Kebutuhan air bersih bagi warga di permukiman KAT kembali mengandalkan air yang ada di kaki bukit. Warga harus berjalan menuruni tebing yang terjal hanya untuk membawa 20 liter air sekali angkut untuk kebutuhan memasak dan minum keluarga. Matinya saluran air ini sangat dikeluhkan warga terutama bagi anak-anak mereka yang harus menempuh pendidikan. Kondisi perumahan KAT yang ditinggalkan warganya jika ditelusur lebih lanjut bukan saja diakibatkan oleh faktor kesehatan saja. Namun lebih dari itu, pemahaman terhadap kondisi kelompok permukiman warga yang semula mengumpul dalam kelompok kecil, kemudian disatukan dalam kelompok kampung sebanyak 50 rumah tentu bukan hal yang mudah bagi warga untuk bisa beradaptasi dengan cepat. Belum lagi kaitan kepemilikan lahan dengan fam, potensi konflik yang akan muncul membuat warga merasa tidak nyaman tinggal di wilayah tersebut dan mencari lokasi kampung lain yang masih ditinggali kerabat satu famnya. Kondisi ini juga tidak ditunjang dengan fasilitas kesehatan yang cukup dari pemerintah sebagai pihak penyedia layanan kesehatan. Faktor jauhnya lokasi tempat tinggal dari Puskesmas, jalan ke pegunungan yang susah untuk dijadikan jalan pintas apalagi pada musim hujan, serta kondisi sarana dan prasarana yang ada di Puskesmas tidak memungkinkan untuk melakukan pendampingan kesehatan secara intensif. Minimnya pelayanan kesehatan yang diberikan ini mengakibatkan setiap kejadian luar biasa seperti munculnya wabah penyakit di permukiman baru masyarakat Buru tidak tertangani dengan baik. Kunjungan ke pegunungan hanya dimungkinkan jika cuaca mendukung.

169

Etnik Buru, Kabupaten Buru, Provinsi Maluku

Berbagai kasus kejadian luar biasa (KLB) yang terjadi di wilayah pegunungan biasanya akan segera tertangani ketika pihak Puskesmas mendapatkan informasi adanya kasus. Seperti salah satu kasus KLB penyakit campak yang terjadi di salah satu kampung terisolir di wilayah kerja Waelo. Puskesmas baru mengetahui kejadian wabah campak di kampung tersebut ketika salah satu warga membawa anaknya ke Puskesmas untuk berobat. Perjalanan dari kampung ke Puskesmas harus dilalui dengan menyeberang sungai dengan aliran air cukup deras, melewati jalan tanah yang sangat licin dan naik turun gunung. Setelah mendapatkan keterangan dari warga yang berobat bahwa di kampungnya penyakit sarampa (campak) banyak diderita oleh semua anak-anak di kampung tersebut, barulah tim dari Puskesmas turun untuk melakukan pusling. Pada saat pusling hampir seluruh divisi di Puskesmas turun ke lokasi. Untuk melakukan pemeriksaan kesehatan, memberikan imunisasi, memeriksa ibu hamil dan mengambil sampel darah semua warga yang ada di kampung tersebut. Pengambilan sampel darah dilakukan untuk mengidentifikasi dan mengantisipasi penyakit yang derita oleh warga kampung. Kondisi kesehatan di masyarakat pegunungan yang kurang penanganan ini pun dikeluhkan banyak pihak. Salah seorang guru di lokasi penelitian menuturkan bahwa kedatangan petugas Puskesmas untuk memberikan pelayanan kesehatan ke dusun-dusun di wilayah penelitian terhitung sangat jarang. Dalam satu tahun hanya 2-3 kali kunjungan Puskesmas keliling. Kunjungan Puskesmas selalu tanpa koordinasi dengan kepala dusun atau kepala soa, sehingga sewaktu kunjungan pusling sampai di dusun, warga dusun sudah banyak yang pergi ke kebun dan lokasi ketel. Pemeriksaan yang dilakukan Puskesmas saat melakukan Puskesmas keliling hanya terbatas pada orang yang ada di rumah dan kebanyakan orang tua dan anak-anak. Kondisi 170

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

yang sama juga dikeluhkan di dusun-dusun lain di wilayah Kayeli Kaku.

Gambar 4. 5. Tim Pusling Puskesmas Waelo Melewati Sungai untuk Menuju Ke Kampung Lokasi Pemeriksaan Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2014

Minimnya pelayanan kesehatan bagi masyarkat Buru di pegunungan menurut Kepala Puskesmas Waelo bukan karena ketidakmauan pegawai Puskesmas untuk memberikan layanan kesehatan. Luasan wilayah kerja Puskesmas Waelo yang meliputi 14 desa diwilayah dataran dan pegunungan dengan akses yang semuanya sulit membuat pelayanan menjadi terhambat. Belum lagi hampir 80% petugas di Puskesmas perempuan, hal ini sedikit mempersulit jika harus selalu memberikan pelayanan bulanan di wilayah-wilayah yang susah akses jalannya. Kerja Puskesmas bisa terbantu ketika warga secara aktif bisa berkunjung ke Puskesmas untuk memberikan informasi mengenai kondisi kesehatan di kampungnya. Jika terjadi kasus luar biasa atau wabah penyakit yang melanda kampung tersebut maka Puskesmas akan segera

171

Etnik Buru, Kabupaten Buru, Provinsi Maluku

melakukan penanganan dan turun ke dusun untuk melakukan pengobatan dan pemeriksaan kesehatan. Konteks kurangnya ketersediaan fasilitas kesehatan di wilayah pegunungan ini membawa dampak yang besar bagi kesiapan warga yang baru mulai menetap. Pengaturan air, penggunaan air, pembuangan limbah rumah tangga dan pola hidup yang baik harus terus menerus diperhatikan agar wabah penyakit tidak menghinggapi dan menyerang warga. 4.2. Konsep Penyakit Pola permukiman berpindah di masa lalu membuat peneliti ingin melihat lebih dalam pola pikir masyarakat Buru di pegunungan menjaga kesehatannya sehingga bisa bertahan hingga kini. Berbagai cara untuk membongkar pengetahuan kesehatan lokal dilakukan selama penelitian di lapangan. Penyebaran pengetahuan mengenai ilmu-ilmu pengobatan dan mantra-mantra penyembuhan sangat dibatasi untuk diketahui oleh pihak luar. Penyebaran pengetahuan pengobatan bagi masyarakat Buru hanya diberikan secara khusus kepada anak keturunan yang dipercaya saja. Pengetahuan itupun tidak boleh sembarangan diberikan kepada orang lain. Jika ada yang memberikan maka orang tersebut akan mendapatkan tuntutan dari para leluhur. Hal ini membuat peneliti kesulitan untuk mendapatkan informasi mengenai berbagai upaya penyembuhan yang biasa dilakukan oleh masyarakat Buru. Peneliti mendapatkan keterangan dari Bapak Raja Kayeli bahwa dari beberapa fam yang ada di Buru, ada satu fam yang sudah habis dan tidak ada keturunannya sama sekali. Tinggal satu orang perempuan yang masih hidup namun karena perempuan tidak membawa nama marganya maka fam tersebut dianggap sudah musnah. Semua orang dalam fam tersebut meninggal 172

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

dunia karena wabah penyakit yang melanda daerah permukimannya. Selain keterangan dari bapak raja tersebut, penulis mendapatkan informasi awal mengenai konsep penyakit bagi orang Buru, “Orang di sini kalau sakit itu bilang soe. Soe itu tuntutan dari orang-orang mati dan dari barang-barang mati. Biasa disebut juga mesalan, soe, atau tuntutan.”

Informasi ini membawa peneliti menemukan pertanyaan penelitian tentang cara orang Buru mempersepsikan sumber penyakit yang dideritanya.Terkait bagaimana upaya-upaya penyembuhan yang biasa dilakukan dalam keseharian peneliti kesulitan untuk mendapatkan informasi karena beberapa informan kunci secara jujur mengungkapkan bahwa mereka tidak diperbolehkan oleh leluhurnya untuk menceritakan kepada orang lain. Peneliti berusaha untuk menangkap pola-pola umum penyembuhan yang dilakukan oleh masyarakat Buru pegunungan hal ini karena minimnya intervensi kesehatan yang masuk ke wilayah pegunungan. 4.2.1. Wabah Penyakit: Ina Kabuki Dalam percakapan sehari-hari diantara orang Buru di lokasi penelitian,penulis sering mendengar ucapan ‘kabuki’. Beberapa informan menerangkan ‘kabuki’ dalam bahasa lokal hanya sebuah ungkapan kekagetan dan tidak ada artinya secara khusus, informan yang lain mendefinisikan sebagai sesuatu yang dianggap penyakit. Penggunaan ungkapan kabuki ini tidak saja digunakan oleh warga yang tinggal di pegunungan namun juga digunakan oleh warga yang tinggal di dataran rendah dan Pesisir Kayeli. Penulis menemukan beberapa referensi yang ditulis oleh para Tapol 65 mengenai cerita rakyat masyarakat Buru. Salah 173

Etnik Buru, Kabupaten Buru, Provinsi Maluku

satunya Hersri Setiawan dalam bukunya “Aku Eks Tapol” (2003: 67-84). Ia menuliskan cerita mengenai ‘Ina Kabuki’ perempuan penguasa Teluk Kayeli yang dipercaya memberikan obat penyembuhan untuk seorang lelaki bernama Malesi. Menurut Hersri; “Ina Kabuki. Harfiah kata "ina" berarti "ibu"; sedangkan "kabuki" sepatah kata yang tak bermakna alias "anu", yang mengandung angan-angan tentang kesucian atau kekeramatan. Ina Kabuki ialah Ibu Anu Yang Keramat. Seperti halnya Nyai Lara Kidul. Seorang "nyai lara" alias "ibu dara" yang tak bernama, selain diketahui ia tinggal di "kidul" atau di "Selatan"."Kabuki" dalam percakapan sehari-hari sering terdengar diucapkan sebagai semacam kata penyeru atau "interjeksi", atau "rasa wedhar" dalam istilah Jawa. Yaitu diucapkan serta-merta ketika orang terkejut atau kagum, seperti halnya kata "astaga!" atau "duile" kata orang Betawi (walaupun kata ini berasal dari "alhamdulillah") (Setiawan, Hersri:2003)”

Hersri Setiawan berhasil menceritakan, ada seorang pemburu bernama Malesi dari fam Besan. Ada wabah menyerang hampir semua kampung di dataran Waeapo, tak terkecuali keluarga Malesi. Demam tinggi tidak bisa diturunkan dengan daun lolano [cocor bebek], daun kapuk randu dan daun futfena [sembukan]. Muntaber dan perut mulas tak kunjung reda. Juga minuman dari air seduan bubuk arang pisang mentah tak lagi berdaya. Malesi berjalan kearah matahari tenggelam. Bertemulah ia dengan Ina Kabuki, dengan tubuh yang bau seperti bangkai babi atau rusa. Lalu terjadilah percakapan antara keduanya. Ina Kabuki mengetahui kalau Malesi akan mencari obat untuk keluarganya. Maka Ina Kabuki menjanjikan jika Malesi mau mengantarkan ke teluk Kayeli maka Ina Kabuki akan memberikan obat-obatan. Malesi pun mengantarkannya, tidak 174

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

ada pilihan lain. Atas anjuran Ina Kabuki, Malesi memejamkan mata, dalam sekejap ia bersama Ina Kabuki dalam gendongannya sudah sampai di Kayeli. Atas janji Ina Kabuki maka ia diberikan 41 botol kecil-kecil. Ina Kabuki memberikan pesan kepada Malesi, jika ada orang yang sakit di kampung, usaplah si sakit dengan air dalam botol ini. Selain itu, jika ada wabah penyakit di kampung, maka Malesi diminta oleh Ina Kabuki untuk memberitahukan kepadanya dengan menghanyutkan rakit berisi buah-buahan, hewan dan semua hasil bumi, agar anak-anak Ina Kabuki (penyebar wabah penyakit) menaiki rakit dan kembali ke teluk kayeli. Berdasarkan cerita yang ditulis Hersri Setiawan, JJ. Kusni juga memparafrasekan cerita tersebut kedalam sebuah coratcoret sederhana berjudul Na Kabuki. Hersri Setiawan selain berhasil mendapatkan cerita mengenai Ina Kabuki, ia juga turut menyaksikan proses bagaimana rakit dihanyutkan melalui sungai Waeapo. Berdasarkan keterangan beberapa Informan menyebutkan bahwa upacara mengalirkan rakit terakhir dalam ingatan mereka terjadi pada tahun 70-an. Waktu itu menyebar wabah filariasis dan diare di hampir seluruh kampung di dataran Waepao. Kisah yang dituturkan di atas membawa peneliti untuk mengungkap secara lebih mendalam cerita mengenai Ina Kabuki di Lembah Waeapo terutama di Kampung Waelo. Cerita mengenai Ina Kabuki didapatkan dari beberapa tua-tua adat di Petuanan Kayeli. Cerita itu sudah jarang diceritakan kembali ke anak cucunya. Berdasarkan rasa keingintahuan tersebut bertemulah penulis dengan kepala adat yang menjaga rumah koin atau rumah pamali Ina Kabuki. Tersebutlah nama O. Besan, penjaga rumah koin Ina Kabuki.

175

Etnik Buru, Kabupaten Buru, Provinsi Maluku

Ina Kabuki Catatan Wawancara O. Besan Kepala Adat dan Penunggu Rumah Pamali Ina Kabuki Tersebut seorang laki-laki bernama Malesi. O. Besan adalah salah satu cucu dari Malesi. “Menurut cerita ini mas, bukan dari catatan atau buku. Karena kita punya pulau ini belum berfungsi tulis menulis, jadi bentuk buku belum ada. Jadi lewat wasiat saja. Tetapi kita punya ada begitu mas. Seandainya ini pohon duren saya, kalau bapak saya tunjuk itu duren seng boleh di makan, seng boleh di ambil, seng boleh memiliki karena saya sudah tunjuk kepada keponakan kamu. Itu sudah lebih berat dari sertifikat, dari segel dari tanda tangan, itu begitu mas. Kita di sini dibilang orang adat, kita punya adat begitu tidak harus bikin surat, harus memperpanjangkan suat itu saja. Hanya satu kali saja, jari syahadat menunjukkan buat sudara, ini ipar atau anak mantu memiliki dari sini sampai situ. Seperti wilayah tanah buru ini ada batas diantara air dengan air itu begitu” Oling Besan mengawali cerita setelah saya jelaskan maksud dan tujuan saya untuk bertemu beliau. “Nah masalah cerita itu, orang tua saya itu menemukan entah hari apa, tahun berapa, bulan apa itu tidak di tulis. Cuma paa saat itu. Maluku itu kan makan pokok dari sagu. Dia habis dari cari sagu sekitar jam 6 atau setengah 7 dia sampai di tempat itu. Dia arahnya dari Timur itu sesuatu dari Barat. Waktu dia naik sampai di atas, dia melihat menurut pandangan mata dia Babi. Kalau babi itukan kita punya makanan di sini babi. Terus dia lihat, oh ada babi. Dia punya sagu itu di bekas timbatimba untuk mengolah sagu itu, nah dia taruh di situ sagunya dia pikul dan jaga sendiri. Dia turun tombaknya satu. Dia jaga begini dia angkat tombak, sehingga gunung itu diberi nama Jaga Anan atau dalam bahasa Indonesia itu Jaga kecil. Karena tidak memanjangkan jaga langsung dapat tegur. Itu babi berubah wujud menjadi manusia, tetapi berupa nenek. Dia menegur “eh malesi kamu bikin apa?” Dia langsung melepas tumbak, lalu mengatakan begini; “Aduh nenek, tadi saya kira menurut pandangan saya itu babi. Kalau 176

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

saya tahu babi itukan makanan saya, kalau saya tahu itu nenek untuk apa saya mau jaga nenek pakai tombak. Dia bilang, “Tidak apa-apa, kamu mau antar saya?” Jawab Malesi, “antar kemana nenek?” Nenek pun menjawab minta diantar ke Hutan Jati di Kayeli. Padahal itu posisinya itu dari Barat mau ke Timur, kalau kita di sini itu dari posisi matahari masuk mau ke matahari naik. Lokasinya di Ipalahin. Terus dia katakana kepada nenek ini “aduh nenek saya tidak berani tolak” hal ini karena Malesi tahu bahwa orang ini bukan orang jadi takut. Kalau kita di sini kalau dapat setan Mati. Malesi bilang dia tidak menolak tetapi nenek boleh lihat waktu. Matahari itu sudah sandar gunung. Hutan jati itu bukan gampang nek, jalan itu masuk hutan keluar kampung tetapi jauh-jauh jaraknya kampung. dulu itu bukan seperti sekarang ini mas. Dia bilang okey, kalau kamu mau antar saya yang penting kamu mau mengaku antar saya. Mau melawan bagaimana mas, kalau dengan setan itu kan ya kelemahan kita manusia. Dia bilang duduk, suruh duduk itu pak malesi, kuda gitu to, tangannyanya di pegang di pundak. Dengan sekejap saja, lihat Malesi. Dengan sekejap saja kok sudah sampai di sana, posisinya ada di depan rumah. Tapi rumah yang menurut orang dulu-dulu kalau istana presiden itu sudah paling bagus. Rumahnya kayak istana. Tunggu Malesi, dia ambil bungkusan yang kayak di film-film itukan, isinya itu botol, kainnya kain putih. Botol itu sebanyak 44 botol. Jadi dia bilang sama orang tua saya itu di sini ada berupa 44 macam penyakit. Semua penyakit yang ada di tubuh manusia itu ada 44 penyakit obatnya ada di botol itu. Lalu dia bawa pulang itu botol. Lalu orang tua beritahukan kepada saudara-saudaranya. Sebelum kejadian itu di sini penyakit itu berjalan berombongan kayak ada hajat apa begitu. Penyakit itu kalau musim panas, itu orang-orang di sini itu lari mas. Saya lari tinggalkan adik, adik lari tinggalkan kakak. Nggak boleh abawa anjing, nggak boleh bawa ayam. Di hutan itu kita berlindung dibawah pohon. Itu macam rotan apa tidak boleh di potong. Kalau di potong itu rotan, rotannya itu layu, penyakit lewat dia kasih tahu. “hei turun di sini, ada manusia di bawah, coba lihat saya sudah layu ini karena di potong” ceritanya 177

Etnik Buru, Kabupaten Buru, Provinsi Maluku

begitu. Setelah saya punya orang tua menemukan itu, dan mungkin dia kasih tau tentang cara-caranya sehingga penyakit itu dia reda dari pulau buru ini. Seorang nenek itu, akhirnya sudah diumumkan pada masyarakat pulau buru, diberikan nama dengan bapak hinolong di Kubalahin di beri gelar Tongkat Buru. Arti dari tongkat buru itu kan dia bantu Sesuatu yang mau rubuh to. Jadi dia itu menongka masalah penyakitan di Buru. Jadi setelah itu, kalau keluarga saya ada musimmusim penyakit seperti diare, penyakit-penyakit yang lain itu bisa menyerang di anak-anak yang lain. Itu di keluarga saya pasti tidak kena begitu. Dulunya, kalau orang mata sakit itu, nggak tahu kalau di jawa, kalau di sini satu orang mata sakit itu satu desa kena. Istri saya itu kan di kampung maitua itu semua terserang penyakit mata itu. Jadi ada dia punya pangkat keponakan, hari-hari itu pakai handuk to, maitua saya itu suka gurau, kamu ini paling sombong, siang-siang kok pakai sapu tangan. Kan gurau gitu, kamu jangan kata sombong begitu, ee penyakit ini dari turun temurun kalau sudah kena satu orang dalam kampung itu semua kena. Dia bilang, kan saya sudah pernah kasih tahu setelah ada penyakit begitu, saya bilang nanti kamu tidak kena penyakit mata sakit. Kenapa? Nggak kalau kamu jadi istri saya kamu tidak kena. Lalu dia sampaikan pada suadaranya..ee suami saya bilang saya tidak boleh terkena itu, karena saya sudah jadi istrinya tidak kena lagi mata sakit. Dalam berapa bulan itu mas, hampir semua orang kampung tidak bisa kemana-mana. Saya dengan istri tidak, akhirnya mereka balik akui to. Ee kamu ngomong begitu, kamu tidak kena sama suami sakit mata itu kenapa itu. Dia bilang seng..dia bilang sama saya kalau kamu sudah menjadi istri saya kamu tidak boleh kena penyakit mata sakit, karena penyakit mata sakit itu saya sudah pegang rajanya atau tuannya gitu. Akhirnya kita lolos, padahal sebetulnya kita tidak boleh sombongsombong begitu, cumin maitua saya itu kebablasan. Ceritanya botol, itu sampai saat ini mas tinggal satu. Itu ada keluarga, dia bakar rumah pamali ada 43 botol ada di dalam. Sedangkan yang satu ini sedang di titip di orang sakit di luar dari keluarga saya, titip di orang Dawan. Di pinjam waktu orang sakit, di suruh jaga oleh orang 178

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

sakit, itu yang tidak terbakar. Padahal bukan botol unik mas, hanya botol-botol biasa saja kayak bekas minyak wangi, parfum gitu itu. Akhirnya sampai sekarang itu ya digunung tadi, dijadikan rumah pamali. Dulu itu ya saya nggak boleh bercerita tetapi cerita itu ada di saya tetapi semua tahu cerita itu. Cuma saya dengan adik ini belum pernah kita laksanakan. Kan posisinya kayak orang jawa dengan kuda lumping begitu, suka datang kalau diperlukan. Saat musim penyakit itu kita bikin sajen-sajen biasa seperti kuda lumping itulah. Pokoknya dia punya sedekah kalau di jawa itu kayak Nyai Roro Kidul kan, nah begitu sudah. Dia punya sedekahkah, itu di sini itu, telur, ayam, uang, terus tanaman yang dimakan manusia itu semua yang masih sedang muda berbunga, seperti jagung, tebu, pisang, pokoknya semualah, buah-buahan. Semua diambil itu, ditaruh di rakit. Rakit itu ada pohon bambunya juga, dan tidak dipotong sembarang orang. Ceritanya rakit kalau diambil itu oleh marga Wael. Jadi yang kena cerita itu marga Wael, marga Besan dan marga Nurlatu. Itu orang wael dia ambil dari satu bantaran sungai ke bantaran sungai yang lain itu tidak boleh lanjut. Marga Nurlatu dari titik tertentu ke titik yang lain baru marga besan yang terima. Sesudah besan terima, baru semua lain dari pada itu, semua marga jemput di masing-masing punya tempat pertemuan. seperti dari sini ke unit 11 dari unit 11 ke unit 6 lanjut-lanjut sampai di muara waeapo sana itu dilepaskan oleh orang Besan juga. Dia punya Kampung di Kampung Baman itu sama mata rumah lagi orang besan juga. Itu dari sana kan dari sini pakai kole-kole untuk pulang, jadi kalau sudah sampai di muara sana itu dilepaskan itu kita sudah naik di sampan itu dikasih balik. Biar kita itu mandi semua, kita kasih basah semua. Dalam arti kita antar penyakit itu dia ikut itu rakit sampai, pulang dalam keadaan bersih. Jadi rakit itu tidak boleh diganggu gugat di dalam laut itu. Dulu itu banyak orang tidak tahu, orang bugis itu pernah ambil, banyak sekali hasilnya, ayam jago, ayam babon telur ayam itu sampai sudah paling banyak. Rakit itu Cuma 17 batang. Rakit itu tidak digalah-galah begini, pokoknya jalan sendiri, ada tuer itu tidak nabrak. Itu rakit mas, dia laju seperti ada mesinnya ada orangnya dia berhenti di pulau Bau-bau di pulau 179

Etnik Buru, Kabupaten Buru, Provinsi Maluku

Buton sana. Terus tahu pulau bau-bau dimana posisinya itu kita tidak tahu, Cuma tahu bahwa rakit itu harus sampai di situ. Tanpa layar tanpa mesin. Di rakit dibikin kayak kamar begitu to di dinding kain putih, di hiasi dengan daun kelapa dan ada ketupatnya ahaiii full itu rakit. Maaf saya merokok dulu ya”. Pak Oling menutup cerita dengan menyalakan rokoknya. Di akhir pembicaraan ia menyimpulkan bahwa ketika nenek tua itu memberikan obat kepada Malesi, maka orang buru menganggap bahwa pemilik obat adalah juga rajanya penyakit karena dia punya penawar untuk penyakit tersebut, maka banyak orang menyimpulkan bahwa Ina Kabuki merupakan rajanya penyakit yang tinggal di Ipalahin di Teluk Kayeli.

Berdasarkan penuturan O. Besan peneliti berusaha mencari lokasi Gunung Jaga Anan tempat pertemuan antara Malesi dengan Ina Kabuki. Di Gunung Jaga Anan tersebut kini dibangun rumah koin atau rumah pamali untuk menghormati Ina Kabuki. Selain masyarakat Buru asli, para transmigran yang memiliki lahan pertanian di sekitar rumah koin Ina Kabuki juga sering memberikan sesaji sebagai persembahan kepada Ina Kabuki atas terjaganya tanaman pertanian dari serangan hama tikus maupun wereng. Dalam khasanah cerita rakyat di Jawa juga dikenal adanya Nyai Roro Kidul sebagai penguasa laut Selatan. Cerita mitologi tentang Ina Kabuki menandakan bahwa di Pulau Buru juga terdapat cerita mengenai perempuan penguasa lautan seperti juga di Jawa. Penyelenggaraan sedekah dengan mengalirkan rakit berisi segala macam buah-buahan hasil kebun seperti kelapa, pisang, pinang, mangga, durian; bahan pangan seperti sagu tepung, kasbi (singkong atau ketela pohon), patatas (ubijalar), keladi, kacang tanah, makanan kering dari sagu, daging babi hutan atau rusa, ternak hidup seperti ayam, kambing, babihutan terakhir kali diadakan pada tahun 70-an. Hal ini dituturkan S. Nurlatu, bahwa upacara melepas rakit tersebut terakhir ia lihat ketika dia masih 180

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

kecil, sekitar tahun 70-an. Waktu itu sedang terjadi wabah kaki gajah/filariasi di wilayah Petuanan Kayeli. Untuk menawarkan wabah yang melanda perkampungan di Petuanan Kayeli maka diselenggarakan upacara mengalirkan rakit menuju ke Teluk Kayeli melewati Sungai Waeapo. Rakit dan segala sesaji di atasnya dianggap sebagai barang-barang keramat.Tidak setiap orang boleh mendekat ke rakit atau sesaji, selain para pengawal rakit juga mereka yang telah ditunjuk oleh kepala soa atau kepala adat. Sebab bersama sesaji yang ada di atas rakit tersebut terdapat ruh anak-anak Ina Kabuki hendak pulang ke kediaman mereka di dasar Teluk Kayeli. Ruh anak-anak Ina Kabuki inilah yang bergentayangan berupa wabah penyakit di kampungkampung. Oleh karena itu dipantangkan berbicara dengan para pengawal rakit, tetapi hal tersebut tidak berlaku untuk kepala adat.

Gambar 4. 6. Rumah Koin (pamali) Ina Kabuki di Gunung Jaga Anan Sumber: Dokumentasi Peneliti , 2014

181

Etnik Buru, Kabupaten Buru, Provinsi Maluku

Ada perbedaan cerita mengenai jumlah botol yang diberikan oleh Ina Kabuki terhadap Malesi. Jika Hersri Setiawan menyebutkan ada 41 botol digunakan untuk menyembuhkan 41 kampung di wilayah petuanan Kayeli, O. Besan menyebut ada 44 botol untuk menyebuhkan 44 penyakit yang sering melanda warga Buru. Walaupun sulit untuk dibuktikan karena botol peninggalan Ina Kabuki hanya tinggal satu buah. Penulis berusaha untuk mencari 44 nama penyakit dalam bahasa Buru. Penyebutan penyakit dalam Bahasa Buru ada beberapa macam yaitu menyebut langsung ke nama penyakit; neman (batuk), sarampa (campak) dan menggabungkan antara sebutan anggota tubuh dengan kata sakit (pei); sakit kepala (ulun pei) sakit perut (fukan pei). Bagi masyarakat Buru di masa lalu, menganggap penyakit adalah wabah yang dibawa oleh anak-anak Ina Kabuki yang dibawa dari laut. Seperti penuturuan O. Besan berikut: “…di sini penyakit itu berjalan berombongan kayak ada hajat apa begitu. Penyakit itu kalau musim panas, itu orang-orang di sini itu lari mas. Saya lari tinggalkan adik, adik lari tinggalkan kakak. Nggak boleh bawa anjing, nggak boleh bawa ayam. Di hutan itu kita berlindung di bawah pohon. Itu macam rotan apa tidak boleh di potong. Kalau di potong itu rotan, rotannya itu layu, penyakit lewat dia kasih tahu. ‘Hei turun di sini, ada manusia di bawah, coba lihat saya sudah layu ini karena di potong’ ceritanya begitu.”

182

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

Tabel 4. 1. Nama-Nama Penyakit dalam Bahasa Buru No

Nama Indonesia

Nama Buru

1

Batuk

Neman

2

Beringus

Ngengihut

3

Pilek

Ngen waen

4

Mata merah

Raman mihat

5

Campak

Sarampa

6

Panu

Sihan

7

Sakit kepala

Ulun pei

8

Sakit perut

Fukan pei

9

Diare

Iko wae

10

Frambosia

Apat

11

Panas

Putut/raran

12

Hernia

Yobo

13

Ambeyen

Fubohi toho

14

Gatal

Etet

15

Kulit bersisik

Kaskado

16

Muntah darah

Guma taha

17

Maag

Fusun pei

18

Sakit mata

Raman pei

19

Hepatitis

Mpei koni

20

Asma

Bahe

21

Muntaber

Iko wae tu gumat

22

Bengkak

Poso

23

Gila

Ula

24

Bisu

Moumou

25

Tuli

Kewen

26

Bibir sumbing

Fifi bokon

27

Buta

Raman gafa

28

Pusing

Biglifu

29

Nyeri

Mpei

30

Melilit

Fukan ka

31

Cacingan

Sagil

183

Etnik Buru, Kabupaten Buru, Provinsi Maluku

32

Malaria

Tiamia

33

Gondok

Site fule

34

Luka-luka

Kawa

35

Berak darah

Buraha

37

Batuk darah

Nema campur

38

Batuk kering

Nema mangit

39

Batuk berdahak

Nema kdak

40

Susah buang air kecil

Iko wae anan susa

41

Susah buang air besar

Ika wae bagut susa

42

Sesak nafas

Bahe

43

Sakit gigi

Ngisin pei

44

Kaki Gajah

Kada Gufut

Sumber: Data Primer

Di Pulau Buru wabah menyerang warga di kala musim panas datang. Informan yang lain juga menuturkan, “Penyakit menurut orang-orang dulu itu dibawa oleh semacam lalat yang banyak begitu. Semacam berjalan merembetkayak api begitu, dari pesisir hingga ke gunung. Setiap kampung yang dilewati oleh lalat tersebut pasti wabah penyakit akan menyebar ke kampung berikutnya, banyak orang yang sakit dan meninggal, jadi semacam ada yang bawa. Ada yang menggembalakan, semuanya berasal dari laut”

Beberapa keterangan Informan yang ditemui di lapangan ini menunjukkan bahwa di masa lalu wabah penyakit sering terjadi bahkan hingga sekarang. Penyakit sarampa (campak) masih sering menyerang warga hingga sekarang. Masyarakat Buru percaya bahwa Ina Kabuki sebagai penguasa laut yang berdiam di Ipalahin merupakan Ibu dari segala obat sekaligus raja dari segala penyakit. Masyarakat Buru terutama di Petuanan Kayeli percaya bahwa untuk menawarkan wabah tersebut harus

184

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

menyelenggarakan sedekah dengan menghanyutkan rakit menuju ke laut agar anak buah Ina Kabuki kembali lagi ke laut. Konsep tentang wabah penyakit ini juga menyiratkan anggapan bahwa orang dari laut atau Geba Misnit (geba: orang, misnit: kapal berpenumpang) pendatang dari luar pulau yang masuk ke Buru, akan membawa wabah penyakit yang akan merusak kehidupan Geba Bupolo. Oleh karena itu, di masa lalu pertemuan antara Geba Kaku (orang Gunung) dengan pendatang dari luar pulau sangat dibatasi. Geba Bupolo secara tegas menganggap bahwa Geba Misnit atau pendatang adalah agen pembawa penyakit. 4.2.2. Soe: Tuntutan Leluhur Geba Bupolo percaya kepada roh-roh leluhur, teteh nenek moyang yang berdiam dalam rumah koin (pamali) yang menjaga dan melindungi kehidupan warga kampung. Kepercayaan kepada roh-roh sangat kuat karena adanya keyakinan akan sifat-sifat baik dari roh-roh tersebut. Geba Bupolo percaya bahwa sebagai anak keturunan harus menjaga setiap titipan dan kepercayaan yang diberikan leluhurnya kepada mereka. Selain itu bagi Geba Bupolo menghormati teteh nenek moyang harus dilakukan dengan memberikan persembahan semacam sesaji yang berisi sirih pinang sebagai makanan pokok Geba Bupolo, air minum dan buah-buahan di pusara makam leluhurnya. Jika penghormatan ini tidak dilakukan maka Geba Bupolo percaya bahwa roh-roh teteh nenek moyang akan menuntut kepada anak keturunannya yang tidak menjaga titipannya tesebut. Anak keturunan tersebut akan menderita penyakit, seperti penuturan dari PL berikut: “Banyak yang sakit itu diare, muntaber. Orang di sini kalau sakit itu bilang soe. Soe itu tuntutan dari orangorang mati, dari barang-barang mati. Biasa disebut juga 185

Etnik Buru, Kabupaten Buru, Provinsi Maluku

mesalan, soe, atau tuntutan. Padahal orang mati itu tidak punya apa-apa, kasihan, kita tuntut begitu… kasihan.”

Bila salah satu anak terjangkit penyakit, maka orang tuanya akan menyelenggarakan semake atau babeto. Babeto/semake: proses berdialog dengan roh teteh nenek moyang dan semua keluarga yang ada sehingga para roh tidak mengganggu kesehatan anak cucunya. Semake merupakan upacara permintaan maaf atas segala kesalahan yang diperbuat orang yang sedang sakit kepada roh teteh nenek moyang yang sudah meninggal. Semake ini dilakukan untuk mencari sebab musabab anak tersebut sakit. Ia berkomunikasi dengan roh teteh nenek moyang, mulai mengawali dengan menyebut Oplastala, teteh nenek moyang dan semua keluarga yang sudah meninggal, meminta maaf jika selama ini ada titipan yang dilanggar. Dan dengan semake ia akan merefleksikan diri dan keluarganya tentang segala sesuatu yang diperbuat sehingga ia bisa terkena Soe. Setelah ia menemukan penyebab sakit si anak, kemudian ia memintakan maaf kepada leluhurnya atas perlakuan anak atau dirinya yang sudah menjauhi titipan para leluhur. Proses ini semacam mengingatkan dan introspeksi diri dan mengakui kesalahan atas segala perbuatan yang tidak disukai oleh teteh nenek moyang yang sudah meninggal. Cerita mengenai kepercayaan soe dituturkan oleh salah satu informan LN; “Kira-kira 20 tahun yang lalu, waktu itu istri saya sakit. Perut terasa melilit, kemudian saya periksakan ke Rumah Sakit di Namlea. Ada dua dokter yang menangani dan memeriksa istriku. Namun kedua dokter tidak menemukan apa penyakit yang diderita oleh istri saya. Cek darah sudah dilakukan, observasi dilakukan berulang-ulang, penyakit pun tidak diketemukan. 186

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

Akhirnya saya bawa pulang kembali. Sampai di rumah sempat sehat sebentar lalu sakit lagi. Sampai ia tidak sadarkan diri selama hampir 15 jam. Lalu saya memanggil mantri untuk memeriksanya. Ia menyatakan bahwa istri saya sudah meninggal karena detak jantung sudah tidak terasa lagi. Mendengar kabar tersebut salah satu tetangga saya orang Jawa yang menjadi guru sudah akan melantunkan suara adzan di telinga istriku. Namun saya tahan dan bilang, sabar, saya belum rela istri saya meninggalkan saya. Jadi jangan anggap istri saya sudah meninggal. Kemudian saya pergi ke salah satu gebamtuam (orang tua) yang menjadi kepala adat untuk meminta bersama-sama melakukan semake. Dari gebamtuam tersebut dinyatakan bahwa istri saya terkena soe akibat kesalahan yang saya perbuat. Ia menyarankan untuk merunut kembali kira-kira titipan apa yang telah ia langgar. Kemudian saya berpikir dan mengingat-ingat, kira-kira apa ya titipan dari leluhur yang sudah saya tinggalkan. Setelah merunut peristiwa yang terjadi dalam hidup saya, kemudian saya ingat bahwa waktu ada keponakan saya datang dari Ambon, ia menyenggol satu mangkok kecil pemberian dari orang tua sebagai harta adat. Lalu ia kembali ke gebamtuam untuk menanyakan dimana ia bisa mendapatkan mangkok kecil sebagai penganti mangkok yang pecah tersebut. Kemudian gebamtuam memberitahukan bahwa ia ada barang serupa itu namun harus ditebus dengan ganti yang lain. Akhirnya untuk menembus mangkok tersebut saya mengeluarkan uang sebesar 450.000 rupiah. Setelah mangkok tersebut saya dapatkan kembali saya melakukan semake untuk meminta maaf atas pecahnya mangkok tersebut, dan selanjutnya ia meminta leluhur memaafkan kesalahannya dan memberikan kesembuhan kepada istriku. Tak berapa lama berselang setelah semake 187

Etnik Buru, Kabupaten Buru, Provinsi Maluku

selesai dilakukan istriku kembali bernafas, detak jantungnya mulai kembali normal dan siuman dan sehat kembali. Istriku ini mengalami mati suri dan hidup kembali, dan alhamdullilah sampai sekarang istriku tidak pernah lagi menderita penyakit yang berat. Ya percaya nggak percaya, karena kita juga bagian dari masyarakat adat mas.”

Soe atau tuntutan dipercaya oleh masyarakat Geba Bupolo sebagai salah satu penyebab datangnya penyakit yang diderita akibat kelalaiannya menjaga titipan dan menghormati teteh nenek moyang. Atas kepercayaan inilah maka Geba Bupolo sebagai penjaga Pulau Buru sangat rapat menjaga titipan dari generasi terdahulunya. Pertaruhan mereka hadapi dengan nyawa agar Pulau Buru tetap menjadi Bumi Lale dan kehidupan yang selaras antara manusia dan alam sekitarnya terjaga dengan baik. 4.2.3. Kitam Mhane: Sumpahan Adat Penyebab sakit yang ketiga adalah karena sumpahan adat. Sumpahan adat ini berkaitan dengan hukum adat.Orang Buru percaya bahwa manusialah yang mengatur adat, bukan adat yang mengatur kehidupan manusia. Secara khusus informan PL menjelaskan mengenai adat yang berlaku di Pulau Buru. “Kalau di sini kita berbicara mengenai adat, itu pada umumnya satu. Masing-masing punya cara sendiri. Kalau sejarahnya itu satu. Tetapi kalau sehari-hari masingmasing Etnik itu punya kebiasaan sendiri juga. Orangorang adat dari tiap-tiap Etnik yang mengatur adat. cuma di sini itu bukan adat yang atur kita tetapi kita yang atur adat, ini manusia yang atur, kalau tempat lain itu agak beda sedikit. Tetapi cara-caranya beda.”

188

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

Sumpahan adat sendiri merupakan salah satu sanksi hukum adat yang diterapkan semenjak teteh nenek moyang. Munculnya sumpahan adat sebagai salah satu hukuman paling akhir untuk orang-orang yang membuat kesalahan, namun demikian orang Buru tidak mau mengakuinya karena secara turun temurun mereka ini bersaudara. Dalam istilah orang Buru dikenal dengan nama Kaiwait. Kaiwait itu persatuan keluarga, yang menyatakan bahwa semua orang Buru adalah satu saudara teteh nenek moyang. Sementara istilah Retemina Barasehe untuk mempertahankan persaudaraan itu, tidak boleh mundur harus maju. Kaiwait itu dipegang oleh masing-masing Geba Bupolo, walaupun ada pertengkaran besar namun semua tetap bersaudara. Hal ini disebabkan karena orang Buru menerapkan kawin masuk-keluar sehingga semua warga satu moyang ini bersaudara dan tidak bisa dipisahkan. Sumpahan adat sebagai salah satu sanksi untuk mempertahankan ikatan persaudaraan dimaksudkan agar jelas siapa yang salah dan siapa yang benar. Sehingga kaiwait tetap bertahan dengan baik ketika ada konflik adat antar personal dalam fam dan yang mengatur adalah kepala adat dan kepala soa. Penyelesaian terakhir jika yang bersalah tidak mau mengaku maka pilihan terakhir diambil oleh kepala soa adalah sumpahan adat. Sumpahan adat sendiri ada dua macam. Pertama adalah sumpahan hidup yaitu memberikan sumpahan agar yang terkena sumpah bisa terus hidup. Kedua adalah sumpahan mati yaitu membuat orang yang terkena sumpah dalam waktu yang sudah ditentukan akan mati, hal ini untuk menunjukkan bukti bahwa dia memang salah dan melakukan sesuatu yang mencederai ikatan keluarga kaiwait tersebut. Seorang kepala soa menuturkan bahwa,

189

Etnik Buru, Kabupaten Buru, Provinsi Maluku

“… dat itu konsekuensinya berat, kalau tidak denda ya mati. Dalam hukum adat itu, kalau seseorang melakukan kesalahan seperti mencuri, mengerjakan lahan orang lain, dan pelaku tidak bercerita maka pelaku yang menanggung akibatnya. Orang tersebut bisa mati tibatiba, atau kecelakaan di jalan. Hal ini terjadi karena pelaku menutupi kesalahan yang dilakukan maka kesalahan itu akan kembali untuk menuntut kamu sendiri.”

Berdasarkan prosesnya sumpahan adat ada dua macam. Pertama adalah sumpahan adat yang melibatkan kepala Soa dan kepala adat, yang kedua adalah sumpahan adat secara personal. Sumpahan adat yang melibatkan kepala soa dan kepala adat biasanya terjadi ketika ada kasus pencurian atau ada warga yang kehilangan sesuatu. Orang yang kehilangan barang atau uang tersebut akan datang ke kepala soa dan kepala adat. Kepala adat dan kepala soa kemudian mengumpulkan orang untuk mencari keterangan dan pengakuan warga yang mencuri barang milik orang lain agar bercerita secara terbuka. Jika sang pencuri mengaku maka selanjutnya akan dikenakan denda adat dan denda dari si pemilik barang. Akan tetapi ketika semua orang yang hadir tidak mengaku maka kepala adat dan kepala soa menyelenggarakan sumpahan adat. Geba Bupolo percaya bahwa jika seseorang yang mencuri tidak mengaku maka perbuatannya pasti akan diketahui oleh datuk teteh nenek moyang sehingga kepala adat dan kepala soa meminta petunjuk kepada datuk, teteh nenek moyang yang sudah meninggal untuk membuktikan siapa pelaku pencurian dengan sumpahan adat. Sumpahan adat hidup biasanya dilakukan dengan bergantian memasukkan tangan kedalam air mendidih, atau dengan cara lain memegang besi panas yang membara. Bagi orang yang tidak melakukan kesalahan tentu mereka tidak melepuh atau terbakar ketika 190

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

memasukkan tangannya ke air mendidih atau memegang besi panas. Orang yang terbakar tangannya itulah yang melakukan pencurian karena sudah didukung oleh teteh nenek moyang dan Opalastala. Selain sumpahan hidup, jika perkara yang ditangani susah untuk diselesaikan dan masing-masing orang yang dicurigai tetap tidak mau mengaku maka atas restu teteh nenek moyang, kepala adat dan kepala soa bisa melakukan sumpahan mati. Sumpahan mati diucapkan dengan terlebih dahulu meminta restu dari teteh nenek moyang agar memberikan kecelakaan bagi orang yang benar-benar salah. Sumpahan mati biasa menggunakan tenggang waktu misalnya kepala soa berucap, “Bagi orang yang memang benar-benar mencuri maka ia dan keluarganya akan mati dalam 4 hari”. Berdasarkan sumpahan tersebut maka dalam waktu 4 hari maka keluarga dan pencuri tersebut akan menemui ajalnya. Proses Sumpahan Adat Catatan Wawancara Kepala Soa Semua dikumpulkan, keluarga, semua menjadi saksi. Kira-kira siapa yang ambil, siapa yang benar. Itu kadang ada banyak macam sumpah adat. Itu kalau sing perlu orang mati, itu pak dong taruh api, atau kasih mendidih air pak. Dong semua taruh tangan. Itu air mendidih pak. kalau orang itu seng ambil sekalipun di celup tangan tidak malapo. tapi kalau orang itu ambil maka celup ke bawah langsung tangan melepuh. Berarti kamu yang ambil sudah bukti. Itu pak sumpah hidup itu pak. makanya orang itu ngeri karena begitu. itu dong pakai air mendidih itu bisa itu dong pakai bakar besi. Bakar besi sampai dia merah-merah pak baru masing-masing datang pegang tetapi itu semua sudah dibicarakan sama orang tua. Kalau memang betul orang ini tidak ambil sekalipun dia pegang besi bakar itu tangan tidak melepuh, itu biar besi merah diangkat begini katong pegang bgini tangan tidak melepuh kalau memang kita punya milik betul betul. Tapi kalau siapa dia berani ambil 191

Etnik Buru, Kabupaten Buru, Provinsi Maluku

sebelum sentuh begini tangan sudah melepuh habis terbakar. Nah itu sudah dia yang ambil. Jadi adat itu banyak orang mengakui itu karena begitu. Kalau sampai ke tingkat mati itu tadi tidak bisa diampunkan lagi. tapi macam saya itukan tidak berani, belum berani ke tingkat kematian karena masyarakat mati kan kita saja takut rugi. Jadi pertama saya hilang barang begitu saya masih ambil kebijakan dengan sumpahsumaph yang bisa hidup tadi, macam kasih andi di air untuk kumpul dorang semua, pegang, atau katong sumpah adat, untuk orang-orang semua picoko untuk cari binantang begitu, kalau memang orang ini ambil memang katong hari ini dapat babi satu ekor di hutan, nah itu mereka berjalan langsung dapat babi satu ekor berarti kan kamu yang ambil. Kalau memang kamu tidak ambil kamu tidak dapat, sekalipun kamu pergi coko sampe dua tiga hari pun satu ekorpun tidak dapat ha bagitu itu sumpah hidup itu bagitu sampe bikin beberapa itu sampe memang dia suda tau bahwa batul-batul dia yang ambel tapi dia masih malawang ha itu maka tutu deng itu sumpahan mati tadi kalau sumpahan mati tadi berti itu terakhir tidak bisa di ampunkan lagi karna dia manyangkal trus seng beri tau karna suda terbukti tiga kali tapi dia masih menyangkal masih manyangkal adat maka dituntut dengan sumpahan mati bagitu sumpahan mati langsung itu tidak lama kalau di janji 2 hari maninggal 3 hari maninggal,4 hari maninggal”

Sumpahan adat yang dilakukan perseorangan biasanya dilakukan dengan mendatangi tempat pamali. Seseorang akan membawa persyaratan adat dan pergi ke air pamali atau rumah koin (pamali) untuk mengadukan kepada teteh nenek moyang perbuatan seseorang yang telah melukai hatinya, ataupun mencuri harta yang dimilikinya. Atas restu teteh nenek moyang, misalnya orang yang disakiti akan mengucapkan sumpah bahwa orang yang telah menyakiti dirinya jika tidak mau meminta maaf diberi rasa sakit dan penyakit selama hidupnya. Jika memang benar hal tersebut disebabkan karena kesalahan orang yang ditunjuk maka orang tersebut akan sakit sampai mati. Namun apabila kesalahan lebih banyak dimiliki oleh orang yang 192

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

mengeluarkan sumpah maka ia sendiri yang akan merasakan apa yang telah diucapkan. Salah satu cerita mengenai sumpahan adat ini terjadi di salah satu orang di kampung lokasi penelitian. Seorang suami menceraikan perempuan yang telah dinikahinya karena sudah beberapa tahun tidak memiliki anak. Pihak laki-laki memenuhi permintaan harta dari pihak perempuan karena ia menceraikan perempuan yang telah dibeli dengan harta kawin. Namun perempuan tersebut tidak menerima perlakuan dari suaminya karena beranggapan dia tidak memiliki anak karena suaminya memiliki ilmu panas yang dipercaya menghambat untuk mendapatkan anak. Maka perempuan tersebut melakukan persyaratan adat dengan mendatangi rumah pamali dengan membawa ayam hidup dan sirih pinang untuk mengadukan kondisi yang dialaminya kepada teteh nenek moyang. Perempuan tersebut memberikan sumpahan kepada suami yang telah menceraikannya bahwa lelaki itu harus mengalami kesakitan yang luar biasa dan usahanya akan selalu menemui kesulitan selama ia belum meminta maaf dan mencium kakinya sendiri. Sumpahan adat tersebut dikabulkan oleh leluhur, sehingga selama hidup lelaki tersebut sering mengalami sakit tiba-tiba dan usaha yang digeluti mantan suaminya tersebut lama kelamaan bangkrut. Cerita lain dituturkan salah satu informan, bahwa pernah terjadi kasus di kampungnya, tersebutlah ada seorang istri yang sedang mengandung berusia sekitar 6 bulan. Namun suaminya curiga bahwa anak yang dikandungnya bukanlah anak dari benih yang ditanamnya. Ketika istrinya didesak untuk mengaku anak tersebut hasil perbuatannya dengan laki-laki lain, tetapi perempuan tersebut tetap bersikukuh bahwa janin yang dikandungnya adalah hasil berhubungan dengan suami. Untuk membuktikan kebenaran dari tuduhan tersebut, maka suami 193

Etnik Buru, Kabupaten Buru, Provinsi Maluku

selanjutnya mengambil satu gelas air dan meminta kepada rohroh leluhur untuk memberikan kebenaran atas tuduhanya. Ia mengucapkan sumpah, jika benar bahwa janin yang dikandung istrinya bukan anaknya, maka sesaat setelah air putih ini diminum oleh istrinya maka janin tersebut akan keluar dengan sendirinya dan dimakan anjing. Hal tersebut menjadi kenyataan setelah istrinya meminum segelas air yang telah ditiup-tiup suaminya dengan sumpahan adat tersebut tiba-tiba perutnya terasa sakit dan langsung keguguran di depanorang banyak. Begitu janin jatuh ke tanah, datanglah seekor anjing dan memakan janin tersebut sehingga terbukti sumpah yang dilontarkan suami kepada istrinya tersebut. Kepercayaan terhadap sumpahan adat dalam masyarakat Buru menjadikan masyarakat Geba Bupolo mengawali menyembuhkan setiap penyakit yang dialaminya dengan melakukan refleksi terhadap perilakunya selama ini. 4.2.4. Rine Buat Rine Hai: Kamu Berbuat Kamu Celaka "Kae menyangkal namu kesalahan maka kae dufa sandiri tuhanamu kesalahanan karna kae perbuatan hangimnami kae fhaha nakal hangina ni atau kaloa boho gebaba hangina ni kae carita ngei geba ntuat to mo sedangkan bapa adat dan kapala soa mo maka jadi dia dapat kecelakaan sesuai dengan perbuatan”.

Petikan wawancara dengan salah satu kepala adat tersebut menegaskan bahwa bagi seorang yang melakukan kesalahan maka ia akan menerima hukuman atas kesalahan tersebut dengan penyakit yang dideritanya. Beragam cerita mengenai kejadian yang terkait dengan konsep sakit karena perbuatan sendiri ini banyak beredar di kalangan masyarakat Buru. Salah satu cerita yang menarik adalah 194

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

peristiwa yang dialami oleh Bapak Raja Kayeli. Beberapa tahun yang lalu, Bapak Raja menderita penyakit yang tidak diketahui penyebabnya. Ia mengalami stroke sampai tidak sadarkan diri selama beberapa bulan. Berbagai cara pengobatan medis sudah ditempuh dengan membawa berobat ke Ambon, Makasar bahkan hingga ke Jawa. Namun penyakit yang ia derita tidak kunjung mendapat kesembuhan. Kemudian keluarga mencoba mengumpulkan semua kepala adat dan kepala soa di Petuanan Kayeli untuk melakukan semake dan upacara adat untuk meminta kesembuhan bagi Raja. Setelah semake dilakukan, maka komunikasi dengan leluhur mendapatkan keterangan bahwa Raja Kayeli harus kembali ke Kayeli, tidak boleh bertempat tinggal di Namlea. Memang benar sebelum sakit Raja Kayeli menjabat sebagai anggota DPR dan lebih banyak tinggal di Namlea. Setelah ada upacara adat besar-besaran dan Bapak Raja Kayeli kembali ke kampung Kayeli berangsur-angsur kesehatannya pulih dengan baik. Peristiwa ini meneguhkan bahwa penyebab penyakit dan kesembuhan seseorang, tidak peduli beliau seorang raja sangat tergantung kepada perbuatan yang dilakukan sebelumnya. Cerita lain dituturkan oleh salah satu informan di lokasi penelitian, ada seorang anak muda yang pada waktu mudanya dikenal sebagai preman, pekerjaannya mabuk dan berkelahi. Akibat perbuatannya tersebut banyak orang yang tidak senang. Pada waktu ia mabuk, ia terjatuh dengan sepeda motor yang ditumpanginya. Kemudian ia dilarikan ke rumah sakit kabupaten, namun kondisinya berangsur-angsur semakin terpuruk. Maka keluarga membawanya pulang ke rumah dan diobati dengan obat-obat kampung. Berbagai upaya pengobatan dilakukan, mulai dari mengumpulkan keluarga untuk melakukan semake, obat-obatan asli Buru, tabib dan penyembuh didatangkan namun belum memberikan hasil. Ia masih lemah tak berdaya, dalam keseharian ia hanya bisa terlentang di tempat tidur. Banyak 195

Etnik Buru, Kabupaten Buru, Provinsi Maluku

orang menceritakan bahwa ia mendapakan hukuman atas perbuatannya di masa mudanya sehingga ia mengalami kesakitan yang luar biasa di waktu menjelang tuanya. 4.2.5. Sakit Karena Faktor Biologis Pertemuan masyarakat Buru pegunungan dengan beberapa pendatang yang ada di dataran rendah dan pesisir sedikit banyak mulai membuka pemahaman warga mengenai konsep penyebab sakit. Masuknya pendidikan dan para penyebar agama ke pegunungan sedikit banyak mampu membuka pemahaman warga mengenai penyakit. Jika sebelumnya dipercaya bahwa penyakit merupakan soe atau tuntutan dari orang tua, perlahan pemahaman tersebut bisa terkikis karena masuknya tenaga kesehatan ke daerah pegunungan baik yang dibawa oleh pemberi layanan maupun agen gereja yang juga menetap di kampung-kampung wilayah pegunungan. Di lokasi penelitian, banyak perempuan-perempuan ibu rumah tangga yang mengeluhkan kondisi kesehatan anak-anak mereka. Batuk, pilek, panas dan tidak mau main bersama dengan teman-temannya. Kondisi kesehatan anak ini sangat dikeluhkan oleh para ibu, karena ketika ada anaknya yang sakit, kerja keseharian baik di ketel maupun di kebun menjadi terhambat. Para ibu tidak bisa menitipkan anaknya kepada perempuan lain yang tinggal di kampung, sehingga ia harus menghentikan pekerjaan yang biasanya dilakukan. Beragam cerita mengenai sebab sakit pun bukan lagi karena soe atau tuntutan tetapi disebabkan perubahan musim misalnya dari panas terik di siang hari kemudian tiba-tiba hujan deras dan hal tersebut menyebabkan kesehatan anak terganggu. Pemahaman lain juga mulai terlontar dalam perbincangan dengan para tetua adat. Penyakit mulai dipahami, sebutannya 196

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

satu, tidak seperti agama ada 3 yaitu Hindu, Islam dan Kristen. Pendapat seorang tetua adat mengenai penyakit “…agama di dunia ini ada 3 macam; Hindu, Islam dan Kristen. Tetapi penyakit di belahan dunia manapun namanya batuk ya disebut batuk, panas ya panas. Jadi sama posisinya sehingga pengobatannya juga sama. Bukan kok karena tuntutan leluhur, soe atau sumpahan adat dari orang yang tidak suka dengan kita.” (catatan observasi, 2014)

Gambar 4. 7. Petugas Kesehatan Memberikan Vitamin pada Salah Satu Anak Bupolo Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2014

Pemahaman warga mengenai penyakit pun tidak serta merta bisa terbuka ketika dusun mereka didatangi oleh petugas pelayanan kesehatan dari Puskesmas. Masih banyak warga yang tidak mau diperiksa kesehatannya, diambil sampel darahnya dan diberikan imunisasi untuk anak-anaknya. Tantangan untuk merubah pemahaman masyarakat Buru mengenai penyakit

197

Etnik Buru, Kabupaten Buru, Provinsi Maluku

masih cukup besar dirasakan oleh tenaga kesehatan yang bertugas melayani kesehatan di wilayah pegunungan. 4.3. Pola Penyembuhan Geba Bupolo Pola penyembuhan Geba Bupolo terutama di wilayah pegunungan seperti dituturkan salah satu informan berikut ini: “Kalau dia sakit, pertama itu dia bicara, minta roh-roh arwah-arwah itu dari orang mati orang tuanya, dari bapak ibu, teteh atau nenek, oyang-oyang gitu nah itu dia punya pandangan bahwa roh-roh itu bisa menolong dia dalam kesakitan itu. lalu yang kedua untuk sembuh ada peninggalan dari orang tua disebut seperti mantra fufu gitu, tiup-tiup lah itu yang bisa nolong dia untuk sembuh.yang ketiga dia bantu ada orang tuanya tunjuk obat daun-daun akar-akar seperti kita dokter itu.” (catatan wawancara, 2014)

4.3.1. Semake/Babeto Komunikasi dengan teteh moyang, dan orang-orang yang sudah meninggal, bahkan bakal janin yang keguguran menjadi sarana untuk membuat orang hamil, atau orang sakit menjadi sehat. Proses komunikasi meminta maaf dan berkomunikasi dengan arwah orang yang meninggal adalah babeto atau semake dalam konteks masyarakat Buru. Semake harus mengundang semua keluarga baik dari pihak istri maupun pihak suami. Komunikasi dengan teteh moyang dilakukan oleh tetua/orang yang sudah tua, bisa juga dilakukan oleh perempuan, orang yang melakukan semake harus berbaju adat lengkap dengan selempang merah. Upacara penyembuhan ini bertujuan agar orang yang sakit tidak lagi diganggu dan dimaafkan oleh teteh moyang sehingga kondisi si sakit bisa cepat pulih. Dalam proses 198

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

babeto, jika tetua dan orang tua yang melakukan babeto menyatakan bahwa si sakit akan sembuh maka ia akan bisa sembuh apapun treatment kesehatan yang dilakukan. Namun jika sudah diputuskan bahwa orang yang sakit menurut teteh moyang akan segera meninggal maka upaya apapun yang dilakukan oleh keluarga si sakit ia pasti akan meninggal. Salah satu informan menuturkan mengenai cara-cara semake yang biasa dilakukan oleh masyarakat Buru; “… semake dengan rama. Jadi semake itu dia panggil roh itu, kemudian rama itu roh itu sudah datang pada dia, sehingga dia sudah bicara menerangkan bahwa ini begini- begini, kalau semake itu masih panggil minta. itu yang pertama yang kedua itu seperti cari tahu itu, kalau sesuatu yang hilang atau sesuatu yang susah orang sakit itu keras, mereka bisa tahu, orang ini mau sehat atau sembuh. itu yang rama tadi itu yang panggil dia datang, ooo orang ini bisa mati pasti dia mati, kalau orang ini sembuh tetap bagaimana ia sakit tetap sembuh.”

Semake merupakan tahapan pertama penyembuhan bagi orang yang sakit. Setelah dilakukan semake terlebih dahulu, meminta perlindungan dan arahan dari teteh nenek moyang. Biasana berdasarkan cerita bukti dari restu leluhur tersebut bisa langsung dirasakan oleh si sakit. Semisal ada anak kecil yang sakit maka setelah orang tuanya melakukan semake tiba-tiba anak tersebut langsung sehat dan mau bermain dengan temantemannya. 4.3.2. Mantra Fufu Ketika komunikasi dengan leluhur sudah dilakukan, pola penyembuhan dilakukan oleh tua-tua adat, atau orang yang dipercaya warga dalam satu Etnik memiliki titipan mantra 199

Etnik Buru, Kabupaten Buru, Provinsi Maluku

penyembuhan dari leluhur. Tetua adat tersebut akan diundang atau didatangi untuk memberikan kesembuhan kepada si sakit. Mantra-mantra diucapkan dengan doa-doa yang diucapkan secara sir/tanpa suara. Orang lain hanya bisa melihat gerakan mulut penyembuh tanpa tahu mantra yang diucapkan serta cara pengucapannya. Mantra ditiupkan pada segelas air dan selanjutnya diminumkan kepada si sakit. Menggunakan media air dalam gelas juga digunakan oleh orang-orang yang memiliki ilmu untuk membantu proses kelahiran. Begitu mantra-mantra diucapkan ke dalam sebuah gelas berisi air putih lalu air tersebut diminumkan kepada perempuan yang akan melahirkan. Selanjutnya tanpa kesulitan perempuan tersebut bisa melahirkan dengan lancar. Bagi perempuan yang melahirkan, mantra-mantra penyembuhan setelah kelahiran biasanya diberikan oleh mama mantu atau kakak perempuannya untuk membantu agar fisik kembali membaik. Dalam satu fam dan Etnik, minimal ada satu orang atau lebih yang menguasai pengobatan segala jenis penyakit dengan cara ditiup-tiup. Kemampuan ini diturunkan secara turun temurun kepada anak keturunannya sendiri. Beragam mantra yang dimiliki tentu akan punah ketika pemilik mantra belum mewariskan pengetahuannya sementara ia terlanjur meninggal. 4.3.3. Akar-Akaran, Daun dan Kulit Kayu Penyembuhan dengan menggunakan akar-akaran, daun dan kulit kayu bagi masyarakat Buru dilakukan oleh tua-tua adat. Biasanya masing-masing fam memilik 2 orang atau lebih dianggap mengetahui campuran tumbuhan yang digunakan untuk penyembuhan penyakit tertentu. Keberadaan orang-orang yang mengetahui pengobatan asli Buru ini sangat dirahasiakan, karena 200

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

orang-orang tersebut akan menjaga keberlangsungan bahan ramuan obat untuk mengobati sakit tertentu. Ketika ada yang sakit, orang yang mengetahui ramuan obat Buru tersebut akan mendatangi dan melihat kondisi si sakit. Orang tua tersebut kemudian akan berkata kepada si sakit bahwa ia akan meracikkan ramuan obat untuk menunjang kesembuhan si sakit. Setelah ia meracik akar-akaran, daun dan kulit kayu di rumah, selanjutnya ramuan tersebut dibawa ke rumah si sakit. Setelah diminum tetua adat pun berpesan agar tidak memberitahukan kepada siapapun pembuat ramuan obat tersebut.

Gambar 4. 8. Pelat Atau Daun Gatal Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2014

Daun yang sering disebut sebagai obat Buru adalah daun pelat atau daun gatal. Pelat memiliki rambut lembut,jika diusapkan ke tubuh akan menimbulkan rasa gatal selama hampir 7-10 menit. Daun gatal digunakan untuk mengobati pegal-pegal, encok dan rematik.

201

Etnik Buru, Kabupaten Buru, Provinsi Maluku

202

BAB 5 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

5.1.Kesimpulan Pulau Buru merupakan salah satu pulau besar di kepulauan Maluku. Pulau ini terkenal sebagai pulau pengasingan bagi para tahanan politik pada pemerintahan Orde Baru. Tanaman kayu putih merupakan tanaman asli pulau Buru, sehingga Buru menjadi daerah penghasil minyak kayu putih. Bentang alam Pulau Buru berupa pesisir pantai, dataran rendah, perbukitan dan pegunungan. Pendatang dari Ambon, Seram, Buton, Bugis, Makasar maupun transmigran dari Jawa menempati pesisir pantai dan dataran rendah. Sementara Etnik Buru sebagai Etnik asli di Pulau Buru kebanyakan bermukim di pegunungan dan sebagian tersebar di wilayah dataran rendah dan pesisir pantai. Sejarah penyebaran Etnik Buru syarat dengan terminology pendudukan dan penjagaan wilayah. Mulai dari Ternate-Tidore, Portugis-Spanyol-Belanda-Jepang, hingga tapol/ napol 65 – transmigran dari Jawa. Bagi Geba Bupolo (orang buru), Pulau Buru disebut sebagai Bumilale atau tanah datar karena itu bumilale harus dijaga dari unsur luar yang masuk, sebab dapat merusak keseimbangan lingkungan dan keharmonisan yang harus dijaga dan dipelihara dengan baik di jiwa masing-masing orang Bupolo. Obyek studi ini dilakukan di Petuanan Kayeli yang secara khusus mengambil lokasi di Kecamatan Lolong Guba untuk 203

Etnik Buru, Kabupaten Buru, Provinsi Maluku

melihat gambaran kehidupan Etnik Buru di pegunungan. Petuanan Kayeli atau sering disebut Kayeli Peta telo memiliki wilayah kekuasaan dari kepala Air sampai dengan Kaki Air Waeapo. Secara Administratif Petuanan Kayeli meliputi Kecamatan Namlea, Waeapo, Waelata, Teluk Kayeli dan Lolong Guba. Struktur adat di wilayah Petuanan Kayeli mengikuti kewilayahan, Kayeli sea wait Raja Kayeli, di Kayeli rata lalen diperintah Hinolong, dibantu oleh Matetemun serta di Kayeli Kaku dijabat oleh Kaksodin. Kepala soa dan kepala adat, dibantu Kuawasan bertugas untuk mengurusi warga di tingkat Soa. Sistem kekerabatan masyarakat Buru menggunakan sistem kekerabatan patrilineal. System perkawinan sangat berpengaruh terhadap distribusi harta dan kepemilikan warga Buru. Secara umum mata pencaharian masih subsisten dengan mengandalkan minyak kayu putih sebagai penghailan utama. Tingkat pendidikan dan kesehatan masyarakat Buru bervariasi menurut kontur wilayahnya. Anak usia sekolah di wilayah pegunungan kebanyakan tidak mengenyam pendidikan formal. Sarana pendidikan cukup jauh untuk diakses oleh anak usia sekolah. Kelas jauh yang dibuat pemerintah pun tidak berjalan dengan baik. Tidak dimilikinya pendidikan dasar bagi anak remaja ini berpengaruh terhadap tingkat kesehatan. Kondisi kesehatan masyarakat di pegunungan juga masih jauh dari harapan. Minimnya pemahaman kesehatan disebabkan belum adanya penanganan pelayan kesehatan secara rutin. Unit pelayanan kesehatan Puskesmas tidak terjangkau oleh warga untuk secara mandiri mendapatkan layanan kesehatan. Sarana transportasi dan keterjangkauan menjadi alasan minimnya warga untuk mengakses layanan kesehatan. Di sisi lain, pemberi layanan (Puskesmas-Dinas Kesehatan Kabupaten) belum memiliki program dan mekanisme untuk menjangkau masyarakat adat yang tinggal di pegunungan. 204

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

Pada umumnya ibu-ibu di Desa Nafrua menganggap masa kehamilan adalah hal yang biasa, pada saat hamil mereka tetap melakukan aktifitas yang sama dengan saat sebelum hamil. Menurut mereka, kehamilan merupakan hal seperti biasanya dan bukan sesuatu yang membutuhkan perawatan khusus dalam menjaga kehamilan tersebut. Faktor risiko tinggi dalam kehamilan tidak pernah mereka hiraukan. Hal in disebabkan pengetahuan mereka yang kurang mengenai risiko tinggi dalam kehamilan. Kemudahan di dalam menjangkau tempat pelayanan antenatal juga sangat menentukan seseorang untuk memanfaatkan pelayanan kesehatan dengan baik. Kawasan desa–desa yang masih banyak terisolir, akses jalan rusak dan jarak yang jauh menyebabkan ibu hamil sulit memeriksakan kehamilannya ke petugas pelayanan antenatal. Oleh sebab itu, masyarakat Desa Nafrua lebih melakukan proses persalinan sendiri. Hal tersebut sudah menjadi suatu hal yang biasa di kalangan mereka. Pada umumnya saat hamil ibu-ibu di desa ini tidak memeriksakan kehamilannya sampai bayi lahir, karena disana tidak ada fasilitas kesehatan maupun tenaga kesehatan seperti praktek bidan swasta maupun dukun bayi. Fasilitas kesehatan yaitu Puskesmas terdekat ada di Desa Waelo, sedangkan rumah sakit terdekat di pusat ibu kota kabupaten, yaitu di Namlea. Hal ini juga menyulitkan bagi manajemen Puskesmas Waelo yang mempunyai jangkauan wilayah kerja yang cukup luas untuk dapat memberikan pelayanan kepada semua desa yang ada di wilayah kerjanya. Faktor geografis dan kondisi jalan, ketersediaan tenaga kesehatan yang hampir 80 persennya perempuan menghambat keterjangkauan kerja. Dari 14 desa yang menjadi wilayah kerja Puskesmas Waelo hanya Desa Nafrua saja yang belum terjamah oleh Puskesmas keliling. Jarak dari Desa Nafrua ke desa Waelo 205

Etnik Buru, Kabupaten Buru, Provinsi Maluku

sekitar kurang lebih 80 Km, tidak ada transportasi umum yang melintas di dua desa ini. Sehingga untuk mencapai desa Waelo, hanya penduduk yang memiliki kendaraan pribadi. Itupun jalan yang harus dilewati naik turun gunung, licin, ada yang berbatu, dan bila musim hujan sering longsor. Hal ini menjadi sulitnya masyarakat Desa Nafrua untuk mengakses pelayanan kesehatan. Apabila ibu yang bersalin mengalami susah melahirkan, dalam tradisi adat Etnik Buru terdapat ritual khusus yang bernama “Semake atau babeto” yaitu berdoa atau berkomunikasi dengan roh-roh leluhur untuk menanyakan faktor penyebab si ibu susah melahirkan. Tidak hanya bagi ibu yang susah melahirkan, babeto juga dilakukan pada saat ada masyarakat yang sedang sakit keras atau ada kejadian tertentu yang berkaitan dengan hal – hal mistis. Tujuannya agar para roh leluhur memberitahukan apa yang terjadi. Peralatan yang digunakan antara lain kapur, sirih, dan pinang. Setelah persalinan, mereka melakukan Asar atau Pangi yaitu memberikan asap melalui kayu yang dibakar di dalam kamar untuk dimanfaatkan asapnya bertujuan untuk menghangatkan tubuh bayi dan ibunya agar tali pusat mengering. Tidak ada upacara atau ritual khusus setelah melahirkan di Desa Nafrua. Biasanya setelah melahirkan ada beberapa yang datang untuk melihat dan menjenguk. Perawatan terhadap neonatus dan bayi umumnya semua masyarakat Desa Nafrua. Mereka kurang memahami perilaku sehat sehingga perawatan terhadap bayi baru lahir untuk tali pusatnya hanya dibungkus dengan menggunakan kain. Bayi biasanya dimandikan dua kali sehari. Yakni pagi dan sore hari. Ada yang menggunakan air hangat dan ada yang menggunakan air dingin. Setelah memandikan bayinya, mereka merawat tali pusatnya hanya dengan mengeringkannya dan membungkus dengan kain kering. 206

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

Masa balita dan anak-anak merupakan masa pertumbuhan dimana pola asuh menjadi penting untuk pembentukan karakter sang anak. Dalam kesehariannya, anakanak di Desa Nafrua biasanya lebih sering bersama ibunya dari pada ayahnya. Tetapi bagi ibu yang bekerja di kebun atau di ketel untuk mencari daun kayu putih maka anak-anaknya juga ikut. Mereka juga ikut tinggal di tenda-tenda yang dibuat untuk tinggal selama beberapa hari. Apabila sang ibu memiliki anak usia 5 tahun maka yang mengasuh bayi atau balita adalah anak tersebut. Sejak kecil mereka sudah dilatih untuk memiliki tanggung jawab mengasuh adiknya, melakukan pekerjaan rumah seperti mencuci piring, mencuci baju, serta memasak. Dalam hal pencarian pengobatan, sebagian besar masyarakat menyatakan bahwa ketika ada keluhan penyakit, mereka mencoba mengobati sendiri dengan obat tradisonal, yakni ramuan dari jenis daun-daunan dan akar-akaran atau membeli obat di warung. Jika penyakitnya belum sembuh, biasanya mereka akan melakukan babeto atau semake, dan terakhir barulah ke fasilitas kesehatan atau ke Puskesmas. Ini dikarenakan di Desa Nafrua tidak ada fasilitas kesehatan sama sekali dan jarak menuju fasilitas kesehatan sangat jauh dengan kondisi jalanan di pegunungan yang belum beraspal. Unsur-unsur budaya yang mempengaruhi kesehatan masyarakat Etnik Buru dipengaruhi oleh: 1) Dari permukiman berpindah menjadi menetap Kondisi kesehatan Geba Bupolo terutama di daerah pegunungan jika dilihat dari kaca mata kesehatan modern sangat menghawatirkan. Jarangnya kehadiran tenaga kesehatan ke daerah tersebut membuat warga bertahan dengan alam yang melingkupinya. Faktor kesehatan, terutama sakit dan kematian menjadi salah satu penyebab utama masyarakat Bupolo di pegunungan berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain. 207

Etnik Buru, Kabupaten Buru, Provinsi Maluku

Sakit dan kematian merupakan pertanda bagi masyarakat Buru terutama di pegunungan bahwa kondisi lingkungan yang melingkupinya sudah tidak sehat lagi. Jika ditilik lebih jauh, kondisi ini menunjukkan bahwa Geba Bupolo memiliki kearifan kultural yang baik dalam hal kesehatan. Berpindah dari satu tempat ke tempat lain, tidak saja didasarkan pada keberadaan binatang buruan, hasil hutan dan lokasi untuk berkebun namun kondisi lingkungan yang membuat kesehatan terganggu. Perubahan dari pola hidup berpindah ini membawa konsekuensi yang cukup besar bagi kehidupan masyarakat Buru terutama yang tinggal di daerah pegunungan. Memulai dari kelompok kecil dalam satu kerabat dengan 3-4 rumah, kemudian berangsur menetap berkumpul menjadi wilayah permukiman kecil dalam wilayah administratif dusun atau kampung berkumpul lebih dari 20 rumah.Tentu kondisi ini sangat berpengaruh terhadap kondisi lingkungan fisik maupun lingkungan alam yang menjadi tumpuan kehidupan warga. Kehidupan tradisional masih cukup sulit untuk ditinggalkan. Mulai dari bentuk rumah yang masih bertahan dengan kulit kayu dan atap ilalang, sumber air yang dijadikan kebutuhan utama pun harus diambil cukup jauh dari permukiman, serta kehidupan komunal yang masih terasa kuat dalam keseharian. Konteks kehidupan ini tentu sangat berpengaruh terhadap kondisi kesehatan masyarakat. 2) Pola Pencaharian Geba Bupolo Kebutuhan sehari-hari orang Bupolo di Kayeli Kaku masih sangat tergantung kepada ketersediaan alam. Seiring waktu berjalan perubahan dari pemukiman yang berpindah-pindah ke permukiman yang menetap membuat beberapa warga semakin terdiferensiasi jenis pekerjaan yang dimiliki. Berburu merupakan salah satu mata pencaharian orang Buru sejak masa lalu sampai dengan sekarang. Selain itu berkebun juga merupakan aktivitas 208

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

utama untuk mendapatkan bahan makanan pokok sehari hari.Warga di Kayeli Kaku masih menggunakan sistem ladang berpindah. Satu lahan kebun biasanya dimiliki oleh salah satu keluarga. Kegiatan berkebun dilakukan di lereng-lereng gunung yang terdapat aliran mata air. Selain itu juga, untuk memenuhi kebutuhan lainnya orang Bupolo juga melakukan penyulingan minyak kayu putih yang kemudian hasilnya akan dijual untuk mendapatkan uang. Selainberburu, berkebun dan memasak kayu putih, maka semenjak dibukanya penambangan emas rakyat Gunung Botak di tahun 2011 banyak warga pegunungan yang turut mencari penghidupan di tambang. Dari hasil tambang tersebut selain menambah penghasilan juga digunakan warga untuk mulai membangun rumah semi permanen.Walaupun tidak banyak yang berhasil, namun hampir semua orang baik perempuan laki-laki, besar dan kecil pernah merasakan hasil dari bekerja di pertambangan emas rakyat gunung Botak. 3) Religi Geba Bupolo; Hindu Adat Kepercayaan sebagian besar masyarakat Buru di Kayeli Kaku (pegunungan) menurut beberapa referensi masih menganut animisme atau kepercayaan kepada roh nenek moyang. Walaupun begitu warga sendiri menganggap bahwa kepercayaan yang dianutnya adalah agama hindu. Orang Bupolo menyebut sebagai agama Hindu Adat. Hindu Adat ada juga yang menyebut sebagai hindu adam, hal ini karena orang Bupolo yang meyakini bahwa manusia pertama kali tercipta di dunia adalah Adam. Walaupun begitu predikat Hindu ini pada awalnya disematkan oleh penduduk yang tinggal di pesisir untuk menyebut agama yang dianut oleh warga Buru di pegunungan. Selain percaya kepada Opalastala (Tuhan), masyarakat Buru di Kayeli Kaku (pegunungan) juga percaya kepada bendabenda di alam seperti sungai, gunung, air, pohon besar, batu dan 209

Etnik Buru, Kabupaten Buru, Provinsi Maluku

sebagainya memiliki kekuatan gaib dan berjiwa sebagai penjelmaan dari roh. Roh manusia yang telah meninggal menurut mereka masih terus hidup dan akan menemani setiap langkah keseharian anak keturunannya. Oleh karena itu mereka selalu mengadakan pemujaan dan penghormatan kepada roh-roh maupun teteh nenek moyang yang sudah meninggal. Persembahan diberikan kepada teteh nenek moyang mereka yang sudah meninggal agar selalu diberikan kemudahan dan kebaikan dalam menjalani kehidupannya. 4) Titipan; Sistem Pewarisan Pengetahuan Sistem pewarisan pengetahuan antar generasi cukup unik terjadi pada etnik Buru. Geba Bupolo menyebut pengetahuan yang didapatkan dari pesan orang tua-tua sebagai sebuah titipan yang harus dipegangnya sampai akhir hayat dan kemudian diwariskan kelak kepada anak keturunannya yang bisa dipercaya memegang titipan tersebut. Bentuk titipan cukup beragam. Tidak saja mengenai kisah dan cerita masa lalu, sejarah asal usul, namun juga titipan lain semisal pengetahuan mereka mengenai proses penyembuhan, doa-doa untuk melahirkan, doa-doa untuk penyembuhan, pengetahuan mengenai akar, kulit, daun dan buah untuk penyembuhan dan lain sebagainya. Masyarakat Bupolo sangat erat memegang titipan yang diberikan leluhur, mereka percaya jika orang yang memegang tititpan tidak menjaga apa yang menjadi titipannya maka para leluhur akan melakukan tuntutan kepada mereka sehingga mengakibatkan anak turunnya yang dititipi tersebut bisa meninggal seketika. Dalam satu fam misalnya hanya ada satu atau lebih orang yang mengetahui mengenai ilmu pengobatan. Kepemilikan pengetahuan pun harus ditutupi dari orang lain. Persepsi warga mengenai sakit dan rasa sakit sangat mempengaruhi warga dalam mencari upaya penyembuhan. Persepsi penyebab penyakit menurut Geba Bupolo antara lain: 210

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

1. Ina Kabuki; wabah penyakit Masyarakat Buru percaya bahwa Ina Kabuki sebagai penguasa laut yang berdiam di Ipalahin merupakan Ibu dari segala obat sekaligus raja dari segala penyakit. Masyarakat Buru terutama di Petuanan Kayeli percaya bahwa untuk menawarkan wabah tersebut harus menyelenggarakan sedekah dengan menghanyutkan rakit menuju ke laut agar anak buah Ina Kabuki kembali lagi ke laut. 2. Soe: Tuntutan Leluhur Soe atau tuntutan dipercaya oleh masyarakat Geba Bupolo sebagai salah satu penyebab datangnya penyakit yang diderita akibat kelalaiannya menjaga titipan dan menghormati teteh nenek moyang. Atas kepercayaan inilah maka Geba Bupolo sebagai penjaga Pulau Buru sangat rapat menjaga titipan dari generasi terdahulunya. Pertaruhan mereka hadapi dengan nyawa agar Pulau Buru tetap menjadi Bumi Lale dan kehidupan yang selaras antara manusia dan alam sekitarnya terjaga dengan baik. 3. Kitam Mhane: Sumpahan Adat Penyebab sakit yang ketiga adalah karena sumpahan adat. Sumpahan adat ini berkaitan dengan hukum adat. Orang Buru percaya bahwa manusialah yang mengatur adat, bukan adat yang mengatur kehidupan manusia. Sumpahan adat sendiri merupakan salah satu sanksi hukum adat yang diterapkan semenjak teteh nenek moyang. Munculnya sumpahan adat sebagai salah satu hukuman paling akhir untuk orang-orang yang membuat kesalahan, namun demikian orang Buru tidak mau mengakuinya karena secara turun temurun mereka ini bersaudara. 4. Rine Buat Rine Hai: Kamu Berbuat Kamu Celaka Penyebab penyakit yang terjadi karena perbuatan yang pernah dilakukan di masa lalu. 211

Etnik Buru, Kabupaten Buru, Provinsi Maluku

5. Sakit Karena Faktor Biologis Pertemuan masyarakat Buru pegunungan dengan beberapa pendatang yang ada di dataran rendah dan pesisir sedikit banyak mulai membuka pemahaman warga mengenai konsep penyebab sakit. Masuknya pendidikan dan para penyebar agama ke pegunungan sedikit banyak mampu membuka pemahaman warga mengenai penyakit. Pola penyembuhan Geba Bupolo terutama di wilayah pegunungan antara lain: 1. Semake/Babeto Komunikasi dengan teteh moyang, dan orang-orang yang sudah meninggal, bahkan bakal janin yang keguguran menjadi sarana untuk membuat orang hamil, atau orang sakit menjadi sehat. Proses komunikasi meminta maaf dan berkomunikasi dengan arwah orang yang meninggal adalah babeto atau semake dalam konteks masyarakat Buru. Semake harus mengundang semua keluarga baik dari pihak istri maupun pihak suami. Komunikasi dengan teteh moyang dilakukan oleh tetua/orang yang sudah tua, bisa juga dilakukan oleh perempuan, orang yang melakukan semake harus berbaju adat lengkap dengan selempang merah. Upacara penyembuhan ini bertujuan agar orang yang sakit tidak lagi diganggu dan dimaafkan oleh teteh moyang sehingga kondisi si sakit bisa cepat pulih. Dalam proses babeto, jika tetua dan orang tua yang melakukan babeto menyatakan bahwa si sakit akansembuh maka ia akan bisa sembuh apapun treatment kesehatan yang dilakukan. Namun jika sudah diputuskan bahwa orang yang sakit menurut teteh moyang akan segera meninggal maka upaya apapun yang dilakukan oleh keluarga si sakit ia pasti akan meninggal.

212

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

2. Mantra Fufu Ketika komunikasi dengan leluhur sudah dilakukan, pola penyembuhan dilakukan oleh tua-tua adat, atau orang yang dipercaya warga dalam satu Etnik memiliki titipan mantra penyembuhan dari leluhur. Tetua adat tersebut akan diundang atau didatangi untuk memberikan kesembuhan kepada si sakit. Mantra-mantra diucapkan dengan doa-doa yang diucapkan secara sir/tanpa suara. Orang lain hanya bisa melihat gerakan mulut penyembuh tanpa tahu mantra yang diucapkan serta cara pengucapannya. Mantra ditiupkan pada segelas air dan selanjutnya diminumkan kepada si sakit. 3. Akar-akaran, daun dan kulit kayu Penyembuhan dengan menggunakan akar-akaran, daun dan kulit kayu bagi masyarakat Buru dilakukan oleh tua-tua adat. Ketika ada yang sakit, orang yang mengetahui ramuan obat Buru tersebut akan mendatangi dan melihat kondisi si sakit. Orang tua tersebut kemudian akan berkata kepada si sakit bahwa ia akan meracikkan ramuan obat untuk menunjang kesembuhan si sakit. Setelah ia meracik akar-akaran, daun dan kulit kayu di rumah, selanjutnya ramuan tersebut dibawa ke rumah si sakit. Setelah diminum tetua adat pun berpesan agar tidak memberitahukan kepada siapapun pembuat ramuan obat tersebut. 5.2. Rekomendasi Hasil dari penelitian ini memberikan rekomendasi kepada pihak Dinas Kesehatan Kabupaten Buru dan Kementerian Kesehatan sebagai pemegang kebijaksanaan pusat sebagai berikut: 1. Rekomendasi untuk Dinas Kesehatan Kabupaten Buru a) Masalah kesehatan tidak mungkin dapat diselesaikan oleh Dinas kesehatan sendiri, tetapi harus melibatkan 213

Etnik Buru, Kabupaten Buru, Provinsi Maluku

b) c)

d)

e)

f)

214

lintas sektor, kepala Etnik/ketua adat dan seluruh lapisan masyarakat Melakukan advokasi kepada pemerintah daerah. Menggerakkan sumber daya kesehatan terutama tenaga kesehatan yang ada pada Puskesmas Waelo untuk lebih aktif dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat Desa Nafrua. Pembentukan kader kesehatan di Desa Nafrua. Dengan adanya kader di Desa Nafrua ini yang nantinya dapat mengajarkan kepada masyarakat untuk lebih memanfaatkan sumber daya alam yang ada di Desa Nafrua dengan menerapkan teknologi tepat guna dengan bahan utama daun kayu putih untuk promotif dan preventif hal ini dimaksudkan untuk lebih memberdayakan masyarakat Desa Nafrua. Akses jalan yang susah untuk menuju Desa Nafrua mengakibatkan tenaga kesehatan Puskesmas Waelo untuk melakukan Puskesmas keliling secara rutin tidak dapat dilakukan disebabkan Puskesmas membutuhkan kendaraan yang dapat menembus Desa Nafrua. Oleh sebab itu peneliti merekomendasikan untuk memberikan ambulance double gardan untuk Puskesmas Waelo supaya dapat menjangkau daerahdaerah sulit di wilayah kerja Puskesmas. Inovasi untuk membuat Puskesmas khusus daerah pegunungan dengan sarana-prasarana yang sesuai dengan kondisi geografis layak dicoba untuk meningkatkan pelayanan kesehatan kepada masyarakat adat Buru yang tinggal dan menetap di pegunungan. Efektivitas program pemerintah daerah untuk beasiswa menyekolahkan anak daerah ke sekolah-sekolah kesehatan dengan pola rekrutmen dan ikatan kerja

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

dengan Puskesmas setempat, bukan lagi dengan kecamatan sehingga sepulang dari menempuh pendidikan dapat langsung bekerja di Puskesmas yang bersangkutan. 2. Rekomendasi Kementerian Kesehatan sebagai pemegang kebijaksanaan pusat antara lain: a) Kementerian Kesehatan bekerja sama dengan Kementerian Sosial untuk pembangunan rumah KAT (Komunitas Adat Terpencil) berbasis kesehatan dengan memperhatikan kesehatan lingkungan yang sehat untuk membangun rumah tersebut, sumber air yang memenuhi syarat air bersih untuk dapat dikonsumsi komunitas adat terpencil tersebut, dan adanya sarana MCK (mandi, cuci, kakus). b) Kementerian Kesehatan menerapkan kebijakan retensi tenaga kesehatan di DTPK (Daerah Terpencil, Perbatasan dan Kepulauan) kepada Dinas Kesehatan Kabupaten Buru yang berisi tentang: 1) Peningkatan Koordinasi antara Kementerian Kesehatan, Propinsi dan Kabupaten tentang Standar Pelayanan Kesehatan di DTPK. 2) Pola Rekrutmen dan Orientasi Tenaga Kesehatan di DTPK. 3) Pemenuhan Kurikulum Berbasis Kompetensi Tenaga Kesehatan DTPK. 4) Penguatan Manajemen SDM Kesehatan DTPK di Daerah. 5) Jaminan Pengembangan Karir dan Profesi Pasca Penugasan di DTPK. 6) Studi Kebijakan seperti hal nya menentukan standar tenaga kesehatan spesifik DTPK, dengan memperhatikan kondisi geografis dan 215

Etnik Buru, Kabupaten Buru, Provinsi Maluku

topografis wilayah dan kelayakan pemberian insentif, kompensasi dan dukungan fasilitas lainnya untuk penempatan dan pasca penugasan bagi tenaga kesehatan di DTPK.

216

INDEKS

A adat · 5, 6, 7, 12, 13, 17, 18, 25, 27, 29, 30, 32, 34, 35, 36, 37, 46, 47, 48, 49, 51, 53, 69, 81, 87, 93, 101, 156, 175, 176, 181, 188, 189, 190, 191, 192, 193, 194, 195, 196, 197, 198, 199, 200, 201, 204, 206, 209, 211, 212, 213, 214, 215, 220, 221 akses · 74, 86, 103, 111, 142, 152, 161, 171, 205 alat kontrasepsi · 70

F fenomena · 9

G Geba Kaku · 29, 185 Gemamtuam · 46 generasi · 28, 31, 35, 39, 51, 63, 165, 188, 210, 211 geografis · 9, 97, 110, 112, 121, 141, 142, 151, 160, 205, 214, 215

D

H

Daerah Bermasalah Kesehatan · 3, 4, 220

harta adat · 18, 48, 50, 52, 187 harta kawin · 48, 49, 50, 193 Hindu Adat · 42, 43, 209 holistik · 3, 8 hukuman · 47, 189, 194, 196, 211

E ekonomi · 3, 46, 99, 107, 110, 113, 117, 158 etnografi · 3, 8, 30

217

Etnik Buru, Kabupaten Buru, Provinsi Maluku

I Ina Kabuki · 174, 175, 176, 180, 181, 182, 184, 211

K kaki gajah · 28, 181 kawasan · 5, 38 kearifan · 1, 2, 3, 164, 208 keguguran · 80, 81, 87, 153, 194, 198, 212 kehamilan · 80, 82, 83, 85, 86, 95, 99, 110, 147, 154, 205 kehidupan · 5, 25, 30, 32, 42, 43, 46, 52, 53, 82, 125, 152, 164, 167, 185, 188, 204, 208, 211, 229 kekuasaan · 17, 18, 19, 22, 32, 33, 204, 222 kematian · 2, 22, 36, 39, 46, 82, 91, 108, 132, 134, 137, 152, 163, 191, 207 kepala adat · 21, 35, 36, 37, 46, 48, 161, 175, 181, 187, 189, 190, 194, 195, 204 kepala kampung · 36 kepala soa · 36, 37, 38, 46, 48, 53, 170, 181, 189, 190, 195 kepercayaan · 2, 35, 42, 43, 45, 46, 47, 82, 142, 143, 159, 185, 186, 188, 209, 211

218

kesehatan masyarakat · 1, 3, 8, 117, 134, 151, 168, 204, 207, 208 kesehatan reproduksi · 70 keterjangkauan · 7, 10, 146, 151, 160, 204, 205 keturunan · 18, 34, 47, 48, 50, 63, 77, 79, 172, 185, 221 keyakinan · 79, 185 Komunitas Adat Terpencil · 9, 165, 215

M makanan · 2, 40, 58, 68, 75, 78, 87, 88, 97, 98, 99, 102, 103, 108, 113, 114, 122, 123, 158, 176, 180, 185, 209 malaria · 129, 132, 133, 157 masalah kesehatan · 1, 2, 9, 129, 132, 152, 156 menstruasi · 72, 73, 82, 85, 86 meramu · 38, 41, 54, 88, 125 merokok · 123, 124, 176 metode · 1, 3, 8, 153, 154

N nenek moyang · 33, 34, 38, 43, 44, 45, 47, 80, 81, 143, 157, 166, 185, 186, 188, 189, 190, 192, 193, 199, 209, 210, 211, 221

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

P pamali · 10, 33, 38, 46, 47, 55, 92, 143, 175, 176, 180, 181, 185, 192, 193 pantangan · 2, 86, 87 pelayanan kesehatan · 4, 7, 8, 86, 89, 110, 111, 133, 141, 143, 145, 146, 147, 149, 152, 156, 158, 161, 169, 170, 171, 197, 204, 205, 206, 214 pemekaran · 9, 24, 26, 27, 144, 151, 159 pemeriksaan · 89, 108, 110, 112, 131, 148, 149, 170, 172 pendatang · 6, 18, 21, 28, 29, 31, 35, 37, 73, 143, 185, 196, 212 pendekatan · 1, 3 penderita · 132, 133, 134, 136, 138 pendidikan · 42, 70, 72, 107, 109, 156, 158, 169, 196, 204, 212, 215, 229 penduduk · 3, 4, 8, 13, 17, 23, 24, 25, 26, 28, 29, 30, 31, 32, 43, 73, 89, 110, 125, 129, 132, 133, 134, 136, 139, 141, 145, 164, 166, 206, 209 pengobatan · 7, 25, 52, 70, 88, 109, 133, 135, 136, 143, 156, 157, 158, 159, 172, 195, 200, 207, 210

penyembuhan · 8, 25, 51, 81, 82, 109, 172, 173, 174, 198, 199, 200, 210, 212, 213 perdagangan · 14, 18 perilaku · 2, 30, 98, 101, 108, 117, 118, 124, 126, 157, 159, 206 perkawinan · 28, 36, 48, 49, 50, 204 permukiman · 9, 29, 33, 36, 38, 41, 45, 52, 53, 54, 55, 58, 64, 125, 126, 164, 166, 167, 168, 169, 172, 207, 208, 222 persalinan · 2, 4, 5, 86, 88, 89, 90, 91, 92, 93, 95, 97, 110, 143, 147, 149, 150, 205, 206 pertunangan · 72 perumahan · 24, 41, 165, 169 pneumoni · 135 potret · 126 program · 70, 141, 154, 161, 164, 204, 214 Puskesmas keliling · 170

R ramuan · 52, 80, 94, 100, 109, 114, 158, 201, 207, 213 referensi · 43, 48, 173, 209 Rekomendasi · 8, 213, 215 ritual · 93, 96, 206

219

Etnik Buru, Kabupaten Buru, Provinsi Maluku

roh · 41, 43, 45, 46, 93, 94, 143, 158, 185, 186, 194, 198, 199, 206, 209, 210, 221 rumah adat · 46 rumah pamali · 46, 176 rumah sakit · 25, 89, 159, 195, 205

S safemati · 49 sakit · 2, 3, 7, 8, 47, 68, 80, 81, 87, 88, 89, 90, 91, 92, 93, 94, 97, 108, 109, 157, 158, 163, 173, 175, 176, 182, 184, 185, 186, 188, 192, 193, 194, 196, 198, 199, 200, 201, 206, 207, 210, 211, 212, 213 sarana kesehatan · 5, 158, 160 sayuran · 122, 123 sejarah · 5, 30, 35, 51, 52, 125, 210 standar · 7, 146, 149, 152, 154, 215 status · 1, 2, 6, 28, 49, 110, 112, 123, 147, 160 sumber air · 20, 116, 117, 118, 167, 168, 208, 215

T tali pusat · 95, 96, 206 TB paru · 134 220

tenaga kesehatan · 3, 4, 7, 86, 110, 111, 112, 118, 133, 146, 149, 150, 151, 152, 159, 160, 161, 163, 196, 198, 205, 207, 214, 215 terasing · 29, 164 terbelakang · 29, 159 tradisional · 7, 17, 87, 88, 94, 108, 156, 164, 167, 208, 226, 227 transmigran · 24, 25, 26, 142, 165, 180, 203

U ulayat · 35, 221 upacara · 36, 39, 40, 46, 53, 55, 81, 96, 175, 180, 186, 195, 206

V vektor · 133

W wabah · 28, 34, 142, 168, 169, 170, 171, 172, 173, 174, 181, 182, 184, 185, 211

GLOSARIUM

Alfuru

Atas

Asar/Pangi

Bumilale Bupolo DBK Hinolong Huma Huma hawa Huma gelan IPKM IPM Jugun ianfu

Kasbi Kaksodin

: istilah luas yang digunakan orang melayu untuk semua orang non muslim yang tinggal di wilayah tak terakses dibagian Timur kepulauan nusantara. : istilah yang dipakai orang pelabuhan untuk mengantar penumpangnya ke daerah Namlea. : memberikan asap melalui kayu yang dibakar didalam kamar untuk dimanfaatkan asapnya. : tanah besar atau tanah luas. : sebutan Pulau Buru dalam bahasa buru : Daerah Bermasalah Kesehatan : pimpinan adat daerah dataran rendah : sebutan rumah oleh Etnik Buru : rumah kebun : rumah kerja di ketel : Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat : Indeks Pembangunan Manusia : istilah yang digunakan untuk merujuk kepada wanita (comfort women) yang menjadi korban dalam perbudakan seks selama perang dunia II di koloni jepang dan wilayah Jepang. : singkong : pimpinan adat daerah pegunungan

221

Etnik Buru, Kabupaten Buru, Provinsi Maluku

Kaskado

: tineaimbirkata/dermatofitosis kronik rekuren disebabkan Trichophyton concentricum Keladi : ubi talas Kepala air : sebutan lokal untuk menyebut hulu-hulu sungai, sementara muara sungai disebut dengan istilah kaki air Ketel : tempat penyulingan daun kayu putih menjadi minyak kayu putih Klan : sistem sosial yang berdasarkan ikatan datah atau keturunan Mangkausehan : ampas dari perasan singkong/kasbi Matetemun : pemipin adat Etnik waetemun Netat : alat dari bambu untuk memotong tali pusar bayi yang lahir NICA : Nederlandsch Indië Civil Administratie atau Netherlands-Indies Civil Administration atau "Pemerintahan Sipil Hindia Belanda" Opalasta : pencipta bumi dan segala sesuatu yang berdiam di Danau Rana dan Gunung Date. Papeda kasbi : bubur yang terbuat dari saripati singkong Petatas : ubi jalar Petuanan : Suatu wilayah yang dinyatkan sebagai hak kelompok tertentu atau mereka menganggap diri menjadi tuan atas wilayah tersebut. Sering dikenal juga dengan istilah hak ulayat Ratemena Barasahe: maju terus pantang mundur Sarampa : campak Semake/Babeto : Komunikasi dengan roh-roh nenek moyang

222

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

Sopi

Swantantra

Tahanan

Unit

: minuman khas Etnik Buru yang terbuat dari pohon enau, mengandung alkohol sehingga jika dikonsumsi dalam jumlah banyak dapat memabukkan : daerah di dalam suatu negara yang memiliki kekuasaan otonom, atau kebebasan dari pemerintah di luar daerah tersebut. Biasanya suatu daerah diberi sistem ini karena keadaan geografinya yang unik atau penduduknya merupakan minoritas negara tersebut, sehingga diperlukan hukum-hukum yang khusus, yang hanya cocok diterapkan untuk daerah tersebut. : seorang yang ditahan dan belum melalui proses peradilan, sedangkan narapidana telah melalui peradilan final : tempat pemanfaatan untuk menampung tapol PKI di Pulau Buru yang selanjutnya istilah pemanfaatan diganti dengan instalasi rehabilitasi (inrehab) : satuan permukiman dalam wilayah tertentu

223

Etnik Buru, Kabupaten Buru, Provinsi Maluku

224

DAFTAR PUSTAKA

Ahimsa-Putra, Heddy. 2005. ”Kesehatan dalam Perspektif Ilmu Sosialbudaya” dalam Masalah Kesehatan dalam Kajian Ilmu Sosial Budaya. Yogyakarta: Kepel Press. Hlm 13-37. Badan Pusat Statistika Kabupaten Buru. 2013. Buru dalam Angka. BPS. Balai kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Provinsi Maluku dan Provinsi Maluku Utara. 2004. Kearifan Lokal Masyarakat Petani Desa Waeturen dan Desa Waehaka Kabupaten Buru Provinsi Maluku. oleh Milana S,Ms E. Kembauw, SP dan M. Pattipeilohy, S. Sos Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Provinsi Maluku dan Maluku Utara. 2006. Pattipeilohy J.J. Hindu Buru Sistem Kepercayaan Tradisonal orang-orang Buru. editor : Dra. Ny. F. Sahusilawane, M.H. Dinas Kesehatan Kabupaten Buru. 2013. Profil Dinas Kesehatan Kabupaten Buru Tahun 2012. Namlea. Direktorat Bina Masyarakat Terasing. 1985. Kehidupan dan Penghidupan Masyarakat Terasing Etnik Rana di Pulau Buru dan Usaha-usaha Pembinaannya. Dirjen Kesejahteraan Sosial Departemen Sosial RI.

225

Etnik Buru, Kabupaten Buru, Provinsi Maluku

Grimes, Barbara Dix. 2006. Chapter 6 : Mapping Buru: The Politics of Territory and Settlement on an Eastern Indonesian Island in Sharing The Earth. Dividing The Land : Land and Territory in The Austronesia Word Australia : ANU E Press. Isabella, Lucy Catherine. 2009. Eko Tunggono Dari Pulau Buru menjadi Penyelamat Anak-anak Autis–Hiperaktif. Jakarta : Jejaring Institute. Koentjaraningrat. 2007. Villages in KualaLumpur : Equinox Publishing

Indonesia.

Jakarta-

Notoatmodjo, Soekidjo. 2010. Ilmu Perilaku Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta. Noya, Yudi. 2013. Opolastala dan Trinitas (Suatu Studi Perbandingan Terhadap Nilai-Nilai Agama Etnik Tentang Ketuhanan di Buru Selatan dan Konsep Trinitas dalam Kekristenan). Skripsi. Fakultas Teologi Universitas Kristen Setya Wacana. Pattinama, M.J. 2005. “Les geba Bupolo et leur milieu, Population de I’ile”. Pattinama, Marcus J. 1998. “Les Bumi Lale de l’île de Buru Moluques Indonésie: Mode de Subsistance et Exploitation du Melaleuca leucadendron.” Pp. 100 inMémoire de Stage DEA Environnement, Temps, Espaces, Sociétés (ETES). Paris: Université d’Orléans, Orléans. Pattinama, Marcus J. 2005. Kearifan Lokal dan Pengentasan Kemiskinan di Pulau Buru. Artikel guna memperoleh Selo Soemardjan Award Tahun 2005. Selo Soemardjan Research Center, FISIP UI

226

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

Pattinama, Marcus J. 2005. “Les Geba Bupolo et leur milieu, Population de l’île de Buru, Moluques, Indonésie. Liwit lalen hafak lalen snafat lahin butemen ” Vannerie virile, sarong féminin et émulsion qui flue “. Thèse de Doctorat de l’école doctorale du Muséum National d’Histoire Naturelle.” Pp. 354. Paris: du Muséum National d’Histoire Naturelle,. Pattinama, Marcus J. 2008. Orang Bupolo dan Lingkungannya. Yogyakarta : Citra Aji Parama. Pattipeilohy, Yuli, dkk. 2002. Tata Krama Etnik Bangsa Mual di Kabupaten Buru. Laporan Penelitian. Ambon: Badan Pengembangan Kebudayaan dan Pariwisata Deputi Bidang Pelestarian dan Pengembangan Budaya Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Pattipeilohy,Marthen M.2009. Peristiwa Merah Putih (suatu studi historis perjuangan masyarakat buru tahun 1964). Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Balai pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Provinsi Maluku dan Maluku Utara. Pemerintah Desa Nafrua. 2014. Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2014 -2018. Nafrua. Puskesmas Waelo. 2014. Laporan Tahunan Puskesmas Waelo Tahun 2013. Waelo. Sahusilawane. 2000. Inventarisasi Cerita Rakyat di Kecamatan Buru Selatan Kabupaten Maluku Tengah. Departemen Pendidikan Nasional Direktorat jendral Kebudayaan Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Provinsi Maluku. Ambon

227

Etnik Buru, Kabupaten Buru, Provinsi Maluku

Setiawan, Hersri. 2003. "Aku Eks Tapol". Yogyakarta: Galang Press. hlm. 67-84. Stenli R. Loupatty S.Pd dan Santy Nurlete. 2011. Inventarisasi Warisan Budaya Tak Benda di Kabupaten Buru. Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata Direktorat Jendaral Nilai Budaya Seni dan Film Balai Pelestarian Sejarah dan nilai tradisional provinsi Maluku dan Maluku Utara Stenli R. Loupatty. 2010. Sejarah Kabupaten Buru. Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata Direktorat Jendaral Nilai Budaya Seni dan Film Balai Pelestarian Sejarah dan nilai tradisional provinsi Maluku dan Maluku Utara Spradley, James P. 1997. Metode Etnografi (terjemahan). Yogyakarta: Tiara Wacana. Rumawelang, Ely, dkk.Buku Ajar Bahasa Buru. 1997. Lembaga kebudayaan daerah Maluku. Toer, Pramudya Ananta. 1995. Nyanyi Sunyi Seorang Bisu. Jakarta: Lentera. Toer, Pramudya Ananta. 2001. Perawan Remaja dalam cengkraman Militer. Jakarta : KPG (Kepustakaan Populer Gramedia).

Sumber Internet http://infonamlea.wordpress.com/2012/12/27/pengolahanminyak-kayu-putih/phoca_tumb_i_pohon-minyak-kayuputih-2/#man http://www.merdeka.com/shot/khasiat-minyakkayu-putih-yangmenakjubkan.html 228

Buku Seri Etnografi Kesehatan Tahun 2014

http://obatnaturals.blogspot.com/2014/08/tanaman-herbaltalok-atasi-batuk.html http://retnanda.blogspot.com/2012/08/regenschaft-leisela-dipulau-buru-pulau.html http://retnanda.blogspot.com/2012/08/regenschaft-leisela-dipulau-buru-pulau.html http://maxmjpattinama.unpatti.org/tag/orang-pulau-buru/ http://www.tribunnews.com/nasional/2011/09/19/achmadsujudi-dari-salemba-ke-pulau-buru http://burukab.go.id/ http://en.wikipedia.org/wiki/Maluku_(province) http://www.depkes.go.id/ http://jejerwadonsolo.wordpress.com/

229

Etnik Buru, Kabupaten Buru, Provinsi Maluku

Masa Depan Indonesia juga ada di tangan mereka, namun ketika kesehatan serta pendidikan tidak didapatkan secara maksimal, adakah perubahan yang akan dialaminya? Salam hangat kami yang ada di kota, untuk kalian yang ada pulau terpencil nan gelap dan dingin. Semoga kabut – kabut gunung yang setiap hari menuruni lereng gunung berubah menjadi selimut hangat yang akan menemani kehidupan kalian. Suatu saat nanti, akan tiba waktunya untuk kalian berubah menjadi lebih baik.

230

View more...

Comments

Copyright ©2017 KUPDF Inc.
SUPPORT KUPDF